Upload
vobao
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN MAROS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan produksi pangan menjadi prioritas program Nawacita Presiden Jokowi agar
kedaulatan pangan tercapai di Indonesia. Setidaknya, ada 14 program pendukungnya,
salah satunya adalah memberikan subsudi harga pupuk ke petani. Pemerintahpun
memberikan anggaran yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggaran subsidi pupuk
non energi lainya dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp 31 trilyun. Skema pemberian subsidi
harga ini meneruskan kebijakan program pemerintahan sebelumnya, sehingga selama 14
tahun terakhir, total anggaran yang sudah dikeluarkan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 210
trilyun. Tujuannya untuk meringankan beban petani membeli harga pupuk sehingga pada
akhirnya produksi bisa ditingkatkan.
Namun sayangnya, banyak persoalan yang ditemukan dalam implementasi pupuk
bersubsidi ini. Menurut hasil penelitian Pattiro tahun 2009 – 2011 dan Litbang KPK 2017,
persoalannya berada pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran, dan pengawasan.
Misalnya pada aspek pendataan, ditemukan Data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) yang tidak valid, aspek penganggaran ditemukan ada biaya-biaya yang tidak
termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi
dasar perhitungan nilai subsidi pupuk. Begitupun pada aspek penyaluran, dimana penjualan
pupuk dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), penjualan pupuk kepada petani
yang tidak terdaftar dalam RDKK serta pada aspek pengawasan, Komisi Pengawasn Pupuk
dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi dan kabupaten tidak menjalankan fungsi
pengawasan secara optimal.
Terkait dengan hal tersebut diatas, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
bersama mitranya, melihat bahwa investasi pemerintah dengan tujuan program yang begitu
baik dan anggaran yang cukup besar ini tidak berjalan efektif dan efisien dalam
implementasinya. Oleh karenanya diperlukan koreksi dan perbaikan secara terus menerus
sehingga tujuan akhir program dan kebijakan terkait pemenuhan hak atas pangan dapat
tercapai. Proses koreksi dan evaluasi kebijakan dan program hendaknya dapat dilakukan
dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat/petani sebagai penerima
manfaat. Pelibatan masyarakat/petani dalam proses evaluasi merupakan bentuk pelibatan
petani (partisipasi) dalam pembangunan. Dengan adanya pelibatan ini maka diharapkan
evaluasi dan koreksi menjadi lebih bermakna yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efektifitas dan akuntabilitas program dan kebijakan. Partisipasi penerima manfaat dalam
melakukan evaluasi dan koreksi ini khususnya pada dampak sosial kebijakan dan program
pemenuhan hak atas pangan kemudian dimaknai sebagai audit sosial.
Audit sosial digunakan sebagai metode melihat program pupuk subsidi karena merupakan
proses sistematik kritis untuk memeriksa bukti-bukti klain terhadap tujuan dan penerima
manfaat, relevansi sosial dan efek-efek yang ditimbulkan oleh intervensi institusi yang
hasilnya dikomunikasikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Audit sosial lebih
menekankan dampak perubahan sosial pada kelompok sasaran yang dilakukan secara
bersama-sama.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya audit sosial pupuk bersubsidi ini adalah
1. Mengukur manfaat sosial yang diperoleh sebagai hasil dari pelaksanaan program
pupuk bersubsidi
2. Menyuarakan dan memperkuat suara petani dalam perencanaan, implementasi dan
pengawasan pupuk bersubsidi
3. Mendorong dialog dan sinergi kerjasama antar pemangku kepentingan pupuk
bersubsidi secara berkelanjutan
4. Memberikan masukan kritis yang didasarkan pada kenyataan yang ada untuk
mendorong terjadinya perbaikan tatakelola program pemerintah.
1.3 Manfaat
Manfaat audit sosial pupuk bersubsidi bagi petani sebagai penerima manfaat dan
pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan yaitu:
1. Petani mempunyai ruang menyuarakan pendapatnya akan program pupuk
bersubsidi.
2. Pemerintah kabupaten mengetahui persoalan perencanaan, penerimaan,
penggunaan dan hasil pupuk bersubsidi yang diterima petani
3. Terbukanya ruang dialog dan klarifikasi bagi berbagai pihak tentang program pupuk
bersubsidi di tingkat kabupaten
1.4 Metodologi Audit Sosial
Metodologi audit sosial berupa pengumpulan data baik pada sumber primer maupun
sekunder. Pengumpulan data primer berupa:
1. Obersevasi lapangan, pengamatan kualitas lahan dan uji laboratorium kualitas
pupuk bersubsidi yang dilaksanakan oleh pelaksana audit di setiap kabupaten. Uji
laborataorium sampel kualitas pupuk bersubsidi dari etiap kabupaten dilakukan di
International Conservation Biotechnology Bogor (ICBB).
2. Survey. Survey ini dikhususkan dengan menentukan responden adalah rumah
tangga tani yang sampelnya diperoleh menggunakan metode Slovin selanjutnya
diproporsifkan untuk menentukan responden terpilih dalam setiap dusun. Total
jumlah responden dari 5 Kabupaten berjumlah….orang. Durasi pelaksaaan survey
Januari – Februari 2017.
3. Wawancara mendalam. Proses penggalian informasi yang lebih dalam untuk
mendapat penjelasan dari data survey diperoleh dari informan wawancara
mendalam berjumlah 22 orang untuk setiap kabupaten. Mereka terdiri dari petani
penerima pupuk bersubsidi 3 orang, petani bukan penerima pupuk bersubsidi 3
orang, Pengurus Kelompok Tani 4 orang, Kepala Desa 1 orang, Kepala Dusun 1
orang, Camat 1 orang, Pengurus Gapokta 1 orang, Pengecer Pupuk 2 orang,
Distributor Pupuk 1 orang, Penyuluh Pertanian 1 orang, Komisi Pengawas Pupuk dan
Pestisida 1 orang, Dinas Pertanian 1 orang, Kepala Daerah dan Anggota DPRD 1
orang. Total keseluruhan informan untk 5 kabupaten berjumlah 110 orang informan.
Waktu pelaksanaannya Februari – Maret 2017.
4. FGD di tingkat desa. Focus group discussion pada tingkat desa melibatkan petani,
pengurus kelompok dan aparat desa untuk mengklarifikasi data yang sudah
ditemukan pada hasil survey dan wawancara mendalam pandangan peserta
terhadap pupuk bersubsidi. selain itu, FGD ini juga melihat tren kecenderungan
pangan dan factor pendkung serta penghambat lain peningkatan produksi yang
dialami petani. FGD ini dilaksanakan pada bulan April 2017.
5. FGD tingkat kabupaten. Diskusi pada tingkat kabupaten ini bertujuan untuk
memaparkan hasil temuan audit pada tingkat kabupaten dan meminta klarifikasi
serta rekomendasi kepada para pihak terkait, terdiri dari Kepala Daerah, perwakilan
DPRD, Dinas Pertanian, Bapeda, Dinas Perdagangan, KP3, BPPT, PPL, pengecer,
Camat Kepala Desa, Pengurus Kelompok Tani, Pengurus Gapoktan dan Petani.
Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mempelajari dokumen :
1. Peraturan Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai
Barang dalam Pengawasan
2. Peraturan Menteri Perdagagan No 15/M-DAG/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian
3. Peraturan Menteri Keuangan No 68 / PMK.02/2016 tentang tata cara Penyediaan,
Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk
4. Peraturan Menteri Pertanian No 82/Permentan/SR.130/8/2013 tentang Pedoman
Pembinaan Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani
5. Peraturan Menteri Pertanian No 69/Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi
dan Harga Eceran Tertinggi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2017.
6. Menteri Perindustrian RI Nomor 16/M-Ind/PER/3/2013 tentang Pewarnaan Pupuk
Bersubsidi.
7. Pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2016,
Direktoran Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian
8. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi TA 2016
9. Pedoman Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2016
10. Laporan hasil pihak ketiga berupa kajian, berita, artikel penelitian pupuk bersubsidi
1.5 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Audit
Keseluruhan proses pelaksanaan pengumpulan data melalui program audit sosial pupuk
bersubsidi ini dilaksanakan mulai bulai Januari – Mei 2017 yang tersebar di 5 kabupaten
dalam 3 Provinsi, sebagai berikut:
1. Nusa Tenggara Timur
- Kabupaten Flores Timur, Kecamatan Wulanggintang Desa Boru dan Boru Kedang
- Kabupaten Sumba Timur, Kecamatan Kota Waingapu Desa Pambotanjara dan
Kecamatan Nggaha Oriangu Desa Tanatuku
2. Nusa Tenggara Barat
- Kabupaten Lombok Utara, Kecamatan Bayan Desa Bayan dan Desa Loloan
3. Sulawesi Selatan
- Kabupaten Maros, Kecamatan Simbang Desa Jenetesa dan Desa Samangki
- Kabupaten Luwu Utara Kecamatan Baebunta Desa Sasa dan Desa Baebunta
Laporan yang ditampilkan saat ini khusus Kabupaten Maros sebagai salah satu wilayah
yang dijalankan oleh KRKP melalui kemitraan dengan Perkumpulan KATALIS.
1.6 Keterbatasan Laporan
Data yang tertuang dalam laporan ini tentunya belum sepenuhnya sempurna dan bisa
mewakili temuan dalam program pupuk bersubsidi secara Nasional karena pertimbangan
yaitu
1. Pelaksanaan audit sosial ini terbatas pada 2 desa saja dalam cakupan wilayah
kabupaten, sehingga temuan ini belum mewakili karakteristik wilayah pertanian
dalam satuan kabupaten.
2. Tidak semua target informan dalam wawancara mendalam bisa diwawancarai
karena karena ada yang memang tidak ingin diwawancarai terutama pengecer dan
distributor.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI
2.1. Gambaran Kabupaten
Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian barat Propinsi
Sulawesi Selatan. Berbatasan dengan Kabupaten Pangkep di sebelah utara, Kota Makassar
dan Kabupaten Gowa di sebelah selatan, Kabupaten Bone di sebelah timur dan selat
Makassar di sebelah barat. Luas wilayah 1.619,11 km2 terdiri atas 14 kecamatan dengan
80 desa dan 23 kelurahan dengan jumlah penduduk pada tahun 2015 sebanyak 339.300
jiwa, laki-laki sebanyak 165.881 jiwa dan perempuan sebanyak 173.419 jiwa sedangkan
untuk Kecamatan Simbang sebanyak 23.419, laki-laki sebanyak 11.291 jiwa dan
perempuan sebanyak 12.128 jiwa (BPS Kabupaten Maros, 2015). Topografi wilayah sangat
bervariasi mulai dari dataran rendah dan berbukit. Wilayah dataran rendah berada pada sisi
Barat dan Utara, sedangkan wilayah dataran tinggi terdapat di bagian Timur. Wilayah
dataran rendah ketinggiannya antara 0 - 300 m di atas permukaan laut, sedangkan wilayah
berbukit 301 - 800 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Maros termasuk salah satu sentra produksi tanaman pangan di Sulawesi
Selatan selain kawasan Bosowasipilu, khususnya padi dan kedelai. Luas panen dan
produksi padi masing-masing 53.904 ha padi sawah dengan produksi 386.858,7 ton dan
13.410 ha padi ladang dengan produksi 73.649,5 ton. Produktivitas padi sawah 77,1
kw/ha dan padi ladang 59,8 kw/ha. Di samping menghasilkan padi, kabupaten Maros juga
sebagai penghasil jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar (BPS
Kabupaten Maros, 2015)
Sedangkan luas lahan pertanian di Kecamatan Simbang adalah 4.643 ha padi sawah dan
450 ha padi ladang dengan produktivitas 68,3 kw/ha padi sawah dan 60,4 kw/ha padi
ladang. Produksi padi tahun 2014 di kecamatan Simbang 13.884,1 ton padi sawah dan
8.758 ton padi ladang (BPS Kabupaten Maros, 2015).
2.2 Gambaran Desa Lokasi Audit
Wilayah pelaksanaan program audit social kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros
terletak di Desa Jenetaesa dan Samangki yang merupakan wilayah dari kecamatan
Simbang. Sekitar 15 KM dari kota Maros yang sebagian besar penduduknya bekerja di
sektor pertanian. Dari kota Maros, perjalanan darat baik mobil atau motor dapat ditempuh
sekitar 30 menit bila perjalanan normal.
Kondisi ketahanan pangan di dua desa wilayah program relatif baik. Kebijakan beras
subisidi untuk masyarakat miskin juga berjalan di kedua desa tersebut dan tercatat sekitar
5% dari total KK adalah penerima manfaat kebijakan subsidi beras yang merupakan
kebijakan Pemerintah Pusat. Selain padi, jenis pangan lain yang banyak tersedia adalah
jagung dan ubi jalar.
Kedua desa ini relatif mudah diakses. Apalagi bila dibandingkan dengan desa-desa lain
yang ada di Kabupaten Maros. Infrastruktur pertanian cukup memadai, baik ketersedian
benih, alat mesin pertanian, bendungan air, saluran irigasi, jalan tani dan yang lainnya
cukup tersedia. Pasar pun mudah diakses bahkan tak jauh dari lokasi ini ada tempat wisata
yang sudah cukup populer baik level propinsi Sulawesi Selatan maupun nasional yakni
Bantimurung. Jadi dalam aspek keterjangkauan, desa ini sudah lebih bagus.
Perkembangan inovasi yang tumbuh pada individu maupun kelompok tani di kedua desa
tersebut belum nampak secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan belum tumbuhnya
pengolahan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani. Bahan
pembuatan pupuk organik yang banyak tersedia belum diolah secara baik dan merata.
Masih sangat minim petani yang melakukan, petani lebih memilih menggunakan pupuk
kandang yang bersumber dari kotoran ayam potong tanpa melalui proses fermentasi.
Salah satu modal social yang bertahan secara tradisi di tingkat kelompok tani adalah
tudang sipulung. Tudang sipulung merupakan salah satu wadah bertemunya semua
stakeholder pengelolaan lahan pertanian terutama kelompok petani, pemerintah terkait
untuk membicarakan proses pengelolaan lahan pertanian seperti jadwal turun ke sawah,
waktu memulai hambur benih, varietas yang disepakati, waktu penanaman dan prediksi
hama yang bakal muncul dan waktu pembersihan saluran irigasi. Dalam tudang sipulung,
biasanya juga petani atau kelompok tani menyampaikan permasalahan yang dihadapi
terkait pertanian kepada pemerintah maupun kebijakan pertanian yang dianggap belum
berjalan dengan efektif seperti distribusi pupuk. Tudang sipulung juga menjadi media yang
efektif untuk saling berbagi informasi di antara petani.
Sesuai hasil survey (KRKP, 2017) ditinjau dari aspek status kepemilikan lahan pertanian
adalah 81.2% merupakan milik dari petani yang bersangkutan dan 12,9% merupakan milik
orang lain. Secara umum (89,4%) petani memiliki lahan kurang dari 1 hektar milik petani.
Tanaman yang dibudidaya di dua desa tersebut beragam namun sebagian besar
membudidayakan tanaman pangan, hanya 11,8% yang membudidayakan jenis palawija.
Sebagian besar petani telah bergabung dalam kelompok tani (93,5%) dan sebagian besar
adalah laki-laki (86,5%) atau perempuan hanya 13,5%. Rata-rata usia petani didominasi
oleh umur 36-55 tahun (54.5%) dan >55 tahun (31.2%). Tingkat pendidikan 77.1% petani
tidak sekolah atau hanya tamat SD. Dalam aktifitas selain bertani, 15.9% petani merupakan
pedagang dan 23.5% petani memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh/tukang dan
95.3% petani telah bekerja di sektor pertanian selama > 6 tahun.
BAB III
TEMUAN-TEMUAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI
3.1. Pemahaman Pupuk Subsidi
Sosialisasi kebijakan pupuk bersubsidi kepada petani masih minim. Implikasinya petani
belum memahami kebijakan tersebut secara utuh. Secara umum petani memahami bahwa
pupuk tersebut berasal dari pemerintah. Tercatat 21.2% petani tidak pernah mendapatkan
sosialisasi pupuk bersubsidi kemudian 70% Informasi pupuk bersubsidi diperoleh melalui
pertemuan kelompok yang informasinya diberikan oleh pengurus kelompok. Sekitar 95.3%
petani memahami bahwa pupuk bersubsidi merupakan pupuk yang disubsidi pemerintah
dan dapat dibeli dengan harga yang lebih murah. Petani tidak memahami secara mendalam
terkait pupuk bersubsidi hal ini ditunjukkan dalam FGD kebijakan pupuk bersubsidi di
tingkat desa. Salah seorang tokoh masyarakat yang juga adalah petani menyampaikan hal
demikian “jadi petani di sini pak tidak tahu sesungguhnya bahwa pupuk ini disubsidi dan
berapa nilai subsidi per karung atau per kilonya. Akibatnya kita tidak tahu berapa bantuan
negara termasuk pilihan-pilihan subsidinya yang memungkinkan untuk membantu
mengurangi pengeluaran petani dalam operasionalnya” tutur Pak Mustari.
Demikian pula pada aspek manfaatnya masih banyak petani yang belum paham tentang
manfaat pupuk itu sendiri terhadap tanaman. Secara umum mereka hanya mengetahui
bahwa pupuk dapat menyuburkan tanaman. Pemahaman mendetail aspek kelebihan dan
kekurangan masing-masing jenis pupuk belum baik kecuali berdasarkan pengalaman
pemaiakaian/penggunaan semata. Sementara ada beberapa jenis pupuk yang disubsidi
oleh pemerintah diantaranya Za, SP36, UREA, NPK, dan Organik. NPK bermacam-macam
ada phonska, pelangi dan sebagainya. Minimnya pengetahuan petani terhadap pupuk,
mengakibatkan penggunaan di lapangan cukup beragam baik dari aspek jumlah, jenis
tanpa melihat kesesuaian antara tanaman dengan jenis pupuk ataupun unsur hara dari
tanah yang akan ditanami. Pada konteks lain juga menunjukkan bahwa minimnya tingkat
pemahaman petani terhadap manfaat dari setiap jenis pupuk bersubsidi adalah pertanda
tidak optimalnya kinerja dari Petugas Penyuluh Lapang (PPL) dalam memberikan pelatihan
bagi kelompok tani.
Berbeda halnya di sampaikan oleh Bapak Siswan sebagai Direktur Katalis saat FGD Desa,
survey ini baru 30 % dari pengetahuan yang ada di desa atau pertanian karena petani
setiap hari bergelut dengan pertanian, maka dari itu pengetahuannya sangat bermanfaat,
hanya barangkali pengetahuannya tidak diolah sedemikian rupa sehingga kita masih jatuh
pada pola atau cara yang sama meskipun sudah banyak perubahan variabel. Dalam kondisi
petani yang terbiasa pada metode pertanian yang konvensional kemudian sulit untuk
melakukan transformasi pertanian yang menerapkan manajemen pengetahuan. Salah satu
keluhan penyuluh dalam memberikan edukasi kepada kelompok tani, setiap saat
perkembangan informasi dan pengetahuan berkembang pesat dan tak terlebih juga dalam
hal pertanian maka olehnya itu petani tidak hanya sebagai penerima manfaat dalam pupuk
bersubsidi akan tetapi sebagai peneliti terkhusus untuk lahan garapannya masing-masing
maupun kelompok untuk melakukan percobaan-percobaan yang mampu melahirkan
terobosan yang lebih baik yang dampingi oleh Petugas Penyuluh Lapang (PPL). Dengan hal
itu ketergantungan informasi petani tidak terfokus hanya dari luar saja akan tetapi petani
mampu lebih mandiri dan menciptakan pengetahuan yang lebih kontekstual terhadap
pengolahan sawah garapannya baik dalam aspek produksi maupun pemasaran yang
berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan.
Dalam penggunaan pupuk, petani masih mengandalkan feeling dalam menentukan takaran
per tanaman, termasuk mempertimbangkan jumlah pupuk yang tersedia yang
memungkinkan semua tanaman dapat diberi pupuk. Baik pupuk jenis urea, Za, maupun
SP36. “Untuk menentukan berapa porsi pupuk setiap tanaman, kami menggunakan
perasaan saja pak, “papar Tajuddin, seorang petani yang diwawancarai. Meskipun,
sesungguhnya penggunaan pupuk memiliki takaran tertentu untuk mencapai hasil yang
lebih baik. Paling musykil jika ketersediaan pupuk terbatas atau mengalami kelangkaan.
Pada saat memasuki masa pemupukan. Porsi pasti mengalami pula penurunan karena
pertimbangan utamanya lebih pada meratanya pupuk pada setiap tanaman. Di samping
pengetahuan kurang memadai, juga diperhadapkan pada ketiadaan pilihan lain. Alih-alih
penggunaan pupuk yang berimbang. Tak pernah terpikirkan.
3.2. Keputusan Penggunaan Pupuk Bersubsidi
Sebagian besar petani telah menggunakan pupuk bersubsidi. Sekitar 90.6% petani telah
menggunakan pupuk bersubsidi selama lebih dari 6 tahun. Hanya 21.2% keputusan
penerimaan pupuk bersubsidi, 18.2% keputusan penggunaannya di rumah tangga
dilakukan oleh responden bersama pasangan.
Penggunaan pupuk bersubsidi sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi petani.
Pengembangan pupuk organik belum menjadi alternative bagi petani dengan alasan karena
butuh waktu dan proses yang membutuhkan tenaga dan modal. Meskipun bahan dasarnya
mudah didapatkan di desa. Pilihan penggunaan pupuk bersubsidi juga disebabkan oleh
faktor instant sebab cukup beli dan langsung dimanfaatkan. Berbeda bila harus memilih
menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik pada tingkat kelompok tani
belum dikembangkan, sementara petani cenderung lebih memilih untuk mencontoh yang
sudah berhasil.
Boleh jadi keputusan penggunaan pupuk bersubsidi tak lagi pada aspek melihat efisiensi
operasional dan mutu hasil produksi. Rendahnya tingkat pendidikan kemungkinan memiliki
pengaruh terhadap kemandirian petani dalam mengambil keputusan termasuk dalam
menggunakan atau tidak menggunakan pupuk bersubsidi. Refleksi tidak terjadi. Baik dalam
konteks keluarga maupun kelompok tani kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan
petani atau aspek hasil yang didapatkan dalam satu musim tanam. Hal ini nampak dengan
bertahannya pola kehidupan petani pada aspek konsumsi. Umumnya setiap masa
pemupukan mereka tidak memiliki modal untuk menebus harga dari pupuk bersubsidi.
Akibatnya memilih jalan mengutang pada kelompok tani atau warga yang memiliki cukup
modal dan pada saat pembayaran tentu saja ada kenaikan harga dari harga pupuk yang
ditetapkan oleh pemerintah. Siklus ini sesungguhnya membuat petani tak berdaya. Bahkan
seorang petani mengungkapkan dalam FGD di Samangki, bahwa apabila petani hanya
mengandalkan hasil dari pertanian maka tak mungkin dapat menyekolahkan anaknya
sampai perguruan tinggi. Hal ini berbeda dengan situasi dua dekade sebelumnya dimana
petani masih bisa sejahtera. Namun ada banyak faktor pendukung. Bukan hanya faktor
pupuk semata. Lahan yang masih cukup luas, kemudian biaya operasional pengelolahan
pertanian akan lebih efisien karena mengandalkan apa yang tersedia seperti pupuk
kandang, pupuk bersubsidi dan masih tumbuhnya gotong royong dalam berbagai aktivitas
pertanian yang saat ini tergantikan oleh teknologi yang mengakibatkan semakin
membesarnya pengeluaran bagi petani.
Selain itu juga masayarakat tidak punya perencanaan yang matang dalam hal pemupukan
sejak awal musim tanam. Prinsip tiba masa tiba akal adalah fakta yang terjadi sehingga
karena desakan pemupukan dan ketidakadaan alternatif lain menjadikan petani mesti
menggunakan pupuk yang ada pada saat itu. Situasi inilah yang menjadi sulit seolah tidak
ada alternative lain selain pupuk bersubsidi melihat kondisi ekonomi para petani yang
rendah (minimnya biaya produksi) sehingga diperhadapkan pada pupuk subsidi dan pupuk
non subsidi untuk jenis yang sama tentu saja masyarakat petani akan memilih pupuk
subsidi karena relative lebih murah.
3.3. Perencanaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani
Partisipasi petani dalam penyusunan RDKK masih sangat kurang. Tercatat hanya 24,1%
responden yang menyatakan intens terlibat dalam penyusunan RDKK. Penyusunan RDKK
masih bersifat sekedar menggugurkan kewajiban atau memenuhi persyaratan formal untuk
implementasi dari kebijakan subsidi pupuk. Data RDKK menjadi rujukan pemerintah (pusat)
untuk mendistribusikan sejumlah pupuk bersubsidi ke wilayah tertentu, termasuk wilayah
lokasi program audit sosial. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua data dalam RDKK
akan terealisasi. Disesuaikan lagi dengan kemampuan negara khususnya alokasi anggaran
untuk subsidi pupuk dalam APBN dan pertimbangan aspek pemerataan di sejumlah daerah
di Indonesia. Fakta menunjukkan, bahwa penyusunan RDKK umumnya melampaui dari
jumlah keluasan lahan.
RDKK yang dibuat umumnya fiktif, tidak sesuai pada data luasan lahan di lapangan bahkan
cenderung ada manipulasi data. Luas lahan dalam laporan terkadang lebih luas
dibandingkan di lapangan. Hal ini terungkap dalam FGD tingkat Kabupaten. Sebagaimana
diungkapkan oleh Bapak Haji Makmur, Kepala Desa Samangki, “kami sebenarnya
meragukan data-data yang ada dalam RDKK Pak. Umumnya hanya langsung diselesaikan
saja tanpa melihat lapangan sesungguhnya. Tidak ada pengukuran. Meskipun demikian
kami dalam keadaan tersandera untuk harus bertandatangan karena kalau tidak maka
pupuk akan terlambat akibat terlambat memasukkan RDKK. Ini memang masalah klasik
dan saya yakin juga terjadi pada hamper semua wilayah Indonesia. Hal ini pula yang
membuat partisipasi masyarakat sangat minim dalam penyusunan RDKK.”
Dari sejumlah kecil petani yang hadir dalam pertemuan penyusunan RDKK, juga dihadiri
oleh perempuan. Beberapa perempuan yang hadir di antaranya adalah sekaligus menjadi
kepala rumah tangga. Jadi praktis hadir mengingat tidak ada utusannya dari keluarganya.
Mereka juga berpartisipasi dalam kelompok tani yang ada. Peran PPL lebih dominan dalam
penyusunan RDKK.
Lebih jauh, dalam wawancara dengan salah satu petani di wilayah program yang selama ini
tercatat sebagai penerima manfaat, mengatakan bahwa RDKK kelompok tani (poktan)
dibuat/diperbaharui setiap tahun. Rekapan RDKK poktan ditandatangani oleh pihak
pemerintah desa. UPT BPP membuat rekapan RDKK desa untuk tingkat kecamatan yang
selanjutnya dilaporkan ke pemerintah kecamatan setempat. RDKK Asli diserahkan ke
pengecer, salinannya disimpan di UPT BPP, dipegang oleh penyuluh, dan disampaikan ke
masing-masing poktan. Dalam penggunaan pupuk subsidi, suami istri saling mendukung,
bahkan adalakalanya istri petani juga terlibat di sawah sebagaimana disampaikan oleh
salah seorang penyuluh pertanian1.
Secara umum (41,8%), aspirasi yang berkembang terkait pupuk bersubsidi dalam setiap
pertemuan lebih banyak karena masalah tempat distribusi, sasaran, kualitas, jumlah dan
waktu kedatangan pupuk. Petani mengeluhkan tempat pengecer (lini 4) yang dianggapnya
sangat sulit untuk diakses khususnya dari sisi ekonomi. Akibatnya membutuhkan biaya
ekstra untuk pengangkutan ke lokasi pertanian. Termasuk dikeluhkan jika mengambil di
rumah ketua kelompok tani. Umumnya masih membutuhkan biaya tambahan untuk
1 Wawancara mendalam terkait kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, Februari 2017. Selanjutnya pada FGD tingkat Kabupaten yang dihadiri oleh stakeholder kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, fakta tersebut terkonfirmasi sebagai sebuah kebenaran dan diakui oleh pihak pemerintah.
transportasi. Keluhan lain berupa ketepatan sasaran. Menurut petani, banyak penerima
pupuk yang seharusnya tidak berhak sesuai persyaratan yang ada namun faktanya tetap
memperoleh dengan melakukan manipulasi data misalnya data luas lahan.
Hasil FGD tingkat kabupaten ditemukan, adanya ketidaksesuaian antara RDKK yang telah
disusun dengan kebutuhan petani. Hal yang perlu diperbaiki adalah proses distribusinya,
kenapa proses distribusi pupuk bersubsidi ini tidak mencontoh misalnya, program BBM
yang bersubsidi yang sistemnya jelas. Sehingga kesalahan atau penyelewengan bisa
diantisipasi sampai di tingkat pengecer. Ataukah misalnya mengembangkan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) untuk terlibat dalam distribusi pupuk agar lebih mudah diawasi,
misalnya dari pabrik ke distributor dan dari distributor ke BUMDes. Selain itu, terdapat dana
desa yang bisa dialokasikan untuk memperkuat pengawasan tersebut, sebagaimana
disampaikan oleh Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Hal ini untuk
mengantisipasi masalah akses ke pengecer atau lini 4 yang selama ini dikeluhkan oleh
petani. Sehingga diharapkan BUMDes masuk menjadi salah satu pengecer sekaligus bisa
menebus pembayaran lebih awal agar petani tak terjerumus dalam praktik perijonan atau
rentenir untuk meminjam modal dalam membayar harga pupuk bersubsidi. BUMDes
disamping menjadi pengecer dapat pula mengelola usaha simpan pinjam dalam skala mikro
sehingga dapat membantu petani. Baik dari sisi akses menjangkau lokasi maupun akses
ekonomi untuk menebus pupuk bersubsidi. Ini hanya sumbang saran dari peserta, karena
ada pula peserta yang masih pesimis dengan optimalnya peran BUMDes jika saja diberikan
ruang itu. Masih ada dinamika dalam hal pengelolaan BUMDes termasuk didalamnya
dengan pemerintahan desa sebagai pemilik mayoritas.
Dalam aspek pengukuran luas lahan dan unsur hara dari lahan pertanian, petani pada
umumnya menyatakan bahwa tidak pernah dilakukan pengukuran untuk menentukan
jumlah atau takaran pemakaian pupuk bersubsidi termasuk kebutuhan bagi petani. Artinya
pada tingkat perencanaan telah terjadi pemborosan atau bertentangan dengan azas
kebijakan publik yakni pentingnya memperhatikan aspek efisiensi. Petani juga tidak pernah
menanyakan kualitas lahan ke pemerintah, padahal kualitas lahan dapat berkonsekuensi
terhadap penggunaan pupuk secara berimbang dan berkelanjutan.
3.4. Alokasi Pupuk Bersubsidi
Setiap musim tanam, petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Jenis pupuk bersubsidi yang
diterima responden didominasi pupuk urea, ZA dan SP-36. Secara berurut, survey
menunjukkan bahwa responden penerima pupuk bersubsidi jenis urea 99,4% responden,
ZA 99,1% responden, NPK ada 60% responden dan SP-36 terdapat 50,6% responden.
Sementara pupuk organik hanya 1,8%.
Pupuk subsidi tidak tersedia setiap saat pada tingkat pengecer atau lini IV. Dalam artian
setiap musim tanam atau pemupukan selalu habis atau disubstitusi ke daerah lain
berdasarkan peraturan yang ada. Secara umum petani mengungkapkan (79,4%) bahwa
pupuk bersubsidi dapat dibeli pada tingkat pengecer (lini 4) namun tidak tersedia setiap
saat. Dilihat dari tempat pembelian pupuk bersubsidi, 52,9% responden menyatakan bahwa
mereka memperoleh pada tingkat pengecer, 40% memperoleh di rumah ketua kelompok
tani. Konsekuensi dari tempat pembelian adalah terjadinya perubahan harga. Dalam
aturan, harga eceran tertinggi (HET) berlaku pada tingkat pengecer (lini 4). Artinya di luar lini
4 harga berpotensi di atas HET. Dari sisi pembayaran juga berbeda. Pada tingkat pengecer
harus dibayar tunai sementara pada tingkat ketua kelompok tergantung kesepakatan
bersama antara kelompok dan petani. Namun secara umum harganya melampaui HET
dengan pertimbangan secara umum pembayarannya beberapa waktu kemudian bahkan tak
jarang setelah panen. Belum lagi biaya perpindahan pupuk dari pengecer ke rumah ketua
kelompok tani.
Tabel 1. Disparitas harga pupuk bersubsidi
JENIS PUPUK HARGA BELI
RESPONDEN (Kg)
PERSENTASE
RESPONDEN
HET (Permentan 60/2015)
UREA Rp 1.900 - Rp 2.500 65.3 % Rp. 1.800,-
SP-36 Rp 2.600 - Rp 3.000 33.5 % Rp. 2.000,-
ZA Rp 1.500 - Rp 2.000 64.7 % Rp. 1.400,-
NPK Rp 2.300 - Rp 3.000 41.2 % Rp. 2.300,-
Organik Rp 500 - Rp 1.000 3.5 % Rp. 500,-
Diolah dari survey audit sosial kebijakan pupuk bersubsidi di kabupaten Maros, 2017
Berdasarkan tabel 1, secara umum menunjukkan bahwa petani membeli pupuk bersubsidi
di atas harga yang ditentukan (HET). Hal ini terjadi disebabkan mereka memiliki daya beli
yang rendah saat membutuhkan pupuk. Akibatnya mereka membeli dengan cara ijon atau
utang yang umumnya dibayar setelah penjualan panen padinya. Sebagian pula dengan
sistem barter dengan beras setelah masa panen. Sehingga terjadi disparitas harga diantara
petani.
Terkait perbedaan harga sesuai tabel 1, beberapa petani (7%) mengungkapkan bahwa
sesungguhnya tidak setuju karena di atas harga HET namun tidak memiliki pilihan lain
namun ada pula yang setuju (13,5%). Dengan gambaran tersebut, menunjukkan bahwa ada
kemungkinan subsidi pupuk tidak dinikmati pada tingkat petani karena kendala
kemampuan daya beli untuk menebus dengan tunai pembelian pupuk pada tingkat
pengecer2. Belum lagi harga gabah pasca panen yang tak menentu dan bahkan lebih
cenderung mengalami penurunan harga. Mayoritas dalam satu keluarga petani hanya
memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp. 1.ooo.ooo,- - 2.000.000,- dengan produktivitas
rata-rata 6 ton atau lebih per hektar dalam sekali musim tanam. Produktivitas rata-rata padi
sawah ditingkat desa wilayah program masih di bawah tingkat produktivitas padi sawah
secara umum di kabupaten Maros (7 ton lebih/hektar 3 ). Nilai ini sesungguhnya tidak
sebanding dengan tenaga, materi dan waktu yang telah digunakan oleh petani termasuk
dengan nilai ekonomi yang berkembang.
Dalam hal penggunaan pupuk pada tanaman, petani belum mempertimbangkan
penggunaan secara berimbang bahkan 37,1% responden tidak mengetahui penggunaan
2 Untuk lebih jelasnya, perhitungan manfaat subsidi pada tingkat petani dapat dihitung seandainya ada data jumlah pupuk (kg atau karung) dalam setiap masa tanam dengan alokasi belanja subsidi pupuk yang dialokasikan oleh pemerintah. Sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan bahwa model subsidi melalui produsen pupuk tidak efisien pada tingkat petani. 3 Data BPS Kabupaten Maros, 2015
pupuk secara berimbang. Hal ini menunjukkan kebijakan subsidi pupuk lebih
menitikberatkan distribusi tanpa disertai edukasi penggunaan yang tepat dan pertimbangan
unsur hara pada tanah. Di lain sisi tingkat ketergantungan petani terhadap penggunaan
pupuk bersubsidi sangat tinggi sehingga pengembangan alternatif yang diproduksi oleh
petani sendiri sudah tidak berkembang lagi. Tercatat, sekitar 92,9% petani tidak pernah lagi
membuat pupuk sendiri. Secara kasat mata dukungan pengembangan pupuk organik atau
kompos cukup tersedia di desa seperti kotoran ternak. Aspek pemberdayaan petani
sehingga bisa melakukan inovasi atas segala sumber daya yang tersedia belum nampak
baik dalam skala individu maupun kolektif.
3.4.1. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Dalam menjalankan usahanya, distributor membuat laporan realisasi penyaluran pupuk
subsidi secara bulanan ke produsen yang ditembuskan ke pemerintah (Dinas Pertanian,
Dinas Perdagangan, dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) untuk masing-
masing di tingkat provinsi dan kabupaten) yang memuat rekap persediaan awal,
penebusan, penyaluran, dan persediaan akhir yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh
petugas dari KCD/UPT BPP.
Masalah utama yang dihadapi petani dalam hal distribusi pupuk adalah masih terjadinya
kelangkaan pada beberapa titik saat masa pemupukan akan dilakukan. Terjadinya
kelangkaan yang pernah terjadi secara umum di kabupaten Maros akhir tahun 2016, pihak
distributor menyampaikan akibat perubahan musim tanam dimana petani menanam lebih
awal, dan disaat yang bersamaan jadwal distribusi pupuk tidak mengalami perubahan
seperti tahun-tahun sebelumnya. Kelangkaan pupuk yang sering terjadi disebabkan di
lapangan disebabkan karena tidak serentaknya waktu tanam petani, seperti sistem tanam
benih langsung (tabela) lebih lambat dan hambur kiri kanan (hakika) daripada sistem
menanam langsung. Pada umunya bagi petani yang menggunakan sistem hakika tidak
dianjurkan oleh penyuluh karena menggunakan pupuk lebih banyak, begitu juga pada
penggunaan pupuk subsidi bukan pada tempatnya seperti memberi pupuk kepada
rumput/pakan ternak dan sebagian yang lain digunakan untuk tanaman di kebun, sehingga
timbullah persoalan kelangkaan pupuk di tingkat petani. Pada beberpa kasus, terjadi
penimbunan pupuk bersubsidi di tingkat pengecer dan diserahkan ke distributor, pupuk ini
nantinya akan dijual ke luar ke daerah industri seperti perkebunan yang harga sebelumnya
adalah harga subsidi menjadi harga non subsidi. Margin keuntungan lebih besar. Oleh
karena itu, petani pun yang semestinya mendapatkan pupuk berbsubsidi kekurangan dan
mencari ke daaerah lain bila waktu pemupukan telah tiba sedangkan stok pupuk tidak
tersedia.
Idealnya sebuah kebijakan dilakukan proses monitoring dan evaluasi sebagai rangkaian
proses manajemen untuk mencapai tujuan dari kebijakan sekaligus memastikan bahwa
implementasi berjalan sesuai road map yang telah disusun. Dalam kerangka tersebut,
pemerintah membentuk KPPP. Namun dalam praktiknya KPPP belum berjalan sesuai yang
diharapkan. Kehadirannya masih sekedar memenuhi regulasi yang ada. Peran legislator
sebagai pengawas kebijakan dan program pembangunan juga tidak berfungsi dalam hal
monitoring dan evaluasi. Kelembagaan yang ada umumnya menunggu laporan dari
masyarakat. Jika tidak ada laporan ataupun protes yang berkembang di publik atau secara
resmi disampaikan kepada lembaga terkait maka dianggap implementasinya berjalan
secara normal sebagaimana petunjuk yang ada. Akhirnya petani dalam menghadapi
persoalan yang ada, mereka berjalan sendiri dengan pengetahuan yang sangat minim pula.
Beberapa petani berharap pihak KPPP lebih efektif menjalankan fungsinya untuk selalu
terjun langsung ke lapangan. Tidak reaktif dan menunggu situasi yang berkembang. Pihak
petani berharap pula pengembangan kelembagaan KPPP sampai pada level kecamatan
atau bahkan desa sehingga mudah diakses. Sebab selama ini hanya ada di tingkat
kabupaten yang untuk menjangkaunya masih sangat sulit. Belum lagi efektifitas
kelembagaan KPPP seperti kantor khusus dan staf yang khusus pula. Belum memenuhi
standar selayaknya organisasi yang berfungsi untuk lakukan monitoring dan pengawasan.
Sedangkan Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan selama ini hanya menerima secara
formal laporan dari pengecer atau distributor tanpa ada monitoring ke lapangan untuk
memverifikasi kebenaran dari laporan yang ada.
Adapun pihak KPPP menganggap tidak efektifnya peran mereka disebabkan lemahnya
dukungan untuk dapat menjalankan tugasnya. Dukungan operasional berupa anggaran
masih sangat minim. Dana operasional hanya bersumber dari APBD untuk KPPP tingkat
Kabupaten. Sangat tergantung dengan komitmen pemerintah daerah dan kondisi finansial
daerah untuk memberi dukungan belanja operasional. Alih-alih untuk memperpanjang
institusi sampai ke level desa atau kecamatan dalam melakukan pemantauan, dalam
posisinya sekarang pada tingkat kabupaten saja masih riskan untuk dapat berperan secara
efektif. Sayangnya, dalam proses pengumpulan data, susunan kelompok kerja KPPP belum
terbentuk secara formal untuk tahun 2017 sehingga proses penggalian informasi dari pihak
KPPP masih sangat terbatas4.
3.4.2. Pelaksanaan
Kelompok tani (Poktan) / petani membeli/mengambil pupuk bersubsidi sesuai dengan
kebutuhan sebagaimana tertuang dalam RDKK poktan/petani. Setiap bulan, pengecer
membuat laporan kepada distributor dengan tembusan kepada pemerintah kabupaten
(Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan). Pengurus kelompok tani (poktan)
memediasi/memfasilitasi pengadaan pupuk subsidi bagi anggotanya. Pengurus mengambil
barang di pengecer, selanjutnya disalurkan ke anggota, disampaikan oleh petani sebagai
penerima manfaat. Jadi dalam hal pengambilan pupuk bersubsidi ada dua macam, boleh
petani yang langsung mengambil pada tingkat pengecer dan kedua melalui kelompok tani
yang selanjutnya pupuk tersebut diambil rumah ketua kelompok tani.
Andi Rijal5, salah seorang peserta FGD pada tingkat kabupaten mewakili Komisi III DPRD
Kabupaten Maros menyebutkan bahwa dalam hal penyaluran, proses tata
niaga/penyaluran pupuk bersubsidi yang kurang maksimal dari lini I - lini IV membuat
sebagian petani menjadi korban. Menurutnya, banyak hal yang perlu dibenahi dalam
4 Susunan KPPP Kabupaten Maros telah ditetapkan. Berjumlah 19 orang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Maros, Bupati sebagai penasehat. KPPP mewakili unsur Pemerintah Daerah, Polres, Kejaksaan Negeri, KODIM. Tidak ada keterwakilan masyarakat seperti yang sebelumnya disampaikan saat FGD Pupuk Bersubsidi tanggal 19 April 2017 di Maros 5 Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Maros dari Fraksi Partai Amanat Rakyat. Ketua PAN Kabupaten Maros dijabat oleh Bapak M. Hatta Rahman yang juga adalah bupati Kabupaten Maros sejak 2010 sampai sekarang. Secara politik, Fraksi PAN cukup dominan dan kuat di kabupaten Maros. Ketua DPRD juga berasal dari Fraksi PAN. Jadi saran atau rekomendasi yang disampaikan oleh Andi Rijal berenergi kuat untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Maros khususnya instansi terkait, termasuk dukungan dalam alokasi anggaran dengan tetap memperhatikan aspek peencanaan dan kemampuan finansial daerah.
penyaluran pupuk bersubsidi, diantaranya, 1) tata niaga pupuk bersubsidi yang berdampak
pada harga diatas HET; 2) barang tersedia tetapi belum ditebus oleh petani/poktan, 3)
kasus akhir tahun 2016, petani menanam lebih awal sementara stock sudah habis, 4)
anggaran KPPP kurang optimal.
Pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi secara umum telah berjalan mulai level produsen
hingga penerima manfaat/petani. Kelancaran proses distribusi mempengaruhi hingga
waktu pemakaian pupuk pada level petani. Kunci pertama efektifitas kebijakan pupuk
bersubsidi yang menunjang produktivitas agar dapat digunakan tepat pada waktunya
adalah pada level tersebut. Selanjutnya di antara pengecer dan petani. Keterhubungan
antara pengecer dan petani terkait daya beli oleh petani. Makin minim kemampuan daya
beli petani maka sulit mengakses kebijakan tersebut. Rendahnya kemampuan daya beli
petani juga berbanding lurus dengan semakin membengkaknya pengeluaran untuk dapat
menebus pupuk bersubsidi. Sebuah ironi. Petani yang lemah secara ekonomi justeru
semakin terjerembab dalam sistem distribusi pupuk yang ada. Tidak ada pilihan lain selain
berhadapan dan berkompromi dengan utang, ijon ataupun sistem barter setelah proses
panen berlangsung. Belum lagi jika panen mengalami kegagalan atau harga gabah terjadi
penurunan.
3.4.3. Pengawasan Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Pengawasan yang dilakukan terkait pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi belum satu
padu dalam semua stakeholder yang terlibat. Selama ini yang melakukan pengawasan
secara resmi hanya pihak KPPP yang merupakan perwakilan unsur Pemerintah Daerah yang
selama ini dari Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan, Perwakilan Kepolisian/Polisi
Resort, Perwakilan Kejaksaan Negeri dan TNI. Keberagaman unsur tersebut seharusnya
cukup efektif namun pada faktanya kurang maksimal. Mekanisme kerja yang terbangun
masih bersifat reaktif menunggu laporan atau adanya kekisruhan pada level petani atau
publik. Secara manajemen, yang melibatkan sumber daya beragam dan tenggang waktu
pekerjaan seharusnya sistem kelembagaan dan tugas pokok serta fungsinya lebih terarah.
Termasuk dukungan perangkat kelembagaan seperti sekretariat, dukungan staf teknis
maupun keuangan untuk operasional serta sistem pelaporan dan pengaduan oleh
masyarakat. Sayangnya perangkat tersebut kurang terpenuhi.
Dengan mekanisme dan perangkat yang seadanya, menunjukkan bahwa pengawasan yang
dikembangkan melalui KPPP masih terkesan memenuhi regulasi yang ada saja. Lemahnya
daya dukung KPPP, juga dikemukakan oleh Andi Rijal dari DPRD Kabupaten Maros karena
dukungan anggaran yang relatif kecil. Sementara pengawasan yang dilakukan oleh DPRD
biasanya saat melakukan reses. Sayangnya, pihak DPRD dalam kunjungan resesnya
kepada masyarakat umumnya masyarakat tidak menyampaikan masalah terkait kebijakan
pupuk bersubsidi. Pihak DPRD mengetahui bahwa ada persoalan dalam hal kebijakan
pupuk bersubsidi seperti kelangkaan hanya ketika petani atau kelompok tani
menyampaikan aspirasinya kepada legislator di kantor DPRD seperti yang pernah terjadi
pada akhir 2016.
Lebih jauh, Andi Rijal mengemukakan bahwa ke depan beberapa hal yang perlu dilakukan
adalah 1) pupuk bersubsidi (termasuk bibit) agar lebih cepat tersedia di lapangan, tersedia
sebelum musim tanam/masa pemakaian, 2) proses penyaluran pupuk bersubsidi berjalan
lancar 3) kantor pusat memberlakukan sanksi bagi distributor yang melanggar, 4)
pemerintah pusat menurunkan tim pengawas/pemantau untuk melihat langsung
bagaimana proses penyaluran pupuk subsidi sampai di tingkat pengecer dan
petani/poktan. Distribusi pupuk bersubsidi dalam hal pengawasan hanya di intens lakukan
oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten sedangkan pemerintah tingkat propinsi dan
pusat tidak pernah melihat langsung di lapangan proses distribusi tersebut sehingga untuk
mengatasi permasalahan yang ada mestinya ada kerja sama yang kuat dan konsisten
disetiap level pemerintah. Hal sama disampaikan oleh petani, bahwa dalam proses
distribusi pupuk bersubsidi kami belum pernah menyaksikan kehadiran seorang pengawas.
Padahal kami mendapati banyak problem yang terkadang bingung akan diungkap kepada
siapa. “Kami sebenarnya berharap kehadiran KPPP sampai pada level desa atau
kecamatan sehingga mudak diakses. Sebab kalau hanya di ibu kota Kabupaten sangat sulit
diakses dan kami juga tidak tahu alamatnya dimana termasuk keluhan dalam hal kualitas
pupuk”, pungkas Mustari, salah seorang petani dari Desa Jenetaesa.
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pupuk bersubsidi mulai menjadi wacana di awal
2017. Untuk itu, sesuai informasi yang berkembang saat FGD di Kabupaten Maros (19 April
2017) Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan sedang
memikirkan untuk melibatkan NGO/Pers sebagai salah satu kelompok kerja dari KPPP
Kabupaten Maros sebagai bentuk penguatan fungsi kelembagaan. Meskipun demikian,
memasukkan pihak NGO/Pers belum serta merta akan memperkuat KPPP6. Di samping
ketepatan sumber daya manusia yang terpilih agar tidak terkesan menjadi legitimasi
simbolik masyarakat juga dukungan mekanisme kerja atau standar operasional procedure
(SOP), responsibilitas dan dukungan operasional serta partisipasi masyarakat untuk
melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi. Saat
FGD ini dilakukan, Pihak Dinas Pertanian berjanji akan menggodok SOP KPPP setelah
melakukan koordinasi dengan semua stakeholder terutama pihak distributor, pengecer,
Dinas Perdagangan dan Pendapatan Daerah, kepolisian, NGO dan kelompok tani7.
3.5. Hasil Langsung
Data survey menunjukkan bahwa 81.8% responden masih tergantung hanya pada pupuk
bersubsidi dan 92.9% tidak pernah membuat pupuk sendiri sehingga Pupuk kimia menjadi
kebutuhan pokok petani saat ini, bahkan petani petani beranggapan bila padi yang tidak di
pupuk dengan pupuk kimia itu maka bisa jadi akan mengalami gagal panen atau tingkat
produktifitas menjadi menurun. Selanjutnya 48.8% responden mengungkapkan bahwa
keberadaan pupuk bersubsidi dirasa cukup mengurangi biaya pertanian dan juga dapat
meningkatkan produksi,
Secara umum, penggunaan pupuk bersubsidi mampu meningkatkan produktifitas komoditi
antara 3-19%. Tingkat produktifitas tertinggi pada lahan yang cukup subur yang sebelumnya
memang cukup produktif sehingga begitu ada intervensi penggunaan pupuk bersubsidi
6 Setelah terbit SK Susunan KPPP 2017, ternyata belum ada unsur masyarakat yang dilibatkan, penyampaian Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan saat FGD sewaktu masih berproses pengajuan anggota KPPP Kabupaten Maros. Saat laporan ini ditulis, penulis belum mendapatkan informasi memadai atas tidak adanya perwakilan masyarakat dalam struktur KPPP sebagaimana yang diinginkan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 7 Disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam forum FGD Kebijakan Pupuk Bersubsidi di kabupaten Maros pada 19 April 2017 yang dilaksanakan oleh Perkumpulan KATALIS bekerja sama KRKP dalam rangkaian dari program audit sosial
hasilnya semakin bagus. Sebaliknya pada lahan yang memang kurang baik pertumbuhan
produktifitasnya tidak terlalu besar. Sebaliknya pada lahan yang selama ini tingkat
produktifitasnya tinggi, melalui penggunaan pupuk bersubsidi perbedaan produktifitasnya
kurang signifikan dibandingkan sebelum adanya pupuk bersubsidi bahkan hanya naik
sekitar 0,6%. Gambaran ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak semua lahan harus
diintervensi melalui penggunaan pupuk bersubsidi dan tidak semua lahan yang diintervensi
pupuk bersubsidi dengan takaran yang sama. Prinsipnya setiap lahan membutuhkan
intervensi yang berbeda meskipun pada komoditas yang sama seperti padi. Situasi ini juga
menggambarkan bahwa dibutuhkan edukasi penggunaan pupuk yang bersubsidi kepada
masyarakat secara bijak agar tingkat produktifitas yang diharapkan dapat terjadi sekaligus
mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem dan lingkungan hidup secara luas.
Penggunaan pupuk pada lahan yang tak semestinya menimbulkan pemborosan anggaran
negara akibat bertambahnya pemakaian pupuk bersubsidi yang sesungguhnya tidak perlu.
3.6. Dampak Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Pupuk bersubsidi telah menjadi pilihan utama bagi sebagian besar petani untuk kesuburan
tanaman dan produktifitas yang dihasilkan. Implikasinya, petani tidak memproduksi lagi
pupuk organik atau kompos yang banyak diterapkan sebelum kehadiran pupuk bersubsidi.
Kondisi ini juga menyebabkan petani makin tergantung atas keberadaan pupuk bersubsidi.
Persepsi petani terhadap keberadaan pupuk bersubsidi menyatakan puas yang ditunjukkan
dengan tingkat produktifitas yang dihasilkan (63%). Tetapi terdapat pula sekelompok petani
yang meragukan keberadaan pupuk bersubsidi untuk meningkatkan produktifitas
pertanian. Angkanya juga cukup signifikan, sebesar 10%. Sementara perempuan
menganggap kehadiran pupuk bersubsidi mampu mengurangi beban kerjanya selama ini.
Kemungkinan mereka adalah perempuan petani atau isteri petani yang terlibat dalam hal
proses pembuatan atau pengelolaan pupuk kompos sebelum adanya pupuk bersubsidi.
Sementara 58,2% perempuan mengatakan ada atau tidaknya pupuk bersubsidi tidak
berpengaruh terhadap beban kerjanya. Melihat komposisi demografi dari responden maka
perempuan tersebut umumnya tidak punya pengalaman bertani saat belum ada kebijakan
pupuk bersubsidi. Akibatnya persepsi mereka kurang dapat diandalkan dalam mengambil
perbandingan antara sebelum adanya pupuk bersubsidi dan setelah adanya pupuk
bersubsidi.
Dari aspek kesejahteraan, kehadiran pupuk bersubsidi belum menunjukkan dampak
terjadinya peningkatan kesejahteraan meskipun sesunggunya pupuk bersubsidi telah
mengurangi beban pengeluaran petani. Hal ini disebabkan peningkatan produktifitas belum
berbanding lurus dalam pemenuhan biaya operasional pertanian secara umum maupun
harga hasil pertanian. Termasuk luas lahan yang dimiliki atau diolah oleh petani. Hal ini
dapat dilihat dengan pendapatan yang umumnya diperoleh oleh petani dalam satu keluarga
dalam satu musim hanya berkisar antara Rp. 1.000.000 – 2.000.000.,Hal sama juga
ditunjukkan dengan makin rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Seolah
menjadi petani sama halnya memilih masa depan yang suram, sebagaimana diungkapkan
oleh Ketua KTNA Kecamatan Simbang.
Meningkatnya ketergantungan penggunaan pupuk bersubsidi dalam bercocok tanam dapat
beresiko terhadap masa depan ekosistem yang ada. Saat ini masalah yang telah ditemui di
antaranya kesulitan dalam mengendalikan hama yang kemungkinan disebabkan oleh
rusaknya rantai makanan dalam ekosistem. Akibatnya, petani mengurangi/menambah
takaran jenis pupuk tertentu sebagaimana diungkapkan oleh Camat Simbang dan Kepala
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan kabupaten Maros. Padahal penggunaan pupuk
bukan satu-satunya penyebab hasil panen melimpah namun masih dibutuhkan keuletan
dan kegigihan dari masing-masing petani dalam mengelola lahan serta merawat
tanamannya.
Umumnya petani dan stakeholder telah menyadari bahwa penggunaan pupuk bersubsidi
secara berkepanjangan dapat mengganggu kesuburan lahan untuk jangka panjang namun
petani tetap menggunakannya untuk meningkatkan hasil panennya. Penggunaan pupuk
organik dianggap berat, meskipun pengaruhnya dianggap sangat baik dalam pertumbuhan
tanaman dan keberlanjutan ekosistem.
4.7. Mekanisme Komplain
Sebagian besar petani memiliki keluhan atas pupuk bersubsidi terutama pada masalah
ketidaktepatan waktunya. Namun separuh dari yang memiliki keluhan tersebut tidak pernah
melakukan pengaduan. Hampir seluruh responden tidak mengetahui tempat pengaduan
yang disiapkan oleh Pemerintah, seandainya petani pendapatkan masalah terkait pupuk
bersubsidi. Akibatnya, petani hanya mengeluhkan kepada Ketua Kelompok tani, PPL, Dinas
terkait dan DPRD Kabupaten. Meskipun mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan masalah
yang dikemukakan petani karena ketiadaan kewenangan maupun pengetahuan terkait
tempat pengaduan atas kebijakan pupuk bersubsidi. Hal ini Nampak dengan pengakuan
masyarakat bahwa di antara sejumlah yang menyampaikan masalah ke Kelompok Tani,
PPL, Dinas terkait dan DPRD lebih dari separuh (75,9%) diantaranya tidak atau kurang
menadapatkan respon yang memadai.
“Secara umum petani berharap adanya mekanisme complain yang dapat diakses hingga
desa. Selama ini petani berjalan sendiri, tanpa ada ruang yang terbuka untuk
menyampaikan keluhan, padahal ada banyak keluhan yang bersumber dari masyarakat”
papar Mustari, seorang petani yang sekaligus menjadi ketua KTNA Kecamatan Simbang,
Kabupaten Maros. Lebih lanjut dikatakan bahwa “KPPP akan bermanfaat ketika ada
usulan dari kelembagaan desa atau kecamatan yang memasukkan komplain ke KPPP tapi
ketika KPPP tidak mendapatkan informasi / pengaduan maka mereka menganggap tidak
ada masalah dan ini yang terjadi sewaktu kita sosialisasi ke anggota DPRD selaku anggota
KPPP dimana sempat mengatakan bahwa tidak ada laporan yang masuk. Masyarakat
menginginkan kejelasan dimana mau komplain karena saya lihat masyarakat bingung,
mereka hanya mencari kenalannya masing-masing, kalau ada kenalannya di DPRD maka
dia ke DPRD, kalau ada kenalan di kecamatanmaka dia ke kecamatan.”
Hal senada disampaikan oleh Rijal dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa
dan Kelurahan bahwa seharusnya masyarakat dapat terkoneksi dengan penyelenggara
kebijakan pupuk bersubsidi sehingga jika ada masalah dapat terselesaikan. Sementara
Imran dari perwakilan NGO Kabupaten Maros sekaligus seorang akademisi
mengungkapkan bahwa seharusnya KPPP dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait
tidak hanya menunggu bola dalam artian menunggu laporan keluhan dari masyarakat
namun aktif mengunjungi petani untuk mengetahui implementasi kebijakan pupuk
bersubsidi yang terjadi di daerah. Apalagi tidak ada sistem complain yang dibangun pada
tingkat daerah termasuk bagaimana terkoneksi dengan pihak distributor dan penyalur.
Petani harusnya mendapatkan penjelasan yang memadai dan terverifikasi kebenarannya, di
samping penyelesaian masalah tentu saja.
Dalam catatan media, yang pernah melakukan aksi terkait kelangkaan pupuk bersubsidi di
DPRD dan Dinas Pertanian Kabupaten Maros adalah petani dari Kecamatan Bontoa. Lalu
Dinas Pertanian melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan,
kemudian mendapatkan penjelasan bahwa kelangkaan yang terajdi di kabupaten Maros
karena stok atau kebutuhan pupuk bersubsidi untuk quota kabupaten Maros sudah habis.
Mengingat belum adanya mekanisme komplain yang diterapkan terkait kebijakan pupuk
bersubsidi, petani secara umum menghendaki mekanisme komplan dapat berupa
pertemuan rutin yang dilakukan oleh instansi terkait dan sistem SMS atau telepon
pengaduan yang responsif. Kehadiran sistem komplain yang mudah diakses oleh petani dan
pemerintah desa serta terkoneksi dengan instansi terkait yang transparan dan akuntabel
terkait kebijakan pupuk bersubsidi bukan hanya diinginkan oleh petani namun juga menjadi
saran dari Pemerintah Desa, unsur NGO, DPRD bahkan hampir semua stakeholder.
Setidaknya bisa mengakhiri sengkarut pikiran petani, kelompok petani, pemerintah desa
serta instansi terkait yang selama ini bingung dalam mencarikan solusi yang timbul dari
pelaksanaan kebijakan tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN & REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Kebijakan pupuk bersubsidi bertujuan meringankan beban petani agar saat memerlukan
pupuk untuk tanamannya tetap tersedia dengan harga yang terjangkau. Berdasarkan
temuan dari audit sosial, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1. Meskipun petani telah lama menikmati kebijakan pupuk bersubsidi, namun
pemahaman utuh atas kebijakan pupuk bersubsidi masih sangat rendah. Sangat
minim sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah atau penyelenggara kebijakan.
2. Penggunaan pupuk bersubsidi untuk tanaman merupakan keputusan yang diambil
oleh sebagian besar petani. Namun dalam praktiknya, petani masih minim edukasi
terkait penggunaan pupuk secara seimbang agar hasilnya dapat maksimal. Akibatnya,
perlakuan terhadap semua tanaman dan jenis lahan masih sama dalam memberikan
takaran pupuk.
3. Perencanaan pupuk bersubsidi dalam menentukan RDKK masih sekedar formalitas.
Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara data dalam RDKK dengan kondisi di
lapangan yang sesungguhnya. Partisipasi petani dalam penyusunan RDKK juga masih
rendah. Konsekuensi dari kekurangakuratan data RDKK menyebabkan
ketidakefisienan jumlah pupuk yang disubsidi termasuk kemungkinan terjadnya
ketidaktepatan sasaran penerima manfaat melalui manipulasi data.
4. Fungsi manajemen seperti monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan efektif.
Kehadiran KPPP untuk pengawasan masih bersifat sekedar memenuhi persyaratan
regulasi. Sementara peran pemerintah propinsi dan pemeritah pusat dalam
melakukan monitoring dan evaluasi juga tidak terlihat. Akibatnya meskipun kebijakan
ini telah berlangsung lama namun setiap saat masih terkendala pada masalah yang
sama seperti kelangkaan pupuk saat dibutuhkan oleh petani. Ketidakefektifan
pengawasan membuat masalah yang timbul seperti kelangkaan, ketidaktepatan waktu
sulit dibenahi dan diurai permasalahannya.
5. Secara umum, penggunaan pupuk bersubsidi mampu meningkatkan produktifitas.
Sayangnya akibat minimnya edukasi penggunaan pupuk bersubsidi yang seimbang
termasuk pengetahuan unsur hara pada lahan masing-masing menunjukkan bahwa
tingkat produktifitas belum merata dengan baik. Umumnya yang terjadi peningkatan
produktiftas masih pada lahan yang cukup subur sementara pada lahan kritis atau
kurang subur maupun tingkat kesuburan tinggi pengaruh pupuk kurang signifikan
untuk meningkatkan produktifitas dibandingkan sebelum penggunaan pupuk
bersubsidi.
6. Tingkat ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi sangat tinggi. Akibatnya
kemandirian petani dalam memproduksi pupuk organik tidak bisa berkembang.
Penggunaan pupuk secara berkepanjangan, di samping dapat meningkatkan
produktifitas juga berpotensi merusak siklus ekosistem seperti sulitnya pengendalian
hama tanaman. Peningkatan produktifitas juga belum memberikan dampak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat sebab di saat yang bersamaan harga gabah
tidak bersahabat/umumnya mengalami penurunan untuk menutupi biaya operasional
yang dikeluarkan oleh petani.
7. Masalah yang dihadapi masyarakat terkait pupuk bersubsidi di lapangan tidak
mendapatkan ruang penyelesaian maupun tempat pengaduan bagi petani maupun
pemerintahan pada tingkat desa. Akibatnya petani “terpaksa” menyelesaikan
masalahnya dengan cara sendiri meskipun tak pernah ada final atau penjelasan utuh
dari sejumlah masalah yang dihadapi seperti kelangkaan pupuk saat dibutuhkan.
4.2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi dalam audit sosial kebijakan pupuk bersubsidi ini ialah;
1. Penyelenggara kebijakan pupuk bersubsidi penting melakukan sosialisasi baik kepada
penerima manfaat maupun stakeholder terkait.
2. Dibutuhkan pelatihan penggunaan pupuk yang berimbang bagi petani disertai
pendampingan yang terukur, baik dari sisi keterampilan petani maupun
perkembangan tanaman secara berbeda antara yang lahan yang sangat subur, lahan
subur dan lahan tidak subur untuk membuka pikiran bagi petani.
3. Perubahan mendasar dalam pengukuran luas lahan untuk pengisian data RDKK agar
lebih mendekati situasi lapangan yang ada. Kesesuaian data antara RDKK dengan
lapangan dapat mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan.
4. Pembenahan kelembagaan yang berfungsi untuk melakukan monitoring dan evaluasi
kebijakan, pengawasan disertai dukungan standar operasional dan dukungan
anggaran yang transparan dan akuntabel
5. Perlu memikirkan dan mengembangkan pemberdayaan kepada petani terutama untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pupuk bersubsidi untuk tetap mempertahankan
atau meningkatkan produktifitas melalui penggunaan pupuk organik yang diproduksi
sendiri baik secara individual maupun kolektif. Termasuk didalamnya mengalihkan
subsidi dari budidaya ke pasca panen melalui keseimbangan harga yang
menguntungkan bagi petani untuk kesejahteraannya.
6. Penting ada sistem pengaduan/komplain yang mudah diakses oleh petani seperti
SMS/penggunaan telepon senter (call centre) yang responsive terhadap semua aduan
petani/stakeholder
LAMPIRAN & BIBLIOGRAFI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Latar Belakang
Peningkatan produksi pangan menjadi prioritas program Nawacita Presiden Jokowi agar
kedaulatan pangan tercapai di Indonesia. Setidaknya, ada 14 program pendukungnya,
salah satunya adalah memberikan subsudi harga pupuk ke petani. Pemerintahpun
memberikan anggaran yang cukup besar bila dibandingkan dengan anggaran subsidi pupuk
non energi lainya dalam APBN 2017, yakni sebesar Rp 31 trilyun. Skema pemberian subsidi
harga ini meneruskan kebijakan program pemerintahan sebelumnya, sehingga selama 14
tahun terakhir, total anggaran yang sudah dikeluarkan untuk subsidi pupuk sebesar Rp 210
trilyun. Tujuannya untuk meringankan beban petani membeli harga pupuk sehingga pada
akhirnya produksi bisa ditingkatkan.
Namun sayangnya, banyak persoalan yang ditemukan dalam implementasi pupuk
bersubsidi ini. Menurut hasil penelitian Pattiro tahun 2009 – 2011 dan Litbang KPK 2017,
persoalannya berada pada aspek pendataan, penganggaran, penyaluran, dan pengawasan.
Misalnya pada aspek pendataan, ditemukan Data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) yang tidak valid, aspek penganggaran ditemukan ada biaya-biaya yang tidak
termasuk komponen produksi dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi
dasar perhitungan nilai subsidi pupuk. Begitupun pada aspek penyaluran, dimana penjualan
pupuk dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), penjualan pupuk kepada petani
yang tidak terdaftar dalam RDKK serta pada aspek pengawasan, Komisi Pengawasn Pupuk
dan Pestisida (KPPP) di tingkat provinsi dan kabupaten tidak menjalankan fungsi
pengawasan secara optimal.
Terkait dengan hal tersebut diatas, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) melihat
bahwa investasi pemerintah dengan tujuan program yang begitu baik dan anggaran yang
cukup besar ini tidak berjalan efektif dan efisien dalam implementasinya. Oleh karenanya
diperlukan koreksi dan perbaikan secara terus menerus sehingga tujuan akhir program dan
kebijakan terkait pemenuhan hak atas pangan dapat tercapai. Proses koreksi dan evaluasi
kebijakan dan program hendaknya dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak
termasuk masyarakat/petani sebagai penerima manfaat. Pelibatan masyarakat/petani
dalam proses evaluasi merupakan bentuk pelibatan petani (partisipasi) dalam
pembangunan. Dengan adanya pelibatan ini maka diharapkan evaluasi dan koreksi menjadi
lebih bermakna yang pada akhirnya dapat meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas
program dan kebijakan. Partisipasi penerima manfaat dalam melakukan evaluasi dan
koreksi ini khususnya pada dampak sosial kebijakan dan program pemenuhan hak atas
pangan kemudian dimaknai sebagai audit sosial.
Audit sosial digunakan sebagai metode melihat program pupuk subsidi karena merupakan
proses sistematik kritis untuk memeriksa bukti-bukti klain terhadap tujuan dan penerima
manfaat, relevansi sosial dan efek-efek yang ditimbulkan oleh intervensi institusi yang
hasilnya dikomunikasikan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Audit sosial lebih
menekankan dampak perubahan sosial pada kelompok sasaran yang dilakukan secara
bersama-sama.
1.4 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya audit sosial pupuk bersubsidi ini adalah
5. Mengukur manfaat sosial yang diperoleh sebagai hasil dari pelaksanaan program
pupuk bersubsidi
6. Menyuarakan dan memperkuat suara petani dalam perencanaan, implementasi dan
pengawasan pupuk bersubsidi
7. Mendorong dialog dan sinergi kerjasama antar pemangku kepentingan pupuk
bersubsidi secara berkelanjutan
8. Memberikan masukan kritis yang didasarkan pada kenyataan yang ada untuk
mendorong terjadinya perbaikan tatakelola program pemerintah.
1.3 Manfaat
Manfaat audit sosial pupuk bersubsidi bagi petani sebagai penerima manfaat dan
pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana kebijakan yaitu:
4. Petani mempunyai ruang menyuarakan pendapatnya akan program pupuk
bersubsidi.
5. Pemerintah kabupaten mengetahui persoalan perencanaan, penerimaan,
penggunaan dan hasil pupuk bersubsidi yang diterima petani
6. Terbukanya ruang dialog dan klarifikasi bagi berbagai pihak tentang program pupuk
bersubsidi di tingkat kabupaten
1.4 Metodologi Audit Sosial
Metodologi audit sosial berupa pengumpulan data baik pada sumber primer maupun
sekunder. Pengumpulan data primer berupa:
6. Obersevasi lapangan, pengamatan kualitas lahan dan uji laboratorium kualitas
pupuk bersubsidi yang dilaksanakan oleh pelaksana audit di setiap kabupaten. Uji
laborataorium sampel kualitas pupuk bersubsidi dari etiap kabupaten dilakukan di
International Conservation Biotechnology Bogor (ICBB).
7. Survey. Survey ini dikhususkan dengan menentukan responden adalah rumah
tangga tani yang sampelnya diperoleh menggunakan metode Slovin selanjutnya
diproporsifkan untuk menentukan responden terpilih dalam setiap dusun. Total
jumlah responden dari 5 Kabupaten berjumlah….orang. Durasi pelaksaaan survey
Januari – Februari 2017.
8. Wawancara mendalam. Proses penggalian informasi yang lebih dalam untuk
mendapat penjelasan dari data survey diperoleh dari informan wawancara
mendalam berjumlah 22 orang untuk setiap kabupaten. Mereka terdiri dari petani
penerima pupuk bersubsidi 3 orang, petani bukan penerima pupuk bersubsidi 3
orang, Pengurus Kelompok Tani 4 orang, Kepala Desa 1 orang, Kepala Dusun 1
orang, Camat 1 orang, Pengurus Gapokta 1 orang, Pengecer Pupuk 2 orang,
Distributor Pupuk 1 orang, Penyuluh Pertanian 1 orang, Komisi Pengawas Pupuk dan
Pestisida 1 orang, Dinas Pertanian 1 orang, Kepala Daerah dan Anggota DPRD 1
orang. Total keseluruhan informan untk 5 kabupaten berjumlah 110 orang informan.
Waktu pelaksanaannya Februari – Maret 2017.
9. FGD di tingkat desa. Focus group discussion pada tingkat desa melibatkan petani,
pengurus kelompok dan aparat desa untuk mengklarifikasi data yang sudah
ditemukan pada hasil survey dan wawancara mendalam pandangan peserta
terhadap pupuk bersubsidi. selain itu, FGD ini juga melihat tren kecenderungan
pangan dan factor pendkung serta penghambat lain peningkatan produksi yang
dialami petani. FGD ini dilaksanakan pada bulan April 2017.
10. FGD tingkat kabupaten. Diskusi pada tingkat kabupaten ini bertujuan untuk
memaparkan hasil temuan audit pada tingkat kabupaten dan meminta klarifikasi
serta rekomendasi kepada para pihak terkait, terdiri dari Kepala Daerah, perwakilan
DPRD, Dinas Pertanian, Bapeda, Dinas Perdagangan, KP3, BPPT, PPL, pengecer,
Camat Kepala Desa, Pengurus Kelompok Tani, Pengurus Gapoktan dan Petani.
Sementara itu, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mempelajari dokumen :
11. Peraturan Presiden No 15 Tahun 2011 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai
Barang dalam Pengawasan
12. Peraturan Menteri Perdagagan No 15/M-DAG/Per/4/2013 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian
13. Peraturan Menteri Keuangan No 68 / PMK.02/2016 tentang tata cara Penyediaan,
Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Pupuk
14. Peraturan Menteri Pertanian No 82/Permentan/SR.130/8/2013 tentang Pedoman
Pembinaan Kelompok Tani dan gabungan Kelompok Tani
15. Peraturan Menteri Pertanian No 69/Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi
dan Harga Eceran Tertinggi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2017.
16. Menteri Perindustrian RI Nomor 16/M-Ind/PER/3/2013 tentang Pewarnaan Pupuk
Bersubsidi.
17. Pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2016,
Direktoran Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian
18. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi TA 2016
19. Pedoman Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2016
20. Laporan hasil pihak ketiga berupa kajian, berita, artikel penelitian pupuk bersubsidi
1.5 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Audit
Keseluruhan proses pelaksanaan audit sosial pupuk bersubsidi ini dilaksanakan mulai bulai
Januari – Mei 2017 yang tersebar di 5 kabupaten dalam 3 Provinsi, sebagai berikut:
4. Nusa Tenggara Timur
- Kabupaten Flores Timur, Kecamatan Wulanggintang Desa Boru dan Boru Kedang
- Kabupaten Sumba Timur, Kecamatan Kota Waingapu Desa Pambotanjara dan
Kecamatan Nggaha Oriangu Desa Tanatuku
5. Nusa Tenggara Barat
- Kabupaten Lombok Utara, Kecamatan Bayan Desa Bayan dan Desa Loloan
6. Sulawesi Selatan
- Kabupaten Maros, Kecamatan Simbang Desa Jenetesa dan Desa Samangki
- Kabupaten Luwu Utara Kecamatan Baebunta Desa Sasa dan Desa Baebunta
1.6 Keterbatasan Laporan
Data yang tertuang dalam laporan ini tentunya belum sepenuhnya sempurna dan bisa
mewakili temuan dalam program pupuk bersubsidi secara Nasional karena pertimbangan
yaitu
3. Pelaksanaan audit sosial ini terbatas pada 2 desa saja dalam cakupan wilayah
kabupaten, sehingga temuan ini belum mewakili karakteristik wilayah pertanian
dalam satuan kabupaten.
4. Tidak semua target informan dalam wawancara mendalam bisa diwawancarai
karena karena ada yang memang tidak ingin diwawancarai terutama pengecer dan
distributor.