4

Click here to load reader

Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

Citation preview

Page 1: Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

Oleh: M. Saifudin Hakim

Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD

atau SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”

adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri

dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran

makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada

saat masih sekolah dulu. Kesalahfahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat

awam, bahkan orang-orang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah

faham tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang

mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.

Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?

Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh

seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat dan

rukunnya serta mengamalkan konsekuensinya. Hal ini seperti ibadah shalat yang

tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak

melakukan pembatal shalat. Di antara syarat “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak

ada sesembahan yang benar selain Allah” (QS. Muhammad [47]: 19). Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan

mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga” (HR. Muslim).

Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah

menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.

Tidak Ada “Tuhan” selain Allah

“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah”

yang populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan

dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa

Indonesia memiliki dua makna. Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan

pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi rizki, yang menghidupkan,

yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan madharat.

Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.

Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan

selain Allah” juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada

pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah”. Pengertian

Page 2: Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

kedua, “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Oleh karena itu, dalam pembahasan

selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah”

dengan kedua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari

Al Qur’an dan As-Sunnah?

Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Allah

Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang

berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain

Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.

Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang

Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki

kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)

pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari

yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang

mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’” (QS. Yunus [10]: 31).

Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini

sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang

Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam

semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan

mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.

Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak

ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak

ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apa yang membedakan antara orang-

orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam

dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti

itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah

masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa

Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam semesta?

Bukti kedua, konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula,

segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala

berarti bukan syirik. Hal ini karena konsekuensi dari makna tersebut adalah

seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta

kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah melalui perantaraan

(tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin

Page 3: Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Allah-lah satu-

satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Maka

sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata makna

tersebut akan membuka berbagai macam pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.

Tidak Ada Sesembahan selain Allah?

Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada

sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga tidak benar, meskipun secara

bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Namun

sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan

kecuali Allah”, artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh

lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”.

Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha

illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.

Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang

sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illallah”

dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita menunjukkan bahwa

terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Buktinya, kaum musyrikin pada

zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang

bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang

menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan,

serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’, hal. 25).

Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang

musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka

mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan”

(QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha illallah” dengan

“tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena realita

menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain

Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan

selain Dia.

Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan

konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah.

Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari

konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada

sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta

ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah

sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza,

dan Manat semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin

Page 4: Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid

pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa

kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.

Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan

konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah itu tidak hanya satu,

namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini.

Sedangkan konsekuensi batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan

sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau manunggaling kawula-Gusti).

Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat

Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah berkata, ”Makna

kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak

ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha”

bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Allah. Maka tidak ada yang berhak

untuk disembah kecuali Allah (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna

menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah

sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).

Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari

kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah

kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat

ditinjau dari dua sisi. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali

sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari

sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah

Ta’ala semata. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya, “Demikianlah,

karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan

sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).

Kedua, dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illallah” memang

ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari

kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun illallah” yang

berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain

Allah”. Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka

jawabannya adalah karena kaidah bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut

disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap orang yang

mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang musyrik

jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu

“haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena

bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)