Upload
reed-jones
View
6
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
teknologi hasil laut - kecap ikan
Citation preview
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :Nama: Cristina Sella Haryanti
NIM: 12.70.0172Kelompok: A6
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan Kecap Ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas (%) Penampakan
A1 0,4% enzim papain ++ ++++ ++++ 3 ++
A2 0,8% enzim papain ++ +++++ ++++ 2,8 ++
A3 1,2% enzim papain ++ ++++ ++++ 3,3 ++
A4 1,6% enzim papain ++ +++++ ++++ 3,5 +++
A5 2% enzim papain ++ ++++ ++++ 2,8 +++
A6 2,5% enzim papain +++ +++ ++++ 3,3 +
Keterangan:
Warna Aroma
+ = tidak coklat gelap + = sangat tidak tajam
++ = kurang coklat gelap ++ = kurang tajam
+++ = agak coklat gelap +++ = agak tajam
++++ = coklat gelap ++++ = tajam
+++++ = sangat coklat gelap +++++ = sangat tajam
Rasa Penampakan
+ = sangat tidak asin + = sangat cair
++ = kurang asin ++ = cair
+++ = agak asin +++ = agak kental
++++ = asin ++++ = kental
+++++ = sangat asin +++++ = sangat kental
Berdasarkan pada tabel diatas bahwa, pada kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5
mempunyai warna kurang coklat gelap, sedangkan A6 berwarna agak coklat gelap. Pada
parameter rasa, untuk kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah
asin, sangat asin, asin, sangat asin, asin, agak asin. Untuk parameter aroma kelompok
A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 adalah tajam. Dan nilai salinitas untuk kelompok A1, A2,
A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah 3%; 2,8%; 3,3%; 3,5%; 2,8%; 3,3%. Dan
yang terakhir adalah parameter penampakan untuk kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan
A6 secara berurutan adalah cair, cair, cair, agak kental, agak kental, sangat cair.
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan kecap ikan dari limbah ikan tongkol.
Proses pembuatan kecap ikan ini, mula-mula tulang, ekor dan kepala dari ikan
tongkol dihancurkan sebanyak 50 gram dan dimasukan kedalam wadah fermentasi.
Kemudian, ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda
untuk setiap kelompoknya, yaitu 0,4% untuk kelompok A1; 0,8% untuk kelompok
A2; 1,2% untuk kelompok A3; 1,6% untuk kelompok A4; 2% untuk kelompok A5;
dan 2,5% untuk kelompok A6. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3
hari.
Setelah diinkubasi selama 3 hari, maka hasil fermentasi disaring menggunakan kain
saring dengan air mineral sebanyak 250 ml. selanjutnya, filtrat direbus sampai
mendidih dan dilakukan penambahan bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu tersebut
meliputi: bawang putih sebanyak 50 gram, garam sebanyak 50 gram, dan gula jawa
sebanyak 50 gram. Setelah mendidih, filtrat didinginkan. Kemudian, kecap ikan
disaring kembali dengan kain saring. Hasil saringan kedua ini merupakan kecap
ikan. Selanjutnya, dilakukan pengujian sensori meliputi warna, rasa, dan aroma,
kemudian diuji salinitas dan penampakannya.
Kamruzzaman et al., (2006) mengatakan bahwa, kecap ikan termasuk suatu produk
yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kecap ikan
sangat terkenal dikalangan dunia (khususnya Asia selatan dan tenggara). Vietnam
merupakan negara yang selalu mengkonsumsi kecap ikan pada bahan makanan
yang mereka olah. Penambahan kecap ikan dilakukan untuk memperkaya tubuh
akan zat besi, karena diketahui bahwa dalam kecap ikan banyak mengandung zat
besi yang berguna bagi tubuh (Fidler, 2003). Kecap ikan merupakan salah satu
produk tradisonal yang dibuat dari jenis ikan kecil, misalnya ikan kembung, ikan
betong, dan ataupun dari limbah ikan (Hendritomo et al., 2005). Menurut
Lopetcharat et al., (2001) mengatakan bahwa, pembuatan kecap ikan yang terkenal
ialah dengan menggunakan ikan teri (Stolephorus spp.), makarel (Ristrelliger spp.),
dan ikan haring (Clupea spp.). Namun, pernyataan tersebut juga didukung oleh
Ireneous et al., (2006) bahwa, bahan bahan baku dalam pembuatan kecap ikan ini
adalah limbah ikan dan atau bagian kecil dari ikan/produk samping dari rumah
pengasapan ikan (kecuali bagian jerohan).
Afrianto & Liviawaty (1989) mengatakan, untuk membuat kecap ikan dilakukan
proses fermentasi. Proses fermentasi ada 2 macam, yaitu fermentasi menggunakan
garam dan fermentasi secara enzimatis. Dalam percobaan yang telah dilakukan
adalah fermentasi secara enzimatis, dimana yang digunakan ialah enzim papain
dengan berbagai konsentrasi. Enzim papain merupakan salah satu jenis enzim
protease yang berkemampuan untuk memecah ikatan peptida pada suatu substrat
dibawah kondisi tertentu yang memungkinkan (Lay, 1994). Enzim protease yang
dihasilkan dari enzim papain ini dapat bekerja dengan maksimal, jika digunakan
dibawah kondisi yang memungkinkan. Dimana pH, suhu, kemurnian dan
konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat (Muhidin, 1999). Pada saat
proses fermentasi terjadi kontaminasi, maka hasil dari kecap ikan yang dibuat tidak
sempurna (seperti rasa dan aroma yang dihasilkan tidak enak).
Pada proses pembuatan kecap ikan ini, mulai-mula limbah ikan dihancurkan
terlebih dahulu. Menurut Lay (1994), fungsi dari penghancuran ini adalah untuk
mempermudah proses pencampuran limbah ikan dengan bahan-bahan yang lain,
sehingga bisa terbentuk massa adonan yang homogen. Sedangkan menurut Saleh et
al. (1996), penghancuran menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas,
sehingga rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi, sehingga
kemampuan untuk melepas komponen flavornya semakin besar.
Selanjutnya, adanya proses inkubasi yang dilakukan selama 3 hari memiliki tujuan
yaitu untuk enzim papain dapat menghidrolisis ikatan peptida pada limbah ikan
tersebut (Soeparno, 1994). Sedangkan, perlakuan inkubasi pada suhu ruang adalah
jika suhu terlalu tinggi, maka enzim akan mengalami denaturasi. Hal ini sesuai
pendapat dari Gaman & Sherrington (1994) bahwa, enzim memiliki suhu optimum
yaitu sekitar 180C-230C atau maksimal 400C. Karena pada suhu 450C, enzim akan
terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk protein. Setelah inkubasi, maka
dilanjutkan dengan penyaringan. Proses penyaringan ini bertujuan untuk menahan
padatan limbah ikan yang dihaluskan, sehingga diperoleh ekstrak cair yang murni.
Selanjutnya, dilakukan proses perebusan. Tujuan dari proses perebusan untuk lebih
mengaktifkan enzim protease, sehingga dapat bekerja secara optimal. Enzim
protease menjadi aktif pada temperatur 50oC-70oC selama proses pemasakan. Selain
itu, perebusan juga untuk mematikan mikroorganisme berbahaya yang terkandung
dalam kecap ikan selama proses fermentasi (Soeparno, 1994).
Pada proses penyaringan yang kedua ini dilakukan untuk membersihkan kotoran
yang berasal dari bumbu. Selama proses perebusan dilakukan penambahan bumbu-
bumbu yang telah dihaluskan sebelumnya. Menurut Desrosier & Desrosier (1977),
bumbu yang ditambahkan memberikan karakteristik sensoris pada produk kecap
ikan, yaitu memberikan aroma dan citarasa. Dan menurut Budi (1994),
penambahan gula jawa berfungsi untuk menentukan jenis kecap yang dihasilkan
(yakni kecap asin atau kecap manis), dimana setiap satu liter filtrat kecap asin
membutuhkan gula jawa sekitar 2,5 ons. Sedangkan, peran bawang putih berfungsi
untuk meningkatkan citarasa makanan dan mencegah pembusukan makanan.
Pada hasil analisa sensori yang dilakukan oleh seorang praktikan, didapatkan nilai
warna yaitu kurang coklat gelap (++) untuk kelompok A1, A2, A3, A4 dan A5.
Sedangkan warna agak coklat gelap (+++) untuk kelompok A6. Menurut Afrianto
& Liviawaty (1989), kecap ikan berwarna kekuningan sampai coklat muda banyak
mengandung senyawa nitrogen. Warna yang dihasilkan pada kecap ikan ini,
terbentuk karena adanya reaksi antara asam-asam amino dengan gula reduksi
(Kasmidjo, 1990). Hal ini menunjukan bahwa, hasil yang didapatkan oleh praktikan
\ada yang sesuai dan ada yang tidak. Hal tersebut dikarenakan adanya warna yang
berwarna kurang coklat gelap dan ada yang agak coklat gelap.
Warna dari kecap ikan yang dihasilkan juga tergantung dari pemberian enzim.
Semakin banyak enzim yang digunakan, maka warna kecap ikan akan semakin tua.
Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan praktikan, pada warna yang tergelap
pada pemberian enzim 2,5% yaitu agak coklat gelap. Namun, ada ketidaksesuaian
pada kelompok A1, A2, A3, A4 dan A5 bahwa pada enzim papain degan
konsentrasi 0,4%; 0,8%; 1,2%; 1,6%; dan 2% mempunyai hasil warna yang sama
yaitu kurang coklat gelap. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena, pada pencucian
yang dilakukan dan penyaringan dapat berbeda-beda. Dimana semakin sedikit hasil
saringan yang didapat, maka pada saat ditambahkan dengan air dalam jumlah yang
sama akan berbeda konsentrasinya. Hal tersebut yang menyebabkan warna yang
didapat tidak selalu sesuai. Kesalahan lain ialah karena lamanya waktu
pemasakan/pemanasan tidak seragam yang menyebabkan reaksi karamelisasi dari
gula jawa yang digunakan juga berbeda, sehingga warna coklat yang timbul akibat
reaksi karamelisasi tersebut juga menjadi berbeda.
Parameter lain yang diamati ialah rasa. Semakin banyak penambahan enzim dalam
proses fermentasi dan inkubasi ikan, maka rasa ikan akan semakin berkurang. Pada
praktikum ini, rasa yang didapatkan adalah asin (++++) pada kelompok A1, A3 dan
E5. Dan rasa sangat asin (+++++) pada kelompok A2 dan A4. Serta rasa agak asin
(+++) pada kelompok A6. Semakin banyak kandungan papain, maka rasa yang
dihasilkan seharusnya tidak berasa ikan. Sedangkan hasil yang diperoleh kurang
sesuai, yaitu rasa kecap ikan yang tidak beraturan, tidak sesuai dengan konsentrasi
yang ada. Menurut pendapat dari Afrianto & Liviawaty (1989), hal ini terjadi
karena dalam proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain akan
terbentuk senyawa peptida yang dapat menimbulkan rasa pahit dan bau kurang
sedap.
Parameter selanjutnya ialah aroma. Aroma yang didapat untuk semua kelompok
adalah tajam (++++). Berdasarkan Afrianto & Liviawaty (1989) bahwa, dalam
proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease terbentuk komponen
peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan aroma yang
khas. Maka, dengan semakin kuatnya sifat proteolitik enzim, aroma amis dari ikan
akan semakin kuat. Jika proses enzimatis berjalan sempurna, maka akan terbentuk
rasa lain dari proses hidrolisis protein. Sehingga, aroma akan semakin tidak amis.
Namun pada praktikum ini, didapatkan aroma yang sama untuk semua kelompok.
Hal ini dapat terjadi karena, panelis melakukan kesalahan dalam membau kecap
ikan. Karena adanya pengujian yang dilakukan terlalu banyak jenis sampel.
Kesalahan lain, karena adanya kandungan garam yang cukup besar yang diberikan
selama proses pemasakan. Garam dapat mengikat air, sehingga kelarutan enzim
sebagai protein akan berkurang dan selanjutnya kompleks enzim substrat sulit
terbentuk (Gaman & Sherrington, 1994).
Parameter selanjutnya adalah penampakan dan mengukur nilai salinitas. Untuk nilai
salinitas kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah 3%; 2,8%;
3,3%; 3,5%; 2,8%; 3,3%. Dan untuk parameter terakhir adalah penampakan untuk
kelompok A1, A2, A3, A4, A5, dan A6 secara berurutan adalah cair, cair, cair, agak
kental, agak kental, sangat cair.
Keberhasilan dari pembuatan kecap ikan secara enzimatis dipengaruhi oleh enzim
serta penambahan bumbu-bumbu yang ada. Menurut pendapat Muhidin (1999),
daya memecahkan molekul protein yang dimiliki papain dapat berlangsung apabila
pH, suhu, kemurnian dan konsentrasi papain berada pada kondisi yang tepat. Selain
itu, penambahan bumbu-bumbu juga harus diperhatikan karena berhubungan
dengan parameter yang dianalisa, seperti garam memiliki kemampuan mengikat air
atau gula jawa yang berpotensi mengatur warna dalam proses karamelisasi (Gaman
& Sherrington, 1994).
Namun, jika mengkonsumsi kecap ikan terlalu banyak akan menyebabkan kanker.
Hal ini terjadi disalah satu provinsi di Cina. Hal ini tidak lain karena kandungan
garam yang terlalu tinggi dan mampu mengeluarkan senyawa N-nitrosamida yang
menyebabkan terjadinya pemicu kanker (Lin, 2000).
Menurut jurnal “A study of chemical characteristics of soy sauce and mixed soy
sauce: chemical characteristics of soy sauce” dikatakan bahwa, kecap ikan adalah
salah satu diantara fermentasi tradisional. Kecap ikan diproduksi oleh fermentasi
ikan dan daging dengan konsentrasi garam yang tinggi. Pada saat fermentasi,
hidrolisis ikan dan daging protein terjadi sehingga adanya asam amino bebas,
peptida dan amonia.
Menurut jurnal “Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with
intermittent aeration” dikatakan bahwa, kecap telah banyak digunakan sebagai
salah satu agen bumbu utama di negara-negara Asia. Dan pada fermentasi tertinggi
suhu 45°C, warna air garam fermentasi tampaknya paling gelap setelah jangka
waktu tertentu pematangan (Wu et al., 2010).
Menurut jurnal “Biochemical changes in low-salt fermentation of solidstate soy
sauce” dikatakan bahwa, pada hasil penelitian menunjukkan kandungan asam
amino tinggi dapat memberikan informasi berharga tentang optimal rendah garam
saus fermentasi. Meningkatkan rasa senyawa dalam rendah garam solid-state saus
fermentasi lebih penting dalam meningkatkan kualitas dibandingkan dengan negara
yang tinggi garam fermentasi kecapnya (Yanfang et al., 2009).
Menurut jurnal “Identification Of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam-Pla)
In Thailand. Journal of culture collections” dikatakan bahwa di Thailand, saus ikan
mengandung konsentrasi garam tinggi (25-30%, w/v NaCl), sehingga
mikroorganisme yang ditemukan selama produksi kecap ikan umumnya
diklasifikasikan sebagai halofilik bakteri (Tanasupawat et al., 2008).
Menurut jurnal “Microbiological Characterization of BUDU, an Indigenous
Malaysian Fish Sauce” dikatakan bahwa, Budu yang merupakan budaya fermentasi
campuran yang melibatkan strain fungsional diprotein ikan hidrolisis menjadi cair
dilarutkan. Kecap ikan adalah produk cair yang dikembangkan selama fermentasi
bahan ikan asin dalam tangki tertutup pada suhu tropis. Rasa yang unik dari kecap
ikan menarik banyak konsumen di seluruh dunia dan memiliki dampak keuangan
besar bagi negara-negara pengekspor. Kecap ikan Malaysia, cukup populer di
pantai timur Semenanjung Malaysia dan biasa dikonsumsi sebagai bumbu atau
penyedap agen hidangan tertentu (Yuen et al., 2009).
Menurut jurnal “Seasonal effects on the physicochemical characteristics of fish
sauce made from capelin (Mallotus villosus)” dikatakan bahwa, sampel untuk
produksi kecap ikan kemudian disusun berdasarkan kondisi optimal dengan
mencampur tanah capelin dengan 10% garam dan inkubasi pada 50°C hingga 270
hari untuk capelin musim panas dan sampai 360 hari untuk capelin musim dingin.
Pembentukan warna coklat sangat cepat dalam saus panas ikan capelin tetapi
lambat dimusim dingin. Musim panas capelin dapat berhasil dimanfaatkan untuk
produksi kecap ikan tanpa enzim yang ditambahkan. Peningkatan suhu fermentasi
dapat mempersingkat waktu fermentasi kecap ikan, serta mengurangi konsentrasi
garam yang dibutuhkan untuk memproduksi protein konsentrasi melebihi 1,5-2,0%.
Pada pengolahan terdapat kandungan garam yang dikurangi dapat membantu untuk
meningkatkan tingkat fermentasi serta untuk meningkatkan sifat gizi dengan
mengurangi natrium konten (Hjalmarsson et al., 2007).
Menurut jurnal “Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria
in Fish Sauce” dikatakan bahwa, sebagian besar isolat ditoleransi konsentrasi garam
hingga 15% dan suhu hingga 45°C. Penelitian ini memberikan informasi baru
tentang amina biogenik bakteri pendegradasi, terisolasi dari garam berkonten tinggi
produk makanan. Kegiatan degradasi amina dari bakteri dianggap sebagai
ketegangan daripada spesies tertentu. Pada konten histamin dalam sampel kecap
ikan melebihi tingkat cacat 50 ppm dirancang oleh US FDA. Produk ini masih
dianggap aman karena konsumsi kecap ikan terutama sebagai bumbu mungkin
tidak menyebabkan asupan berlebihan (Zaman et al., 2010).
3. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan salah satu produk tradisional yang diolah dengan cara
fermentasi.
Proses pembuatan kecap asin dalam praktikum ini menggunakan proses
enzimatis dengan adanya enzim papain.
Proses penghancuran pada bahan menyebabkan permukaan bahan menjadi
semakin luas, sehingga kemampuan untuk melepas komponen flavornya juga
akan semakin besar.
Inkubasi selama 3 hari bertujuan untuk mengoptimalkan jalannya proses
fermentasi, sehingga cairan kecap yang diperoleh juga akan semakin banyak.
Penyaringan bertujuan agar hasil fermentasi bebas dari kotoran.
Penambahan bumbu digunakan untuk menambah aroma dan citarasa.
Pemanasan bertujuan untuk mengaktifkan enzim protease agar dapat bekerja
secara optimal.
Semakin banyak enzim yang digunakan, maka warna kecap ikan akan semakin
tua (gelap).
Semakin banyak kandungan papain, maka rasa yang dihasilkan tidak berasa
ikan.
Semakin kuatnya sifat proteolitik enzim, aroma amis dari ikan akan semakin
kuat.
Terlalu banyak mengkonsumsi kecap ikan akan menyebabkan kanker.
Semarang, 28 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen,
Cristina Sella Haryanti Yuni Rusiana
12.70.0172
4. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Budi, Hieronymus. 1994. Kecap & Tauco Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Fidler,M et al. (2003). Iron absorption from fish sauce and soy sauce fortified with
sodium iron EDTA1–3. American Society for Clinical Nutrition. America.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobilogi. UGM Press. Yogyakarta.
Hendritomo, H. I., S. Setyahadi, & S. Hadiwiyoto. (2005). Teknologi Pembuatan Kecap
Asin Secara Enzimatik Terkendali Untuk Industri Skala Menengah Dan Rumah
Tangga. http://www.google.com/search?
q=cache:nTtnrxmxXVEJ:www.iptek.net.id/ind/%3Fch%3Djsti%26id
%3D262+%22kecap+ikan%22&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id
Hjalmarsson, Gustaf Helgi. & Park, Jae W. & Kristbergsson, Kristberg. (2007).
Seasonal effects on the physicochemical characteristics of fish sauce made
from capelin (Mallotus villosus). Food Chemistry. Iceland.
Ireneous, N. S.; T. D. Kweku.; A. A. Wisdom. (2006). Physico-chemical and quality
characteristics of fish sauce produced from tuna processing wastes.
http://www.univ-ouaga.bf/conferences/fn2ouaga2003/abstracts/0711_FP_P4_G
hana_Soyiri.pdf.
K. Lopetcharat and J.W. Park. (2001). Characteristics of Fish Sauce Made from Pacific
Whiting and Surimi By-products During Fermentation Stage. Oregon State
University Seafood Laboratory. Astoria.
Kamruzzaman, M.; F. Akter.;M. M. H. Bhuiyan.; M. G. Q. Khan.; and M. R. Rahman.
(2006). Consumers Acceptance and Market Test of Fish Sausage and Fish Ball
Prepared from Sea Catfish , Tachsurus thalassinus.
http://scialert.net/qredirect.php?doi=pjbs.2006.1014.1020&linkid=pdf.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kim, Ji. & Lee, Young. (2008). A study of chemical characteristics of soy sauce and
mixed soy sauce: chemical characteristics of soy sauce. Eur Food Res Technol.
South Korea.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lin Cai et al. (2000). Fish sauce and gastric cancer: an ecological study in Fujian
Province, China. World Journal of Gastroenterology. Beijing, China.
Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi
Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-
68.
Soeparno. (1994). Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Tanasupawat, Somboon. & Namwong, Sirilak. & Kudo, Takuji. & Itoh, Takashi.
(2008). Identification Of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam-Pla) In
Thailand. Journal of culture collections. Thailand.
Wu, Ta Yeong. & Kan, Mun Seng. & Siow, Lee Fong. & Palniandy, Lithnes. (2010).
Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent
aeration. African Journal of Biotechnology. Malaysia.
Yanfang, Zhang. & lijuan, Wang. & Wenyi, Tao. (2009). Biochemical changes in low-
salt fermentation of solidstate soy sauce. African Journal of Biotechnology.
China.
Yuen, Sim Kheng. & Yee, Chye Fook. & Anton, Ann. (2009). Microbiological
Characterization of BUDU, an Indigenous Malaysian Fish Sauce. Borneo
Science. Malaysia.
Zaman, Muhammad Zukhrufuz. & Bakar, Fatimah Abu. & Selamat, Jinap. & Bakar,
Jamilah. (2010). Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading
Bacteria in Fish Sauce. Department of Food Science. Malaysia.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Pengenceran 1 ml kecap ikan + 9 ml aquades
Konversi ‰ menjadi %
Rumus:
% Salinitas = hasil pengukuran
1000 x 100%
Kelompok A1
% Salinitas = 30
1000 x 100% = 3%
Kelompok A2
% Salinitas = 28
1000 x 100% = 2,8%
Kelompok A3
% Salinitas = 33
1000 x 100% = 3,3%
Kelompok A4
% Salinitas = 35
1000 x 100% = 3,5%
Kelompok A5
% Salinitas = 28
1000 x 100% = 2,8%
Kelompok A6
% Salinitas = 33
1000 x 100% = 3,3%
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara