19
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan pengolahan kecap, hasil uji sensoris kecap ikan, dan nilai sa dari kecap ikan yang dibuat oleh kloter A oleh Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Sensoris Kecap Ikan dan ilai Salinitas Kelompok !erlakuan "arna #asa Aroma Salinitas $%& A1 'n(im !apain ),*% ++ ++++ ++++ ,) A- 'n(im !apain ), % ++ +++++ ++++ -, A 'n(im !apain 1% ++ ++++ ++++ , A* 'n(im !apain 1,/% ++ +++++ ++++ ,0 A0 'n(im !apain -% ++ ++++ ++++ -, A/ 'n(im !apain -,0% +++ +++ ++++ , Keterangan "arna + tidak coklat gelap #asa + sangat tidak asin ++ kurang coklat gelap ++ kurang asin +++ agak coklat gelap +++ agak asin ++++ coklat gelap ++++ asin +++++ sangat coklat gelap +++++ sangat asin Aroma + sangat tidak tajam ++ kurang tajam +++ agak tajam ++++ tajam +++++ sangat tajam 2ari hasil pengamatan yang disajikan oleh Tabel 1. dapat terlihat dari keenam yang ada di kloter A, kadar penambahan en(im papain dilakukan secara berbeda 3 !engamatan dilakukan pada karakteristik 4isik seperti rasa, 5arna, dan aroma s nilai % salinitas. 2ari pengukuran 5arna dari kecap ikan yang dihasilkan, menu bah5a kecap ikan kelompok A/ memiliki 5arna yang lebih gelap dibandingkan den kecap ikan kelompok lain yaitu agak coklat gelap sedangkan untuk kel sampai A0 memiliki 5arna yang sama yaitu kurang coklat gelap. Untuk rasa, kelo A1, A dan A0 memilik rasa yang sama yaitu asin sedangkan untuk kelompok A- da A* memiliki rasa yang sangat asin. Kelompok A/ memiliki rasa yang agak asin. A kecap ikan yang dihasilkan oleh semua kelompok kloter A sama yaitu memiliki ar yang tajam. Untuk salinitas tertinggi ada pada kelompok A* dengan ,0% dan yan terendah adalah kelompok A- dan A0 yaitu -, %. 1

Laporan Kecap Ikan Jonathan Huberto Harjono 12.70.0082 A4 UNIKA SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Kecap Ikan yang berasal dari limbah ikan pembuatan surimi. Dalam laporan ini dibahas analisa sensoris dan lain - lain

Citation preview

19

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan pengolahan kecap, hasil uji sensoris kecap ikan, dan nilai salinitas dari kecap ikan yang dibuat oleh kloter A oleh Tabel 1.Tabel 1. Hasil Uji Sensoris Kecap Ikan dan Nilai SalinitasKelompokPerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)

A1Enzim Papain 0,4%++++++++++3,0

A2Enzim Papain 0,8%+++++++++++2,8

A3Enzim Papain 1%++++++++++3,3

A4Enzim Papain 1,6%+++++++++++3,5

A5Enzim Papain 2%++++++++++2,8

A6Enzim Papain 2,5%++++++++++3,3

Keterangan:

Warna: +: tidak coklat gelap

Rasa :+: sangat tidak asin

++: kurang coklat gelap

++: kurang asin

+++: agak coklat gelap

+++: agak asin

++++: coklat gelap

++++: asin

+++++: sangat coklat gelap

+++++: sangat asinAroma: +: sangat tidak tajam

++: kurang tajam

+++: agak tajam

++++: tajam

+++++ : sangat tajamDari hasil pengamatan yang disajikan oleh Tabel 1. dapat terlihat dari keenam kelompok yang ada di kloter A, kadar penambahan enzim papain dilakukan secara berbeda beda. Pengamatan dilakukan pada karakteristik fisik seperti rasa, warna, dan aroma serta uji nilai % salinitas. Dari pengukuran warna dari kecap ikan yang dihasilkan, menunjukkan bahwa kecap ikan kelompok A6 memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan kecap ikan kelompok lain yaitu agak coklat gelap sedangkan untuk kelompok A1 sampai A5 memiliki warna yang sama yaitu kurang coklat gelap. Untuk rasa, kelompok A1, A3 dan A5 memilik rasa yang sama yaitu asin sedangkan untuk kelompok A2 dan A4 memiliki rasa yang sangat asin. Kelompok A6 memiliki rasa yang agak asin. Aroma kecap ikan yang dihasilkan oleh semua kelompok kloter A sama yaitu memiliki aroma yang tajam. Untuk salinitas tertinggi ada pada kelompok A4 dengan 3,5% dan yang terendah adalah kelompok A2 dan A5 yaitu 2,8%.2. PEMBAHASAN

Praktikum ini menjelaskan tentang pembuatan kecap ikan dari limbah bagian tubuh ikan yang digunakan saat pembuatan surimi di hari yang sama. Ikan yang digunakan adalah ikan tongkol sedangkan bagian tubuh yang digunakan adalah yang tergolong limbah seperti tulang, ekor, dan kepala serta sirip dari ikan). Proses pembuatan kecap ikan dari limbah yang dihasilkan selama proses pembuatan surimi merupakan upaya untuk mengolah limbah dari suatu bahan makanan menjadi sesuatu yang bisa lebh berguna daripada langsung dibuang sebagai limbah proses produksi. Kecap ikan adalah suatu produk hasil dari proses hidrolisa dari daging ikan. Dengan mengolah kembali limbah yang dihasilkan berarti dapat memperbaiki sifat dan karakteristik fisik dari limbah yang digunakan seperti rasa, aroma penampakan, dan masih banyak lagi. Umur simpan dari produk olahan ini diharapkan dapat meningkat dengan baik. Menurut Irawan (1995) mengatakan bahwa ketika kita mengonsumsi ikan, hanya 70% dari keseluruhan dari tubuh ikan yang dapat kita makan, 30% sisanya dibuang karena merupakan bagian bagian seperti sirip, ekor, kepala, dan isi perut, serta insang. Kecap sendiri dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu kecap ikan yang berasal dari daging ikan (hewani), dan kecap sendiri yang berasal dari kedelai (bahan nabati). Perbedaan dari kecap ikan dan kecap pada umumnya adalah pada segi warna. Pada kecap ikan, warna yang dikeluarkan adalah kuning sampai coklat muda sedangkan pada kecap warnanya adalah coklat kehitaman (Afrianto & Liviawaty, 1989). Oleh karena itu, pengolahan limbah ikan menjadi kecap ikan dapat bertujuan untuk memanfaatkan bagian yang tidak termakan dari ikan, dimana bagian yang dapat termakan dari ikan yaitu hanya 70% sedangkan seperti bagian kepala, sirip dan ekor tidak termanfaatkan. Dengan pembuatan kecap ikan diharapkan dapat mengolah bahan bahan yang tidak termanfaatkan menjadi suatu produk yang lebih baik. Menurut Ibrahim (2010), menyebutkan bahwa dalam proses pembuatan kecap ikan diperlukan adanya proses fermentasi yang dilakukan selama beberapa hari dalam kondisi anaerob. Ketika membuat kecap ikan dapat menggunakan bahan bahan yang sudah tidak terpakai lagi dari ikan. Karakteristik fisik yang dimiliki oleh kecap ikan adalah memiliki warna yang coklat, dan diberi penambahan beberapa bahan tambahan untuk meningkatkan rasa dari kecap tersebut (Elmer et al., 2005).Di dalam kecap ikan kaya akan asam amino dan produk produk turunan dari protein. Biasanya, kecap ikan digunakan sebagai produk penambah rasa dari masakan khususnya masakan oriental dan memberikan aroma yang khas dari masakan tersebut (Kasmidjo, 1990). Kecap ikan sendiri ditemukan di Eropa, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Kecap ikan sering digunakan oleh orang orang Asia karena cenderung memiliki aroma yang kuat dan bisa mengurangi rasa yang asam. Kelemahan dari kecap ikan adalah aroma dari kecap ikan sendiri sebelum dimasukkan ke dalam makanan memiliki aroma yang kurang sedap dan tidak bisa digunakan untuk setiap jenis masakan. Kualitas dari kecap ikan ditentukan berdasarkan waktu fermentaasi dan jumlah garam yang digunakan (Fidler et al., 2004). Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kecap ikan merupakan produk hasil hidrolisa dari daging ikan, dapat berjalan secara kimiawi, enzimatis, maupun dengan menggunakan garam (Astawan & Astawan, 1991). Astawan & Astawan (1991) juga menjelaskan bahwa kecap ikan tidak hanya dibuat dari daging ikan namun bisa dibuat dari udang dan daging. Namun, kecap ikan lebih encer dibandingkan dengan kecap manis yang berasal dari kedelai yang difermentasi. Penempatan kecap ikan harus ditempatkan pada wadah yang tidak terkena paparan cahaya matahari langsung. Kecap ikan merupakan bahan yang akan mengalami degradasi akibat paparan sinar matahari langsung. Menurut Murakami et al. (2004), beberapa senyawa dari dalam kecap asin seperti Na, Fe, dan EDTA merupakan senyawa yang akan mengalami degradasi akibat paparan sinar langsung. Oleh sebab itu, di pasaran kemasan kecap asin merupakan botol dengan warna yang gelap. Kandungan gizi dari kecap ikan adalah lemak tak jenuh dan protein dengan kadar 16 18%. Dari protein tersebut tersusun dari 10 asam amino esensial dan air. Hal ini didukung pernyataan dari Ibrahim (2010) yang menyatakan bahwa protein yang terdapat dalam kecap ikan tergolong lengkap dan mudah dicerna. Protein utama yang terdapat pada daging ikan merupakan protein fibriler yang berupa aktin dan myosin. Protein ini berasal dari kontraksi dan relaksasi otot. Protein yang terdapat dalam kecap ikan merupakan protein yang dapat dicerna dengan cepat terbukti sesuai dengan pernyataan dari Mozzaffarian et al. (2003) yang menyatakan bahwa protein yang terdapat dalam kecap ikan memiliki tingkat ketercernaan mencapai 98%. Selain komponen makro berupa lemak dan protein, di dalam kecap ikan juga terdapat komponen minor berupa senyawa volatile berupa urea dan trimetilamin, gula, vitamin, dan mineral (Shahidi & Botta, 1994). Menurut Mozaffarian et al. (2003) dengan konsumsi daging ikan secara rutin akan menurunkan resiko seseorang terserang penyakit hati (kerusakan hati). Dengan kandungan protein yang tinggi, maka akan menyebabkan kinerja hati akan dapat diatur menjadi lebih normal. Dalam praktikum yang sudah dilakukan, maka dapat diperhatikan, bahan bahan yang dipergunakan adalah bahan sisa dari ikan tongkol yang sudah diolah menjadi surimi. Dari bahan bahan sisa akan menjadi bahan utama dari pembuatan kecap ikan yang dilakukan saat praktikum. Menurut Irawan (1995), bahan baku pengolahan kecap ikan merupakan bagian kepala ikan dan tulang - tulang dari ikan. Spesifikasi dari ikan yang digunakan untuk pembuatan kecap ikan adalah ikan yang memiliki ukuran yang kecil, Contoh dari ikan ikan tersebut adalah ikan nilam, ikan jempang, dan masih banyak lagi. Praktikum ini menggunakan ikan tongkol. Dalam praktikum yang sudah dilakukan, pembuatan kecap ikan dilakukan dengan fermentasi dengan bantuan enzim (Astawan & Astawan, 1991). Dalam praktikum menggunakan enzim papain yang digunakan untuk melakukan fermentasi pada kecap ikan. Hal ini sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) di atas yang menyebutkan bahwa kecap ikan dapat dibuat dengan bantuan enzim yaitu dengan proses fermentasi. Menurut Murtini dan Qomarudin (2003) dilakukannya enzim papain yang ditambahkan tergolong dalam kelompok enzim atau protein protease sulfhidril. Mekanisme kerja enzim ini yaitu dengan memecah molekul protein pada bagian sarkolema atau serat-serat otot (muscle fiber) melalui reaksi hidrolisis rnenjadi peptida yang lebih kecil. Oleh karena itu, enzim papain juga dapat digolongkan sebagai enzim endopeptidase yang memecah protein dari dalam (Winarno, 1995). Menurut Astawan & Astawan (1991) beberapa faktor yang sangat berpengaruh dalam proses pembuatan kecap adalah enzim papain yang ditambahkan, kesegaran bahan baku kecap ikan, waktu untuk melakukan proses fermentasi, dan kebersihan dari tempat melakukan proses produksi.Pembuatan kecap ikan secara komersil, terdapat dua jenis fermentasi yang digunakan yaitu fermentasi secara tradisional dengan menggunakan garam sedangkan proses fermentasi dengan menggunakan bantuan enzim disebut dengan proses fermentasi modern. Kekurangan dari proses fermentasi secara tradisional adalah waktu fermentasi yang sangat lama yaitu berlangsung selama 7 bulan. Selama 7 bulan tersebut dengan penambahan garam, hanya bakteri atau mikroorganisme yang memang digunakan untuk fermentasi kecap ikan yang dapat tumbuh di daging ikan.

Sedangkan untuk pembuatan kecap ikan secara modern dengan menggunakan bantuan enzim, enzim yang sering digunakan dalam proses pembuatan kecap ikan adalah enzim bromelin dan enzim papain yang termasuk dalam jenis enzim protease. Enzim bromelin merupakan golongan enzim yang berasal dari golongan enzim protease. Enzim bromelin dapat ditemui pada nanas muda sedangkan enzim papain berasal dari daun pepaya. Enzim protease dalam proses pembuatan kecap ikan menurut Hariono et al.(2006), merupakan senyawa yang dapat membantu proses pembuatan kecap ikan karena akan memecah kandungan protein yang ada di dalam daging ikan menjadi senyawa senyawa lebih sederhana seperti asam amino, pepton, dan peptida. Ditunjang dari teori yang disampaikan oleh Lay (1994) yang menyatakan bahwa enzim protease dapat memecah protein menjadi komponen komponen yang lebih sederhana. Di dalam kecap ikan mengandung total nitrogen sebanyak 45% (Kasmidjo, 1990). Dari reaksi pemecahan pemecahan ini akan dihasilkan aroma yang khas yang hanya dimiliki oleh kecap ikan. Namun aroma yang dihasilkan dari kecap ikan, tidak semua orang bisa menerimannya. Sehingga, tidak semua masakan dapat diberi tambahan kecap ikan. Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), perbandingan daging ikan (bahan baku kecap ikan) dengan ekstrak enzim protease yang ditambahkan memiliki perbandingan 1 : 5. Dalam praktikum pembuatan kecap ikan yang sudah dilakukan, fermentasi dilakukan dengan menggunakan bantuan enzim protease sehingga menggunakan metode pembuatan kecap ikan fermentasi. Dalam praktikum yang sudah dilakukan, menggunakan enzim protease jenis papain. Enzim papain yang biasanya digunakan untul proses pembuatan kecap ikan berasal dari bagian buah pepaya karena getah dari buah pepaya merupakan bagian yang mengandung enzim papain yang paling kuat (Muhidin, 1999). Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Lisdiana & Soemadi (1997) yang menyatakan bahwa di dalam buah pepaya mengandung banyak enzim papain yang berguna dalam pemecahan protein.Proses pembuatan kecap ikan diawali dengan pemisahan limbah dari ikan tongkol dari daging yang akan digunkana dalam proses pembuatan surimi. Setelah dipisahkan dari dagingnya, limbah ikan tongkol, tulang ikan akan dihaluskan. Setelah halus, gilingan daging dan tulang ikan akan ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan dalam suatu wadah untuk proses fermentasi. Tujuan dari proses penghalusan dari daging dan tulang ikan adalah untuk mempermudah proses fermentasi dan mempercepat jalannya fermentasi (Hariono et al., 2006). Setelah dimasukkan ke dalam wadah untuk fermentasi, sebelum ditutup dalam keadaan anaerob, daging dan tulang ikan giling akan ditambah dengan menggunakan enzim papain dengan kadar yang berbeda beda untuk setiap kelompok. Kadar dari enzim papain yang digunakan masing masing untuk setiap kelompok yaitu 0,4%, 0,8%, 1%, 1,6%, 2%, dan 2,5%. Dengan penggunaan enzim papain dalam praktikum ini, maka pembuatan kecap ikan ini tergolong pembuatan kecap ikan secara enzimatis. Disebutkan oleh Lay (1994) bahwa dengan menggunakan bantuan enzim seperti papain dan enzim protease lainnya dapat mengurangi waktu pembuatan kecap ikan. Dalam kondisi tertentu, enzim papain akan mempercepat proses pembuatan kecap ikan dengan memecah protein yang ada di dalam daging dan limbah ikan. Dalam proses hidrolisa yang dilakukan oleh enzim papain, akan memotong rantai panjang dari ikatan peptida yang terdapat dalam kecap ikan dan merubahnya menjadi asam amino yang mudah diserap oleh manusia.Ketika pembuatan kecap ikan dengan menggunakan bantuan enzim, seharusnya ditambahkan dengan garam, hal ini disebabkan untuk melindungi ikan giling dari cemaran mikrobiologis dan serangan beberapa hewan seperti lalat, belatung, dan masih banyak lagi. Mikroorganisme yang sering muncul dalam proses pembuatan kecap ikan adalah Saccharomyces, Torulopsis, dan Pediococcus dengan karakteristik yaitu dapat berkembang meskipun berada di lingkungan yang kandungan garamnya tinggi (Astawan & Astawan, 1991). Setelah ditambah dengan enzim papain sesuai dengan takaran setiap kelompok, limbah ikan tersebut difermentasi di wadah tertutup selama 3 hari dalam suhu ruang. Menurut teori dari Astawan & Astawan (1991), waktu inkubasi untuk perubahan dari limbah ikan menjadi kecap ikan akan menjadi lebih singkat ketika terdapat penambahan enzim protease seperti papain yang memecah protein yang terdapat dalam daging ikan. Namun pengertian dari waktu yang lebih singkat masih dijelaskan oleh Astawan & Astawan (1991) bahwa jika dibandingkan dengan waktu fermentasi yang tidak menggunakan bantuan enzim. Namun dijelaskan oleh Lisdiana & Soemadi (1997) bahwa kekurangan dari penggunaan dari kecap ikan yang difermentasi dengan menggunakan bantuan enzim adalah rasa dan aroma khas kecap ikan kurang baik dibandingkan dengan kecap ikan yang dibuat secara alami. Aroma dan cita rasa dari kecap ikan yang diproduksi dari proses produksi secara alami umumnya lebih disukai oleh masyarakat. Dengan proses pembuatan kecap ikan yang berlangsung dalam kemasan yang tertutup merupakan reaksi fermentasi anaerob. Proses yang anaerob dari proses pembuatan kecap ikan menurut Lisdiana & Soemadi (1997), merupakan suatu langkah yang ditujukan untuk menjaga agar proses fermentasi dapat berjalan dengan cepat dan baik serta mencegah kontaminasi dari mikroorganisme yang tidak terlibat dalam proses pembuatan kecap ikan. Ditambahkan oleh Dincer et al. (2010), fermentasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengawetkan makanan, selain mengawertkan makanan fermentasi dapat menjadi salah satu cara meningkatkan rasa dari suatu produk dan meningkatkan kualitas nutrisi dari suatu produk. Setelah 3 hari, ikan yang sudah difermentasi akan dibuka dan dipindahkan dari wadah yang menjadi tempat fermentasi ke tempat lain untuk proses selanjutnya. Setelah dipindahkan, daging ikan fermentasi tadi akan ditambah dengan 250 ml air mineral dan disaring. Penyaringan dalam proses pembuatan kecap ikan dilakukan untuk agar cairan (filtrat) dan endapan yang dihasilkan (Fachruddin, 1997). Yang disebut dengan endapan adalah kepala, tulang, dan ekor ikan yang tadinya difermentasi. Selanjutnya filtrat yang sudah dipisahkan dari endapan akan direbus selama 30 menit sampai filtrat benar benar mendidih. Dengan mendidihnya filtrat dari kecap ikan maka filtrat akan menjadi lebih kental. Selama proses perebusan, filtrat akan ditambah dengan bawang putih dan gula jawa serta garam yang digunakan sebagai penambah rasa. Perebusan juga akan membantu dalam membantu melarutkan bumbu yang sudah ditambahkan ke dalam filtrat kecap asin karena bumbu yang ditambahkan berupa gula jawa dan garam yang merupakan komponen yang larut dalam suhu yang tinggi (Moeljanto, 1992). Khusus untuk penambahan bawang putih, berguna dalam proses pembuatan kecap ikan karena dapat menjadi bakterisida dan fungisida karena di dalam bawang putih terdapat zat yang bernama allicin yang merupakan zat antibakteria yang dapat mematikan mikroorganisme patogen yang muncul selama proses fermentasi (Roser, 1991). Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat ditekan pertumbuhannya oleh Aliicin yaitu Proteus, Bacillus, Clostridium, Staphylococcus, dan Salmonella (Ranjan et al., 2012). Namun menurut Sanjindavong et al. (2009) menyebutkan bahwa Pediococcus halophilus merupakan mikroorganisme yang tergolong dalam mikroorganisme asam laktat yang dapat memberikan flavor khas pada kecap ikan. Setelah ditambah dengan bahan bahan tambahan dan direbus sampai mendidih, filtrat didiamkan sampai agak dingin dan disaring kembali dengan menggunakan kain saring. Penyaringan ini bertujuan untuk menghilangkan bawang putih cincang yang menjadi bahan tambahan selama proses perebusan.

Setelah disaring, analisa dilanjutkan dengan menguji karakteristik kimiawi dan fisik dari kecap ikan dengan uji sensoris dan uji dengan alat yaitu hand refractometer. Pengamatan yang dilakukan secara sensoris meliputi pengamatan aroma, rasa, dan bau. Menurut Ritthiruangdej & Thongchai (2006), kualitas dari kecap ikan terutama dari karakteristik fisik dapat dideskripsikan dengan menggunakan metode sensoris. Kelebihan dari metode sensoris menurut Merritt et al. (1982) merupakan metode yang paling mudah dilakukan untuk mengukur karakteristik fisik dari suatu produk makanan. Selain itu, uji sensoris tidak membutuhkan fasilitas laboratorium. Namun kelemahan dari uji sensoris adalah sulitnya standarisasi dari hasil sensoris yang didapatkan karena bersifat subjektif. Dari hasil pengamatan yang sudah disajikan oleh Tabel 1. menunjukkan data bahwa hanya penambahan enzim papain pada kadar tertinggi dari percobaan yaitu 2,5% mempengaruhi warna dari kecap ikan yang dihasilkan. Pada kelompok A1 sampai A5 menghasilkan warna yang lebih terang dibandingkan dengan kecap ikan yang dihasilkan oleh kelompok A6. Munculnya warna coklat dari kecap ikan yang dihasilkan disebabkan karena terjadinya reaksi Maillard yang berasal dari reaksi antar gugus amino yang ada di dalam daging ikan dengan gula jawa yang mengandung gula reduksi. Namun dijelaskan oleh (Astawan & Astawan, 1991) bahwa warna coklat dari kecap ikan berasal dari penambahan enzim papain yang menjadi enzim yang membantu pembuatan kecap ikan. Jadi, semakin banyak enzim papain yang ditambahkan pada daging ikan giling maka akan menyebabkan warna kecap menjadi semakin coklat dan gelap. Hal ini berlangsung karena dengan semakin banyaknya enzim papain yang digunakan, maka kecepatan reaksi pembentukan kecap ikan akan berlangsung lebih cepat dan warna yang dihasilkan akan menjadi semakin baik mendekati warna kecap pada umumnya yaitu coklat muda atau kecoklatan. Hasil dari praktikum yang dilakukan oleh kloter A sedikit tidak sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) karena tidak terdapat perbedaan warna dari kecap ikan yang dihasilkan oleh kelompok A1, A2, A3, A4, dan A5 yang memiliki kadar papain yang berbeda beda. Namun, sebenarnya seharusnya terdapat perbedaan yang jelas apabila diuji dengan menggunakan chromameter atau alat lain yang dapat mengukur perbedaan warna dengan menyatakannya dalam bentuk angka, selain itu terdapat beberapa kesalahan yang mungkin dilakukan adalah penambahan gula jawa yang tidak sesuai takaran, penggunaan suhu yang kurang dari atau lebih dari ketentuan, penambahan enzim dari papain yang tidak sesuai ketentuan dan adanya udara yang masuk dalam wadah ketika fermentasi sehingga fermentasi tidak berjalan dengan sempurna. Rasa kecap dari kecap asin yang diperoleh dari hasil sensoris oleh panelis Kloter A adalah pada kelompok A2 dan A4 yang menggunakan enzim papain berkadar 0,8% dan 1,6% memiliki rasa yang paling asin. Sedangkan pada kelompok A6 yang menggunakan enzim papain yang paling banyak memiliki rasa yang paling tidak asin. Rasa asin yang timbul dari kecap ikan menurut Astawan & Astawan (1991), merupakan reaksi yang timbul akibat adanya reaksi pemecahan dari protein menjadi komponen yang lebih sederhana seperti pepton, asam amino, dan senyawa peptida lainnya. Seharusnya enzim papain yang ditambahkan paling banyak akan menghasilkan rasa asin yang paling banyak karena dengan penambahan enzim papain yang paling banyak akan mempercepat reaksi yang berlangsung. Jika rasa asin merupakan hasil dari pemecahan protein yang terdapat pada daging ikan, maka dengan banyaknya enzim yang memecah rasa asin akan semakin terasa. Namun yang terjadi adalah kelompok dengan enzim papain yang paling banyak memiliki rasa asin yang paling sedikit. Beberapa hal yang mungkin bisa terjadi adalah pada saat penambahan garam, garam tidak larut dengan merata sehingga tidak tersaring pada saat penyaringan kedua, penambahan garam tidak sesuai dengan prosedur, adanya udara yang masuk saat fermentasi sehingga fermentasi terganggu.

Aroma kecap ikan yang dihasilkan dari hasil pengamatan yang ditunjukkan oleh Tabel 1 menunjukkan bahwa aroma yang dihasilkan dari hasil percobaan pembuatan kecap ikan adalah memiliki aroma yang tajam. Dari perbedaan kadar antar kelompok yang ada di kloter A menunjukkan bahwa memberikan hasil yang tidak berbeda. Aroma yang muncul dari kecap ikan menurut Meritt et al. (1982) ditentukan oleh nitrogen yang terdapat dalam kecap ikan. Nitrogen ini merupakan bagian pembentuk dari asam amino seperti histidin, arginin, amonia, dan masih banyak lagi. Senyawa nitrogen ini meskipun menghasilkan aroma yang tidak enak namun memberikan senyawa membentuk glutamat yang akan menyedapkan rasa. Salinitas yang dimiliki oleh kecap memiliki range antara 25 45%. Perbandingan penambahan kadar enzim papain akan berbanding terbalik dengan nilai salinitas yang dihasilkan (Kilinc et al., 2005). Uji salinitas diuji dengan menggunakan brix refractometer. Flavor kecap ikan meningkat, nilai pada brix refractometer yang ditunjukkan akan juga meningkat. Menurut Hariono et al. (2006), bahwa nilai salinitas diukur untuk menentukan banyaknya padatan terlarut yang ada di dalam kecap ikan yang dihasilkan. Nilai selenitas juga menandakan tingkat hidrolisa dari protein yang berlangsung selama pembuatan kecap ikan. Nilai selenitas dari pembuatan kecap ikan sangat bergantung pada asam amino dan peptida yang dilepaskan.Dari jurnal yang dikarang oleh Jiang et al. (2007) membahas tentang bagaimana cara analisa sensoris dan kimiadari kecap ikan tradisional Cina. Di Cina nama kecap ikan adalah Yu lu. Kecap ikan ini sering ditemukan di daerah Guangdong dan Fujia, China. Perbandingan garam dan bahan basah yang digunakan adalah 1:3 berbeda dengan penambahan enzim dan daging ikan yang ideal adalah 1:5. Jurnal ini juga membahas bahwa hasil dari hidrolisa protein yang ada di dalam daging ikan yang dibuat menjadi kecap ikan adalah asam amino bebas, peptida, amonia. Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan metode tradisional bisa mencapai 12 bulan dan dilanjutkan fermentasi kedua mencapai 4 bulan. Analisa kimia yang digunakan dalam analisa kecap ikan adalah TVB & TVA.

Jurnal yang dikarang oleh Tanasupawat et al. (2008), mencoba mengidentifikasi bakteri halofilik yang ada di dalam kecap ikan di Thailand. Bakteri halofilik merupakan bakteri yang tahan terhadap konsentrasi garam. Di Thailand, kecap ikan mengandung 25 30% NaCl. Beberapa mikroorganisme halofilik yang sering muncul dalam kecap ikan adalah Lentibacillus salicampi, L. jurispiscarus, Halobacillus sp, dan Halobacterium salinarum. Bakteri halofilik yang digunakan dalam praktikum diinkubasi dengan teknik spread plate dan diinkubasi pada suhu 1 2 minggu. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan maka beberapa mikroorganisme yang berpengaruh terhadap pembuatan kecap ikan adalah C. salexigens, Halobacterium salinarum, dan Halobacterium saccharolyticus.

Jurnal yang dikarang oleh Yuen et al. (2009) membahas tentang karakteristik mikroorganisme yang terdapat dalam kecap ikan dari Malaysia yang dibuat secara tradisional. Dalam proses fermentasi ditemukan adanya bakteri Staphylococcus arlettae yang kehadirannya sangat dominan dalam kecap ikan. Bakteri ini sangat toleran terhadap garam berkadar tinggi (20 25% NaCl) yang biasanya ditambahkan dalam kecap ikan. Selain bakteri tersebut, bakteri golongan Bacillus dan Staphylococcus sp juga tahan terhadap garam.

Dalam jurnal yang dibuat oleh Hjalmarsson et al. (2007) menyebutkan bahwa musim juga mempengaruhi pembentukan kecap ikan. Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adah ikan capelin yang biasa ditemukan di perairan Atlantik utara dan perairan artik. Di dalam jurnal ini juga menggunakan aktivitas protease untuk menunjang terbentuknya kecap ikan. Ikan yang digunakan terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 501C. Fermentasi dilakukan sampai pada hari ke 360. Dalam jurnal ini juga menggunakan analisa dengan brix refractometer. Asam amino bebas yang dihasilkan dari proses ini diukur dengan menggukan analisa chromatography. Dari hasil analisa yang dilakukan, dengan penambahan 10,2% dan diinkubasi pada suhu 50,9C menghasilkan kecap ikan yang terbaik. Analisa nitrogen yang dilakukan menggunakan metode Kjeldahl. Dari uji warna yang sudah dilakukan maka dapat terlihat, semakin lama waktu fermentasi maka warna yang dihasilkan semakin gelap. Dari analisa musim yang sudah dilakukan, ikan capelin yang ditangkap pada musim panas akan menghasilkan kecap ikan yang lebih baik dibandingkan ikan capelin yang ditangkap pada musim dingin. Dari jurnal yang dikarang oleh Zaman et al. (2010) membahas tentang bagaimana terbentuknya amina dari kecap ikan dan hilangnya amina dari kecap ikan tersebut. Amina biogenik merupakan nitrogen sederhana yang memiliki berat molekular yang rendah. Biogenik amina muncul akibat adanya dekarboksilasi asam amino akibat aktivtitas mikroba. Keberadaan dari amina biogenik sangat tidak diharapkan karena bersifat racun bagi tubuh. Biogenik amina sering muncul pada makanan dan minuman hasil fermentasi. Jenis amina biogenik yang muncul dalam kecap ikan adalah Tyramine. Sebelum diolah, pH dari daging ikan diuji terlebih dahulu. Koloni dari bakteri yang digunakan untuk fermentasi dibiakkan dengan menggunakan suhu 37C selama 48 jam. Histamin yang teruji dari hasil pembuatan kecap ikan ini adalah 50 ppm. Produk makanan yang tercemari oleh amina tingkat tinggi menunjukkan bahwa tempat yang digunakan untuk fermentasi bukan tempat yang higienis. Mikroorganisme yang muncul dalam jurnal tersebut berasal dari jenis Bacillus sp, dan Staphylococcus sp.3. KESIMPULAN Limbah dari pengolahan daging ikan dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai manfaat yang lebih baik Kecap ikan merupakan olahan dari produk limbah hasil dari pengolahan daging ikan Bagian ikan yang bisa dijadikan kecap ikan adalah tulang, siri, ekor, dan kepala dari daging ikan Ikan tongkol mampu untuk dibuat menjadi kecap ikan Perbedaan kecap ikan dengan kecap pada umumnya adalah pada bahan baku yang digunakan serta warna dan kekentalan dari kecap ikan. Viskositas dari kecap ikan yang dihasilkan sangat encer. Pembuatan kecap ikan bisa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakna garam dan menggunaka bantuan enzim bromelin. Waktu reaksi yang dibutuhkan ketika menggunakan fermentasi dengan enzim lebih cepat dibandingkan dengan waktu fermentasi yang dibutuhkan pada proses fermentasi alami Enzim yang dipakai dalam proses fermentasi kecap asin adalah enzim papain yang berasal dari buah pepaya Enzim papain dapat memecah protein yang terdapat pada daging ikan menjadi komponen komponen yang lebih sederhana Kecap ikan memiliki warna yang kecoklatan Seiring dengan penambahan enzim papain warna coklat dari kecap ikan akan semakin jelas terlihat Kandungan senyawa nitrogen yang terdapat pada daging ikan akan menjadikan aroma dari kecap ikan menjadi tidak sedap Bahan harus dihaluksan untuk mempercepat proses terjadinya reaksi fermentasi Enzim lain yang digunakan dalam proses pembuatan kecap asin adalah enzim bromelin yang berasal dari buah nanas. Fermentasi dari pembuatan kecap asin harus berlangsung tanpa ada udara masuk (anaerob) untuk mencegah masuknya mikroorganisme patogen yang merusak kecap ikan Bumbu ditambahkan untuk menyedapkan rasa dari kecap ikan yang dibuat Warna coklat muncul akibat reaksi maillard gula jawa dengan asam amino yang dipecah dari protein daging ikan Bawang putih bisa menjadi zat antimikrobia yang mencegah terjadinya kontaminasi Faktor faktor yang menentukan keberhasilan pembuatan kecap ikan adalah banyaknya enzim protease yang ditambahkan, kualitas bahan baku, penambahan bumbu, waktu fermentasi, dan penambahan garam yang digunakan Semakin banyak enzim papain yang ditambahkan dalam limbah daging ikan maka akan semakin tinggi nilai dari derajat brix Nilai salinitas menggambarkan banyaknya padatan terlarut dalam kecap ikan Dengan semakin banyaknya enzim protease maka akan semakin meningkatkan rasa,aroma, dan warna dari kecap ikan yang dihasilkanSemarang, 26 September 2014Asisten dosen

Yuni Rusiana Jonathan Huberto Harjono12.70.0082

4. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Dincer, Tolga., Sukran Cakli., Berna Kilinc., & Sebnem Tolasa. (2010). Amino Acids and Fatty Acid Composition Content of Fish Sauce. Journal of Animal and Veterinary Advances 9 (2): 311-315, 2010.Elmer-Rico E. Mojica, Alejandro Q. Nato Jr., Maria Edlyn T. Ambas, Chito P. Feliciano. Maria Leonora D.L. Francisco and Custer C. (2005).Deocaris Application of Irradiation as Pretreatment Method in the Production of Fermented Fish Paste.Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.

Fidler, M.C., A. Krzystek, T. Walczyk, And R.F. Hurrell. (2004). Photostability of Sodium Iron Ethylenediaminetetraacetic Acid (NaFeEDTA) in Stored Fish Sauce and Soy Sauce. Journal of Food Science.Hariono I, Yeap S E, Kok T N and Ang G T. (2006). Use Of Koji And Protease In Fish Sauce Fermentation. Singapore J Pri Ind 32: 19-29 2005/06.Hjalmarsson, G.H., Park, J.W., and Kristbergsson,K. (2006). Seasonal Effects on The Physicochemical Characteristics of Fish Sauce made From Capelin (Mallotus villosus)

Ibrahim, Sayed Mekawy. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.

Jiang, J.J., Zeng, Q.X., Zhu, Z.W., Zhang, L.Y. (2007). Chemical and Sensory Changes Associated Yu lu Fermentation Process A Traditional Chinese Fish Sauce. Food Chemistry 104: 1629 1634.

Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kilinc, Berna, Sukran Cakli, Sebnem Tolasa, dan Tolga Dincer. (2005). Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing.

Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba dalam Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lisdiana & W. Soemardi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV.Aneka. Solo.

Meriit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majestys Stationery Office. Edinburgh.Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mozaffarian, D, et al. (2003). Cardiac Benefits of Fish Consumption May Depend on The Type of Fish Meal Consumed The Radiovascular Health Study. American Heart Association, Inc.

Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.Murakami, Miyuki; Masataka S., Masashi A., Yasuyuki T., and Kenichi Kawasaki.(2009). Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction Waste of Stock from Dried Fish using Various kojis.Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.7 (2) : 175-181Murtini, E.S. dan Qomarudin. (2003). Pengempukan Daging dengan Enzim Protease Tanaman Biduri (Calotropis Gigantea). Jurnal Teknol Industri Pmgan, Vol. XN, No. 3 p 266-268.Ranjan, Shivendu, Nandita Dasgupta, Proud Saha, Madhumita Rakshit dan C. Ramalingam. (2012). Comparative study of antibacterial activity of garlic and cinnamon at different temperature and its application on preservation of fish. Advances in Applied Science Research, 3 (1):495-501.Ritthiruangdej, Pitiporn and Thongchai Suwonsichon. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces and Their Categorization. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.) : 181 - 191 (2006).

Roser, D. (1991). Bawang Putih Untuk Kesehatan. Bumi Aksara. Jakarta.Shahidi, F. & J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality. Chapman & Hall. USA.

Sangjindavong, Mathana., Juta Mookdasanit., Pongtep Wilaipun., Pranisa Chuapoehuk., & Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).

Tanasupawat, S., Namwong, S., Kudo, T., Itoh, T. (2008). Identification of Halophilic Bacteria From Fish Sauce (Nam Pla) in Thailand. Journal of Culture Collections 6: 69 75.

Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

Yuen, S.K., Yee, C.F., Anton, A. (2009). Microbiological Characterization on BUDU, An Indigenous Malaysian Fish Sauce. Borneo Science 24: 25 - 35

Zaman, M.Z., Abu Bakar, F., Selamat, J., and Bakar, J. (2010). Occurance of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Czech Journal of Food Science 28(5): 440 449.5. LAMPIRAN5.1. PerhitunganRumus salinitas:

% salinitas = Kelompok A1

% salinitas = = 3%

Kelompok A2

% salinitas = = 2,8%

Kelompok A3

% salinitas = = 3,3%

Kelompok A4

% salinitas = = 3,5%

Kelompok A5

% salinitas = = 2,8%

Kelompok A6

% salinitas = = 3,3%

5.2. Foto

Gambar 1. Gambar Kecap Ikan Hasil Fermentasi Selama 3 Hari5.3. Diagram Alir

5.4. Laporan sementara

1