Upload
heru-hunter
View
176
Download
24
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jurnal
Citation preview
KECENDERUNGAN PEMIKIRAN DAN PRINSIP DASAR MODEL DESAIN PEMBELAJARAN (Dari Perspektif Paradigma Teknologi
Pembelajaran 1994 dan Konstruktivisme)
olehI Wayan Sukra Warpala
Jurusan Pendidikan BiologiFakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Salah satu masalah belajar dan pembelajaran adalah belum digabungkannya pandangan-pandangan yang bermanfaat mengenai kondisi belajar ke dalam desain pembelajaran. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai kecenderungan pembaharuan dalam perencanaan desain pembelajaran dan beberapa prinsip dasar sebagai prosedur perencanaan sebuah model desain pembelajaran. Dari perspektif paradigma teknologi pembelajaran 1994 jelas terungkap bahwa kawasan desain terbagi menjadi empat, yaitu desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik pebelajar. Oleh karenanya, kecenderungan model desain pembelajaran saat ini mengarah kepada desain pembelajaran yang bersifat nonlinier; aktivitas yang terintegrasi; menggunakan perspektif majemuk (pentingnya konteks dan konstruksi sosial); perumusan tujuan belajar berdasarkan pengetahuan atau keterampilan awal pebelajar; sistem yang terbuka yang memungkinkan terjadinya refleksi dan partisipasi pengguna; dan penggunaan mental models sebagai dasar desain pembelajaran, yang dapat menjembatani dunia pengetahuan, dunia belajar, dan dunia kerja. Berdasarkan kecenderungan pembaharuan tersebut, maka prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan dalam model desain pembelajaran adalah rekursif (desain pembelajaran yang nonlinier), refleksi (desain pembelajaran yang reflektif), dan partisipasi (desain pembelajaran yang partisipatif).
Kata kunci : teknologi pembelajaran, model desain pembelajaran, konstruktivistik, belajar dan pembelajaran
ABSTRACT
One of the major problem in learning and instruction is that the useful perspectives of learning condition have not yet combined into instructional design. This study would discuss about the innovation trends in writing the instructional design and some basic principles as a planning procedures of an instructional design model. From the perspective of educational technologicl paradigm 1994, it is clearly state that the domain of design was fourfolded: the instructional system design, message design, instructional strategy, and learner characteristic. The new trends of instructional design model (ID Model), therefore, should be directed toward a non-linier system design, integrated activities, the use of multiple perspectives (the importance of contex and social construction), learning objective based on the prior knowledge or previously skill acquisition, open-ended system promoting reflection and user’s participation, and the implementation of mental model as a basis for designing instruction which could bridge the knowledge, learning as well as work fields. Based on the trends above, the basic principles that required to be developed in the instructional design model should cover: recursive (non-linier ID Model), reflection (reflective ID Model), and participation (participative ID Model).
Key-words: instructional technology, instructional design model, constructivist, learning and instruction.
1. Pendahuluan
Kegiatan atau praktik belajar dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah pada
saat ini dipengaruhi oleh dua aliran psikologi, yaitu aliran behavioristik dan kognitif. Teori belajar
behavioristik dengan model hubungan stimulus – responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Proses belajar ditempuh dengan cara drill atau pembiasaan-pembiasaan
yang disertai dengan reinforcement untuk membentuk perilaku (sebagai hasil belajar). Di sisi lain,
aliran kognitif berupaya menjelaskan proses belajar dan pembelajaran dengan berlandaskan pada
peristiwa-peristiwa internal pebelajar. Dengan kata lain, teori belajar kognitif lebih banyak
mendeskripsikan apa yang terjadi dalam diri seseorang ketika ia belajar. Proses belajar dan
pembelajaran dipandang sebagai suatu proses pemaknaan informasi baru atau pengalaman baru
dengan jalan mengaitkannya dengan struktur informasi yang telah dimiliki. Proses belajar terjadi lebih
banyak ditentukan oleh motivasi internal individu pebelajar dan keaktifan inilah menjadi unsur utama
yang akan menentukan keberhasilan belajar dan pembelajaran.
Dari beberapa kajian teoretik dan penelitian (Brooks & Brooks, 1993; Duffy & Jonassen,
1992; Jonassen, 1999; Wilson, 1996) terungkap bahwa pembelajaran yang efektif, interaktif, dan
menarik bagi pebelajar adalah proses pembelajaran yang dilandasi oleh paradigma konstruktivisme.
Dalam implementasinya, pebelajar lebih banyak berinteraksi secara aktif dengan lingkungan
belajarnya. Dari sini, secara berkesinambungan pebelajar berupaya mengakomodasi berbagai
informasi dan pengalaman yang logis dan koheren. Tujuan pembelajaran atau kriteria keberhasilan
harus dinegosiasikan dengan pebelajar, aktivitas yang direncanakan muncul dari dalam konteks dunia
kehidupan nyata pebelajar, dan perlunya kolaborasi antarpebelajar dalam konstruksi sosial.
Pandangan-pandangan inilah yang telah mempengaruhi teori dan praktik teknologi pembelajaran
dewasa ini. Selain itu, pengaruh dari teori-teori lain, seperti teori Robert Gagne tentang “kondisi
belajar” dan teori “pemrosesan informasi” dari Gagne dan Briggs (Steven, 1996).
Secara intelektual, pengaruh teori dan pandangan tersebut telah berfungsi sebagai konteks
untuk pertumbuhan teknologi pembelajaran. Kekuatan-kekuatan ini dengan kedisiplinan agendanya
masing-masing telah membentuk pendekatan umum ke arah penyusunan penelitian dan teori, teknik,
dan prinsip-prinsip praktik dalam bidang teknologi pembelajaran. Dari perspektif paradigma
Teknologi Pembelajaran 1994, arah pendekatan umum tersebut tidak mustahil dapat terwujud,
mengingat definisi dan kawasan yang dimilikinya berorientasi sistematis. Secara implisit, definisi
Teknologi Pembelajaran 1994 menekankan bahwa teknologi pembelajaran merupakan proses desain
dan pengembangan yang komprehensif dan digunakan untuk memecahkan masalah belajar dan
pembelajaran (Seels & Richey, 1994).
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa permasalahan belajar dan pembelajaran yang harus
dijawab. Bagaimanakah merancang model desain atau program pembelajaran yang menggabungkan
pandangan-pandangan yang bermanfaat mengenai kondisi belajar secara sistematis? Di samping itu,
perlu adanya perubahan paradigma bahwa model desain pembelajaran lebih berperan sebagai
perlengkapan heuristik, dari pada sekedar sebagai resep untuk mencapai keberhasilan. Dari fenomena
tersebut, maka dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang trends pembaharuan dalam perencanaan
desain pembelajaran. Beberapa prinsip dasar sebagai prosedur perencanaan sebuah model desain
pembelajaran juga akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini.
2. Pembahasan
2.1 Kecenderungan Pembaharuan Pemikiran Mengenai Model Desain Pembelajaran dan
Implikasinya
Desain pembelajaran kadang-kadang dikaburkan dengan pegembangan atau dengan konsep
yang lebih luas dari pembelajaran itu sendiri. Dalam definisi dan deskripsi kawasan Teknologi
Pembelajaran 1994 terungkap bahwa desain terbatas pada fungsi perencanaan, baik pada tingkat
mikro maupun pada tingkat makro. Desain diartikan sebagai proses menspesifikasi kondisi-kondisi
belajar. Konsekuensinya, desain pembelajaran memerlukan model-model konseptual, model-model
prosedural, dan teori atau prinsip-prinsip yang mendasar. Dalam konteks ini, desain adalah proses
untuk menentukan kondisi pembelajaran. Tujuannya untuk menciptakan strategi dan produk pada
tingkat mikro (pesan; seperti pelajaran dan modul), dan pada tingkat makro (model; seperti program
dan kurikulum).
Pada saat ini ruang lingkup desain pembelajaran telah diperluas dari sumber belajar atau
komponen individual sistem ke arah pertimbangan ataupun lingkungan yang sistemik. Dari perspektif
paradigma Teknologi Pembelajaran 1994, telah terungkap bahwa perluasan ruang lingkup tersebut
menjadikan kawasan desain terbagi menjadi empat cakupan utama dari teori dan praktik. Keempat
cakupan kawasan desain tersebut adalah (1) desain sistem pembelajaran, merupakan prosedur yang
terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan,
pengaplikasian, dan penilaian pembelajaran; (2) desain pesan, meliputi perencanaan untuk
merekayasa bentuk fisik dari pesan; (3) strategi pembelajaran, adalah spesifikasi untuk menyeleksi
serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran; (4)
karakteristik pebelajar, menyangkut segi-segi latar belakang pengalaman pebelajar yang berpengaruh
terhadap efektivitas proses belajarnya.
Ada beberapa kecenderungan pemikiran dalam perencanaan model desain pembelajaran
sebagai koreksi terhadap desain pembelajaran tradisional yang ada selama ini. Kecenderungan
tersebut adalah (1) desain sistem pembelajaran yang linier ke arah yang bersifat nonlinier (recursive);
(2) aktivitas yang terpisah ke arah aktivitas yang terintegrasi; (3) perencanaan yang berperspektif
tunggal ke arah yang menggunakan perspektif majemuk, dengan mempertimbangkan pentingnya
konteks dan konstruksi sosial; (4) perumusan tujuan berdasarkan analisis konten materi, ke arah
perumusan tujuan berdasarkan pengetahuan dan/atau keterampilan awal pebelajar, yang dikaitkan
dengan konteks kehidupan nyata pebelajar; (5) penetapan desain pesan berdasarkan rentangan kondisi
rata-rata di mana sistem itu akan berfungsi, ke arah penggunaan desain pesan dengan berbagai variasi
pilihan dan sebagai bagian integral dari proses; (6) sistem yang tertutup, ke arah sistem yang terbuka
yang memungkinkan terjadinya refleksi dan partisipasi pengguna; (7) penyediaan negosiasi sosial
sebagai bagian integral dari desain material; (8) penggunaan mental models sebagai dasar desain
pembelajaran, yang dapat menjembatani dunia pengetahuan, dunia belajar, dan dunia kerja.
Kecenderungan perubahan pemikiran tentang model desain pembelajaran telah berimplikasi
kepada aspek-aspek proses desain pembelajaran itu sendiri. Analisis terhadap desain pembelajaran
tradisional, kecenderungan perubahan pemikiran mengenai desain pembelajaran berimplikasi pada
konten atau materi, karakteristik pebelajar, dan spesifikasi tujuan yang ingin dicapai. Sejak adanya
pandangan bahwa pebelajar harus mengkonstruksi pengetahuan atau pemahamannya sendiri, maka
konten tidak bisa ditetapkan terlebih dahulu dalam proses desain. Akan tetapi, domain sentral atau inti
dari pengetahuan (core knowledge) tersebut yang ditentukan. Artinya, pebelajar dirangsang untuk
mencari domain pengetahuan atau informasi lainnya yang relevan dengan isu-isu yang ada. Jadi,
pebelajar mampu membawa perspektif baru dan data baru mengenai isu-isu sehingga pebelajar
terangsang untuk mencari pandangan-pandangan baru dan selalu mempertimbangkan sumber-sumber
data alternatif terhadap domain konten pembelajaran. Karakteristik keberhasilan pebelajar tidak
dianalisis berdasarkan kondisi rata-ratanya dan pandangan bahwa pebelajar merupakan satu kesatuan
yang utuh. Kamajuan pebelajar tidak hanya dilihat dari karakteristik pencapaian hasil belajar sebagai
bagian dari sistem, tetapi terfokus pada keterampilan yang reflektif. Dari aspek spesifikasi tujuan,
analisis tidak hanya dilakukan terhadap hasil belajar yang telah ditentukan. Pembelajaran dan
spesifikasi tujuannya tidak ada dalam internal domain konten, tetapi muncul dan disadari sebagai
sesuatu yang cocok bagi pebelajar untuk memecahkan tugas-tugas atau masalah yang berhubungan
dengan kehidupan dunia nyata.
Implikasi terhadap sekuen pembelajaran (pada tingkat makro) dan pesan (pada tingkat mikro)
adalah (1) perlunya menumbuhkan kesadaran akan pengalaman belajar pada setting konteks dunia
nyata (Johnsen & Taylor, 1991); (2) perlunya perolehan kognitif tingkat tinggi; (3) penekanan pada
perspektif majemuk pebelajar dalam menangani isu-isu. Pengkodisian pengalaman belajar pada
konteks dunia nyata mengandung arti bahwa (a) tugas-tugas tidak terisolasi, tetapi merupakan bagian
dari sebuah konteks yang luas, misalnya pemecahan masalah dan penugasan proyek; (b) mengacu
kepada proses belajar dan tujuan yang tidak ada di dalam domain konten, yang berkenaan dengan
tugas-tugas otentik dan memberikan berbagai tujuan spesifik yang sesuai dengan tugas-tugas tersebut;
(c) belajar selalu terjadi dalam konteks, yakni konteks tersebut akan membentuk hubungan yang erat
dengan pengetahuan yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, bahwa informasi tidak bisa diingat
sebagai sesuatu yang independen dan abstrak.
Kaitannya dengan perolehan keterampilan kognitif, pengajar atau instruktur yang bertindak
sebagai fasilitator harus dapat menjadi model yang efektif bagi pebelajar. Respon pengajar tidak
hanya menyangkut hal-hal yang ideal sebagai solusi yang benar dan diberikan setelah jangka waktu
tertentu. Akan tetapi bagaimana pebelajar bisa belajar cara-cara yang otentik dan bagaimana pengajar
berusaha mempresentasikan kembali isu-isu. Penekanan pada perspektif majemuk, memiliki arti
bahwa pebelajar mampu mengkonstruksi pengetahuan atau pemahamannya berdasarkan pada sumber-
sumber informasi yang telah dikaji dari berbagai sudut pandang. Strategi belajar untuk hal ini adalah
lingkungan belajar kolaboratif dan pemberian contoh-contoh otentik. Contoh-contoh itu bukan dipilih
dari hal-hal yang kritis dari konten atau dari manipulasi sistematis hal-hal kompleks yang tidak
relevan.
Perubahan penekanan prosedur evaluasi pembelajaran kepada pengukuran keterampilan
berpikir juga merupakan implikasi dari kecenderungan pembaharuan dalam proses desain
pembelajaran. Evaluasi tidak semata-mata dilakukan untuk memperoleh gambaran prestasi belajar
(goal achievement), tetapi tujuan tersebut digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemanfaatan
domain konten dalam tugas-tugas otentik. Pembelajaran bertindak sebagai penyedia tugas-tugas
otentik tersebut dan penyedia piranti yang diperlukan pebelajar untuk mengembangkan keterampilan
mengkonstruksi respon informatif yang ada dan mengevaluasi respon-respon alternatif lainnya.
2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Model Desain Pembelajaran
Telah banyak dikembangkan model-model desain pembelajaran. Berdasarkan perkembangan
konsep teknologi pendidikan (pembelajaran), psikologi dan teori belajar yang mendasarinya, semua
model desain yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua (dalam Willis & Wright, 2000), yaitu
model desain pembelajaran tradisional (seperti model Dick & Carey,1996; Merrill, 1996; 1997) dan
model desain pembelajaran nontradisional (seperti model A-Maze ID dari Bing, et al., 1997; Layers
of Negotiation ID dari Cennamo, et al., 1996; R2D2 dari Willis, 1995; Chaos Theory ID dari
Yeongmahn You, 1994). Yang pertama, model yang linier, terdiri atas langkah-langkah yang detail
dan sistematis. Model desain ini mengacu kepada konsep teknologi pendidikan sebagai sebuah proses
yang sistematis, psikologi, dan teori belajar behavioristik. Model desain yang kedua, mengacu kepada
psikologi belajar kognitif dan teori belajar konstruktivistik. Model desain pembelajaran ini memiliki
kecenderungan (1) desain yang nonlinier (recursive); (2) prosedurnya hanya terdiri atas prinsip-
prinsip yang umum; (3) merupakan sistem yang kompleks, terbuka, dan sistemik.
Sebelum membahas beberapa prinsip dasar sebagai pedoman penyusunan model desain
pembelajaran yang berspektif konstruktivistik, maka terlebih dulu akan dideskripsikan secara singkat
prosedur penyusunan model desain pembelajaran tradisional. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan
bandingan dalam merencanakan sebuah model desain atau program pembelajaran. Apakah desain
merupakan proses yang menggunakan teknik-teknik sebagai hasil dari penelitian untuk memecahkan
masalah yang well-defined atau mungkin merupakan proses yang artistik untuk menciptakan
kemungkinan solusi masalah yang ill-defined atau fuzzy problem.
Prosedur perencanaan model desain pembelajaran tradisional (misal Model ISD –
instructional system design) merupakan serangkaian langkah-langkah yang terorganisir untuk
mengembangkan materi dan program pembelajaran. Tahapan-tahapan prosedurnya terdiri atas (1)
tahap analisis (pendefinisian terhadap apa yang dipelajari); (2) tahap mendesain (menspesifikasi
bagaimana seharusnya belajar terjadi); (3) tahap pengembangan (penulisan atau produksi materi); (4)
tahap evaluasi (penentuan kesesuaian pembelajaran).
Dalam literatur yang lain (Steven, 1996) disampaikan bahwa sebuah model desain atau
program pembelajaran yang sistematis terdiri atas 18 langkah yang dikelompokkan ke dalam lima
fase. Prosedur ini merupakan pendekatan yang masih umum sifatnya, karena masih dapat
dimodifikasi untuk disesuaikan dengan model desain yang akan dikembangkan. Adapun prosedur
yang ditawarkan terdiri atas fase-fase, yakni mendiagnosa (diagnose), mendesain (design),
memperoleh (procure), memproduksi (produce), dan perbaikan (refine).
Berdasarkan kajian teoretis dari beberapa literatur (Blank & Russell, 2000; Merrienboer, et
al., 2002; Nelson & Stolterman, 2000; Willis, 2000; Willis & Wright, 2000) terungkap, bahwa model
desain pembelajaran yang berspektif konstruktivistik tidak terdiri atas prosedur yang linear dan
sistematis. Sebuah model desain hanya terdiri atas prinsip-prinsip dasar sebagai penuntun/pedoman,
bukan bertindak sebagai resep yang spesifik mengenai apa yang harus dilakukan pembelajar dan
bagaimana seharusnya pebelajar. Hal penting yang harus diperhatikan adalah pemahaman terhadap
konteks dan kondisi belajar sebagai aspek kesuksesan pembuatan desain. Menurut pandangan
Aristoteles terhadap pengetahuan, phronesis, bahwa pengetahuan ada di dalam konteks dan juga
tergantung pada konteks. Willis (2000) mengilustrasikan pandangan ini dengan pernyataan
“knowledge is practical wisdom rather than abstract universal wisdom”. Pandangan ini yang
dijadikan pijakan teori dalam menentukan prinsip-prinsip dasar desain pembelajaran masa kini
sebagai alternatif dari desain pembelajaran tradisional.
Dari beberapa prinsip dasar pedoman umum yang ditawarkan (Blank & Russell, 2000;
Merrienboer, et al., 2002; Nelson & Stolterman, 2000; Willis, 2000; Willis & Wright, 2000), secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga pedoman yang fleksibel. Ketiga pedoman ini lebih
mendasarkan diri pada pendekatan post-modern dalam teknologi pendidikan. Tiga pedoman atau
prinsip dasar tersebut akan dibahas secara berturut-turut dalam bahasan berikut.
Recursion; Desain Yang non-Linier
Sebagian besar model desain pembelajaran yang ada didasarkan atas asumsi bahwa suatu
pendekatan linier adalah yang terbaik. Oleh karenanya, model desain harus dilakukan melalui
serangkaian langkah yang spesifik, satu langkah tertentu (misal step 1) selanjutnya harus diikuti oleh
langkah yang lain (misal step 2) secara berturut-turut dengan pola yang tetap. Hasil (output) dari
langkah pertama adalah input untuk langkah kedua, dan begitu seterusnya.
Dengan telah berkembangnya pandangan, pendekatan, dan teori-teori (Brooks & Brooks,
1993; Duffy & Jonassen, 1992; Jonassen, 1999; Wilson, 1996) sebagai lawan perspektif tradisional,
timbul pertanyaan “benarkah model desain yang linier merupakan solusi terbaik untuk setiap
performance problem?” Dalam kondisi yang nyata, yakni pembelajaran terjadi pada suatu konteks,
model desain linier tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam urut-urutannya yang sudah
ditentukan. Dalam kondisi ini, laju informasi selalu muncul dua arah dan berubah menjadi komponen
yang bervariasi sebagai akibat dari proses yang didasarkan atas informasi baru tersebut. Model desain
linier tidak cukup fleksibel dalam kondisi lingkungan belajar yang penuh “pergolakan, kekacauan –
turbulance” atau sistem pendidikan yang kompleks. Dengan demikian, model desain pembelajaran
harus merupakan desain yang nonlinier (recursive design).
Model desain pembelajaran nonlinier merupakan proses desain yang memperlihatkan adanya
hubungan dan ketergantungan yang dinamis antar komponennya. Salah satu aspek desain
pembelajaran nonlinier adalah recursion, suatu siklus yang berulang dalam proses desain dan
pengembangan. Menurut para penganut paham “keteraturan” (positivistik, pendidikan modern),
proses desain nonlinier dianggap sebagai proses yang kacau-balau (chaotic). Kelihatannya demikian,
karena proses desain ini lebih lanjut tidak menentukan pola yang spesifik. Mengapa demikian? Proses
desain pembelajaran menyangkut di dalamnya suatu aspek untuk mengkaji segenap informasi yang
relevan dengan desain dalam kemajemukan waktu dan dari perspektif majemuk. Situasi dan kondisi
apapun (termasuk kondisi belajar) tidak semuanya bisa ditentukan dan diprediksi, sebagian besar
bersifat indeterministic unpredictability. Jadi, prinsip dasar ini hanya sebagai pedoman yang
memberikan “keleluasaan” kepada pengguna desain, dan keputusan apa yang harus diambil, serta apa
yang harus dilakukan selanjutnya tergantung dari situasi yang ada.
Pada prinsipnya, recursive design menghendaki adanya kerja sama antara perancang desain
(expert designer) dengan pengguna (end-user). Sebagai contoh, dalam proses pengembangan materi
pembelajaran, partisipasi keduanya dalam proses revisi dan reformulasi sangat penting artinya untuk
desain proyek yang kompleks. Rasionalnya bahwa apa yang telah ditentukan oleh ahli atau desainer
secara linier “di atas meja” tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Dari perspektif pendidikan post-
modern terungkap bahwa lingkungan di mana proses pembelajaran berlangsung penuh dengan
“ledakan” informasi. Implikasinya, pengkajian (evaluasi formatif) terhadap model desain harus
dilakukan secara kolaboratif. Kiranya, sudah makin jelas bahwa proses model desain pembelajaran
memerlukan pedoman yang fleksibel, dalam bentuknya yang nonlinier (recursive, iterative). Dengan
ungkapan lain, bahwa proses desain pembelajaran tidak diawali dan diakhiri dari suatu titik yang
jelas, berjalan dalam suatu siklus dengan tahap-tahap berulang.
Reflection; Desain Yang Reflektif
Model desain pembelajaran, baik desain linier maupun yang nonlinier harus terbuka untuk
sebuah pengkajian guna mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Refleksi merupakan suatu prinsip
dasar yang harus ada dalam sebuah model desain pembelajaran. Refleksi sebagai prinsip dasar yang
kedua dari desain pembelajaran yang berspektif konstruktivistik, sangat sukar untuk dijelaskan.
Secara sederhana refleksi adalah berpikir tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan
dikerjakan. Istilah reflection yang dimaksud dalam desain yang nonlinier berbeda dengan apa yang
telah dilakukan dalam desain linier.
Model desain yang linier menggunakan pendekatan technical rationality, yaitu sebuah
epistemologi praktik yang merupakan derivasi dari filsafat positivistik. Praktik yang baik dari
perspektif ini, menyangkut penentuan masalah secara hati-hati dan dengan seksama, kemudian
mencari solusi yang jelas (well-formed) yang diderivasi dari sebuah penelitian yang baik untuk
memecahkan masalah tersebut. Pendekatan technical rationality lebih mendekati kepada cara-cara
yang ada pada prosedur ilmiah. Ada asumsi bahwa beberapa (mungkin tidak banyak) masalah penting
dalam dunia praktik yang profesional tidak dapat dipecahkan dengan well-formed solutions. Dengan
perkataan lain, masalah tersebut tidak dapat “didekati” dengan cara-cara seperti pada prosedur ilmiah.
Ada sisi-sisi pemecahan suatu masalah meniru cara-cara atau pola pikir seperti layaknya seniman
yang terampil. Istilah reflection untuk desain nonlinier mengacu kepada fenomena yang terakhir.
Dalam praktiknya, sebuah proses desain pembelajaran yang reflektif menyangkut di dalamnya
seni untuk mengemas permasalahan, seni untuk mengimplementasikan, dan seni untuk
mengimprovisasikan. Jadi, istilah refleksi pada desain yang nonlinier lebih mengarah kepada prosedur
yang artistik daripada yang ilmiah. Hal penting dalam praktik refleksi ini adalah pemikiran, atensi,
dan pemahaman terhadap konteks tempat “proses” itu terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Nelson
& Stolterman (2000), bahwa keputusan dan tindakan terkadang (bahkan mungkin harus) muncul dari
sesuatu yang riil atau real condition, bukan dari apa yang benar (true).
Schon (dalam Willis, 2000) menggunakan istilah reflection-in-action dan reflection-on-action
yang menunjuk kepada suatu kerja desain yang thoughtful dalam suatu konteks. Reflection-on-action
digambarkan sebagai sebuah proses yang berulang, yaitu setiap usaha pemecahan masalah yang
menghasilkan solusi nonrutin akan menghadirkan sesuatu yang reflektif. Refleksi untuk setiap
tingkatan dan hasilnya menentukan keputusan dan tindakan untuk tingkatan selanjutnya, begitu
seterusnya. Sebuah pola dalam aktivitas inkuiri sangatlah baik untuk menjelaskan serangkaian
kejadian (moment) dalam proses reflection-in-action. Berpikir reflektif terhadap apa yang telah
dikerjakan, sedang dan akan dilaksanakan, menuntun kepada terjadinya reformulasi masalah seperti
halnya dalam pelaksanan eksperimen. Terkadang kita harus “membuang”, mengadopsi, atau merevisi
lagi.
Dengan demikian, desain yang reflektif lebih mendasarkan diri kepada realitas, karena
kebenaran (derivasi dari teori dan universalisasi) tidaklah cukup untuk pengambilan keputusan dan
tindakan yang terjadi dalam kerangka kerja desain program pembelajaran.
Participation; Desain Yang Partisipatif
Pada awalnya desain yang partisipatif merupakan pendekatan baru ke arah desain sistem
komputer, yakni orang-orang yang disiapkan untuk menggunakan sistem tersebut memainkan peranan
penting dalam mendesain sistem tersebut. Dalam desain pembelajaran, adanya pertimbangan
kemungkinan pengguna (user) ambil bagian dalam proses desain sangat lambat. Hal ini mungkin
disebabkan karena teori behavioristik lebih mendominasi praktik pembelajaran dalam kurun waktu
yang cukup lama. Penganut paham desain linier, beranggapan bahwa user tidak akan memiliki
partisipasi yang berarti dalam proses desain dan pengembangan. Dalam bidang-bidang lain (software
engineering, industry, dan system design) keterlibatan user telah dikembangkan dan diteliti dengan
baik.
Dari hasil studi (Willis, 2000) dilaporkan bahwa keterlibatan user memberikan pengaruh
positif terhadap desain. Kolaborasi antara implementer dan user harus dibentuk dan keduanya harus
mengambil tanggung jawab untuk kesuksesan proyek atau program desain. Keterlibatan user dalam
desain adalah sebagai partisipan, bukan sebagai observer atau obyek yang akan diteliti. Desain yang
partisipatif merupakan sebuah hal yang kontroversial dalam desain pembelajaran alternatif. Tetapi
memang demikianlah adanya, desainer bukanlah seorang ahli yang tahu segalanya. Sepanjang
pemahaman terhadap konteks (tempat di mana materi pembelajaran akan digunakan) merupakan hal
yang kritis untuk kesuksesan desain, maka partisipasi user sangat diperlukan. Dalam hal ini, user
diasumsikan lebih mengerti dan dapat menginterpretasi konteks itu sendiri. Atas dasar argumen ini,
maka partisipasi aktif user merupakan tuntutan untuk sebuah model desain pembelajaran. Selain itu
juga bahwa untuk pengkajian informasi yang relevan dengan desain harus dilihat dari perspektif
majemuk, bukan hanya dari perspektif tunggal seorang perancang desain (expert). Jadi, desain yang
partisipatif adalah desain yang berpusat pada klien (client-centered design).
3. Penutup
Kesimpulannya, ada tiga pedoman yang fleksibel untuk mendukung desain pembelajaran
yang berperspektif konstruktivistik, yaitu: recursion, reflection, dan participation. Ketiganya
merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa dijadikan pedoman umum untuk proses desain, program,
ataupun proyek. Ketiga prinsip dasar ini tidak (belum) digunakan secara meluas dalam desain
pembelajaran karena berbagai alasan, tetapi minimal menjadi alternatif pilihan, mengingat teori
belajar konstruktivistik telah sukses menarik perhatian para praktisi pendidikan pada saat ini.
Di sisi lain, pada saat ini pendidikan telah memasuki suatu jaman yang penuh dengan tuntutan
yang lebih rumit dan menantang. Pendidikan post-modern memandang bahwa dalam pembelajaran
kita berusaha datang untuk menggapai “ledakan” informasi, menemukan konten di setiap tempat, dan
semuanya secara bersamaan dalam suatu kejadian dan waktu. Keadaan atau kondisi pada jaman
sekarang yang penuh dengan ketidakmenentuan (unpredictable), perubahan yang begitu cepat terjadi
dengan gerakan yang tidak linier, serta perkembangan yang luar biasa dalam bidang psikologi
pendidikan dan teknologi pendidikan. Semuanya ini telah mengubah cara pandang manusia terhadap
manusia, cara pandang terhadap pendidikan, dan belajar, serta perubahan pola hubungan pendidik
dengan subjek didik.
Program pembelajaran seperti pemberian drill, latihan-latihan, dan tutorial sebagai derivasi
dari psikologi behaviorisme sudah tidak sesuai lagi untuk semua kondisi pembelajaran. Pendekatan
lain, seperti problem-based learning dan anchored instruction, serta pendekatan atau model
pembelajaran yang lain (CTL, RME, Model Perubahan Konseptual, Model Belajar Generatif)
dianggap sebagai suatu solusi alternatifnya. Kedua pendekatan ini merupakan suatu strategi atau
teknik menciptakan situasi pembelajaran dalam berbagai latar kehidupan nyata untuk membantu
refleksi, transfer, dan pemecahan masalah dalam peringkat yang lebih tinggi. Atas dasar inilah, maka
perlu adanya kecenderungan pembaharuan pemikiran dalam model desain pembelajaran dan perlunya
prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman umum yang fleksibel untuk desainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Blank, J. & Russell, J. D. 2000. The Program Planning Model for Adul and Continuing Education. Educational Technology, Vol. 40 (2): 47 – 51
Brooks, J. G & Brooks, M. G. 1993. In search of understanding: the case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development
Duffy, T. & Jonassen, D. 1992. Constructivism and the Technology of Instruction: A conversation. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher
Johnsen, J. B. & Taylor, W. D. 1991. Instructional Technology and Unforeseen Value Conflicts. Dalam Anglin, G. J. (Ed): Instructional Technology: Past, Present, and Future. Englewood Cliffs, Colorado: Libraries Unlimited, Inc. pp. 82 – 101
Jonassen, D. H. 1999. Designing Constructivist Learning Environments. Dalam Reigeluth, C. M. (Ed): Instructional Design Theories and Models: A new paradigm of instructional theory, Vol. II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. pp. 215-239.
Merrienboer, J. J. G., Seel, N. M., & Kirschner. 2002. Mental Models as a New Foundation for Insructional Design. Educational Technology, March – April 2002: 60 – 66
Nelson, H. G. & Stolterman, E. 2000. The Case for Design: Creating a Culture of Intention. Educational Technology, Vol. 40 (6): 29 – 35
Seels, B. B. & Richey, R. C. 1994. Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Washington, DC: Association for Educational Communications and Technology
Steven, H. 1996. The Educational Technology Handbook: a comprehensive guide: process and products of learning. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publication, Inc
Willis, J. 2000. The Maturing of Constructivist Instructional Design: Some Basic Principles That Can Guide Practice. Educational Technology, Vol. 40 (1): 5 – 16
Willis, J. & Wright, K. E. 2000. A Generl Set of Procedures for Constructivist Instructional Design: The New R2D2 Model. Educational Technology, Vol. 40 (2): 5 – 20
Wilson, B. G (Ed). 1996. Constructivist Learning Environments: Case studies in instructional design. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publication, Inc