29
“KEDUDUKAN JANDA DI DALAM HUKUM WARIS ADAT” GLORY KRISTIANI HALIM 2110106 MELISSA ONGKOWIJOYO FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

kedudukan janda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

di indonesiahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

Citation preview

Page 1: kedudukan janda

“KEDUDUKAN JANDA DI DALAM

HUKUM WARIS ADAT”

GLORY KRISTIANI HALIM 2110106

MELISSA ONGKOWIJOYO

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURABAYA

2011 – 2012

Page 2: kedudukan janda

A.Peranan Janda Dalam Masyarakat Serta Dalam Hukum

Waris  Adat

Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem

kekeluargaan yang terdapat di Indonesia.Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum

waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di

Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat

Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda,yaitu:

a.Sistem Patrilineal,yaitu sistem:

“Kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam system ini

kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada

masyarakat Batak.Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang

telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak

suami,selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.”

b.Sistem Matrilineal,yaitu sistem:

“Sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam

sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak

menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian

dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri,contoh

sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.Namun demikian, bagi masyarakat

Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak

berubah.”

c.Sistem Parental atau bilateral,yaitu sistem:

 “Sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan

Page 3: kedudukan janda

sejajar. Artinya,baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta

peninggalan orang tua mereka.Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada

variasilain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,"sistem patrilineal

beralih-alih(alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel unilateral)."

Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan

sistem yang lainnya.Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan diatas, jelas bagi

kita bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat di pengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang

berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut.

Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya "Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang

dimuat dalam Majalah Hukum Nomor 2 mengemukakan, antara lain:"...masalah hukum adat

waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena

sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan aturan-aturan

tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang dianut tidak kalah pentingnya pula dalam

penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum

adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut

sistem patrilineal, tetapi dalam 45 pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga

memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak".

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat

waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan,

hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :

a. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris

mewarisi secara perorangan, misalnya di: Jawa, Batak. Sulawesi, dan lain-lain;

b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta

peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak

dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Contohnya: "harta pusaka” di

Minangkabau dan "tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon;

c. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan

pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak.

Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:

Page 4: kedudukan janda

(1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/ sulung atau keturunan laki-laki

merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung;

(2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari

pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

Hazairin,di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, menerangkan

tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan,

yaitu :"Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu

langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab

sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat di temui dalam masyarakat yang bilateral,

tetapi juga dapat di jumpai dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di

Tanah Batak, di sana sini mungkin pula di jumpai sistem mayorat dan sistem kolektif yang

terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-

alih, di Tanah Semendo di jumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan

Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam

masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara".

Ternyata tidak mudah bagi kita untuk menentukan dengan pasti dan tegas bahwa dalam suatu

masyarakat tertentu dengan sistem kekeluargaan yang berprinsip menarik garis keturunan,

memiliki sistem hukum adat waris yang mandiri yang berbeda sama sekali dengan sistem hukum

adat waris pada masyarakat lainnya. Namun tidak demikian halnya sebab mungkin saja sistem

kekeluargaannya berbeda, sedangkan sistem hukum adat warisnya memiliki unsur-unsur

kesamaan. Oleh karena itu, sebagai pedoman di bawah ini akan di paparkan tiga besar sistem

hukum adat waris yang sangat menonjol yang erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan,

sehingga akan dapat diketahui mengenai sistem hukum adat warisnya yang ada pada sistem

kekeluargaan tersebut.Secara teoretis di Indonesia sesungguhnya di kenal banyak ragam sistem

kekeluargaan di dalam masyarakat.

Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat menonjol dalam percaturan hukum adat ada tiga

corak, yaitu:

(1) Sistem patrilineal, dengan contoh yang sangat umum yakni Tanah Batak;

(2) Sistem matrilineal, dengan contoh daerah Minangkabau, dan

Page 5: kedudukan janda

(3) Sistem parental, yang dikenal luas yakni Jawa. Untuk itu, paparan di bawah ini pun akan di

batasi hanya mengenai hukum adat waris yang dikenal di dalam ketiga sistem kekeluargaan

tersebut di atas.

d. Sistem Kekeluargaan Patrilineal

1. Hukum Adat Waris Patrilineal

“Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, hanyalah

anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan di luar dari golongan

patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin”. Selanjutnya secara terperinci perihal hukum

adat waris patrilineal dalam masyarakat Batak Karo ini,diuraikan oleh Djaja S. Meliala , dan

Aswin Peranginangin,dalam bukunya “Hukum Perdata Adat Karo dalam rangka Pembentukan

Hukum Nasional”.Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melanda sistem hukum adat

waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta

peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali

tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “Memandang rendah kedudukan

wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya”.

Titik tolak anggapan tersebut, yaitu :

a. Emas kawin(tukur), yang membuktikan bahwa perempuan di jual. Adat lakoman (levirat) yang

membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal;

b.Perempuan tidak mendapat warisan;

c.Perkataan“naki-naki”menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-

lain.Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan

dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik Karo kaum

wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat

Karo, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:

(1)Silsilah keluarga di dasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan

silsilah (keturunan keluarga);

(2)Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga

(marga) ayah. Istri di golongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;

(3)Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya)sebab ia masuk anggota keluarga

suaminya;

Page 6: kedudukan janda

(4)Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);

(5)Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung

jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat

maupun harta-benda.

Di dalam masyarakat Karo, seperti juga masyarakat yangmemiliki sistem kekerabatan yang

sama, apabila anak perempuan sudah menikah, ia dianggap tergolong kelompok suaminya.

Dalam masyarakat Karo, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan anak beru,seperti

halnya dengan suaminya dan saudara-saudaranya yang semarga. Sehubungan dengan itu, hanya

anak laki-laki yang akan menerima warisan dari orang tuanya dan di sini menunjukkan, bahwa

kaum wanita Karo mempunyai harga diri yang cukup besar serta mempunyai sifat mampu berdiri

sendiri yang mengagumkan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa hak-hak kaum wanita pada

masyarakat yang mempunyai sistem patrilineal menjadi tertekan sebab menurut cerita kuno

masyarakat Karo, sudah sangat banyak peranan yang dimainkan oleh kaum wanita Karo di

segala bidang sejak dulu.

Oleh karena itu, tidaklah beralasan jika memandang kaum wanita dalam masyarakat yang

bersistem patrilineal secara apriori

lebih rendah daripada masyarakat lain yang bersistem matrilineal dan bilateral.Peranan kaum

wanita Karo sejak dahulu sudah dapat terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan

keagamaan, lapangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan juga banyak wanita Karo yang

dengan gagah berani telah menunjukkan jiwa kepahlawanannya.Demikian pula dalam hal

perundingan-perundingan adat, sering sekali suara seorang perempuan justru menentukan, atau

paling tidak sangat mempengaruhi keputusan, baik dalam hal perkara perdata maupun dalam

perkara pidana.

Akan tetapi walau bagaimana pun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dalam

pergaulan di masyarakat, dapatlah kiranya dilihat dari peranan yang dipegangnya di dalam

masyarakat. Selain itu sistem sosial suatu masyarakat juga sangat menentukan sejauh mana

wanita diberi kesempatan untuk melaksanakan peranannya.Berkaitan dengan hal di atas, maka

dalam mempelajari hukum adat waris patrilineal di Tanah Karo, hendaknya masalah status

hak dan kewajiban seorang wanita jangan di tinjau terlepas dari masyarakat, adat istiadat, dan

norma-norma yang berlaku di dalam sistem sosialnya.

Page 7: kedudukan janda

Pewaris, ahli waris, dan pembagian harta pusaka.Dalam sistem hukum adat waris di Tanah

Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta

kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di

dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal

maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki

yang merupakan ahli waris dari orang tuannya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah

pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada

prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada

anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya

kepada anak-anaknya.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah Patrilineal, terdiri atas:

a). Anak laki-laki.Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta

kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi

sama di antara para ahli waris. Misalnya pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka

masing-masing anak laki-laki akan mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta

pusaka. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan

isteri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri

seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali

kepada"pengulihen".

 b). Anak angkat. Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris.Yang

kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris

terhadap harta pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka,

anak angkat tidak berhak.

c). Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung sipe waris. Apabila anak laki-laki yang sah

maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-

saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.

d). Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.Apabila anak laki-laki yang sah, anak

angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang

tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

e). Persekutuan adat Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka

harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo

Page 8: kedudukan janda

menentukan, bahwahanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka.Yang

dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak

dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini

adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu "bagian dari

kampung secara fisik". Barang-barang adat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun

milik kesain.Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat

menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan, seperti ijuk,

bambu, kayu, dan sebagainya yang berkampung, dan bersuku. Sedangkan gezin,famili itu relatif

sedikit sebab meskipun ada gezin,si ayah tetap menjadi anggota kaumnya.

Demikian pula si ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya,sehingga dalam masyarakat

Minangkabau kita tidak dapat menemukan anak yatim-piatu atau juga orang jompo yang

tidak punya usaha atau pencaharian sebab sistem kekeluargaan itulah yang membentuk

demikian.

Dasar hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula dari pepatah adat Minangkabau,

yaitu pusaka itu dari nenek turun kemamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun

itu bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka, misalnya gelar Datuk Sati.

Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan turun kepada kemenakannya, yaitu anak dari

saudara perempuan dan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.

2. Harta warisan dalam hukum Adat waris Minangkabau

Harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang

berhak terdiri atas:

a).Harta pusaka tinggi,Yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa

tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan,

maupun tembilang perak ,yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta

pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan

kepada anak.

b)Harta pusaka rendah,Yaitu harta yang turun dari satu generasi.

c)Harta Pencaharian,Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.Harta

pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta

pusaka rendah.Untuk harta pencaharian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah

sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain,

Page 9: kedudukan janda

yaitu "bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak (sepertiga) dari harta

pencaharian untuk kemenakan".

d)Harta Suarang Sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa, di antaranya:Harta Pasuarangan.

Harta Basarikatan,Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan,yaitu seluruh harta benda

yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-isteri selama masa perkawinan. Tidak termasuk

ke dalam harta suarang ini, yakni harta bawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada

sebelumperkawinan berlangsung.

Dengan demikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.

3. Ahli waris dan hak mewaris menurut adat Minangkabau

Sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan

hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan“tanah ulayat”.Kaum serta anggota

kaum diwakili ke luar oleh seorang“mamak kepala waris”.Anggota kaum yang menjadi mamak

kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu,mamak kepala waris harus

yang cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum,

bukan pada mamak kepala waris.Anggota kaum terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini

adalah ahli waris. Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:

a) Waris bertali darah

Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas waris satampok (waris

setampuk),waris sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto(waris sehasta). Masing-masing

ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. Artinya, selama waris

bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal belum berhak mewaris.

Demikian pula ahli waris seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta

belum berhak mewaris.

b) Waris bertali adat 

Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama

sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian

tersendiri untuk waris bertali adat,sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :-

menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh,waris batali suto,waris batali budi,waris

tambilang basi,waris tembilang perak.

Menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado,waris di bawah pusat,

waris dibawah lutut.- menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar,waris

Page 10: kedudukan janda

mahindu.Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di atas satu

sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak

mewarisinya di atur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam paparan

di bawah ini.

Mengenai harta pusaka tinggi

Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,cara pembagiannya berlaku

sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan dan tidak

di perkenankan di bagi-bagi pemilikannya dan di mungkinkan di lakukan“ganggam bauntuek".

Walaupun tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta pusaka tinggi

dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak kepala waris untuk

selanjutnya dijual atau di gadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal saja

dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat di

jual atau di gadaikan,guna keperluan:- untuk membayar hutang kehormatan;untuk membayar

ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;untuk membayar hutang darah;untuk

menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;untuk ongkos naik haji ke Mekkah;untuk

membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara bersama-sama.

Mengenai harta pusaka rendah

Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian mungkin milik seorang

laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharian

seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum masing-masing. Akan tetapi dalam

perkembangan berikutnya karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertamba herat dan

juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat

membuatkan sebuah.Indramayu, anak tidak sah adalah ahli waris ibu kandungnya dan tidak dari

bapak pembangkitnya. Tetapi di sini tidak di jumpai penjelasan bagaimanakah kedudukan

seorang anak tidak sah tersebut terhadap bapak pembangkitnya, apabila kemudian ibunya

menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya. Di daerah Kabupaten Cianjur dalam hal ibu

seorang anak tidak sah kemudian menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya, maka hak

untuk mendapat bagian tergantung kepada kebijaksanaan anak/anak-anak sah(saudara anak tidak

sah tersebut).

Tetapi satu pertanyaan perlu dijawab, bagaimanakah seandainya dari perkawinan ibu anak

tidak sah tersebut dengan bapak pembangkitnya tidak lahir (tidak ada) anak sah? Di Kecamatan

Page 11: kedudukan janda

Banjar, Ciamis, Cikoneng, dan Kawali, anak tidak sah tidak mewarisi bersama-sama anak sah,

baik bapak pembangkitnya menikah dengan ibunya maupun tidak.

c) Hak Janda/ Duda

Dalam lingkungan Kabupaten Cianjur, dengan kekecualian di Desa Cibeber, seorang janda/duda

akan menerima bagian sama besar dengan seorang anak. Didesa Cibeber, besarya bagian yang

diterima janda/duda adalah dari harta peninggalan suami/isteri. Dalam hal tidak ada anak, di

Kecamatan Ciranjang semua harta guna kaya jatuh pada janda/duda. Sedangkan mengenai harta

asal, akan kembali pada asal harta tersebut.Di daerah-daerah dalam lingkungan Kabupaten

Bandung hak seorang janda/duda diatur sebagai berikut;

(1)Harta asal

  Kalau ada anak, seluruh harta asal jatuh kepada anak/anaknya. Kalau tidak ada anak/anak-

anaknya, harta asal kembali ke asal. Janda/duda tidak berhak menerima bagian harta asal.

(2)Harta bersama

Janda/duda berhak mendapat ½ dari harta bersama.Dalam hal harta bersama tidak mencukupi,

janda dapat menguasai harta asal suaminya sampai ia menikah lagi atau meninggal. Apakah hak

janda untuk menahan harta asal suami berlaku juga untuk duda? (Artinya, apakah duda juga

dapat menguasai harta asal isteri?).Di Kecamatan Banjar, terdapat praktik yang sama sepertidi

daerah Kabupaten Bandung. Di Banjar, seorang janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Di

Ciamisdan Cikoneng, seorang janda/duda akan menerima sapamerena / saasihna.Di Kecamatan

Kawali dalam halada anak, janda/duda akan menerima.Sedangkan kalau tidak ada anak,

janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama.

Hal yang sama berlaku juga di Cikoneng.Mengenai harta asal di Kecamatan Banjar,

Cikoneng, dan Ciamis akan kembali ke asal. Sedangkan di Kecamatan Kawali, di mungkinkan

harta asal tersebut tetap di kuasai janda/duda sampai terjadi perubahan kedudukan janda/duda

(menikah lagi) atau meninggal. Di Karawang tidak ada ketentuan mengenai besarnya bagian

seorang janda. Di beberapa tempat, seperti di Teluk jambe,Cilamaya. Batujaya, Karawang,

Telagasari, besarnya bagian janda sama dengan bagian anak. Di Tegalwaru(Cilamaya) Kuta

Pohaci (Telukjambe) bagian janda ialah dari harta warisan, di Telukbuyung (Batujaya)

1/6(seperenam) atau (seperdelapan).

Di Batujaya apabila suami membeli sesuatu barang atas nama si suami, maka barang tersebut

akan jatuh pada anak, kalau barang tersebut dibeli atas nama isteri, maka barang tersebut akan

Page 12: kedudukan janda

jatuh pada janda.Di Indramayu di Kecamatan Lohbener dan Indramayu harta asal dikuasai oleh

janda apabila tidak ada anak.Sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh pada anak.

Di Juntinyuat, Jatibarang, Kecamatan Indramayu harta asal kembali ke asalnya kalau tidak ada

anak,sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh kepada anak.Di desa Keraton

(Pandeglang), seorang janda/duda bukan ahli waris.Sedangkan di desa Cilaja(Kecamatan

Pandeglang) janda/duda dianggap bukan ahli waris bilamana ada anak laki-laki.Pada semua

daerah penelitian terdapat persamaan bahwa lamanya perkawinan tidak berpengaruh atas bagian

yang harus diterima janda/ duda.Dalam hubungan dengan hak janda atas harta peninggalan

suaminya, dapat di jumpai beberapa yurisprudensi. antara lain.

1) Hak waris janda dan anak “Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 30

Juli1962 No. 26 K/SIP/1963, barang asal dari peninggalan warisan harus dibagi sama

rata antara anak-anak danjanda-janda pewaris".(PN Cianjur tanggal 29 Januari 1971

No. 218/1969/Perd/PTB).Hak seorang janda atas harta asal suaminya”Menurut

yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung seorang janda berhak atas harta asal dari

suaminya sebagai nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan apabila diadakan

pembagian waris, bagian seorang janda setidak-tidaknya adalah disamakan dengan

bagian seorang anak".(PT Bandung tanggal 6 Mei 1971 No.80/1970/Perd/PTB.MA

tanggal 1 Desember 1971 No.941 K/Sip/1971).3)

Hak waris janda setengah diberi hibah"Apakah baik anak angkat maupun janda telah

pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah

sama banyaknya dengan bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak

kandung".(PT Bandung tanggal 14 Mei 1970 No.215/1969/Perd/PTB. MA tanggal 24

Maret 1971 No. 60K/Sip/1970).4).Hak waris janda atas harta campur kaya"Barang-

barang campur kaya hanya diwaris oleh janda dan anak si pewaris". (PN Indramayu

tanggal 15September 1969 No.23/1969/Pdt, PT Bandung tanggal 29Januari 1971 No.

218/1969/Perd/PTB).Dari berbagai putusan Pengadilan di atas, selain menampakkan

adanya keserasian antara perkembangan hukum adat dalam proses pewarisan dengan

hukum adat yang hidup dalam masyarakat, dirasa masih perlu untuk memperoleh

ketegasan atas hal-hal berikut :

Satu pihak dengan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris BW di lain pihak. Sebagai

contoh umpamanya, menurut ketentuan dalam Hukum Waris Islam anak laki-laki

Page 13: kedudukan janda

memperoleh bagian dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Sedangkan menurut

Hukum Waris Adatdan Hukum Waris BW anak laki-laki dan anak perempuan sebagai

ahli waris bagian mereka tidak di bedakan. Jadi bagian anak perempuan sama besar

dengan bagian anak laki-laki.

Pada sisi lainnya, apabila terdapat anak angkat, menurut Hukum Adat, anak angkat hanya akan

mewarisi harta gono-gini bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Anak angkat tidak

berhak atas harta asal dari orangtua angkatnya sebab ia juga akan menjadi ahli waris dari

orangtua kandungnya. Jadi dalam Hukum Adat di kenal sebutan bahwa anak angkat memperoleh

air dari dua sumber sebab di samping sebagai ahli waris orang tua kandungnya, ia juga menjadi

ahli waris atas harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Mengenai anak angka tini, Hukum Adat

berbeda dengan Hukum Islam dan Hukum perdataBW. Hukum waris Islam dan Hukum perdata

waris BW tidak mengenal anak angkat, sehingga dalam Hukum Waris Islam dan Hukum Waris

BW tidak dikenal anak angkat sebagai ahli waris.Demikian pula berkenaan dengan kedudukan

janda menurut Hukum Islam berbeda dengan kedudukan duda, sebab janda sebagai ahli waris

dari mendiang suaminya hanya memperoleh (seperdelapan) bagian dari harta warisan almarhum

suaminya jika terdapat anak-anak.

Page 14: kedudukan janda

B. Sistem Kekeluargaan Masyarakat Adat Dan Tinjauan

Perkembangan Yurisprudensi

Menurut sistem parental atau bilateral, sebuah keluarga dilanjutkan oleh keturunan wanita

maupun pria. Suami sebagai akibat perkawinan menjadi anggota keluarga isteri, demikian pula

isteri, menjadi anggota keluarga suami. Anak-anak mereka termasuk keluarga dari kedua orang

tuanya. Jadi penarikan garis keturunan diambil menurut garis orang tua, atau menurut garis dua

sisi (bapak-ibu), dimanakedudukan pria dan wanita tidak dapat dibedakan didalam pewarisan

(Jawa, Madura,Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Seluruh Kalimantan, Sulawesi,

Mollo Timor), Ternate dan Lombok).Sifat kekeluargaan atau sistem kekerabatan parental,

membawa pengaruh terhadap ahli waris dan orang-orang yang berhak atas waris, meski bukan

ahli waris,dimana sesuai tujuan utama didalam penulisan ini akan lebih dikhususkan pada hak

mewaris janda pada sistem parental (suatu tinjauan komparasi dalam perkembangan

yurisprudensi). Hal terpenting dalam penelitian ini adalah tentang :

1. Hak mewaris janda pada sistem parental.

2. Perkembangan yurisprudensi terhadap hak mewaris janda pada sistem parental.

Pengertian janda adalah subyek Hukum Waris Adat, yaitu seorang wanita yang telah resmi

kawin, dimana kehidupan perkawinannya kemudian berakhir karena meninggalnya suami.

Perkembangan yang terjadi pada kedudukan janda dalam hal pewarisan, secara tidak

langsung dipengaruhi sifat pluralistik Hukum Waris Adat,berkait dengan adanya kelompok etnik

di Indonesia, yang memiliki corak system keturunan beragam, salah satunya adalah sistem

keturunan parental atau bilateral.Dalam sistem parental, jika salah satu dari suami isteri

meninggal, harta benda perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal ditambah ½ harta

benda perkawinan. Yang berhak mewaris adalah semua anak (laki-laki maupun

perempuan)dengan pembagian sama. Apabila salah satu meninggal dengan meninggalkan

Page 15: kedudukan janda

anak,harta asal jatuh pada anak. Apabila yang meninggal tidak memiliki anak, harta benda jatuh

pada pasangan yang masih hidup dan bila keduanya meninggal tanpa anak, harta bersama jatuh

pada famili kedua belah pihak, yaitu famili tertua dari yang meninggal (orang tua). Jika yang

tertua tidak ada atau telah meninggal, maka harta itu jatuh padaahli waris dari kedua orang tua

tersebut (saudara laki-laki).Para waris (orang yang mendapat harta waris) adalah semua orang

yang (akan)menerima penerusan atau pembagian harta waris baik ia sebagai ahli waris (orang

yang berhak atas harta waris) maupun bukan ahli waris, tetapi turut menikmati harta waris.

Sehingga tidak semua orang yang menerima harta waris merupakan ahli waris,dan ini

dipengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan.

Menurut Soepomo, Hukum Adat Waris bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dan aliran-

aliran pikiran komunal dan konkrit dari bangsa Indonesia, memuatperaturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang–barang harta benda (materiele goederen) dan

barang-barang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generasi) kepada turunannya.

Dengan demikian, yang bukan keturunannya adalah bukan ahli waris, dalam hal ini posisi

janda dapat disebut sebagai orang dari luar (vreemde) yang mendapat waris tetapi bukan ahli

waris. Janda berhak tinggal tetap dalam rumah tangga,seringkali dan sesungguhnya dengan hak

untuk memegang harta benda peninggalan(gono gini), untuk nafkah (penghasilan) kehidupannya,

jika perlu untuk seumur hidup.Sepanjang janda terpelihara cukup dalam hidupnya atau telah

kawin lagi, kelebihan harta boleh diterimakan ahli waris almarhum suami.

Jika dari perkawinan dengan almarhum suami terdapat keturunan, janda berhak menguasai

dan menikmati, mengatur dan membagi harta waris kepada ahli waris, sesuai pendapat Ter Haar :

“ Bila perkawinan menjadi putus karena matinya suami atau isteri maka jodoh yang masih

tinggal hidup itu menguasai harta bersama secara seperti sebelum terputusnya perkawinan.

Jodoh yang ditinggal mati itu berhak atas harta bersama itu untuk nafkahnya sendiri. Bilamana

nafkah itu telah dipenuhi secara patut, maka dapat dibagi-baginya harta tadi antara dia dan

ahli warisnya jodoh yang mati. Bilamana ada anak-

anak yang lahir dari perkawinan tadi, maka pada akhirnya mereka mewaris harta bersama itu

sebagai harta asal.”

Page 16: kedudukan janda

Jika dilihat dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang sudah ada terhadap masyarakat adat di

Jawa, maka nampak adanya perbedaan-perbedaan pendapat dan kenyataan mengenai kedudukan

janda dalam pewarisan. Yurisprudensi sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia lebih

banyak berpendapat bahwa janda bukan ahli waris dari almarhum suaminya, sedangkan

yurisprudensi-yurisprudensi setelah kemerdekaan cenderung berpendapat bahwa janda adalah

ahli waris dari suaminya.

Dalam putusan Raad van Justitie Batavia tanggal 17 November 1939

(Indisch Tijdschrift van het Recht 153, halaman 148) dan tanggal 24 November 1939

(Indisch Tijdschrift van het Recht 152, halaman 140) dan tanggal 26 November 1939

(Indisch Tijdschrift van het Recht 151, halaman 193)

Berpendapat bahwa pada hakekatnya janda bukan ahli waris terhadap harta waris almarhum

suaminya.Dalam sidang diketuai R. Wirjono Prodjodikoro S.H. dengan hakim – hakim anggota

R. Soekardono S.H. dan R. Subekti S.H. ditetapkan putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 387 K/Sip/1958, tanggal 11 Februari 1959, bahwa:

“Tidaklah tepat pertimbangan judex facti, bahwa seorang janda harus menerima hanya 1/3

bagian dari harta bersama, karena kalangan masyarakat adat di Jawa Tengah sudah makin

meresap perasaan yang dipandang adil berdasar sama-sama ikut sertanya para wanita didalam

perjuangan Nasional sehingga seorang janda layak mendapat ½ dari harta bersama, dan hal ini

telah jadi pertumbuhan Hukum Adat di Jawa Tengah.”

Jika dalam putusan diatas dipergunakan tentang hak mewaris janda yang berhak mewarisi harta

bersama, maka bagaimana dengan putusan dibawah ini :

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3293K/Pdt/1986,menyatakan:

Harta terperkara adalah harta bersama, maka janda berhak menguasai dan menikmati

untuk menjamin hidupnya sampai dia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang harta

gawan diwarisi oleh anak kandung.

Page 17: kedudukan janda

Sehingga nampak jelas bahwa janda hanya diberi hak menikmati harta bersama saja,jadi

menurut putusan diatas janda berhak menikmati dan menguasai harta bersama sampai kawin

lagi. Jika kemudian kawin lagi, berarti hilang hak menguasai dan menikmati harta bersama yang

menjadi bagiannya. Selain itu, perhitungan pembagian harta pun beragam :

“ Bilamana diwaktu hidupnya si jodoh yang ditinggalkan mati suami atau isterinya itu diadakan

pembagian harta, maka di Jawa misalnya, tidak diadakan perhitungan yang saksama, ialah anak-

anak bersama ibunya atau bapanya mendapat bagian sama masing-masing dari harta seluruhnya,

yang terdiri dari jumlah semua harta dijadikan satu : di Sulawesi Selatan si isteri disamping

bagiannya atas harta bersama mendapat juga porsinya sebagai janda (weduwe-portie), si suami

mendapat bagiannya sebagai janda laki-laki (weduwnaarsdeel) tawa kabaluang.”

Yurisprudensi, yang selalu mengalami perkembangan terus menerus“onwikkelt zich gestadig”,

membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perkembangan yurisprudensi

terhadap hak mewaris janda pada system parental (suatu tinjauan komparatif dalam

perkembangan yurisprudensi), mengingat bahwa status wanita dan pandangan terhadapnya selain

ditentukan oleh kebudayaan,juga ditentukan oleh peranan yang diberikan padanya sesuai tingkat

kehidupannya dalam masyarakat (Chipp dan Green, 1980 : 2-6) dan (Stoler, 1976 : 129 -

143).Penting tidaknya yurisprudensi sebagai sumber hukum tergantung pada anggapan mengenai

tugas pokok Hakim, hal mana biasanya dikaitkan dengan aliranaliran tertentu. Anggapan dari

aliran-aliran tersebut adalah sebagai berikut :

a. Legisme :

Menurut aliran ini yurisprudensi tidak (kurang) penting, karena dianggap bahwa semua

hukum terdapat dalam Undang-Undang. Hakim didalam melakukan tugas terikat pada Undang-

Undang, sehingga pekerjaannya hanya melaksakan Undang-Undang belaka (wetstoepassing),

dengan jalan melakukan pembentukan silogisme hukum (juridischesylogisme), yaitu suatu

deduksi logis dari suatu perumusan yang luas terhadap suatu keadaan khusus, sehingga sampai

pada suatu kesimpulan menurut aliran ini dimana pengetahuan primer adalah mengenai Undang-

Undang,

sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder.

b. Freie Rechtsbewegung :

Aliran ini beranggapan bahwa didalam melaksanakan tugasnya, seorang Hakim bebas untuk

melakukan menurut Undang-Undang atau tidak. Hal ini disebabkan karena pekerjaan Hakim

Page 18: kedudukan janda

inheren dengan penciptaan hukum (Judge made law),dengan pertimbangan, keputusan yang

berdasar keyakinannya merupakan hukum.Keputusan Hakim ini lebih bersifat dinamis dan up to

date karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat. Akibatnya

adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer didalam mempelajari

hukum, sedang Undang-Undang merupakan hal yang sekunder.

c. Rechtsvinding :

Aliran ini membenarkan bahwa Hakim terikat Undang-Undang, tetapi tidak seketat

sebagaimana dimaksud oleh aliran Legisme, karena Hakim masih berhak memiliki kebebasan.

Akan tetapi kebebasan Hakim bukanlah sebagaimana anggapan aliran freie rechtsbewegung,

sehingga didalam melakukan tugas Hakim hanya memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonded-

vrijheid) atau keterikatanyang bebas (vrije-gebondenheid). Oleh karenanya, tugas Hakim disebut

dengan“Rechtsvinding” artinya : menyelaraskan Undang-Undang sesuai tuntutan zaman.Dari

anggapan aliran Rechtsvinding dapat diketahui betapa penting yurisprudensi, oleh karena

didalamnya terdapat garis-garis hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang mungkin tidak

terbaca dalam Undang-Undang. Oleh karena itu apabila sebuah penulisan berdasar hukum

semata dari perundang-undangan, hal itu ti dak lengkap apabila tidak disertai dengan telaah

terhadap yurisprudensi.

Perkembangan yurisprudensi itu sendiri merupakan suatu proses yang terjadi sebagai akibat

adanya perubahan hukum dalam masyarakat, sejalan dengan perubahan nilai-nilai dan norma-

norma yang berlaku didalam masyarakat bersangkutan.Ruang lingkup studi penulisan ini hanya

memperbandingkan hak mewaris janda pada sistem parental, khususnya didalam perkembangan

yurisprudensi, dimana secara sederhana dapat diartikan bahwa : Perbandingan adalah suatu

kegiatan untuk mengadakan identifikasi, terhadap persamaan dan atau perbedaan diantara

keduanya.Dalam hal ini adalah persamaan dan perbedaan yurisprudensi periode sebelum

kemerdekaan dengan periode sesudah kemerdekaan Republik Indonesia.Selanjutnya

diungkapkan juga :

Perbandingan merupakan penerapan daripada logika ilmu pengetahuan terhadap kasus-kasus

yang sudah ada. Kasus-kasus tersebut dibanding-bandingkan untuk diidentifikasi perbedaan dan

persamaan yang ada, kemudian ditarik kesimpulan bahwa gejala-gejala tertentu mempunyai

hubungan sebab akibat.

Page 19: kedudukan janda

Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi perbandingan pada hakekatnya adalah menjelaskan

baik persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan terhadap obyek-obyeknya, dalam hal

ini tentang perkembangan yurisprudensi hak mewaris janda pada sistem parental akibat dari

adanya perubahan-perubahan hukum yang ada dalam masyarakat parental, sebagaimana pernah

diungkapkan Paul Scholten :

“Tot Jurist wordt enkel gevormd, wie telkens weer leert het ene rechtsordel tegen het andere of

te wegen, daar bij begripend daat voor beide iets te zeggen volt”, bahwa hanya mereka yang

telah berkali-kali belajar menimbang pendapat hukum yang satu terhadap pendapat hukum yang

lainnya, dengan menyadari sepenuhnya bahwa pada kedua pendapat tersebut ada sesuatu yang

dapat dibenarkan, hanya dialah yang bisa menjadi ahli hukum.”