kejang demam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Kasus

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Kejang demam merupakan suatu keadaan kejang yang terjadi pada peningkatan suhu 38oC atau lebih (>38oC rektal) pada bayi atau anak usia 6 bulan 5 tahun, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial, bukan akibat dari infeksi intrakranial atau penyebab tertentu seperti ketidakseimbangan metabolisme. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam dan bayi umur di bawah 1 bulan tidak termasuk ke dalam kejang demam. Kejang demam dapat dibedakan menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). KDS merupakan kejang umum yang biasanya bersifat tonik-klonik, terjadi 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam (frekuensi 1 kali). Sedangkan KDK merupakan kejang yang bersifat fokal atau parsial, >15 menit, dan atau berulang dalam 24 jam (kejang multipel atau kejang serial). Dapat menjadi demam status epileptikus apabila kejang terjadi lebih dari 30 menit.1,2,3Sekitar 2-4% anak pernah mengalami kejang demam dalam hidupnya.1 Insidensi kejang demam 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1.3 Sebagian besar kejang demam yang terjadi merupakan KDS dan sekitar 20-30% merupakan KDK. Kejang demam dapat terjadi akibat variasi iklim. Di Jepang penelitian menunjukkan dua puncak insidensi kejang demam, pada bulan November-Januari dan Juni-Agustus, yang mana sesuai dengan puncak infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi saluran pencernaan. Beberapa penelitian juga mendukung bahwa kejadian kejang demam memuncak pada musim dingin dan akhir musim panas.4Semua infeksi di luar otak yang menimbulkan panas seperti faringitis, tonsilitis, tonsilofaringitis, otitis media akut, bronkopneumonia dapat menyebabkan kejang demam. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam dan luar. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion khlorida (Cl-) sehingga berakibat konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan bantuan ensim dan energi yang didapat dari metabolisme yaitu melalui proses oksidasi glukosa. Bila suhu tubuh meningkat, akan terjadi gangguan fungsi otak dengan akibat keseimbangan potensial membran terganggu mengakibatkan terjadi difusi K+ dan Na+ yang dapat menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel neuron maupun ke sel tetangganya dan akhirnya timbullah kejang fokal maupun kejang umum.1Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Gejala minimal yang sering terjadi mata mendelik ke atas, ekstremitas kaku, atau kejang pada satu sisi atau sebagian tubuh, seperti pada tangan atau kaki.4,5,6 Kejang demam terjadi pada 2-5 persen anak-anak di Amerika Serikat di bawah usia 5 tahun. Dan sekitar 40 persennya mengalami kejang demam berulang. Anak-anak yang memiliki risiko tinggi untuk berulang, yaitu kejang demam pertama pada usia < 18 bulan (referensi lain menyebutkan < 12 bulan), riwayat kejang demam dalam keluarga, cepatnya kejang setelah demam, dan temperatur yang rendah saat kejang.4,6 Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.6,7,9Penegakkan diagnosis kejang demam, baik KDS atau KDK, dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan jika diperlukan dengan pemeriksaan penunjang. Hal-hal yang perlu digali dalam anamnesis yaitu: (1) Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, penyebab demam (ekstrakranial), (2) Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya, (3) Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsi dalam keluarga, (4) Singkirkan penyebab kejang yang lain (infeksi intrakranial atau penyebab tertentu). Sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Onset kejang biasanya tiba-tiba dalam hitungan detik atau menit, kesadaran sering terganggu, sering menimbulkan sianosis, pergerakan ekstremitas sinkron, terdapat luka atau bekas gigitan di lidah, gerakan abnormal pada bola mata, pasca serangan pasien kebingungan, serta selalu terlihat gambaran EEG abnormal saat kejang atau sesaat setelah kejang. Serangan yang menyerupai kejang onset tidak mendadak/gradual dengan lama serangan beberapa menit, jarang terjadi kehilangan kesadaran, jarang terjadi sianosis atau lidah tergigit/luka, gerakan ekstremitas tidak sinkron, gambaran EEG normal, dan tidak pernah kebingungan pasca serangan.8,9 Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan yaitu: (1) Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningial, tanda peningkatan tekanan intrakaranial, dan tanda infeksi di luar SSP, (2) Melakukan pemeriksaan fisik neurologis walaupun pada umumnya tidak ditemukan adanya kelainan pada kasus kejang demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu: (1) Pemeriksaan laboratorium jika ada indikasi. Darah lengkap, gula darah, elektrolit serum lengkap (natrium, kalium, kalsium, magnesium). (2) Lumbal pungsi sesuai indikasi, dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis meningitis. Risiko meningitis bakterial ialah 0,6-6,7%. Lumbal pungsi sangat dianjurkan pada bayi < 12 bulan, dianjurkan pada bayi berumur 12 18 bulan, dan tidak rutin dikerjakan pada anak lebih > 18 bulan, kecuali ada gejala meningitis atau kecurigaan infeksi intrakranial lainnya. (3) Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi. Oleh karena itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas seperti: kejang fokal, kejang demam kompleks frekuen, kejang demam plus (FS+). (4) CT scan atau MRI kepala, diindikasikan pada keadaan: kejang fokal/parsial, adanya kelainan neurologis, atau tanda peningkatan tekanan intrakranial.1,7,10Kejang yang disertai dengan demam belum tentu merupakan suatu kejang demam. Contoh, malaria falsifarum menyebabkan kejang gejala akut pada anak di sub-Afrika Saharan, dan kejang sering berhubungan dengan gangguan neurologis dan epilepsi. Anak mungkin mengalami demam, namun kejang memiliki kategori yang berbeda dengan kejang demam. Sindrom Davret, sindrom epilepsi berat, dapat bergejala kejang demam awalnya, namun tidak murni kejang demam. Gangguan mitokondria dapat menunjukkan gejala yang sama dengan sindrom Dravet, dengan kejang demam awalnya dan cepat berkembang menjadi regresi, ataksia, perubahan perilaku, dan kejang demam. Hal ini sangat sulit membedakan jika suatu penyakit diawali dengan keadaan kejang demam, namun progresifitasnya dapat mengindikasikan etiologi yang berbeda dari kejang itu sendiri.5 Prinsip penanganan kejang demam yaitu mengatasi kejang fase akut; mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam; serta pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. Prioritas utama yang dilakukan ketika anak mengalami kejang, menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Obat antikonvulsan short acting (kerja cepat) seperti diazepam, midazolam, atau lorazepam dapat diberikan untuk mengatasi kejang fase akut. Untuk saat ini obat pilihan utama untuk mengatasi kejang fase akut yaitu diazepam baik secara intravena (0,3mg/kgBB) atau rektal (0,5 mg/kg atau 5 mg bila BB < 10 kg, 10 mg bila BB > 10 kg setiap 8 jam).9,10,11 Bila diazepam tidak tersedia dapat diganti dengan luminal secara intramuskular 30 mg pada neonatus, 50 mg pada bayi (usia 1 bulan 1 tahun), 75 mg untuk usia > 1 tahun.1,2,3 Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti dengan diazepam, dapat diberikan antikonvulsan long acting (phenobarbital) jika ada faktor risiko: kejang lama, kejang fokal/parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga. Dilanjutkan 12 jam kemudian phenobarbital oral: 8-10 mg/kgbb/hari di bagi 2 dosis (selama 2 hari), hari berikutnya 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis.1,9 Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis intermiten dan profilaksis terus-menerus. Jika orang tua cemas dengan kondisi kejang anaknya, diazepam oral intermiten dapat diberikan (0,3 mg/kg setiap 8 jam) selama masih demam untuk membantu menurunkan risiko kejang pada anak yang diketahui memiliki riwayat kejang demam sebelumnya. Nitrazepam, clobazam dan clonazepam oral intermiten (0,1mg/kgBB/hari) dapat digunakan pula. Terapi lain seperti profilaksis diazepam intermiten rektal, phenobarbital (4-5mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis), dan valproate (20-30mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis) dapat diberikan.2 Antipiretik juga efektif sebagai profilaksis kejang yaitu parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali diberikan 3-4 kali/hari.1,10,11 Untuk mengatasi demam dapat diberikan antipiretik. Antipiretik dapat mengurangi ketidaknyamanan anak namun tidak menurunan risiko terjadinya kejang demam berulang, karena kejang sering terjadi saat temperatur tubuh meningkat. Setelah diketahui penyebab demamnya dapat diberikan antibiotik jika ada indikasi.1,2 Perlu diperhatikan efek samping yang ditimbulkan jika pemakaian antipiretik berlebihan diantaranya hepatotoksik (parasetamol), asidosis metabolik, gagal ginjal, dan koma (ibuprofen), dan agranulositosis (dengan metamizole).9,11,12Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada kejang demam, dalam hal pemberian informasi kepada keluarga yaitu diazepam oral atau rektal dapat mengurangi rekurensi kejang 60-75% kasus, namun perlu diinformasikan kepada orang tua tentang efek samping dari diazepam (30-40%) yaitu: letargi, ataksia, hipotoni, dan iritabel. Fenobarbital tidak efektif untuk profilaksis intermiten. Kejang demam sederhana tidak perlu profilaksis intermiten, kecuali rekuren >2 kali.1Profilaksis terus-menerus diberikan apabila terdapat kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (hemiparese, paresis Tods, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus, dll), kejang lama > 15 menit, dan kejang fokal. Dapat dipertimbangkan pada kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam, bayi usia < 12 bulan, dan kejang demam kompleks berulang > 4 kali. Dan lama pengobatan 1 tahun bebas kejang.1,3Asam valproat dan fenobarbital dapat mencegah rekurensi sampai 90% kasus. Pemakaian fenobarbital sering menyebabkan gangguan perilaku, gangguan belajar, dan penurunan IQ. Sedangkan pemakaian asam valproat pada usia muda dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, peningkatan berat badan, mual, dan rambut rontok. Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk profilaksis.11 Pemeriksaan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan. Secara umum, terapi antiepilepsi, berkelanjutan atau intermiten, tidak direkomendasikan untuk anak-anak dengan satu atau lebih KDS.2,10Beberapa anak, termasuk dengan serebral palsy, perkembangan terhambat, atau abnormalitas neurologi lainnya serta mereka dengan riwayat epilepsi dalam keluarga memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya epilepsi dengan atau tanpa ada kejang demam. Angka kejadian epilepsi pada pasien kejang demam kira-kira 2-3 kali lebih banyak dibandingkan populasi umum, dan pada pasien kejang demam yang berulang, fokal, atau >10 menit kemungkinan terjadinya epilepsi 2 kali lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami berulangnya kejang demam. Faktor risiko lain terjadinya epilepsi yaitu sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan, adanya riwayat kejang tanpa demam (epilepsi) pada orang tua atau saudara kandung. Sebuah penelitian menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Sebagian besar peneliti melaporkan angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 5 %.3,5 Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan kerusakan jangka panjang. Selama kejang, ada kemungkinan anak dapat trauma karena jatuh, atau tersedak makanan atau saliva pada mulutnya. Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kejang demam durasi pendek dapat menyebabkan kerusakan otak. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Beberapa penelitian menemukan bahwa anak-anak dengan kejang demam dengan durasi memanjang masih memiliki prestasi normal di sekolahnya dan menunjukkan tes intelektual yang bagus, namun sebagian kecil memiliki kemungkinan untuk terjadinya suatu kelainan neurologis. Bahkan ketika kejang sudah lama tidak berlangsung, sebagian besar anak dapat sembuh sempurna. Namun kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Orang tua harus diyakinkan bahwa kejang umumnya mempunyai prognosis yang baik, diedukasi tentang risiko relatif terjadinya kejang demam berulang dan epilepsi berulang, bagaimana menangani kejang akut, dan berikan dukungan emosional. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua jika anaknya mengalami kejang yaitu tetap tenang dan jangan panik, kendorkan pakaian anak, bersihkan jalan nafas anak (muntahan atau lendir di mulut dan hidung), lindungi anak dari trauma fisik saat kejang, jangan masukan benda apapun ke dalam mulut anak, perhatikan dan catat suhu saat kejang, bentuk, durasi kejang, berikan diazepam rektal (jangan diberikan jika kejang sudah berhenti, serta bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang lebih dari 5 menit.4,9,12

BAB IILAPORAN KASUS

2.1 Identitas PasienNama: KRIUmur: 2 tahunTempat, Tanggal Lahir: Gianyar, 19 Desember 2013Jenis Kelamin: Laki-lakiAlamat: Kelod Kauh, Abianbase, GianyarTanggal Pemeriksaan: 10 Oktober 2015No RM: 54.19.50

1.2 Heteroanamnesis (Ibu Kandung Pasien)Keluhan utama : KejangRiwayat penyakit sekarangPasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar dengan keluhan kejang di rumah pada pukul 15.00 WITA (10/10/15), kejang dikatakan sebanyak 1x dan berlangsung selama 5 menit, kondisi pasien saat kejang dengan mata mendelik ke atas, mulut terkunci, kaku pada kedua tangan dan kaki pasien tanpa mulut berbuih. Kejang dikatakan baru pertama kali. Sebelum dan sesudah kejang kesadaran anak baik. Saat mengalami kejang pasien dikatakan demam. Demam sudah berlangsung sejak dini hari (10/10/15) pukul 02.00 WITA. Setelah diberikan obat penurun panas, namun tidak membaik. Pilek sejak kemarin dengan sekret cair bening disertai batuk tanpa dahak yang dikatakan muncul secara tiba tiba, sesak (-). BAB normal, BAK normal. BAK terakhir pukul 14.30 WITA (10/10/15). Makan dan minum dikatakan sedikit menurun setelah terjadi demam. Riwayat Penyakit TerdahuluSebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal yang sama.Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa dan memiliki riwayat penyakit neurologis.

Riwayat Sosial dan Lingkungan:Pasien merupakan anak ke-2. Lingkungan rumah pasien dikatakan bersih dan sanitasi baik. Di lingkungan tempat tinggal pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat pengobatan:Pasien sudah diberikan obat penurun panas, namun kondisi tidak membaik.Riwayat PersalinanPasien lahir dengan tindakan yaitu operasi sesar (persalinan macet) di RSUD Sanjiwani Gianyar dengan berat lahir 3300 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala dan lingkar lupa. Pasien lahir segera menangis.Riwayat ImunisasiBCG 1 kali, Polio 4 kali, Hepatitis B 5 kali, DPT 4 kali, Campak 1 kaliRiwayat nutrisi ASI : 0-6 Bulan Susu Formula: 2 minggu 1 bulan Nasi tim: 6 bulan 9 bulan Makanan dewasa: 9 bulan - sekarangRiwayat Tumbuh KembangPasien sudah bisa menegakkan kepala (3 bulan), membalik badan (5 bulan), duduk (6 bulan), merangkak (7 bulan), berdiri (14 bulan), berjalan (17 bulan), berbicara (14 bulan).Riwayat AlergiAyah pasien mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, minuman, ataupun obat-obatan.2.1 Pemeriksaan FisikStatus PresentKeadaan umum: BaikKesadaran: Compos Mentis Nadi: 112 kali/ menit, reguler, isi cukupRespirasi rate: 32 kali/ menit,regulerTempt axilla: 37,8 CBerat Badan: 10 kgBerat Badan Ideal: 12 kgPanjang badan : 78 cmStatus Gizi (Waterlow): 83,33 % (Gizi kurang) Status GeneralisKepala: Normocephali, fontanela sudah tertutup, mata cowong -/- Mata: konjungtiva pucat -/- , sklera ikterus (-/-), reflek pupil +/+ isokorTHT:Telinga: sekret -/-, membran timpani retraksiHidung: sekret +/+, napas cuping hidung (-), sianosis (-) Tenggorok: faring hiperemis (+), T2/ T2 hiperemis, Post Nasal Drip/PND (+)Lidah: sianosis (-) Bibir: sianosis (-)Leher: pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-) Thoraks : simetris (+), retraksi (-)Jantung: S1S2 normal, regular, bising (-)Paru-paru: bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-Aksila: Pembesaran kelenjar (-) Abdomen: Inspeksi: distensi (-) Auskultasi: bising usus (+) normalPalpasi: hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-)Perkusi: timpaniKulit: turgor kembali cepat, sianosis (-), cutis mamorata (-)Genitalia : laki-laki dalam batas normalInguinal: pembesaran kelenjar (-)Ekstremitas: akral hangat (+) sianosis (-), edema (-), CRT 38oC rektal) pada bayi atau anak usia 6 bulan 5 tahun, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial, bukan akibat dari infeksi intrakranial atau penyebab tertentu seperti ketidakseimbangan metabolisme.1,2,3 Kejang demam dapat dibagi menjadi KDS dan KDK. Pada pasien, saat kejang pasien dikatakan demam tinggi, kejang sebanyak 1x dan berlangsung selama 10 menit, kondisi pasien saat kejang dengan mata mendelik ke atas, mulut terkunci, kaku pada kedua tangan dan kaki pasien, tanpa mulut berbuih. Kejang dikatakan baru pertama kali. Sebelum dan sesudah kejang kesadaran anak baik. Dari kharakteristik kejang yang ditunjukkan pasien, kejang yang timbul termasuk ke dalam kejang demam sederhana dan sesuai dengan teori. Pasien merupakan balita laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan utama berupa kejang. Berdasarkan epidemiologi, jenis kelamin laki-laki memang lebih sering mengalami kejang demam dibandingkan dengan perempuan, dengan perbandingan 1,21,6:1.3,4 Dan hal ini sesuai pada pasien. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun, dan tertinggi pada usia 2 tahun.5 Sebagian besar kejang demam yang terjadi merupakan KDS dan sekitar 20-30% merupakan KDK dan hal ini sesuai dengan pasien sehingga pasien didiagnosis KDS. Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis digali berbagai gejala yang mengarah kepada kejang demam sederhana seperti (a) umur pasien kurang dari 5 tahun (2 tahun), (b) kejang didahului demam, (c) kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 10 menit, (d) kejang umum dan tonik-klonik, (e) kejang berhenti sendiri, (f) pasien tetap sadar setelah kejang, (g) pasien dikeluhkan mengalami batuk pilek.3,6,7,8Menurut teori, pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningial, tanda peningkatan tekanan intrakaranial, dan tanda infeksi di luar SSP. Melakukan pemeriksaan fisik neurologis walaupun pada umumnya tidak ditemukan adanya kelainan pada kasus kejang demam. Pada pasien ini ditemukan kesadaran baik, tungkai sudah tidak kaku, suhu tubuh mulai menurun (37,8oC), tidak ada tanda-tanda meningial, ditemukan membran timpani retraksi, terdapat sekret pada hidung, tonsil T2/T2 hiperemis, serta faring hiperemis, sehingga dapat dipastikan pasien mengalami infeksi pada faring dan tonsil dan sampai mempengaruhi membran timpani. Pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.9,10,11 Pada pasien ini, didapatkan hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat (14,3 mg/dl) dan granulosit meningkat (81,0%) yang mengarahkan adanya infeksi bakteri, sehingga pengobatan antibiotik pada kasus ini diperlukan. Setelah diagnosis KDS dikonfirmasi, pasien mendapatkan pengobatan fenobarbital 75 mg secara intramuskular dilanjutkan 12 jam kemudian diberikan fenobarbital oral 8 mg/kgBB/hari ~ 40 mg setiap 12 jam (hari I dan II) dengan pertimbangan bahwa kejang sudah berhenti. Hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan teori karena terapi intermiten yang dapat diberikan pada kejang yaitu antipiretik (parasetamol atau ibuprofen) dan atau antikonvulan (diazepam oral atau rektal). Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti dengan diazepam, dapat diberikan antikonvulsan long acting (phenobarbital) jika ada faktor risiko: kejang lama, kejang fokal/parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga.1,9,12 Sehingga fenobarbital tidak tepat digunakan untuk terapi pada pasien ini. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik.1 Selain mengobati kejang, dapat diberikan pula terapi untuk menurunkan temperatur tubuh pasien dengan antipiretik, seperti parasetamol atau ibuprofen. Jika ada indikasi untuk diberikan antibiotik dapat diberikan. Pada kasus ini, pasien diberikan IVFD D5 NS 14 tetes makro per menit untuk keseimbangan cairan dalam tubuh pasien dengan kebutuhan cairan 1000 ml/hari. Parasetamol injeksi secara intravena 10mg/kgBB/kali ~ 100mg (10ml) setiap 6 jam dan ceftriaxone injeksi intravena 50 mg/kgBB/x ~ 500 mg setiap 12 jam diberikan mengingat terdapat infeksi tonsil dan faring pada pasien. Terapi simptomatis juga diberikan yaitu ambroxol sirup 3 x 1/3 sendok teh. Dalam perkembangannya, demam dan kejang tidak terjadi lagi, proses infeksi masih berlangsung namun sudah mengalami perbaikan. Prognosis kejang demam baik, tetapi 25%-50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam berulang dan 4% penderita kejang demam dapat mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi, jika ada faktor risiko tinggi untuk berulang diantaranya kejang demam pertama pada usia < 18 bulan, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang demam merupakan gejala utama dari suatu penyakit, dan temperatur yang relatif rendah akan meningkat dengan adanya kejang demam pertama. Namun, beberapa teori menyatakan belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kejang demam durasi pendek dapat menyebabkan kerusakan otak. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Beberapa penelitian menemukan bahwa anak-anak dengan kejang demam dengan durasi memanjang masih memiliki prestasi normal di sekolahnya dan menunjukkan tes intelektual yang bagus, namun sebagian kecil memiliki kemungkinan untuk terjadinya suatu kelainan neurologis. Bahkan ketika kejang sudah lama tidak berlangsung, sebagian besar anak dapat sembuh sempurna.4 Sehingga pada pasien kemungkinan mengalami kejang demam berulang kecil mengingat tidak memenuhi faktor risiko untuk berulang. Maka dari itu perlu diyakinkan kepada orang tua bahwa kejang demam sederhana memiliki prognosis yang baik, begitupula halnya pada pasien ini yang memiliki prognosis baik.9,11,12

DAFTAR PUSTAKA

1. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Pedoman Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah Denpasar. 10th ed. Denpasar 2010, pp. 311-314.

2. Ardoin SP, Fels E. Nelson Pediatric Textbook: Jaundice and Hyperbilirubinemia In the Newborn. 19th ed. United State of America: Elsevier Saunders. 2011. Pp. 2017-2018.

3. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002. Vol. 4, No.2, pp: 59-62. Tersedia: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/4-2-4.pdf . Diakses pada: 16 Oktober 2015.

4. Seinfeld S & John MP. Recent Research on Febrile Seizures: A Review. Neurology & Neurophysiology. 2013. Volume 4, Issue 4, pp. 1-6. Available: http://www.omicsonline.org/recent-research-on-febrile-seizures-a-review-2155-9562.1000165.php?aid=19519 . Accessed on: 16 October 2015.

5. Soetomenggolo, TS. Buku Ajar Neurologi Anak. Kejang Demam. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1999. Pp. 244-251.

6. Department of Health and Human Services-National Institutes of Health. United State of America: National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2015. Pp: 1-7. Available: http://www.ninds.nih.gov/ . Accessed on: 16 October 2015.

7. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan Faring. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2013. Volume 1, Nomor 1, pp. 65-71. Tersedia: http://download.portalgaruda.org/article. php?article=122475&val=5502. Diakses pada: 16 Oktober 2015.

8. Kania N. Siang Klinik Penanganan Kejang pada Anak di AMC Hospital Bandung. Kejang pada Anak. 2007. Pp. 1-6. Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf . Diakses pada 16 Oktober 2015.

9. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. UUK Neurologi. Pp. 1-14. Tersedia: http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-2012.pdf . Diakses pada 16 Oktober 2015.

10. Farrell K & Goldman RA. The Management of Febrile Seizures. BC Medical Journal. 2011. Vol 53, No 6, pp. 268-273. Available: http://www.bcmj.org/articles/ management-febrile-seizures . Accessed on: 16 October 2015.

11. Felipe L. Febrile Seizure: Update on Diagnosis and Management. Rev Assoc Med Bras. 2010. Vol 56, No 4, pp. 489-92. Available: http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/20835650 . Accessed on: 16 October 2015.

12. American Academy of Pediatrics. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child With Simple Febrile Seizure. 2015. Vol. 121, No. 6, pp. 1281-1285. Available: http://pediatrics.aappublications. org/content/121/6/1281 . Accessed on: 16 October 2015.

9