Upload
sef-nengko
View
15
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kekerasan pd anak
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak (baca: anak dan remaja)
akhir-akhir ini semakin meningkat bahkan cenderung mengarah pada tindak
pidana. Alasan klasik yang mengemuka adalah bahwa kenakalan anak tercipta
karena adanya peluang yang ada di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
yang seharusnya justru menjadi kontrol bagi setiap tindakan anak. Terlebih di era
sekarang ini, kenakalan anak sangat akrab dengan trend masa kini, dan bahkan
lebih ekstrem lagi ada yang menyatakan anak identik dengan kenakalan.
Kenakalan anak senantiasa menjadi fenomena yang selalu aktual dan tidak
hanya berlaku di negara maju, melainkan juga di negara-negara sedang
berkembang seperti Indonesia. Kasus-kasus perkelahian antar pelajar, khususnya
di lingkungan sekolah nampaknya sudah sangat terorganisir secara sistematis.
Bentuk-bentuk kenakalan dimaksud bukan saja dalam bentuk perkelahaian, akan
tetapi sudah lebih dari itu yang menjurus ke arah kebrutalan dengan cara-cara
anarkhis yaitu pengerusakan baik di lingkungan sekolah maupun pengrusakan
fasilitas umum lainnya.
Ekses dari bentuk-bentuk kenakalan anak ini bukan hanya berdampak
pada gangguan keamanan dan kenyamanan serta ketertiban masyarakat, lebih jauh
lagi yaitu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa yang negatif
pada anak, di samping juga terhadap perkembangan masyarakat pada umumnya.
Bila intensitasnya tidak dapat dikendalikan, dikhawatirkan akan mengancam
kelangsungan bangsa dan negara, karena kita sadari kelangsungan negara ini
sangat tergantung pada anak sekarang sebagai pewaris kepemimpinan bangsa,
karena era mendatang adalah era milik generasi muda.
1
Kita semua menyadari bahwa kenakalan anak disebabkan oleh banyak
faktor yang sangat kompleks. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan dipaparkan
beberapa aspek dari kenakalan anak dengan berangkat dari suatu teori bahwa
tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak pada hakekatnya hanyalah merupakan
hasil proses adaptasi dan konsekuensi logis dari model hubungan yang
ditelandankan dalam tatanan masyarakat di mana sikap itu disosialisasikan
(Soetjipto Wirjosarjono, 1997), di mana proses terbentuknya jiwa seorang anak
lebih banyak bergantung pada tiga dimensi hasil interaksi dengan lingkungan
yang ikut mewarnai pola tingkah laku anak, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan perasaan dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, per orangan atau sekelompok atau
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau
trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan HAM.
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik
maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial
terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat
anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab kepercayaan, atau
kekuasaan (UU Perlindungan Anak pasal 13).
2.2 Klasifikasi
Beberapa bentuk kekerasan terhadap anak dikemukakan oleh Terry E. Lawson
(dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child
abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse,verbal abuse, physical
abuse, dan sexual abuse.
1. Kekerasan anak secara fisik
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan
terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa
lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas
gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat
3
bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka
biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut,
punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik
umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti
anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di
sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
2. Kekerasan anak secara psikis
Kekerasan secara psikis meliputi penghardikkan, penyampaian kata-kata
kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku mal adaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati,
takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
3. Kekerasan anak secara seksual
Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual
antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar
visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung
antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
4. Kekerasan sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan
eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang
tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang
anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk
pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
4
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa
untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor
alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak
dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Di samping itu, berbagai bentuk perlakuan terhadap anak yang dapat
memunculkan bentuk kekerasan terhadap anak antara lain, yaitu:
1. Hukuman
Bentuk ini adalah kekuasaan/otoritas yang dimanipulasi
sebagai hukuman dengan tujuan untuk membiasakan anak menjadi
disiplin. Institusi pertama yang menerapkan model/bentuk ini
adalah keluarga, sehingga orang tua harus tetap dalam memberikan
hukuman kepada anak agar tidak berimplikasi terhadap bentuk
pola tindak kekerasan sebagai akibat reksi spontan anak.
Pemberian hukuman yang tidak proporsional akan dapat
berdampak terhadap perilaku yang diperankan anak di dalam pola
interkasi sosial. Secara implisit menunjukan bahwa orang tua
maupun penentu tindakan kurang mengetahui dan memahami
tentang perasaan dan kebutuhan yang dirasakan oleh anak,
sehingga dalam sosialisasi ini anak sering menjumpai kekuasaan,
kekuatan, maupun otoritas orang tua. Dengan demikian kekerasan
yang dimanipulasi dengan tujuan mendisiplinkan anak atau sebagai
hukuman sering dapat ditolerir di dalam masyarakat.
2. Adanya tokoh tindak kekerasan dalam keluarga.
Dijumpainya figur-figur yang memerankan tindak kekerasan
di dalam keluarga, yaitu para anggota keluarga atau siapa saja yang
5
tinggal dalam satu rumah. Pertentangan-pertentangan atau
pertengkaran yang dilakukan secara terbuka dan bebas serta
disaksikan oleh anggota keluarga lainnya terutama anak-anak akan
sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa dan mentalnya.
3. Kekerasan di masyarakat.
Sebagaimana lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat
juga turut memberi andil yang sangat besar dalam pembetukan
kepribadian dan mental anak. Justru di dalam masyarakat yang
telah dikondisikan dengan bentuk tindak kekerasan, maka besar
kemungkinan perilaku tindak kekerasan akan mudah
tersosialisasikan kepada anak. Bentuk-bentuk kekeraan di
masyarakat dapat dicontohkan, misalnya perilaku pertengkaran,
pengrusakan, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.
Contoh-contoh tersebut sangat mudah diadopsi oleh anak yang
sedang belajar menerapkan dan mencari pola yang cocok untuk
dirinya.
4. Saluran-saluran informasi di media massa.
Semakin canggih dan mudahnya saluran informasi dapat
diperoleh dengan model penyajian yang menarik serta sistem
pengawasan/sensor yang tidak ketat, membuat bentuk-bentuk
kekerasan dapat dinikmati oleh anak-anak dengan bebas.
Tontonan-tontonan melalui VCD, internet, televisi, bioskop,
majalah/koran yang menyajikan gambar-gambar atau
visualisasi tindak kekerasan akan dapat dengan mudah
diadopsi oleh anak.
6
2.3 Akibat kekerasan pada anak
Akibat fisik pada anak
1. Lecet, hematoma, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tuloang, perdarahan
retina akibat dari adanya subdural hematom , dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya.
2. Cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf,
gangguan pendengaran, kerusakan mata, dan cacat lainnya.
3. Kematian
Beberapa peneliti mengatakan bahwa anak yang mengalami perlakuan salah
secara fisik, ada kecenderungan untuk terus mengalaminya berulang-ulang
kalau tidak dilakukan suatu interfensi.
Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada
umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu :
1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebyanya yang
tidak mendapat perlakuan salah. Menurut Oates tidak ada perbedaan yang
bermakna dalam tinggi badan dan berat badan dengan anak yang normal.
2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu :
2.3.1 Kecerdasan
- Keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca,
dan motorik.
- Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala
juga karna malnutrisi.
- Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan
anak, dimana tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karna
gangguan emosi.
7
2.3.2 Emosi
- Untuk mengetahui akibat emosional pada anak yang mendapat
perlakuan salah, perlu anamnesis yang lengkap dari keluarga,
termasuk informasi dari beberapa orang dewasa yang dirumah,
bagaimana hubungan masing-masaing dengan anak tersebut,
rencana perawatan anak, kejadian terakhir yang menimpa orang
tua yang memelihara anak tersebut, dan lain-lain.
- Terdapat gangguan emosi pada : perkembangan konsep diri yang
positif, dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan
sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
- Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif
atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri atau menjauhi pergaulan. Anak suka
mengompol, hiper aktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal
sekolah, sulit tidur.
2.3.3 Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu
menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
2.3.4 Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secra fisik lebih agresif terhadap
teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan
orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif terhadap teman
sebayanya sebagai hasil kurangnya konsep diri.
2.3.5 Hubungan sosial
Pada anak-anak ini sering kurang bergaul dengan teman sebayanya
atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit temn dan suka
menggangu orang dewasa, misalnya : dengan melempari batu, atau
perbuatan-perbuatan criminal lainnya.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah bentuk perlakuan fisik maupun psikis yang berakibat
penderita terhadap anak-anak. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan
perasaan dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
HAM. Kekerasan pada anak dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut.
9
Bibliography
Gelles, R. (2004). Child Abuse and Neglect: Direct Practice. Washintong DC: National Association of
Social Workers Press.
Huraerah, A. (2006). Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Nuansa.
M.W., M. (2008). The Psychology of Women (6th ed.). Belmon, CA: Thomson Wadsworth.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Suyitno, H. (2005). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: EGC.
10