Upload
buikhuong
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEKURANGAN NAFKAH SEBAGAI ALASAN CERAI GUGAT
PERSPEKTIF IMAM MAZHAB
DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
(STUDI YURIDIS PUTUSAN NO. 929/Pdt.G/2008/PA.Cbn)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salahsatu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
DIANA HANDAYANI
NIM. 1113043000066
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017M
iv
ABSTRAK
Diana Handayani. NIM 1113043000066. KEKURANGAN NAFKAH
SEBAGAI ALASAN CERAI GUGAT PERSPEKTIF IMAM MAZHAB DI
PENGADILAN AGAMA CIBINONG (STUDI YURIDIS PUTUSAN
NO.929/Pdt.G/2008/PA.Cbn)” (Perbandingan Mazhab Fiqh), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1438 H/ 2017 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fasakh perkawinan dengan
sebab kekurangan nafkah. Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan dasar
dalam kehidupan manusia dan perkawinan juga merupakan pintu gerbang menuju
kehidupan dalam sosial masyarakat, dengan salah satu tujuan perkawinan agar
pasangan suami istri hidup dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Tetapi tidak sedikit masalah yang terjadi dalam hubungan suami istri yang
berakibat pada perceraian. Fasakh merupakan salah satu solusi yang ditawarkan
oleh Islam untuk keluar dari masalah tersebut. Kaitannya dengan keadilan, fasakh
merupakan hak seorang istri untuk meminta cerai kepada suaminya, apabila istri
merasa tidak dapat lagi mendapatkan keadilan sebagaimana suami yang berhak
menalak istrinya.
Pokok masalah dalam skripsi ini adalah: Bagaimana pandangan oleh
empat Imam mazhab yaitu: Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan juga
Imam Hambali? Serta bagaimana analisis kasus perceraian tentang kekurangan
nafkah sebagai alasan gugat cerai di Pengadilan Agama Cibinong? Penelitian ini
merupakan penelitian normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau peneltian
lapangan.
Hasil dari penelitian ini bahwa Imam Syafi’i menetapkan hukum tentang
berhaknya seorang wanita mengajukan cerai kepada suaminya ditetapkan dengan
qiyas begitu pula pendapat Imam Hambali. Berbeda dengan Imam mazhab yang
lain. Imam Syafi’i berpendapat bahwa istri mempunyai hak untuk menuntut
fasakh perkawinan kepada hakim apabila suaminya miskin atau tidak sanggup
menafkahinya maka hakim boleh memfasakh perkawinanya. Beliau berdalil
dengan Atsar Umar.
Kata Kunci : Nafkah, Perceraian, Pendapat Empat Mazhab, Pengadilan Agama.
Pembimbing : Drs. Hamid Farihi, M.Ag. dan Shonifah Al Bani, SHI. MH.
Daftar Pustaka : 1995 s.d. 2015
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman transliterasi Arab-Latin yang
digunakan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padananya dalam aksara Latin:
b = ب z = ز f = ف
t = ت s = س q = ق
ts = ث sy = ش k = ك
j = ج s = ص l = ل
h = ح d = ض m = م
kh = خ t = ط n = ن
d = د z = ظ w = و
dz = ع = ‘ ذ h = ه
r = ر gh = غ y = ي
B. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksara sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Keterangan Tanda Vokal Latin
___ Fathah a
___ Kasrah i
___ Dhamah u
vi
C. Tasydid (Shaddah)
Dalam alih aksaraa, syaddah atau tasydid pada transliterasi ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
Contoh : نزل
D. Ta’ Marbutãh (ة)
Transliterasi ta’ marbutãh terdapat pada kata yang berdiri sendiri,
maka huruf ta marbutah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”. Jika
huruf ta marbuthah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “ta” (te).
No. Kata Arab Alih Aksara
mar’ah مرأة .1
al-madinah al-munawarah المدينة المنورة 2
vii
E. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak kenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh keta sandang, maka
hurufyang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf kata sandangnya. Misalnya: al-Bukhari, tidak ditulis al-
Bukhari.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih akasara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau
cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya:
Naruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din al-Raniri
F. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisa. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No. Kata Arab Alih Aksara
al-darurah tubihu al-mahzurat الضرورة تبيح المحظوراث 1
al-iqtsad al-islami اإلقتصاد اإلسالمي 2
usul al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyya al-ibahah األصل في األشياء اإلباحت 4
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan limpahan nikmat, karunia, dan hidayah-Nya
sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul “ Kekurangan Nafkah Sebagai
Alasan Cerai Gugat Perspektif Imam Mazhab di Pengadilan Agama
Cibinong (Studi Yuridis Putusan No.929/Pdt.G/2008/PA.Cbn)dapat
terselesaikan.
Shalawat teriring salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad saw, seorang pelopor ilmu pengetahuan dan pendobrak
kejahiliyyahan, yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi’in,
tabi’it tabi’in, dan kita umat-Nya semoga mendapat syafa’at-Nya kelak.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan
kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan
Allah SWT, do’a dan semangat yang senantiasa diberikan oleh kedua orang tua
penulis. Serta tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu, dan memotivasi penulis, terutama:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph. D. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum. Juga
kepada Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag, Lc., MA, Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.
Merekalah yang telah memberikan bimbingan dan juga masukan serta
meluangkan waktunya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dewi Sukarti, MA. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selama
ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya selama masih dalam
masa perkuliahan.
4. Bapak Drs. Hamid Farihi, M.Ag dan Ibu Shonifah Al Bani, SHI, MH.
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya disela-sela kesibukan, serta banyak
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada
penulis untuk yang menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan
ilmu yang berharga, nasehat-nasehat yang memotivasi, serta kesabaran
dalam mendidik dan membimbing penulis selama masa studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian
prosedur kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah berkenan
memberikan Kelancaran dalam Peminjaman buku-buku penunjang,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Bapak Suprianto, SE. Selaku Sekretaris Pengadilan Agama
Cibinong, Bogor. Yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian
dari skripsi ini.
x
8. Orang tua tercinta, Ayahanda Mukhtar dan Ibunda Tasmidah, S.Pd.i yang
sangat berperan dalam mengasuh, mendidik, dan membimbing penulis
dengan penuh kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan
do’a dan dukungan baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman PMF dan PH angkatan 2013 yang selalu membantu,
mendukung, dan menemani selama penulisan skrispi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan nasehat sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdo’a dan berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka
yang telah membantu diberi balasan yang setimpal. Amiin
Jakarta, 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ....................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
E. Review Kajian Terdahulu yang Relevan ........................... 7
F. Signifikansi Masalah ......................................................... 8
G. Metodologi Penelitian ....................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
xii
BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI NAFKAH ISTERI
A. Pengertian Nafkah ............................................................. 12
B. Syarat Wajib Nafkah .......................................................... 17
C. Cara Mengatur Jumlah Nafkah Isteri ................................. 21
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI NAKAH ISTERI
MENURUT IMAM MAZHAB SERTA PENJELASAN
MENGENAI PERCERAIAN
A. Gambaran Umum Mengenai Nafkah Isteri Menurut
Empat Mazhab ............................................................. 28
1. Mazhab Maliki ........................................................ 28
2. Mazhab Hanafi ........................................................ 30
3. Mazhab Syafi’i ........................................................ 32
4. Mazhab Hanbali ...................................................... 35
B. Pengertian Perceraian .................................................... 38
C. Sebab-sebab Perceraian ................................................. 40
D. Akibat Perceraian .......................................................... 41
xiii
BAB IV ANALISIS KEKURANGAN NAFKAH SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
DALAM KAJIAN EMPAT IMAM MAZHAB
A. Analisis Putusan No. 929/Pdt.G/2008/PA.Cbn Pengadilan
Agama Cibinong .......................................................... 43
1. Duduk Perkara ....................................................... 43
2. Analisis .................................................................. 45
3. Tentang Kesaksian Para Saksi ............................... 46
B. Pendapat Empat Imam Mazhab mengenai Kekurangan
Nafkah sebagai Alasan Gugat Cerai ........................... 49-62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 60
B. Saran ................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 63
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan asas perkawinan mengacu pada ketentuan
atau informasi yang terdapat pada nash, baik Al-Qur‟an maupun As-Sunnah.
Dalam membina keluarga tentunya kecukupan ekonomi mempunyai pengaruh
yang sangat penting untuk menuju keluarga yang bahagia, tentram, dan sejahtera.
Apabila terlaksana akad perkawinan yang sah, maka mulai saat itu antara kedua calon
mempelai sudah terkait dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami
istri. Keduanya ditugaskan oleh agama untuk mencapai tujuan perkawinan, seperti
melanjutkan keturunan, menciptakan rumah tangga bahagia, yang diliputi kasih
sayang.1 Sebagaimana telah diketahui dewasa ini, salah satu penyebab krisis
perkawinan yang menimbulkan pertengkaran dan keretakan dalam rumah tangga
adalah kurang terpenuhinya nafkah oleh seorang suami kepada istri.
Nafkah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami sesuai
dengan ketentuan dalam Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma.2 Adapun landasan atas
wajibnya memberi nafkah sebagaimana yang terdapat dalam Q.s. Al-Baqarah (2)
:233 :
1 Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidaksanggupan Suami
Menunaikan Kewajibannya. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h., 7. 2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h., 427.
2
...(٢/٣٣٢/)البقرة خل
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para isteri dengan cara
ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Ayat ini merupakan pembicaraan tentang keluarga, yaitu anak yang lahir dari
hubungan suami isteri itu. Kata al-walidat dalam penggunaan Al-Qur‟an berbeda
dengan ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata umm. Kata ummahat
digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang al-walidat maknanya
adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa Al-Qur‟an sejak
dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah
makanan terbaik untuk bayi hingga usia dua tahun.
Tentu saja, ibu yang menyusui memerlukan biaya agar kesehatannya tidak
terganggu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu, lanjutan ayat menyatakan
merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan
dan pakaian kepada ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya
secara ba‟in, bukan raj‟iy, kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban
atas dasar hubungan suami isteri, sehingga apabila mereka menuntut imbalan
penyusuan anaknya, suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai
wajar.1 Firman Allah dalam Q.s. At-Thalaq (65]) :1 :
...(٣٦/١)الطالق/ خل
Artinya: “Janganlah kamu keluarkan mereka (isteri) dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang.”
Dalam konteks larangan ayat ini, kita menemukan aneka pendapat ulama. Ada
yang sangat ketat sehingga tidak membenarkan keluarnya wanita yang sedang
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, vol-1.(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h., 609-610.
3
menjalani „iddah dari rumahnya kecuali karena darurat. Imam Malik membolehkan
mereka keluar rumah di siang hari untuk kebutuhan seperti mencari nafkah. Pendapat
serupa dikemukakan oleh al-Biqa‟i. Ada juga yang hanya membolehkan wanita yang
ditinggal mati suaminya untuk keluar di siang hari.2 Firman Allah dalam Q.s. At-
Thalaq:[65]:6 :
...(٥٦/٦/ ه )ط خل Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”.
Ayat ini mempertegas hak wanita-wanita itu memperoleh tempat tinggal yang
layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan ma‟ruf yang diperintahkan oleh ayat
sebelumnya, sekaligus memelihara agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu.
Ayat yang menyatakan: Tempatkanlah mereka para isteri yang dicerai itu di
mana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu
mampu tinggal di tempat yang mewah dan sekarang penghasilan kamu menurun atau
sebaliknya, maka tempatkanlah mereka di tempat yang menurun yakni yang sesuai
dengan kemampuan kamu sekarang. Dan janganlah sekali-kali kamu sangat
menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk
menyempitkan hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau
meminta keluar.3 Ayat-ayat di atas, mewajibkan nafkah secara sempurna bagi wanita
ber-„iddah, lebih wajib lagi bagi istri yang tidak ditalak. 4
2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, vol-14. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h., 293.
3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, vol-14. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h., 300-301.
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih
Munakahat,(Jakarta: Amzah, tt), h., 213.
4
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga antara suami istri terikat oleh hak
dan kewajiban yang telah diatur oleh agama, undang-undang, norma sosial, hak dan
kewajiban suami terhadap istri, serta kewajiban istri terhadap suami.
Dalam kaitannya dengan kewajiban memberi nafkah adakalanya suami
mampu dan adakalanya dia seorang yang tidak mampu. Nafkah ini sangat besar sekali
pengaruh dan fungsinya dalam membina rumah tangga bahagia, aman dan tentram
dan sejahtera. Selain itu kekurangan nafkah juga menjadi penyebab pertengkaran dan
kekacauan dalam rumah tangga yang berakibat perceraian. Perkara nafkah sebagai
alasan perceraian ini disebabkan suami tidak mampu memberi nafkah atau suami
sebenarnya mampu memberi nafkah tetapi tidak mau memberi nafkah padahal
istrinya hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, kewajiban suami terhadap istrinya
adalah memberikan harta benda untuk keperluan hidup, yang biasa disebut nafkah
(nafaqah).
Dalam hukum positif pemenuhan kebutuhan ekonomi atau nafkah kehidupan
rumah tangga menjadi kewajiban suami. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 menjelaskan bahwa suami wajib melindungi dan memberikan segala
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, tanpa ada satu kalimat
pun yang menyatakan besaran nafkah yang harus ditanggung suami. Kemudian
ketentuan tersebut oleh Pasal 80-84 KHI hanya menjelaskan kewajiban nafkah
terhadap suami kepada isteri dan tidak merincikan ukuran menafkahi isteri oleh suami
yang berbeda kalangan .5
Pada kenyataannya banyak isteri yang merasa tidak cukup dengan nafkah
yang diberikan oleh suami. Ironisnya, hal tersebut menjadi pemicu untuk mengakhiri
ikatan perkawinan yaitu perceraian, dimana pada suatu daerah tertentu kasus tersebut
menjadi sangat tinggi tingkat perceraiannya. Misalnya penulis mengamati untuk
wilayah Cibinong. Dimana angka perceraian tiap tahun mencapai 75 % dari tahun
5 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h., 132.
5
2015 sampai dengan 2016.6 Berdsarkan keterangan yang diperoleh dari Panitera
Pengadilan Agama Cibinong, penyebab terjadinya cerai gugat oleh isteri ini karena
memang dari faktor ekonomi yang diberikan oleh suami terhadap isteri. Sedangkan
dalam pandangan empat Imam mazhab, diantaranya yaitu mazhab Syafi‟i
membolehkan isteri menggugat cerai suami karena tidak terpenuhinya nafkah,
sedangkan dalam mazhab Hanafi isteri harus mengerti keadaan ekonomi suami dan
tidak ada pengajuan perceraian dalam masalah ini.
Berhubungan dengan suami tidak mampu memberi nafkah atau tidak mau
memberi nafkah padahal mampu, saya ingin mencoba menguraikan lebih jauh dengan
melakukan penelitian tentang “KEKURANGAN NAFKAH SEBAGAI ALASAN
GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG (DITINJAU DARI
PENDAPAT EMPAT IMAM MAZHAB).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, beberapa masalah
yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana hak istri dalam memperoleh nafkah dari seoarang suami?
2. Apakah hukum memberi nafkah pada istri?
3. Bagaimana konsep nafkah di dalam pandangan Empat Imam Mazhab?
4. Bagaimana kasus gugat cerai karena nafkah di Pengadilan Agama Cibinong?
5. Apakah yang menjadi ukuran dalam besaran pemberian nafkah?
6. Bagaimana Islam memandang kekuarangan nafkah sebagai sebab perceraian?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian
ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksud supaya
pembahasannya tidak terlalu melebar dan sesuai sasaran. Maka di dalam penelitian
6 Wawancara Pribadi dengan Panitera Pengadilan Agama Cibinong, “ Drs. Harun Al-
Rasyid”. NIP: 19630312.199103.1.006. Cibinong, 8 Maret 2017.
6
penulis membatasai permasalahannya pada sistem pemberian nafkah di dalam fiqh
empat mazhab, yaitu:
1. Pemberian nafkah suami kepada isteri persfektif empat mazhab.
2. Putusan Cerai No. 929/Pdt.G/2008/PA. Cbn
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana kekurangan nafkah menjadi alasan cerai gugat dalam Putusan No.
929/Pdt.G/2008/PA.Cbn?
2. Bagaimana tanggungjawab suami dalam memberi nafkah persfekif empat
mazhab?
3. Bagaimana pendapat empat mazhab mengenai perceraian dengan sebab
kekurangan nafkah?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
oleh penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
a. Untuk mengetahui apakah kekurangan nafkah menjadi salah satu penyebab
cerai di Pengadilan Agama.
b. Untuk mengetahui tanggugjawab suami dalam memberikan nafkah persfektif
empat mazhab.
c. Untuk mengetahui pendapat empat mazhab mengenai perceraian dengan
sebab kekurangan nafkah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah
wawasan dan pengetahuan dalam memahami sistem pemberian nafkah
seorang suami kepada istri. Kemudian menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang perbandingan mazhab dan hukum.
7
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan penjelasan
kepada masyarakat tentang pemberian nafkah yang tepat.
E. Review Kajian Terdahulu yang Relevan
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas
oleh penulis lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis
angkat.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa skripsi dan karya tulis terdahulu,
yaitu:
1. Uswatun Hasanah7 NIM(21001297) dalam skripsinya “Kriteria Minimal
Nafkah Wajib Kepada Istri(Study Analisis Pendapat Imam Syafi’i)
menyimpulkan bahwa menurut Imam Syafi‟i, seorang suami memiliki kewajiban
memberikan nafkah kepada istrinya. Ia menetapkan bahwa setiap hari suami
yang mampu wajib membayar nafkah sebanyak 2 mudd (1.350 gram
gandum/beras), suami yang kondisinya menengah 1,5 mudd dan suami yang
tidak mampu wajib membayar nafkah 1 mudd (675 gram gandum/beras). Dalam
ketentuan ukuran minimal nafkah yang wajib dikeluarkan suami kepada istri,
maka Imam Syafi‟i dalam Q.s. At-Thalaq (65) :7 :
(/٥٦/٧الطالق)
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
7 Uswatuh Hasanah, Kriteria Minimal Nafkah Wajib Kepada Istri (Study Analisis Pendapat
Imam Syafi‟i), Skripsi Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2006.
8
2. Surya Parma Batu8 NIM ( 10404414445) dalam skripsinya “ Faktor Ekonomi
Sebagai Alasan Perceraian” menjelaskan faktor-faktor perceraian yang
diakibatkan karena ekonomi pada keluarga. Serta adanya pihak ketiga dalam
penyelesaian, yaitu orang tua yang membantu anaknya.
Berdasarkan literatur di atas, penulis melihat saat ini belum ditemukan karya
ilmiah yang membahas secara khusus mengenai Putusnya Perkawinan Karena
Kekurangan Nafkah Persfektif Empat Imam Mazhab. Adapun yang menjadi
perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah peneliti lebih menitik beratkan pada
perbandingan Hukum Islam terhadap biaya kehidupan (Nafkah) persfektif empat
Imam mazhab. Berbeda dengan peneliti sebelumnya yang menjelaskan tentang batas
wajib nafkah menurut Imam Syafi‟i saja. Oleh karena itu penulis mencoba secara
khusus menganalisis bagaimana Pemberian Nafkah Wajib kepada Seorang Istri di
dalam pendapat empat Imam mazhab.
F. Signifikansi Masalah
Yang mendasari peneliti mengemukakan permasalahan ini adalah karena
banyaknya kasus perceraian akibat tidak terpenuhinya nafkah oleh seorang suami
kepada istri, sehingga peneliti berpendapat bahwa hal ini sangat perlu untuk diteliti
yang kemudian dijelaskan agar masyarakat lebih mengetahui betul apa saja yang
harus di terapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, dan dapat memberikan
pemahaman terkait pemberian nafkah yang mempunyai kriteria-kriteria yang berbeda
untuk diberikan kepada istri, sehingga bisa mengurangi angka perceraian akibat tidak
terpenuhinya nafkah.
8 Surya Purnama Batu Bara, Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Perceraian. Ahwal Al-
Syakhsiyyah Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syariah dan Hukum. 2008
9
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Teknis yang penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif dan
penelitian empiris/sosiologis atau peneltian lapangan. Penelitian normatif adalah
penelitian hukum kepustakaan, di mana dalam penelitian digolongkan sebagai data
sekunder. Penulis akan menggunakan literatur-literatur dan kajian teori kepustakaan
yang membahas tentang kekurangan nafkah dalam empat mazhab. Dan sebagai
penelitian empiris, penulis menggunakan data cerai di Pengadilan Agama Cibinong
pada tahun 2015 dan 2016.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu sumber data yang dapat mendukung dan menjelaskan
data-data sekunder secara langsung. Data primer ini berupa observasi atau
penelitian yang penulis lakukan dengan Panitera Pengadilan Agama
Cibinong, serta beberapa pendapat yang bisa mendukung penelitian ini.
b. Data Sekunder, yaitu semua yang berhubungan langsung dengan objek
penelitian. Data sekunder tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas,
sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai
pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.9 Dalam
hal ini adalah kitab-kitab, buku-buku dan literature yang berkaitan dengan
hukum pemberian nafkah.
c. Data Tertier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung dalam
penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta ensiklopedi yang
berkaitan dengan pembahasan.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
cet. ke-IV, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h., 23.
10
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data ialah secara Library
Research yaitu penilitian kepustakaan.10
Dimana penulis mencari literatur yang
ada kaitannya dengan skripsi yang penulis buat.
4. Metode Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklasifikasi.
Setelah itu penulis mengalisis dengan menggunakan metode kualitatif11
, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.
Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga menjadi
kalimat yang jelas dan dapat dipahami, dan analisis dokumenter data perceraian
di Pengadilan Agama Cibinong.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan gambaran
secara rinci mengnai pokok pembahasan maka penulis menyusun skripsi ini dalam
beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Bab ini membahas tentang Pendahuluan, yang meliputi Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Riview Kajian Terdahulu, Signifikansi Penelitian, Metode dan
teknik Penelitian,Kerangka Teori dan Sistematika Penulisan.
10
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, Jakarta: Pranadamedia Group, tt, h., 338. 11
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media, 2014), h., 400.
11
BAB II : Gambaran Umum Mengenai Nafkah Isteri yang mencangkup:
Pengertian Nafkah; Syarat Wajibnya Nafkah serta Cara Mengatur Jumlah Nafkah dan
Macam-macamnya.
BAB III : Gambaran Umum Mengenai Nafkah Isteri Menurut Imam Mazhab
serta Penjelasan Mengenai Perceraian.
BAB IV : Analisis Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Perceraian di
Pengadilan Agama Cibinong dalam Kajian Empat Imam Mazhab.
BAB V : Penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan
masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM MENGENAI NAFKAH ISTERI
A. Pengertian Nafkah
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah
keluarga. Banyak ayat Al-Qur‟an dan Hadist Nabi Shallaahu‟alaihi Wasallam yang
memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai dari
awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing
unsur dalam keluarga hingga masalah kewarisan dan perwalian. Islam memberikan
perhatian besar pada pranata keluarga. Ini terbukti bahwa seperempat bagian dari fiqh
(hukum Islam) berbicara tentang keluarga.
Tidak ragu lagi, bahwa tujuan pokok perkawainan ialah demi kelangsungan
hidup umat manusia dan memelihara martabat serta kemurnian silsilahnya. Sedang
kelangsungan hidup manusia ini hanya mungkin dengan berlangsungnya keturunan.
Kehadiran anak dalam keluarga merupakan qurratu a‟yun (buah hati yang
menyejukkan). Hal ini dapat kita lihat di dalam Q.s. Al-Furqan: (19) :74 :
/(١٩/٧٤)الفرقان
13
Artinya:“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkalah kepada
kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
Ibnu Katsier menafsirkan ayat tersebut bahwa diantara sifat-sifat hamba Allah
yang baik, adalah bermohon kepada Allah agar dianugerahkan keturunan yang
menyenangkan hati, yaitu keturunan yang menaati dan menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. 1
Fuqaha sependapat bahwa di antara hak istri atas suami adalah nafkah hidup
dan pakaian,2 berdasarkan riwayat hadist sahih dari Nabi Muhammad saw:
)مسند أمحد( و لن رز ق هن وكسوت هن با المعرف
Artinya:“Dan bagi mereka (istri-istri) atas kamu tanggungan rezeki (nafkah) dan
pakaian mereka dengan cara yang baik”.
Dan sabdanya kepada Hindun:3
)أخرجو البخاري و النسائي( خذي ما يكفيك وولدك با المعروف
Artinya:“Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik”.4
(HR. Bukhari dan Nasai)
Nafaqah atau nafkah adalah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya
dalam bentuk materi, karena kata nafaqah itu sendiri berkonotasi materi. Sedangkan
11
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur‟an al-Azhim, (al-Qahirah: al-Maktabah al-Taufiqiyah,t.th), Jilid
III. h., 329. 2 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), Jilid II, Jakarta: Pustaka
Amani, h., 518. 3 Yang dimaksud adalah Hindun, istri Abu Sufyan bin Harb r.a.
4 Diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu‟, Bab Man Ajra Amra
al-Amshar „ala Ma Yata‟arafuna Bainahum fi al-Buyu‟ wa-Ijarah, jilid II, h., 103; Muslim di dalam
Shahih Muslim, Kitab al-Aqdhiyah, hadist nomor 1714; Nasa’i di dalam Sunan Nasa‟i, Kitab Adabil-
Qudhah, Bab Qadha al-Hakim „ala al-Gha-ib Idza „Arafahu, jilid VIII, h., 246-247, hadist nomor
5420; Ibnu Majah di dalam Sunan Ibni Majah, Kitb at-Tijarat, Bab Ma lil- Mar‟ah min Mali Zaujiha,
jilid, II, h., 769, hadist nomor 2293; dan Darami di dalam Sunan Darami, Kitab an-Nikah, Bab fi
Wujub Nafaqatir-Rajul „ala Ahlihi, jilid II, h., 81-82, hadist nomor 2264.
14
kewajiban dalam bentuk nonmateri, seperti memuaskan hajat seksual istri tidak
termasuk dalam artian nafaqah, meskipun dilakukan suami terhadap istrinya. Kata
yang selama ini digunakan secara tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin,
sedangkan dalam bentuk materi disebut nafkah lahir.5 Dalam bahasa yang tepat
nafkah itu tidak ada lahir atau batin. Yang ada adalah nafkah yang dimaksudnya
adalah hal-hal yang bersifat lahiriah atau materi.
Kata nafaqah yang berasal dari kata ان فق dalam bahasa Arab secara etimologi
mengandung arti: ن قص وقل yang berarti berkurang. Juga berarti ف ن وذىب yang berarti
hilang atau pergi. Bila seseorang dikatakan memberi nafaqah membuat harta yang
dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilennyapkannya atau dipergikannya untuk
kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung
arti: “ sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga
menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri berarti
pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa
perkawinannya.
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan kebutuhan istri, seperti
makanan, tempat tinggal, pembantu, dan obat-obatan, meskipun dia kaya. Nafkah
merupakan sesuatu yang wajib. Hal itu berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma‟.6
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana Prenada Group), Cet ke-III, h., 165. 6 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang), Jilid III, Cet. Ke-1, h.,
430.
15
Kewajiban atas nafkah didasarkan dengan Q.s. Al-Baqarah [2]:233:
...خل
(٢/٣٣٢)البقرة/
Artinya:“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para isteri dengan
cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
Firman Allah SWT dalam Q.s. At-Thalaq:[65]: 6:
...(٥٦/٦)الطالق/ خل
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Kewajiban atas nafkah berdsarkan As-Sunnah, ditunjukkan oleh hadist-hadist
berikut ini:
Rasulullah saw, bersabda ketika beliau melaksanakan Haji Wada‟:
“Bertakwalah kalian kepada Allah ketika menggauli perempuan. Sungguh,
kalian telah mengambil mereka dengan kalimat Allah dan menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah agar
mereka tidak mengizinkan seseorang pun yang tidak kalian sukai untuk
memasuki rumah kalian. Apabila mereka melakukan itu maka pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak menyakit-kan. Dan hak mereka atas kalian
adalah nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.7
7 Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim, Kitab al-Hajj, Bab Hajjatin-Nabiy, jilid
II, h., 886, hadist nomor 1218; Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dawud, Kitab al-Manasik, Bab Shifat
Hajjatin-Nabiy, jilid II, hlm. 462, hadist nomor 1905, dan beberapa tempat lainnya; Ibnu Majah di
16
Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, apa hak
istri dari kami? Beliau bersabda:
“Memberinya makan apabila makan dan memberinya pakaian apabila kamu
betrpakaian. Jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkannya, dan jangan
berpaling kepadanya, kecuali di dalam rumah”.8
Adapun Ijma‟, didapat dari perkataan Ibnu Qudamah. Dia berkata,” Para ahli
ilmu sepakat atas kewajiban pemberian nafkah oleh suami kepada istri mereka
apabila telah balig, kecuali istri yang durhaka antara mereka. Hal ini disebutkan oleh
Ibnu Munzir dan ulama yang lain.”
Dia berkata, “ Di dalamnya ada semacam pelajaran, yaitu bahwa perempuan
ditahan oleh suaminya serta dilarang untuk bertindak dan mencari nafkah sehingga
sang suami memiliki kewajiban untuk memberinya nafkah.”9
Kewajiban memberikan nafaqah oleh suami kepada istrinya yang berlaku
dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip
ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang telah
diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami
berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan
untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafaqah (nafkah).
Oleh karena itu, kewajiban nafaqah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti
prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga.
dalam Sunan Ibni Majah, Kitab al-Manasik, Bab Hajjatin- Nabiy, jilid I, h., 1022-1025, hadist nomor
3074; Darami di dalam Sunan Darami, Kitab al-Hajj, Bab fi Sunnatil-Hajj, jilid I, h., 375, hadist
nomor 1857 ; dan Ahmad di dalam Musnad Ahmad, jilid V, h., 73. 8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dawud, Kitab an-Nikah, Bab fi Haqqil-
Mar‟ah „ala Zaujiha, jilid II, h., 606, hadist nomor 2042; Ibnu Majah di dalam Sunan Ibni Majah,
Kitab an-Nikah, Bab Haqqil Mar‟ah „ala az-Zauj, jilid I, h., 593-594, hadist nomor 1850; dan Ahmad
di dalam Musnad Ahmad, jilid IV, h., 447, dan jilid V, hlm. 3-5. Mundziri menisbahkannya juga
kepada Nasa‟i. 9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. h., 432.
17
Yang termasuk dalam pengertian nafaqah menurut yang disepakati ulama
adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok,
pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan
papan. Selain dari tiga hal pokok tersebut jadi perbincangan di kalangan ulama. 10
B. Syarat Wajib Nafkah
الزوجة على زوجها اذا ب ن فقة ت واف ر ف ذالك امورالتالية : ت
بعقد فاسد ل ن فقة لا لن الن فقة لقاء ا حتباس ول احتباس للزوج على ان يكون الزوج صحيحا شرعا، فالزوجة ل
زوجتو ف العقد الفاسد.
“Adanya suami yang sah menurut hukum syara‟, maka istri yang fasid tidak berhak
mendapatkan nafkah atasnya.”
رة مثل فال ن ف ا للمعا شرة والتحقيق الاغراض الزوجية صغي ن تكون الزوجة صالة القوق ت قابل قة لا لن
الواجبات.
“Adanya istri yang shalehah”
إلأن تكون الزوجة نا شزة والناشزة ىي اليت ل تطيع زوجها بالمور اليت أوجب الشارع عليها طاعتو فيها كمالو امتنعت
ال بوجود مسكن شرعي رفضت عن ال نتقال اىل منزلو بعد العقد الصحيح فال نفقة لا لنو نا شزة ول يثبت النشوز
11الزوجة إلنتقال اليو.
“Tidak ada istri yang membangkang (Nusyuz), dan nusyuz disini yaitu seorang istri
yang tidak mentaati suaminya dengan perintah suami yang diwajibkan oleh hukum
syara‟ atasnya untuk mentaati suaminya, seperti tidak mentaati dari berpindahnya
rumah setelah akad yang sah, maka atasnya tidak wajib nafkah karena ia telah
nusyuz”
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h., 166. 11
– 1331. مطبعة جامعة دمشق, 362-360قاوون اال حوال الشخصيح السووري", ص. عبذ الرحمه الصبووي" شرح
م. 1312-1113ها/ 1332
18
Beikut ini ada beberapa persyaratan agar nafkah berhak untuk di dapatkan,
yaitu:
1. Akad yang dilakukan adalah sah;
2. Istri menyerahkan dirinya kepada suami;
3. Istri memungkinkan suami untuk menikmatinya;
4. Istri tidak menolak untuk berpindah ketempat mana pun yang dikehendaki
oleh suami;
5. Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan suami istri.12
Apabila salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka nafkah tidak
wajib untuk diberikan. Penjelasan atas hal itu adalah sebagai berikut.
Apabila akad tidak sah, tapi batal. Maka suami istri wajib berpisah demi
menghindari terjadinya kerusakan.
Apabila istri tidak menyerahkan dirinya kepada suami, atau tidak
memungkinkan bagi suami untuk menikmatinya, atau istri menolak untuk berpindah
ke daerah yang diinginkan oleh suami, maka nafkah tidak wajib diberikan kepadanya.
Hal itu karena tidak terwujudnya penahanan merupakan sebab wajibnya nafkah,
sebagaimana harga tidak wajib dibayarkan apabila penjual tidak mau menyerahkan
barang yang dijual atau apabila dia menyerahkannya di satu tempat tanpa tempat lain.
Nabi SAW menikahi Aisyah r.a. dan baru menggaulinya dua tahun kemudian. Dan
beliau tidak menafkahinya, kecuali sejak beliau menggaulinya. Nafkahnya tidak
wajib atas beliau karena apa yang telah kita jelaskan di atas.
Apabila istri menyerahkan dirinya kepada suami ketika dia masih kecil, dan
dia belum bisa disetubuhi, maka menurut para Ulama Mazhab Maliki dan menurut
pendapat yang benar dari Mazhab Syafi‟i, nafkah tidak wajib diberikan kepadanya.
12
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Jilid III, h., 432-433.
19
Kemungkinan yang sempurna untuk dinikmati tidak ada di dalam dirinya (sang istri
tersebut) sehingga dia tidak berhak untuk mendapatkan penukar, yaitu nafkah.
Apabila istri telah baligh dan suami masih kecil, maka menurut pendapat yang
benar, nafkah itu menjadi wajib. Hal itu karena kemungkinan untuk dinikmati ada
pada pihak istri, tapi halangan untuk itu muncul dari pihak suami sehingga nafkah
menjadi suatu hal yanh tetap diwajibkan, sebagaimana seandainya istri menyerahkan
diri kepada suami ketika suami telah baligh, lalu ia berpaling dari istri.
Hal yang difatwakan menurut pendapat Imam Hanafi adalah bahwa apabila
suami meminta istrinya yang masih kecil agar tinggal di rumahnya untuk dijadikan
sebagai teman, maka nafkah wajib diberikan kepada istri, karena suami ridha atas
penahanan yang tidak sempurna ini. Dan apabila suami tidak menahan istri di
rumahnya, maka tidak ada nafkah bagi istri.13
Apabila istri menyerahkan dirinya dalam keadaan sakit sehingga dia tidak
dapat digauli oleh suami maka nafkah wajib baginya. Bukanlah merupakan bentuk
hubungan suami-istri yang baik apabila dijadikan penyakit sebagai sebab hilangnya
nafkah yang wajib baginya. Hal ini serupa dengan perempuan yang sakit adalah
perempuan yang kemaluannya tertutup, perempuan yang kurus kering, dan
perempuan yang memiliki cacat yang menghalangi suami untuk menggaulinya.
Bagitu pula, suami, yaitu apabila dia impoten, terpotong kemaluannya,
dikebiri, menderita penyakit yang mengahalanginya untuk menggauli perempuan,
atau dipenjara karena utang atau kejahatan yang dilakukannya. Dalam kasus ini,
kemungkinan untuk dinikmati ada pada pihak istri, sementara halangan muncul pada
pihak suami. Ini merupakan sebab yang di dalamnya sang istri tidak dianggap
menyia-nyiakan hak suami. Suami sendirilah yang telah menghilangkan haknya.
13
Ini merupakan pendapat Abu Yusuf. Sementara itu, pendapat Abu Hanifah dan Muhammad
sama seperti pendapat para Ulama Mazhab Imam Syafi‟i karena keberadaan istri sama dengan
ketiadaannya. Suami tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari pernikahan sehingga nafkah
tidak wajib bagi istri.
20
Nafkah tidak wajib apabila istri berpindah dari rumah suami-istri ke rumah
yang lain tanpa izin dari suami, atau berihram untuk haji tanpa izin dari suami.
Apabila dia berpergian atas izin dari suami, atau berihram atas izin dari suami, atau
keluar bersama suami, maka nafkah tidak akan terlepas karena dia tidak keluar dari
ketaatan kepada suami dan lepas dari genggamannya.
Nafkah juga tidak wajib bagi istri apabila dia mengahalangi suami untuk
menggaulinya di rumahnya yang di dalamnya suami tinggal bersamanya, sedangkan
sebelumnya dia tidak pernah meminta untuk berpindah ke rumah lain, tapi suami
menolak. Apabila sebelumnya dia telah meminta untuk berpindah tempat tinggal, tapi
sang suami menolak, lalu dia menghalangi suami untuk menggaulinya, maka nafkah
itu menjadi tidak terlepas.
Nafkah juga tidak wajib diberikan apabila istri dipenjara akibat kejahatan atau
utang, atau apabila dia dipenjara karena zalim, kecuali apabila suamilah yang
memenjarakannya karena sang istri memiliki utang kepada suami. Dalam kondisi itu,
suami sendirilah yang telah menghilangkan haknya.
Apabila seseorang melakukan penculikan terhadap istri orang lain, dan hal ini
mengahalangi istri dari suaminya, maka selama masa penculikan, istri tidak berhak
untuk mendapatkan nafkah.
Istri yang keluar untuk bekerja juga tidak berhak untuk mendapatkan nafkah
apabila suami telah melarangnya, tapi dia tidak mengindahkan larangan itu. Bagitu
pula, apabila dia melindungi dirinya dengan puasa suannah atau i‟tikaf sunnah.14
Dalam semua bentuk ini, istri tidak berhak untuk mendapatkan nafkah karena
dia telah menghilangkan hak suaminya untuk menikmatinya tanpa alasan yang syar‟i.
Apabila dia menghilangkan hak suami karena alasan yang syar‟i maka nafkah tidak
hilang. Misalnya, apabila dia keluar dari ketaatan kepada suami karena tempat
14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.,. 434.
21
tinggalnya tidaks sesuai dengan syariat atau karena suami tidak dapat dipercaya
terhadap diri dan hartanya.15
Namun demikian, kesetaraan hak antara suami istri juga tercermin dalam hal
kelalaian pemenuhan hak, sehingga sebetulnya dalam jalur hukum hak masing-
masing bisa dipertahankan. Istri berhak mengajukan gugatan kepada suami jika
haknya tidak dipenuhi, baik batin maupun lahir.
KHI Pasal 77 ayat (5) menyatakan bahwa jika suami istri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Dan dari sini, dapat disimpulkan bahwa sesuangguhnya hubungan antara suami-istri
adalah sederajat dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Keduanya memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Hal ini sudah tercantum dalam Islam maupun tata
perkawinan yang telah diatur Undang-undang.16
Oleh karena itu, seperti dinyatakan Asghar Ali Engineer, Al-Qur‟an mengikuti
tingkat superioritas kaum laki-laki, tetapi tidak mengurangi kadar keagamaan mereka.
Laki-laki menjadi pelindung perempuan, karena mereka menafkahkan hartanya untuk
menjaga dan melindungi istrinya dan anak-anaknya.17
C. Cara Mengatur Jumlah Nafkah
Nafkah untuk istri meliputi beberapa hal berikut ini;
1. Makanan, minuman, lauk;
2. Pakaian;
3. Tempat tinggal;
4. Pembantu jika dibutuhkan; dan
5. Perabot rumah tangga.
15
Ibid, h., 435. 16
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet.
Ke-1, h., 256. 17
Asgar Ali Engineering, Pembebasan Perempuan, ( Terj: Agus Nur Yatno), (Yogyakarta:
Elkis, 1999), h., 255.
22
Undang-undang Negara Syria pasal 71 menegaskan bahwa ragam dan kira-kira
nafkah diambil dari wajibnya nafkah berobat dan pengobatan:
a. Nafkah untuk istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan
secara umum, dan pembantu bagi istri.
b. Seorang suami diwajibkan dengan paksa untuk memberikan nafkah kepada
istrinya jika ia menolak memberi nafkah.
1. Makanan dan Sejenisnya
Para ulama menetapkan bahwa nafkah wajib untuk istri adalah makanan dan
perlengkapannya seperti minuman, lauk, air, cuka, minyak, kayu bakar, dan
sejenisnya. Tetapi, buah tidak termasuk dalam hitungan nafkah wajib.
a. Bagiamana Cara Mengira-ngira Nafkah Makanan?
Mayoritas ulama selain Syafi‟iyah berpendapat bahwa nafkah berupa
makanan dikira-kirakan dengan kadar secukupnya. Artinya, makanan yang dapat
mencukupi istri sebagai nafkah kerabat karena Rasulullah saw bersabda kepada
Hindun, “Ambillah harta suamimu yang engkau anggap cukup untukmu dan
anakmu”. Hadist ini tidak menjelaskan jumlah atau bilangan, hanya membatasi
dengan ketentuan cukup. Artinya sesuai dengan kebutuhan istri dan anak.
Kadar makanan disesuaikan dengan kebiasaan dan adat yang berlaku dimasing-
masing daerah. Atau, bisa juga berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan.
Jika hakim telah menentukan jumlah nafkah sementara ekonomi sang suami berubah,
maka ketentuan itu juga diubah sesuai dengan perubahan ekonomi. Artinya, jika
ekonomi membaik, maka nafkahnya bertambah, dan jika ekonomi melemah maka
nafkahnya berkurang.18
18
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. (Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,dkk).
(Jakarta: Gema Insani, 2011), vol. 10, h., 120.
23
2. Pakaian
Para ulama sepakat bahwa suami berkewajiban memberikan pakaian untuk
istrinya sebagai bagian dari nafkah wajib. Rasulullah saw bersabda, “Pakaian dan
rezeki mereka menjadi tanggung jawab kalian”.
Standar pakaian telah ditentukan oleh para ulama hingga ulama Syafi‟iyyah
sesuai dengan keadaan ekonomi suami. Ketentuannya bukan dengan syara‟, namun
dengan ijtihad hakim sesuai dengan kecukupan keluarga.
Batas minimal nafkah wajib adaalah qamish, yaitu sepoyong pakaian yang
dpaat menutup seluruh badan. Lantas celana, yaitu kaian yang menutup aurat.
Kemudian kerudung, yaitu kain yang menutup kepala. Kemudian sandal atau
sepatu, dan sejenisnya.
Untuk itu, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab memberi nafkah
serta memenuhi kebutuhan anak, baik material maupun spiritual, dalam bentuk
kasih sayang, perhatian, pemenuhan sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan
dan kesehatan sampai anak itu mencapai usia dewasa.19
Di samping itu, tanggung jawab sosial keluarga dalam Islam adalah untuk
memberikan ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan rumah tangga. Allah
Subhanahu Wata‟ala berfirman dalm Q. S. Ar-Rum: [30]: 21:
نكم مود ها وجعل ب ي إن ف ذ لك آل ط ة ورمحة ومن آيآ تو ان خلق لكم من ان فسكم ازواجا لتسكن وآ الي
رون. (٣٣/٢١)الروم/ يت لقوم ي ت فك
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir.
19
Khalil Nafis, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2009), cet ke- I, h., 8-9.
24
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami
istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat
langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan
menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya.
DR. H. Husmi Rahim20
mengutip ungkapan DR. H. Ali Akbar dalam
bukunya, merawat cinta kasih” mengatakan bahwa ada lima petunjuk bagi suami
dan lima petunjuk bagi istri untuk membina rumah tangga sakinah:
I. Lima petunjuk bagi suami adalah:
A. Suami harus sadar, bahwa istrinya adalah wanita yang diamanatkan Allah
kepadanya.suami adalah pemegang amanat Allah dalam hidup berkeluarga,
termasuk pemimpin dalam keluarga.
B. Suami harus menjadi pemimpin, pelindung dan pembimbing dalam
keluarga.
C. Suami yang wajib memberi nafkah kepada istri dan keluarga, dia harus
menjaga keluarga dari bencana dam bahaya, baik dari luar, amupun dari
dalam seperti kebodohan dan kemiskinan.
D. Suami harus adil, bijaksana, terbuka dan lemah lembut.
E. Suami harus sabar dalam menghadapi segala cobaan.
II. Lima petunjuk bagi istri adalah sebagai berikut:
A. Istri harus sadar, bahwa sesudah akad nikah, ia adalah bagian dari amanat
yang diserahkan Allah kepada suaminya.
B. Istri diberi tugas oleh Allah untuk mewujudkan rumah tangga sakinah.
Artinya mengupayakan rumah tangga sebagai surga yang selalu memikat
suami dan anak-anaknya betah di rumah.
20
Husni Rahim, Baiti Jannati : Renungan Memasuki Mahligai Pernikahan, (t.t.: t.p., 1422 H/
2002 M), h., 33-34.
25
C. Istri harus selalu berusaha untuk menjadi wanita yang shalehah, lihat firman
Allah dalam surat An-Nisa ayat 34 yang telah disebutkan di atas, “istri-istri”
yang shalehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara
kehormatan diri dari belakang suaminya, karena Allah telah memeliharanya.
D. Istri harus menyadari bagitu besar perannya dalam menstabilkan dan
menyelamatkan rumah tangganya.
E. Istri harus menyadari bahwa surga dunia dan akhirat terletak di bawah
telapak kakinya. Hadis Nabi:
قضا ىي عن أنس(أخرجو اجلنة حتت أقدام المهات )
“Surga berada di bawah telapak kaki ibu”(HR. Al-Qudha‟i dari Anas)
Keluarga yang sukses, adalah keluarga yang mampu memenej perbedaan dan
memadukan kesamaan, baik itu kelebihan, maupun kekurangan yang ada pada suami
istri agar mereka dapat melaksanakan tanggung jawab sosial keluarga.21
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah mengingatkannya pada Q.s.
Thaha:[20]:117-119:
/(١١٩-٢٣/١٧٧)طو
Artinya: “Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh
bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu
berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.Sesungguhnya kamu
tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan Sesungguhnya kamu
tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
21
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”(Jakata: Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2013) cet ke- I, h., 146.
26
Demikianlah Al-Qur‟an sejak dini meletakkan di atas pundak suami
kewajiban memenuhi kebutuhan hidupnya serta istri dan anak-anaknya. Dalam
bidang material, minimal adalah tersedianya sandang, pangan, dan papan.
Walaupun Al-Qur‟an menggarisbawahi bahwa tanggung jawab dalam bidang
pengadaan kebutuhan keluarga terletak di atas pundak bapak, tetapi ini bukan berati
bahwa ibu boleh berlepas tangan sama sekali.
Walaupun nafkah rumah tangga dibebankan kepada suami, di dalam hukum
Islam tidak dilarang kepada istri membantu suaminya dalam mencari nafkah selama
tidak mengganggu pelaksanaan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.22
Wanita diperbolehkan untuk memberi nafkah kepada suami, anak dan rumah
tangganya dari hasil jerih payahnya, meskipun menafkahi keluarga itu merupakan
kewajiban mutlak bagi suami, asal wanita tersebut rela dalam hal ini, bahkan dalam
keadaan suami miskin, istri boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya,
tetapi suami tidak boleh memberikan zakat hartanya kepada istrinya sebab istri itu
adalah tanggungannya.23
Apabila wanita rela memberikan sebagian maharnya kepada suaminya, maka
suami boleh memakannya. Kalau mahar itu sebagai pemberian yang wajib dari pihak
suami kepada si istri boleh dimakan oleh suami sebagiannya karena kerelaan istri,
maka boleh pula si istri menafkahi suami, anak-anak dan rumah tangganya, karena
masalah itu tergolong dalam hal yang diperintahkan Allah SWT untuk tolong
menolong dan bantu membantu dalam hal kebaikan. Tentu saja memberi nafkah
kepada suami yang dalam keadaan susah, tidak ada pencaharian, termasuk perbuatan
yang sangat baik. Kalau suami istri dapat saling mewarisi setelah meninggal,
mengapa si suami tidak harus dibantu bila hidupnya susah? Oleh karena itu istri
22
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam” , h., 147. 23
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, h., 147-148.
27
menafkahi keluarganya (suami dan anak-anaknya) tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. 24
Kini proses modernisasi yang terus berlanjut, disertai dengan kecenderungan
materialisme yang sukar dibendung, telah melahirkan pula kebutuhan dan keinginan-
keinginan baru yang mendesak keluarga dan seringkali tidak dapat terpenuhi kecuali
dengan bekerja keras. Ini semua melahiran peran ganda wanita.
Islam mentolelir adanya perempuan sebagai tenaga baru dalam mencari
nafkah dengan adanya perkembangan zaman yang mempengaruhi tatanan kehidupan,
yaitu menyebabkan manusia didesak oleh kebutuhan-kebutuhan baru dan mengubah
kebutuhan yang semula hanya bersifat sekunder menjadi kebutuhan primer. Mungkin
seorang suami tidak lagi sanggup memikul beban kewajibannya sendiri, karena
banyak tanggungan yang harus dinafkahi, seperti anaknya banyak atau karena
lowongan pekerjaan terlalu sempit dan lain-lain. Dalam hal seperti itu istri harus
membantu suaminya untuk menjaga kelestarian dan kewajiban dan kewibaawaan
keluarga serta kesejahteraan anak-anak di kemudian hari.25
Di samping itu, istri yang bekerja di luar untuk membantu ekonomi keluarga,
harus tetap memperhatikan dan menjaga ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum
yang telah ditetapkan oleh Islam, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah
tangganya, tetap berbusana yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan tidak
mendatangkan negatif terhadap dirinya dan agamnya.26
24
Huzaemah T. Yanggo, Masail Fiqhiyah : Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung :
Penerbit Angkasa, 2005). cet I. h., 143. 25
Huzaemah T. Yanggo, Masail Fiqhiyah, h., 100. 26
Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h., 122.
28
BAB III
GAMBARAN UMUM MENGENAI NAFKAH ISTERI MENURUT
EMPAT IMAM MAZHAB SERTA PENJELASAN
MENGENAI PERCERAIAN
A. Gambaran Umum Nafkah Istri Menurut Imam Mazhab
Sebenarnya ada begitu banyak mazhab dalam fiqh, terutama pada masa
perkembangan dan pembentukan hukum. Namun, dalam konteks skripsi ini
tinjauannya hanya dipusatkan kepada Empat Imam Mazhab yang berkembang dan
menjadi rujukan di dunia Islam dewasa ini, yaitu: Mazhab Hanafi yang didirikan oleh
Imam Abu Hanifah, Mazhab Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas,
Mazhab Syafi‟i yang didirikan oleh Imam Idris as-Syafi‟i, dan Mazhab Hambali yang
didirikan oleh Imam Ahmad bin Hambal.
1. Imam Malik
a. Biografi Imam Malik dan Metode Istidlal
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam empat serangkai dalam Islam
dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun
93 H/12M, dan wafat pada hari Ahad, 10 Rabi‟ul Awal 179 H/798M di Madinah
pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid. Nama
lengkapnya ialah Abu dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan
Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti al-„Aliyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
Imam Malik berada dalam kandungan ibunya selama dua tahun, ada pula yang
mengatakan sampai tiga tahun.1
1 Mazhab ini banyak diakui di negara, antara lain: Mekkah, Tunisia, dan Syiria.
29
Imam Malik terdidik di Kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah
Sulaiman Ibn Abd. Al-Malik dari Bani Umayah VII. Pelajaran pertama yang
diterimanya adalah Al-Qur‟an, yakni bagaimana cara membaca, memahami makna
dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Qur‟an itu di luar kepala. Kemudian ia mempelajari
hadist Nabi SAW dengan tekun dan rajin, sehingga mendapat julukan sebagai ahli
hadits.2
Guru pertamanya dan bergaul lama serta erat adalah Abd Rahman ibn
Hurmuz, salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fikih
kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi‟ah al-Ra‟yi
(wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadist kepada Imam Nafi‟
Maula Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab al-
Zuhry.
Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah
berpegang kepada: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma Ahl al-Madinah, Fatwa Sahabat, Al-
Istihsan, Al-Maslahah al-Mursalah, Sadd al-Dzara‟i, Istishab, Syar‟u Man Qablana
Syar‟un Lana.3
b. Pemikiran Imam Malik tentang Nafkah
Imam Malik berpendapat bahwa nafkah baru menjadi wajib atas suami apabila
ia telah menggauli atau mengajak bergaul, sedang, istri tersebut termasuk orang yang
dapat digauli, dan suami pun telah dewasa.
Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan
berdasarkan ketentuan syarak, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-istri,
2 Huzaemah Tahido Yanggo, ” Pengantar Perbandingan Mazhab”.(Ciputat: Gaung Persada
(GP), 2011, Cet- IV), h., 115. 3 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab. h., 117-125.
30
dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. 4
Imam Malik pun berpendapat bahwa nafkah tersebut diukur menurut keadaan
suami-isteri. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi suami yang kaya memberi nafkah
kepada isteri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah yang biasa diberikan kepada orang
kaya. Sedangkan suami yang miskin wajib memberi nafkah kepada isteri yang
miskin, yiatu sebesar kecukupannya. Suami yang kaya wajib memberikan nafkah
isteri yang fakir, yaitu dengan nafkah yang pertengahan antara dua nafkah mereka.
Suami yang fakir memberikan nafkah kepada isteri yang kaya adalah sekedar yang
diperlukannya, sedangkan yang lainnya menjadi utangnya.5
2. Imam Abu Hanifah
a. Profil Imam Abu Hanifah dan Metode Istidlal
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al-Nu‟man bin Tsabit Ibn
Zautha al-Taimy, lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari
keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150
H/767 M. Ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni masa akhir
dinasti Umaiyyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.
Imam Abu Hanifah menekuni ilmu fikih di Kufah yang pada waktu itu
merupakan pusat pertemuan para ulama fikih cenderung rasional. Abu Hanifah
berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang memiliki pandangan luas dalam
masalah fikih. Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan
memberi nasihat kepadanya, antara lain adalah: Imam „Amir ibn Syahril al-Sya‟by
dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy‟ary.
4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. (Terj. Drs. Imam Al-Ghazali Said MA dan Drs. Achmad
Zaidun). Dar Al-Jiil, Beirut, h., 519. 5 Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab.
(Terj. „Abdullah Zaki Alkaf),( Bandung: Hasyimi, 2012),h., 388.
31
Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum syara‟ yang tidak
ditetapkan dalalahnya secara qath‟iy dari Al-Qur‟an atau dari hadist yang diragukan
keshahihannya, ia selalu menggunakan ra‟yu. Ia sangat selektif dalam memperhatikan
muamalat manusia, adat istiadat serta „urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas,
beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka
beliau berpegang kepada „urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi
oleh perkembangan di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat
tinggal Rasul saw yang banyak didapati hadist. 6
b. Pemikiran Imam Abu Hanifah tentang Nafkah
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa suami yang belum dewasa wajib
memberi nafkah apabila istri telah dewasa.7 Beliau pun berpendapat bahwa kadar
nafkah tidak ditentukan berdasarkan syariat. Suami wajib memberikan kadar yang
mencukupi makanan, bumbu, daging, sayuran, buah, minyak, mentega, dan segala
sesuatu yang dibutuhkannya untuk hidup kepada istri, sesuai dengan berlaku dalam
tradisi. Hal tersebut berbeda-beda seiring dengan perbedaan tempat, masa, dan
kondisi. Di samping itu, suami juga wajib memberikan pakaian kepada istri untuk
musim panas dan musim dingin.8
Mereka berpendapat bahwa nafkah istri yang wajib atas suami ditentukan
berdasarkan kondisi suami dari segi kekayaan dan kemiskinan, bagaimana pun
kondisi istri, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.s. ath-Thalaq [65]:7:
6 Mazhab Hanafi banyak diikuti di negara India, antara lain: Pakistan, Turki, Afganistan.
7 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. (Terj. Drs. Imam Al-Ghazali Said MA dan Drs. Achmad
Zaidun). 8Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Terj. Abu Sufyan Lc dan Abu Aulia Rahma Lc), (Jakarta: Tinta
Abadi Gemilang. Cet.1), h., 439.
32
/(٦٥/٧)الطالق
Artinya: “ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.”
Dan firman Allah SWT dalam Q.s. Ath-Thalaq: [65]:6:
...(٦٥/٦)الطالق/ خل
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
3. Imam Syafi’i
a. Biografi Imam Syafi’i dan Metode Istidlal
Imam Syafi‟i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H/767M.
Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi‟i
wafat di Mesir pada tahun 204 H/819M. Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu ibn
Syafi‟i ibn Said ibn Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muththalib ibn Abd al-
Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy.9
9 Huzaemah Tahido Yanggo,” Pengantar Perbandingan Mazhab”, h., 134-135.
33
Adapun nasab Imam Syafi‟i bin Fatimah binti Abdullah ibn Hasan ibn Husen
ibn Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, maka Ibu Imam Syafi‟i adalah cucu dari
Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad saw. Dan khalifah keempat
yang terkenal. Dalam sejarah ditemukan, bahwa Said ibn Yazid, kakek Imam Syafi‟i
yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad saw.
Imam Sayafi‟i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan Qaul Qadim
dan Qaul Jadid10
. Qaul Qadim Imam Syafi‟i adalah pendapat-pendapatnya yang
dihasilkan dari perpaduan antara mazhan Iraqy dan pendapat Ahlu Hadist. Sedangkan
Qaul Jadid Imam Syafi‟i adalah hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir. Qaul
Jadidnya ini ditulis dalam kitab al-Umm. Pokok pikiran beliau dalam
mengistinbatkan hukum adalah: Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Ijma‟, Qiyas.11
b. Pendapat Imam Syafi’i tentang Nafkah.
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Atas orang
kaya dua mudd, atas orang yang sedang satu setengah mudd dan atas orang yang
miskin satu mudd.12
Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah SWT dalam Q.s.
Ath-Thalaq [65]:7:
/(٦٥/٧)الطالق
Artinya:”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
10
Mazhab Syafi‟i banyak diikuti di negara Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Mesir. 11
Huzaemah Tahido Yanggo,” Pengantar Perbandingan Mazhab”, h., 141-147. 12
1 mudd = ± 675 gram gandum/beras, 1 ½ mudd = ± 1,012 gram gandum,/beras 2 mudd= ±
1.350 gram gandum/beras. 1.350 gram gandum/beras.
34
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah membedakan orang kaya
dengan orang miskin dan mewajibkan nafkah atas masing-masing dari keduanya
sesuai dengan kondisinya tanpa menjelaskan kadarnya. Oleh karena itu, kadar
tersebut harus ditentukan berdasarkan ijtihad.13
Dan yang paling layak untuk
dijadikan sandaran qiyas bagi nafkah adalah makanan untuk kafarat karena makanan
untuk kafarat ini adalah makanan yang wajib diberikan berdasarkan syariat untuk
mencegah kelaparan. Kadar paling banyak untuk kafarat yang wajib diberikan kepada
orang miskin adalah 2 mudd, yaitu dalam fidyah gangguan (fidyatul-adza‟).14
Dan
kadar paling sedikit yang wajib diberikan adalah satu mudd, yaitu kadar untuk kafarat
jimak pada bulan Ramadha. Apabila kondisi seseorang menengah, dia wajib
memberikan satu setengah mudd. Dia tidak dapat digabungkan dengan orang kaya
yang berada di atasnya dan tidak pula dengan orang miskin yang berada di bawahnya
sehingga ditetapkan atasnya satu setengah mudd.
Mereka mengatakan bahwa apabila pintu kecukupan bagi perempuan dibuka
tanpa penentuan kadar, akan terjadi persengketaan yang tiada akhir. Oleh karena itu,
harus dilakukan penentuan kadar yang tidak layak dengan cara yang patut.
Memberikan nafkah dan pakaian dengan cara yang patut untuk melindungi istri
dari bahaya hukumnya wajib. Hal itu dilakukan dengan mengambil jalan tengah dari
apa yang mencukupi. Inilah tafsir cara yang patut.15
13
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 440. 14
Maksud dari gangguan terhadap kepala yang memaksa orang yang sedang berhaji untuk
mencukur rambutnya sebelum saatnya. Lihat ayat 196 dari Surat Al-Baqarah. 15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h., 441.
35
4. Imam Ahmad ibn Hanbal
a. Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal
tahun 164 H/780M. Tempat kediaman ayah dan ibunya sebenarnya di kota Marwin,
wilayah Khurasan, tetapi di kala ia masih dalam kandungan, ibunya kebetulan pergi
ke Baghdad dan di sana melahirkan kandungannya.
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Asad ibn
Idris ibn Abdullah ibn Hasan al-Syaibaniy. Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti
Abd al-Malik ibn Sawadah ibn Hindun al-Syaibaniy. Jadi, baik dari pihak ayah,
maupun dari pihak ibu, Imam Ahmad ibn Hanbal berasal dari keturunan Syaiban,
salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arabia.
Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum
adalah: Nash dari Al-Qur‟an yang shahih, fatwa para sahabat Nabi SAW, fatwa para
sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang
paling dekat dengan nash Al-Qur‟an dan Sunnah, hadist mursal dan hadist dha‟if dan
qiyas. 16
b. Pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal tentang Nafkah
Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam
menetapkan nafkah adalah status sosial-ekonomi suami dan istri secara bersama-
sama. Jika keduanya kebetulan status sosial-ekonominya berbeda diambil dari standar
menengah di antara keduanya.17
Yang jadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah
keluarga itu merupakan gabungan di antara suami dan istri, oleh kaerna itu keduanya
dijadikan pertimbangan dalam menentukan nafkah.
Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik juga mengatakan bahwa yang
dijadikan standar adalah kebutuhan istri. Yang menjadi dasar bagi ulama ini adalah
firman Allah SWT dalam Q.s. Al-Baqarah[2]:233:
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h.,.154-161. 17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, h., 170.
36
...خل
(٢/٢٣٣)البقره/
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para isteri dengan cara
ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Pengertian ma‟ruf dalam ayat ini dipahami ulama golongan itu dengan arti
mencukupi. Dalil ini dikuatkan dengan sepotong hadits Nabi saw dari Aisyah
muttafaq alaih yang mengatakan:
دخلت ىند بنت عتبة امرأة أىب سفيان إىل رسول اهلل صلى اهلل عليو مسلم قالت: يا رسول اهلل ان أبا سفيان رجل
ذا لك من جناح شحيح ل يعطى من النفقة ما يكفيين ويكفي بنىت إل ما أخذت من ما لو بغري علمو فهل علي ف
18 أخرجو مسلم() فقال خذي من ما لو باملعروف ما يكفيك ويكفى بنتك
Artinya: Hindun binti Utbah istri Abu Sofyan menghadap Nabi SAW, dan berkata:
“Abu Sofyan adalah laki-laki yang pelit dia tidak memberi nafkah yang mencukupi
untukku dan anak perempuamku, kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah boleh, yang demikian? Nabi SAW bersabda” ambillah
dari hartanya apa yang mencukupi untukmu dan anak perempuanmu”
18
Imam Muslim, Shahih Muslim, no.1714
37
Berikut Ini Tabel Pendapat Imam Mazhab Mengenai Nafkah Isteri
Imam Malik Nafkah baru menjadi wajib atas suami apabila ia telah
menggauli atau mengajak bergaul, sedang isteri tersebut
termassuk orang yang dapat digauli, dan suami pun telah
dewasa. Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah
itu tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syarak, tetapi
berdasarkan keadaan masing-masing suami-istri, dan ini
akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu,
dan keadaan. Imam Malik pun berpendapat bahwa nafkah
tersebut diukur menurut keadaan suami-isteri. Oleh karena
itu, wajib hukumnya bagi suami yang kaya memberi
nafkah kepada isteri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah
yang biasa diberikan kepada orang kaya.
Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa suami yang belum
dewasa wajib memberi nafkah apabila isteri telah dewasa.
Beliau pun berpendapat bahwa kadar nafkah tidak
ditentukan berdasarkan syariat. Suami wajib memberikan
kadar yang mencukupi makanan, bumbu, daging, sayuran,
buah, minyak, mentega, dan segala sesuatu yang
dibutuhkannya untuk hidup kepada istri, sesuai dengan
berlaku dalam tradisi. Hal tersebut berbeda-beda seiring
dengan perbedaan tempat, masa, dan kondisi.
Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan
besarnya. Atas orang kaya dua mudd, atas orang yang
sedang satu setengah mudd dan atas orang yang miskin
satu mudd. Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini
Allah membedakan orang kaya dengan orang miskin dan
mewajibkan nafkah atas masing-masing dari keduanya
sesuai dengan kondisinya tanpa menjelaskan kadarnya.
Imam Ahmad ibn
Hambal
Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa yang
dijadikan ukuran dalam menetapkan nafkah adalah status
sosial-ekonomi suami dan istri secara bersama-sama. Jika
keduanya kebetulan status sosial-ekonominya berbeda
diambil dari standar menengah di antara keduanya.
38
B. Gugurnya Nafkah
Nafkah itu terbagi menjadi dua, nafkah untuk istri dan nafkah untuk kerabat.
Kapankah kedua atau salah satu dari keduanya dikatakan gugur?
1. Hal-hal yang Menggugurkan Nafkah Istri
Nafkah untuk istri gugur jika terjadi hal berikut:
a. Lewatnya Masa Tanpa Ada Keputusan Mahkamah atau Saling
Merelakan
Menurut madzhab Hanafi, nafkah istri gugur jika masanya lewat setelah
ditetapkan kewajibannya sebelum nafkah itu menjadi utang dan tanggungan. Tetapi,
nafkah itu tidak gugur jika lewat masanya setelah ditetapkan mahkamah dan meliputi
utang. Imam Malik dan madzhab lainnya berpendapat bahwa nafkah istri tidak gugur
dan lewatnya masa dan sang suami kembali memberi nafkah kepada istri dengan
nafkah yang baru.
b. Wafatnya Salah Satu dari Suami Istri
C. Pengertian Perceraian
Menurut Hukum Islam perceraian itu bahasa arabnya thalaq, yang mengandung
arti melepas atau membuka simpul. Menurut istilah fiqh, thalaq disebut juga khulu‟,
makna aslinya meninggalkan atau membuka sesuatu jika yang diminta cerai itu pihak
isteri.19
Walaupun perceraian itu diperbolehkan, tetapi menurut Al-Qur‟an dan Hadist
terang sekali bahwa hak itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan luar biasa. Nabi
Muhammad saw bersabda: “ Tidak pernah Allah mengizinkan sesuatu yang amat
tidak disukai, kecuali thalaq”
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Sahabat Ibnu „Umar, Muhammad saw
bersabda: “ Barang halal yang paling tidak disukai oleh Allah adalah perceraian”. Al-
19
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata.( Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007. Cet-I), h., 25.
39
Qur‟an juga membenarkan desakan Nabi Muhammad saw kepada sahabat Zaid agar
jangan menceraikan isterinya sekalipun perselisihan antara kedua belah pihak sudah
cukup lama.
Talak menurut Hukum Syariat terbagi menjadi dalam:
1. Wajib
Terjadi dalam iilaa‟ (bersumpah untuk tidak berhubungan badan dengan isteri).
Jika suami tidak rujuk, maka begitu telah lewat empat bulan, maka katakanlah kepada
suami; kamu harus memilih untuk rujuk dan bercampur kembali atau jika tidak, maka
ia harus menceraikannya sebagai kewajiban. Allah berfirman dalam Q.s.Al-Baqarah:
[2]: 226-227:
/(٢٢٧-٢٢٦)البقرة
Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat
bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Dan jika mereka
ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.”
2. Haram
Talak yang diharamkan, yaitu terkait bid‟ah. Misalnya talak yang dilakukan
pada masa haid atau masa suci dan suaminya menyetubuhinya pada masa suci namun
tidak jelas kehamilannya.
3. Sunnah
Talak yang dianjurkan (sunnah). Yaitu jika wanita tidak menyukai lagi untuk
hidup bersama suaminya.
40
4. Mubah
Talak yang mubah yaitu jika dianggap perlu bagi suami.
5. Makruh
Talak yang makruh yaitu talak di luar semua ketentuan di atas, karena pada
dasarnya talak yang makruh lantaran berdasarkan syariat talak berarti pelepasan
ikatan pernikahan dan perpecahan dalam keluarga.
D. Sebab-sebab Perceraian
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai
matinya salah seorang suami-isteri. Inilah yang sebenarnya yang dikehendaki agama
Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya
perkawinan (perceraian) itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam
membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan
rumah tangga. Perceraian dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.20
1. Menurut BW
Menurut pasal 199 BW, bahwa suatu perkawinan dapat putus atau bubar
karena:
a. Oleh kematian;
b. Oleh tidak adanya suami isteri (afwezigheid) selama sepuluh tahun, yang
disusul oleh perkawinan baru isteri atau suaminya;
c. Oleh keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang (scheiding van tefel en
bed);
d. Oleh perceraian.
Perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tefel en bed) ialah suatu
lembaga yang dilaksanakan oleh suami isteri yang sedang dalam keadaan tidak
20
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh.(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003),
h., 124.
41
dapat hidup bersama namun masih saling merasa keberatan untuk bercerai atau
mungkin juga mereka itu belum memiliki alasan yang kuat untuk melakukan
perceraian.
2. Menurut UU Perkawinan
Pasal 38 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian; dan
c. Atas putusan pengadilan.
Pasal 39 UU Perkawinan menegaskan bahwa:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa anata suami dan
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
E. Akibat Perceraian
1. Menurut Hukum Islam
Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidh (perjanjian suci).
Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja
selesai urusannya, akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh
pihak-pihak yang bercerai. 21
Menurut ketentuan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan akibat
terjadinya talak bekas suami wajib;
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al-dhukhul.
21
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h.,42.
42
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada
bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-
dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan, termasuk di dalamnya biayya
pendidikan) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.
Ketentuan tersebut merujuk pada Firman Allah dalam Q.s. Al-Baqarah
[2]:263:
/(٢/٢٦٣)البقرة
Artinya:“Perkataan yang baik dan pemberian maaf] lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya
lagi Maha Penyantun.”
Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Bekas isteri selama dalam
iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan
pria lain”. Karena pada hakikatnya isteri selama dalam masa „iddah, masih dalam
ikatan nikah dengan suaminya.
Akan tetapi akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam pasal 156
Kompilasi Hukum Islam dinyatakan;
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hanhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh;
1) Wanita-wanita dalam garis lusrus ke atas dari ibu;
2) Ayah;
43
3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) Wanita-wanita kerabt sedarah menurut garis samping dari ibu;
6) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak untuk memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, meskipun biaya nafkah yang bersangkutan dapat memindahkan hak
hadhanah kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun);
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan.
43
BAB IV
ANALISIS KEKURANGAN NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
DALAM KAJIAN EMPAT IMAM MAZHAB
A. Analisis Putusan No. 929/Pdt.G/2008/PA.Cbn Pengadilan Agama Cibinong
1. Duduk Perkara
a. Identitas Para Pihak
Penggugat, umur 34 tahun, agama Islam, pekerjaan pegawai swasta, tempat
kediaman di Kabupaten Bogor. Melawan Tergugat, umur 28 tahun, agama Islam,
pekerjaan pegawai swasta, tempat kediaman di Kabupaten Bogor. Bahwa dalam
gugatannya telah melangsungkan pernikahan selama 11 tahun, terhitung dari tanggal
10 September 2006 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kabupaten Bogor dengan Kutipsn Akta Nikah tanggal 12 September 2006. Kedua
suami-istri telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan dikaruniai 1
orang anak berumur 15 Bulan.
b. Posita
Dalam gugatannya Penggugat mengemukakan bahwa antara Penggugat dengan
Tergugat sejak Desember 2006 sudah tidak rukun dan harmonis lagi dan pisah
rumah dan tidak berhubungan layaknya suami-istri, disebabkan dengan hal-hal
sebagai berikut:
1). Bahwa, yang menjadi penyebab ketidakrukunan dan ketidak harmonisan
tersebut dikarenakan sering terjadi perselisihan secara terus-menerus karena
dalam rumah tangga sudah tidak ada kecocokan lagi, karena tergugat tidak
tanggung jawab dalam hal nafkah dan sikap tergugat yang emosional.
45
2). Bahwa, Penggugat sudah berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga
dengan tergugat secara bersabar, namun sampai saat ini Tergugat tetap tidak
mau berubah dan tidak ada harapan lagi untuk melangsungkan rumah tangga.
c. Petitum
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Bapak Ketua
Pengadilan Agama Cibinong Cq majelis Hakim yang mmeriksa dan mengadili
perkara ini berkenan memberikan putusan untuk mengabulkan gugatannya,
menjatuhkan talak satu ba‟in sugra Penggugat kepada Tergugat, biaya perkara
menurut hukum. Tergugat dalam jawabannya tidak pernah hadir dalam persidangan,
sedangkan ia telah dipanggil dengan patut, terbukti dengan relas panggilan nomor
929/Pdt.G/2008/PA.Cbn tanggal 20 November 2008 dan tanggal 27 November 2008
dan ternyata ketidakhadirannya itu tidak disebabkan oleh suatu halangan yang sah
menurut hukum karena sesuai pasal 126 HIR perkara tersebut dapat diputus dengan
tanpa hadirnya Tergugat (Verstek).
d. Putusan Hakim
Setelah melalui proses peradilan, maka Pengadilan Agama Cibinong
memutuskan jatuh talak ba‟in shugra Tergugat kepada Penggugat dan membebankan
kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dihitung
sebesar Rp. 194. 000 (Seratus Sembilan Puluh Empat Ribu Rupiah).
2. Analisis
Dari perjalanan perkara di atas dapat diketahui dengan jelas alasan-alasan
mengapa Penggugat menuntut cerai dari suaminya (Tergugat). Yaitu karena Tergugat
tidak lagi menunaikan kewajiban nafkahnya, sering terjadi percekcokan, dan tidak
ambil peduli terhadap dirinya (Penggugat). Bilamana alasan-alasan tersebut dapat
dibuktikan kebenarannya, maka berarti cukup beralasan bagi tuntutan cerai ini,
karena dengan demikian berarti tergugat telah melanggar taklik-talak yang pernah
46
diikrarkannya segera setelah terjadi akad nikah. Masalahnya adalah tentang
pembuktian pelanggaran-pelanggaran tersebut. Tentang masalah nafkah, Tergugat
sendiri dimuka Hakim Pengadilan Agama Cibinong.
Bahwa ternyata alasan gugatan perceraian ini adalah karena telah sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh Tergugat yang tidak
bertanggungjawab terhadap keluarga, terutama masalah ekonomi dan Tergugat
bersikap kasar dan emosional.
Berdasarkan hal-hal tersebut, cukup jelas tentang penyebab ketidak harmonisan
diantara Penggugat dan Tergugat dan Majelis Hakim telah berusaha menasehatinya
akan tetapi tidak berhasil, dan keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
tersebut jelas-jelas telah tidak sejalan dengan ketentuan Syari‟at Islam dan
perundang-undangan yang berlaku, dan akan sulit bagi Penggugat untuk mewujudkan
rumah tangga yang kekal, bahagia lahir dan bathin dan mempertahankan rumah
tangga yang demikian adalah suatu perbuatan yang sia-sia, sehingga perceraian
dipandang hal yang terbaik untuk dilakukan demi menghindari kemadlaratan yang
lebih besar.
Berdasarkan alasan di atas, pendapat tersebut itu sesuai juga dengan kaidah
maslahat yaitu “ maslahat mursalah”, juga sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi.
م على جلب المصالح د رء المفسد مقد
Artinya: “ Menghindari madharat itu lebih diutamakan daripada meraih keuntungan”.
3. Tentang Kesaksian Para Saksi
Pada dasarnya, dua orang saksi bilamana segala persyaratan, merupakan bukti
atas kebenaran dakwaan Penggugat. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi oleh
saksi adalah bahwa saksi hendaklah benar-benar mengetahui tentang persoalan yang
dimintakan kesaksiannya.
47
Tidaklah patut menjadi saksi orang-orang yang tidak benar-benar mengetahui
tentang sesuatu yang dimintakan kesaksiannya. Dalam Q.s. Al-Isra: [15]: 36 Allah
berfirman:
(١٥/٣٦)اإلسراء/
Artinya:“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Pengetahuan saksi tentang persoalan yang akan disaksikannya adakalanya
dengan mendengar dan adakalanya dengan melihat sendiri. Para saksi yang diajukan
oleh Penggugat dalam perkara yang sedang dibahas ini mengetahui pernikahan
Penggugat dengan Tergugat awalnya rukun, tetapi mulai Desember 2006 sampai
sekarang ini sudah tidak rukun lagi dan sejak 1 tahun yang lalu sampai sekarang
antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak berhubungan lagi sebagaimana layaknya
suami-isteri. Bahwa menerima pengaduan Penggugat karena masalah ekonomi serta
sikap Tergugat emosional.
Bahwa Tergugat tidak pernah hadir sedangkan ia telah dipanggil dengan patut,
terbukti dengan relas panggilan nomor 929/Pdt.G/2008/PA.Cbn tanggal 20 November
2008 dan tanggal 27 November 2008 dan ternyata ketidakhadirannya itu tidak
disebabkan oleh suatu halangan yang sah menurut hukum karena sesuai pasal 126
HIR perkara tersebut dapat diputus dengan tanpa hadirnya Tergugat (Verstek).
Penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P.1 dan dua orang
keluarga dekat Penggugat yang sekaligus sebagai saksi sebagaimana telah diuraikan
di atas yang mana terhadap semua bukti tersebut Penggugat membenarkannya dalam
persidangan, dan selanjtnya Majelis Hakim mempertimbangkan pengakuan
pernyataan para saksi tersebut.
48
166 152 186
220
139
224
158 166
266
193
249 244
308 274 264 280
529
152
227
335
266
90
320 279
0
100
200
300
400
500
600
2015 2016
Berdasarkan bukti-bukti sebagaimana telah diuraikan di atas, Majelis Hakim
telah dapat menemukan fakta dalam persidangan yang dapat disimpulkan bahwa
Penggugat telah dapat membuktikan kebenaran dalil gugatannya serta ternyata
gugatan Penggugat tidak melawan hukum, karenanya gugatan Penggugat dapat
diterima dan dikabulkan.
Berikut adalah Data Gugat Cerai di Pengadilan Agama Cibinong:
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Panitera Pengadilan Agama Cibinong, “ Drs. Harun Al-Rasyid”.
NIP: 19630312.199103.1.006. Cibinong, 8 Maret 2017.
49
F. Pendapat Empat Imam Mazhab Mengenai Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan
Gugat Cerai
Para ulama telah sepakat bahwa nafkah isteri wajib diberikan oleh suami.
Mereka juga telah sepakat bahwa apabila suami tidak mampu membelanjai isterinya,
namun isterinya rela tinggal bersamanya, tidak ada talak dan tidak ada fasakh. 1
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat bila isteri merasa tidak rela. Jumhur
ulama berpendapat bahwa isteri mempunyai hak minta cerai dan hakim (qadhi)
berhak memisahkan keduanya meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kategori
pemisahan itu, apakah talak atau fasakh, dan mengenai waktu apakah segera atau ada
penangguhan beberapa, atau sebulan, atau setahun.2
Ulama Jumhur mengambil hujjah dengan nash Al-Qur‟an, Al-Hadist, Qiyas.
Adapun dari dalil Al-Qur‟an, yaitu firman Allah SWT dalam Q.s. Al-Baqarah [2]:
229:
(٢/٢٢٩/البقرة)
1 Mahmud Syalthut, “ Fiqih Tujuh Mazhab”. ( Terj. KH. Abdullah Zakiy Al-Kaaf).
(Bandung: Cv Pustaka Setia, tt), h., 180. 2 Asal mazhab ini diriwayatkan dari Sayyidina Ali, Sayyidina Umar, Abu Hurairah, dan
sahabat-sahabat lain radhiyallaahu anhum. Selain itu diriwayatkan oleh mazhab Maliki, Asy-Syafi‟i,
dan Ahmad bin Hanbal menurut dzahir riwayat darinya.
50
Artinya :“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”
Dan fiman Allah SWT dalam Q.s. Al-Baqarah [2]: 231:
(/٢/٢٣١البقرة)
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.
Adapun cara mengambil dari ayat yang pertama ialah bahwa Allah SWT,
memerintahkan kita menahan dengan merujuk isteri dengan cara yang baik, dan hal
ini tidak mungkin dalam keadaan miskin. Oleh sebab itu, wajiblah mengambil jalan
keluar untuk melepaskan dengan baiuk, yaitu dengan menceraikannya.
51
Adapun jalan mengambil dari ayat yang kedua adalah bahwa ayat ini melarang
orang menahan isteri dengan maksud untuk menyakiti dan memberi kemudharatan
serta menelantarkan.
Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda
mengenai suami yang tidak dapat memberi nafkah kepada isterinya bahwa dipisahkan
antara keduanya. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan diriwayatkan pula oleh Sa‟ad
bin Manshur dalam kitab Sunan-nya dari Sufyan dari Abuz Zanad, ia berkata: “Saya
bertanya kepada Sa‟id Ibnul Musayyab tentang suami yang tidak dapat menafkahi
isterinya, apakah dipisahkan antara keduanya? „Ibnul Musayyab menjawab, “Ya”.
“Apakah hal itu menurut sunnah?” Ia menjawab lagi, “Benar, hal itu menurut
sunnah”. Ini dipahami dari sunnah Rasulullah saw. Maka hadist ini termasuk hadist
mursal Sa‟id, sedangkan hadist mursal Sa‟id Ibnul Musayyab disepakati menjadi
hujjah.3
Adapun dalil secara qiyas, dalam hal ini yaitu diqiyaskan kepada orang yang
impoten. Mereka mengatakan, “Apabila telah tsabit fasakh dengan sebab tidak
mampu bersetubuh, sedangkan kemudharatan di sana lebih sedikit, karena hanyalah
megakibatkan kehilangan kesenangan badan. Tsabit fasakh karena tidak mampu
membelanjai yang mengakibatkan hilangnya kesenangan badan lebih utama.
Atha Az-Zuhri, dan Ibnu Syibramah berpendapat “ kedua suami isteri itu tidak
dipisahkan”. Begitu pula mazhab Hanafi dan Syufyan Ats-Tsauri. Mereka
mengatakan bahwa isteri harus bersabar dan mengusahakan belanja atas tanggungan
suami.”
Adapun ulama Hanafiyah dan orang-orang yang sependapat dengan mereka pun
berhujjah dengan dalil-dalil dari Al-Qur‟an, Al-Hadist, dan qiyas.
3 Mahmud Syalthut, “Fiqih Tujuh Mazhab”, h., 182-183.
52
Adapun Ayat-ayat Al-Qur‟an yaitu dalam Firman Allah SWT pada Q.s. Ath-
Thalaq [65]: 7:
/(٦٥/٧)الطالق
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
Mereka pula mengambil hujjah dengan firman Allah SWT dalam Q.s. Al-
Baqarah :[2]:280:
( ٢/٢٨٣البقرة/)
Artinya:“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh
sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Mereka mengatakan, “paling tidak nafkah itu menjadi utang dalam tanggungan
suami. Karena suami tidak mampu, isteri diperintahkan menunggu. Ini menurut
nash.4
Artinya, menurut pendapat Hanafiyyah, jika ekonomi suami sedang sulit maka
hakim boleh memberi izin kepada isteri untuk mencari pinjaman, meskipun suami
menolak. Manfaat izin berutang adalah agar orang yang diutangi itu bisa menagih
4 Mahmud Syalthut, “ Fiqih Tujuh Mazhab”,h., 184.
53
pada suami atau istri yang berutang tadi. Dan nafkah yang diutang tadi tidak gugur
dengan wafatnya salah satu dari keduanya. Wajib hukumnya menjamin utang istri
atas orang yang wajib memberinya nafkah. Dan jika menolak maka hakim berhak
memenjarakannya setelah diberi peringatan.
Ulama Hanafiyah tidak membedakan hukum antara suami istri dengan alasan
miskin atau ekonomi sedang sulit, karena nafkah itu menjadi utang dengan ketetapan
hakim. Nafkah itu harus dibayar pada waktu mendatang jika mampu.5
Adapun dalil Al-Hadist ialah sebuah hadist diterangkan bahwa diantara para
sahabat Rasulullah saw, ada yang mampu dan ada yang tidak mampu. Mereka yang
tidak mampu jauh lebih besar jumlahnya daripada mereka yang mampu. Nabi saw,
tidak pernah membolehkan seorang isteri meminta fasakh dengan alasan
ketidakmampuan suami, juga tidak pernah ada pemberitahuan bahwa fasakh itu
adalah haknya.
Adapun dalil menurut Qiyas, telah ditetapkan menurut syara‟ bahwa bila tidak
ada jalan lain, kecuali melakukan salah satu dari dua kejahatan, memilih kejahatan
yang lebih kecil adalah wajib.
Tidaklah dapat disangkal bahwa melaksanakan fasakh dan pisah telah
membatalkan hak suami secara keseluruhan, sedangkan mewajibkan isteri menunggu
dan memperhitungkan utang suami adalah menunda hak isteri. Menunda suatu hak
lebih ringan daripada membatalkan suatu hak. Oleh karena itu, wajiblah memilih
sesuatu yang sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan menurut syara‟.6
Sudah dapat diketahui bahwa mazhab Hanafi terlepas tangan daripada isteri,
dalam hal itu supaya ia berusaha. Usahanya menurut jalan yang disyariatkan, tidaklah
tergantung pada menceraikannya dan melepaskan ikatan perkawinan yang tinggi itu.
5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, h.,129.
6 Mahmud Syalthut, “ Fiqih Tujuh Mazhab”, h., 285
54
Mahkamah Syar‟iyah (Mesir) dalam hal ini selalu memutuskan menurut
mazhab Hanafi sampai keluar Undang-undang No. 25 tahun 1929 yang dalam pasal 4
berbunyi:7
“Apabila suami tidak mau memberi nafkah isterinya, jika suami mempunyai
harta yang nampak, maka Hakim memutuskan dibayar nafkah itu dengab mengambil
dari hartanya. Jika suami tidak mempunyai harta yang nampak dan ia tidak mengaku
miskin atau pun kaya, tetapi ia tidak mau memberi nafkah, hakim ketika itu juga
menceraikan isteri tersebut”.
Jika suami mendakwa bahwa dirinya tidak mampu, tetapi tidak dapat
membuktikannya, hakim pun menceraikan ketika itu juga, dan jika ia dapat
membuktikan kemiskinannya, hakim menangguhkan sampai waktu yang tidak lebih
sari satu bulan. Kemudian jika ia tidak juga memberi nafkah, hakim menceraikan
sesudah itu”.
Praktek-prraktek itu di Mahkamah-mahkamah Mesir terus berlaku menurut
Undang-undang tersebut hingga sekarang.8
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa pada waktu pernikahan, si isteri sudah
mengakui ketidakmampuan suami, atau sewaktu nikah si suami berada dalam
keadaan mampu, kemudian jatuh miskin, maka dalam waktu kedua hal itu, si isteri
tidak dapat meminta hak cerai. Akan tetapi, waktu nikah seandainya si suami mampu
membiayai, kemudian ternyata tidak mampu, si isteri mempunyai hak fasakh.
Pendapat Imam Syafi‟i dalam hal ini adalah :
نة على ان حق المرأة على الزوج أن ي عولا اخ ا دل الكتاب والس افعي : لم تمل أن ل يكو ن لو قال الش
ن يي ر ب ي مقامها معو وفرا قو يستمتع با وين عها حقها وليلي ها ت ت زوج من ي غني ها وأ
Artinya: “Imam Syafi‟i berkata, baik Al-Qur‟an maupun As-Sunnah telah
menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap isteri adalah mencukupi kebutuhannya.
Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekedar berhubungan badan dengan
7 Syaikh Mahmud Sayalthut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, “ Perbandingan Mazhab (Dalam
Masalah Fiqh)”. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, Cet. VII), h., 202. 8 Syaikh Mahmud Sayalthut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, “ Perbandingan Mazhab (Dalam
Masalah Fiqh)”. Hlm 203.
55
isteri tetapi meolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga
diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak
memenuhi hak isteri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah
dengannya”.9
Atas dasar penjelasan singkat ini, maka jawaban atas pertanyaan di atas
adalah boleh isteri mengajukan cerai gugat kepada suaminya dengan alasan suami
tidak pernah memberi nafkah. Nafkah yang belum diberikan selama rentang waktu
tidak memberikan nafkah, mesti diberikan. Karena itu merupakan hak isteri. Jadi
nafkah yang belum diberikan dianggap utang suami kepada isteri dengan argumen
bahwa agama memberikan ketentuan besaran nafkah setiap hari untuk isteri. 10
Di antara argumen yang dikemukakan untuk mendukung pendapat yang
menyatakan kebolehan bagi isteri untuk mengajukan cerai gugat karena suami tidak
memberikan nafkah adalah firman Allah dalam Q.s. An-Nisa :[4]: 34:
(٤/٣٤اء/)انس
Artinya:“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
9 Lihat Imam Muhammad Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, (Darul Ma‟rifah, 1393 H. Juz VII), h.,
121. 10
Ini dalam pandangan Mazhab Sayafi‟i. Sementara menurut Mazhab Hanafi, nafkah yang
bekum sempat diberikan tidak tergolong utang suami kepada isteri dengan argumen bahwa tidak ada
ketentuan untuk besaran nafkah setiap harinya.
56
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri11
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)12
. wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
Ayat tersebut dengan jelas memberikan penguatan kenapa laki-laki adalah
pelindung kaum perempuan? Karena diantara lain adalah laki-laki menafkahkan
sebagian harta mereka. Dalam konteks relasi hubungan suami isteri ayat tersebut
mesti dibaca bahwa suami adalah pelindung bagi isterinya, karena suamilah yang
memenuhi nafkahnya.
Dengan demikian, apabila suami tidak mau memberikan nafkah, maka isteri
tidak memiliki pelindung. Dan ketika tidak ada pelindung, ia boleh memilih antara
tetap bersamanya serta bersabar dengan kondisi yang ia hadapi, atau memilih
berpisah dengannya. 13
Adapun menurut Hanabilah, jika suami tidak mampu memberi nafkah maka
istri berhak untuk meminta cerai.14
Sebagiaman pendapat Imam Syafi‟i. Tetapi, istri
tidak boleh meminta cerai jika suami masih mampu memberi nafkah di atas standar
nafkah orang miskin karena penambahan nafkah gugur dengan keadaaannya yang
miskin. Dalil boleh meminta cerai adalah sebuah hadist riwayat Abu Huarairah r.a.,
bahwa Nabi saw pernah bersabda ketika seorang suami tidak mampu memberi nafkah
11
Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya. 12 Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan
baik.
13 Syaikh Mahmud Sayalthut dan Syaikh M. Ali As-Sayis, “ Perbandingan Mazhab (Dalam
Masalah Fiqh)”, h., 203. 14
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, h.,129
57
kepada istrinya, “Pisahkan keduanya”.15
Dan juga, hadits riwayat Abu Hurairah
dalam Sunan an-Nasa‟i, “ Mulailah memberikan nafkah kepada orang yang ada
dalam tanggung jawabmu.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah
orang yang ada dalam tanggungan saya?” Beliau menjawab, “Istrimu berkata,
Berilah aku makan, jika tidak maka ceraikanlah aku.” Suami yang tidak mampu
memberikan nafkah kepada istrinya maka penentuan hukum cerainya ditangani oleh
hakim sebagaimana penentuan hukum cerai bagi suami yang lemah syahwat dan
dikebiri. Bahkan, dalam hal nafkah lebih layak karena lebih dibutuhkan. Jika seorang
istri boleh meminta cerai karena suaminya tidak mampu menafkahi kebutuhan
biologisnya atau tidak mampu melakukan hubungan intim padahal mudharatnya lebih
kecil, maka meminta cerai karena suami tidak mampu memenuhi kebutuhan makan
lebih utama karena mudharatnya lebih besar.16
Namun, menurut mazhab Maliki, istrinya tidak dibenarkan meminta fasakh.
Nafkah itu tetap menjadi utang (tanggungan) suami. Menurut mazhab Maliki, selama
suami belum mampu, kewajibannya menjadi gugur. Disinilah perlu kearifan seorang
istri, sebab awal pernikahan sudah berjanji sehidup semati. Jangan sampai ada kesan,
bahwa pernikahan itu sangat bergantung kepada nafkah semata-mata. 17
15
HR ad-Daruquthni dan al-Baihaqi. 16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, h., 129. 17
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. (Jakarta: Prenada Media,
2003), h.,221-222.
58
Berikut Ini Tabel Megenai Pendapat Imam Mazhab Terkait Boleh atau tidak
perceraian disebabkan dengan kekurangan nafkah.
Imam Abu
Hanifah
Mereka mengatakan, “paling tidak nafkah itu menjadi utang
dalam tanggungan suami. Karena suami tidak mampu, isteri
diperintahkan menunggu. Artinya, menurut pendapat
Hanafiyyah, jika ekonomi suami sedang sulit maka hakim
boleh memberi izin kepada isteri untuk mencari pinjaman,
meskipun suami menolak.
Imam Syafi‟i Boleh isteri mengajukan cerai gugat kepada suaminya dengan
alasan suami tidak pernah memberi nafkah. Nafkah yang
belum diberikan selama rentang waktu tidak memberikan
nafkah, mesti diberikan. Karena itu merupakan hak isteri. Jadi
nafkah yang belum diberikan dianggap utang suami kepada
isteri dengan argumen bahwa agama memberikan ketentuan
besaran nafkah setiap hari untuk isteri.
Imam Ahmad
ibn Hambal
Jika suami tidak mampu memberi nafkah maka istri berhak
untuk meminta cerai. Tetapi, istri tidak boleh meminta cerai
jika suami masih mampu memberi nafkah di atas standar
nafkah orang miskin karena penambahan nafkah gugur dengan
keadaaannya yang miskin.
Imam Malik Istrinya tidak dibenarkan meminta fasakh. Nafkah itu tetap
menjadi utang (tanggungan) suami. Menurut mazhab Maliki,
selama suami belum mampu, kewajibannya menjadi gugur.
Disinilah perlu kearifan seorang istri, sebab awal pernikahan
sudah berjanji sehidup semati. Jangan sampai ada kesan,
bahwa pernikahan itu sangat bergantung kepada nafkah
semata-mata.
59
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya
maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa ternyata alasan gugatan perceraian ini adalah karena telah sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh Tergugat yang
tidak bertanggungjawab terhadap keluarga, terutama masalah ekonomi dan
Tergugat bersikap kasar dan emosional. Dalam putusan yang telah
diuraikan di antara Penggugat dan Tergugat adalah karena suami tidak
memberikan nafkah dan Majelis Hakim telah berusaha menasehatinya
akan tetapi tidak berhasil, dan keadaan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat tersebut jelas-jelas telah tidak sejalan dengan ketentuan Syari‟at
Islam dan perundang-undangan yang berlaku, dan akan sulit bagi
Penggugat untuk mewujudkan rumah tangga yang kekal, bahagia lahir dan
bathin dan mempertahankan rumah tangga yang demikian adalah suatu
perbuatan yang sia-sia, sehingga perceraian dipandang hal yang terbaik
untuk dilakukan demi menghindari kemadlaratan yang lebih besar.
2. Terkait tentang besaran nafkah, para ulama mazhab pun berbeda pendapat.
Imam Malik berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak ditentukan
berdasarkan ketentuan syara, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing
suami-istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat,
waktu, dan keadaan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Abu
Hanifah.Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nafkah istri
yang wajib atas suami ditentukan berdasarkan kondisi suami dari segi
kekayaan dan kemiskinan, bagaimana pun kondisi istri. Imam Syafi‟i
berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Atas orang kaya dua
mudd, atas orang yang sedang satu setengah mudd dan atas orang yang
miskin satu mudd. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa yang
60
dijadikan ukuran dalam menetapkan nafkah adalah status sosial-ekonomi
suami dan istri secara bersama-sama. Jika keduanya kebetulan status
sosial-ekonominya berbeda diambil dari standar menengah di antara
keduanya. Yang jadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga itu
merupakan gabungan di antara suami dan istri, oleh kaerna itu keduanya
dijadikan pertimbangan dalam menentukan nafkah.
3. Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pendapatnya terkait
boleh atau tidaknya isteri meminta cerai suaminya karena kakurangan
nafkah, di antaranya: Ulama Hanafiyah tidak membedakan hukum antara
suami istri dengan alasan miskin atau ekonomi sedang sulit, karena nafkah
itu menjadi utang dengan ketetapan hakim. Nafkah itu harus dibayar pada
waktu mendatang jika mampu.Adapun dalil Al-Hadist ialah sebuah hadist
diterangkan bahwa diantara para sahabat Rasulullah saw, ada yang mampu
dan ada yang tidak mampu. Mereka yang tidak mampu jauh lebih besar
jumlahnya daripada mereka yang mampu. Nabi saw, tidak pernah
membolehkan seorang isteri meminta fasakh dengan alasan
ketidakmampuan suami, juga tidak pernah ada pemberitahuan bahwa
fasakh itu adalah haknya. Adapun dalil menurut Qiyas, telah ditetapkan
menurut syara‟ bahwa bila tidak ada jalan lain, kecuali melakukan salah
satu dari dua kejahatan, memilih kejahatan yang lebih kecil adalah wajib.
Sedangkan Imam Syafi‟i berpendapat boleh isteri mengajukan cerai gugat
kepada suaminya dengan alasan suami tidak pernah memberi nafkah.
Nafkah yang belum diberikan selama rentang waktu tidak memberikan
nafkah, mesti diberikan. Karena itu merupakan hak isteri. Jadi nafkah yang
belum diberikan dianggap utang suami kepada isteri dengan argumen
bahwa agama memberikan ketentuan besaran nafkah setiap hari untuk
isteri.Adapun menurut Hanabilah, jika suami tidak mampu memberi
nafkah maka istri berhak untuk meminta cerai. Sebagiaman pendapat
Imam Syafi‟i. Tetapi, istri tidak boleh meminta cerai jika suami masih
mampu memberi nafkah di atas standar nafkah orang miskin karena
penambahan nafkah gugur dengan keadaaannya yang miskin. Namun,
61
menurut mazhab Maliki, istrinya tidak dibenarkan meminta fasakh.
Nafkah itu tetap menjadi utang (tanggungan) suami. Menurut mazhab
Maliki, selama suami belum mampu, kewajibannya menjadi gugur.
Disinilah perlu kearifan seorang istri, sebab awal pernikahan sudah
berjanji sehidup semati. Jangan sampai ada kesan, bahwa pernikahan itu
sangat bergantung kepada nafkah semata-mata. Sebagaimana yang terjadi
pada putusan No. 929/Pdt.G/2008/PA.Cbn merupakan perceraian akibat
kekurangan nafkah.
B. SARAN
Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memberikan beberapa
saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya
sebagai berikut:
a. Masyarakat
Hendaklah masyarakat lebih memahami hal-hal dalam menjalani bahtera
rumah tangga, terutama antara hak dan kewajiban suami-istri dalam hal
nafkah. Agar dalam menjalankan bahtera rumah tangga tidak sering
terjadi permasalahan terkait nafkah. Khususnya bagi suami harus
mengerti dengan benar bagaimana tanggung jawabnya dalam kewajiban
menafkahi isteri. Melihat angka perceraian yang disebabkan karena
kekurangan nafkah sangat tinggi, alangkah baiknya kita sebagai
masyarakat harus lebih mengetahui apa saja yang menjadi kewajiban
suami-istri.
b. Akademis
Penulis menyarankan para akademisi untuk mengetahui lebih lengkap
seperti apa persamaan dan perbedaan konsep nafkah dan perceraian
karena kekurangan nafkah oleh Mazhab Fiqh (Empat Mazhab),
diperlukan kajian lebih mendalam dan langsung mengkaji melalui kitab-
kitab atau pun buku-buku perbandingan mazhab. Penulis hanya
membandingkan antara persamaan dan perbedaan empat mazhab dalam
hal perceraian karena nafkah serta menggunakan referensi yang penulis
jumpai saja. Sehingga selanjutnya diperlukan juga peneliti tentang
62
Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Gugat Cerai dalam Persfektif Empat
Imam Mazhab yang langsung merujuk kepada kitab-kitab induknya.
63
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995
Al-Utsaimin, Muhammad, Shahih Fiqh Wanita. (Terj. Faisal Saleh dan Yusuf
Hamdani), Jakarta: Akbarmedia, 2009. Hlm. 348.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. Fiqh
Munakahat. Jakarta: Amzah,tt
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Juz 10. Damaskus: Dar
Al-Fikr, 2007
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Engineering Ali Asgar, Pembebasan Perempuan. Terj: Agus Nur Yatno,
Yogyakarta: Elkis, 1999.
Firdaweri, Hukum Islam “Fasakh Perkawinan Karena Ketidaksanggupan Suami
Menunaikan Kewajibannya”. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Logos Publishing House, 1996
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur‟an al-Azhim, al-Qahirah: al-Maktabah al-
Taufiqiyah,t.th
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media,
2014
Muhammad, al-„Allamah bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab.
(Terj. „Abdullah Zaki Alkaf), Bandung: Hasyimi, 2012
Nafis, Khalil. Fiqh Keluarga. Jakarta: Mitra Abadi Press, 2009
Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, Hukum Perdata Islam di
Indonesia.
64
Rahim, Husni Baiti Jannati : Renungan Memasuki Mahligai Pernikahan. t.t.: t.p.,
2002
Rofiq, Ahmad. Membangun Syurga Rumah Tangga. Surabaya: Gita Media Press,
2006
___________ Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2015
Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid “Analisa Fiqih Para Mujtahid”. Jakarta:
Pustaka Amani, tth.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011
____________Fiqh Sunnah. (Terj. Abu Sufyan Lc dan Abu Aulia Rahma Lc),
Jakarta: Tinta Abadi Gemilang. Cet-I, tth
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati,2002
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press, 2001
Syaltut, Mahmud dan Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Mazhab. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000
____________________________ Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Syarifuddin, Amir . Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada Group,
tth.
_______________ Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2003
Suprmono, Gatot. “ Hukum Pembuktian di Pengadilan”, Bandung: Penerbit
Alumni, 1993
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
Bandung: Penerbit Pustaka Al-Fikriis. Tth
65
Tholabi, Ahmad Kharlie. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Hukum Keluarga dalam Islam. Jakata: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, Cet. 1 2013.
______________________, Masail Fiqhiyah : Kajian Hukum Islam
Kontemporer. Bandung :
Penerbit Angkasa,2005
______________________, Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Gaung
Persada (GP).
Cet. IV, 2011.
Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuantatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan.
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014
__________, Metode Penelitian, Jakarta: Pranadamedia Group, tt
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Hlm. 39.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
Nomor : 929 /Pd t .G / 2 0 08 / PA . Cbn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
PENGADILAN AGAMA CIBINONG di Cib inong yang memer ik s a
dan mengad i l i pe rka r a perda t a t e r t e n t u pada t i n gk a t per t ama
da l am pe r s i d a n g a n maje l i s Hakim t e l a h menja t u hk a n
pu tu s a n da l am perka r a an t a r a :
PENGGUGAT, umur 34 t ahun , agama I s l am , peke r j a a n pegawa i
swas t a , t empa t ked i aman di Kabupa t e n Bogor ,
se l a n j u t n y a di s ebu t sebaga i "Pengguga t " ;
MELAWAN
TERGUGAT, umur 28 t ahun , agama I s l am , peke r j a a n pegawa i
swas t a , t empa t ked i aman di Kabupa t e n Bogor ,
se l a n j u t n y a di s ebu t sebaga i "Te rguga t " ;
Pengad i l a n Agama t e r s e b u t ;
Se t e l a h membaca dan mempela j a r i su r a t - su r a t perka r a ;
Se te l a h mendenga r pihak yang berpe r k a r a dan memperha t i k a n
buk t i - buk t i ;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang , bahwa Pengguga t da l am su r a t guga t a nnya
t e r t a n g g a l 14 November 2008 yang dida f t a r k a n di
Kepan i t e r a a n Pengad i l a n Agama Cib i nong , Nomor :
921 /Pd t .G / 2 0 08 / PA . Cbn te l a h menga jukan ce r a i guga t
t e r h a d a p Terguga t dengan mengemukakan ha l - ha l sebaga i
ber i k u t :
1 . Bahwa , pada tangga l 10 Sep t embe r 2006 Pengguga t dengan
Terguga t melangs ungkan pern i k a h a n yang d ic a t a t ol eh
Pegawa i Penca t a t Nikah Kanto r Urusan Agama Kabupa t e n
Bogor dengan Kut i p a n Akta Nikah t angga l 12 Sep t embe r
2006 ;
1
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2 . Bahwa, se t e l a h pern i k a h a n t e r s e b u t Pengguga t dengan
Terguga t ber t empa t t i n gg a l di a l ama t sepe r t i t e r s e b u t
d ia t a s ;
3 . Bahwa , se l ama berumah tangga an t a r a Pengguga t dengan
Terguga t t e l a h h idup rukun sebaga imana layaknya suami
i s t r i dan dika r u n i a i 1 orang anak bernama ANAK I umur
15 bu lan ;
4 . Bahwa, rumah t angga Pengguga t dengan Terguga t pada
mulanya rukun dan harmon i s , akan t e t a p i se j a k Desember
2006 sudah t i d a k rukun dan t i d a k harmon i s l ag i ;
5 . Bahwa, yang menjad i penyebab ke t i d a k rukunan dan ke t i d a k
harmon i s a n te r s e b u t d ika r e n a k a n se r i n g t e r j a d i
per s e l i s i h a n seca r a t e r u s meneru s kar en a da l am rumah
t angga sudah t i d a k ada kecocokan lag i kar en a Terguga t
t i d a k t anggung j awab da l am ha l nafkah dan s ik a p Terguga t
yang emos iona l ;
6 . Bahwa, ak ib a t se r i n g te r j a d i per t e n gk a r a n te r s e b u t maka
an t a r a Pengguga t dengan Terguga t sudah p i s a h rumah dan
sudah t i d a k berhubungan sebaga imana l ayaknya suami
i s t r i ;
7 . Bahwa, Pengguga t sudah beru s a h a memper t a h a nk a n keu t uh an
rumah t angga dengan Terguga t dengan ca r a ber s a b a r , namun
sampa i saa t in i Terguga t t e t a p t i d a k mau berubah dan
t i d a k ada harap an l ag i un tuk melang sungkan rumah t angga ;
8 . Bahwa, berda s a r k a n ha l - ha l t e r s e b u t d ia t a s Pengguga t
mohon kepada Bapak Ketua Pengad i l a n Agama Cib i nong Cq.
Maje l i s Hakim yang memer ik s a dan mengad i l i pe rka r a in i
berkenan member i k a n pu tu s a n sebaga i ber i k u t :
- Mengabu l k an guga t a n Pengguga t ;
- Menja t u hk a n t a l a k sa t u ba in sugh r a Terguga t kepada
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Pengguga t ;
- Biaya perka r a menuru t hukum;
Apabi l a Pengad i l a n Agama Cib i nong berpendap a t l a i n mohon
pu tu s a n yang sead i l - ad i l n y a ;
Menimbang , bahwa pada ha r i dan t angga l yang t e l a h
d i t e t a p k a n , Pengguga t seca r a pr i b a d i t e l a h da t a ng
mengahadap dipe r s i d a n g a n sedangkan Terguga t t i d a k da t a ng
dan t i d a k pu l a menyuruh orang l a i n sebaga i waki l a t au
kuasanya sedangkan i a t e l a h d ipangg i l seca r a pa tu t dengan
dua ka l i pangg i l a n dan ke t i d a k h a d i r a n n y a t i d a k berda s a r k a n
a l a s a n yang sah menuru t hukum karena i t u per s i d a n g a n
d i l a n j u t k a n dengan t anpa had i r n y a Terguga t ;
Menimbang , bahwa Maje l i s Hakim t e l a h be ru s a h a
mendama ikan dengan ca r a menaseha t i Pengguga t aga r b i s a
rukun kemba l i be rumah tangga dengan Terguga t namun t i d a k
berha s i l ;
Menimbang , bahwa ol eh karena usaha perdama i a n t i d a k
berha s i l maka pe r s i d a n g a n da l am perka r a in i d i l a n j u t k a n
dengan te r l e b i h dahu l u diba c a k an su r a t guga t a n Pengguga t
yang i s i n y a t e t a p dipe r t a h a n k a n ;
Menimbang , bahwa un tuk meneguhkan da l i l guga t a nnya ,
Pengguga t t e l a h menga j uk an buk t i t e r t u l i s berupa Kut i p a n
Akta Nikah dar i Kanto r Urusan Agama Kabupa t e n Bogor
t angga l 12 Sep t embe r 2006 di s e bu t P.1 ;
Menimbang , bahwa se l a i n a l a t buk t i t e r s e b u t d ia t a s
Pengguga t juga t e l a h menghad i r k a n dua orang saks i
d ipe r s i d a n g a n dibawah sumpahnya t e l a h member i k a n ke t e r a n g a n
sebaga i ber i k u t :
1 . SAKSI I , umur 34 t ahun , agama I s l am , peke r j a a n Ibu Rumah
Tangga , be r t empa t t i n g g a l d i Jaka r t a Timur di a t a s
sumpahnya menerangkan yang pada pokoknya sebaga i ber i k u t
:
Bahwa saks i kena l dengan Pengguga t dan Terguga t ka r en a
3
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
saks i sebaga i kakak ipa r Pengguga t ;
Bahwa saks i menge t a hu i pern i k a h a n Pengguga t dengan
Terguga t dan menge t a hu i se l ama da l am pern i k a h a nnya
t e r s e b u t t e l a h d ika r u n i a i 1 orang anak ;
Bahwa saks i menge t a hu i keadaan rumah t angga Pengguga t dan
Terguga t awalnya rukun , t e t a p i mula i Desember 2006
sampa i seka r a n g in i sudah t i d a k rukun lag i dan se j a k 1
t ahun yang l a l u sampa i seka r a ng an t a r a Pengguga t
dengan Terguga t sudah t i d a k berhubungan l ag i
sebaga imana l ayaknya suami i s t e r i ;
Bahwa penyebab ke t i d a k rukunan rumah t angga Pengguga t
dengan Terguga t sebena r n y a saks i t i d a k menge t a hu i a t a s
pengaduan Pengguga t kar en a masa l a h ekonomi se r t a s i k ap
Terguga t emos iona l ;
Bahwa saks i sudah beru s a h a mendama ikan keduanya t e t a p i
t i d a k berha s i l dan saks i sudah t i d a k sanggup lag i un tuk
mendama ikannya ;
2 . SAKSI I I , umur 24 t ahun , agama I s l am , peke r j a a n swas t a ,
be r t empa t t i n g g a l di Kabupa t e n Bogor , di a t a s sumpahnya
menerangkan yang pada pokoknya sebaga i ber i k u t :
Bahwa saks i kena l dengan Pengguga t dan Terguga t ka r en a
saks i ad ik kandung Terguga t ;
Bahwa saks i menge t a hu i pern i k a h a n Pengguga t dengan
Terguga t ya i t u t ahun 2006 dan se l ama da l am
pern i k a h a nnya te r s e b u t t e l a h dika r u n i a i 1 orang anak
Bahwa saks i menge t a hu i keadaan rumah t angga Pengguga t dan
Terguga t awalnya rukun , t e t a p i se j a k Desember 2006
sampa i seka r a n g in i sudah t i d a k rukun l ag i dan se j a k 1
t ahun an t a r a Pengguga t sudah t i d a k berhubungan
sebaga imana l ayaknya suami i s t e r i ;
Bahwa penyebab ke t i d a k rukunan rumah t angga Pengguga t
dengan Terguga t menuru t pengaduan Pengguga t kar ena
Terguga t t i d a k t anggung j awab da l am ekonomi juga
ke l i h a t a n n y a Terguga t emos i on a l ;
Bahwa saks i t e l a h beru s a h a mendama ikan t e t a p i t i d a k
berha s i l dan kin i sudah t i d a k sanggup l ag i
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
mendamaikannya ;
Menimbang , bahwa a t a s ke t e r a n g a n saks i t e r s e b u t
Pengguga t membena rk an dan pada akh i r n y a Pengguga t
menya t a k a n t e l a h mencukupkan ke t e r a n g a nny a dan t i d a k akan
menga j uk an se su a t u apapun lag i dan memohon pu tu s a n ;
Menimbang , bahwa se l a n j u t n y a Maje l i s Hakim mengambi l
dan memperha t i k a n sega l a se sua t u sebaga imana yang te r t e r a
da l am be r i t a aca r a per s i d a n g a n yang merupakan sa t u kesa t u a n
yang t i d a k t e r p i s a h k a n dar i pu tu s a n in i ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang , bahwa maksud dan tu j u a n guga t a n Pengguga t
ada l a h sepe r t i d iu r a i k a n di a t a s ;
Menimbang , bahwa Maje l i s Hakim t e l a h beru s a h a
mendama ikan se r t a menaseha t i Pengguga t aga r mau
mengurungkan n ia t n y a un tuk berc e r a i dan kemba l i membina
rumah tangga dengan Terguga t namun t i d a k berha s i l ;
Menimbang , bahwa Terguga t t i d a k pernah had i r da l am
per s i d a n g a n sedangkan i a t e l a h dipangg i l dengan pa tu t ,
t e r b uk t i dengan re l a s pangg i l a n Nomor :
929 /Pd t .G / 2 0 08 / PA . Cbn t angga l 20 November 2008 dan t angga l
27 November 2008 dan t e r n y a t a bahwa ke t i d a k had i r a nya i t u
t i d a k d i s e b a bk an ol eh sua t u ha l a ngan yang sah menuru t hukum
karenany a sesu a i pasa l 12 6 HIR perka r a t e r s e b u t dapa t
d ipu t u s dengan t anpa had i r n y a Terguga t (Ver s t e k ) ;
Menimbang , bahwa Pengguga t t e l a h menga jukan buk t i
su r a t yang d ibe r i t anda P.1 dan dua orang ke lua r g a deka t
Pengguga t yang seka l i g u s sebaga i saks i sebaga imana t e l a h
d iu r a i k a n di a t a s yang mana t e r h a d a p semua buk t i t e r s e b u t
Pengguga t t e l a h membena rk annya da l am per s i d a n g a n , dan
se l a n j u t n y a Maje l i s Hakim memper t imbangkan pengakuan dan
pernya t a a n para saks i t e r s e b u t ;
Menimbang , bahwa berda s a r k a n buk t i - buk t i sebaga imana
t e l a h diu r a i k a n d i a t a s , Maje l i s Hakim t e l a h dapa t
menemukan fak t a da l am per s i d a n g a n yang dapa t di s impu l k a n
sebaga i ber i k u t :
5
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- bahwa t e r n y a t a berda s a r k a n pengakuan Pengguga t yang
d ibena r k a n ol eh para saks i se r t a buk t i P- 1 , Kut i p a n
Akta Nikah t angga l 12 Sep t embe r 2006 haru s dinya t a k a n
Pengguga t dan Terguga t ada l a h suami i s t e r i yang sah yang
dahu l u menikah t angga l Kecamat an Suka r a j a Kabupa t e n
Bogor , dan se l ama da l am pern i k a h a nnya t e r s e b u t t e l a h
d ika r u n i a i 1 orang anak ;
- bahwa t e r n y a t a Pengguga t ber agama I s l am dan berked i aman
diwi l a y a h Kabupa t e n Bogor , maka se su a i dengan ke t e n t u a n
pasa l 49 aya t (1 ) , jo . pasa l 73 aya t (1 ) Undang - undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang t e l a h diubah dengan Undang -
undang Nomor 3 Tahun 2006 , perka r a in i merupakan
kompe t en s i Pengad i l a n Agama Cib inong ;
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-
- bahwa t e r n y a t a da l am per s i d a n g a n Maje l i s Hakim t e l a h
beru s a h a member i k a n penas eh a t a n secukupnya kepada
Pengguga t akan t e t a p i t i d a k berha s i l , seh i n gg a
per s y a r a t a n yang di t e t a p k a n pasa l 39 aya t (1 ) Undang -
Undang Nomor 1 Tahun 1974 , pasa l 82 aya t (1 ) dan (2 )
Jo . pasa l 69 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang t e l a h
d iubah dengan Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 t e l a h
d ipenuh i ;
- bahwa t e r n y a t a a l a s a n guga t a n per c e r a i a n in i ada l a h
karena t e l a h se r i n g t e r j a d i per s e l i s i h a n dan
per t e n gk a r a n yang di s e b a bk an oleh Terguga t yang t i d a k
ber t a n ggung j awab te r h a d a p ke lu a r g a , t e r u t ama masa l a h
ekonomi dan Terguga t ber s i k a p kasa r dan emos iona l ,
ka r enany a se sua i pasa l 22 aya t (2 ) , jo . pasa l 19 huru f
(b ) dan ( f ) Pera t u r a n Pemer i n t a h Nomor 9 Tahun 1975 , jo .
pasa l 116 huru f (b ) dan ( f ) Kompi l a s i Hukum I s l am ,
Pengguga t t e l a h d ipe r i n t a h k a n un tuk menghad i r k a n dua
orang saks i ke lu a r g a ; -
- bahwa t e r n y a t a menuru t kesak s i a n bese r t a sumpahnya SAKSI
I dan SAKSI I I yang t e l a h membena rkan da l i l - da l i l
guga t a n Pengguga t dan menyebu t k a n pu l a bahwa an t a r a
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Pengguga t dan Terguga t se j a k kurang leb i h 1 t ahun yang
l a l u sudah t i d a k berhubungan sebaga imana l ayaknya suami
i s t e r i ;
Menimbang , bahwa se l ama da l am per s i d a n g a n Pengguga t
t e l a h menunjukan s i k ap dan t ekadnya un tuk be rc e r a i dan
t i d a k t e r p e n g a r u h dengan naseha t Maje l i s Hakim, dan te l a h
menya t a k a n sudah t i d a k mau l ag i memper t a h a nk an
perkaw in annya dengan Terguga t ;
Menimbang , bahwa berda s a r ke t e n t u a n pasa l 1 , jo . pasa l
33 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 , pe rkaw inan ia l a h
ika t a n l ah i r dan ba th i n an t a r a seo r a ng pr i a dan seo r a ng
wani t a sebaga i suami i s t e r i dengan tu j u a n membentuk
ke lu a r g a yang bahag i a dan keka l be rda s a r k a n Ketuhanan Yang
Maha Esa , dan suami i s t e r i waj i b sa l i n g c in t a menc in t a i ,
horma t menghorma t i , se t i a dan member i ban tu a n l ah i r ba th i n
yang sa t u kepada yang l a i n n y a ;
Menimbang , bahwa dar i ke t e n t u a n t e r s e b u t dapa t
d ike t a h u i bahwa sa l a h sa t u unsu r dar i pe rkaw inan t e r s e b u t
ada l a h unsu r ika t a n ba th i n , se t i a dan member i ban t u an yang
sa t u kepada yang la i n ny a , seh i n gg a apab i l a unsu r in i sudah
t i d a k ada lag i dan sa l a h sa t u sudah t i d a k mau
memper t a h a nk an perkaw ina nnya , dihubungkan pu l a dengan
kenya t a a n an t a r a Pengguga t dan Terguga t sudah pi s a h t i d a k
berhubungan sebaga i amana layaknya suami i s t e r i se j a k
Desember 2007 maka da l am ha l in i sudah ada buk t i a t au
sua t u pe tun j u k bahwa an t a r a suami i s t e r i i t u sudah t i d a k
ada ika t a n ba th i n seh i ngg a perkaw ina n t e r s e b u t sudah t i d a k
u tuh lag i ;
Menimbang , bahwa berda s a r k a n ha l - ha l t e r s e b u t , cukup
j e l a s t en t a n g penyebab ke t i d a k harmon i s a n di an t a r a
Pengguga t dan Terguga t dan Maje l i s Hakim te l a h beru s a h a
menaseha t i n y a akan t e t a p i t i d a k berha s i l , dan keadaan rumah
t angga Pengguga t dan Terguga t t e r s e b u t j e l a s - j e l a s t e l a h
t i d a k se j a l a n dengan ke t en t u a n Syar i ’ a t I s l am dan
perundang - undangan yang ber l a k u , dan akan su l i t bag i
Pengguga t un tuk mewujudkan sua t u rumah t angga yang keka l ,
7
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
bahag i a l ah i r dan ba th i n dan memper t a h a nk a n rumah t angga
yang demik i a n ada l a h sua t u perbua t a n yang s i a - s i a , seh i n gg a
perc e r a i a n ada l a h dipandang ha l yang t e r b a i k un tuk
d i l a k uk an demi mengh inda r i kemad l a r a t a n yang leb i h besa r ;
Menimbang , bahwa berda s a r k a n a t a s pe r t imbangan -
per t imbangan t e r s e b u t di a t a s , Pengguga t t e l a h dapa t
membukt i k a n kebena r a n da l i l guga t a nnya se r t a t e r n y a t a
guga t a n Pengguga t t i d a k melawan hukum, karen any a guga t a n
Pengguga t dapa t d i t e r im a dan dikabu l k a n ;
Menimbang , bahwa perka r a in i t e rmasuk b idang
perkaw in an maka se su a i pasa l 89 aya t (1 ) Undang - undang No.
7 t ahun 1989 yang t e l a h diubah dengan Undang- undang Nomor 3
Tahun 2006 biaya pe rka r a dibebankan kepada Pengguga t ;
Menginga t akan pasa l - pasa l dar i Undang - undang yang
ber s a ngku t a n dengan perka r a in i ;
MENGADILI
1 . Menya t ak an Terguga t yang t e l a h d ipangg i l seca r a pa tu t
un tuk menghadap d i per s i d a n g a n t i d a k had i r ;
2 . Mengabu l k a n guga t a n Pengguga t dengan ver s t e k ;
3 . Menja t u hk an t a l a k sa t u ba` i n shug ro Terguga t kepada
Pengguga t ;
4 . Membebankan kepada Pengguga t un tuk membaya r b iaya
perka r a in i yang h ingga k in i d ih i t u n g sebe s a r Rp.
194 .000 , - ( Sera t u s sembi l a n pu luh empa t r i b u
rup i a h ) ; - - -
Demik i a n dipu t u s k a n pada har i Se l a s a t angga l dua bu l an
Desember Tahun Dua Ribu Delapan Maseh i ber t e p a t a n dengan
t angga l t i g a bu l an Dzul Hi j j a h Tahun Ser i b u Empat Ratu s dua
pu luh Sembi l a n Hi j r i a h o l eh kami ; Drs .H .Sy amsu l Anwar ,
SH.MH. sebaga i Ketua Maje l i s dan Drs .HM.Rosy i d
Yakub ,MH.dan Dra . Luluk Ar i f a h , MH. sebaga i Hakim- hak im
Anggot a , pu tu s a n mana ol eh Hakim t e r s e b u t pada har i i t u
juga diuc apkan da l am s i d ang t e r b uk a un tuk umum dengan
d idamping i o leh Nani Nuraen i , SH. sebaga i Pan i t e r a
Penggan t i Pengad i l a n Agama t e r s e b u t dan dihad i r i ol eh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Pengguga t t anpa had i r n y a Terguga t ;
Ketua Maje l i s
t t d
Drs . H. Syamsu l Anwar , SH. MH.
Hakim Anggo t a Hakim Anggo t a
t t d t t d
Drs . HM.Rosy id Yakub ,MH. Dra . Luluk
Ar i f a h , MH.
Pan i t e r a Penggan t i
t t d
Nani Nuraen i , SH.
Per i n c i a n Biaya Perka r a :
1 . Biaya Pangg i l a n Pengguga t
: Rp. 50 .000 , -
2 . Biaya Pangg i l a n Terguga t 2 x
: Rp. 100 .000 , -
3 . Penda f t a r a n : Rp.
30 .000 , -
4 . Redaks i : Rp.
5 .000 , -
5 . Leges : Rp.
3 .000 , -
5 . Mate r a i : Rp. 6 .000 , -
Jumlah : Rp. 194 .000 , -
( S e r a t u s s em b i l a n p u l u h emp a t r i b u r u p i a h )
9
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Hasil Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama Cibinong
Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Cibinong
(Perspektif Imam Mazhab)
A. Apakah Kekurangan Nafkah Sebagai Alasan Gugat Cerai di
Pengadilan Agama Cibinong?
Kekurangan nafkah adalah salah satu alasan untuk melakukan gugat cerai
di Pengadilan Agama Cibinong. Selain itu, pertengkaran yang terjadi
adalah dengan sebab faktor ekonomi oleh suami kepada istrinya.
B. Mengapa Kekurangan Nafkah Menjadi Alasan untuk Melakukan
Gugat Cerai?
Tujuan Perkawinan adalah meciptakan keluarga yang sakinah, mawadah,
warahmah. Bagaimana bisa tercipta keluarga yang sakinah, mawadah,
warahmah jika seorang suami tidak menjalankan kewajibannya terhadap istri.
Salah satunya ialah memberikan nafkah.
Adakalanya suami mampu memberikan nafkah, tetapi dia tidak mau
memberikannya. Adapula suami yang benar-benar tidak mampu memberi nafkah
dan dia tidak memberikan nafkah. Dalam hal ini, suami mampu memberikan
nafkah kepada istrinya, tetapi dia tidak mau memberikan nafkah tersebut kepada
istri. Maka dari itu istri melakukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama untuk
dilakukannya perceraian karena faktor tersebut.
C. Bagaimana Pengadilan Agama Cibinong Menanggapinya?
Diantara banyaknya kasus, kasus ini tidak lain kasus yang sering kami
terima. Dengan bijak Pengadilan Agama Cibinong berusaha untuk
memberikan solusi serta jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang
sering terjadi seperti ini.
D. Bagaimana Persentase Angka Perceraian dengan Sebab Kekurangan
Nafkah di Pengadilan Agama Cibinong?
Presentase angka perceraian dengan sebab kekurangan nafkah ini memang
selalu menjadi yang terbesar dibandingkan dengan angka gugat cerai
dengan sebab permasalahan yang berbeda. Dalam hal ini, Pengadilan
166 152 186
220
139
224
158 166
266
193
249 244
308 274 264 280
529
152
227
335
266
90
320 279
0
100
200
300
400
500
600
2015 2016
Agama Cibinong tidak bisa memberikan data dari tahun ke tahun, dengan
alasan Panitera yang berbeda-beda. Berikut Panitera Pengadilan Agama
Cibinong hanya bisa memberikan data dari tahun 2015-2016.
Berikut adalah Data Gugat Cerai di Pengadilan Agama Cibinong:
LAPORAN PERKARA YANG DI TERIMA
TENTANG CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
TAHUN 2015-1016
Jl. Bersih, No. 1, Cibinong, Jawa Barat 16914
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Panitera Pengadilan Agama Cibinong, “ Drs. Harun
Al-Rasyid”. NIP: 19630312.199103.1.006. Cibinong, 8 Maret 2017.
Hasil Wawancara Pribadi dengan KH. Hasanudin
(Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hamdaniyyah)
Kamis, 12 Oktober 2017. Pukul: 16:00 WIB
1. Bagaimana Pendapat Ustad mengenai Nafkah Istri?
Setelah akad yang sah, maka dari situ lah dimulai peran antara hak dan
kewajiban suami dan isteri. Salah satunya terkait dengan hal nafkah.
Namun, kita sama-sama mengetahui bahwa isteri tidak bisa langsung
meminta haknya kepada seorang suami untuk meminta haknya sebelum
kewajiban ia tunaikan kepada suaminya. Setelah kewajiban ia telah
penuhi, maka isteri pun bisa meminta haknya, salah satunya yaitu terkait
dengan nafkah. Besaran nafkah kepada seorang suami tidak ditentukan,
menurut Saya bisa disesuaikan dengan keadaan ekonomi seorang suami.
Karena rumah tangga tidak hanya semata-mata hanya karena nafkah,
masih banyak hal lain yang harus diperhatikan. Isteri harus mengerti betul
bagaimana keadaan suaminya, dari situ lah akan tercipta keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah.
2. Apakah Isteri Memiliki Hak untuk Mencari Nafkah, Jika Nafkah dari
Suami tidak Mencukupi Kebutuhannya?
Pada dasarnya, kewajiban untuk mencari nafkah memang tanggungjawab
suami. Namun jika isteri merasa kurang dan ia ingin membantu keadaan
ekonomi rumah tangga nya dengan cara bekerja dan mencari nafkah tidak
ada salahnya dengan catatan dengan izin suami. Apabila suami memberi
izin isterinya keluar untuk mencari nafkah, maka hak isteri masih bisa
menuntut haknya untuk tetap menadapatkan nafkah dari suaminya.
Namun, apabila jika suami tidak mengizinkan isterinya untuk mencari
nafkah tetapi ia tetap bersihkeras untuk keluar dan bekerja, maka ia
termasuk membangkang dan tidak ada hak nafkah untuk isteri nya lagi
selama isteri tetap keras kepala untuk terus bekerja.
3. Bagaimana Pendapat Ustad Apabila Kekurangan Nafkah Sebagai
Alasan Percerian?
Seperti yang kita ketahui, bahwa nafkah merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan rumah tangga. Jika nafkah itu tidak terpenuhi,
maka bagaimana kelangsungan dalam rumah tangganya? rukun kah, atau
pun sebaliknya? Di zaman yang serba maju seperti sekarang, kebutuhan
ekonomi pun semakin meningkat. Bagaimana isteri bisa melangsungkan
kehidupannya, jika nafkah tidak ia berikan? Saya setuju jika isteri berhak
meminta hak nya untuk bisa mengajukan gugat cerai kepada suaminya
apabila nafkah nya tidak terpenuhi. Namun, jangan karena hal nafkah tidak
terpenuhi kita langsung mengajukan perceraian, masyarakat harus paham
betul mengenai kadar nafkah untuk dirinya. Jika ekonomi suami menurun,
maka nafkah bisa disesuaikan dengan keadaan ekonomi suaminya, begitu
pun sebaliknya. Tidak bisa yang menurut isterinya kurang, langsung minta
cerai kepada suami. Qadhi pun harus memeriksa dan mengadili dengan
seadil-adilnya untuk kedua belah pihak agar masyarakat bisa paham betul
terkait nafkah isteri.