49
BAB I PENDAHULUAN 1

KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

BAB I

PENDAHULUAN

1

Page 2: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Pada beberapa kasus, kehamilan dipersulit oleh kelainan saluran genitalia. Secara

umum, kelainan-kelainan tersebut dianggap sebagai anomali perkembangan yang terjadi

selama embriogenesis atau mungkin juga didapat dan disebabkan oleh proses-proses yang

biasanya terjadi pada masa dewasa.

1. KELAINAN PERKEMBANGAN SALURAN REPRODUKSI

Sejumlah defek genitourinaria akibat kelainan embriogenesis terjadi secara sporadis.

Defek berat sering menimbulkan morbiditas serius bagi bayi dan ibunya. Pada sebagian,

bahkan defek ringan pun dapat menyebabkan peningkatan insiden abortus iminens dan

kelainan letak janin.

1.1. Embriogenesis Saluran Reproduksi

Untuk memahami etiologi kelaianan perkembangan vagina, serviks, dan uterus,kita

mula-mula perlu memahami bagaimana struktur-struktur tersebut terbentuk. Secara singkat,

perkembangan dimulai saat duktus metanefros membesar dan berhubungan dengan kloaka

antaraminggu gestasi keempat sampaikelima. Antara minggu keempat dankelima, terbentuk

dua tunas ureter disebelah distal dari duktus mesonefros dan mulai tumbuh ke arah kepala

menuju mesonefros. Duktus mulleri (paramesonefros) terbentuk di kedua sisi antara gonad

dan mesonefros yang sedang berkembang. Kedua duktus mulleri tersebut tumbuh ke arah

bawah danlateral menuju duktus mesonefros dan akhirnya berbelok kearah medial untuk

bertemu dan menyatu di garis tengah. Duktus mulleri yang berfusi turun ke arah sinus

urogenitalis untuk bergabung dengan tuberkel mulleri. Hubungan erat antara duktus mulleri

dan mesinefros penting secara klinis, karena kerusakan salah satu sistem duktus sering

menyebabkan kerusakan keduanyakornu uterus, ginjal, dan ureter.

Uterus terbentuk dari penyatuan dua duktus mulleri pada sekitar minggu ke-10.

Penyatuan mulai di bagian tengah dan kemudian meluas ke arah kaudal dan sefal. Sekarang

uterus memiliki bentuk khas, dengan proliferasi sel di bagian atas dan peleburan sel-sel di

2

Page 3: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

kutub bawah secara simultan sehingga terbentuklah rongga uterus yang pertama. Rongga ini

terletak di kutub bawah dengan irisan jaringan yang tebal di atasnya. Irisan jaringan tebal di

bagian atas (septum) luruh secara perlahan sehingga tercipta rongga uterus.proses ini

biasanya selesai padaminggu ke-20. Setiap kegagalan penyatuan dua duktus mulleri atau

kegagalan penyerapan rongga di antara keduanya kana mneyebabkan terbentuknya kornu

uterus yang terpisah atau menetapnya septum uterus dengan derajat bervariasi.

Vagina terbentuk diantara sinus urogenitalis dan tuberkel mulleri akibat larutnya

korda sel di antara kedua struktur. Diperkirakan bahwa pelarutan inidimulai di himen dan

meluas ke atas menuju serviks. Kegagalan proses ini akan menyebabkan korda sel

menetap,dan agenesis vagina atau kelainan yang lebih ringan akan menyebabkan

terbentuknya septum dengan derajat berbeda-beda.

1.1.1. Pembentukan Dan Klasifikasi Kelainan Mulleri

Karena fusi dua duktus mulleri membentuk vagina, serviks, dan korpus uterus,

golongan-golongan utama deformitas yang berasal dari tiga jenis defek embriologis dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Gangguan kanalisasi vagina menyebabkan terbentuknya septumvagina trasversal, atau

pada bentuk paling ekstrim, tidak adanya vagina.

2. Pematangan unilateral dukteus mulleri disertai gangguan atau tidak adanya

perkembangan di duktus yang berlawanan menimbulkan cacat yangdiakibatkan oleh

kelainan saluran kemih bagian atas.

3. Kelainan tersering adalah tidak adanya atau kegagalan fusi kedua duktus mulleri di

bagian tengah. Kegagalan total fusi mengahsilkan dua uterus, serviks, dan vagina

yang sama sekali terpisah. Resorpsi jaringan yang tidak sempyrna di antara ke dua

duktus mulleri uanh menyatu mengakibatkan terbentuknya septum uterus.

Berbagai klasifikasi untuk anomali-anomali ini pernah diajukan, tetapi belim ada yang

benar-benar memuaskan. Salah satunya yang ditujukan untuk kelainan duktus mulleri

diajukan oleh Buttram dan Gibbons (1979) dan didasarkan pada kegagalan perkembangan

normal. Klasifikasi ini memisahkan beragam anomali menjadi kelompok-kelompok dengan

gambaran klinis, prognosis untuk kehamilan, dan terapi yang serupa. Klasifikasi mencakup

satu kategori untuk kelainan yang berkaitan dengan pajanan ke dietilstibestrol (DES) semasa

3

Page 4: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

janin. Anomali vagina tidak diklasifikasikan karena tidak berkaitan dengan kematian janin.

Sering diakibatkan oleh uterus didelfis dan anomali bikornuata.

Klasifikasi Anomali Mulleri

I. Agenesis atau hipoplasia mulleri segmental

A. Vagina

B. Serviks

C. Fundus

D. Anomali kombinasi

II. Uterus unikornuata

A. Dengan kornu rudimeter

1. Dengan rongga endometrium

a. Komunikans

b. Nonkomunikans

2. Tanpa rongga endometrium

B. Tanpa kornu rudimeter

III. Uterus didelfis

IV. Uterus bikornuata

A. Sempurna (terbagi sampai os interna)

B. Parsial

C. Arkuata

V. Uterus septata

A. Sempurna (septum samapi os interna)

B. Parsial

VI. Dietilstibestrol

1.2. Kelainan Vulva

Atresia vulva total atau atresia bagian bawah vagina tidak memungkinkan terjadinya

konsepsi, kecuali apabila diperbaiki. Umumnya atresia vulva bersifatinkomplit, terjadi akibat

perlekatan atau jaringan parut setelah cedera atau infeksi. Defek ini dapat cukup menghambat

pelahiran,tetapi resistensi biasanya akhirnya teratasi oleh tekanan berkepanjangan yang

ditimbulkan oleh kepala janin. Hal ini dapat menyebabkan robekan perineum yang dalam

kecuali apabila dicegah dengan episiotomi yang memadai.

4

Page 5: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

1.3. Kelainan Vagina

Terdapat beberapa kemungkinan kelainan perkembangan vagina :

1. Tunggal. Vagina normal.

2. Bersekat longitudinal. Septum longitudinal sempurna atautidak sempurna.

3. Ganda.vagina ganda sering sulit dibedakan dengan vagina berseptum sempurna.

Vagina ganda sejati memiliki dua introitus dan menyerupai senapan laras ganda,

dengan masing-masing saluran berakhir di serviks yang terpisah dan tersendiri.

Kadang-kadang pada vagina ganda salah satunya buntu.

4. Bersekat transversal. Hal ini terjadi lebih akibat kegagalan kanalisasi duktus mulleri

primordial yang telah meneyatu daripada kegagalan fusi longitudinal. Vagina septata

biasanya dijumpai saat pemeriksaan dalam urin rutin atau oleh wanita yang

bersangkutan saat menyadari bahwa tampon vagina tidak selalu efektif menyerap

darah haid.

1.3.1. Septum Dan Striktur

Septum longitudinal sempurna biasanya tidak menyebabkan distosia karena seluruh

vagina tempat lewatnya janin secara berangsur-angsur akan berdilatasi dengan memuaskan.

Namun, septum yang tidak sempurna kadang-kadang mengganggu penurunan janin. Pada

kasus seperti ini, septum dapat teregang di sekitar bagian presentasi menjadi suatu pita

dengan ketebalan bervariasi. Kadang-kadang septum cukup resisten sehingga harus dipotong

atau harus dilakukan seksio sesarea.

Walaupun jarang, vagina dapatmengalami obstruksi oleh pitaatau striktur anular

kongenital. Striktur ini kecil kemungkinannya mengganggu pelahiran secara serius karena

biasanya melunak selama kehamilan dan kalah oleh kepala yang turun. Insisi jarang

diperlukan.

Kadang-kadang vagina bagian atas terpisahdari jalan lahir lainnya oleh sebuah septum

transversal dengan satu lobang kecil. Beberapa bentuk kelainan ini disebabkan oleh pajanan

dietilstilbestrol (DES) ini utero. Striktur ini kadang-kadang disangka bagian atas kubah

vagina, dan pada saat persalinan, lubang septum secara salah dianggap sebagai os eksterna

yang tidak membuka. Setelah os eksterna mengalami pembukaan sempurna, kepala menekan

5

Page 6: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

septum dan menyebabkannya menonjol keluar. Apabila septum tidak kalah, penekanan

ringan pada lubangnya akan menyebabkan dilatasi lebih lanjut, tetapi kadang-kadang

siperlukan insisi silang agar pelahiran dapat berlangsung.

1.3.2. Atresia

Atresia vagina kongenital sempurna, kecuali apabila diperbaiki secara

bedah,merupakanpenghalangefektif bagi kehamilan. Atresia tidak sempurna dapat merupakan

manifestasi kegagalan perkembangan atau akibat kecelakaan, misalnya jaringan parut karena

cederaatau peradangan. Pada sebagian besar kasus atresia parsial, obstruksi secara bertahap

diatasi oleh tekanan yang ditimbulkan oleh bagian terbawah janin karena pada kehamilan

terjadi perlunakan jaringan. Kadang-kadang dibutuhkan dilatasi manual atau hidrostatik atau

insisi atau bahkan seksio sesarea.

1.4. Kelainan Serviks Dan Uterus

1.4.1. Jenis Serviks

Dalam kaitannya dengan perkembangan, terdapat sejumlah anomali serviks.

1. Tunggal. Serviks normal.

2. Septata. Serviks terdiri dari satu cincin otot yang dibagi oleh sebuah sekat. Sekat

mungkin terbatas di serviks, atau yang lebih sering, merupakan lanjutan ke bawah dari

septum uterus atau perluasan ke atas dari septumvagina.

3. Ganda. Dua serviks tersendiri, masing-masing terbentuk dari pematangan duktus

mulleri yang berbeda.baik serviks bersekat maupun serviks ganda sejati sering disertai

oleh septum vagina longitudinal. Sayangnya, banyak serviks bersekat secara salah

digolongkan sebagai serviks ganda.

4. Hemiserviks tunggal. Keadaan ini terjadi akibat pematangan mulleri unilateral.

1.4.2. Diagnosis Malformasi Serviks Dan Uterus

Beberapa dari kelainan ini ditemukan melalui inspeksi biasa atau sewaktu

pemeriksaan bimanual. Kelainan-kelainan ini sering dijumpai saat seksio sesarea atau

6

Page 7: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

eksplorasi manual rongga uterus setelah melahirkan. Takikdi fundus, yang dipalpasi melalui

abdomen, umumnya mengisyaratkan malformasi uterus. Penapisan dengan ultrasonografi

untuk mencari anomali, walaupun 90 persen spesifik, hanya memiliki sensitivitas 43 persen.

Uterus bersekat sulit dibedakan dari uterus bikornuata tanpa pemeriksaan radiologis,

sonografibereseolusi tinggi, visualisasi langsung rongga uterus, dan sering kali diperlukan

pemeriksaan laparoskopik. Pemeriksaan histeroskopik dan histerografi bermanfaat untuk

memastikan konfigurasi rongga uterus. Bila dikombinasi dengan konfigurasi

laparoskopikuntuk memastikan ada tidaknya pemisahan eksternaluterus serta ada tidaknya

kornu uterus rudimenter, hampir semua kelainan uterus dapat dijelaskan dan diklasifikasikan

secara akurat seperti dijelaskan berikut ini.

1.4.3. Insiden

Belum tersedia angka yang akurat tentang anomali-anomaliini. Green dan Harris

(1976) mengidentifikasi 80 kelainan perkembangan uterus dari 31.836 pelahiran (1 dalam

400). Mereka menekankan bahwa deteksi paling besar selamasuatu periode terjadi saat salah

satu anggotastaf bersemangat melakukan eksplorasi uterus saat persalinan, dan apabila

dicurigai adanya suatu anomali, dilakukan histerosalpingografi 6sampai 8 minggu

pascapartum.

Sonografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelainan perkembangan uterus,

walaupun kurang presisi dibandingkan dengan histeroskopi dan histerosalpingografi. Namun,

selam kehamilan atau disangka hamil, evaluasi ultrasonografi cukup informatif. Magnetic

resonance imaging (MRI) mungkin lebih spedifik.

1.4.4. Pemeriksaan Urologis

Apabila dijumpai perkembangan saluran reproduksi yang asimetris, diindikasikan

pemeriksaan urologis karena anomali ini sering berkaitan dengan kelainan salurab kemih.

Apabila terdapat atresia uterus di satu sisi atau apabila salah satu vagina pada vagina ganda

buntu,biasanya sering dijumpai anomali urologis ipsilateral.

7

Page 8: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

1.4.5. Pemeriksaan Pendengaran

Sampai sepertiga wanita dengan defek mulleri dilaporkan mengalami gangguan pendengaran.

Gangguan ini ditandai oleh kelainan pendengaran sensorineural ringan sampai berat dalam

rentangfrekuensi tinggi.

1.4.6. Anomali Uterus Pada Tumor Wilms

Pasien tumor Wilmsyang jarangini dan bertahan hidup memperlihatkan peningkatan

insiden anomali saluran kemih dan reproduksi. Para penulis menyarankan bahwapengamatan

ini dapat secara parsial menjelaskan infertilitas pada para pasien wanita yang bertahan hidup.

1.4.7. Makna Obstetri Kelainan Serviks

Atresia total serviks tidak memungkinkan kehamilan. Stenosis serviks akibat jaringan

parut dapat terjadi setelahberbagaijenis trauma serviks. Karena selama kehamilan biasanya

terjadiperlunakan jaringan, stenosis serviks secara berangsur-angsur ‘mengalah’ selama

persalinan. Pada kasus-kasus yang jarang, stenosis dapat sedemikian mencolok sehingga

tidak mungkin terjadi pembukaan dan diperlukan seksio sesarea.

1.4.8. Makna Obstetri Hipoplasia Atau Agenesis Uterus

Kelas I Buttram Dan Gibbons. Hipoplasia atau agenesis vagina hampir tidak memungkinkan

kehamilan, dan bahkan pada beberapa kasus yang menyambungkan uterus secara bedah ke

sebuah vagina baru, kehamilan jarang terjadi. Berbagai jenis sekatvagina dapat diperlebar,

dipindahkan, atau dipotong secara bedah, serviks bersekat berfungsi baik, tetapi selama

persalinan dapat terjadi bahaya ruptur dan perdarahan.

Kelas II Sampai Vbuttram Dan Gibbons. Anomali uterus menimbulkan kesulitan obstetri

yang besar. Defek uterus yang terjadi akibat perkembangan hanya salah satu duktus mulleri,

atau akibat tidak terjadinya penyatuan, sering menghasilkan hemiuterus yang tidak dapat

dapat mengalamidilatasi dan hipertrofi secara benar. Hal ini dapat menimbulkan beberapa

8

Page 9: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

kesulitan, termasuk keguguran, kehamilan ektopik, kehamilan kornu rudimenter, pelahiran

preterm, hambatan pertumbuhan janin, kelainan letak janin, disfungsi uterus, dan ruptur uteri.

Yang mengejutkan, bahkan pada keadaan-keadaan ketika hanya terdapat sebuah sekat uterus,

angka keguguran meningkat.

Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Unikornuatus (Buttram Dan Gibbons Kelas

III). Anomali perkembangan yang menyebabkan terbentuknya uterus unikornuatus.

Insidennya dalam suatu penelitian terhadap 1160 anomali ueterus adalah14 persen. Angka ini

kemungkinan besar lebih rendah daripada sebenarnya, karena diagnostik utama yang

digunakan adalah histerosalpingografi, yang tidak dapat mengidentifikasi kornu rudimenter

nonkomunikans. O’Learly dan O’Learly (1963) memperkirakan bahwa 90 persen uterus

unikornuatus dengan kornu rudimenter tidak memiliki saluran yang menghubungkan kedua

kornu. Meningkatnya insiden infertilitas, endometriosis, dan dismenorea pada kasus-kasus ini

jelas lebih mudah dipahami.

Kelainan anatomis dan meningkatnya kematian janin secara parsial dapat dijelaskan

olehukuran uterus yang lebih kecil atau implantasi zigot di kornu rudimenter komunikans.

Ukuran hemiuterus yang kecil hampir merupakan penyebab meningkatnya angka pelahiran

preterm, hambatanpertumbuhan janin, presentasi bokong, persalinan sulit, dan seksio sesarea.

Kehamilan tuba dan kehamilan di kornu rudimenter nonkomunikans merupakan

merupakan masalah khusus. Rolen dkk. (1966) melaporkan bahwa pada 70 kehamilan dengan

implantasi di kornu rudimenter, biasanya terjadi ruptur uteri sebelum 20 minggu. Perdarahan

intraperitoneumpada kasus-kasus ini dapat deras danmengancam nyawa, tetapi pernah

dilaporkan janin yang bertahan hidup walaupun jarang. Pada satu kasus, janin kembar

dilahirkan terpisah 8 hari. Pada kasus lain, kehamilan padakornu rudimenter nonkomunikans

disangka uterus inkarserata dengan sirkulasi. Penggunaan MRI yang lebih liberal dapat

mendiagnosis masalah kehamilan ini lebih dini.

Tidak terdapat hubungan antara kornu rudimenter dengan kornu yang berlawanan atau

vagina. Sperma harus bermigrasi keluar dari tuba fallopi kornu yang paten dan menyeberang

secara transperitoneal untuk masuk ke tuba yang bersambungan dengan kornu rudimenter.

Padaminggu ke 15, wanita yang bersangkutan mengeluh nyeri abdomen bawah yang

mendadak, terasa keram, dan parah. Teraba massa uterus yang agak membesar dan nyeri

tekan. Pada massa ini teridentifikasi gerakan jantung janin. Pada laparotomi, dijumpai sekitar

200 ml darah bebas di dalam rongga peritoneum. Dilakukan histerektomi total dan salpingo-

9

Page 10: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

ooferektomi kir. Tiga kehamilan sebelumnya, yang semuanya dengan presentasi bokong,

mengahsilkan bayi yang beratnya 750 g(meninggal), 120g (hidup), dan 2815g (hidup).

Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Didelfis (Buttram Dan Gibbons Kelas III).

Uterus didelfis dibedakan dari uterus bikornuata dan septata oleh adanya reduplikasi lengkap

serviks dan rongga hemiuterus. Dalam suatu penelitian terhadap 26 wanita yang mengidap

kelainan ini, Heinonen (1984) melaporkan bahwa semua juga memiliki sebuah septum

vaginal longitudinal. Selain kehamilan ektopik dan kehamilan kornu rudimenter, masalah-

masalah yang berkaitan dengan uterus didelfis serupa dengan yang dijumpai pada uterus

unikornuatus. Heinonen (1984) melaporkan hasil akhir kehamilan secara keseluruhan yang

baik adalah 70 persen. Selain 30 persen keguguran, dijumpai pelahiran preterm pada 20

persen, hambatan pertumbuhan janin pada 10 persen, presentasi bokong pada 43 persen, dan

angka seksio sesarea adalah 82 persen. Percobaan persalinan berikutnya menyebabkan

peningkatan angka ruptur uteri.

Pada wanita dengan uterus didelfis, gestasi multijanin tidak lazim tetapi bukannya

jarang. Mashiach dkk. (1981) melaporkan satu kasus triplet dengan interval pelahiran 72 hari.

Kinerja Reproduksi Wanita Dengan Uterus Bikornuata Dan Septata (Buttram Dan

Gibbons Kelas IV Dan V). Pada kelas IV dan V, terjadi peningkatan mencolok abortus

spontan. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya jaringan otot di septum. Pengecualian

adalah untuk uterus arkuata, yang hanya merupakan penyimpangan ringan dari normal.

Menurut Bruttam dan Gibbons (1979), kematian janin pada 20 minggu pertama adalah 70

persen untuk uterus bikornuata dan 88 persen untuk uterus septata. Kematian janin yang

sangat tinggi ini kemungkinan karena implantasi parsial atau lengkap pada septum yang

umumnya avaskular. Pada 255 wanita dengan malformasi ueterus, tiga dengan uterusseptata

memiliki neonatus dengan defek reduksi ekstremitas. Leible dkk. (1998) memperlihatkan

bahwa dua pertiga wanita dengan anomali mulleri plasenta lateral mengalami implantasi dan

bahwa arteri uterina nonplasenta pada kasus-kasus ini memperlihatkan rasio sistolik/diastolik

yang tinggi. Apabila kehamilan sudah berlangsung, maka hasil akhir

keseluruhanmenyebabkan peningkatan insiden pelahiran preterm, kelainan letak janin, dan

seksio sesarea. Percobaan persalinan berikutnya akan meningkatkan angka ruptur uteri.

Histerosalpingogram biasanya tidak dapat digunakan sendiri untuk membedakan

uterus septata dan uterusbikornuata, tetapi histerosonografi transvagina sangat meningkatkan

keakuratan diagnosis. Ultrasonografi tiga dimensi juga dilaporkan meningkatkan keakuratan

10

Page 11: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

diagnosis, tetapi seperti histerosonografi, caraini tidak100 persen akurat. Buttram dan

Gibbons (1979) menekankan pentingnya laparoskopi untukmemastikan adanya pemisahan

eksternal uterus. Diagnosis ini sekarang dapat ditegakkan dengan cara noninvasif

menggunakan MRI. Percobaan persalinan memiliki angka ruptur uteri yangtinggi.

1.4.9. Penatalaksanaan Anomali Uterus

Kelainan presentasi janin sering terjadi pada uterus abnormal. Upaya-upaya versi kaki

luar kecil kemungkinannya berhasil dan mungkin malah membahayakan. Apabila terjadi

disfungsi uterus, tampaknya kurang bijaksana untuk mengatasi gangguan uterus ini dengan

oksitosin. Seksio sesarea lebih aman, tetapi sayangnya diagnosissering tidakdiperkirakan.

1.4.10. Cerclage

Pengikatan (cerclage) serviks terapeutik dan profilaktik mungkin diindikasikan bagi

wanita dengan uterus didelfis dan uterus bikornuata atau unikornuata. Peningkatan serviks

melalui abdomen menawarkan harapan terbaikbagi wanita dengan atresia serviks parsial atau

hipoplasia serviks yang ingin kehamilannya berhasil. Caspi dkk. (1990) melaporkan metode

Shirodkarmodifikasi yang menutupos interna tanpa perlu melakukan prosedur melalui

abdomen. Teknik ini dikerjakan dengan membuat sebuah insisi melintang kecil di taut vagina

kandung kemih anterior dan memajukan kandung kemih sampai setinggi os interna. Sebuah

jarum bulat besar digunakan untuk memasukkan sebuah benangmonofilamen di sekeliling

kedua sisi serviks di bawah mukosa vagina. Benang dikeluarkan di bawah mukosa vagina

dalam sul-de-sac dan diligasi. Prosedur ini dilakukan pada wanita yang serviknya pendek

atau mengalami laserasi dan pada wanita dengan riwayat kegagalan cerclage McDonald.

1.4.11. Metroplasti

Wanita dengan anomali septata atau bikornuata serta gangguan hasil akhir kehamilan

mungkin akan mendapat manfaatdaritindakan perbaikan uterus.

11

Page 12: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Perbaikan uterus bikornuata adalah dengan metroplasti transabdomenyang mencakup

reseksi septum dan rekombinasi fundus. Setelah perbaikan aktivitas ueterus normal apabila

kedua kornu uterus yang secara anatomis simetris telah disatukan.

Perbaikan uterusseptata paling baik dilakukan dengan reseksi septum secara

histeroskopis. Infus dekstran berlebihan selama tinadakan histeroskopis ini dapat

menyebabkan edema paru yang mengancam nyawa dan memicu koagulopati berat. Pada

prosedur ini, reseksi septum dengan laser tampaknyahanya menambahwaktu dan biaya. Tidak

perlu pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim dan terapi hormon pascaoperasi untuk

mencegah fusi septum.

1.6. Kelainan Saluran Reproduksi Akibat Dietilstilbestrol.

Hampir selama seperempat abad, sampai awal tahun 1970-an, dietilstilbestrol (DES),

suatu estrogen nonsteroidsintetik, diresepkan bagi sekitar 3 juta wanita hamil di Amerika

Serikat.laporan-laporan awaltanpa kontrol mengklaim bahwa obatini bermanfaat untuk

mengobati abortus, preeklamsia, diabetes, dan persalinan preterm. Selain kurang efektif,

masalah serius pertama yang dikaitkan dengan pemakaiannya adalah ditemukannya

adenokarsinoma sel jernih vagina pada beberapa anak perempuan yang terpajan in utero.

Beberapa kelainan non neoplastik di vagina dan serviks juga pernah dilaporkan. Yang

tersering adalah adenosis vagina dan ektropion serviks. Kelainan struktural nayor di vagina,

serviks, uterus, dan tuba fallopi juga pernah dijumpai, dan kelainan-kelainan ini

menyebabkan peningkatan risiko insiden gangguan hasil akhir reproduksi.

1.6.1. Kelainan Struktural

Sebanyak seperempat sampai separuh wanita yang terpajan DES in utero

memperlihatkan variasi strukturaldi vagina dan serviks. Variasi-variasitersebut mencakup

septum transversum,rigi melingkar yang mengenai serviks dan vagina, dan kerah serviks

(servical collars). Anomali ronggauterus tampak pada histerografi dari sekitar dua pertiga

wanita yang terpajan. Rongga uterus yang secara bermakna lebih kecil, pemendekan segmen

atas uterus, dan rongga berbentuk huruf T juga pernah dilaporkan. Sekitar separuh wanita

dengan defek uterus juga mengalami defek serviks, terutama hipoplasia serviks. Akhrnya,

12

Page 13: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

berbagai kelainan tuba fallopi pernah dilaporkan, termasuk pemendekan, penyempitan, dan

tidak adanya fimbria. Kipersztok dkk. (1996) beranggapan bahwa untuk mengidentifikasi

kelainan-kelainan ini histerosalpingografi tetap merupakan prosedur pilihan dibandingkan

dengan MRI dan ultrasonografi transvagna.

1.6.2. Kinerja Reproduksi

Wanita yang terpajan DES semasa janin dilaporkan memperlihatkan penurunan angka

konsepsi. Dari mereka yang mengandung, terjadi peningkatan angka keguguran, kehamilan

ektopik, dan kelahiran preterm. Risiko paling besar adalah bagi wanita yang memperlihatkan

kelainan struktural.

1.6.3. Kehamilan Ektopik

Insiden kehamilan ektopik dilaporkan 7 persen dibandingkan dengan nol pada

kontrol. Etiologinya mungkin adalah anomali tuba, tetap mengecilnya ukuran uterus juga

mungkin berperan.

1.6.4. Keguguran Dan Persalinan Preterm

Insiden persalinan preterm meningkat, mungkin karena anomali uterus dan serviks.

Abortus spontan meningkat, tetapi mekanisme penyebab abortus dini masih belum

sepenuhnya dipahami. Inkompetensi serviks tampaknya bertanggung jawab menyebabkan

peningkatan kematian janin pada pertengahan kehamilan dan persalinan preterm. Hal ini

dibuktikan secara grafis oleh Michaels dkk. (1989) dalam penelitian ultrasonografik

prospektif serial terhadap wanita yang terpajan DES. Dengan menggunakan evaluasi

sonografik serial terhadap segmen bawah uterus, serviks, dan vagina, ditemukan pendataran

dan pembukaan serviks dini pada 5 dari 21 kehamilan. Pengikatan serviks dilakukan pada

kelima kasus tersebut, dan semuanya berlanjut sampai paling sedikit usia gestasi 36 minggu.

Michaels dkk. (1989) memberi tahu para wanita ini bahwa mereka berisiko

melahirkan preterm. Mereka diperiksa setiap minggu dengan surveilans ultrasonografi serial

daerah uterus bawah dan servikovagna, dimulai pada usia gestasi 14 minggu dan berlanjut

13

Page 14: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

sampai minggu ke 27. Bila terdapat pendataran dan dilatasi serviks yang progresif, maka

dilakukan pengikatan serviks. Ayers dkk. (1988) serta Ludmir dkk. (1987, 1991)

menganjurkan pengikatan serviks pada sebagian besar wanita ini, tetapi terutama mereka

yang mengalami hipoplasia serviks. Hamptom dkk. (1990) menganjurkan pengikatan serviks

transabdomina bagi wanita dengan hipoplasia atau atresia serviks parsial.

1.6.5. Infertilitas

Berkurangnya kesuburan pada para wanita ini kurang dupahami tetapi berkaitan

dengan hipoplasia dan atresia serviks. Perbaikan bedah dengan reanastomosis vagina dan

serviks pernah dilakukan. Kehamilan dapat dicapai dengan menggunakan berbagai teknik

tranfer zigot intra fallopi.

1.6.6. Terapi

Terapi bagi wanita yang terpajan DES adalah surveilans kontinu untuk mendeteksi

karsinoma sel jernih di vagina dan serviks. Pemeriksaan tahunan adekuat bagi kebanyakan

dar mereka, tetapi harus dilakukan dua kali setahun pada wanita dengan adenosis luas di

vagina. Wanita dengan serviks atau vagina atipik harus diperiksa sesering yang diindikasikan.

Tidak ada terapi spesifik yang dianjurkan untuk adenosis tanpa atipia sel. Terapi karsinoma

sel jernih di vagina adalah radiasi dan ekstirpasi radikal.

Penangan bedah terhadap kelainan struktural dilaporkan dapat memperbaiki kinerja

reproduksi. Garbin dkk. (1998) menganjurkan metroplasti histeroskopik menggunakan suatu

kait monopolar untuk memotong tonjolan lateral dinding inferior atas uterus pada uterus

berbentuk T. Mereka juga memotong fundus arkuata pada rongga uterus untuk memperbesar

volume uterus. Mereka melaporkan penurunan abortus dari 88 menjadi 13 persen dan

peningkatan pelahran aterm dari menjadi 88 persen. Nagel dan Malo (1993) serta Katz dkk.

(1996) melaporkan peningkatan hasil akhir kehamilan setelah reaksi uterus histeroskopik

menggunakan gunting, elektrokoagulasi, dan elektrode pemotong.

2. KELAINAN SALURAN REPRODUKSI DIDAPAT

14

Page 15: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

2.1. Kelainan Vulva

2.1.1. Edema

Pada wanita yang mengidap sindrom nefrotik dan hipoproteinemia, dapat terjadi

edema vulva yang mengganggu bahkan sejak pertengahan kehamilan. Kadang-kadang pada

wanita normal dan terutama yang mengidap preeklamsi berat, vulva dapat menjadi edematosa

selama persalinan. Trombosis vena dan hematom juga dapat menyebabkan edema serta nyer

sehingga membuat episiotomi sulit dilakukan.

2.1.2. Lesi Peradangan

Peradangan dan pembentukan jaringan parut perineum yang luas akibat hidradenitis

supurativa, limfogranuloma venereum, atau penyakit Crohn dapat menyebabkan kesulitan

dalam pelahiran pervaginam, episiotomi, dan perbaikannya. Episiotomi mediolateral dapat

mencegah sebagian dari kesulitan ini dan laserasi rektum.

2.1.3. Abses Bartolin

Apabila berbentuk suatu abses selama kehamilan, harus dilakukan drainase. Pada

sebagian kasus, analgesi lokal sudah memadai tetapi pada abses besar dengan selulitis,

drainase sebaiknya dilakukan di ruang operasi. Setelah insisi dan dranase, tepi-tepi yang

terpotong – apabila mengalami perdarahan aktif – dijahit dengan catgut kronik halus. Sebuah

kassa drainase dimasukkan untuk menjaga agar ostum tetap terbuka sampai granulasi

lengkap. Dalam pus dari abses semacam ini dapat dijumpai bakteri aerob dan anaerob, tetapi

Neisseria gonorrhoeae dijumpai pada kurang dar 10 persen. Pasien perlu mendapat antibiotik

spektrum luas sampai selulitisnya mereda.

2.1.4. Kista Bartolin

Karena kehamilan memicu hiperemia, maka terapi terhadap kista asimtomatik

sebaiknya ditunda sampai pasien melahirkan. Walaupun jarang, suatu kista labium yang

ukurannya cukup besar dapat menyulitkan persalinan. Dalam hal ini aspirasi dengan jarum

sudah memadai sebagai tindakan sementara.

15

Page 16: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

2.1.5. Lesi Di Uretra Dan Kandung Kemih

Trauma di uretra atau infeksi kelenjar-kelenjarnya dapat menyebabkan abses

periuretra, kista, dan divertikulum. Abses biasanya mereda sendiri, dengan pembentukan

kista asimtomatik sebagai sekuele. Divertikulum uretra dapat terisi oleh debris yang secara

intermiten keluar melalui uretra dan menyebabkan proteinuria sehingga etologi menjadi

kabur. Secara umum, eksisi bedah terhadap kista atau divertikulum jangan dlakukan selama

kehamilan.1997) mengulas kepustakaan mengenai tumor kandung kemih dan menyimpulkan

bahwa pada sebagian kasus kanker buli-buli diperlukan tindakan seksio sesarea untuk

mengeluarkan janin.

2.1.6. Kondiloma Akuminata

Infeksi genital oleh virus papiloma manusia menimbulkan kondiloma akuminata,

yang serng disebut sebagai kutil kelamin. Pada sebagian kasus, kondiloma genital dapat

sedemikian besar sehingga persalinan pervaginam sulit.

2.1.7. Mutilasi Genital Wanita

Mutilasi genital wanita, yang secara salah disebut sebagai sirkumsisi wanita, mengacu

kepada modifikasi yang secara medis tidak diperlukan. Saat ini, mutilasi wanita semacam ini

dipraktekkan di negara-negara Afrika dan Timur Tengah serta pada populasi muslim di

Indonesia dan Malaysia. Tindakan ini dilakukan pada 80 sampai 110 juta wanita di seluruh

dunia. Menurut World Health Organozation (1992), sirkumsisi wanita secara bermakna

berkaitan dengan kemiskinan, buta huruf, dan status wanita yang rendah.

Terdapat beragam jenis modifikasi bedah terhadap genitalia wanita. World Health

Organization (1997) mengklasifikasikan mutasi genital wanita menjadi empat jenis. Penulis-

penulis lain menggolongkannya menjadi tiga bentuk. Sunna adalah satu-satunya prosedur

genital wanita yang dapat dengan benar dsebut sebagai sirkumsisi. Tindakan ini adalah

bentuk yang paling kurang ekstrim dan berupa klitoridektomi subtotal dengan derajat

bervariasi. Apabila dilakukan dalam keadaan steril, jarang terjadi konsekuensi fisik jangka

16

Page 17: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

panjang. Jenis kedua adalah eksisi. Tindakan ini berupa klitoridektomi dan kadang-kadang

pengangkatan sebagian atau seluruh labia minora. Prosedur ini dapat menyebabkan

konsekuensi media yang lebh serius.

Bentuk ketiga dan yang paling ekstrim dikenal sebaga infibulasi atau sirkumsisi firaun

(pharaonic circumcision). Tindakan ini berupa pengangkatan seluruh klitoris, seluruh labia

minora, dan paling tidak dua pertiga labia mayora. Kedua sisi vulva kemudian dijahit oleh

benang sutera atau catgut dan disatukan oleh duri-duri. Ditinggalkan sebuah lubang kecil

biasanya dibuat dengan memasukkan batang korek api untuk keluarnya darah haid dan urin.

Kedua paha kemudian diikat dari pinggul sampai pergelangan kaki selama 40 hari sehingga

akan terbentuk jarngan parut. Infibulasi menimbulkan konsekuensi medis paling sering.

Knight dkk. (1999) melaporkan bahwa hampir 80 persen wanita yang dsunat yang datang ke

Royal Women’s Hosptal di Melbourne telah menjalani infibulasi.

Tndakan ini biasanya dilakukan pada usia 7 tahun, walaupun diketahui bahwa

tindakan tersebut juga dilakukan pada usia berapapun dari bayi sampai pubertas. Pembedahan

basanya dilakukan tanpa anastesi oleh bidan atau dukun beranak. Alat yang paling digunakan

untuk melakukan mutilasi genitalia wanita adalah pisau silet, pisau dapur, gunting, kaca, dan

di beberapa tempat, gigi dukun beranak tersebut.

Bahaya yang paling akut dari mutilasi genitalia wanita adalah eksanguinasi. Dalam

beberapa hari dapat terjadi infeksi berat. Masalahnya yang paling sering terjadi pada wanta

yang menjalani infibulasi adalah retensi urn akibat nyeri luka dan introitus yang dijahit

sempit. Penyulit jangka panjang adalah infeksi vagina dan uterus kronik, yang dapat

menyebabkan sterilitas, infeksi saluran kemih disertai gangguan berkemih yang semakin

parah, dismenorea, dispareunia, dan apareunia. Tindakan ini dapat merupakan predisposisi

bagi infeksi virus imunodefisiensi manusia.

Para wanita ini mengalami sejumlah penyulit obstetri akibat obstruksi jalan lahir oleh

jaringan parut. Dengan berbagai alasan, mereka tidak menginginkan deinfibulasi sampai

hamil. Nour (2000) menganjurkan bahwa tindakan ini dilakukan pada pertengahan kehamilan

di bawah anastesi spinal. Apabila tidak, jaringan parut biasanya harus disayat terbuka saat

pelahiran dengan episiotomi anterior. Tanpa tindakan ini dapat terjadi robekan vagina yang

parah yang dapat menghambat persalinan. Apabila jaringan parut sirkumsisi dipotong cukup

dini, mungkin tidak diperlukan lagi episiotomi konvensional. Para wanita ni juga menderita

konsekuensi dari episiotomi anterior misalnya fistula rektovagina dan vesikovagna.

17

Page 18: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

2.2. Kelainan Vagina

2.2.1. Atresia Parsial

Atresia tidak sempurna dapat terjadi akibat pembentukan jaringan parut akibat cedera

atau peradangan. Setelah suatu infeksi yang menyebabkan sebagan besar mukosa vagina

terkelupas, lumen vagina mungkin hampir seluruhnya lenyap sewaktu proses penyembuhan.

Cedera yang menyebabkan pembentukan jaringan parut luas, misalnya trauma perkosaan

pada ank-anak, juga dapat menyebabkan atresia vagina.

Sewaktu persalinan, atresia parsial biasanya teratasi oleh tekanan yang ditimbulkan

oleh bagan terbawah janin. Walaupun jarang, kadang-kadang diperlukan insisi atau dilatasi

manual atau hidrostatik. Apabila struktur sedemikian resisten sehingga tampaknya tidak

mungkin terjadi dilatasi spontan, pada awal proses persalinan dilakukan seksio sesarea.

2.2.2. Kista Duktus Gartner

Kista ini dapat menonjol ke dalam vagina dan bahkan keluar melalui introitus

sedemikian sehingga menyerupai sistokel. Sewaktu persalinan, sistokel dapat dilatasi dengan

baik dengan kateterisasi kandung kemih dan melakukan tekanan ke atas dengan tangan pada

dinding vagina anterior yang prolaps. Kista duktus Gartner dapat terselip di atas bagian

presentasi janin, apabila tidak, maka kista dapat diaspirasi.

2.2.3. Fistula Saluran Genital Akibat Persalinan

Pada partus macet, jaringan dari berbagai bagian saluran genital dapat tertekan di

antara kepala janin dan tulang panggul. Apabila tekanannya sngkat, tidak akan terjadi apa-

apa; tetapi apabila berkepanjangan, terjadi nekrosis dan dalam beberapa hari terjadi

kerontokan jaringan dan perforasi. Pada sebagian besar kasus, perforasi terjadi antara vagina

dan kandung kemih sehingga terbentuk fistula vesikovagina. Miklos dkk. (1995) melaorkan

suatu fistula vesikouterina yang sering terjadi setelah pelahiran pervaginam pada wanita

dengan riwayat seksio sesarea transversus rendah. Pada kasus-kasus lain yang jarang, bibir

serviks anterior tertekan ke simfisis pubis, dan akhirnya terbentuk saluran abnormal antara

kanalis servikalis dan kandung kemih, suatu fistula vesikoserviks. Apabila wanita yang

18

Page 19: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

bersangkutan tidak mengalami infeksi, fistula dapat sembuh secara spontan. Namun fistula

umumnya menetap sehingga kemudian diperlukan perbaikan.

2.3. Kelainan Serviks

2.3.1. Stenosis

Stenosis serviks sikatrikal dapat terjadi setelah kauterisasi luas atau persalinan sulit

yang disebabkan oleh infeksi dan destruksi jaringan dalam jumlah besar. Dari 10 kasus

distosia serviks berat setelah tindakan pada serviks yang dilaporkan oleh Gibbs dan Moore

(1968), riwayat konisasi merupakan penyebab pada enam kasus. Bedah beku dan terapi laser

lebih kecil kemungkinannya menyebabkan stenosis. Demkian juga, eksisi lengkung besar di

zona transformasi dengan diatermi tampaknya tidak mengganggu hasil kehamilan

selanjutnya. Amputas serviks, disertai penjahitan untuk menghasilkan hemostasis dan

mendorong reepitelisasi, dapat menyebabkan stenosis, walaupun lebih jarang dibandingkan

dengan inkompetensi serviks.

Akibat pendataran serviks pada saat persalinan, conglutinated cervix (serviks yang

saling melekat) dapat mengalami obliterasi total, tetapi os serviks mungkin tidak membuka.

Karena itu, bagian terbawah janin sering dipisahkan dari vagina hanya oleh suatu lapisan tipis

jaringan servks. Biasanya dengan dorongan dari ujung jari segera terjadi pembukaan lengkap,

walaupun pada beberapa kasus yang jarang mungkin diperlukan dilatasi manual atau insisi

silang. Stenosis serviks hampir selalu ‘kalah’ (membuka) sewaktu persalinan.

2.3.2. Karsinoma Serviks

Distosia dapat disebabkan oleh infiltrasi ekstensif serviks oleh karsinoma karena

pembukaan tdak adekuat bahkan setelah uterus berkontraksi.

2.4. Pergeseran Uterus

2.4.1. Antefleksi

Derajat antefleksi yang berlebihan dan sering dijumpai pada awal kehamilan tidak

memiliki makna klinis. Pada bulan-bulan selanjutnya, terutama apabila dinding perut terlalu

kendur, uterus dapat jatuh ke depan. Kadang-kadang uterus sedemikian menggayutnya

19

Page 20: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

sehingga fundus terletak di bawah batas bawah simfisis pubis. Antefleksi uterus hamil yang

berlebihan biasanya diakibatkan oleh diastasis rektum dan abdomen pendulosa. Apabila

posisi uterus di dalam abdomen menghambat transmisi wajar kontraksi uterus ke serviks,

pembukaan serviks serta cakapnya (engegement) bagian terbawah janin terhambat.

Perbaikan dapat dicapai dengan mempertahankan uterus dalam posisi mendekati normal

dengan stagenabdomen yang tepat.

2.4.2. Retrofleksi

Uterus yang mengalami retrofleksi itu sendiri bukan merupakan temuan patologis.

Jarang diperlukan tindakan selama kehamilan, dan pengecualiannya adalah pada kasus-kasus

jarang ketka uterus retrofleksi yang sedang tumbuh tetap terjepit di cekungan sakrum. Wanita

dengan uterus yang mengalami retrofleksi harus sering dievaluasi pada awal trimester kedua

untuk memastikan bahwa uterus tidak mengalami inkarserasi.

Gejala-gejala akibat uterus inkarserata biasanya mencakup rasa tidak nyaman di perut

dan kesulitan berkemih. Dapat juga terjadi retensi urin akut. Seiring dengan meningkatnya

tekanan dari kandung kemih yang membesar, sejumlah kecil urin keluar secara tidak sengaja,

tetapi kandung kemih tidak pernah benar-benar kosong – inkontinensia paradoksis. Obstruksi

urin dapat sedemikian parah sehingga terjadi azotemia. Apabila obstruksi dilatasi akan terjadi

diuresis besar. Setelah kateterisasi kandung kemih, uterus biasanya dapat didorong keluar

panggul dengan wanita berada dalam posisi lutut – dada (knee – chest). Kadang-kadang

diperlukan analgesi spinal atau anastes umum untuk melakukan reposisi. Seubert dkk. (1999)

menggunakan kolonoskopi untuk mengeluarkan uetrus inkarserata pada lima wanita. Saat

dilewatkan setinggi fundus, endoskop menimbulkan tekanan di anterior sehingga uterus

terlepas. Kateter dbiarkan di tempatnya sampai tonus kandung kemih pulih. Insersi sebuah

pesarium lunak biasanya dapat mencegah reinkarserasi. Letteri dkk. (1994) melaporkan tujuh

kasus inkarserata uterus yang tiga diantaranya tidak teratasi dengan tindakan sederhana ini.

Pada dua wanita, digunakan laparoskopi pada usia gestasi 13 sampai 14 minggu untuk

menggeser uterus keluar panggul menggunakan ligamentum rotundum sebagai traksi.

2.4.3. Sakulasi Uterus

20

Page 21: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Uterus hamil yang terus terperangkap di panggul dapat mengalami sakulasi anterior.

Friedman dkk. (1986) melaporkan satu kasus sakulasi uterus posterior setelah terapi agresif

terhadap adhesi intruterus (sindrom Asherman).

Walaupun jarang, uetrus yang terus terperangkap mungkin tidak banyak menimbulkan

gejala, namun terjadi pelebaran ekstensif bagian bawah korpus uterus untuk mengakomodasi

janin. Pada satu kasus di Parkland Hospital, saat seksio sesarea, bulbus kateter Foley terletak

tepat di atas uretra di kandung kemih setinggi umbilikus. Tinggi serviks juga setara. Sebagian

besar dari janin 2500 g yang hidup, cairan amnion, dan selaput ketuban terletak di dalam

suatu sakulasi dinding anterior segmen bawah yang sangat tipis. Kepala janin terperangkap di

bagian paling atas sakulasi, bersama dengan tiga lengkungan tali pusat, oleh sebuah cincin

konstriksi miometrium. Fundus uterus dan plasenta terletak di dalam panggul sejati di bawah

promontorium sakrum. Setelah persalinan, uterus segera berkontraksi dan menciut ke bentuk

normalnya.

Spearing (1978) menekankan pentingnya deskripsi distorsi secara anatomis. Ia

menyarankan bahwa temuan vagina yang memanjang melewat kepala janin yang terletak di

rongga panggul dalam mengisyaratkan sakulasi atau kehamilan abdominal. Ia juga

menganjurkan perluasan insisi abdomen sampai ke atas umbilikus dan pengeluaran

keseluruhan uterus gravid dari abdomen sebelum diupayakan insisi terhadapnya. Tindakan

sederhana ini akan memulihkan susunan anatomi struktur-struktur terkait dan mencegah insisi

tidak sengaja menembus vagina dan kandung kemih.

Engel dan Rushovich (1989) melaporkan suatu divertikulum uterus sejati yang

disangka sakulasi. Akhirnya, retroversi dapat salah disangka sebagai sakulasi uterus.

2.4.4. Prolaps Uterus Hamil

Pada bulan-bulan pertama kehamilan, seviks, dan kadang-kadang sebagian korpus

uteri, dapat menonjol dari vulva dengan derajat bervariasi. Namun, seiiring dengan kemajuan

kehamilan, korpus uteri biasanya bergerak ke atas bersamanya. Apabila uterus tetap berada

dalam posisi prolaps, dapat timbul gejala-gejala inkarserasi pada bulan ketiga atau keempat.

21

Page 22: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Pada awal kehamilan, uterus harus dikembalkan dan dipertahankan dalam posisi

dengan pesarium yang sesuai. Namun, apabila dasar panggul terlalu lemah sehingga pesarium

tidak dapat dpertahankan, wanita yang bersangkutan harus berbaring selama mungkin sampai

setelah bulan keempat. Apabila sebagian besar serviks tetap berada di luar vulva dan tidak

dapat dikembalkan, kehamilan harus dihentkan. Keberhasilan kehamilan dan bahkan

pelahiran per vaginam pernah dilaporkan setelah viksasi uterus uterosakrum sakrospinosa

untuk memperbaiki prolaps uteri yang parah.

2.4.5. Sistokel Dan Rektokel

Melemahnya fasia penunjang yang normalnya terletak di antara vagina dan kandung

kemih menyebabkan kandung kemih prolaps ke dalam vagina, atau sistokel. Melemahnya

fasia antara vagina dan rektum menyebabkan rektokel. Stasis kemih yang disebabkan oleh

sistokel besar akan memudahkan terjadinya infeksi. Rektokel besar dapat terisi oleh feses

yang kadang-kadang hanya dapat dikeluarkan secara manual. Sewaktu persalinan, kedua lesi

dapat menghambat penurunan normal janin kecuali apabila kedua kentung tersebut

dikosongkan dan didorong keluar dari jalan lahir. Sistokel sering diakibatkan oleh

inkontinensia stres urin akibat hilangnya sudut uretrovesika posterior. Hal ini dapat

diperparah oleh kehamilan akibat membesarnya uterus dan meningkatnya tekanan

intraabdominal. Para wanita ini memiliki tekanan penutupan uretra yang rendah yang tidak

cukup meningkat untuk mengkompensasi peningkatan progresif tekanan kandung kemih

yang ditimbulkan oleh pembesaran uterus.

2.4.6. Enterokel

Pada kasus-kasus yang jarang, kehamilan dipersulit oleh suatu enterokel besar yang

terisi oleh gulungan usus. Apabila menimbulkan gejala, penonjolan harus dikembalikan dan

wanita yang bersangkutan diharuskan terus berbaring. Apabila mengganggu pelahiran, massa

enterokel harus didorong atau dijaga agar tidak menghalangi jalan lahir.

Perbaikan prolaps uterus, sistokel, rektokel, dan enterokel secara bedah jangan

dilakukan selama periode antepartum atau intrapartum. Perbaikan definitif, sering dengan

22

Page 23: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

histerektomi vagina untuk prolaps uterus terkat dan sterilisasi, harus dilakukan setelah

hiperemia panggul yang dipicu oleh kehamilan mereda.

2.4.7. Torsio Uterus Hamil

Rotasi uterus hamil, umumnya ke kanan, sering terjadi selama kehamilan. Namun,

torsio dengan derajat yang cukup besar sampai menghentikan sirkulasi uterus dan

menimbulkan kegawatan abdomen jarang terjadi. Bakos dan Axelsson (1987) melaporkan

satu kasus levotorsio berat disertai deselerasi frekuensi denyut jantung janin berulang yang

mendorong segera dilakukannya seksio sesarea. Akibat torsio uterus yang ekstrim, insisi

secara tidak sengaja dilakukan di sisi posterior uterus. Seperti ditekankan oleh Spearing

(1978), uterus harus dkeluarkan dari abdomen sebelum insisi uterus dilakukan. Sherer dkk.

(1994) menekankan kenyataan bahwa keadaan ini dapat dikacaukan dengan kehamilan

abdomen. Keakuratan diagnosis antepartum mungkin meningkat dengan pemeriksaan MRI

dan identifikasi tanda X. Tanda ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam keadaan normal

vagina tampak pada MRI sebagai struktur berbentuk H; tetapi pada torsio uterus dan vagina

bagian atas, vagina tampak sebagai struktur berbentuk X.

2.5. Leiomioma Uteri

Leiomioma atau mioma uteri, yang secara salah disebut juga “fibroid”, sering

dijumpai selama kehamilan. Rice dkk. (1989) mendapatkan bahwa 1,4 persen dari lebih 6700

kehamilan mengalami penyulit mioma. Katz dkk. (1989) melaporkan bahwa 1 dari 500

wanita hamil dirawat inap akibat penyulit yang berkaitan dengan mioma.

Mioma uteri dapat terletak tepat di bawah permukaan endometrium atau desidua

rongga uterus (submukosa), tepat di bawah serosa uterus (subserosa), atau terbatas di

miometrium (intramural). Mioma intramural, seiring dengan pertumbuhannya, dapat

membentuk komponen subserosa atau submukosa , atau keduanya. Mioma subserosa atau

submukosa kadang-kadang melekat ke uterus hanya melalui sebuah tangkai (pedunkulata).

Tumor ini dapat mengalami torsio disertai nekrosis yang mungkin menyebabkan mioma

tersebut terlepas dari uterus. Kadang-kadang mioma subserosa menjadi parasitik, dan

23

Page 24: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

sebagian atau semua aliran darahnya berasal dari omentum yang banyak mengandung

pembuluh darah.

Mioma selama kehamilan atau masa nifas kadang-kadang mengalami degenerasi

“merah” atau “karnosa” akibat infark hemoragik. Gejala dan tandanya adalah nyeri lokal,

disertai nyeri tekan pada palpasi dan kadang-kadang demam ringan. Sering terjadi

leukositosis sedang. Kadang-kadang perineum parietalis yang menutupi mioma (yang

mengalami infark) meradang dan terjadi friction rub (bising gesek) peritoneum. Degenerasi

merah kadang-kadang sulit dibedakan dari apendisitis, solusio plasenta, batu ureter, atau

pielonefritis, tetapi teknik-teknik pencitraan yang akan kemungkinan besar akan banyak

membantu. Terapi berupa analgesia misalnya kodein. Umumnya gejala dan tanda mereda

dalam beberapa hari, tetapi peradangan dapat memicu persalinan.

Mioma dapat terinfeksi apabila terjadi abortus septik atau metritis masa nifas. Hal ini

paling sering terjadi apabila miomanya terletak dekat dengan tempat implantasi plasenta atau

terjadi perforasi mioma oleh instrumen, misalnya sonde atau kuret. Apabila mioma

mengalami infark, risiko infeksi meningkat dan kemungkinan penyembuhan infeksi

berkurang, kecuali apabila dilakukan histerektomi.

2.5.1. Efek Kehamilan

Efek stimulatorik kehamilan pada pertumbuhan mioma telah sejak lama di kenali

secara klinis. Efek ini kemudian diduga terjadi melelui reseptor estrogen dan progesteron

yang terdapat di jaringan uterus normal dan mioma. Sebenarnya, ekspansi cepat uterus yang

normal terjadi selama kehamilan besar kemungkinannya melibatkan mekanisme yang lebih

kompleks yang diperantarai sebagian oleh estrogen, progesteron, dan sejumlah faktor

pertumbuhan, terutama plateled – derived growth factor.

Selama fase sekretorik siklus mentruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen di

miometrium normal berkurang. Pada mioma, reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang

siklus menstruasi, tetapi ekspresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan. Reseptor

progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan.

Antigen terkait proliferasi sel Ki-67 lebih banyak di sel-sel miometrium selama kehamilan,

tetapi lebih tinggi lagi pada mioma sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Maka, faktor-

faktor yang merangsang pertumbuhan normal uterus selama kehamilan tampaknya adalah

24

Page 25: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

estrogen, progesteron, berbagai faktor pertumbuhan, dan meningkatnya sel-sel dengan

antigen Ki-67.

Efek stimulatorik mioma uteri pada wanita tidak hamil tampaknya terjadi akibat

meningkatnya reseptor estrogen dan progesteron, sel Ki-67, dan epidermal growth factor

(EGF, faktor pertumbuhan epidermis). EGF tampaknya dirangsang oleh estrogen.

Pengamatan-pengamatan ini mendukung konsep bahwa hormon atau faktor

pertumbuhan yang sama atau serupa yang biasanya merangsang pertumbuhan uterus selama

kehamilan, juga merangsang pertumbuhan leiomoma pada awal kehamilan. Hal ini dapat

menjelaskan pengamatan paradoks bahwa mioma besar tidak berubah atau mengecil pada

akhir kehamilan. Mungkin selama kehamilan reseptor estrogen mioma mengalami penurunan

(downregulated) akibat adanya estrogen dalam jumlah besar. Tanpa reseptor estrogen yang

efektif, peningkatan faktor pertumbuhan epdermis juga berkurang.

Lev-Toaff dkk. (1987), dengan menggunakan pemantauan ultrasonografi serial,

mengamati bahwa hanya separuh mioma yang ukurannya berubah secara bermakna selama

kehamilan. Secara spesifik, selama trimester pertama, mioma dari segala ukuran tidak

mengalami perubahan atau membesar. Selama trimester kedua, mioma kecil (2 sampai 6 cm)

biasanya tetap tidak berubah atau membesar, sedangkan mioma yang lebih besar mengecil

(dimulainya pengurangan reseptor estrogen). Berapapun ukuran awal mioma, selama

trimester ketiga ukuran mioma biasanya tidak berubah atau malah mengecil. Hal penting dari

pengamatan ini adalah bahwa pertumbuhan mioma tidak dapat diprediksi dengan akurat.

2.5.2. Efek Ukuran, Letak, Dan Jumlah Mioma Pada Kehamilan

Beberapa peneliti berupaya menilai efek ukuran, lokasi, dan jumlah mioma terhadap

kehamilan. Dalam kaitannya dengan ukuran, Rice dkk. (1989) menyimpulkan bahwa wanita

dengan mioma berukuran lebih dari 3 cm memperlihatkan peningkatan angka persalinan

preterm, solusio plasenta, nyeri panggul, dan seksio sesarea yang bermakna. Tumor

berukuran kurang dari 3 cm tidak bermakna secara klinis. Lev-Toaff dkk. (1987) mencatat

bahwa seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah mioma, terjadi peningkatan frekuensi

retensi plasenta, malpersentasi janin, dan kontraksi preterm yang signifikan. Hasan dkk.

(1990) tdak mendapatkan keterkaitan dalam hubungannya dengan ukuran mioma kecuali

meningkatnya kemungkinan obstruksi persalinan apabila ukuran mioma lebih dari 6 cm.

25

Page 26: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Davis dkk. (1990) serta Roberts dkk. (1999) mengamati tidak adanya hubungan antara

penyulit dengan ukuran, letak, dan jumlah mioma.

Coronado dkk. (2000) mengulas hasil-hasil akhir kehamilan pada 2065 wanita dengan

leiomioma yang dipastikan dari akte kelahiran negara bagian Washington. Solusio plasenta

dan presentasi bokong meningkat empat kali lipat, perdarahan trimester pertama dan

disfungsi persalinan dua kali lipat, dan seksio sesarea enam kali lipat. Kemungkinan solusio

plasenta tampaknya meningkat apabila plasenta berkontak atau menutupi suatu mioma uterus.

Abortus dan perdarahan pascapartum tidak meningkat kecuali apabila plasenta terletak di

samping atau menutup suatu mioma. Walaupun insiden perdarahan pascapartum tidak

meningkat, apabila terjadi maka perdarahan biasanya masif, sulit diatasi, dan sering hanya

dapat ditangani dengan histerektomi. Lev-Toaff dkk. (1987) mendapatkan peningkatan

insiden retensi plasenta pada kasus mioma segmen bawah uterus.

Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari laporan-laporan ini :

1. Pertumbuhan mioma selama kehamilan tidak dapat diperkirakan.

2. Implantasi plesenta yang menutupi atau berkontak dengan mioma meningkatkan

kemungkinan solusio plasenta, abortus, persalinan preterm, dan perdarahan pascapartum.

3. Mioma multipel meningkatkan insiden malposisi janin dan persalinan preterm.

4. Degenerasi mioma mungkin menimbulkan gambaran sonografik khas.

5. Insiden seksio sesarea meningkat.

Pada wanita dengan mioma uterus, perlu dipertimbangkan pemeriksaan ultrasonografi

serial sepanjang kehamilan.

2.5.3. Mioma Serviks

Mioma di serviks atau segmen bawah uterus dapat menghambat persalinan dan

mungkin disangka sebagai kelapa janin. Saat aterm diperlukan histerektomi sesarea. Mioma

yang terletak di dalam atau bersambungan dengan jalan lahir pada awal kehamilan dapat

tertarik ke atas seiring dengan membesarnya uterus sehingga pelahiran per vaginam tidak

terhambat. Keputusan mengenai metode pelahiran biasanya tidak dibuat sebelum awitan

persalinan.

26

Page 27: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

2.5.4. Pencitraan Mioma

Masalah penting yang perlu dipecahkan setelah ditemukannya suatu massa

abdominopelvis adalah memastikan etiologinya. Ultrasonografi telah sangat banyak

membantu tidak saja dalam mengidentifikasi massa secara tepat tetapi juga dalam mengikuti

kemajuan, regresi, dan resppons terhadap terapi. Terdapat keterbatasan-keterbatasan

sonografi dalam mengevaluasi massa di pelvis. Massa di ovarium (baik jinak maupun ganas),

kehamilan mola, kehamilan ektopik, missed abortion, kelainan usus, dan bahkan kepala janin

dapat saja disangka-sangka sebagai mioma uterus. Pada sebagian kasus dianjurkan

pemakaian pencitraan Dropler berwarna.

Untuk meningkatkan akurasi, beberapa dokter menganjurkan bahwa MRI

menggantikan, atau paling tidak berfungsi sebagai pemeriksaan tambahan bagi

ultrasonografi. Telah dilakukan perbandingan antara ultrasonografi dengan MRI pada

kelompok wanita yang sama, dan MRI terbukti lebih baik daripada ultrasonografi, terutama

dalam mengidentifikasi mioma uteri secara tepat. Namun, bahkan dengan MRI dapat terjadi

kesalahan dalam mendiagnosis mioma uteri. Hal ini kembali menekankan penting dan

sulitnya menegakkan diagnosis noninvasif bagi suatu massa abdominopelvis selama

kehamilan. Beberapa peneliti melaporkan teknik-teknik yang menggunakan MRI yang sangat

meningkatkan kehandalan identifikasi mioma uteri bila dibandingkan dengan struktur

panggul lainnya.

2.5.5. Miomektomi Selama Kehamilan

Miomektomi selama kehamilan harus dibatasi pada mioma yang jelas memiliki

tangkai yang dapat dijepit dan diikat dengan mudah. Mioma jarang dipotong dari uterus

selama kehamilan atau saat pelahiran, karena dapat terjadi perdarahan deras dan kadang-

kadang terpaksa dilakukan histerektomi. Walaupun Glavind dkk. (1990) berkeras bahwa

pendekatan agresif tidak akan meningkatkan kematian janin dibandingkan dengan tindakan

nonbedah, tetapi hal ini masih perlu dibuktikan. Biasanya mioma mengalami involusi nyata

setelah pelahiran; karena itu, miomektomi harus ditunda sampai terjadi involusi.

2.5.6. Miommektomi Sebelum Kehamilan

27

Page 28: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

Pengangkatan suatu leiomioma intramural sangat berbahaya bagi kehamilan

berikutnya. Setelah miomektomi, terjadi peningkatan bermakna risiko ruptur uteri pada

kehamilan berikutnya. Selain itu, ruptur dapat terjadi pada awal kehamilan dan jauh sebelum

persalinan. Apabila miomektomi menyebabkan defek yang mengenai atau dekat dengan

endometrium, kehamilan berikutnya perlu diakhiri sebelum terjadi persalinan aktif. Baru-baru

ini dilakukan embolisasi arteri pada mioma uteri wanita tidak hamil. Hasil dan penyulit pada

kehamilan dan setelah tindakan ini diketahui.

2.6. Endometrosis

Endometriosis aktif yang parah jarang menjadi penyulit kehamilan. Gejala klinis yang

aneh dan menjengkelkan dapat disebabkan oleh ruptur kista endometrium. Mungkin timbul

gambaran klinis yang mirip dengan gejala pielonefritis, apendisitis akut, atau kehamilan tuba.

Walaupun jarang, endometrioma panggul yang membesar dapat menyebabkan distosia; tetapi

sebagian besar wanita dengan endometriosis menjalani kehamilan dan persalinan tanpa

penyulit.

2.7. Adenomiosis

Azizz (1986) mengulas literatur selama 80 tahun terakhir dan melaporkan bahwa

adenomosis dan kehamilan terjadi bersamaan pada 17 persen wanita berusia lebih dari 35

tahun. Untungnya, keadaan ini jarang menyebabkan masalah obstetri atau bedah. Namun,

apabila terjadi, penyulit biasanya serius dan mencakup anatra lain ruptur uteri, kehamilan

ektopik, atonia uteri, dan plasenta previa. Kelahiran hidup dapat terjadi setelah terapi

adenomiosis dengan agonis gonadotropin-releasing hormone. Diagnosis adenomiosis yang

akurat dan noninvasif sekarang dapat dilakukan dengan teknik MRI.

2.8. Massa Ovarium

Semua jenis massa ovarium dapat menjadi penyulit pada kehamilan. Insiden tumor

dan kista bervariasi sesuai kelompok usia yang diteliti, serta pemakaian sonografi rutin

selama kehamilan. Dari kajian mereka, Katz dkk. (1993) mendapatkan insiden rata-rata

28

Page 29: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

massa adneksa sebesar 1 dalam 200 kehamilan. Whitecar dkk. (1999) melaporkan insiden

massa yang memerlukan laparotomi sebesar 1 dalam 1300 kehamilan. Koonings dkk. (1988)

melaporkan adanya satu neoplasma adneksa untuk setiap 197 seksio sasarea.

Tumor ovarium yang tersering dijumpai adalah tumor kistik. Whitecar dkk. (1999)

melaporkan 130 kasus massa adneksa yang didiagnosis selama kehamilan; 30 persennya

adalah teratoma kistik, 28 persen kistadenoma serosa atau musinosa, 13 persen kista korpus

luteum, dan 7 persen kista jinak lainnya. Dari 130 massa, 5 persen bersifat ganas. Separuh

dari keganasan ini adalah karsinoma serosa dengan potensi keganasan rendah. Pengamatan

serupa dilaporkan oleh Sunoo dkk. (1990). Hopkins dan Duchon (1986) mendapatkan bahwa

teratoma kistik jinak dan kista korpus luteum masing-masing merupakan penyebab pada

sepertiga kasus massa adneksa.

Penyulit palng sering dan paling serius dari kista ovarium jinak selama kehamilan

adalah torsio. Torsio menjadi penyulit pada 5 persen dari 130 massa adneksa. Torsio paling

sering terjadi pada trimester pertama, dan dapat menyebabkan ruptur kista ke dalam rongga

peritoneum. Ruptur kista juga dapat terjadi saat persalinan atau pelahiran secara bedah.

Apabila mengahambat panggul, tumor dapat menyebabkan ruptur uteri.

2.8.1. Penatalaksanaan

Pada awala kehamilan, ovarium mungkin membesar, menimbulkan kecurigaan

adanya neoplasma. Ovarium yang diameternya kurang dari 6 cm biasanya disebabkan oleh

terbentuknya korpus luteum. Thornton dan Wells (1987) melaporkan bahwa dengan

dikembangkannya sonografi beresolusi tinggi, dapat dilakukan pendekatan konservatif

terhadap kista ovarium berdasarkan karakterstik sonografiknya. Mereka menganjurkan

reseksi semua kista yang dicurigai mengalami ruptur, torsio, atau menghambat persalinan,

dan yang diameternya lebih dari 10 cm karena meningkatnya risiko kanker pada kista besar.

Kista yang ukurannya kurang dari 5 cm dapat dibiarkan. Pada kista dengan diameter 5 sampai

10 cm kista dapat menunggu apabila gambarannya berupa kista simpleks. Whitecar dkk.

(1999) menentang pendekatan ini karena separuh dari 41 wanita dengan kista simpleks pada

sonografi ternyata mengidap neoplasma. Dari 20 ini, terdapat dua yang mengidap tumor

serosa dengan potensi keganasan rendah. Sebagian besar sependapat bahwa apabila kista

29

Page 30: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

berukuran 5 sampai 10 cm memiliki septa atau nodulus, atau apabila terdapat komponen

padat, maka kista harus direseksi.

Fleischer dkk. (1990) menganjurkan observasi untuk wanita asimtomatik dengan

massa kurang dari 5 cm. Apabila massa membesar, menimbulkan gejala, atau

memperlihatkan gambaran sonografik yang mencurigakan, adanya keganasan sangat perlu

dipikirkan. Beberapa dar gambaran tersebut adalah septum ireguler, pertumbuhan papiler

berlebihan, atau daerah padat yang luas. Mereka melaporkan 49 wanita dengan teratoma

kistik ovarium berukuran kurang dari 6 cm yang didiagnosis secara sonografis. Selain

abortus, terjadi 63 kehamilan tanpa penyulit torsio, ruptur atau obstruksi persalinan.

Hess dkk. (1988) menganjurkan reseksi elektif setiap massa ovarium berukuran 6 cm

atau lebih yang menetap setelah 16 minggu. Mereka melaporkan perbaikan hasil akhir

kehamilan pada wanita yang menjalani tindakan ini dibandingkan dengan yang terpaksa

menjalani tindakan darurat karena mengalami ruptur, terpuntir, atau infark. Platek dkk.

(1995) melaporkan penatalaksanaan semacam ini pada massa adneksa persisten yang

ukurannya 6cm atau lebih termasuk yang bersifat simpleks atau kompleks. Mereka menyebut

insiden penyulit ini sebesar 1 per 1400 pada lebih dari 43.000 wanita setelah minggu ke-16.

Penelitian mereka bersifat retrospektif dan multi institusi; karenanya penanganan bervariasi.

Dari 31 wanita dengan massa persisten, 60 persen menjalani intervensi operatif. Sebagian

besar dari massa ini adalah kista jinak. Dari 12 wanita yang ditangani secara konservatif, lima

mengalami gejala dan dilakukan drainase kista ovarium jinak dengan gambaran sitologi

negatif. Laparoskopi pada usia gestasi antara 9 dan 17 minggu untuk mengangkat teratoma

kistik jinak pada 12 wanita. Walaupun 10 dari 12 tumor ini, 5 sampai 13 cm mengalami

ruptur saat dioperasi, tidak timbul tanda-tanda peritonitis.

2.8.2. Neoplasma Ovarium

Neoplasma ovarum ganas jarang terjadi selama kehamilan, tetapi insiden tumor ini

mungkin meningkat akibat dikenalinya tumor-tumor borderline atau berpotensi ganas ringan

serta pemakaian ultrasonografi secara luas.

BAB III

KESIMPULAN

30

Page 31: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

DAFTAR PUSTAKA

31

Page 32: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

1. Cunningham, F. Gary. Dkk. 2006. Obstetri Williams. Vol 2. Jakarta : EGC

2. Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

3. Sastrawinata S. Ginekologi. 1989. Obstetri dan Ginekologi. Bandung: Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran-Bandung Percetakan Elstar Offset.

4. Rayburn, William F. 2001. Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.

5. Mochtar, Rustam. 1995. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

32

Page 33: KELAINAN SALURAN REPRODUKSI

33