44
KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO SKRIPSI ADE FIDYA ASTUTI L211 13 313 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI

PULAU BARRANG LOMPO

SKRIPSI

ADE FIDYA ASTUTI

L211 13 313

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 2: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI

PULAU BARRANG LOMPO

Oleh :

ADE FIDYA ASTUTI

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Di Jurusan Perikanan

Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan

Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 3: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

ABSTRAK

Ade Fidya Astuti, L21113313. Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster

nodosus Pada Kerapatan Lamun Yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo

(dibimbing oleh Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. sebagai pembimbing utama dan Dr.

Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc. sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus serta perbedaany kelimpahannya, pada kepadatan lamun yang jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo, Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2017 di Pulau Barrang Lompo. Stasiun di tentukan berdasarkan kerapatan lamun, yaitu daerah lamun jarang (stasiun I) dan daerah lamun agak padat (stasiun II). Pengamatan sampel bintang laut dan lamun dilakukan pada saat air surut terendah di kedua stasiun. Hasil menunjukkan kelimpahan\ rata-rata bintang laut Protoreaster nodosus adalah 0,01 ind/m2 dengan kondisi rata-rata kerapatan lamun sebesar 63,6 (tegakan/m2) pada stasiun I (lamun jarang), sedangkan kepadatan rata-rata Protoreaster nodosus 0.028 ind/m2 dengan rata- rata kerapatan lamun sebesar 284,8 (tegakan/m2) pada stasiun II (lamun agak padat). Hasil uji korelasi antara kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus dengan kerapatan lamun jarang dan agak padat menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan lamun, maka akan tinggi pula kelimpahan bintang laut (hubungan posistif). Berdasarkan hasil uji-t, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kelimpahan bintang laut di lamun jarang (0.01 ind/m2) dengan lamun agak padat (0,028 ind/m2). Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem padang lamun di pulau Barrang Lompo masih memiliki peranan ekologis yaitu sebagai habitat bagi bintang laut Protoreaster nodosus.

Kata kunci : Bintang Laut, Protoreaster nodosus, lamun, kelimpahan bintang laut,

kerapatan lamun, Pulau Barrang Lompo

Page 4: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

ABSTRACT

Ade Fidya Astuti, L21113313. Starfish Protoreaster nodosus abundance at Different Seagrass Density in Barrang Lompo Island (supervised by Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. (main supervisor) and Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc. (co-supervisor). This study aims to determine the abundance of starfish Protoreaster nodosus at sparce and slightly-dense seagrass density in the waters of Barrang Lompo Island, as well as looking at the differences in the abundance of starfish Protoreaster nodosus at sparce and nearly-dense seagrass density in the waters of Barrang Lompo Island. This research was conducted from August to October 2017 at Barrang Lompo Island. Research sampling stations were determined based on the density of the seagrass, i.e. sparce seagrass (station I), and slightly-densed seagrass (station II). Starfish P. nodosus observation were conducted during low tide, at both stations, as well as seagrass measurement. Results showed that at station I (sparce seagrass), the average density of Protoreaster nodosus starfish was 0.01 ind /m2 with the average seagrass density of 63.6 (shoots /m2). At station II (dense seagrass), the average density of Protoreaster nodosus was found to be greater than that of station I of 0.028 ind /m2 with an average seagrass density of 284.8 (shoots /m2). The results of the correlation test between the abundance of starfish Protoreaster nodosus with sparce and slightly-dense seagrass density indicate that the higher the seagrass density, the higher the starfish abundance (positive relation). Based on the t-test analysis, there was a significant difference (p <0.05) between the abundance of seagrass in sparce seagrass (0.01 ind /m2) with nearly-dense seagrass (0.028 ind /m2). This shows that the seagrass ecosystem on Barrang Lompo Island still has an ecological role as habitats for starfish Protoreaster nodosus. Keywords: Starfish, Protoreaster nodosus, seagrass, starfish abundance, seagrass density, Barranglompo Island

Page 5: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA
Page 6: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ade Fidya Astuti yang merupakan

anak pertama dari empat bersaudara. Terlahir dari pasangan

Nurdin dan Syamsiah. Penulis lahir di Ujung Pandang pada

tanggal 21 Juni 1995. Penulis telah melewati pendidikan

formal sekolah taman kanak – kanak di TK Aisyiah Kec.

Tallo Kota Makassar pada tahun 2000, lanjut sekolah dasar

di SD Negeri Kalukuang I pada tahun 2001 - 2007, lanjut sekolah menengah

pertama di SMP Negeri 04 Makassar pada tahun 2007 - 2010, lanjut sekolah

menengah atas di SMA Negeri 04 Makassar pada tahun 2010 dan lulus pada

tahun 2013. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Hasanuddin di

program strata satu Manajemen Sumberdaya Perairan, Departemen Perikanan,

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan melalui jalur ujian Seleksi Bersama Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SBM–PTN).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengabdikan diri pada

masyarakat selama kurang lebih dua bulan di Kelurahan Minasate’ne, Kecamatan

Minasate’ne, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan dalam rangka Kuliah Kerja

Nyata (KKN) Reguler Angkatan 93 tahun 2016. Melakukan Praktek Kerja Lapang

(PKL) di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu

tugas akhir sebelum meraih gelar sarjana.

Penulis pernah menjadi asisten laboratorium di mata kuliah Biologi

Perikanan dan Dinamika Populasi. Penulis melakukan penelitian dengan judul

“Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus Pada kerapatan Lamun Yang

Berbeda di Pulau Barrang Lompo” di bawa bimbingan Dr. Ir. Nadiarti M.Sc. dan

Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc.

Page 7: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah

diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus Pada Kerapatan Lamun

Yang Berbeda di Pulau Barrang Lompo.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat diselesaikan berkat

adanya bantuan dari berbagai pihak yang tak henti-hentinya memberikan support

dan sumbangsih kepada penulis. Tanpa itu semua mungkin laporan ini tidak akan

selesai seperti yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih

penulis haturkan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan

laporan ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada :

1. Kedua orang tuaku (Ibunda Syamsiah dan Ayahanda Nurdin) yang

selalu memberikan dukungan dan motivasi serta do’a yang tulus kepada

putrinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc sebagai pembimbing utama dan Yayu Anugrah

La Nafie, ST, M.Sc. sebagai pembimbing lapangan yang telah memberi

bimbingan, arahan dan saran, baik di lapangan maupun dalam proses

pembuatan laporan ini. Sehingga segala kendala yang ditemui dapat

diselesaikan.

3. Ibu Dr. Irmawati, S.Pi, M.Si, ibu Ir. Suwarni, M.Si, Bapak Moh. Tauhid

Umar, S.Pi, MP sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya

dan banyak memberikan masukan, kritikan, serta arahan sehingga

proposal penelitian ini menjadi lebih baik.

4. Bapak Dody Priosambodo, S.Si, M.Si yang telah membimbing dan

memberikan arahan tambahan dalam kegiatan penelitian ini.

Page 8: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

5. Desti Age Paberu dan kanda Nurul Huda selaku teman selokasi, teman

seperjuangan penelitian dan yang selalu memberikan support dalam

menyelesaikan laporan ini. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

6. Teman – teman seperjuangan MSP #13 terimakasih atas dukungan dan

bantuannya selama menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini tidak terlepas dari segala

kekurangan sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan. Semoga kelak laporan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya

dan pembaca pada umumnya. Wassalam.

Makassar, Juni 2018

Penulis

Page 9: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

v

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ v

DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan .............................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3

A. Bintang Laut Protoreaster nodosus .......................................................... 3 B. Ekosistem Lamun ................................................................................................ 5

III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 8

A. Waktu dan Tempat ................................................................................... 8 B. Alat dan Bahan......................................................................................... 8 C. Prosedur Sampling ................................................................................... 9 D. Analisis Data .......................................................................................... 12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 15

A. Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus di Perairan Pulau Barrang Lompo ...................................................................................... 15

B. Kerapatan Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo ............................. 16 C. Analisis Statistik Kelimpahan Bintang Laut Protoreaster nodosus

Pada Kerapatan Lamun Jarang dan Agak Padat .................................... 20 D. Parameter Lingkungan ........................................................................... 22

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 24

A. Kesimpulan ............................................................................................ 24 B. Saran ..................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

LAMPIRAN ................................................................................................... 28

Page 10: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

vi

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1 Kategori tutupan lamun …….................................................. 6

2 Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan …………………………………………………......................... 7

3 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth…………………………………………………….... 12

4 Kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus..................... 15

5 Kisaran hasil pengukuran kualitas air..................................... 22

6 Karakteristik substrat dasar di lokasi penelitian...................... 23

Page 11: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1 Anatomi bintang laut Protoreaster nodosus.......................... 3

2 Bintang laut Protoreaster nodosus........................................ 5

3 Peta lokasi penelitian………………....……………………..... 8

4 Skema lokasi pengambilan data di Pulau Barrang Lompo... 10

5 Teknik pengambilan sampel lamun ………………………... 11

6 Kerapatan jenis lamun pada stasiun I.................................. 17

7 Kerapatan jenis lamun pada stasiun II................................. 18

8 Hubungan kelimpahan bintang laut pada kerapatan lamun jarang dan agak rapat …………………………….....……....

21

Page 12: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Protoreaster nodosus adalah salah satu jenis bintang laut yang berukuran

besar yang banyak ditemukan di perairan Indo-Pasifik. Spesies tersebut

memakan meiofauna, mikroorganisme dan makrofauna pasir, serta memilih

habitat berpasir seperti rataan pasir atau padang lamun (Bos, et al., 2008).

Bintang laut sebagai anggota kelompok Echinodermata, merupakan salah

satu biota yang berasosiasi kuat dengan padang lamun dan berperan dalam

siklus rantai makanan di ekosistem tersebut (Supono dan Arbi, 2010).

Bintang laut memiliki manfaat sebagai bahan campuran untuk membuat

pupuk. Selain itu ada juga nelayan yang memanfaatkan bintang laut sebagai

hiasan di dalam aquarium (Vangistuti, 2012).

Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu pulau di kawasan

Kepulauan Spermonde yang berada di wilayah administrasi kota Makassar.

Perairan di Pulau Barrang Lompo memiliki tipe dasar perairan yang landai

dengan hamparan padang lamun kurang lebih 1 km dari bibir pantai hingga tubir.

Perairan di Pulau Barrang Lompo memiliki beberapa jenis bintang laut di padang

lamun (Litaay, et al., 2007) dan paparan terumbu. Hal ini dapat juga dibuktikan

saat masyarakat setempat melakukan aktifitas mencari biota pada saat perairan

surut.

Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas

pembangunan di wilayah pesisir, maka tekanan terhadap ekosistem pesisir

khususnya padang lamun juga meningkat, akibatnya berdampak terhadap

rusaknya ekosistem tersebut dan menurunnya peran ekologis dari suatu

ekosistem (Arifin, et al., 2004).

Page 13: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

2

Beberapa peneliti (Litaay, et al., 2007) telah melakukan studi tentang

kepadatan bintang laut dengan mengkajinya secara umum, yaitu

makrozoobenthos di padang lamun namun tidak ada informasi mengenai

kepadatan bintang laut Protoreaster nodosus (secara spesifik) yang terdapat di

padang lamun dengan kondisi yang berbeda.

Penelitian ini dilakukan guna mengetahui kepadatan bintang laut

Protoreaster nodosus pada lamun jarang dan agak padat di perairan Pulau

Barrang Lompo.

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui perbedaan

kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus pada kerapatan lamun yang

jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo.

Kegunaan penelitian ini yaitu diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

dan sumber informasi tentang perbedaan kelimpahan bintang laut Protoreaster

nodosus pada kerapatan lamun yang jarang dan agak rapat di Pulau Barrang

Lompo, Makassar.

Page 14: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bintang Laut Protoreaster nodosus

1. Klasifikasi

Bintang laut adalah salah satu anggota dari filum Echinodermata dengan

klasifikasi sebagai berikut: (Clark dan Rowe,1971)

Kingdom : Animalia

Filum : Echinodermata

Ordo : Forcipulatida

Famili : Asteridae

Kelas : Asteroidea

Genus : Protoreaster

Spesies : Protoreaster nodosus

2. Morfologi

Gambar 1. Protoreaster nodosus: tampak dorsal (a); celah ambulacral

(b) pedicellaria berbentuk pinset (Puspitasari, et al., 2012)

Seluruh tubuhnya tertutup duri kecuali pada lekuk sisi oral yang disebut

celah ambulakral. Alat gerak berupa tabung telapak, biasanya 4 buah, terletak

dalam celah ambulakral. Dinding selom menonjol sebagai kantong yang disebut

branki atau papulae. Branki muncul di antara papan-papan kapur, dan berfungsi

sebagai alat pernapasan dan eksresi. Pada permukaan tubuhnya terdapat

Page 15: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

4

pediselariae, sebagai alat-alat tambahan dan berbentuk seperti angkup (forsep)

yang berguna untuk menghilangkan benda-benda asing pada permukaan

tubuhnya (Brotowidjoyo, 1989).

Bintang laut adalah makhluk hidup yang bebas, namun dikarenakan

ketiadaan organ gerak yang memadai, bintang laut hanya bergerak mengikuti

arus air laut. Bintang laut memiliki kekuatan regenerasi yang mengagumkan.

Apabila satu lengan putus, lengan baru akan tumbuh kembali. Bila cakram

tengah ditempelkan ke tangan yang terpotong, individu baru dapat tumbuh dari

bagian yang terpotong tersebut (Niel, et al., 2003). Sistem reproduksi pada

bintang laut, yaitu dengan sistem fertilisasi yang terjadi di luar (eksternal), yaitu di

dalam air laut atau di luar tubuhnya. Telur yang telah dibuahi akan membelah

secara cepat menghasilkan blastula, dan selanjutnya berkembang menjadi

gastrula. Gastrula ini berkembang menjadi larva. Larva atau disebut juga

bipinnaria berbentuk bilateral simetri. Larva ini berenang bebas di dalam air

mencari tempat yang cocok hingga menjadi branchidaria, lalu mengalami

metamorfosis dan akhirnya menjadi dewasa, setelah dewasa bentuk tubuhnya

berubah menjadi radial simetri.

3. Kelimpahan

Kelimpahan merupakan banyaknya individu dari satu spesies dalam

satuan meter kuadrat. Kelimpahan suatu vegetasi dipengaruhi oleh frekuensi,

kerapatan dan dominasi jenis. Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran

suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata akan

mempunyai nilai frekuensi yang besar. Kerapatan suatu jenis menunjukkan nilai

yang menggambarkan seberapa banyak atau jumlah jenis per satuan luas.

Semakin besar nilai kerapatan jenisnya maka semakin banyak jumlah individu

yang berada dalam satuan luas tersebut (Krebs, 2000)

Page 16: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

5

Gambar 2. Bintang laut Protoreaster nodosus(sumber: pribadi)

B. Ekosistem Lamun

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang memiliki

produktivitas organik yang tinggi. Padang lamun merupakan salah satu

lingkungan yang mampu memberikan dukungan bagi biota-biota yang tinggal di

sekitarnya untuk mencari makan dan tempat berlindung dari ancaman para

predator, terutama saat masih anakan, seperti salah satu contohnya adalah

Echinodermata. (Tomascik et al., 1997).

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

(Angiospermae), yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati, yang hidup

terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas

di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai

bagi pertumbuhannya. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-

zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar padang

lamun (Bengen, 2002).

Jumlah jenis lamun di dunia dikelompokkan dalam 12 genus, empatfamili,

dan dua ordo. Perairan Indonesia tercatat memiliki 12 jenis lamun, yaitu

Page 17: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

6

Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule

pinifolia, Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium

isoetiflium, Thalassia hemprichii, dan Thalassodendron ciliatum. Namun, apabila

Halophila beccarri dan Ruppia maritime yang herbariumnya dapat ditemui di

Herbarium Bogoriense-Bogor, maka jumlah jenis lamun di Indonesia adalah 14

jenis (Kiswara dan Winardi, 1994).

Sebagai ekosistem di wilayah pesisir, keberadaan padang lamun di suatu

perairan mempunyai manfaat ganda baik secara ekonomis maupun ekologis.

Secara ekonomis, lamun telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan,

pakan ternak, bahan baku kertas, bahan kerajinan, pupuk dan obat (Hutomo dan

Azkab,1987).

1. Pengamatan Kondisi Lamun

Pengamatan terhadap penutupan lamun, merupakan estimasi persentase

luasan dalam plot transek yang tertutupi lamun. Persentase tutupan lamun

adalah proporsi luas substrat yang ditutupi vegetasi lamun dalam satu satuan

luas yang diamati tegak lurus dari atas.

Tabel 1. Kategori tutupan lamun (COREMAP-CTI, 2014)

Persentase penutupan (%) Kategori

0 - 25 Jarang

26 - 50 Sedang

51 - 75 Padat

76 - 100 Sangat Padat

Pengukuran kerapatan lamun dilakukan dengan menghitung jumlah

individu lamun dalam plot transek. Kerapatan lamun adalah jumlah individu

lamun per satuan luas area.

Page 18: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

7

Tabel 2. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan (Amran, 2011).

Klas Kerapatan (Ind/m2) Kondisi

5 ≥ 625 Sangat rapat

4 425 – 624 Rapat

3 225 – 424 Agak rapat

2 25 – 224 Jarang

1 < 25 Sangat jarang

Page 19: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

8

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – Oktober 2017 di perairan

Pulau Barrang Lompo, yang didahului observasi awal untuk penentuan lokasi.

Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka penelitian ini dilakukan pada dua

stasiun dengan kerapatan berbeda yaitu Stasiun I (lamun jarang) terletak di

bagian Barat Pulau Barrang Lompo dan Stasiun II (lamun agak padat) terletak di

bagian Tenggara Pulau Barrang Lompo. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Peta Lokasi Pulau Barrang Lompo

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat GPS (Global

Positioning System) sebagai alat penentuan titik koordinat untuk lokasi

penelitian, rol meter sebagai alat untuk mengukur penarikan transek dari garis

pantai hingga ditemukannya lamun, plot ukuran 10 x 10 m sebagai pembatas

Page 20: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

9

sampel bintang laut, transek kuadrat 0,5 x 0,5 m sebagai pembatas kerapatan

lamun, alat tulis untuk mencatat data yang diambil pada lokasi penelitan, alat

masker dan snorkel untuk membantu pengamatan di laut, kamera underwater

sebagai alat dokumentasi pengamatan di laut, refraktometer untuk mengukur

salinitas air laut, water quality checker untuk mengukur kualitas air laut (suhu,

pH, dan DO), serta pompa yabbiy untuk mengambil substrat dan sedimen.

Adapun bahan yang digunakan di lapangan yaitu bintang laut

Protoreaster nodosus dan tumbuhan lamun.

C. Prosedur Sampling

Prosedur sampling meliputi tahap persiapan, penentuan lokasi penelitian,

pengambilan data lamun, bintang laut, dan pengukuran parameter lingkungan.

1. Tahap persiapan

Menyiapkan alat-alat dan bahan yang akan digunakan serta

pengumpulan referensi sebagai panduan dalam penelitian.

2. Penentuan Stasiun

Berdasarkan hasil observasi awal dengan memperhatikan keadaan lamun

dari lokasi penelitian secara keseluruhan di Pulau Barrang Lompo, penentuan

stasiun pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerapatan lamun yaitu stasiun I

dengan kerapatan lamun jarang dan stasiun II dengan kerapatan lamun agak

rapat. Stasiun I berada di bagian Barat pulau dan Stasiun II berada di bagian

Tenggara pulau. Pengambilan garis transek tiap stasiun dimulai dari tepi pantai

yang ditumbuhi lamun sejauh 10 m ke laut, dan juga sejajar garis pantai

sepanjang 100 m dengan menggunakan rol meter. Penentuan titik garis transek

pada lokasi penelitian menggunakan alat GPS (Global Positioning System).

Page 21: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

10

3. Pengamatan Sampel Bintang Laut P. nodosus dan Lamun

Pengamatan sampel bintang laut P. nodosus dilakukan pada dua stasiun,

dimana masing – masing stasiun terdiri atas 10 plot yang berukuran 10 m x 10 m.

Pengamatan lamun dilakukan menggunakan transek kuadran yang berukuran

0,5 m x 0,5 m sebanyak 10 kali pengulangan pada masing-masing stasiun

(Gambar 4).

Gambar 4. Skema lokasi pengambilan data di Pulau Barrang Lompo

Keterangan :

: : Plot 10 m x 10 m

: Transek kuadrat 0,5 m x 0,5 m

Pengamatan sampel bintang laut Protoreaster nodosus pada dua stasiun

dilakukan secara langsung dengan bantuan masker dan snorkel, untuk hasil

pengamatan sampel bintang laut dan lamun dicatat pada sabak menggunakan

alat tulis. Saat melakukan penelitian dilakukan juga pengambilan dokumentasi

Page 22: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

11

bintang laut dengan menggunakan kamera under water. Selanjutnya, dilakukan

identifikasi jenis lamun secara langsung dengan mengacu pada panduan

monitoring padang lamun (Hutomo dan Nontji, 2014). Adapun teknik pengamatan

sampel lamun dapat dilihat di bawah ini (Gambar 5).

0,5 m

Gambar 5. Teknik pengamatan lamun

Perhitungan kerapatan lamun dilakukan dengan menggunakan transek

kuadran 0,5 m x 0,5 m di dalam area plot yang berukuran 10 m x 10 m. Pada

stasiun 1 dilakukan pelemparan secara acak sebanyak 10 kali, begitupun dengan

stasiun 2.

4. Parameter Lingkungan

Pengambilan data dilakukan secara insitu, yaitu pengambilan data secara

langsung di lapangan pada saat penelitian. Data parameter lingkungan yang

diukur pada saat penelitian adalah suhu, pH, salinitas, dan DO. Pengukuran

suhu, pH, dan DO dengan menggunakan water quality checker yaitu dengan

cara alat tersebut dicelupkan beberapa centimeter ke dalam laut setelah itu hasil

yang terlihat dicatat pada sabak menggunakan alat tulis, begitu pula dengan

pengukuran salinitas yang menggunakan refraktometer.

Page 23: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

12

Pengambilan substrat bertujuan untuk mengetahui sebaran butiran

sedimen. Substrat diambil dengan menggunakan pompa yabby lalu dimasukkan

ke dalam plastik sampel, setelah itu dibawa ke Laboratoriun Kualitas Air,

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, untuk dianalisis.

Substrat disaring dengan menggunakan saringan bertingkat dan

mengklasifikasikan tipe butiran sedimen hasil saringan berdasarkan skala

Wentworth yang dapat dilihat dibawah ini (Tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan Skala Wentworth (Holme

dan McIntyre 1971 dalam Amrul, 2004)

No. Nama Partikel Ukuran (mm)

1. Batuan(Boulder) >256

2. Batuan bulat (Cobble) 256 – 64

3. Batuan krikil(Pebble) 64 – 4

4. Butiran(Granule) 4 – 2

5. Pasir paling kasar(Very coarse sand) 2 – 1

6. Pasir kasar(Coarse sand) 1 – 0.5

7. Pasir sedang(Medium sand) 0.5 – 0.25

8. Pasir halus(Fine sand) 0.25 – 0.125

9. Pasir sangat halus(Very fine sand) 0.125 – 0.0625

10. Lumpur(Silt) 0.0625 – 0.0039

11. Liat(Clay) <0.0039

D. Analisis Data

1. Analisis data yang digunakan dalam pengamatan lamun yaitu :

Kerapatan jenis lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et

al.,1989 dalam Syari, 2005)

Di = ni / A

Page 24: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

13

Keterangan :

Di = Kerapatan jenis (tegakan/ m2)

ni = Jumlah total tegakan spesies (tegakan)

A = Luas daerah yang di sampling (m2)

2. Kepadatan Bintang Laut

Kepadatan bintang laut dihitung dengan persamaan :

D =

Keterangan :

D = kepadatan bintang laut (ind/m2)

Ni = jumlah individu bintang laut di setiap stasiun

A = luas daerah pengamatan

3. Analisis Statistik Kelimpahan Bintang Laut P. nodosus Pada Kerapatan

Lamun Jarang dan Agak Padat

Analisa korelasi sederhana dengan menggunakan program Micrososft

Excel, variable (x) adalah kerapatan lamun dan variable (y) adalah kelimpahan

bintang laut P. nodosus. Analisa korelasi ini dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara kelimpahan bintang laut P. nodosus pada kerapatan lamun

yang jarang dan agak rapat di perairan Pulau Barrang Lompo. Nilai korelasi (r)

berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan

anatara dua variable semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti

hubungan antara dua variable semakin lemah. Nilai positif menunjukan

hubungan searah (x naik, maka y naik) dan nilai negatif menunjukan hubungan

terbalik (x naik, maka y turun).

Menurut Sugiyono (2007), pedoman untuk memberikan interpretasi

koofisien korelasi adalah sebagai berikut :

a. 0,00 - 0,199 = sangat rendah

Page 25: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

14

b. 0,20 - 0,399 = rendah

c. 0,40 - 0,599 = sedang

d. 0,60 - 0,799 = kuat

e. 0,80 - 1,000 = sangat kuat

Page 26: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelimpahan Bintang Laut P. nodosus di Pulau Barrang Lompo

Pada penelitian ini spesies yang digunakan adalah bintang laut

Protoreaster nodosus. Jumlah bintang laut Protoreaster nodosus pada stasiun I

yaitu lamun jarang (63,6 ind/m2) dan stasiun II yaitu lamun agak padat (284,8

ind/m2) di perairan Pulau Barrang Lompo dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelimpahan bintang laut P. nodosus

Plot Stasiun I (lamun jarang)

Stasiun II (lamun agak padat)

Jumlah Kelimpahan Jumlah Kelimpahan

1 2 0.02 4 0.04

2 1 0.01 3 0.03

3 0 0 3 0.03

4 2 0.02 2 0.02

5 1 0.01 2 0.02

6 0 0 3 0.03

7 3 0.03 4 0.04

8 1 0.01 3 0.03

9 0 0 2 0.02

10 0 0 2 0.02

Jumlah 10 0.1 28 0.28

Rata rata (ind/m2) 1 0.01 2.8 0.028

Secara keseluruhan, jumlah bintang laut Protoreaster nodosus yang

didapatkan pada stasiun I yaitu sebanyak 10 individu sedangkan pada stasiun II

yaitu sebanyak 28 individu (Tabel 4) . Rata - rata kelimpahan bintang laut P.

nodosus pada stasiun I yaitu 0,01 ind/m2 sedangkan pada stasiun II yaitu 0,028

ind/m2. Umumnya masing-masing jenis bintang laut memiliki habitat yang spesifik

seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan sedikit

ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini

disebabkan makanan utamanya adalah detritus (Susetiono, 2007). Berdasarkan

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada stasiun I dan II yang terdiri atas 10 plot

pengambilan sampel dimana data bintang laut yang didapatkan yaitu beragam.

Page 27: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

16

Jika dibandingkan dengan stasiun I, jumlah individu bintang laut Protoreaster

nodosus pada stasiun II di tiap-tiap plot lebih banyak. Hal ini dimungkinkan oleh

kerapatan lamun yang mengalami keragaman pada tiap – tiap plot di stasiun I

dan II. Menurut Sloan (1980) dalam Puspitasari, et al., (2012) Protoreaster

nodosus ditemukan di daerah padang lamun dan hidup dari alga yang menempel

pada daun lamun yang telah membusuk. Sebagian besar bintang laut

berdasarkan penelitian Puspitasari (2012) mengenai Studi Taksonomi Bintang

Laut (Asteroidea, Echinodermata) Dari Kepulauan Karimunjawa, Jepara

mengatakan bahwa sebagian besar bintang laut termasuk pemakan detritus

salah satunya P. nodosus. Hewan pemakan detritus berperan dalam mendaur

ulang detritus serta mengembalikannya kedalam rantai makanan.

B. Kerapatan Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo

Menurut Amran (2011) skala kondisi padang lamun berdasarkan

kerapatan dikategorikan dalam 5 klas, klas 1 untuk lamun dengan kerapatan <25

tegakan/m2 termasuk dalam kondisi sangat jarang, klas 2 untuk lamun dengan

kerapatan berkisar 25 – 224 tegakan/m2 termasuk dalam kondisi jarang, klas 3

dengan kerapatan berkisar 225 - 424 tegakan/m2 termasuk dalam kondisi agak

rapat, klas 4 dengan kerpatan berkisar 425 – 624 tegakan/m2 termasuk dalam

kondisi rapat, klas 5 dengan kerapatan ≤ 625 termasuk dalam kondisi sangat

rapat. Kerapatan lamun yang dihasilkan di perairan Pulau Barrang Lompo pada

stasiun I yaitu 63,6 tegakan/m2 yang termasuk dalam skala 2 dengan nilai

kerapatan 25 - 224 tegakan/m2 yang berarti lamun yang berada pada stasiun I

tergolong lamun dengan kondisi jarang, skala kerapatan lamun diketahui untuk

menentukan kondisi padang lamun. Jenis lamun yang memiliki kerapatan

tertinggi pada stasiun I adalah Thalassia hemprichii yaitu 41,2 tegakan/m2.

Sedangkan kerapatan lamun pada stasiun II yaitu 284,8 tegakan/m2 termasuk

Page 28: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

17

dalam klas 3 dengan kerapatan berkisar 225 - 424 tegakan/m2 yang berarti

lamun pada stasiun II tergolong kondisi agak rapat. Hasil perhitungan rata-rata

kerapatan jenis lamun di stasiun I dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Kerapatan jenis lamun pada stasiun I

Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan jenis, diperoleh lamun jenis

Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang paling tinggi dibandingkan dengan

lamun jenis lain pada stasiun I (Gambar 6) yaitu dengan nilai kerapatan 41,2

tegakan/m2. Enhalus acoroides dengan nilai kerapatan 15,6 tegakan/m2,

sedangkan Cymodocea rotundata merupakan lamun dengan nilai kerapatan

paling rendah dibandingkan dengan jenis lain yaitu dengan nilai kerapatan 6,8

tegakan/m2. Pada stasiun II (Gambar 7) ditemukan kerapatan jenis lamun yang

tertinggi adalah Cymodocea rotundata yang diikuti dengan Thalassia hemprichii.

Adanya variasi tingkat kerapatan jenis di masing-masing stasiun yang berbeda

menunjukkan adanya tingkat adaptasi yang berbeda-beda dari masing-masing

jenis lamun. Hal tersebut ditemukan pula oleh Feryatun, et al., (2012) di Pulau

Pramuka Kepulauan Seribu, dan Septian, et al., (2016) di perairan Desa Sebong

Pereh Kabupaten Bintan bahwa terdapat tingkat adaptasi yang berbeda-beda

dari masing-masing jenis lamun terhadap lingkungannya.

6.8

41.2

15.6

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Enhalus acoroides

Ke

rap

atan

(te

gaka

n/m

2)

Jenis lamun

Page 29: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

18

Vegetasi lamun diperairan Pulau Barrang Lompo membentuk suatu

hamparan padang lamun yang tersebar mulai dari pantai utara, pantai barat, dan

pantai selatan. Sedangkan untuk pantai timur vegetasi lamun tidak terlalu luas

sehingga tidak membentuk suatu hamparan padang lamun. Kondisi substrat

yang memiliki kecenderungan mengalami pendangkalan diduga sangat

berpengaruh terhadap sedikitnya vegetasi lamun yang bisa tumbuh pada sisi

timur pulau tersebut (Arifin, et al,. 2004).

Gambar 7. Kerapatan jenis lamun pada stasiun II

Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan jenis, diperoleh lamun

Cymodocea rotundata dengan nilai kerapatan 138,8 tegakan/m2 pada stasiun II

sedangkan kerapatan yang terendah yaitu jenis Enhalus acoroides dengan nilai

kerapatan 1,2 tegakan/m2.

Berdasarkan skala kerapatan menurut Amran (2010), Cymodocea

rotundata dengan nilai kerapatan 138,8 tegakan/m2 tergolong dalam skala 2

dengan kerapatan berkisar 25 - 224 tegakan/m2 yang termasuk lamun dengan

kondisi kerapatan jarang. Kerapatan lamun terendah yaitu jenis Enhalus

138.8

80

1.2

60

4.8

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Cymodocearotundata

Thalassiahemprichii

Enhalusacoroides

Syringodiumisotifolium

Holoduleuninervis

Ke

rap

atan

(te

gaka

n/m

2)

Jenis lamun

Page 30: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

19

acoroides tergolong dalam skala 1 yaitu sangat jarang yaitu < 25 tegakan/m2

yang termasuk lamun dengan kondisi kerapatan sangat jarang.

Pantai barat perairan pulau Barrang Lompo dihuni oleh penduduk yang

cukup padat serta pada perairan pantainya merupakan daerah tambatan perahu

terutama pada musim timur. Fenomena ini berdampak terhadap kondisi vegetasi

lamun di daerah tersebut (Arifin, et al., 2004).

Kerapatan lamun pada stasiun II memiliki nilai yang cukup tinggi

dibanding pada stasiun I. Perbedaan kerapatan lamun pada tiap stasiun

kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti topografi pantai, aktivitas

manusia/penduduk pada setiap sisi pulau.

Menurut Nienhuis, et al., (1989) dalam Kiswara (2010) menemukan

bahwa kerapatan tunas lamun per luasan area tergantung pada jenisnya. Jenis

lamun yang mempunyai morfologi besar seperti Enhalus acoroides mempunyai

kerapatan yang rendah dibandingkan dengan jenis lamun yang mempunyai

morfologi kecil seperti jenis Cymodocea rotundata dengan kerapatan yang tinggi.

Menurut Tomascik et al., (1997) dalam Wicaksono (2012), jenis T.

hemprichii sering ditemukan melimpah pada daerah yang memiliki substrat dasar

pasir lanau, pasir kasar, dan pecahan karang. Menurut Lanyon (1986), secara

morfologis jenis ini memiliki rimpang yang tebal dan kokoh sehingga

memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi.

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), lamun Halophila terdapat di

pantai berpasir, di paparan terumbu, dan di pasir berlumpur dari paras pasang

surut rata-rata sampai batas bawah dari mintakat pasang surut. Jenis E.

acoroides tumbuh di perairan yang memiliki dasar pasir berlumpur pada

lingkungan terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas

atas mintakat litoral, sedangkan jenis C. rotundata tumbuh pada pantai berpasir

dan pasir berlumpur.

Page 31: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

20

C. Analisis Statistik Kelimpahan Lamun Pada Kerapatan Lamun Jarang

dan Agak Padat

Salah satu fungsi lamun bagi organisme asosiasinya adalah sebagai

habitat (tempat tinggal). Berdasarkan hasil uji-t (Lampiran 4), terdapat perbedaan

yang nyata (p<0.05) antara kelimpahan bintang laut di lamun jarang-sedang

(0.01 ind/m2) dengan lamun agak padat (0,028 ind/m2). Hal ini menunjukkan

bahwa ekosistem padang lamun di pulau Barrang Lompo masih memiliki peranan

ekologis yaitu sebagai habitat bagi bintang laut P. nodosus. Namun, bila

dibandingkan dengan hasil studi sepuluh tahun lalu di pulau yang sama,

kelimpahan P. nodosus di padang lamun sebesar 0,2-0,4 ind/m2 (Litaay, et al.,

2007) dapat menunjukkan bahwa bintang laut P. nodosus di Pulau Barrang

Lompo telah mengalami tekanan populasi yang sangat besar akibat terjadinya

penurunan kerapatan lamun di perairan Pulau Barrang Lompo.

Untuk melakukan analisa korelasi sederhana antara kelimpahan bintang

lau Protoreaster nodosus dengan kerapatan lamun jarang dan padat yaitu

dengan menggunakan program Micrososft Excel, variable (x) adalah kerapatan

lamun dan variable (y) adalah kelimpahan bintang laut P. nodosus.

Hasil analisa korelasi sederhana (r) antara kelimpahan bintang laut P.

nodosus dengan kerapatan lamun jarang (Lampiran 5), nilai (r) yang diperoleh

sebesar 0,2246. Menurut Sugiyono (2007) pada rentang nilai (r) = 0,00 - 0,199

termasuk dalam rentang hubungan yang rendah. Arah hubungan adalah positif

karena nilai (r) positif, artinya semakin tinggi tingkat kerapatan lamun maka akan

tinggi pula kelimpahan bintang laut P. nodosus. Hubungan kelimpahan bintang

laut pada kerapatan lamun jarang dan agak padat dapat dilihat pada Gambar 9.

Page 32: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

21

(a)

(b)

Gambar 8. Hubungan kelimpahan bintang laut pada (a) kerapatan lamun jarang dan (b) kerapatan lamun agak padat

Hasil analisa korelasi sederhana (r) didapatkan korelasi antara

kelimpahan bintang laut P. nodosus dengan kerapatan lamun agak padat

(Lampiran 5), nilai (r) yang diperoleh sebesar 0,2004. Menurut Sugiyono (2007)

pada rentang nilai (r) = 0,20 - 0,399 termasuk dalam rentang hubungan yang

rendah. Arah hubungan adalah positif karena nilai (r) positif, artinya semakin

tinggi tingkat kerapatan lamun maka akan tinggi pula kelimpahan bintang laut P.

nodosus, mengingat ekosistem lamun merupakan daerah untuk mencari makan,

daerah asuhan dan daerah perlindungan bagi organisme bentik khususnya

y = 0.0005x + 0.0038 R² = 0.0505

0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0.03

0.035

0 5 10 15 20 25

Ke

rap

atan

lam

un

(te

gaka

n/m

2 )

Kelimpahan bintang laut (ind/m2)

y = 0.0002x + 0.0188 R² = 0.0402

0

0.005

0.01

0.015

0.02

0.025

0.03

0.035

0.04

0.045

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Ke

rap

atan

lam

un

(te

gaka

n/m

2)

kelimpahan bintang laut (ind/m2)

Page 33: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

22

epifauna, hal tersebut diperkuat oleh Bengen (2001), yang menyatakan bahwa

ekosistem lamun mempunyai fungsi penting bagi wilayah pesisir dan laut

diantaranya adalah sebagai produsen detritus dan zat hara, sedimen yang

menstabilkan substrat yang lunak dengan mengikat system perakaran yang kuat

(padat dan saling menyilang) sebagai tempat berlindung, mencari makan,

tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut. Selain itu lamun juga

sebagai pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan

matahari.

D. Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan yang akan diukur pada kelimpahan bintang laut

yaitu: suhu, pH, salinitas, DO, dan substrat. Kualitas air yang diukur pada lokasi

penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran hasil pengukuran kualitas air

Kisaran nilai kualitas air

Suhu (oC) 28 - 31.5

Salinitas 32 – 33

pH 7.4 - 7.8

DO (ppm) 3.6 - 4.9

Berdasarkan hasil pengukuran suhu perairan Pulau Barrang Lompo

didapatkan suhu dari stasiun I dan II yaitu berkisar antara 28 – 31,5 oC, lalu hasil

pengukuran pH perairan Pulau Barrang Lompo didapatkan dari stasiun I dan II

berkisar 7,4 – 7,8. pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di

suatu perairan, perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan

mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum,

1994).

Page 34: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

23

Kisaran salinitas perairan pada stasiun I dan stasiun II adalah 32 – 33.

Kisaran salinitas tersebut masih tergolong normal, karena kisaran salinitas yang

masih mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna

makrobenthos termasuk echinodermata adalah 15-35 ppt (Hutabarat dan

Evans,1985). Selain suhu, salinitas juga merupakan faktor abiotik yang sangat

menentukan penyebaran biota laut.

Selain pengukuran beberapa parameter kualitas perairan (Tabel 6), hasil

pengukuran komposisi substrat dasar perairan Pulau Barrang Lompo dapat

dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik Substrat Dasar di Lokasi Penelitian

Tekstur sedimen Komposisi (%)

Pasir (sand) 92 – 95

Silt (lanau) 2 – 6

liat 2 – 4

Fraksi substrat yang dihasilkan ada tiga yaitu pasir, silt, dan liat. Fraksi

pasir mendominasi kedua stasiun yang memiliki komposisi sebanyak 92 – 95 %

diikuti oleh fraksi silt yang sangat jauh perbedaan nilainya dari pasir yaitu 2 – 6

%, lalu nilai yang paling rendah terdapat pada liat yaitu 2 – 4 %. Secara umum,

biota laut seperti echinodermata menyukai substrat yang agak keras juga

substrat campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang.

Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen penting bagi kehidupan

organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan

komposisi jenis dari hewan bentos (Odum, 1994).

Page 35: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

24

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa pada stasiun I (lamun jarang) dihasilkan

kelimpahan bintang laut P. nodosus lebih rendah yaitu 0,01 ind/m2 dibandingkan

pada stasiun II (lamun agak padat) yang menghasilkan lebih tinggi kelimpahan

bintang laut Protoreaster nodosus yaitu 0.028 ind/m2.

B. Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah : untuk penelitian selanjutnya, titik

pengambilan sampel atau lokasi penelitian sebaiknya dilakukan dalam beberapa

transek dengan titik yang berbeda kemudian bandingkan agar informasi yang

didapatkan lengkap.

Page 36: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

25

DAFTAR PUSTAKA

Amran, M. A . 2011. Estimasi Kondisi Padang Lamun Berbasis Transformasi Nilai

Radiansi Citra Quiqbird dan Alos Avnir-2. Disertasi. Institut Tekonologi Bandung.

Amrul. N, Z, M, H. 2004. Kualitas Fisika Kimia Sedimen serta hubunganya terhadap Struktur Makrozoobentos di Estuaria Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Institut Pertanian Bogor. Arifin, La Nafie YA dan Supriadi. 2004. Studi kondisi dan potensi ekosistem

padang lamun sebagai daaerah asuhan berbagai jenis biota laut di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar.

Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bengen, DG. 2002. Sinopsis: Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, Institut Petanian Bogor (IPB), Bogor. Bos, A.R., Gumanao, G.S., Alipoyo, J.C.E., Cardona, L.T. 2008. Populatoin

dynamics,reproduction and growth of the Indo-Pacific horned sea star, Protoreaster nodosus (Echinodermata; Asteroidea ), Marine Biology 156 (2008) 55-63.

Brotowidjoyo, Mukayat Djarubito.1989. “Zoology Dasar”, PT. Glora Aksara

Pratama: Erlangga, h. 119 Clark, A. M and F. W. E. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo West

Echinoderms. Trustees of the British Museum (Natural Histori). London. 238 p.

Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan Dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbeda Di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Jurnal. Universitas Diponegoro. Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press, Jakarta. Hutomo, M. dan M. H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, 12(1): 13-23. Hutomo, M dan Nontji, A. 2014. Panduan Monitoring Lamun. COREMAP-CTI.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kiswara, W. dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Indonesian Institute of Science.

Page 37: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

26

Kiswara, W. 2010. Studi Pendahuluan: Potensi Padang Lamun sebagai Karbon Rosot dan Penyerap Karbon di Pulau Pari, Teluk Jakarta. LIPI. 36(3): 361-376 Krebs, C. J. Ecologycal Methodology. Newyork : Haeper and Publisher. 2000. Litaay, M., Priosambodo, D., Asmus, H., dan Saleh, A. 2007. Jurnal Berita Biologi: Makrozoobentos Yang Berasosiasi dengan Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Vol:8(4). Niel AC, Jane BR, Lawrence GM. 2003. Biologi. 5th edition. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T, penerjemah; Srigandono B,

editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology.

Puspitasari, Suryanti, dan Ruswahyuni. 2012. Studi Taksonomi Bintang Laut (Asteroidea, Echinodermata) Dari Kepulauan Karimunjawa, Jepara. 1(1) :5 Romimohtarto, K. dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut. Ilmu pengetahuan tentang biota laut.Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta, Septian, E.A., Azisah, D., dan Apriadi, T. 2016. Tingkat Kerapatan Dan Penutupan Lamun Di Perairan Desa Sebong Pereh Kabupaten Bintan. Jurnal. Sloan, N.A. 1980. Aspect of The Feeding Biology of Asteroids. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev., 18:57-124. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian . CV. Alfabeta. Bandung Supono dan U. Y. Arbi. 2010. Struktur Komunitas Echinodermata di Padang

Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseonologi dan Limnologi Indonesia.

Suryanti., Ain, C., Tishmawati, C.N. 2014. Hubungan Kerapatan Lamun

(Seagrass) Dengan Kelimpahan Syngnathidae di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Dipoegoro Journal of Maquares.

Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian

Oseanografi – LIPI. Jakarta : 99 hal Syari, I.A. 2005. Asosiasi Gastropoda di Ekosistem Padang Lamun. Departemen

Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesian Fisheries. Vol III. Periplus Edition (Hk) Ltd., Singapore. 1388 p.

Page 38: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

27

Vangistuti, D., Irawan, H., Yandri, F. 2012. Jurnal Studi Biologi Bintang Laut(Asteroidea) di Perairan Teluk dalam Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Maritime Raja ,Ali Haji University. Wicaksono, S.G. dan S.T.H. Widianingsih,. 2012. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. (Journal of Marine Research). 1(2): 1-7.

Page 39: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

28

Page 40: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

29

Lampiran 1. Kerapatan lamun pada stasiun I dan II di perairan Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Stasiun I

Spesies Plot

Rata-Rata P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10

Cymodocea rotundata 0 8 4 8 4 4 8 8 12 12 6.8

Thalassia hemprichii 72 36 68 52 60 52 36 4 16 16 41.2

Enhalus acoroides 8 12 28 12 24 12 28 12 4 16 15.6

Syringodium isotifolium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Holodule uninervis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 80 56 100 72 88 68 72 24 32 44 63.6

Rata-Rata 16 11.2 20 14.4 17.6 13.6 14.4 4.8 6.4 8.8

Stasiun II

Spesies Plot

Rata- rata P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10

Cymodocea rotundata 172 192 84 140 140 76 204 116 160 104 138.8

Thalassia hemprichii 112 100 56 52 88 88 112 80 84 28 80

Enhalus acoroides 4 4 0 0 0 0 0 4 0 0 1.2

Syringodium isotifolium 24 8 128 84 136 96 0 12 48 64 60

Holodule uninervis 0 0 12 12 0 0 12 12 0 0 4.8

Total 312 304 280 288 364 260 328 224 292 196 284.8

Rata-Rata 62.4 60.8 56 57.6 72.8 52 65.6 44.8 58.4 39.2

Page 41: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

30

Lampiran 2. Jumlah bintang laut Protoreaster nodosus pada stasiun I dan II di perairan Pulau Barrang Lompo

Spesies STASIUN 1

JUMLAH P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10

Protoreaster nodosus 2 1 0 2 1 0 3 1 0 0 10

Spesies STASIUN 2 Jumlah

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10

Protoreaster nodosus 4 3 3 2 2 3 4 3 2 2 28

Page 42: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

31

Lampiran 3. Kelimpahan bintang laut P. nodosus pada kerapatan lamun jarang dan agak padat di perairan Pulau Barrang Lompo

Stasiun I

Kerapatan Lamun Jarang Kelimpahan Bintang Laut

16 0.02

11.2 0.01

20 0

14.4 0.02

17.6 0.01

13.6 0

14.4 0.03

4.8 0.01

6.4 0

8.8 0

Stasiun II

Kerapatan Lamun Agak Padat Kelimpahan Bintang Laut

62.4 0.04

60.8 0.03

56 0.03

57.6 0.02

72.8 0.02

52 0.03

65.6 0.04

44.8 0.03

58.4 0.02

39.2 0.02

Page 43: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

32

Lampiran 4. Uji t- Test Paired Two Sample For Means Kelimpahan Bintang Laut

t-Test: Paired Two Sample for Means

BINTANG LAUT BINTANG LAUT

Mean 0.01 0.028

Variance 0.000111111 6.22222E-05

Observations 10 10

Pearson Correlation 0.534522484 Hypothesized Mean Difference 0 df 9 t Stat -6.194224815 P(T<=t) one-tail 7.99857E-05 t Critical one-tail 1.833112923 P(T<=t) two-tail 0.000159971 t Critical two-tail 2.262157158

Page 44: KELIMPAHAN BINTANG LAUT Protoreaster nodosus PADA

33

Lampiran 5. Analisa korelasi kelimpahan bintang laut Protoreaster nodosus pada kerapatan lamun jarang dan agak padat

Stasiun I (Lamun jarang)

Kerapatan Lamun Jarang Kelimpahan Bintang Laut

Kerapatan Lamun Jarang 1

Kelimpahan Bintang Laut 0.224639321 1

Stasiun II (Lamun agak padat)

Kerapatan Lamun Agak Padat Kelimpahan Bintang Laut Kerapatan Lamun Agak Padat 1

Kelimpahan Bintang Laut 0.200445931 1