8
Kembali Ke Khittah Mahasiswa Apa bedanya mahasiswa yang kuliah dengan seseorang yang tidak kuliah? Dengan sederhana orang akan menjawab bahwa mahasiswa adalah kalangan terdidik yang mendapatkan sejumlah pengetahuan, membawa dan membaca buku, demonstrasi dan aktivitas kemahasiswaan lainnya. Sementara, orang yang tidak kuliah tidak melakukannya. Akan tetapi, jika ditanya lebih lanjut adakah yang berbeda antara mahasiswa dengan seseorang yang tidak kuliah di tengah kehidupan sosial yang nyata. Bagi saya, nyaris tanpa beda. Yang membedakan hanyalah pada tingkat cara berbicara dan pilihan- pilihan kata (diksi).Sementara, dalam menghadapi sebuah problem masyarakat keduanya tanpa beda. Setumpuk teori dan segumpal buku yang dibaca sewaktu kuliah nyaris tanpa bunyi ditengah-tengah kehidupan sosial yang nyata. Baik mahasiswa ataupun bukan mahasiswa dalam beberapa hal tidak membawa perubahan sosial apapun. Bahkan, tidak jarang non- mahasiswa bisa melakukan banyak hal untuk melakukan perubahan sosial daripada mahasiswa.

Kembali Ke Khittah Mahasiswa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

Page 1: Kembali Ke Khittah Mahasiswa

Kembali Ke Khittah Mahasiswa

Apa bedanya mahasiswa yang kuliah dengan seseorang yang tidak

kuliah? Dengan sederhana orang akan menjawab bahwa mahasiswa adalah

kalangan terdidik yang mendapatkan sejumlah pengetahuan, membawa dan

membaca buku, demonstrasi dan aktivitas kemahasiswaan lainnya.

Sementara, orang yang tidak kuliah tidak melakukannya.

Akan tetapi, jika ditanya lebih lanjut adakah yang berbeda antara mahasiswa

dengan seseorang yang tidak kuliah di tengah kehidupan sosial yang nyata.

Bagi saya, nyaris tanpa beda. Yang membedakan hanyalah pada tingkat cara

berbicara dan pilihan-pilihan kata (diksi).Sementara, dalam menghadapi

sebuah problem masyarakat keduanya tanpa beda.

Setumpuk teori dan segumpal buku yang dibaca sewaktu kuliah

nyaris tanpa bunyi ditengah-tengah kehidupan sosial yang nyata. Baik

mahasiswa ataupun bukan mahasiswa dalam beberapa hal tidak membawa

perubahan sosial apapun. Bahkan, tidak jarang non-mahasiswa bisa

melakukan banyak hal untuk melakukan perubahan sosial daripada

mahasiswa.

Adakah yang salah dengan mahasiswa? Tentu tidak mudah menjawabnya.

Ada banyak problem yang tidak bisa hanya disodorkan dengan satu jawaban.

Tetapi yang pasti bahwa teori-teori yang pernah didapatkan di bangku kuliah

sama sekali tidak aplikatif dikehidupan yang nyata. Mengapa hal itu terjadi?

Ada banyak alasan.

Pertama, science for science. Selama ini ada sebuah paradigma bahwa ilmu

pengetahuan hanyalah untuk ilmu pengetahuan, tidak lebih dari itu. Bahwa

pengembangan ilmu pengetahuan hanya diperuntukkan untuk ilmu.

Paradigma ini menganut pemahaman bahwa ilmu itu bebas nilai.Teori-teori

sosial-misalnya-yang sejatinya bisa dioperasionalisasikan pada kehidupan

Page 2: Kembali Ke Khittah Mahasiswa

nyata ternyata harus bungkam melihat problem-problem riil dilapangan.

Bagaimana teori-teori Max Weber, Karl Marx, Ibn Khaldun, dan lain

sebagainya bisa berfungsi bagi masyarakat jika selama dibangku kuliah tidak

pernah dikontekstualisasikan (atau lebih tepatnya pribumisasi). Contoh-

contoh yang ada dalam buku tidak pernah dikembangkan dalam konteks

lokal. Hal yang sangat kecil misalnya dalam bahasa Inggris. Sewaktu

sekolah baik di SLTP ataupun SMU bahkan seaktu kuliah ketika

memberikan contoh simple present yang bermakan general truth selalu

dicontohkan dengan “matahari terbit dari timur”. Atau dalam bahasa Arab

yang selalu mencontohkan Qama Zaidun ketika menjelaskan fi’il-fa’il.

Sebaliknya, mencari contoh yang lebih membumi dan akrab dengan

lingkungan anak didik tidak pernah dilakukan.

Setiap dosen banyak yang fasih menjelaskan teori konfliknya Karl Marx,

Struktural Fungsional-nya Molinowski. Tetapi, hanya kalangan terbataslah

yang mampu mengaplikasikan teori tersebut dalam konteks Indonesia.

Tentu saja ini bukan problem yang sederhana. Sebab, untuk

mengaplikasikan dan mengoperasionalisasikan sebuah teori dalam

kehidupan yang nyata, disamping membutuhkan secara pemahaman yang

mendalam juga mmbutuhkan sebuah latihan-latihan. Bagaimana mahasiswa

bisa menerapkan teori yang dikembangkan oleh Karl Marx—misalnya—jika

teori tersebut hanya didapat dari teman, seminar-seminar dan forum-forum

lisan lainnya. Sementara, membaca dan merujuk langsung pada referensi

primer sangat jarang dilakukan. Alih-alih operasionalisasi sebuah teori,

memahaminya saja bukanlah hal yang mudah. Kedua, adanya distingsi yang

jauh antara dunia pendidikan dengan kehidupan riil dilapangan. Seseorang

yang mendalami sebuah teori seakan tidak boleh bergaul lebih banyak

dengan masyarakat yang ada disekelilingnya. Alasannya sederhana;

Page 3: Kembali Ke Khittah Mahasiswa

konsentrasi, serius. Ini sebenarnya sebuah paradigma masa lalu yang

terwarisi secara turun menurun sampai sekarang. Memisahkan mahasiswa

sebagai kelompok terdidik yang belajar dari lingkungan sekitarnya telah

menciptkan sebuah kultur apatis dikalangan mahasiswa terhadap problem

riil yang berkembang dimasyarakat.

Ketiga, lemahnya penelitian lapangan. Sesungguhnya telah disebutkan

dalam Tridharma Perguruan Tinggi bahwa penelitian dan pengabdian

terhadap masyarakat menjadi salah satu point dan tujuan dari sebuah

perguruan tinggi. Akan tetapi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa

penelitian dan pengabdian masyarakat hanya terjadi ketika mahasiswa

melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Waktu dan kegiatan KKN hanya

bersifat datar dan tidak subtantif. Tidak ada agenda-agenda yang subtantif,

fungsional dan futuristik yang dilakukan oleh mahasiswa.

Diluar itu, mahasiswa selalu disibukkan dengan aktivitas kuliah yang sama

sekali jauh dari kehidupan nyata. Di bangku kuliah, mahasiswa diajak untuk

terbang tinggi ke langit ketuju dan melupakan angan-angan duniawi. Di

pesantren, santri selalu diajak untuk berkhayal hal-hal akhirati yang abstrak

dan menanggalkan hal-hal yang bersifat profan. Secara epistimologis,

fenomena ini diperkuat dengan adanya pembedaan antara ilmu agama

dengan ilmu sekular.

Sewaktu masih belia penulis selalu diyakinkan bahwa persoalan duniawi

tidaklah berharga dibanding dengan janji-janji eskatologis Tuhan. Belajar

Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, Biologi dan Teknik selalu berada pada

posisi nomor dua setelah pelajaran tauhid, fiqh, tasawuf, nahwu-sharraf dan

lain sebagainya. Beribah kepada Allah di atas sajadah ataupun di dalam

mesjid seakan jauh lebih mulia dibanding melakukan advokasi dan

pembelaan terhadap masyarakat.

Page 4: Kembali Ke Khittah Mahasiswa

Pemahaman tersebut tentu saja tidaklah benar sepenuhnya. Sebab, tidak

peduli dengan dunia dengan menempatkan hal-hal akhirati hanya akan

membawa manusia pada mimpi yang tak berkesudahan. Begitu juga dengan

mahasiswa. Ketekunan dalam membaca buku tanpa disertai dengan

eksperimentasi dan penelitian hanya membentuk mahasiswa yang a-sosial.

Karena itulah, tidaklah herana jika banyak intelektaul dan cendikiawan

hanya lebih enjoy duduk dibelakang meja daripada melakukan aksi-aksi

sosial. Bahkan, tidak sedikit para intelektual yang tidak peduli dengan

kesengsaraan dan penderitaan tetangganya. Alumni perguruan tinggi yang

kini menjadi politisi dan pejabat negara tanpa rasa salah dan berdosa

melakukan korupsi dan menindas rakyat miskin.

Khittah Mahasiswa

Lalu, bagaimana kita mesti menyikapinya? Barangkali tidak ada pilihan lain

selain mendefinisikan dan memahami kembali posisi dan makna mahasiswa.

Atau dengan kata lain, kita perlu kembali pada khittah mahasiswa.

Mahasiswa pada dasarnya adalah kelompok terdidik yang diharapkan dan

dipersiapkan untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar bagi

kehidupan sosial dimasa-masa mendatang. Semua orang tentu bersepakat

bahwa teori yang diperoleh oleh mahasiswa selama dibangku kuliah bersifat

aplikatif dan adaptif terhadap masyarakat. Apalah artinya sebuah teori dan

pengetahuan jika ia hanya berkutat dan berdiam diri pada lembar per lembar

buku. Teori dan pengetahuan yang diciptakan oleh manusia semata-mata

untuk kesejahteraan manusia seutuhnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ada banyak hal yang bisa dilakukan.

Disamping belajar, membaca buku dan melakukan penelitian hal yang tak

kalah pentingnya adalah melakukan advokasi dan hearing apa yang menjadi

kegelisahan masyarakat. Caranya pun bisa beragam. Dengan kreativitas dan

Page 5: Kembali Ke Khittah Mahasiswa

berjibunnya pengetahuan yang dimiliki, sebenarnya mahasiswa bisa

melakukan banyak hal untuk mencapat tujuan diatas.

Melakukan aksi jalanan sebagai protes terhadap sebuah kebijakan dan

pembelaan terhadap kelmpok mustadh’afiyn, kritik dan protes melalui

tulisan baik artikel ataupun surat pembaca, penelitian lapangan dan lain

sebagainya, merupakan sebuah langkah konstruktif yang bisa dilakukan oleh

mahasiswa.

Al-hasil, teori yang didapatkan tidak bisa hanya diselesaikan dengan

berpangku tangan, tetapi membutuhkan langkah-langkah praksis dilapangan.

Meminjam istilah Gus Dur, ini mudah dikatakan tapi sulit dilakukan bukan?

Dimuat di bulletin STIKA Sumenep