Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL P2P
BTKLPP KELAS I MEDAN
Jl. KH. Wahid Hasyim No. 15 Medan – 20154 Telp. (061) 4512305 / Fax. (061) 4521053
Email : [email protected]
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
2
Indonesia masih memiliki banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah
satu diantaranya adalah Cacingan yang ditularkan melalui tanah, yaitu Ascaris lumbricoides
(cacing gelang), dan Ancylostoma duodenale, Necator americanus (cacing tambang) disebut
Soil Transmitted Helminths (STH) yang sering dijumpai pada penderita. Penularan infeksi
cacing yang tergolong STH umumnya terjadi melalui cara tertelan telur infeksius atau larva
menembus kulit seperti cacing tambang. Disebut sebagai STH karena bentuk infektif cacing
tersebut berada di tanah (Depkes, 2008).
. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan
dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian.
Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga
menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Cacingan mempengaruhi asupan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan
(absorbs), dan metabolism makanan. Secara kumulatif infeksi cacing atau cacingan dapat
menimbulkan kerugian terhadap kebutuhan gizi karena kurangnya kalori dan protein, serta
kehilangan darah. Selain dapata menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan
produktifitas kerja, dapat menurunkan keatahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
lainnya.
Cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan maka perhatian
terhadap sanitasi lingkungan perlu di tingkatkan. Sebenarnya infeksi cacing perut akan
berkurang bahkan dapat dihilangkan sama sekali apabila di upayakan perilaku hidup bersih
dan sehat seperti cuci tangan pakai sabun di lima waktu penting (setelah BAB, setelah
membersihkan anak yang BAB, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan serta
mengelola makanan dengan benar, lingkungan bersih, makanan bergizi, yang nantinya akan
tercapai dengan sendirinya dalam program pembangunan pengentasan kemiskinan. Bila
keadaan ekonomi baik, maka ia akan membuat rumah lebih baik, jamban yang sehat,
mengirim anak-anaknya ke sekolah supaya lebih mengetahui masalah kesehatan, membeli
radio dan televise supaya mendengar siaran-siaran tentang penyuluhan kesehatan, sehingga
dapat merubah perilaku kea rah perilaku hidup bersih dan sehat.
Menurut WHO tahun 2016 lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia
mengalami kecacingan STH dan lebih dari 870 juta anak hidup di lingkungan yang
penularannya sangat intensif dan membutuhkan pengobatan akibat parasit ini.
Di Indonesia infeksi kecacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.
Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang
beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan
lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di
pedesaan maupun di perkotaan, infeksi kecacingan ini berhubungan erat dengan perilaku
hidup sehat dan hygiene sanitasi lingkungan (Agustria, 2008), infeksi kecacingan bisa
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
3
menyebabkan morbiditas yang dapat menyerang semua golongan terutama golongan
penduduk yang kurang mampu sehingga beresiko terinfeksi oleh cacing. Salah satunya
banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
dan perkembangan mereka (Agustria, 2008).
Prevalensi Cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada
golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang buruk. Prevalensi kejadian
kecacingan pada anak antara 2,7 – 60,7%..
Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit Cacingan di Indonesia secara nasional
dimulai pada tahun 1975 setelah dibentuk unit struktural di Direktorat Jenderal PP dan PL,
Kementerian Kesehatan, yaitu Sub Direktorat Cacing Tambang dan Parasit Perut lainnya.
Karena terbatasnya dana kebijakan pemberantasan Cacingan dilakukan “Limited Control
Programme”, program pemberantasan yang dilaksanakan pada PELITA III (tahun 1979-1980)
yang mengambil prioritas utama yaitu daerah produksi vital (pertambangan, perkebunan,
pertanian, transmigrasi dan industri). Pada PELITA V tahun (1984 – 1989) kebijaksanaan
pemerintah di bidang pembangunan kesehatan terutama ditujukan pada program-program
yang menurunkan angka kematian bayi dan anak balita, maka pemberantasan penyakit
Cacingan agak kurang mendapat prioritas.
Hasil survei kecacingan pada siswa Sekolah Dasar di 27 Propinsi Indonesia
berdasarkan jenis cacing yang menginfeksi pada tahun 2002–2006 didapatkan bahwa pada
tahun 2002 prevalensi Ascaris lumbricoides 22,0%, Trichuris trichiura 19,9% dan Hookworm
2,4%. Tahun 2003 prevalensi Ascaris lumbricoides 21,7%, Trichuris trichiura 21,0% dan
Hookworm 0,6%. Tahun 2004 prevalensi Ascaris lumbricoides 16,1%, Trichuris trichiura
17,2% dan Hookworm 5,1%. Tahun 2005 prevalensi Ascaris lumbricoides 12,5%, Trichuris
trichiura 20,2% dan Hookworm 1,6% dan pada tahun 2006 prevalensi Ascaris lumbricoides
17,8%, Trichuris trichiura 24,2% dan Hookworm 1,0% (Agustaria Ginting, 2009). Pada
umumnya penyakit infeksi kecacingan tersebut tidak merupakan penyakit akut dan tidak
berakibat fatal, tetapi penyakit infeksi ini mampu menyebabkan anemi, gangguan gizi,
gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan, dalam jangka panjang infeksi kecacingan
ini mampu menghambat absorbsi gizi serta nutrient-nutrien sebesar 3% dalam kondisi ringan
dan 25% jika infeksi berat (Agustria, 2008).
Penanggulangan cacingan harus dilaksanakan secara berkesinambungan dengan
melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga mereka mampu dan mandiri
dalam melaksanakan Penanggulangan Cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih dan sehat.
Adapun kegiatan survei evaluasi prevalensi kecacingan di Kota Sawahlunto ini
merupakan upaya penanggulangan kecacingan untuk menurunkan prevalensi Cacingan pada
anak usia Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sebesar 10% secara bertahap dan
meningkatkan POPM Cacingan minimal 75%.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
4
Kota Sawalunto merupakan kota yang telah dilakukan POPM selama 5 tahun dan
pelaksanaan survei Pre TAS dan TAS 1 Filariasis, untuk itu berdasarkan hal tersebut diatas
perlu dilakukan Survei Prevalensi Kecacingan.
1.2. Tujuan
1.1.1. Tujuan Umum
Survei prevalensi di ditingkat kabupaten/kota diharapkan kabupaten/kota memiliki
peta prevalensi dalam rangka baseline data serta monitoring dan evaluasi program
Penanggulangan Cacingan di Kota Sawahlunto Propinsi Sumatera Barat
1.1.2. Tujuan Khusus
Untuk menegakkan diagnosis pasti, dengan melihat melalui mikroskop ada atau
tidaknya telur cacing dan jenis telur cacing serta menentukan intensitas infeksi
dengan teknik Katokatz.
Untuk mengetahui Faktor Risiko terhadap survei prevalensi kecacingan di Kota
Sawahlunto
1.3. Sasaran
Sekolah Dasar terpilih di Kota Sawahlunto yang dipilih berdasarkan aplikasi Survey
Sample Builder (SSB) sebanyak 30 SD dan dilakukan pada anak Kelas 3,4 dan 5 yang juga
dilakukan random. (terlampir).
1.4. Dukungan Legal Penanggulangan Cacingan di Indonesia
SE Mendagri No. 443/4499/SJ, tanggal 13 Agustus 2015, tentang Program
Percepatan Penanggulangan Penyakit Menular Tropik Terabaikan
SE Mendagri No. 443/3000/SJ, tanggal 12 Agustus 2016, tentang Pengendalian
Penyakit Menular Tropik Terabaikan.
Permenkes No. 15 tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum
2.1.1. Penyakit Cacingan
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya
merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk
Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
5
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil
Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).
1. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi.
Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan
menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh
darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-
paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea
melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke
usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2
bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa.
b. Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi
berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion).
Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada
usus (Ileus obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006)
gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
c. Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan
mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah dan kurang konsentrasi belajar.
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering
sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah
mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat
diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
6
tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya
infeksi (Menteri Kesehatan, 2006).
2. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus :
Cacing ini dikenal dengan nama cacing tambang. Predileksi cacing dewasanya di
mucosa usus halus, terutama di mucosa duodenum dan jejenum manusia. Kedua species
cacing ini melekatkan diri pada membrane mucosa usus halus dengan menggunakan gigi kitin
atau gigi pemotong dan menghisap darah dari luka gigitannya. (Neva A and Brown HW.1994
; Markell EK
et al, 1992). Manusia merupakan hospes satusatunya bagi kedua cacing ini. Telur kedua
species cacing ini sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal
ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 mikron, sedangkan Ancylostoma
duodenale berukuran 56 x 36 mikron. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2
hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva
rabditiform berubah menjadi larva filariform dengan ukuran 500 – 700 mikron, larva
filariform ini adalah larva infektif untuk manusia. Larva infektif masuk ke dalam hospes
melalui folikel rambut, pori-pori atau melalui kulit yang utuh. Kemudian larva masuk ke
dalam saluran limfe atau vena kecil, masuk kealiran darah menuju jantung dan paru,
menembus kapiler masuk ke alveoli. Selanjutnya larva mengadakan migrasi ke bronchi,
trachea, larynx, pharynx dan akhirnya tertelan masuk oesophagus. Dioesophagus terjadi
pergantian kulit yang ketiga kalinya dan mulai terbentuk rongga mulut sementara yang
memungkinkan larva ini mengambil makanan. Dari oesophagus larva mencapai usus halus
dan berganti kulit untuk yang keempat kalinya, kemudian tumbuh menjadi cacing dewasa
yang berukuran panjang 9-13mm untuk betina dan 5-11mm untuk jantan dengan bursa
copulatrix di ujung posteriornya . (Neva A, 1994 ; Markell EK, 1992 ; Soedarto, 2008).
3. Ascaris Trichuris trichiura:
Cacing ini disebut juga sebagai cacing cambuk yang mempunyai ciri-ciri berupa,
bagian anterior seperti cambuk dan agak meruncing, 3/5 bagian tubuhnya dilalui oesophagus
yang sempit. Bagian posterior lebih tebal, 2/5 bagian dari tubuhnya berisi usus dan organ
reproduksi. Cacing jantang berukuran 30 – 45 mm, sedangkan cacing betina berukuran 35 –
50 mm. bagian posterior cacing jantan berbentuk melingkar dengan satu spikulum dan sarung
yang retraktil, sedangkan bagian posterior cacing betina berbemtuk bulat dan tumpul.
Predileksi cacing ini pada mucosa cecum manusia. ( Kemenkes RI, 2018)
Telurnya berukuran 50 x 23 mikron dan berbentuk seperti tempayan dengan 2 kutub yang
jernih dan menonjol serta kulit luarnya berwarna kekuning-kuningan. Manusia tertular karena
tertelannya telur infektif dari cacing ini. Di dalam usus, dinding telur akan pecah dan larva
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
7
cacing keluar menuju bagian proksimal dari usus halus, kemudian larva menembus vili-vili
usus halus dan menetap selama 3-10 hari. Selanjutnya larva turun ke bawah menuju cecum
dan menjadi dewasa di sana. (Kemenkes RI, 2018).
4. Ascariasis Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga dengan cacing benang. Predileksi cacing dewasanya pada
mucosa usus halus terutama duodenum dan jejunum manusia. Cacing dewasa betina
mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing
ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus yang panjang. Telur cacing ini berukuran 54 x 32
mikron, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan.
Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang
mempunyai ukuran 200 –250 mikron. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan
masuk ke dalam lumen usus. Terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya yaitu :
Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi yaitu larva rabditiform dalam usus halus berubah
menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus mukosa usus masuk ke
dalam peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, menembus kapiler
menuju alveoli, kemudian migrasi ke bronchi, larynx, pharynx dan tertelan masuk oesophagus
menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan kedua, yaitu larva rabditiform keluar
bersama feses penderita. Di tanah, larva rabditiform setelah 2-3 hari berubah menjadi larva
filariform yang merupakan larva infektif. Manusia tertular akibat masuknya larva infektif
melalui kulit, masuk ke dalam peredaran vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru,
kemudian menembus kapiler menuju alveoli, dan mengalami migrasi ke bronchus, larynx,
pharynx , tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan
ke tiga yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita, ditanah berubah menjadi larva
filariform kemudian berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina yang hidup bebas.
Setelah kopulasi, cacing betina yang hidup bebas menghasilkan telur yang kemudian menetas
menjadi larva rabditiform dan selanjutnya menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian
larva filariform akan menembus kulit hospes dan sesudah melalui tahap migrasi paru larva
akan menjadi dewasa dalam usus halus. ( Kemenkes RI, 2018).
2.1.2. Epidemiologi
Infeksi oleh nematode usus biasanya berkaitan dengan jeleknya hygiene. Infeksi ini
selalu ada terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam jumlah sedikit
biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat menimbulkan masalah yang serius
terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti oleh terhambatnya perkembangan anak
(Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006) Ascariasis merupakan penyakit endemic di daerah
tropis dan subtropis tetapi secara sporadis dapat terjadi di seluruh dunia. Penduduk pedesaan
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
8
dengan kondisi sanitasi yang buruk mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi cacing ini.
Orang dewasa biasa terinfeksi karena makan sayur mentah yang terkontaminasi oleh telur
cacing ini baik dari feces penderita maupun dari tanah yang tercemar feces penderita,
sedangkan pada anak–anak biasa terinfeksi dengan jalan tangan ke mulut ( hand to mouth)
atau karena kebiasaan mengulum benda – benda atau mainan yang terkontaminasi telur cacing
ini. Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan feces yang memenuhi syarat menurunkan
tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik WK,1992)
Menurut WHO (1985) yang dikutip oleh Onggowaluyo, infeksi parasit yang penting di
dunia ada sepuluh yaitu Ascarislumbricoides, hookworm, Plasmodium, Trichuris trichiura,
Amoeba, Filaria, Schistosoma sp., Giardia lamblia, Trypanosoma sp dan Leishmania sp. Dgn
jumlah penderita cacing tambang 700.000.000, schistosomiasis 180.000.000, semua parasit
usus 1.800.000.000 serta malaria 25.000.000. (Onggowaluyo JS, 2001)
Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%.
Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara
berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%, sedangkan prevalensi
infeksi cacing tambang secara berturutan pada tahun 2002 – 2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1%
; 1,6% dan 1,0%.
(Depkes RI, 2006) Kejadian infeksi kecacingan pada anak berhubungan negatif
signifikan dengan perilaku sehat, dengan demikian berarti bahwa pengertian berperilaku
hidup sehat akan menurunkan insidensi kecacingan pada anak.(Aria G, 2004) Ascaris
lumbricoides merupakan parasit yang penting baik di daerah iklim dingin maupun iklim
panas, tetapi cacing ini lebih umum ditemukan di daerah beriklim panas dengan kelembaban
yang tinggi dan paling banyak ditemukan di tempat-tempat dengan sanitasi yang jelek.
Ascariasis ditemukan pada semua umur, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5
sampai 10 tahun.
Di Indonesia kejadian ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai 80 %.
(Onggowaluyo JS, 2001) Insiden kecacingan akibat cacing tambang cukup tinggi di
Indonesia, kasus penyakit ini banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja
di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi cacing
tambang ini berhubungan erat dengan kebiasaan Buang Air Besar di tanah. Kondisi tanah
yang gembur , berpasir dan temperature sekitar 23-32°C merupakan tempat yang paling
sesuai untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo JS, 2001) Daerah penyebaran dari
Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering di
temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama
didaearahdaerah pedesaan, antara 30%-90%. Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
9
terpenting dalam penyebaran trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang
akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh. (Onggowaluyo JS, 2001).
2.2. Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larva,
cacing dewasa tinggal diantara lipatan mukosa usus halus dan dapat menimbulkan iritasi
sehingga dapat menimbulkan rasa tidak enak di perut, mual serta sakit perut yang tidak nyata.
Kadang kadang cacing dewasa terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan dimuntahkan,
sehingga keluar melalui mulut atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba eustachii. Dinding usus
dapat ditembus oleh cacing dewasa sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing dalam jumlah
yang banyak akan menyebabkan sumbatan pada lumen usus serta toxin yang dihasilkannya
akan menimbulkan manifestasi keracunan misalnya, oedema muka, uticaria dan nafsu makan
menurun. Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan eosinofili dan alergi berupa urticaria,
gejala infiltrasi paru, sembab pada bibir serta sindroma Lofflers. Larva yang migrasi ke organ
lain dapat menimbulkan endophthalmitis, meningitis dan encephalitis. Pada anak-anak sering
kali terlihat gejala perut buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan berwarna merah serta kurus
akibat defisiensi gizi dan anemia (Sandjaja, 2007). Gejala infeksi cacing tambang dapat
disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk
maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru
dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai
mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing
dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif,
hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak
adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah
dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang
berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat Menimbulkan
keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi
oleh Necator americanus (Haryanti, 2002). Strongylidiasis ringan biasanya tidak
menimbulkan gejala, pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang dalam mukosa
duodenum menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium, disertai
rasa mual, muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Pada infeksi berat dan kronis
mengakibatkan berat badan turun, anemi, disentri menahun serta demam ringan yang
disebabkan infeksi bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian dapat terjadi akibat
bersarangnya cacing betina di hampir seluruh epithel usus, meliputi daerah lambung sampai
ke daerah colon bagian distal yang disertai infeksi sekunder bakteri (Natadisastra D dan
Agoes R, 2009). Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme dari terjadinya infeksi jangka
panjang yang menetap dan bertahun-tahun. Parasit dan hospesnyan berada dalam status
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
10
keseimbangan sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti. Jika oleh karena sesuatu hal,
keseimbangan ini terganggu dan keadaan imunitas penderita menurun, maka infeksinya akan
meluas dan meningkatkan produksi larva dan larvanya dapat ditemukan pada setiap jaringan
tubuh. Keadaan ini disebut dengan sindroma hiperinfeksi. (Haryanti, 2002) Trichuriasis paling
sering menyerang anak usia 1 – 5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi
berat, cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadangkadang terlihat pada mucosa rectum
yang prolaps. Infeksi kronis dan sangat berat menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb
rendah sekali dapat mencapai 3 gr%, karena seekor cacing setiap hari menghisap darah 0,005
cc, diare dengan feses sedikit dan mengandung sedikit darah, sakit perut, mual, muntah serta
berat badan menurun, kadangkadang disertai prolapsus recti. (Sandjaja, 2007)
BAB III
METODOLOGI SURVEI
3.1. Jenis Survei
Metode yang digunakan merupakan survei deskrptif analitik. Survei dilakukan pada
Anak SD di Kota Sawahlunto yang dilaksanakan pada tanggal 8 – 12 April 2019.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Poluasi
Populasi survei ini adalah seluruh murid kelas 3,4 dan 5 Sekolah Dasar
Negeri/Swasta/IT di Kota Sawahlunto Propinsi Sumatera Barat Tahun 2019 yang berjumlah
sebanyakl 3.284 siswa.
3.2.2. Sampel
Metode pengambilan sampel menggunakan metoda survei kluster 2 tahap (two stages
cluster sampling).
Tahap-1 : Pemilihan sekolah dasar dan
Tahap-2 : pemilihan siswa sebagai sampel.
Proses pemilihan ini menggunakan software Survei Sample Builder (SSB).
Data sampel minimal berdasarkan hasil SSB adalah SD yang terpilih 30 SD/MI yaitu kelas 3,
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
11
4 dan 5 sebanyak 416 siswa namun yang mengembalikan pot berisi feaces berjumlah 341
siswa.
3.3. Metode
3.3.1. Penemuan Kasus Kecacingan
Penemuan kasus Cacingan dilakukan secara aktif melalui penjaringan anak sekolah
dasar atau madrasah ibtidaiyah dan secara langsung melalui penemuan kasus berdasarkan
pemeriksaan sampel tinja.
Hasil pemeriksaan sampel tinja dinyatakan dengan kualitatif yaitu positif dan negative,
dan proporsi hasil positif dari sampel tinja yang diperiksa memberikan interpretasi tingkat
prevalensi dari sejumlah sampel yang diperiksa. Selain itu pemeriksaan sampel tinja juga
dapat dinyatakan secara kuantitatif yaitu menyatakan jumlah telur cacing per gram tinja dalam
setiap sediaan yang diperiksa. Dan hal ini menggambarkan intensitas infeksi pada sampel
individu yang diperiksa.
3.3.2. Survei Prevalensi Cacingan
Survei prevalensi Cacingan dilakukan untuk menentukan tingkat prevalensi Cacingan
di suatu kabupaten/kota. Survei dilakukan dengan cara pemeriksaan sampel tinja pada anak
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah yang dikumpulkan melalui metode pengambilan
sampel kluster dua tahap (two stages cluster sampling).
3.3.3. Survei Faktor Risiko
Survei faktor risiko dilakukan dengan menggunakan kuisioner terstruktur dengan
sasaran anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah yang menjadi sampel pada survei
cakupan pemberian obat massal yang diambil sampel tinja.
3.4. Metode Analisis
3.4.1. Metode Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel Tinja
A. Bahan dan Alat
Pot tinja ukuran 10 - 15 cc
Spidol tahan air
Aquades
Glycerin
Malachite green (hijau malasit)
Gelas beker
Kaca objek
Lidi atau tusuk gigi
Cellophane tape (selofan), tebal 40-50 µm, ukuran 2,5cm
Karton sebagai Template dengan ukuran: lubang 6 mm dan tebal 1,5 mm
untuk berat tinja 41,7 mg. Ukuran lubang 6,5 mm dan tebal 0,5 mm untuk
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
12
berat tinja 20 mg. Ukuran lubang 9 mm dan tebal karton 1mm untuk berat
tinggi 50 mg.
Kawat saring atau kawat kasa: 60-105 mesh
Kertas minyak
Kertas saring atau tisu
Tutup botol dari karet
Waskom plastik kecil
Gunting logam
Sabun dan deterjen
Handuk kecil
Sarung tangan karet
Formalin 5 sampai 10%
Mikroskop
Formulir
Ember
Counter (alat penghitung)
B. Metode Pemeriksaan
1). Teknik Pengambilan Sampel Tinja
Tinja yang dikumpulkan cukup untuk pemeriksaan ( minimal seruas jari
orang dewasa) tapi jangan sampai memenuhi isi seluruh pot tinja.
Tinja yang dikumpulkan sebaiknya tinja yang segar (kurang dari 24 jam)
Sampel tinja diharuskan tidak terkontaminasi tanah atau basah terkena
air.
Pot tinja yang sudah diberi label harap dikembalikan dalam keadaan label
yang tetap baik. Bila label basah/rusak haruslah diganti dengan label
yang baru.
Siswa yang diperiksa tinjanya merupakan siswa kelas 3, 4 dan kelas 5
Siswa yang diambil tinjanya diajak berdasarkan nomor absen yang sudah
diacak oleh SSB (Survey Sample Builder)
Siswa yang akan diperiksa tinjanya baiknya diedukasi cara pengambilan
sampel tinja yang benar.
Siswa yang akan melakukan defekasi/BAB diharapkan melangkah 1 atau 2
langkah dari kloset di depan lubang pembuangan.
Ambil sampel tinja dengan menggunakan stik es krim yang sudah
disediakan.
Sampel tinja yang diambil sebaiknya yang tidak terkena air atau basah.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
13
Tutup kembali pot sampel yang sudah berisi sampel tinja dengan baik dan
pastikan label nama di pot tidak basah.
Bila ternyata pasien diare atau mencret, tidak dapat diambil sampel
tinjanya.
Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur
cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak
memungkinkan tinja harus diberi formalin 5 -10% sampai terendam.
2). Teknik Pengisian Formulir
• Seluruh siswa yang menerima pot tinja harus dicatat oleh petugas dengan
menggunakan formulir survei cacingan
• Pencatatan formulir survei cacingan dilakukan pada saat pot tinja dibagikan
kepada siswa
• Data siswa yang menjadi sampel survei : diisi pada pot yang berisi feaces,
formulir dan kuisioner harus sama.
Nama : diisi nama lengkap siswa yang diperiksa.
Jenis Kelamin : diisi jenis kelamin siswa yang diperiksa, laki-
laki/perempuan (L/K).
Kode sampel : diisi kombinasi angka dan huruf yang disepakati,
mencakup kode kabupaten/kota, nomor urut sekolah, kelas, nomor sampel.
3). Teknik Pemeriksaan Tinja Metode Kato Katz
Sebelum membuat sediaan untuk pemeriksaan, pemeriksan harus menyiapkan
larutan kato yang akan dipakai untuk merendam/memulas selofan.
a. Pembuatan Larutan Kato
1) Bahan yang diperlukan: 100 bagian aquades, 100 bagian gliserin dan 1
bagian larutan hijau malakit 3%.
2) Timbang hijau malakit sebanyak 3 gram, masukkan ke dalam
botol/baker glass dan tambahkan aquades 100 cc sedikit demi sedikit
lalu aduk/kocok hingga homogeny, maka akan diperoleh larutan hijau
malakit 3%.
3) Cara membuat larutan Kato: masukkan 100cc aquades ke dalam
waskom plastik kecil, lalu ditambahkan 100 cc gliserin sedikit demi
sedikit dan tambahkan 1 sel larutan hijau malakit 3%, lalu aduk sampai
homogen, maka akan didapatkan Larutan Kato 201 cc.
b. Cara Merendam / Memulas Selofan ( sellophane tape)
1. Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran waskom plastik
kecil. Contoh: bingkai untuk foto.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
14
2. Lilitkan selofan pada bingkai tersebut.
3. Redamlah selama lebih dari 24 jam dalam larutan Kato.
4. Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang sudah direndam
sepanjang 2,5 cm.
c. Pembuatan sampel tinja
1) Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan infeksi.
2) Tulis nomor kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan yang
tertulis di pot tinja.
3) Letakkan kertas minyak ukuran 10 x 10 cm di atas meja dan Taruhlah
tinja sebesar ruas jari di atas kertas minyak.
4) Seringlah tinja menggunakan kawat saring
5) Letakkan kartun yang berlubang di atas slide kemudian masukkan tinja
yang sudah disaring pada lubang tersebut
6) Angkatlah karton berlubang tersebut dengan perlahan dan tutuplah
tinjau dengan selofan and yang sudah direndam dalam larutan.
7) Ratakan dengan tutup botol karet hingga merata. Diamkan kurang lebih
sediaan selama 20 sampai 30 menit.
8) Baca di bawah mikroskop dengan pembesaran 4x, 10 x dan 40
9) Baca seluruh lapangan pandang, Tentukan spesiesnya, Hitunglah jumlah
telur untuk setiap spesies yang ditemukan.
3.4.2. Metode Perhitungan Prevalensi Kecacingan
Prevalensi Cacingan diperoleh dengan membagi jumlah feaces yang positif
mengandung telur cacing STH dibagi dengan jumlah sampel feaces yang diperiksa.
Hasil dari survei dapat digunakan untuk mengklasifikasi tingkat endemisitas suatu daerah,
sebagai berikut kategori: (prevalensi WHO).
Tabel 1. Klasifikasi Prevalensi Penyakit Cacingan (WHO 2002)
3.4.3. Teknik Analisa Data Faktor Risiko
Kategori Prevalensi Prevalensi
Tinggi ≥50%
Serdang ≥20 - <50%
Rendah <20%
Jumlah sampel tinja positif telur cacing
----------------------------------------------------- x 100%
Jumlah sampel tinja yang di periksa
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
15
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer SPSS 16.0 for Windows.
Analisa data dilakukan terhadap data primer dengan menggunakan perhitungan statistik. Hasil
penelitian disajikan dalam bentuk grafik dan narasi.
Analisis yang menjelaskan setiap variabel survei dengan penyajian dalam output
distribusi frekuensi. Adapun variabel independen yaitu Karakteristik meliputi umur, jenis
kelamin, Perilaku anak upaya pengendalian kecacingan melalui kebersihan perorangan
ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut meliputi:, Mencuci tangan dengan
menggunakan air dan sabun pada waktu penting yaitu sebelum makan, setelah ke jamban
Menggunakan air bersih untuk keperluan mandi. Mengkonsumsi air yang memenuhi syarat
untuk diminum.
Mandi dan membersihkan badan pakai sabun paling sedikit dua kali sehari. Memotong
dan membersihkan kuku. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, tidak buang buang air
besar sembarangan dan siswa yang pernah minum obat cacing >6 bulan. Variabel
Dependennya adalah siswa yang hasil pemeriksaan tinjanya positif atau hasil pemeriksaan
klinis dinyatakan positif menderita Cacingan.
3.4.4. Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen
dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat derajat kepercayaan 95% yaitu α = 0,05
dengan ketentuan bila nilai p<0,05 maka ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel
tersebut (Hidayat,2009). Namun pada hasil pemeriksaan tinjanya positif hanya 1 orang maka
tidak dapat dilakukan uji analisis univariat dan bivariat, hanya distribusi frekuensi.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
16
BAB IV
HASIL SURVEI DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum
Kota Sawahlunto terbentang dari utara ke Selatan. Bagian Timur dan Selatan relatif
curam dengan kemiringan lebih dari 40%. Sedangkan bagian Utara bergelombang dan relatif
datar. Topografis Sawahlunto yang berbukit dan berlembah itu yang juga memiliki banyak
patahan-patahan tanah sudah tentu tidak kondusif untuk dijadikan areal pembangunan. Oleh
karena sedikitnya daerah dataran yang dapat dijadikan areal perkantoran dan perumahan serta
fasilitas umum, maka banyak kantor dan rumah penduduk yang dibangun di lereng-lereng
bukit. Daerah dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dan memiliki luas
273,45 km². Dari luas tersebut, lebih dari 26,5% atau sekitar 72,47 km² merupakan kawasan
perbukitan yang ditutupi hutan lindung. Penggunaan tanah yang dominan di kota ini adalah
perkebunan sekitar 34%, dan danau yang terbentuk dari bekas galian tambang batu bara
sekitar 0,2%. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kota Sawalunto dikenal sebagai kota
tambang batu bara. Kota ini sempat mati, setelah penambangan batu bara dihentikan.
Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik,
sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun
1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebagian telah
ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat dalam rangka mendorong
pariwisata dan mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya".
Gambar 2. Peta Administarsi Kota Sawahlunto
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
17
4.1.1. Kondisi Geografi
Secara geografis Kota Sawahlunto terletak di daerah perbukitan dengan posisi terletak
diantara 100.41 dan 100.49 Bujur Timur, 0.34 – 0.46 Lintang Selatan. Sedangkan batasan
wilayah Kota Sawahlunto dilihat dari letak administrasi berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kab. Tanah Datar
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Solok
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kab. Sijunjung.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kab. Solok.
Secara geografis luas wilayah Kota Sawahlunto adalah 27.345 Ha (273,45 km2) atau
sekitar 0,65 persen dari luas Propinsi Sumatera Barat dengan jarak ke Ibukota Propinsi
(Padang) adalah 94 km dan dapat ditempuh melalui jalan darat dalam waktu lebih kurang 2
(dua) jam dengan kendaraan roda 4 (empat). Dari luas wilayah tersebut secara administratif
Kota Sawahlunto memiliki 4 Kecamatan yang terdiri dari 10 Kelurahan dan 27 Desa. Dari
luas wilayahnya, yang terluas yakni Kecamatan Talawi dengan luas 9.939 Ha, dan disusul
Kecamatan Barangin dengan luas 8.855 Ha, Kecamatan Lembah Segar dengan luas 5.258 Ha
dan Kecamatan Silungkang dengan luas 3.293 Ha.
4.1.2. Kondisi Demografi
Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Kota Sawahlunto tahun 2018, jumlah
penduduk Kota Sawahlunto adalah 62.898 orang, yang terdiri 6 Puskesmas. Dari data tersebut
diketahui bahwa Puskesmas Talawi merupakan Puskesmas dengan jumlah penduduk
terbanyak, yaitu 19.249 jiwa, kemudian diikuti oleh Puskesmas Sungai Durian dengan jumlah
penduduk 11.259 jiwa, Puskesmas Silungkang dengan jumlah penduduk 11.022 jiwa.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
18
Puskesmas Kampung Teleng dengan jumlah penduduk 8.309 orang, Puskesmas Kolok jumlah
penduduk 7.150 jiwa dan Puskesmas Lunto jumlah penduduk 4.909 jiwa
Dengan luas wilayah Kota Sawahlunto sebesar 238,61 km² yang didiami oleh 56.812
orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Sawahlunto adalah sebanyak 238
orang per km² (BPS Kota Sawahlunto, 2010). Kecamatan yang paling tinggi tingkat
kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Lembah Segar, yaitu sebanyak 431 orang per km²;
kedua terpadat adalah Kecamatan Silungkang 411 orang per km²; setelah itu, Kecamatan
Barangin 322 orang per km², sedangkan yang paling rendah tingkat kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Talawi, sebanyak 189 orang per km².
4.2. Prevalensi kejadian kecacingan Pada Anak SD di Kota Sawahlunto Tahun 2019.
Grafik 4.1. Distribusi Prevalensi Kejadian Kecacingan Pada Anak SD di Kota
Sawahlunto Propinsi Sumbar tahun 2019
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa dari 341 anak SD Kota
Sawahlunto yang dilakukan pemeriksaan feaces dengan kato kazt maka didapat hasil
pemeriksaan yang positif infeksi kecacingan berjumlah 1 anak (1%) dan negative sebanyak
340 anak jenis cacing trihuris trihura dengan jumlah telur sebanyak 5.
4.3. Distribusi Proporsi Karakteristik Anak Sekolah Dasar di Kota Sawahlunto
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik dan Minum Obat Cacing pada
Anak SD di Kota Sawahlunto Propinsi Sumbar Tahun 2019
Variabel N %
Jenis Kelamin
1. Laki-Laki 160 46.9
2. Perempuan 181 53,1
Golongan Umur
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
19
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara dari 341 anak yang
diperiksa kecacingan berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah anak perempuan sebanyak
181 orang (53%) laki-laki sebanyak 160 orang (47%).
Hasil wawancara yang dilakukan pemeriksaan kecacingan berdasarkan kelompok
umur terbanyak adalah umur 9 – 11 tahun yaitu sebesar 87%, disusul umur >12 tahun sebesar
10% dan 6 – 8 tahun hanya 3%.
Distribusi frekuensi minum obat cacing pada anak sekolah dasar dari 341 orang yang
dilakukan pemeriksaan kecacingan berdasarkan pengakuan telah minum obat cacing lebih
dari 6 bulan lamanya terbanyak adalah yang tidak minum obat sebesar 57% dan ada 43%
yang minum obat cacing.
4.4. Distribusi Frekuensi Variabel Personal Hygiene
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Personal Hygiene pada Anak SD di Kota
Sawahlunto Propinsi Sumbar Tahun 2019
1. 6-8 Tahun 11 3.2
2. 9-11 Tahun 296 86.8
3. > 12 Tahun 34 10
Minum Obat Cacing
1. Minum Obat >6 bulan 148 43.4
2. Tidak Minum Obat 193 56.6
Variabel N %
Kebiasaan Cuci Tangan dan Mandi
1. Baik 280 82
2. Sedang 54 16 3. Kurang 7 2
Makan sambil bermain tanah
1. Tidak 285 84
2. Kadang-Kadang 56 16
Cuci tangan setelah bermain tanah
1.Ya 82 24
2. Kadang-Kadang 237 69.5
3.Tidak 22 6.5
Di Sekolah Bermain sambil buka sepatu/alas kaki
1. Tidak 272 80
2. Kadang-Kadang 65 19
3. Ya 4 1
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
20
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara dari 341 responden
yang mempunyai kebiasaan cuci tangan baik sebanyak 280 orang (82%), sedang 54 orang
(16%) dan ada juga masih mempunyai kebiasaan cuci tangan yang kurang sebanyak 7 orang
(2%).
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan baik bila makan
tidak bermain tanah sebanyak 285 responden (84%) sedangkan responden yang menjawab
kadang menjawab kadang-kadang makan sambil bermain tanah sebanyak 56 responden
(16%).
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan baik mencuci tangan
setelah bermain tanah sebanyak 82 responden (24%) sedangkan yang menjawab kadang-
kadang mencuci tangan setelah bermain tanah sebesar 70% dan yang menjawab tidak
mencuci tangannya ada 6%.
Penggunaan Alas Kaki Bila Keluar Rumah
1. Ya 180 53
2. Kadang-Kadang 151 44
3. Tidak 10 3
Memotong Kuku 1 Minggu sekali
1. Tidak 48 14 2. Kadang-Kadang 57 17
3. Ya 236 69
Kebiasaan Menggigit Kuku
1. Tidak 233 69 2. Kadang-Kadang 49 14 3. Ya 59 17
Hasil Pengamatan Kuku
1. Pendek Bersih 231 68
2. Pendek Kotor 67 20
3. Panjang Kotor 43 12
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
21
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan baik bila di sekolah
bermain tidak membuka sepatu/alas kaki sebanyak 272 responden (80%) sedangkan
responden yang menjawab kadang-kadang membuka alas kaki bila bermain sebanyak 65
responden (19%) dan masih ada responden yang kebiasaan buruk yang menjawab saat di
sekolah bermain tidak menggunakan alas kaki sebesar 1%.
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan baik bermain keluar
rumah menggunakan alas kaki sebanyak 180 responden (53%) sedangkan responden yang
menjawab kadang-kadang tidak menggunakan alas kaki bila bermain sebanyak 151 responden
(44%) dan masih ada responden yang kebiasaan buruk yang menjawab saat bermain tidak
menggunakan alas kaki sebesar 3%.
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan seminggu sekali
memotong kuku sebanyak 236 responden (69%) sedangkan responden yang menjawab
kadang-kadang memotong kuku seminggu sekali sebanyak 57 responden (17%) dan masih
ada responden yang menjawab dalam seminggu tidak memotong kukunya sebesar 14%.
Hasil wawancara dari 341 responden yang mempunyai kebiasaan menggigit kuku
sebanyak 59 responden (17%) namun responden yang menjawab tidak pernah menggigit kuku
sebanyak 233 responden (69%) dan yang menjawab kadan-kadang menggigit kukunya
sebanyak 49 orang (14%).
Hasil observasi kebersihan kuku terhadap 341 responden hasil pengamatan kuku
bersih dan pendek sebanyak 231 responden (68%) sedangkan responden yang kuku pendek
namun kotor sebanyak 67 responden (20%) dan yang kukunya panjang dan kotor ada
sebanyak 43 orang (12%).
4.5. Distribusi Proporsi Anak SD berdasarkan Kepemilikan Jamban
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepemilikan Jamban pada Anak SD di Kota
Sawahlunto Propinsi Sumbar Tahun 2019.
Variabel N %
Kepemilikan Jamban di Rumah
1. Tidak ada jamban 15 4,4 2. Ada Jamban 325 95,6 Jenis Jamban di rumah
1. Cemplung 43 13 2. Leher Angsa 298 87 Persediaan Sabun dekat jamban
1. Tidak 43 13 2. Ya 298 87 Kebiasaan dimana BAB
1. WC Sendiri 333 97 2. Sungai 3 1
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
22
3. Numpang 5 2 Sumber Air Bersih
1. Ledeng (PAM) 209 61,3 2. Sumur Pompa Tangan 1 0,3 3. Sumut Pompa Listrik 17 5 4. Sumur Gali 5 1,5 5. Sungai 4 1,2 6. Penampungan Air Hujan 7 2,1
7. Mata Air 98 28,7
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara dari 341 responden
yang memiliki jamban di rumah sebesar 95,6% sedangkan yang tidak mempunyai jamban
sebesar 4,4%.
Hasil wawancara dari 341 responden yang memiliki jamban jenis leher angsa sebesar
87% sedangkan yang mempunyai jamban jenis cmplung sebesar 13%.
Hasil wawancara dari 341 anak tempat yang biasa anak buang air besar terbanyak di
WC sendiri sebanyak 333 anak, yang BAB di sungai sebanyak 3 orang sedangkan yang BAB
numpang di rumah orang lain sebanyak 5 orang namun masih ada 3 orang anak yang
mengaku BAB di sungai.
Hasil wawancara dari 341 anak tempat yang persediaan sabun di dekat jamban
sehingga sehabis BAB langsung cuci tangan yang mengaku ada sebanyak 298 anak
sedangkan yang ada sebanyak 43 orang.
Hasil wawancara dari 341 responden yang penggunaan air bersih bersumber dari PAM
sebanyak 213 anak, yang air bersihnya berasal dari mata air sebanyak 85 orang penggunaan
air bersi dari sumur pompa sebanyak 25 orang sedangkan sumur gali 8 oranag, berasal dari air
yang ditampung 6 orang dan yang berasal dari sungai sebanyak 4 orang.
4.6. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pengetahuan Anak SD di Kota Sawahlunto
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Anak pada Anak SD di Kota
Sawahlunto Propinsi Sumbar Tahun 2019.
Variabel N %
Tanda-Tanda/Gejala Kecacingan
1. Pucat/Kurang Darah 20 6 2. Lemah / Lesu 148 43 3. Kurus 135 40 4. Tidak Tahu 38 11 Cara Penularan Kecacingan
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
23
1. Melalui tangan/kaki 168 49 2. Tidak tahu 173 51 Cara Pencegahan Kecacingan
1. BAB di jamban 55 16 2. Menjaga kebersihan makan dan minum 59 17 3. Cuci tangan sebelum makan 92 27 4. Cuci tangan setelah BAB 51 15 5. Memotong dan membersihkan kuku 30 9 6. Memakai alas kaki bila keluar rumah 38 11 7. Minum obat cacing 4 1 8. Minum air yang sudah dimasak 1 3
9. Tidak tahu 11 3
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara dari 341 responden
berdasarkan tingkat pengetahuan anak tentang apa saja gejala kecacingan masih yang
mengatakan lemah/lesu sebanyak 148 orang (43%), yang menjawab kurus sebanyak 135
orang (40%) sedangkan yang menjawab gejalanya pucat/kurang darah sebanyak 20 orang dan
yang tidak tahu sebanyak 38 orang.
Diketahui bahwa hasil wawancara dari 341 responden berdasarkan tingkat
pengetahuan anak tentang cara penularan kecacingan yang menjawab melalui tangan dan kaki
sebanyak 168 orang (49%) sedangkan lebih banyak anak yang menjawab tidak tahu sebanyak
173 anak (51%).
Hasil wawancara dari 341 responden berdasarkan tingkat pengetahuan anak tentang
pencegahan penyakit kecacingan terbanyak yang menjawab cuci tangan sebelum makan
sebanyak 92 anak (27%) kemudian yang menjawab menjaga kebersihan makan dan minum
sebanyak 59 anak, yang menjawab BAB di jamban sebanyak 55 orang (16%), yang menjawab
cuci tangan setelah BAB sebanyak 51 orang, yang menjawab menggunakan alas kaki bila
keluar rumah sebanyak 38 orang, menjawab memotong dan membersihkan kuku sebanyak 30
orang, menjawab minum obat cacing sebanyak 4 orang sedangkan yang menjawab minum air
yang sudah di masak ada 1 orang dan masih ada anak yang menjawab tidak tahu sebanyak 11
orang.
Grafik 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Tempat Anak SD Jajan selama di
Sekolah di Kota Sawahlunto Propinsi Sumbar Tahun
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
24
Berdasarkan grafik 4.2 diatas dapat diketahui bahwa hasil wawancara dari 341
responden berdasarkan kebiasaan jajan jam istirahat di sekolah yang terbanyak mengaku jajan
di kantin sekolah yaitu 89% sedangkan yang jajan di luar sekolah sebesar 11%.
4.7. Pembahasan
Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel tinja diperoleh 341 sampel 1% positif
terinfeksi cacing. Angka ini termasuk rendah dari angka nasional kecacingan yaitu <20%. Hal
ini tidak sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ginting yang menemukan
prevalensi yang tinggi pada Anak SD di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo
Propinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 70% dan hasil penelitian Kapti yang menunjukkan
prevalensi kecacingan pada anak SD di daerah Bali selama kurun waktu 2003– 2007 berkisar
antara 40,94%-92,4%.9,10 Sampel tinja yang terkumpul tidak sesuai dengan harapan karena
seharusnya sampel tinja yang terkumpul sebanyak 416 sampel tetapi yang terkumpul hanya
341 sampel. Alasan responden tidak mengumpulkan tinjanya yaitu, mengaku tidak bisa buang
air besar, merasa jijik mengambil tinjanya dan ada beberapa anak yang tidak diizinkan orang
tua untuk mengumpulkan feacesnya.
4.7.1. Prevalensi kejadian kecacingan Pada Anak SD di Kota Sawahlunto Tahun 2019.
Bahwa dari 341 anak SD Kota Sawahlunto yang dilakukan pemeriksaan feaces dengan
kato kazt maka didapat hasil pemeriksaan yang positif infeksi kecacingan berjumlah 1 anak
(0,3%) dan negative sebanyak 340 anak jenis cacing trihuris trihura dengan jumlah telur
sebanyak 5.
Cacing ini disebut juga sebagai cacing cambuk yang mempunyai ciri-ciri berupa,
bagian anterior seperti cambuk dan agak meruncing, 3/5 bagian tubuhnya dilalui oesophagus
yang sempit.
Bagian posterior lebih tebal, 2/5 bagian dari tubuhnya berisi usus dan organ
reproduksi. Cacing jantang berukuran 30 – 45 mm, sedangkan cacing betina berukuran 35 –
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
25
50 mm. bagian posterior cacing jantan berbentuk melingkar dengan satu spikulum dan sarung
yang retraktil, sedangkan bagian posterior cacing betina berbemtuk bulat dan tumpul.
Predileksi cacing ini pada mucosa cecum manusia. ( Neva A and Brown HW, 1994)
Telurnya berukuran 50 x 23 mikron dan berbentuk seperti tempayan dengan 2 kutub
yang jernih dan menonjol serta kulit luarnya berwarna kekuning-kuningan. Manusia tertular
karena tertelannya telur infektif dari cacing ini.
4.7.2. Perilaku Responden
Pengetahuan, perilaku, dan sanitasi lingkungan Hasil distribusi frekuensi untuk tingkat
pengetahuan, dan perilaku pada anak SD tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Pengetahuan
murid-murid SD tentang kecacingan menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden tidak
pernah mendengar tentang penyakit kecacingan, tidak mengetahui gejala dan jenis-jenis
cacing, walaupun ada beberapa murid mengetahui sumber penularan penyakit kecacingan dan
cara pencegahannya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel tinja diperoleh 90 sampel (31,6%) positif
terinfeksi cacing. Angka ini termasuk tinggi karena diatas dari angka nasional kecacingan
yaitu 10%8. Hal ini juga sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ginting yang
menemukan prevalensi yang tinggi pada Anak SD di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah
Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 70% dan hasil penelitian Kapti yang
menunjukkan prevalensi kecacingan pada anak SD di daerah Bali selama kurun waktu 2003–
2007 berkisar antara 40,94%-92,4%.9,10 Sampel tinja yang terkumpul tidak sesuai dengan
harapan karena seharusnya sampel tinja yang terkumpul sebanyak 400 sampel tetapi yang
terkumpul hanya 288 sampel.
Alasan responden tidak mengumpulkan tinjanya yaitu, mengaku tidak bisa buang air
besar, merasa jijik mengambil tinjanya, tidak diizinkan orang tua untuk mengumpulkan tinja
dan ada juga anak sekolah yang sudah tidak masuk sekolah dengan alasan sakit sampai
dengan hari terakhir pengumpulan sampel tinja.Hal ini yang mungkin menyebabkan
prevalensi kecacingan di kota Palu sedikit lebih rendah dari hasil penelitian-penelitian
sebelumnya.Prevalensi yang masih tinggi disebabkan karena banyaknya kasus infeksi yang
berulang, adanya kebiasaan buruk terutama pada anak-anak, misalnya masih sering bermain
di tanah tanpa menggunakan alas kaki, makan sebelum cuci tangan, menggigit kuku,
sertakurangnya informasi tentang kecacingan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmat A
Dachi, di Kecamatan Palapi Kabupaten Samosir, yang menyatakan ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan tindakan anak SD terhadap infeksi cacing perut. Demikian juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Adisti Andaruni menunjukkan bahwa faktor-faktor
penyebab infeksi kecacingan meliputi personal hygiene, perilaku dan sanitasi lingkungan.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
26
Pengetahuan responden tentang kecacingan memang masih sangat rendah sehingga
untuk mengantisipasi agar tidak terkena penyakit ini juga masih sangat rendah.
Pengetahuan merupakan faktor domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Menurut Soekidjo, seseorang memiliki peri-laku pasif yang terjadi di
dalam dirinya dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain. Perilaku yang
responden tunjukkan dari hasil wawancara sebanyak 341 anak untuk mencegah kecacingan
sudah baik, seperti cuci tangan sebelum makan (27%), cuci tangan setelah buang air besar
(15%), BAB di jamban (16%), memakai alas kaki di luar rumah (11%), tetapi mungkin pada
saat prakteknya tidak sesuai dengan jawaban yang diberikan, seperti perilaku mencuci tangan,
walaupun resonden menyatakan mencuci tangan sebelum makan tetapi apakah pada saat cuci
tangan sudah sesuai dengan pedoman cuci tangan yang benar. Begitu pula dengan perilaku
meng-konsumsi kue atau cemilan hasil dari jajan, responden merasa tidak perlu mencuci
tangan karena bukan makan nasi sehingga langsung mengkonsumsi makanannya tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu. Adapun kesenangan responden bermain di tanah (16%),
masih menjadi perilaku yang mendukung terjadinya kecacingan karena kebiasaan responden
yang tidak selalu memakai sendal/sepatupada saat bermain. Hasil penelitian yang tidak
menemukan hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian kecacingan pada anak SD
di Kota Palu berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wachidaniyah yang
menemukan adanya hubungan yang bermakna antara kondisi sanitasi lingkungan dengan
kejadian kecacingan. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau
keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan yang optimal.
Adapun ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi: perumahan, pembuangan
kotoran manusia, penyediaan air limbah, rumah hewan ternak, dan sebagainya. Pada
penelitian ini ditemukan walaupun responden menyatakan tersedia sabun di dalam WC
(87%), namun belum tentu digunakan pada saat setelah BAB.
Perilaku mencuci tangan yang benar yaitu dengan cara mencuci tangan di air mengalir
dan memakai sabun dapat menghilangkan berbagai macam kuman dan kotoran yang
menempel di tangan sehingga tangan bersih dan bebas kuman. Faktor lain yang ditemukan
adalah masih ada (4%) anak yang tidak memiliki jamban di rumah responden dapat menjadi
salah satu faktor pemicu terjadinya penularan kecacingan. Padahal untuk mencegah sekurang-
kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran
manusia harus dikelola dengan baik, karena tinja manusia dapat menjadi sumber penularan
bagi berbagai macam penyakit. penggunaan air sungai dan mata air untuk keperluan sehari-
hari juga turut diperkirakan memberikan andil terhadap keberlangsungan penularan
kecacingan.
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Survei prevalensi kecacingan di Kota Sawahlunto dilakukan pada tahun kelima pasca
POPM yaitu pada bulan Oktober 2018, maka evaluasi prevalensi dilakukan pada bulan ke
enam setelah POPM terakhir yaitu bulan April 2019.
Berdasarkan wawancara dari 341 anak untuk mencegah kecacingan sudah baik, seperti
cuci tangan sebelum makan (27%), cuci tangan setelah buang air besar (15%), BAB di
jamban (16%), memakai alas kaki di luar rumah (11%), tetapi mungkin pada saat prakteknya
tidak sesuai dengan jawaban yang diberikan, seperti perilaku mencuci tangan, walaupun
resonden menyatakan mencuci tangan sebelum makan tetapi apakah pada saat cuci tangan
sudah sesuai dengan pedoman cuci tangan yang benar. Begitu pula dengan perilaku meng-
konsumsi kue atau cemilan hasil dari jajan, responden merasa tidak perlu mencuci tangan
karena bukan makan nasi sehingga langsung mengkonsumsi makanannya tanpa mencuci
tangan terlebih dahulu. Adapun kesenangan responden bermain di tanah (16%), masih
menjadi perilaku yang mendukung terjadinya kecacingan karena kebiasaan responden yang
tidak selalu memakai sendal/sepatu pada saat bermain.
Hasil pemeriksaan sampel dengan menggunakan kato kazt menunjukkan bahwa angka
prevalensi kecacingan pada anak Sekolah Dasar di Kota Sawahlunto pada 341 adalah 0,3%
yang artinya kategori rendah <20%. Jenis cacing menginfeksi adalah Trihuris Trihura. Satu
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
28
siswa yang positif kecacingan bernama Wan Monica Putri berasal dari SDN 13 Pasar Remaja
Kota Sawahlunto.
5.2. Saran
Masih perlu dilakukan pengobatan kecacingan pada Anak SD secara rutin dari Dinas
Kesehatan untuk tetap mepertahankan prevalensi kecacingan saat ini <20%
berdasarkan prevalensi WHO dan perlunya pula dilakukan penyuluhan pada anak SD
tentang kecacingan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Pemberian pengobatan obat cacing secara selektif.
Tim Survei :
1. Heriati Panjaitan, SKM, M,Kes
Nip : 197412302000122009
2. Trisna Rahmah, S.Si, M.Sc
Nip : 197106131991032001
3. Mangatur Tobing, SKM
NIP : 197702071997031003
4. Nazaruddin Syam Lubis
NIP : 199103232015031001
Medan, Juli 2019
Mengetahui :
Ka.Sie Surveilans Epidemiologi Penulis
Dra. Inggrita Ginting, Apt, M.Kes Heriati Panjaitan, SKM, M.Kes
NIP : 196810101998032001 NIP:197412302000122009
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
29
DAFTAR PUSTAKA
Agustria Ginting, 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada
Anak Sekolah Dasar di Desa Tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,Medan.
Dachi Rahmad.A. Hubungan perilaku anak Sekolah Dasar No. 174593 Hatoguan terhadap
infeksi cacing perut di Kecamatan Palapi Kabupaten Samosir. J Mutiara Kesehatan
Indonesia. 2005.
Hadidjaja. P. 1990. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. FK.UI. Jakarta.
Onggowaluyo,S,J. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi). Pendekatan Aspek Identifikasi
Diagnosis dan Klinik. Anggota IKAPI. EGC.Jakarta
Penanggulangan Cacingan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2017. Kementerian Kesehatan.2018.
Laporan Tahunan P2P. 2018.Pemerintahan Kota Sawahlunto. Dinkes dan Kependudukan
Kota Sawahlunto.
Notoadmojo S. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2002
Siti Chadijah.2014.Hubungan Pengetahuan, Perilaku, dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka
Kecacingan pada anak Sekolah Dasar di Kota Palu. Media Litbangkes Vol.24 No 1,
Maret 2014,50-60.
Sri Kartini. 2016. Kejadian Kecacingan pada Siswa SD Negeri Kecamatan Rumbai Pesisr
Pekanbaru.
Direktorat Jenderal PP & PL. Pedoman pengendaliankecacingan. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2007.
WHO, “Soil-Transmitted Helminth Infection,” 2016
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
30
DATA SEKOLAH TERPILIH KEGIATAN KECACINGAN DI KOTA SAWAHLUNTO
TAHUN 2019
A. SEKOLAH UTAMA
NO URU
T.
NO RANDO
M NAMA SEKOLAH
TK III TK IV TK V JML
JUMLAH
MURID YANG DISAMPLING JML
TOTAL L P L P L P L P
1 1 SDN 01 SILUNGKANG TIGO 13 10 11 9 5 20 29 39 17 68
2 3 SDN 05 MUARO KALABAN 16 11 12 15 19 7 47 33 20 80
3 5 SDN 08 SILUNGKANG DUO 7 7 10 8 5 11 22 26 12 48
4 7 SDN 10 TARATAK BANCAH 1 4 6 5 1 9 8 18 7 26
5 9 SDN 12 SILUNGKANG DUO 2 5 2 5 8 4 12 14 7 26
6 11 SDS MUHAMMADIYAH 13 10 8 4 8 10 29 24 13 53
7 13 SDN 01 PASAR KUBANG 9 6 8 11 7 13 24 30 14 54
8 15 SDN 03 AUR TAJUNGKANG 19 18 15 14 28 20 62 52 29 114
9 17 SDN 06 KUBANG TANGAH 4 2 3 3 2 3 9 8 4 17
10 19 SDN 11 PONDOK BATU 10 2 8 3 9 6 27 11 10 38
11 21 SDN 13 PASAR REMAJA 28 29 28 27 20 33 76 89 41 165
12 23 SDN 17 AIR DINGIN 4 4 9 4 6 5 19 13 8 32
13 25 SDN 02 SAPAN 18 10 19 13 10 12 47 35 21 82
14 27 SDN 05 KOLOK MUDIK 10 14 14 5 8 6 32 25 14 57
15 29 SDN 07 TALAGO GUNUNG 5 1 2 8 3 0 10 9 5 19
16 31 SDN 12 SAPAN 5 5 9 5 3 4 17 14 8 31
17 33 SDN 14 TALAGO GUNUNG 9 9 4 6 7 8 20 23 11 43
18 35 SDN 16 KOTO TUO 6 7 6 8 0 10 12 25 9 37
19 37 SDN 19 SANTUR 22 19 21 20 16 23 59 62 30 121
20 38 SDN 25 BALAI BATU
SANDARAN 2 6 3 2 7 2 12 10 6
22
21 40 SDN 28 SANTUR 11 8 8 3 5 6 24 17 10 41
22 42 SDIT CAHAYA PELANGI 17 9 25 15 14 5 56 29 21 85
23 44 SDN 02 TALAWI HILIR 15 7 13 13 18 16 46 36 21 82
24 46 SDN 04 RANTIH 8 3 8 2 7 10 23 15 10 38
25 48 SDN 06 BUKIT GADANG 6 9 6 4 6 8 18 21 10 39
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
31
26 50 SDN 08 KUMBAYAU 17 6 7 9 11 9 35 24 14 59
27 52 SDN 11 SIKALANG 7 5 5 8 8 9 20 22 11 42
28 54 SDN 13 SALAK 8 12 10 8 9 9 27 29 14 56
29 56 SDN 15 KUMANIS ATAS 8 5 5 7 12 7 25 19 11 44
30 58 SDN 18 BATU KUALI 3 8 6 6 6 4 15 18 8 33
Jumlah
303 25
1 291 25
0 26
8 28
9 86
2 79
0 416 1652
B. SEKOLAH CADANGAN.
NO. URU
T
NO. RANDO
M NAMA SEKOLAH
TK III TK IV TK V JML JUMLAH
MURID YANG DISAMPLING
JML TOTAL L P L P L P L P
1 16 SDN 05 KUBANG SIRAKUK
BAWAH 11 15 11 8 10 11 32 34 16 66
2 53 SDN 12 TALAWI MUDIK 12 9 12 7 13 8 37 24 15 61
3 47 SDN 05 TIGO TANJUNG 8 8 6 2 5 8 19 18 9 37
4 39 SDN 27 TALAGO GUNUNG 7 4 5 4 6 8 18 16 9 34
5 24 SDS SANTA LUCIA 6 5 5 8 12 2 23 15 10 38
6 32 SDN 13 SUNGAI DURIAN 14 15 17 16 13 17 44 48 23 92
7 2 SDN 04 SILUNGKANG 10 16 19 12 8 13 37 41 20 78
Jumlah
68 72 75 57 67 67 210
196 102
406
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
32
DOKUMENTASI
Kegiatan OJT Kecacingan di Dinkes Kota Sawahlunto yang dihadiri oleh Kepala Dinas
Kesehatan, Ka.Bid P2P Dinkes Kota Sawahlunto dan Pengelola Filariasis dan
Kecacingan Dinkes Propinsi Sumbar. Kegiatan OJT dibawakan oleh Surveyor BTKL
Medan.
Peserta OJT yang hadir berjumlah 30 orang dari Puskesmas yang ada di Kota
Sawahlunto dan foto bersama dengan Kepala Dinkes Kota Sawahlunto
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
33
Koordinasi dengan salah satu Kepala Sekolah SD di Kota Sawahlunto perihal kegiatan
survei prevalensi kecacingan dan Pengarahan pada anak SD yang akan dilakukan
survei kecacingan oleh tenaga Puskesmas dan dihadiri Kepala Seksi P2P dan Staf
Dinkes Kota Sawahlunto
Survei perilaku anak dengan melakukan wawancara dan memperagakan cara mencuci
tangan yang benar di Salah satu SD di Kota Sawahlunto.
Pembuatan larutan kato dan pembacaan di bawah mikroskopis oleh tenaga mikroskopis
BTKLPP Medan
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
34
Penerimaan bahan sampel dan kroschek dengan kuisioner yang diterima oleh BTKL
dan Dinkes Kota Sawahlunto
Kunjungan dan monitoring kegiatan oleh Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bidang
P2P Dinas Kesehatan Kota Sawahlunto Propinsi Sumatera Barat.
Tim Survei BTKLPP Kelas I Medan dan Dinas Kesehatan Kota Sawahlunto
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
35
Frequency Table
Jenis Kelamin Anak SD Kota Sawahlunto
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-Laki 160 46.9 46.9 46.9
Perempuan 181 53.1 53.1 100.0
Total 341 100.0 100.0
Umur Anak SD Kota sawahlunto
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 6 - 8 Tahun 11 3.2 3.2 3.2
9 - 11 Tahun 296 86.8 86.8 90.0
> 12 Tahun 34 10.0 10.0 100.0
Total 341 100.0 100.0
Minum Obat Cacing
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Minum Obat >6 Bulan 148 43.4 43.4 43.4
Tidak Minum Obat 193 56.6 56.6 100.0
Total 341 100.0 100.0
Personal Hygiene Anak SD
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
36
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baik 280 82.1 82.1 82.1
Sedang 54 15.8 15.8 97.9
Kurang 7 2.1 2.1 100.0
Total 341 100.0 100.0
Penggunaan Alas Kaki Keluar Rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 4 1.2 1.2 1.2
Kadang-Kadang 65 19.1 19.1 20.2
Ya 272 79.8 79.8 100.0
Total 341 100.0 100.0
Istirahat Sekolah Bermain Sambil membuka sepatu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 10 2.9 2.9 2.9
Tidak 180 52.8 52.8 55.7
Kadang-Kadang 151 44.3 44.3 100.0
Total 341 100.0 100.0
Sering Makan sambil Bermain Tanah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 285 83.6 83.6 83.6
Kadang-Kadang 56 16.4 16.4 100.0
Total 341 100.0 100.0
Cuci Tangan Setelah bermain tanah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 82 24.0 24.0 24.0
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
37
Kadang-Kadand 237 69.5 69.5 93.5
Tidak 22 6.5 6.5 100.0
Total 341 100.0 100.0
Memotong Kuku 1 Minggu sekali
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 48 14.1 14.1 14.1
Kadang-Kadang 57 16.7 16.7 30.8
Ya 236 69.2 69.2 100.0
Total 341 100.0 100.0
Sering Menggigit Kuku
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 233 68.3 68.3 68.3
Kadang-Kadang 49 14.4 14.4 82.7
Ya 59 17.3 17.3 100.0
Total 341 100.0 100.0
Hasil Pengamatan Kuku
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Panjang Kotor 43 12.6 12.6 12.6
Pendek Kotor 67 19.6 19.6 32.3
Pendek Bersih 231 67.7 67.7 100.0
Total 341 100.0 100.0
Kepemilikan Jamban di Rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tdak Ada Jamban 15 4.4 4.4 4.4
Ada Jamban 326 95.6 95.6 100.0
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
38
Kepemilikan Jamban di Rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tdak Ada Jamban 15 4.4 4.4 4.4
Ada Jamban 326 95.6 95.6 100.0
Total 341 100.0 100.0
Jenis jamban di Rumah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Cemplung 43 12.6 12.6 12.6
Leher Angsa 298 87.4 87.4 100.0
Total 341 100.0 100.0
Persediaan Sabun di dekat jamban
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 43 12.6 12.6 12.6
Ya 298 87.4 87.4 100.0
Total 341 100.0 100.0
Kebiasaan dimana BAB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid WC Sendiri 333 97.7 97.7 97.7
Sungai 3 .9 .9 98.5
Kolam 5 1.5 1.5 100.0
Total 341 100.0 100.0
Sumber Air Bersih
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ledeng (PAM) 209 61.3 61.3 61.3
Sumur Pompa Tangan 1 .3 .3 61.6
Sumur Pompa Listrik 17 5.0 5.0 66.6
Sumur Gali 5 1.5 1.5 68.0
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
39
Sungai 4 1.2 1.2 69.2
Penampungan Air Hujan 7 2.1 2.1 71.3
Mata Air 98 28.7 28.7 100.0
Total 341 100.0 100.0
Tanda-Tanda Kecacingan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak tahu 38 11.1 11.1 11.1
Kurus 135 39.6 39.6 50.7
Lemah/Lesu 148 43.4 43.4 94.1
Pucat/Kurang darah 20 5.9 5.9 100.0
Total 341 100.0 100.0
Cara Penularan Kecacingan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Melalui Tangan/Kaki 168 49.3 49.3 49.3
Tidak Tahu 173 50.7 50.7 100.0
Total 341 100.0 100.0
Pencegahan Kecacingan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Tahu 11 3.2 3.2 3.2
BAB di Jamban 92 27.0 27.0 30.2
Menjaga kebersihan
Makan/minuman 59 17.3 17.3 47.5
Cuci tangan Sebelum Makan 55 16.1 16.1 63.6
Cuci Tangan setelah BAB 51 15.0 15.0 78.6
Memotong dan
Membersihkan Kuku 30 8.8 8.8 87.4
Memakai alas kaki bila
keluar 38 11.1 11.1 98.5
SURVEI EVALUASI PREVALENSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KOTA SAWAHLUNTO PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2019
40
Minum Obat Cacing 4 1.2 1.2 99.7
Minum Air yang sudah
dimasak 1 .3 .3 100.0
Total 341 100.0 100.0
Tempat Jajan Anak di Sekolah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Diluar Sekolah 36 10.6 10.6 10.6
Kantin Sekolah 305 89.4 89.4 100.0
Total 341 100.0 100.0