Upload
others
View
6
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN
KAJIAN FISKAL REGIONAL Tahun 2019
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
KAfA PENGANTAR
Dalam rangka menjalankan tugas Kementerian
Keuangan sebagai Pengelola Fiskal, Kanwil Ditjen
Perbendaharaan selaku representasi Kementerian Keuangan di
daerah menjalankan fungsi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran
Daerah. Salah satu pelaksanaan fungsi tersebut, Kanwil Ditjen
Perbendaharaan Provinsi Aceh telah menyusun dan
menyelesaikan Kajian Fiskal Regional Tahunan (Annual
Regional Fiscal Report) Provinsi Aceh Tahun 2019.
Kajian Fiskal Regional ini diarahkan pada analisis fiskal dan ekonomi makro yang dapat
digunakan dalam pencapaian tujuan kebijakan fiskal. Kajian ini memaparkan informasi
mengenai potret dari profil dan dinamika kondisi fiskal di Provinsi Aceh yang antara lain tentang
makroekonorhi daerah, perkembangan pelaksanaan anggaran pusat dan daerah, serta
perkembangan pengelolaan BL U dan investasi, potensi ekonomi regional dan tantangan fiskal
daerah.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dan kelemahan kajian ini, untuk itu
masukan dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna perbaikan kajian selanjutnya.
Dalam kesempatan Ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak balk
Pemerintah Daerah dan SKPD dalam lingkup Kabupaten/Kota/Prov. Aceh, BPS Prov. Aceh,
Perwakilan Bank Indonesia Aceh dan KPPN dalam wilayah Kanwil Ditjen Perbendaharaan
Provinsi Aceh yang telah membantu dalam penyusunan Kajian Fiskal Regional Tahunan Provinsi
Aceh Tahun 2019.
Semoga dengan adanya informasi yangtertuang dalam kajian ini dapat memberikan
manfaat kepada para pemangku kepentingan.
Banda Aceh, Februari 2020 Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh
Annual Regional Fiscal Report 2019
ii Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
TIM PENYUSUN
Penanggungjawab : Zaid Burhan Ibrahim
(Kepala Kanwil DJPb Provinsi Aceh)
Ketua Tim : Y u s r i
(Kepala Bidang PPA II)
Koordinator : Nanang Heru Setyo Purdianto (Kepala Seksi PPA II A)
Oktana Yudha Sakti (Kepala Seksi PPA II B) Tommy Hansen Panjaitan (Kepala Seksi PPA II C)
Editor : Arriza Adiya
Luthfiya Nazla Mapaung
Desain Grafis : Kausar
Kontributor : Ieng (Kabid PPA I)
Ahmad Fahmi (Kabid PAPK) Herkwin (Kepala KPPN Banda Aceh)
Indrawan Fazrul Ichsan
Teguh Ariffandi Mahyiddin
Annual Regional Fiscal Report 2019 iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar i Tim Penyusun ii Daftar Isi iii Daftar Tabel vi Daftar Grafik vii Daftar Boks viii Dashboard Makro-Fiskal Regional ix Ringkasan Eksekutif x BAB I Sasaran Pembangunan dan Tantangan Daerah 1
1.1 Pendahuluan 1 1.2 Tujuan dan Sasaran Pembangunan 2
1.2.1 Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2 1.2.2 Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) 5
1.3 Tantangan Daerah 6 1.3.1 Tantangan Ekonomi Daerah 6 1.3.2 Tantangan Sosial Kependudukan 6 1.3.3 Tantangan Geografi Wilayah 6
BAB II Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional 9 2.1 Indikator Ekonomi Makro Fundamental 9
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 9 2.1.2 Suku Bunga 14 2.1.3 Inflasi 15 2.1.4 Nilai Tukar Rupiah 17
2.2 Indikator Kesejahteraan 18 2.2.1 Indeks Pembangunana Manusia (IPM) 18 2.2.2 Tingkat Kemiskinan 21 2.2.3 Tingkat Ketimpangan (Rasio Gini) 23 2.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan dan Tingkat Pengangguran 25
2.3 Efektivitas Kebijakan Makro Ekonomi Dan Pembangunan Regional 26 BAB III Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional 29
3.1 APBN Tingkat Provinsi 29 3.2 Pendapatan Pemerintah Pusat Tingkat Regional 30
3.2.1 Penerimaan Perpajakan 30 3.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 34
3.3 Belanja Pemerintah Pusat Tingkat Regional 37 3.3.1 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Organisasi 37 3.3.2 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Fungsi 38 3.3.3 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Jenis Belanja 38
3.4 Transfer Ke Daerah dan Dana Desa 41 3.4.1 Dana Transfer Umum 43 3.4.2 Dana Transfer Khusus 43 3.4.3 Dana Desa 44 3.4.4 Dana Insentif Daerah dan Otonomi Khusus 45
3.5 Analisis Cash Flow APBN Tingkat Regional 45 3.5.1 Arus Kas Masuk (Penerimaan Negara) 45 3.5.2 Arus Kas Keluar (Belanja dan TKDD) 46 3.5.3 Surplus/Defisit 46
3.6 Pengelolaan BLU Pusat 47 3.6.1 Profil dan Jenis Layanan Satker BLU Pusat 47 3.6.2 Perkembangan Aset, PNBP, dan Belanja BLU Pusat 48 3.6.3 Kemandirian BLU 50 3.6.4 Profil dan Jenis Layanan Satker PNBP 50
iv Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
3.7 Pengelolaan Manajemen Investasi Pusat 52 3.7.1 Penerusan Pinjaman 52 3.7.2 Kredit Program 52
3.8 Perkembangan dan Analisis Belanja Wajib (Mandatory Spending) dan Belanja Infarastruktur Pusat Di Daerah 55 3.8.1 Mandatory Spending di Daerah 56 3.8.2 Belanja Infrastruktur di Daerah 57
BAB IV Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD 59 4.1 APBD Tingkat Provinsi (Konsolidasi Pemda) 59 4.2 Pendapatan Daerah 60
4.2.1 Dana Transfer / Perimbangan 61 4.2.2 Pendapatan Asli Daerah 63 4.2.3 Pendapatan Lain-lain 65
4.3 Belanja Daerah 65 4.3.1 Rincian Belanja Daerah Berdasarkan Klasifikasi Urusan 65 4.3.2 Rincian Belanja Daerah Berdasarkan Jenis Belanja (Sifat Ekonomi) 67
4.4 Perkembangan BLU Daerah 68 4.4.1 Profil dan Jenis Layanan BLU Daerah 68 4.4.2 Perkembangan Pengelolaan Aset PNBP dan RM BLU Daerah 69 4.4.3 Analisis Legal 70
4.5 Surplus/Defisit APBD 71 4.5.1 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan 71 4.5.2 Rasio Surplus/Defisit terhadap Dana Transfer 71 4.5.3 Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB 72
4.6 Pembiayaan Daerah 72 4.6.1 Rasio SILPA terhadap Alokasi Belanja 73 4.6.2 Pengeluaran Pembiayaan 73 4.6.3 Rasio Pinjaman Daerah terhadap Total Pembiayaan 73 4.6.4Keseimbangan Primer 74
4.7 Analisis Kinerja Pengeloaan Keuangan Daerah 74 4.7.1 Analisis Horizontal dan Vertikal 74 4.7.2 Analisis Kapasitas Fiskal Daerah 75
4.8 Perkembangan Belanja Wajib Daerah 76 4.8.1 Belanja Daerah Sektor Pendidikan 77 4.8.2 Belanja Daerah Sektor Kesehatan 77 4.8.2 Belanja Infrastruktur Daerah 77
BAB V Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian (APBN&APBD) 79
5.1 Laporan Realisasi Anggaran Konsolidasian 79 5.2 Pendapatan Konsolidasian 80
5.2.1 Analisis Proporsi dan Perbandingan 80 5.2.2 Rasio Pajak per Kapita Provinsi Aceh 81 5.2.2 Analisis Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kenaikan Realisasi Pendapatan Konsolidasi 82
5.3 Belanja Konsolidasian 83 5.3.1 Analisis Proporsi dan Perbandingan 83 5.3.2 Analisis Rasio Belanja Konsolidasi Terhadap Jumlah Penduduk 85
5.4 Surplus/Defisit Konsolidasian 85 5.4.1 Proporsi Realisasi Surplus/Defisit Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Surplus/Defisit Konsolidasian 85 5.4.2 Analisis Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB antar Kabupaten/Kota 86
5.5 Analisis Dampak Kebijakan Fiskal Agregat 87 5.5.1 Belanja Pemerintah Terhadap PDRB 87
BAB VI Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional 89 6.1 Sektor Unggulan Daerah 91 6.2 Sektor Potensial Daerah 94
Annual Regional Fiscal Report 2019 v
6.2.1 PLTA Peusangan : Sumber Energi Baru Terbarukan untuk mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah 6.3 Tantangan Fiskal Regional dalam Mendorong Potensi Ekonomi Daerah
6.3.1 Tantangan Fiskal Pemerintah Pusat 6.3.2 Tantangan Fiskal Pemerintah Daerah 6.3.3 Sinkronisasi Kebijakan Fiskal Pusat Daerah
BAB VII Sinergi dan Konvergensi Program Penanganan Stunting di Provinsi Aceh 7.1 Gambaran Umum 7.2 Perkembangan Stunting di Aceh 7.3 Penanganan Prevalensi Stunting di Provinsi Aceh 7.4 Anggaran Penanganan Stunting di Provinsi Aceh
7.4.1 Belanja Kementerian Negara/Lembaga (Belanja K/L) 7.4.2 Transfer ke Daerah dan Dana Desa 7.4.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA)
7.5 Tantangan 7.6 Rekomendasi
BAB VIII Penutup 8.1 Kesimpulan 8.2 Rekomendasi
Daftar Pustaka
94 102 102 103 103 104 104 105 107 108 109 109110111 112 113113 115116
vi Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tujuan dan Sasaran Pembangunan Aceh Tahun 2017-2022 3 Tabel 2.1 Jumlah PDRB Provinsi Aceh 9 Tabel 2.2 PDRB Sisi Penawaran Atas Dasar Harga Konstan 12 Tabel 2.3 PDRB Sisi Permintaan Atas Dasar Harga Konstan 13 Tabel 2.4 Perkembangan UHH, HLS, RLS dan Pengeluaran Per Kapita Aceh 20 Tabel 2.5 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan
Aceh 22 Tabel 2.6 Target dan Capaian Aceh Terhadap Indikator Ekonomi Makro 26 Tabel 3.1 APBN Provinsi Aceh 29 Tabel 3.2 Realisasi Per Jenis PNBP Lainnya 36 Tabel 3.3 Tingkat Penyerapan 10 K/L Pagu Terbesar TA 2019 37 Tabel 3.4 Pagu dan Realisasi Dana Transfer Provinsi Aceh 2018 s.d. 2019 42 Tabel 3.5 Perkembangan Jumlah Aset, PNBP, dan Belanja BLU Pusat di Aceh 48 Tabel 3.6 Perkembangan Realisasi PNBP BLU, Belanja BLU, dan Rasio PNBP BLU terhadap
Belanja BLU 50 Tabel 3.7 10 Satker PNBP Aceh dengan Realisasi PNBP Terbesar di Tahun 2019 dan
Perbandingannya dengan Realisasi PNBP di Tahun 2018 51 Tabel 3.8 Nama Debitur dan Jumlah Pinjaman Daerah per 31 Desember 2019 52 Tabel 3.9 Penyaluran KUR per Sektor Ekonomi Wilayah Aceh Tahun 2018-2019 53 Tabel 3.10 Perkembangan Penyaluran KUR Per Skema Tahun 2018-2019 54 Tabel 3.11 Perkembangan Penyaluran KUR Per Wilayah Tahun 2018-2019 55 Tabel 3.12 Realisasi Capaian Output Bidang Pendidikan 56 Tabel 3.13 Realisasi Capaian Output Bidang Pendidikan 57 Tabel 3.14 Realisasi Capaian Output Bidang Infrastruktur 57 Tabel 4.1 LRA APBA+APBK Provinsi Aceh 59 Tabel 4.2 Jenis Pendapatan APBD Kab/Kota dan Provinsi di Aceh 60 Tabel 4.3 Target dan Realisasi Belanja APBD Kab/Kota dan Provinsi per Jenis Belanja 67 Tabel 4.4 Nilai Aset BLUD di Provinsi Aceh 69 Tabel 4.5 PNBP dan RM BLUD Tahun 2018 70 Tabel 4.6 Penetapan BLUD 70 Tabel 4.7 Perkembangan Kapasitas Fiskal Provinsi Aceh 75 Tabel 4.8 Perkembangan Belanja per Fungsi 76 Tabel 5.1 LRA Konsolidasian Tingkat Wilayah Provinsi Aceh 79 Tabel 5.2 Rasio Pajak per Kapita Aceh dalam 5 Tahun Terakhir 82 Tabel 5.3 Perkembangan Rasio Pajak dan Rasio Pendapatan Aceh terhadap PDRB
Aceh 82 Tabel 5.4 Perkembangan Rasio Belanja Konsolidasian Terhadap Jumlah Penduduk
di Provinsi Aceh 85 Tabel 6.1 Persebaran Komoditi Aceh 89 Tabel 6.2 Produksi Perikanan Kabupaten Simeulue 91 Tabel 6.3 Produksi Perikanan Laut menurut Jenis Ikan Kabupaten Simeulue
tahun 2014 s.d 2018 92 Tabel 6.4 Matriks Tipologi Klassen Komoditi Produksi Perikanan Menurut Jenis Ikan di
Kabupaten Simeulue 93 Tabel 6.5 Analisis SWOT Pembangunan PLTA 98 Tabel 7.1 Prevalensi Balita Stunting 2013-2019 di Indonesia 105 Tabel 7.2 Perkembangan Prevalensi Balita Stunting Beberapa Provinsi di Indonesia 106 Tabel 7.3 Indikator Daerah Bermasalah Kesehatan menurut WHO
Hasil PSG 2015 – 2017 Provinsi Aceh 107 Tabel 7.4 Tabel Daftar Kabupaten/Kota Prioritas Penanggulangan Stunting di Provinsi Aceh 108 Tabel 7.5 Belanja K/L Penanganan Stunting di Provinsi Aceh 110 Tabel 7.6 Dana TKDD untuk Penanganan Stunting di Provinsi Aceh 111 Tabel 7.7 Jumlah dan Rasio Berdasarkan Jenis Tenaga Kesehatan di Provinsi Aceh
Tahun 2018 112
Annual Regional Fiscal Report 2019 vii
DAFTAR GRAFIK Grafik 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Aceh dan Nasional 10 Grafik 2.2 Pertumbuhan Ekonomi Aceh dan Nasional per Triwulan (PDRB ADHK) 11 Grafik 2.3 PDRB per Kapita Aceh dan Nasional 14 Grafik 2.4 BI 7-Day Repo Rate 2019 15 Grafik 2.5 Inflasi Bulanan Aceh dan Nasional Tahun 2019 16 Grafik 2.6 Inflasi Tahunan Aceh dan Nasional Tahun 2015-2019 16 Grafik 2.7 Pergerakan Kurs Tengah Mata Uang Asing Terhadap Rupiah Tahun 2019 17 Grafik 2.8 Perkembangan Ekspor Impor Aceh 2015-2019 18 Grafik 2.9 Indeks Pembangunan Manusia Aceh dan Nasional 19 Grafik 2.10Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Aceh dan Nasional 21 Grafik 2.11 Perkembangan Kemiskinan Perkotaan dan Pedesaan di Provinsi Aceh 22 Grafik 2.12 Perkembangan Rasio Gini Aceh dan Nasional 23 Grafik 2.13 Perbandingan Rasio Gini Se-Sumatera per September 2019 24 Grafik 2.14 Perkembangan Tingkat Penganguran Aceh dan Nasional 25 Grafik 2.15 Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Kerja Utama 26 Grafik 3.1 Realisasi Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat Provinsi Aceh Tahun 2019 31 Grafik 3.2 Realisasi Pajak Dalam Negeri per Jenis Pajak 31 Grafik 3.3 Realisasi Penerimaan Pajak per Kab./Kota di Provinsi Aceh 32 Grafik 3.4 Realisasi Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional di Aceh 33 Grafik 3.5 Perkembangan Tax Rasio Aceh 34 Grafik 3.6 Perkembangan Realisasi PNBP Aceh 35 Grafik 3.7 Persentase Alokasi APBN Berdasarkan Klasifikasi Fungsi TA 2019 38 Grafik 3.8 Perbandingan Realisasi Anggaran Berdasarkan Klasifikasi Fungsi TA 2018 dan 2019 40 Grafik 3.9 Alokasi dan Realisasi Belanja TA 2018 dan 2019 41 Grafik 3.10Pagu dan Realisasi Transfer ke Daerah per Kab./Kota TA 2019 42 Grafik 3.11 Alokasi dan Realisasi Dana Transfer Umum Tahun 2015-2019 43 Grafik 3.12 Alokasi dan Realisasi Dana Transfer Khusus Tahun 2015-2019 44 Grafik 3.13 Alokasi dan Realisasi Dana Desa Tahun 2015-2019 44 Grafik 3.14 Alokasi dan Realisasi Dana Insentif Daerah dan Dana Otonomi Khusus Tahun 2015-2019 45 Grafik 3.15 Arus Kas Masuk di Provinsi Aceh Tahun 2019 46 Grafik 3.16 Arus Kas Keluar di Provinsi Aceh Tahun 2019 46 Grafik 3.17 Cash Flow APBN di Provinsi Aceh 47 Grafik 3.18 Perbandingan Jumlah Satker PNBP di Aceh per Jenis Layanan 51 Grafik 4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi Aceh 62 Grafik 4.2 Tren Alokasi Dana Transfer terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, IPM, Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran 62 Grafik 4.3 Realisasi PAD per Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2019 63 Grafik 4.4 Rasio PAD terhadap Belanja Pemerintah Daerah per Kabupaten/Kota Tahun 2019 64 Grafik 4.5 Jenis Pendapatan Lain-lain 65 Grafik 4.6 Rasio Alokasi dan Realisasi Belanja Daerah Tahun 2019 per Klasifikasi Urusan 66 Grafik 4.6 Perbandingan per Jenis Belanja antara Provinsi dan Seluruh Kab./Kota 68 Grafik 4.7 Rasio Keseimbangan Primer per Pemda tahun 2019 74 Grafik 4.8 Perbandingan Kontribusi PAD dalam Pendapatan Daerah terhadap Surplus/Defisit Daerah 75 Grafik 5.1 Perbandingan Komposisi Pendapatan Konsolidasian 80 Grafik 5.2 Perbandingan Persentase Perubahan Pendapatan Konsolidasian 81 Grafik 5.3 Perbandingan Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Tahun 2019 83 Grafik 5.4 Perubahan Komposisi Belanja per Jenis Belanja Tahun 2019 dari tahun 2018 84 Grafik 5.5 Perbandingan Surplus/Defisit Konsolidasian Tahun 2019 dan 2018 86 Grafik 5.6 Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB Aceh 2018 dan 2019 86 Grafik 5.5 Rasio Belanja Pemerintah (APBN + APBD) di Provinsi Aceh Terhadap PDRB Aceh 87 Grafik 6.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kab. Simeulue tahun 2014 s.d 2018 90
viii Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
DAFTAR BOKS Boks 1 Clustering Daerah di Aceh Berdasarkan Analisis Tipologi Klassen 28 Boks 2 Berita Terpilih: Sumber Pendapatan Daerah Aceh 78 Boks 3 Berita Terpilih: Jalan Tol Sigli-Banda Aceh (Sibanceh) 88
pertumbuhan ekonomi
dashboard makro-fiskal provinsi aceh
aceh 4,15%
indonesia 5,02%
capaianapbn
capaianapbd
realisasi apbn/apbd
realisasi pendapatan
Pajak 4,59 T (87,28%)PNBP 932,66 M (139,80%)
realisasi belanja
Pusat 14,75 T (95,30%)Transfer 35,94 T (97,30)
realisasi pendapatan
PAD 5,03 T (87,81%)Dana Perimbangan 22,50 T (95,77%)Dana Otsus & Penyesuaian 8,48 T (100%)Transfer Dana Desa 4,95 T (99,91%)Lain-lain pendapatan Yang Sah 568,62 M (88,80%)
realisasi belanja
Belanja 41,48 T (84,35%)
capaian indikator pembangunan
Pertumbuhan EkonomiMigas : 4,15%Non Migas : 4,20%
Indek Pembangunan ManusiaCapaian 2019: 71,90%
Angka KemiskinanCapaian 2019: 15,1%
Angka PenganguramCapaian 2019: 6,20%
Angka KetimpanganCapaian 2019: 0,321%
InflasiCapaian 2019: 1,69%
kontribusi & pertumbuhan 6 sektor utama terbesar pdrb aceh
Pertanian 36,68 %
Perdagangan dan Reparasi 20,32%
Kontruksi 12,57%
Adm. Pemerintahan 11,85%
Transportasi dan perguangan 9,86%
Pertambangan dan Penggalian 9,63%
DI PROVINSI ACEH
(BERDASARKAN RISKESDAS 2018)
x Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kondisi pembangunan ekonomi
Aceh relatif rendah jika dibandingkan
dengan beberapa Provinsi di Sumatera
dan Nasional. Hal ini ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi yang rendah,
tingkat kemiskinan dan pengangguran
yang masih tinggi, terjadi capital output
flows dengan defisit neraca perdagangan
antar daerah serta minimnya investasi
dan peran swasta dalam pembangunan
Aceh. Permasalahan perekonomian
Aceh adalah defisit perdagangan, baik
untuk luar negeri maupun antar daerah.
Risiko harga komoditas ekspor yang
melemah dan rendahnya permintaan
global akan mempengaruhi nilai ekspor
Aceh. Defisit perdagangan antar daerah
juga masih perlu ditekan melalui
peningkatan produksi produk atau
komoditas substitusi impor.
Aceh berada pada jalur pertemuan
dua lempeng bumi, yaitu lempeng Indo-
Australia dan Eurasia. Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) Stasiun Geofisika Aceh Besar
menyatakan, wilayah di provinsi paling
barat Indonesia tersebut menghadapi
206 kali gempa bumi sepanjang Tahun
2019. Gempa bumi yang terjadi memiliki
magnitudo atau besaran yang bervariasi
dengan skala magnitudo paling kecil di
atas dua, dan paling tinggi di atas lima,
yaitu mencapai hingga 5,6 Skala Richter.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat jumlah penduduk Aceh pada
2019 sebesar 5,37 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan 1,5 persen per tahun. Dari
jumlah itu, jumlah angkatan kerja kini
mencapai 2,36 juta orang. Sebanyak
2,21 juta orang adalah penduduk yang
bekerja. Sedangkan jumlah penganggur
sebanyak 147 ribu orang atau
penganggur terbuka sebesar 6,20
persen, mengalami penurunan apabila
dibanding 2018 yang sebesar 6,35
persen. Penduduk miskin tahun 2019
berjumlah 810 ribu orang atau sebesar
15,01 persen, mengalami penurunan 9
ribu jiwa dibandingkan dengan tahun
2018 yang berjumlah 819 ribu atau 15,32
persen.
Pertumbuhan penduduk juga
membutuhkan pertumbuhan
kesempatan kerja (sumber pendapatan).
Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi
dengan penambahan kesempatan kerja
akan mengakibatkan ketimpangan dalam
pembagian dari penambahan
pendapatan tersebut (ceteris paribus),
yang selanjutnya akan menciptakan
suatu kondisi pertumbuhan ekonomi
dengan peningkatan kemiskinan.
Pada tahun 2019, laju
pertumbuhan ekonomi Aceh berada di
level 4,15 persen, turun 46 basis poin
dari tahun sebelumnya yang sebesar
Annual Regional Fiscal Report 2019 xi
4,61 persen. Sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan menjadi
penggerak utama pertumbuhan dari sisi
penawaran. Sedangkan dari sisi
permintaan, Konsumsi Rumah Tangga
memiliki kontribusi terbesar
pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi kesejahteraan
masyarakat, tren yang sangat baik
terlihat pada perkembangan IPM.
Berdasarkan data terakhir yang dirilis
BPS, angka IPM Aceh berada di level
71,90, yang artinya IPM Aceh masuk
dalam kategori IPM tinggi. Persentase
penduduk miskin Aceh pada tahun 2019
berada di angka 15,01 persen. Meskipun
persentase penduduk miskin Aceh turun
dibanding tahun sebelumnya, namun
angka tersebut masih cukup tinggi.
Bahkan jika dibandingkan dengan
provinsi lain, tercatat bahwa Aceh
menjadi provinsi dengan angka
kemiskinan tertinggi keenam se-
Indonesia, dan menjadi yang tertinggi
dibanding seluruh provinsi di Pulau
Sumatera. Hal ini mengindikasikan
program percepatan pengentasan
kemiskinan pemerintah di Aceh berjalan
lambat.
Dari lima indikator ekonomi
makro yang ditetapkan targetnya pada
KUA Provinsi Aceh (Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Kemiskinan,
Pengangguran, Inflasi, dan IPM), dua
diantaranya terealisasi sesuai target di
tahun 2019 yaitu antara lain Tingkat
Pengangguran, dan Tingkat Inflasi.
Beberapa target sesuai KUA perlu di
evaluasi, misalnya target pertumbuhan
ekonomi, target tingkat kemiskinan dan
IPM.
Pertumbuhan ekonomi yang
ditargetkan sesuai KUA dianggap kurang
realistis mengingat stabilitas
pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih
rendah dengan tren fluktuasi yang belum
stabil dalam beberapa tahun terakhir jika
dibandingkan pertumbuhan eknomi
nasional. Sementara untuk target angka
kemiskinan masih belum dapat dicapai.
Diharapkan kinerja pemerintah dapat
dipacu dalam rangka mendorong
percapatan pelaksanaan program-
program pengentasan kemiskinan di
Aceh.
Pemerataan pembangunan juga
diharapkan menjadi perhatian
pemerintah. Berdasarkan analisis
Tipologi Klassen, terdapat tiga daerah
yang masuk kategori daerah tertinggal
yaitu Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh
Barat Daya, dan Kab. Aceh Timur.
Daerah-daerah tersebut diharapkan
menjadi perhatian khusus pemerintah
dalam penentuan prioritas pembangunan
di Provinsi Aceh.
Dalam komposisi APBN,
peningkatan realisasi belanja pusat
sayangnya tidak diikuti kenaikan pada
realisasi penerimaan pajak. Tercatat
xii Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
realisasi penerimaan pajak naik dari
yang tahun 2018 sebesar Rp4,26 triliun
pada tahun 2019 menjadi sebesar
Rp4,60 triliun. Secara kinerja
perpajakan, tax ratio Aceh turun 3 basis
poin dari tahun lalu, melanjutkan tren
penurunan yang terjadi di tahun
sebelumnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat kepatuhan masyarakat
Aceh dalam membayar pajak mengalami
penurunan. Sedangkan penerimaan dari
PNBP justru mengalami kenaikan,
dengan tren kenaikan yang telah berjalan
dalam empat tahun terakhir.
Dalam komposisi APBD,
ketergantungan Aceh terhadap kucuran
dana transfer dari Pemerintah Pusat
terhitung masih cukup tinggi. Tercatat di
tahun 2019 total pendapatan transfer
untuk seluruh pemerintah daerah di Aceh
(Dana Perimbangan, Dana Otsus dan
Penyesuaian, dan Alokasi Dana Desa)
memiliki proporsi sebesar 86,53 persen.
Sedangkan disisi lain, rasio proporsi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh
pada APBD tahun 2019 hanya sebesar
12,10 persen dengan total realisasi
sebesar Rp5,02 triliun.
Komposisi belanja pemerintah,
baik APBN maupun APBD, proporsi
terbesar berasal dari belanja pegawai
dengan masing-masing proporsi 42,38
persen pada belanja APBN, dan 29,14
persen pada belanja APBD. Dalam
konteks belanja konsolidasi, komposisi
realisasi belanja untuk jenis Belanja
Modal pada tahun 2019 sebesar 19,99
persen, naik dibanding tahun
sebelumnya yang sebesar 15,26 persen.
Hal ini menandakan bahwa adanya
upaya pemerintah dalam memperbaiki
kualitas belanja dengan memprioritaskan
pada belanja produktif pada tahun 2019.
Sedangkan rasio belanja pemerintah
(konsolidasi) terhadap PDRB Aceh pada
tahun 2019 sebesar 34,25 persen,
menurun dibanding rasio tahun lalu yang
sebesar 37,24 persen.
Tantangan fiskal daerah Aceh
adalah sumber pendapatan Provinsi
Aceh di masa yang akan datang, karena
selama ini hampir sebagian besar
belanja pemerintah daerah dibiayai
melalui dana otonomi khusus Aceh.
Dana Otonomi khusus Aceh akan
berakhir pada 2028 pada saat itu
pemerintah Aceh harus sudah siap
dengan sumber pendanaan baru
menggantikan dana otonomi khusus
tersebut. Salah satu caranya yaitu
meningkatkan quality spending APBD
untuk lebih diprioritaskan ke sektor-
sektor yang nantinya akan menghasilkan
pendapatan daerah di masa yang akan
datang, memperbesar belanja modal
serta mengurangi beban hutang dan
dialihkan pada investasi, serta
mengupayakan agar sektor-sektor
unggulan harus segera diupayakan
secara optimal agar mampu memberikan
Annual Regional Fiscal Report 2019 xiii
kontribusi pendapatan pada pemerintah
daerah sehingga bisa meningkatkan
kemampuan fiskal daerahnya.
Berdasarkan analisis dan kesimpulan
yang diambil, dapat diberikan beberapa
rekomendasi, yaitu :
1. Kebijakan di Pemerintah Daerah
a. Membuka seluas-luasnya akses bagi
investor untuk menanamkan
modalnya di Aceh dengan
memberikan jaminan keamanan dan
kemudahan birokrasi khususnya
dibidang pertanian, pengolahan
bahan mentah, maupun pariwisata.
b. Mengembangkan kawasan-kawasan
khusus di Aceh, yang diproyeksikan
mampu mendongkrak perekonomian
Aceh.
c. Memberikan perhatian lebih terhadap
stunting di Aceh.
2. Kebijakan di Pemerintah Pusat
a. Mendorong pemerintah daerah untuk
lebih berperan aktif dalam
pembiayaan usaha mikro kecil
menengah (UMKM).
b. mendorong kementerian dan lembaga
dalam pembahasan anggaran
Kementerian / Lembaga, agar lebih
memperhatikan dan memprioritaskan
sektor-sektor yang menjadi unggulan
di Provinsi Aceh, sehingga belanja
APBN di daerah bisa lebih
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3. Kebijakan di Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
a. Penggunaan Anggaran yang
berkualitas dalam menangani stunting
di Aceh.
b. Memberikan perhatian lebih pada
Kabupaten Simeulue terkait potensi
perikanan dan Kabupaten Aceh
Tengah terkait PLTA dalam bentuk
stimulus fiskal baik melalui APBN
maupun APBD.
BAB ISASARAN PEMBANGUNAN DANTANTANGAN DAERAH
Krueng Aceh (Indonesia: Sungai Aceh) adalah sebuah sungai di Provinsi Aceh, yang merupakan salah satu objek wisatayang sering dikunjungi baik wisatawan lokalmaupun wisatawan manca negara.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah | Bab I
Annual Regional Fiscal Report 2019 1
1.1 PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan Aceh
disusun secara komprehensif
sebagai bagian dari sistem perencanaan
pembangunan nasional dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan landasan
hukum di bidang perencanaan pembangunan. Ketiga peraturan ini
memberikan arahan tentang tata cara perencanaan pembangunan
untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan Daerah dengan
melibatkan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menegaskan bahwa perencanaan pembangunan
Aceh disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem
perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: nilai-nilai
Islam, sosial budaya, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
keadilan dan pemerataan, dan kebutuhan, serta disusun untuk
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86
Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan Pembangunan Daerah,
Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan
Sasaran Pembangunan dan
Tantangan Daerah
Bab I | Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah
2 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
mengamanatkan bahwa perencanaan daerah dirumuskan secara
transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur,
berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Perencanaan
pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan
kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan. Hal
ini ditujukan untuk pemanfaatan dan pengalokasian sumberdaya yang
ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu
lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
1.2 TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH
1.2.1 Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
RPJMD adalah dokumen
perencanaan daerah untuk
periode 5 (lima) tahunan yang
merupakan penjabaran dari visi,
misi, dan program kepala daerah.
RPJM Aceh 2017-2022 merupakan
tahapan pembangunan
ketiga dari RPJP Aceh 2005-2025
yaitu memfokuskan pada pemantapan
basis pengembangan
industri manufaktur.
RPJMD merupakan dokumen perencanaan daerah untuk
periode 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi,
arah kebijakan pembangunan daerah dan keuangan daerah, serta
program perangkat daerah dan lintas perangkat daerah yang disertai
dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5
(lima) tahun. RPJMD disusun dengan berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Agar pembangunan dapat memberikan hasil yang optimal,
maka RPJMD harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek-
aspek pembangunan spasial yang telah digariskan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW). RPJM Aceh 2017-2022 merupakan
tahapan pembangunan ketiga dari RPJP Aceh 2005-2025. Tahapan
ini memfokuskan pada pemantapan basis pengembangan industri
manufaktur. Sejalan dengan hal tersebut fokus pembangunan juga
menguatkan agroindustri yang belum berkembang secara optimal
pada tahapan pembangunan sebelumnya.
Tujuan dan sasaran pembangunan Aceh dalam RPJMA
Tahun 2017-2022 merupakan upaya pencapaian visi “Terwujudnya
Aceh yang Damai dan Sejahtera Melalui Pemerintahan yang Bersih,
Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah | Bab I
Annual Regional Fiscal Report 2019 3
Terdapat 23 (dua puluh tiga) tujuan
dan 54 (lima puluh empat) sasaran
dalam RPJMA Tahun 2017-2022
Adil dan Melayani” dan 10 (sepuluh) Misi. yang meliputi: Misi Pertama,
Reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang adil, bersih dan
melayani; Misi Kedua, Memperkuat pelaksanaan Syariat Islam
beserta nilai-nilai keislaman dan budaya ke-Acehan dalam kehidupan
masyarakat dengan iktikad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber
hukum Mazhab Syafi’iyah dengan tetap menghormati mazhab yang
lain; Misi Ketiga, Menjaga integritas nasionalisme dan keberlanjutan
perdamaian berdasarkan MoU Helsinki; Misi Keempat, Membangun
masyarakat yang berkualitas dan berdaya saing di tingkat nasional
dan regional; Misi Kelima, Mewujudkan akses dan pelayanan
kesehatan dan kesejahteraan sosial yang mudah, berkualitas dan
terintegrasi; Misi Keenam, Mewujudkan kedaulatan dan ketahanan
pangan; Misi Ketujuh, Menyediakan sumber energi listrik yang bersih
dan terbarukan; Misi Kedelapan, Membangun dan mengembangkan
sentra-sentra produksi dan industri kreatif yang kompetitif; Misi
Kesembilan, Revitalisasi fungsi perencanaan daerah dengan prinsip
evidence based planning yang efektif, efisien dan berkelanjutan; dan
Misi Kesepuluh, Pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur
terintegrasi, dan lingkungan yang berkelanjutan.
Untuk mendukung pencapaian visi dan misi yang telah
ditetapkan sebagaimana yang terdapat dalam RPJMA Tahun 2017-
2022, terdapat 23 (dua puluh tiga) tujuan dan 54 (lima puluh empat)
sasaran untuk mendukung percepatan pencapaian prioritas dan
sasaran pembangunan nasional. Sasaran pembangunan Aceh tahun
2017-2022 disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1 Tujuan dan Sasaran Pembangunan Aceh Tahun 2017-2022
M I S I T U J U A N S A S A R A N
1. Reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang adil, bersih dan melayani
1. Mewujudkan reformasi birokrasi yang berkualitas
1. Birokrasi yang bersih dan akuntabel 2. Birokrasi yang efektif dan efisien 3. Birokrasi yang memiliki pelayanan publik
yang berkualitas 4. Database kepegawaian yang terintegrasi
2. Memperkuat pelaksanaan Syariat Islam beserta nilai-nilai keislaman dan budaya keacehan dalam kehidupan masyarakat dengan iktikad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber hukum Mazhab Syafi’iyah dengan
2. Memperkuat pelaksanaan Aqidah, Syariah, dan Akhlak dalam tatanan kehidupan masyarakat
5. Menguatnya kualitas masyarakat berbasis Al-Qur'an dan Al-Hadist, Ijma’ dan Qiyas
6. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dayah
7. Menguatnya tatanan Ekonomi Syari'ah 8. Menguatnya penegakan Syariah dalam
bermasyarakat 9. Meningkatnya pengamalan Syariat Islam di
daerah perbatasan
Bab I | Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah
4 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
tetap menghormati mazhab yang lain.
10. Meningkatnya sarana dan prasarana keagamaan dan budaya berbasis islami
11. Menguatnya tatanan budaya, adat istiadat dan seni ke-Acehan yang Islami
3. Menjaga integritas nasionalisme dan keberlanjutan perdamaian berdasarkan MoU Helsinki
3. Meningkatnya keberlanjutan perdamaian berdasarkan prinsip- prinsip MoU Helsinki
12. Tuntasnya Aturan Turunan UU-PA 13. Tuntasnya turunan UU-PA yang tidak bisa
diimplementasikan 14. Menguatnya kapasitas SDM dan
kelembagaan korban konflik
4. Meningkatkan pembangunan demokrasi
15. Meningkatnya kebebasan sipil masyarakat 16. Meningkatnya hak-hak politik 17. Meningkatnya peran lembaga demokrasi
4. Membangun masyarakat yang berkualitas dan berdaya saing di tingkat nasional dan regional
5. Meningkatkan kualitas SDM Aceh yang memiliki daya saing
18. Meningkatnya kualitas pendidikan 19. Meningkatkan akses masyarakat terhadap
pendidikan 20. Meningkatnya kualitas tenaga pendidik
dan kependidikan 21. Meningkatnya kualitas pendidikan
vokasional
6. Meningkatkan prestasi olahraga dan kepemudaan ditingkat nasional dan regional
22. Terwujudnya pemuda yang berkarakter, berkualitas, dan berdaya saing
23. Meningkatnya prestasi olahraga
5. Mewujudkan akses dan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial yang mudah, berkualitas dan terintegrasi
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
24. Meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat
25. Meningkatnya Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan
8. Meningkatkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan.
26. Menurunnya kesenjangan laki-laki dan perempuan dalam pembangunan
27. Meningkatnya peran perempuan dalam pembangunan
9. Meningkatnya kesejahteraan sosial masyarakat
28. Meningkatnya kesejahteraan PMKS 29. Meningkatnya kesejahteraan disabilitas 30. Menurunnya angka kemiskinan
6. Mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan
10. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
31. Meningkatkan pembangunan sektor pertanian
11. Menurunnya Angka Kemiskinan 32. Meningkatkan Ketahanan Pangan 33. Meningkatkan kesejahteraan petani dan
Nelayan
7. Menyediakan sumber energi listrik yang bersih dan terbarukan
12. Mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi di Aceh
34. Terwujudnya kemandirian energi
13. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
35. Meningkatnya kontribusi subsektor pertambangan dan penggalian
8. Membangun dan mengembangkan sentra-sentra produksi dan industri kreatif yang kompetitif
14. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
36. Meningkatnya pembangunan industri 37. Meningkatnya neraca perdagangan 38. Meningkatnya jumlah dan nilai investasi 39. Meningkatnya kontribusi pariwisata
15. Menurunnya Angka Pengangguran
40. Meningkatnya kesempatan kerja pada sektor industri, pariwisata dan jasa lainnya
9. Revitalisasi fungsi perencanaan daerah dengan prinsip evidence based planning yang efektif, efisien dan berkelanjutan
16. Membangun Sistem Informasi Aceh secara terpadu dan dan teritegrasi.
41. Meningkatnya transparansi informasi publik
42. Terintegrasinya dan terpusatnya data secara elektronik.
17. Memperkuat perencanaan pembangunan sesuai dengan prinsip Evidence Based Planning.
43. Meningkatnya konsistensi antar dokumen perencanaan lintas sektor dan wilayah
44. Membangun Bank Data terintegrasi
10. Pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur terintegrasi,
18. Mengurangi ketimpangan antar wilayah
45. Meningkatnya konektivitas antar wilayah
19. Menurunnya angka kemiskinan 46. Berkembangnya wilayahpemukiman baru
Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah | Bab I
Annual Regional Fiscal Report 2019 5
dan lingkungan yang berkelanjutan
20. Meningkatnya prasarana dan sarana pelayanan dasar
47. Meningkatnya pemenuhan infrastruktur dasar masyarakat
48. Meningkatnya pelayanan pertanahan
21. Meningkatkan tatakelola lingkungan Hidup lestari
49. Meningkatnya pengendalian lingkungan hidup lestari
50. Bertambahnya luasan kawasan konservasi laut dan pesisir
22. Meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan
51. Luas kawasan hutan yang lestari dan berkelanjutan
52. Terjaganya keanekaragaman hayati 53. Menguatnya Fungsi dan Peran KPH
23. Meningkatkan tatakelola kebencanaan
54. Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana dalam pembangunan
Sumber: Qanun Aceh No. 1 Tahun 2019, 2020
1.2.2 Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA)
Target Capaian Indikator Makro
2019: Pertumbuhan
Ekonomi 5,25 % Tingkat
Kemiskinan 14,43 % IPM 71,44
Rasio Gini 0,32 TPT 6,3.
RKPA merupakan dokumen perencanaan teknis dengan
jangka waktu satu tahun, yang disusun berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah,
Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah, serta Tata Cara Perubahan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah.
RKPA tahun 2019 memiliki tujuan dan sasaran pembangunan
sesuai dengan yang tertuang dalam RPJMA Tahun 2017-2022
dimana terdapat 23 (dua puluh tiga) tujuan dan 54 (lima puluh empat)
sasaran untuk mendukung percepatan pencapaian prioritas dan
sasaran pembangunan nasional.
Sesuai dengan RPJMA (2017-2022) Pembangunan pada
tahun 2019 diselenggarakan dengan tema “Memacu pengembangan
kawasan strategis dan pembangunan infrastruktur untuk
meningkatkan daya saing daerah dan percepatan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas”. Selain itu terdapat target Capaian
Indikator Makro Aceh dalam RKPA yang harus dicapai pada akhir
tahun 2019, antara lain Pertumbuhan ekonomi berkisar 5,25 persen,
Sasaran tingkat kemiskinan pada kisaran 14,43 persen, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) menjadi 71,44, Rasio Gini menjadi
0,32 dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 6,3.
Bab I | Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah
6 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
1.3 TANTANGAN DAERAH
1.3.1 Tantangan Ekonomi Daerah
Tahun 2019 perekonomian Aceh
dan beberapa indikator sosial ekonomi mulai tumbuh secara
signifikan.
Fungsionalisasi kawasan ekonomi
khusus dan kawasan industri
diharapkan mengundang
kegiatan penanaman modal,
sekaligus menyediakan
kesempatan kerja dan menjadi
penarik komoditas Aceh.
Permasalahan perekonomian Aceh
adalah defisit perdagangan, baik
untuk luar negeri maupun antar
daerah.
Kondisi pembangunan ekonomi Aceh relatif rendah jika
dibandingkan dengan beberapa Provinsi di Sumatera dan Nasional.
Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingkat
kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, terjadi capital
output flows dengan defisit neraca perdagangan antar daerah serta
minimnya investasi dan peran swasta dalam pembangunan Aceh.
Pada tahun 2019 perekonomian Aceh dan beberapa indikator sosial
ekonomi mulai tumbuh secara signifikan. Kebijakan pembangunan
agroindustri yang mengarah pada peningkatan nilai tambah produk
pertanian dengan pemanfaatan teknologi 4.0 sejak dari hulu sampai
ke hilir, dalam rangka percepatan pembangunan Aceh perlu dilakukan
perencanaan ekonomi Aceh tahun 2021 secara sinergis dan
terintegrasi.
Perekonomian Aceh pada tahun 2020 mempunyai outlook
yang baik. Fungsionalisasi kawasan ekonomi khusus dan kawasan
industri secara baik mengundang kegiatan penanaman modal,
sekaligus menyediakan kesempatan kerja dan menjadi penarik
komoditas Aceh sebagai bahan baku kegiatan industry di dalam
kawasan tersebut. Sektor pertambangan dan penggalian masih
menjadi salah satu mesin ekonomi Aceh melalui produksi batu bara,
minyak bumi dan gas alam di Aceh Barat, Aceh Timur dan Aceh
Tamiang. Sektor pariwisata juga diperkirakan berkembang dengan
makin terbukanya Aceh dan perbaikan dalam hal akses, amenitas dan
atraksi destinasi wisata halal. Sektor pertanian juga akan tumbuh
akibat pendekatan kawasan dan pengenalan cara budidaya pertanian
yang baik sehingga menyebabkan peningkatan komoditas secara
signifikan.
Meskipun demikian, permasalahan perekonomian Aceh
adalah defisit perdagangan, baik untuk luar negeri maupun antar
daerah. Risiko harga komoditas ekspor yang melemah dan rendahnya
permintaan global akan mempengaruhi nilai ekspor Aceh. Defisit
perdagangan antar daerah juga masih perlu ditekan melalui
peningkatan produksi produk atau komoditas substitusi impor.
Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah | Bab I
Annual Regional Fiscal Report 2019 7
1.3.2 Tantangan Sosial Kependudukan
Pengangguran dan kemiskinan merupakan
tantangan sosial kependudukan di
Aceh.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat jumlah penduduk Aceh
pada 2019 sebesar 5,37 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,5 persen per tahun.
Pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan
kesempatan kerja. Sedikitnya
lapangan pekerjaan yang tersedia di Aceh, disinyalir
menjadi salah satu penyebab Aceh
sebagai daerah ke 6 yang paling banyak memiliki penduduk
miskin.
Pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan di
banyak daerah. Pemerintah Aceh sendiri selama ini selalu
memfokuskan program pembangunannya pada penanganan
pengangguran dan kemiskinan. Hasilnya memang belum sepenuhnya
memuaskan walaupun indikator-indikator sosial yang ada telah
menunjukkan perbaikan dalam pengurangan tingkat pengangguran
dan kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk
Aceh pada 2019 sebesar 5,37 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,5
persen per tahun. Dari jumlah itu, jumlah angkatan kerja kini mencapai
2,36 juta orang. Sebanyak 2,21 juta orang adalah penduduk yang
bekerja. Sedangkan jumlah penganggur sebanyak 147 ribu orang
atau penganggur terbuka sebesar 6,20 persen, mengalami
penurunan apabila dibanding 2018 yang sebesar 6,35 persen.
Penduduk miskin tahun 2019 berjumlah 810 ribu orang atau sebesar
15,01 persen, mengalami penurunan 9 ribu jiwa dibandingkan dengan
tahun 2018 yang berjumlah 819 ribu atau 15,32 persen.
Pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan
kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi
tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan
mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan
pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan
menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan
peningkatan kemiskinan.
Sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia di Aceh,
disinyalir menjadi salah satu penyebab Aceh sebagai daerah ke 6
yang paling banyak memiliki penduduk miskin. Kurangnya lapangan
pekerjaan di sektor formal yang disebabkan lemahnya kinerja sektor
rill mengakibatkan sektor industri juga menjadi lemah. Pada akhirnya
pengangguran dan kemiskinan akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi suatu daerah
Bab I | Sasaran Pembanggunan dan Tantangan Daerah
8 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
1.3.3 Tantangan Geografi Wilayah
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) mencatat,
sepanjang Tahun 2019, Aceh
menghadapi 206 kali gempa bumi.
Aceh merupakan daerah istimewa yang secara resmi disebut
Nanggroe Aceh Darussalam atau disingkat NAD. Aceh adalah daerah
pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.
Provinsi Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah karena mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
terletak pada posisi 2°–6° LU – 95°–98° BT. Letaknya yang strategis
dan menjadi lalu lintas perdagangan dunia menjadi keuntungan bagi
Aceh dalam bidang ekonomi. Dimana pemanfaatan sumber daya
alam di Aceh sangatlah penting, karena sumber daya alamnya sangat
melimpah seperti dalam bidang pertanian yang dapat menghasilkan
berbagai jenis bahan pangan seperti beras, sayur-sayuran, buah-
buahan dan budidaya tanaman jenis langka yang dapat dimanfaatkan
dalam kegiatan ekspor impor.
Dalam bidang kelautan, Aceh memiliki laut yang cukup luas
dengan keanekaragaman hayati di laut yang cukup banyak sehingga
dapat memanfaatkan hasil laut seperti ikan untuk di ekspor keluar
negeri. Selain hasil laut, laut di Aceh juga berpotensi untuk dijadikan
sebagai wisata bahari. Hasil laut Aceh ini diminati oleh beberapa
negara dunia, sehingga hal ini tentunya akan meningkatkan
perekonomian di Aceh.
Aceh berada pada jalur pertemuan dua lempeng bumi, yaitu
lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Aceh Besar menyatakan,
wilayah di provinsi paling barat Indonesia tersebut menghadapi 206
kali gempa bumi sepanjang Tahun 2019. Gempa bumi yang terjadi
memiliki magnitudo atau besaran yang bervariasi dengan skala
magnitudo paling kecil di atas dua, dan paling tinggi di atas lima, yaitu
mencapai hingga 5,6 Skala Richter. Sedangkan di wilayah daratan,
aktivitas tektonik yang terjadi di Aceh akibat adanya zona patahan
Sumatera. Zona ini memiliki panjang 1.900 kilometer, dan terbagi-bagi
dalam beberapa segmen aktif sebanyak 19 segmen serta memiliki
pergeseran ke arah kanan atau searah jarum jam.
BAB IIperkembangan pembangunandan tantangan daerah
Pantai MomongPantai Momong yang berada di kawasan LampuukKabupaten Aceh Besar, Kawasan ini menyimpanbegitu banyak wisata alam yang menyejukkanmata para pengunjung.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 9
2.1 INDIKATOR EKONOMI MAKRO FUNDAMENTAL
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Analisis PDRB dilakukan untuk
mengetahui tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu daerah termasuk di
dalamnya tingkat kesejahteraan penduduk dan
gambaran perekonomian di daerah tersebut
secara umum.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah penjumlahan
nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu (provinsi dan
kabupaten/kota), dan dalam kurun waktu tertentu (satu tahun
kalender). Tujuan analisis PDRB yaitu untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah termasuk di dalamnya tingkat
kesejahteraan penduduk dan gambaran perekonomian di daerah
tersebut secara umum.
Terdapat 2 metode penghitungan PDRB, yaitu atas dasar
harga berlaku (ADHB) dan atas dasar harga konstan (ADHK). PDRB
ADHB menghitung nilai tambah barang dan jasa menggunakan harga
tahun bersangkutan, yang mana digunakan untuk melihat pergeseran
dan struktur ekonomi. Sedangkan PDRB ADHK dihitung berdasarkan
harga pada tahun dasar (saat ini menggunakan tahun dasar 2010),
yang mana digunakan untuk mengetahui prestasi pertumbuhan
ekonomi tiap tahun.
Tabel 2.1 Jumlah PDRB Provinsi Aceh (dalam triliun Rp)
U r a i a n 2 0 1 8 2 0 1 9
I II III IV Tahunan I II III IV Tahunan
ADHB dengan migas 37,13 38,83 39,76 40,19 155,91 38,85 40,90 41,67 42,80 164,21
ADHB tanpa migas 35,80 37,41 38,23 38,91 150,35 37,45 39,45 40,25 41,38 158,53
ADHK dengan migas 30,45 31,64 32,24 32,50 126,82 31,63 32,82 33,45 34,19 132,09
ADHK tanpa migas 28,95 30,12 30,63 31,15 120,85 30,12 31,31 31,86 32,67 125,96
Sumber: BPS Aceh, 2020 (diolah)
PDRB ADHB Provinsi Aceh tahun 2019 sebesar Rp164,21
triliun, dan ADHK (tahun dasar 2010) tercatat sebesar Rp132,09
triliun. Jika komponen migas dikeluarkan dalam PDRB, tercatat tahun
2019 PDRB ADHB menjadi sebesar Rp158,53 triliun, dan ADHK
Perkembangan dan Analisis
Ekonomi Regional
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
10 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
menjadi sebesar Rp125,96 triliun. Apabila dilihat dari jumlah PDRB
ADHB, kontribusi PDRB Aceh tercatat 'hanya' sebesar 1,04 persen
dari jumlah PDB Indonesia tahun 2019 yang sebesar Rp15.833,9
triliun.
2.1.1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada
tahun 2019 berada pada level 4,15
persen.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2019 berada pada
level 4,15 persen. Mengalami perlambatan dibanding tahun
sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,61 persen. Setelah dalam dua
tahun sebelumnya lebih tinggi, pada tahun ini pertumbuhan ekonomi
Aceh dengan komponen migas (4,15 persen) lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi jika komponen migas
dihilangkan (4,20 persen).
Terjadi kenaikan untuk Sektor Pertambangan dan Penggalian
dalam komponen PDRB, setelah beberapa periode belakangan
mengalami penurunan yang merupakan dampak dari habisnya
produksi gas bumi di Lhokseumawe. Penambahan tersebut seiring
dengan mulai dilakukannya eksplorasi migas di Aceh, khususnya di
kawasan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang, serta
pertambangan batu bara di Kabupaten Aceh Barat.
Grafik 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Aceh dan Nasional
Sumber: BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Pada periode triwulanan, pertumbuhan ekonomi Aceh pada
triwulan IV 2019 sebesar 5,21 persen, mengalami percepatan
dibanding triwulan III 2019 yang sebesar 3,76 persen. Angka tersebut
lebih rendah jika dibandingkan dengan periode triwulan IV 2018 yang
sebesar 5,43 persen. Sedangkan jika komponen migas dikeluarkan
dari PDRB, ekonomi Aceh pada triwulan IV 2019 tumbuh sebesar 4,88
persen, mengalami percepatan dibandingkan triwulan III 2019 yang
sebesar 4,02 persen.
-0,72
3,31
4,19 4,61
4,154,34
4,31
4,144,49
4,20
5,04 5,03 5,07 5,17 5,02
-2
0
2
4
6
2015 2016 2017 2018 2019
Aceh (dengan migas) Aceh (tanpa migas) Nasional
(%)
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 11
Grafik 2.2 Pertumbuhan Ekonomi Aceh dan Nasional per Triwulan (PDRB ADHK)
Sumber: BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Pertumbuhan ekonomi Aceh
secara triwulanan masih berfluktuatif
dan belum stabil jika dibandingkan
pertumbuhan ekonomi nasional
Pertumbuhan ekonomi triwulanan Aceh, baik dengan migas
maupun non migas, masih berfluktuasi dalam dua tahun terakhir.
Seperti yang terlihat pada grafik 2.2 diatas bahwa stabilitas
perekonomian Aceh masih kurang jika dibandingkan dengan stabilitas
perekonomian nasional. Beberapa faktor seperti inflasi yang masih
tinggi, serta gejolak politik daerah yang sering menghambat
pelaksanaan anggaran pemerintah (khususnya pemerintah daerah)
menjadi faktor rendahnya stabilitas perekonomian Aceh.
2.1.1.2 Nominal PDRB
Sektor Pertanian, Kehutanan dan
Perikanan masih merupakan leading
sector dalam perekonomian
Aceh.
3 besar sektor dengan kontribusi
tertinggi dalam perekonomian Aceh
yaitu Sektor Pertanian, Sektor
Perdagangan, dan Sektor Konstruksi.
1) PDRB Sisi Penawaran / per Sektor Lapangan Usaha
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi sektor
unggulan di Aceh pada beberapa tahun terakhir, terutama sejak
semakin berkurangnya produksi dari sektor migas di Aceh. Salah satu
komponen utama dari sektor tersebut yaitu dari hasil perkebunan.
Perkebunan di Aceh mempunyai kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan perekonomian Aceh, yang mana selain dipasarkan di
dalam negeri, hasil perkebunan Aceh juga banyak yang diekspor ke
luar negeri misalnya kopi dan kelapa sawit.
Di tahun 2019, Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
menjadi kontributor terbesar dalam PDRB Aceh, yaitu sebesar
Rp36,68 triliun, dengan persentase sebesar 27,77 persen. Diikuti
Sektor Perdagangan Besar, Eceran dan Reparasi sebesar Rp20,32
triliun atau dengan persentase senilai 15,39 persen. Serta Sektor
Konstruksi, sebesar Rp12,57 triliun dengan persentase sebesar 9,51
persen.
30,45 31,64 32,24 32,50 31,63 32,82 33,45 34,19
28,95 30,12 30,63 31,15 30,12 31,31 31,86 32,67
3,34%
5,74%
4,03%
5,43%
3,88% 3,71% 3,76%
5,21%
3,65%
5,72%
3,75%
5,09% 3,88% 3,97% 4,02%4,88%
5,06%
5,27%
5,17%
5,18%5,07% 5,05% 5,02%
4,97%
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
I II III IV I II III IV
2018 2019
PDRB Aceh (dengan Migas) PDRB Aceh (tanpa Migas) % y on y Aceh (dengan migas)% y on y Aceh (tanpa migas) % y on y Nasional
(tri
liun
Rp
)
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
12 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Tabel 2.2 PDRB Sisi Penawaran Atas Dasar Harga Konstan (dalam triliun Rp)
U r a i a n 2 0 1 8 2 0 1 9 Laju
Pertumbuhan
(%) Tahunan I II III IV Tahunan
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 35,43 9,07 9,20 9,27 9,14 36,68 3,54
Pertambangan dan Penggalian 9,15 2,41 2,35 2,50 2,37 9,63 5,26
Industri Pengolahan 6,41 1,47 1,67 1,64 1,55 6,34 -1,07
Pengadaan Listrik, Gas 0,20 0,05 0,05 0,05 0,05 0,21 6,88
Pengadaan Air 0,04 0,01 0,01 0,01 0,01 0,05 27,25
Konstruksi 11,95 2,81 2,66 3,18 3,91 12,57 5,16
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi 19,73 5,01 5,27 5,01 5,03 20,32 3,01
Transportasi dan Pergudangan 9,58 2,43 2,39 2,54 2,49 9,86 2,96
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,67 0,43 0,46 0,45 0,45 1,79 6,73
Informasi dan Komunikasi 4,40 1,12 1,15 1,16 1,19 4,63 5,26
Jasa Keuangan 2,08 0,57 0,57 0,58 0,62 2,34 12,58
Real Estate 5,16 1,34 1,38 1,39 1,40 5,51 6,87
Jasa Perusahaan 0,82 0,21 0,22 0,21 0,23 0,87 5,83
Adm. Pemerintahan, Pertahanan, dan Jamsos 11,49 2,56 3,02 3,01 3,26 11,85 3,18
Jasa Pendidikan 3,25 0,78 0,89 0,92 0,94 3,53 8,65
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 3,71 0,90 1,02 1,03 1,04 3,99 7,52
Jasa Lainnya 1,76 0,45 0,48 0,49 0,49 1,90 8,07
PDRB (dengan migas) 126,82 31,63 32,82 33,45 34,19 132,09 4,15
PDRB (tanpa migas) 120,85 30,08 31,31 31,86 32,67 125,92 4,20
Sumber: BPS Aceh, 2020 (diolah)
Dalam PDRB Aceh, Sektor Pengadaan
Air mengalami peningkatan paling
signifikan (27,25%) di tahun 2019
dibanding sektor lain .
Sektor Industri Pengolahan
menjadi sektor dengan penurunan
pertumbuhan paling signifikan
(-1,07%) dibanding tahun sebelumnya
(8,26%).
Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yang merupakan
sektor dengan kontribusi terbesar dalam struktur PDRB Aceh,
mengalami perlambatan pertumbuhan sektoral dibanding tahun
sebelumnya. Tercatat pada tahun 2019 sektor ini tumbuh sebesar
3,54 persen, menurun jika dibandingkan pertumbuhan tahun
sebelumnya yang sebesar 4,03 persen. Sektor Pengadaan Air dan
Jasa Keuangan menjadi sektor dengan pertumbuhan paling
signifikan. Tahun 2019 Sektor Pengadaan Air tumbuh sebesar 27,25
persen, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh
sebesar 7,19 persen.
Disisi lain sektor Industri Pengolahan yang pada tahun
sebelumnya mengalami pertumbuhan positif pada tahun ini justru
tumbuh negatif. Tahun 2019 sektor Industri Pengolahan tercatat
mengalami pertumbuhan negatif sebesar -1,07 persen mengalami
perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar
8,26 persen. Perlambatan tersebut diindikasikan dari turunnya hasil
pengolahan ikan di beberapa Kab/kota di Provinsi Aceh.
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 13
Konsumsi Rumah Tangga masih berkontribusi
terbesar dalam PDRB Aceh .
2) PDRB Sisi Permintaan / per Jenis Pengeluaran
Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun
2019 secara dominan disumbang oleh Konsumsi Rumah Tangga
yaitu sebesar Rp73,73 triliun atau berkontribusi sebesar 55,82 persen
dari total PDRB Aceh 2019 yang sebesar Rp132,09 triliun. Kontribusi
terbesar kedua yaitu Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
dengan investasi sebesar Rp43,51 triliun dengan persentase
kontribusi sebesar 32,94 persen. Kontribusi terbesar ketiga berasal
dari Konsumsi Pemerintah sebesar Rp23,32 triliun, atau 17,65 persen
dari total PDRB Aceh 2019. Net Ekspor Antar Daerah menyumbang
nilai paling kecil yaitu -12,48 persen. Hal ini menandakan bahwa
barang dari Aceh yang di ekspor ke daerah lain (dalam negeri) lebih
kecil jika dibandingkan barang dari daerah lain (dalam negeri) yang di
impor untuk masuk ke Aceh.
Tabel 2.3 PDRB Sisi Permintaan Atas Dasar Harga Konstan (dalam triliun Rp)
U r a i a n 2 0 1 8 2 0 1 9 Laju
Pertumbuhan
(%) Tahunan I II III IV Tahunan
Konsumsi Rumah Tangga 71,03 18,00 18,48 18,55 18,71 73,73 3,81
Konsumsi LNPRT 2,40 0,69 0,69 0,64 0,65 2,67 11,65
Konsumsi Pemerintah 21,53 3,26 6,01 6,07 7,98 23,32 8,32
PMTB 40,75 10,02 10,02 11,35 12,13 43,51 6,79
Perubahan Inventori 0,00 -0,01 0,02 0,00 0,00 0,02
Ekspor Luar Negeri 3,30 0,91 1,04 1,02 1,05 4,01 21,74
Impor Luar Negeri 1,76 0,35 0,73 1,11 0,52 2,70 53,22
Net Ekspor Antar Daerah -10,41 -0,89 -2,72 -3,06 -5,82 -12,48
PDRB 126,82 31,63 32,82 33,45 34,19 132,09 4,15
Sumber: BPS Aceh, 2020 (diolah)
Komponen pengeluaran dalam
rangka impor luar negeri mengalami
persentase pertumbuhan
paling signifikan dalam PDRB Aceh
tahun 2019.
Pertumbuhan paling signifikan dialami Impor Luar Negeri,
yang pada tahun 2019 mengalami pertumbuhan sebesar 53,22
persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan Konsumsi dalam rangka
Impor Luar Negeri tersebut dipengaruhi kenaikan nilai Impor Aceh,
khususnya pada komoditi Generating sets (gasoline engines) of an
output ≥ 12.5 MW (Mesin Genset berkapasitas 12,5 MW).
Sedangkan Ekspor Luar Negeri terkontraksi cukup signifikan
yaitu sebesar -57,37 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini
menandakan bahwa terdapat pengurangan nilai ekspor baik Migas
maupun Non dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar
51 persen.
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
14 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
2.1.1.3 PDRB per Kapita
PDRB per kapita menunjukkan pendapatan rata-rata
penduduk di suatu daerah yang diperoleh dari hasil pembagian
pendapatan penduduk suatu daerah (PDRB) dengan jumlah
penduduk.
Grafik 2.3 PDRB per Kapita Aceh dan Nasional
Sumber: BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
PDRB per Kapita Aceh meningkat di tahun 2019, namun masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan PDRB per
Kapita secara Nasional.
Perkembangan PDRB per kapita Aceh tahun 2019 yaitu
sebesar Rp30,70 juta, mengalami peningkatan jika dibandingkan
tahun 2018 yang sebesar Rp29,73 juta. Peningkatan tersebut
disebabkan persentase pertambahan PDRB lebih tinggi dibandingkan
dengan pertambahan penduduk. Jika dibandingkan dengan PDB per
kapita nasional, posisi PDRB per kapita Aceh masih lebih rendah. Jika
dilihat perkembangannya dalam 5 tahun terakhir, tren kenaikan PDRB
per kapita Aceh masih cukup tipis dengan rata-rata kenaikan hanya
4,44 persen, yang mana signifikansinya dibawah tren kenaikan PDB
per kapita nasional yang memiliki rata-rata kenaikan dalam 5 tahun
terakhir sebesar 6,99 persen.
Meskipun demikian, angka PDRB per kapita tidak serta merta
menunjukkan keberhasilan dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
Perlu dilihat indikator lain seperti IPM, Rasio Gini, angka kemiskinan
serta pengangguran.
2.1.2 Suku Bunga
Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi
moneter dengan suku bunga acuan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate,
yang merupakan suku bunga acuan yang memiliki tenor jangka
pendek, yaitu hanya 1 minggu sampai 1 bulan. Berbeda dengan BI
Rate yang memiliki tenor jangka panjang yaitu 12 bulan.
25,81 26,94 28,23 29,73 30,70
45,1247,96
51,8956,00
59,10
0
20
40
60
80
2015 2016 2017 2018 2019
Aceh Nasional
(Ju
ta R
p)
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 15
Penggunaan BI 7-Day Repo Rate sebagai suku bunga acuan
berlaku mulai tanggal 19 Agustus 2016, dengan perhitungan mulai
bulan Januari 2019, seperti yang terlihat pada grafik berikut.
Grafik 2.4 BI 7-Day Repo Rate 2019
Sumber:Bank Indonesia, 2020
BI masih mempertahankan
kebijakan suku bunga rendah dengan terus
menurunkan suku bunga dalam tahun
2019.
Dari grafik 2.4 di atas terlihat bahwa suku bunga BI sesuai BI
7-Day Repo Rate terus bergerak turun. Di sepanjang tahun 2019,
suku bunga BI yang dibuka pada level 6,00 di bulan Januari telah
ditutup di level penurunan 100 basis poin pada bulan Desember
(5,00). Pertumbuhan ekonomi nasional yang masih stabil, serta
pertumbuhan ekonomi global 2019 yang juga diangap lebih kuat
dibandingkan 2018 dengan sumber pertumbuhan yang lebih merata
baik dari negara maju maupun negara berkembang menjadi faktor
utama BI optimis menetapkan suku bunga rendah. Selain adanya
faktor lain yaitu inflasi nasional di tahun 2019 yang terjaga tetap
rendah, dimana sampai dengan akhir tahun ditutup pada level 2,72
persen (y-on-y) dan berada dalam kisaran sasaran inflasi 4±1 persen
sesuai target pemerintah dalam kerangka ekonomi makro APBN
2019. Penurunan suku bunga tersebut diharapkan dapat diikuti
dengan penurunan suku bunga kredit di sektor perbankan, sehingga
geliat investasi masyarakat dapat meningkat.
2.1.3 Inflasi
Sepanjang tahun 2019 tren fluktuasi
inflasi Aceh dan Nasional selalu
sama kecuali pada bulan November.
Secara m-to-m, inflasi Provinsi Aceh di sepanjang tahun 2019
hampir selalu berada pada tren fluktuasi yang sama dengan inflasi
nasional. Hanya pada bulan November tren tersebut tidak sama. Pada
bulan November, inflasi Aceh yang menurun sebesar 30 basis poin
dibanding inflasi pada bulan sebelumnya, hal ini berbanding terbalik
dengan inflasi Nasional yang meningkat sebesar 12 basis poin dari
6,00%
6,00%
6,00%
6,00%
6,00%
6,00%
5,75%5,50%
5,25%5,00%
5,00%
5,00%
4,50%
5,00%
5,50%
6,00%
6,50%
Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 Mei-19 Jun-19 Jul-19 Agu-19 Sep-19 Okt-19 Nov-19 Des-19
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
16 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
bulan sebelumnya. Jika dilihat inflasi di tiga kota besar di Aceh (Banda
Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh), terlihat bahwa menurunnya
inflasi di Kota Lhokseumawe menjadi faktor utama turunnya inflasi
Provinsi Aceh pada bulan November. Bahkan Kota Lhokseumawe
mengalami inflasi terendah ke 67 secara nasional dari 82 kota yang
dipantau perkembangan harganya di bulan November 2019.
Grafik 2.5 Inflasi Bulanan Aceh dan Nasional Tahun 2019
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Jika di tahun 2016 dan 2017 inflasi tahunan Aceh selalu lebih
tinggi dibanding inflasi nasional, maka pada tahun 2018, inflasi
tahunan Aceh lebih rendah dibanding inflasi nasional, dan tren
tersebut berlanjut di tahun 2019.
Grafik 2.6 Inflasi Tahunan Aceh dan Nasional Tahun 2015-2019
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Grafik 2.6 menunjukkan bahwa pada tahun 2019 inflasi y-on-
y Aceh berada pada level 1,69 persen, lebih rendah dibandingkan
inflasi y-on-y nasional yang pada tahun 2019 berada pada level 2,72
persen. Inflasi tahunan Aceh menurun sebesar 15 basis poin dari
tahun 2018 yang mengalami inflasi sebesar 1,84 persen. Secara
0,40
-0,60
-0,34
0,42
1,27
0,47-0,04
-0,10
-0,32
0,22
-0,12
0,42
0,32 -0,08
0,11
0,44
0,68
0,55
0,31
0,12
-0,27
0,02
0,14
0,34
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Meulaboh Lhokseumawe Banda Aceh Provinsi Aceh Nasional
m-t
o-m
20
19
(%
)
2015 2016 2017 2018 2019
Meulaboh 0,58 3,77 4,76 0,96 4,28
Lhokseumawe 2,44 5,60 2,87 2,05 1,20
Banda Aceh 1,27 3,13 4,86 1,93 1,38
Provinsi Aceh 1,53 3,95 4,25 1,84 1,69
Nasional 3,35 3,02 3,61 3,13 2,72
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
y-o
n-y
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 17
Secara tahunan, kelompok yang
mengalami inflasi tinggi dalam inflasi
Aceh yaitu kelompok bahan
makanan.
tahunan, kelompok yang mengalami inflasi tertinggi yaitu sandang
yang hingga Desember 2019 mengalami pertumbuhan IHK dari tahun
2018 sebesar 5,62 persen. Diikuti kelompok makanan jadi, minuman,
rokok, dan tembakau yang mengalami pertumbuhan IHK sebesar 3,58
persen dari tahun 2018.
2.1.4 Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan Yuan China
cenderung stabil, tercatat bahwa nilai tukar rupiah terhadap US Dollar
stabil di kisaran 14.000 dan nilai tukar Yuan China berada di kisaran
2.000.
Grafik 2.7 Pergerakan Kurs Tengah Mata Uang Asing Terhadap Rupiah Tahun 2019
Sumber:Bank Indonesia, 2020 (diolah)
Nilai tukar
US Dollar dan Yuan terhadap Rupiah
stabil di sepanjang tahun 2019,
sedangkan Euro dan Dollar
Australia terhadap Rupiah terus melemah di
sepanjang tahun 2019
Stabilitas rupiah dipengaruhi oleh
membaiknya perekonomian
Indonesia pada tahun 2019 untuk
beberapa aspek.
Sedangkan Euro dan Dollar Australia terus melemah di
sepanjang tahun 2019. Nilai tukar Rupiah terhadap Euro yang pada
bulan Januari 2019 ditutup pada level 16.257 dan di bulan Desember
2019 ditutup pada level 15.667, yang artinya dalam satu tahun Euro
telah terdepresiasi sebesar 3,63 persen dan nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Australia yang pada bulan Januari 2019 ditutup pada
level 10.262 dan di bulan Desember 2019 ditutup pada level 9.789,
yang artinya Dollar Australia telah terdepresiasi sebesar 4,61 persen.
Stabilitas rupiah dipengaruhi oleh membaiknya perekonomian
Indonesia pada tahun 2019 untuk beberapa aspek, seperti
membaiknya iklim investasi serta meningkatnya ekspor untuk
beberapa komoditas. Pada tahun 2019, peringkat daya saing
Indonesia turun ke posisi 50 dari posisi 45 tahun lalu. Selain itu,
peringkat kemudahan berinvestasi Indonesia (Easy of Doing
Business/EoDB) mengalami stagnan di peringkat 73.
10.262 10.090 10.149 10.073 9.995 9.955 9.700 9.607 9.636 9.749 9.590 9.789
2.109 2.112 2.125 2.123 2.095 2.067 2.047 2.018 2.014 1.998 2.015 2.000
16.257 16.082 16.077 15.986 16.097 16.159 15.724 15.810 15.578 15.719 15.606 15.667
14.142 14.132 14.315 14.286 14.457 14.212 14.096 14.308 14.245 14.078 14.172 13.970
31-Jan 29-Feb 31-Mar 30-Apr 31-Mei 30-Jun 31-Jul 31-Agu 30-Sep 31-Okt 30-Nov 31-Des
AUD CNY EUR USD
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
18 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Surplus neraca tahun 2019
melanjutkan tren surplus dalam 2
tahun terakhir (2017 dan 2018)
Stabilitas nilai tukar rupiah terhadap USD ternyata cukup
berdampak pada membaiknya nilai ekspor serta neraca perdagangan
di Aceh. Realisasi ekspor Aceh pada tahun 2019 sebesar 317,68 juta
USD, naik 128,51 persen dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar
139,02 juta USD. Peningkatan ekspor ini berdampak baik pada
neraca perdagangan Provinsi Aceh yang kembali meneruskan tren
surplus tahun 2017 dan 2018.
Grafik 2.8 Perkembangan Ekspor Impor Aceh 2015-2019
Sumber:BPS Aceh, 2020 (diolah)
Meningkatnya
ekspor bahan bakar mineral menjadi
faktor utama peningkatan nilai
ekspor Aceh di tahun 2019.
Jika diuraikan per komoditi ekspor, kenaikan nilai ekspor yang
terjadi di Aceh pada tahun 2019 (dibandingkan tahun sebelumnya)
seluruhnya berasal dari komoditi non migas, dengan kontribusi
terbesar yaitu berasal dari ekspor bahan bakar mineral. Nilai ekspor
bahan bakar mineral di Aceh pada tahun 2019 sebesar 154,53 juta
USD, naik signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang hanya sebesar 129,63 juta USD.
2.2 INDIKATOR KESEJAHTERAAN
2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kesejahteraan secara lebih luas dapat dilihat berdasarkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selain dari PDRB. IPM
merupakan indeks yang memberikan ukuran pencapaian
pembangunan berdasarkan perbandingan aspek dasar manusia yang
terdiri dari kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. Oleh
karena itu, IPM digunakan untuk mengukur pengaruh kebijakan
pemerintah terhadap kualitas hidup masyarakat. Semakin tinggi IPM
maka semakin baik pencapaian pembangunan manusia (0-1).
Capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokan IPM
2015 2016 2017 2018 2019
Ekspor 93.336.621 22.869.514 77.827.460 139.027.439 317.684.911
Impor 116.817.672 28.994.572 39.313.804 29.689.996 131.223.716
Neraca -23.481.051 -6.125.058 38.513.656 109.337.443 186.461.195
-100
0
100
200
300
400
Mill
ion
s
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 19
64,46
65,70
66,56
66,87
66,90
67,39
68,91
69,11
69,22
69,23
69,36
69,74
70,41
71,22
72,27
72,87
72,97
73,14
73,55
75,77
77,16
77,30
85,07
Kota Subulussalam
Simeulue
Aceh Barat Daya
Gayo Lues
Aceh Selatan
Aceh Timur
Aceh Singkil
Nagan Raya
Aceh Utara
Aceh Tamiang
Aceh Tenggara
Aceh Jaya
Pidie
Aceh Barat
Bireuen
Pidie Jaya
Bener Meriah
Aceh Tengah
Aceh Besar
Kota Sabang
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
Kota Banda Aceh
ke dalam beberapa kategori, yaitu: IPM<60 = IPM Rendah, 60<
IPM<70 = IPM Sedang, 70<IPM<80 = IPM Tinggi, dan IPM > 80 = IPM
Sangat Tinggi
Grafik 2.9 Indeks Pembangunan Manusia Aceh dan Nasional
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Data BPS terakhir menunjukkan bahwa IPM Aceh sampai
dengan tahun 2019 berada pada level 71,90. Artinya IPM Aceh
mencapai kategori IPM Tinggi. Meskipun angka tersebut masih tipis
dibawah IPM Nasional yang berada pada level 71,92, namun tren
kenaikan IPM Aceh terhitung sangat stabil dari tahun ke tahun.
Jika di breakdown per kabupaten/kota, IPM tertinggi dicapai
oleh Kota Banda Aceh yaitu sebesar 85,07, yang mana angka ini
termasuk kategori IPM sangat tinggi. Diikuti Kota Lhokseumawe dan
Kota Langsa yang masing-masing sebesar 77,30 dan 77,16. IPM
terendah yaitu Kota Subulussalam yaitu sebesar 64,46, yang mana
angka ini masih termasuk dalam kategori IPM sedang. Pada tahun
2019, terdapat 12 kabupaten/kota yang masuk dalam kategori IPM
sedang. Berkurang dibanding tahun sebelumnya yang terdapat 13
kabupaten/kota, dimana pada tahun ini terdapat 1 daerah (yaitu
Kabupaten Pidie) yang mengalami peningkatan status dari IPM
sedang ke IPM tinggi. Diharapkan pemerintah mampu terus
menyelenggarakan program-program yang diarahkan dalam rangka
peningkatan IPM di daerah-daerah yang masih dalam kategori
sedang, sehingga pembangunan sumber daya manusia tidak hanya
69,45
70,00
70,60
71,19
71,90
69,55
70,18
70,81
71,39
71,92
68,00
68,50
69,00
69,50
70,00
70,50
71,00
71,50
72,00
72,50
2015 2016 2017 2018 2019
Aceh Nasional
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
20 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
terfokus pada kota-kota besar seperti Banda Aceh atau
Lhokseumawe saja.
Dalam metode baru perhitungan IPM, terdapat tiga komponen
utama dalam pengukuran capaian pembangunan manusia, yaitu dari
aspek umur dan kesehatan (Umur Harapan Hidup), aspek pendidikan
(Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah) dan aspek
standar hidup layak (Pengeluaran per Kapita). Dengan menggunakan
data-data geometrik, ketiga aspek tersebut membentuk IPM dengan
keseimbangan peningkatan di masing-masing aspek.
Tabel 2.4 Perkembangan UHH, HLS, RLS dan Pengeluaran Per Kapita Aceh
Komponen Satuan 2014 2015 2016 2017 2018
Umur Harapan Hidup (UHH) Tahun 69,35 69,50 69,51 69,52 69,64
Harapan Lama Sekolah (HLS) Tahun 13,53 13,73 13,89 14,13 14,27
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Tahun 8,71 8,77 8,86 8,98 9,09
Pengeluaran per Kapita Rp 000 8.297 8.533 8.768 8.957 9.186
Sumber:BPS Aceh, 2020 (diolah)
Angka Harapan Hidup Provinsi Aceh
terus mengalami kenaikan dalam 5
tahun terakhir.
Dari aspek pendidikan, angka
Harapan Lama Sekolah dan Rata- rata Lama Sekolah Provinsi Aceh terus
mengalami kenaikan dalam 5
tahun terakhir.
Dilihat dari aspek kesehatan, Angka Harapan Hidup (AHH) di
Aceh pada periode 2014-2018 terus mengalami tren kenaikan, yang
mana pada tahun 2018 tercatat angka tersebut sebesar 69,64 tahun,
yang artinya bayi yang lahir di Aceh tahun 2018 berpeluang hidup
hingga usia 69,64 tahun. Hal ini menandakan bahwa terdapat kondisi
yang semakin membaik dalam derajat kesehatan di Aceh. Meskipun
demikian, capaian tersebut masih berada dibawah UHH nasional
yang pada tahun 2018 mencapai angka 71,20 tahun.
Dari aspek pendidikan, IPM memperhitungkan komponen
angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah
(RLS). Di Provinsi Aceh tercatat bahwa baik HLS maupun RLS
mengalami tren kenaikan yang berkesinambungan dari tahun 2014
sampai dengan tahun 2018. Pemerintah dianggap cukup peduli
terhadap peningkatan mutu pendidikan di Aceh. Selain semakin
banyaknya dana yang dianggarkan pemerintah Aceh untuk
pemberian beasiswa, hal ini juga terlihat dari banyaknya perguruan
tinggi negeri yang tersebar di Aceh. Selain Universitas Syiah Kuala,
UIN Ar Raniry, dan Politeknik Negeri Aceh di Banda Aceh, beberapa
perguruan tinggi negeri juga tersebar di beberapa kabupaten/kota lain
seperti Universitas Malikussaleh, Politeknik Negeri Lhokseumawe,
dan STAIN Malikussaleh di Kota Lhokseumawe, Universitas
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 21
Dari aspek standar hidup layak, angka
pengeluaran per kapita Aceh juga
mengalami peningkatan yang
berkesinambungan dalam 5 tahun
terakhir.
IPM Aceh menempati
peringkat 11 tertinggi secara
nasional.
Samudera dan IAIN Zawia Cot Kala di Kota Langsa, dan Universitas
Teuku Umar di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Dari aspek Standar Hidup Layak, angka pengeluaran per
kapita Aceh juga mengalami peningkatan yang berkesinambungan,
dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2018. Hal itu menunjukkan
bahwa daya beli masyarakat Aceh dalam membelanjakan uangnya
untuk konsumsi barang maupun jasa semakin baik. Perubahan
kondisi perekonomian sangat mempengaruhi perubahan pola
konsumsi masyarakat.
Dari seluruh provinsi di Indonesia, Aceh menempati peringkat
ke 11, sama jika dibandingkan tahun sebelumnya yang juga
menempati peringkat 11. Capaian IPM yang tertinggi yaitu DKI Jakarta
(80,47), diikuti DI Yogyakarta (79,53), dan Kalimantan Timur (75,83)
di posisi kedua dan ketiga.
2.2.2 Tingkat Kemiskinan
Grafik 2.10 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Aceh dan Nasional
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Tahun 2019 persentase
penduduk miskin Aceh mengalami
penurunan namun masih jauh lebih
tinggi diatas persentase
penduduk miskin Nasional.
Persentase penduduk miskin Aceh selama periode Maret
2015 sampai dengan September 2019 terus berfluktuasi. Sempat
mengalami kenaikan pada periode Maret 2018 di level 15,97 persen
atau sebesar 839 ribu jiwa dan terus menurun sampai dengan periode
September 2019 yang menjadi 15,01 persen atau sebesar 810 ribu
jiwa. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase
penduduk miskin secara nasional yang pada September 2019 berada
pada level 9,22 persen, kondisi ini bahkan selalu terjadi dalam
beberapa periode terakhir.
851 859 848 841 872 829 839 831 819 810
17,08% 17,11% 16,73% 16,43% 16,89%15,92% 15,97% 15,68% 15,32% 15,01%
11,22% 11,13% 10,86% 10,70% 10,64% 10,12% 9,82% 9,66% 9,41% 9,22%
0%
4%
8%
12%
16%
20%
780
800
820
840
860
880
Mar 15 Sep 15 Mar 16 Sep 16 Mar 17 Sep 17 Mar 18 Sep 18 Mar 19 Sep 19
Jumlah Penduduk Miskin Aceh % Penduduk Miskin Aceh% Penduduk Miskin Nasional
(rib
u j
iwa)
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
22 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Grafik 2.11 Perkembangan Kemiskinan Perkotaan dan Pedesaan di Provinsi Aceh
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Persentase penduduk miskin di perkotaan sempat
naik pada Maret 2019 turun pada September 2019,
Persentase
penduduk miskin di pedesaan terus
turun dari Maret 2019 sampai
dengan September 2019.
Jika diuraikan berdasarkan perkotaan dan pedesaan,
persentase penduduk miskin di perkotaan sempat mengalami
kenaikan pada periode Maret 2019 dan mengalami penurunan pada
periode September 2019, sedangkan persentase penduduk miskin di
pedesaan terus mengalami penurunan dari periode Maret 2019
sampai dengan September 2019.
Selain jumlah dan persentase penduduk miskin, indikator lain
dalam permasalahan kemiskinan yaitu tingkat kedalaman dan
keparahan kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah
penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga harus
dapat mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Nilai kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tergambar
dalam indeks, seperti yang terera dalam tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.5 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh
Periode
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Perkotaan Pedesaan Perkotaan +
Pedesaan Perkotaan Pedesaan
Perkotaan +
Pedesaan
Mar 15 2,245 3,444 2,909 0,659 0,901 0,832
Sep 15 1,843 3,614 3,139 0,498 0,977 0,703
Mar 16 2,297 3,958 3,104 0,703 1,117 0,997
Sep 16 1,448 3,738 3,111 0,283 1,112 0,867
Mar 17 1,553 3,589 2,978 0,352 1,002 0,807
Sep 17 1,667 3,472 2,917 0,371 0,963 0,781
Mar 18 1,576 3,424 2,845 0,374 0,925 0,752
Sep 18 1,517 3,408 2,803 0,352 0,889 0,717
Mar 19 1,593 3,150 2,644 0,375 0,799 0,661
Sep 19 1,499 3,100 2,580 0,361 0,814 0,667
Sumber:BPS Aceh, 2020 (diolah)
694,01 703,60 688,94 678,29 700,26 663,03 667,40 668,14 651,33 643,79
157,57 155,81 159,50 163,02 172,35 166,77 172,09 163,36 168,11 165,97
19,44% 19,54% 19,11% 18,80% 19,37%18,36% 18,49% 18,52% 18,03% 17,68%
11,13% 10,92% 10,82% 10,79% 11,11%10,42% 10,44%
9,63% 9,68% 9,47%
0%
4%
8%
12%
16%
20%
24%
100
200
300
400
500
600
700
Mar 15 Sep 15 Mar 16 Sep 16 Mar 17 Sep 17 Mar 18 Sep 18 Mar 19 Sep 19
Jumlah Penduduk Miskin di pedesaan Jumlah Penduduk Miskin di perkotaan
% penduduk miskin pedesaan % penduduk miskin perkotaan
(rib
ujiw
a)
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 23
Tahun 2019 Indeks
Kedalaman Kemiskinan dan
Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh
mengalami penurunan
dibanding tahun sebelumnya.
Kemiskinan Aceh tertinggi keenam secara nasional,
dan menjadi yang paling tinggi dari
seluruh Provinsi di Pulau Sumatera
Pada periode September 2019, Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami
penurunan dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu
(September 2018). Berkurangnya kedua indeks ini mengindikasikan
bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati
garis kemiskinan dan ketimpangan rata-rata pengeluaran di antara
penduduk miskin itu sendiri semakin kecil.
Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan
pedesaan, nilai indeks P1 dan indeks P2 pada pedesaan lebih tinggi
daripada perkotaan. Namun demikian sempat tejadi kenaikan indeks
P1 dan P2 di perkotaan jika dilihat dari periode September 2018-
September 2019 (periode satu tahun terakhir). Sedangkan dalam
periode yang sama indeks P1 dan P2 untuk pedesaan selalu
mengalami penurunan.
Meskipun secara angka mengalami penurunan, namun jika
dilihat dari persentase penduduk miskin di seluruh Provinsi di
Indonesia, persentase penduduk miskin Provinsi Aceh berada di
urutan tertinggi keenam, dibawah Papua, Papua Barat, NTT, Maluku,
dan Gorontalo. Angka tersebut bahkan merupakan yang tertinggi jika
dibandingkan seluruh provinsi di Pulau Sumatera. Hal ini
mengindikasikan bahwa Provinsi Aceh cenderung lambat dalam
mengentaskan kemiskinan.
Beberapa upaya perlu difokuskan pemerintah dalam rangka
penurunan angka kemiskinan di Aceh, misalnya menjaga stabilitas
harga bahan kebutuhan pokok, mengembangkan sektor UMKM, serta
memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat /
swakelola.
2.2.3 Tingkat Ketimpangan (Rasio Gini)
Grafik 2.12 Perkembangan Rasio Gini Aceh dan Nasional
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
0,410
0,400 0,397 0,394 0,393 0,391 0,389 0,384 0,382 0,380
0,3300,340
0,3330,341
0,329 0,329 0,3250,318 0,319 0,321
0,30
0,34
0,38
0,42
Mar 15 Sep 15 Mar 16 Sep 16 Mar 17 Sep 17 Mar 18 Sep 18 Mar 19 Sep 19
Nasional Aceh
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
24 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Ketimpangan Aceh mengalami
kenaikan dari periode sebelumnya
dan berada pada level lebih rendah
dari angka ketimpangan
nasional.
Rasio Gini mencerminkan tingkat ketimpangan pendapatan
dalam masyarakat dengan nilai berkisar antara 0 (sangat merata)
hingga 1 (sangat timpang).
Rasio Gini di Provinsi Aceh pada September 2019 yaitu
sebesar 0,321, mengalami kenaikan dibandingkan periode Maret
2019 yang sebesar sebesar 0,319. Angka ini masih lebih baik jika
dibandingkan dengan Rasio Gini Nasional per September 2019 yang
sebesar 0,380. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dalam angka
PDRB per kapita Aceh masih dibawah rata-rata nasional, namun
Provinsi Aceh lebih baik dalam hal pemerataan pendapatan.
Grafik 2.13 Perbandingan Rasio Gini Se-Sumatera per September 2019
Sumber:BPS Nasional, 2020 (diolah)
Ketimpangan Aceh menjadi yang
terendah keempat Se-Sumatera.
Apabila dibandingkan dengan seluruh Provinsi di Pulau
Sumatera, angka ketimpangan Provinsi Aceh berada pada peringkat
terendah keempat, terendah setelah Provinsi Bangka Belitung,
Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Namun, angka tersebut juga
masih di atas rata-rata gini rasio Sumatera. Diharapkan upaya
pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijakan dalam
peningkatan distribusi pendapatan, misalnya dengan lebih concern
pada penyaluran kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR)
dan kredit Ultra Mikro (UMi). Karena dengan bergeraknya sektor
UMKM, ekonomi dapat terbangun melalui hilir sehingga kesempatan
membangun usaha untuk masyarakat kecil akan lebih besar. Selain
itu, kebijakan penyaluran Dana Desa juga diharapkan mampu
mengurangi ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini.
0,262 0,307 0,315 0,321 0,324 0,329 0,331 0,331 0,337 0,3390,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Babel Sumbar Sumut Aceh Jambi Bengkulu Riau Lampung Kepri Sumsel
rata
-rat
a: 0
,32
0
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 25
2.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan dan Tingkat Pengangguran
Ketimpangan Aceh menjadi yang
tetinggi kedua Se-Sumatera.
Dari jumlah angkatan kerja tersebut, tercatat jumlah
pengangguran Aceh per Agustus 2019 sebanyak 147 ribu orang,
meningkat jika dibandingkan jumlah pengangguran pada periode
Februari 2019 yang sebanyak 136 ribu orang. Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh pada Agustus 2019 sebesar 6,20
persen, naik cukup signifikan jika dibandingkan dengan periode
Februari 2019 yang mencapai 5,53 persen. Tren TPT Aceh terus yang
mengalami penurunan secara berkelanjutan dari sejak periode
Agustus 2015 terhenti pada periode Agustus 2019. Meskipun
demikian, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, angka TPT Aceh masih
selalu tinggi jika dibandingkan TPT secara nasional.
Grafik 2.14 Perkembangan Tingkat Penganguran Aceh dan Nasional
Sumber:BPS Aceh dan Nasional, 2020 (diolah)
Sektor Jasa menjadi sektor dengan
penyerapan tenaga kerja terbanyak di
Provinsi Aceh.
Diharapkan pemerintah dapat lebih memprioritaskan pada
program-program untuk menurunkan pengangguran, misalnya
dengan mendukung sektor UMKM melalui penurunan suku bunga
KUR dan mengembangkan kredit Ultra Mikro, serta mengembangkan
beberapa sektor-sektor usaha lain seperti pariwisata serta
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Apabila dilihat berdasarkan lapangan kerja utama di Provinsi
Aceh, pada tahun 2019 (per bulan Agustus) sektor Jasa-jasa menjadi
sektor usaha dengan serpan tenaga kerja terbanyak yaitu sebesar
1.044 ribu orang atau 47,67 persen dari seluruh tenaga kerja di
Provinsi Aceh, mengalami kenaikan jika dibandingkan periode
175 217 182 171 172 150 154 149 136 147
7,73 9,93 8,137,57 7,39
6,57 6,55 6,35
5,536,20
5,816,18
5,50 5,61 5,33 5,50 5,33 5,505,01 5,28
0,0
2,5
5,0
7,5
10,0
0
50
100
150
200
Feb 15 Agu 15 Feb 16 Agu 16 Feb 17 Agu 17 Feb 18 Agu 18 Feb 19 Agu 19
Jumlah Pengangguran Aceh TPT Aceh (%) TPT Nasional (%)
(rib
u ji
wa)
(%)
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
26 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Industri15,34%
Pertanian36,99%
Jasa-jasa47,67%
Agustus 2018 yang sebesar 982 ribu orang. Sektor Pertanian yang
pada tahun 2019 menyerap tenaga kerja sebanyak 810 ribu orang,
mengalami penurunan serapan tenaga kerja jika dibandingkan tahun
2018 (866 ribu). Sedangkan sektor industri manufaktur menjadi sektor
yang menyerap tenaga kerja paling kecil yaitu sebesar 336 ribu orang,
atau hanya 15,34 persen dari total jumlah tenaga kerja di Aceh.
Grafik 2.15 Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Kerja Utama
Sumber:BPS Aceh, 2020 (diolah)
2.3 EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI DAN PEMBANGUNAN REGIONAL
Sesuai Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sasaran pembangunan Aceh
pada tahun 2019 sebagaimana telah diamanatkan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2017-2022 dan
RPJM Nasional 2015-2019 dengan dibandingkan dengan capaian
Aceh dan capaian nasional pada tahun 2019 tersaji dalam tabel
berikut.
Tabel 2.6 Target dan Capaian Aceh Terhadap Indikator Ekonomi Makro
U r a i a n Target Provinsi
Aceh 2019
Capaian Aceh
Tahun 2019
Capaian Nasional
Tahun 2019
Pertumbuhan Ekonomi 5,25 4,15 5,02
Tingkat Kemiskinan 14,43 15,01 9,22
Tingkat Pengangguran 6,30 6,20 5,28
Tingkat Inflasi (inflasi tahunan) 4,00 1,69 2,72
IPM 71,44 71,19 71,39
Sumber:BPS Aceh dan RKPA 2019, 2020 (diolah)
Dari tabel diatas terlihat bahwa dari lima indikator ekonomi
makro yang ditetapkan targetnya pada KUA Provinsi Aceh, dua
diantaranya masih sesuai target yaitu antara lain Tingkat
Pengangguran dan Tingkat Inflasi. Beberapa target indikator
250289
333 357 336
882
735
831 866810834
1.063975 982
1.044
0
200
400
600
800
1.000
1.200
Agu 15 Agu 16 Agu 17 Agu 18 Agu 19
Industri Pertanian Jasa-jasa
(dal
am r
ibu
an)
Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional | Bab II
Annual Regional Fiscal Report 2019 27
Dari lima indikator
ekonomi makro yang ditetapkan targetnya pada
KUA Provinsi Aceh, dua diantaranya
masih sesuai target yaitu antara lain,
tingkat pengangguran, dan
tingkat inflasi.
Target pertumbuhan ekonomi dan
tingkat kemiskinan perlu dievaluasi
dengan pertimbangan
stabilitas daerah.
pembangunan perlu dievaluasi, diantaranya target Pertumbuhan
Ekonomi, Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sesuai KUA
dianggap kurang realistis mengingat stabilitas pertumbuhan ekonomi
Aceh masih rendah dengan tren yang masih sangat fluktuatif dalam
beberapa tahun terakhir. Dengan mempertimbangkan stabilitas
pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih lebih rendah dibandingkan
secara nasional, penetapan target pertumbuhan ekonomi dibawah
capaian nasional akan dianggap lebih realistis.
Untuk penetapan target angka kemiskinan, pemerintah Aceh
perlu mempertimbangkan posisi kemiskinan Aceh yang masih tinggi.
Meskipun secara tren mengalami penurunan dibandingkan tahun
sebelumnya, namun percepatan pengentasan kemiskinan di Aceh
terhitung lambat dibanding provinsi lain. Dengan memperketat target
angka kemiskinan (lebih rendah) diharapkan dapat lebih memacu
kinerja pemerintah di Aceh dalam rangka mendorong program-
program pengentasan kemiskinan di Aceh.
Sedangkan penetapan target Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Aceh dianggap cukup ralisitis mengingat tren yang selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun tetapi target ini juga
masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan capaian nasional.
Bab II | Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional
28 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Boks 1. Clustering Daerah di Aceh Berdasarkan Analisis Tipologi Klassen
Dengan mengunakan dua indikator ekonomi utama yaitu PDRB per Kapita dan tingkat
pertumbuhan ekonomi (periode 2011-2018), dapat dilakukan klasifikasi atau pemetaan daerah
berdasarkan Tipologi Klassen. Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Struktur daerah akan dibagi
menjadi empat kuadran yaitu antara lain Daerah Maju dan Cepat Tumbuh (Kuadran I), Daerah
Berkembang Cepat (Kuadran II), Daerah Maju Tapi Tertekan (Kuadran III), dan Daerah Tertinggal
(Kuadran IV).
Grafik 2.16 Scatter Plot Klasifikasi Kabupaten / Kota
Sumber:BPS Aceh, 2020 (diolah)
Dari grafik Tipologi Klassen diatas, 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh diklasifikasikan
berdasarkan empat kuadran tersebut, yaitu sebagai berikut:
Daerah Maju dan Cepat Tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pendapatan yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota. Terdapat 5 daerah yang termasuk
dalam kategori ini, yaitu Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Tengah, Kota Sabang, Kab. Aceh Barat dan Kab.
Nagan Raya.
Daerah Berkembang Cepat, yaitu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tingkat
pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota. Jumlah daerah terbanyak
berada pada kategori ini, dimana terdapat 13 daerah, antara lain Kab. Simeuleu, Kab. Aceh Singkil, Kab.
Aceh Selatan, Kab. Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Kab. Pidie, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie Jaya,
Kab. Bireuen, Kab. Aceh Jaya, Kab. Bener Meriah, Kab. Aceh Barat, dan Kota Langsa.
Daerah Maju Tapi Tertekan, yaitu daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, namun
tingkat pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota. Terdapat 2 daerah yang
termasuk dalam kategori ini, yaitu Kab. Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe.
Daerah Tertinggal, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita lebih
rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota.Terdapat 3 daerah yang termasuk dalam kategori ini, yaitu
Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh Barat Daya, dan Kab. Aceh Timur.
Kab. Simeulue
Kab. Aceh Singkil
Kab. Aceh Selatan
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Timur
Kab. Aceh Tengah
Kab. Aceh Barat
Kab. Aceh Besar
Kab. Pidie
Kab. Bireun
Kab. Aceh Utara
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Gayo Lues
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Nagan RayaKab. Aceh Jaya
Kab. Bener Meriah
Kab. Pidie Jaya Kota Banda Aceh
Kota Sabang
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
Kota Subulussalam
-3,50
-3,00
-2,50
-2,00
-1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
0 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Per
tum
bu
han
Eko
no
mi (
%)
PDRB Per Kapita (juta)
Kuadran II: Daerah Berkembang Cepat
Kuadran I: Daerah Maju dan Tumbuh Cepat
Kuadran IV: Daerah Tertinggal
Kuadran III: Daerah Maju Tapi Tertekan
BAB IIIperkembangan dan analisispelaksanaan apbn tingkatregional
Pulau PanjangPulau Panjang yang berada di KecamatanPulau Banyak, Aceh Singkil, menjadi destinasifavorit wisatawan lokal maupun mancanegarakarena disuguhi pemandangan yang elok dansejuk.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 29
3.1 APBN TINGKAT PROVINSI
Pada Tahun 2019, target pendapatan
APBN Aceh meningkat
dibanding tahun sebelumnya,
alokasi belanja juga mengalami
peningkatan.
Pada tahun anggaran 2019, pendapatan negara tingkat
Provinsi Aceh ditargetkan sebesar Rp5,93 triliun dan terealisasi
sebesar Rp5,52 triliun atau 93,19 persen. Realisasi tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai angka
Rp5,16 triliun dengan presentase sebesar 86,52 persen pada tahun
2018. Sedangkan target pendapatan negara di Provinsi Aceh
menurun akibat turunnya target penerimaan pajak. Aceh mengalami
penurunan dari tahun anggaran 2018 yang sebesar Rp5,32 triliun
menjadi Rp5,26 triliun pada tahun anggaran 2019.
Tabel 3.1 APBN Provinsi Aceh (dalam miliar Rp)
Uraian 2018 2019
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
Pendapatan Negara 5.964,26 5.160,22 86,52% 5.928,21 5.524,61 93,19%
Penerimaan Perpajakan 5.315,00 4.263,78 80,22% 5.261,06 4.591,95 87,28%
Penerimaan Negara Bukan Pajak 649,26 896,44 138,07% 667,15 932,66 139,80%
Hibah 0,00 0,00 0,00% 0,00 0,00 0,00%
Belanja Negara 49.188,16 47.718,73 97,01% 52.429,09 50.701,64 96,71%
Belanja Pemerintah Pusat 14.481,27 13.400,83 92,54% 15.485,77 14.757,31 95,30%
Transfer ke Daerah dan Dana Desa 34.706,89 34.317,90 98,88% 36.943,32 35.944,34 97,30%
Surplus/(Defisit) (43.223,90) (42.558,51) 98,46% (46.500,88) (45.177,03) 97,15%
Sumber: Monev PA, OM-SPAN dan SIMTRADA, 2020 (diolah)
Penerimaan pajak menjadi sumber
utama pendapatan APBN di Aceh tahun
2019, dengan kontribusi 83,12%
dari total pendapatan APBN.
Penerimaan perpajakan masih menjadi sumber utama
pendapatan negara yang berkontribusi sebesar 83,12 persen dari
total pendapatan negara pada tahun 2019. Realisasi penerimaan
pajak pada tahun 2019 yang sebesar Rp4,60 triliun terdiri dari pajak
dalam negeri sebesar Rp4,59 triliun dan pajak perdagangan
internasional sebesar Rp3,45 miliar. Pajak dalam negeri mengalami
kenaikan sebesar 7,97 persen dibandingkan tahun sebelumnya,
berbanding terbalik dengan pajak perdagangan internasional yang
mengalami penurunan. Sementara itu Penerimaan Negara Bukan
Perkembangan dan Analisis
Pelaksanaan APBN Tingkat
Regional
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
30 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Komposisi alokasi belanja APBN di
Provinsi Aceh: Belanja Pusat
29,11%, dan Belaja Transfer ke Daerah
70,89%.
Realisasi Belanja APBN di Provinsi
Aceh Tahun 2019 sebesar 95,30% dari
pagu 2019.
Pajak (PNBP) menyumbang kontribusi sebesar 16,88 persen, dengan
nominal realisasi sebesar Rp932,66 miliar. Realisasi PNBP Aceh
pada tahun 2019 mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan
realisasi tahun 2018 sebesar Rp896,44 miliar.
Dari sisi Belanja Negara, alokasi anggaran di Provinsi Aceh
pada tahun 2019 adalah sebesar Rp52,43 triliun rupiah yang terdiri
dari Belanja Pemerintah Pusat (K/L) sebesar Rp15,49 triliun dan Dana
Transfer Ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp36,94 triliun. Alokasi
belanja tersebut meningkat sebesar Rp3,24 triliun atau 6,59 persen
dibandingkan tahun 2018. Namun secara nilai persentase realisasi
tidak sebanding dengan kenaikan pagu, persentase realisasi belanja
negara menurun dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebesar
97,01 persen dan pada 2019 hanya terealisasi sebesar Rp50,70 triliun
atau 96,71 persen. Hal ini dikarenakan terjadinya kurang
maksimalnya realisasi pada dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa
dibandingkan tahun 2018.
Pada tahun 2018 dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa
terealisasi sebesar Rp34,31 triliun atau 98,88 persen, sedangkan
pada tahun anggaran 2019 dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa
hanya terealisasi sebesar Rp35,94 triliun atau 97,30 persen dari dana
yang dialokasikan. Di samping itu, realisasi belanja pemerintah pusat
mengalami kenaikan yang mencapai Rp14,76 triliun atau sebesar
95,30 persen dibandingkan tahun 2018 yang hanya terealisasi
sebesar Rp13,40 triliun atau 92,54 persen dari alokasi dana.
3.2 PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT TINGKAT REGIONAL
3.2.1 Penerimaan Perpajakan
3.2.1.1 Perkembangan Realisasi Perpajakan Provinsi Aceh
Pajak Dalam Negeri mendominasi total
realisasi pajak dengan kontribusi
99,92%.
Dari total realisasi penerimaan pajak di Aceh tahun 2019,
sebesar Rp4,59 triliun merupakan Pajak Dalam Negeri dengan
kontribusi sebesar 99,92 persen. Sedangkan Pajak Perdagangan
Internasional hanya memberikan kontribusi sebesar Rp3,45 miliar
atau 0,08 persen dari total penerimaan pajak di Aceh tahun 2019.
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 31
3,45 M
0,00 0,00
Bea Masuk Bea Keluar PendapatanPabeaan Lainnya
1,6
3M
2.2
19
,52
M
2.2
33
,05
M
53
,25
M
0,1
8M
80
,86
M
PPhMigas
PPhNon
Migas
PPN PBB Cukai PajakLainnya
Grafik 3.1 Realisasi Penerimaan Pajak Pemerintah Pusat Provinsi Aceh Tahun 2019
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Kontribusi terbesar dalam pajak dalam
negeri yaitu PPN, sementara yang
terkecil yaitu Cukai.
Untuk Pajak Dalam Negeri, total realisasi penerimaan 2019
masih didomi nasi PPN dan PPh Non Migas, PPN memiliki kontribusi
terbesar sebesar yaitu 48,67 persen dengan total realisasi sebesar
Rp2,23 triliun. Diikuti PPh Non Migas yang memiliki kontribusi sebesar
48,37 persen dengan total realisasi Rp2,22 triliun. Cukai memiliki
kontribusi paling kecil yaitu sebesar 0,004 persen dengan total
realisasi sebesar Rp179,39 juta. Sedangkan dari Pajak Perdagangan
Internasional, pada 2019 hanya melalui sumber penerimaan bea
masuk yang mengalami penurunan realisasi dari tahun 2018 sebesar
75,49 persen yang hanya sebesar Rp3,45 miliar pada tahun 2019.
Grafik 3.2 Realisasi Pajak Dalam Negeri per Jenis Pajak
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa dari 6 jenis Pajak
Dalam Negeri, realisasi untuk PPh Migas dan PBB mengalami
penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi
penerimaan PPh Migas pada tahun 2019 sebesar Rp1,63 miliar yang
jika dibandingkan tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar
Pajak Dalam NegeriRp4,59 triliun (99,92%)
Pajak Perdagangan Internasional
Rp3,45 miliar (0,08%)
1,63
2.219,522.233,05
53,25 0,18 80,862,68
2.094,482.005,59
79,040,00 67,91
-39,27%
5,97% 11,34%
-32,62%
0,00%
19,07%
-50%
-40%
-30%
-20%
-10%
0%
10%
20%
30%
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
PPh Migas PPh Non Migas PPN PBB Cukai Pajak Lainnya
Realisasi 2019 Realisasi 2018 %
(tri
liun
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
32 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Dibanding tahun lalu, realisasi PPh
Migas dan PBB tahun ini
mengalami penurunan,
sedangkan PPh Non Migas, PPN, Cukai dan Pajak Lainnya
mengalami kenaikan.
Rp1,05 miliar atau 39,27 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini
diakibatkan penurunan harga komoditas di pasar global yang
berdampak kepada penurunan harga komoditas di wilayah Aceh.
Sedangkan PBB pada tahun 2019 terealisasi sebesar Rp53,25 miliar
mengalami penurunan dibandingkan realisasi pada tahun 2018 yang
sebesar Rp79,04 miliar. Penurunan PBB merupakan dampak dari
adanya insentif pengurangan pajak khususnya PBB di Aceh.
Sementara itu, kenaikan realisasi terjadi pada PPh Non Migas,
PPN, dan Pajak Lainnya. PPN yang memiliki jumlah pendapatan
pajak terbesar tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar Rp227,46
miliar atau sebesar 11,34 persen dibandingkan tahun lalu. Diikuti oleh
PPh Non Migas yang mengalami kenaikan sebesar 5,97 persen
disbanding realisasi tahun lalu sebesar Rp2,09 triliun. Kemudian
realisasi Pajak Lainnya yang terealisasi sebesar Rp80,86 miliar dan
mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2018 yang hanya terealisasi
sebesar Rp67,91 miliar.
Grafik 3.3 Realisasi Penerimaan Pajak per Kab./Kota di Provinsi Aceh
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Kontribusi terbesar penerimaan Pajak
Dalam Negeri berasal dari Kota
Banda Aceh. Sedangkan
kontribusi terkecil berasal dari Kota
Sabang.
Jika diuraikan berdasarkan kabupaten/kota, terlihat bahwa
Kota Banda Aceh merupakan daerah yang memberikan kontribusi
penerimaan perpajakan paling besar dengan total realisasi sebesar
Rp1,365 triliun atau dengan kontribusi sebesar 29,76 persen dari total
realisasi penerimaan pajak tahun 2019. Besarnya kontribusi Kota
Banda Aceh disebabkan oleh posisinya sebagai pusat perdagangan
dan jasa, serta pembangunan di Aceh, sehingga Banda Aceh dapat
dianggap sebagai poros dari perekonomian Provinsi Aceh. Kontribusi
terbesar kedua adalah Kab. Pidie Jaya dengan total realisasi pada
2,15%
-25,90%
7,41%
10,23%
3,58%
53,24%
8,48%
20,10%
16,33%
15,38%
-7,75%
12,52%
40,31%
21,84%
29,47%
19,03%
47,64%42,18%
10,33%
6,67%
22,26%
20,99%
36,78%
-100%
-80%
-60%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
(mili
ar R
p)
2018 2019 % y-on-y
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 33
Pada tahun 2019 Kab. Aceh Besar
mengalami kenaikan
penerimaan pajak paling signifikan dibanding tahun
sebelumnya
tahun 2018 sebesar Rp511,95 miliar dengan persentase kontribusi
sebesar 11,16 persen dari total realisasi penerimaan pajak tahun
2019. Sementara itu Kota Sabang menjadi daerah dengan kontribusi
penerimaan pajak terkecil dengan total realisasi sebesar Rp16,04
miliar atau hanya sebesar 0,35 persen dari total pajak dalam negeri
Aceh 2019.
Kabupaten Aceh Besar menjadi daerah dengan persentase
kenaikan penerimaan pajak tertinggi dari realisasi penerimaan tahun
sebelumnya. Tercatat penerimaan pajak dari Kab Aceh Besar naik
sebesar 53,24 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini sebagai
indikasi meningkatnya belanja infrasturktur pemerintah jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan Kab. Pidie Jaya
menjadi daerah dengan persentase penurunan pajak tertinggi yaitu
turun sebesar 25,90 persen.
Grafik 3.4 Realisasi Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional di Aceh
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Realisasi pajak perdagangan internasional
mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun lalu.
Untuk penerimaan pajak perdagangan Internasional di Aceh,
dalam 5 tahun terakhir selalu didominasi penerimaan Bea Masuk.
Pada tahun 2019 realisasi penerimaan Bea Masuk sebesar Rp3,45
miliar, atau dengan persentase sebesar 100 persen dari total
penerimaan pajak perdagangan internasional tahun 2019. Angka
penerimaan tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Selain itu untuk penerimaan dari Bea Keluar justru
nol dalam 4 tahun terakhir. Masih banyaknya komoditi di Aceh yang
diekspor melalui pelabuhan di luar Aceh, serta masih banyaknya
kegiatan ekspor yang belum tercatat untuk dikenai pungutan pajak
ekspor diduga menjadi penyebab utama penurunan tersebut.
2015 2016 2017 2018 2019
Bea Masuk 42,40 8,85 3,67 14,07 3,45
Bea Keluar 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pendapatan denda administrasi 0,32 1,01 0,81 0,00 0,00
Pendapatan Pabean Lainnya 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
(mili
ar
Total 2016:Rp9,88 Miliar
Total 2017:Rp4,48 Miliar
Total 2018:Rp14,07 Miliar
Total 2019:Rp3,45 Miliar
Total 2015: Rp42,72 Miliar
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
34 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
3.2.1.2 Kinerja Perpajakan Aceh
Tingkat kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak yang tergambar dalam Tax Ratio
Aceh terus mengalam
penurunan dalam 5 tahun terakhir
Untuk melihat sejauh mana tingkat kepatuhan dari para wajib
pajak dalam pembayaran pajak di suatu daerah, selain dari total
realisasi pajak juga harus dilihat perkembangan jumlah PDRB di
daerah tersebut. Hal itu terwujud dalam tax ratio. Tax ratio merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan
PDRB suatu daerah. Rasio itu digunakan untuk menilai tingkat
kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu daerah
Grafik 3.5 Perkembangan Tax Rasio Aceh
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Dari grafik diatas terlihat bahwa pada tahun 2019 tax ratio
Aceh mengalami penurunan 3 basis poin, seiring dengan penurunan
angka realisasi pajak di Aceh. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak di Aceh tahun 2019
mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu,
penurunan tersebut meneruskan tren penurunan tax ratio yang juga
terjadi di tahun sebelumnya.
3.2.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Realisasi PNBP Mengalami
kenaikan dalam 5 tahun terakhir.
Selain optimalisasi sektor pajak, salah satu langkah kebijakan
fiskal di bidang pendapatan negara adalah optimalisasi PNBP. PNBP
di Aceh terbagi menjadi 3 jenis penerimaan, yaitu penerimaan Sumber
Daya Alam (SDA), Pendapatan BLU, serta PBNP Lainnya.
Realisasi PNBP di Aceh tahun 2019 sebesar Rp932,66 miliar,
naik jika dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp896,43
miliar. Selain itu terjadi kenaikan pada realisasi PNBP dalam empat
tahun terakhir pasca turun signifikan pada tahun 2015.
2015 2016 2017 2018 2019
Pajak 4,37 4,43 4,40 4,26 4,59
PDRB 128,89 137,28 141,08 150,35 164,21
tax ratio 3,39% 3,22% 3,12% 2,83% 2,80%
3,39%3,22% 3,12%
2,83% 2,80%
0,00%
1,50%
3,00%
4,50%
0
20
40
60
80
100
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 35
Grafik 3.6 Perkembangan Realisasi PNBP Aceh
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Jenis PNBP Pendapatan BLU
dan PNBP Lainnya mengalami
kenaikan realisasi dalam 5 tahun
terakhir.
PNBP Lainnya menjadi jenis PNBP
dengan kontribusi terbesar di Aceh .
Bila diuraikan per jenis penerimaannya, terlihat bahwa
penerimaan dari hasil pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) nihil
realisasi dalam empat tahun terakhir. Hal ini dikarenakan belum ada
sumber pendapatan dari retribusi pengelolaan SDA sebagai
pengganti sektor migas yang pada tahun-tahun sebelumnya mampu
menyumbang untuk penerimaan negara, khususnya produksi gas dari
PT. Arun di Lhokseumawe. Sedangkan Pendapatan PNBP Lainnya
mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, nihilnya realisasi PNBP dari sektor
pengelolaan SDA dan turunnya pendapatan dari PNBP Lainnya tidak
berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan realisasi PNBP, karena
secara keseluruhan realisasi PNBP pada tahun 2019 tetap mengalami
kenaikan. Kenaikan tersebut tak lepas dari kenaikan yang signifikan
pada pendapatan BLU. Realisasi PNBP dari pendapatan layanan BLU
pada tahun 2019 terealisasi sebesar Rp375,83 miliar, meningkat jika
dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar
Rp312,94 miliar. Pendapatan BLU terus mengalami kenaikan dalam
empat tahun terakhir. Hal itu dikarenakan pendapatan PNBP yang
signifikan pada satker BLU UIN Ar-Raniry dan BP2IP Malahayati.
Selain itu, ditetapkannya Universitas Syiah Kuala sebagai satker BLU
baru pada tahun 2018 juga memiliki andil signifikan dalam naiknya
pendapatan BLU.
PNBP Lainnya, sebagai jenis PNBP dengan kontribusi
penerimaan terbesar, tahun 2019 mengalami penurunan realisasi
dibanding tahun 2018. Tercatat pada tahun 2019 total realisasi PNBP
Lainnya Rp546,13 miliar, turun jika dibandingkan dengan tahun lalu
2015 2016 2017 2018 2019
Penerimaan SDA 692,47 0,00 0,00 0,00 0,00
Penerimaan BLU 41.815,69 88.657,09 94.819,29 312.936,80 375.828,01
PNBP Lainnya 263.097,48 491.937,88 676.917,66 583.500,30 556.834,26
Total 305.605,64 580.594,97 771.736,95 896.437,10 932.662,27
305.605,64
580.594,97
771.736,95
896.437,10 932.662,27
0
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
-100.000
100.000
300.000
500.000
700.000
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
36 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
yang sebesar Rp622,92 miliar. PNBP Lainnya terbagi dalam sembilan
jenis, yaitu Pendapatan Pengelolaan BMN dan Penjualan,
Pendapatan Administrasi dan Penegakan Hukum, Pendapatan
Kesehatan, Perlindungan Sosial, dan Keamanan, Pendapatan
Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi, Pendapatan Transportasi,
Pendapatan Jasa Lainnya, Pendapatan Bunga, Pendapatan Iuran
dan Denda, dan Pendapatan Lain-lain.
Tabel 3.2 Realisasi Per Jenis PNBP Lainnya
Jenis PNBP Lainnya 2019 2018
Pendapatan Pengelolaan BMN dan Penjualan 16,49 7,88
Pendapatan Administrasi dan Penegakan Hukum 168,78 186,24
Pendapatan Kesehatan, Perlindungan Sosial, dan Keamanan 101,61 88,25
Pendapatan Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi 186,64 294,52
Pendapatan Transportasi 17,53 13,63
Pendapatan Jasa Lainnya 0,43 0,19
Pendapatan Bunga 3,51 6,88
Pendapatan Iuran dan Denda 2,53 0,26
Pendapatan Lain-Lain 48,60 25,06
Total 546,13 622,92
Sumber: OM-SPAN, 2020 (diolah)
Pendapatan
layanan pendidikan menjadi kontributor
tertinggi dalam PNBP Lainnya di
Aceh. Sedangkan Pendapatan Kesehatan,
Perlindungan Sosial, dan Keamanan
menjadi jenis PNBP Lainnya dengan
nominal kenaikan tertinggi dari tahun
sebelumnya.
Secara nominal Pendapatan Pendidiakan mengalami penurunan
tertinggi.
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa penerimaan dalam
rangka peningkatan kualitas pendidikan memiliki kontribusi terbesar
dalam PNBP Lainnya. Pada tahun 2019, Pendapatan Pendidikan,
Budaya, Riset, dan Teknologi berkontribusi sebesar Rp186,64 miliar.
Meskipun memiliki kontribusi paling besar, namun menurun dibanding
tahun 2018 yang berkontribusi sebesar Rp294,52 miliar.
Selanjutnya diikuti oleh Pendapatan Administrasi dan
Penegakan Hukum dengan realisasi ditahun 2019 sebesar Rp168,78
atau 30,91 persen dari total PNBP Lainnya. Sedangkan kontribusi
terkecil diperoleh dari Pendapatan Jasa Lainnya yaitu Rp426,54 juta
pada tahun 2019.
Dari Sembilan jenis PNBP Lainnya tersebut, Pendapatan
Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi pada tahun 2019 secara
nominal mengalami penurunan tertinggi dibanding tahun sebelumnya
dengan selisih penurunan Rp107,88 miliar atau secara persentase
turun 36,63 persen, hal ini disebabkan perubahan status Universitas
Syiah Kuala menjadi BLU. Secara persentase Pendapatan Bunga
mengalami penurunan yang paling besar yaitu sebesar 48,96 persen.
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 37
3.3 BELANJA PEMERINTAH PUSAT TINGKAT REGIONAL
3.3.1 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Organisasi
Tahun 2019, pagu
belanja APBN yang disalurkan di
seluruh KPPN di lingkup Kanwil DJPB
Prov. Aceh bertambah
signifikan dari tahun sebelumnya
dikarenakan adanya tambahan
alokasi dari penyaluran Transfer DAK Fisik dana Desa
Alokasi APBN Tahun Anggaran 2019 untuk Belanja
Pemerintah Pusat di Provinsi Aceh sebesar Rp15,49 triliun. Alokasi
tersebut untuk membiayai 48 Kementerian Negara/Lembaga (K/L).
Realisasi hingga berakhirnya Tahun Anggaran 2019 mencapai
Rp14,76 triliun atau sebesar 95,30 persen. Dilihat dari Pagunya, 10
K/L atau Bagian Anggaran (BA) dengan Pagu Besar (menyusun 83,35
persen APBN di Provinsi Aceh) mempunyai penyerapan mendekati
target penyerapan 90 persen dengan 8 K/L yang mampu memenuhi
target. Secara keseluruhan terdapat 40 K/L yang memenuhi target.
Akibat penyerapan yang belum optimal tersebut tentu akan
menyebabkan masih adanya sisa alokasi anggaran yang tidak
direalisasikan hingga akhir tahun. Sisa alokasi yang tidak terserap
tersebut mencapai Rp601,43 miliar atau sebesar 3,91 persen dari
seluruh alokasi.
Tabel 3.3 Tingkat Penyerapan 10 K/L Pagu Terbesar TA 2019
No. Nama Kementerian/Lembaga Pagu Realisasi % Sisa Blokir
1. Kementerian Agama 3.061,01 3.083,83 100,75% (22,82) 0,43
2. Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat 2.933,82 2.629,28 89,62% 304,54 28,44
3. Kementerian Pertahanan 2.300,25 2.243,93 97,55% 56,32 0,00
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia 1.594,21 1.715,34 107,60% (121,14) 0,00
5. Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi 1.125,13 1.083,00 96,26% 42,13 0,00
6. Komisi Pemilihan Umum 632,49 616,70 97,50% 15,79 0,00
7. Badan Pengawas Pemilihan Umum 360,65 233,87 64,85% 126,78 0,00
8. Kementerian Perhubungan 319,23 302,19 94,66% 17,04 0,00
9. Mahkamah Agung 240,53 239,57 99,60% 0,96 0,00
10. Kementerian Pertanian 238,84 228,94 95,85% 9,90 0,00
38 K/L Lainnya 2.557,51 2.385,60 93,28% 171,91 22,75
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
Pada tabel diatas, ada 2 K/L yang mempunyai pengaruh besar
dengan sisa anggaran diatas Rp100 miliar antara lain Kementerian
PU/PR Rp304,54 miliar dan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Rp126,78 miliar. Permasalahan utama dalam pelaksanaan anggaran
tahun 2019 terkait Pertama, tumpang tindih kegiatan, Kedua
pertanggungjawaban melewati batas akhir tahun anggaran untuk GU
Nihil dan SP3B BLU Ketiga, blokir belanja pada Kementerian PUPR.
Selain alokasi yang tidak terserap, masih terdapat blokir dana hingga
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
38 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
berakhirnya tahun anggaran 2019, terdapat Rp51,63 miliar atau 0,34
persen dari total alokasi yang tentunya berpengaruh terhadap
pelaksanaan kegiatan K/L.
3.3.2 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Fungsi
Fungsi Pelayanan Umum merupakan
fungsi dengan anggaran terbesar dari alokasi APBN
Klasifikasi anggaran menurut fungsi yang tersebar di berbagai
K/L merupakan pengelompokan alokasi anggaran yang
mencerminkan tugas-tugas pemerintahan yang melekat pada setiap
satuan kerja dan bagian anggaran. Sebaran alokasi anggaran per
fungus disajikan pada Grafik II.8. Grafik II.8 memperlihatkan bahwa
pada tahun anggaran 2019, fungsi pelayanan umum merupakan
anggaran yang mendapatkan dana alokasi APBN paling besar yaitu
Rp8,91 triliun (39,92 persen). Fungsi ini dilaksanakan oleh 14 K/L
yang ada, Bendahara Umum Negara (BA 999) merupakan K/L
dengan alokasi pagu terbesar yaitu Rp7,70 triliun atau 83,61 persen,
diikuti oleh Komisi Pemilihan Umum sebesar Rp632,49 miliar dari
pagu yang ada. Alokasi dana pada KPU tersebut digunakan dalam
rangka penyelenggaran pemilihan umum yang dilaksanakan di
provinsi Aceh pada tahun 2019.
Grafik 3.7 Persentase Alokasi APBN Berdasarkan Klasifikasi Fungsi TA 2019
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
F.08 - Fungsi Pariwisata dan Budaya mendapat alokasi
paling kecil yaitu sebesar Rp1,90 miliar (0,01 persen). Proporsi alokasi
dana untuk fungsi tersebut setiap tahun sangat kecil yang seharusnya
menjadi pertimbangan oleh pemerintah pusat mengingat Provinsi
39,92%
0,01%
1,78%14,01%1,52%2,35%
1,26%
9,97%
9,87%
19,18%
0,13%F.01 Pelayanan Umum
F.06 Perumahan dan Fasilitas Umum
F.08 Pariwisata dan Budaya
F.10 Pendidikan
F.11 Perlindungan Sosial
F.04 Ekonomi
F.05 Lingkungan Hidup
F.03 Ketertiban dan Keamanan
F.09 Agama
F.02 Pertahanan
F.07 Kesehatan
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 39
Pada tahun 2019, Aceh mendapat 3
juara dari nominasi yang ada di
Anugerah Indonesia Award (API) 2019
yaitu Mangrove Forest Park dari
Kota Langsa kategori Ekowisata
Terpopuler yang juga berhasil
menjadi juara Favorit API 2019,
Kilometer Nol Indonesia dari
Sabang kategori kategori Destinasi
Unik Terpopuler, dan Tansaran Bidin
dari Bener Meriah kategori Surga
Tersembunyi Terpopuler
Arah pembangunan infrastruktur di
Aceh sedang berfokus kepada
Pembangunan Jalan Tol Banda Aceh-
Sigli sepanjang 74,82 km yang
dimulai sejak Desember 2018
Aceh memiliki potensi wisata yang cukup besar untuk dapat
dikembangkan lebih baik, terutama wisata alam, wisata bahari, dan
wisata sejarah. Pada tahun 2019, Aceh mendapat 3 juara dari
nominasi yang ada di Anugerah Indonesia Award (API) 2019 yaitu
Mangrove Forest Park dari Kota Langsa kategori Ekowisata
Terpopuler yang juga berhasil menjadi juara Favorit API 2019,
Kilometer Nol Indonesia dari Sabang kategori kategori Destinasi Unik
Terpopuler, dan Tansaran Bidin dari Bener Meriah kategori Surga
Tersembunyi Terpopuler. Selain itu dengan adanya Aceh sebagai
World's Best Halal Cultural Destination 2016 yang masih menjadi
wisata andalan Aceh dianggap masih memerlukan pengembangan
infrastruktur pariwisata. Disisi lain, Sabang sebagai wisata bahari
dalam acara-acara skala internasional juga kini menjadi salah satu
spot persinggahan kapal-kapal pesiar. Maka dalam rangka
penyempurnaan kawasan wisata dan sarana pendukung di provinsi
Aceh, diharapkan pemerintah pusat juga memberikan perhatian
berupa dukungan alokasi dana pada fungsi pariwisata dan budaya.
Untuk melihat perbandingan pagu dan kinerja realisasi
anggaran menurut klasifikasi fungsi pada TA 2018 dan 2019 dapat
dilihat pada Grafik II.9. Data pada Grafik II.9 menunjukkan bahwa
kinerja penyerapan anggaran menurut klasifikasi fungsi pada akhir TA
2019 secara umum masih lebih baik dibandingkan periode
sebelumnya. Namun demikian, terdapat 1 (satu) fungsi yang
mempunyai kinerja penyerapan jauh di bawah tingkat penyerapan di
fungsi yang sama pada periode sebelumnya, yaitu F.06 – Fungsi
Perumahan dan Fasilitas Umum yang dikelola oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Hal ini dikarenakan pada
2019 arah pembangunan infrastruktur di Aceh tidak berfokus kepada
pembangunan pada perumahan namun sedang berfokus kepada
Pembangunan Jalan Tol Banda Aceh-Sigli sepanjang 74,82 km yang
dimulai sejak Desember 2018.
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
40 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Grafik 3.8 Perbandingan Realisasi Anggaran Berdasarkan Klasifikasi Fungsi TA 2018 dan 2019
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
3.3.3 Perkembangan Pagu dan Realisasi Berdasarkan Jenis Belanja
Porsi anggaran terbesar dari total
APBN di Aceh dialokasikan pada
jenis Belanja Pegawai
Porsi anggaran terbesar dialokasikan pada belanja pegawai
yaitu sebesar Rp6,56 triliun atau 42,38 persen dari total APBN di
wilayah Aceh. Belanja Bantuan Sosial mendapatkan porsi alokasi
anggaran terkecil yaitu sebesar Rp42,06 miliar dan mengalami
kenaikan pagu sebesar 61,70 persen dari anggaran TA 2018 yang
sebesar Rp26,01 miliar. Namun kenaikan pagu pada Belanja Bantuan
Sosial tidak diiringi dengan kenaikan realisasi, dikarenakan adanya
keterlambatan penetapan penerimaan bantuan sosial oleh
pemerintah yang terjadi pada Kementerian Agama Simeuleu melalui
Surat Keputusan Penetapan Penerima Bantuan Sosial yang baru
ditetapkan pada bulan Desember 2019. Selain itu pembukaan
rekening dari pusat juga baru dilakukan pada minggu kedua
Desember 2019, sehingga dana tidak dapat dicairkan hingga akhir
tahun. Terdapat juga kendala pada SPM, yaitu adanya kesalahan
pada salah satu SPM dan terlambatnya pengajuan dispensasi SPM.
Keterlambatan tersebut disebabkan oleh jauhnya jarak dari Simeulue
ke Banda Aceh.
Secara total keseluruhan pagu belanja APBN di Provinsi Aceh
mengalami peningkatan sebesar Rp895,75 miliar atau 5,30 persen
dibandingkan periode sebelumnya yang hanya sebesar Rp14,59
triliun. Namun pada jenis Belanja Modal cenderung mengalami
penurunan pagu dikarenakan realisasi yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan jenis belanja lainnya berdasarkan periode
96,77% 98,27%
97,55% 95,53%
93,72%88,64%
97,34% 97,15%
104,38%
90,30% 88,12%
96,26% 92,66%
99,14% 97,38%
79,34% 77,89%
97,85% 98,89%
98,30%
84,46%75,94%
6,66%12,00%
28,79%
-27,65%
-16,71%
-29,59%
7,47%
23,10%
0,70%-6,34%
65,27%
-40%
-20%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
F.01 F.02 F.03 F.04 F.05 F.06 F.07 F.08 F.09 F.10 F.11
PAGU 2019 PAGU 2018 % REAL 20019 % REAL 2018 % NAIK/TURUN PAGU
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 41
Rendahnya penyerapan pada
jenis Belanja Modal dikarenakan
adanya keterlambatan
pembebasan lahan yang
mengakibatkan proses
pembangunan fisik menjadi terhambat
sebelumnya. Pada tahun 2019, dibandingkan dengan Belanja
Pegawai dan Belanja Barang yang juga mengalami peningkatan
realisasi, Belanja Modal mengalami peningkatan realisasi paling
rendah. Rendahnya penyerapan pada jenis Belanja Modal ini
dikarenakan adanya keterlambatan pembebasan lahan yang
mengakibatkan proses pembangunan fisik menjadi terhambat. Seperti
pembangunan jaringan irigasi Lhokguci dan pembangunan pelabuhan
balohan yang merupakan proyek multiyears. Keterlambatan
pembangunan mengakibatkan pergeseran anggaran pada tahun
anggaran berikutnya.
Grafik 3.9 Alokasi dan Realisasi Belanja TA 2018 dan 2019
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
Adanya peningkatan pagu
pada Belanja Pegawai sebesar
8,40 persen
Untuk jenis Belanja Pegawai dan Belanja Barang masing-
masing mengalami peningkatan pagu dan kinerja penyerapan
anggaran dibandingkan dengan periode sebelumnya. Belanja Barang
pada tahun 2018 memiliki pagu sebesar Rp5,34 triliun dan pada tahun
2019 mengalami peningkatan sebesar 7,15 persen menjadi Rp5,72
triliun. Selanjutnya Belanja Pegawai mengalami peningkatan pagu
terbesar hingga 8,40 persen. Peningkatan pagu disebabkan adanya
tambahan CPNS baru rekrutmen tahun 2018 dan adanya
penyesuaian tunjangan kinerja.
3.4 TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah bagian dari
belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi
fiskal berupa Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana
Otonomi Khusus dan Dana Insentif Daerah dan Dana Desa. Pada
tahun 2019, total realisasi dana transfer ke daerah untuk wilayah Aceh
6.56
2,6
1
5.72
2,5
3
3.15
8,5
7
42,0
6
6.05
4,3
3
5.34
0,5
7
3.16
9,11
26,0
1
99,71%93,22% 89,94%
91,79%95,53% 90,95%
84,80%
99,77%
8,40% 7,15%-0,33%
61,70%
-50,00%
-20,00%
10,00%
40,00%
70,00%
100,00%
0,00
200,00
400,00
600,00
800,00
1.000,00
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Bantuan Sosial
PAGU 2019 PAGU 2018 % REAL 2019 % REAL 2018 % NAIK/TURUN PAGU
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
42 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
sebesar Rp35,94 triliun. Berikut perkembangan Pagu dan Realisasi
Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada tahun 2018 s.d. 2019
untuk Provinsi Aceh sebagai berikut:
Tabel 3.4 Pagu dan Realisasi Dana Transfer Provinsi Aceh 2018 s.d. 2019
Dana Transfer 2019 2018
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
Dana Alokasi Umum 15.438,16 15.438,16 100,00% 14.728,92 14.728,92 100,00%
Dana Bagi Hasil 1.830,25 1.282,51 70,07% 1.328,58 1.120,58 84,34%
DAK Fisik 2.742,87 2.608,12 95,09% 2.700,80 2.503,83 92,71%
DAK Nonfisik 3.488,00 3.176,09 91,06% 3.227,09 3.074,94 95,29%
Dana Desa 4.955,50 4.950,92 99,91% 4.459,41 4.456,72 99,94%
Dana Otsus dan DID 8.488,54 8.488,54 100,00% 8.451,29 8.433,54 99,79%
TOTAL 36.943,32 35.944,34 97,30% 34.896,10 34.318,53 98,34%
Sumber: OMSPAN dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Tahun 2019 Alokasi Dana Transfer ke
Daerah naik sebesar 5,87
persen dibanding tahun sebelumnya.
Alokasi Dana Transfer ke Daerah pada tahun 2019 mengalami
kenaikan sebesar Rp2,04 triliun atau sekitar 5,87 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh
kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak Dana
Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Dana Desa pada tahun 2019.
Dalam pelaksanan anggaran, realisasi Dana Transfer ke Daerah dan
Dana Desamencapai 97,30 persen dari total pagu yang disediakan.
Dari Rp36,94 triliun pagu dana transfer, sebesar Rp13,44
triliun atau sekitar 36,38 persen merupakan bagian pemerintah
Provinsi Aceh, sisanya Rp23,50 triliun atau sekitar 63,62 persen
disalurkan kepada 23 kabupaten/kota di wilayah Aceh.
Kabupaten/kota yang menerima dana transfer terbesar ialah
Kabupaten Aceh Utara sebesar Rp2,16 triliun dan yang menerima
dana dengan alokasi terkecil ialah Kota Subulussalam sebesar
Rp531,26 miliar. Perbandingan distribusi Dana Transfer pada 2019
untuk kabupaten/kota terlihat pada grafik 3.10 berikut.
Grafik 3.10 Pagu dan Realisasi Transfer ke Daerah per Kab./Kota TA 2019
Sumber: OMSPAN dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
96,66%
97,24%
97,83%
97,47%
97,58%
96,97%
97,48%
98,52%
97,16%
93,77%
97,65%
96,44%
97,71%
98,10%
98,12%
97,93%
98,18%
98,66%
96,43%
97,71%
97,81%
97,65%
96,97%
75%
80%
85%
90%
95%
100%
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
(mili
ar R
p)
Pagu Realisasi % Realisasi
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 43
3.4.1 Dana Transfer Umum
Dalam 2 tahun berturut-turut, DAU mengalami realisasi
maksimal yaitu sebesar 100 persen
Dana Transfer Umum dalam PMK Nomor 50/PMK.07/2017
terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Bagi Hasil (DBH). Dana Alokasi Umum di Provinsi Aceh yang
dialokasikan pada tahun 2019 sebesar Rp15,44 triliun, mengalami
kenaikan sebesar 4,82 persen dibandingkan dengan tahun 2018. Jika
dilihat dalam 2 tahun berturut-turut, DAU mengalami realisasi
maksimal sebesar 100 persen. Realisasi penyaluran DBH sebesar
Rp1,28 triliun atau 90,81 persen dari pagu alokasi DBH, meningkat
Rp161,93 miliar jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2018
yang hanya mencapai Rp1,12 triliun atau 84,34 persen. Kenaikan
realisasi penyaluran DBH tersebut dikarenakan pagu alokasi DBH
tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar Rp83,73 miliar atau 6,30
persen dibandingkan tahun 2018.
Grafik 3.11 Alokasi dan Realisasi Dana Transfer Umum Tahun 2015-2019
Sumber: SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
3.4.2 Dana Transfer Khusus
Penggunaan Dana
Trasnfer Khusus itu sendiri yang pada
APBN dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu DAK Fisik dan DAK Non Fisik
Melalui kebijakan Dana Transfer Khusus, Pemerintah Pusat
mengambil peran untuk mempengaruhi pola belanja daerah dalam
upaya mengurangi kesenjangan layanan antar daerah. Hal tersebut
dilakukan melalui penentuan arah penggunaan DTK itu sendiri yang
pada APBN dibagi menjadi 2 (dua) yaitu DAK Fisik dan DAK Non
Fisik. Total Pagu DAK Fisik untuk Provinsi Aceh pada tahun 2019
sebesar Rp2,74 triliun yang diantaranya Rp 2,40 triliun merupakan
DAK Fisik bertahap dan Rp339,94 triliun merupakan DAK Fisik
sekaligus. Penyaluran DAK Fisik tahun 2019 terealisasi sebesar
Rp2,61 triliun atau 95,09 persen dari pagu DAK Fisik tahun 2019,
13.2
33,9
1
13.2
33,9
1
14.0
65,9
4
14.0
65,9
4
14.6
70,5
8
14.6
93,3
4
14.7
28,9
2
14.7
28,9
2
15.4
38,1
6
15.4
38,1
6
2.04
7,8
3
1.62
8,0
4
1.56
8,7
3
1.26
2,2
8
2.47
1,5
5
1.44
1,2
5
1.32
8,5
8
1.12
0,5
8
1.83
0,2
5
1.28
2,51
15.281,75
14.861,95
15.634,67
15.328,23
17.142,14
16.134,58
16.057,50
15.849,50
17.268,41
16.720,67
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
0
4.000
8.000
12.000
16.000
20.000
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
2015 2016 2017 2018 2019DAU DBH Total
(mili
ar R
p)
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
44 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
meningkat Rp104,30 miliar atau sebesar 4,17 persen dibandingkan
tahun 2018. Sedangkan untuk Pagu DAK Non Fisik pada tahun 2019
sebesar Rp3,49 triliun, mengalami kenaikan pagu sebesar Rp260,91
juta atau 8,08 persen dibandingkan tahun 2018. Namun realisasi
penyaluran DAK Non Fisik mengalami penurunan sebesar Rp101,15
miliar atau sebesar 3,29 persen dibandingkan periode yang sama
pada tahun 2018.
Grafik 3.12 Alokasi dan Realisasi Dana Transfer Khusus Tahun 2015-2019
Sumber: SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
3.4.3 Dana Desa
Realisasi
penyaluran Dana Desa di Provinsi
Aceh tahun 2019 sebesar 99,91
persen dari pagu Dana Desa yaitu
Rp4,95 triliun
Realisasi penyaluran Dana Desa di Provinsi Aceh tahun 2019
sebesar Rp4,96 triliun dengan persentase sebesar 99,91 persen dari
pagu sebesar Rp4,95 triliun. Realisasi tersebut meningkat sebesar
Rp496,10 miliar atau 11,12 persen dari periode yang sama tahun
2018. Proporsi besarnya Dana Desa yang dialokasikan setiap
tahunnya mengalami fluktuasi. Setelah di tahun 2018 mengalami
penurunan alokasi pagu dana desa, namun pada tahun 2019 terjadi
peningkatan pagu kembali.
Grafik 3.13 Alokasi dan Realisasi Dana Desa Tahun 2015-2019
Sumber: OMSPAN, 2020 (diolah)
3.22
9,3
5
3.17
8,4
9
3.05
4,7
3
2.25
7,1
1
3.03
2,9
3
2.76
2,8
4
3.22
7,0
9
3.07
4,9
4
3.48
8,0
0
3.17
6,0
9
4.7
53
,00
4.0
40
,30
2.9
47
,08
2.7
66
,47
2.7
00
,80
2.5
03
,83
2.7
42
,87
2.6
08
,12
3.229,35 3.178,49
7.807,74
6.297,42
5.980,01
5.529,31
5.927,90
5.578,77
6.230,87
5.784,21
0
2.000
4.000
6.000
8.000
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
2015 2016 2017 2018 2019DAK Non Fisik DAK Fisik Total
(mili
ar R
p)
1,71 3,83 4,89 4,89 4,961,71 3,82 4,89 4,46 4,95
100,00% 99,81% 99,88%91,09%
99,91%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
2015 2016 2017 2018 2019
Pagu Realisasi % Realisasi
(tri
liun
Rp
)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 45
3.4.4 Dana Insentif Daerah dan Otonomi Khusus
Realisasi
penyaluran DID dan Dana Otsus pada tahun 2019 telah terealisasi secara
maksimal yaitu 100 persen dari dana
yang dialokasikan, meningkat
dibandingkan tahun 2018 yang hanya
terealisasi sebesar 99,79 persen
Provinsi Aceh sebagai salah satu daerah yang menerima
Dana Otonomi Khusus (Otsus) diatur dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pagu dana Otsus yang
dialokasikan di Aceh pada 2019 sebesar Rp8,36 triliun dan
mengalami kenaikan sebesar 4,08 persen dibanding tahun 2018.
Realisasi penyaluran DID dan Dana Otsus pada tahun 2019 telah
terealisasi secara maksimal yaitu 100 persen dari dana yang
dialokasikan, meningkat dibandingkan tahun 2018 yang hanya
terealisasi sebesar 99,79 persen. Terlihat pada tabel dibawah bahwa
realisasi dana Otsus meningkat selama 5 tahun terakhir, namun DID
lebih cenderung mengalami fluktuasi dikarenakan alokasi dana yang
juga berfluktuasi.
Grafik 3.14 Alokasi dan Realisasi Dana Insentif Daerah dan Dana Otonomi Khusus Tahun 2015-2019
Sumber: SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
3.5 ANALISIS CASH FLOW APBN TINGKAT REGIONAL
Analisis Cash Flow yang dimaksud adalah analisis yang
mengelaborasi lebih dalam kondisi arus kas masuk (cash in flow) dan
arus kas keluar (cash out flow) Pemerintah Pusat pada provinsi Aceh
dalam periode waktu tahun 2019. Arus kas masuk berasal dari
pendapatan Pemerintah, sedangkan arus kas keluar adalah belanja
pemerintah pusat dan dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
3.5.1 Arus Kas Masuk (Penerimaan Negara)
Pendapatan pemerintah yang ada di Provinsi Aceh berasal
dari pendapatan pajak sebesar Rp4,60 triliun dan PNBP Rp932,66
7.05
7,76
7.05
7,7
6
7.70
7,2
2
7.70
7,2
2
7.97
1,6
5
7.97
1,6
5
8.02
9,7
9
8.02
9,79
8.35
7,4
7
8.35
7,4
7
49,2
8
49,2
8
300,
36
300,
36
726,
32
726,
32
421,
50
403,
75
131,
06
131,
06
7.107,04
7.107,04
8.007,57
8.007,57
8.697,96
8.697,96 8.451,29
8.433,54
8.488,54
8.488,54
-
2.000
4.000
6.000
8.000
-
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
2015 2016 2017 2018 2019
Dana Otsus DID TOTAL
(mili
ar
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
46 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Pendapatan perpajakan Aceh
hanya dapat menyumbang
Rp4,60 triliun dari perpajakan
nasional yang mencapai
Rp1.950,4 triliun
miliar. Pendapatan perpajakan di Aceh hanya menyumbang sebesar
0,24 persen untuk pendapatan perpajakan secara nasional yang
mencapai Rp1.950,4 triliun. Dan secara keseluruhan pendapatan
negara dari Aceh yang mencapai Rp5,52 triliun hanya dapat
menyumbang 0,28 persen dari total pendapatan negara tahun 2019
yang mencapai Rp1.957,2 triliun.
Grafik 3.15 Arus Kas Masuk di Provinsi Aceh Tahun 2019 (triliun Rp)
Sumber: OMSPAN, 2020 (diolah)
3.5.2 Arus Kas Keluar (Belanja dan TKDD)
Aceh sebagai salah satu daerah yang
menikmati dana otonomi khusus
juga menyumbang tingginya nilai TKDD
Belanja pemerintah Provinsi Aceh terdiri dari Belanja
Pemerintah Pusat sebesar 29,11 persen dan Transfer ke Daerah dan
Dana Desa sebesar 70,89 persen. Belanja pemerintah provinsi Aceh
pada 2019 mengalami penurunan sebesar 0,31 persen dibandingkan
tahun 2018. Aceh sebagai salah satu daerah yang menikmati dana
otonomi khusus juga menyumbang tingginya nilai TKDD di Provinsi
Aceh.
Grafik 3.16 Arus Kas Keluar di Provinsi Aceh Tahun 2019 (triliun Rp)
Sumber: OMSPAN dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
3.5.3 Surplus/Defisit
Arus kas pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir
selalu defisit, artinya arus kas keluar selalu lebih besar dibandingkan
arus kas masuk. Angka defisit tersebut juga selalu mengalami
kenaikan dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2019 tercatat
5,521.957,20 4,59
0,93
Aceh
Nasional
Pajak
PNBP
14,76
35,94
Belanja PemerintahPusat
Transfer ke Daerahdan Dana Desa
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 47
Angka defisit dalam aruskas pemerintah pusat di Aceh selalu
mengalami kenaikan dalam
empat tahun terakhir.
Rasio pendapatan terhadap belanja
APBN di Aceh pada tahun 2019 sebesar
10,90 persen
bahwa defisit APBN di Provinsi Aceh sebesar Rp45,18 triliun,
meningkat dengan tahun 2018 yang tercatat sebesar Rp42,56 triliun.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa Aceh menerima subsidi silang
dari daerah lain di Indonesia dalam rangka membiayai sebagian besar
kebutuhan fiskalnya. Terlebih dalam komposisi dana transfer,
terdapat tambahan alokasi berupa Dana Otonomi Khusus yang
mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal di Aceh.
Rasio pendapatan terhadap belanja APBN di Aceh pada tahun
2019 mengalami kenaikan setelah dua tahun sebelumnya mengalami
tren penurunan. Tercatat bahwa rasio pendapatan terhadap belanja
APBN di Aceh pada tahun 2019 sebesar 10,90 persen. Artinya masih
terdapat 89,10 persen dari belanja APBN yang harus ditopang dengan
sumber penerimaan yang lain (dari daerah lain). Oleh karena itu
pemerintah perlu untuk terus mengembangkan potensi penerimaan
yang ada di Aceh, baik dari sektor perpajakan maupun PNBP.
Grafik 3.17 Cash Flow APBN di Provinsi Aceh (triliun Rp)
Sumber: OMSPAN dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
3.6 PENGELOLAAN BLU PUSAT
3.6.1 Profil dan Jenis Layanan Satker BLU Pusat
Di Provinsi Aceh terdapat empat BLU Pusat, yaitu Universitas
Isla Negeri (UIN) Ar-Raniry, Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS Sabang),
Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Malahayati
Aceh Besar dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
4,87 5,01 5,18 5,16 5,52
41,6144,81 47,30 47,71
50,70
-36,74-39,80 -42,12 -42,55 -45,18
11,70%
11,18%10,95%
10,82% 10,90%
10,04%
10,24%
10,44%
10,64%
10,84%
11,04%
11,24%
11,44%
11,64%
11,84%
-50
-30
-10
10
30
50
70
2015 2016 2017 2018 2019
Pendapatan BelanjaSurplus / Defisit Rasio Pendapatan Terhadap Belanja
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
48 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
BLU Pusat yang
bergerak di bidang pendidikan yaitu
UIN Ar-Raniry, BP2IP Malahayati,
dan Unsyiah. Sedangkan BPKS
Sabang bergerak di bidang
perekonomian terpadu
UIN Ar-Raniry berstatus sebagai satker BLU yang
memberikan pelayanan di bidang pendidikan, dan merupakan salah
satu Perguruan Tinggi Negeri yang terletak di Banda Aceh. UIN Ar-
Raniry merupakan satker BLU sejak mendapat penetapan sesuai
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.05/2011.
BPKS Sabang merupakan satker BLU yang memberikan
pelayanan di bidang perekonomian terpadu dalam pengembangan
kawasan Sabang. Pengembangan Kawasan Sabang diarahkan untuk
kegiatan perdagangan dan investasi serta kelancaran arus barang
dan jasa kecuali jenis barang dan jasa yang secara tegas dilarang
oleh undang-undang. Pelabuhan Bebas Sabang diharapkan dapat
menjadi salah satu Kawasan Niaga dan Wisata Terkemuka Dunia
yang dimulai dari kawasan Asia.
BP2IP Malahayati Aceh Besar merupakan satker BLU
memberikan layanan di bidang pendidikan, dan merupakan sekolah
taruna yang didirikan guna putra-putri Aceh atau daerah lain yang
ingin meningatkan kompetensi di bidang kelautan.
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) merupakan satker BLU
yang baru mendapatkan status BLU pada tahun 2018 berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 361/KMK.05/2018. Unsyiah
merupakan satker BLU yang memberikan layanan di bidang
pendidikan, dan merupakan salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang
terletak di Banda Aceh.
3.6.2 Perkembangan Aset, PNBP, dan Belanja BLU Pusat
Tabel 3.5 Perkembangan Jumlah Aset, PNBP, dan Belanja BLU Pusat di Aceh (dalam miliar Rp)
S a t k e r BLU
2018 2019
Jumlah
Aset
Target
PNBP
Realisasi
PNBP
Realisasi
Belanja
Jumlah
Aset
Target
PNBP
Realisasi
PNBP
Realisasi
Belanja
UIN AR-Raniry 674,74 93,98 79,67 82,56 687,27 87,33 88,01 271,28
BPKS Sabang 3.966,87 7,70 9,53 148,04 2.927,60 7,70 7,70 187,33
BP2IP Malahayati 407,74 32,77 24,23 21,09 477,33 23,58 18,54 93,26
Unsyiah 2.277,40 213,23 293,56 151,19 2.336,06 216,05 270,84 573,45
Sumber: OMSPAN dan e-Rekon, 2020 (diolah)
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa dari tiga dari keempat
BLU Pusat yang ada di Aceh, mengalami kenaikan jumlah aset. UIN
Ar-Raniry pada tahun 2019 memiliki total aset sebesar Rp687,27
miliar, dengan rincian Rp39,46 miliar aset lancar, Rp635,34 miliar aset
tetap, dan Rp12,47 miliar aset lainnya. Angka tersebut meningkat jika
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 49
Pendapatan PNBP Layanan UIN Ar-
Raniry tahun 2019 sebesar Rp88,01
miliar meningkat dibandingkan tahun
lalu yang hanya sebesar Rp87,33
miliar
BPKS Sabang merupakan satker
BLU Pusat yang memiliki asset terbesar yaitu Rp2,93 triliun,
namun dengan realisasi
pendapatan terkecil yang hanya Rp7,70
miliar
dibandingkan total aset pada tahun sebelumnya yang sebesar
Rp674,74 miliar. UIN Ar-Raniry juga telah merealisasikan pendapatan
PNBP Layanan pada tahun 2019 sebesar Rp88,01 miliar, telah
mencapai target yang ditetapkan sebesar Rp87,33 miliar. Angka ini
meningkat jika dibandingkan dengan realisasi pendapatan tahun 2018
yang sebesar Rp79,67 miliar.
BP2IP Malahayati memiliki aset sebesar Rp477,33 miliar pada
tahun 2019, dengan rincian Rp15,84 miliar aset lancar, Rp456,87
miliar aset tetap, dan Rp4,61 miliar aset lainnya. Total aset tersebut
naik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar
Rp407,74 miliar. Pendapatan PNBP BP2IP Malahayati pada tahun
2019 terealisasi sebesar Rp18,54 miliar, menurun jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang sebesar Rp24,23 miliar. Berbanding
terbalik dengan realisasi belanja yang meningkat jauh di tahun 2019
hingga sebesar Rp93,26 miliar, dibandingkan tahun sebelumnya yang
sebesar Rp21,09 miliar.
Unsyiah memiliki aset sebesar Rp2.34 triliun pada tahun 2019
dengan rincian Rp80,54 miliar aset lancar, Rp2,22 triliun aset tetap,
dan Rp31,23 miliar aset lainnya. Unsyiah telah merealisasikan
pendapatan PNBP Layanan pada tahun 2019 sebesar Rp270,84
miliar, melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp216,05 miliar.
Dari seluruh BLU Pusat yang ada di Provinsi Aceh, BPKS
Sabang memiliki jumlah aset terbesar yang mana pada tahun 2019
sebesar Rp2,93 triliun. Namun demikian, hal tersebut tidak sebanding
dengan pendapatan layanan yang dihasilkan. Pada tahun 2019,
BPKS Sabang hanya menghasilkan pendapatan sebesar Rp7,70
miliar. BPKS Sabang menjadi satker BLU dengan realisasi
pendapatan layanan terkecil dibandingkan BLU lainnya. Rendahnya
realisasi pendapatan BPKS Sabang tersebut dikarenakan belum
optimalnya jasa layanan pelabuhan dan kawasan seperti
operasionalisasi container terminal dan kerjasama pengelolaan
kawasan oleh konsorsium swasta yang masih terkendala regulasi
pemanfaatan aset BLU.
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
50 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
3.6.3 Kemandirian BLU
Tabel 3.6 Perkembangan Realisasi PNBP BLU, Belanja BLU, dan Rasio PNBP BLU terhadap Belanja BLU (dalam miliar Rp)
S a t k e r BLU
2018 2019
Realisasi
PNBP
Realisasi
Belanja
Rasio PNBP
Terhadap
Belanja
Realisasi
PNBP
Realisasi
Belanja
Rasio PNBP
Terhadap
Belanja
UIN AR-Raniry 79,67 82,56 96,50% 88,01 271,28 32,44%
BPKS Sabang 9,53 148,04 6,44% 7,70 187,33 4,11%
BP2IP Malahayati 24,23 21,09 114,89% 18,54 93,26 19,88%
Unsyiah 293,56 151,19 194,17% 270,84 573,45 47,23%
Sumber: OMSPAN dan e-Rekon, 2020 (diolah)
Penurunan tingkat kemandirian yang
paling rendah adalah Unsyiah sebesar 146,94
persen
Pada tahun 2019 tidak ada BLU yang
mencapai 100% rasio kemandirian
Kemandirian BLU dapat dilihat dari seberapa besar
ketergantungan suatu BLU terhadap RM, yang artinya bisa dilihat dari
seberapa besar kontribusi pendapatan layanan BLU terhadap total
belanja yang direalisasikan di tahun yang bersangkutan. Dalam hal
ini, kami menggunakan rasio pendapatan PNBP BLU di tahun
bersangkutan terhadap total realisasi belanja di tahun yang sama.
Pada tahun 2019, terlihat bahwa keempat BLU Pusat yang ada
di Provinsi Aceh mengalami penurunan tingkat kemandirian dari tahun
sebelumnya. Penurunan tingkat kemandirian yang paling rendah
adalah Unsyiah sebesar 146,94 persen dibandingkan tahun
sebelumnya, padahal mengingat tahun 2018 Unsyiah memiliki rasio
kemandirian terbaik hingga 194,17 persen. Belanja terbesar
merupakan jenis Belanja Barang yang mencapai 48,08 persen dari
total realisasi belanja. Pada tahun 2019 tidak ada BLU yang mencapai
100% rasio kemandirian Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
Aceh masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap
pemerintah pusat.
3.6.4 Profil dan Jenis Layanan Satker PNBP
Satker PNBP untuk
jenis layanan Ketertiban dan
Keamanan menjadi yang paling banyak
dengan jumlah 40 satker
Di Provinsi Aceh terdapat 151 satuan kerja (satker) PNBP
dengan alokasi dana PNBP tahun 2019 sebesar Rp615,73 miliar. Dari
151 satker PNBP tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 8 jenis
layanan antara lain: Pelayanan Umum, Ketertiban dan Keamanan,
Agama, Ekonomi, Kesehatan, Lingkungan Hidup, Pendidikan, dan
Pertahanan. Hal ini tergambar pada grafik dibawah.
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 51
Grafik 3.18 Perbandingan Jumlah Satker PNBP di Aceh per Jenis Layanan
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa satker PNBP untuk
jenis layanan Ketertiban dan Keamanan menjadi yang paling banyak
dengan jumlah 40 satker. Berikutnya satker PNBP untuk jenis layanan
Ekonomi dengan jumlah 35 satker. Sedangkan satker PNBP dengan
jumlah paling sedikit yaitu untuk jenis layanan Kesehatan yaitu hanya
sebanyak 4 satker.
Tabel 3.6 berikut memperlihatkan 10 satker PNBP di Aceh
dengan realisasi PNBP terbesar pada tahun 2019.
Tabel 3.7 10 Satker PNBP Aceh dengan Realisasi PNBP Terbesar di Tahun 2019 dan Perbandingannya dengan Realisasi PNBP di Tahun 2018 (dalam miliar Rp)
U r a i a n Jenis Layanan Realisasi
PNBP 2019
Realisasi
PNBP 2018
% Kenaikan /
(Penurunan)
Realisasi
Universitas Malikussaleh Pendidikan 58,16 55,76 4,30%
Rumkit Tk.Ii Banda Aceh Kesdam Im Pertahanan 51,35 47,66 7,74%
Ditlantas Polda Aceh Ketertiban Dan
Keamanan 43,14 6,94 521,85%
Kesdam Im Pertahanan 42,56 31,75 34,06%
Balai Pengelolaan Das Dan Hutan
Lindung Krueng Aceh
Lingkungan
Hidup 29,80 14,01 112,77%
Universitas Teuku Umar Pendidikan 22,19 17,59 26,12%
Politeknik Negeri Lhokseumawe Pendidikan 21,08 14,73 43,12%
Universitas Samudra Pendidikan 20,68 21,94 -5,75%
Poltekes Kemenkes Aceh Pendidikan 18,18 15,63 16,30%
Kantor Imigrasi Kelas III Takengon Ketertiban Dan
Keamanan 15,77 1,10 1332,32%
Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
Tabel diatas menunjukkan bahwa Universitas Malikussaleh
menjadi satker PNBP dengan jumlah realisasi PNBP terbesar tahun
2019, yaitu sebesar Rp58,16 miliar. Angka tersebut meningkat
dibandingkan realisasi PNBP tahun sebelumnya yang sebesar
Rp55,76 miliar. Kemudian diikuti oleh Rumkit Tk. II Banda Aceh
Kesdam IM dengan total realisasi PNBP pada tahun 2019 sebesar
4035
24 24
13
6 5 4
0
10
20
30
40
50
Ketertiban danKeamanan
Ekonomi Agama LingkunganHidup
Pendidikan PelayananUmum
Pertahanan Kesehatan
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
52 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Peningkatan
realisasi paling signifikan secara
persentase dialami Kantor Imigrasi
Kelas III Takengon dengan persentase
kenaikan sebesar 1.332,32 persen
dari tahun sebelumnya
Rp51,35 miliar yang meningkat 7,74 persen dari realisasi tahun
sebelumnya yang sebesar Rp47,66 miliar.
Dari 10 satker PNBP tersebut, peningkatan realisasi paling
signifikan secara persentase dialami Kantor Imigrasi Kelas III
Takengon dengan persentase kenaikan sebesar 1.332,32 persen dari
tahun sebelumnya. Jika dilihat secara nominal, kenaikan tertinggi juga
dialami Ditlantas Polda Aceh dengan selisih kenaikan sebesar
Rp36,20 miliar dari realisasi PNBP tahun sebelumnya.
3.7 PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI PUSAT
3.7.1 Penerusan Pinjaman
Tabel 3.8 Nama Debitur dan Jumlah Pinjaman Daerah per 31 Desember 2019
No. Nama Debitur Loan ID No. Pinjaman Hak Tagih Pemerintah
1 Pemprop. NAD 2107301 RDI-352/DP3/1999 Rp22.833.926.048,23
2 Pemkab Aceh Tenggara 9107101 AMA-153/RDA-309/2012 0,00
3 Pemkab Aceh Tenggara 2107101 RDA-309/DP3/2000 0,00
4 Pemkab Aceh Tengah 2106801 SLA-1104/DP3/1999 0,00
5 PDAM Kab Aceh Timur 2065601 RDA-192/DP3/1994 0,00
6 Pemkot Langsa 2106901 SLA-1107/DP3/1999 0,00
7 Pemkab Aceh Timur 2137401 SLA-1195/DP3/2005 USD 6.350.095,97
8 Pemko Banda Aceh 2196001 SLA-1239/DSMI/2011 Rp30.798.909.817,00
Jumlah Tagihan Rp54.632.835.865,23
USD 6.350.095,97 Sumber: Aplikasi SLIM, 2020 (diolah)
Total Hak Tagih Pemerintah adalah
sebesar Rp54,63 triliun dan
USD 6.350.095,97
Nilai total outstanding pinjaman daerah per 31 Desember
2019 sebesar Rp54.632.835.865,23 dengan jumlah debitur sebanyak
8 pinjaman daerah. Nilai total outstanding tersebut terdiri dari
Tunggakan Pokok sebesar Rp10.571.875.000,00, Tunggakan Non
Pokok Rp13.262.051.048,23, dan Belum Jatuh Tempo
Rp30.798.909.817,00. Hak tagih pemerintah pusat mengalami
penurunan sebesar Rp19.450.167.116,8 jika dibandingkan dengan
tahun 2018 yang sebesar Rp74.083.002.982,03. Status dari 8
pinjaman tersebut, 1 pinjaman dalam proses penghapusan, 5
pinjaman dalam masa penutupan, dan 2 pinjaman yang masih aktif
yaitu Pemkab Aceh Timur dan Pemko Banda Aceh.
3.7.2 Kredit Program
Kredit Program ialah kredit perbankan yang disubsidi oleh
pemerintah untuk pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi Usaha
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 53
Sistem Informasi
Kredit Program (SIKP) merupakan
sistem informasi yang terintegrasi
dalam pengelolaan kredit program
Nilai penyaluran KUR di wilayah
Aceh tahun 2019 mencapai Rp1,86
triliun
Mikro, Kecil, dan Menengah. Dalam upaya mewujudkan ketepatan
sasaran penyaluran kredit program digunakan Sistem Informasi Kredit
Program (SIKP) yang merupakan sistem informasi yang terintegrasi
dalam pengelolaan kredit program. Pada tahun 2019, terdapat empat
skema kredit program yang disalurkan di wilayah Aceh yaitu Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Usaha Mikro dan Kecil
(KUMK), Kredit Ultra Mikro (UMi) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Salah satu program unggulan pemerintah dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh melalui program
penyaluran KUR. Nilai penyaluran KUR di wilayah Aceh tahun 2019
mencapai Rp1,86 triliun, naik sebesar Rp122,49 miliar atau 7,05
persen dari tahun 2018. Dari sisi debitur KUR juga terjadi kenaikan
nasabah KUR sebanyak 5.193 debitur dari 66.272 debitur pada tahun
2018 menjadi 71.465 debitur pada tahun 2019.
Tabel 3.9 Penyaluran KUR per Sektor Ekonomi Wilayah Aceh Tahun 2018-2019
Sektor Ekonomi Akad Debitur
2018 2019 2018 2019
Industri Pengolahan 92,44 138,93 3.236 5.482
Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan Dan
Perorangan Lainnya 131,20 153,30 6.120 5.741
Jasa Kesehatan Dan Kegiatan Sosial 4,51 8,29 42 170
Jasa Pendidikan 1,53 0,67 39 45
Konstruksi 1,93 2,15 34 18
Penyediaan Akomodasi Dan Penyediaan Makan Minum 32,46 54,26 823 1.444
Perdagangan Besar Dan Eceran 964,60 946,23 33.618 33.583
Perikanan 27,57 34,99 1.056 1.355
Pertambangan Dan Penggalian 0,06 0,02 5 2
Pertanian, Perburuan Dan Kehutanan 434,91 477,21 20.118 22.250
Real Estate, Usaha Persewaan, Dan Jasa Perusahaan 21,05 17,86 249 243
Transportasi, Pergudangan Dan Komunikasi 25,13 25,97 932 1.132
Sumber: Aplikasi SIKP, 2020 (diolah)
Sektor Perdagangan Besar
dan Eceran menerima kucuran dana KUR tertinggi
sebesar Rp946,23 miliar
Tabel diatas menunjukkan perkembangan penyaluran KUR
per sektor ekonomi di wilayah Aceh dalam dua tahun terakhir. Dari 11
kategori jenis usaha debitur KUR, sektor Perdagangan Besar dan
Eceran menerima kucuran dana KUR tertinggi yang mencapai
Rp946.23 miliar atau sekitar 50,88 persen dari total penyaluran KUR
tahun 2019. Nasabah debitur pada sektor ini menjadi yang terbesar
dengan jumlah 33.583 debitur.
Meskipun sektor Perdagangan Besar dan Eceran menerima
kucuran dana KUR tertinggi, namun pada tahun 2019 mengalami
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
54 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
penurunan nilai penyaluran sebesar Rp18,37 miliar atau 1,90 persen
dibandingkan tahun 2018. Selain itu, 3 sektor lainnya juga mengalami
penurunan pada nilai penyaluran yaitu sektor Jasa Pendidikan, sektor
Pertambangan dan Penggalian, dan sektor Real Estate, Usaha
Persewaan, dan Jasa Perusahaan.
Tabel 3.10 Perkembangan Penyaluran KUR Per Skema Tahun 2018-2019
Skema Akad Debitur
2018 2019 2018 2019
Ritel
Bank Bukopin 500.000.000 3.670.000.000 1 10
Bank Mandiri 48.159.300.000 107.739.000.000 618 1.255
BNI 288.111.800.000 312.285.000.000 1.283 1.301
BRI 260.865.000.000 231.884.652.841 1.251 1.098
BTN 1.100.000.000 1.560.000.000 3 5
BRI Syariah 8.616.000.000 25.625.000.000 84 215
Bank Nobu - 98.000.000 - 2
BPD Sumbar - 95.000.000 - 1
Total – Ritel 607.352.100.000 682.956.652.841 3.240 3.887
Mikro
Bank Artha Graha 25.000.000 - 1 -
Bank Mandiri 11.720.591.000 17.094.900.000 571 801
BNI 1.229.200.000 836.100.000 84 56
BRI 1.098.928.000.000 1.130.019.200.000 60.834 60.918
BRI Syariah 15.391.500.000 11.267.000.000 696 504
Total - Mikro 1.127.294.291.000 1.159.217.200.000 62.186 62.279
TKI
BRI 771.800.000 580.228.000 109 77
BNI - 42.925.400 - 2
Internusa Multifinance - 14.530.000 - 1
Total - TKI 771.800.000 637.683.400 109 80
UMI SIKP UMi 1.969.500.000 17.070.000.000 737 5.219
Total - Umi 1.969.500.000 17.070.000.000 737 5.219
TOTAL 1.737.387.691.000 1.859.881.536.241 66.272 71.465
Sumber: Aplikasi SIKP, 2020 (diolah)
Tabel diatas menunjukkan rincian penyaluran KUR per skema
per Bank penyalur di wilayah Aceh yang pada tahun 2018 dan 2019.
Total nilai KUR melalui skema mikro mencapai Rp1,16 triliun, Ritel
sebesar Rp682,96 miliar, TKI hanya Rp637,68 miliar, dan UMi yang
mencapai Rp17,07 miliar. Sementara jumlah debitur dan nilai KUR
mikro terbesar Rp1,13 triliun dengan total debitur sebanyak 60.198
debitur. Penyaluran KUR dan jumlah debitur pada Bank BRI tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2018.
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 55
Tabel 3.11 Perkembangan Penyaluran KUR Per Wilayah Tahun 2018-2019
No Kabupaten/Kota Akad Debitur
2018 2019 2018 2019
1 Kab. Aceh Barat 90.909.500.000 100.436.500.000 2.478 3.461
2 Kab. Aceh Barat Daya 53.517.000.000 52.967.000.000 1.836 1.840
3 Kab. Aceh Besar 116.023.700.000 131.195.600.000 4.905 5.820
4 Kab. Aceh Jaya 22.409.000.000 18.713.500.000 924 892
5 Kab. Aceh Selatan 70.818.000.000 69.248.038.000 3.257 3.238
6 Kab. Aceh Singkil 44.409.500.000 39.156.000.000 1.763 1.409
7 Kab. Aceh Tamiang 78.598.500.000 94.483.530.000 3.397 4.222
8 Kab. Aceh Tengah 66.710.500.000 93.330.500.000 2.683 3.929
9 Kab. Aceh Tenggara 45.145.500.000 46.245.000.000 2.004 2.240
10 Kab. Aceh Timur 82.446.111.000 104.791.900.000 3.759 5.038
11 Kab. Aceh Utara 168.808.780.000 184.938.745.000 8.153 9.147
12 Kab. Bener Meriah 68.912.000.000 79.930.000.000 2.848 3.274
13 Kab. Bireuen 102.054.500.000 110.542.400.000 3.913 3.855
14 Kab. Gayo Lues 10.393.500.000 7.284.000.000 514 328
15 Kab. Nagan Raya 114.959.900.000 116.343.000.000 2.984 2.529
16 Kab. Pidie 143.897.000.000 142.301.700.000 5.472 5.511
17 Kab. Pidie Jaya 32.106.500.000 36.984.000.000 1.437 1.505
18 Kab. Simeulue 12.237.000.000 11.187.000.000 662 685
19 Kota Banda Aceh 167.159.900.000 179.224.652.841 4.923 4.769
20 Kota Langsa 112.406.800.000 111.549.545.000 3.889 3.819
21 Kota Lhokseumawe 66.402.500.000 72.384.500.000 2.381 2.222
22 Kota Sabang 21.721.500.000 14.897.425.400 671 588
23 Kota Subulussalam 45.280.500.000 41.727.000.000 1.416 1.143
24 Provinsi Aceh 60.000.000 20.000.000 3 1
Total 1.737.387.691.000 1.859.881.536.241 66.272 71.465
Sumber: Aplikasi SIKP, 2020 (diolah)
Tabel diatas merinci perkembangan penyaluran KUR per
kab/kota di Aceh pada tahun 2018 dan 2019. Tiga daerah penerima
KUR terbesar yaitu Kabupaten Aceh Utara, Kota Banda Aceh, dan
Kabupaten Pidie. Sementara tiga debitur terbanyak tersebar di
Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
3.8 PERKEMBANGAN DAN ANALISIS BELANJA WAJIB (MANDATORY SPENDING) DAN BELANJA INFARASTRUKTUR PUSAT DI DAERAH
Belanja wajib merupakan suatu upaya untuk memastikan
ketersediaan dalam pengalokasian anggaran berupa persentase
tertentu dari total belanja yang diatur undang-undang. Tujuannya
adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi
daerah.
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
56 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
3.8.1 Mandatory Spending di Daerah
3.8.1.1 Belanja Sektor Pendidikan
Alokasi belanja wajib sektor
pendidikan sebesar Rp1,10 triliun
Belanja wajib pada bidang pendidikan di Aceh dialokasikan
oleh empat K/L, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi. Realisasi yang telah tercapai adalah sebesar Rp1,01 triliun
atau sebesar 92,19 persen dari total alokasi dana, yaitu Rp1,10 triliun.
Dengan capaian output sebagai berikut:
Tabel 3.12 Realisasi Capaian Output Bidang Pendidikan
No Satker Output Pagu Realisasi %
1 Kemen PUPR
Rehabilitasi dan Renovasi Sarana
Prasarana Pendidikan Dasar dan
Menengah
197.899,13 175.360,88 88,61%
2 Kementerian
Agama
Sarana dan Prasarana PTKI melalui
SBSN 158.019,26 142.225,21 90,00%
3 Kementerian
Agama Siswa MI penerima BOS 113.372,00 108.777,71 95,95%
4 Kemenristekdikti PTN Yang Direvitalisasi Sarana dan
Prasarana 85.754,70 83.690,38 97,59%
5 Kementerian
Agama Siswa MTs penerima BOS 83.838,00 82.456,67 98,35%
86 Capaian Output 460.848,44 421.318,19 91,42%
Sumber: e-Rekon, 2020 (diolah)
Rehabilitasi dan Renovasi Sarana Prasarana Pendidikan
Dasar dan Menengah menjadi capaian output dengan pagu tertinggi
yaitu Rp197,90 triliun, namun hanya dapat terealisasi sebesar 88,61
persen. Dari target realisasi yang ditetapkan pada triwulan IV yaitu
realisasi sebesar 90 persen, ada 24 K/L yang tidak memenuhi
realisasi sebesar 90 persen.
3.8.1.2 Belanja Sektor Kesehatan
Realisasi belanja
wajib sektor Kesehatan sebesar
Rp43,37 triliun atau 91,11 persen dari
alokasi dana
Belanja wajib dalam bidang kesehatan di provinsi Aceh
dialokasikan oleh lima K/L, yaitu Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Kementerian Agama, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan
Kementerian Kesehatan. Realisasi belanja yang telah tercapai yaitu
sebesar Rp47,37 triliun atau sebesar 91,11 persen. Dengan capaian
output sebagai berikut:
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional | Bab III
Annual Regional Fiscal Report 2019 57
Tabel 3.13 Realisasi Capaian Output Bidang Pendidikan
No Satker Capaian Output Pagu Realisasi %
1 Badan Pengawas Obat
dan Makanan Penyediaan Alat Laboratorium 5.100,00 5.099,99 100,00%
2 Kementerian Kesehatan Layanan Kekarantinaan
Kesehatan 4.491,68 3.953,50 88,02%
3
Badan Kependudukan
dan Keluarga
Berencana Nasional
Pemenuhan Ketersediaan Alokon
di Faskes 3.101,43 2.664,65 85,92%
4 Kementerian Agama Bimbingan Perkawinan Pra Nikah 2.943,65 2.916,65 99,08%
5 Badan Pengawas Obat
dan Makanan
Sarana Distribusi Obat, Obat
Tradisional, Kosmetik, Suplemen
Kesehatan dan Makanan yang
Diperiksa
2.579,13 2.489,76 96,53%
51 Capaian Output Lainnya 33.779,71 31.975,16 89,55%
Sumber: e-Rekon, 2020 (diolah)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 56 capaian
output yang ada untuk bidang kesehatan, alokasi dana terbesar
wilayah Aceh yaitu Penyediaan Alat Laboratorium oleh satker BPOM
dengan alokasi sebesar Rp5,10 triliun dan realisasi mencapai 100
persen. Adapun realisasi terkecil yaitu dengan capaian output
Pelaksanaan Strategi Promosi Kesehatan dalam mendukung
Program Kesehatan oleh satker Kemenkes yang hanya mencapai
63,79 persen dari pagu yang dialokasikan.
3.8.2 Belanja Infrastruktur
Pembangunan infrastrukur memang masih menjadi salah satu
fokus utama pemerintah Aceh. Melalui pembangunan jalan tol
pertama di Aceh yaitu jalan tol dengan rute Banda Aceh-Sigli sejauh
73 kilometer.
Tabel 3.14 Realisasi Capaian Output Bidang Infrastruktur
No Satker Capaian Output Pagu Realisasi Blokir %
1
Kementerian
Pekerjaan
Umum Dan
Perumahan
Rakyat
'Preservasi Rekonstruksi,
Rehabilitasi Jalan 634.715,00 597.470 - 94,13%
2 'Bendungan dalam tahap
pelaksanaan (on-going) 442.159,22 427.854 6.000 96,76%
3
'Jaringan irigasi permukaan
kewenangan Pusat yang
dibangun
280.790,16 143.872 20.000 51,24%
4 'Preservasi Pemeliharaan Rutin
Jalan 125.835,26 125.810 - 99,98%
5
'Jaringan irigasi permukaan
kewenangan Pusat yang
dioperasikan dan dipelihara
96.679,69 86.233 - 89,19%
15 Capaian Output Lainnya 254.734 242.001 254.733,99 95,00%
Sumber: e-Rekon, 2020 (diolah)
Belanja wajib bidang infrastruktur dialokasikan kepada 3 K/L
yang ada di Aceh yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan
Bab III | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN Tingkat Regional
58 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Fokus infrastrukur Aceh yaitu
pembangunan jalan tol pertama di Aceh
rute Banda Aceh-Sigli
Capaian output dengan alokasi tertinggi yaitu
Preservasi Rekonstruksi dan Rehabilitasi Jalan
yang mencapai Rp634,72 triliun dengan realisasi
sebesar 94,13 persen
Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian
Pertanian dengan total alokasi sebesar Rp1,83 triliun. Belanja
Infrastrukur di Aceh hingga akhir tahun 2019 telah terealisasi sebesar
Rp1,62 triliun atau 88,46 persen dari total alokasi.
Adapun capaian output dengan alokasi tertinggi yaitu
Preservasi Rekonstruksi dan Rehabilitasi Jalan yang mencapai
Rp634,72 triliun dengan realisasi sebesar 94,13 persen. Dari 20 Jenis
Capaian Output, persentase realisasi terkecil adalah sebesar 51,24
persen dengan jenis capaian output Jaringan Irigasi Permukaan
Kewenangan Pusat Yang Dibangun. Hal ini dikarenakan adanya
dana yang diblokir sebesar Rp20 triliun yang berpengaruh pada
realisasi pencapaian output tersebut.
BAB Ivperkembangan dan analisispelaksanaan apbd
Pantai TapaktuanPantai Tapaktuan yang berada di KabupatenAceh Selatan memiliki pesona yang indah dancantik, pantai yang begitu tenang dan dikelilingipemandangan alam yang mempesona.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 59
4.1 APBD TINGKAT PROVINSI (KONSOLIDASI PEMDA)
Provinsi Aceh mendapat alokasi Dana Otsus sejak
tahun 2008.
Provinsi Aceh ditetapkan menjadi daerah istimewa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan
Peraturan Provinsi Sumatera Utara. Saat ini terdapat 23
kabupaten/kota dibawah wilayah pemerintahan provinsi Aceh.
Selain itu Provinsi Aceh juga merupakan daerah yang
ditetapkan sebagai daerah penerima alokasi Dana Otonomi Khusus
berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh berlaku sejak 2008
sampai dengan tahun 2028 (20 tahun).
Tabel 4.1 LRA APBA+APBK Provinsi Aceh Unaudited (dalam miliar Rp)
Uraian 2019 2018
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
Pendapatan 43.309,29 41.540,47 95,92% 41.184,76 39.379,76 95,62%
PAD 5.725,67 5.027,51 87,81% 5.448,86 4.580,85 84,07%
Dana Perimbangan 23.499,28 22.504,89 95,77% 21.985,40 21.428,27 97,47%
Dana Otsus dan Penyesuaian 8.488,54 8.488,54 100,00% 8.433,21 8.029,79 95,22%
Transfer Dana Desa 4.955,50 4.950,92 99,91% 4.459,40 4.456,72 99,94%
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 640,31 568,62 88,80% 857,89 884,13 103,06%
Belanja 49.176,58 41.479,62 84,35% 43.293,76 37.664,27 87,00%
Surplus/ Defisit (5.867,29) 60,85 (1,04%) (2.109,00) 1.715,49 (81,34%)
Pembiayaan 4.398,46 4.260,21 96,86% 2.209,38 2.705,53 122,46%
SILPA (1.468,83) 4.321,06 (294,18%) 100,38 4.421,02 4.404,42%
Sumber: BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Pada APBD Aceh tahun 2019, baik
pendapatan maupun belanja
mengalami kenaikan dari
tahun sebelumnya.
Pada tahun 2019 target pendapatan dan pagu belanja
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2018. Target
pendapatan tahun 2019 naik sebesar 5,16 persen atau sebesar
Rp2,12 triliun dari tahun sebelumnya, dan pagu belanja pada tahun
2019 naik sebesar 13,59 persen atau sebesar Rp5,88 triliun dari tahun
2018. Dari sisi realisasi, peningkatan target pendapatan APBD sejalan
Perkembangan dan Analisis
Pelaksanaan APBD
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
60 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Tahun 2019,baik pendapatan
maupun belanja APBD sama-sama
mengalami kenaikan nominal
realisasi dibandingkan tahun
sebelumnya.
dengan peningkatan realisasi pendapatan. Total realisasi pendapatan
APBD tahun 2019 sebesar Rp41,54 triliun atau sebesar 95,92 persen
dari target pendapatan, jumlah ini meningkat jika dibandingkan
dengan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp39,38 triliun atau
sebesar 95,62 persen dari target pendapatan 2018.
Pada belanja APBD, total realisasi tahun 2019 yaitu sebesar
Rp41,48 triliun atau sebesar 84,35 persen dari pagu belanja tahun
2019. Jumlah ini mengalami kenaikan dari sisi nominal dibandingkan
tahun sebelumnya yang sebesar Rp3,82 triliun namun mengalami
penurunan dari sisi persentase realisasi dibandingkan tahun 2018
yang sebesar 87,00 persen.
4.2 PENDAPATAN DAERAH
Realisasi pendapatan dalam
LRA APBD Aceh tahun 2019 sebesar Rp41,54 triliun atau
95,92 persen dari target pendapatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, Penerimaan pemerintah daerah terdiri dari: (1) Pendapatan
Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan serta (3) Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Kebijakan fiskal pada pendapatan
daerah difokuskan pada peningkatan pendapatan daerah dengan
menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang
sesuai dengan kewenangan daerah.
Total realisasi pendapatan sesuai dalam rekapitulasi LRA
APBD Aceh tahun 2019 adalah sebesar Rp41,54 triliun atau 95,92
persen dari target pendapatan, dengan rincian dan perkembangannya
sesuai dalam tabel 4.2
Tabel 4.2 Jenis Pendapatan APBD Kab/Kota dan Provinsi di Aceh (dalam miliar Rp)
Uraian 2019 2018
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
PAD 5.725,67 5.027,51 87,81% 5.448,86 4.580,85 84,07%
Dana Perimbangan 23.499,28 22.504,89 95,77% 21.985,40 21.428,27 97,47%
DBH 1.830,25 1.282,51 70,07% 1.328,58 1.120,58 84,34%
DAU 15.438,16 15.438,16 100,00% 14.728,92 14.728,92 100,00%
DAK 6.230,87 5.784,21 92,83% 5.927,90 5.578,77 94,11%
Dana Otsus dan Penyesuaian 8.488,54 8.488,54 100,00% 8.433,21 8.029,79 95,22%
Transfer Dana Desa 4.955,50 4.950,92 99,91% 4.459,40 4.456,72 99,94%
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 640,31 568,62 88,80% 857,89 884,13 103,06%
TOTAL PENDAPATAN 43.309,29 41.540,47 95,92% 41.184,76 39.379,76 95,62%
Sumber: BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 61
4.2.1 Dana Transfer / Perimbangan
Dana Perimbangan masih menjadi
sumber pendapatan utama dalam
kerangka APBD di Aceh.
Pada tahun 2019, DAK dan DBH
mengalami kenaikan alokasi,
tetapi DBH mengalami penurunan
persentase realisasi yang cukup
signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Aceh merupakan salah satu dari 3
Provinsi di Indonesia yang
menerima alokasi dana otonomi
khusus.
Dana Desa yang disalurkan di provinsi Aceh
sebesar Rp4,95 triliun dengan
realisasi sebesar Rp4,90 triliun atau
99,91%.
Pada dua tahun terakhir, Dana Perimbangan masih menjadi
sumber pendapatan utama dalam kerangka APBD di Aceh. Terlihat
bahwa pada tahun 2019 jumlah dana perimbangan dari pemerintah
pusat yang sudah ditransfer ke seluruh pemerintah daerah di Aceh
adalah sebesar Rp22,50 triliun atau 54,18 persen dari total realisasi
pendapatan di tahun 2019. Angka tersebut mengalami kenaikan
dibanding jumlah dana perimbangan yang telah direalisasikan di
tahun 2018 yaitu sebesar Rp 21,43 triliun.
Dana perimbangan terdiri dari 3 komponen, yaitu Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Alokasi terbesar yaitu DAU dengan total alokasi pada tahun
2019 sebesar Rp15,44 triliun atau sebesar 65,70 persen dari total
dana perimbangan 2019, dengan realisasi penyaluran sebesar 100
persen. Dari komponen tersebut, DAU mengalami peningkatan dalam
jumlah alokasi dari tahun sebelumnya sebesar 4,82 persen. Berikut
juga dengan DAK dan DBH mengalami kenaikan alokasi jika
dibandingkan dengan tahun 2018.
Proporsi terbesar berikutnya yaitu Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Aceh merupakan salah satu dari 3 Provinsi di Indonesia
yang menerima alokasi dana otonomi khusus, selain Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat. Tercatat alokasi untuk dana Otonomi
Khusus dan Penyesuaian untuk Provinsi Aceh pada tahun 2019 yaitu
sebesar Rp8,48 triliun dengan realisasi penyaluran 100,00 persen,
jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2018 yang memiliki pagu
sebesar Rp8,43 triliun dengan realisasi penyaluran sebesar Rp8,03
triliun atau 95,22 persen.
Dana Transfer yang terakhir adalah Dana Desa, di tahun 2019
Dana Desa yang disalurkan di provinsi Aceh sebesar Rp4,95 triliun
dengan realisasi penyaluran sebesar Rp4,90 triliun atau 99,91 persen.
Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018 yang
memiliki pagu sebesar Rp4,46 triliun dan terealisasi sebesar Rp4,45
atau 99,94 persen.
Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)
menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
62 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada
masyarakat dari sumber dana asli yang dimilikinya (PAD).
Grafik 4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Provinsi Aceh
Sumber: BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Dalam empat tahun
terakhir, tren rasio kemandirian
meningkat, artinya adanya usaha
pemerintah Aceh untuk mengurangi
ketergantungan dan mengelola
sendiri kegiatan pelaksanaan
pemerintahan melalui
peningkatan nilai PAD
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat rasio kemandirian
keuangan daerah di propinsi Aceh pada tahun 2019 berada di angka
13,99 persen, artinya kemampuan pemerintah Aceh membiayai
sendiri kegiatannya masih rendah dan masih memiliki ketergantungan
terhadap kucuran dana transfer dari Pemerintah Pusat yang sangat
tinggi. Namun dibandingkan dalam empat tahun terakhir, tren rasio
kemandirian cenderung meningkat, yang artinya bahwa adanya
usaha pemerintah Aceh untuk mulai mengurangi ketergantungannya
dan upaya mengelola sendiri kegiatan pelaksanaan pemerintahan
melalui peningkatan nilai PAD.
Grafik 4.2 Tren Alokasi Dana Transfer terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, IPM, Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran
Sumber: SIMTRADA DJPK dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
Apabila dilihat dari tabel 4.2, Dana Transfer dari tahun 2015
sampai dengan tahun 2019 relatif mengalami peningkatan.
Peningkatan Dana Transfer sangat berpengaruh terhadap kenaikan
29,84 35,28 36,71 35,33 35,94
69,45 70,00 70,60 71,19 71,90
-0,72% 3,31% 4,19% 4,61% 4,15%
1,53
3,954,25
1,84 1,69
17,11% 16,43% 15,92% 15,68% 15,01%
9,93% 7,57% 6,57% 6,35% 6,20%
-500,00%
-300,00%
-100,00%
100,00%
300,00%
500,00%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2015 2016 2017 2018 2019
Dana Transfer IPM Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Kemiskinan Pengangguran
10,43% 10,47% 11,63% 12,10%
82,15% 79,21%86,12% 86,53%
12,70% 13,21% 13,51% 13,99%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
2016 2017 2018 2019
Total Pendapatan APBD Total Dana Transfer PADRasio PAD Rasio Dana Transfer Tingkat Kemandirian
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 63
Peningkatan Dana Transfer sangat
berpengaruh terhadap kenaikan
pertumbuhan ekonomi, kenaikan
IPM, penurunan Inflasi, penurunan
tingkat kemiskinan dan penurunan
tingkat pengangguran
pertumbuhan ekonomi, kenaikan IPM, penurunan Inflasi, penurunan
tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran.
Di tahun 2018 Dana Transfer yang dialokasikan di provinsi
aceh sebesar Rp35,33 triliun dengan capaian IPM 71,19,
pertumbuhan ekonomi 4,61 persen, inflasi 1,84, tingkat kemiskinan
15,68 persen dan tingkat pengangguran 6,35 persen. Peningkatan
alokasi dana transfer di tahun 2019 yang menjadi Rp35,94 diikuti juga
peningkatan beberapa capaian indikator makro ekonomi dimana IPM
naik jadi 71,90, inflasi menjadi 1,69, tingkat kemiskinan turun menjadi
15,01 persen dan tingkat pengangguran turun menjadi 6,20 persen.
4.2.2 Pendapatan Asli Daerah
PAD Aceh pada tahun 2019 terdiri dari Pajak Daerah dengan
total realisasi sebesar Rp1,90 triliun, Retribusi Daerah dengan
realisasi sebesar Rp244,65 miliar, Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan dengan realisasi sebesar Rp288,77 miliar,
dan Lain-lain PAD yang sah menjadi kontributor terbesar yang
memiliki rasio terhadap total PAD tahun 2019 sebesar 51,68 persen
dengan nominal realisasi sebesar Rp2,60 triliun.
Grafik 4.3 Realisasi PAD per Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2019
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Dalam PAD per
Kabupaten/Kota di Aceh, Kota Banda
Aceh menjadi daerah dengan PAD
tertinggi, sementara Kab.
Apabila diuraikan per kabupaten/kota dan provinsi, terlihat
bahwa realisasi terbesar yaitu pada PAD Provinsi Aceh, dengan total
realisasi sebesar Rp2,54 triliun. Kabupaten Aceh Utara menjadi
wilayah kabupaten/kota dengan realisasi PAD tertinggi di tahun 2019
yaitu sebesar Rp259,59 miliar. Diikuti Kabupaten Pidie dengan jumlah
Pajak Daerah; 37,71%
Retribusi Daerah; 4,87%
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan; 5,74%
Lain-lain PAD yang Sah; 51,68%
PAD; 12,02%
Dana Transfer; 86,62%
Lain-Lain Pendapatan yang Sah; 1,36%
2.541,18 259,59
244,90 235,11
170,05 169,47 156,53
139,98 120,45 115,37 106,65
90,30 87,06 82,18 72,78 68,83 61,46 59,77 59,31 51,42 38,39 37,04 34,26 25,45
0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
Provinsi Aceh
Aceh Utara
Pidie
Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Tengah
Bireun
Aceh Selatan
Langsa
Aceh Barat
Aceh Barat Daya
Aceh Tamiang
Nagan Raya
Bener Meriah
Aceh Jaya
Pidie Jaya
Lhokseumawe
Sabang
Aceh Timur
Aceh Gayo Lues
Aceh Singkil
Simeuleu
Sumbulussalam
Aceh Tenggara
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
64 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Aceh tenggara menjadi daerah
dengan PAD terkecil.
Tahun 2019, rasio PAD terhadap
belanja APBD di Aceh mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya.
realisasi sebesar Rp244,90 miliar, dan Kota Banda Aceh dengan
jumlah realisasi sebesar Rp235,11 miliar. Realisasi PAD terkecil yaitu
Kabupaten Aceh Tenggara dengan realisasi PAD tahun 2019 hanya
sebesar Rp25,45 miliar.
Perhitungan dari kemampuan PAD terhadap belanja
pemerintah daerah, menunjukkan bahwa kontribusi PAD untuk
membiayai belanja daerah pada tahun 2019 hanya mencapai 12,12
persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai belanjanya secara mandiri masih rendah, artinya
pemerintah daerah Aceh masih memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap dana transfer dari Pemerintah Pusat. Seharusnya hal ini
telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dalam
meningkatkan kinerjanya guna mendongkrak pendapatan daerah.
Grafik 4.4 Rasio PAD terhadap Belanja Pemerintah Daerah per Kabupaten/Kota Tahun 2019
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Kota Banda Aceh menjadi daerah
dengan rasio kemandirian
tertinggi di Aceh. Sedangkan rasio
kemandirian terendah yaitu Kab.
Aceh Tenggara.
Grafik 4.3 diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2019 tingkat
kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai belanja
daerahnya tertinggi diperoleh Pemerintah Kota Banda Aceh dengan
rasio PAD terhadap belanja daerah sebesar 19,11 persen. Kemudian
diikuti Pemerintah Provinsi Aceh di peringkat kedua dengan rasio
sebesar 16,58 persen dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang
dengan rasio sebesar 14,31 persen. Kabupaten Aceh Tenggara
menjadi daerah dengan rasio PAD terhadap belanja APBD yang
terendah yaitu hanya sebesar 2,01 persen di tahun 2019.
Pada periode kedepan diharapkan kepada pemerintah daerah
di lingkup Provinsi Aceh agar dapat terus meningkatkan PAD-nya
melalui intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
yang telah ada. Pengalokasian Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi
16,5
8%
9,93
%
11,6
4%
19,1
1%
9,40
% 12,4
2%
8,13
%
9,45
% 12,9
5%
8,88
%
10,6
6% 14,3
1%
7,88
%
7,96
%
7,99
%
6,85
%
7,05
%
8,84
%
3,21
%
5,16
%
4,46
%
3,98
%
5,12
%
2,01
%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 65
Aceh seharusnya menjadi keistimewaan tersendiri karena Aceh
memiliki tambahan fiscal space yang dapat dimanfaatkan untuk
program-program besar pemerintah yang mampu mengangkat
perekonomian Aceh, baik dalam pembangunan infrastruktur guna
memberikan kepercayaan untuk investor dapat berinvestasi dengan
aman dan nyaman di Aceh, maupun dengan mendukung sektor
unggulan dan sektor yang memiliki potensi unggulan seperti sektor
pertanian, sektor perdagangan, dan sektor pariwisata.
4.2.3 Pendapatan Lain-lain
Pendapatan Lain-lain bertujan memberi potensi kepada
daerah untuk memperoleh pendapatan selain dari PAD maupun dana
perimbangan. Pendapatan Lain-lain terdiri atas pendapatan hibah,
dana darurat, dan pendapatan lainnya.
Grafik 4.5 Jenis Pendapatan Lain-lain
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Pendapatan hibah masih
menyumbang nilai tertinggi yaitu
sebesar 67,61% dan pendapatan
lainnya menyumbang
32,39%.
Pendapatan Lain-lain pada tahun 2019 hanya bersumber dari
dua pendapatan yaitu Pendapatan Hibah dan Pendapatan Lainnya.
Dana Darurat adalah dana yang bersumber dari APBN untuk
dialokasikan kepada APBD bagi daerah yang mengalami bencana
nasional dan/atau peristiwa luar biasa. Tahun 2019, tidak ada dana
darurat yang disalurkan di Provinsi Aceh. Sedangkan pendapatan
hibah masih menyumbang nilai tertinggi pada pendapatan lain-lain
yaitu sebesar 67,61 persen atau sebesar Rp384,44 miliar dan
pendapatan lainnya menyumbang sebesar Rp184,18 miliar atau
32,39 persen dari total pendapatan lain-lain yang sah.
4.3 BELANJA DAERAH
4.3.1 Rincian Belanja Daerah Berdasarkan Klasifikasi Urusan
Dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan yang
menjadi urusan daerah maka APBD Provinsi Aceh dibagi atas 25
384,44
184,18
0
0 100 200 300 400
Pendapatan Hibah
Pendapatan Lainnya
Dana Darurat
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
66 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
urusan. Realisasi belanja per klasifikasi urusan pada Pemerintah
Daerah Provinsi Aceh pada tahun 2019 tergambar pada grafik 4.6.
Grafik 4.6 Rasio Alokasi dan Realisasi Belanja Daerah Tahun 2019 per Klasifikasi Urusan
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Belanja dalam rangka urusan Pemerintahan
Umum pada tahun 2019 mendapat
proporsi tertinggi dalam struktur
anggaran belanja APBA.
Urusan-urusan yang berkaitan
dengan peningkatan sektor-
sektor perekonomian
daerah perlu mendapat
perhatian khusus bagi pemerintah.
Dari gafik tersebut terlihat bahwa pada tahun 2019 pemerintah
sangat concern pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
kegiatan pemerintahan umum. Hal ini terlihat dari alokasi yang tinggi
untuk urusan tersebut yaitu sebesar 38,51 persen dari total pagu
belanja. Angka tersebut terhitung sangat besar untuk urusan yang
sebenarnya ‘hanya’ didominasi belanja operasional rutin yang
konsumtif dan kurang produktif. Alokasi tertinggi berikutnya adalah
urusan Pendidikan dengan rasio alokasi sebesar 19,79 persen,
urusan Kesehatan dengan rasio alokasi sebesar 12,28 persen, dan
urusan pekerjaan umum memiliki rasio alokasi sebesar 5,22 persen
dari keseluruhan alokasi.
Secara realisasi, urusan Perpustakaan menjadi yang tertinggi,
dengan persentase realisasi sebesar 99,80 persen dari alokasi di
tahun 2019. Realisasi terendah didapat oleh urusan Kepegawaian
dengan persentase realisasi sebesar 45,01 persen dari alokasi urusan
tersebut di tahun 2019.
Untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan peningkatan
sektor-sektor perekonomian daerah (selain Pertanian, Kelautan, dan
Perikanan) perlu mendapat perhatian khusus karena mendapat rasio
alokasi yang sangat rendah. Bahkan beberapa diantaranya
mendapatkan rasio alokasi dibawah 1 persen, antara lain urusan
Koperasi dan UKM (0,41 persen), ESDM (0,69 persen), Perindustrian
(0,32 persen), dan Penanaman modal (0,21 persen).
38,5%
19,8%
12,3%
5,2% 5,2%2,8% 2,0% 1,4% 1,4% 1,3% 1,1% 0,8% 0,8% 0,8% 0,7% 0,7% 0,6% 0,5% 0,5% 0,4% 0,4% 0,4% 0,4% 0,3% 0,3% 0,3% 0,3% 0,2% 0,2% 0,2% 0,1% 0,1% 0,1% 0,0% 0,0%
97%
88% 88%
78% 77%
98%
88%
71%
89%97% 94% 91%
86%
64% 62%69%
100%
73%
84%
96% 93%
84%
45%
81% 80% 79%
92% 91% 90%
100%
87%
55%
99%
0% 0%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
35,0%
40,0%
45,0%
Proporsi Pagu (%) Realisasi (%)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 67
Untuk perode mendatang diharapkan ada perubahan
paradigma dari arah pelaksanaan belanja pemerintah, dengan
mengurangi alokasi untuk belanja urusan Pemerintahan umum, dan
menambahkannya pada urusan-urusan lain yang berpotensi
meningkatkan perekonomian daerah.
4.3.2 Rincian Belanja Daerah Berdasarkan Jenis Belanja (Sifat Ekonomi)
Alokasi belanja APBD di Aceh
mengalami peningkatan
dibanding tahun sebelumnya, namun
secara persentase realisasi mengalami
penurunan.
Dalam rekapitulasi seluruh LRA APBD Kabupaten/Kota/
Provinsi di Aceh, terdapat 10 jenis belanja yaitu antara lain belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, belanja bantuan
sosial, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, belanja tak terduga,
belanja bunga, belanja subsidi dan belanja bagi hasil.
Secara keseluruhan terlihat bahwa jumlah alokasi dan
realisasi secara agregat belanja APBD Tahun 2019 mengalami
kenaikan dibanding tahun sebelumnya, namun mengalami penurunan
secara persentase realisasi dibanding tahun sebelumnya. Tahun
2019 alokasi belanja sebesar Rp49,17 triliun dengan realisasi sebesar
Rp41,48 triliun atau 84,35% dari alokasi. Hal tersebut tersaji pada
tabel 4.3.
Tabel 4.3 Target dan Realisasi Belanja APBD Kab/Kota dan Provinsi per Jenis Belanja (dalam miliar Rp)
Uraian 2019 2018
Pagu Realisasi % Realisasi Pagu Realisasi % Realisasi
Belanja Pegawai 15.114,73 12.087,73 79,97% 13.946,81 11.741,14 84,19%
Belanja Barang dan Jasa 12.944,54 10.758,35 83,11% 12.608,31 11.144,94 88,39%
Belanja Bunga 3,41 2,65 77,58% 3,01 2,86 95,02%
Belanja Subsidi 9,05 8,33 92,02% 8,77 8,47 96,58%
Belanja Hibah 1.067,31 2.368,62 221,92% 1.386,34 1.218,54 87,90%
Belanja Bantuan Sosial 284,12 590,50 207,83% 756,60 638,29 84,36%
Belanja Modal 9.704,76 8.398,34 86,54% 7.675,58 6.175,31 80,45%
Belanja Tak Terduga 238,56 58,68 24,60% 114,32 52,21 45,67%
Belanja Bagi Hasil 744,93 210,24 28,22% 1.053,17 827,00 78,52%
Belanja Bantuan Keuangan 9.065,17 6.996,19 77,18% 5.503,54 5.855,51 106,40%
TOTAL BELANJA 49.176,58 41.479,62 84,35% 43.056,45 37.664,27 87,48%
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa tujuh jenis belanja mengalami
kenaikan alokasi dari tahun sebelumnya, yaitu belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja subsidi, belanja
modal, belanja tak terduga dan belanja bantuan keuangan. Tiga jenis
belanja mengalami penurunan alokasi antara lain belanja hibah,
belanja bantuan sosial dan belanja belanja bagi hasil.
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
68 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Terdapat 3 jenis belanja yang
persentase realisasinya di
tahun 2019 diatas 90%, antara lain belanja subsidi,
belanja hibah dan belanja bantuan
sosial.
Terdapat tiga jenis belanja yang persentase realisasinya pada
tahun 2019 diatas 90%, antara lain belanja subsidi, belanja hibah dan
belanja bantuan sosial. Rendahnya penyerapan belanja secara total
merupakan dampak dari rendahnya realisasi belanja pegawai. Secara
nominal terjadi peningkatan pada realisasi belanja pegawai namun
secara persentase terjadi penurunan yang cukup signifikan.
Peningkatan pagu belanja pegawai disebabkan adanya tambahan
CPNS baru rekrutmen tahun 2019.
Grafik 4.6 Perbandingan per Jenis Belanja antara Provinsi dan Seluruh Kab./Kota
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Apabila dibandingkan per jenis belanja antara provinsi dengan
seluruh kab./kota di Aceh, maka dapat terlihat bahwa sebesar 31,14
persen (Rp12,91 triliun) dialokasikan untuk belanja pemerintah
provinsi, sisanya sebesar 68,86 persen (Rp28,56 triliun) alokasi
belanja tersebar di 23 kab./kota. Belanja Barang dan Jasa adalah jenis
belanja yang paling besar berada di provinsi, sejumlah 39,06 persen
(Rp4,20 triliun) dialokasi di provinsi sisanya tersebar di 23 kab./kota,
sedangkan belanja bagi hasil, belanja subsidi dan belanja bunga tidak
terdapat dalam alokasi belanja pemerintah provinsi.
4.4 PERKEMBANGAN BLU DAERAH
4.4.1 Profil dan Jenis Layanan BLU Daerah
Terdapat 14 Badan Umum Layanan Daerah (BLUD) dari 11
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi, yaitu:
1. Provinsi Aceh, BLUD RSUD Zainoel Abidin, BLUD Rumah Sakit
Ibu dan Anak, dan BLUD Rumah Sakit Jiwa.
2. Kabupaten Aceh Tengah, BLUD RSUD Datu Beru.
3. Kabupaten Aceh Tenggara, BLUD RSUD H. Sahudin.
2.461,59 4.201,79 3.114,33 925,48 1.848,84 360,52 4,84
9.626,14 6.556,57 5.284,01
6.070,71
519,78 229,98
210,24
53,84
8,33 2,65
12.087,7310.758,35
8.398,346.996,19
2.368,62590,50 210,24 58,68 8,33 2,65
-15.000
-10.000
-5.000
0
5.000
10.000
15.000
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
Pegawai Barang danJasa
Modal BantuanKeuangan
Hibah Bansos Bagi Hasil TakTerduga
Subsidi Bunga
(miliar R
p)(m
iliar
Rp
)
Provinsi Kab./Kota Total
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 69
4. Kota Banda Aceh, BLUD RSUD Meuraxa dan BLUD UPTD Pasar.
5. Kota Langsa, BLUD RSUD Langsa.
6. Kabupaten Aceh Timur, BLUD RSUD dr. Zubir Mahmud.
7. Kabupaten Aceh Tamiang, BLUD RSUD Kab. Aceh Tamiang.
8. Kabupaten Simeulue, BLUD RSUD Simeulue.
9. Kabupaten Bireuen, BLUD RSUD dr. Fauziah.
10. Kabupaten Aceh Utara, BLUD RSUD Cut Meutia.
11. Kabupaten Nagan Raya, BLUD RSUD Nagan Raya.
Terdapat 4 Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai BLUD
yaitu Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kota
Lhokseumawe dan Kota Sabang. Berdasarkan profil dan jenis
layanannya, 13 BLUD tersebut melayani di bidang kesehatan dan 1
BLUD di bidang pengelolaan pasar.
4.4.2 Perkembangan Pengelolaan Aset PNBP dan RM BLU Daerah
Tabel 4.4 Nilai Aset BLUD di Provinsi Aceh
No. Satker BLUD Bidang Nilai Aset (Rp)
Tahun 2017 Tahun 2018
1. RSUD Zainoel Abidin Kesehatan 609.263.056.975 -
2. Rumah Sakit Ibu dan Anak Kesehatan 67.958.566.911 -
3. Rumah Sakit Jiwa Kesehatan 155.154.060.720 -
4. RSUD Datu Beru Kesehatan 197.227.033.265 247.746.264.684
5. RSUD H. Sahudin Kesehatan 65.000.000.000 87.500.000.000
6. RSUD Langsa Kesehatan - 234.126.441.705
7. RSUD dr. Zubir Mahmud Kesehatan - 119.152.381.634
8. RSUD Kab. Aceh Tamiang Kesehatan - 115.764.761.502
9. RSUD Meuraxa Kesehatan - 161.339.394.934
10. UPTD Pasar Pasar - 348.418.600
11. RSUD Simeulue Kesehatan - 58.405.117.218
12. RSUD dr. Fauziah Kesehatan - 154.321.545.882
13. RSUD Kab. Nagan Raya Kesehatan - 93.038.005.926
Sumber: BPKA, BPKD Kota Banda Aceh BPKD Kab. Aceh Tengah BPKD Kab. Aceh Tenggara, BPKD Kab. Aceh Tamiang, BPKD Kab. Simeulue, BPKD Kab. Bireuen, BPKD Kab. Nagan Raya, 2020 (diolah)
Dari tabel diatas, BLUD RSUD Zainoel Abidin mempunyai nilai
aset untuk tahun 2017 yang paling banyak dibandingkan BLUD
lainnya. Berada di Kota Banda Aceh dan merupakan rumah sakit
terbesar di Aceh dengan fasilitas yang cukup lengkap. Sedangkan
data aset tahun 2018 RSUD Zainoel Abidin belum didapatkan
dikarenakan sedang dalam proses penyusunan laporan keuangan.
Berdasarkan data yang ada, untuk tahun 2018 BLUD RSUD Datu
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
70 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
RSUD Zainoel Abidin mencatat
angka realisasi pendapatan
layanan tertinggi dari 14 sampel
BLUD.”
Beru Takengon mempunyai nilai aset yang paling banyak dan BLUD
UPTD Pasar mempunyai aset terkecil.
Pada tahun 2018, RSUD Zainoel Abidin mencatat angka
realisasi pendapatan layanan tertinggi yaitu sebesar Rp559,1 miliar.
Hal tersebut sebanding dengan kapasitas layanan yang disediakan,
yang tergambar pada total realisasi belanja yang paling tinggi di tahun
2018 yaitu sebesar Rp575,7 milyar. Sedangkan pendapatan layanan
paling kecil yaitu UPTD Pasar dengan total realisasi pendapatan
sebesar Rp5,6 miliar. Hal ini terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5 PNBP dan RM BLUD Tahun 2018
No Satker BLUD Bidang PNBP RM
Pagu Realisasi Pagu Realisasi
1. RSUD Zainoel Abidin Kesehatan 487.030.544.104 559.113.084.964 494.000.000.000 575.759.425.150
2. Rumah Sakit Ibu & Anak Kesehatan 27.455.000.000 26.199.830.936 37.400.500.000 27.706.662.916
3. Rumah Sakit Jiwa Kesehatan 27.921.496.300 29.032.892.085 28.771.177.916 26.637.600.530
4. RSUD Datu Beru Kesehatan 105.017.682.595 88.649.898.861 41.292.434.311 39.719.526.320
5. RSUD H. Sahudin Kesehatan 23.000.000.000 44.760.033.903 47.672.280.471 24.410.361.274
6. RSUD Meuraxa Kesehatan 122.289.560.000 97.418.669.516 36.791.178.904 34.709.313.194
7. UPTD Pasar Pasar 5.375.253.073 5.607.945.214 - -
8. RSUD Langsa Kesehatan 90.000.000.000 84.834.325.609 36.808.410.804 65.304.888.826
9. RSUD dr. Zubir Mahmud Kesehatan - - 66.402.720.719 60.500.684.307
10. RSUD Kab. Aceh Tamiang Kesehatan 62.800.000.000 57.880.146.697 92.423.371.905 85.563.365.512
11. RSUD Simeulue Kesehatan 36.081.879.593 35.052.247.469 27.208.568.503 33.644.225.074
12. RSUD dr. Fauziah Kesehatan 130.217.444.246 106.832.336.446 77.559.449.642 65.136.245.032
13. RSUD Cut Meutia Kesehatan 132.493.963.000 121.583.603.067 - -
14. RSUD Kab. Nagan Raya Kesehatan 38.000.000.000 37.454.860.248 34.585.291.564 30.229.065.971
Sumber: BPKA, BPKD Kota Banda Aceh BPKD Kab. Aceh Tengah BPKD Kab. Aceh Tenggara, BPKD Kab. Aceh Tamiang, BPKD Kab. Simeulue, BPKD Kab. Bireuen, BPKD Kab. Nagan Raya, 2020 (diolah)
Jika dilihat dari rasio pendapatan layanan terhadap realisasi
belanja sebagai salah satu indikator untuk mengukur kemandirian
BLUD, terlihat bahwa RSUD Meuraxa Banda Aceh memliki
pendapatan layanan di tahun 2018 telah melebihi jumlah realisasi
belanja. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan BLUD tersebut
terhadap rupiah murni sangat kecil.
4.4.3 Analisis Legal
Tabel 4.6 Penetapan BLUD
No. BLUD No. SK Penetapan Waktu Penetapan
1. RSUD Zainoel Abidin 445/685/2011 2011
2. Rumah Sakit Ibu dan Anak 445/688/2011 20 Desember 2011
3. Rumah Sakit Jiwa 445/689/2011 2011
4. RSUD dr. Fauziah Bireuen 561 Tahun 2009 31 Desember 2009
5. RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh 723 Tahun 2014 29 Desember 2014
6. UPTD Pasar Kota Banda Aceh 319 Tahun 2011 12 Desember 2011
Sumber: BPKA, BPKD Kota Banda Aceh, RSUD dr. Fauziah, RSUD Cut Nyak Dhien, 2020 (diolah)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 71
Pemerintah Aceh dan Kab./Kota telah
menetapkan BLUD dalam rangka
peningkatan pelayanan kepada masyarakat sesuai
dengan azas penyelenggaraan pelayanan umum
Berdasarkan penetapan BLUD Provinsi Aceh dan BLUD
Kabupaten/Kota pada tabel III.6 sebagai sampel oleh Kepala Daerah
telah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 tahun
2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD dan
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah
No. 74 tahun 2012 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Pemerintah
Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah menetapkan
BLUD dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan azas penyelenggaraan pelayanan umum.
4.5 SURPLUS / DEFISIT APBD
4.5.1 Rasio Surplus/Defisit terhadap Pendapatan
Sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) pemerintah daerah
TA 2019 baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota sebagian besar
mengalami surplus. Dalam hal surplus tersebut perlu diketahui
proporsinya terhadap pendapatan, sehingga bisa menunjukkan
performa fiskal pemerintah daerah. Untuk mengetahui hal tersebut
perlu dihitung rasio surplus terhadap agregat pendapatan.
Rasio Surplus terhadap Pendapatan = Surplus / Total Pendapatan
APBD
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑢𝑟𝑝𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 =𝑅𝑝60.845.537.363
𝑅𝑝41.822.520.264.713.000
= 0,0014 (0,14%)
Rasio surplus/defisit anggaran pada
APBD Aceh tahun 2019 turun
dibanding tahun sebelumnya.
Rasio surplus terhadap pendapatan sebesar 0,14 persen
pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan kinerja pemerintah daerah
dalam merealisasikan penerimaan cukup baik sehingga mampu untuk
menanggung belanja daerah. Jika dibandingkan dengan tahun lalu,
rasio ini turun sebesar 306 basis poin yang sebesar 3,2 persen. Hal
ini mengindikasikan bahwa kinerja pemerintah daerah pada tahun
2019 membaik/meningkat dibanding tahun 2018.
4.5.2 Rasio Surplus/Defisit terhadap Dana Transfer
Rasio ini untuk mengetahui proporsi adanya surplus/defisit
anggaran terhadap salah satu sumber pendapatan APBD, yaitu
realisasi pencairan dana transfer. Hal ini dapat menunjukkan ekses
likuiditas Pemda akibat frontloading pencairan dana transfer. Hal ini
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
72 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
dapat menjadi sinyal bagi Kementerian Keuangan untuk
mengevaluasi timing pencairan dana transfer, terutama pada daerah
yang sangat bergantung pada dana transfer namun mengalami ekses
likuditas.
Rasio Surplus terhadap Pendapatan = Surplus / Total Realisasi Dana
Transfer
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑢𝑟𝑝𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 =𝑅𝑝60.845.537.363
𝑅𝑝35.944.336.672.188
= 0,0017 (0,17%)
4.5.3 Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB
Dari aspek rasio surplus terhadap
PDRB, kinerja pemerintah daerah dalam optimalisasi
belanja APBD mengalami sedikit
penurunan dari tahun lalu.
Rasio ini diperlukan untuk menggambarkan kesehatan
ekonomi regional, semakin kecil rasionya berarti daerah tersebut
mampu memproduksi barang dan jasa untuk membiayai defisit
anggaran pemerintah daerahnya.
Rasio Surplus terhadap PDRB = Surplus / PDRB
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑢𝑟𝑝𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑃𝐷𝑅𝐵 =𝑅𝑝60.845.537.363
𝑅𝑝164.210.000.000.000
= 0,0003 (0,03%)
Rasio surplus APBD terhadap PDRB wilayah Aceh tahun
2019 sebesar 0,03%, lebih rendah dibandingkan rasio tahun lalu
sebesar 0,80%. Hal ini menggambarkan terjadinya sedikit
peningkatan kinerja pemerintah daerah pada tahun 2019 dibanding
tahun 2018.
4.6 PEMBIAYAAN DAERAH
Pembiayaan Daerah adalah seluruh penerimaan yang harus
dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali.
Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan. Tujuan analisis pembiayaan adalah untuk
mengetahui besarnya kontribusi komponen pembiayaan yang dapat
digunakan untuk mendukung kebijakan fiskal pemda dan
defisit/surplus APBD. Analisis dilakukan dengan mencari kontributor
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 73
utama pada masing-masing pembiayaan (penerimaan dan
pengeluaran) yang dilakukan oleh pemda.
4.6.1 Rasio SILPA terhadap Alokasi Belanja
Rasio SILPA yang meningkat
mengindikasikan kinerja pemerintah
daerah dalam optimalisasi belanja
APBD mengalami penurunan dari
tahun lalu.
Rasio ini mencerminkan proporsi belanja atau kegiatan yang
tidak digunakan dengan efektif oleh pemerintah daerah.
Rasio SILPA = Jumlah SILPA / Total Belanja APBD
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝐼𝐿𝑃𝐴 =𝑅𝑝. 4.321.055.954.709
𝑅𝑝41.479.622.963.628
= 0,1041 (10,41%)
Berdasarkan perhitungan rasio di atas terlihat bahwa sekitar
10,41 persen belanja yang tidak dapat digunakan secara efektif oleh
pemerintah daerah. Rasio ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018
yang mencapai 3,31 persen.
4.6.2 Pengeluaran Pembiayaan
Pengeluaran Pembiayaan hanya untuk 3 komponen, yaitu Pembentukan
Dana Cadangan, Penyertaan Modal /
Investasi Pemerintah Daerah
dan Pembayaran Pokok Pinjaman
Dalam Negeri
Pada APBD Tahun 2019, Pengeluaran Pembiayaan hanya
untuk 3 komponen, yaitu Pembentukan Dana Cadangan, Penyertaan
Modal / Investasi Pemerintah Daerah dan Pembayaran Pokok
Pinjaman Dalam Negeri. Pembentukan Dana Cadangan menjadi
penyumbang Pengeluaran Pembiayaan terbesar dengan jumlah
sebesar Rp75,31 miliar atau 72,36 persen dari total Pengeluaran
Pembiayaan, Pengeluaran Pembiayaan terbesar kedua adalah
Penyertaan Modal dengan nilai sebesar Rp25,94 miliar atau 24,93
persen dari total Pengeluaran Pembiayaan dan Pembayaran Pokok
Pinjaman Dalam Negeri menjadi Pengeluaran Pembiayaan dengan
nilai dan terkecil yaitu sebesar Rp2,82 miliar atau 2,71 persen dari
total Pengeluaran Pembiayaan.
4.6.3 Rasio Pinjaman Daerah terhadap Total Pembiayaan
Rasio ini dipergunakan untuk mengetahui proporsi pencairan
pinjaman yang dilakukan daerah ataupun penerbitan obligasi daerah
untuk membiayai defisit APBD. Pada tahun 2019 terdapat 2 daerah
yang merencanakan pinjaman dalam APBD-nya, yaitu Kabupaten
Aceh Tenggara dan Kabupaten Simeulue tetapi tidak melakukan
pencairan pinjaman daerah, sehingga rasio pinjaman daerah adalah
nol.
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
74 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
4.6.4 Keseimbangan Primer
Keseimbangan primer dipakai untuk melihat tingkat likuiditas
suatu pemerintah daerah. Semakin besar keseimbangan primer,
maka semakin baik kemampuan daerah untuk membiayai defisitnya.
Rumusnya ialah: Total Pendapatan APBD – (Belanja APBD – Belanja
Bunga).
Grafik 4.7 Rasio Keseimbangan Primer per Pemda tahun 2019
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Berdasarkan rasio keseimbangan
primer APBD 2019, rata-rata
kemampuan pendapatan
pemerintah daerah belum cukup untuk membiayai belanja.
Rasio keseimbangan primer realisasi APBD di Provinsi Aceh
tahun 2019 mencapai rata-rata Rp93,63 miliar, artinya rata-rata
kemampuan pendapatan pemerintah daerah cukup untuk membiayai
belanjanya. Tercatat pada tahun 2019 terdapat 16 pemerintah daerah
yang memiliki angka keseimbangan primer negatif. Angka
keseimbangan primer tertinggi ditempati oleh Kabupaten Bener
Meriah, sedangkan angka keseimbangan primer terendah ditempati
oleh Kabupaten Gayo Lues. Angka keseimbangan primer yang positif
menunjukan kondisi likuiditas yang relatif baik. Namun demikian perlu
dicermati apakah hal tersebut diikuti dengan kualitas belanja yang
baik. Pemerintah daerah diharapkan dapat menjaga likuiditas fiskal
pada posisi yang aman, namun tetap mengoptimalkan realisasi
belanja daerahnya.
4.7 ANALISIS KINERJA PENGELOAAN KEUANGAN DAERAH
4.7.1 Analisis Horizontal dan Vertikal
Pada grafik 4.8 terlihat bahwa, sebanyak 16 Pemda
mengalami Defisit dan hanya 8 Pemda yang mengalami surplus.
2.22
7,0
8
166,
07
68,8
3
59,5
4
32,0
3
11,6
5
8,8
5
4,7
9
-1,2
6
-3,8
0
-7,5
3
-9,5
6
-10,
10
-12,
50
-16,
35
-20,
54
-21,
19
-26,
41
-27,
34
-31,
38
-32,
79
-34,
04
-35,
57
-41,
35
-100
-50
0
50
100
150
200
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 75
Sebanyak 16 Pemda
mengalami Defisit dan hanya 8 Pemda
yang mengalami surplus.
Kabupaten Gayo Lues adalah daerah dengan defisit terbesar yaitu
sebesar Rp41,45 miliar, hal ini diperparah dengan kontribusi PAD
Kabupaten Gayo Lues dalam total pendapatan daerah hanya
mencapai 5,38 persen, sedangkan Kabupaten Bener Meriah adalah
Pemda dengan surplus terbesar yaitu Rp2,22 triliun namun, kontribusi
PAD dalam total pendapatan daerah sangat rendah yaitu sebesar
2,52 persen. Tingginya surplus yang terjadi di Kabupaten Bener
Meriah adalah buntut dari Operasi Tangkap Tangan kepala daearah
pada tahun 2018, sehingga SKPD menjadi lebih berhati-hati dalam
realisasi belanja di Tahun Anggaran 2019.
Grafik 4.8 Perbandingan Kontribusi PAD dalam Pendapatan Daerah terhadap Surplus/Defisit Daerah
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
4.7.2 Analisis Kapasitas Fiskal Daerah
Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan daerah untuk
membiayai pengeluaran/belanja dalam menjalankan tugas dan fungsi
pemerintahan daerah. Formulasi dalam menghitung Kapasitas Fiskal
Daerah adalah pendapatan umum APBD dikurangi dengan belanja
pegawai dan dibagi dengan jumlah penduduk miskin.
𝐾𝐹 =(𝑃𝐴𝐷 + 𝐷𝐵𝐻 + 𝐷𝐴𝑈 + 𝐿𝑃) − 𝐵𝑃
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛
Tabel 4.7 Perkembangan Kapasitas Fiskal Provinsi Aceh
URAIAN 2016 2017 2018 2019
Pendapatan Umum 22.597.398.595.886,70 25.235.922.350.528,10 21.083.133.264.493,80 22.316.805.261.959,00
PAD 4.248.032.245.760,87 4.657.683.810.414,55 4.580.853.342.676,79 5.027.512.429.593,00
DBH 1.262.284.308.597,00 1.291.118.159.689,00 1.664.991.990.380,00 1.282.514.599.156,00
DAU 14.065.942.592.000,00 14.670.583.480.000,00 13.953.167.511.513,00 15.438.158.834.000,00
Lain-Lain yang Sah 3.021.139.449.528,79 4.616.536.900.424,57 884.120.419.924,00 568.619.399.210
Belanja Pegawai 12.475.254.327.731,00 13.111.083.473.111,00 11.741.140.223.954,00 15.114.728.087.141,60
Penduduk Miskin (jiwa) 841.000,00 829.000,00 831.000,00 810.000,00
Kapasitas Fiskal 12.035.843,36 14.625.861,13 11.241.868,88 8.891.453,30
Sumber: BPKA dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
2.22
7,0
8
166,
07
68,8
3
59,5
4
32,0
3
11,6
5
8,8
5
4,7
9
-1,2
6
-3,8
0
-7,5
3
-9,5
6
-10,
10
-15,
15
-16,
35
-20,
54
-21,
19
-26,
41
-27,
34
-31,
38
-32,
79
-34,
04
-35,
57
-41,
35
2,52%
11,33%
16,50%
8,49%
6,64%
7,89%
4,41%
8,11%12,44%
7,91%
7,11%
2,03%
8,97%
19,35%
9,48%
13,24%10,89%
10,04%
9,63%
4,12%
11,82%
5,40%
3,27%
5,38%
-25,00%-20,00%-15,00%-10,00%-5,00%0,00%5,00%10,00%15,00%20,00%25,00%
-500
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
(tri
liun
Rp
)
Surplus/Defisit Rasio PAD terhadap Pendapatan
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
76 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Kapasitas fiskal Aceh pada tahun
2019 terhitung sebesar
8.891.453,30 mengalami
penurunan dari kapasitas fiskal di tahun 2018 yang
sebesar 11.2415.686,88.
Dari perhitungan diatas terlihat bahwa kapasitas fiskal di Aceh
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Kapasitas fiskal Aceh
pada tahun 2019 terhitung sebesar 8.891.453,30 mengalami
penurunan dari kapasitas fiskal di tahun 2018 yang sebesar
11.2415.686,88. Penurunan kapasitas fiskal tersebut mengalami
anomali karena jumlah penduduk miskin Aceh mengalami penurunan,
yang pada tahun 2018 sebanyak 831 ribu orang, menjadi 810 ribu
orang di tahun 2019.
Secara teori, turunnya kapasitas fiskal daerah menunjukkan
penurunan kemampuan daerah untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin. Disisi lain angka kemiskinan Aceh masih sangat tinggi dengan
indikasi pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan
yang masih lambat dijalankan pemerintah.
4.8 PERKEMBANGAN BELANJA DAERAH WAJIB
Mandatory spending adalah alokasi belanja wajib yang diatur
undang-undang. Tujuannya adalah mengurangi masalah
ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam
tata kelola keuangan pemerintah daerah meliputi alokasi pendidikan,
alokasi kesehatan, penggunaan dana transfer umum, dan alokasi
dana desa.
Tabel 4.8 Perkembangan Belanja per Fungsi
URAIAN Realisasi Proporsi Realisasi
Pelayanan Umum 13.977.328.898.945 33,70%
Pertahanan 22.440.279.203 0,05%
Ketertiban dan Keamanan 455.182.014.121 1,10%
Ekonomi 3.295.854.680.247 7,95%
Lingkungan Hidup 374.335.165.337 0,90%
Perumahan dan Fasilitas Umum 6.375.157.717.655 15,37%
Kesehatan 6.538.672.751.958 15,76%
Pariwaisata 403.719.730.457 0,97%
Agama 221.576.302.842 0,53%
Pendidikan 9.073.957.300.667 21,88%
Perlindungan Sosial 741.398.122.197 1,79%
TOTAL 41.479.622963.629 100,00%
Sumber: BPKA, 2020 (diolah)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD | Bab IV
Annual Regional Fiscal Report 2019 77
4.8.1 Belanja Daerah Sektor Pendidikan
Sektor pendidikan aceh telah teralisasi
sebesar Rp9,07 triliun atau sebesar
21,88 persen dari total realisasi
Dalam tabel 4.8, terlihat belanja wajib pada bidang pendidikan
di Aceh telah dialokasikan sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4)
dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
49 ayat (1) yaitu minimal sebesar 20 persen. Dalam belanja di sektor
pendidikan aceh telah teralisasi sebesar Rp9,07 triliun atau sebesar
21,88 persen dari total realisasi. Hal ini menandakan bahwa
Pemerintah Aceh serius dalam pengembangan sumber daya manusia
di Provinsi Aceh.
4.8.2 Belanja Daerah Sektor Kesehatan
Sektor kesehatan aceh telah teralisasi
sebesar Rp6,53 triliun atau sebesar
15,76 persen dari total realisasi
Dalam tabel 4.8, terlihat belanja wajib pada bidang kesehatan
di Aceh telah dialokasikan sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4)
dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
49 ayat (1) yaitu minimal sebesar 10 persen. Dalam belanja di sektor
kesehatan aceh telah teralisasi sebesar Rp6,53 triliun atau sebesar
15,76 persen dari total realisasi. Hal ini sejalan dengan program
Pemerintah Aceh dalam penanganan kesehatan dengan adanya
program JKA (Jaminan Kesehatan Aceh).
4.8.3 Belanja Infrastruktur Daerah
Belanja di sektor Infrastruktur
Daerah aceh telah teralisasi sebesar
Rp23,64 triliun atau sebesar 57,01
persen dari total realisasi
Dalam tabel 4.8, terlihat belanja wajib pada bidang
Infrastruktur Daerah di Aceh telah dialokasikan sesuai amanat UUD
1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1) yaitu minimal sebesar 25
persen dari DTU. Alokasi ini digunakan untuk belanja infrastruktur
daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan
fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan
kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi
kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah.Dalam belanja
di sektor Infrastruktur Daerah aceh telah teralisasi sebesar Rp23,64
triliun atau sebesar 57,01 persen dari total realisasi. Hal ini sejalan
dengan program Pemerintah Pusat dalam dalam pembangunan
infrastruktur demi menunjang program prioritas nasional..
Bab IV | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD
78 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Boks 2. Berita Terpilih: Sumber Pendapatan Daerah Aceh
65 Persen Pendapatan Aceh dari Sektor Pajak Kendaraan
Redelong: Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyampaikan bahwa hamper 90 persen
pembiayaan negara berasal dari sektor pajak, dan masih sebagian kecil dari ekspor.
Kasubid Pendapatan Asli Aceh (PAA) Samsat Aceh Dajui membenarkan pernyataan orang
nomor satu di Aceh tersebut.
Dajui menyatakan, di Aceh saja pendapatan dari sektor pajak kendaraan mencapai 65 persen
menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.
“Secara umum Aceh pendapatan dari kendaraan bermotor itu merupakan sektor utama, 65
persen dari pajak kendaraan bermotor kita PAD, jadi sangat menentukan pajak kita dari
Samsat, menghasilkan dari sumber pembangunan di Pemerintah Aceh khususnya,” ujar
Kasubid Pendapatan Asli Aceh (PAA) Samsat Aceh Dajui, di release RRI, Minggu
(26/1/2020).
Tambah Kasubid Pendapatan Asli Aceh (PAA) Samsat Aceh Dajui, upaya peningkatan
pendapatan dari sektor pajak akan terus dilakukan Samsat Aceh.
Diantaranya dengan penambahan layanan Samsat keliling dan membayar pajak tanpa harus
repot mendatangi Samsat.
Bahkan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah meminta inovasi agar dalam pembayaran pajak
tidak lagi menggunakan uang cash atau setor secara tunai.
Sumber:
http://rri.co.id/takengon/post/berita/776941/ekonomi/65_persen_pendapatan_aceh_dari_sek
tor_pajak_kendaraan.html
BAB vperkembangan dan analisispelaksanaan anggarankonsolidasian (apbn & apbd)
Pantai LampuukPantai Lampuuk yang berada di KabupatenAceh Besar, juga tidak kalah cantik dan indahpemandangannya dan menjadi salah satu tempatberwisata favorit dengan keluarga.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian | Bab V
Annual Regional Fiscal Report 2019 79
5.1 LAPORAN REALISASI ANGGARAN KONSOLIDASIAN
Laporan Keuangan Pemerintah
Konsolidasi disusun dengan cara meng-
konsolidasikan informasi keuangan
dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat dengan informasi
keuangan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah.
Untuk memberikan intervensi dalam perekonomian suatu
negara/daerah, pemerintah menjalankan perannya melalui kebijakan
fiskal. Pelaksanaan kebijakan fiskal tersebut berupa pelaksanaan
belanja yang terencana dalam rangka pelaksanaan program –
program prioritas nasional serta program-program penunjang lain,
dengan ditunjang sumber daya penerimaan negara yang memadahi,
demi stabilitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dalam
konteks perekonomian dan pelaksanaan kebijakan fiskal di Provinsi
Aceh, komponen pendapatan dan belanja pemerintah terdiri dari
komponen APBN dan APBD dalam sistematika keuangan konsolidasi.
Laporan Keuangan Pemerintah Konsolidasi (LKPK) disusun
dengan cara mengkonsolidasikan data/informasi keuangan dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dengan data/informasi
keuangan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Tabel 5.1 LRA Konsolidasian Tingkat Wilayah Provinsi Aceh (dalam miliar Rp)
Uraian
2018 2019 %
kenaikan/
penurunan Pusat Daerah Konsolidasi Pusat Daerah Konsolidasi
Pendapatan Negara 5.160,22 37.841,05 43.001,27 5.524,61 41.540,47 47.065,08 9,45%
Pendapatan Perpajakan 4.263,78 1.712,31 5.976,09 4.591,95 1.895,99 6.487,94 8,56%
PNBP 896,44 2.868,53 3.764,97 932,66 3.315,70 4.248,36 12,84%
Hibah 0,00 188,08 188,08 0,00 384,44 384,44 104,40%
Transfer 0,00 33.072,13 33.072,13 0,00 35.944,34 35.944,34 8,68%
Belanja Negara 13.400,83 44.622,11 58.022,94 50.701,65 41.479,62 92.181,27 58,87%
Belanja Pemerintah 13.400,83 30.981,75 44.382,58 14.757,31 41.479,62 56.236,93 26,71%
Transfer 0,00 13.640,36 13.640,36 35.944,34 0,00 35.944,34 163,51%
Surplus/(Defisit) (8.240,61) (6.781,06) (15.021,67) (45.177,03) 60,85 (45.116,19) 5,43%
Pembiayaan 0,00 2.705,53 2.775,89 0,00 4.260,21 4.468,38 60,97%
Penerimaan Pembiayaan 0,00 2.740,71 2.740,71 0,00 4.364,30 4.364,30 59,24%
Pengeluaran Pembiayaan 0,00 35,18 35,18 0,00 104,09 104,09 195,87%
SILPA (8.240,61) (4.075,53) (12.245,78) (45.177,03) 4.321,06 (40.647,81) 2,93%
Sumber: MEBE, OMSPAN, BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Perkembangan dan Analisis
Pelaksanaan Anggaran
Konsolidasian (APBN&APBD)
Bab V | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian
80 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
70,78%
29,22%
Pusat Daerah
100% 100%
21,95%
78,0
5%
Jika digabungkan APBN dan ABPD,
terjadi penurunan realisasi baik pada
pendapatan maupun belanja
pemerintah.
Jika digabungkan antara APBN dan APBD di Provinsi Aceh,
terjadi peningkatan realisasi baik pada pendapatan maupun belanja.
Tercatat bahwa pendapatan konsolidasi pada tahun 2019 terealisasi
sebesar Rp47,06 triliun, naik 9,45 persen jika dibandingkan tahun
sebelumnya yang sebesar Rp43,00 triliun. Kenaikan tersebut terjadi
baik pada komponen pendapatan pusat maupun pendapatan daerah.
Dari komponen belanja konsolidasi terjadi kenaikan realisasi.
Pada tahun 2019 belanja pemerintah tercatat terealisasi sebesar
Rp92,18 triliun, meningkat 58,87 persen dibanding tahun sebelumnya
yang sebesar Rp58,02 triliun. Kenaikan tersebut terjadi baik pada
komponen belanja pusat maupun daerah.
5.2 PENDAPATAN KONSOLIDASIAN
5.2.1 Analisis Proporsi dan Perbandingan
Grafik 5.1 Perbandingan Komposisi Pendapatan Konsolidasian
Sumber: MEBE, OMSPAN, BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Pendapatan Transfer menjadi
kontributor terbesar dalam
struktur pendapatan konsolidasi.
Di antara empat jenis pendapatan negara konsolidasian,
realisasi pendapatan transfer pada tahun 2019 memiliki proporsi
paling besar dibandingkan dengan jenis pendapatan yang lain, yaitu
sebesar 76,37 persen dari total pendapatan konsolidasi 2019. Angka
tersebut cukup jauh jika dibandingkan pendapatan pajak dengan
proporsi terbesar kedua sebesar 13,79 persen dari total pendapatan
konsolidasi 2019. Hal ini menandakan bahwa sumber pendapatan
Perpajakan
13,79%
PNBP
9,03%
Hibah
0,82%
Transfer
76,37%
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian | Bab V
Annual Regional Fiscal Report 2019 81
Dari seluruh jenis pendapatan
konsolidasi, hanya pendapatan pajak
yang di dominasi oleh pendapatan
pusat
yang ada di Aceh saat ini masih belum mampu untuk menutup
kebutuhan pendanaan pemerintah di Aceh, sehingga ketergantungan
terhadap dana transfer dari pemerintah pusat masih sangat tinggi.
Hanya pendapatan perpajakan yang didominasi oleh
pendapatan dari pemerintah pusat dengan persentase 70,78 persen
dari total pendapatan pajak. Jenis pendapatan yang lain seluruhnya
didominasi realisasi pendapatan dari pemerintah daerah. PNBP
didominasi pemerintah daerah dengan rasio sebesar 78,05 persen
dari total PNBP konsolidasi. Sedangkan Pendapatan Hibah dan
Pendapatan Transfer secara keseluruhan bersumber dari pendapatan
yang berasal dari pemerintah daerah.
Grafik 5.2 Perbandingan Persentase Perubahan Pendapatan Konsolidasian
Sumber: MEBE, OMSPAN, BPKA dan SIMTRADA DJPK, 2020 (diolah)
Tahun 2019,seluruh jenis pendapatan
mengalami peningkatan
realisasi dari tahun sebelumnya
Jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2018, seluruh
jenis pendapatan mengalami kenaikan realisasi di tahun 2019. Secara
nominal kenaikan terbesar terjadi pada pendapatan transfer sebesar
Rp2,87 triliun dari tahun sebelumnya. Hal ini terkait kenaikan alokasi
dana transfer untuk Provinsi Aceh di tahun 2019.
Jika dilihat secara persentase, Pendapatan Hibah pada tahun
2018 mengalami kenaikan realisasi paling signifikan yaitu sebesar
104,40 persen dari Pendapatan Hibah tahun sebelumnya. Kenaikan
ini disebabkan adanya kucuran dana hibah dari pemerintah pusat
kepada hampir seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh pada tahun
2019.
5.2.2 Rasio Pajak per Kapita Provinsi Aceh
Pajak perkapita adalah perbandingan antara jumlah
penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah
Perpajakan PNBP Hibah Transfer
Tahun 2019 6.487,94 4.248,36 384,44 35.944,34
Tahun 2018 5.976,09 3.764,97 188,08 33.072,13
% Perubahan 8,56% 12,84% 104,40% 8,68%
8,56%12,84%
104,40%
8,68%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
120,00%
0,00
5.000,00
10.000,00
15.000,00
20.000,00
25.000,00
30.000,00
35.000,00
40.000,00
(mili
ar
Rp
)
Bab V | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian
82 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
jumlah penduduknya. Pajak perkapita menunjukkan kontribusi setiap
penduduk pada pendapatan perpajakan suatu daerah.
Tabel 5.2 Rasio Pajak per Kapita Aceh dalam 5 Tahun Terakhir
Uraian 2015 2016 2017 2018 2019
Pajak Konsolidasi
(juta rupiah) 5.693.690,00 6.069.793,49 6.116.690,13 5.976.097,92 6.487.940,69
Jumlah Penduduk
(jiwa) 5.001.953 5.096.248 5.189.466 5.302.933 5.371.532
Rasio pajak per kapita
(juta rupiah/jiwa) 1,14 1,19 1,18 1,13 1,21
Sumber: OMSPAN, BPKA dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
Rasio pajak per kapita Aceh tahun
2019 naik dibanding tahun
2018.
Pada tahun 2019, angka pajak perkapita terhitung sebesar
1,21 juta rupiah per jiwa, mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun
2018 yang sebesar 1,13 juta rupiah per jiwa. Kenaikan jumlah
penduduk Aceh tahun 2019 berdampak terhadap kenaikan realisasi
penerimaan pajak di Aceh tahun 2019. Hal ini juga menjadi pemutus
tren penurunan rasio pajak perkapita sejak tahun 2016.
5.2.3 Analisis Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kenaikan Realisasi Pendapatan Konsolidasi
Rasio pajak konsolidasi dan
rasio pendapatan (gabungan pajak + PNBP) mengalami
Kenaikan dibanding tahun sebelumnya.
Rasio pajak konsolidasian di Aceh pada tahun 2019 sebesar
3,95 persen. Kenaikan realisasi pajak berdampak pada naiknya angka
rasio pajak sebesar 12 basis poin dari tahun sebelumnya yang
sebesar 3,83 persen. Hal tersebut dikarenakan peningkatan PDRB
Aceh yang cukup signifikan dibarengi dengan peningkatan
penerimaan perpajakan. Data tersebut mengindikasikan bahwa pada
tahun 2019 tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak
mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyempurnaan sistem administrasi perpajakan serta pengawasan
yang lebih intensif pada sektor usaha tertentu yang memberikan
kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak mampu
meningkatkan realisasi pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah.
Tabel 5.3 Perkembangan Rasio Pajak dan Rasio Pendapatan Aceh terhadap PDRB Aceh (dalam triliun Rp)
Uraian 2015 2016 2017 2018 2019
Penerimaan Pajak (Pusat+Daerah) 5,82 6,07 6,12 5,98 6,49
PNBP (Pusat+Daerah) 2,78 3,18 3,72 3,76 4,25
Total Pajak+PNBP 8,60 9,25 9,84 9,74 10,74
PDRB Aceh 128,89 137,28 145,81 155,91 164,21
Rasio Pajak (%) 4,52% 4,42% 4,19% 3,83% 3,95%
Rasio Pendapatan Gabungan terhadap PDRB (%) 6,67% 6,74% 6,75% 6,25% 6,54%
Sumber: OMSPAN, BPKA dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian | Bab V
Annual Regional Fiscal Report 2019 83
Pajak dan PNBP mengalami
kenaikan realisasi yang cukup
signifikan dibanding tahun lalu.
Jika dijumlahkan antara penerimaan pajak dengan PNBP dan
dibandingkan dengan PDRB Aceh, angka rasio penerimaan
gabungan tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2019. Tercatat
rasio pendapatan gabungan pada tahun 2019 sebesar 6,54 persen,
naik sebesar 29 basis poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,24
persen. Kenaikan tersebut disebabkan adanya kenaikan yang cukup
signifikan pada penerimaan pajak dan PNBP. Hal ini juga
mengindikasikan adanya peningkatan capaian pemerintah, baik pusat
maupun daerah, dalam menggali potensi penerimaan yang ada di
daerah, khususnya pada perpajakan.
5.3 BELANJA KONSOLIDASIAN
5.3.1 Analisis Proporsi dan Perbandingan
Pajak dan PNBP mengalami
kenaikan realisasi yang cukup
signifikan dibanding tahun lalu.
Belanja konsolidasi pada Provinsi Aceh terbagi dalam 10
(sepuluh) jenis belanja, antara lain Belanja Pegawai, Belanja Barang
dan Jasa, Belanja Modal, Belanja Bantuan Keuangan, Belanja Bunga,
Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Tak
Terduga, dan Belanja Bagi Hasil. Diantara sepuluh jenis belanja
tersebut, komponen belanja dari pemerintah pusat hanya terdapat
pada empat jenis belanja, yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang,
Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial. Sedangkan terdapat
enam jenis belanja yang hanya dilaksanakan oleh pemerintah daerah
melalui mekanisme APBD, yaitu Belanja Bunga, Belanja Subsidi,
Belanja Hibah, Belanja Tak Terduga, Belanja Bagi Hasil dan Belanja
Bantuan Keuangan.
Grafik 5.3 Perbandingan Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Tahun 2019
Sumber: MEBE, OMSPAN dan BPKA, 2020 (diolah)
12.087,73
10.758,35
8.398,34
6.996,19
2.368,62
590,50
210,24 58,68 8,33 2,65
6.543,46
5.334,36
2.840,88
38,60
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
BelanjaPegawai
BelanjaBarang dan
Jasa
BelanjaModal
BelanjaBantuan
Keuangan
BelanjaHibah
BantuanSosial
Belanja BagiHasil
Belanja TakTerduga
BelanjaSubsidi
BelanjaBunga
Daerah Pusat
(mili
ar R
p)
Bab V | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian
84 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
30,34%
27,55%
15,26%
23,49%
2,10%
1,14% 0,00%
0,09%0,01%
0,005%
2018
Mayoritas realisasi belanja di Aceh
merupakan belanja daerah, dengan
rasio perbandingan dengan belanja
pusat sebesar 73,76% : 26,24%
Dari grafik 5.3 diatas terlihat bahwa baik komposisi belanja
pusat maupun belanja daerah sama-sama didominasi oleh Belanja
Pegawai, dengan proporsi masing-masing sebesar 44,34 persen
pada belanja pusat dan 29,14 persen pada belanja daerah.
Secara keseluruhan, mayoritas realisasi belanja di Aceh
merupakan belanja daerah dengan persentase proporsi sebesar
73,76 persen, berbanding belanja pemerintah pusat yang hanya
sebesar 26,24 persen. Hal ini dikarenakan alokasi yang besar pada
belanja APBD serta disisi lain alokasi belanja APBN terfokus kepada
transfer ke daerah. Hal mengindikasikan bahwa pemerintah kini
semakin kuat dalam menerapkan konsep desentralisasi fiskal dengan
berfokus pada peningkatan fiscal space di Pemerintah Daerah, dan
mengurangi alokasi untuk Belanja Pemerintah Pusat yang diharapkan
dapat semakin mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah.
Grafik 5.4 Perubahan Komposisi Belanja per Jenis Belanja Tahun 2019 dari tahun 2018
Sumber: MEBE, OMSPAN dan BPKA, 2020 (diolah)
Dibanding tahun 2018, proporsi
realisasi belanja pegawai meningkat
pada tahun 2019, sejalan dengan
proporsi realisasi belanja modal yang
juga naik.
Jika dibandingkan komposisi realisasi per jenis belanja antara
tahun 2019 dengan tahun 2018 terlihat tidak ada perubahan yang
cukup signifikan, dengan Belanja Pegawai masih sama-sama
dominan dari total realisasi belanja. Meskipun terjadi beberapa
pergeseran proporsi realisasi dimana Belanja pegawai pada tahun
2019 mengalami kenaikan persentase proporsi sebesar 279 basis
poin dari tahun 2018, kondisi tersebut sejalan dengan kebijakan
pemerintah dalam hal peningkatan kualitas pelaksanaan anggaran
dikarenakan proporsi realisasi Belanja Modal sebagai tolok ukur
belanja produktif pemerintah juga mengalami kenaikan dibanding
tahun sebelumnya.
33,13%
28,62%
19,99%
12,44%
4,21%
1,12%
0,37% 0,10%
0,01%0,005%
2019
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Belanja Bantuan Keuangan
Belanja Hibah
Bantuan Sosial
Belanja Bagi Hasil
Belanja Tak Terduga
Belanja Subsidi
Belanja Bunga
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian | Bab V
Annual Regional Fiscal Report 2019 85
5.3.2 Analisis Rasio Belanja Konsolidasi Terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja konsolidasian terhadap jumlah penduduk
(belanja konsolidasian per kapita) menunjukkan seberapa besar
belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang digunakan
untuk menyejahterakan per penduduk di suatu daerah. Semakin
besar nilainya, semakin besar belanja yang dikeluarkan untuk
menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut.
Tabel 5.4 Perkembangan Rasio Belanja Konsolidasian Terhadap Jumlah Penduduk di Provinsi Aceh
Uraian 2015 2016 2017 2018 2019
Belanja Pusat (miliar Rp) 12.302,03 11.354,36 12.071,23 13.441,59 14.757,31
Belanja Daerah (miliar Rp) 37.717,50 41.635,05 43.104,10 44.622,12 41.479,62
Belanja Konsolidasi (miliar Rp) 50.019,53 52.989,41 55.175,33 58.063,71 56.236,93
Jumlah Penduduk (jiwa) 5.001.953 5.096.248 5.189.466 5.302.933 5.371.532
Belanja Konsolidasian per Kapita
(juta Rp/jiwa) 10,00 10,40 10,63 10,95 10,47
Sumber: MEBE, OMSPAN, BPKA dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
Turunnya belanja
konsolidasian Aceh menyebabkan
turunnya belanja konsolidasian
perkapita
Tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa belanja konsolidasian
per kapita Provinsi Aceh pada tahun 2019 sebesar Rp10,47 juta/jiwa,
menurun dibandingkan tahun 2018 yang sebesar Rp10,95 juta/jiwa.
Hal tersebut menunjukkan adanya sedikit perubahan kebijakan
belanja yang dikeluarkan pemerintah untuk menyejahterakan per satu
orang penduduk di wilayah Aceh.
5.4 SURPLUS/DEFISIT KONSOLIDASIAN
5.4.1 Proporsi Realisasi Surplus/Defisit Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Surplus/Defisit Konsolidasian
Pada Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa Tahun 2019 pelaksanaan
anggaran konsolidasian di Provinsi Aceh mengalami Defisit sebesar
Rp45,11 triliun, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun
2018 yang mengalami defisit sebesar Rp15,02 triliun. Apabila dilihat
antara pusat dan daerah, defisit yang terjadi pada tahun 2019 sebesar
100,13 persen disumbang dari Pemerintah Pusat sedangkan
Pemerintah Daerah menyumbang sebesar -0,13 persen. Hal ini
berbeda jauh jika dibandingkan dengan tahun 2018, dimana defisit
konsolidasian yang terjadi disumbangkan dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah masing-masing 54,86 persen dan 45,14 persen.
Bab V | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian
86 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Grafik 5.5 Perbandingan Surplus/Defisit Konsolidasian Tahun 2019 dan 2018 (miliar Rp)
Sumber: MEBE, OMSPAN dan BPKA, 2020 (diolah)
5.4.2 Analisis Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB antar Kabupaten/Kota
Rasio ini menghitung perbandingan nilai surplus/defisit
Kab./Kota dengan nilai PDRB Kab./Kota. Rumus yang digunakan
dalam penghitungan Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB Kab./Kota
adalah:
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑆𝑢𝑟𝑝𝑙𝑢𝑠/𝐷𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑡 =𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑆𝑢𝑟𝑝𝑙𝑢𝑠/𝐷𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑡
𝑃𝐷𝑅𝐵 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎
Grafik 5.6 Rasio Surplus/Defisit terhadap PDRB Aceh 2018 dan 2019
Sumber: MEBE, OMSPAN dan BPKA, 2020 (diolah)
Semakin kecil resio defisit terhadap PDRB yang terjadi artinya
ini semakin baik. Pada tabel 5.6 terlihat bahwa rasio defisit Aceh
mengalami peningkatan dari tahun 2018. Tahun 2019 rasio defisit
yang terjadi adalah sebesar Rp(289,37) juta meningkat dari tahun
2018 yang sebesar Rp(91,48) juta, ini berarti terjadi penurunan kinerja
di Provinsi Aceh baik dari sisi penerimaan maupun belanja Pusat dan
Daerah.
(8.240,61) 60,85
(6.781,06)
(45.177,04)(15.021,67)
(45.116,19)(50.000,00)
(40.000,00)
(30.000,00)
(20.000,00)
(10.000,00)
0,00
10.000,00
2018 2019
Daerah Pusat Konsolidasian
(15.
021,
67)
(45.
116,
19)
164,
21
155,
91
-91,48
-289,37
-350,00
-300,00
-250,00
-200,00
-150,00
-100,00
-50,00
0,00
(1.000,00)
(800,00)
(600,00)
(400,00)
(200,00)
0,00
200,00
400,00
2018 2019
Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian | Bab V
Annual Regional Fiscal Report 2019 87
5.5 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL AGREGAT
5.5.1 Belanja Pemerintah Terhadap PDRB
Penyerapan anggaran
pemerintah akan membantu
pertumbuhan ekonomi
Secara konseptual dalam teori ekonomi makro, keterlibatan
pemerintah dalam perekonomian dapat dilihat dalam persamaan:
Y = C + I + G + (X - M)
Dimana Y=pendapatan nasional, C=konsumsi masyarakat,
I=investasi, G=pengeluaran pemerintah, X=ekspor, dan M=impor.
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa besaran pengeluaran
pemerintah mempunyai pengaruh terhadap besaran pendapatan
nasional/daerah (PDB/PDRB). Artinya semakin besar pengeluaran
pemerintah (G) semakin besar pula pendapatan nasional/daerah.
Peningkatan Y merupakan pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain
penyerapan anggaran pemerintah akan membantu pertumbuhan
ekonomi.
Grafik 5.5 Rasio Belanja Pemerintah (APBN + APBD) di Provinsi Aceh Terhadap PDRB Aceh
Sumber: MEBE, OMSPAN, BPKA dan BPS Aceh, 2020 (diolah)
Tahun 2019, rasio belanja pemerintah
terhadap PDRB turun dari tahun
sebelumnya
Konsumsi pemerintah menjadi salah satu kontributor yang
cukup krusial dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Grafik 5.5 diatas
menunjukkan perkembangan rasio realisasi belanja pemerintah
(pusat dan daerah) di Aceh terhadap perkembangan PDRB Aceh.
Pada tahun 2019, rasio belanja pemerintah terhadap PDRB Aceh
sebesar 34,25 persen. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan
rasio pada tahun 2018 yang sebesar 37,24 persen. Grafik 5.5 diatas
juga menunjukkan bahwa dari 2015-2018, baik realisasi belanja
pemerintah maupun PDRB sama-sama mengalami tren kenaikan.
Dalam hal ini dapat diambil suatu hipotesis bahwa belanja pemerintah
merupakan salah satu variabel penting yang kemungkinan dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh.
2015 2016 2017 2018 2019
Realisasi Belanja Pemerintah 50,02 52,99 55,18 58,06 56,24
PDRB Aceh 128,89 137,28 145,81 155,91 164,21
Rasio Belanja terhadap PDRB (%) 38,81% 38,60% 37,84% 37,24% 34,25%
38,81% 38,60%37,84%
37,24%
34,25%
30%
35%
40%
0
50
100
150
200
Bab V | Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan Anggaran Konsolidasian
88 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Boks 3. Berita Terpilih: Jalan Tol Sigli-Banda Aceh (Sibanceh)
Jalan Tol Sigli-Banda Aceh Ditargetkan Rampung Pada 2021
Bisnis.com, ACEH BESAR - Proyek jalan tol pertama di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yaitu Tol Sigli-Banda Aceh yang memiliki panjang total 74,2 kilometer ditargetkan bisa rampung seluruhnya pada 2021. Sebagai informasi, Jalan Tol Sigli-Banda Aceh terdiri dari enam seksi yaitu seksi 1 Padang Tiji-Seulimeum, seksi 2 Seulimeum-Jantho, seksi 3 Jantho-Indrapuri, seksi 4 Indrapuri-Blang Bintang, seksi 5 Blang Bintanh-Kuto Baro, dan seksi 6 Kuto Baro-Baitussalam. Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR Danang Parikesit mengungkapkan untuk seksi 4 target operasi pada Mei 2020, seksi 3 target operasi pada Desember 2020. Kemudian, seksi 1, 2, 5 dan 6 target operasi pada Desember 2021. "Kalau dari progres saat ini, pihak Hutama Karya dan Adhi Karya berkomitmen April 2020 seksi 4 bisa operasional. Diharapkan seksi 4 dapat operasional, tapi sekurang-kurangnya dapat fungsional tanpa tarif pada Lebaran 2020. [Secara keseluruhan target selesai] tahun 2021," kata Danang, Jumat (21/2/2020). Berdasarkan data, saat ini perkembangan konstruksi jalan tol yang dibangun sejak akhir 2018 dengan skema penugasan Pemerintah kepada PT Hutama Karya tersebut secara keseluruhan telah mencapai 29,76 persen. Khusus di Seksi 4 Indrapuri-Blang Bintang sepanjang 13,5 km progres konstruksinya saat ini 77,85% dengan pembebasan lahan capai 99,09 persen dan ditargetkan rampung sebelum Idul Fitri 2020. Adapun dengan rampungnya seksi 4 tersebut dinilai dapat mempermudah akses dari Banda Aceh ke Sigli dan sebaliknya dari Sigli - Indrapuri ke Bandara Udara Internasional Sultan Iskandar Muda yang berada di Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Selain itu, konstruksi Jalan Tol Banda Aceh-Sigli yang signifikan progresnya yakni pada Seksi 3 Jantho-Indrapuri (16 km) sebesar 42,22 persen dengan pembebasan lahan 95,98 persen. Sementara pada Seksi 1 Padang Tiji - Seulimeum (25,7 km) saat ini progres konstruksinya baru sekitar 1,04 persen dengan pembebasan lahan 12,72 persen. Selanjutnya Seksi 2 Seulimeum - Jantho (6,3 km) saat ini progresnya 24,25 persen dengan pembebasan lahan 81,68 persen. Adapun seksi 5 Blang Bintang-Kuto Baro (7,7 km) dengan progres 7,81 persen dengan pembebasan lahan 17,9 persen dan Seksi 6 Kuto Baro-Simpang Baitussalam (4,8 km) dengan progres 14,27 persen dengan pembebasan lahan 90,50 persen. Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Sugiyartanto mengatakan, pembebasan lahan di Seksi 1 dan 5 agak terhambat karena terdapat beberapa tanah wakaf berupa masjid. "Secara nilai penggantian sudah ada kesepakatan dan sedang proses, sambil melanjutkan konstruksi. Di seksi 1 juga direncanakan akan ada terowongan sepanjang kurang lebih 2 kilometer," katanya Sebagai informasi, pembangunan jalan tol Sigli-Babda Aceh merupakan salah satu ruas Tol Trans Sumatera yang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Adapun dengan dibangunnya tol akan memangkas jarak dan waktu tempuh perjalanan dari Banda Aceh ke Sigli dari sekitar 2-3 jam dengan kondisi jalan yang berkelok-kelok melalui perbukitan menjadi hanya satu jam perjalanan. Untuk mendukung pembebasan lahan, Pemerintah menggunakan skema dana talangan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Total investasi untuk pembangunan ruas tol Sigli – Banda Aceh ini adalah sebesar Rp12,35 Triliun dengan biaya konstruksi sebesar Rp8,99 triliun. Saat ini total progres pembebasan lahan di seluruh seksi sudah 61,61 persen. Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo memuji progres pembebasan lahan di Tol Sigli-Banda Aceh. Hal ini disampaikan Presiden ketika mengunjungi lokasi konstruksi Tol Sigli-Banda Aceh seksi 4 yaitu Indrapuri-Blang Bintang pada Jumat (21/2/2020). Presiden Jokowi menilai pembebasan lahan pembangunan jalan tol pertama di Aceh tersebut berjalan dengan sangat baik sehingga diharapkan pekerjaan konstruksi dapat selesai sesuai target pada 2021. Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200222/45/1204546/jalan-tol-sigli-banda-aceh-ditargetkan-rampung-pada-2021
BAB vikeunggulan dan potensi ekonomiserta tantangan fiskalregional
Pantai Ulee LheuePantai Ulee Lheue yang berada di ujungKota Banda Aceh, menyuguhi pemandangan yangindah dan nyaman, sangat enak untuk bersantai sambil menunggu matahari terbenam di sore hari.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 89
Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
mempunyai keunggulan dan potensi dengan karakteristik masing-
masing daerah yang tersebar pada 23 kabupaten/kota. Luas Provinsi
Aceh 5.677.081 ha dengan hutan sebagai lahan terluas yang
mencapai 2.270.080 ha diikuti lahan perkebunan 800.400 ha dan
areal industri sebagai lahan terkecil yaitu 3.298 ha (Map of Aceh
Investment Opportunities, DPMPTSP Aceh, 2018).
Kebijakan pembangunan di daerah berdasarkan pada
pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas unggulan. Sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan salah satu sektor
yang mendukung laju pertumbuhan ekonomi di Aceh. Sektor tersebut
merupakan sumber pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2019 yaitu
sebesar 0,99 persen.
Tabel 6.1 Persebaran Komoditi Aceh Kab/Kota Padi Jagung Kedelai Coklat
Kopi
Arabica
Kopi
Robusta Kelapa Pala
Buah
Pinang
Kelapa
Sawit Tebu Serai Karet Nilam
Simeulue √ √ - √ - - √ √ √ √ - - √ -
Aceh Singkil √ √ √ √ - √ √ √ √ √ - - √ √
Aceh Selatan √ √ - √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aceh Tenggara √ √ - √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aceh Timur √ √ - √ - √ √ - √ √ - - √ -
Aceh Tengah √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ - -
Aceh Barat √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ - √ √
Aceh Besar √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pidie √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ - √ -
Bireuen √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ - √ √
Aceh Utara √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √
Aceh Barat
Daya √ √ √ √ - √ √ √ √ √ - √ √ √
Gayo Lues √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √
Aceh Tamiang √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ - √ √
Nagan Raya √ √ √ √ - √ √ - √ √ √ √ √ √
Aceh Jaya √ √ √ √ - √ √ √ √ √ - - √ √
Bener Meriah √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ - - √
Pidie jaya √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ - √ √
Banda Aceh √ - - - - - - - - - - - - -
Sabang - √ - √ - - √ √ √ - - - - √
Langsa √ - - √ - - √ - √ √ √ - √ -
Lhokseumawe √ √ - √ - √ √ √ √ √ √ - √ -
Subulussalam √ √ √ √ - √ √ - √ √ - - √ √
Sumber: Map of Aceh Investment Opportunities, DPMPTSP Aceh, 2018
Keunggulan dan Potensi
Ekonomi Serta Tantangan
Fiskal Regional
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
90 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Berdasarkan geografis wilayah, sebagian besar daerah
berada di dataran rendah dan dataran tinggi. Potensi perikanan baik
perikanan tangkap dan perikanan budidaya berada di seluruh daerah
di Aceh. Kabupaten Simeulue dan Kota Sabang merupakan daerah
kepulauan yang terpisah dari daratan Sumatera. Sebagai kabupaten
kepulauan, sebagian besar penduduk Kabupaten Simeulue bermata
pencaharian di laut.
Dalam pembahasan KFR ini, akan melihat potensi subsektor
perikanan yang memberikan kontribusi besar pada nilai PDRB
Kabupaten Simeulue. Dari sisi nilai rupiah, Sektor Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan memberikan kontribusi terbesar laju
pertumbuhan perekonomian Kabupaten Simeulue.
Grafik 6.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kab. Simeulue tahun 2014 s.d 2018
Sumber: BPSP Aceh, 2020 (diolah)
Untuk data perikanan Kabupaten Simeulue yang digunakan
berdasarkan data sampai dengan tahun 2018 dikarenakan data tahun
2019 belum tersedia. Termasuk dilakukan wawancara dengan Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Simeulue. Selanjutnya alat
analisis Tipologi Klassen yang digunakan untuk klasifikasi subsektor
perikanan berdasarkan data perikanan Kabupaten Simeulue. Analisis
Tipologi Klassen dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan
subsektor perikanan di Kabupaten Simeulue dengan pertumbuhan
PDRB Kabupaten Simeulue dan membandingkan kontribusi
subsektor perikanan dengan kontribusi PDRB Kabupaten Simeulue.
Hasil analisis tersebut akan menunjukkan posisi pertumbuhan dan
kontribusi subsektor perikanan di Kabupaten Simeulue. Komoditi
berdasarkan Tipologi Klassen dapat diklasifikasikan menjadi komoditi
prima/unggulan, komoditi potensial, komoditi berkembang dan
komoditi terbelakang.
4,334,31
4,55
4,42
4,48
4,15
4,20
4,25
4,30
4,35
4,40
4,45
4,50
4,55
4,60
2014 2015 2016 2017 2018
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 91
6.1 SEKTOR UNGGULAN DAERAH
Kabupaten Simeulue memiliki 10 kecamatan dengan pulau
sebanyak 147 pulau mempunyai jumlah nelayan pada tahun 2018
sebanyak 3.947 orang dan kelompok nelayan sebanyak 103
kelompok. Kapal penangkapan ikan terdiri dari tanpa motor 963 unit,
perahu motor kurang dari 1 Gross Ton (GT) sebanyak 1.868 unit, 1
s.d 5 GT sebanyak 407 unit, 5 s.d 10 GT sebanyak 37 unit dan 10 s.d
20 GT sebanyak 14 unit.
Untuk tahun 2018 menghasilkan nilai produksi perikanan
tangkap sebesar Rp560,8 miliar dan perikanan budidaya sebesar
Rp858,5 juta. Jumlah produksi perikanan tangkap dan perikanan
budidaya di Kabupaten Simeulue periode tahun 2014 s.d 2018 terlihat
pada tabel berikut.
Tabel 6.2 Produksi Perikanan Kabupaten Simeulue
No Tahun Perikanan Tangkap (ton) Perikanan Budidaya (ton)
1 2018 16,430.77 24.66
2 2017 14,130.28 31.24
3 2016 14,653.00 23.73
4 2015 13,965.60 15.93
5 2014 12,696.00 13.76 Sumber: Buku Statistik Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Simeulue, 2018 (diolah)
Realisasi produksi perikanan tangkap tahun 2018 mengalami
kenaikan sebesar 2.300,49 ton atau 16,28 persen dibandingkan
realisasi capaian tahun 2017. Namun untuk produksi perikanan
budidaya mengalami penurunan sebesar 21,06 persen dari realisasi
capaian tahun 2017. Dalam lima tahun terakhir produksi perikanan
mengalami kenaikan dengan terdapat sedikit penurunan pada
perikanan tangkap tahun 2017 dibandingkan tahun 2016.
Produksi perikanan terbanyak berdasarkan jenis ikan pada
tahun 2018 yaitu gurita, kakap, kuwe, kerapu, tuna/cakalang dan
tongkol seperti pada tabel 6.3. Harga rata-rata di tingkat produsen
(nelayan) menurut jenis ikannya yang paling tinggi adalah teripang
dengan harga Rp200 juta/ton diikuti dengan lobster Rp180 juta/ton.
Nilai yang dihasilkan kedua jenis ikan tersebut sangat luarbiasa dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Sedangkan harga rata-
rata terendah adalah Rp10 juta/ton untuk ikan pari.
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
92 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Tabel 6.3 Produksi Perikanan Laut menurut Jenis Ikan Kabupaten Simeulue tahun 2014 s.d 2018 (per ton)
No Jenis Ikan 2014 2015 2016 2017 2018
1 Tuna/Cakalang 398.00 563.00 620.00 988.77 1,052.50
2 Tongkol 2.60 10.36 17.02 1,976.19 1,043.99
3 Kerapu 519.00 1,041.00 1,153.00 1,189.58 1,235.27
4 Tenggiri 412.00 525.00 590.00 426.29 594.98
5 Kembung 346.00 1,132.00 1,246.00 475.76 633.24
6 Kuwe 1,782.00 3,888.00 3,995.00 1,280.80 1,337.06
7 Kurisi 158.00 743.00 825.00 742.37 644.33
8 Selar 134.00 200.00 234.00 511.70 516.08
9 Lemuru 293.00 389.00 397.00 271.10 487.14
10 Ekor Kuning 132.00 236.00 255.00 392.06 559.33
11 Barakuda/Alu-Alu 108.00 209.00 221.00 173.73 317.25
12 Pari 20.00 22.58 23.48 293.80 372.70
13 Cumi-Cumi 28.00 32.09 32.64 188.68 301.97
14 Teri 449.00 750.00 787.00 504.38 270.39
15 Kepiting 27.00 34.39 36.82 116.80 93.16
16 Kakap 525.00 572.00 617.00 1,486.21 1,579.63
17 Lobster 25.00 27.33 28.47 208.66 334.49
18 Teripang 13.00 16.85 19.21 72.20 360.31
19 Gurita 249.58 236.00 308.06 987.45 1,747.49
20 Ikan Lainnya 7,074.82 3,338.00 3,247.30 1,843.75 2,949.47 Sumber: Buku Statistik Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Simeulue, 2018 (diolah)
Untuk produksi pengolahan dan pemasaran hasil perikanan
tahun 2018 sebesar 192,43 ton dengan nilai Rp28,43 miliar. Produksi
pengolahan hasil perikanan seperti ikan asin, ikan asap, ikan kayu,
dendeng ikan, naget ikan, abon ikan, kerupuk ikan, bakso ikan,
empek-empek ikan, stik ikan, fillet ikan, otak-otak panggang, minyak
ikan, teripang kering, kerupuk teripang, minyak teripang, kaki naga,
surimi, agar-agar rumput laut, kerupuk rumput laut dan olahan lainnya.
Sedangkan jumlah tenaga kerja pengolahan dan pemasaran
sebanyak 320 orang dan 10 kelompok.
Hasil dari alat analisis Tipologi Klassen untuk Komoditi
Produksi Perikanan Menurut Jenis Ikan berdasarkan matriks Tipologi
Klassen, yaitu:
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 93
Tabel 6.4 Matriks Tipologi Klassen Komoditi Produksi Perikanan Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Simeulue
Sumber: Analisis Data Perikanan Kabupaten Simeulue, 2020 (diolah)
Berdasarkan analisis Tipologi Klassen pada tabel diatas
adalah sebagai berikut:
a) Komoditi Unggul
Komoditi Unggul adalah komoditi yang mempunyai laju
pertumbuhan yang cepat dan memberikan kontribusi yang besar
terhadap PDRB Kabupaten Simeulue. Komoditi produksi
perikanan menurut jenis ikan yang termasuk dalam klasifikasi
komoditi unggul yaitu tuna/cakalang, kakap, gurita, kerapu, kuwe,
tongkol dan ikan lainnya. Ketujuh komoditi dikatakan komoditi
unggul karena pertumbuhan komoditinya cepat dan mempunyai
kontribusi yang cepat.
b) Komoditi Potensial
Komoditi Potensial adalah komoditi produksi perikanan menurut
jenis ikan yang mempunyai ciri, yaitu memiliki tingkat laju
pertumbuhan yang lambat tetapi kontribusi yang besar
dibandingkan PDRB Kabupaten Simeulue. Dari hasil analisis
Tipologi Klassen terdapat tiga komoditi potensial yaitu lobster,
kepiting dan teripang. Ketiga komoditi ini memiliki keunggulan
yaitu memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan PDRB
Kabupaten Simeulue. Harga lobster dan teripang yang sangat
Kontribusi Komoditi
Kontribusi besar
(kontribusi komoditi ≥ kontribusi
PDRB Kabupaten Simeulue)
Kontribusi kecil
(kontribusi komoditi < kontribusi
PDRB Kabupaten Simeulue)
La
ju P
ert
um
bu
ha
n K
om
od
iti
Tumbuh
Cepat
(komoditi ≥
PDRB)
Komoditi Unggul Komoditi Berkembang
1. Tuna/Cakalang 1. Kembung
2. Kakap 2. Tenggiri
3. Gurita 3. Selar
4. Kerapu 4. Ekor Kuning
5. Kuwe 5. Kurisi
6. Tongkol 6. Cumi-cumi
7. Ikan lainnya 7. Lemuru
Tumbuh
Lambat
(komoditi <
PDRB)
Komoditi Potensial Komoditi Terbelakang
1.Lobster 1.Teri
2.Kepiting 2.Barakuda/Alu-Alu
3. Teripang 3.Pari
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
94 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
tinggi di pasaran mempunyai kontribusi yang besar dalam laju
pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Simeulue.
c) Komoditi Berkembang
Komoditi Berkembang adalah komoditi yang mempunyai laju
pertumbuhan yang cepat tapi kontribusi yang diberikan kecil.
Terdapat 7 macam komoditi yaitu kembung, tenggiri, selar, ekor
kuning, kurisi, cumi-cumi dan lemuru dalam klasifikasi ini
termasuk komoditi berkembang karena mempunyai pertumbuhan
yang cepat tapi di sisi lain kontribusinya kecil.
d) Komoditi Terbelakang
Komoditi Terbelakang adalah komoditi yang mempunyai laju
pertumbuhan yang lambat dan memberikan kontribusi yang kecil.
Ketiga jenis komoditi dalam klasifikasi ini yaitu teri, barakuda/alu-
alu dan pari mempunyai pertumbuhan yang lambat dan
kontribusinya juga kecil.
6.2 SEKTOR POTENSIAL DAERAH
6.2.1 PLTA Peusangan : Sumber Energi Baru Terbarukan Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah
Sumber energi baru terbarukan adalah sumber energi ramah
lingkungan yang tidak mencemari lingkungan dan tidak memberikan
kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global, karena
energi yang didapatkan berasal dari proses alam yang berkelanjutan,
seperti sinar matahari, angin, air, biofuel, dan geothermal. Ini
menegaskan bahwa sumber energi telah tersedia, tidak merugikan
lingkungan, dan menjadi alasan utama mengapa EBT sangat terkait
dengan masalah lingkungan dan ekologi.
Persoalan energi merupakan kepentingan semua negara di
dunia. Energi bukanlah merupakan komoditas biasa, akan tetapi
merupakan komoditas strategis mengingat seluruh sistem dan
dinamika kehidupan manusia dan negara tergantung kepada energi
sebagai urat nadi kehidupan pada semua sektor. Program pemerintah
dalam rangka mewujudkan kemandirian energi nasional bukanlah hal
yang mustahil untuk dicapai. Keseriusan pemerintah yakni bagaimana
terus meningkatkan pasokan energi dengan memaksimalkan
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 95
berbagai potensi yang dimiliki dan belum tergarap maksimal.
Pengembangan pemanfaatan EBT merupakan upaya yang harus
didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketergantungan
akan energi fosil yang semakin menipis cadangannya akan membuat
indonesia terjerembab dalam krisis energi. sejatinya, antisipasi
terhadap krisis energi bisa diatasi yaitu dengan terus melakukan
pemanfaatan terhadap EBT.
Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan
EBT, diantaranya energi bayu (angin) sebesar 950 Megawatt, tenaga
surya sebesar 11 Gigawatt, tenaga air sebesar 75 Gigawatt, energi
biomasa 32 Megawatt, biofuel sebesar 32 Megawatt, potensi energi
laut sebesar 60 Gigawatt, dan panas bumi (Geothermal) yang
diperkirakan memiliki potensi sebesar 29 Gigawatt. Pemanfaatan EBT
hingga kini masih belum maksimal. Berdasarkan catatan Kementerian
Energi dan sumber daya Mineral (ESDM), bauran pemanfaatan
sumber energi per 2015 masih dikuasai oleh energi fosil. Jika dilihat
secara nasional, sumber energi dari minyak bumi masih menjadi
tumpuan utama masyarakat indonesia dengan persentase sebesar 47
persen. disusul kemudian batu bara dan gas bumi masing-masing
telah termanfaatkan 24 persen. sisanya, yaitu sebanyak lima persen,
EBT menyumbang porsinya dalam bauran pemanfaatan energi
nasional. Jika ditinjau, angka lima persen pun tergolong sedikit
lantaran hanya 59 juta setara barel minyak dalam setahun.
Bandingkan dengan konsumsi minyak bumi yang mencapai 550 juta
setara barel minyak per tahun. Padahal kenyataanya, pertumbuhan
konsumsi energi melonjak sampai delapan persen per tahun. Kondisi
ini tidak diimbangi dengan penemuan cadangan baru energi fosil
secara signifikan, menyusul berkurangnya kegiatan eksplorasi akibat
anjloknya harga minyak dunia.
Berangkat dari kondisi tersebut, pemerintah melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan
Energi Nasional akhirnya mengeluarkan jurus baru yang diyakini
ampuh, yakni menggenjot pemanfaatan EBT, dan mengerem
penggunaan sumber energi fosil. Dalam kebijakan tersebut, target
bauran EBT pada 2020 disebut sebesar 17 persen. sedangkan, pada
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
96 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
2025 mendatang, pemanfaatan EBT diharapkan sampai 23 persen.
Pemerintah telah merilis lima langkah pengembangan EBT. Pertama,
dengan menambah kapasitas pembangkit untuk produksi energi.
dalam beberapa tahun ke depan, pembangunan pembangkit listrik
tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP)
akan digencarkan. Langkah kedua, dengan menambah penyediaan
akses terhadap energi modern bagi daerah terisolasi, khususnya
pembangunan energi perdesaan dengan mikrohidro, tenaga surya,
biomassa, dan biogas. Ketiga, dengan mengurangi biaya subsidi
BBM, dimana substitusi PLTD dengan pembangkit EBT dapat
mengurangi subsidi. sedangkan, langkah keempat dan kelima adalah
mengurangi emisi gas rumah kaca dan penghematan energi besar-
besaran.
PLTA menjadi sebagai salah satu target pengembangan
pemanfaatan EBT, dimana potensi tenaga air di Indonesia
diperkirakan sebesar 74,9 GW yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Energi yang dapat dibangkitkan adalah sekitar 401.646
GWh per tahun yang setara dengan 2,5 juta barel BBM per hari yang
dibangkitkan dengan pembangkit tenaga termal. Sepertiga dari
potensi tenaga air tersebut terdapat di Irian Jaya dan sebagian besar
di Kalimantan dan Sumatera. Pemanfaatan tenaga air untuk PLTA
sampai saat ini kurang lebih 5,3 % dari seluruh potensi yang ada.
Dengan masih rendahnya persentasi pemanfaatan ini pengembangan
di masa yang akan datang perlu ditingkatkan dengan cara
pembangunan proyek terpadu untuk berbagai tujuan yang tidak hanya
untuk PLTA.
Sesuai dengan kondisi alam, pengembangan PLTA dapat
dibagi atas 2 jenis yaitu : tipe waduk dan tipe aliran langsung. Tipe
waduk dapat berupa bendungan (reservoir) dan keluaran danau (lake
outlet), sedangkan tipe aliran langsung dapat berupa aliran langsung
sungai (run-off river) dan aliran langsung dengan bendungan pendek
(run-off river with low head dam).
PLTA mempunyai kelebihan dibandingkan pembangkit listrik
tenaga termal. Beberapa kebaikan PLTA di antaranya :
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 97
• Masa guna melebihi 50 tahun dan dapat diperpanjang lagi melalui
renovasi kerena PLTA termasuk jenis energi yang terbarukan.
• Tingkat efisiensi dapat di atas 90 %.
• Peran PLTA dalam jaringan listrik disamping untuk substitusi
tenaga termal juga dapat berfungsi sebagai pemikul beban puncak
karena dapat cepat mengikuti perubahan beban tanpa harus
mengorbankan efisiensi.
Biaya pembangkitan PLTA relatif rendah bila dibandingkan
dengan pembangkit tenaga listrik lainnya. Secara umum biaya
investasi bervariasi antara 2.000 - 3.000 US $/kW. Sedangkan biaya
operasi dan perawatan berkisar antara 3 - 15 US $/kW. Biaya
pembangkitan PLTA dapat murah karena :
• Tidak memerlukan biaya untuk bahan bakar
• Umur teknis PLTA yang panjang bahkan dapat lebih dari 50 tahun
• Keandalan yang tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah unit
cadangan yang diperlukan, dan
• Pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan pada saat pembangunan.
Untuk keperluan pengembangan PLTA dan industri sangat
memerlukan investor asing. Peran pemerintah diharapkan untuk
membangun infrastruktur sedangkan investor asing untuk
pembangunan industri serta PLTA.
Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threat)
terdiri atas faktor internal yang bisa dikontrol dan faktor eksternal atau
lingkungan yang mungkin sulit dikontrol. Kedua sisi dianalisis supaya
dapat disusun suatu strategi sehingga tercapai keberhasilan dan
mempunyai daya saing. Dari faktor internal bisa diidentifikasi
kekuatan dan kelemahan (strength and weakness) sedangkan dari
faktor eksternal berupa peluang dan ancaman (opportunity and
threat). Berikut ini adalah analisis SWOT secara umum untuk
pembangunan sebuah PLTA :
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
98 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Tabel 6.5 Analisis SWOT Pembangunan PLTA
Aceh memiliki 9 kabupaten dan 4 kota dengan pelayanan
listrik 100%, sedangkan 9 kabupaten lainnya belum mencapai 100%
pelayanan. Pelayanan listrik terendah berada pada Kabupaten Bener
Meriah dengan pelayanan 94,84%. Secara keseluruhan 95,53% desa
telah terlayani dan 0,47% desa belum terlayani kebutuhan listrik.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik diperlukan
pembangunan sarana pembangkit, transmisi, dan distribusi dengan
memperhatikan sumber energi primer setempat. Potensi sumber
energi primer untuk pembangkit tenaga listrik di Aceh terdiri dari
potensi air, panas bumi, minyak bumi, gas, dan batubara.
Diperkirakan potensi sumber tenaga mencapai 1.655 MW yang
tersebar di 18 lokasi di wilayah Aceh. Potensi panas bumi yang dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik yang diperkirakan
sekitar 1.307 MWe yang tersebar di 19 lokasi.
Salah satu potensi yaitu air menjadi salah satu pilihan dalam
pembangunan sarana pembangkit listik di Aceh. PLTA Peusangan
Takengon merupakan salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) yang sedang dilaksanakan pembangunannya oleh
Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perencanaan pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) Peusangan Takengon dilaksanakan pada tahun
1976, dan Pembangunan PLTAPeusangan Takengon pada saat ini
merupakan kelanjutan dari pembangunan yang sempat terhenti
selama 10 tahun yang pelaksanaan pertama pada tahun 1998, yang
STRENGTHS Sumber energi air yang melimpah
dengan harga yang relatif murah
Akses ke bahan baku untuk industri
padat energi relatif mudah
WEAKNESS Sumber daya manusia yang masih
kurang, baik dalam kualitas maupun
kuantitas
Sumber dana pemerintah yang
terbatas
Kelemahan terhadap akses teknologi
OPPORTUNITIES Menghadapi era pasar global maka akan
lebih menguntungkan dengan
pembangunan industri yang dekat
dengan sumber energi dan bahan baku
Adanya kemudahan dan insentif bagi
investor yang berminat mengembangkan
sektor industri dan pariwisata
THREATS Ketergantungan pada pendanaan
bersyarat luar negeri
Tingkat erosi di sepanjang aliran
sungai relatif besar
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 99
diakibatkan oleh konflik di Aceh. Pelaksanaan kedua dilaksanakan
pada tahun 2011 hingga sekarang. Selama masa perencanaan,
pelaksanaan awal dan masa terhentinya pembangunan dan
pelaksanaan tahap kedua yakni sekitar 36 tahun, telah terjadinya
perubahan iklim, topography, dan keadaan lingkungan. Perubahan
iklim yang terjadi berpengaruh kepada perubahan curah hujan dan di
ikuti oleh terjadinya fluktuasi debit air sungai Peusangan. Fluktuasi
yang terjadi mempengaruhi inflow pada Pembangkit Listrik Tenaga
Air. Proyek tersebut berlokasi di bagian tengah pegunungan atau di
arah barat Danau Laut Tawar, tak jauh dari Takengon, Kabupaten
Aceh Tengah. Sumber energi listrik yang memanfaatkan potensi air di
hulu sungai (krueng) Peusangan tersebut sudah diketahui dengan
beberapa studi pendahuluan sejak 1970-an. Studi kelayakan
dilakukan dengan program bantuan teknik dari Pemerintah Belgia
pada 1984-1988, sedangkan desain rinci dan dokumen lelang proyek
disiapkan sejak 1992 sampai 1994 yang didanai oleh Bank
Pembangunan Asia (ADB). Setelah sempat terhenti akibat imbas
konflik, akhirnya pada 2006 (saat kondisi Aceh semakin kondusif) PLN
mengusulkan bantuan dana kepada Japan Bank for International
Cooperation (JBIC) untuk proyek PLTA Peusangan. JBIC
mengirimkan misi mereka pada Agustus dan November 2006.
Kemudian pada akhir Maret 2007, perjanjian pinjaman baru disepakati
antara PLN dan JBIC untuk kelanjutan proyek tersebut. Baik
Pemerintah Aceh maupun PLN mengharapkan, pada tahun 2020
proyek yang dibiayai dari pinjaman Jepang itu dapat beroperasi dan
masuk sistem interkoneksi, sehingga bisa mengatasi keterbatasan
energi listrik di wilayah Aceh-Sumut.
Proyek PLTA Peusangan berkapasitas 88.0MW dengan
jaringan transmisi 150 KV, dan jaringan distribusi 20 KV. Keberadaan
proyek ini akan mengarah pada perbaikan iklim investasi dengan
memberikan konstribusi terhadap pembangunan ekonomi di Aceh.
Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan akan mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan global. Skema pengembangan energi
listrik ini mempunyai tipe “run-offriver” yaitu sebagai pengembangan
proyek energi yang ramah lingkungan, sehingga proyek ini mampu
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
100 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
mengurangi beban finansial, mencegah dampak lingkungan sosial,
dan memberikan kontribusi kebijaksanaan Mekanisme Pembangunan
yang Bersih (CDM=Clean Development Mechanism), tanpa
kehilangan keaslian lingkungan. Kehadiran PLTA Peusangan
dimaksudkan untuk mengatasi situasi listrik yang terbatas dan
meningkatkan stabilitas beban puncak listrik pada sistem kelistrikan
Aceh-Sumatera Utara.
Proyek tersebut terdiri dari sebuah bendung pengatur dan
dua buah pusat pembangkit, yaitu PLTA 1 dan 2 dengan tipe kaskade
yang dibangun pada hulu sungai Peusangan. Dengan memanfaatkan
air Danau Laut Tawar dan Sungai Peusangan yang mempunyai total
head 415.2 m menghasilkan energi tahunan sebesar 323.2GWh
dengan kapasitas terpasang sebesar 88.0 MW. Nantinya, energi listrik
yang dihasilkan PLTA Peusangan akan dipasok ke seluruh Sumatera
Utara dan Aceh. Dengan daya kapasitas terpasang sebesar 88.0 MW,
daya maksimal sebesar 30 MW dapat didistribusikan melalui jaringan
20 kV untuk kebutuhan wilayah Takengon dan Bener Meriah.
Tambahan daya sebesar 30MW untuk wilayah Takengon
dan Bener Meriah seharusnya menjadi peluang bagi wilayah
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah untuk
mengembangkan potensinya di antaranya sektor industri kecil dan
pariwisata. Ketersediaan energi listrik menjadi salah satu
pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya di suatu
daerah. Dengan demikian, tambahan 30MW dapat menjadi salah satu
jaminan untuk menarik investor masuk ke Kabupaten Aceh Tengah
dan Kabupaten Bener Meriah.
Ada pendapat para ahli bahwa sesungguhnya driver dari
ekonomi adalah energi, khususnya listrik. Data empiris dari berbagai
negara di dunia menunjukan bahwa setiap 1 kwh konsumsi listrik akan
memberikan kontribusi sekitar $4 - $5 PDB. Artinya secara empiris
sebuah negara dengan GDP di bawah $7000, kontribusi listrik adalah
faktor dominan (di atas 90%) karena kompleksitas ekonominya sangat
sederhana yaitu ekploitasi sumber daya alam (raw meterial) sehingga
tidak punya nilai tambah yang menyebabkan listrik menjadi faktor
penentu -- Lain dengan negara dengan GDP per kapita di atas
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 101
$10,000 maka biasanya ekonominya menjadi lebih kompleks artinya
listrik sudah tidak lagi menjadi faktor penentu (di bawah 65%). Bila
pendapat ini benar bahwa listrik adalah driver pertumbuhan ekonomi
maka seharusnya pendekatan berbasis permintaan (demand driven)
sudah tidak valid lagi. Pendekatan demand driven yang menyebabkan
hampir 65% kapasitas listrik terpasang berada di Pulau Jawa dengan
permintaan tertinggi yang akhirnya menyebabkan pemerataan
pembangunan tidak merata yang terbukti dengan meningkatnya terus
Gini ratio sejak tahun 2000, walaupun terjadi sedikit penurunan sejak
tahun 2016. Dengan demikian, untuk melakukan pemerataan
pembangunan atau menutup kesenjangan pendapatan cukup
merubah pendekatan penyedian listrik dari pendekatan demand
driven menjadi supply driven.
Terlepas dari berbagai pendapat atau teori, penyediaan
infrastruktur adalah keharusan yang disediakan oleh pemerintah bagi
masyarakatnya. Untuk itu, dengan adanya pembangunan PLTA
Peusangan dan penyediaan daya listrik mencapai 30MW perlu
adanya perubahan strategi pembangunan di daerah-daerah yang
terdampak.
Sebagai contoh di Kabupaten Aceh Tengah, berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2017-2022,
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Utara periode 2012-2016
ditunjukkan oleh PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) 2010 dan
tanpa memasukkan migas, berkisar antara 3,303,27 persen.
Pertumbuhan ekonomi ini menurut sektor lapangan usaha masih
didominasi oleh sektor pertanian, pertambangan dan penggalian serta
industri pengolahan.
Dengan tambahan ketersediaan aliran listrik sebesar 30MW
diharapkan dapat terus dikembangkan sektor-sektor lain yang dapat
dijadikan sektor unggulan. Semisal sektor industri kecil, dimana sektor
ini masih minim “peminat” nya. Hasil industri kecil masih bertumpu di
empat kecamatan yaitu, Kecamatan Tanah Jambo Aye dengan
industri produk pisang sale, Kecamatan Dewantara (Ulee Pulo dan
Ulee Reuleung) dengan industri pembuatan batu bata, Kecamatan
Bab VI | Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional
102 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Muara Batu (Bungkah) dan Kecamatan Baktiya dengan industri
produk kerajinan souvenir khas Aceh.
Selain itu, di sektor Pariwisata, Potensi budaya dan keindahan
alam di Kabupaten Aceh Utara belum digali dan dikembangkan
sebagai potensi wisata Kabupaten Aceh Utara yang berhasil guna.
Peningkatan kinerja obyek dan daya tarik wisata belum
dikembangkan secara optimal, berkelanjutan, dan berwawasan
lingkungan serta belum tersedianya dukungan sarana dan prasarana
pariwisata dengan standar nasional. Namun demikian, tingkat
kunjungan wisatawan di Kabupaten Aceh Tengah semakin
meningkat. Bahkan di tahun 2016, tingkat kunjungan wisatawan
mencapai 111.038 wisatawan. Peningkatan ini seharusnya diikuti
dengan peningkatan jumlah penginapan dan hotel yang tersedia di
Kabupaten Aceh Tengah. Penambahan sarana dan prasarana
pendukung sektor pariwisata semestinya tidak lagi menjadi hal yang
mustahil untuk diwujudkan dengan adanya dukungan infrastuktur
sektor energi yang tentunya harus diikuti dengan kemudahan-
kemudahan lain sehingga investor mau menanamkan modalnya di
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, sehingga
perlahan dapat membantu pertumbuhan ekonomi regional setempat.
6.3 TANTANGAN FISKAL REGIONAL DALAM MENDORONG POTENSI EKONOMI DAERAH
6.3.1 Tantangan Fiskal Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat dalam mendukung laju pertumbuhan
perekonomian di suatu daerah sangat berperan penting. Sebagai
negara kepulauan, tidak terlepas dari pengembangan wilayah “daerah
pinggiran/perbatasan”. Tantangannya adalah banyaknya daerah
nusantara yang perlu dialokasikan anggarannya membuat
Pemerintah Pusat perlu menyusun skala prioritas pembangunan
nasional di bidang kelautan dan perikanan serta sesuai kebutuhan
daerah. Berdasarkan hal tersebut:
a. Perlunya pengalokasian anggaran pada APBN terutama bantuan
kepada nelayan untuk sarana dan prasarana kelautan dan
perikanan.
Keunggulan dan Potensi Ekonomi Serta Tantangan Fiskal Regional | Bab VI
Annual Regional Fiscal Report 2019 103
b. Disamping itu, Kabupaten Simeulue sebagai kabupaten kepulauan
sangat memerlukan kapal pengawas perikanan dan kelautan.
6.3.2 Tantangan Fiskal Pemerintah Daerah
Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Simeulue memerlukan strategi pengembangan komoditi yang menjadi
unggulan. Peningkatan kualiatas produk dengan meningkatkan
keahlian SDM yang ada melalui pembinaan dan pelatihan dalam
penanganan perikanan tangkap dan perikanan budidaya serta
pemasaran hasil perikanan. Termasuk dalam hal ini. Pemerintah
Daerah dituntut untuk menjaga konservasi kelautan dan pengawasan
atas pencurian ikan termasuk usaha penangkapan ikan melalui
“pengeboman ikan”. Untuk itu, direkomendasikan:
a. Pemerintah Provinsi Aceh dapat memberikan prioritas terhadap
Kabupaten Simeulue dalam rangka pembinaan dan pelatihan SDM
termasuk aparatur di bidang kelautan dan perikanan. Dalam hal
pengawasan kelautan dan perikanan, dapat dialokasikan bantuan
kapal pengawasan kelautan dan perikanan serta bantuan alat
penangkapan ikan kepada nelayan di Kabupaten Simeulue.
b. Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue dapat melaksanakan
langkah-langkah berikut:
• Adanya alokasi anggaran untuk pembinaan dan pelatihan SDM
(nelayan, SDM perikanan budidaya dan SDM pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan).
• Melakukan pengawasan kelautan dan perikanan secara rutin
melalui sarana prasarana perikanan yang memadai.
• Bantuan kepada nelayan dan kelompok nelayan untuk alat
penangkapan ikan.
• Peningkatan PAD yang berasal dari sektor perikanan.
6.3.3 Sinkronisasi Kebijakan Fiskal Pusat Daerah
a. Terhadap kebijakan fiskal pusat dan daerah perlu keselarasan
pengalokasian anggaran di sektor kelautan dan perikanan melalui
program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
b. Perlunya menyusun ketentuan di sektor kelautan dan perikanan
yang dapat menunjang perekonomian daerah.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
BAB viianalisis tematik
Pantai Lhok SeduPantai Lhok Sedu berada di KabupatenAceh Besar merupakan destinasi yangwajib wisatawan kunjungi apabila berlibur ke Aceh, Pemandangan yang elok dantempat yang nyaman untuk menikmatikeindahan alamnya.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Analisis Tematik | Bab VII
Annual Regional Fiscal Report 2019 104
7.1 GAMBARAN UMUM
Stunting dapat berpengaruh
terhadap daya saing bangsa.
Prevalensi Stunting di Indonesia
menurung.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak, dimana
tinggi badan anak lebih pendek dari standar usianya. Hal ini
disebabkan oleh masalah kekurangan gizi kronis atau kurangnya
asupan gizi dalam kurun waktu yang lama. Stunting bukan hanya
menyebabkan permasalahan pertumbuhan fisik, tetapi juga
berkontribusi terhadap 15% - 17% dari seluruh kematian anak.
Selain itu, stunting juga berdampak pada perkembangan otak,
sehingga dalam jangka panjang akan berpengaruh pada daya saing
sumber daya manusia suatu bangsa.
Angka prevalensi stunting di Indonesia tergolong tinggi.
Rata-rata prevalensi balita stunting Indonesia menjadi tertinggi
ketiga di South-East Asian Region pada tahun 2005-2017 yaitu
sebesar 36.4%, dibawah Timor Leste (50.2%) dan India (38.4%)
(WHO, 2018). Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata lebih dari
sepertiga balita di Indonesia menderita permasalahan stunting.
Namun demikian, kecenderungan prosentase prevalensi balita
stunting di Indonesia dari tahun ke tahun menurun, sebagaimana
terlihat dalam grafik di bawah ini. Penurunan angka prevalansi
stunting sudah melampaui target yang ditetapkan Pemerintah,
namun masih berada di atas standar yang ditetapkan WHO yaitu
sebesar 20%.
Tabel 7.1 Prevalensi Balita Stunting 2013-2019 di Indonesia (dalam persen)
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Prevalensi Stunting 37,2 28,9 29,0 27,5 29,6 30,8 27,7
Standar WHO 20 20 20 20 20 20 20
Target 32 Sumber: Kementerian Kesehatan, 2020 (diolah)
Sinergi dan Konvergensi
Program Penanganan
Stunting di Provinsi Aceh
Bab VII | Analisis Tematik
105 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Penanganan permasalahan
Stunting di Indonesia
dilaksanakan secara terintegrasi.
Keberhasilan menurunkan prosentase prevalensi balita
stunting di Indonesia tidak terlepas dari komitmen dan upaya-upaya
pemerintah. Sebagai bentuk komitmen, Pemerintah telah
menetapkan target prioritas penurunan angka stunting di dalam
RPJMN Tahun 2015 – 2019. Dalam pelaksanaannya, penanganan
stunting oleh Pemerintah dilaksanakan secara terintegrasi, yaitu
dilakukan dengan pendekatan multi-sektor melalui sinkronisasi
program-program nasional, lokal, dan masyarakat dan di seluruh
tingkat baik pusat maupun daerah. Kebijakan APBN yang
dilaksanakan juga mencerminkan upaya yang sangat serius dalam
penanganan stunting. Hal ini diwujudkan dengan ditetapkannya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.02/2018 yang
mengatur kebijakan APBN untuk penanganan permasalahan
stunting.
7.2 PERKEMBANGAN STUNTING DI ACEH
Prevalensi Stunting Provinsi Aceh
tergolong tinggi di Indonesia.
Prevalensi stunting Provinsi Aceh apabila dibandingkan
dengan daerah lain tergolong tinggi. Provinsi Aceh merupakan
Provinsi dengan prosentase prevalensi stunting tertinggi ketiga di
Indonesia (37,3%) dibawah Provinsi NTT (42,6%) dan Provinsi
Sulawesi Barat (41,8%) (Riskesdas Kemenkes, 2018). Prosentase
tersebut masih berada di atas prosentase nasional yaitu sebesar
30,8%.
Tabel 7.2 Perkembangan Prevalensi Balita Stunting Beberapa Provinsi di Indonesia
No Provinsi 2007
(%)
2010
(%)
2013
(%)
2018
(%)
Penurunan dari
2007 -2018 (%)
1 Aceh 44,6 38,9 41,5 37,3 7,3
2 Sumatera Utara 43,1 42,3 42,5 32,3 10,8
3 Sumatera Selatan 44,7 40,4 36,7 32 12,7
4 Nusa Tenggara Barat 43,7 48,2 45,3 33,7 10
5 Nusa Tenggara Timur 46,7 58,4 51,7 42,6 4,1
6 Kalimantan Tengah 42,8 39,6 41,3 34,2 8,6
7 Kalimantan Selatan 41,8 35,3 44,2 33,2 8,6
8 Sulawesi Tenggara 40,5 37,8 42,6 28,8 11,7
9 Sulawesi Barat 44,5 41,6 48 41,8 2,7
10 Maluku 45,8 37,5 40,6 34,1 11,7
Indonesia 36,8 35,6 37,2 30,8 6,0
Sumber: Riskesdes Kementerian Kesehatan, 2007, 2010, 2013, 2018 (diolah)
Analisis Tematik | Bab VII
Annual Regional Fiscal Report 2019 106
Prevalensi Stunting Provinsi Aceh
menurun.
Prevalensi Stunting sebagian besar
Kab/Kota di Provinsi Aceh tinggi.
Dalam satu dekade angka prevalensi stunting di Provinsi
Aceh mengalami penurunan. Dibandingkan dengan tahun 2007,
pada tahun 2018 terjadi penurunan sebesar 7,3%. Prosentase
penurunan tersebut masih lebih tinggi dibanding prosentase
penurunan nasional yaitu sebesar 6%. Prosentase penurunan
prevalensi stunting di Provinsi Aceh juga tidak sesignifikan Provinsi
Sumatera Selatan dan Maluku yang pada tahun 2007 mempunyai
angka prevalensi stunting lebih tinggi dari Provinsi Aceh.
WHO (2010) mengklasifikasikan prevalensi stunting ke dalam
beberapa kategori. Tergolong rendah apabila prevalensi stunting
berada di bawah 20%, sedang (20-29.9%), tinggi (30-39.9%) dan
sangat tinggi (≥40%).
Jika dilihat dari sebarannya, sebagian besar kabupaten/kota
di Provinsi Aceh mempunyai prevalensi stunting yang tinggi.
Berdasarkan hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG 2018), pada
tahun 2017, 4 Kabupaten/Kota mempunyai prevalensi stunting yang
sangat tinggi, 14 Kabupaten/Kota tergolong tinggi, dan 5
Kabupaten/Kota tergolong sedang.
Tabel 7.3 Indikator Daerah Bermasalah Kesehatan menurut WHO Hasil PSG 2015 – 2017 Provinsi Aceh
No. KAB/KOTA PENDEK STUNTING TB/U
2015 (%) 2016 (%) 2017 (%)
1 SIMEULUE 37,7 28,6 35,7
2 SINGKIL 37,0 28,9 38,7
3 ACEH SELATAN 43,7 26,6 44,9
4 ACEH TENGGARA 39,0 21,0 38,2
5 ACEH TIMUR 31,3 32,3 43,6
6 ACEH TENGAH 13,0 27,0 37,2
7 ACEH BARAT 36,3 25,5 33,2
8 ACEH BESAR 25,0 12,2 31,2
9 PIDIE 32,3 27,7 43,7
10 BIREUN 28,0 36,6 34,4
11 ACEH UTARA 39,0 36,1 35,9
12 ACEH BARAT DAYA 28,7 31,6 31,6
13 GAYO LUES 30,3 15,5 38,5
14 ACEH TAMIANG 25,3 15,1 32,4
15 NAGAN RAYA 40,3 28,6 26,2
16 ACEH JAYA 25,7 22,8 38,3
17 BENER MERIAH 34,3 38,0 37,6
18 PIDIE JAYA 37,0 17,4 34,6
19 BANDA ACEH 24,0 27,1 25,1
20 SABANG 27,3 24,3 29,8
21 LANGSA 25,3 22,2 29,7
22 LHOKSEUMAWE 34,3 27,4 25,2
23 SUBULUSSALAM 31,7 32,9 47,3
ACEH 31,6 26,4 35,7
INDONESIA 37,2 21,7 29,6 Sumber: Dinkes Aceh, 2018 (diolah)
Bab VII | Analisis Tematik
107 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
3 Kab/Kota di Provinsi Aceh
termasuk dalam 160 Kab/Kota
prioritas.
Tiga Kabupaten di Provinsi Aceh dengan prevalensi stunting
tertinggi berdasarkan Riskesdas 2013, termasuk ke dalam 160
kabupaten/kota di Indonesia yang menjadi sasaran Prioritas
Nasional penanganan stunting. Ketiga daerah tersebut adalah
Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh
Timur.
Tabel 7.4 Tabel Daftar Kabupaten/Kota Prioritas Penanggulangan Stunting di Provinsi Aceh
Tahun Kabupaten/ Kota Prevalensi Stunting
2013 (%)
Jumlah Balita Stunting
2013 (Jiwa)
2018 (Tahap 1) Aceh Tengah 59,25 13.327
2019 (Tahap 1) Pidie 57,47 20.903
2019 (Tahap 2) Aceh Timur 39,31 17.200 Sumber: Setwapres, Kemenko Bidang PMK, 2018 (diolah)
7.3 PENANGANAN PREVALENSI STUNTING DI PROVINSI ACEH
Berbagai upaya telah dilaksanakan
Pemerintah Provinsi Aceh dalam
melaksanakan pencegahan dan
penanganan stunting secata
terintegrasi.
Pemerintah Provinsi Aceh berkomitmen dan berupaya keras
menangani prevalensi stunting di wilayahnya. Pada awal tahun
2019, Gubernur Aceh menetapkan peraturan tentang pencegahan
dan penanganan stunting terintegrasi, melalui Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 14 Tahun 2019. Ini menjadi dasar, arahan dan acuan
dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan stunting baik
bagi kabupaten/kota maupun stakeholders di Aceh. Di dalam
peraturan tersebut, ditargetkan terwujudnya “Aceh Bebas Stunting
Tahun 2022” dengan melaksanakan 5 pilar yaitu: (1) Komitmen dan
kebijakan pemerintah yang tepat; (2) Kampanye daerah yang
berfokus pada perubahan perilaku dan berkearifan local; (3)
Konvergensi, koordinasi dan konsolidasi program nasional, provinsi
dan kabupaten/kota; (4) Mendorong kebijakan gizi dan
ketahanan/keamanan pangan; dan (5) Pemantauan dan evaluasi
program. Penanganan Permasalahan stunting merupakan
tanggungjawab bersama, untuk itu Pemerintah Provinsi Aceh telah
membentuk Tim Koordinasi pencegahan dan penanganan stunting
terintegrasi melalui Keputusan Gubernur Nomor 050/1762/2019
yang merupakan satgas lintas sektor sebagai pelaksana aksi
integrasi.
Salah satu program unggulan pencegahan penanganan
stunting di Aceh adalah melalui Program Rumoh Gizi Gampong
Analisis Tematik | Bab VII
Annual Regional Fiscal Report 2019 108
Rumoh Gizi Gampong (RGG)
merupakan program unggulan
pencegahan dan penanganan
Stunting di tingkat desa
(RGG). RGG merupakan model penanganan dan pencegahan
stunting secara terpadu dan terintegrasi melalui pendekatan
pemberdayaan keluarga dan masyarakat pada level gampong/desa.
Program ini difokuskan pada 3 aspek yaitu: (1) Pelayanan gizi pada
kelompok risiko; (2) Edukasi dan peningkatan kapasitas keluarga
dan masyarakat; (3) penguatan ketahanan pangan keluarga,
pemberdayaan keluarga dan perilaku hidup bersih dan sehat, dan
kegiatan lain sesuai kondisi desa masing-masing.
Integrasi penyuksesan program ini juga diarahkan terhadap
sumber pendanaan. Sesuai Peraturan Gubernur, pembiayaan
program RGG dapat berasal dari Dana Desa, Anggaran DAK Non
Fisik, anggaran lintas sektor terkait, bantuan, dan swadaya
masyarakat.
7.4 ANGGARAN PENANGANAN STUNTING DI PROVINSI ACEH
Terdapat tiga kegiatan utama
penanganan Stunting.
Sumber pendanaan penanganan
Stunting antara lain berasal dari Belanja
K/L, Dana TKDD, dan APBD.
Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa terdapat tiga
kegiatan yang perlu dilaksanakan guna mengatasi permasalahan
stunting. Kegiatan dimaksud yaitu: (1) Intervensi gizi spesifik, yaitu
upaya menangani penyebab langsung masalah gizi (asupan
makanan dan penyakit infeksi); (2) Intervensi gizi sensitive, yaitu
upaya menangani penyebab tidak langsung yang menyebabkan
terjadinya masalah gizi (ketahanan pangan, akses pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan, pola asuh). Termasuk di
dalamnya adalah kebijakan di bidang pertanian, pendidikan,
penyediaan air bersih dan sanitasi, perlindungan sosial, dan
pemberdayaan perempuan; (3) Lingkungan yang mendukung, yaitu
terkait lingkungan pendukung lainnya seperti pemerintahan,
pendapatan dan kesetaraan.
Penanganan stunting dapat dilaksanakan lebih efektif apabila
ketiga kegiatan tersebut di atas dilaksanakan secara terintegrasi,
termasuk sumber pendanaan. Berikut ini adalah gambaran sumber
pendanaan (angka sementara yang dapat diidentifikasi) penanganan
stunting di Provinsi Aceh, baik yang bersumber dari APBN (Belanja
Kementerian Negara/Lembaga dan Transfer ke Daerah dan Dana
Desa) maupun yang bersumber dari APBA.
Bab VII | Analisis Tematik
109 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
7.4.1 Belanja Kementerian Negara/Lembaga (Belanja K/L)
.
Total Belanja APBN di Provinsi Aceh adalah sebesar
Rp52,43 triliun, dengan proporsi Belanja K/L sebesar Rp15,49 triliun.
Dari total Belanja K/L tersebut, setelah dilakukan penyederhanaan
dan clustering data, Belanja K/L untuk penanganan stunting di
Provinsi Aceh teridentifikasi sebesar Rp191,78 miliar dengan
realisasi sebesar Rp175,03 miliar (91.3%).
Belanja tersebut digunakan untuk pelaksanaan tiga
kelompok kegiatan penanganan stunting. Alokasi untuk intervensi
gizi spesifik sebesar Rp8,15 miliar (terealisasi Rp7,23 miliar atau
88.7%); untuk intervensi gizi sensitif sebesar Rp167,99 miliar
(terealisasi Rp153,50 miliar atau 91.4%); dan untuk pendampingan,
koordinasi dan dukungan teknis sebesar Rp15,63 miliar (terealisasi
Rp14,29 miliar atau 91.4%). Belanja K/L untuk penanganan stunting
adalah sebagai berikut:
Tabel 7.5 Belanja K/L Penanganan Stunting di Provinsi Aceh
Belanja Pagu
(Rp)
Realisasi
(Rp)
%
Real K/L
Intervensi gizi spesifik 8.150.364.000 7.233.155.380 88.7% Kemenkes
Intervensi gizi sensitif 167.997.668.000 153.500.454.282 91.4%
Kementan, Kemenkes,
Kemenag, Kemensos,
Kementerian PUPR,
BPOM, BKKBN
Pendampingan,
koordinasi dan
dukungan teknis
15.632.202.000 14.295.369.566 91.4% Kementan, Kemenkes,
Kementerian PUPR, BPS
Total 191.780.234.000 175.028.979.228 91.3% Sumber: MEBE, 2020 (diolah)
7.4.2 Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)
Penggunaan Dana TKDD untuk
menangani stunting dialokasikan
melalui dana DAK Fisik dan NonFisik serta Dana Desa.
Dalam rangka mendukung penanganan prevalensi stunting,
Kementerian Keuangan menebitkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 61/PMK.07/2019 yang memberikan pedoman penggunaan
dana TKDD untuk pelaksanaan kegiatan penanganan stunting
terintegrasi. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa dana TKDD
yang dapat digunakan antara lain terdiri atas: a. Dana Alokasi
Khusus (DAK) Fisik; b. DAK Nonfisik; dan c. Dana Desa.
Dari total Belanja APBN di Provinsi Aceh sebesar Rp52,43
triliun, terdapat alokasi Dana TKDD sebesar Rp36,94 triliun. Setelah
dilakukan penyederhanaan dan clustering data TKDD, teridentifikasi
dana TKDD untuk penanganan stunting pada alokasi dana DAK
Analisis Tematik | Bab VII
Annual Regional Fiscal Report 2019 110
Fisik, DAK Non Fisik dan Dana Desa, sebagai berikut:
Tabel 7.6 Dana TKDD untuk Penanganan Stunting di Provinsi Aceh
Dana TKDD Pagu
(Rp)
Realisasi
(Rp)
%
Real Keterangan
DAK Fisik 465.061.873.000 418.934.596.798 90.1%
Bidang Kesehatan untuk
penanganan stunting, Sanitasi,
dan Air Minum
DAK Non Fisik 578.312.940.000 466.411.642.765 80.7%
Dana Bantuan Operasional
Kesehatan, Dana Bantuan
Operasional KB, Dana
Pelayanan Adminduk. Dana
Bantuan Operasional
Penyelenggaraan PAUD
Dana Desa 4.955.500.482.000*) 1.001.267.813.030**) 20.2%
Dana Desa dengan capaian
output: Pencegahan stunting,
Air Bersih, Dukungan KB, PAUD,
Layanan dan Penyuluhan
Kesehatan, dan Sanitasi
Total 5.998.875.295.000 1.886.614.052.593 31.4%
*)Total pagu Dana Desa Provinsi Aceh **)Realisasi Dana Desa yang digunakan untuk penanganan stunting Sumber: OMSPAN,Simtrada,2020 (diolah)
7.4.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA)
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 14 Tahun 2019
menyebutkan bahwa pembiayaan dalam pelaksanaan pencegahan
dan penanganan stunting terintegrasi di Aceh dibebankan pada
APBA (atau APBAceh), APBK (atau APBKabupaten/Kota), APBG
(APBGampong atau APBDesa) dan Sumber dana lainnya yang sah
dan tidak mengikat.
Terdapat kesulitan dalam pengumpulan data APBA untuk
pencegahan dan penanganan stunting di Provinsi Aceh.
Berdasarkan konfirmasi Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, pada tahun
anggaran 2019, paling tidak terdapat alokasi dana yang
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi untuk pelaksanaan
kegiatan dimaksud, antara lain sebagai berikut:
1. Kegiatan Penyusunan Peta Informasi Masyarakat Kurang Gizi di
3 Kabupaten/Kota dengan alokasi sebesar Rp150.000.000,-
2. Kegiatan Penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi
Besi, Gangguan Akibat Kurang Yodium, Kurang Vitamin A dan
Kekurangan Gizi Mikro Lainnya, dengan capaian keluaran yang
diharapkan yaitu penurunan angka stunting dan angka balita
kurus. Alokasi dana untuk kegiatan ini berasal dari DAK Non
Fisik, Dana Otsus dan SILPA Otsus Aceh sebesar
Rp5.516.200.000,-
3. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencapaian
Bab VII | Analisis Tematik
111 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
Keluarga Sadar Gizi yang bersumber dari SILPA Otsus Aceh
sebesar Rp550.000.000,- Keluaran yang diharapkan dari
kegiatan ini adalah peningkatan tenaga yang dilatih tata laksana
gizi dan terlaksananya pemberdayaan masyarakat untuk
pencapaian gizi baik di 3 Kabupaten Lokus.
7.5 TANTANGAN
Upaya penurunan prevalensi stunting di Provinsi Aceh
menemui beberapa tantangan. Tantangan dimaksud antara lain
adalah kurangnya sumber daya, termasuk tenaga kesehatan.
Berdasarkan data, beberapa tenaga kesehatan yang berkaitan
dengan stunting masih di bawah standar nasional sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 7.7 Jumlah dan Rasio Berdasarkan Jenis Tenaga Kesehatan di Provinsi Aceh Tahun 2018
Tenaga Kesehatan Jumlah Tenaga Rasio per 100.000
Penduduk Standar
Dokter Spesialis 606 11 10
Dokter Umum 1.356 26 40
Dokter Gigi 269 5 12
Perawat 10.099 191 158
Bidan 10.865 206 100
Apoteker 239 5 9
Tenaga Teknis Kefarmasian 760 14 24
Kesehatan Masyarakat 1.840 35 16
Sanitarian/Kesling 705 13 18
Nutrisions/Gizi 501 9 14
Keterapian Fisik 305 6 5
Keteknisian Medis 1.448 27 18 Sumber: Dinkes Provinsi Aceh,2018
Tantangan lain adalah keterbatasan sumber dana dan
sarana/prasarana kesehatan di daerah yang masih belum memadai.
Dalam diskusi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dicontohkan
bahwa alat ukur tinggi badan bayi sebagai alat pendeteksi awal bayi
stunting masih belum mencukupi di berbagai daerah. Tantangan lain
adalah terkait dengan kesadaran masyrakat. Tidak hanya di Provinsi
Aceh, membangun kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan
menjaga lingkungan sehat juga menjadi tantangan. Selain itu,
kondisi geografis untuk menjangkau daerah terpencil juga menjadi
tantangan yang harus dihadapi. Guna menjangkau daerah-daerah
Analisis Tematik | Bab VII
Annual Regional Fiscal Report 2019 112
terpencil, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan kegiatan bakti sosial
kesehatan di berbagai daerah yang dipimpin oleh Gubernur.
Penanganan stunting tidak hanya dilakukan oleh satu pihak tapi
melibatkan berbagai pihak, untuk itu diperlukan upaya koordinasi
dan sinergi untuk mewujudkannya.
7.6 REKOMENDASI
Penanganan stunting merupakan tanggung jawab bersama
dan diperlukan keterlibatan berbagai pihak di semua tingkatan.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa sumber daya penanganan
stunting telah melibatkan banyak pihak seperti K/L, Pemerintah
Daerah, Pemerintah desa hingga masyarakat. Masing-masing unit
juga memiliki sumber daya fiskal yang secara langsung maupun
tidak langsung diarahkan untuk menangani permasalahan stunting,
dimana apabila diakumulasikan menjadi kuantitas yang sangat
besar. Apabila dikaitkan dengan angka prevalensi stunting di
Provinsi Aceh yang masih tinggi, mengindikasikan belum efektifnya
penggunaan anggaran (meskipun hal ini memerlukan kajian lebih
mendalam). Belum efektifnya penggunaan anggaran dimungkinkan
dapat terjadi karena kualitas penggunaan anggaran yang masih
rendah dan/atau integrasi pelaksanaan kegiatan yang belum
tersinergi dengan baik. Selain itu penggunaan anggaran juga
diharapakan mempertimbangkan kendala-kendala lain yang secara
langsung atau tidak langsung yang menjadi akar permasalahan di
wilayah tersebut, seperti kurangnya SDM, sarana/prasarana medis
dan akses kesehatan.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
BAB viiipenutup
Pantai Pulo JawaPantai Pulo Jawa yang berada di ujung Kota Banda Aceh merupakan destinasi warga lokal untuk menikmati senja sore hari sambil melihatpara nelayan memanen hasil tangkapannya.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
Penutup | Bab Viii
Annual Regional Fiscal Report 2019 113
8.1 KESIMPULAN
Dari uraian bab-bab sebelumnya dapat disampaikan kesimpulan KFR Tahunan
(annual report) Provinsi Aceh Tahun 2019 sebagai berikut :
1. Laju pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2019 berada pada level 4,15 persen.
Mengalami perlambatan dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,61
persen. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan IV 2019 sebesar 5,21 persen,
mengalami percepatan dibanding triwulan III 2019 yang sebesar 3,76 persen.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan periode triwulan IV 2018
yang sebesar 5,43 persen.
2. Inflasi y-on-y Aceh berada pada level 1,69 persen, lebih rendah dibandingkan
inflasi y-on-y nasional yang pada tahun 2019 berada pada level 2,72 persen.
Inflasi tahunan Aceh menurun sebesar 15 basis poin dari tahun 2018 yang
mengalami inflasi sebesar 1,84 persen.
3. IPM Aceh sampai tahun 2019 berada pada level 71,90. Artinya IPM Aceh
mencapai kategori IPM Tinggi. IPM tertinggi dicapai oleh Kota Banda Aceh yaitu
sebesar 85,07, yang mana angka ini termasuk kategori IPM sangat tinggi. IPM
terendah yaitu Kota Subulussalam yaitu sebesar 64,46, yang mana angka ini
masih termasuk dalam kategori IPM sedang.
4. Angka kemiskinan Aceh tahun 2019 sebesar 15,01 persen, mengalami penurunan
dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 15,68 persen.
5. Rasio Gini di Provinsi Aceh pada September 2019 yaitu sebesar 0,321, mengalami
kenaikan dibandingkan periode Maret 2019 yang sebesar sebesar 0,319.
6. Pengangguran Aceh per Agustus 2019 sebanyak 147 ribu orang, meningkat jika
dibandingkan jumlah pengangguran pada periode Februari 2019 yang sebanyak
136 ribu orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh pada
Agustus 2019 sebesar 6,20 persen, naik cukup signifikan jika dibandingkan
dengan periode Februari 2019 yang mencapai 5,53 persen.
Penutup
Bab ViII | Penutup
114 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
7. Dari lima indikator ekonomi makro yang ditetapkan targetnya pada KUA Provinsi
Aceh 2019 (Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan, Pengangguran, Inflasi,
dan IPM), dua diantaranya masih sesuai target yaitu Tingkat Pengangguran dan
Tingkat Inflasi.
8. Pada tahun 2019, pemerintah pusat mengalokasikan belanja APBN di Provinsi
Aceh sebesar Rp15,48 trilliun dan terealisasi sampai dengan akhir tahun 2019
sebesar Rp14,75 trilliun (95,30 persen) meningkat dibandingkan tahun lalu yang
sebesar 92,54 persen. Selain itu, dana APBN juga dialokasikan dalam bentuk
dana transfer ke daerah sebesar Rp36,94 trilliun dengan angka penyaluran
sampai dengan akhir tahun 2019 telah terealisasi sebesar Rp35,94 trilliun (97,30
persen). Sehingga total dana APBN yang dialokasikan di Provinsi Aceh sebesar
Rp52,42 trilliun dengan capaian realisasi sebesar Rp50,70 trilliun atau 96,71
persen.
9. Total realisasi penerimaan pajak tahun 2019 sebesar 4,59 triliun, naik jika
dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 4,26 triliun. Sedangkan total realisasi
PNBP pada tahun 2019 sebesar Rp932,66 miliar, meningkat bila dibandingkan
dengan tahun 2018 yang sebesar Rp896,44 miliar.
10. Rasio Pajak Aceh pada tahun 2019 (2,80%) mengalami penurunan dari tahun
2018 (2,83%), baik rasio pajak pusat maupun rasio pajak secara konsolidasi
(pusat + daerah).
11. Realisasi belanja APBD pada tahun 2019 yaitu sebesar Rp41,47 triliun, dengan
persentase realisasi sebesar 84,35 persen dari jumlah pagu belanja 2019. Secara
persentase, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan persentase realisasi
belanja APBD di tahun 2018 yang sebesar 87,00 persen.
12. Ketergantungan Aceh terhadap kucuran dana transfer dari pemerintah pusat
masih tinggi. Di tahun 2019, total pendapatan transfer untuk seluruh pemerintah
daerah di Aceh (Dana Perimbangan, Dana Otsus dan Penyesuaian, dan Alokasi
Dana Desa) memiliki proporsi sebesar 86,53 persen, sedangkan disisi lain,
proporsi PAD Aceh pada tahun 2019 hanya sebesar 12,10 persen.
13. Prevalensi stunting Provinsi Aceh apabila dibandingkan dengan daerah lain
tergolong tinggi. Provinsi Aceh merupakan Provinsi dengan prosentase prevalensi
stunting tertinggi ketiga di Indonesia (37,3%) dibawah Provinsi NTT (42,6%) dan
Provinsi Sulawesi Barat (41,8%) (Riskesdas Kemenkes, 2018). Prosentase
tersebut masih berada di atas prosentase nasional yaitu sebesar 30,8%.
Penutup | Bab Viii
Annual Regional Fiscal Report 2019 115
14. Dalam satu dekade angka prevalensi stunting di Provinsi Aceh mengalami
penurunan. Dibandingkan dengan tahun 2007, pada tahun 2018 terjadi penurunan
sebesar 7,3%. Prosentase penurunan tersebut masih lebih tinggi dibanding
prosentase penurunan nasional yaitu sebesar 6%.
8.1 REKOMENDASI
Berdasarkan analisis dan kesimpulan yang diambil, dapat diberikan beberapa
rekomendasi, yaitu :
1. Kebijakan di Pemerintah Daerah
a. Membuka seluas-luasnya akses bagi investor untuk menanamkan modalnya di
Aceh dengan memberikan jaminan keamanan dan kemudahan birokrasi khususnya
dibidang pertanian, pengolahan bahan mentah, maupun pariwisata.
b. Mengembangkan kawasan-kawasan khusus di Aceh, yang diproyeksikan mampu
mendongkrak perekonomian Aceh.
c. Memberikan perhatian lebih terhadap stunting di Aceh.
2. Kebijakan di Pemerintah Pusat
a. Mendorong pemerintah daerah untuk lebih berperan aktif dalam pembiayaan usaha
mikro kecil menengah (UMKM).
b. Mendorong kementerian dan lembaga dalam pembahasan anggaran Kementerian /
Lembaga, agar lebih memperhatikan dan memprioritaskan sektor-sektor yang
menjadi unggulan di Provinsi Aceh, sehingga belanja APBN di daerah bisa lebih
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3. Kebijakan di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
a. Penggunaan Anggaran yang berkualitas dalam menangani stunting di Aceh.
b. Memberikan perhatian lebih pada Kabupaten Simeulue terkait potensi perikanan
dan Kabupaten Aceh Tengah terkait PLTA dalam bentuk stimulus fiskal baik melalui
APBN maupun APBD.
116 Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Bappeda Provinsi. 2017. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Banda Aceh: Bappeda Provinsi Aceh.
_,2019. Rencana Kerja Pemerintah Aceh. Banda Aceh: Bappeda Provinsi Aceh Aceh, BPS Provinsi .2019. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh Website.
http://www.aceh.bps.go.id/.
_,2019, Aceh Dalam Angka Tahun 2019, BPS Provinsi Aceh.
_. 2019. Berita Resmi Statistik Tahun 2019. BPS Provinsi Aceh.
Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 2018. Map of Aceh Investment Opportunities.Banda Aceh: Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh.
Aceh, Dinas Kesehatan. 2018. Studi Monitoring dan Avaluasi Program Gizi PSG dan PKG Aceh 2017.
Aceh, Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi. Laporan Review Pelaksanaan Anggaran Tahun 2019.
Aceh, Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi. LKPP Tingkat Kuasa BUN Tahun 2019.
Aceh, Badan Pengelola Keuangan. LKPD Pemerintah Aceh Tahun 2019 Unaudited.
Indonesia, Bank. 2019. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Aceh 2018, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh.
Kesehatan, Kementerian. 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018.
Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan. 2019. Website Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. http://www.djpk.depkeu.go.id/. Aplikasi Simtrada
Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2019. Aplikasi OMSPAN
Pajak, Direktorat Jenderal. 2019. Website Direktorat Jenderal Pajak. http://www.pajak.go.id/.
Simeulue, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten. 2018. Buku Statistik Kelautan dan Perikanan 2018.
Statistik, Badan Pusat. 2019. Badan Pusat Statistik. Website Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomr 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2019 tentang Pedoman Penggunaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.
- Halaman ini sengaja dikosongkan -
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN
KANTOR WILAYAH PROVINSI ACEH Gedung Keuangan Negara, Gedung A Lantai 2-3
Jalan T. Chik Ditiro Banda Aceh 23241
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN
KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PROVINSI ACEH
GEDUNG A LANTAI 2 & 3, KOMPLEK GEDUNG KEUANGAN NEGARA, JALAN TGK. CHIK DITIRO, BANDA ACEH 23241; TELEPON (0651) 31070 FAKSIMILE (0651) 31094 SUREL: [email protected],
LAMAN: WWW.DJPB.KEMENKEU.GO.ID/KANWIL/ACEH
NOTA DINASNOMOR ND-118/WPB.01/2020
Yth : Direktur Pelaksanaan AnggaranDari : Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi AcehSifat : BiasaLampiran :Hal : Laporan Kajian Fiskal Regional Tahunan (Annual Regional Fiscal Report)
Provinsi Aceh Tahun 2019Tanggal : 27 Februari 2020
Menindaklanjuti Surat Edaran Direkur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-61/PB/2017tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Kajian Fiskal Regional dan memperhatikan Nota DinasDirektur Pelaksanaan Anggaran Nomor ND-54/PB.2/2020, bersama ini disampaikan LaporanKajian Fiskal Regional Tahunan (Annual Regional Fiscal Report) Provinsi Aceh Tahun 2019.Softcopy laporan dimaksud telah dikirimkan ke alamat email [email protected].
Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Ditandatangani secara elektronikZaid Burhan Ibrahim