Upload
doandat
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
TAHUN ANGGARAN 2013
REALISASI APBD L A P O R A N A N A L I S I S
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
2014
A PB D
TAHUN ANGGARAN 2013
REALISASI APBD L A P O R A N A N A L I S I S
TAHUN ANGGARAN 2013
REALISASI APBD L A P O R A N A N A L I S I S
iiiKata Pengantar
KATA PENGANTAR
Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001, porsi dana APBN yang telah dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Alokasi dana yang besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Tantangan utama yang dihadapi daerah dalam melaksanakan tugas tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan pelayanan publik yang optimal.
Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola dana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang sangat besar. Pengelolaan APBD harus mengacu pada upaya pencapaian visi dan misi daerah yang sesuai dengan prioritas nasional, dimana sumber-sumber pendapatan APBD harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah. Kemampuan daerah dalam mengelola APBD mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat.
Keterbukaan informasi publik yang didukung oleh semakin kritisnya masyarakat, menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola keuangan daerah dengan semakin baik, yaitu dengan semakin meningkatkan porsi alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa untuk pemeliharaan infrastruktur pada struktur APBD dengan memprioritaskan pada ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, serta semakin tingginya realisasi penyerapan APBD guna mendorong peningkatan perekonomian daerah.
Di samping itu, pengelolaan keuangan daerah, harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
iv ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Untuk mewujudkannya, diperlukan pendekatan prestasi kerja dalam penyusunan APBD, setiap alokasi pendanaan yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan ini merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dengan konsep manajemen kinerja, khususnya untuk mengukur tingkat keberhasilan program atau aktivitas pada pemerintah yang ditujukan dalam rangka mencapai hasil yang dapat memenuhi kebutuhan stakeholders.
Beberapa hal yang disorot dalam kajian ini antara lain adalah kinerja pengelolaan keuangan daerah dilihat dari sisi kesesuaian realisasi dengan perencanaan, konsistensi pelaksanaan anggaran untuk merealisasikan program/ kegiatan, serta dampak pelaksanaan APBD terhadap perekonomian regional. Dalam konteks itulah, buku ini disusun untuk menyajikan analisis atas realisasi APBD seluruh daerah dan diharapkan dapat memberikan potret yang informatif dan akurat mengenai hasil dari pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah pada tahun 2013.
Buku Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini akan memberikan gambaran tentang hasil analisis realisasi APBD 2013 yang meliputi gambaran umum realisasi APBD 2013, analisis realisasi pendapatan daerah, analisis realisasi belanja daerah, analisis realisasi surplus/defisit dan pembiayaan daerah, dan analisis implikasi realisasi APBD TA 2013 terhadap perekonomian daerah.
Kami mengharapkan agar buku Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta, Desember 2014 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
Adijanto
vDaftar IsI
DAfTAR IsI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iiiDAFTAR ISI ............................................................................................................. vDAFTAR TABEL ...................................................................................................... viDAFTAR GRAFIK .................................................................................................. viiRINGKASAN EKSEKUTIF....................................................................................... xiBAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD ....................................................1
1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional ....................41.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi .................................81.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota ..................101.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013 .........................12
BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH ...................................................... 152.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah ..............162.2. Komposisi Pendapatan Daerah ..........................................................192.3. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional .....................................222.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah ....................24
BAB III REALISASI BELANJA DAERAH .............................................................. 293.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah ...............293.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah ..................................................333.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional..................................373.4. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita ...................................................403.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita ........................................41
BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH .............. 434.1. Surplus/Defisit .....................................................................................434.2. Pembiayaan Daerah ............................................................................474.3. SiLPA ...................................................................................................504.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah ...........................54
BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH .................................................................... 57
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................... 65
vi ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
DAfTAR TABEL
Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ...........................................2
Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ..3
Tabel 3.1 Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013 ...................................................................35
Tabel4.1 Rata-RataBesaranSurplus/DefisitperDaerah ............................47
Tabel 4.2 Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013 .......................53
TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA TAHUN 2009 - 2013 ......................................................................58
TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT .............................61
TABEL 5.3 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA ..........................................63
viiDaftar grafIK
DAfTAR GRAfIK
Grafik1.1 PerbandinganAPBDdanRealisasiAPBDsecaranasionalTahunAnggaran 2013 ...............................................................................5
Grafik1.2 PelampauanPendapatanAPBD .....................................................7
Grafik1.3 PerbandinganAPBDdanRealisasiAPBDProvinsiTahun Anggaran 2013 ...............................................................................9
Grafik1.4 PerbandinganAPBDdanRealisasiAPBDKabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013 ...................................................................10
Grafik1.5 TrenRealisasiPendapatan,BelanjadanPembiayaan APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 - 2013 ...........................12
Grafik1.6 RealisasiSurplus/DefisitAPBDKonsolidasiNasionalTahun 2009 – 2013 ..................................................................................13
Grafik2.1 PerbandinganAnggaran-RealisasiPendapatanNasional TA 2013 ........................................................................................17
Grafik.2.2 KomposisiPendapatanDaerah2013SecaraNasionaldanProvinsi .........................................................................................20
Grafik.2.3 KomposisiRealisasiPendapatanDaerah2013AgregatKabupaten/Kota ...........................................................................21
Grafik2.4 RealisasiPendapatanDaerahNasionalTA2009-2013 ................22
Grafik2.5 TrenRealisasiPendapatanDaerahNasionalPerjenis Pendapatan TA 2009-2013 ...........................................................23
Grafik2.6 PerkembanganJumlahDaerahyangMengelolaBPHTBdanPPB-P2 2009-2013 .......................................................................25
Grafik2.7 TrenRasioPajakDaerahTerhadapTotalPendapatanDaerah Secara Nasional TA 2009-2013 ....................................................26
Grafik2.8 TrenRasioPajakDaerahTerhadapTotalPendapatanDaerah Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013 .......................................27
viii ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik2.9 TrenRasioPenerimaanPBB-P2danBPHTBTerhadap Total Pajak Daerah Secara Nasional TA 2010-2013 ......................28
Grafik3.1 PerbandinganAnggarandenganRealisasiBelanjaDaerah APBD Tahun Anggaran 2013 ........................................................29
Grafik3.2 KomposisiRealisasiBelanjaDaerahNasionalTahunAnggaran2013 ..............................................................................................33
Grafik3.3 KomposisiRealisasiBelanjaDaerahProvinsiTahunAnggaran2013 ..............................................................................................34
Grafik3.4 KomposisiRealisasiBelanjaDaerahKabupaten/KotaTahunAnggaran 2013 .............................................................................36
Grafik3.5 TrenRealisasiBelanjadaerahNasional .......................................37
Grafik3.6 TrenRealisasiBelanjaDaerahNasional .......................................38
Grafik3.7 RealisasiBelanjaDaerahPerKapitaTahunAnggaran2013 ........40
Grafik3.8 RealisasiBelanjaModalDaerahPerKapitaTahun Anggaran 2013 .............................................................................41
Grafik4.1 PerbandinganSuplus/DefisitpadaAnggarandanRealisasiAPBD2009-2013.....................................................................................44
Grafik4.2. Trenkabupaten/kotayangmengalamisurplus/defisitdalamrealisasi APBD ..............................................................................46
Grafik4.3 TrenProvinsiyangmengalamisurplus/defisitdalamrealisasiAPBD ...........................................................................................46
Grafik4.4 RincianPenerimaanPembiayaanAPBDTA2013 .........................48
Grafik4.5 RincianPengeluaranPembiayaanAPBDTA2013 ........................49
Grafik4.6 PerbandinganTrenSiLPATahunSebelumnyaantaraAnggarandan Realisasi ................................................................................51
Grafik4.7 TrenSILPATahunBerkenaan ........................................................52
Grafik4.8 PerbandinganAnggarandanRealisasiPenerimaan Pinjaman Kab/Kota .......................................................................55
Grafik4.9 PerbandinganAnggarandanRealisasiPenerimaanPinjamanProvinsi ........................................................................................55
ixDaftar grafIK
Grafik4.10 JumlahKab/kotayangmelakukanPinjamanDaerah ..................55
Grafik4.11 JumlahProvinsiyangmelakukanPinjamanDaerah .....................55
Grafik5.1 PerananWilayah/PulaudalamPembentukanPDBNasional .......60
x ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
xirIngKasan eKseKutIf
RINGKAsAN EKsEKUTIf
• RealisasiAPBDTahunAnggaran2013memperlihatkanbahwarealisasipendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran.
• Pendapatandaerahtahun2013secaranasional terealisasi lebih tinggisebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,63 triliun atau 14,23% dari total pendapatan.
• Realisasibelanjadaerahsecaranasionaltahun2013adalahRp689,95triliun,masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun.
xii ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
• RealisasiBelanjaPegawaiatauyangbiasadisebutsebagai“GajiPNS”tidakterealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik.
• Rata-ratarealisasibelanjadaerahperkapitaadalahsebesarRp4.321.913,00.Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp1.514.208,00.
• TrenrealisasiBelanjaModalsecaranasionalmengalamipeningkatanbaikmenurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87%
xiiirIngKasan eKseKutIf
(Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku.
• Padatahun2012-2013nilaisurplusperKabupaten/Kotasecararata-ratamengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013.
• Realisasi totalpenerimaanpembiayaandaerahtahun2013sebesarRp101,01 triliun atau terealisasi 151,2% dari yang dianggarkan. Komponen SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah.
• Realisasitotalpengeluaranpembiayaandaerahtahun2013sebesarRp11,99triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar Rp7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%.
• RealisasiSILPATahunBerkenaan(hargaberlaku) tahun2013sebesarRp99,3 triliun atau mengalami peningkatan 2,3% dari tahun 2012. Namun jika dilihat dari harga konstan, SILPA Tahun Berkenaan tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 1,9% dari tahun sebelumnya.
• Pada tahun2013,masih terdapatbeberapadaerahyangmengalamiSILPA Tahun Berkenaan negatif (SIKPA). Untuk menutup nilai SIKPA Tahun Berkenaan tersebut, daerah melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK).
xiv ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
• PerekonomianIndonesiaditunjangolehperandaerahdalammemberikankontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
• Pada tahun2013,provinsiyangmempunyaipendapatandaerahperkapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.658.000,00/jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013 membaik diindikasikan dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode 2011-2012.
1BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
BAB I GAMBARAN UMUM REALIsAsI APBD
Berdasarkan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah sebagai entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Laporan Keuangan Pemerintah yang disajikan setidak-tidaknya terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah mengatur urusan pemerintah pusat dengan kewenangan pemerintah daerah dengan jelas, sehingga dalam melaksanakan urusannya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sesuai dengan track-nya. Dalam tahun 2014, kedua peraturan perudangan tersebut telah disempurnakan menjadi satu pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya terdapat pengaturan pembagian urusan yang dijadikan sebagai lampiran tidak terpisahkan dari UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan implikasi dimana pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan sesuai dengan urusannya, wajib menyampaikan pertanggungjawabannya secara terpisah dengan pemerintah pusat. Hal ini sebagai bentuk dampak perubahan tata pemerintahan yang sudah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dalam mengatur sendiri daerahnya melalui otonomi daerah.
2 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salah satu bentuk laporan keuangan yang disusun adalah Laporan Realisasi atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan melalui Perda, setelah sebelumnya diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan realisasi ini merupakan salah satu alat ukur untuk melihat implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Besarnya realisasi anggaran dan jenis belanjanya mengindikasikan besarnya komitmen dan keseriusan suatu pemerintahan daerah pada aspek-aspek yang menjadi prioritas daerah.
Dalam gambaran umum realisasi APBD Tahun Anggaran (TA) 2013, akan dilihat realisasi dari 524 daerah , yang terdiri dari 33 provinsi, 398 Kabupaten, dan 93 kota. Secara ringkas buku ini akan membahas tentang perbandingan realisasi APBD TA 2013 dengan anggarannya dan perbandingan data realisasi APBD TA 2013 dengan realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaannya. Selain itu akan disajikan analisis tentang beberapa indikator kinerja keuangan maupun implikasinya terhadap indikator perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Potret mengenai Realisasi APBD TA 2013 secara agregat nasional, seluruh provinsi, kabupaten, dan kota bisa dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013
Mata Anggaran
Realisasi (Dalam Milyar Rupiah)
Nasional (Konsolidasi) Provinsi
Kabupaten/ Kota
Pendapatan 700.236,60 205.797,84 520.952,56
PAD 157.855,46 101.356,53 56.498,93
Dana Perimbangan 442.761,15 64.502,32 378.258,83
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 99.619,99 39.938,99 86.194,80
3BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Mata Anggaran
Realisasi (Dalam Milyar Rupiah)
Nasional (Konsolidasi) Provinsi
Kabupaten/ Kota
Belanja 689.947,72 202.819,78 513.641,74
Belanja Pegawai 287.790,11 36.452,35 251.337,76
Belanja Barang dan jasa 144.627,41 47.954,97 96.672,44
Belanja Modal 163.072,90 36.539,60 126.533,30
Belanja Lain-lain 94.457,29 81.872,86 39.098,24
Surplus/Defisit 10.288,88 2.978,06 7.310,82
Pembiayaan Netto 89.016,41 25.620,15 63.396,26
Penerimaan Pembiayaan 101.010,08 31.465,67 69.544,41
Pengeluaran Pembiayaan 11.993,66 5.845,52 6.148,14
Silpa Tahun Berkenaan 99.305,29 28.598,21 70.707,08
Sumber: DJPK (data diolah)
*) Konsolidasi APBD adalah proses penggabungan APBD Kab/kota dengan provinsi dengan menghilangkan reciprocal account, hal tersebut dilakukan supaya tidak ada penghitungan ganda antara transfer provinsi ke kab/kota dengan pendapatan kab/kota, dengan menghilangkan reciprocal account besaran pendapatan dan belanja secara total lebih kecil namun besaran surplus/defisit tetap.
Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013
Mata Anggaran
Persentase
Nasional (Konsolidasi) Provinsi
Kabupaten/ Kota
Pendapatan 107,15% 103,93% 107,35%
PAD 112,49% 109,63% 118,01%
Dana Perimbangan 102,20% 102,83% 102,10%
4 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Mata Anggaran
Persentase
Nasional (Konsolidasi) Provinsi
Kabupaten/ Kota
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
124,57% 93,24% 128,79%
Belanja 97,47% 95,26% 97,88%
Belanja Pegawai 96,96% 93,42% 97,49%
Belanja Barang dan jasa 97,61% 94,26% 99,36%
Belanja Modal 92,76% 84,73% 95,37%
Belanja Lain-lain 108,46% 102,47% 105,71%
Surplus/Defisit -18,92% -19,98% -18,52%
Pembiayaan Netto 162,40% 170,64% 159,29%
Penerimaan Pembiayaan 151,17% 147,70% 152,79%
Pengeluaran Pembiayaan 99,91% 92,94% 107,57%
Sumber: DJPK (data diolah)
1.1. Gambaran UmUm realisasi aPbD 2013 secara nasional
Gambaran mengenai tingkat penyerapan APBD 2013 secara nasional dengan perbandingannya terhadap APBD dapat dilihat pada grafik 1.1.
5BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun Anggaran 2013
(Angka Dalam Milyar Rupiah)
11 | P a g e
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun Anggaran 2013
(Angka Dalam Milyar Rupiah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan
lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih
rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan
selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun.
Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh
terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari
anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pada tahun 2013, realisasi
pendapatan lebih tinggi Rp46,73 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah Rp17,94
triliun dari anggarannya.
Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan
perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah di
mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan
Daerah Yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total
pelampauan pendapatan, dan kemudian Pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%.
Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-lain Pendapatan Daerah Yang
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pada tahun 2013, realisasi pendapatan lebih tinggi Rp46,72 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah Rp17,94 triliun dari anggarannya.
Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah di mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total pelampauan pendapatan, dan kemudian
6 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%. Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah yang belum diakomodir pada saat penyusunan anggaran, sehingga pada realisasinya, total pelampauan dari pos ini mencapai sebesar Rp19,65 triliun. Pelampauan PAD terutama disumbang oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan total pelampauan mencapai Rp17,53 triliun. Pelampauan Dana Perimbangan terutama didominasi oleh pos Dana Bagi Hasil (DBH), baik dana bagi hasil dari pajak maupun sumber daya alam yang pelampauannya mencapai 91,29% dari total pelampauan dana perimbangan atau sekitar Rp8,72 triliun. Pelampauan pendapatan daerah di dalam APBD pada pos PAD dan Dana Perimbangan khususnya DBH utamanya disebabkan oleh penganggaran di daerah yang lebih konservatif dimana daerah cenderung menganggarkan dengan menggunakan batas bawah target sebagai ukuran pencapaian penerimaan. Sementara pelampauan PAD lebih banyak dipengaruhi oleh pelampauan pajak daerah, yang mencapai 72,78% dari total pelampauan PAD. Jika dilihat lebih rinci, porsi pelampauan pendapatan daerah melalui Pajak Daerah lebih banyak disumbang oleh pajak daerah provinsi sebesar Rp7,93 triliun, sementara porsi pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.
7BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD
5 | P a g e
ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
belum diakomodir pada saat penyusunan anggaran, sehingga pada realisasinya, total
pelampauan dari pos ini mencapai sebesar Rp19,65 triliun. Pelampauan PAD terutama
disumbang oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan total pelampauan mencapai
Rp17,53 triliun. Pelampauan Dana Perimbangan terutama didominasi oleh pos Dana Bagi
Hasil (DBH), baik dana bagi hasil dari pajak maupun sumber daya alam yang
pelampauannya mencapai 91,29% dari total pelampauan dana perimbangan atau sekitar
Rp8,72 triliun. Pelampauan pendapatan daerah di dalam APBD pada pos PAD dan Dana
Perimbangan khususnya DBH utamanya disebabkan oleh penganggaran di daerah yang lebih
konservatif dimana daerah cenderung menganggarkan dengan menggunakan batas bawah
target sebagai ukuran pencapaian penerimaan. Sementara pelampauan PAD lebih banyak
dipengaruhi oleh pelampauan pajak daerah, yang mencapai 72,78% dari total pelampauan
PAD. Jika dilihat lebih rinci, porsi pelampauan pendapatan daerah melalui Pajak Daerah
lebih banyak disumbang oleh pajak daerah provinsi sebesar Rp7,93 triliun, sementara porsi
pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan
pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir
merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran
penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.
Grafik 1.2
Pelampauan Pendapatan APBD
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Sementara itu, pada sektor belanja secara umum tidak terjadi pelampauan. Hal ini cukup mendasar, di mana di dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Tata Kelola Keuangan Daerah, pada Pasal 54 diatur bahwa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD. Hal ini membatasi penggunaan anggaran belanja jika tidak sesuai dengan tujuan anggaran, sehingga pada sektor belanja terdapat sekitar Rp17,94 triliun (secara agregat dan setelah dikonsolidasi) yang tidak terserap sesuai dengan anggaran.
Angka realisasi belanja yang tidak terserap cukup besar pada agregat provinsi (Rp10,1 triliun), namun jumlah belanja yang tidak terealisasi di kabupaten/kota bahkan lebih besar (Rp11,1 triliun). Besarnya angka realisasi belanja daerah pada agregat provinsi disebabkan oleh tidak terealisasinya belanja pada Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp7,27 triliun atau sekitar 15,96% dari total anggarannya. Secara umum, besarnya jumlah realisasi belanja yang masih belum terserap menunjukkan bahwa daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan yang berasal dari transfer ke daerah maupun peningkatan penerimaan pajak daerah, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa daerah belum mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut.
8 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Kondisi tersebut di atas patut mendapat perhatian serius baik dari pusat maupun daerah sendiri. Harus diakui bahwa pendapatan APBD masih sangat bergantung kepada transfer dari pusat, sehingga informasi yang relatif cepat dan akurat atas besaran transfer yang dialokasikan ke daerah akan menjadi kunci bagi kecepatan dan keakurasian perencanaan anggaran di daerah. Hal ini sudah diupayakan lebih baik dari tahun ke tahun.
Pekerjaan rumah yang masih harus terus dibenahi oleh pemerintah pusat adalah memperbaiki kualitas perencanaan alokasi DBH, mengingat hal ini membutuhkan kerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga yang terkait dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah. Di sisi lain, daerah juga perlu secara serius memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan di daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga dapat fokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan sekedar penyerapan belanja untuk keperluan aparatur.
1.2. Gambaran UmUm realisasi aPbD 2013 Provinsi
Pola realisasi APBD provinsi hampir sama dengan pola realisasi APBD secara agregat nasional, di mana terdapat surplus pada realisasi anggarannya. APBD agregat provinsi yang semula dianggarkan defisit Rp14,91 triliun, pada realisasinya menjadi surplus mencapai hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.
9BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013
14 | P a g e
upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan sekedar penyerapan
belanja untuk keperluan aparatur.
1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi
Pola realisasi APBD provinsi hampir sama dengan pola realisasi APBD secara
agregat nasional, di mana adanya surplus pada realisasi anggarannya. APBD agregat provinsi
yang semula dianggarkan defisit Rp14,91 triliun, pada realisasinya menjadi surplus mencapai
hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih
tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan
untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.
Grafik 1.3
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun Anggaran 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan grafik 1.3, pelampauan pendapatan agregat provinsi lebih banyak
diakibatkan oleh adanya pelampauan PAD, utamanya dari pajak daerah yaitu dengan
kontribusi terhadap pelampauan PAD hingga 89,02%. Sebagai konsekuensi pelampauan
target pajak daerah tersebut, maka secara otomatis juga terjadi pelampauan dana bagi hasil
Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan grafik 1.3, pelampauan pendapatan agregat provinsi lebih banyak diakibatkan oleh adanya pelampauan PAD, utamanya dari pajak daerah yaitu dengan kontribusi terhadap pelampauan PAD hingga 89,02%. Sebagai konsekuensi pelampauan target pajak daerah tersebut, maka secara otomatis juga terjadi pelampauan dana bagi hasil provinsi ke kabupaten/kota sebagai dampak dari penerusan pelampauan dana bagi hasil yang didapat di provinsi. Sementara itu, porsi pelampauan Dana Perimbangan karena peningkatan realisasi Dana Bagi Hasil adalah 99,58% atau sebesar 1,77 triliun. Hal ini memberikan sinyal kepada Pemerintah Pusat, sebagai pihak yang berperan besar dalam menentukan anggaran alokasi Dana Bagi Hasil di daerah setiap tahunnya, agar dapat menemukan pendekatan yang lebih baik dalam memprediksi pendapatan bagi hasil di tahun anggaran yang bersangkutan.
Pada realisasi belanja agregat provinsi, dapat diketahui bahwa pola realisasi belanja agregat provinsi menunjukkan defisit persis sama dengan realisasi APBD secara nasional. Pada tahun 2013 total belanja agregat provinsi yang
10 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
tidak terserap mencapai 4,74% atau Rp10,1 triliun dari total belanja yang tidak terserap dari anggaran belanja. Angka ini didominasi oleh angka realisasi belanja modal yang tidak terealisasi yang mencapai sebesar Rp6,58 triliun atau 65,20% dari total realisasi belanja yang tidak terserap. Pos belanja lain yang cukup besar yang tidak terserap masing-masing adalah Pos Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa sebesar Rp4,07 triliun atau sebesar 40,28 % dan Pos Belanja Hibah sebesar Rp482 miliar atau 4,78% dari total yang tidak terserap pada anggaran belanja. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya provinsi untuk menggenjot belanja publik guna menyesuaikan dengan pendapatan yang melebihi anggarannya masih rendah dan terkesan kurang terencana, karena besarnya dana yang dialokasikan untuk belanja bantuan keuangan ke daerah lain serta untuk belanja hibah, yang seyogyanya dapat digunakan untuk belanja yang lebih menyentuh sektor publik.
1.3. Gambaran UmUm realisasi aPbD 2013 KabUPaten/Kota
Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
16 | P a g e
1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota
Grafik 1.4
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir
sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan
dan tidak tercapainya realisasi belanja pada Pos belanjanya. Pelampauan realisasi pendapatan
mencapai Rp35,66 triliun di mana 54,03% (sekitar Rp19,27 triliun) adalah dari Lain-lain
Pendapatan Daerah Yang Sah, kemudian 24,17% (sekitar Rp8,62 Triliun) dari Pendapatan
Asli Daerah. Sementara komposisi pelampauan pendapatan dari Dana Perimbangan sebesar
Rp 7,77 Triliun atau sebesar 21,79% dari total pelampauan pendapatan yang mana
didominasi oleh DBH yang ditransfer baik oleh pusat maupun dari provinsi.
Pada sektor belanja, realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 tidak
terserap hingga hampir sebesar Rp11,12 triliun. Dari sejumlah realisasi belanja yang tidak
tercapai tersebut paling besar disumbang oleh tidak terealisasinya belanja pegawai sebesar
Rp6,46 triliun dan belanja modal yang tidak terealisasi sesuai anggaran sebesar lebih dari
Rp6,15 triliun. Kemudian diikuti oleh tidak terealisasinya Belanja Barang dan Jasa sebesar
Rp622 milyar. Sementara itu total agregat belanja kabupaten/kota menjadi lebih besar karena
Sumber: DJPK (data diolah)
11BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja. Pelampauan realisasi pendapatan mencapai Rp35,66 triliun dimana sekitar Rp19,27 triliun (54,03%) berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, kemudian sekitar Rp8,62 triliun (24,17%) dari Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, komposisi pelampauan pendapatan dari Dana Perimbangan sebesar Rp7,77 triliun (21,79%) dari total pelampauan pendapatan, didominasi oleh DBH yang ditransfer baik oleh pusat maupun provinsi.
Pada sektor belanja, realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 tidak terserap sebesar Rp11,12 triliun. Realisasi belanja yang tidak terserap tersebut paling besar disumbang oleh tidak terealisasinya belanja pegawai sebesar Rp6,46 triliun dan belanja modal yang sebesar Rp6,15 triliun, kemudian diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp622 miliar.
Sementara itu, total agregat belanja kabupaten/kota menjadi lebih besar karena pelampauan realisasi Belanja Lain-lain sebesar Rp2,11 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan, namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota masing-masing.
12 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
1.4. Gambaran UmUm realisasi aPbD tahUn 2009-2013
Grafik 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan
APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 - 2013
17 | P a g e
pelampauan realisasi Belanja Lain-lain sebesar Rp2,11 triliun. Hal tersebut di atas
mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal
masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan,
namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak
diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota
masing-masing.
1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013
Grafik 1.5
Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan APBD Konsolidasi Nasional
Tahun 2009 - 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Tren realisasi APBD dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 di atas
menunjukkan tren realisasi pendapatan yang selalu berada di atas 100% artinya secara
keseluruhan selama 5 tahun terakhir realisasi pendapatan APBD nasional selalu melebihi
anggaran pendapatan itu sendiri. Bahkan terdapat tren peningkatan jumlah nominal
pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke tahun, sekalipun terjadi penurunan pada tahun
2012 dan 2013, tetapi secara agregat dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
pendapatan pada kurun waktu 5 tahun terakhir. Demikian juga dengan tren realisasi belanja,
di mana dapat kita lihat bahwa terdapat kecenderungan realisasi belanja APBD secara
nasional hampir mencapai anggarannya, seperti yang terlihat pada garis merah, di mana
realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada
tahun 2013 mencapai 97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahun 2011
Sumber: DJPK (data diolah)
Tren realisasi APBD dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 di atas menunjukkan tren realisasi pendapatan yang selalu berada di atas 100%, dimana selama 5 tahun terakhir realisasi pendapatan APBD nasional selalu melebihi anggaran pendapatan itu sendiri. Bahkan terdapat tren peningkatan jumlah nominal pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke tahun, sekalipun terjadi penurunan pada tahun 2012 dan 2013, tetapi secara agregat dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan pendapatan pada kurun waktu 5 tahun terakhir.
Tren realisasi belanja juga memiliki kecenderungan dimana realisasi belanja APBD secara nasional hampir mencapai anggarannya, sebagaimana terlihat pada garis merah pada Grafik 1.5, di mana realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada tahun 2013 mencapai 97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahun 2011 dengan capaian 100,71%.
13BaB I gamBaran umum realIsasI aPBD
Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun realisasi pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, atau satu setengah kali dari yang anggarannya.
Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 – 2013
18 | P a g e
dengan capaian 100,71%. Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun
realisasi pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat
pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, mencapai satu
setengah kali dari yang anggarannya.
Grafik 1.6
Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional
Tahun 2009 – 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Perbedaan defisit/surplus dalam anggaran dengan realisasi memberikan gambaran
tingkat akurasi perencanaan daerah dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah,
baik dari sisi pendapatan ataupun belanja. Semakin besar gap anggaran dan realisasi
surplus/defisit maka hal itu menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah yang kurang tersusun dengan baik. Grafik 1.6 menyajikan pergerakan gap antara
surplus/defisit antara anggaran dengan realisasi yang semakin besar. Tahun 2009 APBD
dianggarkan defisit sebesar Rp47,96 triliun dan realisasi APBD juga terjadi defisit sebesar
Rp11,46 triliun, dengan kata lain terdapat gap atau selisih sebesar Rp36,51 triliun. Secara
visual selisih tersebut terlihat semakin besar, hingga di tahun 2013 gap tersebut mencapai
Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013 sebagian besar berasal dari pelampauan realisasi
pendapatan yang lebih besar dari anggaran sebesar Rp46,72 triliun, yang secara terperinci
angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapaatan daerah yang Sah dan
sebesar 37,51% berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
Sumber: DJPK (data diolah)
Perbedaan defisit/surplus dalam anggaran dengan realisasi memberikan gambaran tingkat akurasi perencanaan daerah dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah, baik dari sisi pendapatan ataupun belanja. Semakin besar gap anggaran dan realisasi surplus/defisit, hal ini menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang kurang tersusun dengan baik. Grafik 1.6 menyajikan pergerakan gap antara surplus/defisit antara anggaran dengan realisasi yang semakin besar. Pada tahun 2009, APBD dianggarkan defisit sebesar Rp47,96 triliun dan realisasi APBD juga terjadi defisit sebesar Rp11,46 triliun, dengan kata lain terdapat gap atau selisih sebesar Rp36,51 triliun. Secara visual, selisih tersebut terlihat semakin besar, hingga pada tahun 2013 gap tersebut mencapai Rp64,67 triliun. gap tahun 2013 sebagian besar berasal dari pelampauan realisasi pendapatan yang lebih besar dari anggaran sebesar Rp46,72 triliun, yang secara terperinci angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapatan yang Sah dan sebesar 37,51% berasal dari Pendapatan Asli Daerah.
14 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
15BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
BAB II REALIsAsI PENDAPATAN DAERAH
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menuntut pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang dimiliki secara baik dan maksimal. Terdapat dua sumber utama pendapatan daerah, yaitu dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi dan pendapatan asli daerah (PAD). Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi (pemerintah pusat dan/atau provinsi) mempunyai proporsi yang lebih besar daripada PAD, yang sebagian besar berasal dari pajak daerah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem desentralisasi di Indonesia yang lebih menganut expenditure assignment.
Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi terbagi menjadi dua, yaitu dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, dan dana transfer dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten dan kota. Dari tahun ke tahun, dana yang ditransfer menunjukkan tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dana tersebut ditujukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal secara horisontal dan vertikal, membantu pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, dan tujuan khusus lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Dalam bab ini, jenis dana transfer yang dibahas adalah dana transfer dari pemerintah pusat.
Sumber pendanaan kedua adalah PAD, yang terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah merupakan komponen utama dan menyumbang proporsi terbesar dalam PAD. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat empat jenis pajak yang dapat dipungut langsung oleh pemerintah provinsi dan tujuh jenis pajak yang menjadi kewenangan kabupaten dan kota. Terdapat beberapa jenis pajak baru yang diserahkan kepada daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan
16 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Pedesaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PajakSarangBurungWalet,danPajakRokok.Penyerahankeempatjenispajakbaru tersebut diharapkan menjadi sumber pendapatan daerah yang baru dan mampu meningkatkan nilai pendapatan asli daerah. Berbeda dengan pemberian dana transfer, penyerahan kewenangan kepada daerah untuk memungut beberapa jenis pajak merupakan bentuk pelaksanaan revenue assignment.
Untuk melihat peranan kedua sumber pendanaan tersebut dalam APBD, berikut disajikan analisis realisasi pendapatan APBD Tahun 2013. Dalam analisis ini, diberikan gambaran realisasi komponen-komponen utama pendapatan APBD dan perbandingan dengan realisasi pendapatan empat tahun terakhir. Analisis komposisi dari realisasi pendapatan APBD bertujuan untuk menunjukkan peranan dari masing-masing komponen pendapatan APBD di Indonesia dengan melihat komposisi dari pendapatan total secara agregat nasional, agregat provinsi, dan agregat kabupaten/kota. Secara khusus, analisis ini juga membahas perbandingan antara total Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total Pendapatan Daerah secara agregat nasional dan agregat kabupaten/kota.
2.1. PerbanDinGan anGGaran Dan realisasi PenDaPatan Daerah
Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1 menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara total pendapatan.
17BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional TA 2013
20 | P a g e
gambaran realisasi komponen-komponen utama pendapatan APBD dan perbandingan dengan
realisasi pendapatan empat tahun terakhir. Analisis komposisi dari realisasi pendapatan
APBD bertujuan untuk menunjukkan peranan dari masing-masing komponen pendapatan
APBD di Indonesia dengan melihat komposisi dari pendapatan total secara agregat nasional,
agregat provinsi, dan agregat kabupaten/kota. Secara khusus, analisis ini juga membahas
perbandingan antara total Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total Pendapatan
Daerah secara agregat nasional dan agregat kabupaten/kota.
2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar Rp46,73
triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah
jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1
menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada
pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara
total pendapatan.
Grafik 2.1
Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional TA 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Pelampauan realisasi terhadap anggaran terjadi pada masing-masing komponen
pendapatan. Pelampauan pendapatan daerah yang terbesar pada tahun 2013 berasal dari
Sumber: DJPK (data diolah)
Pelampauan realisasi terhadap anggaran terjadi pada masing-masing komponen pendapatan. Pelampauan pendapatan daerah yang terbesar pada tahun 2013 berasal dari komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp19.65 triliun atau terealisasi sebesar 124,57% (pagu anggaran Rp79,97 triliun sedangkan realisasinya Rp99,62 triliun), diikuti oleh pelampauan PAD Rp17,527 triliun atau terealisasi sebesar 112,49% (pagu anggaran Rp140,328 triliun sedangkan realisasi Rp157,856 triliun), dan pelampauan Dana Perimbangan Rp9,55 triliun atau terealisasi sebesar 102,2% (pagu anggaran Rp433,21 triliun sedangkan realisasi Rp442,76 triliun).
Sejak tahun 2012, Pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah merupakan pos dengan selisih realisasi terbesar secara persentase. Pelampauan komponen Lain-lain Pendapatan Yang Sah didominasi oleh pos Dana Penyesuaian yang mencapai Rp12,877 triliun (17,94% dari anggaran). Hal ini disebabkan karena informasi mengenai alokasi Tunjangan Profesi Guru baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari 2013. Pos lain yang tingkat pelampauannya cukup tinggi yaitu pos Lain-Lain dengan kenaikan sebesar Rp8,276 triliun (realisasi hingga sebesar 4 kali anggarannya). Penerimaan Dana Darurat yang semula tidak dianggarkan, terjadi realisasi sebesar Rp185,23 miliar. Sementara itu, penerimaan
18 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
dari pos Hibah pada saat realisasi justru mengalami penurunan dibandingkan anggarannya sebesar Rp1,69 triliun.
Pelampauan realisasi pendapatan pada komponen PAD masih didominasi oleh pelampauan Pajak Daerah dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah pada tahun 2013 terealisasi Rp115,28 triliun atau lebih tinggi Rp12,76 triliun (12,44%) dibandingkan anggarannya. Melampauinya realisasi penerimaan pajak daerah dibandingkan dengan target pendapatan dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah pada tahun 2013 terdapat beberapa daerah yang mulai memungut PBB-P2 secara langsung dan kinerja pemungutan pajak daerah lainnya yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, pos Lain-Lain PAD yang sah terealisasi lebih tinggi Rp5,586 triliun lebih tinggi atau sebesar 126% dibandingkan anggarannya. Lain-Lain PAD yang Sah salah satunya diperoleh dari penerimaan bunga dari simpanan daerah di bank umum daerah. Retribusi Daerah justru dianggarkan terlalu optimis oleh daerah, yang semula dianggarkan Rp10,5 triliun hanya dapat direalisasikan sebesar Rp9,8 triliun (lebih rendah Rp694 miliar atau terealisasi 93,39% dibandingkan anggarannya).
Untuk Dana Perimbangan, pelampauan terjadi pada pos Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp8,72 triliun. Lebih tingginya realisasi DBH dibandingkan dengan anggaran karena jumlah DBH yang akan diterima oleh daerah baru diketahui ketika sebagian besar daerah telah menetapkan APBD sehingga nilai yang ditetapkan dalam APBD merupakan nilai proyeksi berdasarkan nilai DBH tahun sebelumnya. Faktor lain yang menyebabkan realisasi DBH lebih besar dibandingkan dengan anggarannya adalah ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa DBH ditransfer berdasarkan nilai realisasi yang diterima oleh pemerintah pusat.
Berbeda dengan pos Dana Bagi Hasil, realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) hampir sama dengan jumlah yang dianggarkan, selisih yang terjadi hanya di bawah 1% dibandingkan dengan anggaran. Realisasi DAU lebih tinggi Rp1,04 triliun daripada yang telah dianggarkan oleh daerah, sebaliknya DAK dianggarkan terlalu tinggi Rp205 miliar. Hal ini disebabkan karena nilai alokasi DAU dan DAK yang diterima oleh daerah bersifat tetap (tidak
19BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
berubah walau terdapat APBN Perubahan) dan informasi jumlah DAU dan DAK yang diterima dapat diperoleh oleh pemerintah daerah sebelum APBD ditetapkan. Variasi yang relatif kecil ini juga sejalan dengan hasil analisis pada Deskripsi dan Analisis APBD Tahun 2013 yang menguji hubungan variasi nilai alokasi DBH, DAU, dan DAK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan ditetapkan dalam APBD dengan pengumuman informasi alokasi oleh pemerintah pusat. Informasi DBH tahun 2013 baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari 2013, sedangkan besaran DAU dan DAK yang diterima diketahui oleh masing-masing daerah setelah rapat paripurna penetapan APBN 2013 dilaksanakan.
Analisis yang dilakukan dengan melihat perbedaan besaran alokasi pada Perpres DAU dan PMK Alokasi DAK dan DBH dengan besarnya pos dana tersebut pada APBD. Deviasi akan bernilai positif apabila daerah menganggarkan penerimaannya pada APBD lebih besar daripada alokasi pada PMK Alokasi dan akan bernilai negatif apabila alokasi pada APBD lebih kecil daripada alokasi pada PMK Alokasi. Deviasi/perbedaan terbesar terdapat pada alokasi Dana Bagi Hasil yang mencapai 167,28% untuk deviasi negatif dan 100% untuk deviasi positif. Di sisi lain, deviasi atas alokasi DAK dan DAU cenderung kecil. Meskipun masih ada daerah dengan deviasi negatif 100%, jumlah tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan daerah yang memiliki deviasi 0% dan hanya 3 daerah yang memiliki deviasi positif dengan nilai deviasi positif tertinggi sebesar 3,5%. Deviasi positif tertinggi yang terjadi pada alokasi DAU adalah sebesar 6,37% dan deviasi negatif tertinggi sebesar 23,7%. Dengan kondisi ini, perbedaan antara anggaran dan realisasi Dana Perimbangan di APBD tidak terlalu signifikan.
2.2. KomPosisi PenDaPatan Daerah
Berdasarkan data yang disajikan pada poin A, tampak bahwa Dana Perimbangan merupakan komponen pendapatan terbesar bagi daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional, provinsi, dan agregat kabupaten/kota.
20 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan Provinsi
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
23 | P a g e
2.2. Komposisi Pendapatan Daerah
Berdasarkan data yang disajikan pada poin A, tampak bahwa Dana Perimbangan
merupakan komponen pendapatan terbesar bagi daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa
daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai
belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional,
provinsi, dan agregat kabupaten/kota.
Grafik.2.2
Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan Provinsi
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
Sumber: DJPK (data diolah)
Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan
yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah
PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-
Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. Nilai
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah untuk agregat nasional merupakan nilai hasil konsolidasi
setelah dikurangi pendapatan Transfer dari Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah
Lainnya sebesar Rp26,7 triliun.
Berbeda dengan nasional, komposisi pendapatan untuk provinsi yang terbesar berasal
dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun 2012.
Proporsi PAD pada tingkat provinsi cukup signifikan karena basis pajak provinsi yang cukup
besar sehingga penerimaan dari pajak daerah memberikan kontribusi yang besar bagi APBD.
Proporsi Dana Perimbangan yang diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan
Sumber: DJPK (data diolah)
Secara agregat nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. Nilai Lain-Lain Pendapatan Yang Sah untuk agregat nasional merupakan nilai hasil konsolidasi setelah dikurangi pendapatan Transfer dari Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya sebesar Rp26,7 triliun.
Berbeda dengan nasional, komposisi pendapatan untuk provinsi yang terbesar berasal dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun 2012. Proporsi PAD pada tingkat provinsi cukup signifikan karena basis pajak provinsi yang cukup besar sehingga penerimaan dari pajak daerah memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Proporsi Dana Perimbangan yang diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
21BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
24 | P a g e
Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih
didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
Grafik.2.3
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah PAD sebesar
Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota
sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota sangat
didominasi oleh penerimaan dari Dana Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan
komponen terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang
Sah memiliki kontribusi sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan
terbesar komponen ini berasal dari transfer Dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat.
Sementara itu Pendapatan Asli Daerah hanya memberikan kontribusi terhadap APBD
sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi yang cukup
signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami kenaikan sebesar Rp10
triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan komponen PAD, Pajak Daerah
memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5
triliun (29%). Bagi kabupaten/kota penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi APBD.
Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah daerah
kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah PAD sebesar Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota sangat didominasi oleh penerimaan dari Dana Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan komponen terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah memiliki kontribusi sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan terbesar komponen ini berasal dari transfer Dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat.
Sementara itu Pendapatan Asli Daerah hanya memberikan kontribusi terhadap APBD sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami kenaikan sebesar Rp10 triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan komponen PAD, Pajak Daerah memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5 triliun (29%). Bagi kabupaten/kota penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi APBD.
22 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat memperoleh realisasi penerimaan pajak daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang nilainya cukup signifikan. Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan Bunga. Kondisi ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang dimiliki daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana idle di perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah.
2.3. tren realisasi PenDaPatan Daerah nasional
Tren realisasi pendapatan daerah nasional dapat dilihat pada Grafik 2.4. Grafik tersebut menunjukkan pola realisasi pendapatan daerah dari tahun 2009-2013 menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan dengan harga konstan tahun 2000 dan memperhitungkan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2009 - 2013, sedangkan pendekatan dengan harga berlaku tidak memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun 2009 - 2013.
Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
25 | P a g e
yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat
memperoleh realisasi penerimaan pajak daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu
mendapatkan perhatian adalah peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang
nilainya cukup signifikan. Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan
Bunga. Kondisi ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang
dimiliki daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana idle di
perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah.
2.3. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional
Tren realisasi pendapatan daerah nasional dapat dilihat pada Grafik 2.4. Grafik
tersebut menunjukkan pola realisasi pendapatan daerah dari tahun 2009-2013 menggunakan
dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan dengan harga konstan tahun 2000 dan
memperhitungkan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2009 - 2013, sedangkan
pendekatan dengan harga berlaku tidak memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun
2009 - 2013.
Grafik 2.4
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
2009 2010 2011 2012 2013
Pendapatan 378,20 433,60 527,73 624,50 700,24
PAD 67,57 81,15 109,24 131,81 157,86
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
800,00
Pendapatan
PAD
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan dengan pendekatan harga berlaku menunjukkan peningkatan
yang signifikan dari tahun 2009-2013, dengan peningkatan tertinggi pada tahun 2011. Jika
tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013
realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun
dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai
realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun.
Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan dengan pendekatan harga berlaku menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2009-2013, dengan peningkatan tertinggi
23BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
pada tahun 2011. Jika tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun.
Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis Pendapatan TA 2009-2013
26 | P a g e
Grafik 2.5
Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis Pendapatan TA 2009-2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Tren peningkatan juga terlihat untuk realisasi jenis pendapatan PAD dengan
pendekatan harga berlaku. Walaupun peningkatan terbesar pada tahun 2010 ke 2011 yaitu
sebesar 34,6% atau sebesar Rp28,09 triliun, peningkatan yang terjadi dari tahun 2012 ke tahun
2013 juga cukup besar, yaitu Rp26,04 triliun. Sementara itu berdasarkan harga konstan, jenis
pendapatan PAD juga mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar 14,73% atau Rp6,35
triliun.
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan baik
berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana
Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29
triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64%
(Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14%
(Rp37,07 triliun). Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan
meskipun secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar
12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang
Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun harga konstan.
Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013
sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya
Triliun Rupiah Triliun Rupiah
Sumber: DJPK (data diolah)
Tren peningkatan juga terlihat untuk realisasi jenis pendapatan PAD dengan pendekatanhargaberlaku.Walaupunpeningkatanterbesarpadatahun2010ke 2011 yaitu sebesar 34,6% atau sebesar Rp28,09 triliun, peningkatan yang terjadi dari tahun 2012 ke tahun 2013 juga cukup besar, yaitu Rp26,04 triliun. Sementara itu berdasarkan harga konstan, jenis pendapatan PAD juga mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar 14,73% atau Rp6,35 triliun.
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% (Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% (Rp37,07 triliun).
24 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan meskipun secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar 12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun harga konstan. Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya pada tahun 2012 sebesar 13,07% (Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72% (Rp2,76 triliun).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah baik secara keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil dari tahun 2009 hingga 2013.
2.4. rasio PajaK Daerah terhaDaP total PenDaPatan Daerah
Rasio pajak daerah terhadap total pendapatan daerah menggambarkan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di daerah terhadap total pendapatan daerah selama satu periode anggaran. Rasio ini menunjukkan bagaimana komposisi penerimaan dari sektor pajak daerah terhadap pendapatan yang dapat dihasilkan oleh daerah. Dengan telah diterapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan kebijakan diskresi penetapan tarif pajak.
25BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
Grafik 2.6 Perkembangan Jumlah Daerah
yang Mengelola BPHTB dan PPB-P2 2009-2013
27 | P a g e
pada tahun 2012 sebesar 13,07% (Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72%
(Rp2,76 triliun).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah baik secara
keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil dari tahun 2009 hingga 2013.
2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Rasio pajak daerah terhadap total pendapatan daerah menggambarkan perbandingan
antara jumlah penerimaan pajak di daerah terhadap total pendapatan daerah selama satu
periode anggaran. Rasio ini menunjukkan bagaimana komposisi penerimaan dari sektor pajak
daerah terhadap pendapatan yang dapat dihasilkan oleh daerah. Dengan telah diterapkannya
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah
diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan
kebijakan diskresi penetapan tarif pajak.
Grafik 2.6
Perkembangan Jumlah Daerah
yang Mengelola BPHTB dan PPB-P2 2009-2013
2011 2012 2013
BPHTB 297 407 442
PBB-P2 8 29 129
-
100
200
300
400
500
BPHTB
PBB-P2
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai pengalihan
kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah, secara jelas menyiratkan
bentuk dukungan bagi daerah untuk dapat melakukan pemungutan pajaknya dengan lebih
optimal. Kedua hal ini yang tampaknya mendorong peningkatan pendapatan pajak dan
retribusi daerah sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas
terlihat perkembangan jumlah kabupaten/kota (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) yang
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah, secara jelas menyiratkan bentuk dukungan bagi daerah untuk dapat melakukan pemungutan pajaknya dengan lebih optimal. Kedua hal ini yang tampaknya mendorong peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas terlihat perkembangan jumlah kabupaten/kota (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) yang mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah mulai tahun 2011 hingga 2013.
26 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik 2.7 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Secara Nasional TA 2009-2013
28 | P a g e
mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah mulai tahun 2011
hingga 2013.
Grafik 2.7
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Secara Nasional TA 2009-2013
11,68% 12,34% 13,84% 14,81% 15,69%
11,93%12,95%
15,03%15,22%
16,46%
0,00%
2,00%
4,00%
6,00%
8,00%
10,00%
12,00%
14,00%
16,00%
18,00%
2009 2010 2011 2012 2013
Rasio Anggaran
Rasio Realisasi
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 2.7 menunjukkan tren rasio pajak daerah terhadap total pendapatan dari tahun
2009 hingga 2013 secara agregat nasional pada anggaran dan realisasi dalam APBD. Tren
yang ditunjukkan terus meningkat dari tahun ke tahun baik pada anggaran maupun realisasi.
Peningkatan tren anggaran menunjukkan adanya peningkatan sekitar 1% setiap tahunnya dan
peningkatan rasio terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 1,5% dari tahun 2010. Tren
rasio pajak berdasarkan realisasi APBD menunjukkan peningkatan dari tahun 2009-2012
sekitar 1 hingga 2 persen dan tahun 2013 peningkatan terjaga sebesar 1,24% dari tahun 2012.
Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa penerimaan pajak selalu terealisasi lebih
besar dibandingkan yang telah dianggarkan daerah dalam APBD. Perbedaan terkecil antara
realisasi dengan anggaran terjadi pada tahun 2009 yaitu sekitar 0,3% dan yang terbesar terjadi
pada tahun 2011 yaitu sekitar 1,2%. Sedangkan deviasi realisasi dengan anggaran pada tahun
2013 berada pada kisaran 0,8%. Walaupun masih menaruh angka pesimis pada
penganggaran, hal ini menunjukkan daerah sudah cukup mampu memperkirakan potensi
pajak daerahnya. Deviasi yang mencolok antar realisasi dan anggaran pajak daerah terlihat
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 2.7 menunjukkan tren rasio pajak daerah terhadap total pendapatan dari tahun 2009 hingga 2013 secara agregat nasional pada anggaran dan realisasi dalam APBD. Tren yang ditunjukkan terus meningkat dari tahun ke tahun baik pada anggaran maupun realisasi. Peningkatan tren anggaran menunjukkan adanya peningkatan sekitar 1% setiap tahunnya dan peningkatan rasio terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 1,5% dari tahun 2010. Tren rasio pajak berdasarkan realisasi APBD menunjukkan peningkatan dari tahun 2009-2012 sekitar 1 hingga 2 persen dan tahun 2013 peningkatan terjaga sebesar 1,24% dari tahun 2012.
Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa penerimaan pajak selalu terealisasi lebih besar dibandingkan yang telah dianggarkan daerah dalam APBD. Perbedaan terkecil antara realisasi dengan anggaran terjadi pada tahun 2009 yaitu sekitar 0,3% dan yang terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sekitar 1,2%. Sedangkan deviasi realisasi dengan anggaran pada tahun 2013 berada pada kisaran0,8%.Walaupunmasihmenaruhangkapesimispadapenganggaran,hal ini menunjukkan daerah sudah cukup mampu memperkirakan potensi pajak daerahnya. Deviasi yang mencolok antar realisasi dan anggaran pajak daerah
27BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
terlihat pada tahun 2011, dikarenakan penerapan kebijakan BPHTB yang mulai efektif dialihkan sebagai pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011.
Grafik 2.8 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013
29 | P a g e
pada tahun 2011, dikarenakan penerapan kebijakan BPHTB yang mulai efektif dialihkan
sebagai pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011.
Grafik 2.8
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013
2,41%2,70%
3,73%4,23%
4,89%
2,53% 2,57%
4,05%
4,80%
5,48%
0,00%
1,00%
2,00%
3,00%
4,00%
5,00%
6,00%
2009 2010 2011 2012 2013
Rasio Anggaran
Rasio Realisasi
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.8 tampak bahwa rasio pajak tahun 2009 dan 2010 berdasarkan realisasi
relatif stabil pada kisaran 2,5%. Namun, setelah itu, terlihat adanya peningkatan tren dari
rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai lebih dari dua kali lipat dari rasio
pajak pada tahun 2010. Hal ini menunjukan pengaruh BPHTB cukup signifikan terhadap
penerimaan pajak kabupaten/kota.
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.8 tampak bahwa rasio pajak tahun 2009 dan 2010 berdasarkan realisasi relatif stabil pada kisaran 2,5%. Namun, setelah itu, terlihat adanya peningkatan tren dari rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai lebih dari dua kali lipat dari rasio pajak pada tahun 2010. Hal ini menunjukan pengaruh BPHTB cukup signifikan terhadap penerimaan pajak kabupaten/kota.
28 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik 2.9 Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Terhadap Total Pajak Daerah
Secara Nasional TA 2010-2013
30 | P a g e
Grafik 2.9
Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Terhadap Total Pajak Daerah
Secara Nasional TA 2010-2013
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
40,00%
45,00%
50,00%
-
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
2010 2011 2012 2013
Rasio terhadap Total
Pajak Daerah (%)Milyar Rupiah
Anggaran Pajak Daerah Realisasi Pajak Daerah Anggaran PBB-P2 Realisasi PBB-P2
Anggaran BPHTB Realisasi BPHTB Anggaran PBB-P2 dan BPHTB Realisasi PBB-P2 dan BPHTB
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.9, terlihat bahwa secara total realisasi PBB dan BPHTB mampu
melampaui anggaran pada tahun 2011 dan 2012. Namun demikian, pencapaian ini lebih
banyak dikontribusi oleh realisasi penerimaan BPHTB dibanding realisasi penerimaan PBB
yang pada periode tersebut baru sedikit daerah yang telah melakukan pemungutan PBB
secara langsung. Selain itu pada grafik juga terlihat jelas bahwa realisasi penerimaan PBB
dan BPHTB terus meningkat tiap tahunnya baik nilai absolut maupun rasionya terhadap
penerimaan pajak daerah.
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.9, terlihat bahwa secara total realisasi PBB dan BPHTB mampu melampaui anggaran pada tahun 2011 dan 2012. Namun demikian, pencapaian ini lebih banyak dikontribusi oleh realisasi penerimaan BPHTB dibanding realisasi penerimaan PBB yang pada periode tersebut baru sedikit daerah yang telah melakukan pemungutan PBB secara langsung. Selain itu pada grafik juga terlihat jelas bahwa realisasi penerimaan PBB dan BPHTB terus meningkat tiap tahunnya baik nilai absolut maupun rasionya terhadap penerimaan pajak daerah.
29BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
BAB III REALIsAsI BELANJA DAERAH
Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat terealisasi dengan baik. Hal ini menjadi salah satu tugas penting pemerintahan daerah terutama dalam menyediakan layanan administratif dan infrastruktur publik melalui alokasi belanja daerah pada APBD. Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Realisasi belanja daerah merupakan realisasi penyerapan belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah.
3.1. PerbanDinGan anGGaran DenGan realisasi belanja Daerah
Grafik 3.1 Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah APBD
Tahun Anggaran 2013 (dalam miliar rupiah)
31 | P a g e
BAB III
REALISASI BELANJA DAERAH
Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas
layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat
terealisasi dengan baik. Hal ini menjadi salah satu tugas penting pemerintahan daerah
terutama dalam menyediakan layanan administratif dan infrastruktur publik melalui alokasi
belanja daerah pada APBD. Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat
dengan kebijakan belanja daerah. Realisasi belanja daerah merupakan realisasi penyerapan
belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh
program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan
publik di daerah.
3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah
Grafik 3.1
Perbandingan Anggaran dengan Realisasi
Belanja Daerah APBD Tahun Anggaran 2013
(dalam miliar rupiah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95
triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun
atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang
Sumber : DJPK (data diolah)
30 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun.
Komponen belanja dengan tingkat penyerapan masih di bawah 100% meliputi Belanja Pegawai yaitu sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun dengan pagu anggaran Rp296,82 triliun), Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 97,61% (realisasi Rp144,63 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp148,17 triliun), dan Belanja Modal sebesar 92,76% (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun).
Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya dilihat dari tingkat realisasi belanjanya semata. Apabila kita hanya melihat realisasi belanja yang lebih tinggi daripada anggaran induknya, hal ini bisa menjadi sangat bias karena seolah-olah penyerapan belanja APBD-nya sangat baik padahal tidak sepenuhnya seperti itu. Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap APBD pada saat tahun anggaran sedang berjalan, terutama dari sisi pendapatan APBD, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Dana Perimbangan.
Dalam proses pembahasan APBD, penetapan angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada informasi transfer dari Pusat. Kondisi yang terjadi pada saat penetapan APBD tahun 2013 adalah hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran alokasi DAU dan DAK sudah terinformasikan ke daerah pada minggu pertama November sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat terinformasikan pada bulan Desember sebelum tahun anggaran yang baru atau bahkan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari sampai dengan Maret. Dengan demikian besaran alokasi dana perimbangan per daerah setiap tahunnya belum sepenuhnya ada kepastian, apakah daerah tersebut mendapatkan alokasi dana
31BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
ataukah alokasi dananya naik atau turun, khususnya transfer dari DBH, sehingga daerah cenderung hanya membandingkan dengan alokasi tahun lalu.
Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Sebagai akibatnya, daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinformasikan tersebut. Dalam kenyataannya, terkait dengan realisasi pelampauan pendapatan pada APBD induk, daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya.
Selain itu, apabila kita melihat data secara lebih detail, pada Grafik 3.1 di atasterlihatbahwaBelanjaPegawaiatauyangbiasadisebutsebagai“GajiPNS”tidak terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik.
Salah satu kelemahan yang seringkali terjadi adalah adanya kecenderungan daerah untuk melakukan perubahan APBD pada saat menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September). Hal ini tentu saja sangat mengurangi kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyesuaikan belanja, karena waktu yang tersisa untuk melaksanakan kegiatan/proyek menjadi sangat sempit. Daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa
32 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
besarnya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi perubahan APBD hanya pada penyesuaian yang sifatnya administratif dan kurang menyentuh aspek substansi penyebab perubahan serta dampak yang mungkin bisa didapatkan apabila momentum perubahan dilakukan lebih awal.
Sebab lain yang turut andil dalam keterlambatan penyesuaian belanja daerah ini juga dipengaruhi oleh aturan Permendagri yang memang mengaturnya sedemikian rupa. Namun apabila merujuk pada UU 17 Nomor 2003 tentang Keuangan Negara, dalam Pasal 28 menyebutkan bahwa perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan kebijakan umum APBD. Yang dimaksudkan dengan kebijakan umum APBD mencakup di antaranya adalah kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan belanja daerah. Dua hal tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan sebagai dasar bagi perubahan APBD. Dengan demikian, apabila melihat kondisi yang terjadi pada tahun 2013, seharusnya perubahan APBD sudah dapat dilakukan paling tidak sejak bulan Mei 2013.
Di samping permasalahan yang telah disebutkan di atas, beberapa hal yang juga menyebabkan rendahnya penyerapan Belanja Modal daerah adalah penetapan APBD yang terlambat, adanya efisiensi Belanja Modal dan berbagai kebijakan penghematan. APBD yang terlambat ditetapkan dapat menyebabkan pelaksanaan proyek jadi terhambat. Penyerapan belanja yang tidak dapat dimulai pada awal tahun anggaran akan menyebabkan proyek yang direncanakan pemerintah tidak dapat diselesaikan tepat waktu sehingga akan menghambat daya dorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Proses tender yang memakan waktu relatif lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-proyek di daerah menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir Desember 2013.
33BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
3.2. KomPosisi realisasi belanja Daerah
Grafik 3.2 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
34 | P a g e
pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan belanja daerah. Dua hal
tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan sebagai dasar bagi perubahan APBD. Dengan
demikian, apabila melihat kondisi yang terjadi pada tahun 2013, seharusnya perubahan
APBD sudah dapat dilakukan paling tidak sejak bulan Mei 2013.
Di samping permasalahan yang telah disebutkan di atas, beberapa hal yang juga
menyebabkan rendahnya penyerapan Belanja Modal daerah adalah penetapan APBD yang
terlambat, adanya efisiensi Belanja Modal dan berbagai kebijakan penghematan. APBD yang
terlambat ditetapkan dapat menyebabkan pelaksanaan proyek jadi terhambat. Penyerapan
belanja yang tidak dapat dimulai pada awal tahun anggaran akan menyebabkan proyek yang
direncanakan pemerintah tidak dapat diselesaikan tepat waktu sehingga akan menghambat
daya dorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Proses tender yang memakan waktu relatif
lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-proyek di daerah
menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir
Desember 2013.
3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah
Grafik 3.2
Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional
Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
Sumber : DJPK (data diolah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Grafik 3.2 menggambarkan bahwa secara nasional komposisi belanja daerah tahun 2013 didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 41,70% lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar 43,71%. Selanjutnya diikuti oleh Belanja Modal yaitu sebesar 23,63% lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 21,94%, Belanja Barang dan Jasa sebesar 20,96% lebih tinggi dari realisasi tahun lalu sebesar 20,14%, dan Belanja Lainnya sebesar 13,70% lebih rendah dari realisasi tahun lalu sebesar 14,22%.
Kondisi ini tentu saja harus menjadi perhatian kita mengingat secara implisit daerah hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawai. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya pada pos Belanja Modal yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Seharusnya dengan melihat realisasi pendapatan yang ternyata jauh lebih tinggi, maka belanja pelayanan publik bisa didorong lebih besar.
Apabila seluruh pelampauan pendapatan dalam APBD 2013 dapat dialokasikan untuk penambahan belanja (dengan asumsi bahwa Belanja Pegawai tetap), dapat
34 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
diketahui bahwa alokasi belanja non belanja pegawai akan mengalami kenaikan dari 58,29% menjadi 60,93% dari total APBD. Meskipun hal tersebut hanya sebuah pengandaian, namun apabila pelampauan pendapatan sebesar Rp46,72 triliun tersebut benar-benar digunakan untuk menambah alokasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa yang terkait pelayanan dasar kepada masyarakat, maka besar harapan bahwa hal tersebut akan memperluas jangkauan pelayanan publik dan sekaligus dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
Grafik 3.3 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
36 | P a g e
Grafik 3.3
Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi
Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
Sumber : DJPK (data diolah)
Grafik 3.3 menunjukkan bahwa persentase realisasi belanja daerah provinsi terbesar
adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 40,37%, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi tahun lalu sebesar 41,44%, diikuti Belanja Barang dan Jasa sebesar 23,64% lebih
tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 23,01%, Belanja Modal sebesar 18,02% lebih
tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 16,65%, dan Belanja Pegawai sebesar 17,97%
lebih rendah dibanding realisasi tahun lalu sebesar 18,90%.
Berbeda dengan komposisi realisasi belanja daerah secara nasional, persentase
realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah untuk Belanja Lainnya, yaitu
berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar
mengingat pelampauan pendapatan yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah,
sehingga memang harus dibagihasilkan.
Sumber : DJPK (data diolah)
Grafik 3.3 menunjukkan bahwa persentase realisasi belanja daerah provinsi terbesar adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 40,37%, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar 41,44%, diikuti Belanja Barang dan Jasa sebesar 23,64% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 23,01%, Belanja Modal sebesar 18,02% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 16,65%, dan Belanja Pegawai sebesar 17,97% lebih rendah dibanding realisasi tahun lalu sebesar 18,90%.
35BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
Berbeda dengan komposisi realisasi belanja daerah secara nasional, persentase realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah untuk Belanja Lainnya, yaitu berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar mengingat pelampauan pendapatan yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah, sehingga memang harus dibagihasilkan.
Tabel 3.1 Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi
Tahun Anggaran 2013
Jenis Belanja Lainnya Nominal (Rp) Persentase
Belanja Bunga 797.036.137.348 0,39%
Belanja Subsidi 31.165.819.500 0,02%
Belanja Hibah 35.479.927.984.936 17,49%
Belanja Bantuan Sosial 3.023.297.238.337 1,49%
Belanja Bagi Hasil Kepada Prov/Kab/Kota dan Pemdes
27.194.552.911.654 13,41%
Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov/Kab/Kota dan Pemdes
15.143.210.071.367 7,47%
Belanja Tidak Terduga 203.665.952.632 0,10%
Sumber : DJPK (data diolah)
Selain itu pada Belanja Lainnya di APBD provinsi, realisasi Belanja Hibah mencapai 17,49% (Rp35,48 triliun) dan Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten dan Kota realisasinya sebesar 13,41% (Rp27,19 triliun), serta realisasi Bantuan Sosial sebesar 1,49% (Rp3,02 triliun). Terkait dengan pos Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial, patut dicermati karena belanja ini sering menjadi isu yang panas dan banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat mendekati tahun politik 2014.
36 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Untuk provinsi, persentase realisasi Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal memiliki tren meningkat sedangkan realisasi Belanja Lainnya dan Belanja Pegawai memiliki tren menurun.
Grafik 3.4 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
38 | P a g e
Grafik 3.4
Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota
Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
Sumber : DJPK (data diolah)
Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia
didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding realisasi tahun
lalu sebesar 51,72%, kemudian diikuti oleh Belanja Modal dengan persentase sebesar 24,63%
lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 23,03%, Belanja Barang dan Jasa sebesar
18,82% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya
sebesar 7,63% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 7,25%.
Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level
kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa memiliki
tren meningkat sedangkan realisasi Belanja Pegawai memiliki tren menurun.
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga
konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD
memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan.
Sumber : DJPK (data diolah)
Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding realisasi tahun lalu sebesar 51,72%, kemudian diikuti oleh Belanja Modal dengan persentase sebesar 24,63% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 23,03%, Belanja Barang dan Jasa sebesar 18,82% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya sebesar 7,63% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 7,25%.
Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa memiliki tren meningkat sedangkan realisasi Belanja Pegawai memiliki tren menurun.
37BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
3.3. tren realisasi belanja Daerah secara nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan.
Grafik 3.5 menunjukkan tren realisasi belanja dengan menggunakan harga berlaku yang tidak memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun 2010-2013, sedangkan Grafik 3.6 menggunakan perhitungan dengan harga konstan berdasarkan angka GDP deflator dengan tahun dasar 2000. Harga konstan memperhitungan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2010-2013.
Grafik 3.5 Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
(harga berlaku)
39 | P a g e
Grafik 3.5 menunjukkan tren realisasi belanja dengan menggunakan harga berlaku
yang tidak memperhitungkan faktor perubah harga pada tahun 2010-2013, sedangkan Grafik
3.6 menggunakan perhitungan dengan harga konstan berdasarkan angka GDP deflator
dengan tahun dasar 2000. Harga konstan memperhitungan faktor perubah harga seperti inflasi
pada tahun 2010-2013.
Grafik 3.5
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
(harga berlaku)
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
38 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik 3.6 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
(harga konstan, tahun 2000)
40 | P a g e
Grafik 3.6
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
(harga konstan, tahun 2000)
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional memiliki tren
meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan yang semakin mengecil.
Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada
tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32%
(Rp30,67 triliun), dan pada tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun).
Sementara itu berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga
mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 7,18%
(Rp5,27 triliun), dan pada tahun 2012 meningkat kembali sebesar 8,44% (6,64 triliun),
kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar 5,69% (Rp4,85 triliun).
Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional memiliki pola yang sama
dengan tren realisasi Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga yang berlaku
maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional
berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 31,04%
(Rp25,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun).
Pada tahun 2013, realisasi Belanja Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar
20,31% (Rp24,42 triliun). Berdasarkan harga konstan, pada tahun 2011 juga terjadi
Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional memiliki tren meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan yang semakin mengecil. Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32% (Rp30,67 triliun), dan pada tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun). Sementara itu berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 7,18% (Rp5,27 triliun), dan pada tahun 2012 meningkat kembali sebesar 8,44% (6,64 triliun), kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar 5,69% (Rp4,85 triliun).
Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional memiliki pola yang sama dengan tren realisasi Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga yang berlaku maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 31,04% (Rp25,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja
39BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar 20,31% (Rp24,42 triliun). Berdasarkan harga konstan, pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan untuk realisasi Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 22,57% (Rp6,66 triliun), dan pada tahun 2012 kembali mengalami peningkatan sebesar 8,76% (Rp3,17 triliun). Realisasi Belanja Barang dan Jasa meningkat kembali pada tahun 2013 yaitu sebesar 15,26% (Rp6 triliun).
Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87% (Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku.
Tren Belanja Lainnya mengalami penurunan pada tahun 2011 baik dalam harga berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 15,54% (Rp9,92 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 21% (Rp4,90 triliun) berdasarkan harga konstan. Sedangkan pada tahun 2012, realisasi Belanja Lainnya mengalami kenaikan baik dalam harga yang berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 57,35% (Rp30,92 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 50,57% (Rp9,32 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2013, realisasi Belanja Lainnya mengalami kenaikan kembali baik dalam harga yang berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 11,46% (Rp9,73 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 6,79% (Rp1,88 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2011, penurunan Belanja Lainnya berdasarkan harga konstan ternyata lebih besar dibanding penurunan berdasarkan harga yang berlaku, dan pada tahun 2012 serta 2013 peningkatan realisasi Belanja Lainnya berdasarkan harga
40 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
konstan ternyata lebih kecil dibanding peningkatan realisasi Belanja Lainnya berdasarkan harga yang berlaku.
Dengan demikian, Belanja daerah baik secara keseluruhan maupun per jenis belanja mempunyai pola kenaikan atau penurunan yang sama, meskipun besarannya berbeda, baik dengan memasukkan faktor perubah harga maupun tidak. Namun demikian, besaran persentase kenaikan berdasarkan harga yang berlaku lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga konstan, sebaliknya penurunan berdasarkan harga yang berlaku lebih rendah dibandingkan dengan penurunan berdasarkan harga konstan.
3.4. realisasi belanja Daerah Per KaPita
Grafik 3.7 Realisasi Belanja Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
42 | P a g e
kenaikan berdasarkan harga konstan, sebaliknya penurunan berdasarkan harga yang berlaku
lebih rendah dibandingkan dengan penurunan berdasarkan harga konstan.
3.4. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita
Grafik 3.7
Realisasi Belanja Daerah Per Kapita
Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Berdasarkan Grafik 3.7 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja daerah per
kapita adalah sebesar Rp4.321.913,00. Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi
memperlihatkan bahwa belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang
berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang
diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar
Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan
belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan
belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal
ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi
dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesarRp1.514.208,00,
Sumber : DJPK (data diolah)
Berdasarkan Grafik 3.7 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja daerah per kapita adalah sebesar Rp4.321.913,00. Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan
41BaB II realIsasI PenDaPatan Daerah
oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesarRp1.514.208,00, diikuti oleh Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00.
3.5. realisasi belanja moDal Daerah Per KaPita
Grafik 3.8 Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
43 | P a g e
diikuti oleh Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar
Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00.
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita
Grafik 3.8
Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita
Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
Sumber : DJPK (data diolah)
Berdasarkan Grafik 3.8 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja modal per
kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Sama halnya dengan realisasi belanja daerah per
kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga menunjukkan bahwa belanja modal
per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia.
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu
sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan
belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00.
Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di
Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur
dengan belanja per kapita masing-masing adalah sebesar Rp256.841,00, Rp286.743,00, dan
Rp292.804,00.
Sumber : DJPK (data diolah)
Berdasarkan Grafik 3.8 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja modal per kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Sama halnya dengan realisasi belanja daerah per kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga menunjukkan bahwa belanja modal per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia.
42 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur dengan belanja per kapita masing-masing adalah sebesar Rp256.841,00, Rp286.743,00, dan Rp292.804,00.
43BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
BAB IV REALIsAsI sURPLUs/DEfIsIT DAN
PEMBIAYAAN DAERAH
4.1. sUrPlUs/Defisit
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Pemerintah Daerah dapat menetapkan APBD surplus ataupun defisit sesuai dengan kondisi keuangan daerah dan keadaan perekonomian yang dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, maka pemda menetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Demikian halnya apabila APBD diperkirakan defisit, maka ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Perda tentang APBD.
Apabila secara bersamaan seluruh daerah dan Pemerintah Pusat mengambil kebijakan menetapkan anggarannya defisit, hal ini dapat mempengaruhi kesinambungan fiskal secara nasional. Untuk itu, Pemerintah melakukan pengendalian terhadap jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak menimbulkan beban berat bagi keuangan negara.
Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah untuk Tahun 2013 ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 137 Tahun 2012. Batas maksimal kumulatif defisit APBD Tahun Anggaran (TA) 2013 secara nasional ditetapkan sebesar 0,5% dari proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran 2013. Batas maksimal defisit APBD TA 2013 untuk
44 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% dari perkiraan pendapatan daerah TA 2013.
Penetapan anggaran surplus maupun defisit dalam APBD memungkinkan realisasi pendapatan daerah dapat lebih tinggi ataupun lebih rendah dari realisasi belanjanya. Mayoritas daerah menetapkan anggarannya defisit dalam APBD. Hal tersebut dilakukan karena daerah masih pesimis terhadap perolehan pendapatan yang akan diterima pada tahun berkenaan.
Besaran defisit/surplus yang rendah ataupun tinggi antara anggaran dengan realisasi APBD dapat memberikan gambaran tingkat akurasi perencanaan daerah dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara anggaran dan realisasinya yang bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersangkutan semakin kurang baik.
Berikut ini adalah perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2009 – 2013.
Grafik 4.1 Perbandingan Suplus/Defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD 2009-2013
45 | P a g e
pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara anggaran dan realisasinya yang
bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan
belanja daerah bersangkutan semakin kurang baik.
Berikut ini adalah perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD
Tahun Anggaran 2009 – 2013.
Grafik 4.1
Perbandingan Suplus/Defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD 2009-2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-2013
antara anggaran dan realisasi yang semakin besar. Pada Tahun 2009 sebanyak 445 daerah
menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun
namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih
sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran
dan realisasi terlihat terus mengalami peningkatan. Posisi terakhir APBD pada tahun 2013
dianggarkan defisit sebesar Rp54,38 triliun, namun pada realisasinya justru terjadi surplus
Rp10,28 triliun atau terdapat selisih Rp64,66 triliun.
Sumber: DJPK (data diolah)
45BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-2013 antara anggaran dan realisasi yang semakin besar. Pada Tahun 2009 sebanyak 445 daerah menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran dan realisasi terlihat terus mengalami peningkatan. Posisi terakhir APBD pada tahun 2013 dianggarkan defisit sebesar Rp54,38 triliun, namun pada realisasinya justru terjadi surplus Rp10,28 triliun atau terdapat selisih Rp64,66 triliun.
Selisih yang sangat besar antara anggaran dan realisasi pada tahun 2013 disebabkan adanya pelampauan realisasi pendapatan daerah yakni dianggarkan sebesar Rp653,51 triliun namun realisasinya Rp700,24 triliun, sehingga terdapat selisih sebesar Rp46,73 triliun. Selisih tersebut berasal dari pelampauan PAD Rp17,53 triliun (37,51% total pelampauan pendapatan), pelampauan transfer dari Pemerintah Pusat Rp22,43 triliun (48,0%), dan sisanya sebesar 14,5% berasal dari pelampauan pendapatan lainnya yaitu Rp6,77 triliun. Penyebab utama terjadinya selisih surplus/defisit sebagian besar berasal dari selisih anggaran transfer pemerintah pusat ke daerah. Pelampauan dana transfer tersebut dapat dirinci sebagai berikut Rp8,72 triliun (38,9% total pelampuan dana transfer) dari pelampauan Dana Bagi Hasil, Rp1,04 triliun (4,6% total pelampuan dana transfer) dari pelampauan Dana Alokasi Umum (DAU), dan juga pelampauan Dana Penyesuaian dan Otsus, yaitu 57,4% total pelampuan dana transfer. Sementara itu untuk Dana Alokasi Khusus, Pemerintah Daerah menganggarkan lebih tinggi dari yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain, pelampauan pendapatan pada PAD mengindikasikan daerah cenderung konservatif dalam menganggarkan PAD dalam APBD.
Melihat kondisi tersebut di atas, dari sisi APBN perlu dilakukan perbaikan dalam proses penganggaran maupun penyaluran DBH dan Dana Penyesuaian. Hal ini diperlukan agar daerah mendapatkan kepastian terkait informasi besaran alokasi maupun waktu penyaluran transfer dari Pusat ke daerah sehingga pendapatan yang direncanakan akan diterima dari Pemerintah Pusat dapat disinkronkan dalam penyusunan belanja termasuk besarannya dalam APBD. Apabila hal tersebut terlaksana, maka diharapkan dapat mendukung pelaksanaan belanja
46 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
daerah yang penyerapannya tentu akan semakin baik, hal ini akan terlihat dari semakin kecilnya persentase dana anggaran belanja daerah yang tidak terserap.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa daerah dapat menetapkan anggarannya bernilai surplus maupun defisit, maka pemerintah daerah diseluruh Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok daerah dengan anggaran bernilai surplus dan kelompok daerah dengan anggaran bernilai defisit. Jumlah daerah dalam masing-masing kelompok selalu berubah-ubah tiap tahunnya. Berikut disajikan pergerakan jumlah daerah yang mengalami realisasi APBD surplus ataupun defisit secara terpisah antara kabupaten/kota dan provinsi.
Grafik 4.2. Grafik 4.3 Tren kabupaten/kota yang mengalami Tren Provinsi yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi APBD surplus/defisit dalam realisasi APBD
47 | P a g e
Grafik 4.2. Grafik 4.3
Tren kabupaten/kota yang mengalami Tren Provinsi yang mengalami
surplus/defisit dalam realisasi APBD surplus/defisit dalam realisasi APBD
Sumber: DJPK (data diolah)
Dari grafik 4.2 di atas terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus
meningkat dari 196 daerah pada tahun 2009 menjadi 404 daerah pada tahun 2011. Pada tahun
2013 jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus sebanyak 352 daerah, mengalami
penurunan dari 362 daerah pada tahun 2012. Namun sebaliknya pada tahun 2013
kabupaten/kota yang mengalami defisit sebanyak 139 daerah mengalami peningkatan dari
129 daerah pada tahun 2012. Sementara itu, untuk tingkat provinsi, jumlah provinsi yang
mengalami surplus saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012
menjadi 18 provinsi pada tahun 2013.
Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1
Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah (Rupiah)
2009 2010 2011 2012 2013
Kab/Kota Surplus 3,200,107,472 41,232,821,608 57,232,307,990 70,102,450,610 48,330,897,881
Defisit -54,073,281,750 -36,879,354,227 -24,089,773,113 -24,507,952,543 -69,796,085,739
Provinsi Surplus 200,124,464,546 257,710,984,820 396,612,455,079 317,007,954,244 418,002,329,087
Defisit 225,999,378,117 -173,931,306,666 -89,278,056,085 -116,952,957,952 -303,065,544,736
Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Dari grafik 4.2 di atas terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus meningkat dari 196 daerah pada tahun 2009 menjadi 404 daerah pada tahun 2011. Pada tahun 2013 jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus sebanyak 352 daerah, mengalami penurunan dari 362 daerah pada tahun 2012. Namun sebaliknya pada tahun 2013 kabupaten/kota yang mengalami defisit sebanyak 139 daerah mengalami peningkatan dari 129 daerah pada tahun 2012. Sementara itu, untuk tingkat provinsi, jumlah provinsi yang mengalami surplus
47BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012 menjadi 18 provinsi pada tahun 2013.
Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah (Rupiah)
2009 2010 2011 2012 2013
Kab/Kota
Surplus 3,200,107,472 41,232,821,608 57,232,307,990 70,102,450,610 48,330,897,881
Defisit -54,073,281,750 -36,879,354,227 -24,089,773,113 -24,507,952,543 -69,796,085,739
Provinsi
Surplus 200,124,464,546 257,710,984,820 396,612,455,079 317,007,954,244 418,002,329,087
Defisit 225,999,378,117 -173,931,306,666 -89,278,056,085 -116,952,957,952 -303,065,544,736
Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2012-2013 nilai surplus per kabupaten/kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah kabupaten/kota yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah kabupaten/kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013.
4.2. Pembiayaan Daerah
Sisi penerimaan pembiayaan dalam postur APBD terdiri dari Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman dan penerimaan
48 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
kembali pemberian pinjaman. Komponen SiLPA tahun sebelumnya pada APBD TA 2013 merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah. Selanjutnya adalah Pencairan Dana Cadangan Rp1,89 triliun (1,88% total penerimaan pembiayaan daerah) meningkat sebesar Rp772 miliar dari Rp1,12 triliun ditahun 2012. Kemudian, Penerimaan Pinjaman Daerah sebesar Rp841,2 miliar (0,83%). Jika dibandingkan dengan penerimaan pinjaman daerah yang dianggarkan dalam APBD TA 2013, maka realisasi penerimaan pinjaman daerah ini hanya tercapai sebesar 29,4% dari yang dianggarkan sebesar Rp2,86 triliun.
Grafik 4.4 di bawah ini memperlihatkan rincian penerimaan pembiayaan serta perbandingan antara anggaran dengan realisasi TA 2013
Grafik 4.4 Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013
49 | P a g e
Grafik 4.4
Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA
2012) lebih tinggi 58,8% dari anggaran yakni dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun.
Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013
dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012)
diperoleh pada akhir tahun anggaran 2012, sementara APBD 2013 sudah mulai disusun pada
pertengahan tahun 2012.
Pada sisi pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran pokok
utang, pemberian pinjaman kepada daerah lainya, pembayaran kegiatan lanjutan, dan
pengeluaran perhitungan pihak ketiga (PFK). Grafik 4.5 di bawah ini menggambarkan rincian
pengeluaran pembiayaan serta perbandingannya antara nilai anggaran dengan realisasi.
Sumber: DJPK (data diolah)
49BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA 2012) lebih tinggi 58,8% dari anggaran yakni dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun. Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013 dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012) diperoleh pada akhir tahun anggaran 2012, sementara APBD 2013 sudah mulai disusun pada pertengahan tahun 2012.
Pada sisi pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran pokok utang, pemberian pinjaman kepada daerah lainya, pembayaran kegiatan lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga (PFK). Grafik 4.5 di bawah ini menggambarkan rincian pengeluaran pembiayaan serta perbandingannya antara nilai anggaran dengan realisasi.
Grafik 4.5 Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013
50 | P a g e
Grafik 4.5
Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013
Sumber: DJPK (data diolah)
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari penerimaan
pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99
triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan.
Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal
sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan
dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua
adalah pembayaran pokok utang yaitu sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total
pengeluaran pembiayaan, kemudian diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun
(11,7%), Pemberian Pinjaman Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga
(PFK) Rp161,43 miliar (1,3%) dan Pembayaran Kegiatan Lanjutan Rp49,01 miliar (0,4%).
Realisasi pembayaran pokok utang sebesar Rp2,26 triliun, lebih tinggi 15,1% dari anggaran
sebesar Rp1,971 triliun. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan pinjaman di tahun
anggaran 2013 yang belum dianggarkan pada APBD TA 2013, akan tetapi mungkin telah
Sumber: DJPK (data diolah)
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari penerimaan pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99 triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan.
50 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua adalah pembayaran pokok utang yaitu sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total pengeluaran pembiayaan, kemudian diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun (11,7%), Pemberian Pinjaman Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) Rp161,43 miliar (1,3%) dan Pembayaran Kegiatan Lanjutan Rp49,01 miliar (0,4%). Realisasi pembayaran pokok utang sebesar Rp2,26 triliun, lebih tinggi 15,1% dari anggaran sebesar Rp1,971 triliun. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan pinjaman di tahun anggaran 2013 yang belum dianggarkan pada APBD TA 2013, akan tetapi mungkin telah dianggarkan pada APBD Perubahan TA 2012. Hal tersebut belum dapat dipastikan mengingat data APBD Perubahan tidak tersedia.
4.3. silPa
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam laporan realisasi APBD dibedakan menjadi dua jenis SiLPA, pertama adalah SiLPA sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan disebut SiLPA tahun sebelumnya, kedua, SILPA dari penjumlahan surplus/defisit dan pembiayaan netto yang disebut SILPA tahun berkenaan. SILPA tahun berkenaan di APBD 2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara nasional, pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.6 berikut.
51BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
Grafik 4.6 Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi
51 | P a g e
dianggarkan pada APBD Perubahan TA 2012. Hal tersebut belum dapat dipastikan
mengingat data APBD Perubahan tidak tersedia.
4.3. SiLPA
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam laporan realisasi
APBD dibedakan menjadi dua jenis SiLPA, pertama adalah SiLPA sebagai salah satu sumber
penerimaan pembiayaan disebut SiLPA tahun sebelumnya, kedua, SILPA dari penjumlahan
surplus/defisit dan pembiayaan netto yang disebut SILPA tahun berkenaan. SILPA tahun
berkenaan di APBD 2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara
nasional, pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih
besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat dalam
grafik 4.6 berikut.
Grafik 4.6
Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi
Sumber: DJPK (data diolah)
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA tahun
berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi SILPA tahun
berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja perencanaan dan
pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran pendapatan dalam APBD
ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya sehingga mudah dicapai, pelampauan
pendapatan bahkan jauh melebihi target. Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa.
Demikian halnya dari sisi anggaran belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan
yang telah dianggarkan dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik
untuk tujuan menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk
Sumber: DJPK (data diolah)
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA tahun berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi SILPA tahun berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja perencanaan dan pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran pendapatan dalam APBD ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya sehingga mudah dicapai, pelampauan pendapatan bahkan jauh melebihi target. Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa. Demikian halnya dari sisi anggaran belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan yang telah dianggarkan dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik untuk tujuan menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk menjadi SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan. Realisasi SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik 4.7 berikut.
52 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Grafik 4.7 Tren SILPA Tahun Berkenaan
52 | P a g e
menjadi SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat
menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan. Realisasi
SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik 4.7 berikut.
Grafik 4.7
Tren SILPA Tahun Berkenaan
Sumber: DJPK (data diolah)
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) periode
tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di tahun 2009 menjadi
sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren peningkatan SILPA ini disebabkan
oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan
dalam APBD (rata-rata realisasi pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan
dalam APBD).
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai tahun
dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada
tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010
nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun
berkenaan meningkat menjadi masing-masing sebesar Rp26,8 triliun dan Rp31,7 triliun.
Adapun di tahun 2013, SILPA tahun berkenaan mengalami penurunan menjadi Rp31,1 triliun
atau sebesar 1,9% dari tahun 2012. Penurunan ini merupakan indikasi adanya perbaikan
kinerja pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah, khususnya terkait penetapan anggaran
pendapatan daerah yang lebih optimis. Selisih realisasi pendapatan daerah TA 2013 dengan
yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata periode 2009-2012 yang sebesar
10,2%.
Sumber: DJPK (data diolah)
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) periode tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di tahun 2009 menjadi sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan dalam APBD (rata-rata realisasi pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan dalam APBD).
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai tahun dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010 nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun berkenaan meningkat menjadi masing-masing sebesar Rp26,8 triliun dan Rp31,7 triliun. Adapun di tahun 2013, SILPA tahun berkenaan mengalami penurunan menjadi Rp31,1 triliun atau sebesar 1,9% dari tahun 2012. Penurunan ini merupakan indikasi adanya perbaikan kinerja pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah, khususnya terkait penetapan anggaran pendapatan daerah yang lebih optimis. Selisih realisasi pendapatan daerah TA 2013 dengan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata periode 2009-2012 yang sebesar 10,2%.
Secara nasional, agregat SILPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang cukup besar, namun ketika melihat data lebih rinci, ternyata terdapat beberapa daerah yang mengalami nilai SILPA negatif (biasa disebut SIKPA tahun berkenaan).
53BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
Timbulnya SIKPA tahun berkenaan tersebut menunjukkan bahwa pendapatan daerah dimaksud pada tahun berkenaan belum dapat menanggulangi seluruh belanja maupun pembiayaan netto-nya, sehingga nilai SIKPA tersebut menjadi beban pada anggaran tahun berikutnya. Beberapa daerah yang mengalami hal demikian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013
No Daerah Defisit Pembiayaan SIKPA Tahun Berkenaan
1 Kab. Kepulauan Sula -17,768,286,978 -3,799,220,657 -21,567,507,636
2 Kota Ternate 2,188,295,257 -20,010,359,540 -17,822,064,283
3 Kab. Halmahera Barat 10,888,284,848 -16,157,055,956 -5,268,771,108
4 Kab. Halmahera Selatan 10,226,142,502 -11,570,118,896 -1,343,976,394
Sumber: DJPK (data diolah)
Tabel di atas menggambarkan kabupaten Kepulauan Sula merupakan daerah yang memiliki nilai SIKPA tahun berkenaan terbesar, artinya realisasi pendapatan daerah itu tidak cukup untuk menutup belanja maupun pembiayaan sebagaimnan tercantum dalam APBD. Ketidakmampuan tersebut disebabkan beberapa faktor yaitu rendahnya realisasi PAD, hanya 34,9% dari anggaran, terlalu optimis menetapkan perolehan DBH dalam APBD, ternyata realisasi transfer DBH hanya 44,9% dari anggaran, serta tidak adanya realisasi atas pinjaman daerah yang telah dianggarkan sebesar Rp80 miliar.
Selain Kabupaten Kepulauan Sula masih terdapat tiga daerah lainnya yang mengalami hal yang sama yaitu Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk Kabupaten Ternate, SIKPA tahun berkenaan telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2011. Namun, yang lebih mengejutkan lagi, Kabupaten Halmahera Barat ternyata telah lima tahun berturut-turut mengalami SIKPA tahun berkenaan sejak tahun 2009. Setelah diteliti, ternyata daerah tersebut untuk sementara menutupi nilai SiKPA tahun berkenaannya melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) seperti iuran pensiun PNSD kepada PT Taspen (Persero), iuran jaminan
54 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
kesehatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), iuran TAPERUM-PNS kepada BAPERTARUM-PNS, serta potongan PPN/PPh ke Kas Negara.
Daerah tersebut sebenarnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai SIKPA-nya yakni dengan cara mengurangi anggaran belanjanya secara drastis dengan memperhatikan urutan prioritas, selain itu daerah juga harus berusaha keras meningkatkan pendapatannya, kemudian adanya komitmen daerah untuk tidak menggunakan dana PFK menutupi anggaran belanja. Dengan demikian, diharapkan SIKPA akan berkurang atau bahkan berubah menjadi SILPA.
4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah Dan obliGasi Daerah
Selain SiLPA tahun sebelumnya sebagai sumber pembiayaan untuk menutup defisit APBD, sumber lain adalah pinjaman daerah dan obligasi daerah. Pinjaman daerah dan obligasi daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Mengingat pengembalian pinjaman ini dapat saja bersamaan waktunya dan secara nasional nilai pembayarannya besar, maka hal ini dapat mempengaruhi kondisi keuangan negara. Untuk itu, pelaksanaan pinjaman daerah perlu dilakukan pengawasan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah. PMK ini diterbitkan pada bulan Agustus setiap tahunnya yang akan digunakan daerah sebagai acuan dalam penyusunan APBD tahun berikutnya untuk penyusunan anggaran defisit dan pembiayaannya ditutup dari pinjaman daerah.
Selama periode tahun 2009-2013, realisasi penerimaan pinjaman daerah cenderung lebih kecil dari anggaran APBD. Untuk kabupaten/kota, realisasi terendah terjadi pada tahun 2011 yakni sebesar Rp547 milliar (24,2%) dari Rp2,3 triliun yang dianggarkan. Sedangkan untuk provinsi, realisasi terendah terjadi pada tahun 2012 hanya sebesar Rp34 miliar (1,8%) dari Rp1,9 triliun yang
55BaB IV realIsasI surPlus/DefIsIt Dan PemBIayaan Daerah
dianggarkan. Hal ini terjadi karena Provinsi DKI Jakarta tidak merealisasikan obligasi daerah yang dianggarkan sebesar Rp1,7 triliun.
Grafik 4.8 Grafik 4.9 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Kab/Kota Penerimaan Pinjaman Provinsi
55 | P a g e
Penerimaan Pinjaman Kab/Kota Penerimaan Pinjaman Provinsi
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah
ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
dengan provinsi.
Grafik 4.10 Grafik 4.11
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Provinsi yang melakukan
Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman
semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian
menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, mengalami
peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota dengan provinsi.
Grafik 4.10 Grafik 4.11 Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Provinsi yang melakukan Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah
55 | P a g e
Penerimaan Pinjaman Kab/Kota Penerimaan Pinjaman Provinsi
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah
ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
dengan provinsi.
Grafik 4.10 Grafik 4.11
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Provinsi yang melakukan
Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah
Sumber: DJPK (data diolah)
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman
semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian
menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, mengalami
peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Sumber: DJPK (data diolah)
56 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, mengalami peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Sementara itu untuk provinsi, jumlah daerah yang merealisasikan pinjaman daerah melampaui jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman daerah. Jika pada kelompok kabupaten/kota pada periode tahun 2009-2011 mengalami tren menurun, justru sebaliknya kelompok provinsi pada periode yang sama mengalami peningkatan jumlah yang merealisasikan pinjaman daerah dari 2 daerah di tahun 2009 menjadi 6 daerah pada tahun 2011. Akan tetapi, pada tahun 2012 menurun jadi 5 daerah dan pada tahun 2013 menjadi 3 daerah. Gambaran pada grafik diatas menggunakan APBD awal sebagai acuan. Perbedaan antara anggaran dan realisasi terjadi karena penganggaran pinjaman daerah mungkin telah dimasukkan dalam APBD Perubahan namun karena informasinya tidak dapat diperoleh maka APBD Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai acuan.
57BaB V ImPlIKasI realIsasI aPBD ta 2013 terhaDaP PereKonomIan Daerah
BAB V IMPLIKAsI REALIsAsI APBD TA 2013 TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
Dalam tataran otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di mana daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola sendiri sumber daya yang dimilikinya secara efisien dan efektif guna mewujudkan kemandirian daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki peran yang sangat penting di dalam menjaga kelangsungan proses pembangunan di daerah. Proses pembangunan di era otonomi daerah memberikan celah dan peluang yang besar bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan dan arah pembangunan yang mengutamakan potensi serta keunggulan daerah sesuai dengan karakteristik daerah, sehingga esensi dari kebijakan APBD memberikan dampak yang signifikan bagi kegiatan perekonomian daerah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi pendapatan, kebijakan APBD yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Sementara itu dari sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal akan memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Demikian pula sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat di daerah.
Kegiatan investasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi yang berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan. PMA
58 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
mengalami peningkatan dari Rp221,0 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp270,5 triliun pada tahun 2013, atau meningkat 22,3 persen. Demikian juga untuk PMDN mengalami peningkatan dari Rp92,1 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp128,2 triliun pada tahun 2013, atau meningkat 39,0 persen. Apabila dilihat per wilayah, sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan melalui PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku dan Papua, dan Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel 5.1.
TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA
TAHUN 2009 - 2013
58 | P a g e
Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel
5.1.
TABEL 5.1
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA
TAHUN 2009 - 2013
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013
1 Sumatera 7.297 6.832 18.689 33.564 32.073 7.820 4.224 16.334 14.256 22.914
2 Jawa 88.071 105.157 110.921 122.939 163.763 25.768 35.140 37.176 52.693 66.496
3 Bali dan Nusa Tenggara 2.197 4.597 8.574 10.139 8.433 51 2.119 357 3.168 4.400
4 Kalimantan 2.686 18.395 17.270 28.878 26.281 2.934 14.576 13.467 16.740 28.714
5 Sulawesi 1.331 7.857 6.437 13.563 14.109 1.188 4.338 7.228 4.901 3.624
6 Maluku dan Papua 81 5.447 13.380 11.999 25.803 41 229 1.439 424 2.003
Jumlah 101.663 148.285 175.271 221.082 270.462 37.802 60.626 76.001 92.182 128.151
PMA (Rp Miliar) PMDN (Rp Miliar)No Provinsi
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Ke depan perlu diupayakan adanya kemampuan daerah yang tidak hanya menciptakan
iklim investasi yang kondusif saja, lebih daripada itu adalah bagaimana dilakukan upaya yang
terintegrasi untuk meningkatkan daya saing daerah. Sejak RKP tahun 2013, isu tersebut telah
diketengahkan untuk mengarahkan pada perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong
tumbuhnya usaha baru, industri baru, lapangan kerja baru, dan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkeadilan. Strategi peningkatan daya saing daerah, meliputi : (1)
peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatan pembangunan infrastruktur; (3)
peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; (4) penciptaan kesempatan
kerja khususnya tenaga kerja muda. Dari sisi daya saing, peringkat Indonesia menurut World
Economic Forum, pada tahun 2013-2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari tahun
sebelumnya (tahun 2012-2013) menduduki peringkat 50.
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi
kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah
memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah
dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi
perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung
dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak
menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan investasi,
yaitu : (1) penyederhanaan proses perijinan; (2) merevisi "Daftar Negatif Investasi" (DNI)
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Ke depan perlu diupayakan adanya kemampuan daerah yang tidak hanya menciptakan iklim investasi yang kondusif saja, lebih daripada itu adalah bagaimana dilakukan upaya yang terintegrasi untuk meningkatkan daya saing daerah. Sejak RKP tahun 2013, isu tersebut telah diketengahkan untuk mengarahkan pada perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong tumbuhnya usaha baru, industri baru, lapangan kerja baru, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Strategi peningkatan daya saing daerah, meliputi : (1) peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatan pembangunan infrastruktur; (3) peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; (4) penciptaan kesempatan kerja khususnya tenaga kerja muda. Dari sisi daya saing, peringkat Indonesia menurut World economic forum, pada tahun 2013-2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari tahun sebelumnya (tahun 2012-2013) menduduki peringkat 50.
59BaB V ImPlIKasI realIsasI aPBD ta 2013 terhaDaP PereKonomIan Daerah
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan investasi,yaitu: (1)penyederhanaanprosesperijinan;(2)merevisi“DaftarNegatifInvestasi”(DNI)yanglebihramahbagiinvestor;(3)meningkatkaninsentifpajak melalui keringanan pajak bagi industri padat karya seperti industri tekstil, pakaian, sepatu, furnitur, dan mainan serta penambahan pengurangan pajak untuk perusahaan-perusahaan yang paling tidak 30% dari hasil produksinya ditujukan untuk ekspor.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sedikit menurun bila dibanding tahun 2012, sebagai dampak kondisi perekonomian global. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen, melambat bila dibandingkan tahun 2012 sebesar 6,3 persen. Hal ini ditengarai dengan pertumbuhan investasi yang melambat sejak awal tahun akibat menurunnya persepsi keyakinan pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian global. Namun demikian, daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan Indonesia tetaplah tinggi, mengacu pada survey yang dilakukan oleh ASEAN-BAC (ASEAN-Business advisory Council) Indonesia menduduki peringkat ketiga diantara negara-negara ASEAN dari sisi daya tarik investasi untuk tahun 2013-2015.
Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan
60 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 5.1
Grafik 5.1 Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
59 | P a g e
23,56 23,74 23,81
57,59 57,65 57,99
2,56 2,51 2,539,55 9,30 8,67
4,61 4,74 4,822,13 2,06 2,18
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
2011 2012 2013
Maluku dan Papua
Sulawesi
Kalimantan
Bali dan Nusa Tenggara
Jawa
Sumatera
yang lebih ramah bagi investor; (3) meningkatkan insentif pajak melalui keringanan pajak
bagi industri padat karya seperti industri tekstil, pakaian, sepatu, furnitur, dan mainan serta
penambahan pengurangan pajak untuk perusahaan-perusahaan yang paling tidak 30% dari
hasil produksinya ditujukan untuk ekspor.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sedikit menurun bila dibanding
tahun 2012, sebagai dampak kondisi perekonomian global. Pada tahun 2013, pertumbuhan
ekonomi nasional mencapai 5,9 persen, melambat bila dibandingkan tahun 2012 sebesar 6,3
persen. Hal ini ditengarai dengan pertumbuhan investasi yang melambat sejak awal tahun
akibat menurunnya persepsi keyakinan pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian global.
Namun demikian, daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan Indonesia tetaplah tinggi,
mengacu pada survey yang dilakukan oleh ASEAN-BAC (ASEAN-Business Advisory
Council) Indonesia menduduki peringkat ketiga diantara negara-negara ASEAN dari sisi daya
tarik investasi untuk tahun 2013-2015.
Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada
tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan
sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit
mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa
Tenggara, serta Maluku dan Papua. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 5.1
Grafik 5.1
Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014
Di samping indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah dapat dilihat dari pendapatan daerah per kapita (APBD), tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Dalam kurun waktu 2011-2013, daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya relatif tinggi, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo, perlu dilakukan proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama daerah-daerah yang relatif masih tertinggal. Optimalisasi pemanfaatan pendapatan daerah dalam APBD hendaknya mengarah pada prioritas belanja atau pengeluaran APBD yang mendukung proses keberpihakan pada keluarga pra sejahtera. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antarprovinsi. Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.658.000,00/jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain itu ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013 membaik diindikasikan
61BaB V ImPlIKasI realIsasI aPBD ta 2013 terhaDaP PereKonomIan Daerah
dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode 2011-2012.
Indikator tingkat pengangguran menurun dari 7,14 di tahun 2010, menjadi 6,56 persen di tahun 2011, serta 6,14 persen di tahun 2012, namun sedikit mengalami kenaikan menjadi 6,25 persen di tahun 2013. Pada tahun 2013, daerah yang mempunyai tingkat pengangguran relatif tinggi adalah di Provinsi Aceh, Provinsi Banten dan Provinsi Maluku, yakni masing-masing 10,30 persen, 9,90 persen dan 9,75 persen. Selanjutnya, perkembangan pendapatan daerah dan indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 5.2.
TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN
INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Provinsi
Pendapatan APBD/Kapita (Ribu Rupiah)
Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran
2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
Aceh 4.109 4.714 5.584 19,57 18,58 17,72 7,43 9,10 10,30
Sumatera Utara 1.820 2.280 2.716 11,33 10,41 10,39 6,37 6,20 6,53
Sumatera Barat 2.399 2.891 3.694 9,04 8,00 7,56 6,45 6,52 6,99
Riau 3.290 3.672 4.497 8,47 8,05 8,42 5,32 4,30 5,50
Jambi 2.545 2.933 3.863 8,65 8,28 8,42 4,02 3,22 4,84
Sumatera Selatan 2.248 2.568 3.226 14,24 13,48 14,06 5,77 5,70 5,00
Bengkulu 3.240 3.641 4.183 17,50 17,51 17,75 2,37 3,61 4,74
Lampung 1.555 1.798 2.216 16,93 15,65 14,39 5,78 5,18 5,85
DKI Jakarta 2.714 3.149 3.970 3,75 3,70 3,72 10,80 9,87 9,02
Jawa Barat 945 1.183 1.658 10,65 9,89 9,61 9,83 9,08 9,22
Jawa Tengah 1.145 1.466 1.909 15,76 14,98 14,44 5,93 5,63 6,02
DI Yogyakarta 1.550 1.990 2.698 16,08 15,88 15,03 3,97 3,97 3,34
62 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
Provinsi
Pendapatan APBD/Kapita (Ribu Rupiah)
Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran
2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
Jawa Timur 1.237 1.439 1.969 14,23 13,08 12,73 4,16 4,12 4,33
Kalimantan Barat 2.318 2.773 3.496 8,60 7,96 8,74 3,88 3,48 4,03
Kalimantan Tengah 4.218 4.815 5.970 6,56 6,19 6,23 2,55 3,17 3,09
Kalimantan Selatan 2.905 3.241 4.212 5,29 5,01 4,76 5,23 5,25 3,79
Kalimantan Timur 6.838 7.577 10.269 6,77 6,38 6,38 9,84 8,90 8,04
Sulawesi Utara 3.223 3.621 4.694 8,51 7,64 8,50 8,62 7,79 6,68
Sulawesi Tengah 2.664 3.174 3.819 15,83 14,94 14,32 4,01 3,93 4,27
Sulawesi Selatan 2.068 2.490 3.045 10,29 9,82 10,32 6,56 5,87 5,10
Sulawesi Tenggara 3.170 3.792 4.495 14,56 13,06 13,73 3,06 4,04 4,46
Bali 2.200 2.850 3.809 4,20 3,95 4,49 2,32 2,04 1,79
Nusa Tenggara Barat 1.802 2.064 2.399 19,73 18,02 17,25 5,33 5,26 5,38
Nusa Tenggara Timur
2.213 2.659 3.007 21,23 20,41 20,24 2,69 2,89 3,16
Maluku 4.052 4.259 4.796 23,00 20,76 19,27 7,38 7,51 9,75
Papua 8.255 8.982 9.932 31,98 30,66 31,53 3,94 3,63 3,23
Maluku Utara 4.484 5.184 5.826 9,18 8,06 7,64 5,55 4,76 3,86
Banten 1.037 1.215 1.831 6,32 5,71 5,89 13,06 10,13 9,90
Bangka Belitung 3.108 3.819 4.467 5,75 5,37 5,25 3,61 3,49 3,70
Gorontalo 3.051 3.478 4.074 18,75 17,22 18,01 4,26 4,36 4,12
Kepulauan Riau 4.033 4.471 5.162 7,40 6,83 6,35 7,80 5,37 6,25
Papua Barat 12.795 14.280 17.976 31,92 27,04 27,14 8,94 5,49 4,62
Sulawesi Barat 2.718 3.099 3.555 13,89 13,01 12,23 2,82 2,14 2,33
Sumber: Kementerian Keuangan dan BPS
63BaB V ImPlIKasI realIsasI aPBD ta 2013 terhaDaP PereKonomIan Daerah
Sementara itu, peningkatan inflasi pada tahun 2013 lebih disebabkan pada kenaikan harga yang dipicu oleh penyesuaian harga bensin pada akhir Juni tahun 2013 yang berdampak pada inflasi pada bulan Juli 2013 sebesar 3,29 persen. Hal ini ditunjukkan dengan inflasi yang berasal dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) lebih dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda. Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
TABEL 5.3 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
62 | P a g e
inflasi yang berasal dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) lebih
dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi
tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda.
Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi
Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh
BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi
permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
TABEL 5.3
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
No Kota 2010 2011 2012 2013 No Kota 2010 2011 2012 2013
1 Lhokseumawe 7 ,1 9 3 ,55 0,39 8,27 34 Probolinggo 6,68 3 ,7 8 5,88 7 ,98
2 Banda Aceh 4,64 3 ,32 0,06 6,39 35 Madiun 6,54 3 ,49 3,51 7 ,52
3 Padang Sidempuan 7 ,42 4,66 3,54 7 ,82 36 Surabay a 7 ,33 4,7 2 4,39 7 ,52
4 Sibolga 1 1 ,83 3 ,7 1 3,30 1 0,08 37 Serang 6,1 8 2 ,7 8 4,41 9,1 6
5 Pematang Siantar 9,68 4,25 4,7 3 1 2,02 38 Tangerang 6,08 3 ,7 8 4,44 1 0,02
6 Medan 7 ,65 3 ,54 3,7 9 1 0,09 39 Cilegon 6,1 2 2 ,35 3,91 7 ,98
7 Padang 7 ,84 5,37 4,1 6 1 0,87 40 Denpasar 8,1 0 3 ,7 5 4,7 1 7 ,35
8 Pekanbaru 7 ,00 5,09 3,35 8,83 41 Mataram 1 1 ,07 6,38 4,1 0 9,27
9 Dumai 9,05 3 ,09 3,21 8,60 42 Bima 6,35 7 ,1 9 3,61 1 0,42
1 0 Batam 7 ,40 3 ,7 6 2,02 7 ,81 43 Maumere 8,48 6,59 6,49 6,24
1 1 Jambi 1 0,52 2 ,7 6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,32 5,1 0 8,84
1 2 Palembang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91 6,62 9,48
1 3 Bengkulu 9,08 3 ,96 4,61 9,94 46 Singkawang 7 ,1 0 6,7 2 4,21 6,1 5
1 4 Bandar Lampung 9,95 4,24 4,30 7 ,56 47 Sampit 9,53 3 ,60 4,69 7 ,25
1 5 Pangkal Pinang 9,36 5,00 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 9,49 5,28 6,7 3 6,45
1 6 Tanjung Pinang 6,1 7 3 ,32 3,92 1 0,09 49 Banjarmasin 9,06 3 ,98 5,96 6,98
1 7 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,38 6,45 6,41 8,56
1 8 Bogor 6,57 2 ,85 4,06 8,55 51 Samarinda 7 ,00 6,23 4,81 1 0,37
1 9 Sukabumi 5,43 4,26 3,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,35
20 Tasikmalay a 5,56 4,1 7 3,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2 ,7 5 4,02 7 ,97 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3,36 7 ,86 55 Watampone 6,7 4 3 ,94 3,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3,46 9,46 56 Makassar 6,82 2 ,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2 ,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3,49 6,31
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 4,7 3 8,50 58 Palopo 3 ,99 3 ,35 4,1 1 5,25
26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,32 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Semarang 7 ,1 1 2 ,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,31 5,84
28 Tegal 6,7 3 2 ,58 3,09 5,80 61 Mamuju 5,1 2 4,91 3,28 5,91
29 Yogy akarta 7 ,38 3 ,88 4,31 7 ,32 62 Ambon 8,7 8 2 ,85 6,7 3 8,81
30 Jember 7 ,09 2 ,43 4,49 7 ,21 63 Ternate 5,32 4,52 3,29 9,7 8
31 Sumenep 6,7 5 4,1 8 5,05 6,62 64 Manokwari 4,68 3 ,64 4,88 4,63
32 Kediri 6,80 3 ,62 4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3 0,90 5,1 2 7 ,93
33 Malang 6,7 0 4,05 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,48 3 ,40 4,52 8,27
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
64 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
62 | P a g e
inflasi yang berasal dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) lebih
dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi
tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda.
Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi
Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh
BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi
permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
TABEL 5.3
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
No Kota 2010 2011 2012 2013 No Kota 2010 2011 2012 2013
1 Lhokseumawe 7 ,1 9 3 ,55 0,39 8,27 34 Probolinggo 6,68 3 ,7 8 5,88 7 ,98
2 Banda Aceh 4,64 3 ,32 0,06 6,39 35 Madiun 6,54 3 ,49 3,51 7 ,52
3 Padang Sidempuan 7 ,42 4,66 3,54 7 ,82 36 Surabay a 7 ,33 4,7 2 4,39 7 ,52
4 Sibolga 1 1 ,83 3 ,7 1 3,30 1 0,08 37 Serang 6,1 8 2 ,7 8 4,41 9,1 6
5 Pematang Siantar 9,68 4,25 4,7 3 1 2,02 38 Tangerang 6,08 3 ,7 8 4,44 1 0,02
6 Medan 7 ,65 3 ,54 3,7 9 1 0,09 39 Cilegon 6,1 2 2 ,35 3,91 7 ,98
7 Padang 7 ,84 5,37 4,1 6 1 0,87 40 Denpasar 8,1 0 3 ,7 5 4,7 1 7 ,35
8 Pekanbaru 7 ,00 5,09 3,35 8,83 41 Mataram 1 1 ,07 6,38 4,1 0 9,27
9 Dumai 9,05 3 ,09 3,21 8,60 42 Bima 6,35 7 ,1 9 3,61 1 0,42
1 0 Batam 7 ,40 3 ,7 6 2,02 7 ,81 43 Maumere 8,48 6,59 6,49 6,24
1 1 Jambi 1 0,52 2 ,7 6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,32 5,1 0 8,84
1 2 Palembang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91 6,62 9,48
1 3 Bengkulu 9,08 3 ,96 4,61 9,94 46 Singkawang 7 ,1 0 6,7 2 4,21 6,1 5
1 4 Bandar Lampung 9,95 4,24 4,30 7 ,56 47 Sampit 9,53 3 ,60 4,69 7 ,25
1 5 Pangkal Pinang 9,36 5,00 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 9,49 5,28 6,7 3 6,45
1 6 Tanjung Pinang 6,1 7 3 ,32 3,92 1 0,09 49 Banjarmasin 9,06 3 ,98 5,96 6,98
1 7 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,38 6,45 6,41 8,56
1 8 Bogor 6,57 2 ,85 4,06 8,55 51 Samarinda 7 ,00 6,23 4,81 1 0,37
1 9 Sukabumi 5,43 4,26 3,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,35
20 Tasikmalay a 5,56 4,1 7 3,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2 ,7 5 4,02 7 ,97 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3,36 7 ,86 55 Watampone 6,7 4 3 ,94 3,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3,46 9,46 56 Makassar 6,82 2 ,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2 ,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3,49 6,31
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 4,7 3 8,50 58 Palopo 3 ,99 3 ,35 4,1 1 5,25
26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,32 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Semarang 7 ,1 1 2 ,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,31 5,84
28 Tegal 6,7 3 2 ,58 3,09 5,80 61 Mamuju 5,1 2 4,91 3,28 5,91
29 Yogy akarta 7 ,38 3 ,88 4,31 7 ,32 62 Ambon 8,7 8 2 ,85 6,7 3 8,81
30 Jember 7 ,09 2 ,43 4,49 7 ,21 63 Ternate 5,32 4,52 3,29 9,7 8
31 Sumenep 6,7 5 4,1 8 5,05 6,62 64 Manokwari 4,68 3 ,64 4,88 4,63
32 Kediri 6,80 3 ,62 4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3 0,90 5,1 2 7 ,93
33 Malang 6,7 0 4,05 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,48 3 ,40 4,52 8,27
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
62 | P a g e
inflasi yang berasal dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) lebih
dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi
tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda.
Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi
Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh
BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi
permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
TABEL 5.3
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
No Kota 2010 2011 2012 2013 No Kota 2010 2011 2012 2013
1 Lhokseumawe 7 ,1 9 3 ,55 0,39 8,27 34 Probolinggo 6,68 3 ,7 8 5,88 7 ,98
2 Banda Aceh 4,64 3 ,32 0,06 6,39 35 Madiun 6,54 3 ,49 3,51 7 ,52
3 Padang Sidempuan 7 ,42 4,66 3,54 7 ,82 36 Surabay a 7 ,33 4,7 2 4,39 7 ,52
4 Sibolga 1 1 ,83 3 ,7 1 3,30 1 0,08 37 Serang 6,1 8 2 ,7 8 4,41 9,1 6
5 Pematang Siantar 9,68 4,25 4,7 3 1 2,02 38 Tangerang 6,08 3 ,7 8 4,44 1 0,02
6 Medan 7 ,65 3 ,54 3,7 9 1 0,09 39 Cilegon 6,1 2 2 ,35 3,91 7 ,98
7 Padang 7 ,84 5,37 4,1 6 1 0,87 40 Denpasar 8,1 0 3 ,7 5 4,7 1 7 ,35
8 Pekanbaru 7 ,00 5,09 3,35 8,83 41 Mataram 1 1 ,07 6,38 4,1 0 9,27
9 Dumai 9,05 3 ,09 3,21 8,60 42 Bima 6,35 7 ,1 9 3,61 1 0,42
1 0 Batam 7 ,40 3 ,7 6 2,02 7 ,81 43 Maumere 8,48 6,59 6,49 6,24
1 1 Jambi 1 0,52 2 ,7 6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,32 5,1 0 8,84
1 2 Palembang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91 6,62 9,48
1 3 Bengkulu 9,08 3 ,96 4,61 9,94 46 Singkawang 7 ,1 0 6,7 2 4,21 6,1 5
1 4 Bandar Lampung 9,95 4,24 4,30 7 ,56 47 Sampit 9,53 3 ,60 4,69 7 ,25
1 5 Pangkal Pinang 9,36 5,00 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 9,49 5,28 6,7 3 6,45
1 6 Tanjung Pinang 6,1 7 3 ,32 3,92 1 0,09 49 Banjarmasin 9,06 3 ,98 5,96 6,98
1 7 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,38 6,45 6,41 8,56
1 8 Bogor 6,57 2 ,85 4,06 8,55 51 Samarinda 7 ,00 6,23 4,81 1 0,37
1 9 Sukabumi 5,43 4,26 3,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,35
20 Tasikmalay a 5,56 4,1 7 3,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2 ,7 5 4,02 7 ,97 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3,36 7 ,86 55 Watampone 6,7 4 3 ,94 3,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3,46 9,46 56 Makassar 6,82 2 ,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2 ,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3,49 6,31
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 4,7 3 8,50 58 Palopo 3 ,99 3 ,35 4,1 1 5,25
26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,32 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Semarang 7 ,1 1 2 ,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,31 5,84
28 Tegal 6,7 3 2 ,58 3,09 5,80 61 Mamuju 5,1 2 4,91 3,28 5,91
29 Yogy akarta 7 ,38 3 ,88 4,31 7 ,32 62 Ambon 8,7 8 2 ,85 6,7 3 8,81
30 Jember 7 ,09 2 ,43 4,49 7 ,21 63 Ternate 5,32 4,52 3,29 9,7 8
31 Sumenep 6,7 5 4,1 8 5,05 6,62 64 Manokwari 4,68 3 ,64 4,88 4,63
32 Kediri 6,80 3 ,62 4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3 0,90 5,1 2 7 ,93
33 Malang 6,7 0 4,05 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,48 3 ,40 4,52 8,27
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Dengan demikian, jelas terlihat bahwa kedudukan APBD sangatlah penting sebagai alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah dalam proses pembangunan di daerah. APBD sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan beberapa indikator di antaranya pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, telah mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Tentu saja proses penganggaran yang telah direncanakan dengan baik dan dilaksanakan dengan tertib serta disiplin akan mencapai sasaran yang lebih optimal.
65BaB V ImPlIKasI realIsasI aPBD ta 2013 terhaDaP PereKonomIan Daerah
UCAPAN TERIMA KAsIH
Penyusunanbuku“LaporanAnalisisRealisasiAPBDTahun2013”dilaksanakandengan kinerja team work yang solid dan tidak akan mungkin dapat tersaji tanpa kerja sama yang baik dan saling bahu membahu dari seluruh pihak yang berkontribusi. Oleh karena itu, ungkapan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu:
- DirekturJenderalPerimbanganKeuangan–DR.BoediarsoTeguhWidodo,dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Ir. Adijanto, MPA, yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
- Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah menyediakan data Realisasi APBD 2013 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.
- Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, SE, MM; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt; Prasetyo Indro Soejono, SE, ME; Armansyah Sinaga, SE; Faisal, SE, Ak; Edi Soeprijono, S.Sos; Maryadi, SE, MM; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Virgin Marthalia, A.Md; Rika Hijriyanti, S.Si; Ganjar Prihatmoko, SE; Desain Kristian Gulo, SE; Nanag Garendra Timur,S.Si.;danBondanWidyatmoko,SE;yangtelahmelakukanpengolahandata dan sekaligus mendukung penulisan buku, serta Lukman Adi Santoso, SE, ME, yang telah membantu melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
Terima kasih atas kerja kerasnya.
66 ANALISIS ReALISASI APBD tahun anggaran 2013
K E M E N T E R I A N K E U A N G A N R E P U B L I K I N D O N E S I ADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
APB
D
K E M E N T E R I A N K E U A N G A N R E P U B L I K I N D O N E S I ADIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
APB
D