Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI DENGAN ISTRI
SEBAGAI PENCARI NAFKAH UTAMA
OLEH
DANIEL PINUTRO HARINING KRISTANTO
802014120
TUGAS AKHIR
Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
.
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUAMI DENGAN ISTRI
SEBAGAI PENCARI NAFKAH UTAMA
Daniel Pinutro Harining Kristanto
M. Erna Setianingrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
ABSTRAK
Kepuasan Pernikahan dianggap sebuah hal yang penting dalam kehidupan.
Kepuasan dalam sebuah pernikahan dapat meningkatkan kebahagiaan seseorang
yang dapat mempengaruhi banyak aspek dalam hidupnya. Biasanya dalam
pernikahan, sosok pria dituntut untuk dapat memberi nafkah utama bagi
keluarganya. Karena berbagai macam alasan, bisa saja wanita yang mengambil
peran untuk menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya. Kondisi tidak
lazim dalam pernikahan bisa saja mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan
tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan 2 orang
suami sebagai responden penelitian. Teknik pengambilan data dilakukan dengan
cara wawancara dan observasi terhadap responden dimana responden memiliki
karakteristik seorang suami yang masih memiliki istri dan pendapatan utama
keluarga diperoleh dari penghasilan istri. Hasil penelitian gambaran kepuasan
pernikahan mengacu pada 10 aspek yang dikemukakan oleh Fowers dan Olsen
(1898;1993) ditambah dari beberapa faktor-faktor lain yang memengarhi
kepuasan pernikahan. Penelitian ini memperoleh hasil yang menyatakan bahwa
kepuasan pernikahan dari responden 1 dan responen 2 berbeda.
Kata Kunci : Kepuasan Pernikahan, Suami, Istri Sebagai Pencari Nafkah
Utama
ii
ABSTRACT
Marriage satisfaction is considered an important thing in life. Satisfaction in a
marriage can increase one's happiness which can affect many aspects of his life.
Usually in marriage, a male figure is required to be able to provide a main
income for his family. For various reasons, it is possible for women to take on the
role of being the main breadwinners in their families. Unusual conditions in
marriage can affect satisfaction in the marriage. This study uses qualitative
research methods with 2 husbands as research respondents. Data collection
techniques were carried out by means of interviews and observations of
respondents where respondents had the characteristics of a husband who still had
a wife and the main income of the family was obtained from the wife's income.
The results of the marriage satisfaction overview study refer to the 10 aspects
proposed by Fowers and Olsen (1898; 1993) plus several other factors that
influence marital satisfaction. This study obtained results which stated that
marriage satisfaction from respondent 1 and response 2 differed.
Keywords: Marriage Satisfaction, Husband, Wife As Main Breadwinners
1
PENDAHULUAN
Menikah adalah sebuah hal yang penting. Pernikahan atau perkawinan
menyatukan keluarga pasangan tersebut sehingga dapat terbentuk suatu hubungan
sosial yang baru menurut Goode (dalam Srisusanti & Zulkaida, 2013). Duvall dan
Miller (dalam Srisusanti & Zulkaida, 2013) menyatakan bahwa pernikahan
merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia dimana pernikahan dilihat
sebagai hubungan yang Dyadic atau berpasangan antara pria dengan wanita.
Menurut Biswas, Diener dan Dean (dalam Wulandari & Widyastuti, 2014)
kebahagiaan berupa kualitas dari keseluruhan hidup manusia yang membuat
kehidupan menjadi baik secara keseluruhan kemudian berpengaruh kepada
kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi, pendapatan yang lebih tinggi
dan tempat kerja yang baik. Seligman menambahkan bahwa pada umumnya
kebahagiaan mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas
positif yang disukai oleh individu (dalam Wulandari & Widyastuti, 2014).
Walgito (dalam Ayuningtyas, 2015) mengatakan pernikahan dapat
memenuhi kebutuhan psikologis seseorang seperti kasih sayang, rasa aman dan
rasa ingin dihargai. Hal ini menjelaskan salah satu alasan seseorang menikah
adalah untuk mendapatkan rasa senang atau bahagia.. Menurut Ryan dan
Desi(dalam Roy 2015) kebahagiaan atau kesejahteraan dalam pernikahan
berkaitan erat dengan kepuasan pernikahan. Namun jika tidak ada kepuasan dalam
pernikahan tersebut, hal hal yang tidak menyenangkan seperti stres, depresi dapat
terjadi. Selain itu, Srisusanti & Zulkaida (2013) mengutarakan bahwa salah satu
penyebab seorang istri menggugat cerai suaminya adalah tidak adanya kepuasan
2
dalam pernikahan tersebut. Maka dari itu, kepuasan dalam sebuah pernikahan
adalah salah satu hal yang penting dalam hidup seseorang yang menikah.
Fowers dan Olson (1989; 1993) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan
digunakan untuk mengevaluasi mengenai kehidupan pernikahan seseorang secara
menyeluruh. Menurut Weiss (dalam Habibi, 2015), kepuasan pernikahan
merupakan pengalaman yang subjektif, dimana perasaan yang kuat dan sebuah
perilaku yang didasari atas faktor-faktor antar individu yang dipengaruhi oleh
kualitas interaksi di dalam pernikahan yang dijalani.
Abel & Kruger (dalam Lusiana, 2017) menambahkan bahwa terdapat
tradisi yang berkembang dalam masyarakat luas bahwa suami sebagai kepala
keluarga dan tulang punggung keluarga diharuskan memiliki karir dan
penghasilan yang lebih tinggi daripada istri. Adanya budaya menurut Bressler
(dalam Susanto, 2015) yang menganut paham untuk menempatkan laki-laki
sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Dalam
keluarga, biasanya laki-laki yang akan dipandang lebih dominan, lebih kuat,
memiliki otoritas atas istri, anak dan harta benda. Maka dari itu seorang suami
sebagai kepala keluarga biasanya dituntut untuk memiliki penghasilan lebih tinggi
dari istri sehingga dapat memberi nafkah pada keluarga.
Berbagai macam hal menjadi alasan seorang istri memutuskan untuk
bekerja. Mulai dari keinginan diri sendiri sampai tuntuan ekonomi. Akan tetapi,
Sari & Fauziah (2016) menyatakan bahwa suami akan cenderung memiliki
kepuasan yang lebih rendah ketika memiliki istri yang bekerja. Bagaimana jika
seorang istri mengambil peran sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga
tersebut. Bagaimana kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh suami? bagaimana
3
suami menghadapi tuntutan-tuntuan sosial yang ada di sekitarnya ketika istrinya
yang memberi nafkah dirinya.
Responden dalam penelitan ini adalah dua orang suami yang sama sama
memiliki istri yang bekerja, kemudian pendapatan utama keluarga didapatkan dari
penghasilan istri, seluruh kebutuhan harian keluarga diambil dari penghasilan istri.
Responden pertama penelitian ini adalah seorang suami yang bekerja di ladang,
sedangkan istrinya sebagai guru(PNS) di salah satu sekolah dasar di Salatiga.
Responden kedua adalah seorang suami yang bekerja sebagai Bapak rumah
tangga, sedangkan istrinya adalah seorang dosen dari salah satu universitas swasta
yang ada di Salatiga.
Lauer (dalam Boseke, 2015) menyatakan bahwa untuk dapat mencapai
kepuasan dalam pernikahan, ada beberapa hal yang menjadi aspek dalam
mendapatkannya. a) mereka menikah dengan seseorang yang mereka suka. b)
mereka memiliki komitmen terhadap seseorang serta pernikahan. c) mereka
memiliki selera humor. d) mereka mampu mencapai kesepakatan. Selain itu,
Duvall dan Miller (dalam Srisusanti & Zulkaida 2013) membagi dua hal-hal yang
mempengaruhi dalam kepuasan dalam perkawinan.
a. Faktor sebelum perkawinan
Faktor ini berasal dari masa lalu seseorang seperti kebahagiaan masa
kanak-kanak, lama masa perkenalan, usia saat melakukan perkawinan,
restu dari orang tua dan hal hal tersebut bersifat sudah tidak dapat berubah
b. Faktor sesudah perkawinan
Sedangkan, faktor sesudah perkawinan adalah hal hal yang masih
dapat diatur, sehingga faktor pada sesudah perkawinan lebih penting
4
daripada faktor sebelum perkawinan untuk meningkatkan bagaimana
kepuasan seseorang dalam pernikahan. Hal-hal ini adalah hubungan
interpersonal, anak, kehidupan seksual, komunikasi, kesamaan minat,
kesesuaian peran dan harapan, hubungan dengan mertua, dan kemampuan
menghadapi konflik
Kepuasan pernikahan merujuk pada bagaimana setiap individu dapat
memaknai kepuasan tersebut secara pribadi. Hal ini dikarenakan kepuasan
pernikahan bersifat subjektif. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Andromeda
& Noviajati(2015) yang melakukan studi kasus kepuasan perkawinan pada istri
yang menjadi tulang punggung keluarga. Penelitian lain dari Sari & Fauziah
(2016) yang menyatakan bahwa suami akan cenderung memiliki kepuasan yang
lebih rendah ketika memiliki istri yang bekerja.
METODE PENELITIAN
Peneliti ingin melihat gambaran kepuasan pernikahan pada suami dengan
istri sebagai pencari nafkah utama. Untuk itu, peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif. Metode ini dipakai karena peneliti ingin melihat secara
mendalam bagaimana kepuasan pernikahan pada suami dengan istri sebagai
pencari nafkah utama. Selain itu, belum banyaknya sumber data yang dapat
menjadi responden menjadi kendala jika penelitian ini dilakukan secara
kuantitatif.
Dalam penelitian ini, sampel didapatkan dengan cara purposive sampling
yaitu dengan memilih subjek dengan adanya pertimbangan tujuan tertentu
(Sugiyono, 2012)
5
Syarat yang digunakan peneliti untuk menentuan responden adalah :
a. Pria sudah menikah
b. Memiliki istri bekerja
c. Pendapatan utama keluarga diperoleh dari penghasilan istri
Berdasarkan sumber data yang ada, sumber primer adalah responden
penelitian itu sendiri, sedangkan sebagai data pendukung atau sumber sekunder
didapatkan dari istri responden penelitian sebagai significant others. Pengambilan
data dilakukan di tempat tinggal responden penelitian. Peneliti mengajukan
beberapa pertanyaan terhadap responden kemudian hasil dari wawancara
dikumpulkan, disusun dan diorganisasikan sehingga menjadi sebuah pola agar
dapat ditentukan mana yang penting dan dapat dipelajari, selanjutnya diakhiri
dengan membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami oleh diri sendiri dan orang
lain.
HASIL
A. Data Diri Responden
Data Diri Responden 1 Responden 2
Nama /Inisial SP PB
Usia 62 Tahun 48 Tahun
Pend. Terakhir SD/MI Diploma
Pekerjaan Berkebun Tidak Bekerja
Inisial Istri MJ PK
Usia Istri 57 Tahun 49 Tahun
Pend. Terakhir S-1 S-2
Pekerjaan Guru(PNS) Dosen
Jumlah Anak 2 2
6
1. Pengkategorian Responden
Berikut adalah data seputar responden dalam penelitian ini:
a. Responden 1
- Gambaran Umum Responden 1
SP adalah seorang pria berusia 62 tahun. Karena suatu alasan, SP
terpaksa harus bekerja dan tinggal di rumah MJ ketika usia SP 15
tahun. Semenjak itu, SP bekerja mengurus usaha gula jawa, mencari
rumput untuk ternak, dan mengurus kebun. SP adalah anak nomor
dua dari lima lelaki bersaudara. Saat ini SP sudah memiliki dua
orang anak laki laki. Anak yang pertama sudah menikah dan
memberikan dua cucu pada SP sedangkan anak ke 2 yang selisih
usianya 15 tahun dengan sang kakak sedang mencari pekerjaan.
- Observasi Responden 1
Selama dilakukan penelitian di kediaman responden 1, responden
dan peneliti duduk santai bersama di teras rumah. Responden 1
tidak berpindah pindah tempat duduk dan hanya terfokus untuk
melakukan penelitian. Setiap pertanyaan ditanggapi dengan cepat
tanpa terlalu lama dipikir oleh responden 1.
b. Responden 2
- Gambaran Umum Responden 2
PB adalah seorang pria berusia 48 tahun dan sudah dikaruniai satu
anak laki laki yang sedang msuk bangku kuliah dan satu anak
perempuan yang masih duduk di bangku SMP. Kegiatan sehari PB
7
yaitu mengurus rumah, bersih bersih, mengantar istri dan
semacamnya. Pada awalnya, PB sudah bekerja di Jakarta,
sedangkan istrinya di Salatiga. Setelah beberapa tahun, PB harus
pulang ke Salatiga dikarenakan tempat dia bekerja ditutup.
- Observasi Responden 2
Selama penelitian berlangsung, responden dapat fokus untuk
wawancara dengan peneilti. Responden tidak terganggu dengan
aktivitas lain. Handphone responden 2 ditaruh di atas meja, namun
tidak digunakan sama sekali ketika wawancara berlangsung.
Responden 2 duduk santai sembari menjawab setiap pertanyaan
yang diberikan oleh peneliti.
2. Triangulasi
Dalam penelitian ini, baik responden 1 maupun responden 2 dilakukan
triangulasi data dengan mewawancarai istri setiap responden.
- Triangulasi Responden 1
Triangulasi responden 2(SP) dilakukan pada istri responden 2(MJ).
MJ mengakui bahwa pada awalnya tidak ada rasa saat dilamar oleh
SP. MJ menerima lamaran SP karena MJ merasa tidak enak jika
harus “mundur teratur”. Karena SP yang mengurus usaha gula jawa
keluarganya setelah ayah MJ “bobrok”, maka MJ merasa yang
menyekolahkan dan menafkahi keluarganya adalah SP. setelah anak
pertama lahir, sebenarnya MJ sudah tidak ingin memiliki anak lagi,
MJ ingin memiliki hanya 1 anak perempuan, sedangkan SP ingin 2
anak. Anak-anak MJ dan SP diasuh oleh orang tua MJ. Karena
8
merasa kasihan, maka SP dan MJ mencarikan pembantu untuk
mengasuh anak-anak mereka.Selama menikah, MJ mengatakan
bahwa SP tidak pernah mengeluh. MJ merasa tidak ada beban hal
yang perlu dikeluhakan oleh SP. Akan tetapi, MJ mengatakan
bahwa SP sering menyuruh untuk tidak terlalu sering “nongkrong”
dan “ngrumpi” karena akan menambah permasalahan. Hal ini
sebenarnya juga diakui oleh MJ kalau kegiatan tersebut hanya
menambah masalah. MJ mengakui bahwa waktu yang mereka
gunakan untuk kegiatan bersama sangat sedikit. Biasanya ketika
hari minggu, MJ membantu mengurus kebun, bersih bersih rumah
saja, selebihnya mengurus keperluan masing masing. Setelah
maghrib, biasanya waktu tersebut mereka gunakan untuk mengobrol
bersama.
- Triangulasi Responden 2
Triangulasi Responden 2(PB) dilakukan dengan mewawancarai istri
dari responden 2(PK). PK mengatakan, tidak adanya perubahan
kesulitan dalam berkomunikasi semenjak awal pernikahan sampai
sekarang. Akan tetapi, dari pribadi PB sudah banyak hal yang
berubah menjadi lebih baik. Contohnya bahwa PK sering kali
bingung dengan maksud yang ingin disampaikan oleh PB akibat tata
bicara PB yang kurang jelas atau tidak urut. Menurut PK, apapun
kondisinya dan sesibuk apapun PK dan PB, komunikasi harus selalu
terjadi meskipun di atas kendaraan atau sedang memasak di dapur.
Jika ada permasalahan atau salah satu sedang merasa memiliki
9
masalah, PB maupun PK berusaha untuk selalu berusaha
mengkomunikasikannya terlebih dahulu. setelah itu berusaha
mencari langkah-langkah seperti apa yang akan diambil.
B. Hasil
Setelah hasil penggalian data selesai, maka didapatkan beberapa hasil yang
mengacu dari aspek kepuasan pernikahan Fowers dan Olson (1989:1993)
sebagai berikut:
a. Komunikasi.
Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan pasangan
dalam berbagi dan menerima informasi emosional dan kognitif.
Contohnya seperti bagaimana pasangan dapat menjadi pendengar yang
baik, bagaimana cara pasangan jika ingin mengungkapkan sesuatu, apakah
pasangan saling memahami perasan, dan semacamnya.
“Nggih nek kula nganggep niku sae awet riyen. Mboten tau
cekcok o, kula sakwene ngrumat mbok wedok durung tau cekcok
kula kok. Tekan sempriki. (ketoke sae(nada sangat pelan, waktu
wawancara tidak terdengar))” (SP 87-91)
“Mboten nganu niku.. nggih pripun nggih, ngriku manut
kalih kula, kula nggih manut kalih ngriku. Dadi mboten tau
bertengkar ngoten.”(SP 137-139)
“Nek saya lebih banyak diam. Trus aku mbok amok yo aku
meneng, yos aku salah. Dadi ee apa kui ada tipe tipe orang opo
aku yo ora patek mudeng. tapi tipeku seperti itu. Luih luih banyak
diam.” (PB 70-73)
“Misale aku kakean dolan opo awakku kesel. Lha kui
diamuk aku nek sambat.” (PB 92-93)
“Tak coba sek aku gak kuat opo aku gak iso yo. Aku tanya
dia dan aku ya kan sudah kumpul sue iso kiro kiro wah nak aku
ngobrol opo aku curhat iki dee iso memberi solusi.” (PB 108-111)
10
“Yo komuniasi kui mau. Keterbukan komunikasi kui mau.”
(PB 548-549)
b. Aktivitas di waktu luang.
Aspek ini ingin melihat apa yang dilakukan pasangan suami istri ketika
memiliki waktu luang, bagaimana cara pasangan memaksimalkan waktu
bersama.
“Anu, mbok wedhok yen kesah kesah piyambak. Dadi cara
ngurusi kebutuhan piyambak piyambak. Dadi cara kana entuk
bayaran piro klula mpun mboten urusan. Yen arep napa nggih
usaha piyambak piyambak.” (SP 152-516)
“Waktuku banyak dengan dia ataupun anak anak.”(PB
120-121)
“Nek, bagi saya tidak ada waktu yang khusus unutk
berlibur atau wisata. Hari rabu pun aku bisa berlibur atau
wisata.” (PB 128-130)
c. Orientasi agama.
Aspek ini ingin melihat bagaimana setiap pasangan memaknai nilai-nilai
yang terkandung dalam agama yang dipercayai kemudian penerapan nilai-
nilai tersebut dalam kehidupan pernikahan mereka.
“Nek miturute kula nggih penting, nek kula niku le kulaa,
agama kan islam, kula estu mas nyuwun kalih ingkang kuasa, lha
kula kan sakit, terkadang kula nyuwun kalih ingkang kuasa ngoten
dalu dugi” (SP 171-174)
“Nggih, lha kalih putu, lha kalih sing niki, tekun niki.
Pripun nggih mah, kantepan ngoten mas. Naming kula mboten
mbedak mbedakake umat ngoten.” (SP 128-130)
“Nika katentremane tentram lah.” (SP 228)
“Nggih ngoten niku kula warai mas. Bocah niku nggoh
sholawatan, saged anu, saged aktif.” (SP 234-235)
“Sakniki ngeten, kowe rajin ngaji seng ndakik ndakik
nggih, raiso ngetrapke nggih percumah? Nggih mboten?” (SP
496-498)
11
“O iya. Dadi, ehh itu kan nek menurutku panduan seng
paling dasar. Bisa dikatakan paling dasar bisa dikatakan paling
puncak, nah iku panduane agama, masalah penjabarannya kan
nanti ada unsur sosial, apakah itu kesukuan apa, nah itu ibarate yo
melengkapi. Tapi utamane yo dari agama itu.” (PB 142-148)
“Yo penting. Itu menjadi dasar bagi apa ee memberikan
pendidikan. Kepada anak, karna panduane yo kui. Karna mbaca
alkitab penjabarane isa beda beda. Tapi nilai nilai itu diterapkan
kedalam apa kalau mendidik anak. “ (PB 163-167)
“Itu setiap pagi sebelum berangkat sekolah kami berdoa
bersama.” (PB 151-152)
“Yo setidaknya ketika kita akan menghadapi hari apa ee
kedepan itu kita kan gelap ora reti apa apa. Tapi setidake nek
sembahyang ki yo kene rada ayem lah.” (157-160)
d. Resolusi konflik.
Aspek ini berfokus bagaimana pasangan suami dan istri untuk mengenali
dan menyelesaikan masalah serta strategi yang digunakan untuk
mengakhiri perselisihan. Aspek ini juga melihat bagaimana pasangan
saling merespon setiap permasalahan yang dipunyai pasangan mereka
masing masing.
“Kula mboten nate sambat, dadi sembarang kula cak i
piyambak, kula angkati piyambak.” (SP 102-103)
“Dadi sembarang cukup kula. Cukup keluarga karo mbok
wedok.” (SP 105-106)
“Ngoten niku ngalah salah setunggal. Pama kula nduwe
karepan, kana mriku manut kula, nek kana ana karep ya aku manut
dekne. Dadi pama, kula arep pengin apa ngoten, nak apa ngono
podo manute setujune.” ( SP 93-97)
“Lha kula kan terkadang gadah anu nggih, tegal gadah
anu kula dol.” (SP 130-131)
“Yoo aku sebisa mungkin nek ana apa apa aku crito. Emb,
ya memang tidak semua aku cerita karena aku tidak mau tipeku
bukan yang suka membebani. Nek iso tak tandangi dewe. Wes,
raiso yowes, aku gek ngobrol aku aku ngene piye yo penake ngene
piye yo.” (SP 101-106)
12
“Tapi nek aku kan misale menghibur opo nggedekne atine
apa piye apa piye. Kan apa yang bisa kukerjakan untuk
pasanganaku ya kukerjakan.” (PB 183-185)
“Abote sepiro sih ganti kambi seng apik? Apa aku kok
maslah klambi masalah ngono kok marai ribut.” (PB 336-337)
e. Pengelolaan keuangan.
Aspek ini ingin melihat bagaimana pasangan suami istri dalam mengelola
keuangan rumah tangga mereka, bagaimana mereka akan menggunakan
uang tersebut, bagaimana jika akan memutuskan sesuatu yang
berhubungan dengan mengguanakan uang tersebut.
“Kebutuhan mben dinten niku mbok wedok. Lha nak kula
kan itungane kula lumpukke to mas. Dilumpukke. Lha mangke
damel tumbas napa.” (SP 406-409)
“Lha nek kula pama, kirang cekap, kula dodolan kalih
nopo riyen kan. Seng dinganu riyen nggih.. Niku nggih dodol
sapi..” (SP 447-449)
“Biasane yang mengatur keuangan tu saya. Pokoknya PK
itu taunya bekerja. Bekerja uangnya itu ditabungan nek aku butoh
ya aku njipuk.” (pb 252-254)
“Ya nggak beli. Lha wong uange kurang o. Kan ya nek
selama ini itu membeli sesuatu atau kepengen sesuatu itu apa ya
terlaksana tapi ntah kapan. Kami berprinsip seperti itu. Nggak
wah kapan aku anu apa barang apa seng mahal seng apik. Aku ora
ndue duit o ngoyo nggo opo. Aku yo ngrumangsani bukan tipe seng
ngototan apa lagi ngopo sih wong aku buan tipe orang yang sukak
dugem. Yowes biasa aku wes mangan yowes ngono wae.” (PB 287-
296)
f. Orientasi seksual.
Aspek ini bukan hanya sekedar melihat aktivitas seksual yang dilakukan
pasangan suami istri. Melainkan juga melihat bagaimana kebutuhan afeksi
seperti bagaimana cara pasangan memperlakukan pasangannya, perhatian
perhatian apa yang dilakukan pasangan, dam semacamnya.
13
“Kula nika nganggo sedino nggih ganti. Sesok neh dinggo
neh langsung dicuci. Wes dicawisi nganggo iki iki nek salon do
wegah nggih? Luweh luweh.” (SP 360-362)
“Dadi upami, nyumbang, sandangan nggo nyumbang mpun
dicawisi. Dadi wes siap mangkat. Nggih itungane mara tua karo
bojo pada pada gemati.” (SP 364-367)
“Yaa misalkan de e mengingatkan aku. Kowe aja aja kesel
kesel. Soale kwe ngko kesel kesel berpengaruh pada aku misale
apa kwe ora pantes kwe nggo klambi iki, pantese ngene. Perhatian
perhatian seperti itu.” (PB 316-320)
“Lha dia yang mengingatkan, misale ki kaya teka nggone
pertemuan ko ora rapi opo pernikahan mungkin de e aku rapi e
kok kowe ora. Misalkan. Seperti itu” (PB 328-331)
“Yaa, kalau ketika kita tertarik dengan fisik, itu kan pasti
ada masanya untuk dia menjadi berubah, misalnya dari muda
gagah tambah tua tambah kempot. Ya kalau sudah berus..
berumur. ketertarikannya akan berbeda tidak seperti jaman duluku
awal awal. Kalau sekarang ya menjadi teman diskusi teman
ngobrol teman curhat yang saling melengkapi. Saya punya
kekurangan. PK punya kekurangan. Nah dari kekurangan
kekurangan itu kita saling melengkapi...” (PB 593-603)
g. Keluarga dan teman.
Aspek ini ingin melihat bagaimana perasaan dan perhatian dengan anggota
keluarga, mertua, dan teman. Bagaimana relasi yang dimiliki antara
pasangan dengan keluarga, mertua dan teman.
“...cara kula ngoten mpun dados anake dewe. Kaya anak
emas ngoten mas.” (SP 344-345)
“Lha nek niki malah gemati, malah sae.” (SP 518-527)
“Kula nikimpun dangu mboten numpul mas. Dadine ngeten
mas, kula ngumpul, terkadang skniki ngumpul, ngumpul nggur
arep nggawe kisruh nggih wegah kula. Ngoten lak nggih to?
Sakniki uga ngumpul, lha nak nggawe kisruh kula wegak kok. Aluk
ngomah karuan. Karuan niku. Sakniki ngeten, uong terkadang do
ngumpul do arep ngisruh masing masing. Nak kula ngono wegah.”
(SP 484-475)
14
“Nggak. Aku tidak terganggu karena yo iku mau, prinsipku
kan saya tdak menganggu, kamu, kamu ya jangan mengganggu
aku.” (PB 371-373)
“Nek awal awal mempermsalahkan, kowe mbok kerjo opo
lah, opo opo lah. Itu terutama mertuanya PK, orang tuaku. Dadi
nek bapak ibunya PK tidak pernah ngomong secara langsung.
Dadi aku yo nggak ngerti, tapi nek bapak ibukku dewe yo
ngomong.” PB 412-417)
h. Anak dan pengasuhan.
Aspek ini berfokus pada keputusan yang berhubungan dengan
kedisiplinan, masa depan anak, dan pengaruh anak terhadap hubungan
suami dan istri.
“Riyen kan kula padoske momongan niku.” (SP 291)
“Alah saking tetangga ngelo. Dadi kula mboten tau
momong niku, awit.. mboten tau momong. Kula padoske pembantu
niku. 2 pembantu sedanten niku.” (SP 295-298)
“Ibuke momonge nek mpun wangsul. Lha embah tasih
gesang, lha niku nggih seng momong mbahe, tapi nggih digolekne
pembantu niku. Niku sedane mpun mantenan niki o.” (SP 300-302)
“Anu mas, mbahe niku gemati o mas, anak kula kula seneni
niku mboten entuk. Lha niku nek kula nyeneni ngoten to mas, niku
mbahe niku mangkih dalu mbayangi mriki. Pokoke bocah niku aja
diseneni.” (SP 310-314)
“Ah mboten, anu mas, mboten maju, anu kula kuat ragadte,
tapi bocahe. Seng siji kula ken kuliah tapi pengen kerjo wae. Lha
sing niki nggih mas. Terserah.” (SP 265-268)
“Wekdale mboten enten. Jane nggir remen pengen
momong.” (SP 691-692)
“Nak aku dua duanya kepengenku tu cowok , trus aku
seneng bocah nek ngglidis ngono aku seneng. Hla biasane lanang
ngono kui. Lha iki nek orang kan biasanya nek normal oh seng
lanang , eh seng mbarep lanang nomer loro wedok ah. Aku ra,
ketika ED (anak subjek) ak ngomog aku nek anak lanang neh seng
mbeler rapopo, ben rame rapopo. Maksude tidak pakem lah. Tidak
pakem.” (PB 435-442)
15
“Dolanan wong PK kan kerja. Hla aku sengg momong. Yo
nurokke, ngejak dolan. Yo nek pulang, nek PK pulang yo podo.
Ngewangi aku. Ganti de e pegang LW (anak subjek) aku ngerjakke
opo.”(PB 466-472)
i. Kepribadian.
Mengukur persepsi individu mengenai pasangannya berhubungan dengan
masalah perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah
mengenai kepribadian masing-masing.
“Nika kula adus nika, kula dicawisi toya anget. Samben
dinten, salin cawisi. Lak arang to ngono kui.” (SP 356-358)
“Dadi upami, nyumbang, sandangan nggo nyumbang mpun
dicawisi. Dadi wes siap mangkat. Nggih itungane mara tua karo
bojo pada pada gemati.” (SP 364-367)
“Eee, ku bukan tergangu nek buat iku tapi aku tidak cocok
misalnya dengan style nya dia. Style ki ngene. Misalkan aku
urakan. Hla de e kan rapi, aku kan dadi ora cocok mbe de e.” (PB
359-362)
“Pokok e aku wong bebas, yo nggak masalah kita kan
saling menghormati tapi kan akumbok kongkon aku disuruh tertib
kayak kamu aku yo ra iso.” (PB 376-379)
“Yo ada mung yo jenenge wong rumah tangga dengan dua
pribadi yang berbeda ki yo ngono kui, ee opo yo misale kui de e ki
nganggo klambi ki cematel akeh. Nek aku kan ora seneng.nek reget
yo reget tak kumbah bar. Tapi kui iseh tak ngo neh kok. Lha nek
aku reget regetke. Meh ngngo sak klomot opo yo sak kotor kotore
yo nggoa terus. Aku praktise wae meh celono siji arep tak nggo
ibarate seminggu rong minggu yo luweh tapi siji cemantel jebret.
Iki misale. Seperti itu” (PB 522-531)
j. Kesamaan peran.
Aspek ini mengukur perasaan dan sikap individu mengenai berbagai
macam peran dalam pernikahan dan keluarga. Berfokus pada pekerjaan,
rumah tangga, seks, dan peran sebagai orang tua.
16
“Alah saking tetangga ngelo. Dadi kula mboten tau
momong niku, awit.. mboten tau momong. Kula padoske pembantu
niku. 2 pembantu sedanten niku.” (SP 295-298)
“Ibuke momonge nek mpun wangsul. Lha embah tasih
gesang, lha niku nggih seng momong mbahe, tapi nggih digolekne
pembantu niku.” (SP 300-302)
“Mboten, adu de ngo seng, de ngo seng longgar lah.” (SP
701)
“Niku nggih mbok wedok kecuali niku cara gampange
masuk angin niku kan kula. Dadi bantu binantu ngoten lho.”(SP
705-707)
“Aku ngurusi omah. Pokok e PK nek mulih ngertine yo
nganu, opo kui jenenge omahe resik. Aku tidak mau memberatkan
wong dee neng tempat pekerjaan kan wes ana seng dipikir to?”(PB
208-211
“Makusdte alamiah tu ketika saya pulang ke salatiga
akrena tempat bekerja aku itu ditutup iki iki trus piye, nek kalau
saya tetep di Jakarta yo mungkin aku tetep bekerja. Kan mesti aku
repot riwa riwi. Mesti kudu ana seng ngalah. Yos aku di Salatiga
ngurusi omah ora usah golek pembantu gampangane lah. Kowe
seng kerjo. Tidak dicatet detail kowe ngko nyapu masak ora. Tapi
pokoke podo ngertine.”
PEMBAHASAN
Menurut Fowers & Olson (1989) ada tiga aspek paling penting dari aspek
aspek yang mereka kemukakan dalam mengukur kepuasan pernikahan, yaitu
komunikasi, orientasi seksual dan resolusi konflik.
Dilihat dari aspek pertama, ada perbedaan komunikasi yang terlihat dari
responden 1 dan responden 2. Responden 1 masih ragu apakah dia memiliki
komunikasi yang sudah baik atau belum dengan istrinya. Sedangkan responden 2
sudah merasa memiliki komunikasi yang baik, akan tetapi masih ada beberapa hal
yang tidak dia ceritakan karena tidak mau membebani pasangannya. Donan &
Jhonson (dalam Sari & Fauziah 2016) mengatakan bahwa salah satu faktor untuk
17
menjaga sebuah hubungan tetap bertahan dan memiliki kepuasan akan kehidupan
pernikahannya adalah dengan memiliki komunikasi yang baik dan kesadaran
suami dan istri untuk berkomunikasi dengan baik. Cara berkomunikasi pasti akan
berpengaruh dengan cara setiap individu untuk menyelesaikan konflik yang ada.
responden 1 dengan istrinya lebih memilih untuk ikut kemauan salah satu
daripada harus berdebat untuk memutuskan sesuatu. Berbeda dengan responden 2
meskipun cenderung diam, responden 2 dan istrinya lebih memilih untuk
berdiskusi bersama untuk menentukan keputusan yang akan diambil.
Beberapa hal yang nampak sama ialah ketika ada permasalahan yang
terjadi, responden memiliki kecenderungan untuk menyimpannya terlebih dahulu
kemudian baru bercerita kepada pasangannya jika sudah merasa tidak mampu
untuk mengatasinya sendiri.
Dalam segi penggunaan waktu luang dari responden 1 dan 2. Responden 1
merasa sangat kurang menggunakan waktu luang bersama dengan istrinya. Waktu
lebih banyak digunakan untuk urusan dan kepentingan masing masing. Sedangkan
responden 2 berusaha memaksimalkan waktu luang istrinya untuk berkativitas
bersama. Contohnya adalah responden 2 dengan istrinya mengikuti kegiatan di
sebuah organisasi. Selain itu responden 1 tidak banyak memiliki aktivitas yang
dilakukan bersama selain berhubungan dengan mengurus rumah. Salah satu hal
yang dapat menjadi permasalahan dalam sebuah pernikahan adalah ketika
pengaturan keuangan keluarga belum baik. Pendapat ini didukung oleh Hurlock
yang menyatakan bahwa konsep yang tidak realistis seperti harapan-harapan
tentang kemampuan keuangan untuk memiliki barang-barang yang dianggap
penting dan ketidakmampuan untuk memenuhi biaya hidup dapat menjadi
18
masalah yang timbul dalam perkawinan (Rahmaita, Krisnatuti, & Yuliati, 2016) .
Sehingga pengaturan keuangan dalam keluarga dianggap penting. Kedua
responden dalam penelitian ini sudah dapat memiliki satu cara yang sama dengan
pasangannya masing masing dalam hal pengelolaan keuangan. Pada responden 1,
uang tetapi dibawa oleh istri, seluruh penggunaan uang diatur oleh istri. Jika ingin
membeli sesuatu akan tetapi dana yang dipunyai belum memadai, maka suami
akan berusaha mencari tambahan dengan menjual ternak atau hasil yang dia
tanam. Responden 1 mempercayakan segala kebutuhan kehidupan sehari-harinya
pada sang istri. Sedangkan responden 2, pengelolaan keuangan dilakukan oleh
responden 2. Sedangkan istri fokus untuk mencari penghasilan yang kemudian
uang masuk dalam bank yang akan dikelola oleh responden 2. Responden 2 dan
pasangannya lebih memilih untuk menggunakan prioritas.
Perjuangan responden 1 untuk menjadikan istrinya memiliki pekerjaan itu,
dan sudah sangat dekatnya responden 1 dengan mertuanya membuat responden 1
merasa tidak memiliki tekanan dari pihak manapun membuat responden 1 lebih
merasa tenang dalam kehidupannya. Sedangkan orang tua dari responden 2
kurang dapat menerima jikalau pasangan responden 2 lah yang menajdi pencari
nafkah utama dalam keluarga. Lama kelamaan, responden 2 merasa bahwa orang
tuanya sudah bisa menerima keadaan responden 2 dan melihat rumah tangga
responden 2 tetap dapat berjalan dengan lancar. Dalam relasi pertamanan,
responden 1 lebih memilih menggunakan waktunya untuk dirumah atau
melakukan aktifitas lainnya. Hal ini dikarenakan responden 1 merasa jika hanya
berkumpul saja akan menambah “kekisruhan”. Sedangkan Responden 2 lebih
memilih untuk diam saja ketika ikut istri bertemu dengan teman temannya.
19
Meskipun diam, responden 2 berkata bahwa itu bukan berarti dia tidak cocok, tapi
memang sedang ingin diam.
Ketika anak masing-masing responden masih kecil, responden 1 tidak
dapat membantu untuk mengasuh anak-anaknya dikarenakan pekerjaannya yang
menyita banyak waktu. Hal ini menyebabkan anak anak responden 1 kurang dekat
dengan responden 1. Hal ini nampak ketika anak-anak responden 1 ingin
mengadu, anak-anak responden 1 mengadu pada ibunya. Berbeda dengan
responden 2 yang memiliki waktu sangat banyak pada anak-anaknya ketika
mereka masih kecil. Ketika ibunya sudah pulang, maka responden 2 dengan
istrinya bergantian mengasuh anak. Hal ini terlihat ketika anak-anaknya ingin
bercerita atau mengadu, mereka memilih akan bercerita ke responden 2 atau ke
ibunya, sesuai kebutuhan anak-anak responden 2 saat itu. Kedua responden
memiliki pandangan yang sama tentang orientasi agama. Setiap responden
menganggap pentingnya nilai-nilai yang ada dalam agama mereka masing masing
untuk diterapkan dalam dalam mendidik anak-anak mereka dan dalam kehidupan
pernikahan. Menurut kedua responden, bahwa dalam menjalani kehidupan
beragama dengan beribadah dengan baik seperti berdoa dan semacamnya akan
membantu responden memiliki sikap hati yang lebih tenang dan damai dalam
menjalani kehidupan. Hurlock (dalam Ardhianita & Andayani, 2005)
menambahkan bahwa secara umum seseorang dengan religiusitas yang tinggi
akan memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi pula.
Selain anak, salah satu yang mempengaruhi kepuasan seseorang dalam
pernikahannya adalah pasangan mereka masing masing. Hidup bersama selama
puluhan tahun jika dengan orang yang membosankan pasti sangat tidak
20
menyenangkan. Bagi responden 1, istrinya adalah pribadi yang penuh dengan
kasih dan perhatian. Salah satu contoh perhatian yang responden 1 suka adalah
ketika istrinya menyiapkan air hangat untuk mandi dan pakaian yang akan
dikenakan responden 1. Sedangkan perhatian kecil yang disuka responden 2 dari
istrinya adalah ketika diingatkan untuk jangan terlalu lelah dan saran berpakaian
yang baik.
Semakin bertambahnya usia membuat responden merubah pola pikir
tentang apa yang membuatnya masih tertarik dengan istrinya. Jika responden 1
tertarik dengan perhatian-perhatian dan kepribadian dari istrinya. Maka responden
2 lebih tertarik pada istrinya ketika istrinya dapat menjadi pelengkap kekurangan
yang dia miliki dan istrinya dapat menjadi teman diskusi, ngobrol, dan curhat
yang baik.
Dalam urusan bertanggung jawab dengan rumah, responden dan istrinya
masing masing sudah memiliki pembagian tugas masing masing. Meskipun
berbeda, setiap responden tetap berusaha melakukan yang terbaik bagi rumah
tangga mereka masing masing. Contohnya pada responden 1, ketika istrinya
sedang sakit maka responden 1 yang akan mengambil alih pekerjaan rumah dan
berusaha merawat istrinya. Sedangkan responden 2 memahami istrinya sudah
berjuang untuk mencari uang maka responden 2 bertanggung jawab pada rumah.
Jangan sampai istrinya juga ikut memikirkan rumah.
Dalam penelitian ini nampak beberapa hal penting menurut Lauer yang
harus harus diperhatikan untuk mencapai kepuasan dalam pernikahan (Boseke,
2015). Pertama, menikah dengan seseorang yang disuka. Responden 1 hanya
menjelaskan bahwa pernikahan mereka berasal dari keinginan dan keputusan
21
kedua orang tua mereka. Sedangkan responden 2 terlebih dahulu menyukai orang
yang akan ia jadikan istri. Yang kedua, mampu mencapai kesepakatan.
Meskipun responden 1 dan 2 sama-sama dapat mencapai kesepakatan, tetapi dapat
dilihat bahwa cara untuk mendapatkan kesepakatan tersebut sangatlah berbeda.
Pada responden 1 dan pasangannya sekedar “mengikut” kemauan dari
pasangannya dalam memutuskan sesuatu, sedangkan pada responden ke-2
mencari jalan tengah yang paling baik untuk ditempuh.
Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan
menurut Duvall dan Miller (dalam Srisusanti & Zulkaida, 2013) pasti terdapat
perbedaan antara responden 1 dan 2. Contohnya pada alasan ketika mereka akan
menikah. Alasan yang lebih jelas untuk menikah seperti mengerti tujuan untuk
menikah, sudah menikah dengan yang mereka sukai juga akan mempengaruhi
kepuasan pernikahan mereka. Terlihat dalam responden 2 yang mengaku cocok
dengan calon istrinya sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Sedangkan
pada faktor sesudah perkawinan sepertiharapan orang tua terhadap anak, relasi
dengan pertemanan, harapan dengan pasangan akan mempengaruhi kepuasan
dalam pernikahan. Hal ini terlihat pada respoden 1 yang memiliki keinginan pada
anaknya untuk mau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Salah satu hal yang menarik bahwa responden 2 dapat menerima keadaan
dirinya yang memiliki istri sebagai pencari nafkah utama dalam keluarganya
membuat responden 2 menjadi tidak malu ketika akan berelasi dengan orang lain.
Sehingga hal tersebut tidak membuat kepuasan pernikahannya menurun.
22
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapatkan, maka diketahui gambaran kepuasan
pernikahan suami dengan istri sebagai pencari nafkah utama :
1. Responden 1 sudah mencapai kepuasan pernikahan dari aspek Orientasi
Agama, Orientasi Seksual, Keluarga & Teman, Kepribadian dan Aspek
Kesamaan Peran. Akan tetapi aspek Komunikasi, Aktivitas di Waktu
Luang, Resolusi Konflik, Anak & Pengasuhan yang dimiliki responden 1
masih belum mencapai kepuasan.
2. Harapan pada anaknya yang tidak ingin melanjutkan studi ke jenjang yang
lebih tinggi mempengaruhi kepuasan pernikahan responden 1.
3. Dari seluruh aspek kepuasan pernikahan aspek Komunikasi, Aktivitas di
Waktu Luang, Orientasi Agama, Resolusi Konflik, Pengelolaan Keuangan,
Orientasi seksual, Keluarga dan Teman, Anak dan Pengasuhan
Kepribadian, Kesamaan peran sudah dapat dicapai oleh responden 2.
4. Responden 2 menikah dengan seseorang yang disuka dan merasa cocok
dengan dirinya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan
pernikahan dalam dirinya. Selain itu, penerimaan atas keadaan yang terjadi
pada dirinya membuat kepuasan pernikahannya tidak menurun akibat
statusnya memiliki istri sebagai pencari nafkah utama.
SARAN
a. Saran bagi penelitian selanjutnya
Peneliti selanjutnya dan pasangan suami istri yang menjadi responden
dapat diskusi bersama mengenai topik kepuasan pernikahan sebagai salah
satu cara untuk mendapatkan data.
23
Dapat meneliti tentang resiliensi seorang suami dengan istri sebagai
pencari nafkah utama. Selain itu, peneliti juga dapat meneliti tentang
dampak yang bisa terjadi jika seorang suami memiliki istri sebagai pencari
nafkah utama.
Dapat menggali tentang kepuasan pernikahan yang ditinjau dari
berbagai sudut pandang seperti pernikahan beda etnis.
b. Saran bagi suami dengan istri sebagai pencari nafkah utama
Berfokuslah pada hal-hal yang masih dapat diubah. Contohnya
seperti meningkatkan intensitas komunikasi dengan istri, memaksimalkan
waktu yang ada dengan istri. Menerima kekurangan istri dan mencari cara
agar kekurangan tersebut bukan menjadi hal yang bermasalah. Belajar
untuk menyelesaikan konflik dengan baik.
c. Bagi pasangan yang belum menikah
Sebelum menikah, hendaknya sudah mengetahui terlebih dahulu
tujuan menikah dan milikilah komitmen bersama agar pernikahan bisa
lebih kuat jika ada permasalahan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Andromeda., & Noviajati,. P. (2015). “Berjuang dan Terus Bertahan”: Studi
Kasus Kepuasan Perkawinan pada Isteri sebagai Tulang Punggung
Keluarga. Seminar Psikologi dan Kemanusiaan. ISBN: 978-979-796-
324-8
Ardhianita, I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan Pernikahan Ditinjau dari
Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jurnal Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada. 32(2), 101-111
Ayuningtyas, S. R. (2014). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan
Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Yang Menikah Di Usia Muda.
Skripsi(tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW
24
Boseke, R. O.(2015). Hubungan Antara Komitmen Pernikahan Dengan Kepuasan
Pernikahan Pada Istri Yang Ditinggal Suami Bekerja Di Luar Kota.
Skripsi(tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW
Fowers, B. J,. & Olson, D. H. (1989). Enrich Marital Inventory: a Dscriminant
Validity & Cross-Validity Asessment. Journal of Marital and Family
Therapy. 15(1), 65-79
Fowers, B. J,. & Olson, D. H. (1993). Enrich Marital Scale: A Brief Research and
Clinical Tool. Journal of Family Psychology. 7(2), 176-185
Habibi, U. R. (2015). Kepuasan Pernikahan Pada Wanita Yang Dijodohkan.
Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. 3(2),
579-588
Lusiana. (2017). Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Beda Usia. Skripsi(tidak
Diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi UMS
Rahmaita, Krisnatuti, D., & Yuliati, L. N. (2016). Pengaruh Tugas Perkembangan
Keluarga Terhadap Kepuasan Perkawinan Ibu yang Baru Memiliki
Anak Pertama. Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi
Manusia Insitut Pertanian Bogor. 9(1), 1-10
Roy, H. E.(2015). Kepuasan Pernikahan dan Psychological Well Being Sebagai
Prediktor Kinerja Karyawan PT. Sri AgungKnitting, Bandung.
Skripsi(tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW
Sari,. A. N., & Fauziah,. N. (2016). Hubungan Antara Empati Dengan Kepuasan
Pernikahan Pada Suami Yang Memiliki Istri Bekerja. Jurnal Empati
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. 5(4), 667-672
Srisusanti, S., & Zulkaida, A.(2013). Study Deskriptif Mengenai Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Pada Istri. UG Jurnal
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. 7(6), 8-12
Susanto, N. H.(2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam
Hubungan Patriarki, Jurnal Muwazah. 7(2), 120-130
Sugiyono.(2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Wulandari, S., & Widyastuti, A. (2014). Faktor-faktor kebahagiaan di tempat
kerja. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim
Riau. 10(1), 49-60