Upload
dinhkhanh
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Sudira (2016) menyebutkan bahwa SMK sebagai tempat penyelenggaraan
pendidikan kejuruan memiliki kekhasan dalam pembuatan kurikulum. Kurikulum
yang dibuat disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan kejuruan. Terdapat
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh lulusan dari SMK yaitu kesiapan untuk
dapat masuk ke dunia usaha/dunia industri selain dari pemahaman mengenai dasar
teori sesuai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Beban belajar SMK meliputi
kegiatan pembelajaran tatap muka, praktik di sekolah, dan kegiatan kerja praktik di
dunia usaha/industri. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan menurut
Kurikulum 2013 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 54 tahun 2013, maka bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan
memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Wakasek Humas selaku penanggungjawab praktik kerja lapangan menuturkan
bahwa sesuai dengan kurikulum 2013, terdapat aktivitas pada siswa SMK untuk
melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL ini merupakan bentuk
perwujudan kurikulum yang mengarah kepada tercapainya kompetensi dasar
keterampilan. PKL ini dilaksanakan oleh siswa kelas XI pada semester kedua. Pada
masa PKL terjadi perubahan tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Siswa dituntut
untuk dapat memenuhi tugas dan beradaptasi dengan ritme kerja di tempat PKL yang
tentunya berbeda dengan tugas belajar di sekolah. Kemampuan siswa dalam
beradapatasi terhadap tuntutan dunia usaha/industri dapat mempengaruhi ketuntasan
siswa dalam menyelesaikan PKL.
2
Berdasarkan pada pengalaman beberapa siswa kelas XI yang sudah melalui
masa PKL, mereka merasa cukup kesulitan mengikuti tugas dan ritme kerja di tempat
PKL. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa siswa berikut ini:
“Ya lumayan kerasa keteteran mba. Kalau biasanya di sekolah kan gitu-gitu aja,
paling kalau telat ngerjain tugas atau nggak ngumpulin nggakpapa, ya
dikurangi nilainya sama guru. Tapi kalau di tempat PKL bisa jadi masalah sama
pembimbing di sana, nggak bisa santai.”
“Berangkat pagi pulang sore mba. Pas instalasi atau servis sering gagal, jadi
kena tegur.”
“PKL-nya shift, jadi ada yang pagi sama ada yang sore. Bikin males berangkat
mba, pulangnya bisa malem.”
Apabila siswa merasa tidak cocok atau tidak mampu mengikuti peraturan di
tempat PKL, maka siswa yang bersangkutan biasanya meminta ijin tidak masuk atau
tidak masuk tanpa alasan, bahkan tidak sedikit yang meminta ke pembimbing di
sekolah untuk pindah ke tempat lain. Tentu saja hal ini merugikan banyak pihak.
Siswa akan membuang waktu untuk mencari tempat baru yang akan diajukan ke
sekolah, pihak sekolah harus mendata perubahan tempat dan memberikan surat
pengajuan ke tempat yang baru, setelah itu baru dilakukan penerjunan. Berikut
penuturan siswa yang sempat berpindah tempat PKL:
“Nggak betah mbak, disuruh-suruh, sering ditegur juga kalau salah. Jadi minta
pindah tempat aja sekalian.”
Data dari penanggungjawab PKL di SMK swasta A di Sleman menunjukkan
adanya peningkatan jumlah siswa yang pindah tempat PKL dari tahun 2016 yang
berjumlah 26 siswa ke tahun 2017 meningkat menjadi 41 siswa. Peningkatan ini
terjadi karena ketidaksiapan siswa dalam beradaptasi di dunia kerja dengan berbagai
3
tuntutan yang tentunya berbeda dengan tuntutan di sekolah. Terdapat beberapa siswa
yang menyampaikan bahwa mereka merasa tidak cocok karena sering ditegur oleh
pemilik atau pembimbing di tempat PKL serta harus mengikuti aturan kerja dan jam
kerja yang berlaku.
“Biasanya masalahnya gitu mbak, males kalau sering ditegur, jadi mending ijin.
Kalau kurang jamnya ya nambah meskipun udah selesai masa PKL-nya.” Siswa
lain yang pernah berpindah tempat PKL menambahi dengan pernyataan: “Lha
ditegur terus mba, udah nggak digaji tapi diatur-atur, berangkat pagi pulang
sore.”
Wakil Kepala Sekolah bidang Humas selaku Guru penanggung jawab PKL
memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Saya sudah menyampaikan dari awal ketika siswa mengajukan tempat PKL
(Dunia Usaha/Dunia Industri yang dapat disingkat DU/DI), jangan sampai
pindah tempat PKL, karena itu sangat merugikan semua pihak. Dari siswanya
harus bilang ke pembimbing, nyari tempat baru, lapor ke TU untuk dibuatkan
surat pengantar, iya kalau DU/DI itu mau menerima, kalau tidak siswa harus
nyari lagi tempat lain. Setelah ada surat pengantar, DU/DI bersedia, baru
diterjunkan. Tentunya ini memakan banyak waktu. Akibatnya siswa harus
menambah jumlah waktu PKL. Padahal sekolah sudah membuat jadwal bahwa
PKL selama 3 bulan, lalu kembali sekolah untuk belajar materi sebagai
persiapan ujian semester. Itu yang terdata mbak, yang tidak terdata banyak lagi,
mereka biasanya ijin bahkan ada yang tidak pernah masuk kerja. Pernah juga
ada yang sampai dikembalikan ke sekolah.”
Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum menambahkan bahwa fenomena
berpindah tempat PKL adalah hal yang sering terjadi. Menurut beliau, siswa akan lari
apabila siswa merasa kesulitan beradaptasi dan menyelesaikan masalah di tempat
PKL, padahal belum tentu tidak akan menemui masalah yang sama ketika berada di
tempat yang baru. Berikut pernyataan dari wakil kepala sekolah bidang kurikulum:
“Waaah, kalau pindah tempat PKL itu udah umum mbak. Jadi kalau siswa di
tempat PKL kan harus mengikuti peraturan yang ada di sana, termasuk jam
4
kerja dan beban kerjanya. Nah kalau siswa di sekolah kan terbiasa dimaklumi
kayak ngumpul tugas telat ya paling dikurangi nilainya, jadi mereka kaget kalau
harus mengikuti aturan kerja. Misal, ditegur kalau ada yang salah atau kurang,
itu malah bisa-bisa mereka nggak mau berangkat PKL lagi. Ada juga itu mba,
baru sehari diterjunkan, terus merasa tidak cocok dengan rekan kerja atau
pemilik tempat usaha, langsung minta pindah. Padahal kami sudah
menyediakan guru pembimbing, siswa bisa menceritakan masalah yang dialami
di tempat PKL agar bisa diselesaikan. Karena kalau sampai tidak selesai dengan
baik-baik, tentu citra sekolah juga terpengaruh. Dan belum tentu juga kalau
pindah itu masalah selesai, bisa saja ketemu masalah yang sama”
Pada tanggal 9 Mei 2017 dan 10 Mei 2017 peneliti melakukan survei kepada
83 siswa kelas XI SMK swasta A di Kabupaten Sleman yang sudah melaksanakan
PKL. Survei dilakukan dengan memberikan angket yang berisi permasalahan yang
terjadi saat PKL, tingkat masalah tersebut (ringan, sedang, berat), dan hal yang
dilakukan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Diperoleh data bahwa
permasalahan yang muncul ketika PKL adalah seringnya ditegur pemilik dan rekan
kerja, sering diberi tugas yang banyak, terlambat datang ke tempat kerja, kesulitan
beradaptasi dengan rekan kerja dengan latar belakang asal daerah yang berbeda,
konflik dengan rekan kerja, kesalahpahaman dalam komunikasi dengan teman PKL,
kesulitan dalam melayani pelanggan, sering gagal dalam melaksanakan tugas, tempat
PKL yang tidak nyaman, dan kelelahan karena jam kerja mengikuti karyawan. Cara
yang dilakukan oleh siswa cukup beragam, ada siswa yang berupaya untuk langsung
menyelesaikan seperti dengan terus berusaha bekerja dengan baik, bertanya kepada
rekan kerja, dan berkonsultasi dengan pembimbing. Namun, tidak sedikit juga yang
mengabaikan masalah yang dimiliki dengan ijin tidak masuk, membolos, dan
mengajukan perpindahan tempat PKL. Ada juga siswa yang tidak melakukan apa-apa
5
dan menangis. Beragamnya permasalahan siswa di tempat PKL dan cara
mengatasinya menunjukkan bagaimana kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan
kondisi yang berbeda dan penuh tuntutan.
Ketidakmampuan siswa dalam beradaptasi terhadap tuntutan baik yang
berasal dari diri sendiri maupun orang lain dapat membuat siswa menjadi stres.
Atwater (1983) mendefinisikan stres sebagai tuntutan untuk beradaptasi yang
membutuhkan respon penyesuaian diri dari individu. Stres secara psikologis dapat
didefinisikan sebagai sebuah permintaan pada sebuah organisme untuk mengatur,
mengatasi, dan menyesuaikan diri (Rathus dan Nevid, 1991).
Ada beberapa macam sumber stres yang dikemukakan oleh para peneliti di
antaranya: kerepotan sehari-hari, perubahan dalam hidup, sakit dan ketidaknyamanan
fisik, frustrasi, dan konflik, serta stresor dari lingkungan seperti bencana alam dan
bencana teknologi (Rathus dan Nevid, 1991). Stres yang dialami oleh siswa pada
kasus PKL ini mengarah kepada ketidakmampuan siswa dalam menghadapi
perubahan dan konflik. Terdapat juga konsekuensi negatif dari kegagalan yang
dilakukan dalam mengerjakan tugas di dunia usaha/indutri. Siswa akan menerima
teguran/peringatan dari rekan kerja maupun atasan.
Kesuksesan seseorang dalam beradaptasi terhadap stres termasuk cara
bagaimana individu dapat mengatur emosi, berpikir konstruktif, meregulasi dan
mengarahkan perilaku, mengontrol dorongan internal, dan melakukan tindakan pada
lingkungan sosial dan nonsosial untuk mengubah atau menurunkan sumber dari stres
6
(Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, dan Wadsworth, 2001). Usaha yang
digunakan untuk menghadapi stres dinamakan coping.
Lazarus (1999) menyatakan bahwa coping adalah usaha seseorang untuk
mengatur kondisi kehidupan yang penuh stres. Stres dan coping dapat dikatakan
resiprokal untuk satu sama lain. Ketika coping yang digunakan tidak efektif maka
level dari stres menjadi tinggi, dan ketika coping yang digunakan efektif, maka level
stres akan menjadi rendah. Mengacu pada teori Lazarus, Fyedenberg dan Lewis
(1997) mendefinisikan coping sebagai sebuah pengaturan aksi kognitif dan afektif
yang muncul dalam respon pada sebuah perhatian terhadap fakta. Sarafino dan Smith
(2011) mendefinisikan coping sebagai proses ketika seseorang mencoba untuk
mengelola sesuatu yang dirasa tidak sesuai antara tuntutan dan sumber daya sehingga
dinilai sebagai sebuah situasi yang penuh stres. Upaya coping seseorang dapat terlihat
dari respon yang dilakukan saat menghadapi stres yaitu menggunakan kognitif dan
perilaku (Greer, 2007).
Franken (2007) menyatakan bahwa coping lebih mengarah kepada usaha-
usaha untuk mengatur daripada hasil dari usaha-usaha tersebut, dalam kata lain
memiliki atau mengembangkan sebuah sikap positif adalah bentuk dari coping.
Sveinbjornsdottir dan Thorsteinsson (2008) mendefinisikan individual coping sebagai
faktor penting yang berhubungan dengan kesehatan mental dan well-being.
Schwarzer (2001) menyebutkan empat tipe coping berdasarkan waktu dan
kepastian akan tuntutan dan permasalahan subjektif, yaitu coping reaktif, coping
antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif mengarah kepada
7
strategi yang dilakukan berkaitan dengan kerugian atau kehilangan sebagai
pengalaman yang telah terjadi di masa lalu. Coping antisipatori berkaitan dengan
ancaman yang tidak dapat dihindari di masa depan. Coping preventif mengarah
kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang akan datang, sedangkan
coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat
sebagai sarana mengembangkan diri.
Schwarzer (2001) menerangkan lebih lanjut mengenai strategi coping
berdasarkan waktu dan kepastian akan permasalahan. Reaktif coping diartikan
sebagai sebuah usaha untuk berdamai dengan stresor yang sudah terjadi atau sedang
terjadi. Seseorang yang membutuhkan cara untuk mengatasi dengan membuat
kompensasi terhadap kerugian yang pernah dialami. Pilihan lainnya adalah dengan
mengatur kembali tujuan atau mencari makna dari permasalahan yang sudah terjadi
untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ada strategi coping yang digolongkan
sebagai coping reaktif untuk menurunkan stres, yaitu emotion focused coping dan
problem focused coping (Franken, 2007; Horwitz, Hill, dan King, 2010).
Schwarzer (2001) menyatakan bahwa proaktif coping dapat didefinisikan
sebagai upaya membangun sumber daya baik dari dalam individu maupun dari
lingkungan untuk memfasilitasi untuk menghadapi tantangan dan pengembangan diri.
Di dalam coping proaktif, seseorang memiliki visi dan melihat tuntutan atau risiko
sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sebagai ancaman, bahaya, atau
kerugian. Individu memulai jalan yang membangun dan berusaha meningkatkan
8
kualitas kehidupan dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Seseorang yang memiliki
kemampuan coping proaktif dapat menjadikan hidup yang bermakna.
Berdasarkan pemaparan teori coping yang ada, coping dapat diartikan sebagai
sebuah strategi yang digunakan oleh individu untuk menurunkan stres yang dimiliki.
Coping dapat dikategorisasikan berdasarkan waktu dan permasalahan, yaitu coping
reaktif, coping antisipatori, coping preventif, dan coping proaktif. Coping reaktif
mengarah kepada strategi yang dilakukan untuk berdamai dengan stresor yang sudah
terjadi atau sedang terjadi. Coping reaktif ini terdiri dari dua strategi yaitu problem-
focused coping dan emotion-focused coping. Coping antisipatori berkaitan dengan
ancaman/masalah yang tidak dapat dihindari di masa depan, sedangkan coping
preventif lebih mengarah kepada ancaman yang tidak dapat dipastikan di masa yang
akan datang. Coping proaktif berkaitan dengan tantangan di masa depan yang dilihat
sebagai sarana mengembangkan diri.
Kondisi siswa di lapangan menunjukkan kecenderungan siswa kurang mampu
menghadapi sumber dari stres berupa tuntutan terhadap perubahan tugas. Hal ini
didasarkan pada permasalahan yang muncul yaitu siswa cenderung mengabaikan dan
melarikan diri ketika tidak mampu beradaptasi di dunia usaha/industri. Perilaku yang
muncul adalah tidak masuk kerja atau mengajukan untuk pindah tempat PKL.
Padahal siswa sendiri yang memilih tempat PKL dan mendapat pendampingan dari
guru sekolah serta pendamping lapangan di tempat PKL. Frydenberg dan Ramon
(1997) menggolongkan coping dengan mengembangkan kekhawatiran, mengabaikan
masalah, berangan-angan, menyalahkan diri sendiri, tidak membagi masalah yang
9
dimiliki, dan melarikan diri sebagai bentuk dari non-productive coping yang biasanya
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk mengatasi stres (Jacobs, Vollink,
Dehue, & Lechner, 2015). Ketika siswa ditegur rekan kerja atau pemilik saat
melakukan kesalahan atau gagal mengerjakan tugasnya, siswa cenderung tidak
menerima dan merasa tidak nyaman. Sagar, Lavalle, dan Spray (2009) menyatakan
bahwa kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan dapat mempengaruhi
kesejahteraan siswa (well-being), performansi, dan tugas sekolah.
Permasalahan yang dialami siswa berkaitan dengan tugas di PKL merupakan
sumber stres yang sifatnya dapat dikontrol. Siswa dapat menggunakan sumber daya
yang ada untuk menghadapi permasalahan yang sedang dialami. Thien dan Razak
(2013) menyatakan bahwa stres akademik pada siswa di sekolah berkorelasi dengan
tugas yang berlebihan, ujian, persaingan, merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas
sekolah. Shahmohammadi (2011) menemukan bahwa terdapat sepuluh stressor
akademik utama yang dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas adalah ketakutan
apabila tidak mendapatkan tempat di tingkat pendidikan selanjutnya, ujian, terlalu
banyak materi yang dipelajari, kesulitan dalam memahami materi pelajaran, terlalu
banyak tugas, dan jadwal sekolah yang terlalu padat. Lebih penting dari itu,
konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan dari stres akademik dapat meningkatkan
potensi tingginya level kecemasan dan depresi bahkan sampai ke bunuh diri pada
remaja. Pada jangka pendek, permasalahan akademik yang dirasakan oleh siswa
berdampak pada konsentrasi siswa saat belajar sehingga dapat berpengaruh pada
prestasi akademik yang diperoleh (Thien dan Razak, 2013).
10
Eppelmann, Parzer, Lenzen, Burger, Haffner, Resch, dan Kaess (2016)
melalui penelitiannya memperoleh hasil bahwa siswa sekolah menengah atas yang
memiliki tingkat stres tinggi dapat berpengaruh terhadap kehidupan sekolah dan masa
depannya dan berhubungan dengan emosi atau permasalahan perilaku. Permasalahan
ini dapat mengarah kepada penarikan diri siswa tersebut dari lingkungannya.
Coping aktif yang tinggi berhubungan dengan kesehatan mental yaitu
rendahnya potensi depresi dan keputusasaan pada masa dewasa awal (Kinnunen,
Laukkanen, Kiviniemi, & Kylma, 2010., Rodriguez-Naranjo & Cano, 2016). Deyreh
(2012) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa strategi coping yang paling
penting dimiliki oleh siswa sekolah menengah atas untuk mengatasi stres adalah
strategi kognitif. Ketika seseorang menggunakan strategi kognitif, maka ia akan
menggunakan kemampuan tertingginya seperti memproses informasi, melakukan
penalaran, dan berpikir. Sedangkan ketika menggunakan strategi afektif berkorelasi
dengan usaha menghindar dari sumber stres sehingga hasilnya tidak efektif.
Respon dalam mengatasi stres memiliki empat karakterisitik, yaitu: bukan
merupakan sifat yang cenderung menetap, respon coping mengarah kepada kehendak
dibandingkan reflek alami, respon coping bukan satu-satunya instrumen alamiah, dan
coping tidak sama dengan sukses tetapi salah satu usaha untuk meraih kesuksesan
(Amirkhan & Auyeung, 2007). Artinya seseorang secara sadar membuat keputusan
bagaimana coping terbaik yang dapat dilakukan.
Siswa SMK kelas XI sedang berada pada masa remaja. Rathus (2014)
menggolongkan masa remaja memiiki tiga tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah,
11
dan remaja akhir. Pada masa remaja awal yaitu usia 11 atau 12 tahun sampai 14
tahun, karakteristik yang muncul berkaitan dengan perubahan fisik dan fungsi
biologis, sehingga dapat menimbulkan tingginya level stres namun cenderung rendah
pada kemampuan coping. Ketika masa remaja tengah yaitu usia 14 tahun sampai 16
tahun, mulai terjadi kematangan biologis, stres mulai berkurang dan mulai
berkembangnya kemampuan coping. Dan pada masa remaja akhir usia 16 tahun
sampai 18 tahun, remaja semakin matang dan beranjak mulai terlihat sebagai orang
dewasa. Stres biasanya menurun, dan kemampuan coping lebih baik dibandingkan
tahap sebelumnya. Pada masa remaja juga berkembang kemampuan dalam
mengambil keputusan (Santrock, 2012). Remaja akan dihadapkan pada situasi yang
lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan dan remaja yang lebih tua memiliki
kemampuan yang juga lebih baik dibandingkan usia sebelumnya.
Mempertimbangkan permasalahan yang ada dan usia siswa yang berada pada masa
remaja, diperlukan sebuah perlakuan untuk dapat mengembangkan kemampuan
coping siswa.
Terdapat banyak penelitian tentang coping. Namun, tidak banyak di antaranya
yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan coping. Peneliti yang menggunakan
metode pelatihan di antaranya Hamdan, Nasir, Khairudin, dan Sulaiman (2014) yang
mengemukakan hasil penelitian bahwa strategi coping memiliki efek siginifikan
terhadap prestasi akademik mahasiswa melalui pelatihan time management. Artinya
terdapat peningkatan kemampuan coping setelah diberikan pelatihan manajemen
waktu dan berdampak kepada peningkatan prestasi akademik mahasiswa.
12
Hidayati (2012) menggunakan program pelatihan “SINERGI II” untuk
meningkatkan kemampuan coping proaktif pada remaja tengah yaitu siswa SMP.
Coping proaktif diartikan sebagai fokus pada tantangan dan stresor terlihat sebagai
kesempatan untuk dapat tumbuh dengan baik. Sumbangan efektif dari pelatihan
SINERGI II adalah sebesar 32,6%. Aspek yang paling besar memberikan pengaruh
terhadap kemampuan coping proaktif adalah aspek goal setting (16%) dan resource
seeking (16,3%). Pelatihan SINERGI II sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu
memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai bagaimana coping proaktif dan
menerapkannya ketika PKL dengan mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki
terutama resource seeking.
Schwarzer, (2001) menyatakan bahwa dalam coping proaktif, individu
memiliki visi, dapat melihat risiko, tuntutan, dan kesempatan di masa yang akan
datang, tetapi tidak tidak menganggap risiko dan tuntutan tersebut sebagai sebuah
ancaman, kerugian, ataupun kekecewaan. Individu tersebut menganggapnya sebagai
tantangan. Coping proaktif dapat dibangun sebagai sebuah kemampuan internal
imdividu dengan meningkatkan kemampuan-kemampuan tertentu, yaitu: problem
solving, strategic planning, instrumental and emotional support seeking (resource
seeking), dan goal setting (Greenglass & Fiksenbaum, 2009).
Sifat berhati-hati dan keterbukaan terhadap pengalaman dapat memprediksi
cara bagaimana seseorang menggunakan preventif coping dan proaktif coping
(Straud, McNaughton-Cassill, & Furhman, 2015). Bagana (2014) membuktikan
bahwa terdapat korelasi antara gejala depresi pada remaja dengan coping proaktif dan
13
penerimaan diri dalam ranah akademik. Solgajova, Sollar, dan Vorosova (2015)
menyatakan bahwa coping proaktif dan jenis kelamin sebagai prediktor dari coping
yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Seseorang
yang memiliki kemampuan coping proaktif akan lebih siap dalam menghadapi situasi
yang penuh stres. Kesiapan seseorang tersebut akan lebih kuat jika dikombinasikan
dengan adanya motivasi, sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar (Bonneville-
Roussy, Evans, Verner-Filion, Vallerand, & Bouffard, 2017., Zhou, Gan, Knoll, &
Schwarzer, 2013).
Penelitian-penelitian tersebut merupakan studi yang berhubungan dengan
coping dalam konteks yang berbeda dengan coping yang dilakukan siswa ketika
menemui perubahan dalam tugas seperti ketika masa PKL. Peneliti sejauh ini belum
menemukan penelitian tentang pelatihan berupa pelatihan coping proaktif yang
digunakan untuk meningkatkan kemampuan coping proaktif siswa SMK dalam
setting menghadapi dunia usaha/industri ketika PKL.
Berdasarkan keterangan Wakil Kepala Sekolah bidang Humas selaku
penanggung jawab PKL, sekolah telah memberikan pembekalan kepada siswa
menjelang masa penerjunan PKL. Pada tahun 2016, pembekalan PKL dilakukan
secara serempak untuk seluruh kelas XI, namun cara ini dirasa kurang efektif karena
masih banyaknya masalah yang muncul ketika PKL. Pada tahun 2017, Wakasek
Humas mengubah metode pembekalan dengan mendatangi kelas XI satu persatu
dengan memberikan pengantar mengenai tujuan dan pentingnya PKL untuk siswa,
kewajiban siswa di tempat PKL, adanya pembimbing sekolah dan pembimbing
14
lapangan, serta pembagian buku harian yang digunakan untuk mencatat kegiatan
selama masa PKL. Namun, metode ini juga masih belum efektif. Justru pada tahun
2017 terdapat peningkatan jumlah siswa pindah tempat PKL dari tahun 2016
berjumlah 26 siswa menjadi 41 siswa di tahun 2017. Selain berpindah tempat PKL,
banyak juga siswa yang belum memenuhi jumlah jam bekerja karena sering tidak
masuk baik dengan ijin ataupun tidak ijin (membolos), sehingga siswa harus
menambah jumlah jam setelah masa PKL berlangsung. Berdasarkan data tersebut,
dibutuhkan sebuah rancangan pelatihan yang dapat digunakan sebagai pembekalan
untuk siswa sebelum memasuki masa PKL. Dalam hal ini siswa yang dirasa tepat
adalah siswa SMK kelas XI semester pertama.
Usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah lebih mengarah sebagai upaya
coping preventif. Siswa dibekali dengan teori dan keterampilan agar terhindar dari
masalah ketika berada di lapangan (dunia usaha/industri). Siswa menuturkan
pembekalan yang diberikan menjelang penerjunan berisi nasihat untuk berhati-hati
dan menjaga nama baik sekolah. Hal ini dirasa kurang menjadi bekal siswa untuk siap
bertugas di lapangan. Siswa membutuhkan gambaran bagaimana kondisi lapangan
dengan segala dinamika yang tentunya berbeda dengan masa di sekolah. Gan, Hu,
dan Zhang (2010) menyebutkan bahwa hanya coping proaktif yang memiliki peran
penting dalam penyesuaian diri seseorang dibandingkan dengan coping preventif.
Penelitian ini merupakan penelitian action research dalam pendidikan
dengan tujuan memberikan alternatif pemecahan masalah yang terjadi di lapangan
(Stringer, 2008). Stringer (2008) menyebutkan ada lima tahapan yang dilalui pada
15
penelitian action research yaitu research design, collecting data, analyzing data,
communicating data, dan taking action. Penjabaran tahap action research pada
penelitian ini dimulai dari research design yang dilakukan sejak tanggal 20 Maret
2017 sampai 31 Maret 2017. Pada tahap research design, peneliti menyaring kembali
permasalahan yang akan ditelusuri dan merencanakan proses penyelidikan. Hasil dari
research design adalah fokus permasalahan mengarah kepada permasalahan coping
siswa terutama terkait permasalahan ketika PKL dan dibuat perencanaan untuk
menyelidiki permasalahan tersebut.
Tahap kedua yaitu collecting data yang dilakukan pada tanggal 8 Mei 2017
sampai 11 Mei 2017. Pada tahap ini peneliti melakukan survei kepada 83 siswa kelas
XI, wawancara siswa, wawancara kepada wakasek kurikulum, wawancara wakasek
humas sebagai penanggung jawab PKL, dan mengumpulkan data dokumen yang
terkait dengan PKL. Tahap selanjutnya adalah analyzing data yang dilakukan pada
tanggal 11 Mei 2017 sampai tanggal 20 Mei 2017. Peneliti menganalisa data yang
telah diperoleh dari tahap collecting data untuk mengidentifikasi ciri kunci dari
permasalahan yang diselidiki, menganalisa pengalaman kunci, dan menggabungkan
data. Tahap yang keempat adalah communicating data. Tahap communicating data
adalah tahap penyampaian hasil penyelidikan kepada pihak terkait. Tahap ini yang
dilakukan pada tanggal 6 Juni 2017 ke Dosen pembimbing tesis dan tanggal 12 Juni
2017 ke Wakasek bidang kurikulum SMK swasta A di Kabupaten Sleman yang
menjadi tempat penelitian.
16
Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
ketidakmampuan siswa dalam menghadapi situasi baru yang penuh stres yaitu
bertugas di dunia usaha/industri. Coping siswa sebagai strategi yang dilakukan ketika
menghadapi stres yaitu cenderung ke upaya menghindar dan mengabaikan (avoidance
dan denial). Dibutuhkan upaya tambahan selain membekali siswa dengan teori dan
keterampilan agar terhindar dari masalah ketika menjalankan tugas di masa PKL
(coping preventif). Peneliti mengajukan salah satu alternatif solusi sebagai bentuk
dari tahap taking action pada penelitian action research yang dapat dilakukan untuk
menyiapkan siswa menghadapi perubahan di masa PKL, yaitu dengan pelatihan yang
berisi tentang cara agar siswa fokus pada tantangan dan stresor terlihat sebagai
kesempatan untuk dapat tumbuh dengan baik atau disebut juga coping proaktif.
Pelatihan “SINERGI II” dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
pengetahuan baru tentang coping proaktif sehingga siswa memiliki kesiapan dan
dalam menghadapi masalah di masa depan.
Sesi yang diberikan kepada peserta pelatihan ini diambil dari pelatihan
SINERGI II yang berisi tentang coping proaktif dan telah dilakukan oleh Hidayati
(2012) yaitu sesi untuk mengajarkan kemampuan problem solving, strategic
planning, instrumental and emotional support seeking (resource seeking), dan goal
setting.
Sesi pertama adalah sesi “temanku, saudaraku”. Sesi ini merupakan sesi
pengenalan program dan juga sebagai sesi untuk menetapkan tujuan individu terkait
dengan pelatihan yang akan dilaksanakan. Sesi kedua bertujuan untuk meningkatkan
17
kemampuan problem identification dan problem solving yaitu merupakan proses
kognitif dan perilaku yang ditujukan untuk mengenali permasalahan dan menemukan
solusi atas permasalahan tersebut. Pada sesi kedua, peserta diajak untuk menuliskan
perasaannya, permasalahan umum yang dialami oleh siswa terutama ketika PKL.
Peserta kemudian diminta untuk menyampaikan pendapatnya mengenai penyelesaian
masalah dan alternatif pemecahannya.
Sesi ketiga adalah sesi yang mengajak peserta untuk membuka mata mengenai
tidakan-tindakan negatif yang dilakukan oleh diri sendiri atau teman-teman sesama
siswa. Peserta juga diajak untuk mengeksplorasi konsekuensi dari tindakan tersebut.
pada sesi ini peserta akan diberikan materi tentang permasalahan yang banyak
dilakukan oleh siswa terutama ketika PKL, kemudian peserta akan mendiskusikan
konsekuensi dari beberpa perilaku negatif yang dilakukan oleh siswa. Dari hal ini,
peserta akan mendapatkan pengalaman mencari dan memperoleh pengetahuan yang
dibutuhkan untuk membentengi diri dari hal-hal negatif di lingkungannya.
Sesi keempat berisi goal setting dan strategic planning. Goal setting
merupakan proses dalam memutuskan apa yang ingin dicapai dan merencanakan
tahap pencapaian terbaik yang didasarkan pada SMART (spesific, measurable,
achievable, realistic, time targeted). Peserta akan memperoleh pengetahuan serta
pengalaman langkah demi langkah proses penentuan tujuan yang realistis, baik tujuan
jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya peserta akan diajarkan strategic
planning, yaitu penggunaan strategi untuk mengatasi masalah yang fokus pada proses
pencapaian tujuan, berorientasi pada aksi yang telah terjadwal, dan memilah masalah
18
menjadi bagian yang lebih kecil atau sederhana. Peserta diajak untuk menyampaikan
pendapat mengenai strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah.
Sesi kelima merupakan sesi yang berkesinambungan dengan sesi sebelumnya.
Pada sesi ini peserta diminta untuk roleplay yaitu dengan membangun menara kartu.
Peserta diajak untuk mengeksplorasi bagaimana rasanya mewujudkan sesuatu, cara
menghadapi kesulitan yang ada, dan memanfaatkan sumber daya sekitar untuk
membantu mewujudkannya. Sesi ini diakhiri dengan sesi “story cafe discussion”.
Peserta dapat saling bertukar cerita pengalaman mengenai permasalahan yang dialami
oleh siswa. Peserta juga dapat berdiskusi mengenai cara mengatasi permasalahan
tersebut.
Sesi keenam adalah sesi “jalur rintangan”. Pada sesi ini peserta diajak untuk
memahami pentingnya menentapkan tujuan, menyusun rencana, dan menyiapkan diri
menghadapi hal yang tidak terduga. Peserta juga dipandu untuk menyadari
pentingnya mengoptimalkan sumber daya diri dan dukungan sosial serta memilah
sumber daya yang cocok untuk membantunya keluar dari masalah.. Metode yang
digunakan adalah roleplay dan refleksi. Sesi ini merupakan sesi yang dapat membuat
peserta memahami materi coping proaktif terutama terkait aspek goal setting dan
resource seeking.
Manfaat yang diperoleh siswa dari pelatihan SINERGI II ini adalah
meningkatnya kemampuan coping proaktif siswa. Coping proaktif memiliki peranan
penting yang mempengaruhi kesiapan siswa dalam menghadapi masa-masa stres yang
akan dialaminya di masa yang akan datang (Bonneville-Roussy, Evans, Verner-
19
Filion, Vallerand, & Bouffard, 2017). Bentuk stres yang dapat dialami siswa di masa
yang akan datang dapat berupa kegagalan. Sagar, Lavalle, dan Spray (2009)
menyatakan bahwa kemampuan siswa dalam menghadapi kegagalan dapat
mempengaruhi kesejahteraan siswa (well-being), performansi, dan tugas sekolah.
Sejalan dengan pernyataan tesrsebut, Ford (2001) menyatakan bahwa ketika
berhadapan dengan situasi yang penuh stres, coping proaktif dapat meningkatkan
berbagai alternatif pilihan pemecahan masalah yang dapat dikelola oleh siswa.
Keterkaitan coping proaktif terhadap tingkat stres menunjukkan bahwa siswa yang
memiliki kemampuan coping proaktif akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat
stres, hal ini berdampak kepada kesehatan mental dan well-being siswa (Bagana,
2014., Sveinbjornsdottir & Thorsteinsson, 2008).
Pertanyaan yang muncul dari tujuan penelitian ini adalah apakah dengan
pelatihan “SINERGI II” dapat meningkatkan keampuan coping proaktif pada siswa
kelas XI SMK.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang ada, dibutuhkan suatu
bentuk pelatihan yang dapat diberikan kepada siswa kelas XI SMK sebagai upaya
persiapan diri siswa untuk menghadapi perubahan tugas di dunia usaha/industri.
Kebutuhan pelatihan tersebut menjadikan penelitian ini diberi judul Pelatihan
“SINERGI II” untuk Meningkatkan Kemampuan Coping Proaktif Siswa SMK.
20
Berikut ini merupakan dinamika permasalahan yang menjadi fokus dalam
penelitian ini:
Gambar 1. Dinamika Permasalahan dalam Penelitian
Kurikulum dasar keterampilan
SMK:
Lulusan siap menghadapi dunia
usaha/industri (dunia kerja), siswa
dilatih dengan adanya program
PKL
Ada perubahan tugas dari siswa yang
belajar di sekolah menjadi karyawan yaitu
tuntutan untuk dapat bekerja dengan
profesional, disiplin diri, mengikuti ritme
kerja karyawan, dan menjalin hubungan
interpersonal yang baik dengan rekan
kerja, atasan, maupun ke pelanggan
Perilaku:
Pindah tempat PKL, tidak masuk kerja,
diam (tidak melakukan apa-apa),
menangis, pasrah
Konsekuensi:
- Membuang waktu untuk pindah tempat PKL
- Menambah jam kerja untuk memenuhi waktu
minimal di luar masa PKL
- Dikembalikan oleh pembimbing lapangan
- Merusak citra positif sekolah
Sumber stres:
Kegagalan dalam mengerjakan tugas,
sering ditegur ketika salah, disiplin diri,
konflik dengan rekan kerja
21
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Pelatihan “SINERGI II” dapat meningkatkan kemampuan coping proaktif siswa
SMK.
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
DESIGNING: penyaringan kembali permasalahan dan
merumuskan proses penyelidikan. Hasil: fokus
permasalahan adalah coping siswa terkait permasalahan
saat PKL
COLLECTING DATA: survei siswa kelas XI,
wawancara siswa, Wakasek Kurikulum, Wakasek Humas, data
dokumen
ANALYZING DATA: analisa data yang sudah diperoleh
COMMUNICATING DATA: menyampaikan
hasil penyelidikan ke pihak terkait yaitu pembimbing
tesis dan Wakasek Kurikulum
TAKING ACTION: diajukan alternatif solusi dengan
pelatihan SINERGI II untuk meningkatkan kemampuan
coping proaktif siswa