108
i KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: M. AZHAR RIZKI DALIMUNTHE NIM : 1111044100002 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1437 H/2016 M

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

i

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH

(Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

M. AZHAR RIZKI DALIMUNTHENIM : 1111044100002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M AP R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A

1437 H/2016 M

Page 2: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

KEWENANGAN PERADILAN AGANIA NIENYELESAIKAN SENGKETA

PERLINDUNGAN KONSUNIEN DALAIVI EKONONTI SYARIAH

(AnalisisYuridisTerhadap Peraturan Perundang-undangan DanPutusanPengadilan TentangPerlindunganKonsurncnDalamEkonorniSyariah)

Skripsi .Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Saijana Syariah (S.Sy)

OIeh:

M. T\ZH.\R RIZKI DALI]\IUNTHE,NINI : 1 11 1044100002

Pembimbing

H. Ah. Azharu in Lathif, M.AgNIP: 197 200112 I 001

PROGRFAKU

UNI

A IVI ST UD I HUKU IUKELUARGALTAS SYARIAH DAN HUKUMVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF TIIDAYATULLAHJAKARTA

1437 Ht20t6Nl

Page 3: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skipsi ini berjudul "KEWENANGAN PERADILAN r\Gr\llIA I'IENYELESAIKAN

SENGKETA PERLINDUNGAN KONSU]VIEN DALAI\{ EKONOIVII SYARI,\II

(Analisis Yuridis Terhadap Peruturan Perundang-undangln dan Putusan Peng*tlilan'Ientang Perl!ndungan Konsumen dnlam Ekononri Syariah)" telah diujikan dalam Sidang

Munaqasah Fakultas Syariah dan Flukum Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Ja.karta pada tanggal 9 Mei 2016 2 Sya'ban 1437 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salalr

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Huh.rm Keluarga.

Jakarta,09 Mei 2016

Mengesahkan

l)ekan Fakultas Syariah dan

PANITIAN UJIAN

: Dr. H. Abdul Halim^ M.A€;NIP 1 96706081994031 005

: Ario Purkon. MA.NrP 19790427 20031.2LA02

MTJNAQ

Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji | .

Penguji l l

. . . . . , . . )

- . . . . . . . . . . . . )

H. Ah. Azharuddin_Lathif. MAgNI P 1 9740725200L1,27007

:!t. Mesraini. SH. M.AgNtP 197602132003 121002

: Hotnida Nasution S.Ag. M.ANtP 19720224199803 1003

( . . . . . . . . . . . .

{ ...... .... ... .....

. . . . . . . . )

Page 4: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli Saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 12 Februari 2016

Muhammad Azhar Rizki

Page 5: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

v

ABSTRAK

MUHAMMAD AZHAR RIZKI DALIMUNTHE, NIM: 1111044100002, “KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Syariah)” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi 97 halaman.

Skripsi ini bertujuan memberikan suatu khazanah baru tentang permasalahan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah di Indonesia. Sebagaimana mestinya Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang dimaksud.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian melalui Perundang-undangan (statute approach) dan melalui pendekatan kasus (case approach) atau dapat dikatakan sebagai pendekatan melalui putusan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan putusanpengadilan, data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan analisis penelitian kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Peradilan Agama. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa UUPK sebagai Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan penyelesaian sengketa diselesaikan di Peradilan Umum lahir sebelum kewenangan absolut Peradilan Agama ditambahkan untuk kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Pasal 49 huruf (i) UUPA. Selanjutnya bila melihat putusan-putusan pengadilan, putusan Peradilan Agama juga putusan Peradilan Umum telah menyatakan kewenangan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai kewenangan ini para hakim mengambil dasar hukum kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang membuka peluang penyelesaiaan sengketa di Peradilan Umum dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga kesimpulannya adalah Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Ekonomi Syariah, Peradilan Agama.

Pembimbing : H. Ah. Azharuddin lathif, M.Ag

Daftar Pustaka: Tahun 1983-2015

Page 6: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

vi

KATA PENGANTAR

Kesyukuran dengan penuh kesadaran atas segala nikmat yang tak pernah

berhenti dari Allah SWT. Tak ada lafal tertinggi kecuali puji syukur yang

dipanjatkan seorang makhluk kepada tuhan penyeru alam yang telah menciptakan

dunia dan seisinya. Hanya kepada Dia kita menyembah, kepada Dia kita memohon

petunjuk dan pertolongan. Dengan kehadiran-Nya pulalah sehingga kiranya

terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini dengan sebagaimana mestinya.

Tak ada seorang makhluk yang paling kikir dan pelit di dunia kecuali ia yang

enggan bersholawat atas sebuah nama Muhammad. Dia seorang makhluk terpuji

yang telah mengantarkan kita kepada sebuah tatanan kehidupan yang penuh dengan

keteraturan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih antara sesama makhluk dengan

nuansa keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan kiranya kita

mendapatkan syafa’at yang menolong kita pada hari pembalasan.

Tentunya penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari segala pencaharian studi

yang penulis lakukan. Mudah-mudahan penulisan karya ilmiah ini mengantarkan

penulis kepada penulisan-penulisan berikutnya pada jenjang dan tingkatan yang lebih

tinggi. Dengan kebesaran hati dan penuh rasa haru Saya persembahkan tulisan ini

kepada sosok yang telah mendidik dan membesarkan penulis hingga sampai pada

titik akhir pencapaian di perkuliahan Strata Satu (S1) ini, Ayak dan Omakku tercinta,

Bapak Asrul Haidir Dalimunthe, S.Pd dan Ibu Nureha Tanjung. Mudah-mudahan

setiap tetesan keringat dan air mata yang menetes serta doa yang dipanjatkan adalah

bukti penghambaan kita kepada Allah SWT.

Tidak lupa, penulis dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih

kepada orang-orang yang turut mempengaruhi Hamba dalam mendewasakan penulis,

yang terhormat:

Page 7: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

vii

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta;

2. Dr. H. Abdul Halim, MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta,

yang juga sebagai sosok yang banyak membantu dan memotivasi penulis,

memberikan semangat, dorongan dan motivasi untuk selalu optimis. Juga

kepada Bapak Arif Furqon, MA., Sekretaris program Studi Hukum

Keluarga.

3. H. Ah. Azharuddin lathif, M. Ag., sebagai pembimbing yang telah

mencurahkan keilmuannya dan membimbing penulis dengan penuh

perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam penulisan skripsi ini hingga

terselesaikan dengan sebagaimana mestinya.

4. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah

banyak membantu memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di

“Kampus Hijau” ini.

5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pustakawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Pustakawan

Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), yang telah memberikan rujukan

pustaka kepada penulis.

6. Sahabat WHITE HOUSE tercinta, kamar 1 sampai 15, abanganda Abdul

Karim Munthe, S.Sy, S.H, Lc, M.H, sahabat, abang, juga pemompa

semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka, Hakim

dkk. Kepada Ibu Kost, orang tua kami di perantauan.

Page 8: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

viii

7. Saudara-saudaraku di lingkungan Keluarga Besar Peradilan Agama Fakultas

Syariah dan Hukum. Sahabat seperjuangan dari semester 1 sampai akhir

perkuliahan.

8. Keluarga tercinta, kedua Almarhum Uakku, Uda Ucok, Uda Kamar, sanak

saudara, abang tercinta M. Riswan Rizal. D, S. Pt., kakak tercinta Devi

Fitriani Br. D, Am. Kom., Kedua adikku M. Irfan Salim D., dan M. Zikri

Salsabila D., kalian berdua harus semangat belajar. Kalian semua adalah

semangat tiada akhirku.

9. Kepada penghibur laraku, yang setia menemani hari-hariku dalam keadaan

apapun, dendang rang minang takana juo. Untuk gadiah-gadiah minang

Diah Maisa, Vanny vabiola, Yona Irma, Ratu Sikumbang, Hayati kalasa dll.

Terutama untuk nasyid kerenku Maidany.

10. Sahabat Seperjuanganku Taufiq rezeki Saragih, sahabat selamanya, juga

kepada Husnul Azmi Ritonga yang telah meninggalkan kami lebih dulu di

Jakarta, Mufida Warni, Faisal Tanjung, Syaikhku Raihan Al-Ghiffary, Deni,

Muhsin si Ustadz, Roni dan sahabat laiinnya.

11. Sahabat perjuangan di Organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Cabang Ciputat, HMI Kompaksy, Lembaga Bantuan Hukum HMI

(LKBHMI), Keluarga Besar Peradilan Agama (KBPA), teman-teman di

Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat, sahabat seperjuangan di Forum

Komunikasi Alumni Daarul Uluum (FKADU-Jakarta), Kawan-kawan di

Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) Jakarta, Himpunan Mahasiswa

Labuhanbatu Raya (HIMLAB Raya jakarta), Komunitas Mahasiswa

Sumatera Utara (KMSU), Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Quran

NURMEDINA Pondok Cabe, Ikhwan dan Akwat di UKM Lembaga

Dakwah Kampus (LDK Syahid), Adik-adikku di Ikatan Persaudaraan

Pemuda dan Remaja Islam Masjid An-Nur (IP-PRIMA).

Page 9: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

ix

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang sangat

membantu kepada penyelesaian tugas perkuliahan yang panjang ini. Semoga Allah

SWT senantiasa membimbing kita kepada jalan kesabaran. Semoga kita mencapai

nilai pengabdian yang sangat tinggi di sisi Allah. Amien ya rabbal alamien.

Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 15 Maret 2016

Muhammad Azhar Rizki Dalimunthe

Page 10: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR....................................................................................... vi

DAFTAR ISI........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah.............................................. 10

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian........................................................ 12

D.Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 13

E.Kerangka Konseptual ........................................................................ 14

F.Metode Penelitian .............................................................................. 15

G.Sistematika Penulisan ....................................................................... 18

BAB II EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN

AGAMA DI INDONESIA................................................................. 20

A. Pengertian Peradilan Agama........................................................... 20

B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama ...................................... 22

1. Dasar Hukum Peradilan Agama.................................................. 22

2. Asas-asas Peradilan Agama ........................................................ 24

C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama................................................ 26

1. Tugas dan Fungsi Memberikan Keadilan (Yudisial) .................. 26

2. Tugas Non Yudisial..................................................................... 27

D. Kedudukan Peradilan Agama Di Indonesia .................................... 28

E. Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia .................................. 33

F. Hukum Acara Di Peradilan Agama ................................................. 39

Page 11: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

xi

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN

KONSUMEN DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN

DI INDONESIA ................................................................................ 41

A. Pengertian Perlindungan Konsumen .............................................. 41

B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen........................................... 42

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ...................................... 43

D. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen .............................. 45

E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ............................................... 48

1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen

non Litigasi................................................................................. 49

2. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Litigasi .......... 59

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN

DALAM EKONOMI SYARIAH...................................................... 64

A. Argumentasi Yuridis Penyelesaian Sengketa

Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah ................... 64

B. Argumentasi Empiris Penyelesaian Sengketa

Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah................... 70

1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa

Perlindungan Konsumen dalam Lembaga

Keuangan Syariah....................................................................... 71

C. Analisis Kewenangan Menyelesaikan Sengketa Perlindungan

Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah ............................. 77

BAB V PENUTUP............................................................................................ 82

A. Kesimpulan ..................................................................................... 82

B. Saran................................................................................................ 85

Page 12: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Agama di Indonesia, merupakan salah satu institusi pelaksana

kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.1

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam negara hukum Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaan

kehakiman yang mempunyai kedudukan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya,

seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam

menegakkan hukum dan keadilan.2 Hal ini dipertegas dengan hadirnya Undang-

undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian ditambah

dan diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian diubah dengan

UU. No. 48 Tahun 2009. Kemudian dalam pelaksanaannya, Peradilan Agama berada

di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.

Selanjutnya dalam perjalanan dan eksistensinya, Peradilan Agama mengalami

pasang surut yang panjang. Dalam rentang waktu lebih dari 12 tahun sejak

1 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di

Indonesia, (Bandung: P. T. ALUMNI, 2003), h. vii.

2 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem …., h. 33.

Page 13: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

2

Proklamasi Kemerdekaan RI (yakni, tahun 1945-1957) terkait dengan keberadaan

Peradilan Agama di Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan penyerahan

Peradilan Agama kepada Kementerian Agama.3 Sampai akhirnya Peradilan Agama

disatu atapkan dengan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Dengan penyetaraan Peradilan Agama dengan peradilan lainnya memberikan

kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan dan mengadili perkara yang

menjadi kewenangannya secara mandiri. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama telah menjelaskan apa saja yang menjadi kewenangan Peradilan

Agama untuk menyelesaikannya.

Pasal 49(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:a. Perkawinanb. Kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;c. Wakaf dan shadaqah.

(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.

(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 maka harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.4

3 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2. (Jakarta: KENCANA,

2010), h. 61. 4 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,

2010), h.104-105.

Page 14: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

3

Mengenai kewenangan Peradilan Agama ini, untuk saat ini telah terjadi

beberapa perubahan dan penambahan pada dua pasal ini. Dengan adanya amandemen

UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU. No. 3 Tahun 2006

dan kemudian diamandemen lagi menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 menambah

kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan

sengketa perdata antara orang Islam. Salah satu kewenangan baru dalam undang-

undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syari’ah sebagai

kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49.

Kemunculan otonomi ekonomi syariah ke permukaan ditandai dengan

terselenggaranya The First International Conference in Islamic Ekonomic di Makkah,

Arab Saudi, Tahun 1976. Bahkan banyak yang menyatakan hampir semua tokoh yang

hadir pada waktu itu sepakat, bahwa konferensi tersebut menjadi titik tolak awal

perjalanan ekonomi Islam di kemudian hari.5

Di Indonesia sendiri perkembangan ekonomi syariah begitu pesatnya, hal ini

sangat didukung dengan keberadaan Indonesia yang memang berpenduduk mayoritas

Islam terbesar di dunia, meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah

dan usaha syariah lainnya.6

Sebagai contoh perbankan syariah yang berkedudukan sebagai badan usaha

yang bergerak dalam bidang pengumpulan dana masyarakat. Tak ubahnya dengan

5 Hendi Risza Idris, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya,

(Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2007), h. 36.

6 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 169.

Page 15: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

4

pengumpulan dana umum yang bersifat konvesional, dalam praktiknya kemungkinan

timbulnya sengketa tetap ada. Timbulnya sengketa ini adalah karena dalam

praktiknya sistem syariah ini juga diikat oleh kesepakatan di dalam akad.

Selanjutnya dalam perbankan syariah, masyarakat yang turut menjadi peserta

dalam pengumpulan dana (nasabah/kreditur) disebut sebagai konsumen, sedangkan

bank yang menjadi pelaksana pengumpulan dana (debitur) disebut sebagai produsen.

Kesepakatan antara produsen dan konsumen inilah yang kemudian sering

menimbulkan permasalahan dan sengketa dalam praktik perbankan syariah.

Kemudian masalah yang banyak timbul adalah mengenai hak-hak konsumen yang

seharusnya dikembalikan kepadanya. Permasalahan inilah yang kemudian berkaitan

dengan perlindungan konsumen.

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hadir

merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah

yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen

umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan

pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya

saing.7

Mengenai sengketa perlindungan konsumen Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen telah menjelaskan di Pasal 45 ayat (1):

7 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), h. 65.

Page 16: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

5

“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.”8

Selanjutnya dalam Pasal 49 huruf (i) menyatakan bahwa ekonomi syariah

menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3

tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

bahwa hal-hal yang kemudian termasuk ke dalam ekonomi syariah salah satu

diantaranya adalah perbankan syariah. Sehingga penyelesaian sengketa perbankan

syariah ini adalah kewenangan Peradilan Agama.

Lebih jelas undang-undang mengatur tentang perbankan syariah. Undang-

undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan pada Pasal 55

ayat 1 bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian Pasal 55 ayat 2 menjelaskan dalam

hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Lalu

bila dilihat dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) ini muncul suatu permasalahan

yang menyebabkan tidak konsistennya penyelesaian sengketa perbankan syariah

bahwa:

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah;

8 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2007), h. 223.

Page 17: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

6

b. mediasi perbankan;c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase

lain; dan/ataud. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Hal di atas kemudian menjadi permasalahan yang layak untuk dilakukan

penelitian mengenai tentang kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan

konsumen perbankan syariah dalam ekonomi syariah. Peradilan manakah sebenarnya

yang berhak menyelesaikan sengketa tersebut, apakah Peradilan Agama secara

mutlak atau Peradilan Umum?

Mengenai kewenangan absolut ini, pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013

dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi dikeluarkan putusan nomor 93/PUU-

X/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Keputusan ini

selayaknya menghapuskan kewenangan Peradilan Umum untuk dapat menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah. Putusan ini kemudian menjadi dalil hukum para Majelis

Hakim di Peradilan Agama untuk semakin meyakini kewenangannya untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia dan merdeka secara

kewenangan relativ dan absolutnya. Namun di sisi lain masih banyak Hakim-hakim

di Peradilan Agama seakan masih belum mengetahui dan meyakini perihal tersebut.

Dalam pertimbangan hukum yang terdapat di dalam beberapa putusan Peradilan

Agama, maupun Peradilan Negeri, Majelis Hakim berpendapat bahwa Peradilan

Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen yang

termasuk kepada suatu sengketa ekonomi yang berasaskan kesyariahan. Hal ini

Page 18: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

7

tercantum sebagaimana di dalam putusan Peradilan Agama Banjarbaru No.

259/Pdt.G/2013/PA.Bjb tentang gugatan ekonomi syariah/gugatan perbuatan

melawan hukum, pada hari Rabu tanggal 27 november 2013 M bertepatan dengan

tanggal 23 Muharram 1435 Hijriyyah. Bahwa penunjukan Peradilan Umum dalam

Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen

tersebut lahir tahun 1999, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama terhadap

sengketa ekonomi syariah sejak tahun 2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu

kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang

terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21

tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, oleh

karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang

menangani sengketa ekonomi syariah termasuk diantaranya sengketa perlindungan

perbankan syariah.9 Dalam pertimbangan hukum selanjutnya berdasarkan

pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat bahwa “Peradilan Umum” dalam Pasal

45 UUPK dibaca sebagai “Peradilan Agama”.

9 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Nomor

259/Pdt.G/2013/PA. Bjb. Tanggal27 November 2013, hlm, 35.

Page 19: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

8

Selanjutnya putusan Pengadilan Negeri Martapura yang menyatakan

ketidakberwenangannya menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen syariah dan

menyatakan bahwa Peradilan Agamalah yang memiliki kewenangan tersebut. Putusan

No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP tentang Putusan Sela terhadap sengketa perlindungan

konsumen syariah pada hari Senin tanggal 2 Desember 2013. Oleh Majelis Hakim

dalam pertimbangan hukumnya menyatakan eksepsi tergugat mengenai kewenangan

mengadili secara absolut perkara aquo adalah bukan kewenangan Peradilan Negeri

Martapura melainkan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan UU No. 3 Tahun

2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim dalam putusan mengadili

dan menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara

tersebut pada poin dua.10

Putusan No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Pengadilan Agama Yogyakarta pada hari

Kamis tanggal 28 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 8 Sya’ban 1433 H. Tentang

perkara sengketa konsumen dalam mudharabah muqayyah antara nasabah/konsumen

dengan pihak BPRS. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan

bahwa dalil eksepsi tergugat yang menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang

mengadili perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalil tersebut tidak tepat

karena perkara tersebut adalah perkara sengketa syariah sehingga menurut Pasal 49

UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan

10 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.

03/Pdt.G/2013/PN.MTP. Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 21-22 dan 25.

Page 20: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

9

Agama jo Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diselesaikan

dalam lingkungan Peradilan Agama.11

Putusan No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo Peradilan Agama Gorontalo tentang

sengketa perlindungan konsumen syariah, pada hari Kamis tanggal 27 November

2014 M bertepatan dengan tanggal 04 Safar 1436 H. Dalam perkara ini Majelis

Hakim menyatakan bahwa perkara aquo adalah sengketa perlindungan konsumen.

Namun dalam pertimbangan yang lain Majelis hakim juga menyatakan bahwa

perkara yang dimaksud juga memiliki prinsip-prinsip kesyariahan. Sehingga dalam

pertimbangan hukum Majelis Hakim sependapat bahwa yang demikian dirasa perlu

dipertimbangkan apakah sengketa konsumen juga termasuk kewenangan Peradilan

Agama untuk memeriksa mengadilinya. Dalam pertimbangan lainnya Majelis Hakim

cenderung mengarahkan dalil hukum perkara kepada pasal 45 UUPK tentang

kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikannya. Sehingga dalam mengadili

menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara

tersebut.12

Dengan latar belakang tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti

kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara perlindungan konsumen

dalam ekonomi syariah, dengan mengangkat judul, KEWENANGAN PERADILAN

AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN

11 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.

0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 25.

12 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo tanggal 27 November 2014, hlm, 6-8.

Page 21: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

10

DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis terhadap Peraturan Perundang-

undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi

Syariah).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan

dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah

tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud. Maka penulis memberikan batasan

masalah dalam penelitian ini hanya terfokus pada konsep kewenangan absolut

Peradilan Agama mengenai ekonomi syariah dalam hal ini terkait perlindungan

konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah. Dengan demikian dalam penelitian

ini tidak akan dibahas bagian kewenangan absolut Peradilan Agama yang lain.

2. Perumusan Masalah

Dalam UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45

ayat (1) menjelaskan bahwa perkara perlindungan konsumen dapat diselesaikan

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Namun dalam UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU. No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf (i) menjelaskan bahwa

sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama.

Kemudian hal ini dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) UU. No. 21 Tahun 2008

Page 22: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

11

tentang Perbankan Syariah. Ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.

93/PUU-X/2012.

Agar lebih terarah, serta untuk memfokuskan tema permasalahan dan

terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, rumusan masalah di atas, penulis

rangkum dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a) Bagaimana seharusnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen

dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan praktiknya di pengadilan?

b) Apa yang menjadi legalitas kewenangan Hakim Peradilan Agama

menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga

Keuangan Syariah?

c) Bagaimana praktik penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam

Lembaga Keuangan Syariah di pengadilan saat ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Mengetahui bagaimana sebenarnya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan praktiknya di pengadilan.

b. Melihat landasan pemikiran hakim terkait apa yang menjadi legalitas

Peradilan Agama untuk mewenangi penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen dalam ekonomi syariah.

Page 23: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

12

c. Menemukan perbedaan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum

dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen

ekonomi syariah.

2. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Bagi Penulis

Penulisan ini bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar strata satu dalam bidang Hukum Keluarga, juga menambah khazanah

pengetahuan di bidang kewenangan absolut Peradilan Agama, dalam hal ini

ekonomi syariah.

b. Bagi Akademisi

Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh

kalangan akademisi dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan

sebagai proses pembelajaran mengenai ekonomi syariah dalam kewenangan

Peradilan Agama.

c. Bagi Praktisi

Bagi Hakim Peradilan Agama atau Advokat yang menangani sengketa

ekonomi syariah dapat dijadikan rujukan mengenai penyelesaiaannya. Dimana

perlindungan konsumen perbankan syariah itu sendiri termasuk ke dalam

ekonomi syariah yang dimaksud.

Sedangkan untuk legislator diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam memahami undang-undang yang terkait perlindungan

konsumen antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.

Page 24: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

13

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Mengenai judul yang akan ditulis ini, sebelumnya telah ada penelitian yang

berkaitan tentang kewenangan Peradilan Agama yang telah ditulis dalam bentuk

skripsi dan penelitian ilmiah oleh beberapa orang yaitu: Djawahir Hazzaziev dengan

judul penelitian Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan

Syariah yang ditulis pada tahun 2013 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melianah dengan judul Proses Pembuatan

Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam Perspektif Undang-undang Perlindungan

Konsumen (studi kasus pada Bank Syariah Mandiri) Fakultas Syariah dan Hukum

tahun 2014. Dalam penelitian ini hanya memfokuskan kepada bagaiamana membuat

kontrak yang disesuaikan kepada Undang-undang Perlindungan Konsumen, di

dalamnya tidak dibahas tentang penyelesaian sengketanya. Abdul Hafid Nur dengan

judul Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang ditulis pada tahun 2010 Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini

menitikberatkan pembahasan penelitian kepada isi kontrak atau kesepakatan antara

pihak bukan penyelesaian sengketanya.

Dari beberapa tulisan yang penulis temukan di atas hanya mengatur pada

pengertian dan maksud yang lain dan tidak membahas dari yang penulis maksudkan.

Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan penelitian yang

ada sebelumnya.

Page 25: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

14

E. Kerangka Teori Konseptual

1. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun hidup makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.13

2. Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.14

3. Sengketa

Menurut Jhon Colier, yang dimaksud sengketa adalah perselisihan khusus

mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah

satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang

lain.15

4. Ekonomi Syariah

Menurut Abdul Manan, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah

“sosial science which studies the economic problems of people imbued with the

values of Islam” (Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang

13 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4.

14 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.

15 www.pengertianpakar.com, diakses tanggal 23 Mei 2016 pukul 17.02 WIB.

Page 26: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

15

memepelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai

Islam).16

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah adalah kewenangan

Peradilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah mengenai perlindungan

konsumen, dengan demikian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

penelitian hukum normatif.

1. Jenis dan Pendekatan

Jenis penelitian dalam penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum

normatif.

Pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan dua pendekatan. Pertama17, pendekatan undang-undang (statute approach).

Penggunaan pendekatan ini untuk menelaah ketentuan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perbankan syariah, perlindungan konsumen, dan peradilan

Agama. Dengan pendekatan ini peneliti melakukan sinkronisasi ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut secara horizontal dan vertikal.

Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terkait dengan

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di perbankan syariah.

16 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama,

(Jakarta: KENCANA, 2012), h. 6-7.

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: kencana, 2010), hlm. 93.

Page 27: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

16

Pedekatan kedua adalah pendekatan kasus (case approach).18 Pendekatan ini

dilakukan untuk memberikan gambaran bagaimana para Hakim Peradilan Agama

memutus perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Analisis dengan

pendekatan putusan di sini melihat bagaimana peraktik dari peraturan perundang-

undangan itu diperaktikkan.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini penulis bagi kepada dua sumber data,

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disini adalah

UU. No, 7 Tahun 1989 menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 menjadi UU. No. 50

Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU. No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan

undang-undang lain yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama.

Putusan beberapa pengadilan baik peradilan Umum maupun Peradilan Agama

yang terkait sengketa perlindungan konsumen. Sedangkan sumber data sekunder

diperoleh dari buku-buku, surat kabar, kamus, majalah, hasil-hasil penelitian,

jurnal-jurnal, artikel, internet, dan lain sebagainya yang dapat memberikan

penjelasan data-data primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka dalam pengumpulan data penulis

menggunakan studi pustaka (library research) dengan metode dokumentasi atau

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ... hlm, 94.

Page 28: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

17

studi dokumen. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-

barang yang tertulis.19 Dalam melaksanakan metode dokumentasi yang dimaksud

penulis melakukan penyelidikan dan mengumpulkan data-data atau dokumen-

dokumen tertulis seperti buku-buku, artikel, peraturan-peraturan, undang-undang

dan lain sebagainya.

Putusan beberapa Peradilan Umum dan Peradilan Agama terkait penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diambil dari direktori

putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang memayungi peradilan

tingkat I dan II. Kdelapan putusan adalah putusan yang diputuskan atas perkara

perlindungan konsumen yang terjadi di dalam Lembaga keuangan Syariah.

4. Metode Analisis Data

Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, penelitian ini sesuai

dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Sifat dari preskripsi dalam bidang

keilmuan hukum, penelitian yang bersifat normatif adalah berusaha untuk

mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa yang seharusnya dari

setiap permasalahan. Sehingga penulis akan merangkum apa yang seharusnya dari

peraturan perundang-undangan yang telah mengatur dan mempelajari putusan-

putusan yang telah diputuskan untuk mencapai apa yang dimaksudkan. 20

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. (Jakarta:

Rineka Cipta, 2002), h. 135.20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... hlm. 35.

Page 29: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

18

5. Metode dan Teknik Penulisan

Adapun tekhnik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman

penulisan skripsi Fakulas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengkonsep penulisan dengan

menyajikan lima bab, diharapkan dengan sistematika yang terhimpun dalam kelima

bab tersebut dapat memudahkan untuk membaca dan memahami dan mengerti

tentang tujuan yang menjadi titik pencapaian dari penelitian yang dilakukan. Adapun

tentang sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari pembahasan latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori konseptual,

metode penelitian, rancangan outline (sistematika penulisan).

Bab kedua, berisikan tentang eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama di

Indonesia yang terdiri dari pengertian Peradilan Agama, dasar hukum yang terdapat

di dalam Peradilan Agama, asas-asas Peradilan Agama, tugas dan fungsi Peradilan

Agama, kedudukan Peradilan Agama di Indonesia dan kewenangan Peradilan Agama

di Indonesia serta hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama.

Bab ketiga, akan membahas penyelesaian sengketa perlindungan konsumen

dalam ekonomi syariah yang terdiri dari pengertian perlindungan konsumen, konsep

dan dasar hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen,

Page 30: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

19

prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Bab keempat, adalah analisis kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan

sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah yang terdiri atas analisis

yuridis penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah,

analisi empiris penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen

Syariah, serta hasil analisis penulis tentang kewenangan Peradilan Agama

menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.

Bab kelima, penutup, pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dari

keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-

saran yang dapat dilakukan dalam penataan peraturan perundang-undangan dan tertib

beracara di lingkungan Mahkamah Agung.

Page 31: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

20

BAB II

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

A. Pengertian Peradilan Agama

Dalam khazanah Islam klasik telah dikenal pengertian peradilan dengan

istilah-istilah keislaman, wilayat al-aqdha, hisbah, dan madzalim.1 Kata “peradilan”

berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata

“peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”,

“melaksanakan” dan “menyelesaikan”.2 Adapula yang menyatakan bahwa, umumnya

kamus tidak membedakan antara peradilan dan pengadilan.3 Sebagaimana pengertian

ini dijelaskan secara rinci di dalam buku Peradilan Agama di Indonesia.

Disamping kata “menyelesaikan” dan menunaikan seperti di atas, arti qadha

yang dimaksud adapula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu

ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah

yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti

1 Ketiga badan peradilan tersebut, merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman pada masa

Islam klasik. Ketiganya berada di bawah; dinasti Umayyah menyebutnya dengan nizham al-qadhai, yakni pelaksana hukum. Muhammad jalal Syaraf dan Ali Abd al- Muth”i Muhammad, Fikr al-syasi fi al-Islam, (Iskandariyah: Dar al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 155-157).

2 Ahmad Warson, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Jakarta; M. Jakarta, 1996), cet. Pertama, h. 1225

3 Abdul Mujib Mabruri Thallah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, (Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ketiga, h, 258. Lihat juga Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Depdikbud, Balai Pustaka, 1996), cet ketujuh, h. 7

Page 32: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

21

“menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang

hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyaan.4

Kata peradilan menurut istilah ahli fikih ialah:

1. Lembaga Hukum (tempat di mana seseorang mengajukan permohonan

keadilan).

2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang

mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar

harus mengikutinya.5

Peradilan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Peradilan Agama

keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai

berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan

perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk

ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam6.

Selanjutnya jika kata peradilan atau pengadilan disatukan dengan kata agama,

maka pengertian Peradilan Agama adalah “ kekuasaan negara dalam memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang

yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Peradilan

4 Hasby As-siddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta; PT. Ma’arif,

1994), h. 29.

5 Hasby As-siddieqy, Peradilan dan..., h. 30.

6 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia,

(Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.

Page 33: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

22

Agama adalah pengadilan tingkat pertama pada lingkungan peradilan agama.7

Menurut Ramulyo, Peradilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari

keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu

majelis hakim atau mahkamah.8

B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama

1. Dasar Hukum Peradilan Agama

Peradilan Agama sebagai institusi yang bertugas untuk menegakkan hukum

dan keadilan atas adanya persengketaan-persengketaan di antara orang-orang yang

beragama Islam yang diajukan kepadanya dalam menjalankan tugas dan fungsinya

harus memenuhi standar pengadilan. Terpenuhinya standar pengadilan pada

Peradilan Agama harus memenuhi tiga perangkat dasar, yakni peraturan

perundang-undangan, organisasi dan aparat penegak hukum, serta tatalaksana,

sarana dan prasarana. Ketiga perangkat tersebut merupakan kebutuhan mutlak bagi

terlaksananya tugas-tugas dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum

dan keadilan di Negara Hukum Republik Indonesia.9

Peradilan Agama sebagai sub sistem Peradilan Nasional, keberadaannya

harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sepanjang sejarah

7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta; Pt. Rajawali Grafindo Persada,

1996), cet. Pertama, h. 6.

8 Moh. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1991), h. 12.

9 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 68.

Page 34: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

23

perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sebagai lembaga penengak hukum dan

keadilan, hal-hal yang mengaturnya asal mulanya berupa penunjukan oleh para

pihak yang bersengketa terhadap seseorang sebagai muhakkam.10 Selanjutnya

berlanjut pada peraturan di masa kerajaan Islam, masa kolonial yang ditandai

dengan hadirnya Stbl 1882 No. 152. Kemudian pada tahun 1937 diperbaharui

dengan Stbl 1937 Nomor. 116 dan 610.

Puncak kekokohan perangkat dasar peraturan perundang-undangan terjadi

saat diundangkannya perubahan ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Perubahan ketiga ini menegaskan kedudukan konstitusional Peradilan Agama.

Perihal dimaksud mengandung beberapa makna:11

1. Peradilan Agama adalah badan kenegaraan konstitusional dengan

kedudukan yang dijamin Undang-undang Dasar.

2. Peradilan Agama adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman

yang bebas dan merdeka, yang mempunyai kedudukan yang sederajat

dengan lingkungan peradilan yang lain.

3. Peradilan Agama berhak atas “Privilage” dan Negara mempunyai

kewajiban serta tanggung jawab memberikan dukungan yang sama

dengan lingkungan peradilan yang lain.

10 Adalah pengertian bagi orang yang dianggap padanya mengerti tentang suatu hukum,

memiliki naluri keadilan yang tinggi dan dapat dipercaya. Kemudian dipercayakan kepadanya untuk memberikan suatu keputusan terhadap suatu permasalahan.

11 Jaelani Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai..., h. 325.

Page 35: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

24

4. Peradilan Agama merupakan satu kesatuan sistem peradilan nasional

(national integrated judicial system), dalam sistem ketatanegaraan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai konsekwensi konstitusional dari perubahan tersebut, maka yang

pertama kali diubah adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman menjadi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang juga dirubah dengan UU No. 48 tahun 2009. Perubahan ini juga

mengakibatkan perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

menjadi UU No. 5 tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU NO. 49 tahun 2009

dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 tahun 2006

dan UU No. 50 tahun 2009.

Oleh karena itu perangkat yang menjadi dasar hukum Peradilan Agama tidak

hanya sebatas yang menyangkut kelembagaan dan organisasi, akan tetapi juga

menyangkut hukum materiil dan hukum acaranya, maka selain peraturan

perundangan yang disebutkan di atas, peraturan-peraturan perundangan lain juga

sebagai perangkat dasar hukum bagi Peradilan Agama diantaranya: 1) Reglemen

Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR) dan Reglemen Buiten Govesten, 2) UU.

No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan-pengadilan Ulangan, 3) UU. No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan, 4) UU. No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

5) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

6) UU No. 38 tahun 2004 tentang Zakat, 7). UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf,

8) UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan UU No. 21 tahun

Page 36: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

25

2008 tentang Perbankan Syariah, 9). PERMA No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi,

10) Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, 11) Inpres

No. 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Asas-asas Peradilan Agama

Asas-asas peradilan merupakan landasan pokok (fundamental) dalam

pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Asas-asas yang berlaku di

lingkungan Peradilan Umum pada dasarnya berlaku juga di Peradilan Agama

kecuali di atur lain. diantaranya; asas personalitas ke-Islaman, asas kebebasan,

asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas, asas wajib

mendamaikan, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas mengadili menurut

hukum dan persamaan hak, asas persidangan terbuka untuk umum, asas aktif

memberi bantuan, asas peradilan dilakukan dengan cara majelis hakim.

Ketentuan mengenai asas personalitas ke-Islaman sebagaimana tercantum di

dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No.

50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah

satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undag-undang ini”.

Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

Page 37: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

26

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan seterusnya.12

Mengenai hubungan antara asas personalitas keislaman ini dengan ekonomi

syariah adalah sangat berkaitan. Hal ini karena konsep dari ekonomi syariah

adalah suatu prinsip-prinsip yang dibangun dengan pondasi dan nilai-nilai yang

terkandung di dalam ajaran Islam.

C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama

Tugas dan fungsi peradilan dalam lingkungan peradilan Agama dapat dipilah

menjadi dua macam, yakni tugas yudisial yang merupakan tugas pokok dan tugas non

yudisial yang merupakan tugas tambahan, namun tidak mengurangi nilai penting

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

1. Tugas dan Fungsi memberi keadilan (yudisial)

Yang dimaksud dengan tugas yudisial ialah tugas dan fungsi memberikan

keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Inti dari tugas ini adalah

menegakkan hukum dan keadilan. 13 Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk

mengadili apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan

kepentingan antar sesama warga masyarakat (perorangan atau badan hukum).14

12 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,

(Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 160-162.

13 Purwoto S. Ganda Subrata, Dengan Etika dan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawa dan Martabat hakim Indonesia, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 3.

14 Purwoto S. Ganda Subrata, Tugas dan Fungsi Hakim, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 10

Page 38: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

27

Jadi tugas utama peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Hakim)

adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi keputusan kepada

pihak yang berperkara. Hakim harus memutus menurut hukum, baik dalam arti

harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau

kepastian yang lahir dari putusan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama

(hakim) adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut

hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar

memenuhi tuntutan masyarakat.15

Tugas dan fungsi Peradilan Agama diatur jelas dalam perundang-undangan,

diantaranya UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka

1, Pasal 25 ayat (3). Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No.

50 tahun 2009 tugas penegakan hukum dan keadilan di Peradilan Agama adalah

dalam bentuk menerima, memeriksa, memutus/mengadili dan menyelesaikan

perkara orang-orang yang beragama Islam menyangkut persengketaan perkawinan,

waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Khusus untuk

Peradilan di wilayah Aceh mencakup juga bidang mu’amalat dan jinayat.

2. Tugas non Yudisial

Tugas non yudisial adalah tugas di luar tugas mengadili. Tugas semacam ini

dapat dilakukan hanya atas dasar ketentuan Undang-undang. Tugas dimaksud

15 Bagir Manan, Tugas hakim: Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum

Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, (Jakarta; Dirjen PA, 2007), h. 122.

Page 39: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

28

diatur dalam Pasal 52 dan 52 A UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU

No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50

tahun 2009. Dinyatakan bahwa:

1. Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.

2. Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

Tugas lain sebagaimana dimaksud pada pasal 52 ayat (2) UU No. 3 tahun

2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa:

1. Tugas sebagaimana ditunjuk pasal 52 A Undang-undang tersebut, berupa pemberian istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.

2. Tugas sebagaimana yang diatur di dalam pasal 107 ayat (2) Undang-undang tersebut. Pasal tersebut menegaskan bahwa: “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatblad 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembahagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.”

D. Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia

Untuk lebih memahami dimana letak kedudukan Peradilan Agama dalam

susunan ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dilihat dengan memperhatikan alat-

alat kekuasaan negara yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945

(UUD NRI 1945) bahwa untuk melaksanakan kekuasaan negara dalam arti yang luas,

UUD NRI 1945 menetapkan lima badan kekuasaan yang ada, yaitu; a. Kekuasaan

Pemerintahan atau eksekutif, b. Dewan Pertimbangan Agung (DPA), c. Dewan

Page 40: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

29

Perwakilan Rakyat (DPR), d. Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan e. Badan

Kekuasaan Kehakiman.

Selanjutnya mengenai poin yang kelima di atas, yakni tentang Badan

Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 dan untuk

memenuhinya hadirlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 undang-undang ini telah menetapkan kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

c. Peradilan Militer,

d. Peradilan Tata Usaha Negara16

Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga ditetapkan oleh UU

No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah

dengan UU No. 48 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 10 Ayat 2. Mahkamah Agung juga

sebagai peradilan tingkat akhir yang menyelesaikan perkara kasasi serta

melaksanakan pengawasan kepada semua lingkungan peradilan termasuk diantaranya

Peradilan Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

(yudisial power) di Indonesia. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,

keberadaan Peradilan Agama jelas mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri di

16 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. Ketiga,

(jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997), h. 87 dan 89.

Page 41: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

30

tengah-tengah pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya. Untuk memahami bagaimana

kedudukan dan fungsi Peradilan Agama diantara sesama pelaksana kekuasaan

kehakiman tersebut, dapat dilihat dari sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

di Indonesia saat ini.17

Kemudian mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di

Indonesia, kita harus merujuk pada UUD NRI 1945 yang sekarang telah

diamandemen dalam beberapa perbaikan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD NRI

1945 telah dinyatakan sebagai berikut:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Sejalan dengan maksud Pasal 24 UUD 1945 tersebut, Pasal 1 dan 2 UU No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah menyatakan bahwa:

Pasal 1: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

17 Rika Delfa Yona, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengeksekusi Putusan

Arbitrase Syariah , (Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010), h. 45.

Page 42: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

31

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Dalam penjelasan pasal demi pasal yang telah dijelaskan di atas, dikatakan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dari ketentuan

tersebut dapat dipahami bahwa kekuasaan kehakiman tidak lain merupakan salah satu

badan kekuasaan negara18 atau badan penyelenggara negara di samping MPR,

Presiden, DPR, dan lainnya yang setara, yang kemudian fungsi utamanya adalah

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.19

Diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai upaya singkronisasi segala urusan dan

tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dengan

ketentuan UU No. 4 tahun 2004. Dengan demikian, jika sebelumnya segala urusan

dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama

dimaksud berada di bawah otoritas Departemen Agama, maka pasca UU No. 3 tahun

18 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Pustaka

Kartini, 1993), h. 88.

19 Merdeka bermaksud bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman yang termasuk di dalamnya Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha negara adalah sebagai lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan dan interpensi dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bertujuan menciptakan sistem hukum yang benar-benar berasaskan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan demi menjamin hukum yang berkeadilan diantara sesama pelaku hukum.

Page 43: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

32

2006 semuanya telah niscaya diserahkan dan dialihkan menjadi otoritas Mahkamah

Agung.20

Keempat peradilan yang ada, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang

sama dan sejajar yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai

pengadilan tertinggi. Peradilan Umum merupakan peradilan bagi rakyat pada

umumnya mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Sedangkan Peradilan

Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan

khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat

tertentu.21

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan

Peradilan Agama dalam sistem tata hukum di Indonesia merupakan salah satu

penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dan sebagai badan peradilan khusus, maka

kekuasaan kehakiman yang diselenggarakannya adalah dikhususkan untuk rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu atau bagi golongan

rakyat atau badan hukum yang dengan sendiri menundukkan diri dengan sukarela

kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi

kewenangan Peradilan Agama.

20 Syamsuhadi Irsyad, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3

Tahun 2006, (Makalah, 10 Juli 2006), h. 10.

21 Taufiq Hamami, Peradilan Agama..., h. 85.

Page 44: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

33

E. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia

Kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik

serta mengarah pada pasang surut.22 Kendati tidak sampai kepada penghapusan,

namun lingkup yuridiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan

tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political

willi) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang

ditempuh oleh penguasa bersangkutan.23 Sehingga memang, faktor dinamika politik

hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menngoreskan catatan

penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia,

yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.24

Menurut Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang Peradilan Agama,

yaitu: (1) Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan, dan

nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh

atau berdasarkan atas undang-undang; (4) Kewenangan pengadilan tinggi agama

22 C. Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan-Inkultra

Foundation Inc., 1981), h. 51.

23 Soetandoyo Wingjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: Suatu Telaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989, h. 16.

24 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,(Depok; Gramata Publishing, 2010), h. 9.

Page 45: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

34

mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,

serta (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.25

Mengenai kompetensi Peradilan Agama, tergolong kepada kompetensi relatif

dan kompetensi absolut. Kekuasaan atau kompetensi relatif pada dasarnya kekuasaan

peradilan yang menyangkut wilayah hukum.26 Sedangkan kekuasaan atau kompetensi

absolut adalah kekuasaan peradilan yang menyangkut bidang perkara atau wewenang

mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,27

yang berada di Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam kata lain bahwa

kewenangan absolut adalah kewenangan dari badan peradilan dalam memeriksa jenis

perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain.

Dasar hukum pemberian kompetensi relatif bagi pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah pada pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah

lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa:

(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.

(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerahhukumnya meliputi wilayah propinsi.

25 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang; UIN-Malang Press,

2008), h. 194.

26 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Danputusan Pengadilan, cet. Kesembilan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), h. 19.

27 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung, Mandar Maju, 1989), h. 8.

Page 46: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

35

Dalam penentuan Pengadilan Agama yang mana yang berwenang atas suatu

perkara yang menjadi bidangnya, ditentukan oleh tempat tinggal para pihak

berperkara, atau keberadaan obyek perkaranya. Dalam hal ini penentuannya

diklasifikasikan menurut bidang-bidang perkaranya.

Menurut M. Yahya Harahap, 28 bahwa faktor yang menimbulkan terjadinya

pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan

peradilan ialah faktor wilayah hukum. Kompetensi relatif Peradilan Agama sesuai

dengan Pasal 4 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama di atas menjelaskan bahwa tempat kedudukan Peradilan

Agama adalah di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi

Kabupaten/Kota tersebut.

Dapat dilihat setiap Peradilan Agama hanya berwenang mengadili perkara yang

termasuk ke dalam wilayah hukumnya. Jangkauan kewenangan pelayanan peradilan

yang dapat dilakukan secara formil, hanya perkara-perkara yang termasuk kedalam

wilayah daerah hukumnya. Sekalipun secara subtantif merupakan kekuasaan absolut

Peradilan Agama, kewenangan absolut tersebut dapat dihalangi kompetensi relatif

yang mengakibatkan Peradilan Agama yang menerima perkara tidak berwenang

mengadili, jika perkara yang bersangkutan termasuk kewenangan Agama lain.

Kewenangan atau kompetensi absolut di lingkungan Peradilan Agama sebagai

salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman (yudisial power) bersumber

28 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang

Nomor 7 tahun 1989, (Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993), h. 213

Page 47: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

36

kepada amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

diamandemen menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian dilakukan perubahan

kedua menjadi UU. No. 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang tersebut telah diatur

jelas tentang hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam menjalankan

fungsinya sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Beberapa perubahan terhadap Undang-undang Peradilan Agama ini diantaranya

menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam

menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam mengenai kekuasaan relative

maupun absolute Peradilan Agama. Salah satu kewenangan baru dalam undang-

undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syariah sebagai

kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-undang Peradilan Agama telah

mengatur jelas apa saja yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama.

Sebelumnya pada UU No. 7 tahun 1989 tenang Peradilan Agama telah dijelaskan

bahwa hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya

hanya kepada perkara-perkara yang bersifat keperdataan keluarga Islam pada

umumnya, seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, wakaf, infaq dan sedekah.

Kemudian dengan diamandemennya Undang-undang ini termasuk kedalam

perubahan/dan atau penambahan dari pasal 49 ini melahirkan paradigma baru

terhadap kedudukan dan kewenangan Peradilan agama dalam kekuasaan kehakiman

di Indonesia.

Page 48: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

37

Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006

tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah

memberikan beberapa perkara yang menjadi kewenangannya untuk

menyelesaikannya. Bukan hanya terbatas kepada permasalahan perkawinan semata,

namun hal-hal lain yang bersifat perdata juga turut menjadi kewenangan Peradilan

Agama, diantaranya; waris29, wasiat30, hibah31, wakaf32, zakat33, infak34, dan

sedekah35. Selanjutnya menurut pasal 49 huruf i Undang-undang ini kewenangan

29 Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan

mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Lihat penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 tahun 2006.

30 Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Lihat penjelasan pasal 49 huruf c UU No. 3 tahun 2006.

31 Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Lihat penjelasan pasal 49 huruf d UU No. 3 tahun 2006.

32 Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Lihat penjelasan pasal 49 huruf e UU No. 3 tahun 2006.

33 Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Lihat penjelasan pasal 49 huruf f UU No. 3 tahun 2006.

34 Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Lihat penjelasan pasal 49 huruf g UU No. 3 tahun 2006.

35 Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu

Page 49: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

38

Peradilan Agama diperluas, termasuk bidang ekonomi syariah.36 Hal ini sesuai

dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat

muslim. Dengan penegasan dan pemenuhan kewenangan Peradilan Agama

dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum37 bagi Pengadilan Agama dalam

menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

Perubahan ini mengangkat eksistensi Peradilan Agama semakin menduduki

kompetensi yang semakin berdikari dan mandiri. Perubahan baru tersebut

menyangkut yuridiksinya, sebagaimana yang kita pahami dijelaskan bahwa tentang

pengertian Peradilan Agama itu sendiri. Sebelum dilakukan amandemen pada UU

No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 2 memuat pernyataan bahwa;

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang

diatur dalam Undang-undang ini. Kemudian setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006

tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2 telah

diubah dengan menghapuskan kata “perdata” di dalamnya menjadi; Peradilan Agama

dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Lihat penjelasan pasal 49 huruf h UU No. 3 tahun 2006.

36 Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'.

37 Dasar hukum disini bermakna bahwa sebagai suatu pemenuhan kebutuhan dari masyarakat, maka kebutuhan akan kehadiran suatu sistem bermuamalat yang berasaskan sistem keislaman secara murni diharapkan akan mendapatkan suatu penjaminan juga daripada negara. Hal ini bertujuan bahwa kehadiran sistem yang baru ini mendapatkan suatu penempatan yang sama dihadapan penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Page 50: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

39

adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini. Kata ”perkara perdata tertentu” telah diubah menjadi “perkara tertentu”

dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi

Peradilan Agama.38

Dengan adanya penegasan di atas, dalam hal ini perluasaan kewenangan

Peradilan Agama tidak lagi terbatas hanya kepada perkara-perkara tertentu yang

sifatnya termasuk kedalam perkara-perkara perdata. Namun lebih daripada itu,

kewenangan menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang di luar perkara perdata

dapat diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Agama. Akan tetapi kebebasan

kewenangan ini tetap dibatasi oleh hal-hal pidana yang muncul dari pelanggaran

hukum perdata. Termasuk kedalam kewenangan menyelesaikan pelanggaran kepada

undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat

landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang

jinayah berdasarkan qanun.

F. Hukum Acara di Peradilan Agama

Hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur

bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau

cara bagaimana bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.

38Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia,

(jakarta; Kencana, 2008), h.343.

Page 51: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

40

Pasal 54 jo UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan

Agama menyatakan; “Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali

yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.

Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan

selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini

meliputi kewenangan relatif Peradilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan,

pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.

Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum

materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan

yang adil dan benar. Sudikno Martokusumo dalam bukunya hukum acara perdata

terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum

materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan

hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah

yang disebut hukum perdata formil atau hukum acara perdata. 39

39 Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; UIN Jakarta/FSH,

2013), h. 8 dan 13.

Page 52: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

41

BAB IIIPENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN

DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bahagian dari kemajuan

teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah

memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat

modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan

konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat

tradisional relatif masih sederhana, dimana konsumen dan produsen dapat bertatap

muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-barang

kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal

pula (mass consumer consumption). Akhirnya hubungan antara konsumen dan

produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, dan

begitu pula sebaliknya, produsen tak mengenal siapa konsumennya, bahkan

produsen tersebut berada di Negara lain.1

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

1 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab

Mutlak, (Jakarta; Universitas Indonesia, 2004), h. 2-3.

Page 53: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

42

Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan

terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah

konsumen. Namun hukum positif Indonesia berusaha menggunakan beberapa istilah

yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang

berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen,

namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.2

Perlindungan konsumen ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan serta

memberikan kepastian hukum. Kedua tujuan ini diharapkan mampu untuk

memberikan kualitas perlindungan konsumen, sehingga hak-haknya dapat terpenuhi

tanpa adanya penyelewengan dari posisi lemah yang mereka3 miliki.

Untuk mendapat legitimasi dan legalitas maka perlindungan tersebut harus

diatur dalam bentuk perundang-undangan sebagai dasar hukumnya. Ada beberapa

peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 13.

3Kata “mereka” disini adalah untuk merangkul para konsumen, atau mereka yang berdiri sebagai masyarakat pemakai suatu produk barang dan/atau jasa. Dimana kedudukan mereka sebagai orang yang memakai juga mereka yang bergantung kepada suatu produk barang dan/atau jasa merupakan orang-orang yang perlu dilindungi hak-haknya dari kesewenangan pelaku usaha. Konsumen disini memang yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya oleh pelaku usaha, sehingga atas dasar alasan inilah dibutuhkan suatu perlindungan kepada mereka (perlindungan konsumen).

Page 54: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

43

b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen1. Asas-asas dalam Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Disamping itu

perlindungan konsumen diselenggarakan bersama berdasarkan lima asas yang

sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu;4

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh hak dan

kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan maksudnya perlindungan konsumen memberikan

keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam

arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen yaitu untuk memberikan

jaminan keamanan dan keselamatan pada konsumen dan penggunaan

4 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. Keenam (Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 192.

Page 55: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

44

dan pemakaiaan, serta pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam huruf d dari dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa untuk

meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,

pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang

bertanggung jawab.

Atas dasar pertimbangan di atas, ketentuan Pasal 3 UU No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen maka setidaknya perlindungan konsumen

memiliki tujuan, yaitu:5

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian kosumen untuk

melindungi diri.

2. Mengangkat harkat martabat konsumen dengan cara menghindari ekses

negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

5 Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi,cet. Kelima,(Jakarta, PT.

Grasindo, 2008),h. 160.

Page 56: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

45

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat

informasi.

5. Menumbuhkan kesadaraan pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan /atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan /atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

D. Prinsip-prinsip Dalam Perlindungan Konsumen

Melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus

dilindungi. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bukanlah dalam artian

anti terhadap produsen, namun sebaliknya justru merupakan apresiasi terhadap hak-

hak konsumen secara universal.6 Inilah yang kemudian dalam prakteknya, UUPK

harus memegang teguh kepada ketiga prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen.

Ketiga prinsip tersebut terbagi kepada;

a. prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Negligence),

6Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta; Ghalia

Indonesia, 2002), h. 12.

Page 57: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

46

b. prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi,

c. prinsip berdasarkan tanggung jawab mutlak.7

1. Prinsip Perlindungan Konsumen dalam Islam

Perlindungan konsumen Muslim sangat penting di Indonesia, karena

mayoritas konsumen di Indonesia beragama Islam. Maka sudah selayaknya

konsumen Muslim tersebut mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa

sesuai syariat Islam. Pada sisi lain, pemerintah Indonesia juga dituntut untuk

melakukan upaya aktif guna melindungi konsumen Muslim yang merupakan hak

warga negara yang beragama Islam di Indonesia.

Konsumsi bagi seorang muslim hanyalah sekedar perantara untuk

menambah kekuatan menaati Allah. Rezeki yang baik adalah tanpa melupakan

rasa syukur dan tetap harus memperhatikan orang lain.

Sebagaimana Al-Quran dalam surah Al-Ahqaf ayat 20 menjelaskan:

نیاحیاتكمفیطیباتكمأذھبتم بھاواستمتعتمالد النارعلى كفرواالذینیعرض ویوم

. فالیوم الحقغیراألرضفیتستكبرونكنتمبماالھونعذابتجزون تفسقونكنتموبما

Artinya; Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". (QS. Al-Ahqaf; 46:20).

Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar,

yaitu:8

7Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen.., (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002), h. 14.

Page 58: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

47

1. Prinsip kebenaran, prinsip ini mengatur agar konsumen untuk

menggunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik

dari segi zat, proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengonsumsi

barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam barang

dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika

cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-

ketentuan syara’.

2. Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus

mengonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau

menjijikkan, serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang

dan/atau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan

duniawi dan ukhrawi.

3. Prinsip kesederhanaan, Islam memberikan standarisasi bagi

konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa, serta mampu mengekang hawa nafsu dari pemborosan

dan keinginan yang berlebihan. Selain itu, Islam juga mengajarkan

kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak terlalu kikir

dan tidak terlalu berlebihan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.

4. Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk

menggunakan barang dan/atau jasa selama barang dan/atau jasa itu

8Arif Pujiyono, “Teori Konsumen Islam”, artikel diakses pada 05 Januari 2016 dari

WWW.eprints.undip.ac.id

Page 59: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

48

memberikan kebaikan juga kesempurnaan dalam mengabdikan diri

kepada Allah SWT. Di samping itu, Islam juga membolehkan

konsumen untuk mengonsumsi barang dan/atau jasa yang haram jika

dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tdak

berlebihan dan tidak melebihi batas.

5. Prinsip moralitas atau akhlak, seorang Muslim diajarkan untuk

menyebut nama Allah sebelum melakukan sesuatu dan menyatakan

terima kasih kepada-Nya setelah melakukan sesuatu. Isalm

mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur,

zikir dan pikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela dalam

mengonsumsi barang dan jasa.

E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakimandi Indonesia

Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memang tidak

ditemukan tentang definisi atau pengertian dari sengketa konsumen. Namun, dalam

beberapa pasal ditentukan adanya larangan bagi pelaku usaha yang apabila dilakukan

dapat merugikan konsumen. Larangan yang dilakukan pelaku usaha inilah yang bisa

menjadi sengketa konsumen.9

Larangan bagi pelaku usaha tersebut ditentukan mulai dari Pasal 8 sampai

Pasal 18 UU No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen. Di dalam pasal ini

tertera jelas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh si pelaku usaha yang

9Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan…, h. 197.

Page 60: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

49

dapat merugikan konsumen. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan sengketa

dan membutuhkan penyelesaian di dalamnya.

Dalam hal penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini menurut UU No.

8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen para konsumen dapat memilih dua

cara penyelesaian yaitu di pengadilan juga melalui luar pengadilan. Kedua cara

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini juga dapat disebut penyelesaian

sengketa non litigasi dan penyelesaian sengketa litigasi.

1. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi

Diantara kedua cara tersebut, penyelesaian melalui jalur non litigasi

cenderung lebih banyak diminati oleh masyarakat konsumen Indonesia. Hal ini

karena dalam penyelesaian sengketa perlidungan konsumen melalui jalur non

litigasi memiliki banyak pilihan lain dalam pelaksanaan penyelesaiannya juga

tidak memakan waktu yang lebih lama dibanding penyelesaian di peradilan.

Penyelesaian non litigasi memiliki pengertian bahwa penyelesaian yang

dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan tidak atau bukan dihadapan

peradilan. Penyelesaian non litigasi ini memiliki beberapa pilihan sebagai tempat

penyelesaiannya. Hal ini juga merupakan suatu ketentuan yang diakui di

Indonesia, dimana konsumen yang merasa dirugikan haknya berhak untuk

memilih dimana ia akan mengadukan dan menyelesaikan sengketa yang sedang ia

hadapi. Diantara badan atau lembaga yang dimaksud sebagai lembaga

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen non litigasi adalah produsen

Page 61: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

50

secara langsung, Yayasan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat, Yayasan

Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) dan penyelesaian lainnya.

a. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen

Pelaku usaha selaku pihak yang melakukan suatu produksi barang

dan/atau jasa untuk kemudian dimanfaatkan oleh konsumen memiliki andil

terbesar mengenai barang dan/atau jasa yang diberikan. Pelaku usaha adalah

pihak yang paling mengerti tentang barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan.

Sehingga sangat layak dan tepat apabila sebagai konsumen yang memakai dan

memanfaatkan barang dan/atau jasa meminta haknya untuk sebuah barang

dan/atau jasa yang berkualitas kepada pelaku usaha.

Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hak-hak konsumen, maka

konsumen bisa langsung mendatangi produsen untuk menyampaikan komplain

tentang barang dan/atau jasa yang diterimanya. Hal ini tentunya beserta bukti-

bukti yang dapat menjelaskan tentang kebenaran pelanggran hak yang

diterimanya. Menyertakan barang dan/atau produk misalnya, kwitansi

pembelian, dan keterangan saksi-saksi.

Dengan melakukan suatu protes secara langsung kepada produsen,

konsumen telah membuktikan penerapan hak dan kewajiban yang dikaitkan

kepadanya. Dengan begitu juga, konsumen dapat menunjukkan sikap kritiknya

Page 62: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

51

kepada pelaku usaha untuk mengoptimalkan barang dan/atau jasa yang

diberikannya.10

b. Penyelesaian Melalui Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga

non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai

kegiatan menangani perlindunga konsumen.

Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ini

meliputi kegiatan:11

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak

dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa;

2. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya,

bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

3. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

4. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat

terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

10Hal inilah yang kemudian dalam UUPK dinyatakan bahwa produsen selaku yang

memproduksi suatu barang dan/atau jasa harus mencantumkan kejelesan dan penjelasan tentang barang yang diproduksi, alamat produksi, informasi terkait produksi dan harus mendapatkan sertifikasi produksi dari pihak terkait. Kesemuaan ini adalah untuk menjamin konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang baik dan terhindar dari kerugian, dll.

11Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 214.

Page 63: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

52

c. Penyelesaian melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pertama kali didirikan

di Jakarta dan merupakan sebuah lembaga yang bergerak untuk melindungi

hak-hak masyarakat konsumen Indonesia. Perlindungan terhadap konsumen

pada hakikatnya berarti pula bahwa dorongan terhadap produsen untuk

menghasilkan barang yang terjamin mutunya. Dengan demkian konsumen

tidak akan mengalihkan perhatiannya pada produk luar negeri. Kepercayaan

konsumen yang diterima oleh produsen dengan sendirinya membuat produsen

memperbesar volume produksinya.

YLKI adalah oragnisasi non pemerintah dan nirlaba yang didirikan

dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan

tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan

lingkungannya.12

Selanjutnya dalam eksistensinya menyelesaikan perkara sengketa

perlindungan konsumen, YLKI pada dasarnya melakukan tahapan-tahapan

yang persis dan hampir sama dengan BPSK. Kemudian yang menjadi pembeda

disini adalah kedudukannya yang non pemerintah sebagai lembaga swasta

yang berdiri atas tujuan yang hampir sama dengan BPSK yaitu melindungi

hak-hak konsumen.

d. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

12 Sumber online:http://Wikipedia.org/wiki/ Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia.

Diakses: Rabu, 23 September 2015, pukul 10.18 WIB.

Page 64: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

53

Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK) yang berkedudukan di Ibu

Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada

Presiden(Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2001 tentang

Badan Perlindungan Konsumen Nasional).BPSK sedapat mungkin akan

didirikan di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia untuk membantu pelaksanaan

fungsi dan tugasnya.13

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi

memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya

pengembangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan

perlindungan konsumen di Indonesia.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Majelis

Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 huruf 11 dari Undang-undang tersebut

menentukan bahwa yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Perlindungan

Konsumen adalah “badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan

sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Penanganan dan penyelesaian

sengketa konsumen dilakukan dengan cara melalui peradilan dan non

peradilan. Yang non peradilan dilakukan dengan cara mediasi, atau konsiliasi,

atau arbitrase.

13Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis......(Rajawali Pers:Jakarta,2012), hlm, 211.

Page 65: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

54

Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan

penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis. Jumlah majelis tersebut

haruslah ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang mewakili semua unsur

pemerintah, pelaku usaha dan konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera.

Putusan majelis bersifat final dan mengikat.

Meskipun putusan badan penyelesaian sengketa konsumen bersifat final

dan mengikat dan pada hakikatnya tidak dapat diajukan keberatan, namun

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata

Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen, dapat diajukan keberatan apabila memenuhi syarat-syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu;

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

2. Setelah putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa diambil,

ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan

oleh pihak lawan.

3. Putusan diambil dari tipu muslihat, yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Keberatan dapat diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai

dengan prosedur pendaftaran perkara perdata, dalam tenggang waktu empat

Page 66: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

55

belas hari terhitung sejak pelaku usaha atau konsumen menerima

pemberitahuan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 14

Jalur penyelesaian yang dapat dilalui dalam menyelesaikan sengketa

perlindungan konsumen yang dilakukan di luar peradilan (non litigasi) dapat

dilakukan dengan beberapa cara yang diakui oleh Undang-undang.

diantaranya;15

a. Mediasi

Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam

penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi ini merupakan

salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan

melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya

penyelesaian yang bersifat kompromistis.

Lembaga yang dipilih selaku pihak ketiga yang ditunjuk membantu

menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Mediator melakukan

mediasi harus mengandung unsur-unsur antara lain:

1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan

perundingan.

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam

perundingan.

14Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 207-211.

15Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam ..., h. 199-204.

Page 67: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

56

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian.

4. Tujuan mediasi untuk mecapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Dengan demikian putusan yang diambil atau yang dicapai oleh

mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang

dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam

masyarakat.

b. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang

berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun Undang-

undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa

tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari

konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10

dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu

lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.

Konsiliasi ini juga dapat dikatakan sebagai perdamaian sebelum

sidang peradilan (litigasi). Konsiliator yang dipercayakan harus memiliki

peran yang cukup berarti, karena konsiliator berkewajiban untuk

menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.

Page 68: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

57

Antara mediasi dan konsiliasi seringkali dipersamakan, terutama tentang

prosedur dan tata cara penyelesaiannya.16

Dalam menyelesaikannya sebagai konsiliator memiliki hak dan

kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak

memihak kepada salah satu dari yang bersengketa. Selain itu, konsiliator

tidak berhak mengeluarkan putusan dalam sengketa untuk dan atas nama

para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang

diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam

bentuk kesepakatan diantara mereka.

c. Arbitrase17

Menurut Subekti, arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan

persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan

diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.

Penyelesaian melalui arbitrase ini merupakan penyelesaian yang

banyak dan disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat

nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya,

prosedurnya sederhana, putusannya bersifat mengikat para pihak dan

bersifat final.

16Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis...., hlm, 315.

17Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 202-207.

Page 69: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

58

Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua

belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan

dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian sehingga

terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya

hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.

Perbandingan penyelesaian perlindungan konsumen antara melalui

perundingan (negoisasi, mediasi,), Arbitrase, dan Litigasi.18

Proses Perundingan Arbitrase LitigasiYang mengatur Para pihak Arbiter HakimProsedur informasi Agak formal sesuai

dengan ruleSangat formal dan teknis

Jangka waktu Segera (3-6 minggu)

Agak cepat (3-6 bulan)

Lama (2 tahun lebih)

Biaya Murah (low cost) Terkadang sangat mahal

Sangat mahal (expensive)

Aturan pembuktian Tidak perlu Agak informal Sangat formal dan teknis

Publikasi konfidensial Konfidensial Terbuka untuk umum

Hubungan para pihak

kooperatif Antagonis Antagonis

Fokus penyelesaian For the future Masa lalu (the past)

Masa lalu (the past)

Metode negosiasi kompromis Sama keras pada prinsip hukum

Sama keras pada prinsip hukum

Komunikasi Memperbaiki yang sudah lalu

Jalan buntu(blocked)

Jalan buntu(blocked)

Result Win-win Win-lose Win-losePemenuhan Sukarela Selalu ditolak dan

mengajukan oposisi

Ditolak dan mencari dalih

Suasana emosional Bebas emosi Emosional Emosi bergejolak

18Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 210-211.

Page 70: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

59

2. Penyelesaian Sengketa Litigasi

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah

melakukan suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan begitu lengkap dan

dapat dikatakan berkeadilan. Melalui Undang-undang ini telah dijelaskan tentang

penyelesaian yang dapat dilalui oleh pihak yang ingin memenuhi hak-haknya

yang dilanggar oleh pelaku usaha. Setelah tadi dijelaskan tentang penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen melalui non peradilan (non litigasi), maka disini

dijelaskan penyelesaian melalui jalur peradilan (litigasi).

a. Melalui Peradilan Umum

Sesuai dengan apa yang dijelaskan pada pasal 45 UUPK, bahwa dalam

hal terjadi suatu sengketa oleh konsumen dapat melakukan pengaduan kepada

lembaga yang telah ditunjuk ataupun melakukan pengaduan langsung kepada

lembaga peradilan yang ada. Pasal 45 UUPK menjelaskan bahwa;

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Page 71: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

60

Dari apa yang dijelaskan dari pasal 45 UUPK di atas, bahwa pada

dasarnya undang-undang ini terlebih dahulu menjelaskan tentang penyelesaian

yang dilakukan melalui jalur yang non peradilan (non litigasi). Hal ini

dikarenakan keefektifitasan waktu yang didapat apabila dilakukan diluar

peradilan. Kita ketahui peradilan umum sendiri adalah lembaga peradilan yang

paling sibuk dalam tugasnya. Setidaknya, dengan adanya jalur-jalur di luar

peradilan ini juga dapat mengurangi jumlah perkara yag harus diselesaikan

oleh lembaga peradilan.

Selanjutnya Pasal 46 UUPK menjelaskan tentang gugatan yang

disampaikan oleh pihak yang diambil haknya oleh pelaku usaha dapat

dilakukan oleh mereka yang berhak untuk mengajukannya.19

1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

19 C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang

Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta; sinar grafika, 2010), h. 234-235.

Page 72: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

61

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam penyelesaiannya peradilan melaksanakan suatu proses

pernyelesaian perkara seperti biasa pada umumnya. Sehingga akhirnya

peradilan mengeluarkan suatu putusan yang kemudian diterapkan sebagai hasil

dari proses peyelesaian yang dilakukan.Untuk kiranya menjamin suatu

keadilan kepada pihak dan/atau pihak-pihak yang dirampas haknya.

b. Melalui Peradilan Agama

Di Indonesia pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa

perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Setelah lahirnya Undang-

undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU No. 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan perluasan

kewenangan Peradilan Agama. Di samping berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-

orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Peradilan Agama juga berwenang untuk

menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 tentang

Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa yang

dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “perbuatan atau kegiatan usaha

yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; (a) bank

syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d)

Page 73: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

62

reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat

berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan

syariah; (i) dana pensiunan lembaga syariah; (k) bisnis syariah.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Peradilan Agama

berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan

tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di

bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian kewenangan ini diperkuat

dengan pasal 55 ayat 1 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah

dilakukan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Namun ayat berikutnya20 memberi peluang kepada pihak yang bersengketa

untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Peradilan Agama.

Penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan, Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau

menyelesaikan melalui Peradilan Umum.21

Mengenai Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU No. 21 tahun 2008 ini

menimbulkan perdebatan dikalangan ahli dan para pakar mengenai

kewenangan absolut menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen

20 Adalah pasal 55 ayat 2 dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah yang kemudian membuka kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk menyelesaikan sengketa di dalam lingkungan peradilan lain (Peradilan Umum).

21Sumber online; http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.

Page 74: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

63

dalam Lembaga Keuangan Syariah. Tidak dapat dipungkiri bahwa disini

terjadi dualisme kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan

konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah antara Peradilan Negeri

dengan Peradilan Agama. Hal ini tentu seharusnya sesegera mungkin harus

ditemukan penyelesaian yang secara materil memuat peraturan terkait

kewenangan absolut tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dalam amar

putusannya menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;22

1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain selebihnya.

Putusan ini secara tegas menghapuskan kesempatan untuk

kewenangan menyelesaikan sengketa keuangan syariah di Peradilan Umum

karena Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki

kewenangan khusus, khusus antara orang atau badan hukum yang

22Penjelasan Pasal 55 ayat (2): Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan

sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Page 75: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

64

menundukkan diri kepada prinsip Islam. Hal ini sesuai dengan asas yang

dianut oleh Peradilan Agama yaitu asas personalitas keislaman.

Page 76: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

65

BAB IV

ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN

SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH

A. Argumentasi Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan

Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah

Zainuddin Ali mengemukakan bahwa Pengertian Ekonomi Syariah atau

Pengertian Ekonomi Islam merupakan kumpulan norma hukum yang bersumber dari

alquran dan hadist yang mengatur perekonomian umat manusia.1 Sengketa ekonomi

syariah adalah pertentangan atau konflik yang muncul akibat adanya perjanjian

(aqad) yang dibangun antara para pihak mengenai tentang prilaku ekonomi yang

berbasis kepada prinsip-prinsip yang Islami.

Syariah yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada perbankan syariah saja.

Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan; a) Penyelesaian sengketa tidak hanya

dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah

lainnya. b) Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” adalah

termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan

1. Sumber online: http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkup-

manfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.

Page 77: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

66

sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan

Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah

dalam Peraturan Perundang-undangan

Sebelum kemunculan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen selain melalui mediasi perbankan, penyelesaian sengketa perbankan

syariah bisa juga melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Perubahan nama dari BAMUI menjadi

Basyarnas ditetapkan pada Rakernas MUI tahun 2002. Basyarnas merupakan satu-

satunya lembaga arbitrase yang berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan untuk

menyelesaikan sengketa muamalat. Ide pendirian Basyarnas erat kaitannya dengan

pendirian Bank Muamalat, BPRS, dan rencana pendirian Asuransi syariah pada

tahun 1994. Seperti lembaga keuangan lainnya, lembaga keuangan perbankan

syariah dan asuransi syariah diprediksi akan menghadapi berbagai tantangan,

termasuk sengketa dengan konsumennya.

Untuk memastikan aktivitas lembaga ini sesuai dengan prinsip syariah, maka

sengketa yang terjadi harus diselesaikan oleh lembaga yang kompeten yang

mengggunakan prinsip syariah sebagai guideline-nya. Pada saat itu, lembaga

peradilan yang ada dianggap tidak kompeten menyelesaikan sengketa perbankan

syariah. Peradilan Negeri meskipun mempunyai wewenang menyelesaikan

sengketa perbankan syariah, para hakimnya dianggap tidak memiliki pemahaman

Page 78: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

67

yang mendalam terhadap transaksi-transaksi syariah sehingga dikuatirkan sengketa

perbankan syariah diselesaikan tidak sesuai berdasarkan prinsip syariah. Di sisi

lain, Peradilan Agama tidak mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa

perbankan syariah. Kewenangannya terbatas menyelesaikan sengketa terkait

pernikahan, talak, waris, zakat, dan wakaf. Berdasarkan argumentasi di atas,

Basyarnas didirikan dengan harapan agar sengketa perbankan syariah bisa

diselesaikan dengan cepat dan fair berdasarkan prinsip syariah.

Sejak berdirinya pada tahun 1993, sampai saat ini, tidak banyak kasus yang

diselesaikan oleh Basyarnas. Data yang diperoleh tahun 2010 memperlihatkan

hanya 18 kasus yang telah diselesaikan. Proses penyelesaian sengketa dilakukan

dengan cara confidential sesuai dengan prinsip syariah di mana para pihak dilarang

untuk membuka aib pihak-pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase mengikat

para pihak yang bersengketa. Informasi yang diperoleh, mayoritas kasus dapat

diselesaikan secara damai, memuaskan dan tidak lebih dari 6 bulan.2

a. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) UU No. 8 tahun 1999

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013

2 http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-

indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.

Page 79: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

68

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa

perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan

cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah jelas

sebelumnya mengungkapkan pada Pasal 45 ayat (1) bahwa Setiap konsumen

yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal ini

menegaskan bahwa sengketa perlindungan konsumen yang diselesaikan melalui

jalur peradilan hanya bisa diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Umum.

Lahirnya undang-undang ini (UUPK) pada tahun 1999 adalah dimana

belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan

konsumen dalam bentuk ekonomi syariah. Ekonomi Syariah belum terlalu

menjadi sesuatu yang banyak dibahas dalam cakupan nasional. Perlindungan

konsumen yang dimaksudkan dalam undang-undang ini berbasis ekonomi

konvensional, walaupun sebenarnya pada saat itu sistem ekonomi yang berbasis

syariah sudah mulai terlihat kehadirannya.

b. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama pada pasal 49 huruf (i)

menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut

Page 80: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

69

Peradilan Agama dan diselesaikan oleh majelis hakim di Peradilan tersebut.

Pasal ini memberikan kesempatan yang lebih luas tentang kewenangan absolut

Peradilan Agama dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan

Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.

Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memuat

kewenangan absolut Peradilan Agama selama ini hanya terbatas kepada waris,

wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. UU No. 3 tahun 2006 tentang

Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah awal

dari penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan

Syariah di bawah naungan Peradilan Agama. Penambahan kewenangan ini

sangat sesuai dengan asas personalitas keislaman yang menjadi identitas dasar

dari Peradilan Agama. Hal ini karena ekonomi syariah adalah suatu sistem

keuangan dan bisnis yang berasaskan kepada prinsip-prinsip keislaman.

Tentunya hal ini sangat berkaitan dan memang seharusnya kewenangan ini

mutlak menjadi kewenangan Peradilan Agama.

c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Memperkuat legalitas kewenangan Peradilan Agama tentang sengketa

ekonomi syariah, tahun 2008 lahirlah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah yang lebih khusus membahas tentang perbankan syariah yang

merupakan salah satu dari bentuk ekonomi syariah yang dimaksud. Pasal 55

ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah dinyatakan

penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan dilingkungan Peradilan

Page 81: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

70

Agama. Namun kemudian yang memberi celah kepada penyelesaian di lembaga

peradilan lain dalam hal ini Peradilan Umum terdapat pada ayat selanjutnya

yang menyatakan jika diadakan aqad yang memuat pernyataan penyelesaian

yang lain dapat melalui Peradilan Umum. Penjelasan terkait hal ini dapat dilihat

dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun

2008 Tentang Perbankan Syariah.

Hadirnya UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini

memberikan suatu permasalahan baru. Bahwa kewenangan absolut yang secara

khusus diberikan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah dalam hal ini mengenai perlindungan konsumen justru

melahirkan dualisme kewenangan untuk penyelesaiannya antara Peradilan

Umum dan Peradilan Agama. Hal inilah yang kemudian membutuhkan

penyelesaian yang pasti mengenai lembaga peradilan yang berwenang.

d. Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Mengenai dualisme kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan

konsumen Lembaga Keuangan Syariah di atas, Mahkamah Konstitusi selaku

lembaga yang berwenang untuk melakukan perubahan dan revisi terhadap

peraturan perundang-undangan mengeluarkan putusan nomor 93/PUU-X/2012

tentang perubahan atas Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah dengan menyatakan bahwa Pasal tersebut dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum dalam amar putusannya. Oleh karena itu

Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang

Page 82: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

71

menangani sengketa ekonomi syariah. Hal ini dapat dikatakan sebagai puncak

dari perdebatan selama ini dan menjadi landasan sebagai legalitas kewenangan

Peradilan Agama secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa Lembaga

Keuangan Syariah (LKS) termasuk satu diantaranya adalah sengketa

perlindungan konsumen.

B. Argumentasi Empiris Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan

Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini mendapat banyak perdebatan di

kalangan ahli hukum. Adanya kemungkinan dualisme yang terdapat di dalam

penyelesaiannya mengharuskan adanya kepastian hukum untuk menjamin suatu

kepastian sebagai jalan penyelesaian yang harus ditempuh.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjelaskan di

dalam Pasal 45 poin (1) bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat

pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan

Peradilan Umum. Dengan aturan ini para hakim peradilan berpendapat berbeda

dengan tidak menyalahkan Undang-undang ini (UUPK) seluruhnya. Alasan yang

paling sering muncul adalah bahwa UUPK hadir sebelum kewenangan absolut

Peradilan Agama ditambahkan dengan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi

syariah pada tahun 2006 melalui UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah lagi dengan UU

Page 83: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

72

No. 50 Tahun 2009. Bahwa UUPK ini juga hadir sebelum UU No. 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah hadir.

1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen

dalam Lembaga Keuangan Syariah

Beberapa alasan dan pendapat para hakim Peradilan Agama mengenai

kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen

ekonomi syariah telah tertuang di dalam beberapa putusan yang terdapat di dalam

pertimbangan hukum terkait dengan permasalahan ini. Banyak diantara para

hakim yang sependapat bahwa seharusnya kewenangan menyelesaikan sengketa

perlindungan konsumen ekonomi syariah diselesaikan melalui Peradilan Agama.

Hal ini bukan saja dinyatakan oleh Majelis Hakim di Peradilan Agama itu sendiri,

beberapa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri dalam amar putusannya

mengadili bahwa Peradilan Umum tidak berwenang menyelesaikan sengketa

perlindungan konsumen ekonomi syariah. Namun tidak memungkiri dalam

putusan yang lain ada putusan majelis hakim Peradilan Agama yang belum berani

menyatakan hal yang sama dan masih mengikut kepada peraturan perundang-

undangan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang permasalahan ini

belum sepenuhnya diketahui oleh para hakim di peradilan.

Dari beberapa putusan yang telah penulis baca dan pelajari, pertimbangan

hukum yang mendasari pendapat para hakim peradilan mengatakan bahwa

sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah merupakan kewenangan

absolut Peradilan Agama.

Page 84: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

73

a. Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA. Bjb.

Putusan Peradilan Agama Banjarbaru ini adalah tentang aqad

mudharabah antara penggugat Moses Antonius melalui kuasa hukumnya

Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI

Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank

BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah

(KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini

menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya

terhadap perjanjian yang disepakati. bahwa hakim berpendapat tentang eksepsi

kompetensi tergugat perlu untuk majelis hakim bermusyawarah. Bahwa

penunjukan Peradilan Umum dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor

8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut lahir tahun 1999, sedangkan

kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa ekonomi syariah sejak tahun

2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu

kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah

yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Page 85: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

74

Nomor 93/PUU-X/2012, oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-

satunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa ekonomi syariah.

b. Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/ PA.Yk

Putusan Peradilan Agama Yogyakarta adalah tentang Antara penggugat

dan tergugat terlibat dalam kesepakatan mudharabah muqayyah executing

tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi

hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad,

penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung

klausula baku dan sepihak sehingga bertentangan dengan UUPK. Bahwa

tergugat dalam empat poin eksepsinya mengatakan bahwa Peradilan Agama

tidak berwenang tentang perkara yang dimaksud melainkan kewenangan

Peradilan Umum. Bahwa kemudian atas semua permohonan yang dimohonkan

penggugat dalam gugatan eksepsinya kemudian para hakim berpendapat bahwa

Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang tergugat katakan

bahwa Peradilan Agama Yogyakarta tidak berwenang menyelesaikan

perselisihan investasi mudharabah muqayyah adalah tidak tepat karena

merupakan salah satu dari kewenangan Peradilan Agama dalam Pasal 49 huruf

(i) UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah tentang perbankan

syariah sebagaimana tercantum di dalam pasal 55 UU No. 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah. Bahwa kemudian dengan semua pertimbangan yang

ada. Majelis Hakim berpendapat perkara yang dimaksud adalah kewenangan

yang termasuk dalam lingkungan Peradilan Agama.

Page 86: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

75

c. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk

Putusan PTA Yogyakarta ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta

di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan

banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta

terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas.

d. Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 0527/Pdt.G/2014/ PA. Gtlo

Putusan Peradilan Agama Gorontalo adalah tentang kredit murabahah.

Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk

melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini

adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah

atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo

melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan

majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyatakan perkara yang

dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah

prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun. Bahwa menurut para hakim

perkara yang dimaksud merupakan perkara yang diatur dalam perlindungan

konsumen dan harus diselesaikan di peradilan umum. Bahwa kemudian hakim

juga merasakan adanya sengketa ekonomi syariah di dalam perkara tersebut.

Namun hakim tidak begitu meyakini tentang ini dan menyatakan bahwa perkara

tersebut adalah perkara yang diwenangi oleh peradilan dalam lingkungan

Peradilan Umum. Atas dasar argumentasi ini kemudian para hakim menyatakan

tidak dapat menerima perkara tersebut.

Page 87: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

76

e. Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP

Putusan Peradilan Negeri Martapura ini adalah tentang Perkara antara

penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah

Indonesia Finance cabang Martapura. Selanjutnya YLKI mewakili konsumen

bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1

unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah

perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari

nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya

melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya

majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura

melainkan PA Martapura. bahwa hakim Peradilan Negeri Martapura

berpendapat bahwa memang Peradilan Agamalah yang berhak menyelesaikan

perkara tersebut. Bahwa badan usaha yang dimiliki tergugat adalah badan usaha

yang telah menyatakan diri tunduk kepada prinsip-prinsip syariah, sehingga

usaha ini adalah usaha syariah, hal ini terlihat dari namanya PT. Al Ijarah

Indonesia Finance Cabang Martapura, dan seluruh nasabah/konsumen badan

usaha ini adalah konsumen ekonomi syariah. Maka seharusnya menurut alasan

yang sama persis seperti alasan yang disampaikan hakim Peradilan Agma

Banjarbaru di atas, Peradilan Agamalah yang menyelesaikan perkara tersebut.

Bahwa segala persengketaan yang berkaitan dengan ekonomi syariah adalah

kewenangan absolut Peradilan Agama.

Page 88: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

77

2. Tabel Perbandingan Putusan Para Hakim Peradilan Agama dan Peradilan

Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Ekonomi

Syariah

No Nomor Putusan/ Nama Pengadilan

Tentang Perkara

Putusan Akhir

1 259/Pdt.G/2013/PA.BjbPA Banjarbaru

Adalah Moses Antonius melalui kuasa hukumnya Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah (KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya terhadap perjanjian yang disepakati.

Mengadili:(1) menyatakan mengabulkan eksepsi Tergugat.(2) menyatakan Peradilan Agama Banjarbaru tidak berwenang mengadili perkara ini. (namun perlu diperhatikan, bahwa maksud penolakan bukan karena Peradilan Agama tidak berwenang tentang perkara, namun lebih kepada kewenangan relatifnya yang ternyata salah. Hal ini tercantum dalam eksepsi).

2 0047/Pdt.G/2012/PA.YkPA Yogyakarta

Antara penggugat dan tergugat terlibat dalam kesepakatan mudharabah muqayyah executing tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad, penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung klausula baku dan sepihak sehingga

Mengadili:(2) Menyatakan Peradilan Agama berwenang untuk mengadili perkara tersebut.

Page 89: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

78

bertentangan dengan UUPK.

3 40/Pdt.G/2012/PTA.YkPTA Yogyakarta

Perkara ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas.

Mengadili:(1) Menguatkan putusan Peradilan Agama Yogyakarta tanggal 05 Juli 2012 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban 1433 Hijriyyah, nomor 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk. yang dimohonkan banding;

4 0527/Pdt.G/2014/PA.GtloPA Gorontalo

Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyetakan perkara yang dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun.

Mengadili:(1) Menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;

5 03/Pdt.G/2013/PN.MTPPN Martapura

Perkara antara penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah Indonesia Finance cabang Martapura.

Mengadili:(2) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara

Page 90: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

79

Selanjutnya YLKI mewakili konsumen bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1 unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura melainkan PA Martapura.

tersebut;

6 26/PDT.SUS-BPSK/2015/PN.GRTPN Garut

Perkara ini adalah sengketa antara pihak pertama Dadang Setiawan melawanpihak kedua PT. BPRS PNM Mentari. Dimana Dadang mengajukan gugatan atas keberatannya kepada pihak kedua yang telah menyalahi aqad sebagai mana tercantum di dalam UUPK mengenai perlindungan konsumen. Bahwa kemudian majelis hakim PN Garut yang menerima gugatan penggugat menyatakan bahwa sengketa yang dimaksud bukanlah sengketa perlindungan konsumen sebagaimana

Mengadili:(2) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Garut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

Page 91: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

80

dinyatakan UUPK diselesaikan di PN, namun para hakim menyatakan kewenangan menyelesaikannya adalah di PA Garut. Hal ini dikarenakan bahwa aqad yang dibangun oleh para pihak adalah aqad yang berpsinsip kesyariahan.

7 47/Pdt.G/2013/PN.KltPN Klaten

Pihak penggugat dalam perkara ini adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia melawan PT. Bank BRI Syariah kantor pusat Jakarta CQ. PT. Bank BRI Syariah cabang Yos Sudarso Yogyakarta. Bahwa penggugat dengan tergugat telah melakukian aqad murabahah terkait peminjaman penggugat kepada tergugat senilai Rp. 130.000.000. Namun telah terjadi tunggakan pembayaran oleh penggugat terhadap tergugat sehingga menimbulkan persengketaan antara para pihak. Sehingga PN Klaten yang sebagai pengadilan yang menerima gugatan penggugat tersebut menyatakan bahwa PN Klaten tidak berwenang menyelesaikan sengketa karena sengketa tersebut adalah sengketa perlindungan konsumen syariah dan harus diselesaikan di PA.

Mengadili:(1) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 47/Pdt.G/2013/PN.Klt. tersebut;

8 158/Pdt.G/2013/PN.Mlg

Perkara antara YLKI,dkk melawan PT. Bank

Mengadili:(2) Menyatakan

Page 92: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

81

PN Malang Tabungan Negara Syariah cabang Malang. Bahwa penggugat telah melakukan aqad murabahah dengan pihak kedua terkait pembiayaan pembelelian satu unit rumah. Namun di tengah perjalanan pembiayaan tersebut penggugat mengalami kemacetan pembayaran kepada pihak bank yang menyebabkan kepada pelelangan jaminan yang diberikan penggugat kepada tergugat. Penggugat merasa kebertan dan mengajukan gugatan melalui YLKI kepada PN Malang. Selanjutnya PN Malang yang menyidangkan perkara ini menyatakan bahwa sengketa tersebut bukanlah kewenangan PN Malang, akan tetapi merupakan kewenangan PA.

Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara ini;

Dari delapan putusan peradilan yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat

bahwa sebenarnya dari para hakim itu sendiri telah mengetahui dan sependapat

tentang kewenangan absolut Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa

perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau bisnis

syariah. Bukan hanya hakim di Peradilan Agama saja yang menegaskan tentang

kewenangan untuk menyelesaikan perkara ini, beberapa putusan lain justru

diputuskan oleh majelis hakim di Peradilan Negeri yang dalam amar

Page 93: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

82

putusannya menyatakan Peradilan Umum tidak berwenang untuk mengadili

perkara ekonomi syariah terutama perkara perlindungan konsumen.

Dari kedelapan putusan tersebut di atas, dua putusan Peradilan Agama

menyatakan Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara sengketa

perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan Tinggi

Agama menguatkan putusan Peradilan Agama yang menyatakan berwenang

untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi

syariah. Empat putusan Peradilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang

untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi

syariah. Satu putusan Peradilan Agama yang menyatakan tidak berwenang

untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi

syariah.

Putusan di atas memperlihatkan betapa sebenarnya para hakim

mengetahui tentang kewenangan absolut Peradilan Agama untuk

menyelesaikan perkara yang dimaksud. Namun apa yang terdapat di dalam

putusan Peradilan Agama Gorontalo juga memperlihatkan bahwa memang

masih ada beberapa hakim yang belum mengetahui tentang kewenangan ini

secara mendalam. Tentu seharusnya hal yang semisal putusan Peradilan Agama

Gorontalo ini tidak terjadi karena legalitas untuk permasalahan ini dapat dilihat

kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Page 94: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

83

C. Analisis Kewenangan Peradilan Agama Menyelesaikan Sengketa Perlindungan

Konsumen dalam Ekonomi Syariah

Penelitian yang penulis lakukan adalah dengan melihat secara lebih mendalam

tentang analisis yuridis dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan

(Statute Approach) dan menggunakan pendekatan putusan atau kasus yang terjadi

(Case Approach). Hasilnya setelah melihat dan mempelajari peraturan perundang-

undangan yang mengatur terkait permasalahan penelitian penulis serta melihat

putusan-putusan mengenai kewenangan absolut dalam menyelesaiakan sengketa

ekonomi syariah di atas, penulis memperkuat pendapat para hakim Peradilan Agama

yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan

yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai

dengan alasan-alasan yang mendasarinya. Diantaranya;

1. Asas Lex Specialis derogate legi generali (Hukum yang khusus mengalahkan

hukum yang umum)

Dalam istilah hukum kita temukan asas ini bahwa undang-undang yang

secara khusus telah mengatur suatu perihal yang diundangkan memiliki kekuatan

hukum yang lebih kuat dari pada perundangan yang masih secara umum mengatur

tentang perkara yang dimaksud. Dimana kedudukannya akan lebih diutamakan

sebagai sumber rujukan dan yang lebih diprioritaskan dalam prakteknya.

Dalam hal ini sangat berkaitan bahwa Undang-undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) telah membahas secara global mengenai perlindungan

konsumen. Namun tetap harus menjadi perhatian di kalangan ahli hukum bahwa

Page 95: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

84

kehadiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah

adalah undang-undang yang khusus dan mengkhususkan pengaturan tentang

perbankan syariah termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa.

Di sini kemudian diperlukan skala priotas yang seharusnya lebih

didahulukan, bahwa memang segala urusan mengenai perbankan syariah

merupakan suatu prihal yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Hal

ini sangat sejalan dengan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 yang menyatakan demikian.

Sehingga penulis beranggapan bahwa kekuatan UUPK yang menyatakan bahwa

Peradilan Umum lah yang berwenang menyelesaikan sengketa Perlindungan

Konsumen akan menjadi berbeda ketika prinsip usaha barang dan/atau jasa yang

dimaksud adalah yang berbasis syariah, dan hal ini merupakan pengkhususan yang

dimaksud.

2. Lex posterior Derogat legi priori (Hukum yang baru mengalahkan hukum yang

lama)

Di dalam asas ini juga terdapat persamaan dengan apa yang terjadi di atas,

bahwa di dalam perundang-undangan akan selalu terjadi perubahan/revisi terhadap

suatu peraturan yang telah diberlakukan sebelumnya. Hal ini karena prinsip hukum

akan selalu berkembang dengan seiring perkembangan waktu dan zaman.

Istilah ini juga terjadi di dalam perjalanan penerapan hukum Islam yang

dibawa Rasulullah SAW bagaimana penerapan hukum itu dinamis dan

berkembang sesuai dengan waktu dan zaman berlakunya. Bukan berarti hukum

Page 96: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

85

bisa diubah seenaknya, pengembangan hukum tetap harus menghadirkan

ketentuan sebelumnya, tidak menyalahi aturan yang lebih tinggi darinya. Dengan

pengoptimalan untuk menghadirkan produk hukum akan memberikan kenyamanan

yang lebih baik kepada masyarakat hukum tersebut. Dalam proses pengkajian

hukum Islam inilah yang kemudian dikenal istilah Al-quran, Al-hadits, ijma’,

qiyas dan lainnya.

Dalam hukum positif asas ini bisa saja terjadi dimana hukum yang telah ada

dan mengatur sebelumnya telah terhapus dengan hadirnya undang-undang atau

peraturan yang baru yang mengatur kepada prihal yang sama. Sehingga tetap

dalam perubahan tersebut tidak meniadakan istilah dan asas hukum yang lain yang

seharusnya tidak dilanggar dalam penerapannya.

Hal ini yang kemudian dapat dilihat dari kapan diundangkannya suatu

undang-undang. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) lahir pada

tahun 1999 yang secara umum mengatur tentang perlindungan konsumen secara

keseluruhan. Kemudian UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul menyatakan sengketa ekonomi

syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Tahun 2008 lahir pula UU No 21

tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan penyelesaiannya di

dalam lingkungan Peradilan Agama. sehingga Pasal 45 UUPK yang menyatakan

sengketa perlindungan konsumen diselesaikan di Peradilan Umum harus dibaca

Peradilan Agama, karena tidak berlaku lagi dengan adanya peraturan yang baru.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Page 97: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

86

Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa

sebagaimana dimaksud pada Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah yang kemudian membuka kesempatan untuk

penyelesaian dilingkungan Peradian Umum maka dikeluarkanlah Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Hal ini karena banyak para pihak

yang sedang bersengketa melakukan eksepsi kepada Peradilan Agama atas

kewenangan absolutnya menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Menurut para

pihak melalui kuasa hukumnya perlindungan konsumen merupakan kewenangan

absolut Peradilan Umum. Kemudian disisi lain ekonomi syariah adalah

kewenangan Peradilan Agama. Termasuk di dalamnya sengketa perlindungan

konsumen dalam ekonomi syariah. Dengan terbitnya putusan Mahkamah

Konstitusi ini seluruh sengketa yang berkaitan dengan ekonomi syariah merupakan

kewenangan yang mutlak di Peradilan Agama dan putusan ini sekaligus menjadi

jawaban dari pertanyaan tentang permasalahan ini selama ini.

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 ini adalah

sebuah aturan yang kekuatan hukumnya mengikat dan bersifat final. Hal ini karena

keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Ketika

Mahkamah Konstitusi menggunakan haknya sebagai negativ legislator ini, maka

putusan tersebut dibacakaan di depan sidang yang terbuka untuk umum maka

otomatis sejak saat ini Pasal tentang penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21

Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi sehingga Peradilan Agama adalah lembaga

Page 98: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

87

peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam

ekonomi syariah.

4. Asas Personalitas Keislaman di Peradilan Agama

Asas yang secara khusus hanya terdapat di Peradilan Agama ini adalah salah

satu dalil yang mengharuskan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus diselesaikan di lembaga peradilan dalam

dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 49 UU

No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun

2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan

bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang

diatur dalam Undag-undang ini”. Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan

kewenangan lainnya.

Dengan pernyataan yang terdapat di Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Agama

ini sangat sejalan dengan asas yang dimaksud. Bahwa perkara ekonomi syariah

adalah perkara yang terdapat prinsip-prinsip keislaman di dalamnya, baik itu orang-

orangnya (para pihak) maupun lembaga atau organ yang terdapat di dalamnya.

Sehingga seharusnya penyelesaian sengketa ini dikembalikan kepada lembaga

peradilan yang secara kewenangannya mengurusi kepentingan perkara yang berkaitan

dengan prinsip-prinsip keislaman yaitu Peradilan Agama.

Page 99: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya mengenai kewenangan Peradilan

Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen Lembaga Keuangan

Syariah (LKS) dalam sengketa ekonomi syariah penulis mengambil kesimpulan

dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalah yang penulis

berikan.

Secara Peraturan Perundang-undangan, sengketa perlindungan konsumen dalam

ekonomi telah di atur oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)

atau UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang

ini dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen yang diselesaikan melalui lembaga peradilan diselesaikan di

Peradilan Umum. Bila melihat pasal ini secara umum Peradilan Agama tidak

memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen

ini secara kewenangan absolutnya karena telah dibatasi oleh kewenangan yang

diberikan kepada Peradilan Umum.

Jangkauan kewenangan Peradilan Agama mewenangi penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen dalam ekonomi yang berbasis syariah ditandai dengan

lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) menambahkan kewenangan absolut

Peradilan Agama menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dengan

Page 100: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

89

diberikannya kewenangan ini menimbulkan suatu peralihan yang harus

dialihkan dari yang sebelumnya perkara termasuk kedalam kewenangan

Peradilan Umum kemudian diselesaikan di Peradilan Agama. UU No. 21 tahun

2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55 menyatakan bahwa sengketa dalam

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) diselesaikan di Peradilan Agama. Namun

ayat kedua dari Pasal ini membuka celah untuk penyelesaiaan sengketa

konsumen keuangan syariah diselesaikan di Peradilan Umum. Hal ini

menimbulkan dualisme kewenangan, karena tidak mungkin ada dua peradilan

yang menjadi tempat penyelesaian untuk satu kasus yang telah dikhususkan

menjadi kewenangannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-

X/2012 tentang revisi dan perubahan terhadap Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU

No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan jalan keluar dari

persoalan dualisme kewenangan ini. Putusan ini menyatakan bahwa Pasal ini

dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan putusan ini, segala

sengketa yang muncul dalam ekonomi syariah mutlak diselesaikan di Peradilan

Agama ketika memilih jalur litigasi.

Secara pendekatan terhadap putusan pengadilan mengenai kewenangan

menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah para

hakim dalam amar putusannya telah menyatakan bahwa kewenangan ini

merupakan kewenangan yang khusus bagi Peradilan Agama. Putusan yang

menyatakan demikian bukan hanya terdapat dalam putusan Peradilan Agama

saja. Dari delapan putusan yang penulis pelajari, dua putusan Pengadilan

Page 101: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

90

Agama menyatakan Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara

sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan

Tinggi Agama menguatkan putusan Pengadilan Agama yang menyatakan

berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen

dalam ekonomi syariah. Empat putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan

tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan

konsumen dalam ekonomi syariah. Satu putusan Pengadilan Agama yang

menyatakan tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa

perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.

2. Kemudian yang menjadi legalitas tentang kewenangan absolut Pengadilan

Agama menyelesaikan sengketa lembaga keuangan syariah dapat dilihat dari

analisis yuridis terhadap peraturan undang-undang terkait permasalahan ini dan

analisis empiris terhadap putusan-putusan lembaga peradilan yang telah

diputuskan terkait sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.

Hasil akhir dari analisis yuridis dan empiris mengenai sengketa perlindungan

konsumen dalam ekonomi syariah membuktikan bahwa sengketa perlindungan

konsumen dalam ekonomi syariah menjadi kewenangan khusus yang

diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini kemudian didukung

dengan beberapa istilah dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam dunia hukum.

Beberapa asas dan istilah yang memperkuat dalil tentang kewenangan Peradilan

Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi

syariah diantaranya; Asas Lex Specialis derogate legi generali, Lex

Page 102: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

91

posterior Derogat legi priori, kemudian ditambahkan dengan asas

personalitas keislaman yang dimiliki oleh lembaga Peradilan Agama.

3. Dalam praktiknya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen syariah pada

hakikatnya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen dalam sistem ekonomi konvensional. Dari beberapa

putusan terkait persoalan tersebut menyatakan bahwa kewenangan ini memang

merupakan kewenangan lembaga Peradilan Agama. Hal ini bukan saja

dinyatakan oleh majelis hakim dalam Peradilan Agama itu sendiri. Hal yang

sama juga dinyatakan oleh lembaga Peradilan Umum. Namun bila dilihat dari

jumlah perkara yang diselesaikan masih sangat minim persidangan yang

dilangsungkan mengenai sengketa perlindungan konsumen di Peradilan Agama.

Hal ini bukan hanya karena kewenangannya yang dapat dikatakan masih baru

namun juga karena banyaknya kesempatan untuk memilih lembaga lainnya di

luar peradilan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.

B. Saran-saran

Sebagai penutup dari kesimpulan di atas, penulis menyertakan beberapa saran

mengenai kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan

konsumen dalam perbankan syariah mengenai ekonomi syariah:

1. Agar kiranya dikeluarkan peraturan atau perundang-undangan yang baru

sebagai penyempurna dari peraturan yang ada sebelumnya yang secara rinci dan

jelas mengatur tentang ekonomi syariah dan bagaimana proses penyelesaian

sengketa yang ada di dalamnya. Hal ini untuk menjamin para konsumen

Page 103: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

92

sebagai pemakai atau orang yang mengambil manfaat dari suatu produk barang

dan/atau jasa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Sebagaimana

seharusnya antara produsen dan konsumen atau semua pihak menjalankan

prinsip jual-beli secara Islami dan menyelesaikan persengketaan juga dengan

cara-cara yang Islami.

2. Sangat diperlukan adanya penegasan yang secara hukum memiliki kekuatan

hukum yang kuat bahwa Peradilan Agama adalah lembaga Peradilan yang

memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang

berkaitan dengan ekonomi syariah. Karena syariah yang dimaksud adalah suatu

konsep yang diperkenalkan oleh Islam yang kemudian Peradilan Agama adalah

peradilan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beragama Islam.

Sebagaimana Peradilan Agama memiliki asas personalitas keislaman.

3. Agar Negara memfokuskan suatu upaya untuk menciptakan hakim-hakim yang

memiliki kompetensi yang mapan mengenai ekonomi syariah secara

keseluruhan. Sebagaimana penulis melihat bahwa tidak dipungkiri banyak

Hakim-Hakim di Peradilan Agama sendiri yang belum begitu memahami

ekonomi syariah itu sendiri secara mendalam.

4. Penelitian ini masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan

memerlukan lanjutan, khususnya mengenai proses penyelesaian sengketa

ekonomi secara lebih mendalam.

Page 104: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

93

DAFTAR PUSTAKA

A. BukuReferensi

Alquran al-Karim

Ahmad Noeh, Zainidan Adnan, Abdul Basit, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia, jakarta; Kencana, 2008.

As-siddieqy, Hasby,Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta; PT. Ma’arif,1994.

Asyhadie, Zaeni, HukumBisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012, cet. Ke-6.

DelfaYona,Rika, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam MengeksekusiPutusan Arbitrase Syariah , Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010.

Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2.Jakarta: KENCANA, 2010.

Echlos, Jhon M. dan Sadily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta; Gramedia,1995.

Ganda Subrata, Purwoto S, Dengan Etikadan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawadan Martabat hakim Indonesia, Jakarta; Bina Yustisia MahkamahAgung RI, 1994.

Ganda Subrata, Purwoto S, TugasdanFungsi Hakim, Jakarta; BinaYustisiaMahkamahAgung RI, 1994.

Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalamsistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung: P. T. ALUMNI, 2003.

Page 105: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

94

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Bandung; Citra AdityaBakti, 1997.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993.

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, DanputusanPengadilan, Jakarta; Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-9.

Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan AcaraPeradilan Agama, Jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997. Cet. Ke-3

HasanBisri, Cik,Peradilan Agama di Indonesia,Jakarta; Pt. RajawaliGrafindoPersada, 1996.

Hasan, Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Perkara EkonomiSyariah, Depok: Gramata Publishing, 2010.

Hasan, Hasbi, KompetensiPeradilan Agama, Dalam Penyelesaian PerkaraEkonomiSyariah, Depok;Gramata Publishing, 2010.

IdrisRamulyo, Moh,Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hill Co, 1991.

Irsyad, Syamsuhadi, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, Makalah, 10 Juli 2006.

Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; UIN Jakarta/FSH, 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Depdikbud, BalaiPustaka, 1996, Cet. Ke-7.

Kansil, C.S.T., dan Kansil, Christie S.T., Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta; sinar grafika, 2010, Cet. Ke-5.

Kartika, Elsi danSimanunsong, Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT. Grasindo, 2008, cet. Ke-5.

Mabruri Thallah, Abdul Mujib, Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-3.

Manan, Abdul ,Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama, Jakarta: KENCANA, 2012.

Page 106: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

95

Manan, Bagir, Tugas hakim: Antara Melaksanakan FungsiHukum dan TujuanHukum Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung,Jakarta; Dirjen PA, 2007.

Miru, Ahmadi & Yudo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007.

Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; PT. Rajawali GrafindoPersada, 2004.

Muhammad danAlimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta; BPFE, 2004.

Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar, 1995.

Poerwadarminta, WJS.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; BalaiPustaka, 1976.

RiszaIdris, Hendi, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya, Majalah Hidayatullah EdisiMaret 2007.

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, Jakarta; Universitas Indonesia, 2004.

Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Sofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002.

Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Vollenhoven, C. Van,Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta; Djambatan-Inkultra Foundation Inc., 1981.

Warson, Ahmad, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia),Jakarta; M. Jakarta, 1996.

Wingjosoebroto, Soetandoyo, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: SuatuTelaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar SosiologiHukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989.

Page 107: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

96

Wulan Sutantio, Retno dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori danPraktek, Bandung, Mandar Maju, 1989.

Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang; UIN-Malang UIN-Malang Press,2008.

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; Kencana, 2013.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 45)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah denganUndang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang PerbankanSyariah.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tentang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia, Palembang, tahun 2009.

C. Internet

http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.

http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkup-manfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.

Page 108: KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33515/1/M. AZHAR... · semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka,

97

http://Wikipedia.org/wiki/ Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia. Diakses Rabu, 23 september 2015 pukul 13.00 WIB.

http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.

D. Penelitian dan Skripsi

Hazzaziev, Djawahir.“Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah,” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Melianah. “Proses Pembuatan Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam PerspektifUndang-undang Perlindungan Konsumen (studi kasus pada Bank SyariahMandiri),”Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2014.

Abdul, Hafid Nur. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,”Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.

E. Putusan Mahkamah Agung

Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA.Bjb.

Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk

Putusan Peradilan Tinggi Agama Yogyakarta No 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk

Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo

Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP

Putusan Peradilan Negeri GarutNo. 26/PDT.SUS BPSK/2015/PN.GRT

Putusan Peradilan Negeri Klaten No.47/Pdt.G/2013/PN.Klt

Putusan Peradilan Negeri Malang No.158/Pdt.G/2013/PN.Mlg