Upload
lamthuan
View
232
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
i
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH
(Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
M. AZHAR RIZKI DALIMUNTHENIM : 1111044100002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M AP R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A
1437 H/2016 M
KEWENANGAN PERADILAN AGANIA NIENYELESAIKAN SENGKETA
PERLINDUNGAN KONSUNIEN DALAIVI EKONONTI SYARIAH
(AnalisisYuridisTerhadap Peraturan Perundang-undangan DanPutusanPengadilan TentangPerlindunganKonsurncnDalamEkonorniSyariah)
Skripsi .Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Saijana Syariah (S.Sy)
OIeh:
M. T\ZH.\R RIZKI DALI]\IUNTHE,NINI : 1 11 1044100002
Pembimbing
H. Ah. Azharu in Lathif, M.AgNIP: 197 200112 I 001
PROGRFAKU
UNI
A IVI ST UD I HUKU IUKELUARGALTAS SYARIAH DAN HUKUMVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF TIIDAYATULLAHJAKARTA
1437 Ht20t6Nl
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skipsi ini berjudul "KEWENANGAN PERADILAN r\Gr\llIA I'IENYELESAIKAN
SENGKETA PERLINDUNGAN KONSU]VIEN DALAI\{ EKONOIVII SYARI,\II
(Analisis Yuridis Terhadap Peruturan Perundang-undangln dan Putusan Peng*tlilan'Ientang Perl!ndungan Konsumen dnlam Ekononri Syariah)" telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah Fakultas Syariah dan Flukum Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Ja.karta pada tanggal 9 Mei 2016 2 Sya'ban 1437 H. Skripsi ini telah diterima sebagai salalr
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Huh.rm Keluarga.
Jakarta,09 Mei 2016
Mengesahkan
l)ekan Fakultas Syariah dan
PANITIAN UJIAN
: Dr. H. Abdul Halim^ M.A€;NIP 1 96706081994031 005
: Ario Purkon. MA.NrP 19790427 20031.2LA02
MTJNAQ
Ketua
Sekretaris
Pembimbing
Penguji | .
Penguji l l
. . . . . , . . )
- . . . . . . . . . . . . )
H. Ah. Azharuddin_Lathif. MAgNI P 1 9740725200L1,27007
:!t. Mesraini. SH. M.AgNtP 197602132003 121002
: Hotnida Nasution S.Ag. M.ANtP 19720224199803 1003
( . . . . . . . . . . . .
{ ...... .... ... .....
. . . . . . . . )
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli Saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 12 Februari 2016
Muhammad Azhar Rizki
v
ABSTRAK
MUHAMMAD AZHAR RIZKI DALIMUNTHE, NIM: 1111044100002, “KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Syariah)” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi 97 halaman.
Skripsi ini bertujuan memberikan suatu khazanah baru tentang permasalahan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah di Indonesia. Sebagaimana mestinya Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang dimaksud.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian melalui Perundang-undangan (statute approach) dan melalui pendekatan kasus (case approach) atau dapat dikatakan sebagai pendekatan melalui putusan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan putusanpengadilan, data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan analisis penelitian kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Peradilan Agama. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa UUPK sebagai Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan penyelesaian sengketa diselesaikan di Peradilan Umum lahir sebelum kewenangan absolut Peradilan Agama ditambahkan untuk kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Pasal 49 huruf (i) UUPA. Selanjutnya bila melihat putusan-putusan pengadilan, putusan Peradilan Agama juga putusan Peradilan Umum telah menyatakan kewenangan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai kewenangan ini para hakim mengambil dasar hukum kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang membuka peluang penyelesaiaan sengketa di Peradilan Umum dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga kesimpulannya adalah Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Ekonomi Syariah, Peradilan Agama.
Pembimbing : H. Ah. Azharuddin lathif, M.Ag
Daftar Pustaka: Tahun 1983-2015
vi
KATA PENGANTAR
Kesyukuran dengan penuh kesadaran atas segala nikmat yang tak pernah
berhenti dari Allah SWT. Tak ada lafal tertinggi kecuali puji syukur yang
dipanjatkan seorang makhluk kepada tuhan penyeru alam yang telah menciptakan
dunia dan seisinya. Hanya kepada Dia kita menyembah, kepada Dia kita memohon
petunjuk dan pertolongan. Dengan kehadiran-Nya pulalah sehingga kiranya
terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini dengan sebagaimana mestinya.
Tak ada seorang makhluk yang paling kikir dan pelit di dunia kecuali ia yang
enggan bersholawat atas sebuah nama Muhammad. Dia seorang makhluk terpuji
yang telah mengantarkan kita kepada sebuah tatanan kehidupan yang penuh dengan
keteraturan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih antara sesama makhluk dengan
nuansa keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan kiranya kita
mendapatkan syafa’at yang menolong kita pada hari pembalasan.
Tentunya penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari segala pencaharian studi
yang penulis lakukan. Mudah-mudahan penulisan karya ilmiah ini mengantarkan
penulis kepada penulisan-penulisan berikutnya pada jenjang dan tingkatan yang lebih
tinggi. Dengan kebesaran hati dan penuh rasa haru Saya persembahkan tulisan ini
kepada sosok yang telah mendidik dan membesarkan penulis hingga sampai pada
titik akhir pencapaian di perkuliahan Strata Satu (S1) ini, Ayak dan Omakku tercinta,
Bapak Asrul Haidir Dalimunthe, S.Pd dan Ibu Nureha Tanjung. Mudah-mudahan
setiap tetesan keringat dan air mata yang menetes serta doa yang dipanjatkan adalah
bukti penghambaan kita kepada Allah SWT.
Tidak lupa, penulis dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih
kepada orang-orang yang turut mempengaruhi Hamba dalam mendewasakan penulis,
yang terhormat:
vii
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta;
2. Dr. H. Abdul Halim, MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta,
yang juga sebagai sosok yang banyak membantu dan memotivasi penulis,
memberikan semangat, dorongan dan motivasi untuk selalu optimis. Juga
kepada Bapak Arif Furqon, MA., Sekretaris program Studi Hukum
Keluarga.
3. H. Ah. Azharuddin lathif, M. Ag., sebagai pembimbing yang telah
mencurahkan keilmuannya dan membimbing penulis dengan penuh
perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam penulisan skripsi ini hingga
terselesaikan dengan sebagaimana mestinya.
4. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah
banyak membantu memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di
“Kampus Hijau” ini.
5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pustakawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Pustakawan
Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), yang telah memberikan rujukan
pustaka kepada penulis.
6. Sahabat WHITE HOUSE tercinta, kamar 1 sampai 15, abanganda Abdul
Karim Munthe, S.Sy, S.H, Lc, M.H, sahabat, abang, juga pemompa
semangatku. Abanganda Zullisan, Zuki, Fikri, Syawal, Habib, Eka, Hakim
dkk. Kepada Ibu Kost, orang tua kami di perantauan.
viii
7. Saudara-saudaraku di lingkungan Keluarga Besar Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum. Sahabat seperjuangan dari semester 1 sampai akhir
perkuliahan.
8. Keluarga tercinta, kedua Almarhum Uakku, Uda Ucok, Uda Kamar, sanak
saudara, abang tercinta M. Riswan Rizal. D, S. Pt., kakak tercinta Devi
Fitriani Br. D, Am. Kom., Kedua adikku M. Irfan Salim D., dan M. Zikri
Salsabila D., kalian berdua harus semangat belajar. Kalian semua adalah
semangat tiada akhirku.
9. Kepada penghibur laraku, yang setia menemani hari-hariku dalam keadaan
apapun, dendang rang minang takana juo. Untuk gadiah-gadiah minang
Diah Maisa, Vanny vabiola, Yona Irma, Ratu Sikumbang, Hayati kalasa dll.
Terutama untuk nasyid kerenku Maidany.
10. Sahabat Seperjuanganku Taufiq rezeki Saragih, sahabat selamanya, juga
kepada Husnul Azmi Ritonga yang telah meninggalkan kami lebih dulu di
Jakarta, Mufida Warni, Faisal Tanjung, Syaikhku Raihan Al-Ghiffary, Deni,
Muhsin si Ustadz, Roni dan sahabat laiinnya.
11. Sahabat perjuangan di Organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Ciputat, HMI Kompaksy, Lembaga Bantuan Hukum HMI
(LKBHMI), Keluarga Besar Peradilan Agama (KBPA), teman-teman di
Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat, sahabat seperjuangan di Forum
Komunikasi Alumni Daarul Uluum (FKADU-Jakarta), Kawan-kawan di
Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) Jakarta, Himpunan Mahasiswa
Labuhanbatu Raya (HIMLAB Raya jakarta), Komunitas Mahasiswa
Sumatera Utara (KMSU), Keluarga Besar Pondok Pesantren Al-Quran
NURMEDINA Pondok Cabe, Ikhwan dan Akwat di UKM Lembaga
Dakwah Kampus (LDK Syahid), Adik-adikku di Ikatan Persaudaraan
Pemuda dan Remaja Islam Masjid An-Nur (IP-PRIMA).
ix
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang sangat
membantu kepada penyelesaian tugas perkuliahan yang panjang ini. Semoga Allah
SWT senantiasa membimbing kita kepada jalan kesabaran. Semoga kita mencapai
nilai pengabdian yang sangat tinggi di sisi Allah. Amien ya rabbal alamien.
Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 15 Maret 2016
Muhammad Azhar Rizki Dalimunthe
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR....................................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah.............................................. 10
C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian........................................................ 12
D.Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 13
E.Kerangka Konseptual ........................................................................ 14
F.Metode Penelitian .............................................................................. 15
G.Sistematika Penulisan ....................................................................... 18
BAB II EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN
AGAMA DI INDONESIA................................................................. 20
A. Pengertian Peradilan Agama........................................................... 20
B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama ...................................... 22
1. Dasar Hukum Peradilan Agama.................................................. 22
2. Asas-asas Peradilan Agama ........................................................ 24
C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama................................................ 26
1. Tugas dan Fungsi Memberikan Keadilan (Yudisial) .................. 26
2. Tugas Non Yudisial..................................................................... 27
D. Kedudukan Peradilan Agama Di Indonesia .................................... 28
E. Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia .................................. 33
F. Hukum Acara Di Peradilan Agama ................................................. 39
xi
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN
DI INDONESIA ................................................................................ 41
A. Pengertian Perlindungan Konsumen .............................................. 41
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen........................................... 42
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ...................................... 43
D. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen .............................. 45
E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ............................................... 48
1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen
non Litigasi................................................................................. 49
2. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Litigasi .......... 59
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM EKONOMI SYARIAH...................................................... 64
A. Argumentasi Yuridis Penyelesaian Sengketa
Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah ................... 64
B. Argumentasi Empiris Penyelesaian Sengketa
Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah................... 70
1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa
Perlindungan Konsumen dalam Lembaga
Keuangan Syariah....................................................................... 71
C. Analisis Kewenangan Menyelesaikan Sengketa Perlindungan
Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah ............................. 77
BAB V PENUTUP............................................................................................ 82
A. Kesimpulan ..................................................................................... 82
B. Saran................................................................................................ 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan Agama di Indonesia, merupakan salah satu institusi pelaksana
kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.1
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaan
kehakiman yang mempunyai kedudukan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya,
seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam
menegakkan hukum dan keadilan.2 Hal ini dipertegas dengan hadirnya Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian ditambah
dan diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian diubah dengan
UU. No. 48 Tahun 2009. Kemudian dalam pelaksanaannya, Peradilan Agama berada
di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.
Selanjutnya dalam perjalanan dan eksistensinya, Peradilan Agama mengalami
pasang surut yang panjang. Dalam rentang waktu lebih dari 12 tahun sejak
1 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di
Indonesia, (Bandung: P. T. ALUMNI, 2003), h. vii.
2 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem …., h. 33.
2
Proklamasi Kemerdekaan RI (yakni, tahun 1945-1957) terkait dengan keberadaan
Peradilan Agama di Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan penyerahan
Peradilan Agama kepada Kementerian Agama.3 Sampai akhirnya Peradilan Agama
disatu atapkan dengan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Dengan penyetaraan Peradilan Agama dengan peradilan lainnya memberikan
kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan dan mengadili perkara yang
menjadi kewenangannya secara mandiri. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama telah menjelaskan apa saja yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama untuk menyelesaikannya.
Pasal 49(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:a. Perkawinanb. Kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 maka harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.4
3 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2. (Jakarta: KENCANA,
2010), h. 61. 4 Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h.104-105.
3
Mengenai kewenangan Peradilan Agama ini, untuk saat ini telah terjadi
beberapa perubahan dan penambahan pada dua pasal ini. Dengan adanya amandemen
UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU. No. 3 Tahun 2006
dan kemudian diamandemen lagi menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 menambah
kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan
sengketa perdata antara orang Islam. Salah satu kewenangan baru dalam undang-
undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syari’ah sebagai
kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49.
Kemunculan otonomi ekonomi syariah ke permukaan ditandai dengan
terselenggaranya The First International Conference in Islamic Ekonomic di Makkah,
Arab Saudi, Tahun 1976. Bahkan banyak yang menyatakan hampir semua tokoh yang
hadir pada waktu itu sepakat, bahwa konferensi tersebut menjadi titik tolak awal
perjalanan ekonomi Islam di kemudian hari.5
Di Indonesia sendiri perkembangan ekonomi syariah begitu pesatnya, hal ini
sangat didukung dengan keberadaan Indonesia yang memang berpenduduk mayoritas
Islam terbesar di dunia, meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah
dan usaha syariah lainnya.6
Sebagai contoh perbankan syariah yang berkedudukan sebagai badan usaha
yang bergerak dalam bidang pengumpulan dana masyarakat. Tak ubahnya dengan
5 Hendi Risza Idris, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya,
(Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2007), h. 36.
6 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia…, h. 169.
4
pengumpulan dana umum yang bersifat konvesional, dalam praktiknya kemungkinan
timbulnya sengketa tetap ada. Timbulnya sengketa ini adalah karena dalam
praktiknya sistem syariah ini juga diikat oleh kesepakatan di dalam akad.
Selanjutnya dalam perbankan syariah, masyarakat yang turut menjadi peserta
dalam pengumpulan dana (nasabah/kreditur) disebut sebagai konsumen, sedangkan
bank yang menjadi pelaksana pengumpulan dana (debitur) disebut sebagai produsen.
Kesepakatan antara produsen dan konsumen inilah yang kemudian sering
menimbulkan permasalahan dan sengketa dalam praktik perbankan syariah.
Kemudian masalah yang banyak timbul adalah mengenai hak-hak konsumen yang
seharusnya dikembalikan kepadanya. Permasalahan inilah yang kemudian berkaitan
dengan perlindungan konsumen.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hadir
merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah
yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen
umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan
pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya
saing.7
Mengenai sengketa perlindungan konsumen Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen telah menjelaskan di Pasal 45 ayat (1):
7 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), h. 65.
5
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.”8
Selanjutnya dalam Pasal 49 huruf (i) menyatakan bahwa ekonomi syariah
menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3
tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
bahwa hal-hal yang kemudian termasuk ke dalam ekonomi syariah salah satu
diantaranya adalah perbankan syariah. Sehingga penyelesaian sengketa perbankan
syariah ini adalah kewenangan Peradilan Agama.
Lebih jelas undang-undang mengatur tentang perbankan syariah. Undang-
undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan pada Pasal 55
ayat 1 bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian Pasal 55 ayat 2 menjelaskan dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Lalu
bila dilihat dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) ini muncul suatu permasalahan
yang menyebabkan tidak konsistennya penyelesaian sengketa perbankan syariah
bahwa:
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah;
8 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 223.
6
b. mediasi perbankan;c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lain; dan/ataud. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Hal di atas kemudian menjadi permasalahan yang layak untuk dilakukan
penelitian mengenai tentang kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan
konsumen perbankan syariah dalam ekonomi syariah. Peradilan manakah sebenarnya
yang berhak menyelesaikan sengketa tersebut, apakah Peradilan Agama secara
mutlak atau Peradilan Umum?
Mengenai kewenangan absolut ini, pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi dikeluarkan putusan nomor 93/PUU-
X/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Keputusan ini
selayaknya menghapuskan kewenangan Peradilan Umum untuk dapat menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Putusan ini kemudian menjadi dalil hukum para Majelis
Hakim di Peradilan Agama untuk semakin meyakini kewenangannya untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia dan merdeka secara
kewenangan relativ dan absolutnya. Namun di sisi lain masih banyak Hakim-hakim
di Peradilan Agama seakan masih belum mengetahui dan meyakini perihal tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang terdapat di dalam beberapa putusan Peradilan
Agama, maupun Peradilan Negeri, Majelis Hakim berpendapat bahwa Peradilan
Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen yang
termasuk kepada suatu sengketa ekonomi yang berasaskan kesyariahan. Hal ini
7
tercantum sebagaimana di dalam putusan Peradilan Agama Banjarbaru No.
259/Pdt.G/2013/PA.Bjb tentang gugatan ekonomi syariah/gugatan perbuatan
melawan hukum, pada hari Rabu tanggal 27 november 2013 M bertepatan dengan
tanggal 23 Muharram 1435 Hijriyyah. Bahwa penunjukan Peradilan Umum dalam
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tersebut lahir tahun 1999, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama terhadap
sengketa ekonomi syariah sejak tahun 2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu
kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang
terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21
tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, oleh
karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang
menangani sengketa ekonomi syariah termasuk diantaranya sengketa perlindungan
perbankan syariah.9 Dalam pertimbangan hukum selanjutnya berdasarkan
pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat bahwa “Peradilan Umum” dalam Pasal
45 UUPK dibaca sebagai “Peradilan Agama”.
9 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Nomor
259/Pdt.G/2013/PA. Bjb. Tanggal27 November 2013, hlm, 35.
8
Selanjutnya putusan Pengadilan Negeri Martapura yang menyatakan
ketidakberwenangannya menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen syariah dan
menyatakan bahwa Peradilan Agamalah yang memiliki kewenangan tersebut. Putusan
No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP tentang Putusan Sela terhadap sengketa perlindungan
konsumen syariah pada hari Senin tanggal 2 Desember 2013. Oleh Majelis Hakim
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan eksepsi tergugat mengenai kewenangan
mengadili secara absolut perkara aquo adalah bukan kewenangan Peradilan Negeri
Martapura melainkan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan UU No. 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim dalam putusan mengadili
dan menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara
tersebut pada poin dua.10
Putusan No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Pengadilan Agama Yogyakarta pada hari
Kamis tanggal 28 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 8 Sya’ban 1433 H. Tentang
perkara sengketa konsumen dalam mudharabah muqayyah antara nasabah/konsumen
dengan pihak BPRS. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan
bahwa dalil eksepsi tergugat yang menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang
mengadili perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalil tersebut tidak tepat
karena perkara tersebut adalah perkara sengketa syariah sehingga menurut Pasal 49
UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
10 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.
03/Pdt.G/2013/PN.MTP. Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 21-22 dan 25.
9
Agama jo Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diselesaikan
dalam lingkungan Peradilan Agama.11
Putusan No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo Peradilan Agama Gorontalo tentang
sengketa perlindungan konsumen syariah, pada hari Kamis tanggal 27 November
2014 M bertepatan dengan tanggal 04 Safar 1436 H. Dalam perkara ini Majelis
Hakim menyatakan bahwa perkara aquo adalah sengketa perlindungan konsumen.
Namun dalam pertimbangan yang lain Majelis hakim juga menyatakan bahwa
perkara yang dimaksud juga memiliki prinsip-prinsip kesyariahan. Sehingga dalam
pertimbangan hukum Majelis Hakim sependapat bahwa yang demikian dirasa perlu
dipertimbangkan apakah sengketa konsumen juga termasuk kewenangan Peradilan
Agama untuk memeriksa mengadilinya. Dalam pertimbangan lainnya Majelis Hakim
cenderung mengarahkan dalil hukum perkara kepada pasal 45 UUPK tentang
kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikannya. Sehingga dalam mengadili
menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut.12
Dengan latar belakang tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti
kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara perlindungan konsumen
dalam ekonomi syariah, dengan mengangkat judul, KEWENANGAN PERADILAN
AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN
11 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No.
0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 25.
12 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo tanggal 27 November 2014, hlm, 6-8.
10
DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis terhadap Peraturan Perundang-
undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi
Syariah).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan
dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah
tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud. Maka penulis memberikan batasan
masalah dalam penelitian ini hanya terfokus pada konsep kewenangan absolut
Peradilan Agama mengenai ekonomi syariah dalam hal ini terkait perlindungan
konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah. Dengan demikian dalam penelitian
ini tidak akan dibahas bagian kewenangan absolut Peradilan Agama yang lain.
2. Perumusan Masalah
Dalam UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45
ayat (1) menjelaskan bahwa perkara perlindungan konsumen dapat diselesaikan
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Namun dalam UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU. No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf (i) menjelaskan bahwa
sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama.
Kemudian hal ini dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) UU. No. 21 Tahun 2008
11
tentang Perbankan Syariah. Ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.
93/PUU-X/2012.
Agar lebih terarah, serta untuk memfokuskan tema permasalahan dan
terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, rumusan masalah di atas, penulis
rangkum dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a) Bagaimana seharusnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan praktiknya di pengadilan?
b) Apa yang menjadi legalitas kewenangan Hakim Peradilan Agama
menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga
Keuangan Syariah?
c) Bagaimana praktik penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam
Lembaga Keuangan Syariah di pengadilan saat ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui bagaimana sebenarnya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan praktiknya di pengadilan.
b. Melihat landasan pemikiran hakim terkait apa yang menjadi legalitas
Peradilan Agama untuk mewenangi penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen dalam ekonomi syariah.
12
c. Menemukan perbedaan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum
dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen
ekonomi syariah.
2. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi Penulis
Penulisan ini bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar strata satu dalam bidang Hukum Keluarga, juga menambah khazanah
pengetahuan di bidang kewenangan absolut Peradilan Agama, dalam hal ini
ekonomi syariah.
b. Bagi Akademisi
Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh
kalangan akademisi dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan
sebagai proses pembelajaran mengenai ekonomi syariah dalam kewenangan
Peradilan Agama.
c. Bagi Praktisi
Bagi Hakim Peradilan Agama atau Advokat yang menangani sengketa
ekonomi syariah dapat dijadikan rujukan mengenai penyelesaiaannya. Dimana
perlindungan konsumen perbankan syariah itu sendiri termasuk ke dalam
ekonomi syariah yang dimaksud.
Sedangkan untuk legislator diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam memahami undang-undang yang terkait perlindungan
konsumen antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
13
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Mengenai judul yang akan ditulis ini, sebelumnya telah ada penelitian yang
berkaitan tentang kewenangan Peradilan Agama yang telah ditulis dalam bentuk
skripsi dan penelitian ilmiah oleh beberapa orang yaitu: Djawahir Hazzaziev dengan
judul penelitian Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah yang ditulis pada tahun 2013 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melianah dengan judul Proses Pembuatan
Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam Perspektif Undang-undang Perlindungan
Konsumen (studi kasus pada Bank Syariah Mandiri) Fakultas Syariah dan Hukum
tahun 2014. Dalam penelitian ini hanya memfokuskan kepada bagaiamana membuat
kontrak yang disesuaikan kepada Undang-undang Perlindungan Konsumen, di
dalamnya tidak dibahas tentang penyelesaian sengketanya. Abdul Hafid Nur dengan
judul Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang ditulis pada tahun 2010 Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
menitikberatkan pembahasan penelitian kepada isi kontrak atau kesepakatan antara
pihak bukan penyelesaian sengketanya.
Dari beberapa tulisan yang penulis temukan di atas hanya mengatur pada
pengertian dan maksud yang lain dan tidak membahas dari yang penulis maksudkan.
Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan penelitian yang
ada sebelumnya.
14
E. Kerangka Teori Konseptual
1. Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun hidup makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.13
2. Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.14
3. Sengketa
Menurut Jhon Colier, yang dimaksud sengketa adalah perselisihan khusus
mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah
satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang
lain.15
4. Ekonomi Syariah
Menurut Abdul Manan, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
“sosial science which studies the economic problems of people imbued with the
values of Islam” (Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang
13 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4.
14 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
15 www.pengertianpakar.com, diakses tanggal 23 Mei 2016 pukul 17.02 WIB.
15
memepelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam).16
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah adalah kewenangan
Peradilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah mengenai perlindungan
konsumen, dengan demikian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian hukum normatif.
1. Jenis dan Pendekatan
Jenis penelitian dalam penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum
normatif.
Pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan dua pendekatan. Pertama17, pendekatan undang-undang (statute approach).
Penggunaan pendekatan ini untuk menelaah ketentuan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perbankan syariah, perlindungan konsumen, dan peradilan
Agama. Dengan pendekatan ini peneliti melakukan sinkronisasi ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut secara horizontal dan vertikal.
Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terkait dengan
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di perbankan syariah.
16 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama,
(Jakarta: KENCANA, 2012), h. 6-7.
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: kencana, 2010), hlm. 93.
16
Pedekatan kedua adalah pendekatan kasus (case approach).18 Pendekatan ini
dilakukan untuk memberikan gambaran bagaimana para Hakim Peradilan Agama
memutus perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Analisis dengan
pendekatan putusan di sini melihat bagaimana peraktik dari peraturan perundang-
undangan itu diperaktikkan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini penulis bagi kepada dua sumber data,
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disini adalah
UU. No, 7 Tahun 1989 menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 menjadi UU. No. 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU. No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan
undang-undang lain yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama.
Putusan beberapa pengadilan baik peradilan Umum maupun Peradilan Agama
yang terkait sengketa perlindungan konsumen. Sedangkan sumber data sekunder
diperoleh dari buku-buku, surat kabar, kamus, majalah, hasil-hasil penelitian,
jurnal-jurnal, artikel, internet, dan lain sebagainya yang dapat memberikan
penjelasan data-data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka dalam pengumpulan data penulis
menggunakan studi pustaka (library research) dengan metode dokumentasi atau
18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ... hlm, 94.
17
studi dokumen. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-
barang yang tertulis.19 Dalam melaksanakan metode dokumentasi yang dimaksud
penulis melakukan penyelidikan dan mengumpulkan data-data atau dokumen-
dokumen tertulis seperti buku-buku, artikel, peraturan-peraturan, undang-undang
dan lain sebagainya.
Putusan beberapa Peradilan Umum dan Peradilan Agama terkait penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diambil dari direktori
putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang memayungi peradilan
tingkat I dan II. Kdelapan putusan adalah putusan yang diputuskan atas perkara
perlindungan konsumen yang terjadi di dalam Lembaga keuangan Syariah.
4. Metode Analisis Data
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, penelitian ini sesuai
dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Sifat dari preskripsi dalam bidang
keilmuan hukum, penelitian yang bersifat normatif adalah berusaha untuk
mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa yang seharusnya dari
setiap permasalahan. Sehingga penulis akan merangkum apa yang seharusnya dari
peraturan perundang-undangan yang telah mengatur dan mempelajari putusan-
putusan yang telah diputuskan untuk mencapai apa yang dimaksudkan. 20
19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), h. 135.20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... hlm. 35.
18
5. Metode dan Teknik Penulisan
Adapun tekhnik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman
penulisan skripsi Fakulas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengkonsep penulisan dengan
menyajikan lima bab, diharapkan dengan sistematika yang terhimpun dalam kelima
bab tersebut dapat memudahkan untuk membaca dan memahami dan mengerti
tentang tujuan yang menjadi titik pencapaian dari penelitian yang dilakukan. Adapun
tentang sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari pembahasan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori konseptual,
metode penelitian, rancangan outline (sistematika penulisan).
Bab kedua, berisikan tentang eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama di
Indonesia yang terdiri dari pengertian Peradilan Agama, dasar hukum yang terdapat
di dalam Peradilan Agama, asas-asas Peradilan Agama, tugas dan fungsi Peradilan
Agama, kedudukan Peradilan Agama di Indonesia dan kewenangan Peradilan Agama
di Indonesia serta hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama.
Bab ketiga, akan membahas penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
dalam ekonomi syariah yang terdiri dari pengertian perlindungan konsumen, konsep
dan dasar hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen,
19
prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Bab keempat, adalah analisis kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan
sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah yang terdiri atas analisis
yuridis penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah,
analisi empiris penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen
Syariah, serta hasil analisis penulis tentang kewenangan Peradilan Agama
menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.
Bab kelima, penutup, pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-
saran yang dapat dilakukan dalam penataan peraturan perundang-undangan dan tertib
beracara di lingkungan Mahkamah Agung.
20
BAB II
EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Peradilan Agama
Dalam khazanah Islam klasik telah dikenal pengertian peradilan dengan
istilah-istilah keislaman, wilayat al-aqdha, hisbah, dan madzalim.1 Kata “peradilan”
berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata
“peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”,
“melaksanakan” dan “menyelesaikan”.2 Adapula yang menyatakan bahwa, umumnya
kamus tidak membedakan antara peradilan dan pengadilan.3 Sebagaimana pengertian
ini dijelaskan secara rinci di dalam buku Peradilan Agama di Indonesia.
Disamping kata “menyelesaikan” dan menunaikan seperti di atas, arti qadha
yang dimaksud adapula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu
ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah
yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti
1 Ketiga badan peradilan tersebut, merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman pada masa
Islam klasik. Ketiganya berada di bawah; dinasti Umayyah menyebutnya dengan nizham al-qadhai, yakni pelaksana hukum. Muhammad jalal Syaraf dan Ali Abd al- Muth”i Muhammad, Fikr al-syasi fi al-Islam, (Iskandariyah: Dar al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 155-157).
2 Ahmad Warson, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Jakarta; M. Jakarta, 1996), cet. Pertama, h. 1225
3 Abdul Mujib Mabruri Thallah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, (Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ketiga, h, 258. Lihat juga Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Depdikbud, Balai Pustaka, 1996), cet ketujuh, h. 7
21
“menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang
hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyaan.4
Kata peradilan menurut istilah ahli fikih ialah:
1. Lembaga Hukum (tempat di mana seseorang mengajukan permohonan
keadilan).
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya.5
Peradilan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Peradilan Agama
keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai
berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan
perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam6.
Selanjutnya jika kata peradilan atau pengadilan disatukan dengan kata agama,
maka pengertian Peradilan Agama adalah “ kekuasaan negara dalam memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang
yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Peradilan
4 Hasby As-siddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta; PT. Ma’arif,
1994), h. 29.
5 Hasby As-siddieqy, Peradilan dan..., h. 30.
6 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.
22
Agama adalah pengadilan tingkat pertama pada lingkungan peradilan agama.7
Menurut Ramulyo, Peradilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari
keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu
majelis hakim atau mahkamah.8
B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama
1. Dasar Hukum Peradilan Agama
Peradilan Agama sebagai institusi yang bertugas untuk menegakkan hukum
dan keadilan atas adanya persengketaan-persengketaan di antara orang-orang yang
beragama Islam yang diajukan kepadanya dalam menjalankan tugas dan fungsinya
harus memenuhi standar pengadilan. Terpenuhinya standar pengadilan pada
Peradilan Agama harus memenuhi tiga perangkat dasar, yakni peraturan
perundang-undangan, organisasi dan aparat penegak hukum, serta tatalaksana,
sarana dan prasarana. Ketiga perangkat tersebut merupakan kebutuhan mutlak bagi
terlaksananya tugas-tugas dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum
dan keadilan di Negara Hukum Republik Indonesia.9
Peradilan Agama sebagai sub sistem Peradilan Nasional, keberadaannya
harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sepanjang sejarah
7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta; Pt. Rajawali Grafindo Persada,
1996), cet. Pertama, h. 6.
8 Moh. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1991), h. 12.
9 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 68.
23
perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sebagai lembaga penengak hukum dan
keadilan, hal-hal yang mengaturnya asal mulanya berupa penunjukan oleh para
pihak yang bersengketa terhadap seseorang sebagai muhakkam.10 Selanjutnya
berlanjut pada peraturan di masa kerajaan Islam, masa kolonial yang ditandai
dengan hadirnya Stbl 1882 No. 152. Kemudian pada tahun 1937 diperbaharui
dengan Stbl 1937 Nomor. 116 dan 610.
Puncak kekokohan perangkat dasar peraturan perundang-undangan terjadi
saat diundangkannya perubahan ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Perubahan ketiga ini menegaskan kedudukan konstitusional Peradilan Agama.
Perihal dimaksud mengandung beberapa makna:11
1. Peradilan Agama adalah badan kenegaraan konstitusional dengan
kedudukan yang dijamin Undang-undang Dasar.
2. Peradilan Agama adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman
yang bebas dan merdeka, yang mempunyai kedudukan yang sederajat
dengan lingkungan peradilan yang lain.
3. Peradilan Agama berhak atas “Privilage” dan Negara mempunyai
kewajiban serta tanggung jawab memberikan dukungan yang sama
dengan lingkungan peradilan yang lain.
10 Adalah pengertian bagi orang yang dianggap padanya mengerti tentang suatu hukum,
memiliki naluri keadilan yang tinggi dan dapat dipercaya. Kemudian dipercayakan kepadanya untuk memberikan suatu keputusan terhadap suatu permasalahan.
11 Jaelani Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai..., h. 325.
24
4. Peradilan Agama merupakan satu kesatuan sistem peradilan nasional
(national integrated judicial system), dalam sistem ketatanegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai konsekwensi konstitusional dari perubahan tersebut, maka yang
pertama kali diubah adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman menjadi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang juga dirubah dengan UU No. 48 tahun 2009. Perubahan ini juga
mengakibatkan perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
menjadi UU No. 5 tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU NO. 49 tahun 2009
dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 tahun 2006
dan UU No. 50 tahun 2009.
Oleh karena itu perangkat yang menjadi dasar hukum Peradilan Agama tidak
hanya sebatas yang menyangkut kelembagaan dan organisasi, akan tetapi juga
menyangkut hukum materiil dan hukum acaranya, maka selain peraturan
perundangan yang disebutkan di atas, peraturan-peraturan perundangan lain juga
sebagai perangkat dasar hukum bagi Peradilan Agama diantaranya: 1) Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR) dan Reglemen Buiten Govesten, 2) UU.
No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan-pengadilan Ulangan, 3) UU. No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, 4) UU. No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
5) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
6) UU No. 38 tahun 2004 tentang Zakat, 7). UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf,
8) UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan UU No. 21 tahun
25
2008 tentang Perbankan Syariah, 9). PERMA No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi,
10) Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, 11) Inpres
No. 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Asas-asas Peradilan Agama
Asas-asas peradilan merupakan landasan pokok (fundamental) dalam
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Asas-asas yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum pada dasarnya berlaku juga di Peradilan Agama
kecuali di atur lain. diantaranya; asas personalitas ke-Islaman, asas kebebasan,
asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas, asas wajib
mendamaikan, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas mengadili menurut
hukum dan persamaan hak, asas persidangan terbuka untuk umum, asas aktif
memberi bantuan, asas peradilan dilakukan dengan cara majelis hakim.
Ketentuan mengenai asas personalitas ke-Islaman sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No.
50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah
satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undag-undang ini”.
Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
26
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan seterusnya.12
Mengenai hubungan antara asas personalitas keislaman ini dengan ekonomi
syariah adalah sangat berkaitan. Hal ini karena konsep dari ekonomi syariah
adalah suatu prinsip-prinsip yang dibangun dengan pondasi dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam ajaran Islam.
C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama
Tugas dan fungsi peradilan dalam lingkungan peradilan Agama dapat dipilah
menjadi dua macam, yakni tugas yudisial yang merupakan tugas pokok dan tugas non
yudisial yang merupakan tugas tambahan, namun tidak mengurangi nilai penting
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
1. Tugas dan Fungsi memberi keadilan (yudisial)
Yang dimaksud dengan tugas yudisial ialah tugas dan fungsi memberikan
keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Inti dari tugas ini adalah
menegakkan hukum dan keadilan. 13 Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk
mengadili apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan
kepentingan antar sesama warga masyarakat (perorangan atau badan hukum).14
12 Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 160-162.
13 Purwoto S. Ganda Subrata, Dengan Etika dan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawa dan Martabat hakim Indonesia, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 3.
14 Purwoto S. Ganda Subrata, Tugas dan Fungsi Hakim, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 10
27
Jadi tugas utama peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Hakim)
adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi keputusan kepada
pihak yang berperkara. Hakim harus memutus menurut hukum, baik dalam arti
harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau
kepastian yang lahir dari putusan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama
(hakim) adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut
hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar
memenuhi tuntutan masyarakat.15
Tugas dan fungsi Peradilan Agama diatur jelas dalam perundang-undangan,
diantaranya UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka
1, Pasal 25 ayat (3). Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No.
50 tahun 2009 tugas penegakan hukum dan keadilan di Peradilan Agama adalah
dalam bentuk menerima, memeriksa, memutus/mengadili dan menyelesaikan
perkara orang-orang yang beragama Islam menyangkut persengketaan perkawinan,
waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Khusus untuk
Peradilan di wilayah Aceh mencakup juga bidang mu’amalat dan jinayat.
2. Tugas non Yudisial
Tugas non yudisial adalah tugas di luar tugas mengadili. Tugas semacam ini
dapat dilakukan hanya atas dasar ketentuan Undang-undang. Tugas dimaksud
15 Bagir Manan, Tugas hakim: Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum
Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, (Jakarta; Dirjen PA, 2007), h. 122.
28
diatur dalam Pasal 52 dan 52 A UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50
tahun 2009. Dinyatakan bahwa:
1. Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
2. Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Tugas lain sebagaimana dimaksud pada pasal 52 ayat (2) UU No. 3 tahun
2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa:
1. Tugas sebagaimana ditunjuk pasal 52 A Undang-undang tersebut, berupa pemberian istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.
2. Tugas sebagaimana yang diatur di dalam pasal 107 ayat (2) Undang-undang tersebut. Pasal tersebut menegaskan bahwa: “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatblad 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembahagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.”
D. Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia
Untuk lebih memahami dimana letak kedudukan Peradilan Agama dalam
susunan ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dilihat dengan memperhatikan alat-
alat kekuasaan negara yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945
(UUD NRI 1945) bahwa untuk melaksanakan kekuasaan negara dalam arti yang luas,
UUD NRI 1945 menetapkan lima badan kekuasaan yang ada, yaitu; a. Kekuasaan
Pemerintahan atau eksekutif, b. Dewan Pertimbangan Agung (DPA), c. Dewan
29
Perwakilan Rakyat (DPR), d. Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan e. Badan
Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya mengenai poin yang kelima di atas, yakni tentang Badan
Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 dan untuk
memenuhinya hadirlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 undang-undang ini telah menetapkan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer,
d. Peradilan Tata Usaha Negara16
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga ditetapkan oleh UU
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah
dengan UU No. 48 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 10 Ayat 2. Mahkamah Agung juga
sebagai peradilan tingkat akhir yang menyelesaikan perkara kasasi serta
melaksanakan pengawasan kepada semua lingkungan peradilan termasuk diantaranya
Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
(yudisial power) di Indonesia. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,
keberadaan Peradilan Agama jelas mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri di
16 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. Ketiga,
(jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997), h. 87 dan 89.
30
tengah-tengah pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya. Untuk memahami bagaimana
kedudukan dan fungsi Peradilan Agama diantara sesama pelaksana kekuasaan
kehakiman tersebut, dapat dilihat dari sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
di Indonesia saat ini.17
Kemudian mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di
Indonesia, kita harus merujuk pada UUD NRI 1945 yang sekarang telah
diamandemen dalam beberapa perbaikan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD NRI
1945 telah dinyatakan sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Sejalan dengan maksud Pasal 24 UUD 1945 tersebut, Pasal 1 dan 2 UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah menyatakan bahwa:
Pasal 1: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
17 Rika Delfa Yona, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam Mengeksekusi Putusan
Arbitrase Syariah , (Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010), h. 45.
31
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Dalam penjelasan pasal demi pasal yang telah dijelaskan di atas, dikatakan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dari ketentuan
tersebut dapat dipahami bahwa kekuasaan kehakiman tidak lain merupakan salah satu
badan kekuasaan negara18 atau badan penyelenggara negara di samping MPR,
Presiden, DPR, dan lainnya yang setara, yang kemudian fungsi utamanya adalah
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.19
Diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai upaya singkronisasi segala urusan dan
tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dengan
ketentuan UU No. 4 tahun 2004. Dengan demikian, jika sebelumnya segala urusan
dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama
dimaksud berada di bawah otoritas Departemen Agama, maka pasca UU No. 3 tahun
18 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Pustaka
Kartini, 1993), h. 88.
19 Merdeka bermaksud bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman yang termasuk di dalamnya Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha negara adalah sebagai lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan dan interpensi dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bertujuan menciptakan sistem hukum yang benar-benar berasaskan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan demi menjamin hukum yang berkeadilan diantara sesama pelaku hukum.
32
2006 semuanya telah niscaya diserahkan dan dialihkan menjadi otoritas Mahkamah
Agung.20
Keempat peradilan yang ada, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang
sama dan sejajar yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tertinggi. Peradilan Umum merupakan peradilan bagi rakyat pada
umumnya mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Sedangkan Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan
khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat
tertentu.21
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
Peradilan Agama dalam sistem tata hukum di Indonesia merupakan salah satu
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dan sebagai badan peradilan khusus, maka
kekuasaan kehakiman yang diselenggarakannya adalah dikhususkan untuk rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu atau bagi golongan
rakyat atau badan hukum yang dengan sendiri menundukkan diri dengan sukarela
kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama.
20 Syamsuhadi Irsyad, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3
Tahun 2006, (Makalah, 10 Juli 2006), h. 10.
21 Taufiq Hamami, Peradilan Agama..., h. 85.
33
E. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia
Kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik
serta mengarah pada pasang surut.22 Kendati tidak sampai kepada penghapusan,
namun lingkup yuridiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan
tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political
willi) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang
ditempuh oleh penguasa bersangkutan.23 Sehingga memang, faktor dinamika politik
hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menngoreskan catatan
penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia,
yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.24
Menurut Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang Peradilan Agama,
yaitu: (1) Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan, dan
nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh
atau berdasarkan atas undang-undang; (4) Kewenangan pengadilan tinggi agama
22 C. Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan-Inkultra
Foundation Inc., 1981), h. 51.
23 Soetandoyo Wingjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: Suatu Telaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989, h. 16.
24 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,(Depok; Gramata Publishing, 2010), h. 9.
34
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,
serta (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.25
Mengenai kompetensi Peradilan Agama, tergolong kepada kompetensi relatif
dan kompetensi absolut. Kekuasaan atau kompetensi relatif pada dasarnya kekuasaan
peradilan yang menyangkut wilayah hukum.26 Sedangkan kekuasaan atau kompetensi
absolut adalah kekuasaan peradilan yang menyangkut bidang perkara atau wewenang
mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,27
yang berada di Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam kata lain bahwa
kewenangan absolut adalah kewenangan dari badan peradilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain.
Dasar hukum pemberian kompetensi relatif bagi pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah pada pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah
lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa:
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerahhukumnya meliputi wilayah propinsi.
25 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang; UIN-Malang Press,
2008), h. 194.
26 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Danputusan Pengadilan, cet. Kesembilan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), h. 19.
27 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung, Mandar Maju, 1989), h. 8.
35
Dalam penentuan Pengadilan Agama yang mana yang berwenang atas suatu
perkara yang menjadi bidangnya, ditentukan oleh tempat tinggal para pihak
berperkara, atau keberadaan obyek perkaranya. Dalam hal ini penentuannya
diklasifikasikan menurut bidang-bidang perkaranya.
Menurut M. Yahya Harahap, 28 bahwa faktor yang menimbulkan terjadinya
pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan
peradilan ialah faktor wilayah hukum. Kompetensi relatif Peradilan Agama sesuai
dengan Pasal 4 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama di atas menjelaskan bahwa tempat kedudukan Peradilan
Agama adalah di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi
Kabupaten/Kota tersebut.
Dapat dilihat setiap Peradilan Agama hanya berwenang mengadili perkara yang
termasuk ke dalam wilayah hukumnya. Jangkauan kewenangan pelayanan peradilan
yang dapat dilakukan secara formil, hanya perkara-perkara yang termasuk kedalam
wilayah daerah hukumnya. Sekalipun secara subtantif merupakan kekuasaan absolut
Peradilan Agama, kewenangan absolut tersebut dapat dihalangi kompetensi relatif
yang mengakibatkan Peradilan Agama yang menerima perkara tidak berwenang
mengadili, jika perkara yang bersangkutan termasuk kewenangan Agama lain.
Kewenangan atau kompetensi absolut di lingkungan Peradilan Agama sebagai
salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman (yudisial power) bersumber
28 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989, (Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993), h. 213
36
kepada amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
diamandemen menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian dilakukan perubahan
kedua menjadi UU. No. 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang tersebut telah diatur
jelas tentang hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam menjalankan
fungsinya sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Beberapa perubahan terhadap Undang-undang Peradilan Agama ini diantaranya
menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam
menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam mengenai kekuasaan relative
maupun absolute Peradilan Agama. Salah satu kewenangan baru dalam undang-
undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syariah sebagai
kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-undang Peradilan Agama telah
mengatur jelas apa saja yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama.
Sebelumnya pada UU No. 7 tahun 1989 tenang Peradilan Agama telah dijelaskan
bahwa hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya
hanya kepada perkara-perkara yang bersifat keperdataan keluarga Islam pada
umumnya, seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, wakaf, infaq dan sedekah.
Kemudian dengan diamandemennya Undang-undang ini termasuk kedalam
perubahan/dan atau penambahan dari pasal 49 ini melahirkan paradigma baru
terhadap kedudukan dan kewenangan Peradilan agama dalam kekuasaan kehakiman
di Indonesia.
37
Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memberikan beberapa perkara yang menjadi kewenangannya untuk
menyelesaikannya. Bukan hanya terbatas kepada permasalahan perkawinan semata,
namun hal-hal lain yang bersifat perdata juga turut menjadi kewenangan Peradilan
Agama, diantaranya; waris29, wasiat30, hibah31, wakaf32, zakat33, infak34, dan
sedekah35. Selanjutnya menurut pasal 49 huruf i Undang-undang ini kewenangan
29 Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Lihat penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 tahun 2006.
30 Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Lihat penjelasan pasal 49 huruf c UU No. 3 tahun 2006.
31 Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Lihat penjelasan pasal 49 huruf d UU No. 3 tahun 2006.
32 Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Lihat penjelasan pasal 49 huruf e UU No. 3 tahun 2006.
33 Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Lihat penjelasan pasal 49 huruf f UU No. 3 tahun 2006.
34 Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Lihat penjelasan pasal 49 huruf g UU No. 3 tahun 2006.
35 Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu
38
Peradilan Agama diperluas, termasuk bidang ekonomi syariah.36 Hal ini sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat
muslim. Dengan penegasan dan pemenuhan kewenangan Peradilan Agama
dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum37 bagi Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Perubahan ini mengangkat eksistensi Peradilan Agama semakin menduduki
kompetensi yang semakin berdikari dan mandiri. Perubahan baru tersebut
menyangkut yuridiksinya, sebagaimana yang kita pahami dijelaskan bahwa tentang
pengertian Peradilan Agama itu sendiri. Sebelum dilakukan amandemen pada UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 2 memuat pernyataan bahwa;
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini. Kemudian setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2 telah
diubah dengan menghapuskan kata “perdata” di dalamnya menjadi; Peradilan Agama
dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Lihat penjelasan pasal 49 huruf h UU No. 3 tahun 2006.
36 Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'.
37 Dasar hukum disini bermakna bahwa sebagai suatu pemenuhan kebutuhan dari masyarakat, maka kebutuhan akan kehadiran suatu sistem bermuamalat yang berasaskan sistem keislaman secara murni diharapkan akan mendapatkan suatu penjaminan juga daripada negara. Hal ini bertujuan bahwa kehadiran sistem yang baru ini mendapatkan suatu penempatan yang sama dihadapan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
39
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini. Kata ”perkara perdata tertentu” telah diubah menjadi “perkara tertentu”
dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi
Peradilan Agama.38
Dengan adanya penegasan di atas, dalam hal ini perluasaan kewenangan
Peradilan Agama tidak lagi terbatas hanya kepada perkara-perkara tertentu yang
sifatnya termasuk kedalam perkara-perkara perdata. Namun lebih daripada itu,
kewenangan menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang di luar perkara perdata
dapat diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Agama. Akan tetapi kebebasan
kewenangan ini tetap dibatasi oleh hal-hal pidana yang muncul dari pelanggaran
hukum perdata. Termasuk kedalam kewenangan menyelesaikan pelanggaran kepada
undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat
landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang
jinayah berdasarkan qanun.
F. Hukum Acara di Peradilan Agama
Hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau
cara bagaimana bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
38Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
(jakarta; Kencana, 2008), h.343.
40
Pasal 54 jo UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama menyatakan; “Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan
selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini
meliputi kewenangan relatif Peradilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan,
pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.
Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum
materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan
yang adil dan benar. Sudikno Martokusumo dalam bukunya hukum acara perdata
terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum
materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan
hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah
yang disebut hukum perdata formil atau hukum acara perdata. 39
39 Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; UIN Jakarta/FSH,
2013), h. 8 dan 13.
41
BAB IIIPENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bahagian dari kemajuan
teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah
memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan
konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat
tradisional relatif masih sederhana, dimana konsumen dan produsen dapat bertatap
muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-barang
kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal
pula (mass consumer consumption). Akhirnya hubungan antara konsumen dan
produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, dan
begitu pula sebaliknya, produsen tak mengenal siapa konsumennya, bahkan
produsen tersebut berada di Negara lain.1
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
1 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab
Mutlak, (Jakarta; Universitas Indonesia, 2004), h. 2-3.
42
Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan
terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah
konsumen. Namun hukum positif Indonesia berusaha menggunakan beberapa istilah
yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang
berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen,
namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.2
Perlindungan konsumen ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan serta
memberikan kepastian hukum. Kedua tujuan ini diharapkan mampu untuk
memberikan kualitas perlindungan konsumen, sehingga hak-haknya dapat terpenuhi
tanpa adanya penyelewengan dari posisi lemah yang mereka3 miliki.
Untuk mendapat legitimasi dan legalitas maka perlindungan tersebut harus
diatur dalam bentuk perundang-undangan sebagai dasar hukumnya. Ada beberapa
peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 13.
3Kata “mereka” disini adalah untuk merangkul para konsumen, atau mereka yang berdiri sebagai masyarakat pemakai suatu produk barang dan/atau jasa. Dimana kedudukan mereka sebagai orang yang memakai juga mereka yang bergantung kepada suatu produk barang dan/atau jasa merupakan orang-orang yang perlu dilindungi hak-haknya dari kesewenangan pelaku usaha. Konsumen disini memang yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya oleh pelaku usaha, sehingga atas dasar alasan inilah dibutuhkan suatu perlindungan kepada mereka (perlindungan konsumen).
43
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen1. Asas-asas dalam Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Disamping itu
perlindungan konsumen diselenggarakan bersama berdasarkan lima asas yang
sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu;4
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh hak dan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan maksudnya perlindungan konsumen memberikan
keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen yaitu untuk memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan pada konsumen dan penggunaan
4 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, cet. Keenam (Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 192.
44
dan pemakaiaan, serta pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam huruf d dari dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab.
Atas dasar pertimbangan di atas, ketentuan Pasal 3 UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen maka setidaknya perlindungan konsumen
memiliki tujuan, yaitu:5
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian kosumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat martabat konsumen dengan cara menghindari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
5 Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi,cet. Kelima,(Jakarta, PT.
Grasindo, 2008),h. 160.
45
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat
informasi.
5. Menumbuhkan kesadaraan pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan /atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan /atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
D. Prinsip-prinsip Dalam Perlindungan Konsumen
Melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus
dilindungi. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bukanlah dalam artian
anti terhadap produsen, namun sebaliknya justru merupakan apresiasi terhadap hak-
hak konsumen secara universal.6 Inilah yang kemudian dalam prakteknya, UUPK
harus memegang teguh kepada ketiga prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen.
Ketiga prinsip tersebut terbagi kepada;
a. prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Negligence),
6Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta; Ghalia
Indonesia, 2002), h. 12.
46
b. prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi,
c. prinsip berdasarkan tanggung jawab mutlak.7
1. Prinsip Perlindungan Konsumen dalam Islam
Perlindungan konsumen Muslim sangat penting di Indonesia, karena
mayoritas konsumen di Indonesia beragama Islam. Maka sudah selayaknya
konsumen Muslim tersebut mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa
sesuai syariat Islam. Pada sisi lain, pemerintah Indonesia juga dituntut untuk
melakukan upaya aktif guna melindungi konsumen Muslim yang merupakan hak
warga negara yang beragama Islam di Indonesia.
Konsumsi bagi seorang muslim hanyalah sekedar perantara untuk
menambah kekuatan menaati Allah. Rezeki yang baik adalah tanpa melupakan
rasa syukur dan tetap harus memperhatikan orang lain.
Sebagaimana Al-Quran dalam surah Al-Ahqaf ayat 20 menjelaskan:
نیاحیاتكمفیطیباتكمأذھبتم بھاواستمتعتمالد النارعلى كفرواالذینیعرض ویوم
. فالیوم الحقغیراألرضفیتستكبرونكنتمبماالھونعذابتجزون تفسقونكنتموبما
Artinya; Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". (QS. Al-Ahqaf; 46:20).
Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar,
yaitu:8
7Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen.., (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002), h. 14.
47
1. Prinsip kebenaran, prinsip ini mengatur agar konsumen untuk
menggunakan barang dan/atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik
dari segi zat, proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengonsumsi
barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam barang
dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika
cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-
ketentuan syara’.
2. Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus
mengonsumsi barang dan/atau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau
menjijikkan, serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang
dan/atau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan
duniawi dan ukhrawi.
3. Prinsip kesederhanaan, Islam memberikan standarisasi bagi
konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa, serta mampu mengekang hawa nafsu dari pemborosan
dan keinginan yang berlebihan. Selain itu, Islam juga mengajarkan
kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak terlalu kikir
dan tidak terlalu berlebihan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
4. Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk
menggunakan barang dan/atau jasa selama barang dan/atau jasa itu
8Arif Pujiyono, “Teori Konsumen Islam”, artikel diakses pada 05 Januari 2016 dari
WWW.eprints.undip.ac.id
48
memberikan kebaikan juga kesempurnaan dalam mengabdikan diri
kepada Allah SWT. Di samping itu, Islam juga membolehkan
konsumen untuk mengonsumsi barang dan/atau jasa yang haram jika
dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tdak
berlebihan dan tidak melebihi batas.
5. Prinsip moralitas atau akhlak, seorang Muslim diajarkan untuk
menyebut nama Allah sebelum melakukan sesuatu dan menyatakan
terima kasih kepada-Nya setelah melakukan sesuatu. Isalm
mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur,
zikir dan pikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela dalam
mengonsumsi barang dan jasa.
E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakimandi Indonesia
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memang tidak
ditemukan tentang definisi atau pengertian dari sengketa konsumen. Namun, dalam
beberapa pasal ditentukan adanya larangan bagi pelaku usaha yang apabila dilakukan
dapat merugikan konsumen. Larangan yang dilakukan pelaku usaha inilah yang bisa
menjadi sengketa konsumen.9
Larangan bagi pelaku usaha tersebut ditentukan mulai dari Pasal 8 sampai
Pasal 18 UU No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen. Di dalam pasal ini
tertera jelas segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh si pelaku usaha yang
9Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan…, h. 197.
49
dapat merugikan konsumen. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan sengketa
dan membutuhkan penyelesaian di dalamnya.
Dalam hal penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini menurut UU No.
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen para konsumen dapat memilih dua
cara penyelesaian yaitu di pengadilan juga melalui luar pengadilan. Kedua cara
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen ini juga dapat disebut penyelesaian
sengketa non litigasi dan penyelesaian sengketa litigasi.
1. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Diantara kedua cara tersebut, penyelesaian melalui jalur non litigasi
cenderung lebih banyak diminati oleh masyarakat konsumen Indonesia. Hal ini
karena dalam penyelesaian sengketa perlidungan konsumen melalui jalur non
litigasi memiliki banyak pilihan lain dalam pelaksanaan penyelesaiannya juga
tidak memakan waktu yang lebih lama dibanding penyelesaian di peradilan.
Penyelesaian non litigasi memiliki pengertian bahwa penyelesaian yang
dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan tidak atau bukan dihadapan
peradilan. Penyelesaian non litigasi ini memiliki beberapa pilihan sebagai tempat
penyelesaiannya. Hal ini juga merupakan suatu ketentuan yang diakui di
Indonesia, dimana konsumen yang merasa dirugikan haknya berhak untuk
memilih dimana ia akan mengadukan dan menyelesaikan sengketa yang sedang ia
hadapi. Diantara badan atau lembaga yang dimaksud sebagai lembaga
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen non litigasi adalah produsen
50
secara langsung, Yayasan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat, Yayasan
Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dan penyelesaian lainnya.
a. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen
Pelaku usaha selaku pihak yang melakukan suatu produksi barang
dan/atau jasa untuk kemudian dimanfaatkan oleh konsumen memiliki andil
terbesar mengenai barang dan/atau jasa yang diberikan. Pelaku usaha adalah
pihak yang paling mengerti tentang barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan.
Sehingga sangat layak dan tepat apabila sebagai konsumen yang memakai dan
memanfaatkan barang dan/atau jasa meminta haknya untuk sebuah barang
dan/atau jasa yang berkualitas kepada pelaku usaha.
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hak-hak konsumen, maka
konsumen bisa langsung mendatangi produsen untuk menyampaikan komplain
tentang barang dan/atau jasa yang diterimanya. Hal ini tentunya beserta bukti-
bukti yang dapat menjelaskan tentang kebenaran pelanggran hak yang
diterimanya. Menyertakan barang dan/atau produk misalnya, kwitansi
pembelian, dan keterangan saksi-saksi.
Dengan melakukan suatu protes secara langsung kepada produsen,
konsumen telah membuktikan penerapan hak dan kewajiban yang dikaitkan
kepadanya. Dengan begitu juga, konsumen dapat menunjukkan sikap kritiknya
51
kepada pelaku usaha untuk mengoptimalkan barang dan/atau jasa yang
diberikannya.10
b. Penyelesaian Melalui Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga
non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindunga konsumen.
Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ini
meliputi kegiatan:11
1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya,
bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
3. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
4. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
10Hal inilah yang kemudian dalam UUPK dinyatakan bahwa produsen selaku yang
memproduksi suatu barang dan/atau jasa harus mencantumkan kejelesan dan penjelasan tentang barang yang diproduksi, alamat produksi, informasi terkait produksi dan harus mendapatkan sertifikasi produksi dari pihak terkait. Kesemuaan ini adalah untuk menjamin konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang baik dan terhindar dari kerugian, dll.
11Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 214.
52
c. Penyelesaian melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pertama kali didirikan
di Jakarta dan merupakan sebuah lembaga yang bergerak untuk melindungi
hak-hak masyarakat konsumen Indonesia. Perlindungan terhadap konsumen
pada hakikatnya berarti pula bahwa dorongan terhadap produsen untuk
menghasilkan barang yang terjamin mutunya. Dengan demkian konsumen
tidak akan mengalihkan perhatiannya pada produk luar negeri. Kepercayaan
konsumen yang diterima oleh produsen dengan sendirinya membuat produsen
memperbesar volume produksinya.
YLKI adalah oragnisasi non pemerintah dan nirlaba yang didirikan
dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan
tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan
lingkungannya.12
Selanjutnya dalam eksistensinya menyelesaikan perkara sengketa
perlindungan konsumen, YLKI pada dasarnya melakukan tahapan-tahapan
yang persis dan hampir sama dengan BPSK. Kemudian yang menjadi pembeda
disini adalah kedudukannya yang non pemerintah sebagai lembaga swasta
yang berdiri atas tujuan yang hampir sama dengan BPSK yaitu melindungi
hak-hak konsumen.
d. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
12 Sumber online:http://Wikipedia.org/wiki/ Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia.
Diakses: Rabu, 23 September 2015, pukul 10.18 WIB.
53
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK) yang berkedudukan di Ibu
Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden(Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2001 tentang
Badan Perlindungan Konsumen Nasional).BPSK sedapat mungkin akan
didirikan di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia untuk membantu pelaksanaan
fungsi dan tugasnya.13
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya
pengembangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Majelis
Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 huruf 11 dari Undang-undang tersebut
menentukan bahwa yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Perlindungan
Konsumen adalah “badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen dilakukan dengan cara melalui peradilan dan non
peradilan. Yang non peradilan dilakukan dengan cara mediasi, atau konsiliasi,
atau arbitrase.
13Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis......(Rajawali Pers:Jakarta,2012), hlm, 211.
54
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan
penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis. Jumlah majelis tersebut
haruslah ganjil dan sedikit-dikitnya tiga orang yang mewakili semua unsur
pemerintah, pelaku usaha dan konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera.
Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Meskipun putusan badan penyelesaian sengketa konsumen bersifat final
dan mengikat dan pada hakikatnya tidak dapat diajukan keberatan, namun
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, dapat diajukan keberatan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu;
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa diambil,
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan
oleh pihak lawan.
3. Putusan diambil dari tipu muslihat, yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Keberatan dapat diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai
dengan prosedur pendaftaran perkara perdata, dalam tenggang waktu empat
55
belas hari terhitung sejak pelaku usaha atau konsumen menerima
pemberitahuan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 14
Jalur penyelesaian yang dapat dilalui dalam menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen yang dilakukan di luar peradilan (non litigasi) dapat
dilakukan dengan beberapa cara yang diakui oleh Undang-undang.
diantaranya;15
a. Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi ini merupakan
salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan
melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya
penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Lembaga yang dipilih selaku pihak ketiga yang ditunjuk membantu
menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Mediator melakukan
mediasi harus mengandung unsur-unsur antara lain:
1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan
perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
14Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan …, h. 207-211.
15Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam ..., h. 199-204.
56
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
4. Tujuan mediasi untuk mecapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian putusan yang diambil atau yang dicapai oleh
mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang
dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam
masyarakat.
b. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang
berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun Undang-
undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari
konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10
dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu
lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Konsiliasi ini juga dapat dikatakan sebagai perdamaian sebelum
sidang peradilan (litigasi). Konsiliator yang dipercayakan harus memiliki
peran yang cukup berarti, karena konsiliator berkewajiban untuk
menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.
57
Antara mediasi dan konsiliasi seringkali dipersamakan, terutama tentang
prosedur dan tata cara penyelesaiannya.16
Dalam menyelesaikannya sebagai konsiliator memiliki hak dan
kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak
memihak kepada salah satu dari yang bersengketa. Selain itu, konsiliator
tidak berhak mengeluarkan putusan dalam sengketa untuk dan atas nama
para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang
diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diantara mereka.
c. Arbitrase17
Menurut Subekti, arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan
persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan
diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
Penyelesaian melalui arbitrase ini merupakan penyelesaian yang
banyak dan disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat
nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya,
prosedurnya sederhana, putusannya bersifat mengikat para pihak dan
bersifat final.
16Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis...., hlm, 315.
17Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 202-207.
58
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua
belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan
dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian sehingga
terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya
hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Perbandingan penyelesaian perlindungan konsumen antara melalui
perundingan (negoisasi, mediasi,), Arbitrase, dan Litigasi.18
Proses Perundingan Arbitrase LitigasiYang mengatur Para pihak Arbiter HakimProsedur informasi Agak formal sesuai
dengan ruleSangat formal dan teknis
Jangka waktu Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (2 tahun lebih)
Biaya Murah (low cost) Terkadang sangat mahal
Sangat mahal (expensive)
Aturan pembuktian Tidak perlu Agak informal Sangat formal dan teknis
Publikasi konfidensial Konfidensial Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
kooperatif Antagonis Antagonis
Fokus penyelesaian For the future Masa lalu (the past)
Masa lalu (the past)
Metode negosiasi kompromis Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu(blocked)
Jalan buntu(blocked)
Result Win-win Win-lose Win-losePemenuhan Sukarela Selalu ditolak dan
mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional Bebas emosi Emosional Emosi bergejolak
18Elsi Kartika dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam …, h. 210-211.
59
2. Penyelesaian Sengketa Litigasi
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah
melakukan suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan begitu lengkap dan
dapat dikatakan berkeadilan. Melalui Undang-undang ini telah dijelaskan tentang
penyelesaian yang dapat dilalui oleh pihak yang ingin memenuhi hak-haknya
yang dilanggar oleh pelaku usaha. Setelah tadi dijelaskan tentang penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen melalui non peradilan (non litigasi), maka disini
dijelaskan penyelesaian melalui jalur peradilan (litigasi).
a. Melalui Peradilan Umum
Sesuai dengan apa yang dijelaskan pada pasal 45 UUPK, bahwa dalam
hal terjadi suatu sengketa oleh konsumen dapat melakukan pengaduan kepada
lembaga yang telah ditunjuk ataupun melakukan pengaduan langsung kepada
lembaga peradilan yang ada. Pasal 45 UUPK menjelaskan bahwa;
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
60
Dari apa yang dijelaskan dari pasal 45 UUPK di atas, bahwa pada
dasarnya undang-undang ini terlebih dahulu menjelaskan tentang penyelesaian
yang dilakukan melalui jalur yang non peradilan (non litigasi). Hal ini
dikarenakan keefektifitasan waktu yang didapat apabila dilakukan diluar
peradilan. Kita ketahui peradilan umum sendiri adalah lembaga peradilan yang
paling sibuk dalam tugasnya. Setidaknya, dengan adanya jalur-jalur di luar
peradilan ini juga dapat mengurangi jumlah perkara yag harus diselesaikan
oleh lembaga peradilan.
Selanjutnya Pasal 46 UUPK menjelaskan tentang gugatan yang
disampaikan oleh pihak yang diambil haknya oleh pelaku usaha dapat
dilakukan oleh mereka yang berhak untuk mengajukannya.19
1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
19 C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang
Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta; sinar grafika, 2010), h. 234-235.
61
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya dalam penyelesaiannya peradilan melaksanakan suatu proses
pernyelesaian perkara seperti biasa pada umumnya. Sehingga akhirnya
peradilan mengeluarkan suatu putusan yang kemudian diterapkan sebagai hasil
dari proses peyelesaian yang dilakukan.Untuk kiranya menjamin suatu
keadilan kepada pihak dan/atau pihak-pihak yang dirampas haknya.
b. Melalui Peradilan Agama
Di Indonesia pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Setelah lahirnya Undang-
undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan perluasan
kewenangan Peradilan Agama. Di samping berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Peradilan Agama juga berwenang untuk
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; (a) bank
syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d)
62
reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan
syariah; (i) dana pensiunan lembaga syariah; (k) bisnis syariah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Peradilan Agama
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan
tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di
bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian kewenangan ini diperkuat
dengan pasal 55 ayat 1 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah
dilakukan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Namun ayat berikutnya20 memberi peluang kepada pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Peradilan Agama.
Penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan, Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau
menyelesaikan melalui Peradilan Umum.21
Mengenai Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU No. 21 tahun 2008 ini
menimbulkan perdebatan dikalangan ahli dan para pakar mengenai
kewenangan absolut menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen
20 Adalah pasal 55 ayat 2 dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang kemudian membuka kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk menyelesaikan sengketa di dalam lingkungan peradilan lain (Peradilan Umum).
21Sumber online; http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.
63
dalam Lembaga Keuangan Syariah. Tidak dapat dipungkiri bahwa disini
terjadi dualisme kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan
konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah antara Peradilan Negeri
dengan Peradilan Agama. Hal ini tentu seharusnya sesegera mungkin harus
ditemukan penyelesaian yang secara materil memuat peraturan terkait
kewenangan absolut tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dalam amar
putusannya menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;22
1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain selebihnya.
Putusan ini secara tegas menghapuskan kesempatan untuk
kewenangan menyelesaikan sengketa keuangan syariah di Peradilan Umum
karena Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki
kewenangan khusus, khusus antara orang atau badan hukum yang
22Penjelasan Pasal 55 ayat (2): Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
64
menundukkan diri kepada prinsip Islam. Hal ini sesuai dengan asas yang
dianut oleh Peradilan Agama yaitu asas personalitas keislaman.
65
BAB IV
ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN
SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH
A. Argumentasi Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan
Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa Pengertian Ekonomi Syariah atau
Pengertian Ekonomi Islam merupakan kumpulan norma hukum yang bersumber dari
alquran dan hadist yang mengatur perekonomian umat manusia.1 Sengketa ekonomi
syariah adalah pertentangan atau konflik yang muncul akibat adanya perjanjian
(aqad) yang dibangun antara para pihak mengenai tentang prilaku ekonomi yang
berbasis kepada prinsip-prinsip yang Islami.
Syariah yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada perbankan syariah saja.
Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan; a) Penyelesaian sengketa tidak hanya
dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah
lainnya. b) Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
1. Sumber online: http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkup-
manfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.
66
sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah
dalam Peraturan Perundang-undangan
Sebelum kemunculan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen selain melalui mediasi perbankan, penyelesaian sengketa perbankan
syariah bisa juga melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Perubahan nama dari BAMUI menjadi
Basyarnas ditetapkan pada Rakernas MUI tahun 2002. Basyarnas merupakan satu-
satunya lembaga arbitrase yang berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa muamalat. Ide pendirian Basyarnas erat kaitannya dengan
pendirian Bank Muamalat, BPRS, dan rencana pendirian Asuransi syariah pada
tahun 1994. Seperti lembaga keuangan lainnya, lembaga keuangan perbankan
syariah dan asuransi syariah diprediksi akan menghadapi berbagai tantangan,
termasuk sengketa dengan konsumennya.
Untuk memastikan aktivitas lembaga ini sesuai dengan prinsip syariah, maka
sengketa yang terjadi harus diselesaikan oleh lembaga yang kompeten yang
mengggunakan prinsip syariah sebagai guideline-nya. Pada saat itu, lembaga
peradilan yang ada dianggap tidak kompeten menyelesaikan sengketa perbankan
syariah. Peradilan Negeri meskipun mempunyai wewenang menyelesaikan
sengketa perbankan syariah, para hakimnya dianggap tidak memiliki pemahaman
67
yang mendalam terhadap transaksi-transaksi syariah sehingga dikuatirkan sengketa
perbankan syariah diselesaikan tidak sesuai berdasarkan prinsip syariah. Di sisi
lain, Peradilan Agama tidak mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah. Kewenangannya terbatas menyelesaikan sengketa terkait
pernikahan, talak, waris, zakat, dan wakaf. Berdasarkan argumentasi di atas,
Basyarnas didirikan dengan harapan agar sengketa perbankan syariah bisa
diselesaikan dengan cepat dan fair berdasarkan prinsip syariah.
Sejak berdirinya pada tahun 1993, sampai saat ini, tidak banyak kasus yang
diselesaikan oleh Basyarnas. Data yang diperoleh tahun 2010 memperlihatkan
hanya 18 kasus yang telah diselesaikan. Proses penyelesaian sengketa dilakukan
dengan cara confidential sesuai dengan prinsip syariah di mana para pihak dilarang
untuk membuka aib pihak-pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase mengikat
para pihak yang bersengketa. Informasi yang diperoleh, mayoritas kasus dapat
diselesaikan secara damai, memuaskan dan tidak lebih dari 6 bulan.2
a. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) UU No. 8 tahun 1999
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
2 http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-
indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.
68
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa
perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan
cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah jelas
sebelumnya mengungkapkan pada Pasal 45 ayat (1) bahwa Setiap konsumen
yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal ini
menegaskan bahwa sengketa perlindungan konsumen yang diselesaikan melalui
jalur peradilan hanya bisa diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Umum.
Lahirnya undang-undang ini (UUPK) pada tahun 1999 adalah dimana
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan
konsumen dalam bentuk ekonomi syariah. Ekonomi Syariah belum terlalu
menjadi sesuatu yang banyak dibahas dalam cakupan nasional. Perlindungan
konsumen yang dimaksudkan dalam undang-undang ini berbasis ekonomi
konvensional, walaupun sebenarnya pada saat itu sistem ekonomi yang berbasis
syariah sudah mulai terlihat kehadirannya.
b. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama pada pasal 49 huruf (i)
menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut
69
Peradilan Agama dan diselesaikan oleh majelis hakim di Peradilan tersebut.
Pasal ini memberikan kesempatan yang lebih luas tentang kewenangan absolut
Peradilan Agama dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan
Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memuat
kewenangan absolut Peradilan Agama selama ini hanya terbatas kepada waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. UU No. 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah awal
dari penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan
Syariah di bawah naungan Peradilan Agama. Penambahan kewenangan ini
sangat sesuai dengan asas personalitas keislaman yang menjadi identitas dasar
dari Peradilan Agama. Hal ini karena ekonomi syariah adalah suatu sistem
keuangan dan bisnis yang berasaskan kepada prinsip-prinsip keislaman.
Tentunya hal ini sangat berkaitan dan memang seharusnya kewenangan ini
mutlak menjadi kewenangan Peradilan Agama.
c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Memperkuat legalitas kewenangan Peradilan Agama tentang sengketa
ekonomi syariah, tahun 2008 lahirlah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah yang lebih khusus membahas tentang perbankan syariah yang
merupakan salah satu dari bentuk ekonomi syariah yang dimaksud. Pasal 55
ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah dinyatakan
penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan dilingkungan Peradilan
70
Agama. Namun kemudian yang memberi celah kepada penyelesaian di lembaga
peradilan lain dalam hal ini Peradilan Umum terdapat pada ayat selanjutnya
yang menyatakan jika diadakan aqad yang memuat pernyataan penyelesaian
yang lain dapat melalui Peradilan Umum. Penjelasan terkait hal ini dapat dilihat
dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah.
Hadirnya UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini
memberikan suatu permasalahan baru. Bahwa kewenangan absolut yang secara
khusus diberikan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah dalam hal ini mengenai perlindungan konsumen justru
melahirkan dualisme kewenangan untuk penyelesaiannya antara Peradilan
Umum dan Peradilan Agama. Hal inilah yang kemudian membutuhkan
penyelesaian yang pasti mengenai lembaga peradilan yang berwenang.
d. Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Mengenai dualisme kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan
konsumen Lembaga Keuangan Syariah di atas, Mahkamah Konstitusi selaku
lembaga yang berwenang untuk melakukan perubahan dan revisi terhadap
peraturan perundang-undangan mengeluarkan putusan nomor 93/PUU-X/2012
tentang perubahan atas Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah dengan menyatakan bahwa Pasal tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum dalam amar putusannya. Oleh karena itu
Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang
71
menangani sengketa ekonomi syariah. Hal ini dapat dikatakan sebagai puncak
dari perdebatan selama ini dan menjadi landasan sebagai legalitas kewenangan
Peradilan Agama secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) termasuk satu diantaranya adalah sengketa
perlindungan konsumen.
B. Argumentasi Empiris Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan
Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini mendapat banyak perdebatan di
kalangan ahli hukum. Adanya kemungkinan dualisme yang terdapat di dalam
penyelesaiannya mengharuskan adanya kepastian hukum untuk menjamin suatu
kepastian sebagai jalan penyelesaian yang harus ditempuh.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjelaskan di
dalam Pasal 45 poin (1) bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
Peradilan Umum. Dengan aturan ini para hakim peradilan berpendapat berbeda
dengan tidak menyalahkan Undang-undang ini (UUPK) seluruhnya. Alasan yang
paling sering muncul adalah bahwa UUPK hadir sebelum kewenangan absolut
Peradilan Agama ditambahkan dengan kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah pada tahun 2006 melalui UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah lagi dengan UU
72
No. 50 Tahun 2009. Bahwa UUPK ini juga hadir sebelum UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah hadir.
1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen
dalam Lembaga Keuangan Syariah
Beberapa alasan dan pendapat para hakim Peradilan Agama mengenai
kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen
ekonomi syariah telah tertuang di dalam beberapa putusan yang terdapat di dalam
pertimbangan hukum terkait dengan permasalahan ini. Banyak diantara para
hakim yang sependapat bahwa seharusnya kewenangan menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen ekonomi syariah diselesaikan melalui Peradilan Agama.
Hal ini bukan saja dinyatakan oleh Majelis Hakim di Peradilan Agama itu sendiri,
beberapa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri dalam amar putusannya
mengadili bahwa Peradilan Umum tidak berwenang menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen ekonomi syariah. Namun tidak memungkiri dalam
putusan yang lain ada putusan majelis hakim Peradilan Agama yang belum berani
menyatakan hal yang sama dan masih mengikut kepada peraturan perundang-
undangan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang permasalahan ini
belum sepenuhnya diketahui oleh para hakim di peradilan.
Dari beberapa putusan yang telah penulis baca dan pelajari, pertimbangan
hukum yang mendasari pendapat para hakim peradilan mengatakan bahwa
sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah merupakan kewenangan
absolut Peradilan Agama.
73
a. Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA. Bjb.
Putusan Peradilan Agama Banjarbaru ini adalah tentang aqad
mudharabah antara penggugat Moses Antonius melalui kuasa hukumnya
Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI
Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank
BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah
(KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini
menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya
terhadap perjanjian yang disepakati. bahwa hakim berpendapat tentang eksepsi
kompetensi tergugat perlu untuk majelis hakim bermusyawarah. Bahwa
penunjukan Peradilan Umum dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut lahir tahun 1999, sedangkan
kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa ekonomi syariah sejak tahun
2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu
kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah
yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
74
Nomor 93/PUU-X/2012, oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-
satunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa ekonomi syariah.
b. Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/ PA.Yk
Putusan Peradilan Agama Yogyakarta adalah tentang Antara penggugat
dan tergugat terlibat dalam kesepakatan mudharabah muqayyah executing
tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi
hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad,
penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung
klausula baku dan sepihak sehingga bertentangan dengan UUPK. Bahwa
tergugat dalam empat poin eksepsinya mengatakan bahwa Peradilan Agama
tidak berwenang tentang perkara yang dimaksud melainkan kewenangan
Peradilan Umum. Bahwa kemudian atas semua permohonan yang dimohonkan
penggugat dalam gugatan eksepsinya kemudian para hakim berpendapat bahwa
Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang tergugat katakan
bahwa Peradilan Agama Yogyakarta tidak berwenang menyelesaikan
perselisihan investasi mudharabah muqayyah adalah tidak tepat karena
merupakan salah satu dari kewenangan Peradilan Agama dalam Pasal 49 huruf
(i) UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah tentang perbankan
syariah sebagaimana tercantum di dalam pasal 55 UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Bahwa kemudian dengan semua pertimbangan yang
ada. Majelis Hakim berpendapat perkara yang dimaksud adalah kewenangan
yang termasuk dalam lingkungan Peradilan Agama.
75
c. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No. 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk
Putusan PTA Yogyakarta ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta
di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan
banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta
terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas.
d. Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 0527/Pdt.G/2014/ PA. Gtlo
Putusan Peradilan Agama Gorontalo adalah tentang kredit murabahah.
Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk
melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini
adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah
atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo
melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan
majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyatakan perkara yang
dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah
prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun. Bahwa menurut para hakim
perkara yang dimaksud merupakan perkara yang diatur dalam perlindungan
konsumen dan harus diselesaikan di peradilan umum. Bahwa kemudian hakim
juga merasakan adanya sengketa ekonomi syariah di dalam perkara tersebut.
Namun hakim tidak begitu meyakini tentang ini dan menyatakan bahwa perkara
tersebut adalah perkara yang diwenangi oleh peradilan dalam lingkungan
Peradilan Umum. Atas dasar argumentasi ini kemudian para hakim menyatakan
tidak dapat menerima perkara tersebut.
76
e. Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP
Putusan Peradilan Negeri Martapura ini adalah tentang Perkara antara
penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah
Indonesia Finance cabang Martapura. Selanjutnya YLKI mewakili konsumen
bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1
unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah
perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari
nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya
melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya
majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura
melainkan PA Martapura. bahwa hakim Peradilan Negeri Martapura
berpendapat bahwa memang Peradilan Agamalah yang berhak menyelesaikan
perkara tersebut. Bahwa badan usaha yang dimiliki tergugat adalah badan usaha
yang telah menyatakan diri tunduk kepada prinsip-prinsip syariah, sehingga
usaha ini adalah usaha syariah, hal ini terlihat dari namanya PT. Al Ijarah
Indonesia Finance Cabang Martapura, dan seluruh nasabah/konsumen badan
usaha ini adalah konsumen ekonomi syariah. Maka seharusnya menurut alasan
yang sama persis seperti alasan yang disampaikan hakim Peradilan Agma
Banjarbaru di atas, Peradilan Agamalah yang menyelesaikan perkara tersebut.
Bahwa segala persengketaan yang berkaitan dengan ekonomi syariah adalah
kewenangan absolut Peradilan Agama.
77
2. Tabel Perbandingan Putusan Para Hakim Peradilan Agama dan Peradilan
Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Ekonomi
Syariah
No Nomor Putusan/ Nama Pengadilan
Tentang Perkara
Putusan Akhir
1 259/Pdt.G/2013/PA.BjbPA Banjarbaru
Adalah Moses Antonius melalui kuasa hukumnya Suhatno dkk (YLPKK) dinyatakan sebagai penggugat melawan PT. Bank BNI Syariah kantor cabang banjarmasin. Bahwa penggugat adalah konsumen bank BNI syariah terkait dengan utang piutang untuk pembiayaan pembelian rumah (KPR) dengan sistem syariah. tertunggaknya pembayaran aqad mudharabah ini menyebabkan pelanggaran aqad oleh Bank BNI syariah kepada konsumennya terhadap perjanjian yang disepakati.
Mengadili:(1) menyatakan mengabulkan eksepsi Tergugat.(2) menyatakan Peradilan Agama Banjarbaru tidak berwenang mengadili perkara ini. (namun perlu diperhatikan, bahwa maksud penolakan bukan karena Peradilan Agama tidak berwenang tentang perkara, namun lebih kepada kewenangan relatifnya yang ternyata salah. Hal ini tercantum dalam eksepsi).
2 0047/Pdt.G/2012/PA.YkPA Yogyakarta
Antara penggugat dan tergugat terlibat dalam kesepakatan mudharabah muqayyah executing tentang kerjasama investasi bukan utang piutang. Dengan kesepakatan bagi hasil 65% untuk BPRS dan 35 % untuk nasabah BMT. Di dalam aqad, penggugat merasa perjanjian tidak sesuai dengan UUPS karena mengandung klausula baku dan sepihak sehingga
Mengadili:(2) Menyatakan Peradilan Agama berwenang untuk mengadili perkara tersebut.
78
bertentangan dengan UUPK.
3 40/Pdt.G/2012/PTA.YkPTA Yogyakarta
Perkara ini adalah perkara dari putusan PA Yogyakarta di atas yang kemudian dibanding kepada PTA Yogyakarta. Dalam putusan banding ini PTA Yogyakarta menguatkan sepenuhnya putusan PA Yogyakarta terkait sengketa perlindungan konsumen syariah di atas.
Mengadili:(1) Menguatkan putusan Peradilan Agama Yogyakarta tanggal 05 Juli 2012 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban 1433 Hijriyyah, nomor 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk. yang dimohonkan banding;
4 0527/Pdt.G/2014/PA.GtloPA Gorontalo
Bahwa penggugat I dan II menyerahkan kepada YLKI Gorontalo untuk melawan tergugat Rukmin Ressa mewakili PT Bank Muamalat. Perkara ini adalah tentang isi kalusula baku yang memperlihatkan kerugian kepada nasabah atau konsumen seperti yang dinyatakan UUPK. Selanjutnya PA Gorontalo melihat perkara ini sebagai sengketa perlindungan konsumen secara murni dan majlis hakim merujuk kepada pasal 45 UUPK dan menyetakan perkara yang dimaksud adalah kewenangan PN, meskipun sebenarnya mereka melihat adalah prinsip2 kesyariahan di dalam aqad yang dibangun.
Mengadili:(1) Menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini;
5 03/Pdt.G/2013/PN.MTPPN Martapura
Perkara antara penggugat Sehatno dkk dari YLPKK (Kalimantan) melawan PT. Al Ijarah Indonesia Finance cabang Martapura.
Mengadili:(2) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara
79
Selanjutnya YLKI mewakili konsumen bernama Ferry Sadli terkait utang piutang secara angsuran untuk pembelian 1 unit mobil. Dalam gugatan ini tergugat menyatakan bahwa perkara ini adalah perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. hal ini dilihat dari nama perusahaan yang digugat adalah PT. Al Ijarah yang dalam prinsipnya melaksanakan ekonomi yang berbasis syariah. sehingga di dalam putusannya majelis hakim menyatakan perkara bukanlah kewenangan PN Martapura melainkan PA Martapura.
tersebut;
6 26/PDT.SUS-BPSK/2015/PN.GRTPN Garut
Perkara ini adalah sengketa antara pihak pertama Dadang Setiawan melawanpihak kedua PT. BPRS PNM Mentari. Dimana Dadang mengajukan gugatan atas keberatannya kepada pihak kedua yang telah menyalahi aqad sebagai mana tercantum di dalam UUPK mengenai perlindungan konsumen. Bahwa kemudian majelis hakim PN Garut yang menerima gugatan penggugat menyatakan bahwa sengketa yang dimaksud bukanlah sengketa perlindungan konsumen sebagaimana
Mengadili:(2) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Garut tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
80
dinyatakan UUPK diselesaikan di PN, namun para hakim menyatakan kewenangan menyelesaikannya adalah di PA Garut. Hal ini dikarenakan bahwa aqad yang dibangun oleh para pihak adalah aqad yang berpsinsip kesyariahan.
7 47/Pdt.G/2013/PN.KltPN Klaten
Pihak penggugat dalam perkara ini adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia melawan PT. Bank BRI Syariah kantor pusat Jakarta CQ. PT. Bank BRI Syariah cabang Yos Sudarso Yogyakarta. Bahwa penggugat dengan tergugat telah melakukian aqad murabahah terkait peminjaman penggugat kepada tergugat senilai Rp. 130.000.000. Namun telah terjadi tunggakan pembayaran oleh penggugat terhadap tergugat sehingga menimbulkan persengketaan antara para pihak. Sehingga PN Klaten yang sebagai pengadilan yang menerima gugatan penggugat tersebut menyatakan bahwa PN Klaten tidak berwenang menyelesaikan sengketa karena sengketa tersebut adalah sengketa perlindungan konsumen syariah dan harus diselesaikan di PA.
Mengadili:(1) Menyatakan Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 47/Pdt.G/2013/PN.Klt. tersebut;
8 158/Pdt.G/2013/PN.Mlg
Perkara antara YLKI,dkk melawan PT. Bank
Mengadili:(2) Menyatakan
81
PN Malang Tabungan Negara Syariah cabang Malang. Bahwa penggugat telah melakukan aqad murabahah dengan pihak kedua terkait pembiayaan pembelelian satu unit rumah. Namun di tengah perjalanan pembiayaan tersebut penggugat mengalami kemacetan pembayaran kepada pihak bank yang menyebabkan kepada pelelangan jaminan yang diberikan penggugat kepada tergugat. Penggugat merasa kebertan dan mengajukan gugatan melalui YLKI kepada PN Malang. Selanjutnya PN Malang yang menyidangkan perkara ini menyatakan bahwa sengketa tersebut bukanlah kewenangan PN Malang, akan tetapi merupakan kewenangan PA.
Peradilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara ini;
Dari delapan putusan peradilan yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat
bahwa sebenarnya dari para hakim itu sendiri telah mengetahui dan sependapat
tentang kewenangan absolut Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa
perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau bisnis
syariah. Bukan hanya hakim di Peradilan Agama saja yang menegaskan tentang
kewenangan untuk menyelesaikan perkara ini, beberapa putusan lain justru
diputuskan oleh majelis hakim di Peradilan Negeri yang dalam amar
82
putusannya menyatakan Peradilan Umum tidak berwenang untuk mengadili
perkara ekonomi syariah terutama perkara perlindungan konsumen.
Dari kedelapan putusan tersebut di atas, dua putusan Peradilan Agama
menyatakan Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara sengketa
perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan Tinggi
Agama menguatkan putusan Peradilan Agama yang menyatakan berwenang
untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi
syariah. Empat putusan Peradilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang
untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi
syariah. Satu putusan Peradilan Agama yang menyatakan tidak berwenang
untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi
syariah.
Putusan di atas memperlihatkan betapa sebenarnya para hakim
mengetahui tentang kewenangan absolut Peradilan Agama untuk
menyelesaikan perkara yang dimaksud. Namun apa yang terdapat di dalam
putusan Peradilan Agama Gorontalo juga memperlihatkan bahwa memang
masih ada beberapa hakim yang belum mengetahui tentang kewenangan ini
secara mendalam. Tentu seharusnya hal yang semisal putusan Peradilan Agama
Gorontalo ini tidak terjadi karena legalitas untuk permasalahan ini dapat dilihat
kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
83
C. Analisis Kewenangan Peradilan Agama Menyelesaikan Sengketa Perlindungan
Konsumen dalam Ekonomi Syariah
Penelitian yang penulis lakukan adalah dengan melihat secara lebih mendalam
tentang analisis yuridis dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan
(Statute Approach) dan menggunakan pendekatan putusan atau kasus yang terjadi
(Case Approach). Hasilnya setelah melihat dan mempelajari peraturan perundang-
undangan yang mengatur terkait permasalahan penelitian penulis serta melihat
putusan-putusan mengenai kewenangan absolut dalam menyelesaiakan sengketa
ekonomi syariah di atas, penulis memperkuat pendapat para hakim Peradilan Agama
yang menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah satu-satunya lembaga peradilan
yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Hal ini sesuai
dengan alasan-alasan yang mendasarinya. Diantaranya;
1. Asas Lex Specialis derogate legi generali (Hukum yang khusus mengalahkan
hukum yang umum)
Dalam istilah hukum kita temukan asas ini bahwa undang-undang yang
secara khusus telah mengatur suatu perihal yang diundangkan memiliki kekuatan
hukum yang lebih kuat dari pada perundangan yang masih secara umum mengatur
tentang perkara yang dimaksud. Dimana kedudukannya akan lebih diutamakan
sebagai sumber rujukan dan yang lebih diprioritaskan dalam prakteknya.
Dalam hal ini sangat berkaitan bahwa Undang-undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) telah membahas secara global mengenai perlindungan
konsumen. Namun tetap harus menjadi perhatian di kalangan ahli hukum bahwa
84
kehadiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah
adalah undang-undang yang khusus dan mengkhususkan pengaturan tentang
perbankan syariah termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa.
Di sini kemudian diperlukan skala priotas yang seharusnya lebih
didahulukan, bahwa memang segala urusan mengenai perbankan syariah
merupakan suatu prihal yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Hal
ini sangat sejalan dengan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 yang menyatakan demikian.
Sehingga penulis beranggapan bahwa kekuatan UUPK yang menyatakan bahwa
Peradilan Umum lah yang berwenang menyelesaikan sengketa Perlindungan
Konsumen akan menjadi berbeda ketika prinsip usaha barang dan/atau jasa yang
dimaksud adalah yang berbasis syariah, dan hal ini merupakan pengkhususan yang
dimaksud.
2. Lex posterior Derogat legi priori (Hukum yang baru mengalahkan hukum yang
lama)
Di dalam asas ini juga terdapat persamaan dengan apa yang terjadi di atas,
bahwa di dalam perundang-undangan akan selalu terjadi perubahan/revisi terhadap
suatu peraturan yang telah diberlakukan sebelumnya. Hal ini karena prinsip hukum
akan selalu berkembang dengan seiring perkembangan waktu dan zaman.
Istilah ini juga terjadi di dalam perjalanan penerapan hukum Islam yang
dibawa Rasulullah SAW bagaimana penerapan hukum itu dinamis dan
berkembang sesuai dengan waktu dan zaman berlakunya. Bukan berarti hukum
85
bisa diubah seenaknya, pengembangan hukum tetap harus menghadirkan
ketentuan sebelumnya, tidak menyalahi aturan yang lebih tinggi darinya. Dengan
pengoptimalan untuk menghadirkan produk hukum akan memberikan kenyamanan
yang lebih baik kepada masyarakat hukum tersebut. Dalam proses pengkajian
hukum Islam inilah yang kemudian dikenal istilah Al-quran, Al-hadits, ijma’,
qiyas dan lainnya.
Dalam hukum positif asas ini bisa saja terjadi dimana hukum yang telah ada
dan mengatur sebelumnya telah terhapus dengan hadirnya undang-undang atau
peraturan yang baru yang mengatur kepada prihal yang sama. Sehingga tetap
dalam perubahan tersebut tidak meniadakan istilah dan asas hukum yang lain yang
seharusnya tidak dilanggar dalam penerapannya.
Hal ini yang kemudian dapat dilihat dari kapan diundangkannya suatu
undang-undang. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) lahir pada
tahun 1999 yang secara umum mengatur tentang perlindungan konsumen secara
keseluruhan. Kemudian UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul menyatakan sengketa ekonomi
syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Tahun 2008 lahir pula UU No 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan penyelesaiannya di
dalam lingkungan Peradilan Agama. sehingga Pasal 45 UUPK yang menyatakan
sengketa perlindungan konsumen diselesaikan di Peradilan Umum harus dibaca
Peradilan Agama, karena tidak berlaku lagi dengan adanya peraturan yang baru.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
86
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang kemudian membuka kesempatan untuk
penyelesaian dilingkungan Peradian Umum maka dikeluarkanlah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Hal ini karena banyak para pihak
yang sedang bersengketa melakukan eksepsi kepada Peradilan Agama atas
kewenangan absolutnya menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Menurut para
pihak melalui kuasa hukumnya perlindungan konsumen merupakan kewenangan
absolut Peradilan Umum. Kemudian disisi lain ekonomi syariah adalah
kewenangan Peradilan Agama. Termasuk di dalamnya sengketa perlindungan
konsumen dalam ekonomi syariah. Dengan terbitnya putusan Mahkamah
Konstitusi ini seluruh sengketa yang berkaitan dengan ekonomi syariah merupakan
kewenangan yang mutlak di Peradilan Agama dan putusan ini sekaligus menjadi
jawaban dari pertanyaan tentang permasalahan ini selama ini.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 ini adalah
sebuah aturan yang kekuatan hukumnya mengikat dan bersifat final. Hal ini karena
keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Ketika
Mahkamah Konstitusi menggunakan haknya sebagai negativ legislator ini, maka
putusan tersebut dibacakaan di depan sidang yang terbuka untuk umum maka
otomatis sejak saat ini Pasal tentang penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21
Tahun 2008 menjadi tidak berlaku lagi sehingga Peradilan Agama adalah lembaga
87
peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam
ekonomi syariah.
4. Asas Personalitas Keislaman di Peradilan Agama
Asas yang secara khusus hanya terdapat di Peradilan Agama ini adalah salah
satu dalil yang mengharuskan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus diselesaikan di lembaga peradilan dalam
dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 49 UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun
2006 kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Pasal 2 menegaskan
bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam Undag-undang ini”. Pasal 49 menegaskan bahwa: “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan
kewenangan lainnya.
Dengan pernyataan yang terdapat di Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Agama
ini sangat sejalan dengan asas yang dimaksud. Bahwa perkara ekonomi syariah
adalah perkara yang terdapat prinsip-prinsip keislaman di dalamnya, baik itu orang-
orangnya (para pihak) maupun lembaga atau organ yang terdapat di dalamnya.
Sehingga seharusnya penyelesaian sengketa ini dikembalikan kepada lembaga
peradilan yang secara kewenangannya mengurusi kepentingan perkara yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip keislaman yaitu Peradilan Agama.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya mengenai kewenangan Peradilan
Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) dalam sengketa ekonomi syariah penulis mengambil kesimpulan
dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalah yang penulis
berikan.
Secara Peraturan Perundang-undangan, sengketa perlindungan konsumen dalam
ekonomi telah di atur oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
atau UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang
ini dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen yang diselesaikan melalui lembaga peradilan diselesaikan di
Peradilan Umum. Bila melihat pasal ini secara umum Peradilan Agama tidak
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen
ini secara kewenangan absolutnya karena telah dibatasi oleh kewenangan yang
diberikan kepada Peradilan Umum.
Jangkauan kewenangan Peradilan Agama mewenangi penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen dalam ekonomi yang berbasis syariah ditandai dengan
lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Pasal 49 huruf (i) menambahkan kewenangan absolut
Peradilan Agama menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dengan
89
diberikannya kewenangan ini menimbulkan suatu peralihan yang harus
dialihkan dari yang sebelumnya perkara termasuk kedalam kewenangan
Peradilan Umum kemudian diselesaikan di Peradilan Agama. UU No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55 menyatakan bahwa sengketa dalam
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) diselesaikan di Peradilan Agama. Namun
ayat kedua dari Pasal ini membuka celah untuk penyelesaiaan sengketa
konsumen keuangan syariah diselesaikan di Peradilan Umum. Hal ini
menimbulkan dualisme kewenangan, karena tidak mungkin ada dua peradilan
yang menjadi tempat penyelesaian untuk satu kasus yang telah dikhususkan
menjadi kewenangannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
X/2012 tentang revisi dan perubahan terhadap Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan jalan keluar dari
persoalan dualisme kewenangan ini. Putusan ini menyatakan bahwa Pasal ini
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan putusan ini, segala
sengketa yang muncul dalam ekonomi syariah mutlak diselesaikan di Peradilan
Agama ketika memilih jalur litigasi.
Secara pendekatan terhadap putusan pengadilan mengenai kewenangan
menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah para
hakim dalam amar putusannya telah menyatakan bahwa kewenangan ini
merupakan kewenangan yang khusus bagi Peradilan Agama. Putusan yang
menyatakan demikian bukan hanya terdapat dalam putusan Peradilan Agama
saja. Dari delapan putusan yang penulis pelajari, dua putusan Pengadilan
90
Agama menyatakan Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara
sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Satu Pengadilan
Tinggi Agama menguatkan putusan Pengadilan Agama yang menyatakan
berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan konsumen
dalam ekonomi syariah. Empat putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan
tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa perlindungan
konsumen dalam ekonomi syariah. Satu putusan Pengadilan Agama yang
menyatakan tidak berwenang untuk menyelesaikan perkara sengketa
perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.
2. Kemudian yang menjadi legalitas tentang kewenangan absolut Pengadilan
Agama menyelesaikan sengketa lembaga keuangan syariah dapat dilihat dari
analisis yuridis terhadap peraturan undang-undang terkait permasalahan ini dan
analisis empiris terhadap putusan-putusan lembaga peradilan yang telah
diputuskan terkait sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah.
Hasil akhir dari analisis yuridis dan empiris mengenai sengketa perlindungan
konsumen dalam ekonomi syariah membuktikan bahwa sengketa perlindungan
konsumen dalam ekonomi syariah menjadi kewenangan khusus yang
diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini kemudian didukung
dengan beberapa istilah dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam dunia hukum.
Beberapa asas dan istilah yang memperkuat dalil tentang kewenangan Peradilan
Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi
syariah diantaranya; Asas Lex Specialis derogate legi generali, Lex
91
posterior Derogat legi priori, kemudian ditambahkan dengan asas
personalitas keislaman yang dimiliki oleh lembaga Peradilan Agama.
3. Dalam praktiknya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen syariah pada
hakikatnya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen dalam sistem ekonomi konvensional. Dari beberapa
putusan terkait persoalan tersebut menyatakan bahwa kewenangan ini memang
merupakan kewenangan lembaga Peradilan Agama. Hal ini bukan saja
dinyatakan oleh majelis hakim dalam Peradilan Agama itu sendiri. Hal yang
sama juga dinyatakan oleh lembaga Peradilan Umum. Namun bila dilihat dari
jumlah perkara yang diselesaikan masih sangat minim persidangan yang
dilangsungkan mengenai sengketa perlindungan konsumen di Peradilan Agama.
Hal ini bukan hanya karena kewenangannya yang dapat dikatakan masih baru
namun juga karena banyaknya kesempatan untuk memilih lembaga lainnya di
luar peradilan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.
B. Saran-saran
Sebagai penutup dari kesimpulan di atas, penulis menyertakan beberapa saran
mengenai kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan
konsumen dalam perbankan syariah mengenai ekonomi syariah:
1. Agar kiranya dikeluarkan peraturan atau perundang-undangan yang baru
sebagai penyempurna dari peraturan yang ada sebelumnya yang secara rinci dan
jelas mengatur tentang ekonomi syariah dan bagaimana proses penyelesaian
sengketa yang ada di dalamnya. Hal ini untuk menjamin para konsumen
92
sebagai pemakai atau orang yang mengambil manfaat dari suatu produk barang
dan/atau jasa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Sebagaimana
seharusnya antara produsen dan konsumen atau semua pihak menjalankan
prinsip jual-beli secara Islami dan menyelesaikan persengketaan juga dengan
cara-cara yang Islami.
2. Sangat diperlukan adanya penegasan yang secara hukum memiliki kekuatan
hukum yang kuat bahwa Peradilan Agama adalah lembaga Peradilan yang
memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang
berkaitan dengan ekonomi syariah. Karena syariah yang dimaksud adalah suatu
konsep yang diperkenalkan oleh Islam yang kemudian Peradilan Agama adalah
peradilan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Sebagaimana Peradilan Agama memiliki asas personalitas keislaman.
3. Agar Negara memfokuskan suatu upaya untuk menciptakan hakim-hakim yang
memiliki kompetensi yang mapan mengenai ekonomi syariah secara
keseluruhan. Sebagaimana penulis melihat bahwa tidak dipungkiri banyak
Hakim-Hakim di Peradilan Agama sendiri yang belum begitu memahami
ekonomi syariah itu sendiri secara mendalam.
4. Penelitian ini masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan
memerlukan lanjutan, khususnya mengenai proses penyelesaian sengketa
ekonomi secara lebih mendalam.
93
DAFTAR PUSTAKA
A. BukuReferensi
Alquran al-Karim
Ahmad Noeh, Zainidan Adnan, Abdul Basit, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Amandemen Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia, jakarta; Kencana, 2008.
As-siddieqy, Hasby,Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta; PT. Ma’arif,1994.
Asyhadie, Zaeni, HukumBisnis; Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Depok; PT. Raja Grafindo Persada, 2012, cet. Ke-6.
DelfaYona,Rika, Eksistensi Kewenangan Peradilan Agama Dalam MengeksekusiPutusan Arbitrase Syariah , Jakarta: UIN SYAHID Jakarta, 2010.
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, cet. Ke -2.Jakarta: KENCANA, 2010.
Echlos, Jhon M. dan Sadily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta; Gramedia,1995.
Ganda Subrata, Purwoto S, Dengan Etikadan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawadan Martabat hakim Indonesia, Jakarta; Bina Yustisia MahkamahAgung RI, 1994.
Ganda Subrata, Purwoto S, TugasdanFungsi Hakim, Jakarta; BinaYustisiaMahkamahAgung RI, 1994.
Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalamsistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung: P. T. ALUMNI, 2003.
94
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Bandung; Citra AdityaBakti, 1997.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, Jakarta; Pt. Garuda metropolitan Press, 1993.
Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, DanputusanPengadilan, Jakarta; Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-9.
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan AcaraPeradilan Agama, Jakarta; PT. Sarana Bakti Semesta, 1997. Cet. Ke-3
HasanBisri, Cik,Peradilan Agama di Indonesia,Jakarta; Pt. RajawaliGrafindoPersada, 1996.
Hasan, Hasbi, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Perkara EkonomiSyariah, Depok: Gramata Publishing, 2010.
Hasan, Hasbi, KompetensiPeradilan Agama, Dalam Penyelesaian PerkaraEkonomiSyariah, Depok;Gramata Publishing, 2010.
IdrisRamulyo, Moh,Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hill Co, 1991.
Irsyad, Syamsuhadi, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, Makalah, 10 Juli 2006.
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; UIN Jakarta/FSH, 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Depdikbud, BalaiPustaka, 1996, Cet. Ke-7.
Kansil, C.S.T., dan Kansil, Christie S.T., Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta; sinar grafika, 2010, Cet. Ke-5.
Kartika, Elsi danSimanunsong, Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT. Grasindo, 2008, cet. Ke-5.
Mabruri Thallah, Abdul Mujib, Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Jakartta; PT. Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-3.
Manan, Abdul ,Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama, Jakarta: KENCANA, 2012.
95
Manan, Bagir, Tugas hakim: Antara Melaksanakan FungsiHukum dan TujuanHukum Dalam Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung,Jakarta; Dirjen PA, 2007.
Miru, Ahmadi & Yudo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007.
Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; PT. Rajawali GrafindoPersada, 2004.
Muhammad danAlimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta; BPFE, 2004.
Nasution, Az, Konsumen dan Hukum, Jakarta: Pustaka Sinar, 1995.
Poerwadarminta, WJS.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta; BalaiPustaka, 1976.
RiszaIdris, Hendi, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya, Majalah Hidayatullah EdisiMaret 2007.
Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, Jakarta; Universitas Indonesia, 2004.
Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Sofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002.
Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Vollenhoven, C. Van,Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Jakarta; Djambatan-Inkultra Foundation Inc., 1981.
Warson, Ahmad, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia),Jakarta; M. Jakarta, 1996.
Wingjosoebroto, Soetandoyo, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: SuatuTelaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar SosiologiHukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989.
96
Wulan Sutantio, Retno dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori danPraktek, Bandung, Mandar Maju, 1989.
Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia, Malang; UIN-Malang UIN-Malang Press,2008.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; Kencana, 2013.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 45)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dirubah kembali dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diubah denganUndang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang PerbankanSyariah.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tentang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia, Palembang, tahun 2009.
C. Internet
http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.
http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-ruang-lingkup-manfaat.html#_, diakses tanggal 15 oktober 2015, pukul 08.20 WIB.
97
http://Wikipedia.org/wiki/ Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia. Diakses Rabu, 23 september 2015 pukul 13.00 WIB.
http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.
D. Penelitian dan Skripsi
Hazzaziev, Djawahir.“Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian SengketaPerbankan Syariah,” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Melianah. “Proses Pembuatan Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam PerspektifUndang-undang Perlindungan Konsumen (studi kasus pada Bank SyariahMandiri),”Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2014.
Abdul, Hafid Nur. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,”Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
E. Putusan Mahkamah Agung
Putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA.Bjb.
Putusan Peradilan Agama Yogyakarta No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk
Putusan Peradilan Tinggi Agama Yogyakarta No 40/Pdt.G/2012/PTA.Yk
Putusan Peradilan Agama Gorontalo No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo
Putusan Peradilan Negeri Martapura No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP
Putusan Peradilan Negeri GarutNo. 26/PDT.SUS BPSK/2015/PN.GRT
Putusan Peradilan Negeri Klaten No.47/Pdt.G/2013/PN.Klt
Putusan Peradilan Negeri Malang No.158/Pdt.G/2013/PN.Mlg