22
1 KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN CURRENT STATUS AND THE FUTURE OF FOOD CROP DEVELOPMENT D.K.S. Swastika 1 , J. Wargiono 2 , B. Sayaka 1 , A. Agustian 1 , dan V. Darwis 1 1 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111 ABSTRACT In the last 15 years, the production of rice, corn, sybean and cassava had always been lower than demand and, therefore, such production has always been in a deficit state. Yet, the overall performance of food crop production in 2005 was considered satisfactory. Such achievement was shown by the increasing production of rice, corn and soybean with the excemption of cassava which showed a one per cent decrease in 2004. in the coming year, Indonesia’s rice production is expected to improve, whereas corn, soybean and cassava production are predictably lower. The decrease of corn and soybean production in 2006 are due to too much rain that negatively affect the harvest areas. In year 2007, the country will continue apply the prior agriculture development program such as: (a) improving food security, (b) agribusiness development, and (c) farmer’s welfare improvement. Key words : food crop, rice, corn, cassava, demand ABSTRAK Selama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari permintaan, sehingga selalu mengalami defisit. Kinerja pembangunan pertanian tanaman pangan tahun 2005 cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya produksi padi, jagung, dan kedelai dibandingkan dengan tahun 2004, kecuali ubi kayu yang menurun 1%. Dalam tahun 2006, produksi padi diramalkan meningkat, sedangkan produksi jagung, kedelai, dan ubi kayu diramalkan menurun. Penurunan produksi jagung dan kedelai disebabkan oleh banyaknya hujan tahun 2006, sehingga areal panen kedua komoditas tersebut menurun. Pada tahun 2007, program pembangunan pertanian masih melanjutkan program sebelumnya yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan, (b) Pengembangan Agribisnis, dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani. Kata kunci : tanaman pangan, beras, jagung, ubi kayu, permintaan PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan menda- sar bagi suatu negara, terutama negara berkem- bang. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara akan menyebabkan ke- rawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pe- ngalaman menunjukkan bahwa kelangkaan pangan, terutama beras, yang menyebabkan melonjaknya harga pada tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik, dan berujung pada penggan- tian pemerintah saat itu (Suryana, 2002). Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan, Indonesia selalu berupaya keras untuk meningkatkan pro- duksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara psikologis maupun politis, kebijakan pangan di Indonesia masih merupakan isu yang sangat penting yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan (Amang et al., 2000). Di antara komoditas pangan, beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia. Usahatani padi menyedia- kan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga pertanian. Selain itu, beras juga merupakan komoditas politik yang sangat strategis, sehingga produksi beras dalam negeri menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia (Suryana, 2002). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika campur tangan pemerintah sangat besar dalam upaya peningkatan produksi dan stabilitas

KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

1

KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN

CURRENT STATUS AND THE FUTURE OF FOOD CROP DEVELOPMENT

D.K.S. Swastika1, J. Wargiono2, B. Sayaka1, A. Agustian1, dan V. Darwis1

1Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111

ABSTRACT

In the last 15 years, the production of rice, corn, sybean and cassava had always been lower than demand and, therefore, such production has always been in a deficit state. Yet, the overall performance of food crop production in 2005 was considered satisfactory. Such achievement was shown by the increasing production of rice, corn and soybean with the excemption of cassava which showed a one per cent decrease in 2004. in the coming year, Indonesia’s rice production is expected to improve, whereas corn, soybean and cassava production are predictably lower. The decrease of corn and soybean production in 2006 are due to too much rain that negatively affect the harvest areas. In year 2007, the country will continue apply the prior agriculture development program such as: (a) improving food security, (b) agribusiness development, and (c) farmer’s welfare improvement.

Key words : food crop, rice, corn, cassava, demand

ABSTRAK

Selama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari permintaan, sehingga selalu mengalami defisit. Kinerja pembangunan pertanian tanaman pangan tahun 2005 cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya produksi padi, jagung, dan kedelai dibandingkan dengan tahun 2004, kecuali ubi kayu yang menurun 1%. Dalam tahun 2006, produksi padi diramalkan meningkat, sedangkan produksi jagung, kedelai, dan ubi kayu diramalkan menurun. Penurunan produksi jagung dan kedelai disebabkan oleh banyaknya hujan tahun 2006, sehingga areal panen kedua komoditas tersebut menurun. Pada tahun 2007, program pembangunan pertanian masih melanjutkan program sebelumnya yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan, (b) Pengembangan Agribisnis, dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Kata kunci : tanaman pangan, beras, jagung, ubi kayu, permintaan

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan menda-sar bagi suatu negara, terutama negara berkem-bang. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara akan menyebabkan ke-rawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pe-ngalaman menunjukkan bahwa kelangkaan pangan, terutama beras, yang menyebabkan melonjaknya harga pada tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik, dan berujung pada penggan-tian pemerintah saat itu (Suryana, 2002). Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan, Indonesia selalu berupaya keras untuk meningkatkan pro-

duksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara psikologis maupun politis, kebijakan pangan di Indonesia masih merupakan isu yang sangat penting yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan (Amang et al., 2000).

Di antara komoditas pangan, beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia. Usahatani padi menyedia-kan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga pertanian. Selain itu, beras juga merupakan komoditas politik yang sangat strategis, sehingga produksi beras dalam negeri menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia (Suryana, 2002). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika campur tangan pemerintah sangat besar dalam upaya peningkatan produksi dan stabilitas

Page 2: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

2

harga dalam pemasaran beras. Kecukupan pangan (terutama beras) dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian, guna menghindari kelaparan serta gejolak ekonomi dan politik (Sudaryanto et al., 1999). Bahkan pada zaman Orde Baru, keberhasilan dalam produksi beras di tiap daerah dijadikan barometer keberhasilan seorang gubernur dan bupati.

Berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi, seperti: pembangunan sarana irigasi; subsidi benih, pupuk, dan pestisida; kredit usahatani bersubsidi; serta pembangunan kelem-bagaan usahatani telah ditempuh. Kebijakan lain adalah bidang penelitian dan pengembangan pertanian, untuk menciptakan teknologi tepat guna, baik dalam hal varietas maupun komponen teknologi lainnya. Demikian juga dalam pema-saran hasil, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar gabah (HDG) atau harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), untuk melindungi petani dari jatuhnya harga di bawah biaya pro-duksi. Sementara itu, kebijakan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat, agar harga beras terjangkau oleh sebagian besar konsumen. Campur tangan yang sangat besar dan bersifat protektif telah membuahkan hasil, yaitu tercapainya swasem-bada beras pada tahun 1984. Namun demikian, swasembada yang dicapai hanya sesaat. Secara umum, selama lebih dari tiga dekade produksi beras dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, sehingga masih tergantung pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh konversi lahan yang terus berlangsung di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi cenderung menurun. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, diperlukan terobosan kebijakan untuk mening-katkan produksi, baik melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun perluasan areal tanam padi pada lahan yang potensial.

Makalah ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kinerja pembangunan pertanian tana-man pangan dan prospeknya dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, terutama dalam memperkuat ketahanan pangan dan meningkat-kan pendapatan petani. Komoditas pangan utama yang dikaji adalah padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu. Studi ini sebagian besar meman-faatkan hasil-hasil studi sebelumnya dengan melakukan pemutakhiran untuk data yang terse-dia sampai tahun 2005.

PRODUKSI DAN KONSUMSI KOMODITAS PANGAN

Kinerja Produksi Pangan

Selama 15 tahun terakhir (1990-2005), areal panen keempat komoditas pangan di Indonesia mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda dan namun cenderung menurun (deminishing growth). Dalam periode 1990-1998, areal panen padi dan jagung tumbuh masing-masing 1,39% dan 2,45%/th. Sebaliknya, areal panen kedelai dan ubi kayu turun dengan per-tumbuhan masing-masing -2,44% dan -1,05%/th. Selama periode 1998-2005, pertumbuhan areal padi, jagung, dan kedelai menurun menjadi masing-masing 0,13%, -0,79%, dan -7,77%/th. Sedangkan pertumbuhan areal ubi kayu mening-kat relatif rendah sekitar 0,10%/th.

Berdasarkan data pertumbuhan areal ma-sing-masing komoditas, terlihat persaingan da-lam penggunaan lahan. Kenaikan areal tanam jagung pada peiode 1990-1998 berdampak pada penurunan areal kedelai dan ubi kayu. Hal ini mencerminkan bahwa pada periode tersebut petani lebih tertarik menanam jagung daripada kedelai atau ubi kayu. Dengan kata lain, mena-nam jagung lebih kompetitif dibandingkan kedelai dan ubi kayu. Gonzales et al. (1993) mengguna-kan indikator DRCR dan Ditjentan (2004) meng-gunakan indikator R/C, melaporkan bahwa usahatani jagung lebih kompetitif dibandingkan dengan kedelai.

Produksi padi selama periode 1990-1998 meningkat rata-rata 1,08%/th. Rendahnya per-tumbuhan produksi padi pada periode ini ter-utama disebabkan oleh adanya anomali iklim (El-Niño pada MH 1997/98) yang berdampak pada penurunan produktivitas tahun 1998. Produkti-vitas padi tahun 1998 turun sekitar 5,3% diban-dingkan dengan tahun sebelumnya. Pada perio-de 1998-2005, produksi padi meningkat rata-rata 1,37%/th, yang merupakan sumbangan pertum-buhan areal 0,13% dan produktivitas 1,23%. Hal ini mengindikasikan periode pemulihan dari produksi padi.

Produksi jagung meningkat cukup tajam dengan pertumbuhan 5,29%/th selama periode 1990-1998. Pertumbuhan ini disebabkan oleh pertumbuhan areal (2,45%/th) dan pertumbuhan produktivitas (2,77% /th). Selanjutnya selama pe-riode 1998-2005, meskipun areal panen menurun

Page 3: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

3

dengan pertumbuhan -0,79%/th, namun produk-tivitas meningkat rata-rata 3,84%/th, sehingga produksi meningkat rata-rata 3,02%/th.

Berbeda dengan padi dan jagung, pro-duksi kedelai menurun makin tajam dengan pertumbuhan rata-rata -1,62%/th selama 1990-1998 dan -6,62%/th selama 1998-2005. Penu-runan ini disebabkan oleh tajamnya penurunan areal panen, meskipun produktivitas meningkat rata-rata 0,84%/th selama periode 1990-1998 dan 1,25%/th selama periode 1998-2005. Hal ini mencerminkan bahwa di satu pihak kemajuan teknologi meningkatkan produktivitas, namun di pihak lain kurangnya insentif menurunkan minat petani menanam kedelai.

Untuk ubi kayu, selama 1990-1998 pro-duksi menurun rata-rata 0,92%/th sejalan dengan penurunan areal. Namun pada peiode 1998-2005, produksi meningkat cukup nyata, yaitu rata-rata 3,99%/th. Peningkatan ini sebagian besar disumbang oleh peningkatan produktivitas (3,89%/th) dan hanya 0,10%/th disumbang oleh peningkatan areal panen. Tingginya pertum-buhan produktivitas mengindikasikan cepatnya kemajuan teknologi, terutama dengan ditemukan-nya varietas unggul berdaya hasil tinggi, seperti Adira-1 sampai Adira-4, dan varietas unggul lainnya. Selama periode ini produktivitas ubi kayu meningkat dari 12,19 ton/ha pada tahun 1998 menjadi 16,15 ton/ha pada tahun 2005. Namun

produktivitas tahun 2005 masih jauh dibawah potensi hasil yang mencapai 25-40 ton/ha (Wargiono et al., 2006).

Secara lebih rinci, perkembangan areal dan produksi tanaman pangan utama di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1, juga disajikan angka ramalan II (Aram-II) dari BPS tentang produksi keempat komoditas pangan yang dikaji. Angka ramalan ini ditentukan berdasarkan hasil pertemuan (rapat pleno) yang dihadiri berbagai pihak seperti: BPS, Badan Ketahanan Pangan (BKP), Ditjentan, Pusdatin Pertanian, Bulog, LAPAN, BMG, Menko Ekuin, dan Bappenas, serta Dinas Pertanian dan BPS Provinsi seluruh Indonesia.

Jika angka ramalan tersebut benar ter-wujud, maka akan terdapat penurunan produksi jagung dan kedelai, masing-masing 0,22% dan 3,07%, dibandingkan dengan produksi tahun 2005. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan areal panen masing-masing 1,17% dan 2,86%, yang diduga merupakan akibat dari tingginya curah hujan, sehingga petani lebih cenderung menanam padi. Produksi padi dira-malkan meningkat rata-rata 1,11% dan ubi kayu meningkat 3,80%, dibandingkan dengan produksi tahun 2005.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melaporkan bahwa peningkatan produksi padi disebabkan oleh tersedianya air dalam jumlah

Tabel 1. Areal Panen dan Produksi Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 1990-2005

Areal Panen (000 ha) Produksi (000 ton) Tahun Padi Jagung Kedelai Ubi kayu Padi Jagung Kedelai Ubi kayu

1990 10.502 3.158 1.334 1.312 45.179 6.734 1.487 15.830 1995 11.439 3.652 1.477 1.324 49.744 8.246 1.680 15.441 1997 11.141 3.355 1.119 1.243 49.377 8.771 1.357 15.134 1998 11.730 3.834 1.095 1.205 49.237 10.169 1.306 14.696 2000 11.793 3.500 825 1.284 51.898 9.677 1.018 16.089 2001 11.500 3.286 679 1.318 50.461 9.347 827 17.055 2002 11.521 3.127 545 1.277 51.490 9.654 673 16.913 2003 11.477 3.359 527 1.245 52.138 10.886 672 18.524

2004 * 11.923 3.356 565 1.256 54.088 11.225 723 19.425 2005 * 11.839 3.626 622 1.213 54.151 12.524 808 19.321

Aram II 2006* 11.867 3.584 604 1.242 54.751 12.496 784 20.055 Pertumb:

1990-1998 1,39 2,45 -2,44 -1,05 1,08 5,29 -1,62 -0,92 1998-2005 0,13 -0,79 -7,77 0,10 1,37 3,02 -6,62 3,99 1990-2005 0,80 0,93 -4,96 -0,52 1,21 4,22 -3,98 1,34

Sumber: FAO, 2005; * = BPS, 2006. diolah; Aram-II 2006 = Angka Ramalan II BPS untuk tahun 2006.

Page 4: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

4

yang cukup, sebagai dampak dari curah hujan yang tinggi, disertai perbaikan saluran irigasi, sehingga areal panen meningkat 0,23% dan produktivitas meningkat 0,87%. Disamping itu, harga gabah yang lebih baik di tingkat petani pada tahun 2006 juga merupakan rangsangan bagi petani untuk menanam padi dengan tek-nologi yang lebih baik. (Ditjentan, 2006a).

Perkembangan Konsumsi Pangan

Selama 15 tahun terakhir, konsumsi beras, jagung, dan kedelai hampir selalu di atas produk-si dalam negeri, sehingga hampir tiap tahun mengalami defisit. Produksi bersih beras dalam periode 1990-2005 meningkat 1,22%/th. Sedang-kan total konsumsi dalam negeri meningkat rata-rata 1,0%/th. Selama periode tersebut, laju per-tumbuhan produksi sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan konsumsi, sehingga defisit beras menurun dari 0,89 juta ton pada tahun 1990 menjadi surplus lebih dari 0,10 juta ton pada tahun 2005. Namun demikian, ada indikasi bahwa defisit beras menurun rata-rata 10,8%/th selama periode 1990-2005. Kondisi ini meng-gambarkan bahwa ke depan, jika pertumbuhan produksi dan konsumsi dapat dipertahankan, ketergantungan Indonesia pada beras impor akan berkurang, bahkan sangat potensial menca-pai dan mempertahankan swasembada beras.

Untuk jagung, produksi dalam negeri me-ningkat dari 6,73 juta ton pada tahun 1990 menjadi 12,52 juta ton pada tahun 2005. Se-mentara itu, total konsumsi meningkat dari 6,60 juta ton pada tahun 1990 menjadi 12,41 juta ton pada tahun 2005. Dengan demikian, pada tahun 1990 terdapat surplus 0,13 juta ton. Selanjutnya

terjadi defisit sampai tahun 2004. Namun pada tahun 2005 tercapai kembali surplus sebesar 0.11 juta ton. Berdasarkan perkembangan pro-duksi dan konsumsi, ada kecenderungan defisit akan makin berkurang.

Kinerja yang lebih buruk adalah perkem-bangan produksi kedelai. Selama periode 1990-2005, produksi terus menurun dari 1,49 juta ton pada tahun 1990 menjadi hanya 0,81 juta ton pada tahun 2005, atau menurun rata-rata 3,98%/th. Penurunan ini disebabkan oleh penu-runan areal yang cukup tajam dari 1,33 juta ha pada tahun 1990 menjadi hanya 0,62 juta ha pada tahun 2005. Puncak produksi dicapai pada tahun 1992, yaitu 1,87 juta ton dari areal seluas 1,67 juta ha. Di lain pihak, total konsumsi dalam negeri berfluktuasi dan cenderung meningkat dari 1,54 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1,81 juta ton pada tahun 2005. Dengan demikian, defisit kedelai terus meningkat dari 0,05 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1,00 juta ton pada tahun 2005, atau sekitar 56% dari total kebutuhan tahun 2005.

Produksi ubi kayu selama 15 tahun terakhir meningkat dari 15,83 juta ton pada tahun 1990 menjadi 19,32 juta ton pada tahun 2005, atau meningkat rata-rata 1,34%/th. Sementara itu, total konsumsi juga meningkat dari 16,50 juta ton pada tahun 1990 menjadi 18,24 juta ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2003, Indone-sia mempunyai net ekspor ubi kayu dalam bentuk gaplek rata-rata 0,47 juta ton/th dan dalam bentuk tapioka 10,5 ribu ton, atau masing-masing setara dengan 1,18 juta ton dan 43,85 ribu ton ubi segar. Sementara itu, dalam bentuk tepung ubi kayu, ternyata neraca perdagangan defisit ra-ta-rata hampir 47,3 ribu ton, atau setara dengan

Tabel 2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras dan Jagung di Indonesia, 1990-2005

Beras (000 ton) Jagung (000 ton) Tahun Produksi Konsumsi Neraca Produksi Konsumsi Neraca

1990 25.616 26.503 -887 6.734 6.601 133 1995 28.205 28.572 -367 8.246 8.226 20 1997 27.997 30.582 -2.585 8.771 9.850 -1.079 1998 27.917 30.548 -2,631 10.169 9.850 319 2000 29.426 31.595 -2,169 9.677 10.914 -1.237 2001 28.611 29.760 -1,149 9.347 10.292 -945 2002 29.195 30.687 -1,492 9.654 10.792 -1.138 2003 29.562 31.161 -1,599 10.886 11.831 -945 2004 30.668 30.627 41 11.225 11.911 -686 2005 30.704 30.599 105 12.524 12.411 113

Sumber: FAO, 2005; BPS, 1990-2005. Diolah.

Page 5: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

5

0,13 juta ton/tahun. Perkembangan produksi dan konsumsi keempat komoditas pangan selama 15 tahun terakhir disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

PERDAGANGAN KOMODITAS PANGAN

Perdagangan Dalam Negeri

Komoditas beras, jagung, kedelai, dan ubi kayu diperdagangkan secara bebas di dalam negeri. Sejak tahun 2003, Bulog tidak lagi memonopoli perdagangan beras, jagung, dan kedelai, karena fungsinya lebih ditekankan untuk kepentingan komersial. Sekarang, hasil panen petani hanya sebagian kecil (sekitar 5%) yang dibeli oleh Bulog dengan harga dasar, selebihnya dibeli oleh pedagang umum dengan harga pasar. Fungsi pedagang umum lebih menonjol dalam hal pembelian dan pengolahan gabah petani hingga pemasaran kepada konsumen. Sedangkan fungsi stok masih dijalankan oleh Bulog pada volume minimal untuk menjaga stabilitas harga. Selama ini stok yang ada di Bulog untuk stabilitas harga dicadangkan sekitar 2,1 juta ton. Jika stok tersebut kurang dari 2,1 juta ton, maka Bulog akan menambahnya melalui impor. Saat ini target stok diturunkan dari 2,1 juta ton menjadi 1,35 juta ton karena sulitnya pengadaan beras (Tempo Interaktif, 2006).

Demikian pula perdagangan jagung yang sebagian besar permintaannya dari industri pakan dan pangan. Bulog tidak lagi menjamin harga dasar sejak 1990. Hasil panen jagung

petani dibeli oleh pedagang pengumpul, dan disalurkan ke industri pakan dan pangan. Sebagian kecil produksi jagung dalam negeri terutama pada panen raya diekspor. Sedangkan kekurangan pasokan jagung domestik dipenuhi dengan impor. Kebutuhan jagung untuk konsumsi rumah tangga umumnya dicukupi oleh produksi petani sendiri. Pada saat tidak panen dan kehabisan stok di rumah, petani akan membeli dari pasar lokal untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Kedelai dalam negeri banyak digunakan untuk industri tahu dan tempe. Relatif sedikitnya produksi dalam negeri mendorong pemerintah mengimpor kedelai dalam bentuk biji untuk industri pangan maupun bungkil kedelai untuk pakan ternak. Distribusi kedelai di dalam negeri, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor, tidak lagi dimonopoli oleh Bulog. Petani kedelai menjual kepada pedagang pengumpul, lalu disalurkan kepada industri pangan, seperti tahu dan tempe. Sedangkan kedelai impor disalurkan oleh importir ke industri pangan melalui koperasi pengrajin tahu dan tempe.

Untuk ubi kayu, sebagian besar dalam bentuk ubi segar dipasarkan oleh petani melalui pedagang pengumpul ke industri tapioka, dan untuk konsumsi rumah tangga. Sebagian lagi dipasarkan dalam bentuk gaplek, dari petani ke industri pakan untuk tujuan ekspor, dan industri tepung ubi kayu untuk industri makanan. Dari industi tapioka, produk ubi kayu dipasarkan ke industri lain seperti tekstil, kayu lapis, dan seba-gainya (Suharno, 1995).

Tabel 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai dan Ubi kayu di Indonesia, 1990-2005

Kedelai (000 ton) Ubi kayu (000 ton) Tahun Produksi Konsumsi Neraca Produksi Konsumsi Neraca

1990 1.487 1.541 -54 15.830 16.500 -670

1995 1.680 2.031 -351 15.441 15.832 -391

1997 1.357 1.813 -456 15.134 14.038 1.096

1998 1.306 1.649 -343 14.696 13.925 771

2000 1.018 2.295 -1.277 16.089 16.740 -651

2001 679 1.822 -1.144 17.055 17.289 -234

2002 673 2.038 -1.365 16.913 17.711 -798

2003 672 1.856 -1.184 18.524 17.876 648

2004 723 1.831 -1.108 19.425 18.052 1.373

2005 808 1.854 -1.046 19.321 18.245 1.076 Smber: FAO, 2005; BPS, 1990-2006. Diolah.

Page 6: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

6

Ekspor dan Impor

Kebutuhan beras, jagung, dan kedelai dalam negeri yang relatif besar belum bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Hal ini men-dorong pemerintah mengimpor bahan pangan tersebut dari pasar dunia. Produksi dalam negeri yang hampir selalu defisit membuat Indonesia dikenal sebagai importir beras, jagung, dan kedelai. Hanya untuk ubi kayu Indonesia terma-suk net ekspor. Indonesia juga mengekspor be-ras, jagung, dan kedelai, tetapi dengan volume dan nilai yang jauh lebih kecil dari impor. Semenjak Bulog tidak lagi menjadi importir tunggal bahan pangan, volume impor ketiga bahan pangan tersebut cenderung naik, karena harga di pasar internasional lebih murah dari pada harga di dalam negeri. Di lain pihak, ekspor bahan pangan relatif sulit menembus pasar dunia jika masih berupa bahan mentah.

Beras

Impor beras cenderung naik selama periode 1990-1998, dari 0,05 juta ton menjadi 2,89 juta ton, atau meningkat rata-rata 66,26%/ th. Pada periode berikutnya (1998-2005), turun rata-rata 32%/th. Walaupun demikian, selama lima belas tahun terkahir impor beras Indonesia

naik rata-rata 9,36%/th (Tabel 4). Penurunan ini sebagian disebabkan oleh pembatasan impor.

Selama periode 1990-2004, ekspor be-ras Indonesia cenderung turun, dari 1.911 ton menjadi 904 ton atau penurunan rata-rata 5,21%/ th. Tetapi pada tahun 2005 terjadi lonjakan luar biasa dalam hal ekspor, yaitu meningkat menjadi 42,286 ton. Sehingga pertumbuhan ekspor dari tahun 1990 sampai 2005 menjadi rata-rata 23%/ th. Walaupun demikian, karena volume ekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan impor, maka neraca perdagangan beras selama 15 tahun terakhir tetap negatif (defisit).

Sebagian besar ekspor beras pada tahun 2005 ditujukan untuk negara Afrika Selatan (99%) dan lainnya ke Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Sudan, Hong Kong, Kepulauan Cook, Micronesia, Australia, Tonga, dan Belanda. Impor beras paling banyak berasal dari Thailand (67%), Vietnam (24%), dan selebihnya berasal dari Australia, Jepang, Amerika Serikat, dan India.

Jagung

Ekspor jagung Indonesia pada periode 1990-1998 naik dari 141.835 menjadi 632.515 ton, atau rata-rata meningkat 20,55%/th. Pada

Tabel 4. Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 0,18 1.911 14,13 49.577 -13,96 -47.666 1995 0,01 5 885,24 3.157.700 -885,23 -3.157.695

1997 0,07 64 108,93 348.075 -108,87 -348.011 1998 1,30 1.981 861,12 2.894.958 -859,82 -2.892.977 2000 0,31 1.247 319,13 1.355.666 -318,82 -1.354.419

2001 0,79 4.010 134,91 644.733 -134,12 -640.723 2002 1,13 3.991 342,53 1.805.380 -341,40 -1.801.389 2003 0,32 676 291,42 1.428.506 -291,10 -1.427.830 2004 0,46 904 61,75 236.867 -61,30 -235.962

2005 8,66 42.286 51,50 189.617 -42,84 -147.331 Pertumb (%) 1990-1998 28,04 0,45 67,15 66,26 67,37 67,07

1998-2005 31,12 54,85 -33,13 -32,25 -34,85 -34,65 1990-2004 6,93 -5,21 11,11 11,82 11,15 12,10 1990-2005 29,46 22,93 9,00 9,36 7,76 7,81 Sumber: FAO (1990-1998); World Bank (2000-2005)

Page 7: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

7

periode berikutnya (1998-2005) ekspor jagung turun rata-rata 29,64 %/th, menjadi 54.009 ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2005 ekspor cenderung turun rata-rata 6,23%/th (Tabel 5). Impor jagung cenderung naik dari 9.050 ton pada tahun 1990 menjadi 313.463 ton pada tahun 1998, atau meningkat rata-rata 55,76%/th. Sedangkan pada periode 1998-2005 impor ja-gung turun rata-rata 7,21%/th. Secara umum pada periode 1990-2005 impor jagung naik rata-rata 22,31%/th. Selama periode tersebut neraca perdagangan jagung hanya sempat mengalami surplus dua kali, yaitu pada tahun 1990 dan 1998, selebihnya selalu defisit.

Pada tahun 2005 ekspor jagung Indone-sia paling banyak ditujukan untuk Malaysia (57%), Filipina (27%), Jepang (13%), dan sele-bihnya ke Hong Kong, Singapura, negara-negara Asia lainnya, dan Arab Saudi. Sedangkan impor jagung terbesar dari Argentina (71%), Thailand (19%), dan selebihnya dari Afrika Selatan, Ame-rika Serikat, India, Malaysia, Cina, Singapura, dan Filipina.

Kedelai

Ekspor kedelai Indonesia relatif kecil dibanding impor sehingga neraca perdagangan selalu defisit, kecuali pada tahun 2001 (Tabel 6).

Pada tahun 2005, misalnya, ekspor kedelai hanya 1,70 ribu ton, sedangkan impor 1,09 juta ton. Selama periode 1990-1998, ekspor kedelai turun dari 240 ribu ton menjadi tidak ada ekspor sama sekali, kemudian naik secara fluktuatif menjadi hanya 1,70 ribu ton pada tahun 2005. Selama periode 1990-2005, rata-rata ekspor tu-run 28 %/th (Tabel 6).

Di sisi impor, selama periode 1990-1998 sempat mengalami penurunan rata-rata hampir 5,54 %/th. Periode berikutnya (1998-2005) me-lonjak rata-rata 17,90 %/th. Selama kurun waktu 1990-2005, impor kedelai naik-rata 4,76 %/th. Pada periode yang sama (1990-2005), defisit kedelai meningkat lebih tajam rata-rata 8,92 %/th.

Ekspor kedelai Indonesia sebagian besar untuk tujuan Filipina (50%), negara-negara Asia lainnya (22%), Jepang (19%), dan yang lain ke Micronesia, Ghana, Arab Saudi, Brunei, Korea Selatan, Papua Nugini, Amerika, Malaysia dan Singapura. Sedangkan impor sebagian besar berasal dari Amerika (83%), Argentina (13%), dan selebihnya dari Kanada, Swis, Malaysia, Singapura, India, Myanmar, Emirat Arab, Afrika Selatan dan Cina. Akhir-akhir ini impor kedelai cenderung turun karena membaiknya harga kedelai domestik, sehingga petani relatif terpacu menaikkan produknya.

Tabel 5. Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 16,78 141.835 1,70 9.050 15,08 132.785

1995 11,27 79.144 154,12 969.193 -142,85 -890.049 1997 10,89 18.957 171,68 1.098.354 -160,79 -1.079.397 1998 65,45 632.515 47,84 313.463 17,62 319.052

2000 4,98 28.066 157,95 1.264.575 -152,96 -1.236.509 2001 10,50 90.474 125,51 1.035.797 -115,01 -945.323 2002 3,33 16.306 137,98 1.154.063 -134,65 -1.137.757

2003 5,52 33.691 168,66 1.345.446 -163,14 -1.311.755 2004 9,07 32.679 177,67 1.088.928 -168,60 -1.056.248 2005 9,05 54.009 30,85 185.597 -21,80 -131.589

Pertumb (%)

1990-1998 18,55 20,55 51,76 55,76 - - 1998-2005 -24,62 -29,64 -6,08 -7,21 - - 1990-2005 -4,03 -6,23 21,32 22,31 - - Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005)

Page 8: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

8

Ubi kayu

Perdagangan internasional ubi kayu ber-beda dengan komoditas pangan lainnya. Neraca perdagangan komoditas ubi kayu sejak 1990 hingga 2005 selalu menunjukkan nilai surplus, baik volume maupun nilainya. Selama periode

1990-1998, ekspor ubi kayu turun 16,18%/th dari 1,28 juta ton menjadi 0,31 juta ton setara gaplek. Pada periode berikutnya (1998-2005), ekspor turun rata-rata 4,26%/th. Secara keseluruhan, se-lama periode 1990-2005, ekspor ubi kayu turun rata-rata 10,81%/th (Tabel 7).

Tabel 6. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(000 ton) Nilai

(juta $) Volume

(000 ton) Nilai

(juta $) Volume

(000 ton)

1990 0,24 240 146,48 541 -146 -301

1995 0,03 83 180,59 607 -181 -524 1997 0,00 6 206,67 616 -207 -610 1998 0,00 0 98,69 343 -99 -343

2000 0,12 521 275,48 1.278 -275 -757 2001 0,34 1.188 239,32 1.136 -239 52 2002 0,15 235 299,22 1.365 -299 -1.130

2003 0,30 169 330,50 1.193 -330 -1.024 2004 0,50 1,30 416,93 1.116 -416 -1.115 2005 0,48 1,70 308,01 1.086 -308 -1.084

Pertumb (%)

1990-1998 - - -4,82 -5,54 11,04 18,92 1998-2005 - - 17,66 17,9 17,6 17,87 1990-2005 4,73 -28,11 5,08 4,76 5,1 8,92 Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005) Tabel 7. Perkembangan Ekspor dan Impor Ubi Kayu di Indonesia, 1990-2005

Ekspor Impor Neraca Tahun Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton) Nilai

(juta $) Volume

(ton)

1990 143,69 1.278.525 0,02 9 143,68 1.278.516 1995 631,07 509.344 68,94 150.925 562,13 358.419 1997 27,90 264.032 21,46 91.960 6,43 172.072

1998 50,41 311.641 17,33 71.388 33,08 240.253 2000 10,81 151.439 0,05 35 10,75 151.404 2001 13,69 177.075 0,08 65 13,60 177.010 2002 6,07 70.429 0,21 155 5,86 70.273

2003 2,00 21.999 0,48 2136 1,52 19.863 2004 20,40 234.169 0,40 1812 20,00 232.357 2005 25,44 229.789 0,07 53 25,37 229.736

Pertumb (%) 1990-1998 -12,27 -16,18 132,93 207,20 -16,77 -18,86 1998-2005 -9,31 -4,26 -54,50 -64,28 -3,72 -0,64 1990-2005 -10,90 -10,81 8,71 12,55 -10,92 -10,81 Sumber: FAO (1990-1998), World Bank (2000-2005)

Page 9: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

9

Impor ubi kayu pada periode 1990-1998 naik drastis rata-rata 207%/th, yaitu dari 9 ton menjadi 71.338 ton. Walaupun demikian, impor cenderung menurun pada periode 1998-2005 sebesar 64,28%/th. Secara umum, sejak 1990 hingga 2005, impor ubi kayu sangat fluktuatif dan cenderung naik rata-rata 12,55 %/th.

Ekspor ubi kayu Indonesia terutama untuk Cina (81%) dan Korea (16%). Selebihnya, ekspor ubi kayu ditujukan untuk Malaysia, Inggris Raya, Hong Kong, Jepang, Vietnam, Singapura, Fili-pina, Belanda, Australia, Jerman, India, Arab Saudi, Emirat Arab, dan Brunei Darussalam. Impor ubi kayu terutama berasal dari Cina (79%) dan Amerika Serikat (17%). Selebihnya, impor komoditas ini berasal dari Jepang dan Singapura.

Globalisasi Perdagangan Pangan Dunia

Beras merupakan bahan pangan yang banyak dikonsumsi penduduk di dunia, yang juga diperdagangkan secara internasional. Negara eksportir utama beras adalah Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, Cina, India, dan Pakistan. Jumlah beras yang diperdagangkan secara inter-nasional relatif kecil, yaitu sekitar 5,5% dari total produksi selama periode 1990-2001 (Rachman dan Dermorejo, 2004). Tidak semua negara pro-dusen beras menjadi eksportir beras, misalnya Indonesia dan Myanmar. Volume perdagangan beras dunia relatif labil karena sangat dipenga-ruhi musim dan ketahanan pangan tiap negara produsen. Oleh karena itu, ketergantungan pada beras impor sangat melemahkan ketahanan pangan.

Komoditas pangan lainnya, yaitu jagung, kedelai, dan produk olahan ubi kayu juga diper-dagangkan secara internasional. Indonesia seba-gai net importir untuk jagung dan kedelai, tetapi net eksportir untuk ubi kayu. Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung dan kedelai, sedangkan Thailand sebagai negara eksportir utama ubi kayu.

Dalam rangka globalisasi perdagangan dunia, Indonesia pernah membebaskan tarif impor beras pada tahun 1999, karena tekanan IMF melalui Letter of Intent yang ditandatangani pemerintah dengan IMF. Isi kesepakatan terse-but adalah liberalisasi pasar beras domestik, penghapusan monopoli oleh BULOG dalam distribusi dan impor beras, serta penghapusan subsidi pupuk dan pembebasan tata niaga pupuk

(Erwidodo, 2004). Kemudian pada awal tahun 2000 tarif impor beras ditetapkan sebesar Rp430/ kg (specific tariff), meskipun dalam kesepakatan WTO-1995 tarif yang diikat adalah 160% dalam bentuk ad valorem tariff (Sawit, 2005). Walaupun demikian, rendahnya harga dunia mendorong penyelundupan beras ke Indonesia. Bahkan, jumlah beras yang diselundupkan pernah men-capai 40% dari total beras yang masuk ke Indonesia (Kompas, 2004).

Tarif impor jagung yang diikat dalam perjanjian pertanian WTO-1995 adalah 40%. Akan tetapi, sampai dengan 2004 pelaksanaan-nya 0%. Mulai tahun 2005, tarif yang diusulkan yang disebut dengan harmonized tariff adalah 5% (Ditjend Bea Cukai, 2004). Hal ini sangat mempengaruhi produksi dalam negeri karena impor jagung pada taraf tertentu relatif murah, dan tersedia hampir sepanjang tahun, serta lebih terjamin kualitasnya.

Bea masuk kedelai yang dalam perjan-jian pertanian WTO-1995 ditetapkan sebesar 27%, sampai tahun 2004 penerapannya juga 0% (seperti halnya jagung). Sejak 2005 tarif yang diusulkan adalah 10%. Jika tarif impor terlalu tinggi dapat mempersulit industri pangan ber-basis kedelai, seperti tahu, tempe dan kecap, dalam memperoleh bahan baku (Media Indone-sia, 2005). Namun demikian, tarif impor harus ditetapkan agar bisa menjaga keseimbangan impor dengan produksi dalam negeri.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS

PANGAN

Program Peningkatan Produksi Pangan

Departemen Pertanian telah menetapkan tiga program utama pembangunan pertanian tahun 2005-2009, yaitu: (a) program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP); (b) program Pengem-bangan Agribisnis; dan (c) program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Khusus program Pening-katan Ketahanan Pangan, bertujuan agar masya-rakat memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat, dan halal. Kegiatan operasional program PKP tahun 2006 mencakup kegiatan pokok: (a) peningkatan produksi dan produkti-vitas; (b) peningkatan distribusi dan akses pa-ngan; (c) konsumsi, difersifikasi, dan keamanan pangan; dan (d) kegiatan pendukung (Deptan RI, 2006).

Page 10: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

10

Berkaitan dengan kegiatan peningkatan produksi pangan, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan mengaktualisasikan beberapa kegiatan program dalam rangka peningkatan produksi tanaman pangan secara umum, yaitu (a) me-ningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, (b) meningkatkan luas areal tanam dan panen, dan (c) memberdayakan petani dan masyarakat pedesaan melalui pengembangan kelembagaan.

Permasalahan yang dihadapi dalam pe-ningkatan produksi padi yaitu: (a) terbatasnya terobosan teknologi baru terutama varietas unggul relatif terbatas; (b) penciutan lahan subur; (c) IP padi menurun, bersaing dengan komoditas lainnya; (d) gangguan OPT dan frekuensi dam-pak fenomena iklim meningkat; dan (e) kinerja kelembagaan petani yang masih lemah (Ditjen Tanaman Pangan, 2006b). Seiring dengan prog-ram peningkatan produksi dan produktivitas ta-naman pangan secara umum, maka program peningkatan produksi padi dapat ditempuh melalui: (a) peningkatan produktivitas padi de-ngan laju pertumbuhan 1–1,5%/th; (b) p-ning-katan areal panen padi melalui peningkatan intensitas tanaman (IP), dan (c) pengembangan di areal baru, termasuk tanaman sela di lahan perkebunan dan lahan bukaan baru.

Adapun upaya yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi adalah peningkatan hasil mendekati potensi hasil varietas yang ada, dan perbaikan teknik budi-daya spesifik lokasi (PTT yang diperbaiki); dan percepatan inovasi teknologi melalui jaringan penelitian dan pengkajian (litkaji), serta disemina-si hasil litkaji.

Sementara itu, menurut Suryana dan Hermanto (2003), untuk memberi dukungan da-lam peningkatan produktivitas padi dan produksi beras nasional, maka diperlukan instrumen kebi-jakan meliputi: (a) pengembangan infrastruktur untuk mendukung usahatani padi; (b) pening-katan akses petani terhadap sarana produksi dan permodalan; (c) peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju; (d) ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru; dan (e) peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran.

Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani padi dalam rangka program inten-sifikasi usahatani padi, maka pada tahun 2006

pemerintah memberikan subsidi harga pupuk dan benih yang masing-masing mencapai Rp 3,004 triliun dan Rp 185 milyar. Subsidi ini diharapkan dapat meringankan beban biaya bagi petani dalam meningkatkan produktivitas serta produksi padi. Dukungan program lainnya adalah bantuan permodalan melalui skim kredit. Pada tahun 2005 (posisi hingga bulan Juli), pemerintah menya-lurkan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sebesar Rp 2,082 triliun. Dengan upaya perbaikan sistem penyampaiannya, diharapkan sistem kredit ini dapat membantu dan mendorong petani padi dalam mengakses lembaga permodalan.

Selanjutnya, terkait dengan produksi ja-gung nasional, data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2005 rataan produktivitas jagung nasional 3,49 ton/ha. Produktivitas ini masih rendah dibandingkan potensi hasilnya yang rata-rata 6 ton/ha (Puslitbangtan, 2004). Upaya peningkatan produksi menghadapi kendala se-perti cekaman kekeringan, keterbatasan modal, kelangkaan tenaga kerja dan orientasi usahatani yang masih bersifat subsisten (Subandi, 1998). Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2006), perma-salahan yang dihadapi dalam pengembangan produksi jagung adalah (a) produktivitas rendah karena penggunaan benih bermutu dan pupuk yang belum optimal; (b) kualitas relatif rendah disebabkan oleh penanganan pascapanen belum memadai, dominan dihasilkan saat MH; dan (c) persaingan jagung lokal dengan jagung impor.

Menurut Rusastra dan Kasryno (2003) paling tidak terdapat beberapa kebijakan stra-tegis yang perlu dilakukan dalam pengembangan usahatani jagung pada agroekosistem lahan kering khususnya, yaitu (a) introduksi varietas komposit yang berdaya hasil tinggi, berumur genjah, tipe tanaman pendek, dan berbatang kokoh; (b) penerapan teknologi usahatani kon-servasi sistem budidaya lorong; (c) pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan bahan organik tanah; (d) penanaman tepat waktu pada awal musim hujan; (e) introduksi teknologi tanpa olah tanah dan hemat tenaga kerja; serta (f) intensifikasi program penyuluhan untuk memper-baiki kemampuan manajemen petani.

Program peningkatan produktivitas ja-gung nasional Badan Litbang Pertanian (2005b) memerlukan upaya pemantapan produktivitas. Untuk meningkatkan hasil di areal yang tingkat produktivitasnya masih rendah (< 5,0 ton/ha), perlu program pergeseran penggunaan jagung

Page 11: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

11

ke jenis hibrida dan komposit unggul dengan benih berkualitas. Dalam program pergeseran penggunaan jenis varietas dan benih tersebut diperlukan kegiatan, seperti (a) perbaikan pro-duksi dan distribusi benih berkualitas; (b) pem-bentukan penangkar benih berbasis komunal dan pedesaan; serta (c) penerapan teknologi budi-daya melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), di antaranya varietas yang sesuai, pemupukan berdasarkan status hara tanah (spesifik lokasi), dan pengendalian OPT. Upaya tersebut perlu didukung dengan pene-rapan teknologi pascapanen untuk menjamin kualitas dan nilai tambah produksi.

Sementara itu, pengembangan produksi kedelai secara nasional masih menghadapi permasalahan, antara lain (a) relatif terbatas terobosan teknologi baru, terutama varietas ung-gul; (b) kesesuaian lahan, terutama lahan kering; (c) persaingan dengan komoditas lain, terutama jagung; dan (d) persaingan kedelai lokal dengan kedelai impor (Ditjen Tanaman Pangan, 2006a).

Adapun strategi peningkatan produksi kedelai dapat ditempuh melalui: (a) perluasan areal tanaman yang dapat dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi sederhana, lahan sawah tadah hu-jan atau lahan kering; dan (b) peningkatan pro-duktivitas, melalui perakitan dan pengembangan varietas unggul berdaya hasil tinggi serta toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik (Badan Litbang Pertanian. 2005c). Dalam periode 2001-2004, Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas unggul kedelai dengan tingkat produkti-vitas antara 2,5-2,7 ton/ha.

Dalam hal ubi kayu, dibutuhkan kebija-kan yang dapat menarik minat petani untuk me-nanam ubi kayu dengan teknologi maju. Potensi peningkatan produktivitas melalui perbaikan pe-nerapan teknologi masih sangat besar, mengi-ngat produktivitas aktual saat ini (16 ton/ha) masih jauh dari potensi hasilnya (25-40 ton/ha). Pada subsistem hilir (agroindustri), diperlukan kebijakan yang mendorong petani dan pelaku agribisnis lain untuk mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk olahan, baik sebagai bahan baku industri, sebagai bahan pangan alternatif untuk mendukung program diversifikasi pangan, maupun sebagai komoditas ekspor untuk mence-gah makin penurunan ekspor produk olahan ubi kayu.

Langkah terobosan di bidang agro-industri yang telah ditempuh oleh pemerintah saat ini adalah kebijakan pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku Bioethanol, melalui Perpres No.5 dan Inpres No.1 tahun 2006. Implementasi kebijakan pengembangan agroin-dustri ubi kayu dapat dilakukan dengan mem-bangun sistem kemitraan yang sinergis antara petani dengan pengusaha swasta, sehingga semua pihak mendapat nilai tambah yang adil dari agribisnis ubi kayu.

Kebijakan Pasar Komoditas Pangan

Pada era Orde Baru, stabilisasi harga beras merupakan salah satu kebijakan yang penting. Pada saat itu, berbagai instrumen ke-bijakan digunakan untuk menstabilkan harga beras, baik pada tingkat usahatani maupun tingkat pasar konsumen. Di tingkat usahatani, kebijakan yang terpenting berupa perlindungan harga output (harga dasar gabah), subsidi harga input (benih, pupuk, pestisida), dan subsidi bunga kredit usahatani. Di tingkat pasar konsu-men, kebijakan yang dilaksanakan berupa mana-jemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi/KUD, dan operasi pasar oleh Bulog saat harga beras tinggi (Deptan RI, 2002).

Kebijakan harga dasar gabah bertujuan melindungi petani, agar harga gabah tidak jatuh dibawah biaya produksi. Manajemen stok meru-pakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi. Bulog hanya menguasai stok beras antara 4-8% dari total produksi dalam negeri. Jumlah tersebut cukup untuk mempengaruhi pasar, dengan mem-beli pada saat panen raya dan melepaskan ke pasar pada saat paceklik. Selain itu, Bulog pada waktu itu mempunyai Captive market reguler bulanan PNS dan TNI/POLRI.

Seiring dengan dinamika lingkungan strategis global dan nasional, suatu payung kebijakan yang komprehensif telah disusun dan dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2001 tentang Penetapan Kebi-jakan Perberasan. Secara spesifik, Inpres ini mengarahkan agar pejabat pemerintah daerah mendorong upaya-upaya: (a) peningkatan pro-duktivitas petani dan produksi beras nasional, (b) pengembangan diversifikasi ekonomi untuk me-ningkatkan pendapatan petani, (c) stabilisasi

Page 12: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

12

harga gabah pada panen raya melalui pembelian gabah oleh pemerintah pada tingkat ”HDPP”, (d) melindungi kepentingan petani dan konsumen melalui pengaturan tarif dan tata laksana impor, dan (e) penyediaan dan penyaluran pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat miskin dan rawan pangan.

Kebijakan perberasan yang diatur di dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2001 ini tidak me-nyerahkan ekonomi perberasan nasional kepada mekanisme pasar secara total, sebaliknya, juga tidak mengembalikan pada kontrol/intervensi pe-merintah. Kebijakan perberasan yang dikem-bangkan dalam Inpres ini menganut pendekatan ”ekonomi pasar terkendali” dalam upaya melin-dungi kepentingan produsen dan konsumen. Selama pasar dapat berfungsi secara baik dan efisien, maka sistem dan usaha agribisnis di bidang perberasan dikembangkan dengan me-manfaatkan mekanisme pasar. Tetapi, jika terjadi kegagalan pasar dalam melindungi produsen memperoleh harga yang wajar dan konsumen mendapatkan harga yang terjangkau, maka pemerintah akan melakukan intervensi, sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2001.

Dalam jangka panjang, kebijakan pangan nasional diarahkan pada upaya diversifikasi pa-ngan ke arah konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan sekaligus diversifikasi konsumsi pangan ke arah nonberas. Kebijakan harga relatif beras terhadap harga pangan pokok lainnya yang lebih tinggi, merupakan salah satu kebijakan yang dapat mempercepat proses diversifikasi konsumsi pa-ngan.

Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu hingga tahun 2005, harga gabah pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan melalui Inpres No. 2 Tahun 2005, dan sudah dilaksanakan sejak Maret 2005. Sebagaimana diketahui, HPP terse-but terutama dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sehingga waktu pemberlakuannya praktis bersamaan dengan penetapan kenaikan harga BBM. Pemerintah juga telah menaikkan kembali harga BBM pada awal tahun 2006. Sebagai langkah antisipatif, HPP tahun 2006 telah di-evaluasi dan disesuaikan. Selain penyesuaian besaran HPP, Inpres No. 2 Tahun 2005, juga mengandung beberapa perubahan mendasar dibanding rancangan HPP sebelumnya, seperti

penetapan harga pembelian untuk gabah kering panen dan rasionalisasi struktur harga antara gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG) dan beras. Kedua hal ini dimaksudkan agar kebijakan HPP lebih efektif dalam mengang-kat harga gabah petani (Deptan RI, 2006).

Untuk komoditas jagung, instrumen kebi-jakan pemerintah dalam perdagangan komoditas pertanian terus berkembang dan berdampak terhadap ekonomi berbagai komoditas. Dalam konteks ini, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar untuk stabilisasi harga. Kebijakan harga dasar jagung dimulai pada tahun 1977/1978, dimaksudkan untuk melindungi petani dari penurunan harga yang berlebihan, terutama pada saat musim panen. Bulog diberi mandat untuk mengadakan jagung dari produksi dalam negeri dan impor untuk stok. Dalam perkembangannya, kebijakan harga dasar jagung dinilai tidak efektif dan kemudian dicabut pada tahun 1990, karena harga di tingkat petani berada di atas harga dasar. Tata niaga jagung dibebaskan, sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Sejak saat itu, Bulog tidak lagi melakukan intervensi dalam pemasaran jagung dengan pertimbangan: (a) intervensi memerlukan biaya besar, (b) kompetisi antarpedagang akan men-ciptakan keuntungan bagi petani, dan (c) permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005b).

Kebijakan lain untuk komoditas jagung adalah pengenaan tarif impor dengan tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974-1979, tarif impor jagung adalah 5%, kemudian menjadi 10% selama tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 % pada tahun 1994, dan sejak 1995 ditiadakan (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Sementara itu, pada komoditas kedelai, untuk meningkatkan daya saing, pengembangan kedelai diarahkan pada peningkatan produksi, perbaikan kualitas, dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan produk olahan dari bahan baku nonkedelai. Di samping itu, diperlukan dukungan kebijakan yang dapat melindungi harga kedelaai domestik, serta kebijakan pemberlakuan tarif impor dan pembatasan impor (Badan Litbang Pertanian, 2005c) .

Harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah, karena lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga nomi-

Page 13: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

13

nal kedelai di tingkat petani berfluktuasi, terutama pada saat panen raya harganya cenderung jatuh. Impor kedelai nasional cukup besar, sehingga harga didalam negeri menjadi rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi kedelai nasional serta pengendalian impor yang disertai pengamanan pasar dalam negeri merupakan salah satu langkah strategis yang perlu menda-pat perhatian yang lebih besar.

Kinerja Pembangunan Pertanian 2005 dan Program 2006

Kemajuan yang dicapai dalam hal pro-duksi tanaman pangan tahun 2005 lebih baik dibanding tahun 2004. Pada tahun 2005 produksi padi mencapai 54,15 juta ton GKG, meningkat 0,12% dibanding tahun 2004 sebesar 54,09 juta ton. Peningkatan produksi ini terutama dicapai melalui peningkatan produktivitas sebesar 0,83%, dari 4,54 ton/ha pada tahun 2004 menjadi 4,57 ton/ha pada tahun 2005. Sementara itu, areal panen menurun 0,70%.

Dalam tahun 2005, produksi jagung me-ningkat sebesar 10,5%, dari 11,23 juta ton di tahun 2004 menjadi 12,41 juta ton di tahun 2005; produksi kedelai meningkat dari 723 ribu ton di tahun 2004 menjadi 808 ribu ton tahun 2005, atau meningkat 11,8%; produksi ubi kayu menu-run 1,0%, dari 19,425 juta ton pada tahun 2004 menjadi 19,231 juta ton tahun 2005; produksi kacang tanah menurun sebesar 0,2%, dari 838 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 834 ribu ton tahun 2005; produksi kacang hijau meningkat sebesar 2,5%, dari 310 ribu ton tahun 2004 menjadi 318 ribu ton pada tahun 2005; produksi ubi jalar menurun sebesar 2,4%, dari 1,902 juta ton pada tahun 2004 menjadi 1,857 juta ton tahun 2005 (Ditjen Tanaman Pangan, 2006a).

Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2006b), program subsektor tanaman pangan tahun 2006 meliputi: (a) program Optimalisasi Pemanfaatan Sarana-Prasarana; (b) program Akselerasi Pe-ningkatan Produktivitas; (c) program Pengem-bangan Perbenihan; (d) program Pengamanan Produksi; (e) program Optimalisasi Penanganan Pengolahan & Pemasaran Hasil; (f) program Pengembangan Kelembagaan; dan (g) program Pemantapan Manajemen Pembangunan. Prog-ram ini diharapkan dapat memantapkan bahkan memperbaiki pencapaian pembangunan pertani-an tanaman pangan pada tahun 2005.

Perkiraan Dampak 2007

Seperti telah diungkapkan di atas bahwa Departemen Pertanian telah menetapkan tiga program utama pembangunan pertanian yang sesuai dengan RPJMN tahun 2005-2009, yaitu: (a) Peningkatan Ketahanan Pangan, (b) Pe-ngembangan Agribisnis, dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani. Disamping ketiga program utama yang dilakukan tiap tahun, dalam rangka memperlancar fasilitasi pembangunan pertanian pada tahun 2007, juga telah ditetapkan 2 prog-ram pendukung, yaitu Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara, serta Penye-lenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepeme-rintahan. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007, pembangunan pertanian yang dilaksanakan masih merupakan lanjutan dari tiga program tahunan sesuai dengan RPJMN.

Program Peningkatan Ketahanan Pa-ngan diarahkan untuk fasilitasi peningkatan ketahanan pangan masyarakat melalui: (a) pe-ningkatan keanekaragaman produk pertanian, ketersediaan dan konsumsi pangan, serta produk olahannya; (b) pengembangan usaha bisnis pangan yang kompetitif; (c) pengembangan bu-daya produksi dan konsumsi pangan lokal; dan (d) pengembangan kelembagaan pangan secara partisipatif, terpadu, dan berkelanjutan. Operasio-nalisasi Program Peningkatan Ketahanan Pa-ngan dilaksanakan melalui: (a) peningkatan pro-duksi pangan; (b) menjaga ketersediaan pangan yang cukup, aman, halal, dan terjangkau di tiap daerah setiap saat; dan (c) antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan (Deptan RI, 2006).

Program Pengembangan Agribisnis di-arahkan untuk fasilitasi berkembangnya usaha-usaha agribisnis pada subsistem hulu, subsistem on-farm/budidaya, subsistem pengolahan, sub-sistem pemasaran hasil, dan subsistem penun-jangnya. Operasionalisasi Program Pengemba-ngan Agribisnis dilaksanakan melalui Pengemba-ngan Kawasan Agribisnis Komoditas Unggulan Tradisional dan Baru. Dalam implementasinya diperlukan keterpaduan baik dalam rumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, antarpelaku usaha agribisnis, sehingga mampu dihasilkan produk pertanian unggulan yang berdaya saing tinggi.

Program Peningkatan Kesejahteraan Pe-tani, diarahkan untuk fasilitasi: (a) pemberdayaan masyarakat petani, (b) percepatan akses petani

Page 14: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

14

terhadap sumberdaya produktif, dan (c) perlin-dungan petani dan kegiatan usahanya. Opera-sionalisasi Program Peningkatan Kesejahteraan Petani dilaksanakan melalui: (a) pemberdayaan penyuluhan, (b) pendampingan dan pembimbi-ngan, (c) penjaminan usaha, (d) perlindungan harga gabah, (e) kebijakan proteksi dan promosi lainnya, serta (f) kebijakan tata niaga produk pertanian yang kondusif.

Pada tahun 2007, sektor pertanian (sub-sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebun-an, dan peternakan) ditargetkan dapat tumbuh dengan laju 3,37%. Secara khusus subsektor tanaman pangan diharapkan menyumbang sebe-sar 1,08%.

Adapun sasaran kuantitatif komoditas utama tanaman pangan meliputi: padi sebesar 55,46 juta ton GKG; jagung, 12,87 juta ton; kedelai 0,90 juta ton; dan ubi kayu, 21,75 juta ton. Sasaran-sasaran tersebut tampaknya tidak terlalu jauh dari kondisi tahun 2005 dan angka ramalan II (Aram II) 2006, sehingga dipandang cukup realistik. Sesuai dengan sasaran tahun 2007, kegiatan akan difokuskan pada: (a) pe-ningkatan kualitas petani dan produktivitas per-tanian; (b) penguatan kelembagaan usaha perta-nian; (c) penerapan iptek dan good agricultural practices; (d) pengembangan pertanian di wila-yah tertinggal, perbatasan, rawan pangan, dan konflik; (e) peningkatan investasi dan penjaminan kredit pertanian; dan (f) pengembangan infra-struktur pertanian. Komoditas yang akan dikem-bangkan khusus untuk tanaman pangan, yaitu padi, kedelai, jagung, ubi kayu dan kacang tanah. Dengan pelaksanaan program tahun 2007 secara konsisten, diharapkan sasaran tersebut di atas tidak sulit untuk dicapai.

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN PANGAN

Potensi Sumberdaya

Sumberdaya Lahan

Sebagian besar lahan sawah di Indone-sia mengalami sakit (deteriorasi) disebabkan oleh intensifiksi secara terus menerus selama revolusi hijau, sehingga terjadi pelandaian produktivitas yang terefleksi dari pertumbuhannya (0,4%/th) selama 15 tahun terakhir. Kondisi tersebut mem-berikan gambaran bahwa peningkatan produksi padi lebih bertumpu kepada penambahan areal

tanam, baik melalui ekstensifikasi maupun pe-ningkatan indeks pertanaman (IP). Luas areal panen padi yang cenderung stagnan dan menu-run untuk komoditas jagung, kedelai, dan ubi kayu memberikan gambaran perlunya strategi pemanfaatan lahan selain sawah.

a. Lahan sawah irigasi

Luas lahan sawah irigasi (teknis, semi-teknis, dan nonteknis) di Indonesia sekitar 5,24 juta ha dengan intensitas penggunaan 1,24 juta ha untuk sekali padi setahun (IP100) dan 4,0 juta ha untuk dua kali atau lebih/th (> IP200). Lahan sawah dengan IP100 tersebut potensial diman-faatkan dalam peningkatan produksi melalui peningkatan IP100 menjadi IP200, baik untuk padi maupun palawija. Peningkatan IP untuk padi bisa dilakukan dengan teknologi walik jerami dan persemaian kering. Berdasarkan hasil penelitian di Nusa Tenggara dan Jawa, sistem tersebut mampu menghasilkan gabah kering giling sekitar 3,5 t/ha (Suyamto et al., 1992; Sasa, 2002). Di Jawa, lahan sawah umumnya telah mempunyai IP200 dengan pola padi-padi, padi-palawija, atau IP300 dengan pola padi-padi-palawija, atau padi-padi sayuran. Dengan demikian, peluang pe-ngembangan melalui peningkatan IP adalah di luar Jawa pada luasan sektiar 0,791 juta ha. Bila 70%, 20%, dan 10% masing-masing diproyeksi untuk padi, jagung, dan kedelai pada MK-I, maka akan diperoleh tambahan produksi sekitar 1,72 juta ton gabah kering giling, 425 ribu ton jagung pipilan kering, dan 95 ribu ton biji kedelai. De-ngan kata lain, peningkatan IP tersebut mampu menyumbang tambahan produksi masing-masing sebesar 3,18%, 3,39%, dan 11,75% dari produksi padi, jagung, dan kedelai tahun 2005.

Di Jawa, lahan sawah dengan IP padi 100 yang potensial dimanfaatkan untuk penam-bahan areal tanam jagung dan kedelai adalah sekitar 337 ribu ha. Berdasarkan estimasi, lahan sawah yang telah digunakan untuk jagung dan kedelai adalah 30% dan 20% dari lahan sawah pada MK-I. Bila proyeksi pemanfaatan lahan tersebut 60% untuk jagung dan 40% untuk kede-lai, maka akan diperoleh tambahan hasil sekitar 754 ribu ton untuk jagung dan 177 ribu ton untuk kedelai, atau masing-masing 6% dan 21,90% dari produksi nasional tahun 2005. Dengan demikian, paningkatan dari IP100 menjadi IP200 pada lahan sawah irigasi di Jawa dan Luar Jawa akan mampu menyumbang produksi masing-

Page 15: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

15

masing sebesar 3,18%, 9,39% dan 33,65% dari produksi padi, jagung, dan kedelai nasional tahun 2005, suatu potensi yang cukup signifikan dalam mengurangi volume impor.

b. Lahan sawah tadah hujan

Luas sawah tadah hujan yang telah ditanami di Indonesia sekitar 1,86 juta ha, de-ngan intensitas penggunaan untuk padi 65% IP100 dan 35% IP200 dan IP250. Lahan tersebut tersebar di lima wilayah dengan variasi antara 4%-37% (Tabel 8). Lahan sawah tadah hujan IP100 padi potensial dimanfaatkan untuk mening-katkan areal panen melalui peningkatan IP dalam upaya meningkatkan produksi tanaman pangan. Peningkatan IP untuk padi dapat dilakukan de-ngan pendekatan penerapan sistem walik jerami + persemaian kering. Untuk jagung dan kedelai, dengan penerapan sistem pompanisasi, sedang-kan untuk ubi kayu dengan memanfaatkan sisa lahan yang tersedia.

Di Jawa IP200 (padi-padi) dengan sistem walik jerami telah berkembang, sehingga peluang untuk meningkatkan IP di Jawa relatif kecil. Oleh karena itu, peningkatan menjadi IP200 difokus-kan ke luar Jawa. Peningkatan produksi padi untuk mencapai ketahanan pangan yang mantap adalah memenuhi defisit beras sekitar 2,8%/th dan stok sektiar 1,5 juta ton atau setara dengan 3,85 juta ton GKG. Untuk mencapai target ter-sebut, bisa ditempuh strategi pemanfaatan seki-tar 75% dari sawah tadah hujan IP100 menjadi IP200 padi, 15% untuk jagung, dan 10% untuk kedelai pada MK-I. Berdasarkan luas dan pro-duktivitas tiap wilayah, akan diperoleh tambahan produksi sekitar 1,96 juta ton GKG.

Berdasarkan proyeksi pencapaian tam-bahan produksi padi 1,72 juta ton, dari pening-katan IP padi 100 menjadi IP 200 pada lahan sawah irigasi, model yang sama dari sawah

tadah hujan sebesar 1,96 juta ton GKG, maka peningkatan produksi sekitar 7% dari kondisi ta-hun 2005 dapat dicapai.

Tambahan areal panen melalui pening-katan IP tersebut adalah 15% dan 10% untuk jagung dan kedelai. Berdasarkan asumsi hasil yang akan dicapai minimal sama dengan rataan hasil/wilayah, maka akan diperoleh tambahan produksi 2% untuk jagung dan 10% untuk kede-lai. Dengan demikian, secara kumulatif sumba-ngan peningkatan IP pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan untuk jagung dan kedelai ma-sing-masing 11,39% untuk jagung dan 43,65% untuk kedelai.

c. Lahan kering

Luas lahan kering di Indonesia berdasar-kan topografi datar, bergelombang dan berbukit masing-masing 29,1 juta ha, 23,8 juta ha dan 34,4 juta ha, serta sekitar 60% di antaranya lahan kering masam (Abdurachman, 2005). La-han kering yang digunakan untuk usaha per-tanian dalam bentuk tegalan sekitar 13,4 juta ha dan sekitar 7,2 juta ha di antaranya untuk usaha-tani tanaman pangan (BPS, 2005).

Intensitas penggunaan lahan tegalan untuk tanaman pangan antarwilayah bervariasi, yaitu 31% (Sumatera), 128% (Jawa), 65% (Bali dan Nusa Tenggara), dan 35% (Kalimantan dan Sulawesi) (BPS, 2005). Kondisi tersebut membe-rikan gambaran adanya variasi potensi dalam penambahan areal tanam untuk mengatasi penu-runan luas panen jagung, kedelai, dan ubi kayu. Pemanfaatan sumberdaya lahan kering dalam peningkatan produksi melalui penambahan areal tanam (PAT) dapat dilakukan melalui peman-faatan lahan alang-alang yang terdiri dari da-taran, volkan, dan perbukitan yang luasnya sekitar 4,88 jtua ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan NTT (Rochayati et al.,

Tabel 8. Sebaran Lahan yang Potensial untuk Peningkatan Produksi secara Intensifikasi dan Ekstensifikasi di

Indonesia (000 ha)

Sawah irigasi 1 Sawah tadah hujan 1 Lahan kering 1 Rawa 2 Wilayah IP100 IP > 200 IP100 IP > 200 Tegalan Tidur P.Surut Lebak

Sumatera 334 956 47 310 3.984 2.786 2.784 413 Jawa 450 2.094 547 234 2.820 60 - - Bali + NT 139 224 62 9 857 842 - - Kalimantan 181 72 297 61 1.583 4.938 1.402 317 Sulawesi 137 657 244 46 1.836 1.569 - -

Total 1.241 4.003 1.197 660 11.080 10.195 4.186 730 Sumber: 1 Survei Pertanian 2003; dan 2 Abdurachman dan Ananto, 2000.

Page 16: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

16

2005). Pemanfaatan tersebut bisa dalam bentuk sistem tumpangsari, wanatani, atau kombinasi sistem tumpangsari dan wanatani, serta peman-faatan lahan alang-alang dengan pengelolaan optimal (Wargiono et al., 2006).

d. Lahan rawa

Di Indonesia terdapat sekitar 33 juta ha lahan rawa, terdiri dari 20 juta ha lahan pasang surut dan sekitar 13 juta ha lahan rawa lebak. Dari lahan seluas tersebut, baru sekitar 4,19 juta ha lahan pasang surut dan 0,73 juta ha lahan lebak yang sudah direklamasi dan dapat diguna-kan untuk pertanian (Nugroho et al., 1993 dalam Abdurachman dan Ananto, 2000). Dari seluruh lahan rawa yang telah direklamasi, baru sekitar 0,90 juta ha lahan pasang surut dan 0,26 juta ha lahan lebak yang sudah ditanami dengan IP antara 100 dan 150 (Soekirman, 2000). Ini ber-arti bahwa masih terdapat sekitar 3,29 juta ha lahan pasang surut dan 0,47 juta ha lahan lebak yang sudah direklamasi tetapi belum dimanfaat-kan. Jika 10% dari lahan rawa tersebut (0,38 juta ha) dapat dimanfaatkan (ekstensifikasi) untuk menanam 1 kali padi per tahun, maka dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha (Puslitbangtan, 2005), sumbangan lahan tersebut untuk produksi padi mencapai 0,94 juta ton, atau sekitar 1,74% dari produksi padi tahun 2005. Jika 25% dari lahan ekstensifikasi tersebut (0,09 juta ha) dapat ditanami 1 kali jagung dan 25% lagi ditanami 1 kali kedelai, maka dengan produktivitas rata-rata jagung 2 ton/ha dan kedelai 1 ton/ha, maka sum-bangannya terhadap produksi adalah 180 ribu ton jagung dan 90 ribu ton kedelai tiap tahun. Kontribusi ini cukup berarti dalam mengurangi volume impor kadua komoditas palawija ini. Se-baran lahan yang potensial untuk peningkatan produksi tanaman pangan disajikan pada Tabel 8.

Sumberdaya Air

Ketesediaan air untuk pertumbuhan tanaman secara optimal dipengaruhi oleh pola curah hujan (iklim) untuk lahan kering dan sawah tadah hujan, sedangkan untuk sawah irigasi dipengaruhi sistem dan jenis irigasi.

a. Iklim

Secara umum iklim yang mendominasi lahan pertanian di Indonesia adalah iklim basah

dan iklim kering. Di daerah yang didominasi oleh iklim kering (tipe D dan E) ketersediaan air tergantung dari hujan (bulan basah) selama 3-5 bulan, baik untuk lahan kering maupun sawah tadah hujan. Usahatani tanaman pangan yang prospektif untuk dikembangkan di daerah ber-iklim kering menggunakan pendekatan peman-faatan tanaman toleran kekeringan dan efisien menggunakan air dan lahan. Tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan adalah ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tunggak, sedangkan tanaman yang efisien memanfaatkan air yang tersedia dalam waktu yang relatif pendek adalah padi, jagung dan kedelai berumur genjah. Efi-siensi pengguanan lahan air, dan cahaya dapat dicapai melalui sistem tumpangsari (Wargiono, 2003). Sistem tumpangsari yang baik adalah ubi kayu + jagung genjah dan ubi kayu + kedelai genjah, atau ubi kayu + padi + jagung dan ubi kayu+kedelai+jagung.

Pemanfaatan air secara efisien untuk padi pada sawah tadah hujan atau sawah irigasi sederhana adalah penerapan sistem walik-jerami dan pesemaian kering dengan menggunakan va-rietas berumur genjah. Sedangkan untuk palawija setelah padi adalah pemanfaatan air yang tersisa dan sistem pompanisasi dengan memanfaatkan air hujan yang terakumulasi dalam embung atau sumur ladang.

b. Jenis dan sistem irigasi

IP100 padi pada lahan sawah irigasi disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah: (a) tidak menggunakan varietas genjah, (b) tidak memanfaatkan teknologi hemat waktu melalui pesemaian kering dan walik-jerami untuk pola padi-padi, (c) sistem intermiten, (d) infra-struktur untuk pengairan sederhana yang tidak mampu menghemat air irigasi, serta (e) belum menggunakan bibit umur muda. Dengan meman-faatkan varietas umur genjah, pengelolaan tanah sistem walik jerami, persemaian kering bibit umur muda dapat menghemat waktu hingga 30%, sehingga kebutuhan air sejak di pesemaian sampai panen dapat dihemat.

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia (SDM) pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam me-ningkatkan daya saing sektor pertanian. Pening-katan kualitas sumberdaya manusia dapat dila-

Page 17: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

17

kukan melalui kebijakan dan program pengem-bangan SDM yang terencana secara baik, sesuai dengan kebutuhan pembangunan pertanian jangka menengah dan panjang, mulai dari aparat pengambil kebijakan, perencana, dan pelaksana pembangunan pertanian, penyuluh, sampai peta-ni. Menurut Pranadji (2004), kualitas SDM men-cakup beberapa aspek. antara lain (a) keteram-pilan individu yang bisa diandalkan, (b) kema-tangan emosional yang tinggi, (c) kemampuan bekerja secara tim yang baik, (d) kemampuan masyarakat mengapresiasi tata nilai maju, dan (e) memiliki sifat dan pengetahuan tentang pentingnya menjunjung tinggi penerapan mana-jemen futuristik dan organisasi kerja yang di-arahkan untuk menopang kemajuan masyarakat pedesaan.

Untuk menjadikan sektor pertanian mam-pu bersaing dengan negara lain, maka perlu program peningkatan kualitas SDM jangka me-nengah dan panjang, mulai dari peningkatan prioritas wajib belajar 12 tahun, pendidikan yang lebih tinggi bagi aparat pertanian, serta pelatihan di bidang tugas dan keahlian masing-masing.

Sumberdaya Kelembagaan

a. Kelembagaan permodalan

Modal yang terbatas dapat mengurangi gerak aktivitas sektor pertanian, sehingga diper-lukan kredit. Kredit pertanian juga berfungsi sebagai salah satu critical point of development (simpul kritis pembangunan yang efektif) yang perannya antara lain : (a) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga yang relatif ringan; (b) mengurangi keter-gantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas uang dan dengan demikian berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian; (c) mekanisme transfer penda-patan di antara masyarakat untuk mendorong pemerataan; dan (d) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. (Syukur et al, 1998).

Secara garis besar sumber biaya usaha pertanian terdiri dari 4 kelompok, yaitu (a) pemi-lik usaha (modal sendiri), (b) kredit formal, (c) kredit informal, dan (d) kemitraan. Memang di-akui beberapa program kredit telah dapat men-capai tujuannya dalam meningkatkan produksi, tetapi ada indikasi bahwa kinerjanya tidak me-

muaskan, terutama pada lembaga keuangan se-bagai pelaksana (Manurung, 1998).

Menurut Martowijoyo (2002), lemahnya kinerja lembaga keuangan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu (a) rendahnya tingkat pelunasan kredit; (b) rendahnya moralitas aparat pelaksana, dan (c) rendahnya tingkat mobilisasi dana ma-syarakat. Kelemahan tersebut membawa konse-kuensi pada tidak berlanjutnya (unsustainable) lembaga keuangan yang terbentuk setelah prog-ram selesai. Akibatnya, peserta program umum-nya akan kembali mengalami kekurangan modal usaha.

Lembaga keuangan yang memfasilitasi pembiayaan pertanian sampai sekarang masih sulit diakses oleh petani (faktor internal). Hal ini disebabkan oleh sistem dan prosedur penyaluran kredit dari perbankan masih rumit, birokratis, serta kurang memperhatikan kondisi lingkungan sosial budaya pedesaan. Rendahnya dukungan pembiayaan bagi sektor pertanian juga disebab-kan oleh faktor eksternal dalam pembentukan Bank Pertanian atau lembaga keuangan yang khusus membiayai sektor pertanian belum terwujud.

b. Kelembagaan pemasaran

Para pelaku di dalam jaringan perdaga-ngan pertanian di Indonesia sekurangnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis pelaku berdasarkan keterlibatan modal dan risiko yang ditang-gungnya. Mereka disebut sebagai pedagang biasa, pedagang kaki tangan, dan pedagang komisioner. Yang membedakan pedagang biasa dengan pedagang kaki tangan adalah pedagang biasa menyertakan modalnya sendiri didalam transaksi, sementara pedagang kaki tangan memakai modal orang lain, yaitu modal dari pedagang berikutnya (lebih di hilir) dalam jalur tata niaga tersebut. Sementara pedagang komi-sioner selain tidak menyertakan modal uangnya sendiri, juga tidak menetapkan harga, bahkan tidak membayar apapun pada saat transaksi. Secara terbatas perilaku tidak menetapkan harga serta tidak membayar secara tunai barang saat transasksi juga ditemui pada pedagang biasa dan pedagang kaki tangan.

Kelembagaan pemasaran yang berfungsi memasarkan produk primer tanaman pangan sampai saat ini belum ada. Pengembangan ke-lompok tani idealnya bisa dijadikan titik awal

Page 18: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

18

membangun organisasi petani yang kuat, baik dalam penyediaan sarana produksi, usahatani, maupun dalam pemasaran hasil pertanian. Ke-lompok tani yang dibentuk untuk memperkuat daya tawar petani belum berperan dalam pema-saran hasil pertanian. Hingga sekarang masih berkembang anggapan bahwa kelompok tani yang dibentuk oleh pemerintah dua-tiga dekade lalu tidak memiliki kemandirian untuk berkem-bang sehat. Sebagian besar kelompok tani yang dikenal selama ini adalah yang dibentuk dan mendapat restu pemerintah. Kehidupan kelom-pok tani tersebut secara fisik memang tampak ada, namun ia tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan, apalagi berkembang secara mandiri (Pranadji dan Hastuti, 2004).

c. Kelembagaan tenaga kerja

Terdapat beberapa bentuk kelembagaan ketenagakerjaan yang mengatur hubungan anta-ra pemilik tanah dan buruh. Hubungan tersebut dapat bersifat (a) longgar atau lepas yang berarti tidak terdapat ikatan yang relatif permanen an-tara majikan dan buruh, (b) hubungan yang bersifat tetap dalam jangka waktu tertentu, dan (c) kelembagaan hubungan ketenagakerjaan yang bersifat saling bantu/sambatan/lebotan/ma-palus. Hubungan yang bersifat lepas diatur dengan sistem pengupahan harian, borongan, tebasan, mawiyan yange (Sulut), sedangkan hubungan ketenagakerjaan yang bersifat stabil, antara lain kedokan/gang-ganaan (Jawa Barat), patron klien / magersari / manggoloyudo (Jawa Tengah).

Beberapa kekuatan yang menjadi dasar kestabilan atau keberlanjutan kelembagaan ke-tenagakerjaan tradisional yang ada antara lain: (a) lahir dan terbentuk dari masyarakat sendiri, (b) proses seleksi anggota secara alamiah, (c) adanya masalah dan kebutuhan yang sama, (d) menjunjung tinggi aturan main yang telah disepakati, (e) struktur organisasi yang sangat sederhana, dan (f) azas keadilan (Hastuti, 2004)

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perubahan kelembagaan ketenagakerjaan, baik yang berasal dari dalam masyarakat (faktor internal), maupun yang berasal dari luar (faktor eksternal). Faktor internal yang mempengaruhi perubahan kelembagaan ketenagakerjaan antara lain bertambahnya jumlah penduduk, perubahan struktur pemilikan dan penguasan lahan, pem-bentukan lapisan dalam masyarakat, perubahan

kepentingan anggota lembaga, dan meningkat-nya pengetahuan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kelembagaan ke-tenagakerjaan adalah kebijakan pemerintah me-ngenai pemerintah desa, perkembangan teknolo-gi pertanian, komersialisasi pertanian, dan pem-bangunan pertanian yang bersifat sentralistik (Nurmanaf et al., 2004). Kinerja kelembagaan ketenagakerjaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pengembangan tanaman pangan, karena tanaman pangan adalah tana-man semusim yang di Indonesia membutuhkan banyak tenaga kerja (labor intensive).

Prospek Peningkatan Produksi

Defisit pasokan beras, jagung, dan ke-delai tahun 2005 sebesar 0,72 juta ton, 1,37 juta ton, dan 1,03 juta ton, dan penurunan ekspor produk olahan ubi kayu serta program pengem-bangan industri bioethanol mengindikasikan bahwa permintaan lebih tinggi daripada produksi dalam negeri. Implikasinya adalah diperlukan peningkatan produksi untuk memenuhi kebu-tuhan pangan, pakan, dan bahan baku industri dalam negeri. Peningkatan produksi dapat dilaku-kan melalui perbaikan mutu intensifikasi (PMI) dan penambahan areal tanam (PAT).

Pelandaian produktivitas yang terefleksi dari peningkatan produktivitas padi 0,41%/th, mengindikasikan bahwa peningkatan produksi lebih bertumpu kepada perluasan areal tanam. Penyebab utama pelandaian produktivitas adalah deteriorasi tanah akibat intensifikasi secara terus menerus selama revolusi hijau. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi yang mampu me-ngatasi masalah utama tersebut, di antaranya pengembangan konsep pemupukan berimbang melalui sistem integrasi tanaman ternak atau peningkatan produksi padi terpadu (P3T). Melalui pengembangan P3T tersebut, produktivitas padi dapat ditingkatkan sampai 1,42 ton/ha bila teknologi tersebut diadopsi petani (Adnyana, 2004). Pengembangan padi hibrida semula diha-rapkan dapat menjawab masalah pelandaian produktivitas. Akan tetapi, di Indonesia padi jenis ini belum mendapat respon positif dari petani (Sumarno, 2006). Ada beberapa hal yang me-nyebabkan padi hibrida belum berkembang di Indonesia. Pertama, sulit memperoleh benih, karena tidak didukung oleh industri benih yang memadai. Kedua, harga benih padi hibrida mahal dan tidak dapat ditanam berkali-kali seperti hal-

Page 19: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

19

nya nonhibrida. Ketiga, perbedaan produktivitas padi hibrida dengan padi nonhibrida tidak cukup menarik bagi petani.

Pencetakan sawah baru relatif mahal, sehingga peningkatan produksi secara ekstensifi-kasi sulit diimplementasikan. Salah satu cara peningkatan produksi adalah peningkatan IP pada lahan sawah IP100 padi, baik untuk sawah tadah hujan maupun irigasi dengan pengem-bangan sistem walik jerami, persemaian kering dan penggunaan bibit muda. Cara tersebut dapat memperpendek waktu 3-4 minggu dengan hasil sekitar 3 t/ha (Suyamto, 1992; Sasa 2002), se-hingga potensial untuk dikembangkan.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi peningkatan IP di lahan sawah irigasi dan tadah hujan mampu meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai masing-masing 6,80%; 11,39%; dan 43,65%. Selain itu, dalam hal pe-ningkatan mutu intensifikasi, penerapan P3T di lahan irigasi juga akan memberi sumbangan yang sangat besar dalam peningkatan produksi padi. Komponen teknologi yang sangat prospektif dalam mendukung penerapan P3T adalah pe-ngembangan varietas unggul baru spesifik lokasi, yang selain berdaya hasil tinggi juga toleran terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Namun tetap perlu dipertimbangkan potensi lokal yang ada. Pada kondisi petani de-ngan sumberdaya terbatas, modifikasi teknologi lokal merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh. Semua strategi tersebut merupakan potensi dan sekaligus peluang yang sangat prospektif dalam program peningkatan produksi pangan ke depan.

Untuk ubi kayu, status Indonesia sebagai eksportir gaplek sebesar 1,3 juta ton pada tahun 1990, dan turun menjadi 0,02 juta ton pada tahun 2003, serta menjadi negara importir tepung dan tapioka merupakan tantangan yang perlu segera ditangani secara serius. Penanganannya perlu dipadukan dengan program pengembangan in-dustri bioethanol. Untuk mengembalikan status Indonesia sebagai eksportir gaplek dan tapioka serta mandiri dalam pemenuhan tepung dan bahan baku industri bioethanol, diperlukan tam-bahan produksi sekitar 12,5 juta ton ubi segar. Untuk itu, perlu adanya peningkatan produksi, baik melalui PAT maupun PMI. Berdasarkan per-tumbuhan produktivitas saat ini (3,9%/th), dan rataan produktivitas saat ini sekitar 50% dari po-tensi hasil, maka peningkatan produktivitas 5%/

th sangat mungkin dicapai. Dengan luas tanaman ubi kayu sekitar 1,2 juta ha, maka peningkatan produksi melalui PAT sekitar 3% dan PMI 5%/th berpeluang direalisasikan. Terlebih lagi keterse-diaan sumberdaya lahan kering berupa lahan tidur sekitar 5,8 juta ha. Bila peningkatan pro-duksi secara intensifikasi (PMI) dan ekstensifikasi (PAT) tersebut dapat direalisasikan, peluang posisi sebagai eksportir gaplek dan tapioka serta kemandirian terhadap tepung dan bahan baku industri bioethanol dapat terwujud sebelum 2015.

PENUTUP

Kinerja pembangunan pertanian tana-man pangan selama periode 1990-2005 cukup baik. Hal ini dicerminkan oleh pertumbuhan pro-duksi padi, jagung, dan ubi kayu yang rata-rata 1,22%, 4,22%, dan 1,34%/th. Hanya produksi kedelai yang menurun rata-rata 3,98%/th, yang disebabkan oleh terus menurunnya areal tanam, akibat kurang menariknya usahatani kedelai. Demikian juga produksi padi, jagung, dan kedelai tahun 2005 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2004, sebagai indikator kinerja yang positif dari pembangunan pertanian tanaman pangan tahun 2005.

Jika angka ramalan (Aram) II tahun 2006 tepat, maka kinerja pembangunan pertanian pada tahun 2006 juga baik. Hal ini tercermin dari adanya peningkatan produksi padi sebagai ko-moditas strategis, dan ubi kayu sebagai komo-ditas pangan alternatif dan bahan baku industri. Produksi jagung dan kedelai tahun 2006 dira-malkan sedikit menurun, semata karena cuaca yang lebih basah.

Pencapaian produksi di atas belum cu-kup untuk menjadikan Indonesia berswasembada pangan, terutama jagung dan kedelai. Pertum-buhan penduduk, serta perkembangan industri pangan dan pakan menyebabkan volume dan laju pertumbuhan permintaan jagung dan kedelai lebih tinggi daripada volume dan laju pertum-buhan produksinya, sehingga ketergantungan pada impor masih tinggi. Jika tidak dilakukan upaya terobosan yang signifikan, ketergantungan pada impor akan makin meningkat. Untuk padi, laju pertumbuhan produksi sedikit lebih tinggi daripada permintaan, sehingga ke depan jika pertumbuhan ini dapat dipertahankan, Indonesia

Page 20: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

20

sangat potensial untuk mencapai dan memper-tahankan kembali swasembada beras.

Dengan melihat potensi sumberdaya la-han, SDM, dan teknologi yang tersedia, potensi dan peluang peningkatan produksi pangan mela-lui perluasan areal tanam (PAT) dan peningkatan mutu intensifikasi (PMI) sangat terbuka. Pening-katan IP100 menjadi IP200 pada lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan diperkirakan mam-pu menyumbang produksi padi, jagung, dan ke-delai masing-masing 7%, 11,39%, dan 43,65%. Demikian juga pemanfaatan 10% lahan rawa tidur yang telah direklamasi dapat menyumbang produksi padi jagung dan kedelai masing-masing sekitar 1,74%, 1,44%, dan 11,14%. Jika tekno-logi P3T dapat diterapkan pada 5% dari sawah irigasi, maka sumbangan produksi akan lebih besar lagi, dan akan sangat besar artinya bagi upaya mengurangi ketergantungan pada impor.

Upaya peningkatan produksi tersebut memerlukan dukungan kebijakan seperti (a) per-baikan sarana irigasi; (b) penyediaan sumber modal yang mudah diakses petani (misal Bank Unit Desa); (c) pelatihan petani dalam pening-katan IP di lahan sawah irigasi, tadah hujan, dan lahan kering; (d) promosi penggunaan varietas unggul; (e) perbaikan sistem distribusi sarana produksi; (f) mendorong swasta untuk ber-investasi di bidang agro-industri di pedesaan; (g) membangun pola kemitraan yang sinergis antara petani dengan pengusaha swasta; (h) pem-berlakuan tarif dan pengaturan waktu impor, disertai penegakan hukum yang konsisten, serta promosi bahan pangan nonberas untuk mengu-rangi ketergantungan pada beras.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. dan E. E. Ananto. 2000. Konsep

Pengemabngan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan pangan dan Pengembangan Agribisnis. Dalam Ananto, E.E, I.G. Ismail, Subagjo, Suwarno, A. Djajanegara dan H. Supriadi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa. Cipayung 25-27 Juli 2000. Puslitbang Tana-man Pangan. Bogor.

Abdurachman, A. 2005. Rangkuman Bahasan Lahan Kering di Indonesia. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Adnyana, M.O. 2004. Analisis Dampak Program Pe-ningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) dan Analisis Kebijakan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Amang, B. And N. Sapuan, 2000. Can Indonesia feed itself? In Arifin and Dillon (Eds). Asian Agri-culture Facing The 21st Century. Proceeding The Second Conference of Asian Society of Agricultural Economists (ASAE). Jakarta.

Badan Litbang, 2005a. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Padi. Badan Litbang Per-tanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Litbang, 2005b. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Litbang, 2005c. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

BPS, 2005. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.

Deptan RI. 2006. Rencana Kerja Anggaran (RKA) Tahun 2007, APBN-P 2006, dan BLN Deptan. Bahan Raker Mentan dengan Komisi IV DPR-RI 19 Juli 2006.

Ditjen Tanaman Pangan, 2004. Profil Kedelai (Glycine max). Buku 1. Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan, 2006a. Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka Ramalan II tahun 2006 Produksi Tanaman Pangan. Memorandum. Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan. 2006b. Rencana Kerja Pe-ningkatan Produksi Tanaman Pangan TA 2006. Ditjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.

Kompas. 2004. Data Penyelundupan Beras Sangat Jelas dan Akurat. Jakarta. Edisi 8 April 2004.

Erwidodo. 2004. Analisis Harga Dasar Pembelian dan Tarif Impor Beras dalam Kasryno, F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

FAO. 2006a. Harvested Area and Production of Soybean. http://faostat.fao.org/faostat/ form? Collection.Production.crops.Primary&Domain. downloaded April 2006.

FAO, 2006b. Soybeans Import and Export http:// faostat.fao.org/faostat/servlet/XteServlet3?= Trade.CropsLivestockProducts&language=EN, downloaded June 2006.

Gonzales, L.A., F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant, 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian. Food

Page 21: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

21

Crop Production Reseacrh Report 93. Intl. Food Polycy Resch Inst. Washinton DC.

Hastuti, E.L. Bentuk dan Dinamika Kelembagaan Ketenagakerjaan Tradisional di Masyarakat Pedesaan Icaserd Working Paper No. 35 Maret 2004. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Hilman, Y., A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian: Kontribusi ter-hadap Ketahanan Pangan dan Perkemba-ngan Teknologinya dalam Makarim, A.K., Hermanto, dan Sunihardi (Eds). Inovasi Per-tanian Tanaman Pangan. Puslitbang Tana-man Pangan. Bogor.

Manurung, V.T. 1998. Keragaan Kelembagaan Perkreditan Usaha Penangkapan Ikan Tuna Skala Kecil di Kawasan Indonesia Timur. FAE Vol 16 No 2 Desember 1998. Pusat Pene-litian Sosial Ekonomi Pertnaian. Hal 62-74

Media Indonesia. 2005. Mentan Puas Soal BM Pertanian. Jakarta. Edisi 3 Januari 2005.

Nurmanaf, A.R. E.L.Hastuti, H. Tarigan dan Supadi, 2004. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisio-nal Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. La-poran Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Pranadji, T. dan E.L. Hastuti. 2004. Kelompok Tani dan Pengembangan (Transformasi) Keorga-nisasian Ekonomi Pedesaan.

Pranadji, T. 2004. Reformasi Kelembagaan dan Ke-mandirian Perekonomian Pedesaan: Kajian Pada Kasus Perekonomian Padi Sawah da-lam Buku Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian. Departemen Pertanian. Hal : 107-129

Puslitbangtan, 2004. Deskripsi Varietas Unggul Padi Palawija 2002-2004. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Puslitbangtan, 2005. Analisis Kebijakan Pengemba-ngan Tanaman Pangan di Lahan Marginal: Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Rochayati, S., Mulyani, dan J.S. Adiningsih. 2005. Pemanfaatan Lahan Alang-Alang. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Rachman, B. dan S.K. Dermorejo. 2004. Dinamika Harga dan Perdagangan Beras dalam Kasryno F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Rusastra, IW. Dan F. Kasryno. 2003. Kebijakan Pe-ngembangan Agribisnis & Kinerja Pening-

katan Produksi dalam Kasryno et al. (Eds) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Sasa, J. 2002. Alternatif Teknologi Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar: Membangun Sistem Produksi Ta-naman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Subandi. 1998. Status Penelitian Jagung di Indonesia dalam Prosiding Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas – Litbang Pertanian. Ujung Pandang.

Sudaryanto, T. 1996. Konsumsi Kedelai dalam Amang, B., M.H. Sawit, dan A. Rachman (Eds). Ekonomi Kedelai Di Indonesia. IPB Press. Bogor.

Sudaryanto, T., P. Simatupang, A. Purwoto, M. Rosegrant, and M. Hossain. 1999. Could Indonesia Sustain Self-Sufficiency in Rice Production? Recent Trends and a Long-Term Outlook. Discussion Paper Series No. 99-03. Social Sciences Division. IRRI. Makati. Philippines.

Suharno, P. 1005. The Dynamic Structure of Demand for Cassava in Indonesia and Its Implications for Policy. PhD Thesis. University of The Philippines Los Baños.

Sukirman, S. 2000. Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendu-kung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis dalam Ananto, E.E., G. Ismail, Subagio, Suwarno, A. Djajanegara dan H. Supriadi (Eds). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa. Cipayung 25-27 Juli 2000. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Suryana, A. 2002. Keragaan Perberasan Nasional dalam Pambudy et al. (Eds). Kebijakan Perberasan di Asia. Regional Meeting in Bangkok, October 2002.

Sumarno, 2006. Mengapa Hibrida Padi Tidak Sesukses Hibrida Jagung?. Sinar Tani Edisi 21-27 Juni 2006 No.3155. Tahun XXXVI.

Suryana dan Hermanto. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional dalam Kasryno, F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (Eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Suyamto, dkk. 1992. Alternatif Pola Tanam pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Lombok Selatan. Prosiding Risalah Seminar Hasil Pe-nelitian Sistem Usahatani di Nusa Tenggara Barat. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Swastika, D.K.S. 2005. The Structural Change of Maize Consumption in Indonesia. SOCA.

Page 22: KINERJA DAN MASA DEPAN PEMBANGUNAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_DEWA_07.pdfSelama 15 tahun terakhir, produksi beras, jagung, dan kedelai masih lebih rendah

22

Vol.5 No.2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.

Syukur, M. Sumaryanto dan Sumedi, 1998. Kinerja Kredit Pertanian dan Alternatif Penyempur-naannya untuk Pengembangan Pertanian. dalam Analisis dan Prespektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Eko-nomi. Monograph Series No 20. Pusat Pene-litian Sosial Ekonomi Pertanian. Hal : 221 – 246.

TEMPO Interaktif. 2006. Kepala Bulog: Stok Beras Terendah Saat Ini Sepanjang Sejarah. Jakarta. Sabtu, 19 Agustus 2006

Wargiono, J. 2003. Pemupukan NPK dan Sistem Tanam Ubi kayu pada Tanah Ultisol, Lampung. Penelitian Tanaman Pangan Vol. 22 No.2. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Wargiono, J., A. Hasanuddin, dan Suyamto. 2006. Teknologi Produksi Ubi kayu Mendukung Industri Bioethanol. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.