4
Kita Semua Ahli Surga, Insya Allah -Abu Rizqy Al Jambary- Dalam sebuah hadist tentang akhirat, Rasul sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa kaum Nasrani akan terpecah menjadi 71 golongan, Yahudi menjadi 72 golongan dan Umat Islam menjadi 73 golongan (dalam ulasannya Sayyid Qutb menjabarkan tentang Syi’ah terdiri dari beberapa faksi, Qadariyah, Jabariyah, Ahmadiyah dan Muta’zilah, juga Ingkar Sunnah), semuanya masuk neraka kecuali 1 golongan, yakni Ahlussunah wal jama’ah. Yang berpegang kepada Al Quran Wal Hadits. Nah, lantas kalau semua ngaku ahlussunah wal jamaah, siapa yang benar? Mari kita lihat secara teliti. Bila merujuk kepada hadits tadi, maka semua golongan yang berpegang kepada Al Qur’an wal Hadits termasuk ahlussunah wal jamaah. Dalam sebuah contoh kasus; Kaum Nahdliyin yang berpegang pada pendapat Imam Syafi’i, tidak membolehkan pria yang punya wudhu bersentuhan dengan wanita, karena bersentuhan memnyebabkan batal wudhu. Sedangkan Muhammadiyah mengikuti pedoman pada pendapat Abu Hanifa atau Imam Hanafi, bahwa bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, karena kata ‘bersentuhan’ menurut beliau ditafsirkan sebagai kata kiasan yang artinya adalah bersebadan. Dalilnya dari mana? An Nisa 4:43, Al Maidah 5:6, Maryam 19:20. Dua pendapat yang berbeda, tapi berasal dari ayat Al Qur’an yang sama, hanya pada tahapan penafsirannya saja yang berbeda. Cabang, ikhtilaf, khilafiyah, furuiyah dan istilah lainnya untuk perbedaan para Imam Madzhab ini, justru sering mengedepan justru di kalangan bawah, bukan di tataran ulama. Selain karena para Imam mahdzab di kitabnya selalu menyertakan statement bahwa: bila ada Imam lain berpendapat berbeda, maka ikutlah dia, karena aku bisa saja salah . Konsep tasammuh (toleransi) dalam hal ini dijunjung tinggi. Materi Perbandingan Madzhab di pesantren, justru diberikan di tahap akhir kurikulum, sehingga diharapkan

Kita semua ahli surga

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kita semua ahli surga

Kita Semua Ahli Surga, Insya Allah

-Abu Rizqy Al Jambary-

Dalam sebuah hadist tentang akhirat, Rasul sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa kaum Nasrani akan terpecah menjadi 71 golongan, Yahudi menjadi 72 golongan dan Umat Islam menjadi 73 golongan (dalam ulasannya Sayyid Qutb menjabarkan tentang Syi’ah terdiri dari beberapa faksi, Qadariyah, Jabariyah, Ahmadiyah dan Muta’zilah, juga Ingkar Sunnah), semuanya masuk neraka kecuali 1 golongan, yakni Ahlussunah wal jama’ah. Yang berpegang kepada Al Quran Wal Hadits.

Nah, lantas kalau semua ngaku ahlussunah wal jamaah, siapa yang benar? Mari kita lihat secara teliti. Bila merujuk kepada hadits tadi, maka semua golongan yang berpegang kepada Al Qur’an wal Hadits termasuk ahlussunah wal jamaah. Dalam sebuah contoh kasus; Kaum Nahdliyin yang berpegang pada pendapat Imam Syafi’i, tidak membolehkan pria yang punya wudhu bersentuhan dengan wanita, karena bersentuhan memnyebabkan batal wudhu. Sedangkan Muhammadiyah mengikuti pedoman pada pendapat Abu Hanifa atau Imam Hanafi, bahwa bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, karena kata ‘bersentuhan’ menurut beliau ditafsirkan sebagai kata kiasan yang artinya adalah bersebadan.

Dalilnya dari mana? An Nisa 4:43, Al Maidah 5:6, Maryam 19:20. Dua pendapat yang berbeda, tapi berasal dari ayat Al Qur’an yang sama, hanya pada tahapan penafsirannya saja yang berbeda. Cabang, ikhtilaf, khilafiyah, furuiyah dan istilah lainnya untuk perbedaan para Imam Madzhab ini, justru sering mengedepan justru di kalangan bawah, bukan di tataran ulama. Selain karena para Imam mahdzab di kitabnya selalu menyertakan statement bahwa: bila ada Imam lain berpendapat berbeda, maka ikutlah dia, karena aku bisa saja salah. Konsep tasammuh (toleransi) dalam hal ini dijunjung tinggi.

Materi Perbandingan Madzhab di pesantren, justru diberikan di tahap akhir kurikulum, sehingga diharapkan para santri mengamati, memahami segala sesuatu itu dari perspektif yang holistik. Untuk beberapa hal, faham Syafi’i berpendapat begini tapi menurut Maliki justru berlawanan, kadang Hambali mendukung, dan bahkan Hanafi justru lebih berhati-hati.

Karena Madzhab hanyalah sebatas pola pikir, sudut pandang, perspektif, para ulama untuk memudahkan pemahaman dalam praktek pendekatan diri kepada Allah juga RasulNya sebagai contoh hidup, atau ringkasnya bermadzhab hanya soal nyaman atau tidak, mau atau tidak.

Ibarat makan bareng di Rumah Makan Padang, kalo ada yang diet silahkan makan sop atau kalo asam urat/ kolesterol darahnya

Page 2: Kita semua ahli surga

tinggi, dia boleh pilih minum jus Alpukat saja, tanpa harus ada yang ngotot semuanya musti makan rendang. Maka sampai sini persoalan mustinya sudah selesai.

Namun tidak semua murid di kelas bisa jadi rangking 1, inilah realita yang ada. Dengan kalimat lain, meski belajar hal yang sama, gurunya sama, waktunya sama, tapi ketekunan berbeda dan daya tangkap juga bervariasi, maka tidak akan ada rangking 1 di duduki oleh 2 orang. Meski banyak pengajian, taklim, majelis fikir dan halaqoh tarbiyah, sering muncul persoalan ketika berbenturan dengan keseharian. Faham tapi ga suka, ngerti tapi ngga cocok, sepemikiran tapi ngga diikuti. Permasalahan sederhana sebetulnya, Setan tidak pernah mau orang shalih jadi banyak. Dibuat iri, dihembuskan kedengkian, di tiupkan kemarahan, dibakarnya nafsu, dan sederet ide brilian keturunan Iblis ini tetap tergenapi nuansa kelicikan.

Egoisme adalah sebuah manifestasi dari perasaan Iblis. Dia merasa lebih baik dari Manusia. Dan di dalam QS Al A’raaf 7:12 sangat jelas statement Iblis terhadap eksistensi Ayahanda Ummat Dunia yang dijadikan Khalifah di bumi. ‘ana khairu minhum’ (saya lebih baik dari dia [Adam a.s].

Dalam berbagai masalah, komunitas grass root (baca:jamaah) lebih berfikir bahwa dialah yang belajar dengan benar dan baik, sehingga tidak ada kebenaran yang mendua, karena kebenaran hanya ada satu, yakni yang datangnya dari Allah. Maka ketika mereka berfaham pada salah seorang imam madzhab, maka tak ayal ketika dia tidak merunut kepada apa dasar pemikiran para Imam madzhab itu, dia akan terjebak kepada perangkap setan, yang menganggap bahwa fahamnyalah yang paling benar. Disinilah lahirnya sebuah masalah sepele yang berkepanjangan, hingga kini mendarah daging, bahkan sebagian da’i juga mulai terkena imbasnya, Astaghfirullah....

Saudaraku seiman seaqidah, Urgensinya cukup tinggi untuk kita mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada kaidah pengambilan dasar hukum dalam Islam, yakni Al-Quran yang teratas, kemudian disusul Sunnah / Hadits Rasul SAW, baru jumhur Ulama atau kesepakatan para Ulama, dan pijakan selanjutnya adalah ijtihad / pendapat dari para Ulama.

Ada ikhwan yang bertanya: “untuk apa ikut madzhab? Kalo hanya sekedar memperlebar jurang pemisah, lalu apa bedanya dengan berbagai agama yang semua tujuannya sama, yakni kepada Tuhan yang satu, cuma istilahnya beda?”, maka jawabannya menurut ana (sekali lagi dengan segala keterbatasan ilmu dan segenap kebodohan) Soal madzhab, kita tidak harus bermadhzab apalagi hanya 4, silahkan saja kalau mau bikin madhzab baru, atau bermahdzab tanpa mahdzab selama kita kuasai belasan ilmu dasarnya dan tetap merujuk pada Qur’an Hadits, tentu dengan kesolehan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, soal agama beda tujuan sama. Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa persaudaraan, ana sekali lagi

Page 3: Kita semua ahli surga

hanya bersandar kepada kekurang lengkapan ana pada konsep ketuhanan saudara kita yang beraqidah selain Islam. Nasrani dengan Trinitasnya, Hindu, Budha, Kong Hu Cu hingga Taoisme jelas jelas Polytheisme. Tapi jangan coba – coba antum tanya hal ini ke mereka, ana yakin seratus persen, mereka akan menyanggah dengan menjelaskan berbagai pembenaran atas ‘kebenaran’ yang mereka fahami tentang ke-Esa-an, dan itupun dengan cerita, analogi yang ngalor ngidul (kesana kemari) dan berakhir dengan kebingungan, karena memang mereka tidak bisa menjawab konsep ketauhidan dengan tepat, lha wong emang ga punya gimana mau njelasin?

Tatkala kita yang awam ini hanya mampu berpegang pada sandaran literatur ilmiah yang sudah ada, maka akan terkuras energi kita untuk memilah (tapi pahalanya banyak lho) mana hadits yang berkait dengan tauhid, mana yang bab aqidah, mana yang soal hukum, dst. Belum lagi kalau kita berhadapan dengan Ayat Qur’an maupun hadits dalam kerangka kurun waktu, demografi, budaya, perilaku, asbab nuzul dan asbab wurudnya, Wuih pokoknya bisa ga ngapa-ngapain kita bila tidak mampu mempelajarinya langsung dari sumber yang bisa dipercaya, semisal ahli hadits, dlsb.

Maka secara sederhana sebaiknya menurut ana: Ketika terjadi perbedaan, maka dengan pemahaman yang cukup, siapapun dia (NU, Muhammadiyah, PERSIS, Salafiyun, Jama’ah Tabligh) mari kita lihat apa dasar pengambilan hukumnya, bila berujung di Qur’an Hadits kita musti segera menyalami tangan dia (jangan lupa senyum dan baca Alhamdulillah) dengan penuh kehangatan, orang yang berbeda dengan kita, seraya berkata “Alhamdulillah, Kita Semua Ahli Surga, Insya Allah”.

Wallahu ‘alam bishshowab.