Upload
praktikumhasillaut
View
32
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Praktikum ini dilaksanakan pada 21 September 2015. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang.
Citation preview
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Agustina Cloudia 13.70.0092
Kelompok B3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, oven, ayakan, pengaduk dan
peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N;
dan 1,25 N, NaOH 3,5%; NaOH 40%,50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl
0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
2
1.2.2. Deproteinasi
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
3
1.2.3. Deasetilasi
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2,
NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
4
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen KitinI (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
B1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00
B2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%36,00 29,40 -
B3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%31,82 50,00 50,00
B4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%28,00 22,22 19,23
B5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%28,57 20,00 -
Berdasarkan hasil pengamatan diatas, terdapat perlakuan yang berbeda antar kelompok
dimana konsentrasi HCl dan NaOH yang ditambahkan berbeda-beda. Kelompok B1 dan B2
mendapatkan perlakuan HCl 0,75 N; NaOH 3,5 % dan NaOH 40%. Kelompok B3 dan B4
mendapatkan perlakuan HCl 1 N; NaOH 3,5% dan NaOH 50% sedangkan kelompok B5
mendapatkan perlakuan HCl 1,25 N; NaOH 3,5% dan NaOH 60%. Hasil rendemen I tertinggi
diperoleh kelompok B2 (36,00) dan terendah diperoleh kelompok B4 (28,00). Hasil
rendemen II tertinggi diperoleh kelompok B3 (50,00) dan terendah pada kelompok B5
(20,00). Hasil Kitosan tertinggi diperoleh kelompok B3 (50,00) dan terendah 19,23 pada
kelompok B5 serta kelompok B2 dan B5 tidak didapatkan hasil.
3. PEMBAHASAN
Udang menghasilkan limbah yang kaya akan mineral, protein dan provitamin A (astaxantin).
Limbah udang dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah cair
terdiri dari kotoran dan suspensi air, sedangkan untuk limbah padat terdiri kulit, kaki, dan
kepala (Rismana,2001). Kandungan kitin pada Crustacea sekitar 20-60%, sebagai contoh
kandungan kitin di cangkang kepiting 70% dan di cumi-cumi 20%. Kandungan nitrogen pada
kitin sekitar 7%. Kulit udang dapat diolah menjadi kitin, dimana kandungan kulit udang
sendiri adalah protein 25-40%, kitin 15-20% dan kalisum karbonat 45-50%
(Muzzarelli,1997). Kitin dapat diperoleh dari udang, kepiting, crayfish dan bagian dari
kelelawar (Kaya,2014). Adanya pengolahan limbah udang perlu dilakukan karena sifat
limbah udang sendiri yang cepat mengalami pembusukan. Apikasi pengolahan limbah udang
salah satu nya adalah untuk pembuatan kitin kitosan.
Kitin berasal dari hasil pengolahan kulit udang sehingga akan menghasilkan produk baru.
Kitin termasuk dalam makromolekul polisakarida yang biasanya dapat ditemukan di bagian
eksoskeleton crustacea (Peter,1995). Karakteristik kitin antara lain tidak beracun; tidak larut
pada air, asam anorganik encer dan asam organik; keras; bentuknya kristal; warnanya putih;
memiliki berat molekul 1,2 x 106 (Ormun,1992). Muzzarelli (1985) menambahkan bahwa
kitin dapat larut pada asam mineral pekat seperti lithium klorida, dimetil asetamida, asam
nitrat, asam fosfat dan asam sulfat. Mudah mengalami kerusakan akibat kondisi kimiawi dan
biologis. Struktur kimia dari kitin adalah polimer dengan ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy
β-D glucan. Struktur ikatan antara kitin dan selulosa hampir sama yaitu di C no 2, pada
selulosa yang terikat di C2 adalah OH sedangkan di kitin yang terikat adalah gugus
asetamida. Proses degradasi kitin oleh asam pekat akan menyebabkan gugus asetil pada rantai
struktur kimia kitin akan terlepas. Kitin juga diikat dengan ikatan glikosida di posisi β (1-4)
(Shahidi et al,1999). Fungsi kitin adalah sebagai pengemulsi koagulasi, sumber pendukung
kerja dari enzim (laktase,papain, glukosa isomerase, dll), bahan kosmestik (Peter,1995). Kitin
dapat di hidrolisis dengan enzim exo dan endochitinase menjadi N,N-diacethylchitobiose dan
oligomer N-acethylglucosamine (Wieczorek,2014).
Kitosan termasuk dalam polisakarida yang memiliki berat molekul tinggi, selain itu kitosan
merupakan hasil turunan dari kitin. Kitosan diperoleh dari proses deasetilasi kitin. Kitosan
berasal dari kopolimer N-acetyl glucosamine (Muzzarelli et al,1986). Ramadhan et al (2010)
7
menambahkan bahwa kitosan berasal dari senyawa poli (N-amino-2 deoksi β-D-
glukopiranosa) atau glukosamin hasil deasetilasi kitin/ poli (N-asetil-2 amino-2-deoksi β-D-
glukopiranosa). Karakteristik kitosan antara lain berbentuk homopolimer, tidak larut air dan
basa kuat, larut pada asam organik, hidrofilik, termasuk biopolimer kationik, tidak beracun,
bersifat polielektrolitik. Rumus kimia dari kitosan adalah poli (2-amino-2-dioksi-β-D-
Glukosa) (Balley et al,1977). Terdapat sifat spesifik dari kitosan yang membedakan dengan
kitin yaitu biokompatibel, antibakteri, pengkelat, hidrofilik, bioaktif dan afinitasnya yang
tinggi terhadap enzim. Adanya proses deasetilasi menyebabkan gugus asetil dari kitin
terputus sehingga hanya menghasilkan gugus amina. Hasil derajat deasetilasi akan
menunjukkan tingkat kelarutan dari kitosan (Dunn et al,1997). Kitin dan kitosan mudah di
degradasi dengan asam kuat dan basa kuat (Kofuji et al,2005). Kualitas kitosan didapatkan
dari jumlah gugus asetil yang hilang pada rendemen kitin atau kitosan
Kitin dan kitosan banyak digunakan dalam industri karena sifatnya yang tidak beracun dan
aman digunakan sebagai antioksidan digunakan sebagai bahan kosmestik, farmasi, tekstil,
kertas, pertanian dan pangan (Sashiwa & Sei-ichi,2004). Kitosan berperan sebagai
antioksidan karena adanya kelat pada ion besi, bersifat sebagai antimikrob karena
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysaccharida. Selain itu kitosan dapat
berperan sebagai anti kolesterol, anti diabetes, anti koagulan, penyembuh luka, dan anti tumor
(Prabu & Natarajan,2012). Kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan
(Satuhu,2003). Kitosan dapat digunakan sebagai flokulan yang berguna untuk mengurangi
polusi udara, antibakteri, antibodi (Zakaria,2012). Kitosan dapat berfungsi untuk mengurangi
kadar tanin pada kopi dan untuk menjaga tingkat kejernihan dari wine, beer dan jus buah
(Jothi,2013).
Dalam ekstraksi limbah udang dilakukan tiga proses utama yaitu demineralisasi, deproteinasi
dan deasetilasi. Terdapat 5 tahap dalam ekstraksi kitin yaitu pencucian bahan, penghalusan
bahan, demineralisasi, deproteinasi, pengeringan dan pembubukan. Demineralisasi dan
deproteinasi termasuk dalam isolasi kitin sedangkan tahap untuk pembuatan kitosan adalah
melalui proses deasetilasi (Kumirska,2010). Kandungan nitrogen dalam kitin dibawah 7%,
sedangkan untuk kitosan total nitrogennya diatas 7% (Mizani,2007).
Demineralisasi
8
Demineralisasi adalah proses pertama untuk mendapatkan kitosan. Demineralisasi adalah
proses penghilangan mineral pada kulit udang dan dilakukan dengan penambahan asam
(Mizani,2007). Langkah kerja untuk proses demineralisasi yang dilakukan dalam
mengekstrak limbah udang adalah limbah udang sebanyak 10 gram dicuci dengan air
mengalir dan di keringkan, setelah itu dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan air
panas sebanyak 2 kali dan dilakukan pengeringan kembali. Limbah yang telah dicuci tersebut
dihancurkan hingga didapatkan bubuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Dilakukan
pencampuran bubuk dengan HCl dengan perbandingan 10 :1. Jenis HCl yang digunakan
berbeda-beda antar kelompok, dimana untuk kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75
N; 1 N untuk kel B3 dan B4; 1,25 N untuk kelompok B5. Dilanjutkan dengan pengadukan
selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam kemudian dilakukan pencucian
hingga pH nya netral dan dikeringkan selama 24 jam dengan suhu 80oC.
Pencucian dilakukan untuk mencegah kontaminasi, untuk menghilangkan bahan pengotor
yang terdapat di kulit udang, mematikan mikroorganisme. Tujuan pengeringan adalah
mengurangi kadar air dalam bahan. Penghalusan atau penghancuran bahan dilakukan untuk
memperbesar lusa permukaan bahan sehingga proses selanjutnya berjalan lebih cepat dimana
proses deasetilasi, dan penyerapan larutan akan berjalan lebih cepat dan sempurna
(Muzzarelli et al,1997). Adanya Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan mineral pada
hasil bubuk kulit udang, kandungan mineral pada kulit udang cukup tinggi yaitu 30-50%
(berat kering) yang terdiri dari kalsium karbonat dan kalsium fosfat (Suhardi,1993). Efek
penambahan HCl mampu melarutkan kalsium contohnya kalsium klorida serta dapat
membuat kitin mengalami proses depolimerisasi. Indikasi terjadinya proses demineralisasi
adalah munculnya gelembung CO2. Dengan keluarnya CO2 saat terajadi penambahan HCl,
maka akan terbentuk ion Ca2+ dan ion H2PO4- yang larut dalam akan berubah menjadi CaCl2.
CaCl2 ini akan hilang saat penyaringan (Hendri et al,2007). Austin (1981) menambahkan
bentuk reaksi antara kalsium karbonat dan HCl yaitu,
CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)
Selanjutnya dilakukan pengadukan pada campuran larutan, tujuannya adalah
menghomogenkan campuran bahan dan larutan, mencegah gosong, meratakan suhu larutan
dan meningkatan efektivitas dari kerja HCL (Austin,1981). Hendry (2008) menambahkan
bahwa pengadukan akan membuat gas CO2 berkurang. Menurut Puspawati & Simpen (2010)
waktu pemanasan yang dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai, karena pemanasan
9
selama 1 jam merupakan kondisi optimal untuk melarutkan mineral. Pencucian hingga pH
larutan menjadi netral bertujuan agar tidak terjadi degradasi yang terlalu besar pada bahan
dan untuk menghilangkan HCl sisa pada bahan (Mudasir et al,2008). Pengeringan yang
terakhir pada proses ini bertujuan untuk mendapatkan kitin yang bebas dari mineral.
Berdasarkan hasil pengamatan, perlakuan untuk kelompok B1 dan B2 adalah HCl 0,75 N;
NaOH 3,5% dan NaOH 40%. Untuk kelompok B3 dan B4 menggunakan HCl 1 N; NaOH
3,5% dan NaOH 50% sedangkan untuk kelompok B5 menggunakan Hcl 1,25 N; NaOH 3,5%
dan NaOH 60%. Pada hasil rendemen kitin I, rendemen tertinggi diperoleh kelompok B2
(36,00%) dan terendah diperoleh kelompok B4 (28,00%). Dari hasil tersebut dapat dilihat
bahwa penambahan HCl 0,75N pada proses dimineralisasi menghasilkan hasil rendemen
tertinggi daripada HCl 1N. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008),
seharusnya konsentrasi HCl dan rendemen berbanding lurus. Konsentrasi HCl yang semakin
tinggi akan menghasilkan rendemen yang tinggi pula. Faktor yang mempengaruhi besarnya
rendemen pada proses demineralisasi antara lain suhu pemanasan, HCl dan frekuensi
pengadukan. Konsentrasi tinggi pada HCl akan membuat senywa mineral pada bubuk udang
lebih mudah untuk dihilangkan. Batas konsentrasi HCl untuk recovery adalah 1-2%, lebih
dari 2% maka akan terjadi penurunan recovery. Penurunan recovery ini dapat mengurangi
berat endapan sehingga berat rendemen yang dihasilkan akan rendah juga (Lehninger,1975).
Ketidaksesuaian hasil dapat disebabkan karena jenis kain saring yang digunakan, dimana
karena pori-pori ikain saring yang besar maka terdapat rendemen yang terbuang, pencucian
hingga di dapat pH netral, kurang akurat dalam mengukur volume HCl yang digunakan
sehingga tidak semua mineral dapat dihilangkan.
Deproteinasi
Deprotenasi adalah tahap untuk mengurangi atau menghilangkan protein yang terdapat pada
bubuk kulit udang. Kandungan protein dalam kulit udang mencapai 40% (Muzzarelli,1997).
Hari selanjutnya dilakukan proses deproteinasi, dimana hasil tepung dari proses
demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1. Selanjutnya dilakukan
pengadukan selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Dilakukan
penyaringan dan pendinginan. Residu yang telah di dapat kemudian dicuci hingga pH bahan
menjadi netral kemudian di keringkan dengan suhu 80oC selama 24 jam. Hasil yang diperoleh
pada tahap ini adalah kitin. Penggunaan NaOH berfungsi untuk mengubah bentuk struktur
dari kitin yang awalnya berbentuk kristal rapat sehingga enzim akan lebih cepat berpenetrasi,
10
memutus ikatan pada protein kitin, dan melarutkan protein pada tepung kulit udang
(Martinou et al,1995). Pengadukan bertujuan untuk menghomogenkan larutan dengan bahan
sehingga proses deproteinasi bisa berjalan dengan efektif. Pendinginan dilakukan untuk
mengendapkan kitin pada larutan sedangkan pemanasan yang dilakukan untuk mendenaturasi
protein yang terkandung (Rogers,1986). Adanya pengeringan bertujuan untuk menghilangkan
dalam bahan sehingga didapatkan hasil yang murni dan kering.
Pada hasil pengamatan, terjadi penurunan dan peningkatan hasil rendeman kitin II jika
dibandingkan dengan hasil rendeman kitin I. Pada kelompok B2, B4 dan B5 terjadi
penurunan hasil rendeman kitin II sedangkan pada kelompok B1 dan B3 terjadi peningkatan
hasil rendemen kitin II sebesar (34,88) dan (50,00). Terjadi kesesuaian hasil pada kelompok
B2, B4 dan B5, tetapi tidak untuk kelompok B1 dan B3. Menurut Fennema (1985), adanya
penambahan NaOH akan membuat hasil rendemen kitin II nilai nya lebih rendah daripada
rendemen kitin I, hal ini dikarenakan basa memiliki tingkat hidrolisis terhadap protein dan
mineral yang besar jika dibandingkan dengan asam. Hong et al (1989) menambahkan bahwa
NaOH akan memicu terjadi proses depolimerisasi pada rantai kitosan dan berat molekulnya
menjadi turun sehingga akan menghasilkan jumlah rendemen kitosan yang rendah. Waktu
pengolahan, suhu, pH, dan konsentrasi kimia dapat mempengaruhi kualitas dari kitin dan
jumlah protein mineral yang hilang khususnya pada proses demineralisasi dan deproteinasi.
(Lehninger,1975).
Deasetilasi
Deasetilasi adalah tahap untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin yang dilakukan dengan
menggunakan suhu tinggi dan penggunaan larutan alkali kuat konsentrasi tinggi (Rahayu et
al,2007). Gugus amina bebas yang berasal dari gugus amida kitin dan gugus H+ akan
mengadsorbsi ion logam dan membentuk kelat. Tahap terakhir adalah deasetilasi, dimana
kitin yang telah diperoleh dari deproteinasi akan ditambahkan NaOH dengan konsentrasi
40%,50% dan 60% (20:1) diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan pemanasan pada suhu 90oC selama 60 menit, disaring dan residu yang dihasilkan di
cuci hingga pH nya menjadi netral. Residu yang di dapat kemudian di oven pada suhu 70oC
selama 24 jam dan dihasilkan kitosan. Adanya pemakaian NaOH 40%-60% bertujuan untuk
menghidrolisa kitin sehingga didapatkan kitosan dan berperan sebagai pelarut. Cara kerja
NaOH dalam menghidrolisa kitin adalah dengan memecah struktur kristal panjang dari kitin
yang memiliki ikatan kuat ion nitrogen dan gugus karboksil sehingga terjadi perubahan gugus
11
asetamida menjadi gugus amina (Hirano,1989). Pendinginan akan membuat kitosan
mengendap dalam larutan dan pemanasan berfungsi untuk meningkatkan derajat deasetilasi
dari kitin (Puspawati & Simpen,2010). Derajat deasetilasi adalah standar mutu dimana gugus
asetil telah dihilangkan dari rendemen kitosan (Knoor,1984).
Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa rendemen kitosan pada kelompok B1 dan B4
mengalami penurunan dari rendemen kitin I dan rendemen kitin II sedangkan kelompok B3
menghasilkan rendemen kitosan yang sama dengan rendemen kitin II. Untuk kelompok B2
dan B5 tidak didapatkan hasil rendemen kitosan. Hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan
pendapat Austin (1981) dimana seharusnya konsentrasi NaOH yang tinggi menghasilkan
rendemen kitosan yang tinggi pula, karena laju deasetilasi yang terjadi lebih cepat. Rochima
et al (2005) menambahkan bahwa NaOH akan membuat gugus amino (-NH3+) menjadi lebih
aktif dalam mensubtitusi gugus asetil kitin. Puspawati & Simpen (2010) menambahkan
bahwa NaOH konsentrasi tinggi akan menyebabkan reaksi semakin cepat dan semakin besar
tumbukan dan semakin tinggi derajat deasetilasi. Derajat asetilasi yang tinggi akan
menunjukkan kemurnia kitosan yang semkin besar pula. Derajat asetilasi juga dipengaruhi
beberapa hal antara lain suhu, waktu, reaksi yang berlangsung dan jumlah larutan yang
digunakan (Knoor,1984). Adanya ketidaksesuaian hasil dapat disebabkan karena kesalahan
pengukuran bahan yang digunakan, suhu yang terlalu tinggi, pengadukan yang berlebih,
waktu pendinginan yang dilakukan cepat, belum sempurnanya pengendapan kitin.
4. KESIMPULAN
kandungan kulit udang sendiri adalah protein 25-40%, kitin 15-20% dan kalisum
karbonat 45-50%
Kitin termasuk dalam makromolekul polisakarida yang biasanya dapat ditemukan di
bagian eksoskeleton crustacea
Struktur kimia dari kitin adalah polimer dengan ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy β-D
glucan.
Kitin juga diikat dengan ikatan glikosida di posisi β (1-4)
Kitosan diperoleh dari proses deasetilasi kitin
Kitosan berasal dari kopolimer N-acetyl glucosamine
Rumus kimia dari kitosan adalah poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa)
Hasil derajat deasetilasi akan menunjukkan tingkat kelarutan dari kitosan
Kitosan dapat berfungsi untuk mengurangi kadar tanin pada kopi dan untuk menjaga
tingkat kejernihan dari wine, beer dan jus buah
Demineralisasi dan deproteinasi termasuk dalam isolasi kitin
Demineralisasi adalah proses penghilangan mineral pada kulit udang dan dilakukan
dengan penambahan asam
Deprotenasi adalah tahap untuk mengurangi atau menghilangkan protein yang terdapat
pada bubuk kulit udang.
Deasetilasi adalah tahap menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan menggunakan
suhu tinggi dan larutan alkali kuat konsentrasi tinggi
Konsentrasi NaOH tinggi akan menyebabkan reaksi semakin cepat dan semakin besar
tumbukan dan semakin tinggi derajat deasetilasi
Semarang, 5 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen,
Tjan, Ivana Chandra
Agustina Cloudia13.70.0092
5. DAFTAR PUSTAKA
Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E. & Zikakis, J. P. (1981). Chitin: New Facets of Research. Science, 212 (4496) : 749–753.
Balley, J. E. & Ollis, D. F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
Dunn, E. T.; E. W. Grandmaison & M. F. A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. In: MFA. Goosen (Ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hendri, J.; Wardana; Irwan, G. S. & Aspita, L. (2007). Penentuan Kadar Ca dan Mg pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Gravimetri dan Spektroskopi Serapan Atom. Jurnal Sains MIPA, Vol. 13, No. 2, Hal. 93-99. Lampung.
Hendry, J. (2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung. Lampung.
Hirano. (1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. In: Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford. Elsevier Applied Science. New York. pp. 37-40.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Jothi, N., R. Kunthavai Nachiyar. (2013). Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology and Biochemistry. 8(2). 33-39.
Kaya, M., Seyyar, O., Baran, T., Tuncay. T. (2014). Bat guano as new and attractive chitin and chitosan source. 11 :59.
Knoor, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Journal of Food Technology, Vol. 39 (1) : 85.
14
Kofuji, K; Qian, C. J.; Murata, Y. & Kawashima, S. (2005). Preparation of Chitosan Microparticles by Water-in-Vegetable Oil Emulsion Coalescence Technique. Journal of Reactive and Functional Polymers, Vol. 65 : 77-83.
Kumirska, J., Czerwicka, M. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Journal Marine Drugs. Vol 8. 1567-1636.
Laila, A. & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. Jurusan Kimia Fakultas MIPA. Lampung.
Lehninger, A. L. (1975). Biochemistry 2nd Ed. Worth Publisher Inc. New York.
Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273 : 235-242.
Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September 2007.
Mudasir; G. Raharjo; I. Tahir & E. T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd (II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 63-78. Yogyakarta.
Muzzarelli, R. A. A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Pergamon Press. Ancona, Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc. Orlando, San Diego.
Muzzarelli, R. A. A.; C. Jeunoax & G. W. Goody. (1986). Chitin in Nature and Technology. Plenum Press. New York.
Ornum, J. V. (1992). Shrimp Waste Must it be Wasted? Info Fish (6) : 92.
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.
Prabu & Natarajan. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 4, Suppl 4.
15
Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad & S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia, Vol. 5 (1), Hal. 17-21.
Rismana, E. (2001). Langsing dan Sehat Lewat Limbah Perikanan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat.
Rogers, E. P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books / Cole Publishing Company. Science Published, Ltd. England.
Sashiwa, H & Sei-Ichi, A. (2004). Chemically modified chitin and chitosan as biomaterials.
Satuhu, S.2003. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta
Shahidi, F.; Arachchi, J. K. V. & Jeon Y. J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology, Vol. 10 : 37.
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM. Yogyakarta.
Wieczorek, A.S., Hetz. S.A., S. Kolb. (2014). Microbial Responses to Chitin And Chitosan in Oxic And Anoxic Agricultural Soil Slurries. Biogeosciences. 11. 3339-3352.
Zakaria. Z., Izzah. Z., Jawaid. M., Azman. H. (2012). Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal Stability and Compatibility of Chitosan-Polyamide Blend. Bioresources. 7(4). 5568-5580.
16
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
1.1.1. Kelompok B1
1.1.1.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3 gram10 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=30,00 %
1.1.1.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitin II=1,5 gram4,3 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=34,88 %
1.1.1.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,5 gram2,0 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=25,00 %
1.1.2. Kelompok B2
1.1.2.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 4,5 gram12,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=36,00 %
1.1.2.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitin II=0,5 gram1,7 gram
×100%
Rendemen Kitin II=29,4 %
1.1.2.3. Rendemen Kitosan
18
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0 gram0 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=0 %
1.1.3. Kelompok B3
1.1.3.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I=3,5 gram11 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=31,82 %
1.1.3.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitin II=1,5 gram3 gram
×100%
Rendemen Kitin II=50,00 %
1.1.3.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,1 gram1 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=50,00 %
1.1.4. Kelompok B4
1.1.4.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3,5 gram12,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=28 %
1.1.4.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
19
Rendemen Kitin II= 1 gram4,3 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=22,22 %
1.1.4.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,5 gram2,6 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=19,23 %
1.1.5. Kelompok B5
1.1.5.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3 gram10,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=28,57 %
1.1.5.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100%
Rendemen Kitin II=0,5 gram2,5 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=20 %
1.1.5.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan= 0 gram0,5 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=0 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal