Upload
praktikumhasillaut
View
11
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Praktikum kitin kitosan dilaksanakan pada hari senin 21 september 2015 dan dimulai pukul 15.00 WIB. asdos yang mengampu praktikum ini adalah Tjan, Ivana Chandra. metode yang dipakai dalam praktikum ini adalah demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi
Citation preview
Acara IV
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Danur Riswandha 13.70.0193
Kelompok B2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah antara lain oven, blender, ayakan,
peralatan gelas
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan
1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Deasetilasi
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai Rendemen Kitin I, Rendemen Kitin II, dan Rendemen
kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Chitin Chitosan
Kelompok PerlakuanRendemen KitinI (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
B1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00
B2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%36,00 29,40 -
B3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%31,82 50,00 50,00
B4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%28,00 22,22 19,23
B5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%28,57 20,00 -
Berdasarkan tabel diatas diketahui kelompok B2 dengan perlakukan HCl 0,75N +
NaOH 40% + NaOH 3,5% mendapatkan hasil rendemen kitin I terbesar sebesar 36,00.
Hasil rendemen kitin I terkecil didapat oleh kelompok B4 dengan perlakuan HCl 1N +
NaOH 50% + NaOH 3,5% sebesar 28,00. Hasil Rendemen kitin II dan hasil rendemen
kitosan terbesar didapat oleh kelompok B3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% sebesar 50,00 dan 50,00. Sedangkan hasil rendemen kitin II terkecil
didapat oleh kelompok B5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%
sebesar 20,00. Hasil kitosianin terkecil didapat oleh kelompok B2 dan B5 sebesar 0.
3. PEMBAHASAN
kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan dengan ikatan β (1,4) sedangkan kitosan merupakan produk turunan dari kitin.
Kitosan merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-
dioksi-β-D-Glukosa) (Muzzarelli, 1985). Menurut Kaya et al (2014) kitin dapat
ditemukan dinding sel yeast, jamur, dan protista. N. Jothi dalam jurnalnya menjelaskan
bahwa kitin dapat digunakan untuk mengatasi polusi di industri, menyerap perak
tiosulfat kompleks dan aktinida. Kemudian, kitosan berfungsi untuk menjernihkan kopi
dari kafein yang berlebihan, di mana hal tersebut merupakan salah satu peran dalam
bidang pangan. Peran lainnya menurut Jolanta et al (2010) dalam review-nya bahwa
kitin dan kitosan dapat digunakan untuk obat-obatan juga. Kitosan mengandung gugus
amino dengan muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain
sehingga kitosan dapat digunakan sebagai pengawet dan menjadikannya sebagai
senyawa yang unik karena polisakarida lainnya memiliki muatan netral (Muzzarelli,
1985). Kitosan yang dihasilkan dapat berfungsi dalam berbagai macam hal karena
sifatnya yang tidak beracun, mudah menyesuaikan kondisi, dapat didegradasi, dan
antimikroba (Rinaudo, 2006; Kumar, 2000). Kitin merupakan biopolimer yang terbuang
dalam dunia, padahal kitin sendiri bermanfaat sebagai pendonor karbon dalam siklus
karbon dan ekosistem (Gooday, 1990a). Kitin sendiri memiliki ikatan polimer linier 2-
asetamida-2-deoksi-D-glukosa dengan ikatan beta-1,4. Kitin dapat diubah menjadi
kitosan dengan cara menghilangkan gugus asetil yang ada dengan larutan NaOH
(Rinaudo 2006; Sionkowska, 2011). Kitin yang mengalami deasetilasi dengan larutan
basa 40-50% pada suhu 120-160oC akan menghasilkan kitosan (Radhakumary et al.,
2005). Berikut merupakan gambar dari struktur kitin dan kitosan.
Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)
Di dalam tubuh organisme kitin memiliki 3 bentuk kristal dan dapat dibedakan
berdasarkan susunan rantai molekul yang membangun kristalnya yaitu α-kitin yang
merupakan rantai antipararel, β-kitin berupa rantaipararel), dan γ-kitin yang berupa
rantai campuran (Abun et al. 2007). Kitin memiliki manfaat dalam mendukung
beberapa jenis enzim seperti papain, lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa
isomerase. Salah satu sifat kitin tidak mudah larut dalam air sehingga dalam
pemanfaatannya masih sangat terbatas, maka diperlukan modifikasi kimia untuk dapat
meningkatkan penggunaan kitin dan salah satu dari modifikasi tersebut adalah kitosan
yang merupakan salah satu turunannya (Alistair et al., 2006). Kitosan memiliki karakter
yang memiliki sifat larut dalam asam seperti HCl dan HNO3, 0,5% H3PO4. Dari sifat
tersebut maka aplikasi kitosan dalam industri pangan lebih ke arah antimikroba.
3.1. Demineralisasi
Perlakuan pertama yang dilakukan dalam praktikum kitin kitosan adalah demineralisasi.
Mula-mula limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci
dengan air panas 2 kali dan dikeringkan kembali. tujuan dari pencucian ini adalah untuk
menghilangkan kotoran yang masih menempel dan dapat mencemari ekstraksi kitin
(Bastaman, 1989). tujuan pencucian menggunakan air panas adalah sebagai tahap
sterilisasi. Kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-
60 mesh, penghancuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga
diperoleh pelarut dapat kontak dengan serbuk secara maksimal (Prasetyo, 2006). lalu
dicampur dengan HCl (10:1) untuk HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N. Penambahan larutan
HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral pada kulit udang. Selain itu dengan
adanya penambahan HCl akan menyebabkan kerusakan pada permukaan biopolimer
kitin dengan reaksi berikut ini:
HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)
H+(aq) + H2O H3O+(aq)
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)
CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)
Menurut Bastaman (1989), kulit udang mengandung mineral sebanyak 30-50% dari
berat keringnya, dan mineral utama yang ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat
dan kalsium fosfat. Sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin, mineral yang terkandung
dalam kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu, hal ini dapat dilakukan dengan
penambahan asam encer seperti HCl, H2SO4, atau asam laktat.
Setelah itu, diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90°C selama 1 jam.
pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses perusakan mineral, dan adanya proses
pengadukan ini ditujukan untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara
yang dihasilkan karena proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi
(Puspawati et al., 2010). dicuci sampai pH netral, lalu dikeringkan suhu 80°C selama 24
jam.
Dilakukannya proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan garam-garam
anorganik atau kandungan mineral yang ada pada kitin, terutama kalsium karbonat
(CaCO3). Dampak dari dilakukannya proses demineralisasi adalah kalsium karbonat
akan beraksi dengan asam klorida sehingga membentuk kalsium klorida, asam karbonat,
dan asam fosfat yang larut dalam air. Residu yang tidak larut air merupakan senyawa
kitin (Bastaman, 1989). Menurut Hargono & Haryani (2004) Mineral yang ada pada
kitin akan ikut larut dengan air, sehingga dalam proses menetralkan pH kitin perlu
dilakukan penyaringan dengan air sehingga residu yang tersisa hanya kitin saja.
3.2. Deproteinasi
Hasil dari proses demineralisasi kemudian dicampur NaOH (6:1), lalu pada suhu 90°C
diaduk selama 1 jam. Penambahan NaOH bertujuan untuk menghilangkan protein, dan
adanya pemanasan pada deproteinasi memiliki tujuan untuk menguapkan air dan
mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan lebih maksimal (Puspawati
et al, 2010). Setelah itu disaring dan didinginkan. Selanjutnya residu dicuci sampai pH
netral. Proses pengadukan dapat membantu pelarutan NaOH sehingga proses
deproteinasi dapat berjalan dengan baik. adanya proses pencucian hingga pH netral ini
dilakukan karena akan sangat berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan
alkali. Hal ini akan menyebabkan efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus
asetamida pada rantai kitin akan semakin baik (Rogers, 1986). Selanjutnya dikeringkan
pada suhu 80°C selama 24 jam. Dalam deproteinasi, larutan NaOH akan terionisasi
dalam air dan membentuk ion natrium dan ion hidroksida. Jika larutan tersebut
ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida
akan bereaksi dengan ion hidrogen membentuk molekul air. Saat ion hidrogen tetap ada
di dalam larutan maka larutan akan bersifat asam. Namun, jika ion hidroksida yang
ditambahkan sama dengan jumlah ion hidrogen maka larutan menjadi netral (Rogers,
1986).
Proses deproteinasi dilakukan untuk memisahkan protein dari kitin. Proses deproteinasi
dengan NaOH akan mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan protein. Dimana
pengoptimalan penghilangan mineral dan protein ini dapat menyebakan massa
rendemen kitin mengalami penurunan.
3.3. Deasetilasi
Chitin ditambahkan NaOH 40%, 50%, dan 60% (20:1), sambil diaduk 1 jam dan
didiamkan 30 menit. lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama 60 menit. NaOH mampu
merubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim mudah
terekspos untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou, 1995). penggunaan suhu yang
tinggi bertujuan untuk meningkatkan derajat deasitilasi kitosan (Puspawati et al, 2010).
proses pengadukan berfungsi untuk meratakan kitin dengan NaOH sehingga proses
deasetilasi berjalan maksimal. Setelah itu, kitin tersebut selanjutnya dididamkan selama
30 menit, tujuan dilakukannya pendinginan ini supaya bubuk kitosan dapat mengendap
secara maksimal dan tidak terbuang selama proses pencucian (Rogers, 1986). Kemudian
disaring dan residu dicuci sampai pH netral, selanjutnya dioven pada suhu 70°C selama
24 jam. Transformasi dari kitin menjadi kitosan dapat dilakukan dengan proses
menghilangkan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada kitosan yang disebut proses
deasetilasi (Ramadhan et al,2010)
Mutu kitosan ditunjukkan dengan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
rendemen kitin maupun kitosa (derajat deasetilasi). Semakin tinggi derajat deasetilasi
kitosan, maka gugus asetil kitosan akan semakin rendah dan menyebabkan interaksi
antar ion dan ikatan hidrogennya menjadi semakin kuat (Knoor, 1984).
Dan dari hasil pengamatan diatas dapat dilihat untuk nilai tertinggi untuk rendemen
kitin I diperoleh kelompok B2 dengan menggunakan HCl 0,75N sedangkan untuk
kelompok B4 dan B5 yang menggunakan HCl 1N memiliki nilai rendemen kitin I lebih
rendah daripada kelompok B2. Hal ini tidak sesuai dengan teori dari Laila & Hendri
(2008) yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan
maka rendemen kitin I yang dihasilkan juga akan semakin besar, hal ini dapat terjadi
karena senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan.
Namun hal ini juga bisa disebabkan karena pada proses penetralan terdapat kitin yang
terbawa dengan air sehingga nilai rendemennya menurun. Untuk hasil rendemen II
didapatkan hasil yang acak. Khususnya untuk kelompok B2, B4, dan B5. Hal ini sesuai
dengan teori Fennema (1985) proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan
mengoptimalkan proses penghilangan mineral dan protein sehingga dapat menyebaBkan
massa rendemen kitin mengalami penurunan. Sedangkan untuk kelompok B1 dan B3
tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan Fennema (1985). Hal ini bisa terjadi karena
proses deproteinasi yang kurang sempurna dapat disebabkan karena adanya kitin yang
terikut dengan air saat proses penetralan, pengeringan yang belum optimal, atau proses
demineralisasi yang kurang sehingga masih ada pelindung mineral pada kulit udang
yang menghambat proses deproteinasi.
Untuk hasil kitosan kelompok B2 dan B5 tidak mendapatkan hasil rendemen kitosan.
Hal ini dikarenakan penambahan NaOH yang berlebihan sehingga kitin tidak bisa
menyerap NaOH.
4. KESIMPULAN
kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang
saling berikatan dengan ikatan β (1,4)
kitosan merupakan produk turunan dari kitin. Kitosan merupakan senyawa kimia
yang memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa)
Kitosan mengandung gugus amino dengan muatan positif yang dapat mengikat
muatan negatif dari senyawa lain
Kitin yang mengalami deasetilasi dengan larutan basa 40-50% pada suhu 120-160oC
akan menghasilkan kitosan
Kitosan memiliki karakter yang memiliki sifat larut dalam asam seperti HCl dan
HNO3, 0,5% H3PO4
kulit udang mengandung mineral sebanyak 30-50% dari berat keringnya, dan
mineral utama yang ada pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium
fosfat
Penambahan NaOH bertujuan untuk menghilangkan protein, dan adanya
pemanasan pada deproteinasi memiliki tujuan untuk menguapkan air dan
mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan lebih maksimal
NaOH mampu merubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang,
sehingga enzim mudah terekspos untuk mendeasetilasi polimer kitin
penggunaan suhu yang tinggi bertujuan untuk meningkatkan derajat deasitilasi
kitosan
semakin besar konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin I yang
dihasilkan juga akan semakin besar
proses deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan mengoptimalkan proses
penghilangan mineral dan protein sehingga dapat menyebaBkan massa rendemen
kitin mengalami penurunan
5. DAFTAR PUSTAKA
A. S. Wieczorek, S. A. Hetz & S. Kolb. Microbial responses to chitin and chitosan in toxic and anoxic agricultural soil slurries. Biogeosciences Vol 11: 3339-3352 2014
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.Diakses tanggal 5 November 2012.
Alistair, M. Stephen, Glyn O. Phillips, and Peter A. Williams. (2006). Food Polysaccharides and Their Applications. CRC Press.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Jolanta Kumirska, Malgorzata Czerwicka, Zbigniew Kaczynski, Anna Bychowska, Krzysztof Brzozowski, Jorg Thoming & Plotr Stepnowski.(2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Journal Marine Drugs Vol 8: 1567-1636 2010
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses tanggal 5 November 2012.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means..
Murat Kaya, Osman Seyyar, Talat Baran & Tuncay Turkes. Bat guano as new and attractive chitin and chitosan source. (2014). http://www.frontiersinzoology.com/content/11/1/59
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
N. Jothi & R. Kunthavai Nachiyar. dentification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. (2013) Global Journal of Biotechnology & Biochemistry Vol 8(2): 33-39 2013
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Zainoha Zakaria, Zatil Izzah, Mohammad Jawaid & Azman Hassan.(2012).Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal Stability and Compatibility of Chitosan-Polyamide Blend. Peer-Reviewed Article Vol 7(4): 5568-5580 2012
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
6.1.1. Kelompok B1
6.1.1.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3 gram10 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=30,00 %
6.1.1.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitin II=1,5 gram4,3 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=34,88 %
6.1.1.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,5 gram2,0 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=25,00 %
6.1.2. Kelompok B2
6.1.2.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 4,5 gram12,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=36,00 %
6.1.2.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100%
Rendemen Kitin II=0,5 gram1,7 gram
×100%
Rendemen Kitin II=29,4 %
6.1.2.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0 gram0 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=0 %
6.1.3. Kelompok B3
6.1.3.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I=3,5 gram11 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=31,82 %
6.1.3.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100%
Rendemen Kitin II=1,5 gram3 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=50,00 %
6.1.3.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,1 gram1 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=50,00 %
6.1.4. Kelompok B4
6.1.4.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3,5 gram12,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=28 %
6.1.4.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitin II= 1 gram4,3 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=22,22 %
6.1.4.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan=0,5 gram2,6 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=19,23 %
6.1.5. Kelompok B5
6.1.5.1. Rendemen Kitin I
Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah
× 100 %
Rendemen Kitin I= 3gram10,5 gram
× 100 %
Rendemen Kitin I=28,57 %
6.1.5.2. Rendemen Kitin II
Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah
×100%
Rendemen Kitin II=0,5 gram2,5 gram
×100 %
Rendemen Kitin II=20 %
6.1.5.3. Rendemen Kitosan
Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah
×100 %
Rendemen Kitosan= 0 gram0,5 gram
×100 %
Rendemen Kitosan=0 %
6.2. Diagram alir
6.3. Laporan Sementara
6.4. Abstrak Jurnal