Upload
praktikumhasillaut
View
9
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kitin kitosan dari limbah udang
Citation preview
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, hot plate,
timbangan analitik, kain saring, kertas pH, dan peralatan gelas seperti pengaduk, beaker
glass, gelas ukur, termometer. Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini
adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
HCl ditambahkan ke dalam 10gr limbah udang dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N.
Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam dan secara kontinu dilakukan pengadukan.
Dicuci sampai pH netral dan ditimbang.
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
Deproteinasi
Dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.
Hasil demineralisasi ditimbang dan dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1.
Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Deasetilasi
Ditimbang dan kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat ditimbang kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5.
Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Dicuci sampai pH netral dan ditimbang.
Dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam dan ditimbang.
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43
C2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%37,82 44,00 27,38
C3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16
C4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30
C5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25
Berdasarkan Tabel 1 hasil pengamatan Chitin dan Chitosan di atas, dapat diketahui
bahwa hasil dari rendemen kitin I paling banyak didapatkan oleh kelompok C3 dengan
perlakuan HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 41,67% dan yang
paling sedikit didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH
3,5% + NaOH 60% yaitu sebanyak 21,19%. Sedangkan hasil rendemen kitin II paling
banyak didapatkan oleh kelompok C4 dengan perlakuan HCl 1 N +NaOH 3,5% +
NaOH 50% yaitu sebanyak 58,3% dan paling sedikit didapatkan oleh kelompok C1
dengan perlakuan HCl 0,75% + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 30%.
Rendemen kitosan terbanyak dihasilkan oleh kelompok C2 dengan perlakuan HCl 0,75
N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 37,38% dan tersedikit dihasilkan oleh
kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% yaitu
sebanyak 11,25%.
3. PEMBAHASAN
Limbah udang merupakan bagian yang terbuang dari limbah industri pengolahan udang
beku (Manjang, 1993). Kitin dan kitosan mempunyai manfaat sebagai bahan dasar
dalam berbagai pertanian, obat-obatan, kosmetik, tekstil,mikrobiologi dan biokimia.
(Moeljanto, 1992). Kitin mempunyai sifat mudah mengalami degradasi secara biologis,
tidak beracun, tidak larut pada pH netral seperti air dan asam anorganik encer dan asam-
asam organik, larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum, 1992).
Kitin memiliki panas spesifik yaitu sebesar 0,373 kal/g/°C, mempunyai warna putih,
serta dapat terurai melalui proses biologis (biodegradable) oleh mikroba penghasil
enzim lisozim dan kitinase (Peter, 1995).
Sedangkan kitosan memiliki sifat tidak beracun, tidak larut air (dapat larut air dengan
substitusi, dapat didegradasi, bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri
dan memiliki nilai afinitas yang besar terhadap enzim (Dunn et al., 1997). Kofuji et al.,
(2005) berpendapat bahwa kitosan adalah produk awal dari proses deasetilasi kitin yang
mempunyai sifat unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Kitosan
mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat.
Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO 3, dan
H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kelarutan berhubungan erat dengan derajat
deasetilasi. Deasetilasi akan memotong gugus asetil pada kitin, yang akan menyisakan
gugus amina. Adanya H pada amina ini akan memudahkan interaksi dengan air melalui
ikatan hidrogen (Dunn et al., 1997).
Pada praktikum kloter C ini, pembuatan Chitin dan Chitosan dilakukan dalam 3 tahap
yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pertama-tama yaitu tahap
demineralisasi, limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci
dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Demineralisasi merupakan suatu
proses atau tahap untuk menghilangkan garam-garam inorganik atau kandungan mineral
pada kitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3). Hal ini dilakukan karena pada kulit
udang terdapat kandungan kitin, protein dan mineral dalam jumlah yang cukup tinggi
(Suhartono, 1989). Setelah itu, limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan
diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Kemudian, diambil sebanyak 10 gr dan
ditambahkan HCl dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl
0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N. Dengan perlakuan penambahan HCl,
kandungan mineral yang ada pada limbah kulit udang dapat dikurangi. Hal ini
disebabkan komponen mineral yang ada menjadi larut (Bastaman, 1989).
Selanjutnya, dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
secara kontinyu. Lalu, dicuci sampai pH netral dan dicek dengan kertas pH. Kemudian,
ditimbang dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam. dilakukan untuk
mempercepat proses perusakan mineral seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat
yang terdapat dalam cangkang kulit udang (Puspawati & Simpen, 2010). Pemanasan
pada suhu tinggi akan mengakibatkan mineral semakin mudah terpisah. Sedangkan
tujuan pengadukan selama pemanasan adalah untuk meratakan pemanasan dan
menghindarkan terjadinya peluapan gelembung-gelembung udara yang dihasilkan dari
pemisahan mineral. Gelembung udara tersebut merupakan gas CO2 (Laila & Hendri,
2008).
Kemudian masuk ke tahap deproteinasi dimana hasil demineralisasi ditimbang dan
dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1. Menurut Suharto (1984),
penambahan NaOH efektif digunakan dalam proses deproteinasi dan penambahan
NaOH akan memperbesar volume partikel substrat. Lalu, dipanaskan dan diaduk pada
suhu 90oC selama 1 jam dan disaring serta didinginkan. Pemanasan dan pengadukan
bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga akan didapatkan hasil yang lebih
optimal (Ramadhan et al., 2010). Selain itu, pemanasan dilakukan untuk
mendenaturasikan protein agar protein lebih mudah dipisahkan. Tujuan pengadukan
selama pemanasan yaitu untuk meratakan pemanasan dan menghindarkan terjadinya
peluapan gelembung-gelembung udara yang dihasilkan dari pemisahan mineral.
Gelembung udara tersebut adalah gas CO2 (Laila & Hendri, 2008). Setelah itu, dicuci
sampai pH netral dan dicek dengan kertas pH. Kemudian ditimbang dan dikeringkan
pada suhu 80oC selama 24 jam.
Tahap selanjutnya adalah deasetilasi dimana chitin yang didapat ditimbang kemudian
ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3
dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5. Menurut teori Ramadhan et al (2010),
larutan alkali dengan konsentrasi tinggi mampu memutuskan ikatan antara gugus
karboksil dengan atom nitrogen. Penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda-beda
bertujuan untuk melihat perlakuan mana yang lebih baik yang menghasilkan rendemen
kitosan yang tinggi. Angka dan Suhartono (2000) menyatakan bahwa penggunaan
konsentrasi NaOH lebih besar daripada 40% mempunyai kemampuan untuk dapat
memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang
mempunyai struktur kristal tebal dan panjang. Semakin tinggi konsentrasi yang
diberikan maka proses deasetilasi dapat berjalan sempurna karena gugus fungsional
amino (-NH3+) mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan.
Setelah itu, dipanaskan dan diaduk pada suhu 90oC selama 1 jam dan dicuci sampai pH
netral serta dicek dengan menggunakan kertas pH. Pengadukan dilakukan untuk
meratakan pemanasan dari derajat deasetilasi kitosan karena derajat deasetilasi semakin
meningkat pada suhu tinggi yang menyebabkan larutan menjadi bersifat basa (Reece et
al., 2003). Lalu, ditimbang dan dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam. Kemudian
ditimbang berat keringnya dan didapat chitosan. Tujuan pengeringan adalah untuk
menguapkan air sehingga menghasilkan produk kitosan kering (Rogers, 1986).
Berdasarkan hasil pengamatan Chitin dan Chitosan, dapat diketahui bahwa hasil dari
rendemen kitin I paling banyak didapatkan oleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1
N + NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 41,67% dan yang paling sedikit
didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH
60% yaitu sebanyak 21,19%. Hal ini sesuai dengan teori Hargono et al. (2008) yaitu
dalam cangkang udang terdapat kandungan senyawa kitin sekitar 20-30%. Menurut
Laila & Hendri (2008), apabila konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin besar maka
rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar. Pada kelompok C5 hal ini tidak sesuai,
disebabkan karena adanya senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang yang semakin
mudah dilepaskan karena kitin terdegradasi akibat konsentrasi asam yang terlalu tinggi
dan waktu perendaman yang lama (Knorr, 1984). Selain itu, menurut Ramadhan et al.
(2010), pelarut yang baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1N.
Sedangkan hasil rendemen kitin II paling banyak didapatkan oleh kelompok C4 dengan
perlakuan HCl 1 N +NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 58,3% dan paling
sedikit didapatkan oleh kelompok C1 dengan perlakuan HCl 0,75% + NaOH 3,5% +
NaOH 40% yaitu sebanyak 30%. Menurut Fennema (1985), kelarutan protein dan
mineral pada suasana basa (NaOH) lebih besar dibandingkan ketika berada pada
suasana asam karena NaOH mempunyai aksi hidrolisis yang lebih tinggi. Maka dengan
penambahan NaOH dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan diperoleh rendemen
kitin yang semakin rendah. Rendemen kitosan terbanyak dihasilkan oleh kelompok C2
dengan perlakuan HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 37,38% dan
tersedikit dihasilkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60% yaitu sebanyak 11,25%. Hal ini sesuai dengan teori Hong et al. (1989)
yaitu dimana penggunaan NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen
kitosan dengan nilai yang semakin rendah.
Menurut Krishnaveni et al (2015), kitin dan kitosan memiliki aktivitas yang beragam,
baik biologi, kimia, dan juga medis. Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari F. solani
yang memiliki banyak fungsi, salah satunya antibakterial alami. Dalam jurnal ini, sesuai
dengan teori dari Franco et al (2004), ekstraksi dari kitin dan kitosan dilakukan dengan
menggunakan alkali untuk memisahkan, diikuti dengan metode sentrifugasi. Kemudian,
pengendapan kitosan yang memiliki pH 9 diatur menggunakan larutan NaOH. Setelah
itu, kitin dan kitosan dicuci menggunakan air distilasi, etanol dan aseton. Dalam
praktikum kurang lebih sudah melakukan prinsip yang dikatakan dalam teori di atas.
Menurut M. S. Hossain dan A. Iqbal, kualitas dari kitosan bergantung dari proses
ekstraksi kimia yang dilakukan. Dalam percobaannya, kondisi yang paling optimum
adalah HCl 3% dan NaOH 4%, dengan suhu ruang 28°C ± 2°C. Hossain & Iqbal
(2015), mendapatkan hasil kitosan sebesar 45% dari limbah udang, di mana hasil yang
mereka dapat masih dalam rentang 45%-55% (Lertsutthiwong et al, 2002). Dalam
penelitian dari M. Khorrami et al (2012), dalam membuat kitosan dapat menggunakan
Lactobacillus plantarum yang berfungsi sebagai mikroba yang melakukan deproteinasi
dan demineralisasi. Kemudian, dalam penelitian dari Islem Younes dan Marguerite
Rinaudo (2015), dikatakan bahwa struktur dari kitin serta kitosan berbeda-beda,
tergantung dari cara memprosesnya. Perbedaan dari struktur tersebut dapat diketahui
menggunakan infrared. Kemudian, menurut Bartnicki-Garcia (1988), kejernihan dari
kitin dan kitosan bergantung pada ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dan N-asetil.
4. KESIMPULAN
Limbah udang merupakan bagian yang terbuang dari limbah industri pengolahan
udang beku.
Kitin dan kitosan mempunyai manfaat sebagai bahan dasar dalam berbagai
pertanian, obat-obatan, kosmetik, tekstil,mikrobiologi dan biokimia.
Kitosan adalah produk awal dari proses deasetilasi kitin.
Pembuatan Chitin dan Chitosan dilakukan dalam 3 tahap yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi.
Demineralisasi merupakan suatu proses atau tahap untuk menghilangkan garam-
garam inorganik atau kandungan mineral pada kitin, terutama kalsium karbonat
(CaCO3).
Dengan perlakuan penambahan HCl, kandungan mineral yang ada pada limbah
kulit udang dapat dikurangi karenakomponen mineral yang ada menjadi larut.
Penambahan NaOH efektif digunakan dalam proses deproteinasi dan penambahan
NaOH akan memperbesar volume partikel substrat.
Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka proses deasetilasi dapat berjalan
sempurna karena gugus fungsional amino (-NH3+) mensubstitusi gugus asetil kitin
di dalam sistem larutan.
Dalam cangkang udang terdapat kandungan senyawa kitin sekitar 20-30%.
Apabila konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin besar maka rendemen kitin
yang dihasilkan semakin besar.
Pelarut yang baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1N.
Kelarutan protein dan mineral pada suasana basa (NaOH) lebih besar dibandingkan
ketika berada pada suasana asam karena NaOH mempunyai aksi hidrolisis yang
lebih tinggi.
Penggunaan NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan
dengan nilai yang semakin rendah.
Semarang, 22 Oktober 2015 Asisten Dosen
Praktikan,
Regina Tania T.H. Tjan, Ivana Chandra
13.70.0071
C5
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB. AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Bartnicki-Garcia, S., 1988. The Biochemical Cytology of Chitin and Chitosan Synthesis in Fungi. In: Skjå-Bræk, G., T. Amthonsen and P. Sandford (Eds.), Chitin and Chitosan. Elsevier Science, London, pp: 23-35.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.
Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and properties of chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Franco, Luciana de Oliveira., Maia, Rita de Cássia Gomes., Porto., Ana Lúcia F., Messias, Arminda Sacconi., Fukushima, Kazutaka., Campos Takaki, Galba Maria. Heavy metal biosorption by chitin and chitosan isolated from Cunninghamella elegans (IFM 46109). Brazilian Journal of Microbiology. 2004. 35, 243-247.
Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83.
Krishnaveni, B and R. Ragunathan. 2015. Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase
Lertsutthiwong, P., How, N.C., Chandrkrachang, S. and Stevens, W.F. 2002. Effect of Chemical Treatment on the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials and Minerals. 12(1):11-18
M. Khorrami et al. 2012. Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture in Lactobacillus plantarum, Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012)
M. S. Hossain and A. Iqbal. 2015. Production and characterization of chitosan from shrimp waste. Department of Food Technology & Rural Industries, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh-2202,Bangladesh
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Suhartono MT. (1989). Enzim dan bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.IPB.
Younes & Rinaudo. 2015. Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Journal of Marine Drugs.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkeringberatbasahI
×100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basah II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basah III×100 %
Kelompok C1
Rendemen Chitin I = 3,5
14,5×100 %
= 23,45 %
Rendemen Chitin II = 1,55,0
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitosan = 0,963,5
× 100 %
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I = 4,5
11,9× 100 %
= 37,82 %
Rendemen Chitin II = 2,25
×100 %
= 44 %
Rendemen Chitosan = 1,574,2
× 100 %
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I = 4,5
10,8×100 %
= 41,67 %
Rendemen Chitin II = 3
5,5×100 %
= 54,55 %
Rendemen Chitosan = 1,193,7
×100 %
= 32,16 %
Kelompok C4
Rendemen Chitin I = 4
10×100 %
=40,00 %
Rendemen Chitin II = 3,56
×100 %
= 58,3 %
Rendemen Chitosan = 1,415,8
×100 %
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I = 2,511,8
× 100 %
= 21,19 %
Rendemen Chitin II = 2,56,2
×100 %
= 40,32 %
Rendemen Chitosan = 0,181,6
× 100 %
= 11,25 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal