26
1 IFT, 02 12 2011 More in Editorial Pelajaran dari Yunani, Spanyol, dan Italia BY PRIBADI AGUNG SEJAGAD Email Share Hingga saat ini arah penyelesaian krisis Eropa masih jauh panggang dari api, segalanya terlihat kabur dan ragu-ragu. Para pemimpin menjadi bulan-bulanan kritik, sementara kecemasan investor makin meningkat dari hari ke hari. Zona Eropa yang pernah disebut-sebut sebagai triumvirat pilar ekonomi dunia, bersama dengan Amerika Serikat dan Jepang, terlihat bingung dan tidak berdaya. Krisis sovereign debt Yunani akhirnya merembet ke Italia dan Spanyol yang skala ekonominya lebih besar. Krisis di Eropa memang tidak disebabkan oleh sebuah faktor tunggal, namun jika ditelisik lebih dalam, kita bisa mendapatkan beberapa clue pelajaran. Clue itulah yang kita bawa ke dalam konteks ekonomi nasional untuk diambil hikmahnya. Pertama, persoalan Yunani. Krisis di Yunani disebabkan oleh sangat besarnya utang pemerintah. Setelah melebur ke zona euro, Yunani bisa menerbitkan utang dengan bunga yang sangat rendah. Mereka lupa diri dan berutang secara berlebihan hingga mencapai lebih dari 130% dari Produk Domestik Bruto-nya. Di manapun, pesta akan berakhir dan utang harus dibayar. Disiplin fiskal yang rendah selama bertahun-tahun menyebabkan Yunani gagal melunasi utangnya pada kreditor. Indonesia pernah jatuh kepada situasi yang hampir sama di 1997. Bedanya, saat itu tumpukan utang swastalah yang menyebabkan kejatuhan ekonomi. Krisis 1997 memberikan kita pelajaran berharga mengenai pentingnya pengelolaan utang secara hati- hati (prudent). Total utang pemerintah kita per Juli 2011 mencapai Rp 1.733 triliun atau 26,9% dari PDB. Rasio tersebut terhitung aman untuk negara berkembang. Persoalan dengan utang kita saat ini lebih kepada pengelolaannya. Banyak dari komitmen utang gagal terealisasi karena pemerintah tidak memberikan dana pendamping, akibatnya kita tetap harus membayar commitment fee. Bappenas dan Kementerian Keuangan harus berkoordinasi lebih erat untuk mengurangi pemborosan semacam itu. Kedua, persoalan di Spanyol. Perbankan di Spanyol terjebak pada berlebihan ke sektor properti yang menciptakan gelembung. Ini adalah masalah klasik yang selalu terulang apakah di Jepang maupun Amerika Serikat (dan sedang coba diatasi di China). Dari total kredit properti US$ 420 miliar diperkirakan separuhnya bermasalah. Bahkan perbankan Spanyol diperkirakan memegang jaminan aset properti senilai US$ 41 miliar yang tidak bisa dieksekusi ketika kreditnya macet. Situasi makin memburuk karena likuiditas makin mengering, sementara suku bunga meningkat bersamaan dengan kenaikan yield surat utang pemerintah. Tanpa solusi yang tepat, keruntuhan akan menimpa bank skala kecil-menengah yang banyak terjebak kemacetan di sektor properti. Di Indonesia, bisnis properti terus menunjukkan peningkatan. Hingga Juni 2011, total kredit properti telah mencapai Rp 17,9 triliun. Jumlah tersebut masih terkendali. Dengan penduduk yang besar serta pertumbuhan ekonomi yang positif, permintaan akan properti yang terus naik merupakan sesuatu yang wajar. Yang harus diwaspadai oleh Bank Indonesia adalah kemungkinan adanya spekulasi di properti. Pengalaman pecahnya gelembung properti salah satunya terjadi karena motif spekulasi, bukan karena permintaan riil. Sekali terlihat ada tanda-tanda spekulasi, Bank Indonesia harus segera proaktif mengambil tindakan. Ketiga, di Italia. Persoalan di Italia sebetulnya bukanlah sesuatu yang unik, namun juga dihadapi oleh negara-negara Eropa daratan lainnya, terutama Perancis. Sepuluh tahun yang lalu futurolog kenamaan, John Naisbitt, pernah memperingatkan bahwa paradigma sosialisme di Eropa menyimpan banyak bara yang bisa membakar dirinya sendiri. Beban tunjangan sosial yang berlebihan disebutnya bisa mengurangi daya saing jangka panjang dan memicu krisis. Di Italia, persoalan dasarnya terletak pada paradigma sosialisme buruh. Pasca Perang Dunia II, dalam konstitusinya, Italia menyebut dirinya sebagai ‘republik demokratis, didirikan oleh para pekerja’. Kepelikan masalah perburuhan, bisa dilihat da ri banyaknya aturan perburuhan: ada lebih dari 2.700 lembar halaman aturan! Sengketa perburuhan justru seringkali tidak terselesaikan karena berputar-putar di pengadilan. Sejumlah regulasi yang ditujukan untuk melindungi para buruh, pada akhirnya justru gagal melindunginya. Inflexibility yang serupa juga terjadi di Indonesia dan dikeluhkan investor. Masalah ini harus dicarikan jalan keluarnya agar serapan tenaga kerja baru ke pasar dapat berjalan maksimal. Tanpa itu, penyerapan tenaga kerja tetap rendah bahkan ketika ekonomi tumbuh kencang, karena pengusaha khawatir bahwa mereka tidak akan dapat memberhentikan pekerjanya ketika ekonomi melambat. (*) Thursday, 01 12 2011 More in Editorial Prestasi Ekonomi BY PRASETYANTOKO Email Share Perkembangan terkini di zona euro makin menghawatirkan. Semakin banyak pihak yang pesimistis mata uang tunggal euro bisa dipertahankan dalam format seperti sekarang. Atau digunakan oleh 17 negara dari total 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Pasalnya, jika euro gagal, Uni Eropa juga terancam runtuh. Sungguh situasi yang sangat sulit.

Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

1

IFT, 02 12 2011 More in Editorial

Pelajaran dari Yunani, Spanyol, dan Italia

BY PRIBADI AGUNG SEJAGAD EmailShare

Hingga saat ini arah penyelesaian krisis Eropa masih jauh panggang dari api, segalanya terlihat kabur dan ragu-ragu. Para pemimpin menjadi bulan-bulanan kritik, sementara kecemasan investor makin meningkat dari hari ke hari. Zona Eropa yang pernah disebut-sebut sebagai triumvirat pilar ekonomi dunia, bersama dengan Amerika Serikat dan Jepang, terlihat bingung dan tidak berdaya.

Krisis sovereign debt Yunani akhirnya merembet ke Italia dan Spanyol yang skala ekonominya lebih besar. Krisis di Eropa memang tidak disebabkan oleh sebuah faktor tunggal, namun jika ditelisik lebih dalam, kita bisa mendapatkan beberapa clue pelajaran. Clue itulah yang kita bawa ke dalam konteks ekonomi nasional untuk diambil hikmahnya.

Pertama, persoalan Yunani. Krisis di Yunani disebabkan oleh sangat besarnya utang pemerintah. Setelah melebur ke zona euro, Yunani bisa menerbitkan utang dengan bunga yang sangat rendah. Mereka lupa diri dan berutang secara berlebihan hingga mencapai lebih dari 130% dari Produk Domestik Bruto-nya. Di manapun, pesta akan berakhir dan utang harus dibayar. Disiplin fiskal yang rendah selama bertahun-tahun menyebabkan Yunani gagal melunasi utangnya pada kreditor.

Indonesia pernah jatuh kepada situasi yang hampir sama di 1997. Bedanya, saat itu tumpukan utang swastalah yang menyebabkan kejatuhan ekonomi. Krisis 1997 memberikan kita pelajaran berharga mengenai pentingnya pengelolaan utang secara hati- hati (prudent). Total utang pemerintah kita per Juli 2011 mencapai Rp 1.733 triliun atau 26,9% dari PDB. Rasio tersebut terhitung aman untuk negara berkembang.

Persoalan dengan utang kita saat ini lebih kepada pengelolaannya. Banyak dari komitmen utang gagal terealisasi karena pemerintah tidak memberikan dana pendamping, akibatnya kita tetap harus membayar commitment fee. Bappenas dan Kementerian Keuangan harus berkoordinasi lebih erat untuk mengurangi pemborosan semacam itu.

Kedua, persoalan di Spanyol. Perbankan di Spanyol terjebak pada berlebihan ke sektor properti yang menciptakan gelembung. Ini adalah masalah klasik yang selalu terulang apakah di Jepang maupun Amerika Serikat (dan sedang coba diatasi di China). Dari total kredit properti US$ 420 miliar diperkirakan separuhnya bermasalah. Bahkan perbankan Spanyol diperkirakan memegang jaminan aset properti senilai US$ 41 miliar yang tidak bisa dieksekusi ketika kreditnya macet.

Situasi makin memburuk karena likuiditas makin mengering, sementara suku bunga meningkat bersamaan dengan kenaikan yield surat utang pemerintah. Tanpa solusi yang tepat, keruntuhan akan menimpa bank skala kecil-menengah yang banyak terjebak kemacetan di sektor properti.

Di Indonesia, bisnis properti terus menunjukkan peningkatan. Hingga Juni 2011, total kredit properti telah mencapai Rp 17,9 triliun. Jumlah tersebut masih terkendali. Dengan penduduk yang besar serta pertumbuhan ekonomi yang positif, permintaan akan properti yang terus naik merupakan sesuatu yang wajar. Yang harus diwaspadai oleh Bank Indonesia adalah kemungkinan adanya spekulasi di properti. Pengalaman pecahnya gelembung properti salah satunya terjadi karena motif spekulasi, bukan karena permintaan riil. Sekali terlihat ada tanda-tanda spekulasi, Bank Indonesia harus segera proaktif mengambil tindakan.

Ketiga, di Italia. Persoalan di Italia sebetulnya bukanlah sesuatu yang unik, namun juga dihadapi oleh negara-negara Eropa daratan lainnya, terutama Perancis. Sepuluh tahun yang lalu futurolog kenamaan, John Naisbitt, pernah memperingatkan bahwa paradigma sosialisme di Eropa menyimpan banyak bara yang bisa membakar dirinya sendiri. Beban tunjangan sosial yang berlebihan disebutnya bisa mengurangi daya saing jangka panjang dan memicu krisis.

Di Italia, persoalan dasarnya terletak pada paradigma sosialisme buruh. Pasca Perang Dunia II, dalam konstitusinya, Italia menyebut dirinya sebagai ‘republik demokratis, didirikan oleh para pekerja’. Kepelikan masalah perburuhan, bisa dilihat dari banyaknya aturan perburuhan: ada lebih dari 2.700 lembar halaman aturan! Sengketa perburuhan justru seringkali tidak terselesaikan karena berputar-putar di pengadilan. Sejumlah regulasi yang ditujukan untuk melindungi para buruh, pada akhirnya justru gagal melindunginya.

Inflexibility yang serupa juga terjadi di Indonesia dan dikeluhkan investor. Masalah ini harus dicarikan jalan keluarnya agar serapan tenaga kerja baru ke pasar dapat berjalan maksimal. Tanpa itu, penyerapan tenaga kerja tetap rendah bahkan ketika ekonomi tumbuh kencang, karena pengusaha khawatir bahwa mereka tidak akan dapat memberhentikan pekerjanya ketika ekonomi melambat. (*)

Thursday, 01 12 2011 More in Editorial

Prestasi Ekonomi

BY PRASETYANTOKO EmailShare

Perkembangan terkini di zona euro makin menghawatirkan. Semakin banyak pihak yang pesimistis mata uang tunggal euro bisa dipertahankan dalam format seperti sekarang. Atau digunakan oleh 17 negara dari total 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Pasalnya, jika euro gagal, Uni Eropa juga terancam runtuh. Sungguh situasi yang sangat sulit.

Page 2: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

2

Di tengah-tengah situasi tak pasti, Indonesia diprediksi akan memiliki kinerja dan prestasi ekonomi yang baik. Sudah barang tentu, dampak krisis global akan berpengaruh negatif, sehingga target pertumbuhan 2012 versi pemerintah sebesar 6,7% nyaris tak bisa dicapai. Semakin dalam krisis Eropa mengancam masa depan dunia, semakin besar pula koreksi terhadap proyeksi perekonomian domestik 2012.

Namun, meskipun terjadi koreksi, perekonomian Indonesia masih akan mengalami pertumbuhan positif yang cukup tinggi. Baru-baru ini, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2012-2016 rata-rata mencapai 6,6%. Indonesia dinilai akan menjadi negara yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya di antara lima negara ASEAN lainnya. Bahkan, menurut laporan tersebut, ekonomi Indonesia diyakini akan menyentuh level 6,9% pada 2016.

Faktornya, karena besarnya perekonomian domestik, sehingga bisa menjadi peyangga dari merosotnya kinerja perekonomian global. Jika pun ekspor akan merosot cukup tajam dan investasi akan mengecil, tetap saja perekonomian Indonesia bisa melaju, karena permintaan domestiknya kuat.

Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi beberapa negara pada 2012-2016, seperti Malaysia yang hanya akan tumbuh 5,3%, Filipina 4,9%, Singapura 4,6%, Thailand 4,5%, dan Vietnam 6,3%. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN sebesar 5,6%. Benarkah ekonomi Indonesia akan aman di masa mendatang? Perekonomian yang bertumpu pada permintaan domestik, tanpa ada tambahan kapasitas produksi, akan membayakan neraca perdagangan. Artinya, tingginya kemampuan mengonsumsi akibat peningkatan daya beli masyarakat akan mendorong peningkatan barang-barang impor keperluan konsumsi (imported consumption).

Pada November ini, diperkirakan surplus perdagangan akan mengecil secara signifikan. Pada Oktober, surplus perdagangan masih mencapai US$ 2,7 miliar, namun pada November ini surplus diperkirakan akan menyusut menjadi sekitar US$ 1,5 miliar saja. Tentu, ada banyak faktor, seperti depresiasi nilai tukar, jatuhnya beberapa harga komoditas, dan sebagainya.

Namun, sinyal ini cukup layak diwaspadai. Nilai ekspor yang menyusut, sementara impor semakin membesar, situasinya akan membahayakan neraca perdagangan kita.

Sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya tergantung pada permintaan domestik, maka daya beli masyarakat harus dijaga. Inflasi harus ditekan rendah. Infrastruktur harus dibangun lebih banyak, supaya kondisi logistik membaik. Contoh yang paling baik untuk menjelaskan potensi terjadinya “gejolak” yang menimbulkan tidak sinkronnya pasokan dan permintaan adalah transportasi udara. Bandara Soekarno-Hatta memiliki kapasitas terpasang sebesar 18 juta orang per tahun, sesuai dengan perencanaan untuk tahun 2003. Sementara, jumlah penumpang yang dilayani pada 2009 sudah mencapai 37 juta orang. Sementara 2010 arus penumpang mencapai 44,27 juta orang. Jumlah penumpang akan terus bertambah dari waktu ke waktu.

Dengan peningkatan kapasitas penumpang dari waktu ke waktu, luas bandara kita termasuk yang paling kecil di antara bandara-bandara besar lainnya. Luas Bandara Soekarno-Hatta hanya 1.740 hektare, sedangkan Bandara Suvarnabhumi di Bangkok, Thailand, luasnya 3.100 hektare. Sementara, Bandara Internasional Kuala Lumpur memiliki luas 9.808 hektare.

Apalagi, apabila pesanan pesawat dari maskapai Lion Air sebanyak 230 buah pesawat Boeing mulai beroperasi. Apa jadinya Bandara Soekarno-Hatta tersebut? Potret ini sungguh menggambarkan potensi ekonomi Indonesia yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas infrastruktur yang meningkatkan kapasitas produksi. Jika secara makro skenarionya seperti itu, tidak mengherankan apabila perekonomian kita akan kepanasan hanya dalam beberapa tahun ke depan, sebelum akhirnya crash, atau mengalami gejolak tajam.

Tuesday, 13 12 2011 More in Macro

Asia Mulai Terkena Dampak Krisis

BY GRACE S. GANDHI, MARTINA PRIANTI & BLOOMBERG EmailShare4

JAKARTA (IFT) – Ekspor negara-negara di Asia mulai terkena dampak dari krisis utang dan finansial yang terjadi di Eropa, seperti yang terjadi di China dan India. Di China, meski pengapalan ke luar negeri pada November meningkat 13,8% dibanding periode yang sama tahun lalu, namun itu merupakan level pertumbuhan terendah sejak 2009.

Ekspor China ke kawasan Uni Eropa memang meningkat 5% dibanding periode yang sama tahun lalu, tapi itu hanya seperempatnya dari yang dilaporkan pada Juli dan Agustus. Penjualan ke Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, turun 1,6%. Begitu juga ke Italia. Sebaliknya, ekspor China ke negara-negara berkembang, seperti ke Malaysia meningkat 34,9% dan ke Brazil naik 26,4%.

Page 3: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

3

Perdana Menteri China Wen Jiabao, seperti dilaporkan Bloomberg tengah melakukan pertemuan dengan para pejabat di pemerintahannya untuk membuat kebijakan ekonomi di 2012, kemungkinan akan memberikan stimulus untuk meredam penurunan surplus perdagangan. Penurunan itu menunjukkan bahwa krisis utang Eropa telah menghantam ekspor negara-negara lainnya.

Di India, produksi industri pada Oktober turun untuk pertama kalinya sejak lebih dari dua tahun terakhir, sehingga harga saham kemarin langsung turun dan mata uang rupee melemah. Badan Pusat Statistik India di New Delhi kemarin menyebutkan hasil produksi pabrik, utilisasi, dan pertambangan turun 5,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini merupakan penurunan pertama sejak Juni 2009.

Para ekonom juga memperkirakan ekspor Indonesia, terutama ekspor non-minyak dan gas, tahun depan akan terkena dampak krisis yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat dibanding ekspor tahun ini.

Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, mengatakan selain karena kondisi Eropa yang belum membaik, perlambatan pertumbuhan ekspor tahun depan juga akan dipengaruhi adanya potensi perlambatan pertumbuhan di China dan India. Padahal, Kementerian Perdagangan menetapkan India dan China sebagai bagian dari negara tujuan ekspor utama Indonesia. Lana memperkirakan jika tahun ini total ekspor Indonesia dapat tumbuh 18%, tahun depan hanya tumbuh 10%. "Sementara manfaat dari diversifikasi pasar tujuan ekspor baru terasa dua tahun ke depan," katanya. Dia menambahkan perlambatan ekspor non-migas terutama terjadi pada produk manufaktur. Sedangkan ekspor migas Indonesia tahun depan, dia perkirakan tidak akan berbeda jauh dengan kondisi tahun ini. Ekspor migas tidak akan terkoreksi meskipun pertumbuhan di Eropa, China, dan India berpotensi melambat, karena komoditas migas masih sangat dibutuhkan. Agustinus Prasetyantoko, Ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, mengatakan potensi pelemahan ekspor Indonesia ke Uni Eropa sulit ditutup dengan diversifikasi pasar ekspor, khususnya untuk barang non-migas. Alasannya, Indonesia bukan hanya bersaing dengan China, tetapi juga ASEAN dan negara lainnya yang menjadikan negara Asia Tenggara sebagai tujuan ekspor. Sementara di dalam negeri, Indonesia juga harus bersaing dengan serbuan produk China dan negara lain yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan ekspor. Prasetyantoko memperkirakan tahun depan pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan tahun ini, sehingga neraca perdagangan Indonesia pada 2012 akan defisit. Karena itu, dia menyarankan pemerintah melakukan diversifikasi pasar tujuan ekspor dan diversifikasi komoditas ekspor. "Selama ini ekspor hanya mengandalkan primary product karena non-primary product harus bersaing dari sisi daya saing. Inilah yang harus didorong pemerintah," ujarnya.

Page 4: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

4

Satwiko Darmesto, Deputi Bidang Statistik dan Jasa Badan Pusat Statistik, menyarankan agar dampak krisis Eropa tidak semakin besar, pemerintah harus terus melakukan diversifikasi pasar tujuan ekspor. "Dibandingkan dengan ekspor migas, ekspor non-migas memang yang akan mengalami tekanan tahun depan," kata Satwiko. (*)

Monday, 12 12 2011 More in Macro

Krisis Eropa Tak Pengaruhi Komitmen Negara Donor

BY MARTINA PRIANTI EmailShare

JAKARTA (IFT) - Pemerintah memastikan krisis ekonomi yang melanda negara-negara donor khususnya dari kawasan Eropa tidak mempengaruhi komitmen pinjaman yang telah direncanakan kepada Indonesia. Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, mengatakan pada umumnya komitmen pinjaman yang diperoleh pemerintah bukan berasal dari bank-bank komersial yang terkena dampak krisis.

Komitmen pinjaman luar negeri yang realisasinya sudah dalam proses pelaksanaan juga umumnya sudah disiapkan lebih awal oleh negara maupun lembaga donor. Sampai saat ini semua negara dan lembaga donor tetap pada komitmennya memberikan bantuan pinjaman kepada Indonesia, sehingga tahun depan pelaksanaan pinjaman luar negeri masih baik.

"Pinjaman komersial yang diperoleh Indonesia merupakan pinjaman lama untuk pembiayaan kontrak multiyears yang sudah committed. Jadi tidak ada masalah karena Indonesia tidak pernah default," kata Rahmat.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 menyebutkan pemerintah tahun depan berencana menarik utang luar negeri sebesar Rp 55,98 triliun. Pinjaman tersebut terdiri dari pinjaman program Rp 16,85 triliun dan pinjaman proyek Rp 39,13 triliun. Nilai pinjaman tersebut turun dibandingkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 yang mencapai Rp 56,18 triliun.

Rahmat melanjutkan selama ini pinjaman yang diperoleh pemerintah selain dari kerja sama bilateral juga dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menyebutkan per Oktober 2011, jumlah pinjaman luar negeri bilateral terbesar berasal dari Jepang yaitu US$ 30,90 miliar, Perancis US$ 2,77 miliar, dan Jerman US$ 2,50 miliar.

Adapun pinjaman dari lembaga multilateral per Oktober paling besar berasal dari ADB sebesar US$ 10,67 miliar (kumulatif), Bank Dunia US$ 11,32 miliar, dan Bank Pembangunan Islam (IDB) senilai US$ 440 juta.

Jumlah pinjaman luar negeri di atas tidak termasuk utang pemerintah dalam bentuk penerbitan surat berharga negara valuta asing. Total pinjaman pemerintah dari luar negeri dan dari penerbitan surat berharga per Oktober 2011 tercatat Rp 197,86 triliun. Dari jumlah tersebut, pinjaman pemerintah dari penerbitan surat berharga negara sebesar Rp 182,01 triliun atau 91,99% dari total pinjaman.

Juniman, Kepala Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII), mengatakan melihat kondisi makro ekonomi Indonesia dan track record yang tidak pernah default, pihak donor diperkirakan masih tetap akan memberikan pinjaman baik bilateral maupun multilateral. "Hanya saja krisis di Eropa menyebabkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar global mengecil sehingga menyebabkan bunga pinjaman berpotensi mahal," kata Juniman.

Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang penarikan pinjaman atau menambah penerbitan surat utang seperti global bond. Menurut Juniman, melihat angka premi risiko gagal bayar atau credit default swap (CDS) Indonesia yang relatif masih rendah, global bond yang diterbitkan pemerintah akan menarik bagi investor. Jangka waktu penerbitan obligasi juga lebih pendek dari pinjaman luar negeri baik dari negara maupun lembaga donor, sehingga beban utang lebih kecil.

Page 5: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

5

Fauzi Ichsan, Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, sebelumnya mengatakan komitmen pinjaman luar negeri dari negara atau lembaga donor yang telah disepakati untuk Indonesia tidak mungkin dibatalkan. Pembatalan akan terjadi jika negara kreditor itu mengalami resesi. (*)

Thursday, 08 12 2011 More in Macro

Energi dan Pangan Akan Dorong Inflasi 2012

BY DUSEP MALIK EmailShare

JAKARTA (IFT) - Pemerintah mengakui pada 2012 pada tahun depan ada potensi tekanan inflasi karena faktor eksternal yang sulit diprediksi. Sidqy Lego Pangesthi Suyitno, Direktur Jasa Keuangan dan Analisis Moneter Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tekanan inflasi tahun depan berasal dari faktor energi, perubahan iklim dan kebijakan pemerintah.

Sebelumnya Bank Pembangunan Asia (ADB), mengingatkan potensi tingginya inflasi tahun depan karena ada potensi tekanan harga pangan dan energi.

Menurut Sidqy, faktor eksternal yang sulit diprediksi lebih disebabkan faktor geopolitik Timur Tengah, perubahan iklim ekstrem dan masih rentannya kondisi ekonomi Eropa serta Amerika Serikat. Hal tersebut menyebabkan berfluktuasinya harga kebutuhan energi dan kebutuhan pangan dunia. Faktor dari luar yang mendorong laju inflasi adalah harga minyak yang fluktuatif dan banjir di Thailand, sementara di dalam negeri ada kebijakan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik dan pangan yang tidak mencapai target produksi.

Sidqy menilai, dari berbagai faktor yang mendorong laju inflasi tersebut, kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik berpotensi menambah inflasi tahun depan.Perubahan iklim berpotensi menurunkan pasokan pangan dalam dan luar negeri, sehingga mendorong naiknya harga pangan.

Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah teknis dari sisi fiskal dan menjaga stok beras. Selain itu, pemerintah juga mendorong perbaikan produksi pangan dalam negeri. Pemerintah juga berusaha menjaga stok bahan bakar minyak bersubsidi sesuai dengan APBN 2012. Tekanan inflasi yang paling besar tahun depan berasal dari energi dan pangan. “ Ini jadi sangat sulit untuk diprediksi dan mengganggu supply, tapi kami tetap yakin target inflasi 5,3% tahun depan masih bisa dicapai," kata Sidqy.

David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), menyatakan jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi pada tahun depan, ini merupakan tekanan inflasi terbesar. Tetapi potensi tekanan inflasi menurun, karena hingga saat ini pemerinah belum menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Potensi tekanan inflasi berasal dari kenaikan tarif dasar listrik yang rencananya mulai berlaku April 2011. Tetapi kondisi tersebut secara keseluruhan tidak terlalu mempengaruhi admistered price sehingga Bank Central Asia memprediksi inflasi tahun depan di bawah 5%.

Sementara itu tekanan inflasi yang berasal dari sektor pangan cukup rendah, karena pemerintah berusaha menjaga stok pangan dan mendorong produksi. Dengan demikian sumber pangan domestik cukup stabil, di samping itu pemerintah masih melakukan impor, sehingga tekanan inflasi dari pangan tidak terlalu besar.

Seperti pada saat krisis ekonomi 2009, inflasi pada saat itu hanya 2,9%, karena melemahnya permintaan domestik dan pertumbuhan yang menurun. " Kemungkinan rendahnya inflasi tahun 2009 bisa terjadi di tahun 2012 karena rendahnya permintaan," katanya.

David menilai, kondisi inflasi rendah tahun depan sebenarnya bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar bersubsidi yang selama ini telah memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga target inflasi tidak terlewati. " Tahun depan tepat sebenarnya pemerintah menurunkan subsidi, tapi kelihatannya saya ragu pemerintah mampu melakukan itu," katanya.

Agus Martowardojo, Menteri Keuangan, sebelumnya mengatakan untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya krisis pangan pada tahun depan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, pemerintah menyediakan dana darurat Rp 3 triliun serta dana risiko fiskal Rp 15,8 triliun.

Thursday, 08 12 2011 More in Macro

Pada 2012 Peringkat Indonesia Masih Berpeluang Naik

BY MARTINA PRIANTI EmailShare3

JAKARTA (IFT) - Fitch Ratings Indonesia memperkirakan peringkat Indonesia masih berpeluang naik menjadi layak investasi (investment grade) pada tahun depan. Baraditta Katoppo, Direktur Utama Fitch Ratings Indonesia, mengatakan Fitch Ratings belum mengubah penilaian kondisi ekonomi makro dan manajeman fiskal Indonesia yang masih tetap bagus.

"Kami perkirakan sekitar Februari-Agustus, ada kemungkinan peringkat Indonesia di upgrade," kata Baraditta, Rabu. Sebelumnya pada Februari 2011, Fitch Rating memperkirakan Indonesia akan menyandang predikat investment grade 12 bulan-18 bulan setelah Februari.

Page 6: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

6

Saat ini, outlook Indonesia dinilai masih terjaga positif atau satu notch di bawah peringkat layak investasi. Namun demikian, Fitch masih memberikan catatan bagi pemerintah agar bisa mendapatkan peringkat layak investasi.

Catatan pertama, pemerintah harus menambah ketersediaan infrastruktur. Kedua, meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan utama dalam negeri, hal ini terkait dengan besaran tax ratio. Tax ratio pada tahun ini ditargetkan 12,1% kemudian pada tahun depan, targetnya meningkat menjadi 12,72%.

Kemudian catatan ketiga, pemerintah harus mampu menangani masalah inflasi. "Kami juga terus memantau potensi risiko reversal yang sempat terjadi September kemarin," kata Baraditta.

Menurut Baradita, Fitch Ratings terus memantau perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kami juga melihat income seperti apa," katanya.

Juniman, Kepala Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII), mengatakan Indonesia masih berpeluang mendapatkan investment grade pada tahun depan. Namun di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, lembaga ratings akan bersikap hati-hati.

"Perkiraan awal Indonesia bisa mendapatkan investment grade pada Februari-Maret tahun depan, tetapi melihat kondisi sekarang, paling lambat Desember," kata Juniman. Jika Indonesia bisa mendapatkan investment grade pada tahun depan, aliran modal khususnya foreign direct investment (FDI), yang masuk Indonesia akan semakin besar.

Menurut Juniman, jika Indonesia mendapatkan investment grade pada tahun depan, akan menaikkan investasi langsung, sehingga meningkatnya kontribusi investasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat menutup penurunan nilai ekspor karena turunnya permintaan dari negara tujuan utama ekspor. Sebaliknya, jika Indonesia gagal mendapatkan investment grade pada tahun depan, akan membebani permintaan domestik yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, pemerintah harus mampu menyelesaikan berbagai catatan yang diberikan Fitch Ratings. Selain harus menjaga stabilitas makro ekonomi dan mendorong pembangunan infrastruktur, pemerintah juga harus mampu mendorong peningkatan tax ratio.

Juniman mengatakan, paling tidak pemerintah mampu mendorong tax ratio bisa mencapai 14% sehingga jika terjadi gejolak ekonomi global, Anggaran Negara tetap aman karena didukung oleh penerimaan dalam negeri. " Pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan pemerintah adalah membenahi sarana dan prasarana agar arus modal yang masuk, bisa masuk ke setor riil," kata Juniman.

Agustinus Prasetyantoko, Ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, mengatakan agar peringkat Indonesia cepat naik menjadi investment grade, pemerintah juga harus mendorong percepatan penyerapan anggaran dan diikuti dengan efektifitas penggunaan anggaran. " Sejauh ini, dampak krisis ke kita saat ini tidak besar, oleh karena itu pemerintah harus mampu memperbaiki berbagai titik kelemahan seperti yang telah disebutkan lembaga rating," katanya.

Seperti dikutip Bloomberg, ekonomi Asia dinilai mampu menahan dampak krisis utang Eropa dengan baik. Agost Benard, Direktur Standard & Poor di Singapura, mengatakan tidak mungkin ada penundaan kenaikan peringkat untuk beberapa negara di Asia, seperti Indonesia dan Sri Lanka. Outlook ke dua negara tersebut positif.

Endre Pedersen, Managing Director of fixed income Manulife yang berbasis di Hong Kong, juga menilai fundamental ekonomi Indonesia terus menguat. "Anda benar-benar akan melihat momentum kenaikan di sisi rating," kata Padersen.

Thursday, 08 12 2011 More in Editorial

Skenario Pertumbuhan 2012

BY PRASETYANTOKO EmailShare

Page 7: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

7

Skenario terbaru versi Asian Development Bank (ADB) menyebutkan Indonesia akan tumbuh 6,5% pada 2012, atau turun 0,3% dari proyeksi sebelumnya sebesar 6,8%. Perkiraan ini masih lebih baik dari proyeksi Bank Indonesia (BI) yang hanya menaksir pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 6,3%, turun dari proyeksi sebelumnya 6,5%. Asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 memang belum dirubah, masih di angka 6,7%. Sudah pasti angka tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Krisis Eropa begitu ganas dan berlarut-larut. Belum lagi persoalan ekonomi Amerika Serikat yang masih juga sekarat. Hanya, koreksinya pada level berapa, itulah yang belum ditemukan konsensusnya. Beberapa waktu lalu, Morgan Stanley merevisi pertumbuhan Indonesia dari 5,8% menjadi 5,6%. Morgan Stanley memprediksi China akan melambat dari perkiraan sebelumnya 8,7% menjadi 8,4% dan India 6,9% dari perkiraan sebelumnya 7,4%. Sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6% pada 2012-2016, atau negara dengan pertumbuhan paling tinggi di antara lima negara ASEAN lainnya. Terlihat jelas, skenario pertumbuhan global berbagai kawasan dan tentu saja pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bervariasi. Hal tersebut menunjukkan begitu rawannya perekonomian global 2012, sehingga penuh ketidakpastian. Asumsi yang berbeda menghasilkan perhitungan pertumbuhan yang bebeda pula. Itulah mengapa skenario pertumbuhan 2012 tidak konvergen, melainkan divergen. Meskipun begitu, ada hal yang menarik untuk kasus Indonesia. Menilik dari angka koreksinya, Indonesia termasuk yang paling kecil. Menurut perhitungan versi Morgan Stanley, sementara China akan terkoreksi 0,3% dan India 0,5%, koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,2%. Sementara versi ADB, rata-rata menurunkan proyeksi pada besaran yang sama, yaitu 0,3% bagi perekonomian dengan dinamika pertumbuhan relatif tinggi. Artinya, kita membandingkan pertumbuhan kita dengan India dan China, dengan karakteristik perekonomian yang hampir sama. Mengapa Indonesia sejajar dengan China dan India? Pertama, ketiga negara memiliki pasar domestik yang besar, sehingga relatif tidak terlalu tergantung pada sektor eksternal (ekspor). Kedua, ketiga negara memiliki karakteristik angka pertumbuhan yang relatif tinggi, dibandingkan dengan negara-negara lain. Kita bisa melihat, karakteristik pertumbuhan yang tidak tergantung terhadap ekspor hanya akan terkoreksi secara moderat. Lihat saja, misalnya merujuk proyeksi pertumbuhan versi ADB, Korea Selatan dan Singapura terkoreksi tajam, masing-masing 0,4% dan 0,8%. Begitu pula dengan Hong Kong yang proyeksinya mengalami koreksi dari perhitungan terdahulu sebesar 0,7%. Ada dua hal yang harus diwaspadai. Pertama, tampaknya dinamika skenario pertumbuhan kita akan seiring dan seirama dengan dinamika perekonomian China dan India, sehingga penurunan tajam dari perekonomian China dan India patut menjadi benchmark bagi skenario pertumbuhan kita. Kedua, dari sisi internal, mestinya pemerintah melalui Kementerian Keuangan mampu menyusun beberapa skenario tentang pertumbuhan 2012. Skenario ini penting, karena menyangkut perangkat respons kebijakan. Sementara itu, pemerintah cenderung belum merevisi angka pertumbuhan, karena jika direvisi dampaknya akan panjang, yaitu berimplikasi pada pola pendapatan dan pengeluaran anggaran. Artinya, merevisi angka pertumbuhan mau tidak mau harus mengutak-atik anggaran. Tentu saja, itu pekerjaan rumit dan melelahkan. Namun, tampaknya pekerjaan tersebut tak bisa dihindari. Sudah pasti angka pertumbuhan akan terkoreksi. Hanya terkoreksi pada angka berapa, itulah yang masih harus ditemukan konsensusnya. Di mata pemerintah, sebenarnya persoalannya bukan sekadar akan terkoreksi pada angka berapa atau besaran koreksinya berapa. Namun lebih jauh dari itu, apa risikonya jika terjadi penurunan pada level tertentu. Implikasi anggaran serta respons kebijakannya akan seperti apa. Itulah perencanaan skenario (scenario planning) yang harus segera disusun oleh pemerintah. Jika asumsi pertumbuhan 6,3%, apa yang harus dilakukan. Bagaimana kalau ternyata hanya tumbuh 5,5%, atau bahkan lebih rendah daripada itu. Skenario ini penting disiapkan, karena pemerintah harus siap dengan seperangkat kebijakan untuk mengantisipasi. Dan antisipasi kebijakan membutuhkan persetujuan keuangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dari sekarang DPR harus diberi tahu apa skenario pemerintah, dan konsekuensi anggaran macam apa jika sebuah skenario terjadi. Hope for the best, prepare for the worst!

Thursday, 01 12 2011 More in Int'l Investing

Asia Butuh Pengelolaan Fiskal Yang Baik

BY ANASTASIA IKA EmailShare

Page 8: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

8

BUSAN – Manajemen fiskal yang lebih baik serta transparansi pemerintah diperlukan untuk meraih pertumbuhan yang stabil di Asia, demikian kata Haruhiko Kuroda, Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pidatonya di Busan, Rabu. Menurut Kuroda, Asia selama ini sudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang spektakuler. Selain itu, Asia juga berhasil mengurangi angka kemiskinan dalam lima dekade terakhir. “Namun, Asia tetaplah tempat bagi mayoritas penduduk miskin dunia,” kata Kuroda dalam pernyataan persnya. Belum lagi kesenjangan ekonomi antar negara yang masih terlalu besar. Pengelolaan fiskal dan akuntabilitas yang lebih baik dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif, atau dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang kawasan Asia Pasifik. “Kesenjangan yang mempengaruhi pertumbuhan. Padahal, kuatnya pertumbuhan bisa mengurangi kemiskinan,” kata Kuroda. Bukan hanya itu, kesenjangan antar negara Asia juga berdampak pada stabilitas negara dan kehidupan sosial masyarakat. Di beberapa kawasan dunia, kondisi seperti itu bertahan selama bertahun-tahun. Tidak ingin Asia mengalami hal yang sama, Kuroda kembali mengingatkan pentingnya transparansi dan konsistensi untuk meraih pertumbuhan yang lebih baik. Kuroda menilai pengelolaan fiskal Asia belum cukup memadai, terlebih di tengah krisis global. “Minimnya pengelolaan fiskal bisa menjauhkan suatu negara dari pertumbuhan yang ditargetkan,” kata Kuroda. Banyak negara berkembang di Asia yang mengimplementasikan pertumbuhan inklusif sebagai bagian dari agenda pertumbuhannya. Asian Development Program mendukung upaya ini dengan berbagai inisiatif, termasuk pembiayaan proyek, bantuan teknis serta dialog kebijakan. Bank Pembangunan Asia mengadopsi kerangka hasil korporasi komprehensif pada 2008. Kerangka itu digunakan untuk mengukur kontribusi pembangunan kawasan. Bank Pembangunan Asia menggunakan rancangan hasil untuk mengukur kinerja suatu negara secara objektif sekaligus menyetir reformasi internal demi memaksimalkan dampak pembangunan negara. Pejabat Bank Pembangunan Asia, termasuk Kuroda, bertemu di Busan untuk mengikuti forum ekonomi kawasan. Dalam forum tersebut, para peserta secara khusus membahas komitmen lembaga internasional untuk menciptakan pembangunan yang lebih efektif. Untuk meraih tujuan itu, Bank Pembangunan Asia akan mengajak sektor swasta serta para pemegang saham dalam beberapa program.

Tuesday, 13 12 2011 More in Opinion

Krisis di Eropa Adalah Pertumbuhan

BY TRI SUBHKI RAKHMATULLAH

Krisis institusional Eropa sangat sulit, namun masih bisa dipecahkan. Namun sepertinya tidak berlaku untuk krisis pertumbuhan Eropa. (BLOOMBERG/JOCK FISTICK)

Dalam blog, saya mencoba memahami apa arti dari istilah “Euromess”. Gagal. Dunia nampaknya sudah nyaman dan bisa menerima dengan istilah krisis utang Eropa merujuk pada krisis obligasi pemerintah yang menyebabkan masalah di zona euro. Jadi saya menyerah dan mulai menerima juga istilah “krisis utang Eropa”. Sekarang, saya menyesalinya.

Pekan lalu saya berkunjung ke Jerman dan berdiskusi dengan sejumlah pejabat, pebisnis dan bankir. Satu hal yang pasti: Ini bukan sebuah krisis utang. Pertama, ini adalah krisis pertumbuhan, kemudian krisis institusi dan setelah itu disusul dengan krisis utang. Mudah membuktikan bahwa ini lebih dari sekadar krisis utang. Mari mulai dengan sebuah pertanyaan.

Apa makna dari enam angka berikut – 81, 100, 67, 121, 81, 84 – dan apa yang tidak menjadi persamaan angka-angka itu?

Jawabannya, berdasarkan Dana Monete Internasional (IMF), angka itu secara berturut-turut merupakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris, Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Perancis dan Kanada.

Namun Inggris, Amerika Serikat dan Kanada masing-masing dapat menerbitkan obligasi bertenor 10 tahun dengan imbal hasil (yield) lebih sedikit di atas 2%. Spanyol, yang mempunyai rasio utang paling kecil di antara negara-negara tersebut, justru harus memberi yield dua kali lipat dibanding ketiga negara dengan yield 2%.

Yang perlu dicatat lagi, Amerika Serikat dan Inggris, dengan rasio utang yang lebih besar dibanding Spanyol, mempunyai total utang terbesar dibanding negara-negara yang ada di daftar tadi.

Krisis yang terjadi di zona euro sekarang ini lebih dari sekadar krisis utang, Jerman dan European Central Bank sudah menyadari hal itu. Mereka bisa saja menghentikan penyebaran krisis di negara-negara kecil Eropa. Namun mereka tidak ingin melakukannya.

Page 9: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

9

Mereka melihat krisis ini sebagai kesempatan. Krisis ini menampakkan kebobrokan di pondasi bangunan zona euro dan negara-negara kecil zona euro mengalami tekanan yang sangat besar. Karena itu, Jerman dan European Central Bank punya amunisi untuk membuat perubahan dalam sistem integrasi mata uang ini.

Kekhawatiran institusional sangat jelas diungkap dalam laporan terbaru dari UBS. “Euro seharusnya tidak pernah ada,” isi laporan tersebut. “Yang lebih spesifik, euro dengan struktur dan keanggotaan yang sekarang seharusnya tidak pernah eksis.”

Kepentingan Jerman

Pada dasarnya, itulah yang menjadi kepentingan Jerman. Kita mendengar hal ini di manapun. “Kita tidak bisa membentuk integrasi mata uang tanpa integrasi fiskal.” Beberapa pihak juga mengatakan perlunya integrasi politik juga.

Namun kenyataannya adalah Eropa bisa memiliki semua itu dan masih gagal karena krisis punya pendorong lain yang kuat, yaitu perlambatan pertumbuhan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan perekonomian Eropa akan tumbuh 0,6% pada 2012 dan 1,7% pada 2013. Jika Jerman dan Belanda yang mempunyai kinerja pertumbuhan kuat tidak dimasukkan, maka jelas prospek pertumbuhan di negara-negara zona euro lain akan lebih suram.

Mulai dari 1997 hingga 2005, Italia dan Spanyol memangkas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto mereka. Namun kemudian gelembung sektor perumahan pecah, dan begitu juga pertumbuhan kedua negara. Hasilnya adalah penurunan pendapatan publik, kenaikan pengeluaran dan defisit yang menggelembung. Paket pengetatan anggaran di dua negara itu yang diimplementasikan saat ini akan semakin memangkas prospek pertumbuhan.

Di situlah kemudian semuanya menjadi sulit. Krisis institusional Eropa sangat sulit, namun masih bisa dipecahkan. Namun sepertinya tidak berlaku untuk krisis pertumbuhan Eropa.

Jerman sudah punya resepnya, yaitu jadilah mirip Jerman! Sebelumnya, Jerman adalah pesakitan dari Eropa pada dasawarsa sebelumnya. Namun reformasi yang kuat dan fokus terhadap ekspor telah membawa perekonomian Jerman bangkit. Namun salah satu alasan mengapa negara-negara kecil di zona euro sulit meniru Jerman adalah Jerman sendiri.

Jerman mengakui hal ini. Mereka adalah negara terbesar di zona euro. Ekspor Jerman lebih murah dibanding biaya ekspor yang seharusnya, karena nilai tukar mata uang mereka lebih murah dibanding euro. Dan hal itu karena negara dengan perekonomian lemah seperti Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol menggunakannya.

Kekalahan Besar

Pihak-pihak yang mengalami kekalahan besar di zona euro, pada titik ini, adalah mereka dengan perekonomian yang lemah. Biasanya, negara-negara yang dalam kondisi lemah bisa menurunkan nilai tukar mata uang mereka dan mencoba menumbuhkan ekspor. Namun mereka tidak sanggup. Dan yang memperburuk keadaan adalah, negara-negara lemah ini berbagi mata uang yang sama dengan Jerman.

Jadi, ketika ekspor Jerman lebih murah dari yang seharusnya, negara-negara lain dari Eropa bagian selatan lebih mahal. Euro membuat produk dari negara-negara lemah kurang kompetitif, dan kurang mampu tumbuh.

Namun negara-negara lemah itu tidak bisa meninggalkan perserikatan ini. Jika sebuah negara dengan pertumbuhan yang lemah mencoba keluar dari zona euro, krisis yang dialami institusi keuangan akan berdampak instan dan tidak bisa dihentikan. Kekacauan ekonomi yang diciptakan akan menjadikan kondisi sekarang seperti tidak ada apa-apanya. Jadi intinya, begitu negara-negara itu sudah masuk, mereka tidak bisa keluar.

Sebuah kesepakatan tengah dibahas. Jika negara-negara lemah bergabung dalam integrasi fiskal, Jerman dan European Central Bank akan membantu menyelamatkan mereka dan pelemahan permintaan terhadap obligasi pemerintah akan berakhir. Namun negara-negara lemah khawatir tanpa prospek pertumbuhan yang lebih baik, bergabung dalam integrasi fiskal berarti menyerahkan kedaulatan mereka terhadap anggaran dan menerima pengetatan anggaran yang mencengkeram perekonomian.

Dengan kata lain, jika prospek pertumbuhan baik, perubahan institusional akan bisa dilakukan dengan mudah, dan masalah utang akan bisa diatasi dengan sendirinya. Namun, jika pertumbuhan tidak mendukung, maka pada dasarnya reformasi institusional tidak akan bertahan lama. Karena negara-negara kecil dan lemah tidak akan mampu mengurangi beban utang tanpa mengorbankan perekonomian mereka.

Itulah sebabnya situasi ini dapat dipahami, karena pertumbuhan Eropa yang terpenting. (*)

Artikel asli berjudul: Growth More Than Debt Key to Understanding Euromess

Ezra Klein Bloomberg News

Wednesday, 10 08 2011 More in Opinion

Pertaruhan Obama dalam Kesepakatan Pagu Utang

BY RON KLAIN

Page 10: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

10

Dari berbagai kesalahpahaman mengenai Barack Obama, salah satunya adalah dia berhati-hati. Nyatanya, sulit menemukan presiden di era modern yang mau mengambil risiko besar, bukan karena ceroboh, tetapi karena ingin menanggung risiko jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang yang diinginkan. Inilah konteks yang perlu dimengerti ketika membahas kompromi pagu utang.

Pengambilan risiko ini bukan pilihan kebijakan yang kesuksesan dan kegagalannya akan selalu diperdebatkan. Yang saya maksud adalah keputusan presiden yang dapat dibuktikan benar atau salah. Pengambilan risiko oleh presiden sangat jarang, dan Obama tidak ragu untuk bertaruh di situ.

Salah satu contoh adalah pilihan memberi bailout kepada industri otomotif. Banyak kemungkinan kebijakan ini bisa keliru. Chrysler Group LLC dan General Motors Co bisa saja gagal. Perubahan manajemen dan pengajuan pailit bisa mempersulit masalah. Uang yang disalurkan bisa percuma.

Pilihan yang aman pernah ditempuh Presiden George W Bush. Dia menyuntikkan dana hanya untuk menunjukkan dia sudah berusaha, dan membiarkan dana mengalir kemana saja. Namun Obama memilih menginvestasikan dana yang cukup besar, menuntut perubahan strategis di manajemen, meminta pengajuan pailit, dan memperkecil jaringan penjualan otomotif. Semuanya langkah yang berisiko.

Dua tahun kemudian, pilihan itu terbukti hasilnya. Penjualan mobil naik, penyerapan tenaga kerja di industri otomotif naik, pembayar pajak memperoleh kembali uang mereka, dan mobil-mobil Amerika Serikat mendapat peringkat konsumen yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Pertaruhan kedua dilakukan pada awal 2010, setelah Scott Brown dari Republik memenangi kursi Senat mewakili Massachusetts. Kemenangan itu mempersulit pengesahan Rancangan Undang-Undang Reformasi Layanan Kesehatan. Dengan kekalahan ke-60 di Senat, banyak penasehat presiden yang mendesaknya membatalkan kebijakan itu dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih terbatas. Namun Obama tak gentar dan mengambil risiko besar. Dia memaksa dilakukan pemungutan suara di Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Rancangan Undang-Undang yang sudah disahkan Senat sebelumnya.

Obama bisa saja kalah dengan mudah. Namun sekali lagi, pertaruhannya terbayar dengan mencapai kemenangan yang tidak diraih pendahulu-pendahulunya.

Awal 2011, Presiden Obama sekali lagi menolak saran penasehat yang ingin bermain aman dan memerintahkan pasukan khusus SEAL untuk memburu Osama bin Laden. Alternatif yang lebih aman adalah serangan pesawat tanpa awak. Namun presiden yakin kematian bin Laden hanya bisa diverifikasi oleh tim lapangan. Sekali lagi, keputusan berisiko yang dipilih Obama terbukti benar.

Kini kita membahas kesepakatan kenaikan pagu utang belum lama ini, risiko politis sangat besar yang diambil Obama. Dia mendesak “Pertukaran Besar” untuk mengatasi tantangan anggaran jangka panjang yang menjadi bagian dari solusi fiskal Amerika Serikat.

Kali ini, Obama terhambat. Kita tidak pernah tahu seberapa dekat menuju “Pertukaran Besar”, tetapi Obama tidak memperoleh penambahan pemasukan yang diinginkannya. Namun bukannya menyerah, dia memutuskan untuk berkompromi dalam kesepakatan pagu utang.

Pandangan ke Depan

Dengan menerima kesepakatan penambahan lebih dari US$ 2 triliun dari pagu utang US$ 14,3 triliun dengan kompensasi pemangkasan anggaran yang diinginkan Republik. Obama tidak menyerah dengan tujuannya, seperti yang diungkapkan sejumlah pihak. Namun, dia bertaruh akan mencapai tujuannya di kemudian hari.

Kunci dari pertaruhan ini adalah paket pemangkasan yang akan otomatis berlaku jika Kongres gagal mengesahan pengurangan defisit tambahan setelah komite super membuat rekomendasi pada November.

Kemungkinannya adalah komite super itu tidak akan menghasilkan sesuatu yang besar, dan untuk itu Obama akan terkendala lagi. Republik masih tertekan oleh kelompok Tea Party, dari aktivis anti pajak dan basis mereka, agar tidak membahas isu penambahan pemasukan anggaran.

Namun Standard & Poor’s menurunkan peringkat utang Amerika Serikat pada 5 Agustus karena penolakan Republik untuk mempertimbangkan kebijakan penambahan pendapatan. Ini menjadi sinyal bahwa situasi mulai memihak Presiden Obama. Ada tiga alasan mengapa pada Desember nanti Obama mungkin akan memperoleh apa yang tidak bisa dicapainya pada Agustus.

Pertama, ada pemangkasan yang disepakati presiden pada fase pertama kesepakatan pagu utang. Hal ini mengacaukan tujuan menambah pendapatan. Gagasan bahwa defisit bisa diatasi hanya dengan memangkas pengeluaran dan penurunan pengeluaran harus didahului dengan pendapatan baru. Obama memberi kemenangan pada kelompok Republik, dan kini dia berada di atas angin dengan menyeimbangkan pemangkasan dengan pendapatan.

Kedua, ada kemajuan Obama berhasil mendapat dukungan publik terkait gagasan solusi berimbang terhadap defisit. Pengekangan politis yang dilakukan Republik dan Tea Party membantu tujuan Presiden Obama. Penurunan peringkat utang oleh S&P juga menambah tekanan yang bisa dimanfaatkan Obama.

Page 11: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

11

Pemicu Pemangkasan

Ketiga, ada kesulitan yang akan dialami jika komite super gagal dan “pemicu” otomatis berlaku. Pemangkasan yang diharuskan sangat tidak mengenakkan dan akan menciptakan momentum kuat menuju aksi Kongres yang bertanggung jawab.

Skenario ketiga ini mungkin yang paling penting dalam memaksimalkan peluang Obama memenangi pertaruan terakhir atau mungkin yang terbesar. Dalam beberapa pekan ke depan, Gedung Putih harus melakukan apa pun untuk meyakinkan pemilih bahwa konsekuensi aktivasi “pemicu” otomatis itu akan sulit diterima.

Pemerintah sudah melakukan langkah itu pada 4 Agustus, ketika Leon Panetta, Menteri Pertahanan, mengatakan pemangkasan terhadap pengeluaran pertahanan akan sangat merusak bagi keamanan nasional. Komentar Panetta harus ditindaklanjuti dengan detail pengurangan anggaran yang akan berlaku jika pemicu itu benar-benar diaktifkan.

Hitung-hitungan itu akan menunjukkan siapa yang akan menderita jika Kongres tidak bertindak dengan pendekatan berimbang. Skenario serupa juga berlaku bagi program Medicare dan program-program non pertahanan lain.

Kemudian, sesuatu yang sifatnya umum dapat membuat pemerintah tidak terjangkau masyarakat. Pemerintah harus mensosialisasikan pengurangan anggaran dapat mempengaruhi warga negara senior dan sistem layanan kesehatan. Pemangkasan ini bertujuan menekan Demokrat, tetapi realitasnya adalah jika terjadi, dampaknya juga dirasakan Republik (bahkan lebih besar).

Satu-satunya pilihan yang akan diterima Republik adalah jika tidak banyak alternatif pemangkasan adalah pemangkasan anggaran pertahanan dan Medicare. Republik jelas tidak akan setuju dengan penambahan pendapatan.

Jika Gedung Putih bisa menyebarkan semua pesan tersebut di atas kepada masyarakat, Obama kemungkinan akan mencapai tujuannya. Keinginan Obama untuk menjadi berbeda mungkin benar, dan kritik yang menentangnya akan terbukti salah sekali lagi.

Judul asli artikel: Obama Shows Gambling Streak in Debt-Ceiling Deal

Ron Klain Bloomberg News

Tuesday, 09 08 2011 More in Opinion

Kekalahan Obama Pasca Kesepakatan Pagu Utang

BY VIRGINIA POSTREL

Satu hal yang pasti pesca-perdebatan pagu utang: Presiden Amerika Serikat Barack Obama sudah kehilangan pesonanya. Ikon harapan dan perubahan yang memikat telah menjadi politisi biasa dan menjadi bahan ejekan baik dari pendukung maupun lawan-lawannya. Seperti sebuah judul yang berbunyi: “Obama mengalah kepada cara-cara Washington.”

Yang paling mengejutkan adalah betapa tidak relevannya Presiden Obama dalam seluruh perdebatan ini. Obama tidak menghadirkan alternatifnya sendiri dibanding sedemikian banyak tawaran program di Kongres, atau membuat pengecualian untuk kebijakan tertentu. Ketika hadir di hadapan publik, dia tampak menurunkan derajatnya dan mementingkan diri sendiri. Pidato-pidatonya hanya gertakan.

Berbanding terbalik dengan beberapa berita besar, krisis pagu utang ini tidak menandai perubahan dramatis terhadap posisi presiden. Penurunan popularitas sudah terjadi jauh sebelum perdebatan pagu utang. Pada Oktober 2010, Bloomberg National Pool menanyakan masyarakat mengenai Obama.

Sebanyak 42% responden menyatakan kurang antusias terhadap Obama dibanding sebelumnya. Sebanyak 35% masih mendukungnya, dan 7% tidak mendukung atau menentang Obama.

Obama mungkin akan memenangi kembali pemilihan presiden pada 2012, tetapi antusiasme kampanye 2008 sudah hilang. Kenapa? Pada 2008, banyak kalangan yang mengharapkan perubahan besar dari Obama. Warren Bennis dari University of Southern California dan Andy Zelleke dari Harvard memuji Obama karena memiliki kualitas magis yang dikenal sebagai kharisma.

Mereka memprediksi kharisma ini akan memberi Obama kapasitas luar biasa untuk mengangkat kondisi tidak nyaman yang melumpuhkan masyarakat Amerika Serikat. Karena pemimpin kharismatik bisa memecah ortodoksi yang memecah Amerika Serikat menjadi negara bagian merah (Republik) dan biru (Demokrat), serta membangun rasa kebersamaan dengan visi baru.

Hanya ada satu masalah. Obama tidak kharismatik. Dia mempesona dan sangat persuasif. Pesonanya menyihir Bennis dan Zelleke, begitu pula terhadap banyak pemilih.

Apa bedanya? Kharisma menggerakkan masyarakat untuk berbagi visi sang pemimpin. Pesona, sebaliknya, menginspirasi masyarakat untuk menyampaikan keinginan mereka kepada sang pemimpin. Makna pesona bergantung sepenuhnya pada pikiran masyarakat.

Memang benar Obama sebagai kandidat mampu menarik perhatian para pendukung yang tidak hanya berseberangan dengan posisinya, tetapi juga yakin dengan apa yang telah dia lakukan. Dalam hal pernikahan sesama jenis dan perdagangan bebas,

Page 12: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

12

pendukungnya memproyeksikan pandangan mereka terhadap Obama dan berasumsi Obama mengatakan apa yang ingin mereka dengar.

Bahkan pengamat yang cukup mendapat banyak informasi tidak bisa menentukan apakah Obama seorang yang berpaham kiri atau seorang yang berorientasi pasar. “Barack menjadi semacam uji coba Rorschach manusia. Masyarakat melihatnya seperti yang mereka inginkan,” kata Cassandra Butts ketika musim kampanye.

Konvensi Bertentangan

Seperti John Kennedy pada 1960, Obama adalah gabungan antara politisi muda, berpenampilan menarik, bersemangat dan menjanjikan perubahan politik. Seperti Kennedy, Obama adalah seseorang yang menawan dan yang serba lengkap. Bedanya adalah Kennedy berasal dari keluarga berada, namun misteri Obama dengan latar belakang eksotik menjadi daya tarik tersendiri. Obama mempesona karena dia berbeda dan perbedaan itu mencerminkan aspirasi masyarakat terhadap Amerika Serikat.

Obama disetarakan seperti sepatu hak tinggi yang menggoda oleh Leora Tanenbaum dalam bukunya “Bad Shoes”. “Ketika kita melihat sepasang stiletto di pusat perbelanjaan atau di sebuah artikel di majalah mode, kita bisa membayangkan memakainya dan menjadi orang yang hidup di kehidupan magis. Fantasi ini mungkin bisa terwujud dengan memakai sepatunya.”

Pesona yang sama adalah ketika Obama sebagai kandidat presiden menyerukan kepada mayoritas masyarakat Amerika Serikat baik Demokrat, Republik dan Independen untuk bergabung dalam sebuah proyek bernama pembaruan nasional. Itu adalah undangan kepada masyarakat untuk menghibur fantasi-fantasi mereka mengenai seperti apa pembaruan nasional itu sebenarnya. Yang diperlukan adalah semua pemilih memilih presiden yang tepat.

Pesona adalah ilusi yang indah. Kata pesona atau “glamor” bermakna asli mantra magis yang membuat sesuatu yang ideal bisa tercapai. Pesona menyembunyikan kesulitan dan tantangan, menciptakan kesan palsu kemuliaan. Kita tidak melihat tagihan-tagihan di dapur seperti tidak ada pengorbanan untuk janji perubahan.

Ilusi ini sulit dijaga seiring berjalannya waktu. Bahkan sepatu yang paling indah sekalipun pesonanya akan hilang begitu kita memakainya dan menyadari bahwa sepatu itu sama sekali tidak mengubah hidup kita. Hal yang sama juga berlaku bagi para presiden. Kebiasaan berujung pada kekecewaan.

Dibanding Clinton

Di antara sinyal-sinyal awal memudarnya pesona Obama adalah keluhan-keluhan yang kurang ditanggapi terkait tumpahan minyak BP. Ini menjadi kritik yang mengejutkan bagi seorang pria yang bagi sebagian besar pendukungnya Obama bersikap seperti Spock, figur fiksi di film Star Trek. Namun nampaknya tidak semua orang melihat figur Spock di diri Obama. Beberapa orang melihat sosok Bill Clinton. Mereka berharap presiden merasakan penderitaan mereka.

Clinton, dengan daya tariknya yang kentara dan keterbukaannya untuk menyenangkan publik, bukan pesona dan tidak ada misteri dari dirinya. Namun Clinton adalah seorang yang kharismatik. Dia menginspirasi loyalitas, bahkan dari pendukung yang tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakannya.

Jika kita berpikir Barack Obama sebagai presiden yang kharismatik, maka sulit dijelaskan mengapa pendukung-pendukungnya begitu marah. Dia seharusnya dapat menjaga dukungan mereka. Namun jika kita mengerti daya tariknya sebagai pesona, maka masalah yang dihadapinya tidak terlalu mengejutkan.

Dengan pesona, tindakan spesifik apa pun yang berada di luar fantasi akan merusak mantera sihirnya, sehingga membingungkan pendukung yang tidak setuju. Bahkan dengan mencoba mengatasi keadaan seperti yang sering Obama lakukan, pendukungnya juga tetap marah.

Pesona adalah alat penjualan yang paling bagus dan aset yang luar biasa jika kita ingin maju dalam pemilihan umum. Namun begitu kita menjabat, di situlah masalahnya. Meskipun kharisma dapat terus menginspirasi, pesona dekat dengan ilusi. Satu-satunya yang mengejutkan mengenai kesulitan Obama sekarang ini adalah, tidak banyak yang memperkirakannya.

Artikel asli berjudul: Obama’s Glamour Can’t Fix His Charisma Deficit

Virginia Postrel Bloomberg News

Friday, 05 08 2011 More in Opinion

Pasca Kesepakatan Pagu Utang Amerika Serikat

BY PRASETYANTOKO

Banyak pihak, terutama investor, merasa lega dengan tercapainya kesepakatan antara Partai Demokrat dan Republik mengenai kenaikan pagu utang di Amerika Serikat (AS). Namun, penandatanganan kesepakatan oleh Presiden Barack Obama tetap saja menyimpan “bom waktu” yang siap meledak.

Pertama, tambahan utang memang akan menghindari Amerika Serikat dari gagal bayar (default) dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka menengah, tak ada jaminan lembaga pemeringkat tak akan menurunkan peringkat utang dari AAA ke level yang lebih rendah. Dari tiga lembaga pemeringkat yang ada (Fitch Ratings, Moody’s Investors Service dan Standard & Poor’s), diduga

Page 13: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

13

tidak akan semuanya menurunkan peringkat utang Amerika Serikat. Namun, satu saja lembaga yang menurunkan peringkat utang, para investor akan mengubah racikan investasinya. itu artinya, berpotensi menimbulkan gejolak, entah besar atau kecil.

Dalam jangka menengah dan panjang, persoalan ekonomi Amerika Serikat tetap saja tak terpecahkan dengan tambahan pagu utang. Memang ada tambahan utang sekitar US$ 2,1 triliun, namun dalam 10 tahun ke depan pemerintah juga harus mampu mengurangi defisit dalam besaran yang kurang lebih sama. Kompromi ini memang nampak indah, membuat semua pihak gembira. Namun, dalam jangka menengah-panjang, pemerintah tak bisa sering melakukan stimulus ekonomi dalam rangka memulihkan perekonomian.

Kedua, perdebatan antara kubu Demokrat dan Republik belum akan berakhir. Kesepakatan tentang peningkatan pagu utang, bukan berarti terjadi kesepahaman dalam strategi pemulihan ekonomi. Dua isu pokok masih akan terus menjadi bahan perdebatan, yaitu peningkatan pajak dan pengetatan anggaran. Berangkat dari kondisi ini, banyak pihak mulai mendorong diberlakukannya pendekatan anggaran berimbang (balance budget approach). Presiden Obama dinilai akan mengalami kesulitan serius, untuk menerapkan prinsip tersebut, mengingat filosofi ekonomi Demokrat lebih bersifat “populis”.

Dua Pendekatan

Majalah The Economist menilai kesepakatan tersebut sebenarnya adalah kemenangan telak kubu Republik. Memang ada tambahan pagu utang, sebagaimana diusulkan oleh kubu Demokrat. Tetapi, di luar itu, pemerintah tak lagi leluasa melakukan stimulus ekonomi. Artinya, program andalan partai Demokrat seperti Medicare dan Sekuriti Sosial tak lagi bisa dipertahankan. Jika Obama pada pemilihan presiden 2008 unggul karena berkomitmen melakukan reformasi sistem kesehatan sosial, kini pemerintahannya dilanda risiko tak lagi mampu menopang jaminan kesehatan tersebut. Artinya, ini adalah sebuah serangan balik dari kubu Republik.

Kekacauan ini memang tak bisa dilepaskan dari hiruk pikuk politik yang akan dimulai 2012 mendatang. Tahun depan, energi masyarakat Amerika Serikat akan kembali tersedot dengan dimulainya masa kampanye pemilihan presiden. Di situlah, saling serang tentang program dan pendekatan dalam mengatasi persoalan krisis ekonomi ini akan terjadi. Dalam hal pendekatan kebijakan ekonomi, kedua partai bertolak belakang.

Bila kubu Republik dikenal lebih konservatif dan pro pada pendekatan pasar (market mechanism), kubu Demokrat dikenal populis dengan mengedepankan campur tangan negara (government intervention). Maka dari itu, isu seputar stimulus ekonomi, tambahan beban utang, pengurangan pajak, cara menciptakan lapangan kerja seringkali menjadi arena pertarungan kedua pemikiran tersebut.

Bagi cara pandang intervensionis (Keynesian), pemerintah bukan saja harus melakukan campur tangan dalam ekonomi secara temporer, melainkan permanen. Dan karena itu, wajar jika pemerintah perlu meningkatkan rasio utang dalam rangka stimulus ekonomi. Asalkan setiap dolar yang dikucurkan bisa menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja lebih banyak, tingginya rasio utang masih bisa ditolelir. Itulah yang disebut sebagai efek “crowding-in” atau stimulus yang menimbulkan efek positif bagi ekonomi riil.

Sebaliknya, pemikiran yang begitu percaya pada mekanisme pasar mengusulkan agar pihak swasta lebih berperan menciptaan lapangan pekerjaan serta pemulihan ekonomi. Stimulus yang dilakukan pemerintah hanya akan menimbulkan friksi dan persaingan dengan pihak swasta, sehingga menimbulkan efek “crowding-out”. Dan karena itu, penambahan utang sangat berbahaya karena akan mempengaruhi persepsi risiko para pelaku pasar.

Allen Meltzer, penasihat ekonomi John F Kennedy dan Ronald Reagan, menyatakan kebijakan stimulus ekonomi yang dijalankan Obama hanya akan menciptakan ketidakpastian lingkungan bisnis. Dia merekomendasikan pembatalan peningkatan pajak guna membiayai Reformasi Jaminan Kesehatan (health-care reform) serta pengurangan pajak temporer dalam rangka memulihkan perekonomian.

Sementara John Taylor, profesor ekonomi ternama dari Stanford University, mendukung gagasan kubu Republik untuk membatasi utang. Dia menyatakan, Amerika Serikat harus melakukan pengurangan pengeluaran besar-besaran (deep cut-spending) serta melakukan pembatasan utang secara ketat (debt-limit increase). Dua cara ini disebutnya sebagai langkah yang bisa dipertanggungjawabkan dalam ilmu ekonomi.

Peluang Asia

Dengan kemelut yang masih menyelimuti situasi ekonomi dan politik di Amerika Serikat, banyak pihak mulai melihat kemungkinan negara itu kembali akan mengalami fase krisis. Sebenarnya risiko ini pernah diungkapan oleh Nouriel Roubini. Dia melihat pemulihan ekonomi yang terjadi sekarang ini berbasis pada stimulus fiskal dan kebijakan uang mudah (monetary easing). Sementara, di sektor riil belum ada tanda-tanda pemulihan. Meski “Wall Street” (korporasi besar) mulai pulih, tetapi “Main Street” (sektor rill kelas menengah) masih jauh dari sehat. Begitu argumen pokoknya.

Pemulihan perekonomian Amerika Serikat sebenarnya tak bertenaga. Ibaratnya, setelah diserang penyakit ganas, kini Amerika Serikat berada pada fase pemulihan yang bersifat anemik (kekurangan darah). Setelah disuntik dengan berbagai obat, perekonomian tak juga menunjukkan pemulihan yang kokoh. Karena itu, banyak pihak mulai berpikir soal “double-dip crisis”,

Page 14: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

14

atau formasi krisis yang membentuk hurus W. Artinya, krisis mengalami fase pemulihan dan kemudian krisis lagi, sebelum benar-benar mengalami pemulihan yang sebenarnya.

Lebih jauh lagi, ada pertanyaan benarkah perekonomian Amerika Serikat akan mampu pulih? Sepertinya sulit berharap perekonomian Amerika Serikat akan mengalami fase pemulihan seperti masa sebelum krisis. Sementara itu, konstelasi dunia sudah jauh berubah. Forum Ekonomi Dunia mencetuskan isu mengenai model globalisasi baru (the new globalism), di mana kekuatan tak lagi ada di negara-negara maju di era sebelumnya. Pada masa depan, pusat kekuatan ekonomi akan menyebar. Bank Dunia menyebutnya sebagai fenomena “multipolarity”.

Dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berjudul “Asia 2050: Realizing the Asian Century”, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu negara yang berpotensi memimpin dunia. Secara eksplisit dijelaskan, kawasan Asia berpotensi menjadi pusat pusaran uang (center of finance), menggantikan posisi negara-negara maju sekarang ini (Amerika Serikat, Eropa dan Jepang).

Asia diprediksi akan memiliki setengah dari produk domestik bruto (PDB) dunia, serta menguasai separuh dari perdagangan dan investasi global. Pada 2010, kontribusinya terhadap PDB sekitar 27%, namun pada 2050 diprediksi menjadi 51%. Sementara, tingkat pendapatan penduduk diprediksi meningkat enam kali lipat dari sekarang. Dengan kata lain, setengah abad ke depan, tingkat kesejahteraan secara rata-rata akan menyamai level Eropa pada saat ini. Itulah mengapa istilah Abad Asia menjadi relevan.

Meski begitu, tak berarti dengan sendirinya Indonesia akan menjadi salah satu pemain besar. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan ada beberapa negara yang berpotensi gagal mengalami transisi dan terjebak menjadi negara berpenghasilan menengah saja (middle incoma trap). Indonesia bersama 6 negara lainnya (di antaranya China, India, Vietnam dan Thailand) merupakan negara yang berpotensi mengalami “middle income trap”.

Waktu untuk berbenah masih ada, tetapi tidak banyak. Jika sebagai bangsa tidak segera melakukan hal-hal yang luar biasa dalam rangka menyiapkan diri menjadi pemain besar, kita benar-benar akan terjebak menjadi negara berpenghasilan menengah saja.

A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Atma Jaya, Jakarta

Friday, 11 11 2011 More in Opinion

Lebih Mudah Menyelamatkan Zona Euro

BY TRI SUBHKI RAKHMATULLAH

Satu hal yang tidak diungkit oleh siapa pun mengenai pecahnya zona euro. Kita tidak pernah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Kini, kita melihat zona euro menuju ke arah perpecahan. Zona euro dengan mata uang tunggal di Eropa kini mulai berjatuhan. Muncul pandangan ekstrem dari sejumlah kalangan yang skeptis bahwa zona euro hanya tinggal menunggu waktu untuk bubar.

Krisis utang pemerintah di negara-negara kecil di zona euro? Pemerintahan yang runtuh di Italia? Sikap keras kepala Jerman mengenai “uang kuat” dan peran European Central Bank? Krisis di Eropa tidak hanya bisa diprediksi, tetapi sudah diperkirakan sebelumnya. Namun pemimpin Eropa memilih tidak mempersiapkan Uni Eropa yang gagal.

Karena jika mereka merancang sesuatu yang bisa gagal, maka akan menimbulkan pertanyaan terhadap kesungguhan mereka dalam proyek zona euro ini. Para pemimpin Eropa lebih memilih mengatakan dengan bangga bahwa tidak ada rencana cadangan. Kita sungguh terkesan. Sayangnya, apa yang mereka katakan memang benar.

Di satu sisi, para visioner pembentukan euro yang mendorong berdirinya zona euro tidak beruntung. Sistem rancangan mereka sudah diuji, bahkan mungkin menuju kehancuran, lebih cepat 20 atau 30 tahun dari perkiraan.

Harapan mereka adalah mata uang Eropa yang baru akan mempercepat pembangunan identitas politik Eropa, syarat yang dibutuhkan untuk mencapai ambisi lebih besar, yaitu sebuah Eropa Serikat. Begitu masyarakat Perancis, Jerman, Italia dan Yunani menjadi warga negara Eropa maka negara mereka menjadi nomor dua. Proyek ini akan cukup kuat menahan krisis seperti akhir-akhir ini, atau lebih baik lagi, bisa dicegah sejak awal.

Sebuah Pertaruhan

Sebenarnya, hal ini masuk akal. Ini adalah sebuah pertaruhan, namun bisa menghasilkan. Sebuah identitas politik Eropa sedikit demi sedikit muncul. Kita tidak perlu melihat jauh ke sejarah abad ke-20 untuk memahami betapa berharganya identitas ini.

Integrasi ekonomi dan politik yang lebih dekat di seluruh Uni Eropa, mengadopsi mata uang tunggal, akan mempercepat proses, sekaligus menghasilkan keuntungan-keuntungan ekonomi yang besar.

Masalahnya adalah proyek ini membutuhkan waktu untuk terealisasi. Institusi-institusi kebijakan Uni Eropa yang kolektif sudah menjadi opini publik. Mengadopsi sistem mata uang tunggal tidak pernah didukung oleh sebagian masyarakat Jerman. Dalam referendum terkait inovasi konstitusi Uni Eropa, pemilih sering harus diajukan pertanyaan lebih dari sekali sebelum menjawab dengan benar. Para pemilih Eropa terbiasa disetir oleh politisi mereka, namun mereka punya batasannya.

Page 15: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

15

Dukungan populer harus bisa terbentuk sebelum institusi pemerintahan Uni Eropa terbentuk lebih jauh lagi. Hal itu diperlukan agar euro bisa berhasil. Para elite di Eropa diperlonggar terkait hal ini. Sekarang dukungan publik menjadi syarat utama. Berkat subprime mortgage di Amerika Serikat, ujian bagi euro terjadi terlalu dini.

Tanpa Integrasi Fiskal

Krisis Eropa terbaru muncul dari jurang pemisah pemerintahan yang sengaja ditoleransi menurut program integrasi kawasan. Siklus pertumbuhan, kontraksi dan tekanan fiskal akut di negara-negara kecil terjadi. Sebagian disebabkan Uni Eropa gagal menahan diri ketika anggota baru euro diperbolehkan berutang dengan syarat yang sangat longgar.

Kini dalam merespons krisis, Uni Eropa kalang kabut karena tidak ada integrasi fiskal. Pertanyaan mengenai identitas nasional mendadak menjadi jelas. Tidak ada yang mau membayar pajak untuk membantu orang asing.

Kesalahan strategis visi pembentukan euro adalah mencoba menyatukan semuanya. Pada titik kritis tertentu, Uni Eropa menghadapi dua pilihan. Pertama memperdalam integrasi politik dari negara-negara anggota yang ada, dan kedua memperluas keanggotaan dengan negara yang berbeda budaya, ekonomi yang kurang maju dan pemerintah yang kurang kuat.

Hal yang perlu dilakukan adalah memilih salah satu. Membangun perserikatan yang lebih dekat dengan negara-negara setara, bersedia berbagi dalam mata uang tunggal dan menyatukan kedaulatan. Atau memperluas tetapi dengan integrasi yang lebih dangkal. Namun Uni Eropa menginginkan keduanya, lebih dalam dan lebih lebar. Inilah kesalahan utama mereka.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Eropa masih punya pilihan-pilihan di atas. Saya sangat meragukan hal itu. Zona euro mungkin akan runtuh secara keseluruhan, namun tidak bisa dibubarkan dengan rapi.

Apa yang sudah dibangun oleh politisi tidak bisa dihancurkan oleh politisi. Hal itu tidak mudah. Ketika kita membentuk sebuah mata uang tunggal, keseimbangan mata uang menjadi tetap. Ketika satu dilepas, maka semuanya lepas. Mengapa mempertahankan sistem mata uang tunggal, tetapi membiarkan nilai tukar bergerak? Itu ketidaksesuaian yang memiliki konsekuensi besar.

Siapa yang mau menabung di sebuah bank di Italia jika negara itu diperkirakan keluar dari zona euro? Lira baru, mungkin itu nama mata uang baru Italia jika lepas, akan langsung melemah begitu dibentuk. Yang terjadi berikutnya kemungkinan terjadi pelarian modal besar-besaran.

Dunia Keuangan Baru

Ini berarti tidak ada lagi penghalang hukum maupun teknis di sistem integrasi euro. Ketika integrasi mata uang yang sebelumnya runtuh, mereka melakukannya pada era keuangan yang jauh lebih sederhana. Teknis memperkenalkan kembali mata uang nasional lebih mudah. Namun kini tidak lagi.

Integrasi keuangan di zona euro adalah total. Tidak ada lagi perbatasan aliran keuangan. Transaksi dilakukan secara virtual dan dalam waktu sangat singkat. Pola obligasi berdenominasi euro lintas batas sangat kompleks. Kontrak yang mana yang akan didenominasi ulang? Dengan syarat apa? Siapa yang akan menentukan?

Beberapa pilihan tidak bisa dibatalkan. Dalam dunia keuangan yang baru ini, semacam katalisme ekonomi, sulit untuk mengetahui apa makda dari meninggalkan zona euro.

Namun demikian, kita dapat mengalami kerugian yang amat besar, kecuali pemerintahan di Eropa melihat satu-satunya pilihan masuk akal yang bisa diterima logika terkait integrasi mata uang yang mereka ciptakan serta kewajiban yang mengikutinya.

Dalam jangka menengah, itu berarati integrasi fiskal yang lebih dekat. Dalam jangka pendek, itu berarti satu kepentingan utama di atas segalanya. European Central Bank harus diberi kewenangan besar yang diperlukan untuk menjamin utang publik di seluruh Uni Eropa.

Ini adalah sesuatu yang ditentang keras oleh para pendiri euro. Gagasan ini melanggar, menurut mereka, semua prinsip dari peran bank sentral yang kuat. Mereka benar, prinsip-prinsip tersebut harus disususn kembali.

Nanti, zona euro akan membutuhkan aturan baru yang mendekatkan integrasi fiskal. Sekarang ini, zona euro perlu sebuah bank sentral yang bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Federal Reserve terhadap Amerika Serikat. Selain itu, maka akan menjadi pertaruhan terbesar Uni Eropa.

Artikel asli berjudul: Saving the Euro Will Be Easier Than Alternative

Clive Crook Bloomberg News

Wednesday, 10 08 2011 More in Opinion

Pelajaran dari Nixon Soal Krisis Ekonomi

BY AMITY SHLAES

Adakan pertemuan di Camp David. Minta saran dari ekonom, anggota kabinet dan semua pakar. Kemudian tetapkan program ekonomi baru, mungkin termasuk terapi kejut yang akan menenangkan pasar keuangan dan menciptakan lapangan kerja.

Page 16: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

16

Itulah respons yang dulu ditempuh seorang presiden Amerika Serikat ketika negaranya mendadak menghadapi berita buruk, seperti keruntuhan pasar dan penurunan peringkat utang Amerika Serikat oleh Standard & Poor’s. Namun respons kebijakan 40 tahun lalu mengindikasikan tidak berlaku untuk krisis saat ini.

Pada 1971, Presiden Richard Nixon menggelar pertemuan para pakar untuk menghasilkan sebuah protokol yang menghancurkan prospek ekonomi pada dekade tersebut. Hal yang mendesak Nixon mengadakan pertemuan di Camp David pada Agustus 1971 adalah dolar Amerika Serikat.

Ketika itu, Amerika Serikat memberlakukan standar emas, artinya harga emas ditetapkan US$ 35 per ounce dan pemerintah asing bisa menarik emas dari bank-bank Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki cadangan emas sebesar US$ 10 miliar saat itu. Asing khawatir pertumbuhan Amerika Serikat melambat dan mulai mencari emas ke tempat lain. “Cadangan Moneter Amerika Serikat Turun US$ 505 Juta pada Mei,” demikian bunyi judul berita pada edisi Juni.

Pada Juli, cadangan emas resmi di bawah level US$ 10 miliar, dan harga emas di pasar internasional naik menjadi US$ 42 per ounce. Amerika Serikat membutuhkan nilai tukar dolar yang kuat, sebagian untuk membiayai Perang Vietnam. Angka pengangguran mencapai 6%. Secara politis, Nixon bernasib sama dengan Presiden Barack Obama sekarang ini, hanya berselang 15 bulan dari pemilihan presiden.

Khawatir terhadap dolar dan inflasi yang melaju, Nixon menggelar pertemuan di Camp David dan mengumpulkan tokoh-tokoh ternama yang masih ada sampai sekarang, seperti Arthur Burns, Herbert Stain, Paul Volcker, George Shultz, Paul McCracken.

Nixon kemudian mengumumkan Kebijakan Ekonomi Baru, program yang membuat prospek politiknya berimbas terhadap perekonomian jangka panjang. Nixon segera menutup window emas, mengakhiri konversi dolar terhadap emas. Dia memberlakukan pengendalian harga dan upah untuk sementara.

Banyak pemikiran di Camp David yang menentang komponen-komponen dari program itu. Schutz, ketika itu Direktur Kantor Manajemen Anggaran, menentang pengendalian upah dan harga. Namun para ekonom akhirnya setuju bahwa konsesi ini merupakan tuntutan mereka sebagai penentu kebijakan.

Hasil jangka pendek dari Kebijakan Ekonomi Baru itu menawarkan harapan. Indeks Harga Konsumen turun menjadi 1,7% dari 4,1% pada tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran tidak meningkat.

Pada Juli 1972, empat bulan sebelum pemilihan presiden, Stein yang ketika itu menjabat Ketua Dewan Penasehat Ekonomi, menggelar jumpa pers yang isinya data ekonomi yang sangat baik. Pertumbuhan Amerika Serikat pada 1972 lebih dari 5%. McGovern tidak punya peluang,

Dampak Jangka Panjang

Namun dampak jangka panjangnya sangat mengerikan, seperti yang diutarakan Stein. Setelah era Nixon, tingkat pengangguran naik lagi. Pasar internasional menyadari bahwa tanpa ancaman penarikan emas untuk mengendalikan pengeluaran, Federal Reserve, Kongres dan Kementerian Keuangan dapat mengintervensi dengan bebas.

Inflasi kemudian melaju, seperti yang ditulis Stein dalam memoirnya “Presidential Economics”. Gabungan inflasi dan pengangguran menciptakan kata baru bagi Amerika Serikat, yaitu stagflasi. Pembeli rumah membayar bunga kredit yang sangat tinggi dalam sejarah, yaitu lebih dari 18% pada 1981.

Ada tiga pesan yang bisa diambil dari pengalaman 1971. Pertama, ekonom hanya pendukung. Saran mereka bagi presiden mungkin meyakinkan, tetapi bukan berarti menjamin kebijakan yang kuat. Kedua, reformasi yang disusun oleh tim pendukung intervensi di tengah krisis menghasilkan kebijakan jangka panjang yang buruk.

Ketiga, hal terbaik yang bisa dilakukan pemerintahan Obama adalah tetap menjauh dari pasar, hindari kepanikan tahun pemilihan umum dan serukan kepada Republik untuk menyusun kebijakan untuk 2030. Jika hal ini tidak realistis, maka menjelaskan mengapa popularitas presiden dan Kongres turun di pasar.

Pendeknya, kesepakatan menaikkan pagu utang baru-baru ini hanya permulaan dari Amerika Serikat yang lebih stabil dengan pemerintahan ramping dan mata uang yang lebih kuat. Jangan ada lagi terapi kejut.

Artikel asli berjudul: Nixon Showed What Not to Do in an Economic Crisis

Amity Shlaes Bloomberg News

Monday, 14 11 2011 More in Opinion

Perdebatan Teori Ekonomi di Amerika Serikat

BY TRI SUBHKI RAKHMATULLAH

Ada perdebatan di Harvard University, Amerika Serikat mengenai mata kuliah pengantar ekonomi yang disebut Economics 10. Mata kuliah ini dikritik oleh mahasiswa karena dianggap hanya memberikan pandangan yang spesifik dan terbatas. Kritik mereka intinya adalah ilmu ekonomi yang diajarkan di kelas gagal mencegah krisis keuangan dan tidak mampu mengurangi gap antara si kaya dan si miskin.

Page 17: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

17

Para mahasiswa itu menginginkan mata kuliah yang lebih beragam dan termasuk kerangka ekonomi yang lebih progresif. Mereka benar bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Harvard bisa menggunakan kerangka yang lebih luas. Namun tidak seluas yang mereka kira.

Pertama, mata kuliah pengantar ekonomi adalah mata kuliah yang sudah ditentukan dan terbatas. Di bawah bimbingan N Gregory Mankiw, Profesor Harvard University, mata kuliah ini menggambarkan makroekonomi dan mikroekonomi modern yang sebagian besar dilihat dari kacamata kapitalisme, dan bukan lewat sosialisme atau komunisme.

Memang benar juga bahwa ada gap antara si kaya dan si miskin di Amerika Serikat. Meskipun apakah itu satu-satunya masalah masih perlu diperdebatkan. Ketiga dan yang terpenting, teori makroekonomi gagal memprediksi resesi yang terjadi akhir-akhir ini. Di Harvard pada 2007, banyak profesor dan mahasiswa yang mengabaikan bahwa kita mengalami era “moderasi besar”.

Yang keliru dari mahasiswa adalah usulan solusinya. Ada dua teori yang bisa memprediksi krisis keuangan 2008, dan banyak menyebut mengenai ketimpangan. Namun dari kedua teori itu tidak ada yang dianggap “progresif”.

Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Joseph Schumpeter, ekonom Austria yang tiba di Harvard pada 1927. Dia memperingatkan kapitalisme pada dasarnya sebuah bentuk atau metode perubahan ekonomi dan tidak akan pernah mungkin bisa dihentikan. Kemunduran ekonomi besar akan diikuti oleh pertumbuhan besar pula. Schumpeter juga mengungkit masalah ketimpangan yang dikritik mahasiswa.

Ekonom asal Austria lain, Ludwig von Mises, mencatat bahwa ekspansi kredit dan pertumbuhan ekonomi yang pesat berujung pada misalokasi dana. Mises menyebut misalokasi itu seperti kekeliruan investasi dan konsumsi berlebih.

Kekeliruan berinvestasi pada gilirannya akan membuat pertumbuhan pesat berubah menjadi kehancuran. Contoh nyata yang paling tepat adalah dana yang dikucurkan ke sekuritas kredit pemilikan rumah pada 2006 dan 2007. Namun tidak ada Schumpeter atau filsuf Austria terkenal di Harvard saat itu.

Harvard juga kekurangan akademisi yang fokus pada apa yang disebut teori pilihan publik. Konsep itu sangat sederhana, untuk itu James M Buchanan, seorang ekonom, dianugerahi Nobel Memorial Prize. Teori itu menyatakan ketika pemerintah berpura-pura menjadi pakar dan kebijakannya rumit, mereka sebenarnya melakukan hal primitif.

Pemerintah akan melakukan segala cara – bahkan mengais dan mengkanibal – agar bisa bertahan hidup atau mengambil dari sektor swasta. Deskripsi ini sesuai dengan gambaran Fannie Mae dan Freddie Mac.

Fokus Pertumbuhan

Teori pilihan publik ini membenarkan mengenai si kaya dan si miskin ketika terjadi krisis ekonomi. Di Wall Street, kreditor bank memperoleh untung dari kepemilikan saham. Di Detroit, serikat pekerja memperoleh untung dari dana pensiun. Namun teori ini juga menambahkan ketika pemerintah tidak melakukan intervensi, semua pihak memperoleh keuntungan.

Ketimpangan seringkali terjadi berbarengan dengan pertumbuhan yang kuat, seperti terjadi pada 1920-an. Di periode itu, setiap orang cenderung memperoleh untung. Ketika ketimpangan terjadi di saat pertumbuhan lemah seperti sekarang, prospek memperoleh keuntungan kelompok menengah ke bawah menjadi suram.

Ada dua respons yang muncul. Pertama adalah mempertanyakan bahwa ketimpangan menyebabkan pelambatan dan harus dikurangi, seperti yang dituntut para pengunjuk rasa Occupy Wall Street. Kedua, masalahnya adalah pertumbuhan dan mempercepat pertumbuhan akan mengurangi ketimpangan. Baik Teori Austria maupun pilihan publik cenderung mendukung pilihan kedua.

Dalam mengkritik Mankiw, mahasiwa juga keliru. Secara intelektual, Mankiw mendukung teori-teori para pendahulunya, seperti John Kenneth Galbraith, yang mempopulerkan prinsip-prinsip intervensionis dari John Maynard Keynes. Namun Keynes adalah ekonom yang kompleks, terkadang mendukung intervensi pemerintah tetapi di saat tertentu mendukung pasar dan perdagangan bebas.

Artikel asli berjudul: Harvard’s Walkout Students Misunderstand Economics

Amity Shlaes Bloomberg News

Tuesday, 21 06 2011 More in Opinion

Sebuah Pelajaran dari Tiga Krisis Fiskal

BY SIMON JOHNSON & BLOOMBERG NEWS

Di dunia sekarang ini, ada tiga macam krisis fiskal yang ditimbulkan oleh pengeluaran pemerintah yang terlalu besar, dan ada tiga macam responsnya. Kita bisa menyebut respons itu sebagai skenario mimpi buruk, eksperimen pencegahan, dan model tidak mau peduli.

Pada skenario mimpi buruk, sebuah negara mengalami defisit anggaran yang besar selama satu dekade atau lebih, dan pasar keuangan senang membeli utang-utangnya dengan suku bunga rendah. Namun kemudian pasar tiba-tiba berbalik, memutuskan

Page 18: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

18

bahwa negara itu mengarah langsung ke jurang. Ongkos pembiayaan utang nasional naik sangat tinggi. Pemerintah tidak punya banyak pilihan, kecuali melakukan pemangkasan belanja negara dengan segera.

Suku bunga yang lebih tinggi ditambah dengan pemangkasan belanja negara mengakibatkan kontraksi perekonomian dan menaikkan utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini semakin menekan sentimen pasar.

Utang sepenuhnya berada di tangan negara-negara yang bersimpati dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang sepakat menyalurkan pinjaman dengan bunga rendah dengan jangka waktu tak terbatas. Jika tidak, negara tersebut akan mengalami default. Di sisi lain, pemulihan akan membutuhkan waktu yang lama. Jika Anda belum tahu negara mana yang dimaksud, itulah Yunani. Pada 2010, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto mencapai 142%, atau dua kali lipat dari rata-rata sebagian besar negara industri.

Dalam model pencegahan, sebuah pemerintah mencoba mengatasi sentimen negatif di pasar dengan memangkas defisit anggaran selama beberapa tahun. Penyesuaian fiskal yang lebih lambat ini berarti pemangkasan belanja negara yang lebih kecil dan penambahan pendapatan harus digalakkan. Selama pasar melihat para politisi bersedia dan ingin menurunkan defisit, investor harus sangat yakin. Senjata Rahasia

Pemerintah yang dibahas ini memiliki sebuah senjata rahasia, nilai tukar yang mengambang, tetapi tidak bisa diaplikasikan di Yunani atau negara-negara zona euro lain. Jika nilai tukarnya terdepresiasi, maka dapat membantu pertumbuhan dengan meningkatkan ekspor dan pengeluaran wisatawan, serta dapat bersaing dengan produk-produk impor.

Bank Sentral bisa juga memangkas suku bunga. Inflasi bisa menjadi penahan dalam kebijakan moneter, tetapi peningkatan harga dan upah yang moderat akan mendorong harga rumah naik dan utang konsumer turun dibanding pendapatan yang dapat dihabiskan.

Model ini berlaku untuk Inggris. Pemangkasan belanja negara Inggris relatif kecil, dan meskipun kebijakan fiskalnya kontradiktif, perpaduan kebijakan secara keseluruhan masih tetap ekspansif. Kunci dinamika di pasar adalah utang terhadap Produk Domestik Bruto, jadi caranya adalah menjaga pertumbuhan ekonomi sementara tetap mengendalikan rasio utang.

Dengan prediksi pertumbuhan pada kisaran 1,5% hingga 1,9% pada 2011, dan 2,1% hingga 2,5% pada 2012, maka konsensusnya adalah kebijakan fiskal tidak akan mendorong Inggris kembali ke masa resesi. Berdasarkan prediksi Dana Moneter Internasional, rasio utang Inggris tertinggi pada level 87,4% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2013. Butuh Pendapatan

Dalam model tidak mau peduli, perdebatan politik terkait defisit anggaran lebih mengenai simbol dibanding realitas. Partai-partai politik utama tidak menganggap serius pentingnya sumber pendapatan baru. Pada akhir tahun 2010, bukannya memotong belanja negara atau menaikkan pajak, para politisi itu dengan cerobohnya menyepakati memperpanjang pemangkasan pajak. Tidak ada pihak yang peduli dengan pembiayaan layanan kesehatan, pos pengeluaran terbesar di masa depan.

Model ini terjadi di Amerika Serikat. Dana Moneter Internasional tidak tampak kritis terhadap Amerika Serikat. Menurut Fiscal Monitor yang dipublikasikan lembaga keuangan internasional itu disebutkan rasio utang Amerika Serikat akan naik menjadi 111% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2016.

Masalahnya bukan berarti lintasan fiskal ini akan mempercepat krisis, tetapi investor di dunia akan terus memberi Amerika Serikat tali untuk gantung diri. Suku bunga yang akan terus rendah untuk waktu yang lama karena tidak ada mata uang lain yang cukup atraktif sebagai cadangan devisa selain dolar Amerika Serikat. Bank-bank sentral asing dan investor cenderung memilih US Treasury.

Amerika Serikat harus mengambil peluang ini untuk memulai konsolidasi fiskal secara bertahap, bukan pemangkasan belanja negara yang dapat menyebabkan kontraksi ekonomi dan menaikkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto.

Amerika Serikat bisa menempuh langkah pencegahan dan sedikit penyesuaian fiskal. Atau Amerika Serikat menunggu terjadi skenario mimpi buruk, ketika pasar akhirnya menghindar. Saat ini, politisi hanya menunggu. (*) Article originally published as : A Cautionary Tale of Three Fiscal Crises

Thursday, 15 09 2011 More in Opinion

Prospek Pemulihan Ekonomi Global Yang Panjang

BY SIMON JOHNSON & BLOOMBERG NEWS

EmailShare

Page 19: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

19

Hingga kini, naratif standar yang diaplikasikan sebagian besar analis terhadap makroekonomi adalah sebagai berikut: kita mengalami krisis keuangan besar selepas 2008, yang langsung menyebabkan resesi parah dan akan diikuti oleh pemulihan yang cepat.

Seluruh negara yang mengalami krisis pada akhirnya akan pulih, meskipun kecepatan pemulihannya bervariasi dan akan banyak dibahas mengenai negara mana yang akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan lama dibanding yang lain.

Yang terjadi sekarang adalah air pasang mengangkat semua kapal. Gambaran yang jelas diutarakan Warren Buffet. “Kita tidak tahu siapa yang berenang telanjang hingga air pasangnya surut.” Pertanyaannya adalah: apakah air pasang masih akan terjadi atau akan surut? Atau apakah badai besar akan menghancurkan pantai secara permanen?

Untuk memastikan ke mana arah ekonomi global, mulailah pertimbangkan tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Jerman dan China. Ketiganya memiliki kesamaan isu penting, yaitu utang. Setiap negara menghadapi krisis utang yang berbeda, namun inti masalahnya sama saja. Bagaimana cara mengurangi pertumbuhan yang ditopang utang besar, sementara tetap menjaga pertumbuhan.

Di Amerika Serikat, rumah tangga adalah pusat krisis karena konsumsi domestik menyumbang 70% produk domestik bruto. Banyak masyarakat yang menguras tabungan dan banyak berutang pada periode sebelum 2008. Mereka didorong oleh kemudahan kredit di sektor keuangan. Apakah harga rumah akan naik secara konsisten lagi di masa depan, belum lagi kebutuhan untuk membiaya pensiunan?

Dalam setiap kasus, kenaikan simpanan rumah tangga sangat diharapkan. Pemikiran serupa juga berlaku bagi sektor usaha kecil. Kekeringan kredit pada Oktober 2008 membuat semua orang lebih waspada. Pengusaha banyak yang enggan berekspansi dan merekrut pegawai, dan stimulus fiskal sulit sekali mengubah keadaan.

Jika konsumen dan pengusaha memperhatikan angka makro, mereka mungkin akan lebih pesimistis. Ekspansi sebesar 1% per tahun dari produk domestik bruto, angka terbaru pada kuartal II 2011, adalah angka yang dibutuhkan untuk menjaga laju pertumbuhan terhadap pertumbuhan populasi. Biro Sensus mengestimasi pertumbuhan populasi antara 0,85% hingga 1% selama satu dekade lalu.

Jika kita membandingkan produk domestik bruto per kapita nominal pada kuartal II 2006 dengan angka kuartal II 2011, Amerika Serikat seharusnya tumbuh 8%. Namun inflasi selama periode yang sama lebih tinggi. Dengan kata lain, Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu, menyokong 25% output global, sudah kehilangan momentum separuh dekade.

Amerika Serikat bisa mulai keluar dari depresi. Amerika Serikat masih merupakan tempat tumbuhnya inovasi dan perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan keuntungan. Pasar keuangan mempunyai prospek kuat dan bisnis berbasis teknologi baru selalu menarik talenta unggul dari seluruh dunia.

Meskipun demikian, politisi tidak banyak membantu karena hanya melontarkan retorika dan konfrontasi sehingga menekan kepercayaan konsumen, serta tidak berbuat apapun untuk mencegah pemutusan hubungan kerja di negara bagian dan pemerintah lokal.

Pemutusan hubungan kerja tidak masuk akal. Amerika Serikat adalah negara dengan risiko kredit yang paling kecil dan disepakati secara luas bahwa memperkuat pendidikan adalah jalur menuju pertumbuhan produktif jangka panjang. Namun banyak guru yang diberhentikan di penjuru negara.

Krisis Perbankan

Yang lebih buruk lagi, tidak ada kabar baik dari sistem perbankan Amerika Serikat. Pemerintahan Presiden Barack Obama memutuskan membiarkan bank-bank besar melakukan rekapitalisasi begitu ekonomi pulih. Pemerintah juga mengizinkan perbankan menaikkan dividen dan pembayaran bonus. Karena pemulihan terhenti, strategi ini sepertinya tidak berjalan, karena level modal perbankan kini terlalu rendah untuk meredam goncangan baru.

Untuk melengkapi kondisi buruk ini adalah bencana ekonomi di Eropa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Utang yang berlebih ikut dipicu oleh pemerintah karena mendorong sektor keuangan melihat obligasi yang diterbitkan negara sebagai aset yang bebas risiko. Model pertumbuhan yang ditopang utang besar harus ditinggalkan, dan sulit sekali melakukannya dengan mudah.

Jerman adalah kreditor utama bagi zona euro, dan pemikiran perbankan Jerman seperti tersebut di atas. Gagasan utamanya kini adalah merestrukturisasi utang Yunani untuk memastikan dampaknya tidak menular ke negara-negara zona euro yang lain. Hal ini terbukti sulit, buktinya terus naiknya tekanan agar Italia menaikkan suku bunga.

Pada akhirnya, European Central Bank mungkin akan banyak memegang utang Italia, Spanyol dan negara lain. Namun proses pembelian obligasi yang tidak berkesinambungan kemungkinan akan menyebabkan kredit semakin sulit bagi negara-negara zona euro “pinggiran”, disebut demikian karena jumlah anggota zona euro masih ada peluang bertambah.

Mungkin euro akan melemah cukup signifikan agar membantu menyelamatkan Italia dan negara bermasalah lain. Namun dampaknya bisa hanya sementara, seperti di politik Amerika Serikat yang akan menekan aliran masuk modal besar dan bank-

Page 20: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

20

bank sentral di seluruh dunia didorong melakukan diversifikasi selain dolar Amerika Serikat. Poundsterling Inggris sepertinya akan melemah, yen Jepang tetap volatil dan franc Swiss kini dipeg terhadap euro.

Faktor China

Kemudian ada China, yang sekian lama dikenal karena perusahaan milik pemerintahnya banyak melakukan pinjaman dan spin-off, namun kini dengan cepat beralih ke kredit konsumer. Hal ini ditopang oleh rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi untuk membeli properti dengan harapan kenaikan harga aset di masa depan.

Pangsa output global China masih relatif kecil, sekitar 12%, bahkan dengan daya beli yang kuat. Namun, China menyumbang lebih dari seperempat pertumbuhan global, dan sangat menentukan dalam pembentukan harga komoditas dan tujuan ekspor bagi sebagian besar negara berkembang.

Dapatkan China lebih baik dalam mengelola aliran kredit ke perekonomiannya, yang merupakan perpaduan sektor swasta dan pemerintah dibanding Amerika Serikat dengan ekonomi berbasis sektor swasta? Ataukah China lebih baik dibanding zona euro yang berbasis pemerintah?

Mungkin tidak. Penyaluran kredit yang kurang hati-hati, karena jaminan implisit pemerintah, semakin meningkat di seluruh dunia dalam 40 tahun belakangan. China sudah mampu mengambil pelajaran dari ekonom atau institusi yang dianggap sebagai pakar pada 1990-an dan awal 2000-an, namun secara sistematik China keliru menghitung risiko.

Perkembangan ekonomi sering dideskripsikan sebagai mengejar ketertinggalan. Namun prospek pertumbuhan global dalam jangka pendek bergantung pada apakah China dapat menghindarkan diri mengikuti jejak Amerika Serikat dan Eropa.

Pertumbuhan yang didasarkan pada utang dalam jumlah besar terbukti tidak kokoh, tetapi kita belum bergerak ke model yang lain. Untuk saat ini, transisi menjauh dari level utang sektor publik dan swasta akan terus berlanjut dalam jangka waktu lama. Hal ini pasti akan terasa menyakitkan.

Artikel asli berjudul: Brace for a Long Recovery From Global Credit Glut

Simon Johnson Bloomberg News

Tuesday, 13 09 2011 More in Opinion

Pertukaran Utang Untuk Redakan Krisis Eropa

BY LUIGI ZINGALES

Respons politik terhadap krisis Eropa sejauh ini hanya penyangkalan dan langkah perbaikan sementara. Penentu kebijakan menghadapi lebih dari sekadar kekeringan likuiditas, mereka juga perlu mengatasi krisis solvabilitas, yang kemungkinan menjadi krisis struktural. Salah satu isu yang paling genting adalah menyelesaikan masalah utang yang terlalu besar di negara-negara Eropa bagian selatan.

Teori ekonomi menyatakan bahwa dalam situasi dengan utang yang terlalu besar, ada titik ekuilibrium lebih dari satu. Jika semua pihak berharap negara pengutang bisa melunasi utangnya, pasar akan melakukan refinancing dan memastikan tidak terjadi default. Sebaliknya, jika peminjam diperkirakan akan mengalami default, maka akan terjadi. Volatilitas yang sangat besar ini karena mustahil mengetahui hasil mana yang akan terjadi.

Bagaimana ketidakpastian ini bisa dihilangkan?

Keuangan korporasi bisa memberi jawaban. Ketika perusahaan terlalu banyak utang, mereka merespons dengan debt-for-equity swap atau dengan penawaran pertukaran utang yang mengurangi face value obligasi. Meskipun reorganisasi sulit dinegosiasikan, cara ini bisa menjadi pilihan yang lebih baik bagi kreditor maupun debitor.

Bahkan estimasi yang paling konservatif menunjukkan biaya tekanan keuangan semacam itu nilainya 15% dari nilai perusahaan. Jika kita ingin mengaplikasikan angka yang sama terhadap negara, hasilnya akan lebih dari cukup untuk memuaskan pemegang dan penerbit obligasi.

Mengubah utang menjadi ekuitas lebih mudah bagi perusahaan dibanding negara. Meskipun dimungkinkan mengkonversi sebagian utang pemerintah menjadi klaim yang akan dipakai membayar kreditor berdasarkan pertumbuhan suatu negara, kesepakatan semacam itu tidak bisa dilakukan secara sukarela. Sebaliknya, tawaran pertukaran utang bisa disepakati dengan persetujuan bersama, jika mereka menawarkan sekuritas dengan tingkat yang lebih tinggi.

Untuk menggambarkan bagaimana cara ini bisa dilakukan, saya akan mengambil contoh proposal dari Institute Bruegel terhadap obligasi euro tingkat kedua. Bruegel mendukung penciptaan “obligasi biru” senior yang jumlahnya tidak lebih dari 60% produk domestik bruto negara pengutang. “Obligasi biru” ini akan dijamin bersama-sama oleh negara-negara Eropa, ditambah “obligasi merah” junior yang dijamin oleh negara penerbit.

Diaplikasikan terhadap utang negara, paket obligasi merah dan biru yang menurunkan face value tetapi dengan senioritas lebih tinggi dibanding obligasi yang ada, dapat mencapai dua tujuan dalam mengurangi jumlah utang, sementara kreditor juga diuntungkan.

Page 21: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

21

Obligasi Italia

Contohnya obligasi Italia yang jatuh temponya dalam enam tahun ke depan dan pembayaran kupon 3,5%. Dengan spread terhadap obligasi Jerman 340 basis point, obligasi ini diperdagangkan 90,50 sen. Implikasinya kemungkinan tahunan terjadi default sebesar 8,2% dan asumsi tingkat pemulihan jika terjadi default sebesar 60%. Harga ini artifisial. Jika Bank sentral Eropa tidak mendukung pasar ini, spread-nya akan dengan mudah mencapai 500 basis point, dan harga akan turun menjadi 83,30 sen.

Anggap face value-nya 100 euro, pemegang obligasi Italia ditawari paket obligasi buro bernilai 50 euro dengan kupon 4,5%, ditambah 35 euro obligasi merah dengan kupon 3,5%. Karena obligasi biru sangat likuid dan aman, obligasi ini akan diperdagangkan dengan yield setara atau lebih sedikit di bawah obligasi Jerman. Dengan kupon 4,5%, obligasi ini akan diperdagangkan di atas par untuk valuasi 57 euro.

Lebih sulit mengestimasi nilai transaksi obligasi merah, karena obligasi ini junior (dibayarkan paling terakhir), dan tingkat pemulihannya jika terjadi default mungkin sangat rendah. Jika semua utang mempunyai prioritas sama, maka masuk akal tingkat pemulihannya sebesar 60%. Sebanyak 50% dari utang itu akan menjadi senior, jika terjadi default maka akan ada 10 euro yang tersisa untuk melunasi utang senilai 35 euro.

Untuk memastikan pemilik obligasi bersedia menukar, kita perlu membandingkan nilai penawaran dengan nilai klaim yang dipegang pemilik obligasi. Dalam kasus ini, aset yang dipegang kreditor adalah obligasi merah, junior dibanding obligasi biru dengan kupon 3,5%.

Solusi ini tidak diperuntukkan bagi penyelamatan bank-bank yang memegang utang konversi. Dalam artikel sebelumnya, Roberto Perroti dan saya menyatakan sebagian besar solusi ini harus didahului oleh rekapitalisasi dan penawaran proposal.

Artikel asli berjudul: How a Debt Exchange Could Ease Europe’s Crisis

Luigi Zingales Bloomberg News

Tuesday, 19 07 2011 More in Opinion

Tiga Tipe Penularan yang Mencengkeram Eropa

BY SIMON JOHNSON BLOOMBERG NEWS

Ada tiga jenis penularan dalam krisis keuangan, ketika potensi keruntuhan sebuah perusahaan, bank atau negara semakin sulit dikendalikan. Uni Eropa sekarang ini sudah mengalami tiga jenis penularan tersebut.

Jenis pertama adalah murni psikologis, yaitu kepanikan perilaku sekumpulan orang. Jenis kedua berasal dari pemikiran melalui dampak riil bahwa kehancuran dapat berpotensi mempengaruhi banyak orang. Jenis ketiga dan yang paling menakutkan adalah ketika investor-investor pandai menyadari bahwa asumsi mereka berdasarkan pernyataan penentu kebijakan semua salah dan perlu dibuang.

Karakteristik umum fase kepanikan adalah penurunan terbawah dari proyeksi ekonomi, ditambah dengan persepsi kemampuan perusahaan atau negara membayar utang mereka. Dampak yang lumrah terjadi dari ini adalah estimasi kerugian meningkat ke level yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Beberapa analis kini menyatakan bahwa Yunani mungkin harus melakukan haircut – atau kerugian – sebanyak 80% terhadap kreditor. Angkat haircut ini lain secara dramatis dari pandangan pasar belum lama ini yang menilai 40% haircut diperlukan dalam sebuah restrukturisasi utang Yunani.

Emosi kini mengambil alih dan jurang yang dihadapi tampak tak berdasar, sama seperti yang terjadi di Rusia pada 1998 dan di Argentina pada 2002. Negara, berbeda dengan perusahaan, tidak bisa bangkrut. Namun dalam kondisi panik, psikologis masyarakat cenderung melupakan hal itu.

Biasanya, di jenis penularan kedua, pengaruh krisis ke negara tetangga dan di kawasan disebabkan perdagangan. Pada awal 1930-an, contohnya, negara-negara besar mengadopsi kebijakan fiskal yang mengurangi permintaan mereka terhadap ekspor negara lain dan mendorong mereka menuju resesi.

Beberapa penularan dampak krisis juga terjadi selama krisis keuengan pada akhir 2008, ketika permintaan menyusut di Amerika Serikat dan Eropa kemudian melebar hingga ke Asia. Untungnya, sebagian besar negara Asia sudah cukup bersiap-siap. Pemerintahan di Asia tidak banyak berutang dan tidak perlu melakukan pengetatan fiskal untuk memenuhi kewajiban utang mereka.

Berperan Kecil

Sementara itu, Yunani, Irlandia dan Portugal memainkan peran kecil dalam perdagangan di kawasan zona euro, sebuah integrasi sistem keuangan dan perbankan. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada krisis Asia selama 1997-1998. Ketika bank-bank internasional mengalami atau berpotensi rugi di Thailand setelah nilai tukar baht didevaluasi, bank-bank menjadi berhati-hati memberi pinjaman ke Malaysia dan Indonesia.

Page 22: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

22

Akses kredit yang terbatas ini mendorong kenaikan suku bunga dan menahan surat berharga di pasar, sebuah sumber pembiayaan bagi korporasi-korporasi di Indonesia. Perlu dicatat bahwa keterkaitan keuangan lebih ekstensif di internal Uni Eropa sekarang dibanding di Asia selama 1997-1998,

Tipe penularan krisis yang ketiga adalah yang paling menakutkan. Ketika investor mulai menyakini bahwa sekelompok orang penting sudah berubah pikiran mengenai penyediaan dukungan terhadap perusahaan atau negara. Banyak aset yang harus dihitung ulang harganya.

Penjelasan Masuk Akal

Ini adalah penjelasan yang paling masuk akal mengenai apa yang terjadi setelah runtuhnya Lehman Brothers Holdings Inc dan nyaris bangkrutnya American International Group Inc pada September 2008. Ketika bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve memberi pinjaman kepada AIG sebagai prioritas dibanding kreditor lain, nilai utang AIG turun 40%.

Implikasinya jelas. Morgan Stanley, Merrill Lynch dan Goldman Sachs dapat mengikuti cara Lehman atau AIG. Hal yang sama berlaku di pasar uang reksa dana. Ketika itu adalah waktunya untuk keluar.

Jerman sekarang ingin mengakhiri moral hazard memberi pijaman kepada pemerintah dan bank di zona euro yang lemah, sehingga mendorong keyakinan bahwa semakin kaya dan baik negara akan memberi dukungan yang diperlukan untuk mencegah kerugian kreditor.

Masalahnya adalah, jika kita berpikir bahwa persoalannya lebih dalam, dan negara dengan kebijakan fiskal independen tidak bisa hidup berdampingan dengan mata uang tunggal, kemudian Jerman dan negara dengan kebijakan fiskal konservatif harus memberi bailout kepada negara tetangganya yang lebih lemah kembali.

Membujuk Uni Eropa

Ini bukan soal kecenderungan kebijakan Dana Moneter Internasional, Amerika Serikat atau Kelompok 20. Ini soal apa yang Jerman ingin lakukan dan apakah Jerman bisa membujuk mitra-mitranya di Uni Eropa untuk bertindak bersama. Bisa saja Jerman mengatakan: jika tidak suka usulan kami, kalian bisa melakukan yang lain, tetapi bayar sendiri.

Di sisi lain, hasilnya adalah kenaikan risiko default utang dan kerugian bagi kreditor. Kita akan melihat konsekuensinya ketika suku bunga di negara-negara bermasalah naik dan likuiditas pasar obligasi pemerintah semakin kering.

Keluar dari moral hazard adalah gagasan baik. Namun tidak ada rencana transisi, hanya serangkaian improvisasi, reaksi dan renegosiasi yang terus menerus. Belum ada yang mendekati kemauan politik untuk benar-benar mengakhiri krisis dengan solusi komprehensif yang menegaskan siapa yang akan melakukan restrukturisasi dan siapa yang akan mendapat bailout tanpa batas. penularan krisis akan menyebar, hingga negara-negara utama di zona euro pada suatu titik akan menentukan siapa yang perlu diselamatkan dan dengan syarat apa.

Artikel asli berjudul: Contagion in Three Forms Now Has Grip on Europe

Thursday, 17 02 2011 More in Opinion

Dari BRIC ke Kelompok 7%

BY TRI SUBHKI RAKHMATULLAH

Siapa yang tidak tahu apa itu BRIC? Saya menyadari arti penting Brasil, Rusia, India, dan China sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan pesat, mungkin juga sebagai kelompok negara panutan.

Namun, sejak Goldman Sachs Group Inc menyingkat keempat nama negara itu menjadi BRIC, nampaknya kita menjadi terpaku dan kurang melihat konstelasi yang lebih luas terhadap negara-negara lain yang menjanjikan.

Bahkan Jim O’Neill, yang mempopulerkan istilah BRIC, mengatakan investor seharusnya memiliki pandangan yang lebih luas terkait pertumbuhan negara-negara, karena investasi di Brasil, Rusia, India, dan China hanya berputar-putar.

Sudah saatnya beralih dari gembar-gembor BRIC dan memusatkan perhatian kepada acuan yang lebih berguna, yaitu “Kelompok 7%”.

Konsep ini muncul berkat Standard Chartered Plc yang menerbitkan daftar negara-negara yang mampu mencapai tingkat pertumbuhan konsisten dalam periode panjang. Tentu negara-negara yang termasuk di dalamnya China dan India.

Yang lebih penting, tujuan dari pengelompokan berdasarkan tingkat pertumbuhan 7% ini memberi kekuatan untuk mendorong pertumbuhan yang dinamis di Asia, kawasan dengan pertumbuhan paling pesat di dunia.

Pengelompokan ini dapat menjadi insentif bagi negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Mongolia, dan Vietnam untuk dapat masuk menjadi anggota. Kelompok 7% juga bisa mengingatkan investor supaya tidak hanya fokus ke negara-negara terbesar, karena negara-negara itu belum tentu tujuan investasi yang terbaik.

Page 23: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

23

Bayangkan sejenak sebuah utopia di mana secara teori semua negara, tanpa melihat populasi dan sumber daya alamnya, dapat bergabung dalam Kelompok 7% ini. John Calverley, kepala riset makroekonomi Standard Chartered, menciptakan kriteria yang sederhana. Anggota kelompok bisa keluar masuk bergantung pada performa makroekonominya.

Faktor Pertumbuhan

Semua hal pasti ada tantangannya. Salah satunya adalah produk domestik bruto. Di Asia, masih banyak masalah di balik angka-angka pertumbuhan yang tinggi. Para pemimpin negara berusaha menutup-nutupi tantangan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.

Data yang berbunga-bunga mengalihkan perhatian investor terhadap celah-celah yang mengganggu pertumbuhan sehingga memberi politisi ruang untuk tampil di hadapan publik dan mengatakan negara tengah tumbuh pesat.

Yang menjadi masalah adalah pertumbuhan seharusnya dapat dirasakan oleh mereka yang membutuhkan. Jadi, yang terpenting bukan hanya pertumbuhan yang cepat, tetapi kualitas dari pertumbuhan itu sendiri. Dengan fokus pada pertumbuhan semata tanpa mendistribusikan keuntungannya, maka pemerintah berisiko mengalami kekisruhan yang terjadi di Mesir.

Masalah lainnya adalah lingkungan hidup. Jika Pangeran Charles dari Inggris membaca argumentasi ini, dia mungkin saja tergoda untuk minum teh di pagi hari di depan layar monitor komputer. Dalam laporan di harian Times, Pangeran Charles menganalogikan pemisahan antara pertumbuhan ekonomi dari konsumsi yang tinggi sama halnya dengan memisahkan lingkungan dengan kepentingan ekonomi.

Tumbuh Lebih Cepat

Negara-negara dengan pendapatan besar cenderung lebih baik dalam menjaga pertumbuhan dibanding negara-negara yang lebih miskin. Ada kecenderungan bahwa negara-negara berkembang lebih antusias mendorong pertumbuhan dibanding mengurangi emisi karbon. Jadi, masalah ini tumbuh lebih cepat.

Argumentasinya sederhana. Negara-negara dengan pertumbuhan 7% per tahun berkembang dua kali lipat setiap 10 tahun dan lebih dari empat kali lipat dalam satu generasi.

Setelah mengalami pertumbuhan pesat selama tiga decade, sebuah negara bisa menjadi lebih besar dua kali lipat dibanding negara dengan pertumbuhan 5%. Calverley mengambil contoh pengalaman China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand selama separo abad.

Investor tengah mempelajari untuk membedakan antara negara-negara Asia yang tumbuh ke arah yang benar dibanding negara yang jalan di tempat. Indonesia dan Filipina adalah contoh yang bagus. Investasi jangka panjang masuk ke Indonesia ketika pemerintah mencoba memperbaiki infrastruktur, memberantas korupsi, dan mempersempit kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Pasar kurang antusias di Filipina. Masih ada ketakutan di Manila karena pemerintah dituntut melakukan reformasi terhadap sistem ekonomi yang telah diacuhkan selama puluhan tahun. Ditambah lagi ekspor utama Filipina adalah orang-orangnya. Remitansi menopang lebih dari 10% dari perekonomian Filipina. Itu bukan sinyal yang bagus.

Meskipun demikian, Filipina sebenarnya tumbuh lebih cepat dibanding Indonesia, yaitu 7,1% year-on-year dan Indonesia 6,9% year-on-year. Namun Indonesia yang mendapat perhatian lebih besar. Alasannya adalah Indonesia dinilai menawarkan potensi lebih besar dibanding Filipina.

Kembali ke istilah BRIC yang dipopulerkan Goldman. Produk domestik bruto Rusia lebih besar dua kali lipat dibanding Indonesia. Namun Rusia juga dinilai tidak memberikan kesempatan bisnis yang lebih menjanjikan. Rusia bangga sebagai anggota BRIC, Indonesia masih menunggu.

Sejumlah kalangan juga memiliki argumentasi serupa mengenai Brasil. Meskipun negara di Amerika Latin itu tumbuh sangat pesat selama satu dekade lalu, apakah perubahan struktur dibutuhkan untuk membawa Brasil ke tingkat selanjutnya? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Semua ini membuat kita mengutak-atik istilah BRIC. Ada yang menambahkan “I” untuk Indonesia sehingga menjadi BRIIC, atau ditambah “K” untuk Korea Selatan sehingga menjadi BRICK. Ada juga yang menambahkan “T” untuk Turki menjadi BRICT. Singkatan-singkatan itu tetap saja tidak bisa dijadikan acuan ke mana harus menanamkan modal dan di sektor apa.

Sudah saatnya kita berpikir lebih luas. Mari kita kesampingkan pengelompokan berdasarkan alfabet yang dapat mengalihkan perhatian kita terhadap gambaran yang lebih besar mengenai negara-negara berkembang. Kelompok 7% bisa menjadi awalan yang bagus.

William Pesek Jr Bloomberg News

Page 24: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

24

IFT, 13 12 2011 More in Macro

Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan Diprediksi 6,5%-6,7%

BY NURUL FITRIANI

JAKARTA (IFT) – Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2012 akan berada di kisaran 6,5%-6,7%. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan asumsi pertumbuhan sebesar 6,7% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012.

Pemerintah membuat kisaran target pertumbuhan setelah mencermati perkembangan ekonomi global yang diperkirakan akan menurun. Agus Martowardojo, Menteri Keuangan, mengatakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7% masih dapat tercapai jika pemerintah dapat mengatasi sejumlah persoalan, seperti menyelesaikan Undang-Undang Pembebasan Lahan sehingga dapat mempercepat pembangunan infrastruktur.

Pertumbuhan ekonomi tahun depan masih akan ditopang permintaan domestik yang tinggi. Sementara peran fiskal terhadap ekonomi hanya sekitar 12 % dari total komponen Produk Domestik Bruto. "Saya mengharapkan ekonomi domestik, investasi, dan ekspor harus diperhatikan agar pertumbuhan ekonomi kita seperti yang direncanakan,” kata Agus.

Prediksi pemerintah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan perkiraan Bank Indonesia yang mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 6,3%-6,7%. Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, dalam bankers dinner, menyatakan penurunan BI Rate sejak Oktober 2011 akan mampu menghidupkan sumber-sumber pembiayaan domestik, terutama yang berasal dari sektor perbankan. Pertumbuhan ekonomi 6,3%-6,7% memerlukan pembiayaan,termasuk credit channeling minimal Rp 598 triliun atau setara dengan laju pertumbuhan kredit 26,9% (year-on-year).

Investasi diperkirakan masih akan tumbuh 9,7%-10,1% pada 2012, lebih tinggi dibanding tahun ini yang naik 7,7%. Sementara konsumsi rumah tangga akan tumbuh 4,7%-5,1%. Peran fiskal diperkirakan masih terbatas karena target defisit yang cenderung konservatif yakni 1,5% dari Produk Domestik Bruto serta masih besarnya beban alokasi anggaran untuk subsidi.

Wakil Presiden Boediono mengatakan saat ini fundamental ekonomi Indonesia cukup baik dan pemerintah siap dengan berbagai instrumen jika terjadi sesuatu. Boediono optimistis kinerja perekonomian Indonesia pada 2012 tetap baik. Kondisi perekonomian di tingkat global saat ini masih diliputi badai besar sehingga semua pihak harus waspada. "Kita siap menghadapi krisis, tetapi jangan mengulang pengalaman Eropa di mana ada disconnect ekonomi dan politik,” kata dia.

Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, mengatakan perubahan range target pertumbuhan versi pemerintah merupakan hal yang wajar. Kondisi Eropa saat ini sudah hampir mendekati resesi sehingga berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi negara lain. Pertumbuhan ekonomi China juga mengalami perlambatan. Ekonomi China diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 8,5%-9%."Kalau China tumbuh 9% kita masih bisa mencapai pertumbuhan 6,7%. Namun, kalau China tumbuh di bawah itu maka kita akan mengalami pertumbuhan lebih rendah,” kata Lana.

Pertumbuhan ekonomi tahun depan masih akan ditopang konsumsi domestik. Ekspor masih akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan, tetapi tidak akan sebesar tahun ini. Ekspor tahun depan diperkirakan hanya akan tumbuh 5% dan impor juga akan meningkat.

Lana mengingatkan Indonesia berhati-hati terhadap potensi membanjirnya barang impor jika ekonomi China dan India melemah. Saat ini pemerintah disarankan mempercepat belanja negara. "Kalau ada proyek yang sudah dilelang di awal tahun dikerjakan saja. Kalau pemerintah tidak ada dananya dapat pinjam dari sisa anggaran lebih,” katanya. (*)

Page 25: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

25

http://www.kabarbisnis.com/read/2823001

Prospek pertumbuhan ekonomi Eropa suram

Online: Jum'at, 16 September 2011 | 05:05 wib ET

BRUSSELS, kabarbisnis.com: Akibat krisis utang di zona euro, kawasan Uni Eropa akan terimbas secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi di 27 negara anggota Uni Eropa diprediksi melambat.

Masalah fiskal yang bermula dari Yunani kini merembet ke negara-negara zona euro lainnya, seperti Italia dan Spanyol, setelah sebelumnya Portugal dan Irlandia. Hal itu akan memengaruhi kawasan yang lebih luas lagi, yaitu Uni Eropa (UE). Zona euro adalah 17 negara yang menggunakan matauang euro. Ke-17 negara itu juga menjadi anggota UE yang totalnya sebanyak 27 negara.

Komisi UE memprediksi, perekonomian zona euro pada 2011 hanya akan tumbuh 1,6% pada 2011. "Prospek ekonomi Eropa (UE) memburuk. Perekonomian diperkirakan nyaris stagnan pada akhir tahun ini," kata Kepala Komisi Ekonomi UE Olli Rehn, saat mengungkap proyeksi ekonomi di tataran internal komisi di Brussels, Belgia, Kamis (15/9/2011), seperti dikutip dari Reuters.

Untungnya, dari prediksi yang ada, belum menjurus ke resesi.

Adapun perekonomian di zona euro diproyeksikan cuma bisa tumbuh 0,2% dan 0,1% oada kuartal ketiga dan keempat 2011, turun dibandingkan perkiraan semula sebesar 0,2% dan 0,3%.

Perekonomian di dua raksasa ekonomi di zona euro, Jerman dan Prancis, pada 2011 diperkirakan tumbuh 2,9% dan 1,6%. Di luar zona euro, pertumbuhan ekonomi negara raksasa Inggris diramal cuma mencapai 1,1%, turun dari prediksi awal sebesar 1,7%.

"Proses pemulihan berjalan lamban. Krisis utang telah memburuk dan gejolak pasar keuangan benar-benar memengaruhi ekonomi riil," ujar Rehn.

http://www.kabarbisnis.com/read/2822972

Krisis makin parah, Eropa dalam bahaya

Online: Kamis, 15 September 2011 | 09:42 wib ET

STRASBOURG, kabarbisnis.com: Krisis utang di zona euro semakin membahayakan. Krisis utang yang berasal dari Yunani kini merembet, tak hanya ke negara-negara pengguna mata uang euro saja, namun juga merembet ke Uni Eropa (UE) secara umum.Â

Pemimpin dari 27 negara anggota UE mengirim sinyal bahaya atas krisis utang zona euro tersebut. Krisis itu bisa menjalar ke benua Eropa secara umum.

Menteri Keuangan Polandia Jacek Rostowski mengatakan, krisis utang di zona euro bisa mengganggu stabilitas perekonomian di kawasan UE. "Eropa dalam kondisi bahaya," kata Rostowski, kepada parlemen UE di Strasbourg, Prancis, Rabu (14/9/2011), seperti dikutip dari AFP. "Jika zona euro terpecah, Uni Eropa tidak akan dapat bertahan, dengan segala konsekuensi yang ada," imbuhnya.Â

Rostowski menambahkan, jika krisis ini tak tertanggulangi dalam satu atau dua tahun, negara-negara UE harus siap menghadapi peningkatan masalah penganggura.

Kepala Komisi UE Jose Manuel Barroso mengatakan, Eropa kini menghadapi krisis terbesar sepanjang sejarahnya. "Ini merupakan sebuah pertarungan demi masa depan Eropa dan untuk integrasi Eropa secara keseluruhan," tegasnya.Â

Barroso kembali mendesak pemerintah di zona euro untuk segera meratifikasi (mengesahkan) dana talangan (bailout) tahap kedua bagi Yunani senilai 160 miliar euro yang disepakati pada Juli lalu.

http://www.kabarbisnis.com/read/2824957

Duh, Eropa gagal capai kesepakatan baru

Online: Jum'at, 09 Desember 2011 | 16:14 wib ET

BRUSSELS, kabarbisnis.com: Uni Eropa (UE) benar-benar gagal menemukan kata sepakat pada pertemuan tinggi pada hari ini. Ke-27 negara anggota UE gagal bermufakat untuk mengubah traktat Uni Eropa. Artinya, traktat anyar itu hanya akan diikuti oleh 17 negara zona euro (pengguna mata uang tunggal Euro) dan beberapa tambahan dari negara lain yang menyatakan berminat. Uni Eropa menyatakan akan menyelesaikan krisis dengan pakta terpisah.

Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy, mengumumkan, di antara negara yang ogah menerima traktat baru adalah Hongaria. Adapun Republik Ceko dan Swedia harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan parlemen negara tersebut.

Sarkozy membantah spekulasi perpecahan UE karena traktat baru tersebut.

Page 26: Kliping Krisis Ekonomi Global (2011!12!13)

26

Sementara itu, Perdana Menteri Inggris David Cameron tampak paling keras menolak usul Jerman dan Perancis. Inggris menyatakan akan menolak kebijakan yang merugikan mereka, meski kebijakan tersebut diperlukan untuk menyelesaikan krisis Eropa. "Kami tidak bisa menerima traktat baru tanpa jaminan keamanan," kata Cameron. Inggris akan memveto kebijakan Uni Eropa yang merugikan mereka.

"Apa yang ditawarkan bukanlah untuk kepentingan Inggris,'' kritik Cameron.

Meski tidak ada kesepakatann terkait traktat baru, para pemimpin Uni Eropa dilaporkan menyetujui batasan bantuan dana Eropa sebesar 500 miliar euro. Gagalnya kesepakatan UE ini akan memberi sentimen negatif ke pasar keuangan dunia. Investor akan semakin was-was dengan prospek keonomi Eropa.

http://www.kabarbisnis.com/read/2824950

Jerman: Eropa telah kehilangan kredibilitas

Online: Jum'at, 09 Desember 2011 | 13:06 wib ET

BRUSSELS, kabarbisnis.com: Pertemuan Uni Eropa (UE) yang diharapkan bisa menghasilkan keputusan besar untuk menyelamatkan Eropa ternyata nol besar. Perbedaan pendapat antarpemimpin UE membuat pembahasan malah deadlock.

Nasib euro sebagai mata uang tunggal Eropa juga belum jelas. Kanselir Jerman Angela Merkel pun seolah sudah menyerah. Kepala pemerintahan Jerman itu menilai Eropa telah kehilangan kredibilitas.

Sebelum KTT berlangsung Kamis kemarin, Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy beserta Merkel menggelar pembicaraan tertutup selama 45 menit. Namun sumber BBC mengatakan, tak ada kesepakatan a pun dalam pembicaraan singkat tersebut.

PM Inggris David Cameron ngotot untuk memperjuangkan kepentingan Inggris sendiri. London akan menolak keras kebijakan Eropa yang merugikan industri di Inggrisn meski kebijakan tersebut diperlukan Eropa.

Bahkan, Presiden Sarkozy seperti dikutip dari BBC memperingatkan kemungkinan perpecahan di Eropa.

Adapun rancangan kesimpulan pertemuan para pemimpin Eropa yang didapatkan BBC, antara lain, berisi tentang penambahan bantuan dana di atas 500 miliar euro bagi kawasan Eropa. Namun, rencana itu ditolak Jerman.

http://www.kabarbisnis.com/read/2824937

Bunga acuan ECB kini terendah dalam sejarah

Online: Kamis, 08 Desember 2011 | 23:35 wib ET

FRANKFURT, kabarbisnis.com: Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) membuat keputusan penting. Bank Sentral Eropa memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 1% pada Kamis (8/12/2011). Ini tercatat sebagai bunga acuan terendah sepanjang sejarah Eropa.

Dikutip dari Bloomberg, ECB mengumumkan hal itu saat pemimpin Uni Eropa bertemu di Brussels, Belgia, untuk mencari solusi masalah keuangan kawasan euro. Oleh para pelaku pasar, keputusan berani Presiden ECB Mario Draghi itu digambarkan sebagai "lakukan sekarang atau Eropa segera mati".

Pemangkasan bunga acuan ECB ini merupakan yang kali kedua setelah pada November lalu ECB memangkas bunga dengan besaran yang sama. Sebanyak 53 dari 58 ekonom yang disurvei Bloomberg memberikan prediksi yang presisi terkait besaran bunga acuan pada sidang ECB hari ini.