Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
62 Vol. 13, No.1, Februari 2014
DAMIANUS Journal of Medicine
KOINFEKSI TUBERKULOSIS PADA SEORANG PENYANDANG MORBUS HANSEN
TUBERCULOSIS COINFECTION IN A MORBUS HANSEN PATIENT
Regina1, Lorettha Wijaya1
ARTIKEL LAPORAN KASUS
ABSTRACT
Introduction: Morbus Hansen (MH) and Tuberculosis (TB) are caused by Myco-
bacterium leprae and Mycobacterium tuberculosis, respectively. The occur-
rence of those two infections concomitantly is rare, usually in
immunocompromised patients.
Case: A 23-year-old woman was diagnosed of having MH, pulmonary TB, lymph
node TB, and scrofuloderma based on history, physical examinations, and
laboratory examinations. There is no history of taking either immunosuppresant
agents nor organ transplantation. The glucose blood test is normal and HIV test
is negative, although there is a weight loss about 20 kg in the last 11 months.
She was given Rifampicin 600 mg/d, Ofloxacin 400 mg/d, Isoniazide 400 mg/d
+ vitamine B6 10 mg/d, and Ethambutol 750 mg/d. After two weeks she showed
a clinical improvement.
Conclusion: Coinfection of MH and TB occurs in the patient, but her predisposi-
tion factor is still unknown. Therapeutic regimen for pulmonary and
extrapulmonary TB can improve either the scrofuloderma or the MH lesions
after 2 weeks.
Key words: lymph node tuberculosis, morbus Hansen. pulmonary tuberculo-
sis, scrofuloderma, weight loss
ABSTRAK
Pendahuluan: Morbus Hansen (MH) dan Tuberkulosis (TB) berturut-turut
disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis.
Kejadian kedua infeksi timbul secara bersamaan jarang ditemukan, biasanya
terjadi pada pasien-pasien imunokompromais.
Kasus: Seorang perempuan berusia 23 tahun didiagnosis menderita MH, TB
paru, TB kelenjar getah bening, dan skrofuloderma berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris. Tidak didapatkan riwayat
konsumsi obat-obat imunosupresan ataupun transplantasi organ. Tes gula
darah normal dan tes HIV negatif, meskipun dijumpai penurunan berat badan
sekitar 20 kg dalam 11 bulan terakhir. Penatalaksanaan yang diberikan adalah
Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vita-
min B6 10 mg/hari, dan Etambutol 750 mg/hari. Setelah 2 minggu terapi pasien
memperlihatkan perbaikan klinis.
Damianus Journal of Medicine;Vol.13 No.1 Februari 2014: hlm. 62–70
1 Departemen Ilmu Kesehatan Kulitdan Kelamin, Fakultas KedokteranUnika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2,Jakarta Utara 14440
Korespondensi:
Loretha Wijaya, Departemen IlmuKesehatan Kulit dan Kelamin,Fakultas Kedokteran Unika AtmaJaya, Jl. Pluit Raya No. 2, JakartaUtara 14440. E-mail:[email protected]
Koinfeksi tuberkulosis pada seorang penyandang morbus Hansen
63Vol. 13, No.1, Februari 2014
PENDAHULUAN
Morbus Hansen (MH) dan Tuberkulosis (TB)
merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri tahan asam Mycobacterium. MH disebab-
kan oleh M. leprae, sedangkan TB terutama di-
sebabkan oleh M. tuberculosis. Keduanya banyak
ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan me-
miliki kelembaban udara tinggi, tingkat sosial eko-
nomi penduduk yang rendah, serta status gizi dan
higienitas yang buruk.1
MH adalah penyakit infeksi kronis yang
menyerang kulit dan saraf tepi. Komplikasi yang
ditakutkan dari MH adalah kecacatan, sehingga
penderita menjadi malu, sulit berfungsi, serta
dikucilkan dari kehidupan sosial. Diagnosis dan
terapi yang tepat sedini mungkin adalah strategi
untuk mengontrol penyakit ini.1 MH dapat
mengenai semua ras, usia, dan kedua jenis
kelamin. Insiden tertinggi didapati pada usia 10-
15 tahun serta 30-60 tahun. Pada laki-laki lebih
banyak ditemukan MH bentuk lepromatosa.
Mekanisme transmisi M. leprae masih belum
diketahui dengan jelas, namun diduga melalui
droplet nasal dan oral dari pasien yang
mengandung banyak kuman dan masuk melalui
traktus respiratorius. Hipotesis yang menyatakan
kulit sebagai rute transmisi kuman M. leprae ma-
sih belum dapat dibuktikan. Inokulasi kuman lebih
sering melalui mukosa nasal daripada melalui
kulit yang tidak intact, dengan masa inkubasi
rerata 4-10 tahun.1-3
Infeksi TB dapat mengenai paru, kelenjar getah
bening, kulit, tulang, selaput otak, dan sebagai-
nya. Kuman M. tuberculosis tidaklah terlalu
virulen karena hanya 5-10% infeksi yang dapat
menyebabkan penyakit. Sel T helper (Th) CD4+
memegang peranan penting dalam perlindungan
terhadap infeksi mikobakteria. Oleh karena itu,
pasien dengan fungsi sel Th CD4+ yang rendah,
misalnya pasien dengan koinfeksi HIV atau yang
menjalani terapi imunosupresif, terutama inhibi-
tor Tumor Necrosis Factor (TNF)-, memiliki
risiko untuk menderita TB atau mengalami
reaktivasi TB.1
TB kutis jarang ditemukan. Kurang dari 2% pasien
TB memiliki lesi kulit. Tipe lesi kulit yang terjadi
tergantung pada faktor-faktor pejamu, seperti
usia, jenis kelamin, letak anatomis, dan status
nutrisi. Bentuk TB kutis yang paling sering ditemu-
kan adalah skrofuloderma. Di area yang endemik
TB, lebih dari 50% kasus TB kutis akan muncul
sebelum usia 19 tahun. Seringkali fokus infeksi
TB kutis sulit ditemukan. Tiga sampai dua belas
persen kasus TB kutis akan memiliki gambaran
Kesimpulan: Koinfeksi MH dan TB terjadi pada kasus ini. Faktor predisposisi
kejadian tersebut belum dapat ditemukan. Rejimen terapi TB paru dan
ekstrapulmonal memberi perbaikan klinis pada lesi skrofuloderma maupun
MH setelah 2 minggu.
Kata kunci: morbus Hansen, penurunan berat badan, skrofuloderma.
tuberkulosis paru, tuberkulosis kelenjar getah bening
64 Vol. 13, No.1, Februari 2014
DAMIANUS Journal of Medicine
rontgen paru yang abnormal, dan seringkali
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.4,5
KASUS
Seorang perempuan berusia 23 tahun, berasal
dari Papua, datang dengan keluhan nyeri, lemah,
dan gemetar pada persendian kedua tangan dan
kedua kaki sejak 2 minggu sebelum datang ke
poliklinik bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
(RS) Atma Jaya. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya luka di kedua ketiak yang
tidak kunjung sembuh sejak 5 bulan yang lalu.
Luka timbul dari benjolan yang pecah dan
mengeluarkan nanah. Benjolan-benjolan di leher
dan ketiak pasien sudah ada sejak 15 tahun yang
lalu, bertambah banyak, dan agak nyeri. Pasien
sempat berobat, mendapatkan perawatan luka
serta Siprofloksasin, namun tidak sembuh.
Pasien sering merasa sesak napas sejak 15
tahun yang lalu, namun menyangkal riwayat batuk
lama atau batuk darah. Riwayat keluarga dan
orang sekitar dengan keluhan batuk lama atau
batuk darah disangkal.
Pasien juga mengemukakan adanya bercak-ber-
cak putih sejak 15 tahun yang lalu. Bercak-bercak
tersebut timbul di perut, kedua lengan bawah,
punggung, dan kedua paha. Bercak-bercak putih
dirasakan agak baal, tidak gatal, dan tidak nyeri.
Riwayat keluarga dan orang sekitar dengan
keluhan serupa disangkal.
Hasil pemeriksaan foto thoraks 5 bulan yang lalu
menunjukkan gambaran TB paru, tetapi tidak ada
data riwayat pengobatan TB. Pasien mengalami
penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam
11 bulan terakhir. Pasien belum menikah, namun
memiliki riwayat berhubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan. Riwayat transplantasi
organ ataupun penggunaan obat-obatan yang
dapat menekan sistem imun disangkal.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit se-
Gambar 1. Pada kedua daun telinga tampak papul-papul dan megalobuli sertapada leher tampak beberapa nodul berdiameter 1-5 cm.
Koinfeksi tuberkulosis pada seorang penyandang morbus Hansen
65Vol. 13, No.1, Februari 2014
dang dengan status gizi dan status higiene baik.
Pemeriksaan dermatologis mendapati papul-
papul eritem dan megalobuli pada kedua daun
telinga. (Gambar 1) Papul dan plak eritema
multipel juga tampak di glabela, kedua pipi, dan
dagu. Pada kedua lengan, kedua tungkai, perut,
dan punggung tampak makula hipopigmentasi,
multipel, ukuran numular sampai plakat, dengan
permukaan yang lebih kering dari kulit sekitarnya
disertai dengan gangguan sensibilitas. Tidak di-
temukan alopesia. N. aurikularis magnus sinistra
dan N. ulnaris sinistra menebal dan nyeri tekan.
Otot yang dipersarafi N. medianus sinistra lebih
lemah daripada yang dekstra, serta didapati
hipotrofi otot tenar sinistra.
Pada leher dan kedua ketiak tampak beberapa
nodul sewarna kulit, diameter 1-5 cm, konsistensi
sebagian keras sebagian kenyal, permukaan licin,
batas tegas, mobile, tidak nyeri tekan, dan tidak
panas. Pada ketiak kanan tampak ulkus linear
ukuran ± 0,5 cm x 0,5 cm x 0,1 cm dengan tepinya
jaringan parut hipertrof i berwarna hitam
keunguan. Ketiak kiri tampak ulkus berukuran 1
cm x 1 cm x 0,3 cm tertutup pus. (Gambar 2)
Pemeriksaan darah memberikan hasil sebagai
berikut: Hb 10 g/dl, Ht 30 %, jumlah leukosit 6.300/
ul, jumlah trombosit 362.000/ul, laju endap darah
39 mm/jam, hitung jenis leukosit B/E/Bt/S/L/M 0/
0/5/77/18/0, SGOT 47 U/l, SGPT 55 U/l, Ureum
18 mg/dl, Kreatinin 0,6 mg/dl, GDS 85 mg/dl,
Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,6 mmol/L,
Kalsium 1,21 mmol/L, dan Klorida 104 mmol/L.
Pemeriksaan slit skin smear dari cuping kedua
telinga dan glabela dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen ditemukan Basil Tahan Asam (BTA)
berbentuk batang utuh dan tidak utuh (fragmen
dan granul). (Tabel 1) Ditemukan pula banyak glo-
bus. Pada glabela, indeks bakterinya +4, sedang-
kan pada kedua cuping telinga indeks bakterinya
+6. (Gambar 3) Pemeriksaan serologik HIV mem-
beri hasil negatif. Pemeriksaan FNAB kelenjar
getah bening leher ditemukan BTA dan menun-
jukkan gambaran limfadenitis TB.
Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka diagno-
sis kerja kami adalah MH tipe BL disertai TB paru
aktif dengan TB kelenjar dan skrofuloderma. Tata
laksana yang kami berikan pada pasien ini adalah
Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari,
Isoniazid 400 mg/hari + vitamin B6 10 mg/hari,
serta Etambutol 750 mg/hari.
Setelah mendapatkan pengobatan selama 2
minggu, ukuran infiltrat pada wajah dan mega-
lobuli kedua telinga mengecil. Makula-makula hi-
popigmentasi pada perut dan punggung menjadi
agak kemerahan, namun tidak meninggi. Ukuran
Lokasi Indeks Bakteri Indeks Morfologi
Cuping kanan +6 87 %
Cuping kiri +6 80 %
Dahi +4 89 %
Tabel 1. Perhitungan Indeks Bakteri dan Morfologi
66 Vol. 13, No.1, Februari 2014
DAMIANUS Journal of Medicine
Gambar 4. Ulkus di kedua ketiak tampak mulai menutup.
Gambar 2. Pada ketiak kanan tampak ulkus linear ukuran ± 0,5 cm x 0,5 cm x 0,1 cm dengan tepinyajaringan parut hipertrofi. Pada ketiak kiri tampak ulkus berukuran 1 cm x 1 cm x 0,3 cm tertutup pus.
Gambar 3. Pada lapang pandangan kiri tampak hasil pemeriksaan slit skin smear dari glabela denganindeks bakteri +4, sedangkan pada lapang pandangan kanan adalah
hasil pemeriksaan dari cuping telinga dengan indeks bakteri +6.
Koinfeksi tuberkulosis pada seorang penyandang morbus Hansen
67Vol. 13, No.1, Februari 2014
kelenjar getah bening leher mengecil dan ulkus
di kedua ketiak mulai menutup. (Gambar 4) Atas
permintaan keluarga, pasien lalu dirujuk ke RS
lain.
PEMBAHASAN
Diagnosis MH ditegakkan berdasarkan ditemu-
kannya minimal satu dari tiga tanda kardinal MH
yang ditetapkan oleh WHO Expert Committee on
Leprosy.6 Tiga tanda kardinal tersebut, yaitu lesi
kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang
hipoestesi atau anestesi, pembesaran saraf
perifer dengan kelemahan otot atau berkurang-
nya sensasi pada daerah yang dipersarafi, dan
ditemukannya bakteri tahan asam pada
pemeriksaan slit skin smear.6 Dengan menemu-
kan ketiga tanda kardinal, sensitivitas diagnosis-
nya dilaporkan mencapai 97%.3 Pada kasus,
diagnosis MH ditegakkan dengan ditemukannya
ketiga tanda kardinal tersebut.
Manifestasi klinis penyakit MH sangat bervariasi,
bergantung pada respons imunitas tubuh pasien
sendiri terhadap bakteri dan jumlah bakteri.
Jumlah bakteri yang sangat banyak menyebab-
kan bentuk klinis berupa infiltrat.7 Berdasarkan
gambaran klinis dan status imunitas pasien Rid-
ley-Jopling mengklasifikasikan MH menjadi bentuk
tuberkuloid polar (TT), tuberkuloid borderline (BT),
mid borderline (BB), lepromatosa borderline (BL),
lepromatosa polar (LL), dan tipe indeterminate.3,8
Untuk kepentingan terapi di daerah endemik yang
tidak memiliki fasilitas laboratorium, pada tahun
1997, WHO membagi kasus MH menjadi 3 kate-
gori, yakni MH pausibasilar (PB) lesi tunggal, MH
PB dengan lesi kulit 2-5 buah, dan MH Multibasilar
(MB) jika lesi kulit berjumlah 6 atau lebih.1 Sistem
ini tidaklah sempurna karena banyak kasus MH
MB yang salah diklasifikasikan menjadi MH PB.3
Pada kasus ditemukan makula hipopigmentasi
serta papul dan plak eritem yang multipel dengan
jumlah sulit dihitung, terdistribusi hampir simetris,
batas tidak tegas, dan hipoestesi pada hampir
seluruh lesi. Didapatkan pula pembesaran N.
aurikularis magnus sinistra dan N. ulnaris si-
nistra. Pada pemeriksaan slit skin smear ditemu-
kan BTA. Oleh karena itu, kami simpulkan diag-
nosis kasus ini sesuai dengan kriteria MH MB tipe
BL.
Selain itu, pasien pada kasus ini juga didiagnosis
menderita infeksi tuberkulosis. Infeksi TB dapat
mengenai organ paru, kelenjar getah bening, kulit,
tulang, selaput otak, dan dapat menyebar secara
sistemik. TB kutis merupakan sebagian kecil dari
seluruh kasus TB, yakni sekitar kurang dari 1-
2%. Jumlah ini menjadi signifikan di negara-ne-
gara yang memiliki penderita TB dalam jumlah
banyak.5 Indonesia saat ini berada pada peringkat
kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia,
di mana prevalensi TB semua kasus adalah se-
besar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun.9 Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per ta-
hunnya.9
Klasifikasi TB kutis yang ideal tidak ada. Skrofulo-
derma merupakan bentuk TB kutis yang paling
sering ditemukan.4 Skrofuloderma disebabkan
penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah
kulit yang menjadi fokus infeksi TB, paling sering
dari kelenjar getah bening atau tulang.1,4 Kelainan
ini biasanya dimulai sebagai limfadenitis TB yang
berupa pembesaran kelenjar getah bening tanpa
68 Vol. 13, No.1, Februari 2014
DAMIANUS Journal of Medicine
tanda radang akut. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis, sehingga terjadi perlekatan kelenjar
dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar getah
bening tersebut kemudian mengalami perlunakan
yang tidak serentak, sehingga pada perabaan
akan memberikan konsistensi kenyal dan lunak
(cold abcess). Kelenjar getah bening yang lunak
lalu memecah dan membentuk fistula dan ulkus.
Ulkus pada skrofuloderma bentuknya meman-
jang dan tidak teratur, sekitarnya berwarna ke-
unguan (livid), dinding bergaung, dan jaringan gra-
nulasinya tertutup pus seropurulen. Jika me-
nyembuh akan terbentuk jaringan sikatriks yang
memanjang dan tidak teratur, kadang-kadang
terbentuk jembatan jaringan. Pasien biasanya
tidak mengalami gejala konstitusional.10
Pada kasus ditemukan pembesaran kelenjar-
kelenjar getah bening leher bilateral dan kedua
ketiak, tanpa tanda radang akut, dengan konsis-
tensi keras atau kenyal. Gambaran sesuai lim-
fadenitis TB dan BTA ditemukan pada peme-
riksaan FNAB. Pada ketiak kanan dan kiri terdapat
ulkus dengan bentuk dan jaringan sikatriks yang
sesuai gambaran skrofuloderma. Oleh karena
itu, penyebaran bakteri M. tuberculosis ke kulit
diduga melalui kelenjar getah bening regional
yang sudah terinfeksi dan menyebabkan skro-
fuloderma di kedua ketiaknya. Fokus infeksi TB
diduga berasal dari paru-paru.
Koinfeksi M. leprae dan M.tuberculosis pada
pasien yang sama jarang dijumpai.11 Agarwal et
al. melaporkan kasus koinfeksi MH dan TB paru
pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal
dan mendapatkan terapi imunosupresi.12
Agrawal dan Sharma melaporkan terjadinya
koinfeksi mikobakteria pada pasien arthritis
rematoid yang diterapi dengan leflunomide
(golongan disease modifying anti rheumatic
drug/DMARD).13 Sementara Negrete et al.
melaporkan koinfeksi MH dan TB pada pasien
dengan transplantasi ginjal dan malnutrisi.11
Scollard et al. melaporkan koinfeksi TB kutis pada
lesi MH yang mendapat terapi kortikosteroid untuk
reaksi MH tipe 1.14 MH ternyata banyak ditemukan
pada pasien imuno-kompromais yang menjalani
transplantasi atau mendapatkan terapi TNF-
blocking monoclonal antibodies, misalnya
infliximab atau adalimumab.15
Pada kasus, kejadian koinfeksi tuberkulosis dan
Morbus Hansen tidak diketahui sejak kapan,
kemungkinan sudah dimulai sejak 15 tahun se-
belum pasien datang ke poliklinik RS Atma Jaya,
namun adanya keadaan imunokompromais tidak
dapat dibuktikan. Riwayat penggunaan agen
imunosupresan, transplantasi organ, malnutrisi,
ataupun kelainan gula darah tidak dijumpai pada
pasien. Oleh karena itu, perlu dipikirkan faktor lain
yang dapat menyebabkan penurunan status
imun pasien. Dalam anamnesis diketahui bahwa
pasien memiliki riwayat promiskuitas dan
penurunan berat badan 20 kg dalam 11 bulan
terakhir, maka dicurigai adanya koinfeksi HIV.
Infeksi HIV diketahui dapat menurunkan fungsi sel
Th CD4+ yang memegang peranan penting
dalam perlindungan terhadap infeksi miko-
bakteria. Pasien dengan koinfeksi HIV memiliki
risiko untuk menderita TB atau mengalami
reaktivasi TB.1 Koinfeksi HIV menyebabkan ke-
butuhan pengobatan MDT MH yang lebih lama,
meskipun HIV tidak menjadi faktor risiko untuk
terjadinya infeksi M. leprae maupun mengubah
perjalanan penyakit MH.15,16 Setelah mendapat
Koinfeksi tuberkulosis pada seorang penyandang morbus Hansen
69Vol. 13, No.1, Februari 2014
persetujuan pasien, kami meminta pemeriksaan
serologik HIV dan ternyata hasilnya negatif.
Dengan demikian, kami belum dapat menentukan
faktor predisposisi terjadinya koinfeksi MH dan
TB pada pasien ini.
Rejimen pengobatan MH tipe MB yang disediakan
pemerintah adalah Rifampisin 600 mg/bulan,
Klofazimin 300 mg/bulan dilanjutkan 50 mg/hari,
serta Dapson 100 mg/hari. Institusi kami tidak
memiliki rejimen tersebut. Setelah kami memberi
penjelasan dan mendapat persetujuan pasien,
maka diputuskan untuk menggunakan rejimen
alternatif Rifampisin 600 mg/bulan dan Ofloksasin
400 mg/bulan. Rejimen TB paru dan ekstrapul-
monal yang digunakan adalah Rifampisin 600
mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400
mg/hari + vitamin B6 10 mg/hari, dan Etambutol
750 mg/hari. Karena dosis Rifampisin dan
Ofloksasin untuk TB harus diberikan setiap hari,
maka kami mengikuti terapi untuk TB. Setelah 2
minggu terapi pasien memperlihatkan perbaikan
klinis.
KESIMPULAN
Koinfeksi Morbus Hansen dan Tuberkulosis telah
terjadi pada kasus ini. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Rejimen terapi yang
terdiri dari Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin
400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vitamin B6
10 mg/hari, dan Etambutol 750 mg/hari, memberi
perbaikan klinis pada lesi MH maupun skrofulo-
dermanya setelah 2 minggu. Namun, faktor
predisposisi terjadinya koinfeksi yang biasanya
berupa penurunan daya tahan tubuh tidak dapat
ditemukan. Riwayat penggunaan agen imunosup-
resan, transplantasi organ, malnutrisi, ataupun
kelainan gula darah dan infeksi HIV, yang diketahui
dapat menurunkan daya tahan tubuh, tidak dijum-
pai pada kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infec-tions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, SchafferJV, editors. Dermatology. 7th ed. USA:Elsevier; 2012. p.122-42.
2. Rodrigues LC, Lockwood DNJ. Leprosy now:epidemiology, progress, challenges, and re-search gaps. Lancet Infect Dis.2011;11(6):464-70.
3. Eichelmann K, González González SE,Salas-Alanis JC, Ocampo-Candiani J. Lep-rosy. An update: definition, pathogenesis,classification, diagnosis, and treatment.Actas Dermosifiliogr. 2013;104(7):554-63.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew'sdiseases of the skin: clinical dermatology.11th ed. USA: Elsevier; 2011. p.322-33.
5. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous tubercu-losis. Clin Dermatol. 2007;25(2):173-80.
6. World Health Organization. WHO ExpertCommittee on Leprosy: Eighth report.Genewa: WHO; 2012.
7. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K,Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PallerAS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's derma-tology in general medicine. 7th ed. USA:McGraw-Hill; 2008. p.1786-96.
8. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL.Kusta. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6thed. Jakarta: BP FKUI; 2010. p.73-88.
70 Vol. 13, No.1, Februari 2014
DAMIANUS Journal of Medicine
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Strategi nasional pengendalian TB di Indo-nesia 2010-2014. Jakarta: 2011. p.12.
10. Djuanda A. Tuberkulosis kutis. In: DjuandaA, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakitkulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: BP FKUI;2010. p.64-72.
11. Negrete V, Ida J, Dillig G, Zohrabian N,Feldman J. Concurrent Hansen disease andpulmonary tuberculosis. J Am Acad Dermatol.2011;64(5):1001-3.
12. Agarwal DK, Mehta AR, Sharma AP, SuralS, Kumar A, Mehta B, et al. Coinfection withleprosy and tuberculosis in a renal transplantrecipient. Nephrol Dial Transplant.2000;15:1720-1.
13. Agrawal S, Sharma A. Dual mycobacterial
infection in the setting of leflunomide treat-
ment for rheumatoid arthritis. Ann RheumDis. 2007;66:277.
14. Scollard DM, Stryjewska BM, PrestigiacomoJF, Gillis TP, Waquespack-Labiche J.Hansen's disease (leprosy) complicated by
secondary mycobacterial infection. J AmAcad Dermatol. 2011;64(3):593-6.
15. Renault CA, Ernst JD. Mycrobacteriumleprae. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R.Mandell, Douglas, and Bennett's principles
and practice of infectious diseases. 7th ed.USA: Elsevier; 2010. p.3165-76.
16. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen'sdiseases. In: Andrew's diseases of the skin:clinical dermatology. 11th ed. USA: Elsevier;
2011. p.334-44.