Upload
others
View
28
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIK
PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI TAHUN 2015
(Tesis)
Oleh :
ZUHAIRI SANOFI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIK
PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI TAHUN 2015
Oleh
ZUHAIRI SANOFI
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) dinamika komunikasi politik
multiaktor dalam proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 dan (2)
peran KPU Kota Sungai Penuh dalam konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun
2015. Dengan menggunakan tipe deskriptif dan metode studi kasus, adapun hasil
yang diperoleh adalah komunikator politik utama sebelum konflik, yaitu (1)
Paslon, (2) KPU Kota Sungai Penuh, dan (3) Panwas Kota Sungai Penuh,
sedangkan pilihan institusi sebagai aktor konflik dan komunikator politik selama
konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015, yaitu motif (1) Paslon HM-NJ
membuktikan pelanggaran dan kecurangan pilkada, (2) KPU Kota Sungai Penuh
melawan tuduhan, (3) Panwas Kota Sungai Penuh melaksanakan intervensi, (4)
Bawaslu Provinsi Jambi menjalankan fungsi sebagai atasan panwas Kota Sungai
Penuh dan sebagai bawahan Bawaslu RI, (5) LSM AMPKS mobilized
participation, serta (5) Media massa cetak sebagai saluran komunikasi. Selama
konflik berlangsung, pesan-pesan multiaktor cenderung sebagai penyebab konflik,
dimana pesan politik peserta pilkada yang disadur dari visi dan misi
bertransformasi menjadi pesan mencari keadilan pilkada, pesan politik
penyelenggara pilkada mengenai mekanisme pilkada bertransformasi menjadi
pesan pencitraan lembaga dan berorientasi pada strategi komunikasi contending
dan problem solving, pesan LSM AMPKS cenderung menunjukkan persekutuan
dan pesan media massa cetak sebagai salah satu pemicu eskalasi konflik. Tujuan
komunikasi politik awalnya membangun citra politik, partisipasi politik,
sosialisasi politik, pendidikan politik, dan opini publik, saat konflik berlangsung
hanya fokus pada penciptaan opini publik. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam
konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 sejalan dengan fungsi tugas,
wewenang dan kewajiban sebagai penyelenggara pilkada.
Kata Kunci: Komunikasi Politik, Multiaktor, Konflik Pilkada
ABSTRACT
POLITICAL COMMUNICATION OF MULTIACTOR POLITICS IN THE
CONFLICT OF ELECTION OF MAYOR AND VICE MAYORS IN
SUNGAI PENUH JAMBI PROVINCE IN 2015
By
ZUHAIRI SANOFI
This research aims to analyze (1) the dynamics of multiactor political
communication involved in 2015 Sungai Penuh City Leader Election (Pilkada)
conflict process, and (2) the role of Sungai Penuh General Election Commission
(KPU Kota Sungai Penuh) during the conflict. By using descriptive and case
study method, result shows that the main political communicators involved before
conflict arised were (1) election participants (candidate pairs); (2) Sungai Penuh
City General Election Commission, and (3) Panwas of Sungai Penuh City; while
institutional choices as conflict actors and political communicators during the
conflict were these motives: (1) HM-NJ candidate pairs proving electoral
violations and fraud, (2) Sungai Penuh City General Election Commission
fighting against the accusation, (3) Panwas of Sungai Penuh City doing
intervention, (4) Bawaslu of Jambi Province performing role as superior of Sungai
Penuh City Panwas as well as subordinate of Bawaslu RI, (5) Non-Governmental
Organization for College Students and Students of Sungai Penuh City (NGO
AMPKS) mobilized participation, and (6) Printed mass media as communication
channel. During the occurence of conflict, multiactor messages are quite the cause
of conflict; political messages of the local leader election participants adapted
from vision and mission has transformed into a message of seeking electoral
justice, while political message of election committee about election mechanism
has transformed into a message of institutional imaging and oriented to
contending and problem solving communication strategies. On the other hand, the
messages of NGO AMPKS are more likely to take sides, and mass media
messages are one that triggers conflict to escalate. If initially the purpose of
political communication were to build a political image, political participation,
political socialization, political education and public opinion; during the conflict it
only focused on creating public opinion. The role of Sungai Penuh City General
Election Committe during the 2015 Sungai Penuh City Leader Election conflict is
in line with its functions of duties, authorities and obligations as regional
election's organizers.
Key Word: Political Communication, Multiactor, Local Election Conflict
KOMUNIKASI POLITIK MULTIAKTOR DALAM KONFLIKPEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA SUNGAI PENUH
PROVINSI JAMBI TAHUN 2015
Oleh :
ZUHAIRI SANOFI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarMAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Jambi pada tanggal 10 November 1983, anak dari
pasangan Bapak H. A. Karim Taher dan Ibu Hj. Zurmaini. Penulis merupakan
anak kelima dari enam bersaudara.
Jenjang akademis penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Dasar (SDN) Negeri No.166/III Desa Koto Renah pada Tahun 1995, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Sungai Penuh
dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah
Menengah Umum (SMU) Negeri 2 Sungai Penuh dan lulus pada tahun 2001.
Selanjutnya tahun 2002 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata 1 Program
Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Bengkulu dan lulus tahun 2007. Pada tahun 2007-2008 penulis bekerja sebagai
pegawai di PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk sebagai Account Officer (AO),
selanjutnya pada tahun 2009-2010 bekerja di PT. Bank Syariah Mandiri (BSM)
sebagai Pelaksana Marketing Support (PMS) . Pada tahun 2010 penulis mulai
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Instansi Sekretariat Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pada Satuan Kerja Sekretariat Kota Sungai Penuh
hingga saat ini.
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan hasil karya ini kepada orang-orang yang berharga dalam
hidupku :
1. Kedua orangtuaku, Abah H. A. Karim Taher dan Mak Hj. Zurmaini;
2. Kedua Mertuaku Ayah Noftiman Nasir dan Umi Hj. Metty Rosita serta
Among dan Ajong;
3. Kakak dan adikku Zurman Yani, Zabarul Bahri, Zulhadmi Nofrizal, Kasuma
Puri Zuryani, dan Mery Rukmana Dewi;
4. Istriku tercinta Intan Sherlin, S.Si, M.Sc. terimakasih atas dukungan serta
perhatian yang diberikan kepada penulis;
5. Anakku tersayang Zahra Syifa Sanofi dan Zaid Izzan Sanofi, penyemangat
penulis selama menjalani kuliah ini.
6. Institusiku Komisi Pemilihan Umum
7. Almamaterku Universitas Lampung.
MOTTO
"Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar."
Ali Imran (3 : 146)
SANWACANA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat, karunia dan kasih sayang-Nyalah sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini yang berjudul : “Komunikasi Politik Multiaktor dalam
Konflik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh Provinsi
Jambi Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) pada Program Pascasarjana Magister Ilmu
Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Tesis ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Bpk. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Bpk Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Lampung;
3. Bpk Dr. Syarief Makhya selaku Dekan FISIP Universitas Lampung;
4. Bpk Drs. Hertanto, Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sekaligus Dosen Pembimbing
Tesis, terimakasih atas seluruh bimbingan, saran, dan dukungan sehingga
penulis bisa memahami makna sabar dan dapat menyelesaikan tesis dengan
baik;
5. Ibu Dr. Feni Rosalia, M.Si selaku Koordinator Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung;
6. Bpk Dr. Suwondo, M.A. selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas
dukungan dan motivasinya;
7. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A. selaku Pembimbing Utama Tesis, terimakasih
atas bimbingannya yang terbaik, saran, dukungan serta motivasi kepada
penulis;
8. Bpk. Dr. Sindung Haryanto, M.Si., selaku Penguji Utama Tesis, terimakasih
atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan,
saran, baik terkait substansi tesis maupun tausiah kepada penulis, semoga
tetap istiqomah;
9. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar di Program Pascasarjana Magister Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung;
10. Narasumber tesis yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi
informasi;
11. Seluruh staf Administrasi di Program Pascasarjana Magister Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan Karyawan TU FISIP
Universitas Lampung yang ikut serta membantu dengan sabar dan melayani
dengan baik;
12. KPU RI yang telah bersedia memberikan kesempatan beasiswa kepada
penulis;
13. Komisioner, Sekretaris, Kasubbag, serta staf KPU Kota Sungai Penuh,
terimakasih atas dukungannya;
14. Mahasiswa MIP konsentrasi Tata Kelola Pemilu batch 2 (Ikhsan, Yuliza,
Risma, Susi, Mery, Tohap, Agung, Muhajiroh, dan Silvi) termasuk Antoniyus,
Chandra, dan Fajar serta rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Otonomi Daerah
dan Manajemen Pemerintahan;
15. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis
yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.
Wassalam,
Bandar Lampung, Februari 2019
Penulis,
Zuhairi Sanofi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
ABSTRACT ........................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v
SURAT PERNYATAAN....................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii
MOTTO ................................................................................................................. ix
SANWACANA ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR DIAGRAM .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 16
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 16
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 16
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 18
A. Tinjauan Tentang Konflik ............................................................................ 18
1. Pengertian Konflik dan Konflik Politik pada Pemilihan Kepala Daerah 18
2. Konflik dalam Perspektif Komunikasi .................................................... 25
3. Konflik Sebagai Akibat Komunikasi ...................................................... 29
B. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik ......................................................... 31
1. Definisi Komunikasi ............................................................................... 31
2. Definisi Komunikasi Politik ................................................................... 38
3. Komunikasi Politik Sebagai Penyebab Konflik Pilkada ......................... 48
4. Komunikasi Politik dalam Upaya Resolusi Konflik ............................... 51
5. Teori-Teori Penyebab Konflik ................................................................ 53
C. Tinjauan Tentang Integritas Pemilu dan Kecurangan Pemilu ..................... 54
D. Teori-teori yang Digunakan ......................................................................... 56
D. Kerangka Teori............................................................................................. 63
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 65
A. Tipe Penelitian ............................................................................................. 65
B. Fokus Penelitian ........................................................................................... 67
C. Sumber Data dan Informan .......................................................................... 68
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 72
E. Teknik Keabsahan Data ............................................................................... 75
F. Teknik Analisis Data .................................................................................... 77
IV. GAMBARAN UMUM .................................................................................. 80
A. Gambaran Umum Kota Sungai Penuh ......................................................... 80
1. Letak Geografis ....................................................................................... 80
2. Batasan dan Wilayah Adminstratif ......................................................... 80
B. Gambaran Umum Pilkada Serentak Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ......... 81
C. Konflik dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Sungai Penuh
Serentak Tahun 2015.................................................................................... 84
1. Aktor-aktor dalam Konflik ..................................................................... 97
2. Penyebab Konflik .................................................................................. 103
3. Dampak Konflik .................................................................................... 108
4. Resolusi Konflik ................................................................................... 111
V. HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA ................................................ 115
A. Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota (Pilwako) Sungai Penuh Tahun 2015 Sebelum Konflik ............ 115
1. Sumber Komunikasi Politik .................................................................. 119
a. Pasangan Calon Sebagai Sumber Komunikasi Politik .................... 122 b. Penyelenggara Pilkada Sebagai Komunikator Politik .................... 126 c. Analisa Sumber Komunikasi Politik Multiaktor pada Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 .............................................................. 138
2. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai
Penuh Tahun 2015 ................................................................................ 148
a. Pesan Komunikasi Politik Pasangan Calon (Paslon) ...................... 148 b. Pesan Komunikasi Penyelenggara Pilkada ..................................... 163 c. Analisa Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor pada Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 ............................................................. 181
3. Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai Penuh
Tahun 2015 ........................................................................................... 190
a. Tujuan Komunikasi Politik Paslon ................................................. 190 b. Tujuan Komunikasi Penyelenggara Pilkada ................................... 193 c. Analisa Tujuan Komunikasi Multiaktor dalam Pilkada Kota Sungai
Penuh Tahun 2015 .......................................................................... 196
B. Komunikasi Politik Multiaktor dalam Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota (Pilwako) Sungai Penuh Tahun 2015 Selama Konflik ............... 202
1. Sumber Komunikasi Politik dan Aktor dalam Konflik Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 204
a. Pasangan Calon HM-NJ .................................................................. 204
b. Penyelenggara Pilkada .................................................................... 208 c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) AMPKS ............................ 216 d. Media Massa Cetak ......................................................................... 220 e. Analisis Sumber Komunikasi Politik dan Aktor dalam Konflik
Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ........................................ 224
2. Isi (Pesan) Komunikasi Politik dalam Konflik Pilkada Kota Sungai
Penuh Tahun 2015 ................................................................................ 229
a. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Pasangan Calon HM-NJ................ 229 b. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Penyelenggara Pilkada .................. 239 c. Isi (Pesan) Komunikasi Politik LSM AMPKS ............................... 260 d. Isi (Pesan) Komunikasi Politik Media Massa Cetak ....................... 263 e. Analisa Isi (Pesan) Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik
Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................... 269
3. Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 287
a. Tujuan Komunikasi Politik Paslon HM-NJ .................................... 287 b. Tujuan Komunikasi Politik Penyelenggara Pilkada........................ 289 c. Tujuan Komunikasi Politik LSM AMPKS ..................................... 291 d. Tujuan Komunikasi Politik Media Massa ....................................... 293 e. Analisa Tujuan Komunikasi Politik Multiaktor dalam Konflik Pilkada
Kota Sungai Penuh Tahun 2015 ..................................................... 295
C. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Pilkada Kota Sungai Penuh
Tahun 2015 ................................................................................................ 301
1. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Demonstrasi .............. 302
2. Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Kebijakan ................... 306
3. Analisa Peran KPU Kota Sungai Penuh dalam Konflik Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 309
D.Analisis Kesesuaian Teori dan Fakta serta Analisis Taksonomi ................ 314
VI. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 319
A. Simpulan .................................................................................................... 319
B. Saran ........................................................................................................... 322
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Rentetan konflik, pemicu dan akibat konflik pilkada di Indonesia ............. 2
2. Jenis konflik dan aktor yang terlibat pada pilkada Sungai Penuh ............. 10
3. Biodata Informan berdasarkan Inisial, Jenis Kelamin dan Umur ............. 69
4. Penetapan pasangan calon, dukungan partai, dan nomor urut dalam
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ...... 83
5. Penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara dalam Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................... 84
6. Pemetaan arena dan aktor yang terlibat dalam konflik Pilkada Kota Sungai
Penuh Tahun 2015 .................................................................................... 98
7. Pemetaan Needs-Fears dalam konflik Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun
2015 ........................................................................................................... 99
8. Pemetaan potensi konflik dalam tahapan Pilkada Kota Sungai Penuh
Tahun 2015 ............................................................................................. 102
9. Pemetaan penyebab Konflik Pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 .. 104
10. Reduksi data dampak konflik pilkada Sungai Penuh Tahun 2015 .......... 109
11. Resolusi konflik pilkada Sungai Penuh Tahun 2015 .............................. 112
12. Perbandingan pemangku kepentingan dalam pilkada dan komunikator
politik utama pilkada Kota Sungai Penuh ............................................... 121
13. Visi dan Misi masing-masing Paslon pada Pilkada Kota Sungai Penuh
Tahun 2015 ............................................................................................. 152
14. Jadwal Kampanye masing-masing Paslon pada Pilkada Kota Sungai Penuh
Tahun 2015 ............................................................................................. 155
15. Komunikator politik utama sebelum konflik dan komunikator politik
utama selama konflik .............................................................................. 204
16. Pilihan Institusi dalam motif konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun
2015 ......................................................................................................... 229
17. Komunikasi politik Herman Muchtar-Nuzran Joher melalui saluran
Demonstrasi/Unjuk rasa .......................................................................... 232
18. Komunikasi politik Herman Muchtar-Nuzran Joher melalui saluran
ajudikasi .................................................................................................. 239
19. Komunikasi politik KPU Kota Sungai Penuh melalui saluran ajudikasi 242
20. Rekapitulasi laporan dugaan pelanggaran pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Sungai Penuh Tahun 2015 ....................................................... 245
21. Data 28 Laporan yang menjadi objek sengketa HM-NJ ......................... 246
22. Komunikasi politik Panwas Kota Sungai Penuh secara informal sebelum
memutus hasil sengketa paslon HM-NJ .................................................. 249
23. Komunikasi politik Panwas Kota Sungai Penuh dalam sidang sengketa
terkait Keputusan KPU Kota Sungai Penuh No. 52/kpts/kpu-kota-
005.670934/2015 ..................................................................................... 250
24. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara informal sebelum
Panwas Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ ..... 254
25. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara formal sebelum
Panwas Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ ..... 255
26. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi secara formal setelah Panwas
Kota Sungai Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ .................. 256
27. Komunikasi politik Bawaslu Provinsi Jambi setelah Panwas Kota Sungai
Penuh memutus hasil sengketa paslon HM-NJ melalui saluran media
massa ....................................................................................................... 257
28. Headline pemberitaan Tribun Jambi & Jambi Ekspress bulan Desember
2015 ......................................................................................................... 264
29. Headline pemberitaan Jambi Independen & Jambi Ekspress bulan Januari
2016 ......................................................................................................... 264
30. Headline pemberitaan Jambi Independen & Jambi Ekspress bulan Februari
2016 ......................................................................................................... 265
31. Headline pemberitaan Jambi Ekspress bulan Maret 2016 ...................... 265
32. Analisis kesesuaian teori dan fakta ......................................................... 314
DAFTAR DIAGRAM
Diagram Halaman
1. Pemetaan aktor dan hubungan antarpihak dalam konflik Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 ........................................................................ 97
2. Skema dinamika proses komunikasi politik dalam konflik Pilkada Kota
Sungai Penuh Tahun 2015 .................................................................... 313
3. Analisis taksonomi komunikasi politik multiaktor dalam konflik Pilkada
Kota Sungai Penuh Tahun 2015 .............................................................. 318
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Data Hasil Wawancara
2. Surat Persetujuan Riset
3. Dokumentasi Foto Wawancara dengan Informan
4. Dokumentasi terkait lainnya
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASN : Aparatur Sipil Negara
Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum
BIN : Badan Intelijen Negara
DKPP : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPT : Daftar Pemilih Tetap
Keppres : Keputusan Presiden
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
KPU : Komisi Pemilihan Umum
KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah
KPU RI : Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
KPU SPN : Komisi Pemilihan Umum Kota Sungai Penuh
Linmas : Perlindungan Masyarakat
LSM AMPKS : Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Mahasiswa Pelajar
Kerinci Sungai Penuh
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
Panwascam : Panitia Pengawas Kecamatan
Panwas SPN : Panitia Pengawas Kota Sungai Penuh
Parpol : Partai Politik
Paslon HM-NJ : Pasangan Calon Herman Muchtar-Nuzran Joher
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemilu : Pemilihan Umum
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pilgub : Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
PKPU : Peraturan Komisi Pemilihan Umum
PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan
PPL : Panitia Pengawas Lapangan
PPS : Panitia Pemungutan Suara
PTUN : Peradilan Tata Usaha Negara
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja
SK : Surat Keputusan
SMS : Short Message Service
TPS : Tempat Pemungutan Suara
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui prosedur
pemilihan langsung oleh rakyat telah berlangsung lebih dari satu dekade sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan diimplementasikan mulai Tahun 2005, yang semulanya dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada praktiknya, selama
masa transisi, pilkada di beberapa daerah belum sepenuhnya dilakukan sesuai
dengan cara-cara pemilihan yang elegan dan konstitusional. Lebih ironis,
pemimpin yang terpilih hanya karena hasrat berkuasa dan luasnya jaringan
popularitas, bukan karena kompetisi berdampak pada sistem pemeritahan,
seharusnya good governance bergeser menjadi bad governance (Alamsyah,
2012: 772).
Dewasa ini, merujuk pada kasus-kasus pilkada langsung beberapa daerah di
Indonesia, menyisakan beberapa masalah krusial. Djohermansyah Djohan
(Hikmat, 2014: 23) menyebutkan sedikitnya ada tujuh masalah yang mengikuti
proses pilkada, yaitu tingginya biaya penyelenggaraan pilkada, meningkatnya
eskalasi konflik horizontal di tengah masyarakat, maraknya gugatan proses
pilkada, disharmoni dan rivalitas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
meningkat, tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan peserta pilkada
langsung, maraknya politik uang, dan rendahnya partisipasi politik pemilih jika
dilakukan dua putaran. Sedangkan menurut Tjenreng (2016: 4) menyebutkan
2
masalah pilkada langsung diantaranya, yaitu biaya pilkada yang membebani
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan kandidat, belum ada
jaminan terpilihnya pemimpin daerah yang berkualitas serta fenomena konflik
yang mendominasi kompleksitas persoalan pilkada langsung.
Sebagai laporan, The Habibie Center mencatat, selama kurun waktu 2005-
2013, pilkada secara langsung telah menimbulkan konflik di beberapa daerah
di antaranya Kabupaten Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006),
Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga
(2011), Provinsi Aceh (2012), dan Kota Palopo (2013). Konflik berujung pada
terjadinya tindakan anarkis dan kekerasan. Dalam rentang waktu yang sama,
konflik kekerasan fisik menyebabkan korban jiwa sebanyak 70 orang, korban
luka sebanyak 107 orang, 279 rumah rusak dan pertokoan dibakar (Pratama &
Sinambela, 2016: 149).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan literatur yang ada, konflik pilkada
yang dipaparkan di atas terjadi pada tahapan yang bervariatif, pemicu konflik
relatif berbeda, dan sebagian besar dampaknya hampir berorientasi pada
kekerasan dan mengakibatkan timbulnya korban materi dan moril. Penjelasan
terhadap rentetan konflik pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Rentetan konflik, pemicu dan akibat konflik pilkada di Indonesia
Jenis
Konflik Tahapan Pemicu Akibat Konflik
Pemilihan
Bupati
dan Wakil
Bupati di
Padang
Pariaman
Pencalonan
(Ruyella,
2008)
Perpecahan internal partai dan
konflik antara partai dan KPUD
(Ruyella, 2008). Partai yang
terlibat yaitu Golkar, PAN, PPP,
PDIP, PBB, PKS, dan beberapa
partai lainnya yang mendatangi
Penggembokan
dan perusakan
kantor KPU Kab.
Padang Pariaman
oleh Demostran
(Ruyella, 2008:
3
Tahun
2005
kantor KPU Kab. Padang Pariaman
(Iskandar, 2006: 10)
109)
Pemilihan
Bupati
dan Wakil
Bupati
Tuban
Tahun
2006
Pasca
pilkada
(Saifullah,
2011).
Kekecewaan masyarakat Tuban
terhadap pemerintahan Bupati
Heny Relawati, faktor yang
melatarbelakangi :
1. Pemaksaan struktur baru dari struktur lama,
2. Pengabaian struktur sosial,
3. Terbentuknya suatu nilai yaitu keadilan yang dituntut
masyarakat Tuban,
4. Hancurnya tatanan sosuai antara rakyat yang kecewa dengan
pemerintah,
5. Pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan formal
PKB Tuban, dan
6. Kecurangan pada momentum pilkada (Saifullah, 2011: 5,
183).
Pendapat lain, penyebab konflik
adalah adanya calon yang kalah
berkompetisi melawan incumbent,
dan kekecewaan para elit lokal
termasuk pengusaha lokal yang
sudah lama termarginalkan oleh
keluarga incumbent (Marijan
(2007: 4,6)
Korban materi,
berupa gedung
pemerintahan,
hotel, rumah
pribadi, gudang,
pompa bensin,
kendaraan dan
lainnya (Saifullah,
2011).
Pemilihan
Gubernur
dan Wakil
Gubernur
Provinsi
Maluku
Utara
Tahun
2007
Konflik
dimulai pada
tahap
pendaftaran
calon,
kampanye,
dan puncak
konflik pada
tahapan
rekapitulasi
perolehan
suara
(Husen,
2016: 1, 20)
1. Ketidakpuasan calon yang tereliminasi karena tidak
mencukupi syarat kursi 15%
saat pencalonan,
2. Perbedaan persepsi mengenai jadwal kampanye,
3. Kecurangan suara yang dilakukan oleh Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK)
(Husen, 2016)
Pendapat lain, akar konflik elit
Maluku Utara dalam kaitannya
dengan konflik elit lokal dalam
pilkada Maluku Utara 2007-2008,
dijelaskan dari tiga kejadian yang
saling berkaitan dan bersifat
turunan, yaitu:
1. Pembentukan Provinsi Maluku Utara tahun 1999,
2. Persaingan elit lokal yang
Kerusuhan yang
menyebabkan
korban materi dan
moril (Husen,
2016: 3).
4
berada di belakang sosok
Abdul Gaffur dan juga Thaib
Armayin,
3. Pilkada Maluku Utara 2001-2002 (Abbas, 2011: 231-232).
Pemilihan
Bupati
dan Wakil
Bupati.
Gowa
Tahun
2010
Pencalonan
dan
penetapan
hasil
(Nurmadina,
2012: 4)
Ketidakpuasan pasangan Andi
Madusilla Idjo–Jamaluddin
Rustam terhadap hasil pilkada
yang memenangkan Ichsan Limpo-
Abd Razak Bajidu yang diduga
melakukan pemalsuan ijazah
(Nurmadina, 2012).
Munculnya
kejadian-kejadian
yang sporadis
termasuk
pembakaran bis,
bangunan dan
kantor cabang
Golkar oleh
orang-orang tak
dikenal serta
perkelahian antar
pendukung
setelah sang
petahana dilantik
tanggal 14
Agustus 2010.
Crisis Group Asia
Report No197
(2010: 26).
Pemilihan
Bupati
dan Wakil
Bupati
Ilaga
Tahun
2011
Pencalonan KPU menolak berkas pendaftaran
Simon Alom sebagai calon bupati,
karena Thomas Tabuni yang
merupakan Ketua DPC Partai
Gerinda Ilaga mencabut dukungan
terhadap Simon Alom, sehingga
massa pendukung Simon marah
dan menyerang massa Thomas
(kompas.com)
Konflik
mengakibatkan
korban jiwa dan
korban materi.
Sedikitnya 17
orang tewas, dan
rumah Thomas
Tabuni, mobil
dinas, serta rumah
adat setempat
terbakar
(kompas.com)
Pemilihan
Gubernur
dan Wakil
Gubernur
Provinsi
Aceh
Tahun
2012
Pasca
pilkada
Konflik regulasi, Frasa ―jalur
perseorangan/calon independen‖
yang tercantum dalam pasal 256
UU No.11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh menimbukan
konflik yang berkepanjangan
(Aklima, 2013: 3-7), lihat juga
(Alihar, 2016: 28-29)
Tindakan
kekerasan,
intimidasi,
pemukulan, dan
pembunuhan
menjelang pilkada
Kekerasan dan
penembakan pada
saat pilkada (57
kasus teror dan
intimidasi).
Pemilihan
Bupati
Kampanye,
penetapan
Identifikasi aktor yang terlibat dan
pelanggaran yang dilakukan
Kantor
pemerintah dan
5
dan Wakil
Bupati
Palopo
Tahun
2013
hasil, dan
pasca pilkada
sebagai berikut: (1) KPUD
(melakukan kecurangan dalam
penghitungan, rekapitulasi dan
penetapan suara), (2) pasangan
calon (kampanye negatif, membagi
bantuan menjelang pilkada, dan
mobilisasi massa), (3) partai politik
(kampanye hitam atau negatif dan
bagi bahan pokok), (4) tim sukses
dan massa pendukung (menyerbu
kantor KPUD, membakar kantor
pemerintah dan swasta, serta
bentrok dengan massa pendukung
lain) Permana (2010: 137) dalam
Nasrulhaq dan Yulianto (2013: 5).
swasta dibakar
Bentrok
antarmassa
pendukung.
Sumber : hasil penelitian diolah dari berbagai data sekunder, 2017
Sebagian besar realitas konflik di atas dipelopori oleh rasa kekecewaan dan
ketidakpuasan, baik dari personal kandidat, partai politik, maupun partisipasi
masyarakat pendukung terhadap hasil pilkada. Begitu juga dengan akibat yang
ditimbulkan, sebagian besar mengarah kepada kerusuhan dengan korban jiwa
dan materil yang signifikan.
Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, upaya dalam memperbaiki
kualitas pilkada memunculkan alternatif berupa terobosan kebijakan politik
dengan menerapkan pilkada secara serentak. Kebijakan pilkada serentak telah
melalui proses yang panjang. Sebelumnya, mekanisme pemilihan sempat
kembali bergeser dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh
DPRD atas dasar hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 (UU
No.22/2014) Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
6
Sebelum diimplementasikan, UU No. 22/2014 justru mendapat penolakan dari
masyarakat luas karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan
prinsip demokrasi dan akhirnya dicabut dengan dikeluarkannya Perppu No. 1
Tahun 2014 (Hutapea, 2015: 7). Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU No.1/2015), selanjutnya diubah
menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 2015 (UU No.8/2015) tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Terbitnya UU No.1/2015, mengamanatkan pilkada serentak untuk pertama
kalinya diselenggarakan pada tahun 2015. Tidak berlebihan jika sebagian besar
pihak kuatir terhadap keberhasilan penyelenggaraanya, apalagi rekam jejak
sejarah pilkada langsung sangat rentan terhadap konflik.
Pemerintah meyakinkan sikap pesimis masyarakat melalui langkah-langkah
antisipatif. Peneliti utama politik pemerintahan Indonesia, Prayudi (2015: 18),
menyebutkan antisipasi pemerintah yaitu melalui APBN, pemerintah sudah
mengalokasikan anggaran pengamanan pilkada serentak 2015 lalu, sebesar
Rp691 miliar. Selain itu pemerintah melalui BIN dan penegak hukum
memperkuat deteksi dini terhadap potensi gangguan keamanan dan melibatkan
Satpol PP dan Linmas untuk menjaga ketertiban. Disisi lain, Kepolisian
menerbitkan Surat Edaran Kapolri No. SR/6/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian.
7
Pada penyelenggaraannya, pilkada serentak yang diikuti oleh 269 daerah (9
Provinsi dan 260 Kabupaten/Kota) masih menyisakan persoalan-persoalan.
Adapun beberapa persoalan yang tercatat pada penyelenggaraan pilkada
serentak tahun 2015 dari berbagai indikator. Pertama, ketidaksiapan anggaran
di beberapa daerah dan diskresi petahana kepala daerah yang menyebabkan
anggaran menjadi tersandera, dan efisiensi anggaran dinilai gagal (Sadikin,
2015: 28-31). Kedua, penyelesaian sengketa pencalonan yang berlarut-larut
yang mengakibatkan pilkada diundur dan menjadi tidak serentak (Sinambela,
Nathalia, dan Dewantara, 2015: 105). Ketiga, fenomena calon tunggal yang
berdampak pada desain surat suara dan menurunnya partisipasi pemilih
(Maharddhika dan Pratama, 2015: 109). Keempat, konflik vertikal antara
penyelenggara dengan masyarakat terlebih pasangan calon yang
mengakibatkan kebakaran, kekerasan, dan intimidasi (Pratama, dan Sinambela,
2015: 150), dan kelima, mengenai proses penyelesaian sengketa terhadap 147
permohonan ke Mahkamah Konstitusi (Laporan Hasil Penelitian Perludem,
2015: 2-3).
Berdasarkan laporan hasil penelitian Perludem diatas, salah satu daerah dari
147 gugatan terhadap hasil pilkada tahun 2015 yang lalu adalah Kota Sungai
Penuh Provinsi Jambi.1 Pilkada serentak Kota Sungai Penuh berbarengan
dengan 5 daerah lain di wilayah Jambi, termasuk Provinsi Jambi. Pilkada
serentak ini, merupakan pengalaman pahit bagi keberlangsungan demokrasi
1 Gugatan yang diajukan teregistrasi di laman resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id, nomor registrasi
143/PHP.KOT-XIV/2016, pokok perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Walikota Sungai Penuh Tahun 2015,
pemohon H. Herman Muchtar , SE, MM, dan H. Nuzran Joher, S.Ag, M.Si
8
khususnya di Kota Sungai Penuh, karena berakhir dengan konflik. Konflik
memang tidak diharapkan, namun kedatangannya tidak bisa diprediksi.
Penyelenggaraan pilkada yang berakhir dengan konflik cenderung
menghasilkan dampak yang negatif. Selain seperti yang tergambar dari akibat
langsung konflik berupa korban materi maupun moril, juga mempengaruhi
elemen-elemen lainnya. Nurhasim (2010: 111-112), menjelaskan beberapa
dampak konflik pilkada. Pertama, adanya intervensi lembaga-lembaga
penyelenggara dan institusi lainnya seperti Mahkamah Agung (MA) dan
pemerintah pusat dalam menentukan hasil pilihan masyarakat.
Kedua, intervensi dan penyelesaian hasil pilkada langsung justru menciptakan
bentuk ketidaksiapan suatu pemilihan, artinya menunjukkan ketidaksiapan
calon untuk mematuhi rule of game. Ketiga, pilkada menampakkan wajah
democrazy, suatu lelucon demokrasi lokal, karena mirip dengan dagelan dan
acap kali hasil pilihan rakyat dipelintir oleh kepentingan penyelenggara pemilu
dan/atau institusi yang lebih tinggi.
Keempat, rusaknya merit system dalam birokrasi pada sisi lain tentu akan
membawa dampak bukan saja polarisasi jabatan, tetapi menyebabkan situasi
konfliktual dalam tubuh birokrasi. Kelima, adanya fenomena degradasi hukum
menjadi distorsi baru dalam proses pergantian kepemimpinan di tingkat lokal
dengan berbagai pernik-pernik ketidakadilannya.
Berdasarkan gambaran dampak konflik pilkada di atas, sebagian besar relevan
dengan kondisi konflik yang terjadi pada pilkada Kota Sungai Penuh Tahun
9
2015. Gejala tersebut terlihat dari adanya intervensi lembaga adjudikasi seperti
MK, PTUN, DKPP, bahkan ahli hukum dari unsur akademisi ikut
mempengaruhi konflik, kepentingan penyelenggara pilkada sangat kentara
dalam resolusi konflik, degradasi hukum penyelenggaraan pilkada, serta
ketidaksiapan paslon dalam menerima hasil pilkada dan mematuhi aturan yang
ditunjukkan melalui saluran demonstrasi.
Fenomena konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015 sejatinya tidak
selalu berada dalam wujud, yang oleh Rusdiana (2015: 144-145) diindikasikan
dalam bentuk demonstrasi, kerusuhan, serangan bersenjata, ataupun kematian.
Akan tetapi, selain bentuk demonstrasi dan kerusuhan, konflik pilkada Kota
Sungai Penuh juga mengarah pada apa yang disebut Plano, dkk (Surbakti,
1992: 149), sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi
(interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara
kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan
dasar lainnya yang satu sama lain saling bertentangan. Dengan demikian,
makna benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti
perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu,
individu dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu,
kelompok dengan pemerintah.
Berdasarkan pola konflik pada pilkada Kota Sungai Penuh yang terjadi secara
berkesinambungan, melibatkan beberapa aktor penting. Mengenai keterlibatan
aktor dalam pilkada, Nurhasim, dkk (2010: 111) menjelaskan bahwa aktor
utama yang terlibat dalam konflik adalah calon, tim sukses, keluarga-organisasi
10
underbow serta partai pengusung. Sementara aktor-aktor pendukung umumnya
adalah kelompok-kelompok kepentingan dan etnik, organisasi massa dan
keagamaan serta ada gejala terlibatnya birokrasi pemerintahan dan massa
pemilih serta masyarakat umum.
Dengan demikian, dalam konteks pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015,
diidentifikasi aktor-aktor yang terlibat (multiaktor) antara lain paslon dan
pendukung, penyelenggara pemilu, dan LSM. Adapun gambaran secara umum,
jenis konflik dan keterlibatan multiaktor tersebut dijelaskan dalam tabel
berikut:
Tabel 2. Jenis konflik dan aktor yang terlibat pada pilkada Sungai Penuh
Konflik 1
(Demonstrasi dan
Kerusuhan)
Konflik 2
(Kebijakan)
Konflik 3
(Kebijakan)
Konflik 4
(Kebijakan)
• Kandidat & Pendukung
Paslon HM-NJ vs
• KPU Kota Sungai Penuh & Panwas
2
Kota Sungai
Penuh
• KPU Kota Sungai Penuh vs
• Panwas Kota Sungai Penuh
• Panwas Kota Sungai Penuh vs
• Bawaslu Provinsi Jambi
• Bawaslu Provinsi Jambi
vs
• LSM AMPKS
Sumber : hasil penelitian diolah dari data sekunder, 2017
Berdasarkan keterlibatan aktor dan jenis konflik yang terjadi pada pilkada Kota
Sungai Penuh tahun 2015 di atas, asumsi yang disimpulkan peneliti dari kasus
tersebut adalah lemahnya komunikasi, dalam hal ini komunikasi politik, yang
mengakibatkan terciptanya konflik multiaktor yang berkesinambungan pada
pilkada Kota Sungai Penuh. Kesimpulan ini senada dengan pandangan
2 Terdapat perbedaan singkatan, dalam UU No.15/2011 menggunakan singkatan Panwaslu (panitia pengawas
pemilihan umum, sedangkan dalam UU No.8/2015 singkatan yang digunakan Panwas (panitia pengawas
pemilihan), akan tetapi lembaga yang dimaksud adalah sama. Pada penelitian ini, singkatan yang sering
digunakan adalah Panwas, karena merujuk pada UU No.8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
11
Pradhanawati (2011: 12) bahwa kerusuhan dan kekerasan yang sering terjadi
pada pilkada disebabkan oleh penyelenggara pilkada (KPUD) tidak melakukan
komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta/calon/kandidat, sehingga
terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD dapat dikatakan merupakan
lembaga yang super body. Akhirnya massa pendukung calon/kandidat
melakukan protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah
kerusuhan sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang
ada hanya informasi-informasi yang tidak jelas.
Berdasarkan pendapat Pradhanawati di atas, pada titik ini posisi penyelenggara
menjadi paradoks. Di satu sisi, penyelenggara adalah lembaga sentral dalam
penyelenggaraan pemilu, di sisi lain, pada situasi konflik, penyelenggara malah
ikut terlibat sebagai aktor konflik, lebih ironis lagi, menjadi penghambat
penyelenggaraan pemilu.
Penyelenggara pemilu sebagai lembaga sentral menurut Wall, dkk (2006: 1)
dalam buku Desain Penyelenggara Pemilu; Buku Pedoman Internasional
IDEA, bahwa sebuah Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) adalah organisasi
atau lembaga yang memiliki tujuan, dan bertanggung jawab secara legal, untuk
menyelenggarakan sebagian atau semua elemen yang esensial untuk
menyelenggarakan pemilu atau instrumen pelaksanaan demokrasi langsung
lainnya. Elemen yang termasuk esensial untuk pelaksanaan pemilu diantaranya,
menentukan siapa-siapa yang patut untuk dipilih, menerima dan memvalidasi
para kandidat (untuk pemilu: partai dan/atau kandidat), melaksanakan polling,
menghitung suara, dan mentabulasi suara. Selanjutnya, penelitian Pastor, 1999;
12
Lopez-Pintor, 2000, dan Wall, 2006 (UNDP, 2009) membuktikan bahwa
struktur, keseimbangan, komposisi, dan profesionalisme badan pengelola
pemilu (misalnya, komisi pemilihan) adalah komponen kunci dalam
kesuksesan proses pemilu yang menghasilkan hasil yang sah dan dapat
diterima.
Oleh karena itu, komunikasi sangat penting dalam setiap dinamika
penyelenggaraan pemilu. Komunikasi yang efektif antarpenyelenggara pemilu
juga menjadi faktor penting untuk menghindari konflik. Menurut Quraishi, et.al
(2016: 48) dalam buku terbitan International institute for Democracy and
Electoral Assistence (IDEA) tentang Risk Management in Election
menyebutkan ―Good and smooth communication among election officials is
essential for security planning and rapid response to incidents”.
Komunikasi yang dimaksud dalam konteks pilkada, mencakup komunikasi
dengan penyelenggara di tingkat bawah, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) serta Panwaslu Kecamatan (Panwascam) dan
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Kondisi ini mempermudah bagi komisioner
untuk merespon kebijakannya secara tepat dan benar jika terjadi pelanggaran.
Proses pilkada yang merupakan bagian dari kegiatan interaksi yang
berorientasi pada perebutan kekuasaan, dimana unsur-unsur pembicaraan dan
informasi yang tersebar berada pada domain isu-isu politik. Oleh karena itu hal
ini sekaligus menandakan bahwa interaksi dalam proses pilkada memuat
komponen komunikasi politik.
13
Kemudian untuk memperkuat asumsi terkait fenomena komunikasi politik, ada
beberapa penelitian yang relevan, antara lain :
1. Penelitian Mahi M. Hikmat dalam judul Komunikasi Politik Calon Kepala
Daerah pada Pemilihan Langsung (Studi Kasus pada Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasangan calon kepala
daerah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008
menggunakan enam bentuk komunikasi politik, yakni: retorika, propaganda,
public relation, kampanye politik, lobi politik, dan melalui media massa.
Agitasi politik tidak digunakan dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur
Jawa Barat karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Jawa Barat;
Kesundaan. Para calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat Tahun 2008
telah melahirkan model komunikasi politik santun, yakni komunikasi politik
yang berbasis budaya lokal; budaya masyarakat Jawa Barat yang someah
hade ka semah, santun, tidak memaksa, dan mengutamakan kebersamaan.
2. Penelitian Dewanto Putra Fajar dengan judul Komunikasi dan Konflik
Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi
Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan
Pemerintah Kota Surakarta Berkenaan dengan Dana Banjir.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa konflik terjadi antara warga dengan
pemerintah kota secara disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kegagalan
komunikasi pada program penundaan dana bantuan banjir dan relokasi yang
dilakukan pemerintah kota. Sedangkan upaya resolusi konflik, pemerintah
kota dan warga Bantaran sama-sama bertindak dan mengupayakan
14
komunikasi demi mencapai kesepakatan bersama dan resolusi konflik yang
tepat. Hal itu membuat ada perspektif dialogis diantara dua pihak yang
berseteru.
3. Penelitian Nadia Wasta Utami dengan judul Komunikasi dalam Resolusi
Konflik Beragama (Studi pada Upaya Komunikasi Aktor-Aktor dalam
Resolusi Konflik Ahmadiyah di Tasikmalaya).
Hasil penelitian yang sekaligus menjadi pembeda dengan penelitian ini
adalah fokus konflik pada kasus Ahmadiyah, ada empat aktor yang terlibat
dalam penyelesaian konflik, yaitu Majelis Ulama Indonesia, Forum
Kerukunan Beragama, Kepolisian Resort dan Badan Koordinator Pengawas
Aliran Kepercayaan, serta strategi komunikasi yang digunakan berupa
upaya persuasif dan dialogis. Sedangkan penelitian ini fokus pada konflik
pilkada, dan aktor yang terlibat adalah calon, pendukung/tim sukses,
penyelenggara pemilu, LSM.
4. Penelitian Muhammad Ridwan dengan judul Komunikasi Politik dan
Diplomasi Berbasis Kearifan Lokal dalam Masa Kampanye Pemilukada
Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang berjalannya komunikasi politik
dan diplomasi politik pada saat pilkada di Kabupaten Kuantan Singingi
yang kurang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal. Timbulnya kerusuhan
atau konflik di tengah-tengah masyarakat dalam pilkada dikarenakan tidak
maksimalnya komunikasi politik dan diplomasi politik yang dilakukan oleh
para kandidat calon Bupati dengan kearifan lokal yang melekat di dalam diri
15
masyarakat Kuantan Singingi, para calon hanya mengedepankan ambisi
pribadi daripada ambisi dan keinginan rakyat.
5. Penelitian Syahruni, Cangara, dan Baja dengan judul Konflik dalam
Komunikasi Politik Antara Legislatif dan Eksekutif dalam Menyikapi
Rencana RTRW di Kabupaten Bulukumba.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola hubungan komunikasi antara
eksekutif dan legislatif dalam penyelesaian konflik dalam penetapan Perda
RTRW Kabupaten Bulukumba yaitu melalui proses komunikasi organisasi
formal dan komunikasi organisasi informal. Bentuk konflik yang terjadi
antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan Perda RTRW Kabupaten
Bulukumba adalah konflik antarorganisasi, yakni antara lembaga eksekutif
dan legislatif Kabupaten Bulukumba.
Dari berbagai fokus penelitian di atas, konflik pilkada Kota Sungai Penuh
menarik untuk diteliti, pertama, melibatkan multiaktor yang meliputi paslon,
pendukung, penyelenggara pemilu, dan LSM, artinya keterlibatan aktor utama
dalam kontestasi pilkada yang seharusnya menjadi pondasi dalam
mensukseskan pilkada. Kedua, konflik terjadi secara berkesinambungan
dengan bentuk konflik yang bervariatif, sehingga dengan memahami penyebab
konflik, dan resolusi konflik, menjadi pengalaman yang sangat berguna dalam
tata kelola pemilu sebagai upaya mitigasi untuk pilkada yang akan datang.
Ketiga, komunikasi politik adalah penting dalam proses politik, karena dengan
komunikasi politik yang efektif cenderung akan meminimalisir konflik tidak
mengalami eskalasi. Pemahaman ini sangat penting untuk diketahui oleh
16
penyelenggara pemilu dan stakeholder dalam mewujudkan pilkada yang
berintegritas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dinamika komunikasi politik multiaktor dalam proses konflik
pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015?
2. Bagaimana peran KPU Kota Sungai Penuh dalam proses konflik pilkada
Kota Sungai Penuh Tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis dan mendeskripsikan dinamika komunikasi politik multiaktor
dalam proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015.
2. Menganalisis dan mendeskripsikan peran KPU Kota Sungai Penuh dalam
proses konflik pilkada Kota Sungai Penuh Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang konflik
pilkada bagi penyelenggara pemilu dan stakeholders melalui upaya:
a. Revisi regulasi terkait pilkada, terutama hal yang cenderung multitafsir.
b. Memperbaiki manajemen konflik pilkada,
c. Perbaikan prosedur, sistem dan mekanisme kepemiluan.
2. Manfaat Akademis,
17
Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kajian ilmu politik
khususnya mengenai penanganan konflik pilkada dalam perspektif
komunikasi politik melalui upaya:
a. Perubahan kurikulum pengajaran Tata Kelola Pemilu (TKP),
b. Melengkapi bahan ajar modul mata kuliah pencegahan dan penanganan
konflik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Konflik
1. Pengertian Konflik dan Konflik Politik pada Pemilihan Kepala Daerah
Konflik adalah suatu keniscayaan dalam bingkai interaksi kehidupan sosial
manusia. Robbins (2008:173) dalam karyanya Perilaku Organisasi
menyebutkan bahwa banyak defenisi mengenai konflik dengan makna
berbeda-beda. Akan tetapi, ada poin kesamaan definisi-definisi tersebut,
yaitu adanya pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk
interaksi. Jadi, konflik (conflict) didefinisikan sebagai sebuah proses yang
dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah
mempengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif,
sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.
Robbins juga menegaskan bahwa definisi tersebut mencakup beragam
tingkatan konflik—dari tindakan terang-terangan dan keras sampai ke
bentuk-bentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat. Salah satu pola
tingkatan konflik dapat dilihat dari tingkatan kekerasan (degree of violence)
proses eskalasi konflik. Setidaknya ada enam tingkatan, yaitu kategori lisan
(keresahan, keluhan) dan kategori tindakan (laporan, tekanan, ancaman,
perusakan, hingga terjadinya pembunuhan). Prayogo (Rachmawan, 2016:
196).
19
Gibson, et al. (Wahyono, 2010: 160) mengatakan bahwa hubungan saling
tergantung dapat melahirkan konflik, apabila masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain.
Dalam perkembangan kajian konflik, terdapat perbedaan pendapat mengenai
keberadaan konflik. Wahyono (2010: 162), menjelaskan 3 (tiga) pandangan
pokok mengenai konflik. Pertama, pandangan tradisional (the traditional
view), menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional
menyatakan bahwa konflik disinonimkan dengan istilah kekerasan
(violence), destruksi (destruction), dan ketidakrasionalan (irrationality).
Kedua, pandangan hubungan manusia (the human relations view),
menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam
kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan
dirasionalisasikan.
Ketiga, pandangan interaksionis (the interactionist view), konflik tidak
hanya kekuatan positif dalam suatu kelompok melainkan juga mutlak perlu
untuk suatu kelompok agar dapat berikinerja efektif. Pandangan ini
menjelaskan bahwa untuk menyatakan konflik itu seluruhnya baik atau
buruk tergantung pad tipe konflik itu sendiri.
20
Domain terjadinya konflik bisa dimana dan kapan saja. Konflik tidak dapat
dihindari dalam kehidupan manusia, baik itu dalam organisasi atau bahkan
antarnegara (Omisore, 2014: 118). Secara umum, penelitian ini membatasi
pengamatan pada bentuk konflik organisasi, dimana konflik intraindividual,
interpersonal, dan antarkelompok semuanya melekat dalam konflik
organisasi. (Lutant, 1992: 51).
Lebih rinci, Handoko (1999: 349) membedakan lima jenis konflik dalam
kehidupan organisasi, yaitu; konflik dalam diri individu, konflik antar
individu dalam organisasi yang sama, konflik antar individu dan kelompok,
konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, dan konflik antar
organisasi. Dalam pandangan lain, Soekanto (1989: 90) membagi bentuk
dan jenis-jenis konflik menjadi konflik pribadi, konflik rasial, konlfik antar
kelas sosial, konflik politik antar golongan dalam satu masyarakat maupun
antara negara-negara yang berdaulat, dan konflik yang bersifat internasional.
Berdasarkan pembagian jenis konflik di atas, memperjelas arah penelitian
ini. Selain dibatasi mengenai konflik organisasi, juga mengarah pada bentuk
konflik politik. Artinya dalam sebuah konflik organisasi yang melibatkan
individu, kelompok dan organisasi, salah satu yang menjadi objek dalam
konflik terbangun dari isu-isu/ persoalan politik.
Pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan
kepentingan. Suatu konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi
yang muncul dalam berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut
diawali dengan hal-hal yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan
21
berproses menjadi suatu konflik (Hidayat, 2002: 124). Sedangkan Rauf
(2001: 19) memandang konflik politik sebagai salah satu bentuk konflik
sosial, dimana keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan
konflik sosial dan politik adalah kata politik yang membawa konotasi
tertentu bagi istilah konflik politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan
negara/ pemerintah, para pejabat politik/pemerintahan, dan kebijakan.
Pandangan Plano, dkk (Surbakti, 1992: 149), bahwa sebagai aktivitas
politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang ditandai
dengan bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan,
kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar lainnya yang satu
sama lain saling bertentangan. Dengan demikian, makna benturan diantara
kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat,
persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan
pemerintah.
Mengenai konflik dalam pemilihan umum, Jeff Fischer (Senior Advisor for
Governance and Elections at International Foundation fo Electoral System
/IFES) dalam karyanya Electoral Conflict and Violence: A Strategy for
Study and prevention telah berjasa mendeskripsikan mengenai konflik
pemilu ini. Fischer (2002: 2) menjelaskan bahwa:
“An electoral process is an alternative to violence as a means of
achieving governance. However, when an electoral process is
perceived as unfair, unresponsive or corrupt, its political legitimacy
is compromised and stakeholders are motivated to go outside the
established norms to achieve their political objectives. Electoral
conflict and violence become tactics in political competition”.
22
Padangan Fischer diatas merupakan deskripsi nyata perkembangan
demokratisasi Indonesia saat ini, khususnya pada level lokal. Masa transisi
yang terpola masih sangat labil. Konsolidasi yang dibentuk masih jauh dari
arah perbaikan. Ironis, kekerasan dan konflik dijadikan wadah taktik
persaingan politik.
Seterusnya, Fischer (2002: 3) juga menjelaskan bahwa konflik pemilu dan
kekerasan dapat didefinisikan sebagai tindakan atau ancaman acak atau
terorganisir untuk mengintimidasi, melukai secara fisik, memeras, atau
menyalahgunakan pemangku kepentingan politik dalam upaya menentukan,
menunda, atau mempengaruhi proses pemilu. Fischer juga mengidentifikasi
bahwa konflik pemilu dan kekerasan dapat terjadi pada lima interval dalam
kronologi pemilihan:
1) Konflik identitas dapat terjadi selama proses pendaftaran ketika
pengungsi atau migran lain yang dipaksa konflik tidak dapat membangun
atau membangun kembali identitas resmi mereka yang diakui.
2) Konflik kampanye dapat terjadi ketika saingan berusaha mengganggu
kampanye lawan, mengintimidasi pemilih dan kandidat, dan
menggunakan ancaman dan kekerasan untuk mempengaruhi partisipasi
dalam pemungutan suara.
3) Konflik pemungutan suara dapat terjadi pada Hari Pemilu ketika
persaingan dimainkan di TPS.
23
4) Konflik hasil pemilu dapat terjadi dengan sengketa hasil pemilu dan
ketidakmampuan mekanisme peradilan untuk menyelesaikan sengketa
secara adil, tepat waktu, dan transparan.
5) Konflik representasi dapat terjadi ketika pemilihan diselenggarakan
sebagai peristiwa "zero sum" dan "pihak yang kalah" tidak diikutsertakan
dalam pemerintahan.
Selain itu, Fischer (2002: 3) juga menegaskan bahwa ketika konflik
kekerasan terjadi, itu bukan hasil dari proses pemilihan; ini adalah gangguan
dari proses pemilihan. Dalam pandangan lain, Höglund (2009: 415)
mengkaji konflik pemilu dalam bentuk kekerasan melalui 2 (dua)
pendekatan,. Pendekatan pertama, kekerasan pemilu dilihat sebagai sub-set
kegiatan dalam konflik politik yang lebih besar dan merupakan bagian
lintasan kekerasan etnis dan komunal di masyarakat. Pendekatan kedua,
kekerasan pemilu dilihat sebagai jenis kecurangan pemilu sebagai upaya
―clandestine‖ (terselubung) untuk membentuk hasil pemilihan mencakup
kegiatan pemungutan suara, pembelian suara, dan gangguan proses
pendaftaran.
Mengenai konflik pilkada, menurut Urbaningrum (1999) bahwa konflik
pemilukada merupakan konflik politik, dan konflik politik dapat
digolongkan dalam konflik sosial, terjadi diantara anggota masyarakat
sebagai akibat dari adanya hubungan sosial yang cukup intensif. Konflik
politik berkaitan dengan penguasa politik atau keputusan yang dibuatnya
24
(keputusan politik). Masalah yang dipertentangkan dalam konflik politik
berada pada tingkatan political.
Seperti jenis kekerasan lainnya, mendefinisikan kekerasan pemilu menjadi
masalah karakterisasi aktor, kegiatan, waktu, dan motif (Höglund, 2009:
415). Pandangan yang serupa menurut Malik (2009: 6) bahwa pencegahan
konflik-konflik kekerasan sejak awal selain dengan melakukan analisis
terhadap sumber konflik baik yang bersifat latent ataupun manifest,
melakukan deeskalasi (mencegah dan menyelesaikan konflik dengan
kemampuan negosiasi, juga dilakukan dengan cara mendeteksi aktor-aktor
yang terlibat konflik dan yang mempunyai kepentingan.
Disisi lain, jika mengkaji suatu konflik, maka hal fundamental yang menjadi
bagian rangkaian yang holistik dari proses pemetaan konflik adalah dengan
mengetahui aktor-aktor yang terlibat. Fisher, et. al. (2000) menjelaskan
salah satu alat bantu dalam menganalisis konflik, yaitu melalui pemetaan
konflik. Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara
grafis yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik
dan hubungan-hubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar,
aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing
memiliki peran terhadap konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang
layar.
Oleh karena itu, untuk memahami aktor-aktor konflik dalam konteks
pilkada, Pandangan komisioner KPU RI Arief Budiman yang disampaikan
dalam suatu pertemuan diskusi Forum Senator untuk Rakyat (FsuR) Kantor
25
Berita Politik RMOL dengan tajuk ―Memetakan Potensi Konflik dalam
pilkada serentak‖ mengklasifikasi aktor-aktor yang berpotensi memicu
konflik, antara lain :
1) Peserta pilkada, apalagi bila pilkada hanya diikuti dua kandidat;
2) Penyelenggara pilkada. Hanya saja sudah ada instrumen untuk
mengkoreksinya melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP);
3) Para pemilih;
4) Pemerintah berkaitan dengan dana pilkada;
5) TNI dan Polri yang mengawasi dan mengamankan pilkada. Ini berkaitan
netralitas aparat dalam pilkada;
6) Media massa. Media massa seringkali memanaskan situasi dengan
pemberitaan tak berimbang (http://www.rmol.co/read/2015
/08/23/214429/Inilah-6-Aktor-Potensial-Pemicu-Konflik-pilkada-
Serentak-versi-KPU-)
2. Konflik dalam Perspektif Komunikasi
Untuk memahami interaksi yang rumit antara komunikasi dan konflik,
Krauss & Morsella (2000: 3-10) dalam karyanya Communication and
Conflict menjelaskan empat paradigm, yaitu empat model proses
komunikasi serta hubungannya dengan konflik. Model ini secara singkat
mengkaji kesalahan komunikatif yang merupakan sumber konflik, serta
bagaimana dan mengapa komunikasi dapat memperbaiki konflik. Dalam
http://www.rmol.co/read/2015%20/08/23/214429/http://www.rmol.co/read/2015%20/08/23/214429/
26
pengertian sederhana, komunikasi dapat menyebabkan konflik dan konflik
bisa diselesaikan dengan berkomunikasi yang baik.
Krauss & Morsella melihat proses komunikasi dari definisi yang umum
dengan menarik konseptual komunikasi sebagai suatu bentuk transfer
informasi. Informasi yang berasal dari satu bagian sistem diformulasikan ke
dalam pesan yang ditransmisikan ke bagian lain dari sistem itu. Akibatnya,
informasi yang berada di satu lokus datang untuk direplikasi pada yang lain.
Informasi tersebut selanjutnya disebut sebagai ide atau representasi mental.
Dalam bentuk yang paling mendasar, komunikasi manusia dapat diartikan
sebagai proses di mana ide-ide yang terkandung dalam satu pikiran
disampaikan ke pikiran lain. Kendati terlihat sebagai proses yang sederhana,
kenyataannya uraian ini gagal dalam proses manusia berkomunikasi.
1) The Encoding-Decoding Paradigm (Paradigma Enkoding-Dekoding)
Konseptualisasi komunikasi yang paling mudah dapat ditemukan dalam
paradigma Encoder/ Decoder, di mana komunikasi digambarkan sebagai
transfer informasi melalui suatu kode. Kode adalah sistem yang
memetakan serangkaian sinyal ke satu set makna. Krauss & Morsella
mencontohkan melalui penyandian Morse. Setiap sinyal Morse ada satu
dan hanya satu makna, dan untuk setiap artinya ada satu dan hanya satu
sinyal. Krauss & Morsella menetapkan 3 (tiga) proposisi dalam
mengasumsi komunikasi manusia sebagai encoding-decoding, pertama,
dikodekan dalam pesan, dimana pesan berubah menjadi sinyal yang
mengandung elemen korespondensi satu-ke-satu; kedua, pesan dikirim
27
melalui saluran ke penerima; ketiga, penerima menerjemahkan pesan agar
sesuai dengan pesan yang dikirimkan.
Selanjutnya, Krauss & Morsella menyebutkan faktor noise (kebisingan)
dapat mengakibatkan makna pesan tidak dapat dipahami, pesan yang
diterima tidak identik dengan yang ditransmisikan. Akan tetapi selain
noise (kebisingan), fakor kognitif juga mempengaruhi pemahaman
terhadap pesan yang dikirim. Walaupun pesan yang dikirim dan diterima
dalam kondisi yang sama, referensi yang berbeda dalam memahami
istilah pesan inilah yang mengakibatkan konflik dapat terjadi.
2) Intentionalist Paradigm (Paradigma Niat)
Paradigma niat pada intinya memandang bahwa proses komunikasi tidak
mementingkan penggunaan kata, namun lebih menitikberatkan pada niat
dan tujuan individu menggunakan pesan dalam proses komunikasi itu
sendiri. Dalam pandangan lain bahwa niat, kepentingan serta tujuan
seseorang dalam berkomunikasi sangat menentukan cara, bahasa yang
digunakan, dan pesan yang akan disampaikannya. Pada titik ini, menurut
Krauss & Morsella relevan dengan penggunaan bahasa dalam situasi
konflik, terutama ketika konflik berasal dari perbedaan niat, tujuan, nilai,
dan ideologi.
3) The Perspective-Taking Pradigm (Paradigma penentuan perspektif).
Paradigma penentuan perspektif mengasumsikan bahwa orang
mempersepsikan dunia dari sudut pandang yang berbeda, karena
pengalaman masing-masing individu pada tingkat tertentu bergantung
28
pada sudut pandangnya. Oleh karena itu pesan dirumuskan berdasarkan
perspektif yang berbeda pula. Dalam kondisi konflik, akan semakin
memperburuk keadaan jika tidak ditemukan persamaan persepsi dalam
pemahaman sebuah pesan.
Ada dua alasan konflik bisa terjadi dalam kondisi ini, yaitu tingginya
perbedaan persepsi yang harus diakomodir oleh komunikator dan Kedua,
konflik cenderung membuat perbedaan yang dirasakan di antara para
peserta lebih menonjol, dan dengan demikian meningkatkan
kecenderungan terbentuknya gap antara kelompok-kelompok dan di luar
kelompok.
4) The Dialogic Paradigm (Paradigma dialogis)
Paradigm dialogis menjelaskan bahwa komunikasi merupakan
kesepakatan bersama di antara pihak yang berkomunikasi. Komunikasi
dianggap sebagai pencapaian bersama antara pengirim dan penerima
pesan, yang telah berkolaborasi untuk mencapai beberapa tujuan
komunikatif. Makna adalah "ditempatkan secara sosial" —berasal dari
keadaan khusus dari interaksi — dan makna ucapan dapat dipahami
hanya dalam konteks keadaan tersebut. Karena para peserta
diinvestasikan dalam pemahaman, dan dipahami oleh, satu sama lain,
pembicara dan lawan bicara memastikan bahwa mereka memiliki
konsepsi yang sama tentang makna setiap pesan sebelum mereka
melanjutkan pada proses berikutnya.
29
3. Konflik Sebagai Akibat Komunikasi
Manusia mengatur dunianya dengan cara berkomunikasi yang menurutnya
masuk akal dan bermakna. Akan tetapi, dalam berkomunikasi manusia
sering mengedepankan ambisinya, sehingga menimbulkan salah pengertian
dan menyebabkan terjadinya konflik sosial (Amin, 2017 : 103).
Pendapat yang serupa menurut Raffel (Fajar, 2010: 25) bahwa penyebab
konflik sebenarnya berasal dari bentuk-bentuk kegagalan berkomunikasi
yang dapat menyebabkan satu pihak merasa terintimidasi, tertekan, atau
terpaksa. Menurut Rusdiana (2015: 72), konflik terjadi karena adanya
interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila ingin
mengetahui konflik, berarti harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tetapi tidak semua
konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers (Rusdiana,
2015: 72), jika komunikasi adalah proses transaksi yang berupaya
mempertemukan perbedaan individu secara bersama sama untuk mencari
kesamaan makna, dalam proses itu pasti ada konflik. Konflik pun tidak
hanya diungkapkan secara verbal, tetapi juga diungkapkan secara nonverbal.
Seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan
pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling
baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan
sebagai ―perang dingin‖ antara dua pihak karena tidak diekspresikan
langsung melalui kata-kata yang mengandung amarah.
30
Berdasarkan definisi di atas, kegagalan akibat proses komunikasi bisa
berasal dari komunikator, pesan, media, ataupun komunikannya. Dari sisi
komunikator, Spitzberg & Cupach (Fajar, 2010: 25) menjelaskan bahwa
kegagalan komunikasi bisa berasal dari diri individu sebagai komunikator
atau komunikan, disebabkan oleh bentuk komunikasi yang agresif dan
komunikasi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari komunikator yang tidak
cakap sehingga akan mempengaruhi persepsi seseorang.
Pesan sebagai penyebab konflik banyak dikaji oleh peminat komunikasi dari
sisi penggunaan bahasa baik verbal maupun non-verbal. Seperti Adejimola
(2009: 01) dalam karyanya Language and Communication in Conflict
Resolution menjelaskan bahwa bahasa dalam tindakan dapat dilihat dalam
bentuk lisan, non-verbal dan media tertulis. Karena itu, bahasa dan
komunikasi adalah sine qua non di dunia kata-kata dan seterusnya meletus
menjadi konflik atau perselisihan. Akan tetapi, Adejimola juga sepakat jika
disisi lain bahasa dan komunikasi digunakan untuk resolusi konflik.
Media sebagai penyebab konflik, terutama media massa sering
menyebabkan berkembangnya masalah-masalah sosial yang menyeret pada
konflik, dan citra buruk pada kognisi masyarakat juga terhadap media massa
itu sendiri. Efek dari media massa membentuk proses perubahan sosial
(Amin, 2017: 104). Oleh karena itu, Lazarsfeld & Merton (Benoit &
Holbert, 2014 : 626) mengakui bahwa media massa bisa menghasilkan status
tentang isu-isu publik, orang, organisasi, dan gerakan sosial. Disisi lain,
pembertiaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh pada dua
31
hal. Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik dan
kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik (Siebert,
dkk. 1986).
Aspek yang tidak kalah penting adalah komunikan sebagai penyebab
konflik. Komunikasi yang tidak baik, bisa terjadi dikarenakan gaya
berbicara atau budaya komunikasi suatu kelompok masyarakat tertentu
seringkali menyinggung perasaan orang yang tidak memahaminya (Sukarno,
2014: 32). Kondisi ini terjadi cenderung karena masyarakat memiliki
persepsi yang berbeda dalam menanggapi isu-isu yang berkembang secara
liar di masyarakat.
Selanjutnya elemen pemicu konflik disisi komunikan adalah terbangunnya
prasangka-prasangka yang tidak relevan. Prasangka adalah sikap terdistorsi,
berat sebelah, atau tidak akurat kepada sebuah kelompok berdasarkan
interpretasi cacat atau tidak lengkap atas informasi yang diperoleh lewat
pengalaman langsung atau tidak langsung dengan sebuah kelompok (Ellis,
2014: 415). Pada titik ini, dalam kehidupan politik, massa dapat digunakan
oleh elite-elite tertentu di dalam mencapai tujuan dan kepentingannya
(Sukarno, 2014: 32).
B. Tinjauan Tentang Komunikasi Politik
1. Definisi Komunikasi
Istilah komunikasi dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Kata komunikasi
atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata Latin communis
32
yang berarti ―sama‖, communico, communicatio, atau communicare yang
berarti ―membuat sama‖ (to make common) (Mulyana, 2005: 41). Selain itu,
Velentzas (2014: 117) menambahkan, ―to communicate‖ berarti ―to make
common‖ atau ―to make known‖, ―to share‖ dan termasuk alat interaksi
manusia berupa verbal, non-verbal, serta alat elektronik.
Perkembangan kajian-kajian komunikasi telah melahirkan definisi dan
konsep komunikasi dari berbagai sudut pandang. Para akademisi telah
mencoba segala usaha untuk mendefinisikan komunikasi, tetapi definisi
tunggal tidak akan mungkin dilakukan dan tidak akan berhasil (Littlejohn
dan Foss, 2009: 4)
Sebagai dasar untuk mengarahkan penelitian ini, ada beberapa definisi atau
konsep komunikasi yang relevan dan terkait langsung dengan bahasan fokus
penelitian dengan memperhatikan prinsip definisi komunikasi. Frank Dance
(1970), membagi 3 (tiga) kategori dimensi yang fundamental yang harus
diperhatikan dalam membedakan komunikasi, yaitu (1) the level of
observation, (2) the presence or absense of intent on the part of the sender,
dan (3) the normative judgment (goodness-badness/ successful-
unsuccessful) of the act.
Littlejohn dan Foss (2009: 4-5) meringkas pemikiran Dance dalam buku
Theories of Human Communication. Dimensi pertama adalah tingkat
pengamatan atau keringkasan, maksudnya beberapa definisi termasuk luas
dan bebas, yang lainnya terbatas. Definisi yang dibuat juga dapat difokuskan
pada masing-masing level, beberapa level, atau seluruh level (Ruben dan
33
Stewart, 2014: 15-16) Perbedaan yang kedua adalah tujuan, maksudnya
beberapa definisi hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan
dengan maksud tertentu, yang lainnya tidak memaksakan pembatasan itu.
Dimensi ketiga yang digunakan untuk membedakan definisi komunikasi
adalah penilaian normatif. Artinya beberapa definisi menyertakan
pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan atau ketepatan, sedangkan
definisi yang lain tidak.
Selanjutnya, Dance juga menyebutkan 15 komponen konseptual
komunikasi, masing-masing disertai dengan definisinya yang mewakili
komponen tersebut, yaitu komponen symbol/ verbal/ speech, understanding,
interaction/ relationship/ social process, reduction of uncertainly, process,
transfer/ transmission/ interchange, linking/ binding, communality, channel/
carrier/ means/ route, replicating memories, discriminative response/
behavior modifying/ response/ change, stimuli, intentional, time/ situation,
and power.
Akan tetapi, dari beberapa definisi diantaranya terkait dalam menjelaskan
fenomena penelitian ini antara lain, pertama, komponen symbol/ verbal/
speech. Definisi dari Hoben (1954: 77)
―communication is the verbal interchange of thought or idea.‖
Kedua, komponen understanding. Definisi dari Andersen (1959):
―communication is the process by which we understand others and in
turn endeavor to be understood by them. It is dynamic, constantly
changing and shifting in response to the total situation.‖
34
Ketiga, komponen interaction/ relationship/ social process. Definisi dari
Mead (1963: 107)
“interaction, even on the biological level, is a kind of
communication; otherwise common acts could not occur.”
Serta keempat, komponen process. Definisi dari Berelson and Steiner (1964:
254) :
“communication: the transmission of information, ideas, emotions,
skills, etc., by the use of the symbol-word, pictures, figures, graphs,
etc. it is the act or process ot transmission that is usually called
communication
Dari berbagai konsep/ definisi yang menyebutkan tentang komunikasi dan
komponen-komponen yang menyertainya, untuk mempermudah memahami
tentang proses komunikasi, peminat komunikasi seringkali menggunakan
paradigma Harold Lasswell (Ruben dan Stewart, 2014: 43) dalam karyanya
The Structure and Function of Communication in Society, yaitu :
―bahwa cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, Who Says What In Which
Channel To Whom With What Effect.‖
Dengan demikian, komponen dalam proses komunikasi setidaknya dengan
menjawab 5 (lima) elemen, yaitu Who (Speaker), Says What (Message), in
Which Channel (or Medium), To Whom (Audience or Listener), With What
Effect. Selain komponen, komunikasi juga dikaji dari pola-pola yang
melingkupinya. Menurut Moor dan Welgand (2005: 24), pola komunikasi
(patterns of communication) adalah elemen-elemen kunci yang menjamin
(ensure) terwujud dan bekerjanya norma-norma komunikasi dari komunitas
tersebut.
35
Leavitt (1949) dalam karyanya Some Effect of Certain Communication
Patterns Upon Group Performance menjelaskan pola komunikasi dan
jenisnya. Kajian ini dikenal juga sebagai eksperimen Leavitt, dimana
melibatkan 5 orang yang harus memainkan perannya layaknya dalam sebuah
organisasi. Tujuan eksperimen ini memberikan gambaran pola mana yang
lebih baik untuk berkomunikasi secara efektif dan cepat.
Pola komunikasi yang diperkenalkan Leavitt, yaitu lingkaran (circle), rantai
(chain), roda (wheel), Y, dan jaringan (network). Kesimpulan pola
komunikasi ini adalah, pertama, pola komunikasi lingkaran ada pemimpin
dan hierarki dalam anggota kelompok. Pemimpin hanya dapat
berkomunikasi dengan anggota yang ada di sampingnya seperti bawahan
langsung mereka. Komunikasi yang terbentuk cenderung satu arah dalam
rantai komando.
Kedua, pola komunikasi rantai memiliki kelemahan yang sama dengan
lingkaran, yaitu rantai komando dan komunikasi satu arah. Bedanya,
anggota dalam pola komunikasi rantai tidak bisa berkomunikasi dengan
pemimpin kelompok. Jadi, para anggota mungkin tidak mendapatkan pesan
yang tepat yang dikirim oleh pemimpin. Pemimpin bahkan tidak akan
menyadari pesan terdistorsi. Serta feedback cenderung bisa terdistorsi.
Ketiga, dalam pola roda ada pemimpin di pusat semua komunikasi,
sedangkan yang lain adalah anggota yang berdiri pada tingkat yang sama
dalam struktur. Semua anggota dapat berkomunikasi dengan pemimpin,
begitu juga sebaliknya (komunikasi dua arah). Pola ini cenderung efektif
36
karena masalah komunikasi sedikit dan metode yang cepat, selain itu bisa
meminimalisir distorsi informasi, serta mendorong umpan balik yang
simultan.
Keempat, pola komunikasi Y cenderung lebih rumit karena ada 3 (tiga)