Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
(Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Supandri
NIM 1111048000014
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2015M
iv
ABSTRAK
SUPANDRI, NIM 1111048000014, KEDUDUKAN LEMBAGA
NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK
INDONESIA (Analisis Sengketa Lembaga KPK dengan Kepolisian Republik
Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436
H / 2105 M. + 77 halaman + lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan
lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Hal ini terkait
dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu khususnya KPK dengan Kepolisian
Republik Indonesia. Kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD
Negara RI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar
hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada
pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengedapankan pendekatan
perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari sumber informasi melalui undang-
undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah
terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa lembaga negara bantu yaitu
KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki kedudukan konstitusional.
Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUDN RI
Tahun 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah
Konstitusi. Namun, bilamana yang terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUDN RI Tahun 1945, maka terjadi kekosongan
hukum.
Kata Kunci : Kedudukan, Sengketa Lembaga Negara
Pembimbing : Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zainal Muttaqin, SH.I,
LLM
Daftar Pustaka : Tahun 1961 s. Tahun 2015
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita
semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak ujian yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini,
namun atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS SENGKETA
LEMBAGA KPK DENGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA)” ini
dengan baik. Selesaianya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis
dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Feni Arifiani, S.Ag, M.H dan Zezen Zaenal Mutaqin, SH.I, LLM selaku
dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam
penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian.
4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan
bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau
serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau
semua.
6. Orang tua, khususnya Ibunda tersayang Ipah dan ayahanda Narin serta
sanak saudara, terima kasih atas dukungan semangat yang tidak pernah
padam serta do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril,
materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.
7. Kekasih tercinta Ike Apriliyani yang memberi semangat dan dukungan
penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi.
8. Teman-teman yang memberi semangat dan dukungan Amy Nurul Azmi,
Puguh Try, Rudi Hartono yang memberi dukungan dan semangat penulis.
vii
9. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, baik konsentrasi hukum bisnis maupun konsentrasi hukum
kelembagaan negara.
Semoga skripsi ini ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan umunya bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 22 Juni 2015
Supandri
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ....................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ................................. 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan ......................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................... 8
E. Metode Penelitian .............................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Negara Hukum .................................................................................. 14
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan .......................................................... 18
C. Konsep Lembaga Negara ................................................................... 21
1. Lembaga Negara Bantu ................................................................ 24
2. Sengketa Lembaga Negara ........................................................... 29
BAB III TINJAUAN UMUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Latar Belakang Pembentukan KPK ................................................... 32
ix
B. Tugas dan Wewenang KPK ............................................................... 34
C. Tugas dan Wewenang Polri ............................................................... 42
D. Hubungan KPK dengan Lembaga Negara Lainnya ........................... 44
BAB IV SENGKETA LEMBAGA NEGARA
A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia .................... 48
B. Sengketa Kewenangan Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian
Republik Indonesia............................................................................. 58
C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan POLRI .................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 76
B. Saran .................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hasil dari perubahan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah
beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi
supremasi konstitusi. Akibatnya sejak masa reformasi, Indonesia tidak lagi
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara sehingga semua
lembaga Negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and
balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi,
dimana konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan
membatasi kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggaraan negara.1
Sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta MA, BPK dan MK sebagai
lembaga-lembaga negara yang utama (main state organ, principal state
organ). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara
instrumental mencerminkan perlembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang utama, sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut
sebagai lembaga negara utama (main state organs, atau main state
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 2-3
2
institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip
checks and balances.2
Disamping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau
yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud diatas,
dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang
bersifat konstitusional lainnya selain Komisi Yudisial, Kepolisian Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum,
Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan
lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya
mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD
1945 tersebut, termasuk KY, harus dipahami dalam pengertian lembaga
tinggi negara sebagai lembaga utama (main organs).
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan
sebagai salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara
universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara
sebagaimana disebutkan diatas, dalam ketatanegaraan disebut dengan
auxiliary state organs (lembaga negara bantu).3 Walaupun tugasnya
melayani atau membantu, akan tetapi menurut Sri Soemantri M, secara
nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan
penting dalam mewujudkan tujuan nasional.4
2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 178
3 Ibid, h. 179
4 Sri Soemantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Airlangga University Press,) h. 204
3
Salah satu lembaga negara bantu yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu agenda penting
dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.5 Cita-cita gerakan
reformasi akan adanya suatu pemerintah yang bersih (clean government)
dari korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien, terbuka, dan
bertanggung jawab kepada rakyat (good governance), didorong oleh
semakin menguatnya tuntutan demokrasi dan penghormatan hak asasi
manusia, serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
publik. Akibat korupsi, rakyat harus membayar mahal untuk pelayanan
publik yang buruk.
Di dalam suatu rezim yang memiliki mesin otoritas yang kuat,
sudah harus disadari bahwa pendekatan pemberantasan korupsi secara
konvensional yang berbasis pada penegakan hukum dan perbaikan
pengawasan melalui institusi kenegaraan, seperti yang sekarang tengah
ditempuh, terbukti sudah tidak efektif lagi. Di sinilah rakyat, yang
merupakan korban sesungguhnya dari perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan
massal, yang melibatkan peran serta masyarakat di semua lapisan sosial
dan profesi.6
Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan
memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai
5 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti
Korupsi (GeRAK) Indonesia, 2004), h. 33
6 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 78
4
respon atas tidak efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas
korupsi yang semakin merajarela. Adanya KPK diharapkan dapat
mendorong penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).7
Kekuasaan KPK yang dianggap sangat besar dalam praktiknya
tidak jarang menimbulkan masalah atau bahkan konflik dengan lembaga
negara lain, terutama lembaga kepolisian sebagaimana dapat dilihat dari
beberapa konflik antar dua lembaga ini. Konflik ini muncul karena
masing-masing lembaga memiliki kewenangan untuk menangani kasus
korupsi tertentu.
Konflik yang pernah terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Polisi Republik Indonesia terkait kewenangan penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang
melibatkan kedua lembaga tersebut. berawal dari adanya perbedaan
penafsiran terkait wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga antara
KPK dan POLRI, perbedaan penafsiran tersebut menjadi latar belakang
timbulnya overlapping (tumpang tindih) kewenangan penyidikan terhadap
kasus tersebut. Secara garis besar, Polri berwenang terhadap semua tindak
pidana yang berlaku dalam KUHP maupun diluar KUHP (termasuk tindak
pidana korupsi) namun, perlu disadari adanya asas lex specialis derogate
lex generalis membuat kedudukan KPK semakin kuat dalam penyelidikan,
penyidikan bahkan penuntutan.
7 Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), 2005), h. 88
5
Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasa Korupsi (KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap
kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan
dan hukum di Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya
memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi
yang dijamin oleh hukum. Baik Polri maupun KPK merupakan institusi
yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi. KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi
ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula
Kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga
institusi tersebut. Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status
“tersangka” bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK, bukan hanya beraroma
benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga penggunaan
kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding
menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan Polri, dan Polri
dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK.
Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing.8
Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan yang dianut Indonesia masih menjadi topik yang menarik
untuk diperbincangkan, Karena lembaga negara bantu ini adalah sebagai
salah satu institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam
8 www.Hukumpedia.com diakses pada 5 mei 2015.
6
pembahasan ini. Sebab, secara filosofis maupun praktis kedudukan dan
legitimasi penegakan hukum merupakan pintu masuk baik bagi penegakan
hukum maupun tata kelola kenegaraan.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga
dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat
pembatasan masalah yakni kedudukan lembaga negara bantu dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia UUD 1945. Serta sengketa
kelembagaan KPK dengan lembaga negara Kepolisian Republik
Indonesia, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan permasalahan
kedudukan lembaga negara bantu khususnya KPK dalam sistem
ketatanegaraan republik Indonesia dan sengketa kelembagaan antara
KPK dengan Kepolisian RI.
Bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan
terkait sengketa kelembagaan KPK dengan kepolisian RI?
7
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
masalah, secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan lembaga KPK sebagai negara bantu
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik kelembagaan antara
KPK dan lembaga Kepolisian.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan khasanah
ilmu pengetahuan hukum tata negara dalam bidang lembaga-
lembaga negara bantu (auxiliary state organs) dalam hal ini studi
analisis kedudukan KPK, utamanya yang mengenai sengketa
kelembagaan antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia
dan segala aspek yang menyangkut kedudukan serta kewenangan
lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Selain dari pada itu adanya tulisan ini dapat menambah
perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan
kontribusi juga bagi perkembangan hukum tata negara Indonesia.
8
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi
kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan mengenai
sengketa kelembagaan KPK sebagai lembaga negara bantu dengan
Polri, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi
pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya Undang-
undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan penelitian ini
diharapkan akan menghilangkan atau setidaknya mereduksi
perdebatan dan argumen yang cenderung negatif terkait
kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu serta hubungan
kerja komisi tersebut dengan organ-organ kekuasaan lain di negara
indonesia.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Adapun skripsi dan buku yang terkait dengan judul diatas sebagai
berikut:
1. Buku berjudul Memberantas Korupsi Bersama KPK yang ditulis oleh
Dr. Ermansjah Djaja. Didalam buku ini Ermansjah Djaja menjelaskan
tentang pemberantasan korupsi versi KPK, karena masih banyaknya
masyarakat atau kelompok masyarakat yang belum mengetahui dan
memahami tentang tugas dan kewajiban serta independensi KPK.
2. Buku berjudul Seri Hukum Kepolisian dan Good Governance yang
ditulis oleh Dr. Sadjijono S.H. M.Hum. Buku ini mengkaji secara
9
mendalam tentang landasan filosofis, teoritis dan yurudis
penyelenggaraan kepolisian dan mengaji konsep-konsep dasar untuk
mewujudkan kepolisian yang baik serta konsep penyelenggaraan
kepolisan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik.
3. Buku berjudul Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun
1945 yang ditulis oleh Dr. Patrialis Akbar, S.H. M.H. didalam buku
ini dibahas mengenai sejarah kelembagaan sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945 juga membahas tentang hubungan antar
cabang kekuasaan negara menurut UUD 1945.
4. Skripsi Sri Hayati Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan judul skripsi
“Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”. Sri
Hayati membahas tentang bagaimana tugas dan wewenang serta
perbandingan tugas dan wewenang antara KPK dengan Kepolisian
Republik Indonesia, adapun perbedaanya dalam skripsi ini membahas
tentang kedudukan KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia studi analisis KPK sebagai lembaga negara
bantu dan membahas sengketa KPK dengan lembaga Polri.
5. Skripsi Lintang Octiariska pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dengan
judul skripsi “Eksistensi Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Sebagai Lembaga Negara Independen dalam Sistem
10
Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Lintang Octiariska membahas
tentang eksistensi KPK dan membahas tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu 10 tahun berdirinya
komisi KPK. Adapun perbedaannya dengan judul skripsi yaitu
membahas tentang kedudukan KPK dan analisis sengketa KPK
dengan Polisi Republik Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
jenis penelitian hukum terkait dengan kedudukan lembaga negara
bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya analisis
kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis
mencari dan menelaah peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian
ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau
mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan
a. Pendekatan Perundang-undangan
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
11
2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi
3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia
3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu
data yang diperoleh dari sumber pertama, yang diperoleh dari UUD
NRI 1945, Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK,
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, makalah, skripsi, jurnal hukum dan sebagainya.
4. Metode Pengumpulan Data
Penuli menggunakan metode pengumpulan data melalui studi
dokumen/kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang
berkaitan dengan hukum kelembagaan negara dan lembaga negara
bantu (KPK), pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga
berita yang penulis peroleh dari internet.
5. Metode Pengelolaan dan Analisa Data
Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode
analisa data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang diperoleh
dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi
12
objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative
menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan,
kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab
permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sesuai
dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi
skripsi, maka sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kajian terdahulu,
kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II, Landasan Teori. Dalam bab ini dibahas mengenai negara
hukum, konsep pemisahaan kekuasaan, lembaga negara dan lembaga
negara bantu serta sengketa kelembagaan negara.
Bab III, Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, tugas dan
wewenang Polri, hubungan KPK dengan lembaga negara lainnya.
13
Bab IV, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada bab ini merupakan inti atau
subtansi dari keseluruhan penelitian skripsi, bab ini membahas kedudukan
KPK sebagai lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Sengketa kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum
lainnya, dan upaya penyelesaian sengketa lembaga KPK dengan Polri.
Bab V, Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Negara Hukum
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur
dalam penjelasan UUD 1945, dalam perubahanya telah diangkat ke dalam
UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap,
kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan
sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh
alat negara maupun penduduk.
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh
para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dalam bukunya “the statesman”
dan “the law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling
baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan.
Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk
mencapai kehidupan yang paling baik yang dapat dicapai (the best life
possible) dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud
kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran
warga negara diperlukan dalam pembentukannya.1
1 George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-
San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart and Winston, 1961), h. 35
15
Konsep rechstaat lahir dari satu perjuangan menentang absolutisme
sehingga sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria
rechstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu atas
sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Konsep the rule of law
dalam karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan common law
adalah judicial.2 Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham
kerakyatan sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi
kekuasaan negara atau pemerintahan diartikan sebagai hukum yang dibuat
atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Begitu eratnya hubungan
antara paham negara hukum dan kerakyatan sehingga ada sebutan negara
hukum demokratis atau democratische rechstaat.3
Sebagai ciri negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari
pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Untuk
ciri ini dapat dilihat pada Pasal 24 Undang-Undang Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Di dalam penjelasan
terhadap Pasal 24 ini dijelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah”. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan di dalam
undang-undang tentang kedudukan para hakim. Dengan begitu maka untuk
ciri negara hukum dapat dipenuhi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ciri
lain dari negara hukum adalah legalitas dalam arti hukum dalam
2 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1987), h. 72 3 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1994), h. 67
16
bentuknya. Ini dimaksudkan bahwa untuk segala tindakan seluruh warga
negara, baik rakyat biasa maupun penguasa haruslah dbenarkan oleh
hukum, di Indonesia berbagai peraturan untuk segala tindakan sudah ada
ketentuannya, sehingga untuk setiap tindakan itu harus sah menurut aturan
hukum yang telah ada.
Untuk mengamankan ketentuan-ketentuan tersebut maka di
Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan untuk memberi
pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang dianggap melakukan hal-hal
yang tidak dibenarkan oleh hukum. Jadi semua landasan yang menjadi cirii
dari negara hukum dapat ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945
sehingga untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup
memberikan jaminan. Yang sering menjadi persoalan adalah
pelaksanaanya di lapangan yang kerapkali menimbulkan pertanyaan
tentang relevansinya.4
Paham negara hukum harus dibuat jaminan bahwa hukum itu
sendiri dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh
karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri,
pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat).5
4 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2001), h. 86-87
5 Yusril Ihza Mahendra, “Dinamika Tata Negara Indonesia”, (Jakarta: Gema Insani Press
1996), h. 159
17
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan
dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum
klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara
hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas
negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut
untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan
istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup
pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara
tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga
mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate).6
Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar
bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan
perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum
adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas
masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah
dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki
sejarah tersendiri yang berbeda.7
6 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar 1962), h. 9
7 Marwan Effendi, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum (Jakarta:
Gramedia, 2005), h. 30-32
18
B. Konsep Pemisahan Kekuasaan
Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-
kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin
ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan
Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan
kekuasaan (separation of power). Filsuf inggris John Locke
mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil
Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut
dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun
1688 (the Gloriuos Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh
parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga
kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang
masing-masing terpisah satu sama lain.8
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis
Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam
bukunya L’Espirit des Lois (the Spirit of the Laws). Oleh Montesquieu
dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi
tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang
atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “kalau kekuasaan legislatif
dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan
8 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977), h.
151
19
penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum
bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan
ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai
berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti
ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik
yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah
secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas
adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan
eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di
satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan
pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan
fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas
dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi
maupun mengenai alat perlengkapannya.
Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang
memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif.
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena
kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan
eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri
20
yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam
kekuasaan eksekutif.9
Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar
cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu
yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang
terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah
trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang
bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih
efektif.10
Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut
sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat).
Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai
dari state auxiliary organ (U.S.A), quasi outonomous governmental
organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu
dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi
untuk menyebut lembaga ini.11
9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h.11
10
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 217
11
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9
21
C. Konsep Lembaga Negara
Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat
dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat,
atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang
dalam bahasa inggris disebut Non-Government Organization atau Non-
Governmental Organization (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja
yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai
lembaga negara.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa
disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan
lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara.
Dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan
sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk
asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang
bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;
dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial
yang berstruktur.12
Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia,13
kata
staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam
kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh
Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk.
(editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga
Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI
dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30
13
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan cet-
2, 2002), h. 390
22
karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, dan alat perlengakapan
sering kali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya,
penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten
menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ
negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik Indonesia
Serikat) Tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat
perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat
(tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi
dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ
negara, dan badan negara.
Untuk memahami pengertian organ atau lembaga negara secara
lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen
mengenai the concept of the Staate-Organ dalam bukunya General Theory
of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever ful lls a
Function determined by the legal order is an organ”.14
Siapa saja yang
menjalankan suatu fungsi yang ditentuka oleh suatu tata-hukum (legal
order) adalah suatu organ. Artinya organ negara itu tidak selalu berbentuk
organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap
jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan
fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau
bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of
14 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell and Russell,
1961), h. 192
23
a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed
at the execution of a legal sanction”.
Lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945
tampaknya perumus UUD NRI Tahun 1945 dalam BPUPKI dan PPKI
sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sejenis yang ada dalam sistem
ketatanegaraan kerajaan Belanda. Kecuali MPR, lembaga-lembaga negara
lain dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat dibandingkan dengan lembaga-
lembaga di negeri belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu), Kepala
Pemerintahan Eksekutif (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen)
Rekenkamer (pemeriksaan Keuangan), Raad van State (Dewan
Pertimbangan Negara), dan Hogerechtshof (Mahkamah Agung).15
Lembaga negara terkadang disebut sebagai istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga
negara saja. ada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atau karena
diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan
mendapatkan kekuasaanya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula
yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki atau
ranking kedudukanya tentu saja tergantung pada derajat pengaturanya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara
yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
15 Jimly Asshiddiqie, Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h. 5
24
Karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan
derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya.
Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu
yang membagi tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang
terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah
trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang
bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih
efektif.16
Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut
sebagai the fourth branch of the government (cabang kekuasaan keempat).
Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai
dari state auxiliary organs (U.S.A), quasi outonomous governmental
organization-quangos (Prancis), agencies (Inggris), lembaga negara bantu
dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya digunakan istilah komisi
untuk menyebut lembaga ini.17
1. Lembaga Negara Bantu
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelakasanaan fungsinya
tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga
trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad
16 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 217
17
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 9
25
ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika
Serikat dan Prancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-
lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau
state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam
bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang.18
Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum
digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada
kenyataanya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga
negara penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk
menyebut jenis lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary
institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari
kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga
negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada
dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai
organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang lebih
sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-
governmental organization).
Secara teoritis lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara
untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil
dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan di biayai oleh negara
tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu
18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), h. 8
26
sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika
berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengawasi. Adanya lembaga negara bantu
dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan
melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain
itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah
terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi
bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut,
John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:
a. Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan
supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan
b. Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah;
Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini
secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan
ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara
yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan
persoalan yang ada berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.19
19 T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,
(makalah disampaikan pada diskusi terbatas tentang eksistensi kelembagaan negara pasca
amandemen UUD 1945, Jakarta, 9 September 2004), h. 2
27
Colin Talbot, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas
Nottingham Inggris mengemukakan pendapat mengenai kriteria-kriteria
terbentuknya lembaga-lembaga independen20
:
a. Merupakan kepanjangan tangan dari lembaga pemerintahan
utama/pusat
b. Pejabat yang mengisinya tidak termasuk PNS tetapi melayani
publik
c. Keuangannya berasal dari anggaran negara
d. Tidak bisa membuat peraturan yang mengikat ke luar, tetapi
mereka diatur oleh aturan tertentu.
Apabila ditelaah kriteria yang diberikan oleh Colin Talbot
mengenai lembaga independen ini dan menerapkanya pada keberadaan
lembaga KPK maka dapat terlihat bahwa KPK memenuhi kriteria-
kriteria tersebut. Keberadaan KPK yang berwenang melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi sebenarnya merupakan kepanjangan
tangan dari kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai lembaga
Utama (Polri) dianggap kurang efektif menjalankan tugasnya dengan
wewenangnya yang luas maka dibentuklah lembaga baru yang
mempunyai spesialisasi tugas tertentu dengan mengambil sebagian
kewenangan lembaga utama agar lebih bersifat independen.
Berikut pembagian lembaga negara berdasarkan Pembentukanya ;
a. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945
20 Christopher Pollit and Colin Talbot, Unbundled Government; A Critical Analysis of The
Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation, (London: Routledge, 2004), h.5
28
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
4. Presiden dan Wakil Presiden
5. Mahkamah Agung (MA)
6. Mahkamah Konstitusi (MK)
7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
8. Komisi Yudisial
b. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
5. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
7. Komisi Kepolisian Nasional
8. Komisi kejaksaan
9. Dewan Pers
c. Lembaga Negara Menurut Peraturan Di Bawah Undang-Undang
1. komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan)
2. Dewan Maritim Nasional (DMN)
3. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
29
4. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
5. Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN)
6. Dewan Riset Nasional (DRN)
7. Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)
8. Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga non
departemen.
Lembaga negara yang disebutkan dalam kelompok 2 dan 3, dapat
dikatakan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Selain
lembaga-lembaga tersebut di atas, masih terdapat banyak lembaga-
lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan perppu.
Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah dan berkurang mengingat
lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan
bergantung pada kebutuhan Negara.
2. Sengketa Lembaga Negara
Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga negara yang lainnya
diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut,
lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan saling mengimbangi
satu sama lain.
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada
hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan
kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau
perselisihan dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar. Jika timbul
persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang
30
diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Sistem ketatanegaraan
yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian
sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata
negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan
nama Mahkamah Konstitusi.21
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945, disamping melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD,
pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk
dengan tujuan untuk menegakan ketentuan yang terdapat dalam UUD.
Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas
dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi
tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya
bersumber dari UUD.22
Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara/organ negara:
a. Lembaga negara/organ negara yang wewenangnya diberikan secara
atribusi (oleh UUD 1945);
b. Lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh
pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi
21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), h. 150
22
Harjono, Transformasi dan Demokrasi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi 2009), h. 140
31
independen, independent regulatory agencies) yang tidak
bertanggung jawab kepada siapapun.
c. Lembaga negara yang wewenangnya diberika secara delegasi
pembuat peraturan perundang-undangan termasuk komisi negara
eksekutif (executive branch agencies) yang bertanggung jawab
kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari
eksekutif.23
Lembaga negara organ kategori pertama dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara kategori kedua dapat pula
berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga negara
kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum litis
untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas, lembaga
negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri
dan/atau merupakan bagian dari eksekutif.
23 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lmebaga Negara
oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Juni 2010), h. 41
32
BAB III
Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Korupsi
A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada
sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu
disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan
efektif, perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak
hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.1
Korupsi sudah dianggap sebagai masalah internasional.
Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Secara umum, tindak pidana
ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi
dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial,
ekonomi, keamanan, politik, dan budaya.2
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UU KPK yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK didirikan untuk mengatasi
permasalahan tentang korupsi yang selama ini dirasa gagal dalam
1 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim
Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jendral
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h. 31.
2 Romli Atmasasmita, “Perspektif Pengadilan Korupsi di Indonesia”. Dalam Seminar, ed.,
Pembentukan Pengadilan Korupsi, 30 Juli 2002 (Jakarta: KHN dan BPHN, 2002), h.1
33
penegakan hukumnya. Melihat dari sifatnya, KPK adalah lembaga ad hoc
yang merupakan salah satu komisi negara bersifat membantu dalam
mengawal dan mengawasi penegakan hukum serta mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi
masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.
Akan tetapi pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang
demikian luas, di samping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai
suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana
Indonesia. Untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah
pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dilaksanakan secara
optimal. Badan-badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi
tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi,
belum berfungsi secara efektif.3
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dibentuk
dengan misi utama melakukan penegakan hukum, yakni dalam
pemberantasn korupsi. Dibentuknya lembaga ini dikarenakan adanya
pemikiran bahwa lembaga penegak hukum konvensional, seperti
Kejaksaan dan Kepolisian, dianggap belum mampu memberantasan
3 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), h. 219
34
korupsi.4 Oleh karena itu, perlu dibentuk lembaga khusus yang
mempunyai kewenangan luas dan independen serta bebas dari kekuasaan
manapun.
Secara khusus urgensi pembentukan KPK dapat dilihat dari pokok-
pokok pikiran pembentukan KPK. Dalam pokok pikiran tersebut
dijelaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang
sistemik dan meluas tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga
melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Oleh karena itu,
penyelesaian korupsi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
menggunakan metode dan lembaga yang konvensional, tetapi harus
dengan metode dan lembaga baru.5 Komisi Pemberantasan korupsi yang
memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban,
tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
B. Tugas dan Wewenang KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas
sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002. Sebagai berikut:
4 Teten Masduki dan Danang Widoyoko, Menunggu Gebrakan KPK, Jantera 8 Tahun III,
(T.t., T.p., Maret, 2005), h. 41
5 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance, dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia
(Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002), h. 40
35
1. Melakukan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah
termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara, inspektorat pada Departemen atau lembaga Pemerintah Non-
Departemen.
3. Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, komisi
pemberantasan Korupsi berwenang:
4. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi
yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melakasanakan pelayanan public dan mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
5. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi
6. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
7. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13
36
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pendukung pelaksana
tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang :
1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi yang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
Pasal 7 berwenang :
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
korupsi
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait
d. Melakukan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana
korupsi
2. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14
undang-undang nomor 30 tahun 2002
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf b dan diatur dalam Pasal 8, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
37
wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), komisi pemberantasan korupsi berwenang mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian.
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih
penyidikan dan penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama
14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
komisi pemberantasan korupsi.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 3 bahwa :
3. Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan
wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau
kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam
tahanan kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat
ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejakasaan atau
komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala rumah
tahanan Negara untuk menempatkan di rumah tahanan tersebut.
a. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
38
segala tugas dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada komisi pemberantasan korupsi.
b. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 8 dan diatur dalam Pasal 9, dilakukan oleh
komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan alasan:
1) Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
dilanjuti
2) Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut atau
tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
3) Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya
(a) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi
(b) Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislative
atau
(c) Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat di pertanggung
jawabkan.
4. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada
39
penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani vii
5. Dalam melakasanaka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
yang di atur dalam Pasal 12 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, komisi pemberantasan korupsi berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang berpergian ke luar negeri
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
untuk meblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait
e. Memerintahkan kepada pemimpin atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatanya
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi terkait
g. Menghentikan suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
40
h. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g dijelaskan bahwa:
Ketentuan ini dimaksud untuk menghindari penghilangan atau
penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidikan,
penyidikan, atau penuntutan atau untuk menghindari kerugian
Negara yang lebih besar.
1) Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri
2) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf I disebutkan:
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal
komisi pemberantasan korupsi melakukan penahanan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi,
komisi pemberantasan korupsi meminta bantuan kepada kepala
rutan tahanan Negara untuk menrima penempatan tahananan
tersebut dalam rumah tahanan.
3) Dalam melaksanakan tugas pencegahan diatur dalam Pasal 13
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi
pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
upaya pencegahan sebagai berikut:
41
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
kekayaan penyelenggara Negara
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi
3. Menyelenggaraan program pendidikan anti korupsi pada
setiap jenjang pendidikan
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi
5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat
umum
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan korupsi
4) Dalam melaksanakan tugas monitor diatur dalam Pasal 14
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, komisi
pemberantasan korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
upaya pencegahan sebagai berikut:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah
2. Memberi saran kepada pemimpin lembaga Negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, hasil pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan
42
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kehadiran KPK diharapkan menjadi pemicu terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan
menjadi terpacu untuk bergerak cepat mengusut kasus-kasus korupsi.
Kemudian pembentukan KPK merupakan a temporary way-out, jalan
keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan bagian dari sistem peradilan
pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK tidak didesain untuk
menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum,
sehingga keberadaanya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK
juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap
fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap
penegak hukum lainnya.6
C. Tugas dan Wewenang POLRI
Tugas dan wewenag Polri secara umum diamanatkan langsung oleh
UUD NRI Tahun 1945 pada amandemen ketiga, yaitu “sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Tugas-tugas
6 Fahri Hamzah, Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik,
(Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012), h. 85-86
43
tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tugas pokok Polri seperti tercantum dalam Pasal 13 Undang-
Undang Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas khusus di bidang proses
pidana seperti yang diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri berwenang
untuk :
1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8. Mengadakan penghentian penyidikan;
44
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
D. Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga
Negara Lainnya
Mengenai hubungan kewenangan antar lembaga negara pasca
amandemen UUD 1945 tercantum dalam konstitusi. Hal ini dikarenakan
atas Perubahan UUD 1945 yang menerapkan konsep pemisahan kekuasaan
dengan prinsip check and balances, sehingga antara kekuasaan yang satu
dengan kekuasaan yang lain bisa saling mengontrol. Prinsip check and
balances itu telah memberikan peluang kepada kekuasaan yang satu untuk
bisa ikut dalam kekuasaan yang lain.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki independensi dan
kebebasan dalam melakasanakan tugas dan kewenangannya, namun KPK
tetap bergantung kepada cabang kekuasaan lain dalam hal yang bekaitan
dengan keorganisasian. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
45
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa
pimpinan KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil anggota, yang
semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan
calon anggota yang diusulkan oleh Presiden seperti yang tercantum pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 ayat (1).
Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara
KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan
lembaga kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang
kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif
maupun yudikatif.
KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan
kekuasaan yudikatif. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi7 mengamanatkan
pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang
bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi
yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan
peradilan umum (terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 53 dan 54
7 Sejak 19 Desember 2006, pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI
Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI, namun tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan MK RI tersebut
dibacakan. Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 290
46
ayat (1), namun pengadilan Tipikor bersifat khusus karena berhubungan
langsung dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan.
Kedua hal inilah \, yaitu (1) pembentukan pengadilan Tipikor atas amanat
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; dan (2) pelimpahan perkara oleh KPK kepada
pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejakasaan, yang
mempertegas kekhususan hubungan kedudukan KPK dengan cabang
kekuasaan yudikatif. Keterkaitan kedudukan antara KPK dengan cabang
kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam UUD 1945 yang
dijadikan landasan oleh KPK sebagai dasar hukum yang menjamin
eksistensi KPK, yaitu pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa badan-badan
selain lembaga peradilan yang memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan
kehakiman dapat dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Keberadaan KPK dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan
fungsional dan koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada
yaitu Kepolisian dan Kejakasaan. Hubungan fungsional dan koordinatif
antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK seperti yang telah tercantum
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut diatas.
Dengan adanya pemberian kewenangan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi kepada KPK, maka
KPK dapat melaksanakan sebagian kewenangan dari Kepolisian dan
47
Kejaksaan di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi.8
Hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat timbal balik, hal ini
didasari dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga
negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan lembaga negara lain
yang berfungsi menegakan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 huruf a dan b, yakni
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan
koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berfungsi memberantas
korupsi. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan koordinasi, dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia.
Sedangkan ketentuan mengenai lembaga Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat melakukan kerjasama denga lembaga atau instansi lain
yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal
42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia yang secara rinci menegaskan bahwa
kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan
kerjasama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di
luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi.
8 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
1995), h. 16
48
BAB IV
SENGKETA LEMBAGA NEGARA
A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia UUD 1945
Sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR,
dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal
state organs). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud itulah yang secara
instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga
lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga
negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state
institutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip
“check and balances”.1
Selain lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang
biasa disebut sebagai lambaga tinggi negara seperti dimaksud di atas,
dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat
konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara
1 Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
49
Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan
Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara
tersebut dalam UUD NRI 1945, tidaklah dengan sendirinya
mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD
NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam
pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs).
Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan
salah satu dari fungsi kekuasan negara sebagaimana yang secara universal
dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya
bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan
lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang disebutkan diatas, yang
dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga
negara bantu).
Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri
M,2 secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan
peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui
oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000
tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara
dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh ditafsirkan sebagai satu-
satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara
2 Sri Sumantri M, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem
Ketatanegaraan Mneurut UUD NRI 1945, dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas
Airlangga. Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. (Surabaya:
University Press), h. 204
50
yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian Negara
dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD NRI 1945
dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai
Kejaksaan Agung dalam UUD NRI 1945, tidak dapat diartikan bahwa
UUD NRI 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun
lebih tinggi kedudukanya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung.
Demikian pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti
Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang daitur secara
umum dalam UUD NRI 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang
belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaanya maupun para
anggota dan pimpinanya dibidang protokoler dan lain-lain sebagainya,
tergantung kepada bentuk undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena
itu agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lembaga
negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat
merumuskan kebijakan hukum yang terperinci dan jelas dalam undang-
undang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud.
Lahirnya komisi-komisi negara merupakan fenomena kenegaraan
baru apabila dilihat dari sisi sistem ketatanegaraan dalam arti tatanan
kelembagaanya. Namun dari sisi hakekat bernegara bangsa Indonesia,
penting dikaji esensi atau hakekat komisi negara dalam perspektif
51
bernegara bangsa Indonesia, yang pada akhirnya sebagai penentuan
eksistensi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pembentukan komisi-komisi negara bukan saja dilakukan oleh
Indonesia sebagai suatu negara yang baru mengalami transisi demokrasi.
Hal serupa juga dilakukan Dikawasan Asia Tenggara, sekalipun
merupakan fenomena yang hanya sedikit mendahului Indonesia.
Pengalaman negara Thailand telah menjadi salah satu rujukan penting. Di
era tahun 1990-an akhir adalah era disintegrasi dan masifikasi
kelembagaan ditingkat negara yang juga difasilitasi melalui perubahan
konstitusi.3
Latar belakang sejarah terbentuknya negara Indonesia, tentu sangat
mempengaruhi rumusan tujuan negara Indonesia yang dirumuskan secara
lengkap dalam alinea 4 pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: (1) melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam mencapai tujuan negara Indonesia, seluruhnya harus berdasar dan
diukur dengan nilai-nilai pancasila.
Pada dasarnya apabila dikaitkan dengan tujuan negara tersebut di
atas, maka pembentukan komisi-komisi negara ini dilakukan karena
lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar
3 A. Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-Komisi Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 12 Tahun III April-Juni 2006, (Jakarta, 2006), h. 22-23
52
dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan
perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi.
Selain itu, kelahiran komisi-komisi negara itu merupakan bentuk
ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam
menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.4
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilaksanakan
pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa perubahan
yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Banyak aspek perubahan yang telah dirasakan dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara, salah satu aspek yang berubah yakni terhadap
kelembagaan negara. Penataan ulang struktur ketatanegaraan Indonesia
yang terus berlangsung sampai saat ini tidak serta merta berjalan dengan
baik tanpa komplikasi ketatanegaraan. Dalam kasus tertentu, memang
penataan itu dapat dikatakan relatif berhasil meskipun dengan catatan baru
sebatas pembentukan lembaga dan bekerja sesuai dengan kewenanganya
yang diberikan, tetapi tidak termasuk efektivitas kerja dan implikasinya
yang signifikan terhadap ketatanegaraan yang lebih bertanggung jawab
serta kedudukannya dalam konstitusi.
Akan tetapi walaupun perubahan Undang-Undang Dasar 1945
dilakukan beberapa kali, namun masalah dan berbagai problematika yang
dihadapi Indonesia belum berujung pada titik penyelesaian. Seperti
4 T.M Lutfi Yazid, “Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara Hukum”,
Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: Eksistensi Sistem Kelembagaan
Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional, (Jakarta, 9 September 2004), h. 2
53
sistem/struktur ketatanegaraan saat ini, antara lain kehadiran lembaga-
lembaga negara yang lahir atas kebutuhan politik (parlemen). Hal itu
kemudian yang menjadi perdebatan ketatanegaraan Indonesia. Berbagai
macam atas kehadiran lembaga negara itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan KPK terdiri dari lima orang
yang merangkap sebagai anggota dan semuanya merupakan pejabat
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintaha dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kinerja KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya
senantiasa melekat pada lembaga ini. Berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, KPK merupakan lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen serta bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut
menguraikan makna frase “kekuasaan manapun”sebagai berikut (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi );
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun”
adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak
eksekutif, yudikatif, lagislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
54
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan situasi ataupun dengan alasan
apapun. “Tidak semua kasus tindak pidana korupsi di negeri ini ditangani
dan diproses oleh KPK. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, salah satu kriteria kasus yang memerlukan penanganan oleh KPK
adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan pihak lain berkaitan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara. Selain itu, perkara tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian
dan meresahkan masyarakat dan/atau merugikan negara minimal satu
miliar rupiah juga dikategorikan sebagai kasus yang harus ditangani oleh
KPK.
Para pemohon uji materil Undang-Undang KPK mempersoalkan
eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20
undang-undang tersebut dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara
hukum. Dikatakan bahwa ketiga Pasal UU-KPK tersebut bertentangan
dengan konsep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan
delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau
sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD
yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.5 Ketentuan
Pasal 2 UU-KPK itu benar karena didasarkan pada upaya untuk
melaksanakan pencapaian tujuan negara menurut UUD 1945 melalui
5 Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.
55
bidang hukum serta didasarkan pada berbagai UU yang memerintahkan
pemberantasan korupsi dan pembentukan KPK sesuai denga hak yang
diberikan oleh UUD 1945 kepada legislatif. Pasal 3 juga benar
dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan peradilan yang fungsinya
tidak dapat dicampuri oleh lembaga lain.
Kedua pasal tersebut justru dibuat untuk menyeimbangkan
pertimbangan aspek doelmatigeheid dan rechtmatigeheid. Harus diingat
bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hanya mengatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum” yang implentasinya di bidang peradilan
diserahkan sepenuhnya kepada pembuat UU setelah UUD menetukan
lembaga-lembaga pemegang kekuasaanya dan fungsi-fungsi pokoknya.
Tidak ada pembatasan-pembatasan tertentu di dalam Pasal 1 ayat (3) itu.
Bahkan jika dilihat dari sejarah perumusanya, Pasal 1 ayat (3) yang
menyebut “negara hukum” tanpa embel-embel di “rechtsstaat” dalam
kurung justru dimaksudkan agar orang tak terbelenggu oleh formalitas-
prosedural yang kaku melainkan dapat kreatif menegakan hukum
berdasarkan kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan. Pasal 24
ayat (1) dan Pasal 28 UUD 1945 menyebut ketiganya sebagai asas yang
harus dipergunakan dalam pembangunan dan penegakan hukum.
Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal
eksistensi KPK ini. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme
lex, yang berarti “keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum
yang tertinggi.” Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah
56
terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apa pun yang
sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkannya.
Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sebagai langkah darurat untuk
menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa. Kedua, di dalam hukum
dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan yang
bersifat khusus (lex specialis).
Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat UU
sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri
mana yang umum dan mana yang khusus. Dalam konteks ini, dipandang
bahwa kehadiran KPK merupakan hukum khusus yang kewenangannya
diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan umum yang diberikan
kepada kejaksaan dan Polri. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif) dapat
mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau belum
dimuat di dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang
jelas-jelas dimuat di dalam UUD. Oleh sebab itu, pembuatan UU apa pun
yang tidak secara eksplisit diperintah atau dilarang oleh UUD dapat
dilakukan oleh legislatif untuk melaksanakan UUD itu sendiri. Dalam
kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari
hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataanya yang
menuntut perlunya itu.6
Sehubungan dengan keberadaan KPK sebagai lembaga negara yang
tidak ditempatkan dalam konstitusi, Romli Atmasasmita berpendapat
6 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 196-197
57
bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan hanya secara normatif (
hanya dari sudut ketentuan konstitusi ) tetapi juga dapat diartikan secara
luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi. Apabila
suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam UUD Negara RI 1945,
bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan
hukum atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga
dapat dilihat dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas
nama negara. Dengan demikian, keberadaan dan kedudukan lembaga
negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia
1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD 1945 melainkan
dibentuk berdasarkan undang-undang, termasuk KPK sebagai lembaga
negara bantu.7
KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi
kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi
justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang
rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak
“mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau
“mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya
melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan
dan kekuasaan kehakiman. Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal
itu dapat didasarkan juga pada cakupan konstitusi tertulis yang menurut
teori mencakup UUD (sebagai dokumen khusus) dan peraturan perundang-
7 Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h. 181
58
undangan (sebagai dokumen tersebar) mengenai pengorganisasian negara.
Dari pengertian ini, maka kedudukan KPK adalah konstitusional karena
bersumber dari salah satu dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi
yang sama sekali tidak bertentangan dengan dokumen khususnya.
B. Sengketa Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Lembaga
Penegak Hukum Kepolisian Republik Indonesia
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen diberi
kewenangan khusus untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. KPK
ada karena tuntutan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat bangsa-
bangsa internasional akibat perbuatan korupsi yang cukup meresahkan dan
merugikan masyarakat Indonesia dan internasional dalam segala bidang
kehidupan.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan dua institusi
penegak hukum yang secara khusus memiliki kewenangan menangani
tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa
fungsi kepolisian adalah pelaksana fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan
Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa KPK
59
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada saat negara Indonesia dilanda gelombang korupsi yaitu sekitar
tahun 1968, Adnan Buyung Nasution pernah mengatakan bahwa “TNI/AD
hendaknya mempelopori pemberantasan korupsi sebagaimana dulu pernah
dilakukan ditahun 1950an di jaman demokrasi parlementer”. Jadi apa yang
dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution tersebut merupakan salah satu
alternatif dalam pemberantasan korupsi. Terutama apabila pelaku korupsi
terdiri dari pejabat tinggi negara, yang dalam hal ini sering disebut
melakukan “White Collar Crime”.8
Sengketa antara Polri-KPK tidak bisa dipisahkan dari Kasus Bank
Century yang diduga terdapat penyelewengan, bukannya mendapat sanksi
pemerintah justru mengucurkan dana Rp 6,7 Triliun, perlu diketahui pada
waktu itu yang menjadi Gubernur Bank Indonesia adalah Boediono dan
Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam penanganan Bank Century
disinyalir terdapat fraud (kecurangan), kemudian kasus ini ditangani oleh
KPK seperti biasa dalam mengkungkap kasus tersebut KPK melakukan
penyadapan dan secara tidak sengaja dalam penyadapan tersebut masuklah
telepon Komjen Pol Susno Duadji, inilah pemicu perseteruan secara
kelembagaan antara Polri dan KPK.
8 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik Dinegara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),
h. 82
60
Kapolri menjelaskan, kasus bermula saat Antasari membuat
testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah
pimpinan KPK pada 16 mei 2009. Saat itu Antasari sedang ditahan atas
kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin
Zulkarnaen. Karena testimoni tidak ditindaklanjuti polisi, antasari lalu
membuat laporan resmi pada 6 Juli 2009 mengenai dugaan suap itu di
Polda Metro Jaya. Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Mabes Polri, lalu
dilanjutkan ke penyelidikan dan penyidikan.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Kapolri memperoleh
fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka
yaitu Bibit dan Chandra yang melanggar Pasal 21 Ayat 5 UU No 30 Tahun
2002 tentang KPK.
Saat penyidikan, ditemukan keputusan pencekalan dan pencabutan
terhadap Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra, pencekalan yang dilakukan
oleh kedua tersangka tidak secara kolektif. Pencekalan terhadap Anggoro
Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencekalan terhadap Joko
Tjandra oleh Bibit S Riyanto, serta pencabutan pencekalan terhadap Joko
Tjandra oleh Chandra Hamzah.9
Dari alat bukti, keterangan saksi, dan saksi ahli didapat empat alat
bukti. Lalu pada tanggal 15 September 2009 pukul 23.20, dua pimpinan
KPK nonaktif itu ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka.
9 www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan Bibit.
Diakses 5 Juli 2015.
61
Pada 2 Oktober 2009, berkas perkara Chandra Hamzah dikirimkan ke
Kejaksaan dan berkas Bibit S Riyanto dikirimkan pada 9 Oktober 2009.
Kemudian, penyidik melakukan penahanan pada 29 Oktober 2009
karena kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya
pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-
pernyataan di media serta forum diskusi.
Kasus ini melibatkan petinggi Kepolisian dan KPK sehingga kasus
dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM)
yang menyebabkan kerugian Negara mencapai hampir Rp. 100.000.000,00
ini telah menghebohkan masyarakat Indonesia.
Kasus ini pertama kali mencuat saat Bambang Sukotjo, Direktur PT
Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan suap proyek
pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri
tahun 2011. Ketegangan antara KPK dan Polri dimulai saat KPK
melakukan penggeledahan digendung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri
terkait kasus simulator SIM. Sebenarnya baik KPK maupun Polri sudah
sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum tersebut
sedang menangani kasus yang sama di Korlantas Polri.10
Kekisruhan terjadi antara KPK dan Polri terkait siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan pada kasus korupsi simulator SIM.
Masing-masing pihak mengklaim lebih dulu mengeluarkan surat perintah
penyidikan (Sprinlid). Polri mengklaim penyelidikan kasus dugaan korupsi
10 http://nasional.news.viva.co.id KPK terima penghitungan kerugian kasus simulator
SIM. Diakses 29 Mei 2015
62
simulator SIM sesuai dengan sprinlid /55/V/2012/Tipikor tanggal 21 Mei
2012, dimana Polri telah melakukan introgasi dan pengambilan keterangan
dari 33 saksi yang dinilai tahu tentang pengadaan simulator SIM roda 2
dan roda 4. Apabila dilihat dari sprinlid itu, maka otomatis Polri
melakukan penyelidikan lebih dahulu, sebagaimana dikatakan Kabareskim
Mabes Polri Komjen Pol Sutarman. Sedangkan untuk penyidikan kasus
ini, Sutarman menyebut 31 Juli 2012 sebagai tanggal permulaan. Padahal,
KPK seperti disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, telah
lebih dulu melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus simulator SIM.
KPK telah menyelidik kasus ini sejak 20 Januari 2012 dan menaikan ke
tahap penyidikan 27 Juli 2012.
Polri bersikukuh ingin menangani kasus dugaan korupsi simulator
SIM di Korlantas Polri yang juga sudah ditangani KPK, Polri berdalih bisa
menangani kasus itu karena adanya Memorandum of Understanding
(MoU) antara KPK, Polri dan Kejagung. Padahal, beberapa pasal dalam
MoU itu malah menguatkan KPK sebagai pihak yang seharusnya
menangani kasus tersebut.11
Bagaimana sebenarnya bunyi kesepatakan atau MoU antara kedua
instansi hukum itu soal penanganan tindak pidana korupsi, jika masing-
masing merasa paling berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan? Kesepakatan itu tertuang dalam Kesepakatan Bersama Antara
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
11 http://news.detik.com. Diakses 29 Mei 2015
63
Kejaksaan Republik Indonesia. Nomor: KEP-049/A/J.A/03/2012, nomor:
B/23/III/2012, dan nomor: SP3-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut kesepakatan dimaksud
yang ditanda tangani pada 29 Maret 2012 di Kejagung, yaitu bagian kedua
tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pasal 8 MoU
disebutkan: 1. Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran
yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan, maka penuntutan
instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindak lanjuti penyelidikan
adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah
penyelidikan atau kesepakatan para pihak. 2. Penyidikan yang dilakukan
pihak kejaksaan dan Polri diberitahukan kepada pihak KPK, dan
perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama tiga bulan
sekali; 3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas
kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan pihak Polri; 4.
Penyelidikam dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak
dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri
oleh para pihak yang pelaksananya dituangkan dalam berita acara.12
Jika mengacu pada pasal 8 poin 1 dan 4, maka KPK adalah
lembaga yang lebih berhak menangani kasus simulator SIM. Poin 1
menguatkan KPK pada sisi terlebih dahulu memulai penyelidikan kasus.
Sedangkan poin 4 menguatkan KPK dengan adanya UU KPK No. 30
12 Riris Nazriyah, Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM, Jurnal
Hukum Quia Iustum Vol. 19 No. 4 Yogyakarta 2012, h. 604
64
Tahun 2002 Pasal 50 yang menyebut KPK berhak mengambil alih kasus
korupsi yang ditangani lembaga lain.13
Sedangkan pakar hukum pidana Universitas Indonesia , Gandjar
Laksmana Bonaparta menegaskan langkah KPK sudah tepat dalam
menangani kasus simulator SIM. Dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang
KPK sudah sangat jelas, tidak ada yang multitafsir. Menurutnya
berdasarkan aturan, KPK yang lebih berwenang mengusut kasus tesebut
meskipun kedua lembaga sama-sama berdasarkan pada ketentuan hukum.
Aturan perselisihan penanganan kasus korupsi hanya ada dalam Undang-
Undang KPK, tidak ditemukan dalam KUHP maupun Undang-Undang
Kepolisian. Bahwa ada asas hukum lex specialis derogat legi generali
artinya, hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang
umum. Sehingga penerapan KUHP harusnya dikesampingkan dengan
adanya UU KPK pada penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut.
Dalam hubungan kewenangan antar lembaga negara terdapat banyak
potensi sengketa yang dapat terjadi dan memerlukan perhatian. Potensi
sengketa disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundang-undangan
yang mengatur fungsi, tugas, wewenang suatu lembaga yang
mengakibatkan munculnya beragam penafsiran karena ketidakjelasan
peraturan perundang-undangan yang mengatur kelembagaan negara.14
13 http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK. Diakses
29 Mei 2015
14
Lukman Hakim, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi 80 Mei-Agustus
2010), h.3
65
Pembahasan konflik antara Polri dan KPK dengan kasus Budi
Gunawan yang sebenarnya bukan kasus pertama yang melibatkan dua
nama institusi ini. Sebelumnya diketahui bersama kasus lain yang muncul
di tahun-tahun sebelumnya yaitu kasus Susno Duadji dan Djoko Susilo
yang juga mengangkat nama Polri dan KPK menjadi nama institusi yang
rentan akan konflik kelembagaan.
Perbedaan konflik KPK dan Polri yang melibatkan nama Budi
Gunawan dengan konflik-konflik yang terjadi sebelumnya adalah bahwa
dua konflik sebelum ini dianggap menjadi persoalan masing-masing elit,
sedangkan pada konflik terakhir yang melibatkan nama Budi Gunawan
tidak hanya dianggap sebagai persoalan elit tetapi dianggap sebagai
persoalan institusi atau lembaga terkait yaitu Polri. Konflik berawal dari
penetapan status “tersangka” Komjen Budi Gunawan yang merupakan
Calon Tunggal Kapolri oleh KPK. Konflik ketiga kalinya yang terjadi
antara KPK dan Polri ini dilanjutkan dengan laporan dan penangkapan
pimpinan KPK oleh Polri. Kedua pihak dianggap saling menggunakan
wewenangnya kepada pihak lawan dengan membawa dasar hukumnya
masing-masing.
Faktanya bahwa seharusnya dalam penegakan hukum, tujuan dan
cara merupakan dua hal yang sama penting dan tidak dapat dipisahkan.
Hukum tidak dapat mencapai tujuanya tanpa memperhatikan cara-cara
yang benar dan baik dalam pencapaian tujuannya, karena tidak mungkin
tujuan yang baik dapat tercapai dengan cara yang tidak baik. Sejauh ini
66
tujuan selalu dianggap lebih penting sehingga mengabaikan cara yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut yang seakan-akan
diabaikan oleh KPK dan Polri dalam proses penegakan hukum terkait
kasus dalam dua lembaga tersebut sehingga muncul lah pandangan
masyarakat bahwa terdapat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh
KPK maupun Polri.
Dari konflik yang telah terjadi antara KPK dan Polri dapat dilihat
bahwa kedua lembaga tersebut kurang memperhatikan kultural bangsa dan
koordinasi dalam menjalankan wewenangnya masing-masing. Sehingga
yang terjadi adalah persaingan antara KPK dan Polri karena menangani
objek yang sama dengan masing-masing wewenangnya. Hal ini tentu
membutuhkan solusi guna menghindari sengketa atau konflik yang sama
terjadi kembali. Solusi yang dapat mencabut akar permasalahan tersebut
adalah dengan cara pembatasan masing-masing wewenang lembaga secara
konkrit dan lebih jelas. Disamping itu kedua lembaga harus bertindak
sesuai dengan ketentuan undang-undang baik Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia ditambah dengan MoU yang sudah
disepakati oleh kedua lembaga tersebut, serta koordinasi dapat dijalankan
dengan baik dan benar.
67
C. Penyelesaian Sengketa Lembaga KPK dengan Lembaga Kepolisian
Republik Indonesia
Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara yang
lainnya diikat oleh prinsip checks and balances. Dalam prinsip tersebut,
lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu
sama lain. sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada
hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan
kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan /atau
perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar, sehingga
tejadi sengketa kewenangan lembaga negara. Apabila sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh UUD
Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat lembaga yudisial untuk
menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi.15
bagaimana jika yang
terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terjadi
kekosongan hukum.16
Namun, dalam praktek ketatanegaraan, sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD Negara
Republik Indonesia 1945 diselesaikan oleh presiden dengan
mempertemukan pimpinan lembaga negara yang bersengketa. Dalam
sengketa KPK dan Polri tentang dugaan korupsi simulator SIM Korps Lalu
15 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 150
16
Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Disertasi, (Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009), h. 220
68
Lintas Polri, Presiden bertemu dengan pimpinan KPK dan Kepala Polri.
Setelah pertemuan dengan kedua lembaga tersebut, Presiden membuat
keputusan penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang
melibatkan mantan Kepala Korlantas Inspektur jendral Djoko Susilo agar
ditangani KPK.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil sikap tegas
dalam menyelesaikan sengketa KPK dengan Polri, dengan menetapkan
empat kebijakan:
1. Kasus simulator SIM ditangani oleh KPK;
2. Proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari
segi waktu dan cara;
3. Waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam
peraturan pemerintah;
4. Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan pada saat itu.17
Penyelesaian yang dilakukan oleh Presiden bukanlah penyelesaian
hukum, karena itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Pihak-pihak yang
bersengketa dapat tidak mematuhi keputusan Presiden tersebut. Faktanya
kemudian, Polri menggugat KPK karena KPK menyita berbagai dokumen
milik Polri, yang menurut Polri tidak ada hubungannya dengan kasus
dugaan korupsi di Korlantas Polri.
Penyelesaian konflik kasus simulator SIM sebenarnya telah
diusahakan oleh kedua pihak yaitu diselesaikan atas dasar MoU yang telah
17 Teten Masduki, SBY Akhirnya Memimpin, Harian Kompas Rabu 10 Oktober 2012.
69
disepakati bersama oleh Polri, KPK dan Kejaksaan pada 29 Maret 2012
yang terdiri dari tiga surat yaitu Nomor B/23/III/2012 untuk Kepolisian,
Nomor SPJ-39/01/-03/2012 untuk KPK, dan Nomor KEP-
049/A/JA/03/2012 untuk Kejaksaan Tentang Optimalisasi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Akan tetapi upaya ini menemui jalan buntu karena isi dari MoU
tersebut tidak sejalan dengan argumen masing-masing pihak yaitu KPK
dan POLRI dan tidak sesuai dengan fakta-fakta terkait dengan kasus
simulator SIM.
Selain dengan MoU, sebenarnya upaya penyelesaian juga sudah
diusahakan dengan menggunakan ketentuan dalam undang-undang KPK.
Sebenarnya undang-undang KPK sudah cukup memadai untuk
menyelesaikan konflik kewenangan, karena dalam undang-undang KPK
telah diatur tentang siapa saja yang berhak melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan untuk perkara tindak pidana korupsi, di dalam
UU KPK juga sudah diatur mengenai prosedur dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana korupsi. Akan tetapi hal ini juga menemui jalan buntu,
karena Polri tidak bersedia menyerahkan berkas perkara dan tersangka
kepada KPK.
Penyelesaian konflik antara KPK dengan Polri pada pengangkatan
Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo juga
bukan penyelesain secara hukum. Presiden membentuk Tim Independen
untuk menangani kekisruhan KPK dan POLRI, Tim Independen
70
memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan sikap.
Kemudian Presiden memberhentikan Kapolri dan menunjuk Wakapolri
Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.18
Selain masalah calon Kapolri, Presiden Jokowi juga memutuskan
untuk menerbitkan keppres pemberhentian sementara pimpinan KPK
Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang menghadapi masalah
hukum. Maka hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU No 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjelaskan bahwa,
“Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka
tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatanya”.
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri konflik antara dua
lembaga menginstruksikan kepada kepolisian dan meminta kepada KPK
untuk mentaati aturan hukum dan kode etik yang berlaku.19
Dengan demikian, terjadi kekosongan hukum dalam hal terjadi
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur
dalam konstitusi. Sejauh ini, sengketa yang demikian dapat diselesaikan oleh
Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang
bersengketa. Selanjutnya presiden memberikan instruksi-instruksi yang harus
dipatuhi oleh lembaga negara yang sedang bersengketa. Masalahnya adalah,
penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, yang
tentu tidak memiliki kekuatan hukum bahkan dapat tidak dipatuhi.
18 Novianto M. Hantoro, Pembenahan Kelembagaan KPK : Solusi Jangka Panjang Konflik
KPK dan POLRI, Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3DI/Februari 2015
19http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150218_jokowi_ganti_kapolri
diakses 12 Juni 2015
71
Mahkamah konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa
kewenangan lembaga negara dibatasi pada lembaga negara yang
kewenanganya hanya berasal dari UUD NRI 1945. Jika melihat konstitusi
Korea Selatan dalam Pasal 111 ayat (1) menjelaskan bahwa Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan memiliki kewenangan dalam hal:
1. The constitutionality of law upon the request of the court;
2. Impeachment;
3. Dissolution of a political part;
4. Competence dispute between state agencies, between state
agencies and local governments, and between local
government; and
5. Contitusional complaint as prescribed by act.
Walaupun Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memiliki lima
kewenangan, namun dalam hal ini yang dibahas hanya kewenangan yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara.
Dari ketentuan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan dapat
ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Korea Selatan memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara:
a. Lembaga-lembaga negara;
b. Lembaga negara dengan pemerintah daerah;
c. Pemerintah daerah dengan pemerintah daerah.
Di Jerman, kewenangan memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3)
72
Konstitusi Federal Jerman disebutkan bahwa the Federal Constitution Court
berwenang memutus:
“In case of differences of opinion on the rights and duties of the
Federation and the States (Lander), particularly in the execution of federal law
by the States (Lander) and in the exercise of federal supervision; on other
disputes involving public law, between the federation and the States (Lander,
between different States (Lander) or within a State (Land), unless recourse to
another court exist.20
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang
berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa
kewenangan adalah Presiden, Bundestag, Bun-desrat, pemerintah federal,
serta bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai
dengan ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau
Bundesrat. Di samping itu, pemerintah federal dalam kasus sengketa
kewenangan antarlembaga negara Federasi dan pemerintah negara bagian.
Dalam kasus sengketa kewenangan antarlembaga negara bagian berhak
menjadi penggugat dan tergugat dalam sengketa kewenangan antarlembaga
negara.21
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan
Konstitusi Jerman dapat menyelesaikan setiap sengketa lembaga negara,
tanpa memperhatikan apakah lembaga negara tersebut kewenanganya
20Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta : Penerbit
Konstitusi Press, 2005), h. 6-7
21
C.F. Strong mengisyaratkan, bahwa konstitusi federal sesungguhnya adalah sebuah
kesepakatan tentang hak dan kewajiban otoritas negara bagian dan otoritas federal. Jika muncul
konflik antara kedua otoritas itu, maka otoritas yang melindungi supremasi konstitusi ditegakkan.
Lihat, C.F. Strong, h. 144-145.
73
diberikan atau tidak oleh konstitusi. Dalam hal menyelesaikan setiap sengketa
kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dan
Jerman berbeda dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Mahkamah
Konstitusi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga
negara terbatas pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI 1945.22
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan berpendapat bahwa bilamana
konflik antar lembaga negara, pemerintah daerah dan lembaga-lembaga
negara tentang tugas dan masing-masing lembaga, tidak hanya
membahayakan prinsip check and balances antara kekuasaan publik, tetapi
juga berisiko melumpuhkan fungsi pemerintahan yang penting. Hal ini dapat
menimbulkan ancaman terhadap hak-hak dasar warga negara, yang
menyerukan mekanisme koordinasi yang sistemis. Konstitusi Korea Selatan
telah menganugerahi Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan mengadili
sengketa kewenangan sebagian dari fungsi menjaga konstitusi.23
Prinsip yang diterapkan dalam konstitusi Korea Selatan sekaligus
memenuhi konsep lembaga negara, tanpa perkecualian. Artinya bahwa,
lembaga negara yang dimaksud dalam konstitusi Korea Selatan tidak
membedakan antara lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi,
undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain.24 Dengan
22 Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga
Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1132
23
Alenia ini dan kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan
terjemahan dari website Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, http://english.court.go.kr/ diunduh
Selasa 16 Juni 2015.
24
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga Negara di Indonesia menjadi empat: lembaga
negara yang dibentuk oleh UUD, undang-undang, Keputusan Presiden dan peraturan Menteri.
74
demikian, model penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di
Korea Selatan lebih memenuhi rasa kepastian hukum. Hal ini mengingat di
Korea Selatan terdapat lembaga yudisial yang mengadili sengketa
kewenangan lembaga negara tanpa melihat sumber kewenangan, yaitu
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam hal mengadili sengketa
kewenangan lembaga negara dibatasi pada lembaga negara yang
kewenangannya berasal dari UUD NRI 1945. Di luar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan secara atribusi oleh UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi Indonesia tidak memiliki kewenangan mengadili. Oleh karena itu,
pelajaran dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dapat diadopsi oleh
Mahkamah Konstitusi Indonesia.25
Bilamana kita cermati argumentasi filosofis pembentukan KPK dan
Polri, seharusnya sengketa antara lembaga KPK dan Polri tidak perlu
terjadi. Konsideran menimbang huruf a UU KPK maupun konsideran
menimbang huruf a UU Polri, keduanya dimaksudkan untuk mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI 1945. Dengan demikian ada kesamaan tujuan pembentukan
KPK dan Polri, yaitu dalam kerangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera.26
Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
h. 66
25
Andy Omara mempergunakan istilah a good for the Indonesian Constitusional court,
lihat Andy Omara, Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia Learn From
Korean Constitutional Court Experience?, Seoul: Korean Lagislation Research Institute, 2008, h.
50
26
Winasis Yulianto, Rekonseptualisasi Penyelesaian Senketa Kewenangan Lembaga
Negara, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol XII, Nomor 1, Mei 2014, h. 1129
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan
yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru
ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang
rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak
“mengambil alih” kewenangan lembaga lain, melainkan “diberi” atau
“mendapat” kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya
melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum,
peradilan dan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, keberadaan
dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD
Negara Republik Indonesia 1945 dan ada pula yang tidak tercantum
dalam UUD 1945 melainkan dibentuk berdasarkan undang-undang,
termasuk KPK sebagai lembaga negara bantu.
2. Sengketa kewenangan lembaga KPK dengan Kepolisian yang terjadi
pada tahun 2009 yaitu kasus Bibit dan Chandra, kasus Djoko Susilo
pada tahun 2012, dan yang terakhir kasus penetapan calon Kapolri
Budi Gunawan tahun 2015. Sengketa lembaga tersebut diselesaikan
oleh Presiden dengan mempertemukan pimpinan lembaga negara yang
sedang bersengketa. Penyelesaian dengan model demikian bukanlah
penyelesaian yudisial, penyelesaian ini tidak memiliki kekuatan hukum
dan dapat tidak dipatuhi. Lembaga negara yang kewenanganya
76
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka terdapat
lembaga yudisial untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah
Konstitusi. Namun, Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia
1945, maka terjadi kekosongan hukum. Sengketa antara KPK dan Polri
merupakan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur
dalam UUD NRI 1945. Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK,
sedangkan kewenangan Polri adalah UU POLRI. Ini berarti bahwa
kedua lembaga tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa lembaga
negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi.
B. Saran
1. Para penegak hukum harus lebih fokus pada batasan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang KPK dan tidak mengenyampingkan
batasan tersebut dengan adanya MoU antara KPK, Polri dan
Kejaksaan. Jika MoU tersebut tidak sesuai dengan undang-undang dan
menyebabkan ketidakpastian hukum perlu dilakukan judicial review ke
Mahkamah Agung.
2. Perlu dilakukan harmonisasi kembali Undang-Undang KPK baik antar
pasalnya maupun dengan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga
penegak hukum lainnya, perlu adanya lembaga yudisial yang dapat
77
menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak
diatur oleh UUD 1945 demi adanya kepastian hukum.
3. Saling berebut wewenang dalam penanganan tindak pidana korupsi
sebenarnya tidak perlu terjadi jika semua lembaga mempunyai
kesungguhan tujuan yang sama memberantas korupsi di Indonesia, dan
bukan berdasarkan kepentingan ego lembaga masing-masing. Maka
bentuk-bentuk koordinasi antar lembaga KPK dengan Penegak hukum
lainnya dilakukan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU :
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
----------------------- . Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta :
Konstitusi Press, 2006.
---------------------- . Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta : Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006.
---------------------- . Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung. Jakarta :
Konstitusi Press, 2005.
---------------------- . Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
---------------------- . Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
Ali, Zaenudin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Arifin dkk, Firmansyah. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara. Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005.
Azhary. Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
Unsurnya. Jakarta: UI Press, 1995.
Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik Dinegara Modern. Yogyakarta: FH UII Press,
2008.
Brian Z, Tamanaha. On the Rule of Law, History, Politics, Theory. Cambridge:
University Press, 2006.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977.
Collin Talbot, and Christoper Pollit. Unbundled Government; A Critical Analysis
of The Global Trend to Agencies, Quangos and Contractualisation. London:
Routledge, 2004.
Danang Widoyoko, dan Teten Masduki. Menunggu Gebrakan KPK, Jentera 8
Tahun III. Maret, 2005.
Danil, Elwi. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasanya. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Effendi, Marwan. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum.
Jakarta: Gramedia, 2005.
Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu, 1987.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Harjono, Transformasi dan Demokrasi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009.
Hamzah, Fahri. Demokrasi Transisi Korupsi : Orkestra Pemberantasan Korupsi
Sistemik. Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012.
Hakim, Lukman. Eksistensi Komisi-Komisi Negara dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia. Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009.
Hakim, Lukman. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dan Penataanya dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional. Surakarta: Yustisia Jurnal Hukum Edisi
80 Mei-Agustus, 2010.
Hantoro, Novianto M. Pembenahan Kelambagaan KPK: Solusi Jangka Panjang
Konflik KPK dan POLRI. Jurnal Hukum Vol. VII, No. 03/I/PG3
DI/Februari, 2015.
Kelsen, Hans.General Theory of Law and State. New York: Russell and Russell,
1961.
Luthfi Yazid, T.M. Komisi-Komisi Nasional dalam Konteks Cita-Cita Negara
Hukum. Jakarta: Makalah disampaikan pada diskusi terbatas eksistensi
kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945, 2004.
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Muslim, Mahmudin. Jalan Panjang Menuju KPTPK. Jakarta : Gerakan Rakyat
Anti Korupsi Indonesia, 2004.
Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta, 2001.
--------------------- . Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit
UNDIP, 1995.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:
Sinar Harapan, 1994.
Nazriyah, Riris. Kewenangan KPK dalam Penyidikan Kasus Simulator SIM.
Jurnal Hukum Quia Iustum Vol. 19, Nomor 4.Yogyakarta, 2012.
Omara, Andy. Lesson From Korean Constitutional Court: What Can Indonesia
Learn From Korean Constitutional Court Experience?. Seoul: Lagislation
Research Institute, 2008.
Soemantri M, Sri. Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem
Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Surabaya: Airlangga University Press.
Sabine, George H. A History of Political Theory, Third Edition. New York: Holt
Rinehart and Winston, 1961.
Thohari, A. Ahsin. Kedudukan Komisi-Komisi Negara dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Jentera Jurnal Hukum Edisi 12 Tahun
III, 2006.
Triwulan Tutik, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010.
Termorshuizen, Marjenne. Kamus Hukum Belanda-indonesia. Jakarta: Djambatan
Cet-2, 2002.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1962.
Utari, Sri, Karakter Demokrasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dikaitkan
dengan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Tesis: Magister Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, 1998.
Widagdo Eddyono, Lutfhi. Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
oleh Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Jurnal Hukum Volume 7, Nomor 3,
2010.
Yulianto, winasis. Rekonseptualisasi Penyelesaian Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara. Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XII, Nomor 1, 2014.
PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Perubaha Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Judicial
Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Memorandum of Understanding KPK, POLRI, Kejaksaan. SPJ-39/01/-03/2012,
B/23/III/2012, KEP 049/A/JA/03/2012.
Internet :
http://www.metrotvnews.com Yusril Kewenangan Polri Lebih Kuat dari KPK.
Diakses 29 Mei 2015.
www.bbc.co.uk/indonesia/berita indonesia/2015/02/150218 jokowi ganti kapolri
diakses 12 juni 2015.
www.nasional.news.viva.co.id KPK terima penghitungan kerugian kasus
simulator SIM diakses 29 Mei 2015.
http://english.court.go.kr/ diunduh Selasa 16 Juni 2015.
www.detik.com diakses 29 Mei 2015
www.nasional.kompas.com inilah kronologi kasus penyidikan kasus Chandra dan
Bibit. Diakses 5 Juli 2015.
KAMUS :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 3 Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal 4 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 5 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :
a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. kepentingan umum; dan e. proporsionalitas.
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait; d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal 8 (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau
legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana
korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 10 Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 11 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12 (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka
dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya
atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut : a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 14 Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintah; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Pasal 15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk
memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan; e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN
PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI Pasal 16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut : a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat :
1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB IV TEMPAT KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB,
DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 19 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah
kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Pasal 20 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan
menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara : a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi.
Pasal 21
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun sebagai berikut:
a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang, masing-masing
merangkap Anggota. (4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah pejabat
negara. (5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penyidik dan penuntut umum. (6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. (7) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 22 (1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh panitia seleksi pemilihan. (2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. (3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan
calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan dari masyarakat. (4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu
kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.
(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk.
Pasal 23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 24 (1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang
karena kepakarannya diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c
adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 25
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi: a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi; b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan
pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi; c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 26
(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas: a. Bidang Pencegahan; b. Bidang Penindakan; c. Bidang Informasi dan Data; dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a membawahkan: a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; b. Subbidang Gratifikasi; c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4) Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membawahkan: a. Subbidang Penyelidikan; b. Subbidang Penyidikan; dan c. Subbidang Penuntutan.
(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c membawahkan: a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data; b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi; c. Subbidang Monitor.
(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan: a. Subbidang Pengawasan Internal; b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai dengan kebutuhan subbidangnya.
(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.
(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB V PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal 29 Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi; j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30 (1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan penerimaan calon.
(5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus. (6) Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama
calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1
(satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan. (8) Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden Republik
Indonesia. (9) Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari
panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.
(11) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua.
(12) Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara.
(13) Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara transparan.
Pasal 32 (1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia; b. berakhir masa jabatannya; c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
d. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e. mengundurkan diri; atau f. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.
Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 35 (1) Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya”.
Pasal 36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada
hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 37 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB VI PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 38 (1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 41 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 42 Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian Kedua Penyelidikan
Pasal 43 (1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana
korupsi.
Pasal 44 (1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya
dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian Ketiga
Penyidikan Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 46 (1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung
sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita; b. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut; d. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan e. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka
atau keluarganya.
Pasal 48 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49 Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50 (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan
penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan,
instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Bagian Keempat
Penuntutan Pasal 51
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 52 (1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
BAB VII
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 54 (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.
Pasal 55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pasal 56 (1) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc. (2) Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung. (3) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia atas usul Ketua Mahkamah Agung. (4) Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.
Pasal 57 (1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi; c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 58
(1) Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Pasal 59
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga berlaku bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 60
(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. sehat jasmani dan rohani; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman
sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum; e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik; h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal 61
(1) Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 62 Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII REHABILITASI DAN KOMPENSASI
Pasal 63 (1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4) Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB IX
PEMBIAYAAN Pasal 64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB X KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 66 Dipidana dengan pidana penjara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang : a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait
dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;
b. menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c. menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal 67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68 Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 69 (1) Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 71 (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;
(2) Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 72 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, Ttd. Edy Sudibyo ------------------------------------
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002
TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUM
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada
sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi
(trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan
tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain: 1) ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;
2) ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
3) ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4) ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan
5) ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia. Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas. Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : a. “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. “kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i.
Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang perorangan atau korporasi. Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar.
Huruf h Cukup jelas Huruf i
Permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan.
Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Huruf a
Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melingkupi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas
Pasal 16 Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas
Huruf h Cukup jelas Huruf i
Yang dimaksud dengan “jabatan lainnya” misalnya komisaris atau direksi, baik pada Badan Usaha Milik Negara atau swasta.
Huruf j Yang dimaksud dengan “profesinya”, misalnya advokat, akuntan publik, atau dokter. Huruf k Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31
Yang dimaksud dengan “transparan” adalah masyarakat dapat mengikuti proses dan mekanisme pencalonan dan pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain, kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Yang dimaksud “lembaga penegak hukum negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan badan-badan khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menetapkan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Ketua Mahkamah Agung dapat menyeleksi hakim yang bertugas pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Berdasarkan ketentuan ini maka pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjadi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dilakukan secara transparan dan partisipatif. Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan untuk pemeriksaan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Yang dimaksud dengan “biaya” termasuk juga biaya untuk pembayaran rehabilitasi dan kompensasi. Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4250