Upload
swa-mini
View
600
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP AJARAN WIWEKA DALAM KEPEMIMPNAN HINDU
PENDAHULUAN
Banyak sekali konsep kepemimpinan Hindu yang terkandung dalam ajaran
agama Hindu. Konsep-konsep kepemimpinan ini jika seorang pemimpin mampu
memahami dan melaksanakannya dalam era globalisasi ini yang penuh dengan berbagai
permasalahan sangatlah diperlukan kearifan dan kepekaan dari seorang pemimpin untuk
mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dialami oleh rakyatnya. Salah satu
ajaran agama Hindu yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh seorang pemimpin
adalah konsep ajaran wiweka. Lebih jelasnya tentang ajaran wiweka akan diuraikan
dalam Pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
WIWEKA
Wiweka merupakan suatu ajaran dalam agama Hindu dimana dalam konsep
ajaran wiweka ini kita diajarkan untuk mampu membeda-bedakan, menimbang-
nimbang dan akhirnya memilih antara mana hal yang baik dan mana hal yang buruk,
salah dan benar dan lain sebagainya. Ajaran ini sangat penting untuk dipelajari,
dipahami, dam akhirnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi
seorang pemimpin. Namun unuk memberikan batasan tentang manakah yang disebut
tingkah laku yang baik dan buruk, benar dan salah itu tidaklah mudah. Kita tidak dapat
memberikan batasan-batasan seperti dalam ilmu pasti. Walaupun demikian kita
semenjak kecil telah memiliki kemampuan untuk membeda-bedakan antara tingkah laku
yang diperkuat oleh pendidikan ibu bapak dan pengaruh lingkungan tempat kita berada,
sehingga kita makin sadar bahwa tingkah laku yang salah harus kita jauhi dan hanya
tingkah laku yang benarlah yang harus kita laksanakan.
1
Semakin lanjut umur kita dan makin luas pengetahuan itu semakin tinggilah
kesadaran kita untuk memilih yang baik dan bukan yang salah atau yang buruk.
“manusah sarvabhutesu
Vertate vai subhasubhe,
Asubhesu samavistham
Subhesveva vakarayet. (Sarasamuscaya 2)
Dari demikia bayaknya makhluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai
manusia itu saja yang dapat melakukan perbuatan baik buruk itu ; adapun untuk
peleburan perbuatan buruk kedalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia.
Karena kemampuan , dan atas dasar pilihan tersebut ia dapat meningkatkan
hidupnya dari tidak baik menjadi baik, maka manusia mendapat kedudukan istimewa
diantara semua makhluk hidup. Walaupun ia telah memiliki kemampuan memilih yang
baik, namun seringkali pula manusia memilih yang tidak baik. Banyak faktor yang
dapat menyeret orang pada hal-hal yang yang tidak baik, seperti karena lelah, karena
bodoh, karena keinginan yang tidak terkendali dan sebagainya, semuanya itu membawa
orang pada kebingungan sehingga salah pilih dalam mengambil tindakan. Sering juga
orang tidak dapat memilih karena ruang dan waktu tidak mengijinkan. Oleh karena
demikian, manusia harus memiliki kebijaksanaan, ketetapan hati, naya, yaitu tuntunan
berpikir, sehingga tetap tenang dalam menentukan pilihan.
Seseorang yang tergolong sadhu budhi dapat terjerumus dalam neraka akibat
salah pilih karena tidak ada naya (tuntunan berpikir) seperti yang disebutkan dalam
Nitisastra I.7 sebagai berikut:
“wwanten wwang sugih artha hina sabhinuktinyalpa ring bhusana, wwanten
wwang gunamanta sila naya hilanut rikang durjana, wwang dhirghayusa sreddha hina
tan arep ring dharmasastrolehan, yeku ng janma nirartha traya wilangnyoripnya nir
tan pa don”
Terjemahan :
Orang kaya yang makannya tidak baik dan berpakaian tidak selayaknya,
orang alim tetapi rendah tabiatnya dan suka berkumpul dengan orang jahat, orang yang
panjang (tinggi) umurnya tetapi rendah kelakuannya dan tidak mengamalkan ajaran
2
suci, ketiga macam manusia ini adalah orang yang hidupnya tidak berarti dan tidak
berharga.
Demikianlah uraian tentang seorang yang baik budhi dapat ikut orang jahat
karena kurang naya sehingga tidak tahu memilih yang benar. Banyak contoh dapat kita
baca dalam Kitab Tantri Kamandaka tokoh-tokoh cerita yang mengalami nasib sial
akibat dari wiweka. Ini mendorong kita supaya mempertajam kemampuan kita
berwiweka sehingga dapat tercapainya keselamatan dan kebahagiaan hidup. Dua cerita
dalam Tantri kamandaka disebutkan sebagai berikut:
“hanasira sira brahmana sasiki, sira ta mararya mangaji weda ring
bhagawan Wrehaspati. Labdawara ta sira, mulih ta sira maring wanwanira. Mahawan
gunung alas amanggih ta sira mong mati sinahut dening sarpa. Karuna ta sang
brahmana tuminghal ikang mong, ageng kasambeganira. Minantranira ikang mong,
ikang maurip. Mulat kang mong ring sang brahmana, kunang ling nikang mong : Ah
mangsangkukapwa kita sang brahmana, paweh twas bhatara rudra: mangkana ling
nikang mong. Ya ta dinemak sang brahmana denikang mong, pejah dening
sambeganira ”.
Terjemahan :
Ada seorang brahmana, tamat belajar Weda pada Bhagawan Wrehaspati.
Sempurnalah sudah ilmunya, hendak pulang ke daerahnya sendiri, melalui gunung dan
hutan, didapatnya seekor harimau telah mati karena dipagut ular berbisa. Terharulah
brahmana itu melihat sang harimau, besarlah rasa belas kasihannya. Dijumpainya
bangkai harimau itu, hiduplah. Ketika dilihat sang pendeta oleh harimau itu, maka kata
harimau: “inilah harus kumakan, engkau sang brahmana, pemberian dewa Rudra yang
benar-benar memuaskan hatiku”. Demikianlah kata harimau itu, maka diterkamlah
brahmana itu oleh sang harimau. Matilah ia karena sambeganya.
“ hana sira rajaputra macangkramamengameng ring taman sidempati.
Hana ta hamengamenganira wre lanang tunggal, atyanya idepnya, kadi janma, tan sah
umiring ing lampahira, tan hana muwah kadyahan. Kasrepan sira tumihat ing lengen
ing taman, aheb denikang sarwa kusuma sugandha. Amrem aguling kalawan strinira
3
risedhenging maha pralaya nira dateng. Kunang kasihira wre si garuguh ngaranya.
Yateka winekasnira tunggwaguling: “Ndan kong wre, tunggwaku maguling. Ya hana
ngalang-ngalangana pagulingmami, tuwi yan dusta mangrabasa, kakawasanta
sekarwirnya ngalang-ngalangna ryaku maguling. Aywa kita ngundur i jurang, mah
kandaga pinaka sahayanta. Mangkana ling sang rajaputra. Enak manindranira kalih.
Kancit pwa ya hana laler lakistri tumrap ing gulunira kalih sang manidra. Ikang stri
tumrap ing tenggek sang rajaputri. Umulat pwaya wre, matutur i pawekasnira, yeka
dosaning tan wruh ring peryaya mwang ring nitiyoga”.
Terjemahan :
Ada seorang raja putra bercengkrama, bermain-main di taman Sidempati.
Ada padanya seekor kera jantan yang dipeliharanya, sangat cerdas seakan-akan
manusia. Selalu kera itu mengikuti barang kemana saja raja putra pergi, tiada pengikut
lain untuk menjaga keselamatannya. Raja putra sangat bersenang hati melihat keindahan
taman itu, rindang karena bunga-bunga yang sangat harum. Tidak tahulah ia bahwa
waktu ajalnya telah hampir, masih pula ia asyik mengenyam keindahan alam,
memejamkan mata hendak tidur, berdampingan dengan istrinya. Kera yang
dipeliharanya itu si Garuguh namanya. Ia diberinya pesan supaya menjaga dirinya (sang
raja putra dan raja putri); “ Hai engkau kera, jagalah keselamatanku selama aku tidur.
Barangkali ada yang mengganggu kepadaku selama tidur. Jangan engkau mundur ke
tebing. Inilah pedang untuk temanmu”. Demikianlah sabda sang raja putra, senang-
senang mereka tidur. Tak lama kemudian ada lalat hijau sekelamin yang hinggap pada
leher raja putra, yang jantan hinggap pada leher sang putri. Dilihatnya hal itu pada kera,
dan ingat ia akan pesan sang raja putra. Kuat-kuat ditekannya lalat itu, putus pula leher
raja putradan raja putri itu. Matilah mereka karena pesannya sendiri. Itulah akibat tak
mengenal peristiwa barang sesuatu dan tidak dapat mengambil sikap yang selayaknya.
Semua kekeliruan yang membawa sang pendeta dimakan harimau, rajaputra
dan rajaputri tewas ditangan si kera, adalah disebabkan oleh kurang wiweka, sehingga
yang dipilih adalah pilihan yang salah. Apa yang dipilih itu meripakan keputusan yang
ditetapkan oleh pikiran. Maka pikiranlah yang paling utama sebab pikiranlah yang
menentukan semuanya itu, sebagaimana yang dinyatakan dalam Sarasamuscaya sloka
79 sebagai berikut:
4
“manasa niscayam krtva
Tato vaca vidhiyate,
Kriyate karmana pascat
Pradhanam vai manastatah”.
Terjemahan :
Adapun kesimpulan, pikiranlah yang merupakan unsur yan menentukan; jika
penentuan perasaan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata atau melakukan
perbuatan. Oleh karena itu pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya.
Lebih lanjut di dalam Sarasamuscaya Sloka 315, dinyatakan pula sebagai
berkut:
“Pratyham pratyaveksete
Hyatmano vrttamatmana,
Kinnu me pasubhistulyam
Kimu satpurusaih samam”.
Terjemahan:
Oleh karena itu jangan hendaknya tidak waspada, hendaknya memikirkan
perbuatan diri sendiri sehari-hari, pikirkan, apakah perbuatan ini salah atau benarkah,
sama dengan hewankah atau sama dengan panditakah tingkah laku ini? Demikianlah
hendaknya pikiranmu dari hari ke hari dan senantiasa menasihati diri sendiri mengenai
perbuatan diri sendiri.
Keselamatan, keringanan, kebahagiaan hidup amat bergantung kepada
pikiran dan kemampuan pikiran kita dalam memutuskan suatu kebijaksanaan dengan
pertimbangan-pertimbangan atau wiweka. Setiap gerak tindakan itu hendaknya selalu
berdasarkan wiweka, dan hal inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk
menciptakan suatu kesejahteraan, kedamaian, bagi rakyatnya.
5
SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin hendaknya
memiliki wiweka dan setiap gerak tindakan hendaknya selalu berdasarkan wiweka.
Wiweka adalah pancaran daya pikir manusia dalam kemampuannya untuk membeda-
bedakan, menimbang-nimbang dan akhirnya memilih antara yang baik dan buruk,
antara benar dan salah. Karena kurangnya wiweka, seseorang yang tergolong sadhu
budhi dapat dapat terjerumus dalam neraka. Demikianlah pula semua kekeliruan yang
membawa sang pendeta dimakan harimau, rajaputra dan rajaputri tewas di tangan si
kera adalah kurangnya wiweka.
DAFTAR PUSTAKA
Awaniua, Made dkk,1994.Sila dan Etika Hindu, Dirjen Bimas Hindu Budha,
Jakarta.
6