Upload
lekhanh
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh :
RIAN MAULANA NIM : 103046128351
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI SYARIAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN (Keaslian Karya)
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Jumadil Akhir 1431 H
19 Mei 2010 M
RIAN MAULANA NIM : 103046128351
Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr1
1 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.13
ABSTRAKSI
(A) KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS –
SHADR
(B) x + 157 halaman
(C) Muhammad Baqir Sadr merupakan tokoh cendikiawan muslim terkemuka,
fakih (yuris) Pembaru dan Pemikir genius dan tak sedikit berbicara masalah
ekonomi. Dalam bidang ekonomi, Baqir Sadr membahas masalah hubungan milik,
peranan negara dan pengalokasian sumber daya dan kesejahteraan publik,
larangan terhadap Riba dan pelaksanaan zakat, pandangan terhadap kapitalisme
demokrat, pandangan terhadap kapitalisme sosialis. Pembahasan pada skripsi ini
hanya dibatasi pada pemikiran ekonomi Baqir Sadr mengenai konsep distribusi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif,
karena prosedur penelitian ini menghasilkan data desktiptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari seseorang atau perilaku yang diamati tanpa menggunakan
penghitungan dan bertujuan menemukan teori dari data.
Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data
dan cara analisa kualitatif dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis obyek
penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan dengan
topik, untuk kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil kesimpulan
yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.
Sistem ekonomi Islam memiliki tujuan utama untuk menciptakan sumber-
sumber produksi demi memenuhi al-hajat ad-dharuriyyah (kebutuhan pokok)
yang meliputi : kebebasan beragama, penyediaan lapangan kerja, sandang,
pangan, papan, bahan pangan, dan pendidikan yang memadai. Al-hajat ad-
i
dharuriyyah juga merupakan cerminan maqashid asy-syari’ah yang lima, yaitu :
hifzh ad-din, hifzh al-mal, hifzh an-nasl, hifzh an-nafs, dan hifzh al-‘aql. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan akan muncul permasalahan
yang dapat membahayakan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Fakta di lapangan membuktikan, kemiskinan terjadi bukan karena tidak
ada uang, tetapi karena uang yang ada tidak merata. Kemiskinan juga bukan
karena kelangkaan SDA, tetapi karena distribusinya yang tidak merata. Tidak
benarnya pendistribusian inilah yang menyebabkan kesenjangan yang luar biasa
antara Negara Maju dan Negara Berkembang, ironisnya Negara-Negara yang
berpenduduk mayoritas Muslim.
Penulis mengambil kesimpulan bahwa konsep Distribusi yang coba
dirumuskan Sadr terasa Relevan dengan Ekonomi Islam dan Masa Kini,
Manifestasinya seperti Pelaksanaan Zakat. Perlu diketahui, Zakat, disebutkan
Sadr, adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan dibawah Pengawasan
Pemerintah. Artinya menurut Penulis, dengan di kelola Pemerintah, zakat menjadi
kewajiban yang mengandung sanksi bagi pelanggarnya dan ini dapat menjadi
solusi alternatif atas krisis yang tengah menimpa Negeri tercinta kita ini, Bangsa
Indonesia.
(G) Daftar Bacaan 48 (1971 – 2009)
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik dzati Ilahi Rabbi yang telah mengutus Nabi
yang ummi untuk merubah tatanan hidup jahili kedalam tatanan hidup yang
Islami. Shalawat serta Salam semoga senantiasa tercurah kepada pembawa
Risalah suci, sebagai petunjuk abadi bagi insani, baik di zaman bahari, zaman
kiwari maupun di kemudian hari.
Harus ada semacam keyakinan dalam diri kita bahwa Allah tidak pernah
pilih kasih kepada hambanya. Jangankan mereka yang beragama samawy,
sedangkan kepada para penyembah berhala sekalipun, Allah tetap memberikan
curahan kasih-Nya. Sebagaimana Dia mencurahkan Kasih-Nya kepada seluruh
makhluk-Nya di muka bumi ini.
Tiada kata yang lebih manis dan lebih patut untuk diucapkan selain kata
Al-Hamdulillaahi Rabbil ‘Alamien. Akhirnya skripsi ini rampung juga. Pada
awalnya penulis sempat pesimis untuk merampungkan skripsi ini karena berbagai
hal dan Faktor X. Tetapi dengan motivasi teman-teman serta dengan kebulatan
tekad dan ketawakkalan penulis, akhirnya Allah pun mau mengulurkan tangan-
Nya untuk membantu dan memudahkan segala kesulitan yang ada.
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini pula, tidaklah semudah
membalikan tangan dan ucapan ‘simsalabim’. Penulis Al-hamdulillah dibantu
oleh pihak-pihak yang dengan suka-rela membantu dan mendukung, baik moril
maupun materil. Untuk itu Izinkan penulis menyampaikan do’a, cinta, dan ucapan
terima kasih yang teristimewa kepada :
iii
1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah membekali dengan
segudang keilmuannya yang brillian kepada penulis, pandangannya yang
luas, nasehatnya yang berharga dan pengarahannya yang bijak.
2. Dr. Euis Amalia M.Ag, selaku Kajur Muamalat Perbankan Syariah
sekaligus Penguji I, yang telah mendewasakan ilmu dan akhlak penulis
serta telah memberikan motivasi dan kelancaran kepada penulis untuk
merampungkan skripsi ini.
3. Ah. Azharudin Latif M.Ag, MH, selaku Sekjur Muamalat Perbankan
Syariah yang telah banyak memberikan masukan dan saran terhadap
skripsi ini.
4. Dr. Abdurahman Dahlan MA, selaku Pembimbing I, yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. M. Riza Afwi MA, selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberikan
saran dan koreksi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Dr. Syahrul A’dam, MA, selaku Penguji II, yang telah memberikan
waktu dan pemikirannya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Mamah dan Papah tercinta, yang senantiasa berdo’a untuk keberhasilan
putranya, dan rela mengorbankan tenaga, fikiran demi membeli bakti dan
keshalehan putranya. Sungguh ! Pengorbanan kalian tiada tergantikan oleh
apa pun di dunia ini.
iv
8. Kepala Perpustakaan beserta Karyawan dan Karyawati Perpustakaan
Pusat dan Perpustakaan Jurusan Mu’amalat Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia
meminjamkan buku-buku yang menjadi Referensi bagi Penulis dalam
Penyelesaian tugas akhir ini.
9. Jajaran Dosen, yang telah memberikan bekal ilmu pada penulis untuk
menghadapi kehidupan yang semakin menggila ini.
10. Para Cendikiawan Muslim, Penulis Buku dari berbagai Generasi, dan
semua pihak yang tulisan serta buah fikirannya menjadi acuan penulis.
11. Keluarga Besar Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Tarogong
Garut, yang telah membina dan membekali penulis dengan segudang
keilmuannya selama nyantri disana.
12. Rekan-rekanita Se-Perjuangan, Para Aktivis Dakwah Kampus (ADK)
“KAMMI”, “LDK”, bareng ”Kongres Mahasiswa Universitas (KMU),”
“BEM Perbankan Syariah Plus Crew Redaksi Bulletin Iqtishaduna ”
dan “Partai Intelektual Muslim (PIM)” Periode 2004 – 2006 serta
FOSSEI (Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam) dan
FORMATUR NASIONAL yang ikut mendukung memberi semangat
hidup dan selalu bersama-sama dalam suka maupun duka. Teruslah
Bergerak Kawan, karena Diam, Mundur dan Menyerah adalah sebuah
Pengkhianatan.
13. Gin-Gin (FORMACI), Uun (LSI), Asep (LIPIA), Yandi (Universitas
Paramadina), Surya (BTN Syariah), Yusuf, Arman, Cepi, Ridho
v
(Royal Bank Scotland), Yasya, Yoga, Iman, Torik, Rojak, Ahwan,
seorang teman dan asisten, sahabat, saudara sekaligus Curahan Hati yang
selalu menemani Penulis baik ketika sakit dan sehat, yang selalu
memotivasi Penulis untuk berusaha menyelesaikan skripsi ini.
14. Adik-adik kelasku Se-Perjuangan yang selalu berharap dan berdo’a
agar kelak kakaknya menjadi orang shaleh dan sukses serta tauladan
mereka. Teruskan Perjuangan kalian ! Umat Islam Menanti kalian.
15. Bidadari Surgaku yang hadir ke dunia, kaulah Anugerah yang terindah
yang pernah terjadi dalam hidupku.
16. Semua pihak yang telah ikut membantu melancarkan penulisan skripsi ini
dengan segenap tenaga maupun fikirannya.
Penulis tidak tahu, kado apa yang harus penulis berikan atas jasa-jasa
mereka. Barang kali hanya seuntai do’a terucap, “ Semoga Allah Swt menerima
dan membalas segala kebaikan mereka dengan sebaik-baiknya. Amiiin….!!!
Akhirnya, Penulis haturkan skripsi ini kepada pembaca, semoga
bermanfaat bagi dunia ekonomi Islam dan ada kebaikan bagi kita semua.
Jakarta, 05 Jumadil Akhir 1431 H
19 Mei 2010 M
cxÇâÄ|á
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
DAFTAR ILUSTRASI .................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 8
D. Metode Penelitian ................................................................ 9
1. Jenis Penelitian ................................................................ 9
2. Tingkat Penelitian ........................................................... 10
3. Pendekatan Penelitian ..................................................... 10
4. Jenis Data dan Sumber Data ........................................... 11
5. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 12
6. Teknik Pengolahan Data ................................................. 12
7. Teknik Analisis Data ....................................................... 12
8. Teknik Penarikan Kesimpulan ........................................ 14
9. Teknik Penulisan Laporan ............................................... 14
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 15
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ................................ 16
G. Sistematika Penelitian .......................................................... 20
vii
BAB II : SELINTAS SEJARAH KEHIDUPAN MUHAMMAD
BAQIR ASH – SHADR
A. Riwayat Hidup ..................................................................... 23
B. Karir Intelektual dan Politik ................................................. 30
C. Latarbelakang Pemikiran ..................................................... 37
D. Posisi Muhammad Baqir As-Shadr diantara Para Pemikir
Ekonomi Islam Lainnya ....................................................... 41
BAB III : TINJAUAN TEORITIS TENTANG DISTRIBUSI
A. Pengertian Distribusi ............................................................ 48
B. Prinsip – Prinsip dan Tujuan Distribusi ............................... 50
C. Mekanisme Distribusi .......................................................... 55
D. Nilai dan Moral di bidang Distribusi ................................... 71
BAB IV : TINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT
MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Shadr .... 78
B. Relevansi Pemikiran Muhammad Baqir As-Shadr .............. 111
1. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-
Shadr dengan Ekonomi Islam ........................................ 111
2. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-
Shadr dengan Perekonomian Masa Kini ....................... 117
C. Analisa Penulis ..................................................................... 127
viii
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 148
B. Saran .................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR LAMPIRAN
ix
x
DAFTAR ILUSTRASI
1. Ilustrasi 1 Mekanisme Distribusi ............................................................. 56
2. Ilustrasi 3 Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr ..................................... 127
3. Ilustrasi 4 Asumsi Dasar Sadr .................................................................. 128
4. Ilustrasi 5 Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr ................................. 129
5. Ilustrasi 6 Distribusi Menurut Sadr .......................................................... 129
6. Ilustrasi 2 Distribusi Pendapatan ............................................................. 146
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis Ekonomi Global yang terjadi di Indonesia pada periode 1997
disusul pada periode 2008, sebenarnya di awali dari krisis di bidang distribusi.
Jika kita amati secara seksama bahwa krisis tersebut adalah ’buah’ dari
kebijakan ekonomi yang keliru. Beberapa indikatornya adalah sebagai berikut:
Sektor riil tidak bergerak, di mana dana masyarakat yang berjumlah lebih
dari Rp.639 triliun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya di letakkan di BI
melalui instrument SBI. Dapat di lihat pada tabel sebagai berikut : 1
Tanggal Lelang
Jumlah Penawaran
yang Masuk
Kisaran Bid Rate
Jumlah Penawaran
yang Diserap
SOR
RRT SBI
Hasil Lelang
Tanggal Setelmen
Tanggal Jatuh Waktu
Frekuensi Penawaran
Lelang
6/9/2010 21.2111 6.15% - 6.45% 8 6.29% (propo 49.14%) 6.26221 6/10/2010 7/8/2010 121
5/26/2010 4.778 6.00% - 6.50% 3.9982 6.37% (full amount) 6.30206 5/27/2010 7/8/2010 56
26.1815 6.10% - 6.50% 25 6.35% (proporsional
28.45%) 6.28197 5/14/2010 7/8/2010 104 5/12/2010
11.2588 6.10% - 6.30% 10 6.25% (proporsional
55,75) 6.19877 4/29/2010 5/27/2010 79 4/28/2010
4/14/2010 4.7462 6.12% - 6.40% 4.6762 6.35% (full amount) 6.25054 4/15/2010 6/10/2010 60
18.9489 6.15% - 6.50% 15.0000016.25% (proporsional
58,81) 6.21091 4/8/2010 5/14/2010 125 4/7/2010
30.1165 6.10% - 6.35% 15 6.28% (proporsional
89,72) 6.27162 4/1/2010 5/14/2010 147 3/31/2010
25.93 6.20% - 6.50% 11 6.35% (proporsional
56.70) 6.32334 3/25/2010 5/14/2010 153 3/24/2010
27.2929 6.30% - 6.55% 13.5 6.40% (proporsional
29,50) 6.35218 3/18/2010 5/14/2010 138 3/17/2010
21.4432 6.10% - 6.60% 21 6,41% (proporsional
27.64) 6.34657 3/11/2010 4/8/2010 163 3/10/2010
42.7207 6.30% - 6.43% 33.449996.41% (proporsional
74.09) 6.39696 3/4/2010 4/1/2010 176 3/4/2010
2/24/2010 39.7315 6.33% - 6.43% 39.7315 6.43% (full amount) 6.407 2/25/2010 3/25/2010 164
1 di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/
1
2
2/17/2010 49.9408 6.34% - 6.45% 38.1 6.43% (Prop 19.37) 6.41525 2/18/2010 3/18/2010 182 2/10/2010 55.2575 6.35% - 6.46% 47.2 6.44% (Prop 78.02) 6.4305 2/11/2010 3/11/2010 189 2/4/2010 46.7454 6.36% - 6.46% 36.1 6.45% (Prop 71.39) 6.43688 2/4/2010 3/4/2010 167 1/27/2010 35.6006 6.36% - 6.46% 35.6006 6.46% (full amount) 6.44788 1/28/2010 1/27/2010 160 1/20/2010 45.7997 6.37% - 6.50% 43 6.46% (propo 95,27) 6.45259 1/21/2010 2/18/2010 165 1/13/2010 66.3437 6.38% - 6.48% 61.40001 6.47% (propo 88,26) 6.45819 1/14/2010 2/11/2010 213 1/6/2010 59.0298 6.35% - 6.48% 46.8 6.48% (propo 24.18) 6.45311 1/7/2010 2/4/2010 214
Krisis mengajarkan beberapa hal. Bank Syariah ternyata lebih
tahan dari krisis dan tidak menyulitkan Negara2. Karena Perbankan
syariah bisa berperan sebagai Lembaga intermediasi (penengah) yang
berfungsi bahwa dana pihak ketiga yang ada di Perbankan syariah hampir
100 % di distribusikan kembali kepada masyarakat. Sementara bank
konvensional hanya mendekati 70 %3, dan membebani Negara karena
meniscayakan bunga bagi Pemerintah untuk dana bank di SBI.4
Fakta ini menunjukan bahwa bank syariah lebih berpihak kepada
sektor riil daripada bank konvensional. Perlu di kemukakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesungguhnya terjadi di sektor moneter,
bukan di sektor riil yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat banyak.
Kemudian Faktor Utang. Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini :5
2 Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di
akses pada 04 Mei 2006 dari republikaonline 3 ” Perbankan Syariah Tidak akan Membiayai Rokok, Miras dan Hiburan Malam, ”
WARTA Media Informasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 03 Desember 2009, h.6
4 Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari Republika online
5 di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.depkeu.go.id
3
Ini mencerminkan bahwa jumlah hutang lebih besar dari pada
anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersama-
sama.
Jelasnya, jika sektor riil tidak bergerak, maka akan menyebabkan
seperti praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi,
pelarangan bunga bank dan judi dipastikan akan meningkatkan distribusi
kekayaan. karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif
berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan.
4
Sementara itu, Dari sisi penerimaan, Pemerintah menjadikan pajak
sebagai sumber utama penerimaan Negara, sebagaimana dapat di lihat pula
pada tabel berikut :6
Ini berarti dapatlah dikatakan bahwa menurunnya penerimaan Negara
dari sumber bukan pajak merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang
menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta, khususnya asing.
Dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik,
Perusahaan Multinasional asing seperti Exxon Mobil oil, Caltex, Newmount,
Freeport, dan lainnya dengan mudah mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Sehingga pemasukan APBN
dari sektor SDA migas dan non-migas makin lama makin kecil. Di samping
itu, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan TDL, Telepon, dan
BBM.
Kemudian Dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat
bertolak belakang. Menurut data tabel diatas dalam APBN-P 2007, anggaran
6 di akses pada 15 Juni 2010 dari http//.badankebijakanfiskalkemenkeu.htm
5
belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar Rp.105 triliun, sedangkan
pembayaran utang bunga Rp.83,5 triliun dan cicilan pokok Rp.54,7 triliun atau
total sebesar Rp.138,2 triliun, yang kemudian dana pajak yang dipungut dari
masyarakat sebagian besar adalah untuk membayar hutang yang rata-rata tiap
tahun sebesar 25-30 % dari total anggaran.7
Ini artinya yang perlu kita garis bawahi bahwa penyebab defisit APBN
bukanlah besarnya subsidi, melainkan hutang yang sebagian besar hanya di
nikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat, untuk kepentingan
Restrukturisasi Perbankan.
Maka jelaslah bahwa indikator terjadinya krisis ekonomi adalah krisis
di sektor distribusi. Kekacauan di sektor ini mengakibatkan kekacauan di
sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa).
Pada krisis tersebut terlihat bahwa fakta di lapangan membuktikan,
kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi karena uang yang ada
tidak merata. Kemiskinan juga bukan karena kelangkaan SDA, tetapi karena
distribusinya yang tidak merata. Tidak benarnya pendistribusian inilah yang
menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antara Negara Maju dan Negara
Berkembang, ironisnya Negara-Negara yang berpenduduk mayoritas
Muslim
Islami (Islamic set of values) yang dimiliki oleh mayoritas penduduk suatu
8.
Dalam hal ini sudah selayaknyalah kita menunjukkan, perlunya kita
kembali kepada sistem perekonomian yang sesuai dengan seperangkat nilai
7 Ibid., h.3 8 Muhammad Arif Adiningrat dan Farid wadjdi, “ Kebijakan yang bertolak belakang,”
artikel diakses pada sabtu, 21 Mei 2005 dari www.hizbut-tahrir.or.id
6
bangsa. Penyimpangan terhadap Islamic set of values secara universal telah
menimbulkan kemunduran dan kemiskinan.9
Adiwarman Karim10 menjelaskan bahwa respons terhadap maraknya
praktik Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia, menyusul terjadinya
krisis ekonomi dan moneter dan pemberlakuan UU Perbankan No 10 tahun
1998, serta fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, telah membangkitkan
kesadaran bahwa kehadiran LKS harus di iringi dengan pemahaman yang
lebih komprehensif tentang ekonomi Islam. Menurutnya ” ... Pemahaman
sistem ekonomi Islam tidak cukup hanya melalui sosialisasi teknis semata,
tetapi juga latar belakang dan sejarah perkembangan pemikiran ekonomi para
cendikiawan muslim hingga terwujudnya konsep mekanisme operasional
LKS...”
Sementara itu, Euis Amalia menyatakan bahwa di Indonesia
pengembangan ekonomi Islam di mulai melalui pola kedua sehingga tidak
heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat
dibandingkan pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem
yang lebih komprehensif.11
9 Karnaen Perwataatmadja, ”Kebutuhan dan Strategi Pengembangan Kurikulum untuk
membangun SDI Syariah,” pada acara seminar ”Peran Perguruan Tinggi dalam membangun SDI Syariah Profesional,” dalam Indonesia Syariah Expo, 27 Oktober 2007, (Jakarta Convention Centre : MES, 2007), h.5
10 Adiwarman Azwar Karim, “Pengantar” , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet.III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006). h.vii
11 Euis Amalia. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia ,(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009). h.114
7
Dalam upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tidak hanya membenahi
sektor riil dan moneter, tetapi juga harus membenahi persepsi tentang
distribusi, fungsi, konsep dan kedudukannya.
Lantas, bagaimanakah konsep distribusi dalam Islam. Ekonomi Islam
sebagai sebuah sistem yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam, menjelaskan
sejelas-jelasnya bagaimana seharusnya konsep distribusi yang ideal. Para
ulama Islam telah mengembangkan gagasan-gagasannya tentang ekonomi. Di
antara sekian banyak ulama yang banyak berbicara tentang distribusi adalah
Muhammad Baqir As – Shadr.
Dalam skripsi ini penulis ingin mendeskripsikan persoalan ekonomi
tentang distribusi dengan penekanan pada pemikiran sosok Muhammad Baqir
As – Shadr, seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan
Intelektual dan sering kali melakukan gerakan-gerakan perlawanan konstruktif
dalam hal kebijakan penguasa setempat.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Perjalanan dan Perkembangan ekonomi Islam tengah mengalami
booming (ledakan pertumbuhan besar-besaran) atau quantum growing
(loncatan pertumbuhan cepat) dan menunjukan peningkatan yang sangat
signifikan. Mulai dari era Nabi Muhammad Saw, Khulafaur Rasyidin, Dinasti
Islam, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga kepada era kontemporer dewasa ini, pada
tiap-tiap masa terdapat pemikir dan ekonom Muslim yang terlibat dalam
mengembangkan konsep ekonomi Islam.
8
Pada masa kontemporer, tak sedikit para pemikir Muslim yang
mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi Islam yang lebih
sistematis dan dengan mengikuti perkembangan ilmu ekonomi modern.
Pemikir Muslim memang melakukan klasifikasi terhadap berbagai macam
ilmu, khususnya ekonomi Islam. tetapi yang dilakukan oleh mereka adalah
pembedaan, bukan pemisahan. Mereka mencoba merekontruksi teori-teori
ekonomi Islam sehingga menjadi sebuah subjek materi, sebuah disiplin ilmu
yang mandiri. Dalam Pembahasan pada skripsi ini hanya dibatasi pada
pemikiran ekonomi Baqir Sadr mengenai konsep distribusi.
Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka
yang dikaji penulis dalam skripsi ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai
berikut :
1. Bagaimana Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Shadr ?
2. Bagaimana Relevansi Konsep tersebut dengan Ekonomi Islam dan dengan
Perekonomian Masa Kini ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang akan dibahas oleh penulis dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir
As – Shadr.
2. Untuk mengetahui Relevansi Konsep Distribusi Menurut Muhammad
Baqir As – Shadr terhadap Ekonomi Islam dan kondisi Perekonomian
Masa Kini.
9
Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan akan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal :
1. Membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi islam
kontemporer.
2. Memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik dan holistik komprehensif mengenai perjalanan pemikiran
ekonomi Islam yang utuh serta obyektif.
Kedua hal tersebut akan memperkaya ekonomi islam kontemporer dan
membuka jangkauan yang lebih luas dalam upaya konseptualisasi dan aplikasi
pada perekonomian kita dewasa ini.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini pada akhirnya diharapkan dapat
menjadi alternatif solusi untuk mengatasi krisis ekonomi indonesia, yang
mayoritas penduduknya beragama islam. Selain itu sebagai sarana sosialisasi
dan edukasi sistem ekonomi Islam kepada masyarakat luas.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif, karena prosedur penelitian ini menghasilkan data desktiptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang atau perilaku yang
diamati tanpa menggunakan penghitungan dan bertujuan menemukan teori
dari data.
10
Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research)
dengan data dan cara analisa kualitatif12 dengan cara mendeskripsikan dan
menganalisis obyek penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai
sumber yang berkaitan dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisa
dan akhirnya mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk
laporan tertulis.
2. Tingkat Penelitian
Tingkat penelitian mengarah pada deskriptif (Taksonomik) dan
eksploratif, yaitu ingin menggambarkan sekaligus menggali secara luas
tentang sebab atau hal-hal yang mempengaruhi latar belakang pemikiran
tokoh ini.
3. Pendekatan Penelitian
Sebagai suatu studi terhadap pemikiran tokoh dalam suatu kurun
waktu tertentu, secara metodologis penulis ini sudah tentu menggunakan
pendekatan Historis (sejarah),13 yaitu kajian sejarah terhadap pemikiran
tokoh tentang Konsep Distribusi, dengan mengambil referensi pemikiran
Muhammad Baqir Sadr. Dalam telaah nanti penulis dengan sendirinya
akan mengikuti cara dan arah pemikiran tokoh tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan historis. Data kualitatif didasarkan pada isi atau mutu suatu
fakta, karena dalam penelitian ini akan menemukan sebuah konsep yaitu
bagaimana konsep distribusi menurut Baqir Sadr. sedangkan data historis
12 Lexy J. Meloeng. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT.Remaja Rosda
Karya,2002), Cet. Ke-10. 13 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988) h.56-57
11
didasarkan pada pengalaman masa lalu yang menggambarkan secara
seluruh kebenaran kejadian atau fakta yang bertumpu pada kegiatan
mengevaluasi suatu objek seperti peristiwa atau tokoh masa lampau
dipandang dari sudut standar dan kebudayaan dewasa ini.14
4. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data
kualitatif yang diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder.
Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis
oleh Muhammad Baqir As-Shadr yang berjudul Iqtishaduna diterbitkan
oleh Daar al-Fikr tahun 1973.
Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan adalah berbagai
tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, baik langsung maupun tidak
langsung, seperti buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna karya M. Baqir
Sadr diterbitkan oleh Pustaka Az-Zahra, Falsafatuna : Pandangan
Muhammad Baqir As-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia
karya M. Baqir Sadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Menguji sistem
Ekonomi Barat dengan Kerangka Sistem Ekonomi Islam karya M. Baqir
Sadr, Sistem Politik Islam karya M. Baqir Sadr, Contemporary Islamic
Thought : A Selected Compararative Analysis karya Aslam Hanef,
Ekonomi Mikro Islam karya Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer karya Euis Amalia,
Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
14 Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2003). h. 18
12
UKM di Indonesia karya Euis Amalia dan lain-lain yang dapat menopang
penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca,
memahami dan menganalisa buku-buku serta menelusuri berbagai literatur
yang ada relevansinya dengan pembahasan ini, serta literatur lain sebagai
penunjang untuk dikaji lebih jauh guna mencari landasan pemikiran dalam
upaya pemecahan masalah.
6. Teknik Pengolahan Data
Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini, di
mulai dengan melakukan pengkodean data, untuk selanjutnya dilakukan
kategorisasi melalui lembar kertas bantu (short card).
7. Tehnik Analisis Data
Untuk menganalisa data yang terkumpul pemikiran tokoh
Muhammad Baqir Sadr yang menjadi obyek penulisan ini penulis
memakai metode, yakni :
a. Analisis wacana (Discourse), karena pengumpulan data dan informasi
akan dilakukan pengujian arsip dan data dokumen, naskah atau
literatur lainnya yang tidak mengadakan penghitungan melainkan
penekanan ilmiah, dengan mengikuti alur pemikiran Baqir Sadr.
Adapun Penelitian ini merupakan rumpun penelitian ekonomi
normatif.
13
b. Metode interpretasi merupakan upaya untuk mengungkapkan atau
membuka suatu pesan yang terkandung dalam teks yang dikaji,
menerangkan atau membuat terang pemikiran tokoh tersebut dengan
memasukkan faktor luar, seperti menunjukan hal-hal yang
mengelilingi atau melatarbelakanginya, meskipun data luar itu hanya
relevan sejauh pengaruhnya dikenali terhadap pemikiran Konsep
Distribusi, dalam hal ini terutama adalah premis yang berasal dari
teologi, dan menerjemahkannya, yaitu memindahkan arti dari
pemikiran klasik ke dalam bahasa dan kehidupan masa kini.15 Maksud
lain dari metode interpretasi adalah untuk mencapai pemahaman yang
benar mengenai ekspresi pemikiran tokoh yang dikaji dan
aktualisasinya dengan kehidupan yang sekarang sedang berlangsung.16
c. Khusus mengenai pemikiran Muhammad Baqir Sadr ini juga dilihat
dalam konteks yang lebih luas baik secara vertikal maupun horizontal.
Perluasan vertikal artinya melihatnya dalam kerangka pandangan
mengenai Tuhan, manusia dan alam. Sedangkan secara horizontal
pandangan diperluas secara kronologis ke masa lalu dan ke masa
depan, artinya melihat pengaruh pendahulu tokoh tersebut dan
pengaruhnya kemudian terhadap pemikir berikutnya. Prosedur inilah
yang dimaksud dengan metode holistika.17
15 Poepoprodjo, Interpretasi : Beberapa Catatan Pendekatan Falsafatinya, (Bandung :
Remadja Karya, 1987), h. 192-198. 16 Anthon Baker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta
: Kanisius, 1990), h. 42 17 Anthon Baker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta
: Kanisius, 1990), h. 64.
14
Penelusuran terhadap hidup seorang tokoh sejarah memerlukan
perhatian lebih, terutama untuk tokoh yang hidup di masa lampau.
Karena menulis pemikiran tokoh yang telah tiada ada beberapa
problem, terutama banyaknya kemungkinan terhadap sejarah yang
ditulis oleh subjek dalam motif yang berbeda-beda dan juga
keterbatasan referensi.18
8. Teknik Penarikan Kesimpulan
Metode induksi-deduksi dilakukan untuk menelaah pemikiran sang
tokoh yang daripadanya dapat diambil kesimpulan umum mengenai
konsep distribusi untuk kemudian diambil kembali dengan menerapkannya
kepada pemikiran-pemikiran lain dari tokoh ini demi melihat sejauhmana
ketepatan kesimpulan yang diambil pertama.
9. Teknik Penulisan Laporan
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet.1.2007.“
18 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), Cet. V, h. 332. lihat juga. A. Ilham Aufa, “ Hijaz 1800-1925 : Periode Penuh Intrik Politik dan Benturan Pemikiran “ dalam Dialogia, no1/vol.I/Mei 2000, h. 83. GJ Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 33. Sejarah adalah objektif sementara yang menuangkan sejarah dalam konteks bahasa, entah itu lisan maupun tulisan, lebih banyak bersifat subyektif. Penulis menyamakan analisa ini dengan tulisan Komaruddin yang menjelaskan pemaknaan agama pada konteks yang obyektif , sementara pemahaman yang tertuang dalam bahasa yang dikemukakan lebih banyak dikarenakan cermin jiwa dari si empu cerita. Karena merupakan cermin jiwa, ia lebih banyak berkutat pada unsur subyektifitas. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 3 – 5.
15
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebelumnya ada beberapa penelitian skripsi yang mengangkat judul
dengan metode yang sama, yakni dua diantaranya adalah :
1. “Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqir Ash-Sadr”, oleh Danial
Firman, Mahasiswa Jurusan Mu’amalat – Perbankan Syariah tahun 1427
H / 2006 M.
2. “Konsep Ekonomi Islam Baqir Ash-Sadr dan Monzer Kahf : Sebuah
Studi Komparatif“, oleh Djaka Heru Priono, Mahasiswa Jurusan
Mu’amalat Perbankan Syariah tahun 1427 H / 2006 M.
Skripsi-skripsi diatas adalah berhubungan dengan sistem ekonomi
yang dibangun atas landasan prinsip-prinsip Islam. Dalam penelitian skripsi
kedua tersebut konsep ekonomi Islam Baqir Sadr dan Monzer Kahf secara
umum karena itu masih banyak faktor-faktor yang belum terungkap dalam
pembahasannya, terutama yang berhubungan dengan tantangan perekonomian
di masa mendatang, khususnya di bidang distribusi.19 Namun yang menjadi
objek penelitian pun berbeda, untuk itu apa yang dianalisa jelas berbeda sesuai
dengan penelitian dan perkembangan yang akan penulis teliti.
Kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk
mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli
dan individualis, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, umum dan
negara. Pada saat itulah akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan.20
19 Heru Priono, Djaka. “ Konsep Ekonomi Islam Baqir As-Shadr dan Monzer Kahf :
Sebuah Studi Komparatif. “ Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.) h.90
20 Ibid., h.199
16
Karena itu, dalam konteks inilah pengkajian atas fokus permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini menjadi bahasan cukup menarik bagi
penulis untuk mengetahui sudut pandang tokoh besar tersebut dalam
mencermati konsep distribusi secara lebih mendalam.
F. Kerangka Teori
Dalam pemikiran ekonominya, Sadr21 memisahkan produksi dan
distribusi. Tetapi beliau tetap melihat hubungan antar produksi dan distribusi
sebagai pusat di dalam ekonomi. Menurut Sadr, produksi adalah suatu proses
dinamis, mengubah dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan distribusi sebagai bagian dari sistem sosial, yaitu total hubungan
antar sistem sosial yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya
produksi.
Oleh karena itu, Sadr22 percaya untuk mempertahankan satu sistem
sosial tunggal (mencakup distribusi) bermacam-macam alat atau format
produksi. Tetapi beliau menolak pandangan Marxis, bahwa masyarakat terdiri
dari potensi yang berlawanan dalam bentuk kelas.
Negara akan turut campur dalam perekonomian untuk menjamin arah
produksi sosial yang cepat, untuk menjalankan distribusi dengan kesetaraan
dan untuk mengambil industri-industri ekstraktif serta produk bahan-bahan
21 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258 22 Ibid., h. 258
17
mentah, peranan Negara dalam masalah perekonomian merupakan wilayah
bebas bagi aktivitas pemerintah.23
Imam selaku wali (Amr) akan mengambil langkah-langkah ekonomi
yang diperlukan untuk memenuhi tunjangan sosial dan keseimbangan sosial.
Tunjangan sosial terdiri dari solidaritas publik yang beroperasi di dalam batas-
batas kebutuhan asasi dan hak kelompok dalam sumber-sumber kekayaan.
Keseimbangan sosial menghasilkan tindakan-tindakan Negara dalam hal ini
pajak dan menciptakan sektor-sektor publik24
Kasus mazhab ekonomi sangat berbeda. Tidaklah mungkin baginya
untuk mengkaji subjeknya menurut standar ilmiah, karena ia mengkajinya dari
titik pandang keadilan yang pada basisnya ia hendak menyusun suatu sistem,
dan jelaslah bahwa masalah keadilan jauh berbeda dengan masalah panas atau
krisis ekonomi. Keadilan bukanlah suatu fenomena fisik atau sosial. Untuk
menemukan keadilan hukum, tidak cukup bagi suatu mazhab ekonomi untuk
memperhatikan realitas eksternal atau mengamati fenomena eksternal.25
Jika diperhatikan, mengapa yang dua ini (kapitalis dan sosialis) diakui
sebagai mazhab ekonomi, sedang Islam tidak. Padahal Islam telah
mengungkapkan pendapat-pendapat mengenai semua pertanyaan yang diurusi
kapitalisme. Mungkin saja titik pandang keduanya berbeda, namun tidak
23 Ibid., h. 211 24 Ibid., h.211-212 25 Syahid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem
Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), Cet. Kedua, h. 157-158.
18
berarti bahwa kapitalisme adalah suatu mazhab, sedang Islam hanya harus
dipandang sebagai kumpulan khotbah dan nasehat moral.26
Sebagai contoh, ambillah masalah keadilan dalam distribusi. Sebagian
orang, seperti kaum komunis, mengatakan bahwa dalam distribusi, keadilan
hanya dapat dicapai jika kekayaan dan nafkah hidup terjamin bagi semua
anggota masyarakat secara merata.27
Segolongan lain, seperti kaum kapitalis, mengatakan bahwa persamaan
hanya diperlukan dalam hal kemerdekaan, bukan dalam nafkah, karena basis
keadilan dalam distribusi adalah persamaan dalam kebebasan, sekalipun
persamaan ini menyebabkan perbedaan diantara para individu dari titik
pandang nafkah hidup.28
Golongan ketiga mempertahankan bahwa distribusi keadilan terletak
dalam jaminan standar kehidupan tertentu bagi semua anggota masyarakat dan
memberikan kepada mereka kemerdekaan untuk mendapatkan lebih banyak.
Ini pandangan Islam.29
Sadr berpendapat manakah dari ketiga cara ini yang paling baik
menjamin keadilan dalam distribusi, tidaklah mungkin kita menggunakan
metode kajian ilmiah, karena keadilan bukanlah fenomena alam seperti panas
dan air mendidih yang dapat kita lihat dengan mata atau kita raba dengan
26 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 254 27 Baqir Sadr, Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan
Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), Cet. Kedua, h. 157 28 Ibid., h. 157 29 Ibid., h. 158
19
tangan kita. Itu pun bukanlah fenomena sosial seperti krisis ekonomi yang
dapat di kaji melalui pengamatan dan di ukur dengan standar ilmiah.30
Menurut kapitalisme keadilan akan terwujud jika semua orang
mendapat kebebasan (kesempatan ekonomi) yang sama. Sedangkan dalam
perspektif Marxis keadilan hanya akan diperoleh jika seluruh anggota
masyarakat memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama. Berbeda dengan
keduanya, keadilan menurut pendapat Sadr dapat ditegakkan jika semua orang
dijamin dengan pendapatan tetap dengan memungkinkan mendapat lebih
banyak.31
Tawaran sistem Marxis berupa pendistribusian sama rata. Menurut
Sadr akan menambah persoalan karena menyalahi watak alamiah sosial.
Sehingga pemecahan yang harus dilakukan adalah dengan prinsip keadilan
yang berlandaskan pada dua hal : solidaritas publik (takaful ‘am) serta
keseimbangan sosial (tawazun ijtima’). Kedua konsep tersebut bagian dari
jaminan sosial yang disiapkan oleh Islam.32
Sadr menyadari, bahwa dalam realitas sosial terdapat masyarakat yang
tidak mampu terlibat dalam proses produksi. Sedangkan disisi lain, kebutuhan
dasar mereka harus tetap terpenuhi. Disinilah nilai keadilan ditegakkan untuk
mengurangi kesenjangan yang terjadi melalui jaminan sosial.33
30 Ibid., h. 158. 31 Baqir Sadr, Islam and School Economics, Terjemahan : Muslim Arbi Bandar,
(Lampung : YAPI, 1989). H.125 32 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung :
Mizan, 2001). h.172 33 Baqir Sadr, Manusia Masa kini dan Problema Sosial, (Bandung : Pustaka Salman
ITB, 1984). h.156
20
Studi yang ada ini adalah sebagian dari yang utama dalam pembahasan
judul skripsi yang penulis buat sebagai kerangka teori, tidak menutup
kemungkinan juga bahwa ada studi-studi lain mengenai hal ini yang nantinya
akan penulis pergunakan sebagai penambah khazanah ilmu bagi skripsi ini.
G. Sistematika Penelitian
Penulisan skripsi ini dirancang secara sederhana dengan mengacu pada
buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet.1.2007. Adapun
terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an merujuk kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya
yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia, tahun 1971,
dengan pengecualian sebagai berikut :
1. Dalam daftar kepustakaan, Al-Qur’an dicantumkan dalam urutan paling
atas, hal ini untuk menghormati bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat
Islam yang harus dimuliakan.
2. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits beserta terjemahnya diketik dalam
satu spasi, baik yang kurang maupun yang lebih dari enam baris, serta
disebutkan surat dan nomor ayatnya pada akhir ayat dengan jelas tanpa
mencantumkan footnote.
Untuk menjembatani keutuhan tulisan dan memperoleh suatu
pemahaman dari suatu karya tulis secara total, salah satu diantaranya terletak
pada penyajiannya, sistematiskah atau tidak. Disini penulis menyajikan
sistematika penelitiannya terdiri dari lima Bab untuk mengalirkan gagasan
yang sebenarnya dalam bingkai yang memudahkan para pembaca, yaitu :
21
BAB I : Diawali dengan Pendahuluan, yang terdiri dari beberapa pointer,
yaitu Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian yang terbagi dari beberapa hal
yang harus disinggung, diantaranya Jenis Penelitian, Tingkat Penelitian,
Pendekatan Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan
Data, Teknik Pengolahan Data, Teknik Analisa Data, Teknik Penarikan
Kesimpulan, Pedoman Penulisan Laporan, Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu, Kerangka Teori dan Kerangka Konsep, dan Sistematika Penelitian.
BAB II : Menjelaskan Riwayat Hidup dan Sejarah Hidup Muhammad Baqir
As-Shadr. Dalam bab ini penulis menjabarkan sekilas Riwayat Hidup dengan
mencoba membangkitkan kembali sejarah politik, Karir Intelektual, Latar
belakang Pemikiran dan kehidupan ekonomi pada masa sang tokoh ada.
Berpijak dari sini penulis mencoba mengkaitkannya dengan sejarah singkat
tokoh dalam aktivitasnya sehingga eksist dalam buku-buku sejarah dan
pemikiran.
BAB III : Membahas mengenai Tinjauan Teoritis Tentang Distribusi, pada
bab ini menguraikan tentang Pengertian Distribusi, Prinsip-Prinsip dan Tujuan
Distribusi, Mekanisme Distribusi, serta Nilai dan Moral di bidang Distribusi.
BAB IV : Sebagai jantungnya skripsi ini, dengan sub judul Tinjauan
Terhadap Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr , bab
ini merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini. Dalam bab ini dijelaskan
Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Shadr, Relevansi
Pemikiran Muhammad Baqir As-Shadr yang terdiri dari dua pointer, pertama,
22
Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Ekonomi
Islam. Kedua, Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr
dengan Masa Kini. Kemudian sebagai pelengkap ditambah dengan Analisa
Penulis.
BAB V : Penutup, bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri atas
kesimpulan yang merupakan jawaban dari perumusan masalah, saran-saran
dan selanjutnya disebutkan daftar pustaka. Itulah Sistematika Penelitian yang
penulis sajikan, semoga dapat mempermudah pembaca budiman dalam
memahami skripsi ini.
23
PROSEDUR PENGAJUAN JUDUL SKRIPSI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Tahun Akademik : 2008 M / 1429 H
Nama : Rian Maulana NIM : 103046128351 Fakultas/Jurusan : Fakultas Syariah & Hukum / Mu’amalat Perbankan Syariah Semester XI Judul Skripsi yang diajukan : “ KONSEP DISTRIBUSI MENURUT MUHAMMAD BAQIR AS – SHADR “
NO JENIS AKTIVITAS PENERIMA CATATAN PARAF PENERIMA
1 Konsultasi Judul / Tema Instruktur (Prodi)
2 Konfirmasi / Seleksi Judul Sekretariat Judul tersebut sudah ada / belum ada
3 Konsultasi / Persetujuan Penasehat Akademik
4 ACC / Persetujuan Judul Tim Pertimbangan Proposal Skripsi
5 Pengambilan SK. Bimbingan Skripsi Kajur / Sekjur (Prodi)
BIRO KARYA TULIS
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Kajur Perbankan Syariah, Penasehat Akademik, Pengaju,
Dr.EUIS AMALIA, M.Ag M. RIZA AFWI MA RIAN MAULANA
24
BAB II
SELINTAS SEJARAH KEHIDUPAN MUHAMMAD BAQIR ASH-SHADR
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk membedah
pemikiran seorang tokoh, perlu telusuri perjalanan hidupnya untuk selanjutnya
ditemukan relasi-relasinya dengan pemikiran ekonomi yang menjadi fokus
penelitian ini. Berikut penelusurannya :
A. Riwayat Hidup
Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr dilahirkan pada tanggal 25
Dzulqa’dah 1353 H / 1 Maret 1935 M di Kadzimiah, Irak. Beliau berasal dari
suatu keluarga yang sejak satu abad sekarang berada dipusat keilmuan, dan
telah menyumbangkan berbagai pelayanan kepada Islam dan kaum Muslim di
Irak, Iran, dan Lebanon. Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr yang berasal
dari keluarga tersebut bangkit melawan kolonialisme Inggris dan mengambil
bagian dalam revolusi yang terjadi di Irak pada abad ke-20.1
Kakek buyutnya, Sayyid Shadruddin ash-Shadr dari Qum dan Sayyid
Musa ash-Shadr dari Lebanon juga termasyhur karena aktivitas keagamaan
dan politik mereka. Salah seorang leluhur beliau, Sayyid Abdul Husain
Syarafuddin al-Musawi (pengarang kitab terkenal al-Muraja’at (Dialog
Sunnah-Syiah) Mengambil bagian dari Perang Kemerdekaan di Jabal Amil
melawan Perancis.2
1 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera
basritama, 2001), h. 150 2 Ibid., h.150
23
24
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Seorang cendekiawan Muslim
terkemuka, fakih (yuris) dan pemikir genius, karena karya-karya yang telah
beliau wariskan kepada kaum Muslim, baik dari kalangan awam maupun
kalangan terpelajar, dan karena kehidupan beliau yang penuh dengan usaha
dan perjuangan, dan yang dipendekkan oleh tangan-tangan kriminalis (beliau
syahid dibunuh oleh orang-orang Saddam Husein), beliau sudah terlalu
terkenal dan masyhur sehingga rasanya tidak perlu mencantumkan biografi
beliau dari terjemahan bahasa inggris buku beliau yang sangat terkenal
‘Iqtishaduna’3.
Ayatullah Muhammad Baqir As-Shadr datang dari satu keluarga
cendikiawan dan Intelektual Islam terpandang, Sadr menyadari secara alami
mengikuti jejak mereka (leluhurnya). Beliau pilih untuk mengikuti studi Islam
tradisional di Hauzas atau sekolah tradisional di Irak, di mana beliau belajar
Fiqh (hukum), ushul (sumber hukum) dan teologi4.
Sadr berhasil menyelesaikan belajarnya dengan hasil yang baik, dan
pada usia 20 tahun, sudah dipertimbangkan sebagai ‘Mujtahid Absolut’
(Mujtahid Mutlaq), dan kemudian, naik ke tingkatan otoritas tertinggi dari
marja (hakim otoritas). Otoritas cendikiawan dan spiritual ini dalam tradisi
Islam juga tertuang dalam karya Sadr, dan dalam Iqtishaduna (Ekonomi
Kita)nya, beliau mendemonstrasikan metodologi independentnya (tradisi
hukum Islam), dengan pernyataan Intelektual yang tegas5.
3 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008). h.29 4 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis,
(Kuala Lumpur, 1995). h.110 5 Ibid., h.110
25
Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang
sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir dari keluarga religius termasyhur
yang telah melahirkan sejumlah tokoh kenamaan di Irak, Iran dan Lebanon6,
seperti :
1. Sayyid Shadr ad-Din Ash-Shadr, seorang marja’ (otoritas rujukan tertinggi
dalam mazhab Syi’ah) di Qum.
2. Muhammad Ash-Shadr, salah seorang pemimpin religius yang memainkan
peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris yang sebagian besar
diorganisasikan dan dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin religius yang
berhasil menumbangkan Inggris. Dia juga mendirikan Haras Al-Istiqlal
(Pengawal Kemerdekaan).
3. Musa Ash-Shadr, Pemimpin Syi’ah di Lebanon.
Muhammad Baqir Ash-Shadr, lahir dalam keluarga alim yang
termasyhur di golongan Syi’ah. Kakeknya, Sadruddin Al-‘Amili
(w.1264/1847), dibesarkan di dusun Lebanon Selatan, Ma’rakah, hijrah untuk
belajar di Isfahan dan Najaf. Hingga wafat dan dimakamkan di sana.
Kakeknya, Isma’il, lahir di Isfahan pada 1258 H/ 1842 M, pada 1280 H / 1863
M pindah ke Najaf, kemudian ke Samarra’7.
Di Samarra’ inilah, konon, dia menggantikan Al-Mujaddid Asy-
Syirazi di Hauzah (lingkungan alim Syi’ah) lokal. Putranya, Haidar, ayah
Muhammad Baqir Ash-Shadr, lahir di Samarra’ pada 1309 H / 1891 M, dan
belajar pada ayahnya dan Ayatullah Al-Hai’ri Al-Yazdi di Karbala. Dia
6 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11
7 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.252
26
meninggal di Kazimiah pada 1356 H / 1937 M, meninggalkan seorang istri,
dua putra dan seorang putri8.
Kendatipun marja’ yang cukup terpandang, tampaknya dia meninggal
dalam keadaan tak punya uang sepeser pun. Konon, sampai lebih dari sebulan
setelah meninggalnya keluarga ini, masih tidak dapat menyediakan roti sehari-
hari, ‘kanu ha’irin fi luqmat al-‘aysy’9.
Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr menjadi yatim,
kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma’il,
yang juga seorang Mujtahid kenamaan di Irak (Mujtahid adalah seorang yang
sangat alim yang telah mencapai tingkat tertinggi dikalangan teolog muslim).
Muhammad Baqir Ash-Shadr menunjukan tanda-tanda kejeniusan sejak usia
kanak-kanak10.
Ketika berusia sepuluh tahun, beliau berceramah tentang sejarah Islam,
dan juga tentang beberapa aspek lain mengenai kultur Islam. Beliau mampu
menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru
pun. Pada usia sebelas tahun, beliau mengambil studi logika, dan menulis
sebuah buku yang mengkritik para Filosof11.
Falsafatuna begitu tergoda kategori Marxis, sehingga bahasa Islamnya
jadi terpengaruh. Tentu saja, dengan melihat ke belakang, mengkritiknya
gampang, argumen Stalin, Politzer dan bahkan Engels sudah lama kadaluarsa
dilingkungan filsafat. Dan kenyataan ini tidak mempengaruhi risalah filosofis
8 Ibid., h.253 9 Ibid., h.253 / lihat juga Ha’iri, ‘Tarjamat’. h.28 10 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11 11 Ibid., h.11
27
Sadr tapi justru membuat mereka memiliki arti penting yang tidak pantas
mereka terima.12
Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan kepadanya ‘Ushul
‘ilm al-Fiqh (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum islam – yang
terdiri atas Al-Qur’an, Hadist, ijma’, dan qiyas). Pada usia sekitar enam belas
tahun, beliau pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi
dalam berbagai cabang ilmu-ilmu islami13.
Sekitar empat tahun kemudian, beliau menulis sebuah ensiklopedi
tentang ‘Ushul, Ghayat Al-Fikr fi Al-‘Ushul (Pemikiran Puncak dalam
‘Ushul). Mengenai karya ini, hanya satu volume yang diterbitkan14.
Ketika usia dua puluh lima tahun, beliau mengajar Bahts Kharij (tahap
akhir ‘Ushul). Saat itu Sadr lebih muda daripada banyak muridnya. Disamping
itu, Sadr juga mengajar Fiqh. Patut disebutkan juga bahwa pada usia tiga
puluh tahun Sadr telah menjadi mujtahid15.
Muhammad Baqir al – Sadr berasal dari keluarga Syiah dan menjadi
salah seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan Intelektual
di Najaf antara 1950 M dan 1980 M. Kebangkitan ini sangat berpengaruh
dalam aspek politik di kawasan Najaf Timur Tengah pada umumnya16.
Dalam karya-karyanya, beliau kerap menyerang dialektika-
materialistik, dan menganjurkan, sebagai gantinya, konsep Islam dalam
12 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.258 13 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.11 14 Ibid., h.12 15 Ibid., h.12 16 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontempore,. ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005). h. 251
28
membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Beliau banyak menulis tentang
ekonomi Islam, dan menjadi konsultan dari berbagai organisasi Islam, seperti
Bank Pembangunan Islam17.
Dalam berbagai ceramahnya beliau kadang menganjurkan suatu
gerakan Islam yang terorganisasikan sebuah partai sentral yang dapat
bekerjasama dengan berbagai unit dalam naungan kaum Muslim untuk
melahirkan perubahan sosial yang diinginkan. beliau adalah “Bapak” Hizb Al-
Da’wah Al-Islamiyyah (Partai Dakwah Islam)18.
Sadr mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Beliau
menyerukan kepada kaum Muslim supaya mengenali kekayaan khazanah asli
Islam dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh eksternal apapun,
khususnya pengaruh-pengaruh kapitalisme dan Marxisme19.
Sadr mendorong kaum Muslim supaya bangun dari tidur dan
menyadari bahwa kaum imperialis sedang berupaya membunuh ideologi Islam
dengan cara menyebarkan ideologi mereka di dunia Muslim. Kaum Muslim
harus bersatu padu dalam melawan intervensi semacam itu dalam sistem
sosial, ekonomi dan politik mereka20.
Muhammad Baqir Ash-Shadr banyak menuangkan fikirannya ke surat-
surat kabar dan jurnal-jurnal. Banyak juga dalam bentuk buku, terutama
tentang ekonomi, sosiologi, teologi, dan filsafat. Diantaranya yang terpopuler
adalah (1) Al-Fatwa Al-Wadhihah (Fatwa yang jelas), (2) Manhaj Ash-
17 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.12-15 18 Ibid., h.13 19 Ibid., h.13 20 Ibid., h.14
29
Shalihin (Jalan orang-orang Saleh) – buku ini mencerminkan suatu pandangan
modern tentang masa’il, (3) Iqishaduna (Ekonomi Kita) – buku ini terdiri atas
dua volume dan merupakan suatu diskusi terlengkap tentang ekonomi Islam
dan tanggapan terhadap kapitalisme dan komunisme, (4) Al-Madrasah Al-
Islamiyyah (Mazhab Islam), (5) Ghayat Al-Fikr fi Al-‘Ushul (Pemikiran
Puncak dalam ‘Ushul), (6) Ta’liqat ‘ala Al-Asfar (Ulasan tentang empat kitab
perjalanan Mulla Sadhra), (7) Manabi’ Al-Qudrah fi Dawlat Al-Islam
(Sumber-sumber kekuasaan dalam Negara Islam), penulis dalam buku ini
menyatakan bahwa suatu Negara Islam harus didirikan menurut Syari’ah,
sebab hal ini adalah satu-satunya jalan untuk menjamin hukum Allah di bumi,
(8) Al-Insan Al-Mu’ashir wa Al-Musykilah Al-Ijtima’iyyah (Manusia Modern
dan Problem Sosial), (9) Al-Bank Al-Islamiyyah (Bank Islam), (10) Durus fi
‘Ilm Al-‘Ushul (Kuliah tentang Ilmu Prinsip Hukum Islam), (11) Al-Mursil wa
Al-Rasul wa Al-Risalah (yang mengutus, Rasul dan Risalah), (12) Ahkam Al-
Hajj (Hukum-Hukum Haji), (13) Al-‘Ushul al-Manthiqiyyah li Al-Istiqra
(Asas-asas Logika dalam Induksi), dan (14) Falsafatuna (Filsafat Kita)21.
Seyyed Husein Nashr22 dalam pengantar buku Falsafatuna Muhammad
Baqir Ash-Shadr mengatakan :
“ Tulisan-tulisan Allamah Muhammad Baqir Ash-Shadr mengandung makna
teologis dan filosofis, sebab beliau adalah intelektual penting dalam
21 Ibid., h.14 22 Seyyed Husein Nasr adalah Intelektual garda terdepan yang sangat disegani disegenap
penjuru dunia. Beliau menjadi Guru Besar di berbagai Perguruan Tinggi bergengsi di Eropa, Amerika, Timur Tengah. Beliau di lahirkan di Teheran, dari keluarga tradisional Syi’ah Ortodoks. Masa kelahirannya merupakan masa ketegangan politis antara kelompok ulama dengan Dinasti Pahlevi. Seyyed Husein Nasr, “Antara Tuhan, Manusia dan Alam : Jembatan Filosofis dan Religius Menuju puncak spiritual” (Yogyakarta : IRCISOD, 2003). h.171. diterjemahkan juga oleh penyunting dari “pengantar” untuk Our Philosophy, The Muhammad Trust, London, 1987.
30
kehidupan Islam kontemporer, satu figur yang karya-karyanya melampaui
sekadar mata-mata polemik dan retorik23.”
Buku Falsafatuna dan Iqtishaduna telah mencuatkan Muhammad
Baqir Ash-Shadr sebagai teoritis kebangkitan Islam terkemuka. Sistem Filsafat
dan ekonomi alternatif ini di sempurnakan melalui masyarakat dan Lembaga.
Dalam kedua buku ini, beliau menjanjikan jilid ketiganya dengan pola yang
sama yang diberi judul, Mujtama’una (Masyarakat Kita).24
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Iqtishaduna merupakan satu
karya pionir yang cukup komprehensif dalam literatur ekonomi Islam modern
mengupas masalah produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran. Termasuk
masalah fiskal dan moneter serta strategi pengelolaan aset produktif dan
peranan pemerintah di dalamnya.25
B. Karir Intelektual dan Politik
Di Kadzimiah, Muhammad Baqir Ash-Shadr masuk sekolah dasar
Muntada An-Nasyr. Menurut keterangan teman sekolahnya, beliau sejak awal
menjadi sasaran perhatian dan keingintahuan guru-gurunya, sedemikian rupa,
sehingga beberapa murid meniru cara jalannya, cara bicaranya, dan cara
duduknya di kelas.26
Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya ketika
beliau baru berusia empat tahun, kemudian dibesarkan oleh ibu dan kakak
23 Ibid., h.15 24 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 252 25 Muhammad Syafii Antonio “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-
Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, ( Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.17 26 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.254 /
Hairi, ‘Tarjamat’.h.44. menyebutkan tuturan teman sekelas Sadr, Muhammad ‘Ali Al-Khalili
31
tertuanya, Ismail ash-Shadr. Sejak kanak-kanak ia memperlihatkan tanda-
tanda kecerdasan dan bakat keilmuan yang luar biasa.27
Ketika berusia sepuluh tahun, beliau sudah membahas persoalan-
persoalan doktrinal dan sejarah Islam dengan suatu kepercayaan seakan-akan
ia telah melewati dekade-dekade dalam menguasai topik tersebut. Di usia
sebelas tahun, ia telah menulis buku tentang logika, dan juga mulai
menyampaikan kuliah-kuliah tentang topik tersebut.28
Pada tahun 1365 M ia menetap di Najaf al-Asyraf, dan mulai
mempelajari sekaligus mengajar prinsip-prinsip yurisprudensi (al-ushul al-
fiqh) Islam dan cabang-cabang ilmu Islam lainnya. Beliau mempunyai suatu
wawasan yang luar biasa, dimana beliau dapat memahami sepenuhnya
pelajaran-pelajaran dengan autodidak29
Akhirnya beliau diposisikan sebagai Mujtahid, dan mulai
menyampaikan fatwa-fatwa dalam ijtihad serta mulai menulis banyak buku.
Sebanyak dua puluh enam buku dengan berbagai topik yang mencakup ushul
fiqh, fiqih, ekonomi, filsafat, logika induktif, problem-problem sosial, dan
administrasi publik.30
Sebahagian bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia,
Inggris, Urdu, Turki, yang merupakan masterpiece dalam bidangnya masing-
masing.31
27 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera
basritama, 2001), h. 150 28 Ibid., h.150 29 Ibid., h.150 30 Ibid., h.151 31 Ibid., h.151
32
Uraian pasca kematian sering kali memuji, dan harus disikapi dengan
hati-hati. Karena Pemerintah Irak tidak mengakui eksistensi Shadr, apalagi
pencapaian intelektual atau politiknya. Karena itu, kita hanya terbatas pada
teks itu saja, ingatan murid dan simpatisan almarhum.32
Kalau ini pun tidak mungkin, beberapa cerita menyebutkan, misalnya,
bahwa Shadr menulis Risalah pertamanya pada usia sebelas tahun. ‘Abdul
Ghani Al-Ardabili, yang dikutip dalam biografi Ha’iri, menyebut buku
tersebut sebagai Risalah Logika. Karya paling awal terbit yang dapat dilacak,
berasal dari 1955.33
Studi ini, berupa analisis episode Fadak yang artinya dalam sejarah
Syi’ah memperlihatkan kematangan pemikiran alim muda, dilihat dari segi
metode dan substansi. Namun isinya tidak memperlihatkan noda sektarian
Syi’ah yang segera lenyap dari bahasa Shadr, sampai masa konfrontasi dengan
Ba’ath pada akhir 1970-an.34
Ciri lain yang mencolok dari kebangkitan itu adalah dimensi
politiknya, dan saling berpengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan
sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur Tengah pada umumnya.35
Singkatnya, ini merupakan latar belakang politik kebangkitan di Najaf.
Namun, tantangan politik Islam yang bermula di Najaf tak akan bersifat
universal tanpa adanya dimensi intelektual dan kulturalnya yang khas.36
32 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.254 33 Ibid. h.254 / Muhammad Baqir Sadr, Fadak fi At-Tarikh (Fadak dalam Sejarah), edisi I,
Najaf.1955 34 Ibid., h.254 35 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.246 36 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.252
33
Di tengah berbagai peristiwa yang dramatis, yang kian global
jangkauannya, penting untuk dicamkan bahwa kebangkitan Najaf merupakan
gejala intelektual yang terutama melibatkan faqih dan keputusan hukum.
Inilah dimensi Timur Tengah bergolak yang kurang diketahui, dan merupakan
dimensi yang lebih langgeng.37
Di tengah pembaruan budaya dan pembentukan sistem, ada’
internasional Syi’ah’ yang merupakan produk jaringan Najaf. Di Najaf,
Muhammad Baqir Ash – Shadr tampil sebagai pendiri suatu sistem konstitusi
dan ekonomi baru.38
Kendatipun banyak sumbangsih luar biasa Shadr untuk tema-tema
historis Islam, Ushul, dan filsafat, namun karya-karya Shadr di bidang hukum
konstitusi dan ekonomi Islamlah yang paling inovatif.39
Dalam ekonomi Islam, Shadr menulis beberapa risalah. Dua yang
paling penting adalah Iqtishaduna, yang merupakan teori umum ekonomi
Islam, dan Al-Bank Al-ala Ribawi fi Al-Islam, yang merupakan teks terinci
soal operasi bank Islam dalam konteks lawannya, yaitu ‘Kapitalisme’.40
Dua unsur membeakan Iqtishaduna dari literatur umum ekonomi
Islam. Dari segi struktur dan metodologi, tak diragukan lagi inilah sumbangsih
paling serius dan paling banyak disaluti dibidang ini.41 Ada dua alasan untuk
keseriusan ini :
37 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) Ibid., h.252 38 Ibid., h.252 39 Ibid., h.260 40 Ibid., h.260 41 Ibid., h.261
34
Pertama, Shadr jelas ingin menyajikan berbagai ideologi rival,
khususnya Marxisme, secara serius. Kritiknya atas Marxisme mungkin tidak
memadai, meski ini merupakan upaya Intelektual yang serius. Adapun
mengenai teori kapitalis, riset yang dilakukannya lebih terbatas. Ini akibat
pengaruh Marxisme yang dominan.
Pada masa Iqtishaduna, hingga akhir 1970-an, bidang Intelektual ‘ilmu
sosial’ didominasi oleh kaum kiri. Dalam Iqtishaduna, hanya tiga puluh
halaman yang diperuntukkan untuk kritik struktural atas kapitalisme, yang
jauh kurang tuntas dibanding tigaratus halaman yang diperuntukkan untuk
membantah teori Marxisme.42
Dalam Iqtishaduna, Shadr mencoba menjawab himbauan komunis
untuk mengubah ‘keseimbangan sosial’ dengan teori hukum terinci soal hak
milik dan distribusi. Dalam tulisannya soal perbankan, Shadr dapat
menawarkan cetak biru ‘bank Islam’ yang kini lagi mode.43
Dalam tulisannya soal konstitusi, dikemukakan tatanan terinci di
jantung Republik Islam Iran. Dalam hal ini pemikiran Shadr adalah penting
bagi pembaruan hukum Islam. Karena kedalaman tulisannya dibidang ‘baru’
tak dapat tertandingi oleh masyarakat Muslim modern, maka di dunia Syi’ah,
dan lebih umum lagi di Dunia Islam, Shadr tetap merupakan sumber inspirasi
dan kekaguman yang unik.44
Disebabkan oleh ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan politiknya,
yang menyebabkannya mengutuk rezim Bha’at di Irak sebagai melanggar hak-
hak asasi manusia dan Islam, Ayatullah Muhammad Baqir Ash-Shadr di tahan
42 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.261 43 Ibid., h.264 44 Ibid., h.264
35
dan di pindahkan dari Najaf ke Baghdad. Beliau kemudian di bebaskan dan
ditahan lagi di Najaf pada 1979.45
Saudara perempuannya, Bint Al-Huda, yang juga seorang sarjana
dalam teologi Islam, mengorganisasikan suatu protes menentang penahanan
atas seorang marja’. Sejumlah protes lain, menentang pemenjaraan atas diri
Ash-Shadr, juga diorganisasikan di dalam dan di luar Irak. Kesemuanya ini
membuat Ash-Shadr dibebaskan dari penjara.46
Namun, beliau tetap dikenai tahanan rumah selama sembilan bulan.
Ketegangan antara beliau dan Partai Bha’ath terus tumbuh. Beliau
mengeluarkan fatwa bahwa haram bagi seorang Muslim bergabung dengan
Partai Bha’ats yang tak Islami itu. Pada 5 April 1980 beliau ditahan lagi dan
dipindahkan ke Baghdad.47
Beliau dan saudara perempuannya, Bint Al-Huda, dipenjarakan dan
dieksekusi tiga hari kemudian. Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di An-
Najaf. Misteri menyelimuti kematian mereka. Muncul banyak pertanyaan,
misalnya, tentang maksud di balik eksekusi itu dan identitas mereka yang
mengatur eksekusi ini.48
Sejak 1970, pemerintah di Najaf kembali mendapat tekanan sekali
setahun. Sadr, di tahan beberapa kali, di interogasi, dan di perlakukan dengan
kejam. Pada juni 1979, ketika Sadr sedang bersiap memimpin delegasi untuk
memberi salam kepada Ayatullah Khomeini di Teheran, beliau di kenai
45 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr
terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995), h.12 46 Ibid., h.12 47 Ibid., h.12 48 Ibid., h.12
36
tahanan rumah. Setelah itu beliau di pindahkan ke Baghdad pada 5 April 1980.
Tanggal ini bertepatan dengan serangan kedua terhadap pejabat pemerintah
dalam seminggu.49
Bagi pemerintah, ini merupakan isyarat di mulainya konfrontasi final
dengan apa yang di anggap pemerintah sebagai akar masalahnya. Najaf di
serbu pada malam hari. Sadr dipindahkan ke Baghdad. Najaf ingat bahwa Sadr
lolos dari upaya penculikan, dan ditahan kembali pada juni karena Bint Al –
Huda mengerahkan orang yang sedang berbelasungkawa di Sahn (Masjid ‘Ali
di Najaf) dengan pekikan ‘Imam kalian mau di culik.’ Kali ini, pemerintah
membungkam saudara perempuan Shadr ini dengan membawanya ke
Baghdad, dan dengan mengeksekusi Shadr.50
Pada dekade terakhir dari hidupnya adalah masa penyiksaan oleh
Rezim Ba’ath di Irak. Pengaruhnya yang menakutkan terhadap media massa,
dan setelah hukuman penjara dan siksaan, Rezim Ba’ath menghukum mati
atasnya pada tanggal 8 April 1980.51
Menurut laporan, tubuh Muhammad Baqir Ash-Shadr dimakamkan
diwaktu fajar pada 9 April dihadiri keluarga dari Najaf. Ini berarti dia
meninggal sehari sebelumnya. Namun banyak pertanyaan masih belum
terjawab.52
Peristiwa pengeksekusian Shadr bersama saudara perempuannya yang
bernama Bint Al-Huda, pada 8 April 1980, merupakan titik puncak tantangan
49 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.251 50 Ibid., h.251 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis,
(Kuala Lumpur, 1995), h.111 52 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998) h.251
37
terhadap Islam di Irak. Dengan meninggalnya Shadr, Irak kehilangan aktivis
Islamnya yang paling penting.53 Semoga Allah merahmati Ruh sucinya.
C. Latar Belakang Pemikiran
Latar belakang alim ‘internasional’, dan relatif miskinnya keluarga
Shadr, merupakan dua unsur penting yang menentukan konteks pendidikan
Shadr. Kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga pada awal meninggalnya
Haidar Ash-Shadr, juga dialami bayi Muhammad Baqir Ash-Shadr. Anggota
keluarga lainnya mengurusi pendidikan Ash-Shadr. Dia tumbuh besar di
bawah pengawasan pamannya dari pihak ibu, Murthada Al-Yasin,54 dan di
bawah pengawasan kakaknya, Isma’il (1340 / 1921-1388 / 1968).55
Meskipun latar belakang yang tradisional, Sadr tidak pernah lepas dari
isu-isu masa kini. Intelektualnya yang tajam mengilhami beliau untuk belajar
filsafat modern, ekonomi, sosiologi, sejarah dan hukum secara kritis.56
Sadr seperti Taleghani, seorang alim yang aktif. Beliau terus-menerus
menyuarakan pandangannya bagi kondisi orang-orang Muslim dan
keinginannya untuk bebas, bukan hanya dari kolonialisme ekonomi dan
politik, tetapi juga dari dominasi pemikiran.57
53 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, ( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 251 54 Murthada Al-Yasin adalah alim yang kuat kedudukannya. Ketika beliau mengeluarkan
fatwa termasyhur menentang komunis pada 3 April 1960. 55 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.253 56 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis,
( Kuala Lumpur, 1995), h.110 57 Ibid., h.110
38
Masalah pemerintah di Irak mendesaknya untuk menetapkan Hizb ad-
Da’wah al-Islamiyyah (Partai Suara Islam), sebuah partai yang membawa
para pemimpin agama secara bersama-sama dengan kaum muda, bertujuan
menghadapi gelombang dari sosialisme Ba’ath memegang kendali politik
pada tahun 1958.58
Falsafatunanya (Filsafat kita) dan selanjutnya Iqtishaduna, menuai
kritik komparatif dari keduanya mengenai kapitalisme dan sosialisme, dan
pada saat yang bersamaan, pandangan dunia Islam serentak menggambarkan
dengan garis sistem ekonomi Islam.59
Pada 1365-1945, keluarga ini pindah ke Najaf. Di Najaf inilah Shadr
menghabiskan sisa hayatnya. Nilai penting Najaf sudah mapan sejak 1920-an,
ketika kota dan ulamanya tampil sebagai sentral perlawanan terhadap invasi
Inggris.60
Najaf agak tenang setelah kekalahan relatif terhadap Raja Faisal pada
1924 M, ketika para faqih besar mengambil jalan ke pengasingan. Namun
kebanyakan kembali beberapa tahun kemudian untuk melanjutkan studi dan
mengajar, menjauh dari huru-hara politik.61
Pada 1950-an, panorama Najaf mengalami perubahan Radikal. Sikap
diam mujtahid, akibat tidak mampu berkonfrontasi dengan baghdad,
58 Ibid., h.110 59 Ibid. h.,110 60 Chibli Mallat, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1998), h.254 /
Banyak literatur tentang pemberontakan 1920 dan peran kepemimpinan ulama. Lihat R. Al-Khattab. Al-‘Iraq bayna 1921 wa 1927 (Irak antara 1920 dan 1927), Najaf. 1976. dan A. Al-Fayyad, Ats-Tsawrah Al-‘Iraqiyyah Al-Kubra (Pemberontakan Besar Irak), Baghdad, 1963.
61 Ibid., h.254
39
menerima tantangan serius pada tahun-tahun sebelum revolusi 1958 dari pihak
yang tak disangka-sangka, yaitu kaum komunis.62
Shadr menyadari dirinya berada ditengah konfrontasi intelektual sengit
antara Najaf tradisional dan kaum komunis. Dan pandangan dunianya
terbentuk dengan latar belakang intelektual ini : seruan sosialis-komunis yang
dominan di seluruh Timur Tengah, yang mewarnai tulisan-tulisannya dengan
‘persoalan sosial’, dan pendidikan tradisional ulama, termasuk struktur
hierarkinya yang relatif ketat.63
Dimensi yang lebih tradisional dan ketat diri karya-karya Shadr,
terlihat pada beberapa publikasi disepanjang hayatnya. Yang paling mencolok
adalah adalah buku-buku ushul al-fiqh-nya. Ada dua contoh yang bisa
dipertimbangkan64:
Yang pertama adalah dari tahun-tahun pertama di Najaf, di mana
Shadr menulis Muqaddimah untuk sejarah dan ciri pokok disiplin ini, Al-
Ma’alim Al-Jadidah fi Al-Ushul. Buku ini yang banyak dipakai sebagai
pengajaran Mukadimah di Najaf, dan terbit pada 1385-1965, masih merupakan
salah satu buku menarik di bidang ini.
Shadr sendiri menulis karya-karya Ushul yang lebih pelik. Pada 1397-
1977, yang pertama dari seri empat jilid mengenai ‘ilm al-ushul, yang
dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa ke derajat lebih tinggi, yaitu bahts
al-kharij (riset tingkat sarjana), terbit di Beirut dan Kairo.
62 Ibid., h.254 63 Ibid., h.255 64 Ibid. h.,255
40
Menurut Shadr, karya-karya ini dipersiapkan untuk meringankan tugas
siswa, yang ‘terhambat masalah bahasa’65 dari empat karya pokok yang
dipakai selama lebih setengah abad di Najaf66 , Al’Ma’alim Al-Jadidah dan
Durus menunjukan sisi didaktis minat Shadr pada Ushul al-Fiqh.
Keduanya dimaksudkan hendak mencari pendekatan langsung
terhadap persyaratan yang diperlukan sebelum bahts al-kharij yang terlalu
sulit, dan untuk orang awam yang berminat pada gambaran ikhtishar disiplin
ini.
Shadr juga menulis karya ushul yang lebih tinggi. Kebanyakannya
berbentuk catatan dari muridnya. Kazim Al-Husaini Al-Ha’iri menyusun jilid
pertama Mabahits Al-Ushul pada 1407-1987.67 Mahmud Al-Hasyimi, juga
murid kesayangan Shadr, menyusun seksi kuliah Ta’arud Al-Adilla Asy-
Syar’iyyah-nya Shadr dalam sebuah buku yang terbit pada 1977.68
Beliau sangat menaruh perhatian terhadap hak-hak dunia Muslim, dari
mulai Maroko sampai Indonesia. Beliau merupakan salah seorang pembela
bentuk pemerintahan Islam yang paling gigih. Pemerintahan Partai Ba’ath Irak
sangat gusar terhadap laporan ini. Oleh karenanya, mereka memenjarakan
65 Shadr , Daght fi Al- ‘Ibara’, Durus I, h.9 66 Empat buku Syiah tersebut adalah Ma’alim Asy-Syahid Ats-Tsani (w.966/1559),
Qawaninnya Qummi (w.1231/1816), Kifayah-nya Al-Khurasani (w.1328/1910), dan Rasail-nya Anshari (w.1329/1911)
67 Shadr, Mabahist Al-Ushul. Menurut Ha’iri, buku ini hanyalah kompilasi Jilid pertama Bagian 2 dalam seri kuliah Shadr
68 Ibid., h.256 / Mahmud Hasyimi, Ta’arud Al-Adilla Asy-Syar’iyyah Taqriran li-Abhats As-Sayyid Muhammad Baqir As-Shadr (Kontradiksi Bukti Hukum, Laporan Riset Muhammad Baqir As-Shadr, Beirut, EdisiII, 1980. Mukaddimah oleh Shadr, 1994 / 1974.
41
beliau di Najaf pada pertengahan tahun 1979 dan memindahkannya ke penjara
Baghdad pada 3 April 1980.69
D. Posisi Muhammad Baqir As-Shadr diantara para Pemikir Ekonomi
Islam Lain
Pemikiran ekonomi Islam bisa dikatakan seusia dengan Islam itu
sendiri. Hal ini bisa dilihat dari berbagai praktik dan kebijakan ekonomi pada
masa Rasulullah SAW dan al – Khulafa al – Rasyidin merupakan contoh
empiris yang dapat dijadikan pijakan bagi para pemikir, praktisi dan
cendikiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Konsep
ekonomi pada waktu itu berdasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari
Al – Qur’an dan Sunnah Nabi. Kendatipun belum tersusun secara teoritis,
praktik ekonomi pada masa-masa awal Islam memfokuskan perhatiannya pada
pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan.
Sebagian besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai
khazanah hukum Islam yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus
terhadap analisis ekonomi.70
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang
ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, Mufassir, Filosof,
Sosiolog, dan Politikus. Dalam masa-masa perkembangan ekonomi yang
sangat panjang itu lahirlah ekonom-ekonom Muslim terkemuka, sebut,
69 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Sistem Politik Islam, (Jakarta : Penerbit Lentera
basritama, 2001), h. 151 70 M. Nejatullah Siddiqi, Recent Works on History of Economic Thought in Islam : A
Survey, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (Ed.) Readings in Islamic Economic Thought (Selangor Darul Ehsan : Longman Malaysia, 1992), h.33
42
misalnya, Abu Yusuf (182/798 ), Al – Syaibani (189/804), Abu Ubaid
(224/838), Yahya bin Umar (289/902), Al – Mawardi ( 450/1058), Ibnu Hazm
(456/1064), dan lainnya. Para ekonom muslim ini diikuti oleh tokoh
intelektual terkenal lainnya. Seperti, Al-Ghazali (451-505/1055-1111), Ibnu
Taimiyah (661-728/1263-1328), Al – Syatibi (790 H), Ibnu Khaldun (732-
808/1332-1404), dan Al – Maqrizi (845 H). Jejak sejarah pemikiran mereka
berlanjut pada masa Shah Wali Allah (1114-1176/1703-1762), Muhammad
Ibn ‘Abd al-Wahhab (1206/1787), Muhammad Abduh (1230/1905),
Muhammad Iqbal (1356/1932) dan masih banyak pemikir ekonomi islam
lainnya,71 telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan
perkembangan peradaban dunia, khususnya pemikiran ekonomi, melalui
sebuah proses evolusi yang terjadi selama berabad-abad.
Masa berikutnya adalah masa dimana lahir banyak tokoh pemikir
kontemporer yang mengkhususkan diri dalam menekuni bidang ekonomi
Islam yang lebih sistematis dan dengan mengikuti perkembangan ilmu
ekonomi modern, diantaranya adalah Khursyid Ahmad, Nejatullah Siddiqi,
Umer Chapra, Afzalurrahman, M.A Mannan, Monzer Kahf dan lain-lain.
Dalam tataran paradigma seperti ini, ekonom-ekonom muslim tidak
menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun, ketika mereka
diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi islam itu,
mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-
ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga
71 Azyumardi Azra, “Pengantar”, dalam Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatrus, 2005), h. xii
43
mazhab, yakni : Mazhab Baqir Sadr, Mazhab Mainstream, dan Mazhab
Alternatif-Kritis.72
Mazhab Baqir as-Sadr73 berpendapat bahwa sumber daya pada
hakikatnya melimpah dan tidak terbatas. Pendapat ini didasari oleh dalil QS.
Al-Qomar (54) : 49 yang menyatakan bahwa :
⌧
” Sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.”
Dengan demikian, karena segala sesuatu sudah terukur dengan
sempurna, maka pasti Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi
seluruh manusia.
Baqir Sadr juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa keinginan
manusia tidak terbatas. Ia berpendapat bahwa manusia akan berhenti
mengonsumsi suatu barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap barang
atau jasa tersebut menurun atau nol. Karena itu, mazhab ini berkesimpulan
bahwa keinginan yang tidak terbatas itu benar adanya, sebab pada
kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini
dengan teori Marginal Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum
Gossen dalam ilmu ekonomi).74
72 Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), Edisi Ketiga, h.30 73 Baqir al-Hasani, The Concept of Iqtisad, dalam Baqir al-Hasani dan Abbas Mirakhor,
Essays on Iqtishad : The Islamic Approach to Economic Problems, (Silver Spring : NUR, 1989), h.21
74 Ibid., 21-23
44
Namun, yang menjadi perhatian dan permasalahan utama dari ilmu
ekonomi adalah adanya ketimpangan sumber daya yang tidak merata di antara
manusia. Oleh sebab itu, sistem harga yang dipercaya oleh ekonom
konvensional mampu mengatasi permasalahan ekonomi tidaklah cukup,
sehingga perlu adanya mekanisme tambahan yang bertujuan untuk mengatasi
permasalahan distribusi. Pendapat ini diperkuat dari adanya hadist Nabi yang
menyebutkan bahwa di antara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain.
Dalam ekonomi Islami, mekanisme distribusi ini dilengkapi dengan instrumen
kewajiban pembayaran zakat bagi para mustahik dan mekanisme lain yang
termuat dalam syariah.75
Berkenaan dengan zakat, Ibnu Hazm memperluas jangkauannya tidak
hanya zakat, tetapi ada kewajiban sosial di luar zakat yang harus dipenuhi oleh
orang kaya. Ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial
mereka kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang yang lemah secara
ekonomi.76 Pernyataan Ibnu Hazm tentang hal ini adalah :
” Orang-orang kaya dari penduduk suatu negeri wajib menanggung kehidupan fakir miskin di antara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (Baitul Mal) tidak cukup untuk mengatasinya.”77
Mannan menyebutkan bahwa teori ekonomi modern mengenai
distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi.
Mannan berusaha menemukan nilai jasa dari berbagai faktor produksi. Dalam
75 Ibid., h.21. 76 Euis Amalia. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
UKM di Indonesia ,(Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009). h.128 77 Ibnu Hazm, al Muhalla, h.45. Lihat juga Sadeq dan Ghazali (Ed.), Reading in Islamic
Economic Thought, h.72
45
hal ini, teori itu hanya merupakan perpanjangan teori umum penetapan harga.
Barangkali, masalah distribusi perseorangan, dapat dipecahkan dengan cara
sebaik-baiknya, setelah kita menyelidiki masalah pemilikan faktor-faktor
produksi.78
Chapra menyatakan bahwa salah satu masalah utama dalam kehidupan
sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan
pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan
tujuan makro ekonominya. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya
muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal
serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan
kekayaan karena hal itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Permasalahan
sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif
berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya
akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan
bekerja.79
Sementara itu, Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi
muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat
sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap
pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga
menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap
sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi
78 Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005), h. 25 79 M. Sholahuddin. Asas-asas ekonomi Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007.) Edisi.I. h.198
46
muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan
manusia yang tidak terbatas.80
Tokoh-tokoh mazhab ini selain Muhammad Baqir As-Shadr adalah
Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian,
Hedayati, dll.
Mazhab Mainstream berbeda pendapat dengan mazhab Baqir Sadr,
mazhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena
sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang
tidak terbatas.81
Misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras diseluruh
dunia berada pada titik ekuilibrium. Namun, jika berbicara pada tempat dan
waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan
ini yang seringkali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya
tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya
memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Dalil yang dipakai QS. Al-
Baqarah (2) : 155 :
☺
”Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.”
80 Ibid., h.21-22 81 Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), Edisi Ketiga, h.31
47
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal
yang alamiah. Dalilnya QS. At-Takaatsur (102) : 1-5
☺
⌧⌧ ☺ “ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).” Dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa manusia tidak akan pernah puas.
Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila
diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia
masuk kubur.
Tokoh-tokoh mazhab ini diantaranya M. Umer Chapra, M.A Mannan, M.
Nejatullah Siddiqi, dll. Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB).
Mazhab Alternatif-Kritis berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja
harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap
ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi
Islami belum tentu benar karena ekonomi Islami adalah hasil tafsiran manusia atas
Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi
dan teori yang diajukan oleh ekonomi Islami harus selalu diuji kebenarannya
sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.82
Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran seorang Ketua Jurusan Ekonomi
di University of Southern California, Jomo K.S, (Yale, Cambridge, Harvard,
Malaya), Muhammad Arif, dll.
82 Jomo K.S, Islamic Economic Alternatives, Critical Perspectives and New Directions,
(Kuala Lumpur : Ikraq, 1993).
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG DISTRIBUSI
A. Pengertian Distribusi
Dalam kamus bahasa indonesia, distribusi menurut bahasa adalah :
Pembagian, pengiriman barang-barang kepada orang banyak atau ke beberapa
tempat.1
Dalam kehidupan sehari-hari, distribusi biasa diartikan sebagai
kegiatan membagi-bagi barang kepada orang atau pihak yang berhak untuk
menerimanya. Misalnya, dalam keadaan kesulitan ekonomi, pemerintah
melakukan distribusi bahan makan kepada pegawai negeri dan penduduk ; di
pusat pembangkit tenaga listrik terdapat bagian distribusi yang mengurus
penyaluran tenaga listrik ke seluruh wilayah.
Dalam kegiatan ekonomi, kegiatan distribusi tidak hanya sekedar
membagi-bagi atau menyalurkan barang, tetapi mempunyai pengertian yang
lebih luas lagi. Kegiatan itu antara lain meliputi perdagangan, pengangkutan,
penyimpanan, penanggungan resiko, dan seterusnya sampai barang yang
bersangkutan diterima oleh konsumen dalam keadaan baik. Dengan demikian,
ruang lingkup kegiatan distribusi mencakup seluruh penanganan barang sejak
lepas dari produsen sampai barang tersebut diterima oleh konsumen.
Meskipun pengertian distribusi sangat luas, dengan singkat dapat dikatakan
1 Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka AMANI), h.84.
48
49
bahwa yang dimaksud dengan distribusi adalah usaha menyampaikan barang
dari produsen kepada konsumen.2
Berkenaan dengan distribusi dalam arti penyebaran dan penukaran
hasil produksi ini, Islam telah memberikan tuntunan yang wajib diikuti oleh
para pelaku ekonomi, pemerintah maupun masyarakat luas. Tuntunan tersebut
secara hukum normatif tertuang dalam fiqh al-mu’amalah.3
Dalam fiqh al-mu’amalah ditetapkan kaidah hukum bahwa hukum asal
dalam mu’amalah, sebagai bentuk distribusi, itu boleh sampai ada nash yang
menyatakan keharamannya. Berkaitan dalam prinsip ini, berbagai kegiatan
ekonomi boleh dilakukan dalam upaya pendistribusian hasil produksi bila
tidak ditemukan ketentuan nash yang melarangnya. Oleh karena itu, distribusi
dalam perspektif Islam sangat luas, kegiatan distribusi apapun boleh dilakukan
sepanjang tidak ada larangan dari nash.
Selain itu, dalam fiqh al-mu’amalah juga ditetapkan bahwa transaksi
yang dilakukan dalam distribusi boleh dilakukan dengan cara apapun,
termasuk kebiasaan baik dan benar (‘urf shahih) yang berjalan dalam
kehidupan umat manusia.4
Menurut Ibn Taimiyyah, sebagaimana dikutif al-‘Assal, setiap cara
yang oleh orang banyak dapat dihitung jual beli atau pengupahan adalah jual
beli dan pengupahan. Tetapi, kalau istilah orang-orang itu berlainan dalam
2 Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum (Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.38 3 A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A, Lembaga-lembaga perekonomian umat sebuah
pengenalan, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002) h. 32 4 Ibid., h.32
50
lafazh dan prakteknya, maka transaksi pada setiap kaum diselenggarakan
menurut bentuk dan praktek yang mereka pahami bersama.
Sebenarnya, distribusi merupakan lanjutan ekonomi setelah produksi.
Hasil produksi yang diperoleh kemudian dipindahtangankan dari pemilik ke
pihak lain. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah
dengan cara barter (mubadalah) atau antara hasil produksi dengan alat tukar
(uang). Di dalam syariat Islam bentuk distribusi ini dikemukakan dalam
pembahasan ‘aqd (transaksi).
B. Prinsip-Prinsip dan Tujuan Distribusi
Prinsip moral Islam mengarahkan kepada kenyataan bahwa pengakuan
hak milik harus berfungsi sebagai pembebas manusia dari karakter
materialistis. Hanya karena pembebasan itu, manusia bisa mendapatkan
kemuliaannya, bukan sebaliknya.5
Dalam Islam legitimasi hak milik akan tergantung dan sangat terkait
erat kepada pesan moral untuk menjamin keseimbangan, di mana hak pribadi
diakui, namun hak kepemilikan tersebut harus bisa berfungsi sebagai nafkah
konsumtif bagi diri dan keluarga, berproduksi dan berinvestasi, alat untuk
mengapresiasikan kepedulian sosial (zakat, infaq dan sedekah) dan jaminan
distribusi kekayaan, menjamin mekanisme kerja fisabilillah dan semangat
pembangunan serta penataan.6
5 Mustafa Edwin Nasution. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana,
2007.Ed. I. Cet.2.h.122 6 Ibid., h.122
51
Pemahaman ini bermuara pada pengakuan bahwa sang pemilik hakiki
dan absolut hanyalah Allah SWT, Tuhan semesta alam, dalam QS. Ali Imran
(3) : 189
☺
⌧ “ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha
Perkasa atas segala sesuatu “. Artinya, manusia hanya diberi hak kepemilikan terbatas, yaitu sebagai
pihak yang diberi wewenang untuk memanfaatkan, dan inti dari kewenangan
tersebut adalah tugas (taklif) untuk menjadi seorang khalifah (agen
pembangunan/ pengelola) yang beribadah di muka bumi ini.
Masalah distribusi kekayaan yang sulit dan rumit sekaligus penting itu
telah mendapat perhatian khusus. Banyak pakar ekonomi filsafat dan politik
telah beberapa kali membahas masalah itu, dalam berbagai kesempatan dan
mencoba untuk menyelesaikannya, meskipun mereka telah mencoba usaha
yang terbaik tetapi akhirnya mereka tetap gagal menemukan penyelesaian
yang tepat.7
Sekelompok pemikir berpandangan bahwa seseorang seharusnya
memiliki kebebasan sepenuhnya supaya bisa menghasilkan sejumlah kekayaan
yang maksimal dengan menggunakan kemampuan yang dia miliki, juga
mengingatkan agar tidak membatasi hak individu atas hartanya dengan
memberikan pembagian harta.8
7 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h.199 8 Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam . (Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.92
52
Sementara pemikir lain berpendapat bahwa kebebasan secara
individual tetap akan berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena
itu, hak individu atas harta yang dimilikinya sebaiknya dihapuskan dan semua
wewenang dipercayakan kepada masyarakat supaya dapat mempertahankan
persamaan ekonomi didalam masyarakat.9
Di kalangan mereka sering terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak
satu pun jawaban yang mampu memecahkan persolan tersebut. Akibatnya
masalah tersebut tetap tinggal sebagai suatu tantangan bagi para pemikir
sampai saat ini.
Bertolak dari kedua pendapat berdirilah ekonomi Islam yang
mengambil jalan tengah, yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem
yang adil dan merata. Sebagaimana Al – Qur’an telah menjelaskan prinsip
Islam dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7
☺ ☺
“ Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul …. Supaya harta itu jangan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantaramu ” .
Ayat ini Mengungkapkan prinsip pengaturan distribusi kekayaan
dalam sistem kehidupan Islam, kekayaan harus di bagi kepada semua
9 Ibid., h.93
53
golongan masyarakat dan seharusnya tidak menjadi komoditi diantara
golongan kaya saja.
Al-Qur’an telah menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai
pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara obyektif. Al –
Qur’an juga melarang adanya bunga dalam bentuk apapun, disamping itu
memperkenalkan hukum waris yang memberikan batasan kekuasaan bagi
pemilik harta untuk suatu maksud dan membagi semua kekayaannya di antara
kerabat dekat apabila meninggal. 10
Tujuan dari hukum-hukum ini adalah untuk mencegah pemusatan
kekayaan kepada golongan-golongan tertentu. Selanjutnya langkah-langkah
positif yang diambil untuk membagi kekayaan kepada masyarakat yaitu
dengan melalui kewajiban mengeluarkan zakat, infaq dan pemberian bantuan
kepada orang-orang miskin dan yang menderita akibat pajak negara.11
Di samping itu, Tujuan keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan
pendapatan dan kesejateraan sudah jelas dianggap sebagai bagian tak
terpisahkan dari filsafat moral dalam Islam dan didasarkan pada komitmennya
pada persaudaraan manusia.12
Langkah-langkah ini dan langkah-langkah lain yang sama telah
ditetapkan oleh Al – Qur’an untuk mencegah monopoli dan mendukung
distribusi kekayaan dalam masyarakat dan pada saat yang sama memberikan
10 Ibid., h.93 11 Ibid., h.94 12 M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta : PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 5
54
hak pemilikan, memberikan suatu dorongan kuat kepada setiap individu
memanfaatkan warisan dengan sebaik-baiknya.13
Di sisi lain, Konsep adil memang bukan monopoli milik ekonomi
syariah. Kapitalisme dan Sosialisme juga memiliki konsep adil. Bila
kapitalisme mendefinisikan adil sebagai ‘anda dapat apa yang anda
upayakan’ (you get what you deserved), dan sosialisme mendefinisikannya
sebagai ‘sama rata sama rasa’ (no one has a privilege to get more than
others), maka Islam mendefinisikan adil sebagai ‘tidak menzalimi tidak pula
dizalimi’ (La Tazhlimuuna walaa Tuzhlamuun).14
Artinya, dalam konsep kapitalisme, adil apabila setiap individu
mendapatkan apa yang menjadi haknya. Dalam konsep sosialisme, keadilan
akan terwujud apabila masyarakatnya dapat menikmati barang dan jasa
dengan ‘sama rata sama rasa. Sedangkan dalam Islam, keadilan diartikan
dengan suka sama suka (‘Antaraadin Minkum) dan satu pihak tidak menzalimi
pihak lain (La Tazhlimuuna walaa Tuzhlamuun).
Jadi, semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu
menciptakan sistem perekonomian yang adil. Namun tidak semuanya sistem
tersebut mampu dan secara konsisten menciptakan sistem yang adil. Sistem
yang baik adalah sistem yang dengan tegas dan secara konsisten menjalankan
prinsip-prinsip keadilan yang berlandaskan Al – Qur’an dan As – Sunnah.
Untuk mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat Islam
memberikan sebuah gagasan yang sangat baik bagi setiap individu sehingga
13 Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam. h.94 14 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007).h.36
55
mereka tidak jatuh ke dalam tingkatan yang rendah yaitu‘binatang ekonomi’
(economic animal) yang hidupnya hanya untuk makan, dimana perut
merupakan tujuan dari setiap kegiatan ekonomi.15
Padahal seharusnya bahwa bukan semata-mata makanan untuk hidup
tetapi hidup itu sendiri untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, yakni sebagai
ibadah.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa prinsip utama dalam
sistem ini adalah peningkatan dan pembagian hasil kekayaaan agar distribusi
kekayaan dapat ditingkatkan, yang mengarah pada pembagian kekayaan yang
merata di berbagai kalangan masyarakat yang berbeda dan tidak hanya
berfokus pada beberapa golongan tertentu.
C. Mekanisme Distribusi
Sebelum memasuki dataran sub pembahasan, penulis ingin terlebih
dahulu membuat ilustrasi (gambar) mekanisme distribusi, yang nantinya
penulis akan jelaskan per-pointernya, guna mempermudah pembaca budiman
dalam memahami skripsi ini.
15 Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam. h.96
56
1. Bekerja sama 2. Pengembangan kegiatan investasi 3. Larangan menimbun 4. Membuat kebijakan harta dan
menggalakkan kegiatan syariah 5. Larangan kegiatan monopoli dan
berbagai penipuan 6. Larangan judi, riba, korupsi,
pemberian kepada penguasa 7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari
barang-barang milik umum
ekonomi
Mekanisme Distribusi
Masalah ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok (al-hajatu al-
asasiyah) untuk semua pribadi manusia tidak tercukupi. Dan masalah
pemenuhan kebutuhan merupakan persoalan distribusi kekayaan. Dalam
mengatasi persoalan distribusi tersebut harus ada pengaturan menyeluruh yang
dapat menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok pribadi, serta
menjamin adanya peluang bagi setiap pribadi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pelengkapnya.
Walaupun persoalannya lebih banyak pada masalah distribusi
kekayaan, namun bukan berarti persolan produksi diabaikan. Produksi
selamanya diperlukan, bahkan mutlak harus ada. Akan tetapi, tanpa adanya
distribusi yang baik, kekayaan yang dihasilkan hanya akan beredar pada
Nonekonomi 1. Pemberian negara kepada rakyat
yang membutuhkan 2. Zakat
57
beberapa orang, tidak mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan, dan
akhirnya justru menimbulkan kesenjangan dan problematika.
Dalam persoalan distribusi kekayaan yang muncul, Islam melalui
sistem ekonominya menetapkan bahwa berbagai mekanisme tertentu yang
digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi secara garis besar dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu (1) apa yang disebut mekanisme ekonomi,
dan (2) mekanisme nonekonomi.16
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan
mengandalkan kegiatan ekonomi agar tercapai distribusi kekayaan.
Mekanisme dijalankan dengan cara membuat berbagai ketentuan dan
mekanisme yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan berbagai
kebijakan dan ketentuan tentang kegiatan ekonomi tertentu, maka diyakini
distribusi kekayaan itu akan berlangsung secara normal.17
Tegasnya bahwa distribusi kekayaan secara merata ternyata tidak bisa
dilakukan dengan mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itu pun banyak
kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, judi, korupsi, pungli, dan lain
sebagainya) yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap
lancarnya distribusi kekayaan. Maka seharusnya ada mekanisme nonekonomi
yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.
1. Mekanisme Ekonomi
16 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.205 17 Ibid., h.205
58
Dalam mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, maka
mekanisme yang ditempuh dalam sistem ekonomi Islam dengan cara
sebagai berikut :
a. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab
hak milik (asbabu al-tamalluk) dalam hak milik pribadi (al-milkiyyah al-
fardiyyah).
Menurut an-Nabhani,18 Islam telah menetapkan sebab-sebab utama
bagi seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan hak milik
pribadi (al-milkiyyah al-fardiyyah) yakni (1) bekerja (2) warisan (3)
kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup (4) harta pemberian
negara yang diberikan kepada rakyat dan (5) harta-harta yang diperoleh
oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apa pun.
Membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi seluruh anggota
masyarakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan melalui
mekanisme distribusi. Salah satu upaya yang biasa dilakukan manusia
untuk memperoleh harta kekayaan adalah dengan bekerja. Maka dari itu
menurut Islam dengan ‘bekerja’ adalah sebab pokok yang mendasar untuk
memungkinkan manusia dapat memiliki harta kekayaan.19
Agar berbagai pekerjaan tersebut bisa dijalankan dengan baik,
maka negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan serta
membuat berbagai peraturan yang dapat memudahkan pekerjaan tersebut.
18 Taqiyudin An-Nabhani, “Membangun sistem ekonomi alternative perspektif Islam”,
(Surabaya : Risalah Gusti, 1996). 19 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.208
59
b. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya
pengembangan hak milik (tanmiyatul al-milkiyah) melalui kegiatan
investasi.
Pengembangan hak milik adalah mekanisme yang digunakan
seseorang untuk mendapatkan tambahan hak milik tersebut. Karena Islam
mengatur serta menjelaskan suatu mekanisme untuk mengembangkan hak
milik. Maka pengembangan hak milik itu harus terikat dengan hukum-
hukum tertentu yang telah dibuat oleh syara’ dan tidak boleh melanggar
ketentuan-ketentuan syara’ tersebut.20
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa Islam menghalalkan
kaum muslimin bergerak dalam bidang pertanian, perdagangan, dan
perindustrian dengan catatan-catatan tertentu. Dalam masalah pertanian,
prinsip hukum Islam adalah pada hukum-hukum yang berhubungan
dengan pertanahan.
Kita ambil contoh, Seseorang yang menghidupkan tanah yang
mati, bahkan baru membukanya saja, berhak memiliki tanah tersebut.
Namun, jika ia terlantarkan tanah itu lebih dari tiga tahun, maka lahan
tersebut diambil alih oleh negara dan diberikan kepada siapa saja yang siap
mengolahnya.
Oleh karena itu, hak milik dapat dikembangkan terikatnya hukum-
hukum yang telah ditetapkan syara’, yaitu hukum-hukum seputar
pertanahan, hukum-hukum jual beli, perseroan serta hukum-hukum yang
terkait dengan ijaaratul ajiir (upah) dan produksi. Karenanya
20 Ibid., h.209
60
pengembangan hak milik dalam bidang pertanian, perdagangan, maupun
industri bisa dilakukan secara pribadi maupun secara bersama dalam suatu
aturan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam hadist qudsy :
اهللا لقا( ملس وهيل اهللا على ص اهللالوس رلقا: ال قةريرى هب أنع
انا خذإف. هباحا صمهدح أنخي الم منيكير الشثالا ثنأ: ىالعت
)رواه أبو داود وصححه الحاآم) (امهني بن متجرخ“ Hadist ini diterima dari Abi Hurairah, R.a, ia berkata : telah
bersabda Rasulullah SAW : “ Sesungguhnya Allah menyatakan : Aku adalah pihak ketiga (yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada temannya (syariknya). Apabila di antara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan telah menshahkannya oleh Al-Hakim.21
c. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya.
Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan
menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Al-Badri menjelaskan bahwa Islam mengharamkan menimbun
harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya, dan mewajibkan
pembelanjaan terhadap harta tersebut, agar ia beredar ditengah masyarakat
sehingga dapat diambil manfaatnya. Penggunaan harta benda dapat
dilakukan dengan mengerjakan sendiri ataupun bekerjasama dengan orang
lain dalam suatu pekerjaan yang tidak diharamkan.22
21 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul Buyu’ bab Fis Syarikah , (Beirut : Daarul Fikr,
1994). Jilid II. h.127 22 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.212
61
Ada banyak hal larangan dalam Al-Qur’an diantaranya, yaitu
melarang usaha penimbunan harta, baik emas maupun perak, karena
keduanya merupakan standar mata uang. Dalam QS. At-Taubah (9) : 34
Allah Swt berfirman :
⌧
“ Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berilah mereka kabar gembira dengan siksaan yang pedih”
d. Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan
berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
Islam mengajurkan agar harta benda beredar di seluruh anggota
masyarakat, dan tidak beredar dikalangan tertentu, sementara kelompok
lainnya tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan
menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrastruktur. 23
Untuk merealisasikan hal ini, maka negara akan menjadi fasilitator
antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan berkesempatan
untuk mengerjakan dan mengembangkan, hartanya dengan para pengelola
yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka
dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah).
Selain itu, negara dapat juga memberikan pinjaman modal kepada
orang-orang yang memerlukan modal usaha. Dan pinjaman yang diberikan
23 Ibid., h.213
62
tidak dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat
juga diberikan modal usaha secara Cuma-Cuma sebagai hadiah agar ia
tidak terbebani oleh pengembalian pinjaman tersebut.24
Cara lain yang dilakukan oleh negara untuk mendorong pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi adalah dengan membuat dan menyediakan berbagai
fasilitas seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, dan lain sebagainya. Juga
membuat kebijakan yang memudahkan setiap seseorang membuat dan
mengembangkan berbagai macam jenis usaha produktif.
e. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat
mendistorsi pasar.
Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang
merupakan jenis hak milik pribadi (private property). Sebab dengan
adanya monopoli, maka seseorang dapat menentukan harga jual produk
tidak sesuai dengan pasarannya, sehingga dapat merugikan kebanyakan
orang di muka umum.25
Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak Negara tidak
diperbolehkan turut terlibat dalam menetapkan harga jual suatu produk
yang ada dipasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan
harga pasar.26
Sebuah hadist dari Anas r.a yang mengatakan :
24 Ibid., h.213 25 Ibid., h.214 26 Ibid., h.214
63
اهللا لوس ردهى عل عةنيدم الي فرع السالغ: ال قكالم ن بسن أنع
, رع السالغ, اهللالوساري: اس النالق فملس وهيلى اهللا علص
, رعسلم او ه اهللانإ (ملس وهيل اهللا على اهللا صلوس رالقا فنلرعسف
سيل والع اهللا تقل أنا أوجر ألينإو, قازالر, طاسالب, ضابالق
ء رواه الخمسة اال النسا) ال مال وم دي فةملظم بينبلط يمكن مدحا
وصصحه ابن حبان “ Artinya : Hadist ini diterima dari Anas Bin Malik, ia berkata : Harga pada masa Rasulullah Saw (di Madinah), mengalami kenaikan sangat tajam (membumbung). Lalu mereka melaporkan : “ Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini). Beliau SAW. Menjawab : ‘Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menciptakan, yang Maha Menggenggam, yang Maha Melapangkan, yang Maha Memberi Rizki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah. Diriwayatkan imam yang lima kecuali Nasa’i dan telah menshahkannya Ibnu Hibban. “27
Masalah lain yang dilarang oleh Islam diantaranya adalah adanya
upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang
perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual produknya dengan
harga sangat murah, padahal harga yang berlaku di pasar tidak serendah
yang mereka peroleh dari pedagang perantara.
Thawus dari Ibnu Abbas. r.a meriwayatkan bahwa ia berkata :
اهللا لوس رالق: الا قمهن اهللا عيض راسب عن ابن عساو طنع
تلق, ادب لراض حعب يالو, انبآا الروقل تال, ملس وهيل اهللا علىص
27 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul ‘Ijarah bab Tas’ir, (Beirut : Daarul Fikr, 1994),
Jilid II, h.142
64
“ Artinya : hadist ini diterima dari Thawus dari Ibnu Abbas. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah SAW : Jangan kamu Rukban (pergi berjumpa kafilah sebelum sampainya dikota dan sebelum mereka dapat tahu harga pasar) kafilah-kafilah janganlah orang kota jualkan buat orang desa.” Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas : Apa (arti) sabdanya : “ dan janganlah orang kota jualkan buat orang desa ?” Ia jawab : (artinya) janganlah orang kota jadi perantara bagi orang desa. Di riwayatkan oleh Bukhari-Muslim, tetapi lafadz itu bagi Bukhari.28
f. Larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian suap, dan hadiah kepada
penguasa
Judi dan riba merupakan penyebab utama uang hanya akan
bertemu dengan uang (bukan dengan barang dan jasa), dan beredar antara
orang kaya saja. Karena Islam melarang serta mengharamkan aktivitas
tersebut.29 dalam QS. Al – Maidah (5) : 90 Allah SWT berfirman :
☺
☺ ☺
☺
“ Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbautan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Berkaitan dengan riba maka Allah SWT berfirman dalam QS. Al –
Baqarah (2) : 278
28 Bukhari, Shahih Bukhari, Kitabul Buyu’ bab Hal yabii’u haadirun libaadin bigairi
ajrin ? wahal yu’inuhu au yansohuhu, (Riyadh : Daarus Salam, 1997), Cet.I, h.425 29 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.216
65
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Sementara korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa
mengakibatkan harta hanya beredar di antara orang-orang yang sudah
berkecukupan. Hal ini merupakan penyebab rusaknya sistem distribusi
kekayaan. Berkaitan dengan suap-menyuap Rasulullah SAW bersabda :
اهللا ل ص اهللالوس رنعل: ال قاصلع انو برمع ن ب اهللادب عنع
رواه أبو داود والرمذي وصححه. (ىشترمالى واش الرملس وهيلع “ Artinya : hadist ini diterima dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,
ia berkata : Rasulullah Saw telah melaknati penyuap, penerima suap dan yang menjadi perantara terjadinya suap-menyuap.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan telah menshahkannya.30
g. Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil
dari barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang
dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air
dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Dengan disiplinnya pengelolaan dan pemanfaatan harta-harta yang
menjadi milik umum, maka hasilnya dapat didistribusikan kepada seluruh
masyarakat secara Cuma-Cuma atau dengan harga yang murah. Dana yang
sebelumnya dibelanjakan untuk mendapatkan barang-barang yang menjadi
30 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitabul Aqdiyyah bab Karohiyatur Riswah, (Beirut :
Daarul Fikr, 1994), Jilid II, h.166
66
milik umum seperti air atau listrik dan lain-lain, bisa digunakan untuk
keperluan lain bagi peningkatan kualitas hidupnya.31
Apabila semua kegiatan di mulai dari sebab-sebab hak milik, maka
pemanfaatan hak milik dan sejumlah larangan menyangkut beberapa
kegiatan ekonomi yang dalam sistem ekonomi kapitalis dianggap wajar
dilaksanakan, Insya Allah akan tercipta distribusi kekayaan di antara
manusia sebaik-baiknya.32
Artinya, distribusi akan berlangsung normal, dan rakyat akan
merasakan kesejahteraan.
2. Mekanisme Non ekonomi
Cara ini bertujuan agar ditengah masyarakat segera terwujud
keseimbangan (al-tawazun) dan kesetaraan ekonomi, yang akan ditempuh
dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non
ekonomi tersebut antara lain :
a. Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan
Negara memberikan harta kepada orang-orang yang memerlukan
untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh
Rasulullah ketika memberikan harta fa’i Bani Nadhir hanya kepada
orang-orang Muhajirin saja, tidak kepada orang Anshar kecuali hanya
dua orang saja.33
Abu Dujanah Samak bin Khurasah dan Sahal bin Hunaif, yang
kebetulan dua orang itu memang miskin sebagaimana umumnya orang
31 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.216 32 Ibid., h.217 33 Ibid., h.219
67
Muhajirin. Mengapa Rasulullah hanya memberikan harta fa’i itu
kepada orang Muhajirin?34 Sebagaimana dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7,
agar (“ Harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu “).
Ayat ini merupakan ‘illah (al-Amru al-Ba’itsu’ ‘ala al-Hukmi –
perkara yang menjadi landasan munculnya hukum), bagi tindakan
penyeimbangan ekonomi yang dilakukan oleh negara manakala terjadi
ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dengan cara memberikan apa
yang menjadi milik negara kepada orang-orang tertentu yang memerlukan.
Pemberian harta negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan
pemilikan mereka secara merata. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat
diberikan secara langsung ataupun tidak langsung dengan jalan
memberikan berbagai sarana dan fasilitas sehingga pribadi dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka. 35
Islam mengakui adanya kepemilikan Individu dan setiap orang
bebas mengoptimalkan kreativitasnya serta memberi otoritas kepada
pemiliknya sesuai dengan batasan yang ditetapkan Allah. Namun
kebebasan yang diberikan itu terkadang disalahgunakan oleh sebagian
orang misalnya dalam bentuk : pengambilan riba, perilaku monopoli, dan
aktivitas yang sejenisnya.36
34 Ibid., h.219 35 Ibid., h.219 36 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004),
h. 320
68
Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin negara
diperbolehkan melakukan intervensi seperlunya. Tujuannya adalah untuk
menghentikan perilaku yang mengancam hak dan kesejahteraan hidup
masyarakat.
Menurut an-Nabahani,37 dikatakan bahwa tugas-tugas pemerintah
dalam perekonomian dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) mengawasi faktor
utama penggerak ekonomi, (2) menghentikan mu’amalah yang
diharamkan, dan (3) mematok harga kalau diperlukan.
Pemerintah harus mengawasi gerak perekonomian seperti dalam
aktivitas produksi dan distribusi barang, praktek yang tidak benar seperti :
penimbunan terhadap bahan pokok yang sangat diperlukan masyarakat,
monopoli dan tindakan mempermainkan harga untuk menjaga
kemaslahatan bersama.
Pematokan harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi
penjual saat itu pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini.
Di mana seorang penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran
pemerintah untuk mematok harga suatu komoditas tertentu diperbolehkan
atau bahkan wajib. Sebab untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan
bersama.38
37 M. Faruk An-Nabahani, Sistem Ekonomi Islam : Pilihan setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosialis, Terjemahan : Muhadi Zainudin, (Yogyakarta : UII Press, 2000). 38 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam. h.320
69
Dalam kaitan ini Yusuf Qardhawi39,menegaskan bahwa tugas
negara adalah berupaya untuk menegakkan kewajiban dan keharusan
mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan khususnya dosa besar,
seperti : riba, perampasan hak, pencurian dan kezaliman kaum kuat
terhadap kaum lemah.
Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa negara bertugas untuk
menetapkan undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek
nyata serta mendirikan institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau
pelaksanaan kewajiban masyarakat dan menghukum orang yang
melanggar dan melalaikan kewajibannya.
Demikian pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis
dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam
masyarakat, dan Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan
minimal mengurangi jumlah penduduk yang miskin.
Menurut Mannan40, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
distribusi pendapatan adalah kebijakan fiskal dan anggaran belanja.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat
yang didasarkan pada distribusi kekayaan yang berimbang dengan
menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama.
b. Zakat
39 Yusuf Qardhawy, Etika dan Moral ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press,
1997). 40 Muhammad Abdul Mannan. Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Terjemahan.
(Yogyakarta : PT.dana Bhakti Wakaf, 1993).
70
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh Muzakki kepada
Mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme non-ekonomi dalam hal
distribusi harta. Zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh para
Muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapa pun yang termasuk
Muzakki untuk membayarkan zakatnya.41
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9) : 109
⌦ ☺
“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dengan adanya kegiatan yang bersifat memaksa ini, maka akan
terjadi peredaran harta yang tidak melalui mekanisme ekonomi dari orang-
orang kaya kepada orang-orang miskin. Dari harta zakat tersebut
kemudian dibagikan kepada golongan tertentu, yakni delapan Ashnaf
seperti yang telah disebutkan dalam Al – Qur’an, Allah SWT berfirman
dalam QS. At-Taubah (9) : 60
☺
☺ ☺
41 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, h.221
71
⌧ ⌧ ☺
“ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jihad fi sabiilillaah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. “
Jadi zakat merupakan ibadah yang berperan dan berdampak
ekonomi, yakni berperan sebagai intrumen distribusi kekayaan manusia.
D. Nilai dan Moral Di Bidang Distribusi
Dalam aktivitas ekonomi, Islam menanamkan mekanisme berbasis
moral spiritual untuk mengaplikasikan keadilan sosial pada setiap aktivitas
ekonomi. Adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan sebagai alasan yang
mendasari hampir semua konflik individu maupun sosial. Hal tersebut akan
sulit dicapai tanpa adanya keyakinan pada prinsip moral dan sekaligus
kedisiplinan dalam mengimplementasikan konsep moral tersebut.42
Ini adalah fungsi dari menerjemahkan konsep moral sebagai faktor
endogen (dari dalam) dalam perekonomian, sehingga etika ekonomi menjadi
hal yang sangat membumi untuk dapat mengalahkan setiap kepentingan
pribadi.
42 Mustafa Edwin Nasution. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. (Jakarta : Kencana,
2007).Ed. I. Cet.2.h.120
72
Sebagian penulis ekonomi Islam berpendapat bahwa hal pertama yang
harus diperhatikan dalam perekonomian adalah distribusi dan tidak ada
kaitannya dengan produksi.
Distribusi dalam ekonomi Kapitalis terfokus pada pasca produksi,
yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang
ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen
produksi yang berandil dalam memproduksinya43, yaitu empat komponen
berikut ini :
1. Upah, yaitu upah (wages) bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal
upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di
bawah standar,
2. Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital)
yang diharuskan pada pemilik proyek,
3. Ongkos, yaitu ongkos (cost) untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek,
dan
4. Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan
praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung
jawab sepenuhnya.
Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki
oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat
oleh masing-masing individu.
43 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani
Press, 2001),h.347
73
Para ulama Islam telah sepakat dan lembaga-lembaga fiqh
kontemporer juga telah mengadakan konsensus bahwa setiap bentuk bunga
adalah riba yang diharamkan bahkan termasuk diantara tujuh dosa besar yang
membinasakan, dan Islam menolak butir kedua, yaitu unsur bunga. 44
Sebagaimana dalam hadist di katakan :
ى ل اهللا صلوس رنعل: ال قعبد الرحمن بن عبداهللا بن مسعود عن أبيه
ابو رواه ) اءو سمه (الق وهيداهشو, هباتآو, هلآومو, اب الرلآآاهللا
داود “ Artinya : hadist ini diterima dari Abdurrahman bin Abdullah bin
Mas’ud dari Ayahnya r.a Ia berkata : Rasulullah Saw melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya, mereka berstatus hukum sama.” Hadist diriwayatkan oleh Muslim.45
Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi
syarat-syaratnya dan terrealisasi prinsip dan batasan-batasannya.
Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi
yang sangat mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai
keadilan.46 Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah Swt sebagai
pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk
mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki
kekaya
an tersebut.
d, Kitabul Buyu’ bab Fi aklir Riba wa Mukilahu, (Beirut : Daarul F
wy, Etika dan Moral ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997).
44 Ibid., h.348 45 Abu Daud, Sunan Abu Dauikr, 1994), Jilid II, h.117-118 46 Yusuf Qardha
74
Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi47,menjelaskan
1. Nilai Kebe
a.
tuk
menyom
melaku
nya49.
hingga manusia pantas
a amanah dari Allah yang harus
n di hari kemudian.50
sebagai berikut :
basan
Asas kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi
keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia
kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan dan Dia yang
mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi manusia un
bongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk
lainnya. Karena seluruh makhluk di hadapan Tuhan adalah sama.48
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan
material dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia dalam
kan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan manusia adalah
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
Dengan kata lain, seorang yang terbelenggu tidak akan
produktif, karena ia perlu bimbingan dari Tuhannya.
Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha,
memiliki, mengelola dan membelanjakan hartanya sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Allah se
dimuliakan dan menerim
dipertanggung jawabka
47 Ibid., h.361 48 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004),
h.317. 49 Ibid., h.317 50 Ibid., h.318
75
b. Bukti-bukt
1)
at menguasai dan
meman
ng untuk menanggung risiko
ini cinta untuk memiliki, gembira dengan yang ia
enangis dan menjerit jika seseorang mengganggu
2)
seseorang dapat melestarikan dan mengelola secara
berkesinambungan apa yang menjadi miliknya. Perolehan hak
i kebebasan
Hak milik Pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang
yang memiliki suatu benda dap
faatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya
dengan cara-cara yang dibenarkan Islam.51
Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan zalim
seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya.
Kebebasan mengharuskan seseora
sesuai dengan apa yang dilakukan dan memberikan hak orang lain
yang terdapat di dalam hartanya.52
Ketika sistem Islam mengakui hak milik pribadi,
sesungguhnya ia ingin memenuhi dorongan fitrah yang murni pada
manusia, yaitu kecintaan untuk memiliki. Sebagai contoh, Anak
kecil sejak d
miliki, m
miliknya.53
Warisan
Disyariatkannya warisan adalah pencerminan kebebasan. Dimana
51 Ibid., h.318. 52 Ibid., h.318 53 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani
Press, 2001),h.361
76
milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi
dalam dua hal, yaitu : melalui warisan dan wasiat.54
Kedua hal ini diakui oleh syar’i dengan maksud untuk
memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat.
Jika pengakuan terhadap hak milik pribadi atau khusus
merupakan fenomena pertama kebebasan, maka warisan adalah
bukti hak kepemilikan yang paling menonjol.
2. Nilai Keadilan
Kebebasan dalam Islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu
meskipun seseorang diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan
batasannya atau aturan dalam memperoleh, mengembangkan dan
mengkonsumsi harta yang dimilikinya. Islam juga mewajibkan setiap
orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.55
Hal diatas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat
senang mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya
terkadang ia berlaku boros dan bersifat kikir. Oleh karena itu Islam
memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan berbuat zalim.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS.Asy-Syura (42) : 40
.... ☺
“ … Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang zalim.”
54 Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani Press,
1997),h.212 55 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004),
h.319
77
Ayat yang ditegaskan dalam al-Qur’an yakni seorang muslim tidak
diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya.
Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian
pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan
keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi.
Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan.
Sesungguhnya, kebebasan ekonomi yang disyariatkan Islam
bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari berbagai ikatan seperti
kebebasan yang disalah fahami oleh kaum Syu’aib dalam menafsirkan ayat
Al-Qur’an, surat Hud, ayat 87 (“ Sesungguhnya kami berbuat dengan harta
kami sesuka kami. “) kebebasan itu adalah kebebasan yang terbatas,
terkendali dan terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah.56
Hal ini karena dalam tabiat manusia ada semacam kontradiksi yang
telah diciptakan Allah padanya untuk suatu hikmah yang menjadi tuntutan
pemakmuran bumi dan kelangsungan hidup. Diantara tabiat manusia yang
lain adalah bahwa manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga
karena cintanya terkadang mengeluarkannya dari batas kewajaran57,
seperti apa yang di firmankan Allah ketika menyebutkan sifat manusia
dalam QS.Al-Aadiyaat (100) : 8
56 Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani Press,
1997), h.220 57 Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani
Press, 2001),h.382
78
“ … Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. “
Demikianlah Distribusi di tinjau dari berbagai aspek teoritis,
semoga dapat menjadi acuan bagi proses pembelajaran kita bersama dalam
menciptakan keadilan yang sesungguhnya. Karena menurut hemat penulis,
yang di butuhkan masyarakat saat ini adalah gerakan moral dengan politik
keadilan bukan politik kekuasaan. Untuk kasus kita mengacu pada Bank
Century.
79
SENARAI PUSTAKA
Muhammad Ali, Kamus bahasa indonesia modern, (Jakarta : Pustaka AMANI)
Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum (Jakarta : Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996)
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, (Yogyakarta : BPFE,
2004)
M.Umer Chapra, dkk, Islam dan tantangan ekonomi, Islamisasi ekonomi
kontemporer, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999)
Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam (Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995)
A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A, Lembaga-lembaga perekonomian umat
sebuah pengenalan, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002)
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005)
M. Umer Chapra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta
: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2007)
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta :
EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007)
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2000).h.51
Yusuf Qardhawy, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta :
Robbani Press, 2001)
80
Yusuf Qardhawy, Norma dan Etika Ekonomi Islam , (Jakarta : Gema Insani
Press, 1997)
BAB IV
TIINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT
MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr
Distribusi (bersama-sama dengan hak milik) menduduki satu bagian
penting dari pemikiran Sadr. Hampir sepertiga dari Iqtishaduna-nya
mendiskusikan secara mendalam tentang distribusi dan hak milik. Sadr1
membagi bahasannya kedalam dua bagian, misalnya, distribusi Pra produksi
dan distribusi pasca produksi. Menjadi seorang ahli hukum tradisional,
penampilan Sadr menjadi dasar atas ajaran hukum yang berkenaan dengan
kepemilikan dan hak distributif.
1. Teori Disribusi Pra Produksi
Pada dasarnya mendiskusikan distribusi dari tanah dan sumber
alam yang lain, dimasukan sebagai kekayaan primer. Dalam
mendiskusikan status kepemilikan sumber alam, Sadr 2membagi sumber
alam ke dalam empat kategori, misalnya. daratan, bahan baku (sumber
alam) di daratan, air alami dan sisanya kekayaan (sungai/hasil laut,
bintang, tumbuh-tumbuhan).
1 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.117 2 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung :
Mizan, 2001). h.191
78
79
Sebuah ringkasan dari pandangannya didaratan (tanah) dan kategori yang
lain dari sumber alam dapat dilihat pada tabel berikut :3
Kepemilikan Tanah
Kategori
Tanah / Bentuk Tanah yang ditanami
(Pertanian) Tanah Kosong (Lahan tidak
kepakai) Secara alami membentuk lahan
yang tertanami (hutan) Penaklukan tanah Kepemilikan umum (khalayak);
penduduk membayar pajak yang digunakan untuk masyarakat secara keseluruhan
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya lewat buruh; pajak dibayar kepada pemerintah
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya
Tanah hasil da’wah Kepemilikan pribadi oleh para penduduk Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperolah hak untuk menggarapnya
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk mengarapnya
Tanah hasil perjanjian Tergantung pada perjanjian; kepemilikan pribadi atau umum (masyarakat)
Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah
Tanah yang lainya Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan Sumber Alam lainya
Sumber
Alam / Bentuk Zahir (terbuka)
(Sudah dalam bentuk yang terselesaikan) Batin (tersembunyi)
(belum dalam bentuk yang terselesaikan) i) Sumber Alam di tanah (minyak, batubara, dan sebagainya)
Kepemilikan umum dan kepemilikan pemerintah (Negara)
(a) Jika dekat kepermukaan-kepemilikan umum atau pemerintah
(b) Jika didalam / membutuhkan usaha – kepemilikan pemerintah adalah aturannya tetpi kepemilikan pribadi untuk sejumlah penggalian dan area tambang
ii) Air alami Lautan, sungai-kepemilikan umum Sumur, dan sumber mata air-kepemilikan umum dan hanya prioritas penggunaan
iii) Kekayaan alam lainya Kepemilikan pribadi dibolehkan lewat bekerja (menangkap burung, memotong kayu bakar) a. Distribusi Kekayaan (Publik) Pada dua Tingkatannya
Sadr4 memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan
bersama yang berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua
yakni kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i)
Kepemilikan publik, (ii) milik negara.
Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak
berguna untuk menghentikan orang lain dari penggunaan milik seseorang.
Dalam prakteknya tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini sama dengan
3 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 4 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer
,( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255
80
pendapat Taleghani (seorang alim) yang membedakan antara kepemilikan
(hanyalah Allah semata) dan pemilikan (yang dapat diwarisi kepada
individu).5
Sadr6 membagikan Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan;
yang pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi, sedangkan yang
kedua adalah distribusi kekayaan produktif.
Yang dimaksud dengan sumber-sumber produksi adalah; tanah, bahan-
bahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi
beragam barang dan komoditas, yang mana semua ini berperan dalam [proses]
produksi pertanian (agricultural) dan [proses] produksi industri atau dalam
keduanya.7
Yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas (barang-
barang modal dan aset tetap [fixed asset] yang merupakan hasil dari proses
kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia.8
Jadi, ada yang dinamakan primer dan ada yang dinamakan kekayaan
sekunder adalah barang-barang modal yang merupakan hasil dari usaha (kerja)
manusia menggunakan sumber-sumber tersebut.
Diskusi tentang distribusi harus mencakup kedua jenis kekayaan itu;
kekayaan induk dan kekayan turunan, yakni sumber-sumber produksi dan
barang-barang produktif.9
5 Ibid.h.255 6 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.393 7 Ibid., h.393 8 Ibid., h.393 9 Ibid., h.393
81
Jelas bahwa distribusi sumber-sumber produksi yang dasar mendahului
proses produksi itu sendiri, karena manusia hanya melakukan aktifitas
produktif yang sesuai dengan metode atau cara melakukan aktivitasnya dalam
mendistribusikanya sumber-sumber produksi.
Jadi yang pertama adalah sumber-sumber produksi, baru kemudian
produksi. Berkenaan dengan distribusi kekayaan produktif, ia terkait dengan
produksi dan bergantung padanya, karena ia menguasai produk yang pada
gilirannya menghasilkan produksi.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang menjadi titik awal atau tingkatan
pertama dalam sistem ekonomi Islam adalah distribusi, bukan produksi
sebagaimana dalam ekonomi-politik tradisional. Dalam sistem ekonomi Islam,
distribusi sumber-sumber [produksi] mendahului proses produksi, dan setiap
organisasi yang terkait dengan proses produksi otomatis berada pada
tingkatan kedua.10
b. Sumber Asli Produksi
Dalam ekonomi politik11, sumber-sumber produksi terbagi ke dalam
tiga kriteria sebagai berikut.
1) Alam.
2) Modal (barang-barang modal)
3) Kerja, termasuk organisasi yang dengannya sebuah proyek (rencana)
disusun dan di jalankan.
10 Ibid., h.393 11 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.152
82
[Barang-barang] modal adalah kekayaan yang dihasilkan (produced
wealth) dan bukan merupakan sumber asli produksi, karena setiap barang jadi
(finished good) dihasikan oleh kerja manusia lalu pada gilirannya berperan
menghasilkan kekayaan lagi. Misalnya, sebuah mesin yang memproduksi
tekstil bukanlah sebuah kekayaan yang murni natural. Mesin tersebut adalah
bahan natural yang telah dibentuk oleh kerja manusia dalam sebuah proses
produksi.12
Kebutuhan (hajat) dan kerja (amal) adalah suatu perangkat distribusi,
dalam perspektif Islami kerja adalah alat distribusi paling primer dipandang
dari sudut kepemilikan. Orang yang bekerja akan memetik hasil dan
memilikinya.13
Sedangkan kebutuhan adalah perangkat distribusi primer sebagai
pernyataan sebuah hak manusia yang bersifat esensial dalam kehidupan.
Masyarakat Islam mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial.
Perangkai ketiga menurut Sadr menambahkan properti sebagai perangkat
distribusi.14
Dalam Islam pekerja konsep sentral yang menurunkan properti, dalam
perspektif Sadr properti menjadi sebuah elemen sekunder distribusi dan selalu
di batasi oleh satu khazanah agama. Properti dalam pengertian Sadr
merupakan alat distribusi sekunder melalui aktivitas komersial yang diizinkan
12 Ibid., h.152 13 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung : Mizan, 2001), h.180 14 Ibid., h.181
83
Islam dalam syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam mengenai keadilan sosial.15
Sementara kerja adalah sebuah elemen abstrak dan immaterial, bukan
sebuah faktor material yang dapat masuk ke ruang lingkup kepemilikan
pribadi ataupun kepemilikan publik.
Atas dasar ini, hanya alam yang dapat menjadi subjek kajian kita saat
ini, karena ia merupakan unsur material yang belum mengalami [proses]
produksi.16
c. Perbedaan Berbagi Posisi Doktrinal ihwal Distribusi Sumber-sumber
Alam untuk Produksi
Islam berbeda dari kapitalisme dan Marxisme dalam kekhususan-
kekhususan dan perincian-perincian saat mengalami masalah distribusi
sumber-sumber alam untuk produksi (mashadir ath thabi’ah al ‘intaj).17
Islam membatasi kebebasan individu dalam memiliki sumber-sumber
tersebut dari bentuk-bentuk produksi. Karena masalahnya menurut Islam
Bukanlah terletak pada kebutuhan akan suatu sistem distribusi instrument
(sarana) sehingga sistem distribusi berubah setiap kali produksi demi
pertumbuhannya membutuhkan suatu sistem [distribusi] baru.18
Jadi, yang dibutuhkan adalah pemenuhan segenap kebutuhan dan
keinginan itu dalam kerangka manusiawi, dimana seorang individu manusia
bisa menumbuh-kembangkan eksistensinya sesuai dengan kerangka tersebut.
15 Ibid., h.181 16 Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra,
2008), h. 397 17 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.397 18 Ibid., 398
84
Ketika hubungan diantara manusia terjalin dan kemudian masyarakat
terwujud, maka akan muncul berbagai kebutuhan bagi kebutuhan dan
keinginan masyarakat melalui institusi kepemilikan bersama atas sumber-
sumber produksi tertentu.19
Banyak individu yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya melalui
kepemilikan pribadi. Para individu tersebut akan tertekan karena tidak bisa
memenuhi berbagai kebutuhanya, akibatnya kesetimbangan sosial akan
terganggu. Disini Islam memunculkan bentuk ketiga dari institusi
kepemilikan, yakni kepemilikan Negara, yang dengannya kepala Negara
(waliyyul amr) bisa menjaga keseimbangan itu.20
Dengan cara inilah distribusi sumber-sumber alam untuk produksi
dijalankan, yakni dengan membagi sumber-sumber tersebut kedalam tiga
institusi dan kepemilikan; kepemilikan pribadi, kepemilikan publik atau
kepemilikan bersama, dan kepemilikan Negara.21
Perbedaan antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar
dalam penggunaan properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk
kepentingan orang (seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara
tidak hanya untuk kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan
masyarakat tertentu, jika negara telah memutuskan. Walau pun sulit membuat
pengertian operasional dari perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total
monopoli yang diputuskan oleh suatu negara.
19 Ibid., 398 20 Ibid., 399 21 Ibid., 399
85
Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma
milik negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga
kerja. Hal ini sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang.22
d. Sumber-sumber Alam untuk Produksi
Dalam ekonomi Islam, Sadr23 membagi sumber-sumber produksi ke
dalam beberapa kategori.
1) Tanah. Ini adalah kekayaan alam yang paling penting, dimana tanpanya
hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk
apapun.
2) Substansi-substansi primer. Berbagai mineral yang terkandung diperut
bumi, seperti batubara, belerang, minyak, emas, besi, dan lain sebagainya.
3) Aliran air (sungai) alam. Salah satu unsur penting dalam kehidupan
material manusia, yang berperan besar dalam produksi dan system
perhubungan agrikultural.
4) Berbagai kekayaan alam lainnya. Terdiri atas kandungan laut, seperti
mutiara dan hewan-hewan laut; kekayaan yang ada dipermukaan bumi,
seperti berbagai jenis hewan dan tumbuhan; kekayaan yang tersebar
diudara, seperti berbagai jenis burung dan oksigen; kekayaan alam yang
“tersembunyi”, seperti air terjun yang bisa menghasilkan tenaga listrik
yang dapat dialirkan melalui kabel melalui titik mana pun; juga kekayaan
alam lainnya.
22 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255-256 23 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.156-157
86
1) Tanah
Syariah membagi tanah yang dianeksasi Daarul Islam (Negara Islam)
ke dalam tiga bentuk kepemilikan; kepemilikan publik, kepemilikan Negara,
dan kepemilikan pribadi.24
Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan
tanah, Sadr membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu
membahas masing-masing kelas tersebut berikut status kepemilikannya :
a) Tanah yang Masuk Wilayah Islam lewat Penaklukan (Fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam
melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan
banyak belahan lain dunia Islam.25
Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama.
Ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang
tercurah untuk menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi
kepentingan manusia. Ada tanah yang subur secara alami tanpa intervensi
manusia. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh
tangan manusia maupun tangan alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini
biasa disebut tanah mati.26
Itulah tiga jenis tanah yang terbedakan oleh keadaannya ketika
dianeksasi oleh Islam. Dalam Islam, tanah-tanah tersebut ada yang
mendapat status milik Negara, sebagaimana akan kita lihat nanti.
24 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.159 25 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973)., h.400 26 Ibid., h.401
87
(1) Tanah yang Di garap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan
Jika sebidang tanah saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh
tangan manusia, dan ia berbeda dalam penguasaan seseorang, dimana
orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi
milik bersama seluruh Muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat
penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim dimasa datang.
Jadi, kaum Muslim-lah ‘setiap periode sejarah’ yang menjadi
pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim
yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam,
seseorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya
milik pribadi.27
Penting untuk dicatat,28 bahwasanya karyawan tidak memberi
hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk
produk-produk dari tanah.
Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak
yang lebih terhadap tanah itu,29 dibandingkan seseorang yang bekerja di
tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan
sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan
memerlukan lebih banyak usaha dan lebih banyak hak.30
27 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.160 28 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995)., h.120 29 termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa
ijinnya. 30 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995)., h.121
88
Seorang ulama besar Najafi,31 dalam kitab Al-Jawahir-nya mengutip
dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al-Khilaf dan At-
Tadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara fikih Imamiyyah mengenai
aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik
atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam.
Demikian pula, Al-Mawardi mengutip Imam Malik yang
mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim
[yang dikelola oleh Negara] sejak saat ia ditaklukan, dimana waliyyul amr
(kepala Negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk
mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang di
kelola oleh negara’.32
(2) Tanah Mati pada Saat Penaklukan
Sebidang tanah yang saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah
yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia
menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia
tidak termasuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah
tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal
status kepemilikannya.33
Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan dipandang
sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap
31 Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra,
2008), h.160 32 Ibid., h.161
33 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.413
89
(tanah mati) saat masuk ke pangkuan Darul Islam dipandang milik
Negara.34
(3) Tanah yang subur secara Alami pada saat Penaklukan
Banyak fakih berpendapat bahwa tanah yang subur secara alami pada
saat penaklukan seperti hutan dan lain sebagainya memiliki status
kepemilikan yang sama dengan tanah mati. Mereka berkeyakinan bahwa
tanah-tanah semacam ini menjadi milik Imam.35
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada sejumlah riwayat dari
para Imam (Ahlul Bait) yang menyatakan bahwa “Setiap tanah tak bertuan
adalah milik Imam.” Riwayat ini memberikan Imam hak kepemilikan atas
setiap tanah tak bertuan, hutan-hutan, dan tanah-tanah sejenis lainnya.
Tanah tidak di miliki oleh siapa pun kecuali bila ia digarap, sementara
hutan disuburkan oleh Alam tanpa campur tangan individu manapun. Atas
dasar itu, dalam syari’ah keduanya dipandang tidak bertuan, dan
konsekuensinya menjadi subjek prinsip kepemilikan negara.36
b) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Dakwah
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah
yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik
bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lain yang
tersebar di dunia Islam.37
34 Ibid., h.413 35 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.421 36 Ibid., h.421 37 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.190
90
Tanah-tanah hasil dakwah, sebagaimana pula tanah-tanah taklukan,
dibagi menjadi dua jenis. Pertama, tanah yang digarap oleh para penduduknya
dan mereka menerima masuk Islam secara sukarela. Kedua, tanah yang subur
secara alami seperti hutan, serta tanah yang pada saat masuk ke pangkuan
Islam merupakan tanah mati.38
Berkenaan dengan tanah mati di daerah yang para penduduknya
menjadi Muslim secara sukarela,39 status kepemilikannya sama dengan tanah
taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. Prinsip
kepemilikan negara dan aturan-aturan yang sama berlaku atas keduanya.
Tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati secara
umum dipandang sebagai anfal (rampasan perang yang hak penguasaan dan
pengelolaannya berada di tangan Nabi Saw, atau Imam sebagai kepala
negara), dan anfal adalah milik negara.
Demikian pula tanah-tanah yang subur secara alami yang masuk ke
pangkuan Islam melalui dakwah, mereka juga menjadi milik negara atas dasar
prinsip hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah tak bertuan adalah
bagian dari anfal.”40
Namun, walaupun keduanya adalah milik negara, ada perbedaan antara
tanah mati dan tanah yang subur secara alami. Seorang individu dapat
memiliki hak spesifik atas tanah mati yang masuk kepangkuan Islam melalui
dakwah jika ia menghidupkannya, dan aturan-aturan yang sama berlaku atas
38 Ibid., h.190 39 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 40 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.191
91
tanah tersebut sebagaimana halnya tanah taklukan yang pada saat penaklukan
merupakan tanah mati.41
Sementara dalam kasus tanah-tanah yang subur secara alami dan
secara damai masuk ke pangkuan Daarul Islam, individu tidak berhak atas hak
kepemilikan atasnya karena tanah tersebut subur dengan sendirinya. Individu
hanya boleh mengambil manfaat darinya.42
Ketika seseorang mengambil manfaat dari tanah ini, maka tidak ada
seorang pun yang dapat merebut tanah ini darinya. Tidak ada seorang pun
yang beroleh preferensi atas yang lain selama individu pertama mengambil
manfaat dari tanah ini.43
Bagaimana pun, individu lain diperkenankan mengambil manfaat dari
tanah tersebut selama tindakannya itu tidak mengganggu dan mencegah
individu pertama dalam memanfaatkan tanah tersebut, atau ketika individu
pertama tidak lagi memanfaatkan tanah tersebut dan tidak lagi
menggunakannya untuk tujuan produktif.44
Sementara tanah-tanah garapan yang disuburkan lewat usaha dan
kerja manusia di daerah yang penduduknya memeluk Islam secara sukarela,
mereka tetap menjadi milik para pemilik aslinya. Ini karena Islam memberi
Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, semua hak yang ia miliki
sebelum ia memeluk Islam.
41 Ibid., h.191 42 Ibid., h.191 43 Ibid., h.191 44 Ibid., h.191
92
Maka para individu Muslim yang memeluk Islam secara sukarela,
tetap menguasai tanah-tanah mereka sebagai pemilik pribadi, sehingga tidak
ada pajak yang dibebankan kepada mereka. Seluruh milik mereka sebelum
menjadi Muslim, sepenuhnya tetap menjadi milik mereka.45
c) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Perjanjian (Shulh)
Tanah Shulh adalah tanah yang diinvasi oleh kaum Muslim guna di
kuasai, dimana para penduduknya tidak memeluk Islam namun tidak pula
melakukan perlawanan bersenjata. Mereka tetap memeluk agama mereka serta
merasa puas hidup damai dan aman dibawah naungan dan lindungan negara
Islam.46
Tanah seperti ini di namakan ‘tanah perjanjian’, kapan pun istilah
tanah perjanjian digunakan, ia pasti merujuk pada tanah jenis ini. Jika dalam
perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik para
penduduknya, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik mereka,
dan masyarakat Islam tidak memiliki hak atau klaim apapun atasnya.47
Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi
milik masyarakat Muslim, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi
milik masyarakat Muslim dan menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama, di
mana kharaj (pajak) berlaku atasnya.48
d) Tanah-tanah lain yang menjadi Milik Negara
Sadr membagi jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi
prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah
45 Ibid., h.192 46 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.423 47 Ibid., h.423 48 Ibid., h.423
93
kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan (invasi). Tanah-tanah
seperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara di bawah
penguasaan Nabi Saw. dan para Imam sepeninggal beliau,49 sebagaimana
dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 6
☺
⌧
⌧ ⌦ Artinya: “Dan apa saja rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya dari harta benda mereka, maka untuk mendapatkan itu kalian tidak mengerahkan seekor kuda pun dan tidak pula seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah
binasa atau telah punah, ia menjadi milik negara, begitu juga dengan tanah
yang baru terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol)
yang terbentuk di tengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik
negara berdasarkan aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “ setiap
tanah yang tak berpenghuni menjadi milik Imam.”50
Kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah
(dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi
kepada pemerintah (Negara). Sadr 51mengambil pandangan ini berdasarkan
49 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.193 50 Ibid., h.194 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
94
pada konsep khilafahnya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan
dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan
sumber alam lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan
pemerintah.
2) Bahan-bahan Mentah dari Perut Bumi
Bahan-bahan mentah dan kekayaan mineral yang terkandung didalam
perut bumi memiliki peran penting setelah tanah dalam kehidupan produktif
dan ekonomi manusia, karena faktanya komoditas material apapun yang
manusia nikmati adalah produk dari tanah dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalam perut bumi.52
Karena itulah, sebagian besar dari cabang-cabang industri bergantung
pada industri-industri konstruksi dan pertambangan yang darinya manusia
memperoleh bahan-bahan dan mineral-mineral tersebut.
Para fakih53 umumnya membagi bahan-bahan mineral ke dalam dua
kategori, yakni : azh Zhahir (terbuka) dan al bathin (tersembunyi).
Mineral-mineral azh Zhahir adalah bahan-bahan yang tidak
membutuhkan usaha serta proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya,
dan substansi mineralnya tampak dengan sendirinya, seperti garam dan
minyak.54
Jika kita ke sebuah sumur minyak, kita akan menemukan mineral di
sana dalam keadaan aktualnya, di mana kita tidak perlu melakukan proses
lebih lanjut guna mengubahnya menjadi minyak, walau pun kita memang
52 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.439 53 Ibid. h.439 54 Ibid. h.439
95
harus mencurahkan usaha yang besar untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumur minyak tersebut serta memurnikan minyak yang di
hasilkan.
Istilah azh Zhahir dalam fikih tidak digunakan dalam arti lateralnya,
yakni terbuka atau tidak membutuhkan penggalian dan eksplorasi. Istilah az
Zhahir di sini adalah istilah deskriptif yang menunjukan setiap mineral yang
ketika ditemukan ia telah berada dalam bentuk akhirnya, tidak memandang
apakah manusia harus mencurahkan usaha yang besar untuk mendapatkannya
dari kedalaman bumi atau menemukannya dengan mudah di permukaan
bumi.55
Sedangkan mineral-mineral al Bathin, dalam fikih berarti setiap
mineral yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat
mineralnya tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi
tidak mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya di kedalaman
bumi. Tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan
usaha yang besar guna mengubahnya menjadi emas dan besi dalam bentuk
yang diketahui oleh para pedagang.56
Keterbukaan dan ketersembunyian dalam istilah fikih terkait dengan
sifat suatu bahan dan derajat kesempurnaan keadaannya, tidak terkait dengan
lokasi atau kedekatannya dengan permukaan ataupun kedalaman bumi.
55 Ibid. h.439 56 Ibid. h.439
96
a) Mineral-Mineral Terbuka
Menurut fatwa (opini hukum)57 yang berlaku, mineral-mineral terbuka
seperti garam dan minyak adalah milik bersama masyarakat. Islam tidak
mengakui penguasaan seseorang atas sumber mineral-mineral tersebut, karena
mereka menurut fatwa yang berlaku berada di bawah ruang lingkup prinsip
kepemilikan bersama. Individu hanya di izinkan untuk mengambil kekayaan
mineral jenis ini sebanyak yang mereka butuhkan, tidak diperkenankan
memonopolinya dan menguasai tambang-tambangnya.
Atas dasar ini, adalah kewajiban negara atau Imam sebagai pemimpin
masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas kekayaan alam
sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut produktif
dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.58
b) Mineral-Mineral Tersembunyi
Dalam terminologi fikih,59 yang di maksud dengan mineral-mineral
tersembunyi adalah mineral-mineral yang kala di temukan tidak berada dalam
bentuk dan kondisi akhirnya. Usaha dan proses lebih lanjut dibutuhkan guna
mengubah mereka ke bentuk akhirnya, contohnya adalah emas. Emas tidak
eksis dalam bentuk dan kondisi akhirnya.
57 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 58 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.215-216 59 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.117
97
Usaha dan proses lebih lanjut harus di lakukan guna mengubah dan
membentuknya menjadi emas sebagaimana yang kita kenal. Mneral-mineral
tersembunyi juga terdiri atas dua jenis. Pertama, yang ditemukan dekat dari
permukaan bumi. Kedua, yang eksis di bawah perut bumi sedemikian hingga
kita tidak mungkin menjangkaunya tanpa penggalian dan kerja keras.60
c) Mineral-Mineral Tersembunyi yang dekat dari Permukaan Bumi
Berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi yang berada dekat
dengan dari permukaan bumi, dalam syari’ah aturannya adalah seperti halnya
mineral-mineral terbuka.61
‘Allamah al Hilli62 menyatakan dalam at Tadzkirah bahwa mineral-
mineral tersembunyi dapat saja terbuka dalam pengertian mereka eksis dekat
dari permukaan bumi atau di atas permukaannya sehingga dapat diambil
dengan tangan, juga dapat tertutup. Jika mineral-mineral tersembunyi itu
terbuka, maka mereka tidak bisa di miliki lewat reklamasi sebagaimana telah
di jelaskan.
Bahkan hingga hari ini, Sadr63 menemukan bahwa para fakih tidak
mengizinkan mineral-mineral terbuka dan mineral-mineral tersembunyi yang
eksis dekat dari permukaan bumi menjadi milik pribadi. Mereka hanya
mengizinkan individu untuk mengambilnya dalam batas kewajaran sesuai
dengan kebutuhannya. Sehingga dengan begitu, terbuka ruang yang lebar bagi
60 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.442 61 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.218 62 Ibid. h.219 63 Ibid. h.220
98
penggunaan dan pemanfaatan mineral-mineral tersebut pada skala yang lebih
luas dari eksploitasi monopolistik oleh penguasaan individual.
d) Mineral-Mineral Tersembunyi yang Terpendam
Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam jauh di dalam perut
bumi memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk mengeksplorasi serta
menggali demi mendapatkannya, dan (2) usaha untuk memurnikan serta
menampakkan sifat-sifat mineralnya. Contoh dari mineral-mineral seperti ini
adalah emas dan besi. Sadr64 menamakan jenis mineral seperti ini sebagai
‘mineral-mineral tersembunyi yang terpendam’.
Dalam yurisprudensi Islam (fikih), sejumlah teori telah di kemukakan
berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi ini. Ada yang berpendapat
bahwa mineral-mineral tersebut adalah milik negara atau Imam sebagai
Kepala Negara, bukan sebagai pribadi, diantaranya adalah Al Kulaini, Al
Qummi, Al Mufid, Ad Dailami, Al Qadhi, dan lainnya. 65
Mereka berpendapat bahwa mineral adalah seperti anfal, dan
merupakan milik negara. Lalu, ada juga yang berpendapat bahwa mineral-
mineral tersebut adalah milik bersama semua orang, yakni berada dibawah
naungan prinsip kepemilikan publik. Mereka yang berpendapat seperti ini
adalah Imam asy Syafi’i dan banyak ulama mazhab Hanbali.
Berdasarkan apa pun yang dikatakan teks-teks dan teori-teori hukum
tentang kepemilikan tambang, Sadr 66menyimpulkan bahwa tambang menurut
opini hukum yang dominan adalah milik bersama yang dapat di manfaatkan
64 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.444 65 Ibid. h.445 66 Ibid. h.448
99
bersama-sama dan subjek dari prinsip kepemilikan bersama. Tidak seorang
pun boleh menguasai sumber-sumber dan akar-akar tambang yang berada di
bawah perut bumi.
e) Apakah Kepemilikan Tambang mengikuti Kepemilikan Tanah ?
Dalam Syari’ah tidak terdapat teks yang menyatakan bahwa
kepemilikan tanah juga mencakup setiap dan segala kekayaan yang
terkandung didalamnya.67
Menurut Sadr 68bahwa kecuali jika ada konsensus penting (ijma’
ta’abbudi) yang menyatakan sebaliknya, secara hukum kita dapat menyatakan
bahwa tambang-tambang yang berada di tanah milik individu tidak menjadi
properti individu pemilik tanah tersebut. Namun, hak individu pemilik tanah
(atas tanahnya) harus di perhatikan, karena reklamasi dan eksploitasi tambang
bergantung pada kehendak (izin) si pemilik tanah.
f) Iqtha’ dalam Islam
Salah satu istilah teknis hukum Islam yang terkait dengan tanah dan
tambang adalah Iqtha’ (fief). Dalam pembicaraan banyak fakih kita
menemukan pernyataan bahwa pemberian tanah ini atau tambang itu yang
merupakan milik imam, dengan perbedaan di antara keduanya dalam batas-
batas di mana Imam berhak melakukannya.69
Kata Iqtha’ sangat diasosiasikan dengan sejarah Abad Pertengahan,
khususnya sejarah Eropa, dengan konsepsi-konsepsi dan institusi-institusi
yang amat jelas, yang menentukan hubungan-hubungan di antara tuan tanah
67 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.226-228 68 Ibid. h.226-228 69 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.449
100
dan penggarap tanah (budaknya), serta mengatur hak-hak mereka masing-
masing dan di berbagai belahan dunia lainnya.70
Definisi Iqtha’ diberikan oleh Syekh ath Thusi dalam kitab Al
Mabsuth, yakni di mana Imam memberikan hak kepada seseorang untuk
mengusahakan suatu sumber kekayaan alam. Usaha orang itu dipandang
sebagai dasar bagi pemberian hak spesifik kepadanya atas sumber kekayaan
alam tersebut.71
Islam tidak memandang Iqtha’ sebagai dasar bagi penyerahan
kepemilikan sumber daya kepada individu, karena hal itu akan merusak
karakteristik iqtha’ sebagai sebuah cara eksploitasi dan distribusi kerja. 72
Iqtha’ hanya memberi individu hak untuk memanfaatkan sumber-
sumber alam, dan konsekuensinya ia wajib bekerja mengeksploitasi sumber-
sumber alam tersebut, di mana tidak seorang pun bisa mencegahnya dari
melakukan hal itu. Tiada seorang pun selainnya yang diperkenankan
memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber-sumber alam tersebut.73
Dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik,
yang mana sumber-sumber itu tidak membutuhkan reklamasi dan kerja, maka
individu yang mencurahkan kerja di sana tidak beroleh hak khusus atas
sumber-sumber tersebut. Dalam hal ini, iqtha tidaklah sah dan tidak di
izinkan, sebab bila di izinkan maka iqtha akan kehilangan makna Islaminya,
70 Ibid. h.449 71 Ibid. h.450 72 Ibid. h.451 73 Ibid. h.452
101
karena sumber-sumber tersebut tidak membutuhkan kerja dan kerja pun tidak
berpengaruh di sana.74
Jadi, dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik
seperti ini, pemberlakuan iqtha dan pemberian hak kerja kepada individu
merupakan perwujudan dari monopoli atau eksploitasi demi kepentingan diri
sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan konsep iqtha dalam Islam dan fungsi
aslinya. Karena itulah syariah melarang hal ini dan membatasi iqtha pada
sumber-sumber alam yang memang membutuhkan kerja.75
g) Iqtha’ Tanah Kharaj
Ada satu hal lagi di mana istilah iqtha digunakan dalam bahasa yuridis.
Namun, yang dimaksud bukanlah iqtha yang sebenarnya, melainkan
pembayaran atas jasa yang telah diberikan.76
Objek iqtha ini adalah tanah kharaj (tanah yang dikenal pajak) yang
merupakan milik umat, di mana dalam hal ini gubernur (kepala pemerintahan)
dapat memberikan seorang individu sesuatu dari tanah kharaj misalnya,
sebagian dari pajak terkumpul, dan memberinya wewenang untuk
mengumpulkan pajak dari tanah tersebut.77
Pemberian wewenang ini dilakukan oleh gubernur. Walau pun hal ini
kerap di lihat dalam arti historisnya dan secara tidak sah sebagai proses
pemberian hak kepemilikan atas tanah, namun sebenarnya dalam pengertian
yuridisnya serta dalam batas-batas yang dibenarkan, hal ini tidaklah demikian.
Pemberian wewenang ini hanyalah suatu cara pembayaran atau penggajian
74 Ibid. h.453 75 Ibid. h.454 76 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.235 77 Ibid. h.236
102
atau pemberian kompensasi kepada para individu atas layanan publik yang
telah mereka berikan.78
Penerima iqtha berhak memiliki pajak tanah sebagai imbalan atas
layanan publik yang telah ia berikan kepada umat, namun ia tidak memiliki
tanah tersebut, tidak pula mendapat hak dasar untuk menguasai ataupun
mengeksploitasi tanah itu. Tanah tersebut tetap menjadi milik kaum Muslim
dan tetap berstatus tanah kharaj.79
h) Hima Dalam Islam
Konsepsi tentang hima (tanah yang diproteksi) diperoleh dari bangsa
Arab kuno. Hima berarti tanah mati yang dimonopoli oleh orang-orang “kuat”,
di mana mereka tidak mengizinkan orang lain mengambil manfaat dari tanah
tersebut. Orang-orang “kuat” tersebut menganggap segala sumber daya
ataupun kekayaan yang terkandung di tanah itu secara eksklusif menjadi milik
mereka karena mereka bisa menguasai tanah itu untuk kepentingan mereka
sendiri, serta dengan kekuatan dan kekuasaan mereka mampu mencegah orang
lain mengambil manfaat darinya.80
Dalam Islam, kenyataan bahwa seseorang mampu menguasai dan
mengendalikan sumber-sumber alam tidak dapat di jadikan dasar bagi
pemilikan hak atas sumber-sumber tersebut. Satu-satunya hima yang di
izinkan Islam adalah hima Rasulullah Saw, di mana beliau memproteksi tanah
78 Ibid. h.236 79 Ibid. h.237 80 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.456
103
mati demi maslahat umum seperti tanah Baqi’, yang diperuntukkan bagi unta-
unta sedekah, hewan-hewan ternak jizyah, dan kuda-kuda para mujahid.81
3) Air Alami
Sumber air ada dua jenis. Pertama adalah sumber-sumber terbuka
(mashadir maksyufah) yang telah Allah ciptakan bagi manusia di atas
permukaan bumi, seperti lautan dan sungai. Kedua adalah sumber-sumber
yang terkubur dan tersembunyi di dalam perut bumi, yang mana manusia
harus melakukan penggalian guna mendapatkannya.82
Sumber air jenis pertama digolongkan ke dalam milik bersama
masyarakat. Kekayaan alam seperti ini secara umum disebut sebagai milik
bersama, di mana Islam tidak mengizinkan seorang individu pun untuk
menguasainya sebagai milik pribadinya sendiri. Sebaliknya, Islam
mengizinkan semua individu untuk menikmati manfaatnya, dengan tetap
menjaga keutuhan karakteristik dari prinsipnya, yakni bahwa substansi-
substansi aktual dan hak kepemilikan atas mereka adalah milik bersama.83
Tidak seorang pun memiliki laut atau sungai alami sebagai milik
pribadinya. Semua orang boleh menikmati manfaatnya. Atas dasar ini kita
81 Ibid. h.456 82 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.239 83 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
104
memahami bahwa sumber-sumber air alami yang terbuka adalah subjek
prinsip kepemilikan publik.84
Sementara air yang sumbernya terkandung di dalam perut bumi, tidak
seorang pun bisa mengklaimnya sebagai miliknya kecuali jika ia bekerja untuk
mengaksesnya, melakukan penggalian untuk menemukan sumber tersebut dan
membuatnya siap guna. Ketika seseorang membuka sumber ini dengan kerja
dan penggalian, maka ia berhak atas mata air yang ditemukannya.85
Ia berhak mengambil manfaat mata air tersebut dan mencegah
intervensi orang lain. Karena ia yang membuka kesempatan (peluang) untuk
menggunakan dan memanfaatkan mata air itu, maka ia berhak memanfaatkan
kesempatan tersebut. Sementara mereka yang tidak ikut andil dalam membuka
kesempatan itu, tidak berhak mengintervensinya dalam menikmati manfaat
mata air tersebut.86
Ia menjadi lebih berhak ketimbang orang-orang lain atas mata air
tersebut dan memiliki air yang memancar berkat usahanya, karena ini adalah
jenis penguasaan, di mana ia tidak memiliki sumber airnya yang terdapat di
dalam perut bumi. Karena itu, ia wajib membagi air dari mata air itu secara
gratis kepada orang-orang lain untuk minum maupun hewan ternak mereka
setelah ia memenuhi kebutuhannya sendiri.87
Dalam hal ini, ia tidak boleh meminta apapun sebagai imbalan. Hal ini
dikarenakan substansi tersebut tetap menjadi milik bersama. Si penemu mata
84 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.239 85 Ibid. h.240 86 Ibid. h.240 87 Ibid. h.241
105
air hanya memiliki hak prioritas sebagai hasil dari usahanya dalam
menemukan mata air itu. Maka, ketika ia telah memenuhi keperluan dan
kebutuhannya akan air dari mata air tersebut, orang-orang lain berhak
mengambil manfaat dari mata air itu.88
4) Kekayaan Alam Yang Lain
Kekayaan alam yang lain masuk ke kategori al mubahatul ‘ammah
(hal-hal yang boleh bagi semua orang) adalah kekayaan alam yang semua
individu dapat menggunakannya secara gratis dan menikmati manfaatnya
sebaik milik pribadi mereka, karena izin umum ini adalah izin yang bukan
hanya untuk memanfaatkannya namun juga untuk memilikinya.89
Islam telah meletakkan prinsip kepemilikan pribadi pada al mubahatul
‘ammah atas dasar kerja dan usaha guna mendapatkan mereka sesuai dengan
perbedaan jenis mereka.90
Sebagai contoh, kerja atau usaha untuk mendapatkan burung adalah
dengan menangkapnya dengan cara berburu, sedangkan usaha untuk
mendapatkan kayu bakar adalah dengan mengumpulkannya, dan kerja untuk
mendapatkan mutiara serta udang adalah dengan menyelam ke kedalaman
laut. Usaha untuk mendapatkan tenaga (energi) listrik yang tersembunyi dari
air terjun termasuk dalam proses mengubah energi ini menjadi arus listrik
88 Ibid. h.241 89 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 90 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117
106
yang kita kenal. Dengan jalan inilah kepemilikan atas kekayaan alam mubah
diperoleh, yakni dengan memperoleh penguasaan atasnya.91
Kepemilikan atas kekayaan alam ini tidak bisa diperoleh kecuali
dengan kerja. Jadi, masuknya kekayaan alam ini ke kendali seseorang tidak
cukup di jadikan dasar bagi kepemilikan atasnya, kecuali jika ia melakukan
kerja positif untuk mendapatkannya.92
2. Distribusi pasca Produksi
Sadr93 mulai menyatakan bahwasanya Islam itu tidak meletakan semua
faktor produksi (atau pemilik mereka) pada kedudukan yang sejajar, misalnya.
Mempekerjakan Orang ‘pekerja’ adalah ‘pemilik’ yang sebenarnya dari
bahan-bahan/alat-alat yang telah diproduksi. Para pekerja selanjutnya
memiliki tanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk faktor produksi
lainnya yang digunakan dalam prosesnya.
Sadr94 merasakan bahwa pandangan ini meletakan orang sebagai tuan
dan bukan pelayan dari produksi. Meneruskan argumentasi ini, Sadr
menyatakan bahwa seorang kapitalis tidak membolehkan memiliki produk
dari para pekerja yang dia sewa. dengan kata lain, tenaga kerja ekonomi
langsung adalah tempat yang diperlukan untuk kepemilikan produk.
Pandangannya95 mengenai kekayaan primer digolongkan kedalam
gambaran ketika dia memberikan ‘kepemilikan’ kepada agen yang bekerja
91 Ibid. h.117 92 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 93 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121 94 Ibid. h.121 95 Ibid. h.121
107
dibagian sumber alam, sebagai contoh seseorang yang menggarap lahan
kosong (tak bertuan), memiliki itu berkaitan dengan mempunyai prioritas dan
hak untuk mencegah orang lain dari penggunaannya.
Sekarang, jika orang ini memilih untuk menyewa orang lain untuk
bekerja ditanah, dia masih memelihara ‘kepemilikan’ tanah sehubungan
dengan status tenaga kerjanya yang dilibatkan dalam penggarapan tanah.96
Pada sisi lain, tuan tanah memiliki hasil tanah yang berkaitan dengan
para pekerja itu sendiri, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah
dengan alasan bahwa para pekerja tuan tanah masih ada. Kompensasi ini bisa
jadi dalam bentuk atau pinjaman yang tetap atau suatu saham dalam produk
(jika pemilik tanah menyediakan benih / pupuk atau permesinan).97
Dalam mengatur aktivitas ekonomi, banyak contoh di beri oleh Sadr98
:
a. Lahan kosong dapat didistribusikan dan dimanfaatkan
b. Larangan Islam yaitu menempati lahan kosong dengan kekerasan
pekerjaan, tidak ada keuntungan.
udian
ri Tuhan
k manipulasi dalam pasar
c. Prinsip tidak ada
d. Larangan Riba
e. Larangan tidak produktif, seperti perj
f. Menimbun uang dan barang-barang
g. Larangan yang aktivitas mengalihkan perhatian da
h. Penuturan dan mengece
96 Ibid. h.122 97 Ibid. h.122 98 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258
108
i. Larangan pemborosan
(benang) yang dimiliki
pengge
i, Sadr 100selanjutnya
dari penggarapan)
d.
ke tangan para
buruh,
Sadr99 membedakan antara bekerja dilahan sumber alam dan dimiliki
yang lain (seperti diatas) dengan bekerja dilahan ‘hasil buruh’ yang dimiliki
oleh orang lain, sebagai contoh seorang pekerja yang membuat benang dari
wol seorang pengembala; dalam hal ini, produk
mbala dan pekerja akan dibayar kompensasi.
Dengan pandangan prioritas tenaga kerja in
membuat daftar hasil (laba) ke setiap faktor produksi :
a. Buruh-upah atau bagian keuntungan
b. Tanah-sewa (atau bagian
c. Modal-bagian dari laba
Peralatan / modal fisik-sewaan / kompensasi
Buruh diberikan satu pilihan dari keuntungan yang jelas (upah) atau
variabel keuntungan (bagian dari keuntungan). menyewa tanah diizinkan
hanya ketingkat bahwa pemilik tanah telah menyerahkan
sebagai contoh buruh untuk menggarap tanah kosong.
Sadr juga memegang pandangannya membolehkan transaksi-transaksi
seperti Mudharabah, Muzara’ah (bagi hasil), Musaqat, dan al-Jualah
(menggaji, upah). konstribusi / bekerja ke suatu produk, atau untuk menggarap
99 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis 1995), h.122 , (Kuala Lumpur,100 Ibid. h.122
109
lahan
. Orang yang menggunakan
ungkap
ahwa (uang) pemilik modal di dalam Mudharabah diberikan
keuntu
telah digunakan, bukan faktor resiko. Ini Nampak seperti
penjela
ang berbeda-beda, ketidaksamaan pendapatan
adalah
dan menyewakannya kepada orang lain untuk harga sewaan yang
tinggi.101
Sadr juga membantah kompensasi untuk resiko yang dikemukakan
oleh banyak ahli ekonomi, termasuk kaum Muslim
an tidak ada resiko, tidak ada keuntungan, menurut Sadr telah merusak
mental pemerintah dengan satu faktor produksi.
Ahli ekonomi Muslim yang mengemukakan argumentasi itu
mengatakan b
ngan, suatu kesalahan apabila berkaitan dengan resiko yang ia
tanggung.102
Sadr memandang keuntungan sebagai fakta bahwa mereka memiliki
uang yang
san yang lebih logis dan bisa diterima untuk mengembalikan uang
modal.103
Pandangan diatas menunjukan dengan jelas bahwasanya Sadr104
melihat keuntungan yang sah sebagai dasar daripada pekerjaan. Bagaimana
pun, pekerja untuk Sadr, ada sumber hak distributif yang lain di dalam
ekonomi Islam, sebagai contoh kebutuhan. Karena tiap-tiap individu memiliki
kapasitas dan kapabilitas y
hal yang wajar. Sebagian mendapatkan sedikit sementara yang lain
tidak mendapatkan apa-apa.
101 Ibid. h.122 102 Ibid. h.122 103 Ibid. h.122 104 Ibid. h.123
110
Situasi ini memberikan mereka hak distributif dan pemerintah
memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Islam
menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat
berlebi
belanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara
spesifik
a prinsip bahwasanya seluruh
sumber
ang sesuai menurut situasi zaman yang ada. Dalam konteks ini
adalah tugas para mujtahidun itu adalah negara. Maksudnya tiap negara
h-lebihan (boros), dan pada saat yang bersamaan, Islam mengangkat
hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem
jaminan sosial.105
Pemerintah juga dipercaya memberikan keamanan sosial secara
keseluruhan. Dan hal ini dapat dicapai melalui persaudaraan (penyelenggaraan
ini dapat melalui pendidikan) diantara anggota masyarakat dan melalui
kebijakan pem
dapat membantu orang miskin. Sementara itu dengan pengaturan
aktivitas ekonomi memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari
eksploitasi.106
Untuk memastikan keseimbangan sosial dan keamanan yang
dibutuhkan bagi keseluruhan, berdasarkan pad
daya alam harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah dipercaya
untuk menjalankan tugas pada pemilikan untuk memastikan hal ini dengan
cara membantu mereka yang berkesusahan.107
Pada akhirnya, sebuah kekuasaan negara dipercaya untuk menciptakan
kedinamisan y
105 Ibid. h.123 106 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 107 Ibid. h. 258
111
memili
jelas
metodo
ya, Asy Syara’i, bab Wikalah (perwakilan), bahwa
wikalah
a, maka wikalah
dalam
itu atau ia secara langsung mencurahkan usahanya
dalam pekerjaan menebang kayu, atau menyabit rumput, atau jenis pekerjaan
ki ahli hukum atau suatu negara memiliki beberapa bentuk dewan
penasehat.108
Pengkajian yang dilakukan Sadr dengan menggunakan metode ijtihad.
Menurut analisa Chibli Mallat,109 pembahasan ini memperlihatkan secara
logi yang disarankan Sadr diawal pembahasan. Dalam hal ini penulis
menyajikan prinsip umum dengan mengikutsertakan pendapat ahli fiqh :
‘Allamah al-Hilli, seorang ulama-peneliti (muhaqqiq) Muslim,
menyatakan dalam kitabn
dalam pekerjaan menebang kayu atau jenis pekerjaan lain yang
sejenis, adalah tidak sah.
Contohnya, jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agen)-
nya untuk menebang kayu di hutan demi kepentinganny
hal ini tidak sah. Orang itu (si penunjuk) tidak menjadi pemilik kayu
yang ditebang oleh orang yang ia tunjuk sebagai wakilnya.
Alasannya adalah, pekerjaan menebang kayu dihutan atau jenis
pekerjaan lainnya yang sejenis, pada dasarnya tidak menghasilkan pengaruh
atau hak khusus apa pun bagi seseorang kecuali bila ia sendiri yang
melakukan pekerjaan
lainnya yang serupa.
108 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 109 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung :
Mizan, 2001). h.206
112
B. Relevansi
1.
a yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan
seb
ki harta
kekaya
i, elemen yang berlaku menurut Sadr ialah
kebutuh
solidaritas sesama muslim.
Pemikiran Muhammad Baqir Ash-Shadr
Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan
Ekonomi Islam
Muhammad Baqir As-Shadr110 mengatakan bahwa ekonomi Islam
adalah sebuah ajaran (doctrine) dan bukannya ilmu murni (science),
karena ap
uah solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya
akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi
berjalan.
Dalam mewujudkan gagasan keadilan distribusi menurut Islam,
Sadr111 mendasarkan pada dua faktor. Pertama, faktor primer yang terdiri dari
kerja dan kebutuhan. Kedua, faktor turunan berupa kepemilikan.
Bekerja menurut Islam adalah sebab yang mendasar untuk
memungkinkan manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan memili
an. Namun yang menjadi permasalahan menurut Sadr112 ialah cara
menempatkan seseorang yang dalam kehidupan sosial tidak dapat bekerja atau
mereka yang bekerja tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam konteks in
an, artinya berapapun kebutuhan pokok komunitas masyarakat
tersebut menjadi tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun
110 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), Vqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), V Kedua, Ed.I, h.113
olume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.5-6 111 Muhammad Baqir As-Shadr, Iolume 1, Bagian112 Ibid., h.113
113
Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan.
Menurut Sadr,113 Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan
Islam dibatasi aturan
nila
a.
ntuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih
dah
sendiri merupakan ekspresi dari
kecend
bakat serta potensinya dalam
atnya. Sedangkan disisi lain
pekerja
b.
lam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran
adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam
i serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah.
Peran Kerja (al-‘amal) dalam distribusi
Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi.
Menurut Sadr, u
ulu harus mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang
diperolehnya.114
Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para
pekerja. Sedangkan kepemilikan
erungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan / hak-hak individu
mendapat tempat yang proporsional.
Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat
mengekspresikan seluruh kekuatan,
meningkatkan perekonomian suatu masyarak
dapat memenuhi kebutuhannya.
Peran Kebutuhan (al-Haajah) dalam distribusi
Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola
distribusi da
113 Ibid., h.120 114 Ibid., h.114
114
kebutu
kesempatan kerja melalui
bakat d
yang tinggi.
a komunitas pertama bergantung pada kerja, maka
komun
i kelompok ketiga ini melalui instrument kebutuhan yang
pengatu
rja sesuai
han dalam distribusi, Sadr115 membagi masyarakat ke dalam 3
komunitas :
Pertama, komunitas yang mendapatkan
an kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan
kebutuhan hidupnya dengan standar
Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum
sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat
dalam proses produksi baik kelemahan fisik maupun kemampuan
intelektualnya. Menurut Sadr, konsekuensi dari pembagian diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat
bagian dalam distribusi. Jik
itas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan
akan kebutuhan dasarnya.
Pemahaman ini menurut Sadr,116 berangkat dari realitas bahwa
komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian
distribus
rannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas
umum.
Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua
instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument ke
115 Ibid., h.116 116 Ibid., h.119
115
dengan
c.
yang m
segala fenomena tentang perilaku pilihan
dan pe
i dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai
dengan
kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi
melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja.
Peran Kepemilikan (al-Milk) dalam distribusi
Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi.
Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi
engandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi
yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial
untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah.117
Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka
kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini
semisal, Adiwarman Karim.118 Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah
sistem ekonomi yang menjelaskan
ngambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan
tata aturan syariah sebagai variabel independen (ikut mempengaruhi segala
pengambilan keputusan ekonomi).
Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada
bukan berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti
semuanya sesua
asumsi dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu
pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori
ekonomi Islam.
117 Ibid., h.129 118 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007),h.5
116
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya,
hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah,
tetapi tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena
faktor
’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, (“ Supaya harta itu jangan hanya
beredar
embangkan oleh ilmu
ekonom
lu
tersebut. Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan
Ekonomi islam antara lain seperti Zakat (Khums Pajak,, Anfal, Fay), yang
bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial.
Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut.
Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat
dalam Al-Qur
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”) serta adanya hadist
Nabi yang menyebutkan bahwa (“diantara sebagian harta kita ada hak untuk
orang lain”).
Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dik
i konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini
berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung
digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.119
Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat,
termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a,
wala tushahihuhu jamii’a (Jangan menolak semuanya, dan jangan pula
menerima semuanya). Menurut Adiwarman Karim, 120ekonom Muslim tidak
perlu terkesima dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim per
119 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007),h.31
120 Ibid.,h.12
117
mempu
an beragam pendapat ahli fiqh sebagai
suprast
annya dalam proses
produk
alam distribusi pra produksi berkaitan dengan
daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada
patan menurut Islam.
nyai akses terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami
perlu juga mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat
menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islami.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses
pengkajian dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah
kontemporer. Sadr 121mulai menampilk
ruktur (ajaran yang bersumber dari hukum). Selanjutnya, beliau
melakukan deduksi terhadap naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsip-
prinsip umum dalam bidang distribusi.
Sadr 122juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif
Islam, yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak
mendapat balas jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi.
Kedua, seseorang berhak mendapat hasil dari keikutserta
si. Sebagaimana contoh hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas
buah kerjanya.” Karena itu, Islam tidak mengakui bunga, karena pendapatan
tanpa kerja bertentangan dengan gagasan keadilan Islam.
Jadi, fokus kajian d
sumber
pengkajian distribusi pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori
penda
121 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.112-113 122 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
118
2. Releva
inya, merupakan indikator kongkrit yang
menand
secara
ijaga dan dipertahankan, maka
dapat d
bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai
ketuhanan, sebab bangsa ini adalah bangsa Religiusitas yang patuh terhadap
nsi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa
Kini
Penulis berpendapat Krisis ekonomi di Indonesia masih belum
kunjung selesai. Pengangguran yang membengkak, kesenjangan sosial antara
kaya dan miskin, biaya pendidikan kian mahal, merebaknya kriminalitas dan
maksiat, gizi buruk, krisis energi, kelaparan yang selalu menanti di susul
dengan kasus-kasus yang menimpa daerah bencana (baik korupsi dana
pembangunan) dan lain sebaga
akan kegagalan sistem ekonomi konvensional kapitalis yang diusung
pemerintah.
Saat ini pemerintah sepertinya semakin tidak memperhatikan rakyat.
Tak sedikit kebijakan pemerintah malah semakin membebani rakyat dan
langsung terus melestarikan kemiskinan. Hal ini membuktikan akibat
kebijakan ekonomi yang keliru yang kian hari makin terpuruk.
Bila sistem yang secara jelas dan realitas tidak dapat menyelesaikan
beragam problematika bangsa ini masih tetap d
ikatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya tiada pernah secara bijak
untuk belajar memperbaiki diri dari kesalahan.
Pemerintah harus ada solusi alternatif untuk mengganti sistem yang
dipakai saat ini dengan sistem yang lebih baik serta sesuai dengan masyarakat
Indonesia. Sistem yang paling sinkron dengan karakteristik dan kepribadian
119
norma dan etika agama yang dianutnya. Sistem yang dimaksud adalah sistem
ekonomi Islam.123
Krisis yang bangsa kita hadapi saat ini secara bertubi-tubi dan
melingkar-lingkar sangat berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk
merespons dampak-dampak kapitalisme global yang berfungsi sebagai
kendaraan bagi imperialisme baru yang lebih sophisticated.124
Harus diakui bahwa pembahasan ekonomi dalam karya ini berlatar
kondisi masa lalu. Namun demikian, karena pembahasan ekonomi dalam
karya ini menyentuh dasar-dasar filsafat ekonomi dan sosial yang melibatkan
relasi-relasi yang bersifat eksistensial dan generik, maka rekomendasi yang
diberikan Sadr dengan mudah dapat diadaptasikan guna menyikapi secara
cerdas realitas dan tantangan kondisi ekonomi hegemonik masa kini.125
Pada hakikatnya, kondisi ekonomi masa kini hanya mengalami
perubahan-perubahan instrumental dari dasar-dasar ekonomi masa lalu.
Kapitalisme dan materialisme hanya berganti baju dan rupa, tetapi tidak watak
dasarnya. Maka, fatwa ekonomi Ayatullah Baqir Ash Shadr tetap relevan.126
Kenyataan yang memperihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di
Negeri kita ini selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan susul
menyusul datangnya. Namun, yang sangat luas dampaknya adalah
keterpurukan bidang ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat. Memang
123 Miftakhus Surur, “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No. 11 Th.VI (Maret
2009) : h.58 124 Ir. Sayuti Asyathri “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku
Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.23 125 Ibid. h.24 126 Ibid. h.24.
120
disadari bahwa salah satu masalah kunci dalam kehidupan umat manusia
adalah masalah ekonomi.127
Prof. Dr. Mubyarto di acara memperingati Hari Kebangkitan Nasional
tanggal 20 Mei 2005 di Jakarta telah menguraikan bahwa secara ekonomi,
Indonesia kembali terjajah oleh Kapitalisme Global yang lebih sadis dan lebih
kejam ketimbang kolonialisme Belanda.
Lebih dari itu, John Perkins dalam bukunya, Confessions of an
Economic Hit Man, telah mengakui bahwa dirinya disewa oleh kekuatan
Kapitalisme Global untuk merusak dan membuat ekonomi negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, menjadi terjajah dan sangat bergantung
pada tuan besarnya, yaitu Kapitalisme Global.128
Konsep Baqir Ash- Shadr sangat kontekstual dengan kondisi dan
permasalahan yang berkembang di Indonesia dan negara berkembang lain
yang umumnya berpenduduk mayoritas Muslim. Di bawah pengaruh
konspirasi dan pengondisian kekuatan-kekuatan besar, isu-isu kemiskinan,
kebodohan, dan kebobrokan adalah tiga isu besar yang mendorong
keterpurukan bangsa-bangsa ini, terutama akibat penerapan sistem ekonomi
yang tidak berkeadilan.129
Sebagai solusi atas fenomena dan kondisi tersebut, Muhammad
Baqir Ash-Shadr mengingatkan kita dan mengulas secara jelas Iqtishaduna :
Our Economics, yang melalui suatu pendekatan interdisipliner menjadi suatu
127 Prof. KH. Ali Yafie “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr.
Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.27 128 Ibid., h.27 129 Aries Muftie, SH. SE. MH “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-
Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.19
121
kajian ekonomi Islam, sehingga memberikan benang merah bagi kita
bagaimana mewujudkan maqashid berdasarkan prinsip-prinsip yurisprudensi
Islam (ushul fiqh). Dengan demikian, aktivitas dan sistem ekonomi yang kita
gunakan akan kita kembalikan kepada tujuannya untuk kesejahteraan seluruh
manusia.130
Implikasinya dapat dilihat dari munculnya fakta disparitas
(kesenjangan) antara yang kuat dan yang lemah pada berbagai sektor
kehidupan, dan munculnya tiga isu : kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan,
akibat implementasi sistem ekonomi yang tidak menganggap penting faktor
iman, jiwa, akal dan keturunan. Eksploitasi alam, penjajahan ekonomi,
peperangan bisnis, dan segala aktivitas ekonomi lainnya menjadi suatu alat
penumpukan kekayaan dan pemenuhan kepentingan golongan, tanpa
mempertimbangkan dampaknya pada publik atau umat, serta pelestarian alam
untuk para keturunan kita.131
Sistem ekonomi yang selama ini dikenal dan diimplementasikan di
dunia dalam perjalanan sejarahnya semakin lepas dari perspektif moral dan
pranata sosial-budaya. Perkembangannya menjadi segmentatif dan mikro,
sehingga hanya bisa menjelaskan secara parsial fenomena-fenomena
kemasyarakatan yang ada.132 Selama ini sistem Perbankan Syariah hanya
merupakan duplikasi sistem perbankan konvensional yang menganut sistem
130 Ibid., h.19 131 Ibid., h.20 132 Ibid., h.19-21
122
Ribawi yang mengandung unsur gharar, tidak adil, dan mengancam nilai-nilai
Islam yang mulia. 133
Misalnya, sistem bagi hasil yang di praktikkan Bank Syariah sekarang
ini, masih mengandung unsur Ribawi. Jika seorang calon nasabah akan
membuka account di bank syariah dan bertanya berapa bagi hasil yang akan di
terima, maka dengan tanpa ragu-ragu si petugas Bank Syariah menunjukan
prakiraan besarannya dengan mengacu daftar bagi hasil beberapa bulan yang
lalu dalam brosur di Bank Syariah bersangkutan.
Kenapa sistem bagi hasil di prediksi besarannya ? bukankah bagi hasil
adalah sistem bagi untung atau rugi berdasarkan akad kejujuran yang tidak
bisa di prediksi seperti bunga bank ? kalau bagi hasil di prediksi, berarti ada
semacam “janji” yang artinya tidak beda dengan sistem bunga.
Selain itu,134 selama ini perbankan syariah lebih banyak “main” pada
suku bunga di Bank Indonesia (BI) yang sangat kental dengan praktik Ribawi.
Berapa persen dana perbankan syariah yang di salurkan melalui pembiayaan
sektor riil ? contoh lain, apakah sistem murabahah yang di praktikkan juga
sudah benar-benar pure berjalan sesuai dengan muamalah Islam ? bagaimana
dengan sistem pembiayaan perbankan syariah pada sektor riil ?
Meski sekarang diakui sistem ekonomi kapitalis liberalis sedang
mengalami kebangkrutan menyusul krisis ekonomi global, namun masih
memerlukan waktu cukup lama antara 10-20 tahun bagi sistem ekonomi Islam
133 Zaim Saidi, “Prakteknya Masih Mengandung Ribawi,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3
April 2009, h. 9. 134 Ibid., h. 9.
123
(syariah) untuk menggantikannya. Pasalnya,135 harus memerlukan
kepercayaaan dari Dunia Barat yang masih berpedoman pada kapitalis dan
liberalis, di mana perlu di yakinkan sesungguhnya sistem ekonomi Islam jauh
lebih baik dan lebih menjanjikan keuntungan finansial bagi mereka.
Dunia Islam harus memberi penyadaran dan pencerahan pada Dunia
Barat untuk menggunakan sistem Ekonomi Syariah yang non Ribawi, untuk
menggerakkan ekonomi mereka yang masih berdasarkan pada bunga (riba).
Pasalnya selama ini sistem ekonomi Barat memiliki kepentingan dan resiko,
sedangkan semua pelaku ekonomi tidak ingin beresiko dalam menjalankan
usahanya. Mereka hanya menginginkan keuntungan tanpa bersedia
menanggung resikonya. Sedangkan dalam sistem ekonomi syariah, antara
resiko dan keuntungan akan ditanggung secara bersama (mudharabah).136
Mari kita cermati peta zakat di era Indonesia Mazhab Neo Liberal
sekarang ini. Di mana, seperti di beberkan Amien Rais137 dalam bukunya
Agenda Mendesak Bangsa Selamat-kan Indonesia, kekayaan alam Indonesia
mayoritas sudah di kuasai asing. Ironisnya, itu semua seizin rezim-rezim
penguasa Indonesia, melalui amandemen UUD 45 yang melahirkan regulasi
semacam UU penanaman modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU
Badan Hukum Pendidikan, dan UU Minerba. Policy inilah yang menciptakan
kemiskinan struktural.
135 Aviliani, “Perlu Waktu Lama Ekonomi Islam Menggantikan Ekonomi Kapitalis,”
Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h.9 136 Ibid., h.9 137 M. Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta :
PPSK Press, 2008). h.255-263
124
Dana Zakat dapat dilihat dalam tabel berikut :138
Penerimaan ZIS konter BAZNAS tahun 2002 -2007 (ribuan Rp.)
Penerimaan/thn 2001 – 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Zakat 444,035 1,311,834 2,229,070 2,536,110 4,825,502 8,307,941 Infak & Sedekah 275,973 483,372 579,920 28,589,846 13,023,956 6,029,927 Infak Operasional 70,035 552,542 293,890 180,845 627,203 254,149 Infak Pemerintah 131,005 352,325 119,836 100,000 1,550,000 - Jumlah 921,048 2,700,073 3,222,716 31,406,801 20,026,661 14,592,017
Grafik Penerimaan ZIS konter BAZNAS139
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada kenaikan dana zakat yang terhimpun, meskipun ada penurunan dana infak shadaqah sehingga total penerimaan ZIS
138 Tim BAZNAS, Data kuantitatif Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
139 Tim BAZNAS, Grafik Penerimaan ZIS konter Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
125
menurun. Penerimaan dana infak shadaqah tahun 2005 melonjak tinggi meningkat tajam merupakan penerimaan terbesar karena adanya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir Desember 2004 telah meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia untuk berbagi. Terlihat dari penerimaan dana infak tahun 2005 yang melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2006, gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya juga telah mendorong masyarakat untuk berinfak.
Sesuai dengan fungsi koordinatifnya, BAZNAS juga mencatat penerimaan
ZIS dari jaringannya yang terdiri dari Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Badan Amil
Zakat Daerah dan lembaga amil zakat. Meskipun baru sebagian yang dapat
dikoordinasikan, namun alhamdulillah dari data ini dapat digambarkan
pertumbuhan penerimaan dana ZIS di Indonesia.
Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS tahun 2002-2007140
Penerimaan ZIS (Ribuan Rp.) NO NAMA LEMBAGA 2002 2003 2004 2005 2006 2007
I BAZNAS (konter) 921.048 2.700.073 3.322.092 31.406.810 20.026.660 14.592.016
II UPZ BAZNAS *)
- - - - 8.289.356 12.308.613
III BAZDA Prov*) 11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553 102.629.312
IV LAZ *) 55.680.209 68.405.946 128.354.888 233.986.019 230.613.161 219.412.453
TOTAL 68.391.097 85.283.523 150.089.112 295.592.403 373.173.447 361.333.307
*) sebagian data
140 Tim BAZNAS, Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS 2002-2007, di
akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
126
Menurut Dawam Raharjho,141 Tingkat perkembangan itu sudah tentu
masih jauh dari memuaskan, karena zakat belum berperan besar dalam pemecahan
masalah-masalah sosial ekonomi. Persoalannya adalah pertama, bagaimana bisa
menghimpun dana dalam jumlah besar yang terkonsentrasi tetapi juga
terdesentralisasi.
Sebab selama ini zakat itu tidak dikumpulkan melainkan langsung di
distribusikan oleh muzakki kepada perorangan, walaupun sebagian juga
dikirimkan kepada organisasi-organisasi yang menyebarkan surat permohonan
zakat. Kedua adalah bagaimana dana zakat bisa di distribusikan, sehingga secara
efektif ikut memecahkan persoalan sosial ekonomi.142
Monopoli pemerintah atas pengelolaan zakat, ternyata tak berlaku
untuk semua jenis objek zakat. Menurut para fuqaha, harta zakat yang wajib di
kelola pemerintah adalah yang nampak (al-amwal azh-zhahirah). Yakni zakat
binatang ternak (zakat al-mawasyi) dan pertanian serta buah-buahan (zakat al-
zuru’ wa ats-tsimar).143
Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr144 memandang hal ini merupakan
tugas sebuah negara. Selain itu, beliau juga mendiskusikan khums, pajak, fay’,
dan anfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi
kemiskinan dan menciptakan keseimbangan sosial.
141 M. Dawam Rahardjo, “Peran zakat dalam mengatasi masalah sosial ekonomi”,
Bulletin UIN Syarif Hidayatullah, disampaikan pada workshop “Peran Perguruan Tinggi Islam dalam Pengelolaan Zakat”, 1 – 2 juni 2003. h.28
142 Ibid., h.28 143 “ Haruskah LAZ Berplat Merah,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 12. 144 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257
127
Salah satu poin menarik yang Sadr ciptakan145 adalah fokus eksklusif
kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial
dengan tidak mengarah pada keseimbangan standar hidup antara si miskin dan
si kaya. Para sarjana muslim setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan
tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan
mengenai standar ini tidak berarti berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang
standar kehidupan. Sebab seseorang mempunyai kesamaan standar hidup.
Namun yang terpenting, menurut penulis ini harus diterapkan secara
menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab,146 Islam akan jaya jika di praktekkan
pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam perekonomian. Jadi kehadiran
Islam bukan hanya di Masjid saja, tetapi juga di bisnis, kantor, kampus dan
sebagainya. Dengan demikian, karena umat Islam Indonesia mayoritas, maka
sistem perbankan syariah, haji, zakat, wakaf dan waris perlu di buat
peraturannya melalui undang-undang agar lebih memasyarakat.
Hemat penulis, Ini sangat relevan jika di terapkan, sistem ekonomi
syariah dapat menjadi solusi bagi kemunduran perekonomian sistem kapitalis
dan liberalis yang sedang menuju pada resesi, dengan adanya krisis ekonomi
global sekarang ini.
Dengan adanya fenomena krisis saat ini dan makin terlihatnya berbagai
keunggulan ekonomi Islam diatas, mudah-mudahan pemerintah bersedia
menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-
145 Ibid., h.257-258 146 M. Syafi’i Antonio, “Sistem Syariah juga diterima Kalangan Non Muslim,” Suara
ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9.
128
kebijakan ekonomi kedepan. Semoga Allah SWT membukakan pintu berkah
dari langit dan bumi Indonesia atas ketaatan tersebut.
C. Analisa Penulis
Untuk mempermudah pemahaman pembaca budiman, penulis sajikan
ringkasan konsep distribusi Sadr147 melalui ilustrasi sebagai berikut :
Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr
Harus dijalankan dalam semua sistem Islam
(a) Ekonomi Islam---------------Studi interdispliner
Ekonomi Islam adalah sebuah pemikiran yang membahas isu-isu ekonomi yang berkenaan dengan sebagai usaha memahami sumber-sumber keadilan yang dimiliki
Pertanyaan ‘apa yang mesti’ Bukan fiqh mu’amalat
Muncul karena konflik kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial
(b) Masalah Ekonomi Solusi dalam agama Mungkin untuk memelihara
satu sistem distribusi meskipun cara / bentuk produksi yang bervariasi
hukum yang berkaitan dengan ekonomi perlu Ijtihad untuk menghadapi proses ‘penemuan’ al-Qur’an dan Sunnah masalah-masalah kontemporer sebagai contoh ajaran yang (c) Metodologi keadilan dan ucapan para bersumber dari Imam Syi’ah tidak buta hanya mengikuti hukum-hukum satu hukum
perlu analisis yang bebas dari pemikiran barat dan pandangan dunia
Asumsi Dasar Sadr
bagian dari ummah
Orang Islam percaya akan ghaib dan akhirat - rasionalitas berbeda dengan orang ekonomi
pengawasan dalam diri
147 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.126-129
129
viecegerency panggilannya untuk tugas, tanggung jawab, pertanggung jawaban dan keadilan, membawa kearah kerjasama
Asumsi dasar
pembatasan terhadap kebebasan individu adalah hal yang wajar
kepemilikan pribadi, umum dan pemerintah (Negara) muncul secara bersamaan.
Keutamaan sistem ekonomi Islam Sadr
memberikan
kepemilikan kepada individu berdasarkan pada pekerjaan dan kebutuhan
hubungan property terutama kepemilikan Negara kepemilikan pribadi
dibatasi untuk mendapatkan hak prioritas penggunaan dan penggunaan sendiri
pemerintah menggalakan
keadilan Keutamaan memastikan distribusi
dan sumber daya alam pembuat keputusan dan alokasi sumber daya pengalaman agama dan
sosial, pemerintah Islam dengan dinamisme dan Ijtihad
memastikan keadilan sosial dengan menyediakan
standar hidup yang seimbang untuk semua
130
jaminan sosial; ditunjukan hanya untuk
kemiskinan relatif larangan riba (bunga) dan semua bentuk eksploitasi implementasi zakat dan pajak lainnya termasuk khums, kharaj, fay, anfal -
Untuk mengurangi Kemiskinan.
Distribusi kerja seseorang memiliki hak memanen tapi memiliki hasil hasil panen dari buruhnya (a) Distribusi pendapatan/kekayaan faqir kebutuhan redistribusi untuk mencapai standar hidup yang seimbang miskin tanah (dan sumber alam lainnya) tersedia bagi semua melalui pemerintah hak memanen dari prioritas penggunaan dapat dicapai melalui kerja dan kebutuhan (b) Pre-produksi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari kepemilikan pribadi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari buruh produk membatasi penyewaan dan bagi hasil (bagi ‘pemilik tanah’ sehubungan dengan batasan ukuran dari saham tanah)
memiliki hasil panen dari buruhnya
orang (buruh) adalah faktor utama dari produksi dapat menyewa pekerja lain dan
membayar upah dalam keadaan tertentu
mengganti kerugian pemilik dari factor produksi lainnya
buruh – upah atau saham laba tanah – sewa atau lahan garapan (c) Post-produksi faktor produksi modal – bagian keuntungan pengusaha – bagian keuntungan resiko dan inflasi resiko dan inflasi bukan merupakan alasan yang benar untuk mengembalikan
modal uang yang dipinjamkan
Sebelum penulis menganalisa konsep distribusi menurut Baqir Sadr,
berdasarkan analisis penulis, bahwa konsep distribusi menurut Baqir Sadr
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, politik dan
131
kondisi pada masa hidup beliau, dan faktor latar belakang dan riwayat hidup
tokoh ini.
Sadr juga seorang akademisi. Di samping itu, Sadr melengkapi
pengetahuannya dengan mendalami filsafat, teologi, sejarah, budaya,
kepemerintahan, politik dan ekonomi. Penguasaannya terhadap ekonomi dan
filsafat terbukti dalam karyanya yang monumental, seperti Iqtishaduna
(Ekonomi Kita) dan Falsafatuna (Filsafat Kita). Maka tidaklah mengherankan
kalau pemikiran Sadr dalam bidang ekonomi bercorak ekonomi normatif.
Selain itu, sikap politik Sadr yang konfrontatif terhadap Pemerintah
juga ikut mempengaruhi corak pemikiran dalam konsep-konsepnya.
1. Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr
Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam
keseluruhan dan menuntut agar dipelajari sebagai satu interdisiplin yang utuh.
Bersama-sama dengan anggota masyarakat yang membentuk agen-agen dari
sistem tersebut. Ia mengemukakan bahwa pandangan dunia Islam perlu untuk
dipelajari dan dipahami. Sebelum melakukan satu analisa yang bermanfaat
dari sistem ekonomi Islam Dalam pendekatan holistik ini, Sadr mendiskusikan
pemikiran ekonominya. dia melihat orang yang mempunyai dua hal yang
berlawanan dengan bunga, misalnya personal dan sosial. Kemunculan
berbagai masalah dan Sadr melihat solusi ada didalam agama: karenanya,
peran agama yang sangat penting di dalam sistem ekonomi Islamnya.
Menurut Sadr, Agama selalu dipegang suci oleh kaum Muslim, berbeda
132
dengan barat sekuler dan bersifat fundamental dalam menentukan bunga yang
sah dari orang demikian pula dalam menentukan batas permintaan.148
Walaupun Sadr mengakui bahwa pendekatannya adalah satu hal yang
berkaitan dengan hukum, dia tidak mempertimbangkan ekonomi Islam untuk
menjadi setara dengan Fiqh Mu’amalat (hukum yang berkenaan dengan
transaksi) atau hukum yang berkenaan dengan hak milik. Dia melihat
pemikiran ekonomi Islam sebagai fondasi agar membentuk hukum yang
berkenaan dengan ekonomi. Hukum ini menurut Sadr, adalah ditentukan dan
dengan referensi bagi teori-teori dan konsep-konsep dimana pemikiran itu
digambarkan. Dalam hal ini, Sadr percaya bahwa ada satu sistem ekonomi
yang seluruhnya tercipta dan terselesaikan, walaupun mungkin tidak secara
tegas disebut dalam sumber Islam (sebagai contoh dalam Qur’an dan Sunnah
dan fatwa-fatwa imam Syi’ah). Karenanya Sadr terus maju dengan proses
penemuannya. Dalam proses penemuannya, semua hukum ekonomi dan
perintah pengadilan, bersama-sama dengan banyak konsep yang berhubungan
dengan ekonomi dan masyarakat (seperti vicegerency, keadilan, property,
ibadah, dan lainnya), adalah mempelajari bersama-sama dan kemudian
digunakan untuk menemukan pemikiran ekonomi. Dengan kata lain, sesudah
hukum terkumpulkan, fondasi pemikiran dari hukum ini ditemukan dalam
sumber Islam. Ada juga suatu kebutuhan untuk ijtihad (tuntutan intelektual
independent), yang mana Sadr melihatnya sebagai kebutuhan untuk mengisi
kekosongan antara prinsip permanen dan hukum fleksibel, untuk menentukan
148 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.111-112
133
batas dari permintaan dan untuk mengorganisir, secara teoritis, hukum dan
konsep masuk kedalam suatu kesatuan utuh. Hal ini mendasari area fleksibel
dalam ekonomi Islam.149
Panggilan Sadr untuk membawa ijtihad membawa ke garis terdepan
peran dari mujtahid (ahli hukum independen), yang mana sebuah opini
dianggap sebagai yang dapat diotorisasi. Bagaimanapun Sadr cepat untuk
memperingatkan masalah subjektifitas, harusnya membebaskan intelektual ini
diperlebar secara jauh, karenanya menyimpang dari sumber dan konteks
aktual. Oleh karena itu, panggilannya meminta untuk sebuah pernyataan
intelektual yang berkualitas, harus didalam batas-batas pertentangan yang
diizinkan.150 Didalam ikatan ini, kita bisa kemudian mengatakan Sadr itu
memungkinkan kemungkinan dari opini-opini yang barvariasi terhadap
berbgai hal ekonomi, semua menurut hukum dan bersumber dari Qur’an,
Sunnah dan ucapan para Imam. Sebenarnya, kemampuan ini untuk menerima
opini dari berbagai mujtahidin adalah bagian dari metodologi yang diadopsi
oleh Sadr. Karena satu Mujtahid tidak benar dan tidak jujur dalam
pertimbangan, Sadr menyukai fleksibilitas ini, dari pada kepatuhan dogmatis
kepada opini satu mujtahid.151
2. Asumsi Dasar Sadr
149 Ibid., h.112 150 Pada poin ini, ada ruang untuk tidak setuju dengan Katouzian (1984) yang
menafsirkan pandangan Sadr dalam Ijtihadnya sebagai suatu hubungan dengan ukuran sewenang-wenang dari pemerintahan Shi’i, bahkan jika hal ini bertentangan dengan hadits nabi dan fatwa imam Shi’i
151 Ibid., h.113
134
Sadr tidak menerima pemikiran orang ekonomi agar supaya cocok
dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai penggantinya, kita mempunyai orang
Islam, seorang individu yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummah, yang
termotivasi oleh kepercayaan (anggapan) dan praktek religius. Tidak seperti
para ekonom konvensional, Ekonom Muslim percaya akan dunia ghaib atau
spiritual, karenanya membuat dia lebih sedikit untuk dihubungkan kedunia
materi. Hasil ini dalam arti yang berbeda dari sebuah rasionalitas dan perilaku
rasional. Tidak seperti dengan para ekonom konvensional, motivasi adalah
kepuasan pribadi yang utama, para ekonom Muslim juga diarahkan oleh
‘pengawasan dari dalam’. Konsep dari vicegerency dan keadilan meminta
tugas, tanggung jawab dan pertanggung-jawaban, yang menyiratkan batasan
tertentu terhadap satu kebebasan individual. Bagi Sadr, tidak ada pernyataan
dari perasaan yang digumamkan oleh pembatasan-pembatasan ini karena suatu
kebebasan, dan karenanya perilaku rasional harus dilihat dalam konteks
kerangka sosial orang-orang Muslim, desakan dari individu untuk bertindak
seperti para ekonom rasional dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak
masuk akal. Sebagai contoh, kelebihan bunga (riba) dalam pinjaman uang
tidak dapat diterima orang Islam, tetapi dengan orang ekonom biasanya, itu
akan menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pendapatan.152
Sadr juga tidak mempercayai pemikiran dari ‘keselarasan bunga’ ,
yang mendasari penekanan sistem kapitalis terhadap ‘kebebasan individual’.
Dia tidak menerima pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat akan
152 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.113
135
meninggi jika para individu sibuk memenuhi keinginan individual mereka,
dan cukup melihat hal seperti ini sebagai awal pembentukan permasalahan
ekonomi sosial. Daripada tergantung pada keadaan Negara untuk
menyediakan penyesuaian antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan
masyarakat, Sadr memberikan agama peranan yang penting. Ada peran untuk
pasar dan ada sebuah tempat untuk Negara tetapi jauh lebih penting lagi, ada
pengaruh penolakan dan panduan agama dalam sistem ekonomi Sadr.153
Implikasi yang lebih penting dari pandangan Islam terhadap kebebasan
adalah konsekuensinya untuk hak Kepemilikan. Sadr mengkritik yang
membandingkan dan merendahkan sistem ekonomi Islam, baik kapitalisme
atau sosialisme atau suatu percampuran sistem, tanpa berusaha untuk
memahami pandangan dunia Islam serta bagaimana nilainya menentukan
pandangan sendiri yang unik mengenai kepemilikan. Dia mengajarkan bahwa
Islam itu secara bersamaan menetapkan bentuk ynag berbeda dari
kepemilikan, misalnya. Pribadi, publik dan pemerintah, masing-masing
bekerja dalam batasan-batasanya sendiri, sebagai bentuk dari kepemilikan dia
menegaskan, adalah satu ekspresi dari satu perencanaan agama yang murni.
yang terletak didalam satu kerangka nilai dan makna yang khusus.154
Apa yang coba dikatakan oleh Sadr bahwasanya dalam mendiskusikan
ekonomi Islam, kita harus membebaskan diri-diri kita dari kerangka pemikiran
dan pengaruh orang-orang barat, dan yang menjadi dasar dari opini kita adalah
sesuai dengan pandangan kita. Ini tentu saja tidak akan ditentang oleh para
153 Ibid., h.113-114 154 Ibid., h.114
136
cendikiawan Muslim dan sejak Sadr mempertahankan dari awal bahwa dia
hanyalah mengamalkan pertanyaan ‘apa’, dia memulai untuk membangun
sistem ekonomi Islam dalam kerangka tersebut. Sebagaimana yang telah
dikerjakan Mannan dan Siddiq, untuk mendiskusikan ‘pengetahuan tentang
Ekonomi’ (sesuai dengan definisi Sadr) dan dalam pelaksanaannya, mereka
menerima analisis neo-klasikal. Ini juga yang Naqvi dan yang lainnya, seperti
Sadr telah kupas. Mereka merasa bahkan dalam pengetahuan tentang ekonomi,
kita harus membangun kerangka analisis kita sendiri. Sadr, tentu saja tidak
memposisikan dirinya dalam garis ini karena dia menghindari semua isu ilmu
pengetahuan. Baginya, pandangan dunia Islam dan kerangkanya, bersama-
sama dengan moral dan dimensi spiritualnya, yang membedakan sistem
ekonomi Islam dengan semua sistem lain. Bagaimanapun juga tidak
mendiskusikan pengetahuan tentang ekonomi, meninggalkan kemandegan
dalam pandangan Sadr, kemandegan yang harus ditangani oleh ahli ekonomi
Islam.155
3. Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr
Adanya Karakteristik Sistem Ekonomi Islam,156 di antaranya :
a. Hubungan kepemilikan
155 Ibid., h.114 156 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.114
137
Sadr memandang Sistem Ekonomi Islam mempunyai perbedaan bentuk
dari kepemilikan bersama. Sadr menjelaskan bentuk kepemilikan ini
dibawah pemimpin-pemimpin berikut ini :
1) Kepemilikan pribadi
2) Kepemilikan umum
i) Kepemilikan pribadi
ii) Kepemilikan pemerintah
Bagi Sadr, kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak,
prioritas penggunaan dan hak untuk menghentikan yang lain dari
penggunaan kepemilikan orang. tidak ada beberapa hal seperti
kepemilikan aktual kepada seorang individu. dalam hal ini pandangan Sadr
serupa dengan Teleghani, yang berbeda antara kepemilikan (adalah Allah
sendiri) dan milik (yang mungkin menjadi diizinkan kepada individu).157
Perbedaan antara kepemilikan masyarakat dan pemerintah yang
paling mendasar adalah didalam penggunaan beberapa property.
Sementara ‘Properti Umum’ harus digunakan untuk kemaslahatan
masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya), property pemerintah
tidak hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan bersama, tetapi juga
untuk masyarakat bagian tertentu, jika negaranya terpecah. Walaupun
Katouzian (1983) menemui itu sulit untuk membuat pengertian
operasional dari perbedaan ini benar-benar mencegah dari monopoli total
dari keputusan pemerintah. Selain itu, meskipun kepemilikan Negara
157 Ibid., h. 115
138
adalah norma dalam pembagian Sadr mengenai sumber alam, kepemilikan
pribadi dapat dicapai dengan cara bekerja atau karyawan, dan kaitannya,
akan hilang jika pekerjaannya berhenti.158
Menarik untuk dicatat bahwasanya Naqvi dan Teleghani (meskipun
pandangan mereka tidak tegas atau tetap) menekankan kepemilikan
bersama (kolektif) dan kepemilikan masyarakat berturut-turut, Sadr
meletakan hampir seluruh kepercayaan terhadap kepemilikan pemerintah
(Negara), karenanya Nampak menempatkan otoritas lebih besar ditangan
pemerintah (wali amr).159
b. Membuat keputusan, Alokasi Sumber Daya dan Kesejahteraan Umum:
Peran dari sebuah Negara
Sangat jelas fakta bahwasanya kepemilikan pemerintah
mendominasi sistem ekonomi Sadr, mendemonstrasikan peran yang sangat
penting dari sebuah Negara. Negara, direpresentasikan oleh wali- amr
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan keadilan itu
berlaku. ini yang dicapai berbagai fungsi:
c. Distribusi dari sumber alam kepada individu berdasarkan pada kesediaan
dan kapasitas mereka untuk bekerja.
d. Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah didalam
penggunaan sumber-sumber daya.
e. Memastikan keadilan sosial.
158 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.115 159 Ibid., h. 115
139
Ketiga fungsi pemerintah tersebut sangat penting karena konflik yang
dapat muncul sehubungan dengan perbedaan alami didalam kapasitas
individual (intelektual dan fisik). Sehubungan dengan perbedaan ini,
pendapatan akan berbeda dengan terciptanya kelas ekonomi. Karena itu,
pemerintah harus menyediakan keadilan satu standar hidup untuk semua
(daripada persamaan pendapatan). Dalam hal ini, pemerintah juga
dipercayakan untuk tugas didalam menyediakan jaminan sosial untuk semua.
Menurut Sadr, dapat dicapai dengan menggalakkan persaudaraan (lewat
pendidikan) diantara para anggota masyarakat dan melalui kebijakan
pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik
dapat membantu orang miskin. dan dengan cara mengatur kegiatan ekonomi
untuk memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari
eksploitasi.160
Perlunya untuk memastikan keadilan sosial dan jaminan keamanan
untuk semua didasarkan pada prinsip bahwasanya semua sumber alam dan
hasilnya harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah, tetap mempercayakan
dengan kepemilikan, adalah batasan tugas untuk meyakinkan ini dengan
membantu siapa saja yang tidak membantu diri mereka sendiri.161
Terakhir, pemerintah atau lebih tepat wali amr, dipercaya untuk
menciptakan kedinamisan dalam menafsirkan teks sesuai dengan zaman
sekarang ini. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun dan secara tidak
langsung Sadr memandang mujtahidun sebagai pemerintah. Maksudnya tiap
160 Ibid., h.115-116 161 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116
140
pemerintah memiliki ahli hukum atau pemerintah mempunyai beberapa
bentuk dewan penasehat yang senior.162
f. Larangan Riba dan Pengamalan zakat
Cukup aneh, Sadr tidak mendiskusikan riba seperti yang orang
harapkan. Selain daripada itu, penafsirannya mengenai Riba dibatasi hanya
pada diskusi tentang bunga dan modal uang . Dalam hal ini, Taleghani dan
Naqvi menyediakan diskusi yang komprehensif mengenai isu ini.163
Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr melihatnya sebagai tugas dari
pemerintah. Bersamaan dengan zakat, Sadr juga mendiskusikan khums, fay
dan anfal, demikian pula pajak lain yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan
untuk tujuan pengentasan kemiskinan serta untuk menciptakan keadilan
sosial.164
Bagaimanapun, poin yang menarik dimana Sadr sendiri memfokuskan
pada kemiskinan yang relatif. Walaupun kita dapat menyetujui bahwa
kemiskinan relatif adalah satu konsep yang penting terutama dalam sasaran
keadilan sosial Sadr, argumentasinya dimana menentukan tingkat kemiskinan
absolut – atau sebagai dia tetapkan, ‘ditetapkan’ tingkat kemiskinan, tidak
akan perlu mendorong keadilan standar hidup antara orang miskin serta kaya
adalah lemah. Para Cendikiawan Muslim setuju bahwasanya harus ada satu
standar hidup dasar tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum
bahwa setiap manusia adalah dijamin. pengaturan standar ini tidak
menghentikan kita dari proses untuk mengurangi kekosongan didalam standar
162 Ibid., h.116 163 Ibid., h.116 164 Ibid., h.116
141
hidup seperti yang diusulkan Sadr. inti dari Sadr oleh karenanya tidak dapat
diterima, akan menjadi situasi yang aneh dimana suatu Negara yang sangat
miskin tidak mampu menyediakan keperluan-keperluan yang paling mendasar
bagi orang-orang, tidak akan dipertimbangkan sebagai akibat kemiskinan yang
melanda, sebagai alasan sederhana bahwa semua orang mempunyai standar
hidup yang sama.165
4. Distribusi
a. Kepemilikan pemerintah adalah jenis dari kepemilikan yang paling sering,
walaupun memetik hasil hak adalah dapat dicapai dari pemerintah.
b. Kepemilikan pribadi diizinkan hanya dalam jumlah situasi yang
terbatas166:
i. Tanah tanaman dimana orang menerima Islam dengan sukarela (Islam
rja
in dari peningkatan atau
lewat da’wah)
ii. Jika menetapkan dalam perjanjian (hanya untuk tanah tanaman)
iii. Mineral yang tersembunyi yang memerlukan usaha, dan hanya untuk
sejumlah mineral yang tergali serta area yang tepat dari pertimbangan
iv. Kekayaan lain, misalnya. melalui satu pekerjaan atau tenaga ke
seperti menangkap burung, memotong kayu bakar, dan sebagainya.
c. Kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas
menggunakan dan hak untuk mencegah yang la
menggunakan property dalam satu kepemilikan.
165 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116-117 166 Ibid., h. 117-120
142
d. Untu
tu yang sangat terbatas,
dan kare
k mineral dan air, individu diizinkan untuk menggunakan apa yang
mereka butuh.
Dua permasalahan mungkin muncul mengenai pandangan Sadr
tentang kepemilikan dan hubungannya untuk hak distributif. Pertama,
permasalahan keterkaitan. Sejalan dengan Taleghani, Klasifikasi Sadr menjadi
dasar dimasa lalu, ketika Islam meluas; orang-orang akan mengatakan ini
adalah pandangan yang ketinggalan zaman. Bagaimana pun terhadap inspeksi,
masalah ini relevan mungkin sejak pertama kali nampak. Mari kita ambil
Malaysia sebagai satu contoh untuk menggambarkan klasifikasi Sadr.
Semenjak orang-orang Muslim di Malaysia masuk Islam dengan sukarela,
Malaysia akan muncul dibawah kategori daratan dari perjanjian, Semua
daratan ditanami oleh manusia pada waktu itu akan diakui milik pribadi lain
halnya hutan dan daratan mati (barang sisa atau tak serasi) akan menjadi
property pemerintah, dengan memetik hasil hak dapat dicapai. lagi pula,
penafsiran Sadr tentang kepemilikan pribadi adalah sa
nanya tidak sangat berbeda dari memetik hasil hak. Oleh karena itu,
Klasifikasi Sadr tidak sekuno seperti yang Nampak.167
Kedua, mungkin masalah yang lebih penting sehubungan dengan
ukuran perizinan dari hak untuk daratan. Sadr mengusulkan batasan terhadap
ukuran property. untuk hal ini, kita harus meneruskan teori distribusi pra-
produksinya. Dari struktur bagian atas (bangunan bagian atas) atau ajaran
hukum, Sadr melanjutkan lagi untuk menemukan pemikiran atau teorinya.
167 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
143
Cukup sederhana, teorinya mempunyai aspek positif dan aspek negatif. Sisi
negatif mengatakan bahwa tanpa tenaga kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi.
Sisi positif menyatakan kesimpulannya, misalnya. Tenaga kerja adalah sumber
hak dan property yang cocok dalam kekayaan alami. Sadr lebih lanjut
menyeleksi bahwa karyawan dilibatkan mesti ada jiwa seorang karakter
ekonom, seperti melibatkan pemanfaatan dan laksanakan dengan paksaan.
Bagaimanapun dalam bagian ekonomi, tenaga kerja memberikan bermacam-
ari
dan hak
rang atau
mera
aimanapun, bahwasanya karyawan tidak
memberi
macam tingkatan hak tergantung pada sifat alami sumber alam dan
keadaannya.168
a. Karyawan ekonom memberikan hak terhadap kepemilikan pribadi d
produk-produk karyawan itu sendiri.
b. Karyawan ekonom memberikan hak kepemilikan untuk sumber alam
c. Karyawan ekonom memberika prioritas individu dari penggunaan
untuk mencegah yang lainya dari penggunaan property seseo
mpasnya (kecuali sumur, sumber mata air, dan sebagainya).
d. Semua hak ini tidak berlaku ketika karyawan ekonomi berhenti.
Penting untuk dicatat, bag
hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya
untuk produk-produk dari tanah.169
Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak
yang lebih terhadap tanah itu (termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain
yang menggarap tanah tersebut tanpa izinnya) dibandingkan seseorang yang
168 Ibid., h.120 169 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
144
bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai
alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan
memerlukan lebih banyak usaha dan, lebih banyak hak. Poin ini penting ketika
kita membicarakan masalah distribusi setelah produksi (post-production
distribution). Setelah dipertimbangkan semuanya, kepemilikan sesuai tanah
dan sumber alam yang lain milik pemerintah (dengan beberapa pengecualian)
dan individu harus membayar pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr
mengambil pandangan ini berdasarkan pada konsep khilafah
(vicegerency)nya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan dipercayakan
dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam
lain harus siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan pemerintah. Dengan
ini, mari kita kembali kepertanyaan mengenai ukuran saham. Meskipun Sadr
ang terlibat
2. Pemi
tidak secara jelas mengatakan bahwa ukuran tanah harus dibatasi,170 dia
menyebutkan 2 hal:
1. Tanah pribadi akan hanya menjadi tanah pribadi selama ada karyawan
(buruh) y
lik hak dibeikan kepada tingkat kesediaan dan kemampuan untuk
bekerja.
Apa yang dimaksud dengan kapasitas bekerja? dibolehkan bagi
orang kaya (pemilik tanah) untuk menjalankan petani bagi hasil tak terbatas
sebagai penyedia benih ataupun pupuk, atau bahkan untuk membayar hak dari
pemerintah diatas lahan besar tanah itu, tetapi menggarap tanah dengan sistem
170 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
145
petani bagi hasil. Pandangan Sadr mengenai tenaga kerja ekonomi tidak
membolehkan akan hal ini dan kerenanya harus dibatasi ukuran saham tanah
tersebut.
ana
kita da
bul kecenderungan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak mempertimbangkan faktor eksternal : agama,
keluarga, lingkungan dan sebagainya.
hal ini yang membuat lebih jelas dalam pandangan tentang distribusi
pasca produksi.171
Sementara itu, dalam melakukan distribusi pendapatan yang
berkeadilan, dapat saja pemerintah memungut pajak atau zakat yang wajib di
bayar dalam sistem ekonomi konvensional dan dalam ssitem ekonomi syariah.
Namun apakah pungutan wajib tersebut akan mengurangi utility dari orang
yang membayarnya atau malah meningkatkan utility-nya.172 Atau bagaim
pat menerangkan perilaku orang memberikan donasi dalam sistem
ekonomi konvensional atau infak sedekah dalam sistem ekonomi syariah.
Dalam menganalisa konsep ini, penulis menggunakan dua definisi
rasionalitas dalam ekonomi konvensional, yaitu present aim dan self
interest.173 Dalam definisi present aim yang penting adalah bagaimana
mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Jadi
dalam perilaku present aim dominasi perspektif subyektif sangat tinggi
terhadap suatu masalah sehingga tim
171 Ibid., h.121 172 Sayidina Abu Bakar r.a pernah menginfakkan seluruh hartanya, dan hanya
meninggalkan “Allah dan Rasul-Nya” kepada keluarganya. Sayidina Umar r.a menginfakkan separuh dari hartanya. Sa’ad ibn Rabi’ dari kaum Anshar juga pernah menawarkan membagi dua hartanya bahkan menawarkan salah satu dari dua istrinya kepada Abdurrahman ibn Auf, namun ditolak oleh Ibn Auf. Ibn Auf mendoakan “ Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, “ dan bertanya “tunjukkan aku di mana pasar.”
173 Robert Frank. Microeconomics and Behavior 2nd ed. (New york : Mc Graw, 1994). h.251
146
Misalnya perilaku korup bagi definisi present aim174 bisa dikatakan
tindakan rasional, karena ia berasionalisasikan dengan keadaan dirinya.
Sedangkan dalam definisi self interest, motif yang mendorong ia melakukan
suatu perbuatan. Perspektif subyektif dari perilaku ini lebih didasarkan oleh
pertimbangan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Dalam kerangka definisi self interest dapat175 menerangkan perilaku
pemberian donasi, infaq, sedekah, dan tindakan menolong lainnya.176
Misalnya Hasan (IA) yang tidak saja memikirkan pendapatannya tapi juga
memikirkan pendapatan Husein (IU). Secara matematis fungsi utility (Uf)
ialah :
Uf = f (Mf. Mz)
Di mana :
Uf = utility Hasan
Mf = Pendapatan Hasan
Mz = Pendapatan Husein
174 He darsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta : EKONISIA
Fakultas Ekonomi UII, 2007), h.247 ri Su
175 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.223
Peningkatan Kepuasan
Pend
apat
an H
asan
176 Dalam istilah ekonomi konvensional disebut sifat altruism sebagai lawan kata sifat selfish.
147
Pendapatan Husein
Gambar diatas177 menunjukan pendapatan Hasan pada sumbu X, dan
pendapatan Husein pada sumbu Y. Kurva indifference Hasan memiliki slope
negatif yang berarti ia dapat menerima pendapatannya berkurang untuk
kenaikan bagi pendapatan Husein. Perhatikan pula bentuk kurva indifference
Hasan yang melengkung yang menunjukan diminishing MRS, yaitu semakin
besar pendapatan Hasan, semakin besar jumlah yang ingin diberikannya
kepada Husein agar pendapatan Husein bertambah banyak.
Sebagaimana analisis penulis diatas, penulis berpendapat jika konsep
distribusi Baqir Sadr dapat diterapkan, maka angka kemiskinan akan semakin
berkurang. Sebaliknya, jika tidak diterapkan, maka angka kemiskinan di
Indonesia akan semakin meningkat.
Adapun strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi kendala zakat
antara lain :
1). Zakat perlu disosialisasikan bukan saja pada wilayah-wilayah keagamaan
saja. Anjuran berzakat tidak hanya di lembaga pendidikan agama, seperti
pondok pesantren, sekolah-sekolah agama Islam dan lain semacamnya,
tetapi juga di sekolah-sekolah umum.
177 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.223-224
148
2). Timbulnya kecenderungan zakat disamakan dengan pajak disebabkan
masyarakat kurang memahami esensi zakat. Demikian juga, keadaan ini
menggambarkan bahwa zakat dianggap kurang relevan dengan kondisi
ekonomi saat ini. Oleh karenanya, memahamkan zakat tidak sekedar
pendekatan agama tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
3). Koordinasi antara lembaga zakat perlu ditingkatkan. Di satu sisi hal ini
akan bisa digunakan meningkatkan kinerja di masing-masing lembaga, di
sisi lain menunjukan kondisi lembaga zakat yang baik pada masyarakat.
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dapat diawali dari
keadaan ini.
4). Keberadaan UU yang telah dibuat pemerintah memberikan peluang bagi
masyarakat untuk membuka lembaga zakat sebanyak-banyaknya.
Walaupun kenyataannya Pemerintah kurang efektif dalam
mengimplementasikan UU ini, tetapi setidaknya UU ini menjadi legitimasi
bagi umat Isam dalam mengembangkan lembaga zakat.
BAB IV
TIINJAUAN TERHADAP KONSEP DISTRIBUSI MENURUT
MUHAMMAD BAQIR AS-SHADR
A. Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr
Distribusi (bersama-sama dengan hak milik) menduduki satu bagian
penting dari pemikiran Sadr. Hampir sepertiga dari Iqtishaduna-nya
mendiskusikan secara mendalam tentang distribusi dan hak milik. Sadr1 membagi
bahasannya kedalam dua bagian, misalnya, distribusi Pra produksi dan distribusi
pasca produksi. Menjadi seorang ahli hukum tradisional, penampilan Sadr
menjadi dasar atas ajaran hukum yang berkenaan dengan kepemilikan dan hak
distributif.
1. Teori Disribusi Pra Produksi
Pada dasarnya mendiskusikan distribusi dari tanah dan sumber
alam yang lain, dimasukan sebagai kekayaan primer. Dalam
mendiskusikan status kepemilikan sumber alam, Sadr 2membagi sumber
alam ke dalam empat kategori, misalnya. daratan, bahan baku (sumber
alam) di daratan, air alami dan sisanya kekayaan (sungai/hasil laut,
bintang, tumbuh-tumbuhan).
Sebuah ringkasan dari pandangannya didaratan (tanah) dan
kategori yang lain dari sumber alam dapat dilihat pada tabel berikut :3
1 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.117 2 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung :
Mizan, 2001). h.191 3 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117
74
75
Kepemilikan Tanah
Kategori
Tanah / Bentuk Tanah yang ditanami
(Pertanian) Tanah Kosong (Lahan tidak
kepakai) Secara alami membentuk lahan
yang tertanami (hutan) Penaklukan tanah Kepemilikan umum (khalayak);
penduduk membayar pajak yang digunakan untuk masyarakat secara keseluruhan
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya lewat buruh; pajak dibayar kepada pemerintah
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk menggarapnya
Tanah hasil da’wah Kepemilikan pribadi oleh para penduduk Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperolah hak untuk menggarapnya
Kepemilikan pemerintah; individu dapat memperoleh hak untuk mengarapnya
Tanah hasil perjanjian Tergantung pada perjanjian; kepemilikan pribadi atau umum (masyarakat)
Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah
Tanah yang lainya Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah Kepemilikan pemerintah
Kepemilikan Sumber Alam lainya
Sumber
Alam / Bentuk Zahir (terbuka)
(Sudah dalam bentuk yang terselesaikan) Batin (tersembunyi)
(belum dalam bentuk yang terselesaikan) i) Sumber Alam di tanah (minyak, batubara, dan sebagainya)
Kepemilikan umum dan kepemilikan pemerintah (Negara)
(a) Jika dekat kepermukaan-kepemilikan umum atau pemerintah
(b) Jika didalam / membutuhkan usaha – kepemilikan pemerintah adalah aturannya tetpi kepemilikan pribadi untuk sejumlah penggalian dan area tambang
ii) Air alami Lautan, sungai-kepemilikan umum Sumur, dan sumber mata air-kepemilikan umum dan hanya prioritas penggunaan
iii) Kekayaan alam lainya Kepemilikan pribadi dibolehkan lewat bekerja (menangkap burung, memotong kayu bakar)
a. Distribusi Kekayaan (Publik) Pada dua Tingkatannya
Sadr4 memandang sistem ekonomi Islam memiliki format kepemilikan
bersama yang berbeda. Menurutnya, format kepemilikan tersebut ada dua yakni
kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan secara bersama; (i) Kepemilikan
publik, (ii) milik negara.
Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak
berguna untuk menghentikan orang lain dari penggunaan milik seseorang. Dalam
prakteknya tidak ada kepemilikan pada individu. Hal ini sama dengan pendapat
4 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer
,( Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255
76
Taleghani (seorang alim) yang membedakan antara kepemilikan (hanyalah Allah
semata) dan pemilikan (yang dapat diwarisi kepada individu).5
Sadr6 membagikan Distribusi kekayaan berjalan pada dua tingkatan; yang
pertama adalah distribusi sumber-sumber produksi, sedangkan yang kedua adalah
distribusi kekayaan produktif.
Yang dimaksud dengan sumber-sumber produksi adalah; tanah, bahan-
bahan mentah, alat-alat dan mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi beragam
barang dan komoditas, yang mana semua ini berperan dalam [proses] produksi
pertanian (agricultural) dan [proses] produksi industri atau dalam keduanya.7
Yang dimaksud dengan kekayaan produktif adalah komoditas (barang-
barang modal dan aset tetap [fixed asset] yang merupakan hasil dari proses
kombinasi sumber-sumber produksi yang dilakukan manusia.8
Jadi, ada yang dinamakan primer dan ada yang dinamakan kekayaan
sekunder adalah barang-barang modal yang merupakan hasil dari usaha (kerja)
manusia menggunakan sumber-sumber tersebut.
Diskusi tentang distribusi harus mencakup kedua jenis kekayaan itu;
kekayaan induk dan kekayan turunan, yakni sumber-sumber produksi dan barang-
barang produktif.9
Jelas bahwa distribusi sumber-sumber produksi yang dasar mendahului
proses produksi itu sendiri, karena manusia hanya melakukan aktifitas produktif
5 Ibid.h.255 6 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.393 7 Ibid., h.393 8 Ibid., h.393 9 Ibid., h.393
77
yang sesuai dengan metode atau cara melakukan aktivitasnya dalam
mendistribusikanya sumber-sumber produksi.
Jadi yang pertama adalah sumber-sumber produksi, baru kemudian
produksi. Berkenaan dengan distribusi kekayaan produktif, ia terkait dengan
produksi dan bergantung padanya, karena ia menguasai produk yang pada
gilirannya menghasilkan produksi.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang menjadi titik awal atau tingkatan
pertama dalam sistem ekonomi Islam adalah distribusi, bukan produksi
sebagaimana dalam ekonomi-politik tradisional. Dalam sistem ekonomi Islam,
distribusi sumber-sumber [produksi] mendahului proses produksi, dan setiap
organisasi yang terkait dengan proses produksi otomatis berada pada tingkatan
kedua.10
b. Sumber Asli Produksi
Dalam ekonomi politik11, sumber-sumber produksi terbagi ke dalam tiga
kriteria sebagai berikut.
1) Alam.
2) Modal (barang-barang modal)
3) Kerja, termasuk organisasi yang dengannya sebuah proyek (rencana)
disusun dan di jalankan.
[Barang-barang] modal adalah kekayaan yang dihasilkan (produced
wealth) dan bukan merupakan sumber asli produksi, karena setiap barang jadi
(finished good) dihasikan oleh kerja manusia lalu pada gilirannya berperan
10 Ibid., h.393 11 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.152
78
menghasilkan kekayaan lagi. Misalnya, sebuah mesin yang memproduksi tekstil
bukanlah sebuah kekayaan yang murni natural. Mesin tersebut adalah bahan
natural yang telah dibentuk oleh kerja manusia dalam sebuah proses produksi.12
Kebutuhan (hajat) dan kerja (amal) adalah suatu perangkat distribusi,
dalam perspektif Islami kerja adalah alat distribusi paling primer dipandang dari
sudut kepemilikan. Orang yang bekerja akan memetik hasil dan memilikinya.13
Sedangkan kebutuhan adalah perangkat distribusi primer sebagai
pernyataan sebuah hak manusia yang bersifat esensial dalam kehidupan.
Masyarakat Islam mengakui dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensial.
Perangkai ketiga menurut Sadr menambahkan properti sebagai perangkat
distribusi.14
Dalam Islam pekerja konsep sentral yang menurunkan properti, dalam
perspektif Sadr properti menjadi sebuah elemen sekunder distribusi dan selalu di
batasi oleh satu khazanah agama. Properti dalam pengertian Sadr merupakan alat
distribusi sekunder melalui aktivitas komersial yang diizinkan Islam dalam syarat-
syarat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keadilan
sosial.15
Sementara kerja adalah sebuah elemen abstrak dan immaterial, bukan
sebuah faktor material yang dapat masuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi
ataupun kepemilikan publik.
12 Ibid., h.152 13 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung : Mizan, 2001), h.180 14 Ibid., h.181 15 Ibid., h.181
79
Atas dasar ini, hanya alam yang dapat menjadi subjek kajian kita saat ini,
karena ia merupakan unsur material yang belum mengalami [proses] produksi.16
c. Perbedaan Berbagi Posisi Doktrinal ihwal Distribusi Sumber-sumber
Alam untuk Produksi
Islam berbeda dari kapitalisme dan Marxisme dalam kekhususan-
kekhususan dan perincian-perincian saat mengalami masalah distribusi sumber-
sumber alam untuk produksi (mashadir ath thabi’ah al ‘intaj).17
Islam membatasi kebebasan individu dalam memiliki sumber-sumber
tersebut dari bentuk-bentuk produksi. Karena masalahnya menurut Islam
Bukanlah terletak pada kebutuhan akan suatu sistem distribusi instrument (sarana)
sehingga sistem distribusi berubah setiap kali produksi demi pertumbuhannya
membutuhkan suatu sistem [distribusi] baru.18
Jadi, yang dibutuhkan adalah pemenuhan segenap kebutuhan dan
keinginan itu dalam kerangka manusiawi, dimana seorang individu manusia bisa
menumbuh-kembangkan eksistensinya sesuai dengan kerangka tersebut.
Ketika hubungan diantara manusia terjalin dan kemudian masyarakat
terwujud, maka akan muncul berbagai kebutuhan bagi kebutuhan dan keinginan
masyarakat melalui institusi kepemilikan bersama atas sumber-sumber produksi
tertentu.19
Banyak individu yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya melalui
kepemilikan pribadi. Para individu tersebut akan tertekan karena tidak bisa
16 Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta : Penerbit Zahra,
2008), h. 397 17 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.397 18 Ibid., 398 19 Ibid., 398
80
memenuhi berbagai kebutuhanya, akibatnya kesetimbangan sosial akan terganggu.
Disini Islam memunculkan bentuk ketiga dari institusi kepemilikan, yakni
kepemilikan Negara, yang dengannya kepala Negara (waliyyul amr) bisa menjaga
keseimbangan itu.20
Dengan cara inilah distribusi sumber-sumber alam untuk produksi
dijalankan, yakni dengan membagi sumber-sumber tersebut kedalam tiga institusi
dan kepemilikan; kepemilikan pribadi, kepemilikan publik atau kepemilikan
bersama, dan kepemilikan Negara.21
Perbedaan antara kepemilikan publik dan negara adalah sebagian besar
dalam penggunaan properti tersebut. Tanah negara harus digunakan untuk
kepentingan orang (seperti rumah sakit atau sekolah). Sedangkan milik negara
tidak hanya untuk kepentingan semua, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat
tertentu, jika negara telah memutuskan. Walau pun sulit membuat pengertian
operasional dari perbedaan tersebut, perbedaan ini mencegah total monopoli yang
diputuskan oleh suatu negara.
Selain itu, dalam pembagian mengenai sumber alam menjadi norma milik
negara, kepemilikan pribadi dapat dicapai oleh pekerjaan atau tenaga kerja. Hal
ini sesuai jika pekerjaan berhenti maka kepemilikan akan hilang.22
d. Sumber-sumber Alam untuk Produksi
Dalam ekonomi Islam, Sadr23 membagi sumber-sumber produksi ke dalam
beberapa kategori.
20 Ibid., 399 21 Ibid., 399 22 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 255-256
81
1) Tanah. Ini adalah kekayaan alam yang paling penting, dimana tanpanya
hampir mustahil manusia bisa menjalankan proses produksi dalam bentuk
apapun.
2) Substansi-substansi primer. Berbagai mineral yang terkandung diperut
bumi, seperti batubara, belerang, minyak, emas, besi, dan lain sebagainya.
3) Aliran air (sungai) alam. Salah satu unsur penting dalam kehidupan
material manusia, yang berperan besar dalam produksi dan system
perhubungan agrikultural.
4) Berbagai kekayaan alam lainnya. Terdiri atas kandungan laut, seperti
mutiara dan hewan-hewan laut; kekayaan yang ada dipermukaan bumi,
seperti berbagai jenis hewan dan tumbuhan; kekayaan yang tersebar
diudara, seperti berbagai jenis burung dan oksigen; kekayaan alam yang
“tersembunyi”, seperti air terjun yang bisa menghasilkan tenaga listrik
yang dapat dialirkan melalui kabel melalui titik mana pun; juga kekayaan
alam lainnya.
1) Tanah
Syariah membagi tanah yang dianeksasi Daarul Islam (Negara Islam) ke
dalam tiga bentuk kepemilikan; kepemilikan publik, kepemilikan Negara, dan
kepemilikan pribadi.24
23 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.156-157 24 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.159
82
Guna mengetahui berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan
tanah, Sadr membagi tanah Islam ke dalam sejumlah kelas atau kategori, lalu
membahas masing-masing kelas tersebut berikut status kepemilikannya :
a) Tanah yang Masuk Wilayah Islam lewat Penaklukan (Fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan Darul Islam
melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan
banyak belahan lain dunia Islam.25
Saat penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama. Ada
tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha manusia yang tercurah untuk
menyuburkan tanah tersebut atau untuk tujuan lain demi kepentingan manusia.
Ada tanah yang subur secara alami tanpa intervensi manusia. Ada juga tanah
yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia maupun tangan
alam. Dalam bahasa fiqih, tanah seperti ini biasa disebut tanah mati.26
Itulah tiga jenis tanah yang terbedakan oleh keadaannya ketika
dianeksasi oleh Islam. Dalam Islam, tanah-tanah tersebut ada yang mendapat
status milik Negara, sebagaimana akan kita lihat nanti.
(1) Tanah yang Di garap oleh Tangan Manusia pada Saat Penaklukan
Jika sebidang tanah saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh
tangan manusia, dan ia berbeda dalam penguasaan seseorang, dimana
orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka tanah tersebut menjadi
milik bersama seluruh Muslim, baik generasi Muslim saat itu (saat
penaklukan) maupun seluruh generasi Muslim dimasa datang.
25 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973)., h.400 26 Ibid., h.401
83
Jadi, kaum Muslim-lah ‘setiap periode sejarah’ yang menjadi
pemilik tanah tersebut tanpa adanya diskriminasi antara individu Muslim
yang satu dengan individu Muslim yang lain. Menurut hukum Islam,
seseorang individu tidak bisa menguasai tanah tersebut dan menjadikannya
milik pribadi.27
Penting untuk dicatat,28 bahwasanya karyawan tidak memberi
hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen, tetapi hanya untuk
produk-produk dari tanah.
Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak
yang lebih terhadap tanah itu,29 dibandingkan seseorang yang bekerja di
tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami, sebagai alasan
sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong mungkin akan
memerlukan lebih banyak usaha dan lebih banyak hak.30
Seorang ulama besar Najafi,31 dalam kitab Al-Jawahir-nya mengutip
dari sejumlah kitab-sumber fikih seperti Ghunya, Al-Khilaf dan At-
Tadzkirah bahwa terdapat konsensus di antara fikih Imamiyyah mengenai
aturan ini. Mereka sepakat mengenai aplikasi prinsip kepemilikan publik
atas tanah yang merupakan tanah garapan saat dianeksasi oleh Islam.
27 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.160 28 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995)., h.120 29 termasuk kebebasan untuk mencegah orang lain yang menggarap tanah tersebut tanpa
ijinnya. 30 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995)., h.121 31 Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra,
2008), h.160
84
Demikian pula, Al-Mawardi mengutip Imam Malik yang
mengatakan bahwa tanah taklukan harus menjadi milik kaum Muslim
[yang dikelola oleh Negara] sejak saat ia ditaklukan, dimana waliyyul amr
(kepala Negara Islam) tidak membutuhkan penunjukan tertulis untuk
mulai mengelolanya. Inilah arti lain dari istilah ‘milik bersama yang di
kelola oleh negara’.32
(2) Tanah Mati pada Saat Penaklukan
Sebidang tanah yang saat masuk ke pangkuan Islam merupakan tanah
yang tak tergarap oleh tangan manusia ataupun tangan alam, maka ia
menjadi milik Imam. Tanah seperti ini mendapat status ‘milik negara’. Ia
tidak termasuk ke ruang lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah
tersebut sama dengan tanah kharaj, namun keduanya berbeda dalam hal
status kepemilikannya.33
Tanah yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan dipandang
sebagai milik bersama umat Muslim, sedangkan tanah yang tak tergarap
(tanah mati) saat masuk ke pangkuan Darul Islam dipandang milik
Negara.34
(3) Tanah yang subur secara Alami pada saat Penaklukan
Banyak fakih berpendapat bahwa tanah yang subur secara alami pada
saat penaklukan seperti hutan dan lain sebagainya memiliki status
32 Ibid., h.161
33 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.413 34 Ibid., h.413
85
kepemilikan yang sama dengan tanah mati. Mereka berkeyakinan bahwa
tanah-tanah semacam ini menjadi milik Imam.35
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada sejumlah riwayat dari
para Imam (Ahlul Bait) yang menyatakan bahwa “Setiap tanah tak bertuan
adalah milik Imam.” Riwayat ini memberikan Imam hak kepemilikan atas
setiap tanah tak bertuan, hutan-hutan, dan tanah-tanah sejenis lainnya.
Tanah tidak di miliki oleh siapa pun kecuali bila ia digarap, sementara
hutan disuburkan oleh Alam tanpa campur tangan individu manapun. Atas
dasar itu, dalam syari’ah keduanya dipandang tidak bertuan, dan
konsekuensinya menjadi subjek prinsip kepemilikan negara.36
b) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Dakwah
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah
yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik
bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lain yang
tersebar di dunia Islam.37
Tanah-tanah hasil dakwah, sebagaimana pula tanah-tanah taklukan, dibagi
menjadi dua jenis. Pertama, tanah yang digarap oleh para penduduknya dan
mereka menerima masuk Islam secara sukarela. Kedua, tanah yang subur secara
alami seperti hutan, serta tanah yang pada saat masuk ke pangkuan Islam
merupakan tanah mati.38
35 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.421 36 Ibid., h.421 37 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.190 38 Ibid., h.190
86
Berkenaan dengan tanah mati di daerah yang para penduduknya menjadi
Muslim secara sukarela,39 status kepemilikannya sama dengan tanah taklukan
yang pada saat penaklukan merupakan tanah mati. Prinsip kepemilikan negara dan
aturan-aturan yang sama berlaku atas keduanya. Tanah taklukan yang pada saat
penaklukan merupakan tanah mati secara umum dipandang sebagai anfal
(rampasan perang yang hak penguasaan dan pengelolaannya berada di tangan
Nabi Saw, atau Imam sebagai kepala negara), dan anfal adalah milik negara.
Demikian pula tanah-tanah yang subur secara alami yang masuk ke
pangkuan Islam melalui dakwah, mereka juga menjadi milik negara atas dasar
prinsip hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah tak bertuan adalah bagian
dari anfal.”40
Namun, walaupun keduanya adalah milik negara, ada perbedaan antara
tanah mati dan tanah yang subur secara alami. Seorang individu dapat memiliki
hak spesifik atas tanah mati yang masuk kepangkuan Islam melalui dakwah jika ia
menghidupkannya, dan aturan-aturan yang sama berlaku atas tanah tersebut
sebagaimana halnya tanah taklukan yang pada saat penaklukan merupakan tanah
mati.41
Sementara dalam kasus tanah-tanah yang subur secara alami dan secara
damai masuk ke pangkuan Daarul Islam, individu tidak berhak atas hak
39 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 40 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.191 41 Ibid., h.191
87
kepemilikan atasnya karena tanah tersebut subur dengan sendirinya. Individu
hanya boleh mengambil manfaat darinya.42
Ketika seseorang mengambil manfaat dari tanah ini, maka tidak ada
seorang pun yang dapat merebut tanah ini darinya. Tidak ada seorang pun yang
beroleh preferensi atas yang lain selama individu pertama mengambil manfaat
dari tanah ini.43
Bagaimana pun, individu lain diperkenankan mengambil manfaat dari
tanah tersebut selama tindakannya itu tidak mengganggu dan mencegah individu
pertama dalam memanfaatkan tanah tersebut, atau ketika individu pertama tidak
lagi memanfaatkan tanah tersebut dan tidak lagi menggunakannya untuk tujuan
produktif.44
Sementara tanah-tanah garapan yang disuburkan lewat usaha dan kerja
manusia di daerah yang penduduknya memeluk Islam secara sukarela, mereka
tetap menjadi milik para pemilik aslinya. Ini karena Islam memberi Muslim yang
memeluk Islam secara sukarela, semua hak yang ia miliki sebelum ia memeluk
Islam.
Maka para individu Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, tetap
menguasai tanah-tanah mereka sebagai pemilik pribadi, sehingga tidak ada pajak
yang dibebankan kepada mereka. Seluruh milik mereka sebelum menjadi Muslim,
sepenuhnya tetap menjadi milik mereka.45
42 Ibid., h.191 43 Ibid., h.191 44 Ibid., h.191 45 Ibid., h.192
88
c) Tanah yang masuk wilayah Islam lewat Perjanjian (Shulh)
Tanah Shulh adalah tanah yang diinvasi oleh kaum Muslim guna di kuasai,
dimana para penduduknya tidak memeluk Islam namun tidak pula melakukan
perlawanan bersenjata. Mereka tetap memeluk agama mereka serta merasa puas
hidup damai dan aman dibawah naungan dan lindungan negara Islam.46
Tanah seperti ini di namakan ‘tanah perjanjian’, kapan pun istilah tanah
perjanjian digunakan, ia pasti merujuk pada tanah jenis ini. Jika dalam perjanjian
dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi milik para penduduknya, maka
atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik mereka, dan masyarakat Islam
tidak memiliki hak atau klaim apapun atasnya.47
Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi
milik masyarakat Muslim, maka atas dasar ini tanah di daerah itu menjadi milik
masyarakat Muslim dan menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama, di mana
kharaj (pajak) berlaku atasnya.48
d) Tanah-tanah lain yang menjadi Milik Negara
Sadr membagi jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi
prinsip kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah
kepada kaum Muslim tanpa didahului oleh penyerangan (invasi). Tanah-tanah
seperti ini masuk ke kategori anfal dan menjadi milik negara di bawah
46 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.423 47 Ibid., h.423 48 Ibid., h.423
89
penguasaan Nabi Saw. dan para Imam sepeninggal beliau,49 sebagaimana
dinyatakan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 6
☺
⌧
⌧ ⌦ Artinya: “Dan apa saja rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
dari harta benda mereka, maka untuk mendapatkan itu kalian tidak mengerahkan seekor kuda pun dan tidak pula seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa
atau telah punah, ia menjadi milik negara, begitu juga dengan tanah yang baru
terbentuk di wilayah Darul Islam. Misalnya, sebuah pulau (atol) yang terbentuk di
tengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi milik negara berdasarkan
aplikasi aturan hukum yang menyatakan bahwa “ setiap tanah yang tak
berpenghuni menjadi milik Imam.”50
Kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik pemerintah
(dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar pajak bumi kepada
pemerintah (Negara). Sadr 51mengambil pandangan ini berdasarkan pada konsep
khilafahnya, dimana kemanusiaan secara keseluruhan dipercayakan dengan
ketuhanan Allah, dan oleh karena itu daratan (tanah) dan sumber alam lain harus
siap sedia untuk semua, melalui kepemilikan pemerintah.
49 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.193
50 Ibid., h.194 51 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
90
2) Bahan-bahan Mentah dari Perut Bumi
Bahan-bahan mentah dan kekayaan mineral yang terkandung didalam
perut bumi memiliki peran penting setelah tanah dalam kehidupan produktif dan
ekonomi manusia, karena faktanya komoditas material apapun yang manusia
nikmati adalah produk dari tanah dan kekayaan mineral yang terkandung di dalam
perut bumi.52
Karena itulah, sebagian besar dari cabang-cabang industri bergantung
pada industri-industri konstruksi dan pertambangan yang darinya manusia
memperoleh bahan-bahan dan mineral-mineral tersebut.
Para fakih53 umumnya membagi bahan-bahan mineral ke dalam dua
kategori, yakni : azh Zhahir (terbuka) dan al bathin (tersembunyi).
Mineral-mineral azh Zhahir adalah bahan-bahan yang tidak membutuhkan
usaha serta proses tambahan agar mencapai bentuk akhirnya, dan substansi
mineralnya tampak dengan sendirinya, seperti garam dan minyak.54
Jika kita ke sebuah sumur minyak, kita akan menemukan mineral di sana
dalam keadaan aktualnya, di mana kita tidak perlu melakukan proses lebih lanjut
guna mengubahnya menjadi minyak, walau pun kita memang harus mencurahkan
usaha yang besar untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumur minyak
tersebut serta memurnikan minyak yang di hasilkan.
Istilah azh Zhahir dalam fikih tidak digunakan dalam arti lateralnya, yakni
terbuka atau tidak membutuhkan penggalian dan eksplorasi. Istilah az Zhahir di
sini adalah istilah deskriptif yang menunjukan setiap mineral yang ketika
52 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.439 53 Ibid. h.439 54 Ibid. h.439
91
ditemukan ia telah berada dalam bentuk akhirnya, tidak memandang apakah
manusia harus mencurahkan usaha yang besar untuk mendapatkannya dari
kedalaman bumi atau menemukannya dengan mudah di permukaan bumi.55
Sedangkan mineral-mineral al Bathin, dalam fikih berarti setiap mineral
yang membutuhkan usaha serta proses lebih lanjut agar sifat-sifat mineralnya
tampak, seperti emas dan besi. Tambang-tambang emas dan besi tidak
mengandung emas dan besi dalam keadaan sempurnanya di kedalaman bumi.
Tambang-tambang tersebut mengandung substansi yang membutuhkan usaha
yang besar guna mengubahnya menjadi emas dan besi dalam bentuk yang
diketahui oleh para pedagang.56
Keterbukaan dan ketersembunyian dalam istilah fikih terkait dengan sifat
suatu bahan dan derajat kesempurnaan keadaannya, tidak terkait dengan lokasi
atau kedekatannya dengan permukaan ataupun kedalaman bumi.
a) Mineral-Mineral Terbuka
Menurut fatwa (opini hukum)57 yang berlaku, mineral-mineral terbuka
seperti garam dan minyak adalah milik bersama masyarakat. Islam tidak
mengakui penguasaan seseorang atas sumber mineral-mineral tersebut, karena
mereka menurut fatwa yang berlaku berada di bawah ruang lingkup prinsip
kepemilikan bersama. Individu hanya di izinkan untuk mengambil kekayaan
mineral jenis ini sebanyak yang mereka butuhkan, tidak diperkenankan
memonopolinya dan menguasai tambang-tambangnya.
55 Ibid. h.439 56 Ibid. h.439 57 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
92
Atas dasar ini, adalah kewajiban negara atau Imam sebagai pemimpin
masyarakat yang merupakan pemegang hak kepemilikan atas kekayaan alam
sebagai milik bersama untuk membuat tambang-tambang tersebut produktif dan
bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.58
b) Mineral-Mineral Tersembunyi
Dalam terminologi fikih,59 yang di maksud dengan mineral-mineral
tersembunyi adalah mineral-mineral yang kala di temukan tidak berada dalam
bentuk dan kondisi akhirnya. Usaha dan proses lebih lanjut dibutuhkan guna
mengubah mereka ke bentuk akhirnya, contohnya adalah emas. Emas tidak eksis
dalam bentuk dan kondisi akhirnya.
Usaha dan proses lebih lanjut harus di lakukan guna mengubah dan
membentuknya menjadi emas sebagaimana yang kita kenal. Mneral-mineral
tersembunyi juga terdiri atas dua jenis. Pertama, yang ditemukan dekat dari
permukaan bumi. Kedua, yang eksis di bawah perut bumi sedemikian hingga kita
tidak mungkin menjangkaunya tanpa penggalian dan kerja keras.60
c) Mineral-Mineral Tersembunyi yang dekat dari Permukaan Bumi
58 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.215-216 59 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.117 60 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.442
93
Berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi yang berada dekat dengan
dari permukaan bumi, dalam syari’ah aturannya adalah seperti halnya mineral-
mineral terbuka.61
‘Allamah al Hilli62 menyatakan dalam at Tadzkirah bahwa mineral-
mineral tersembunyi dapat saja terbuka dalam pengertian mereka eksis dekat dari
permukaan bumi atau di atas permukaannya sehingga dapat diambil dengan
tangan, juga dapat tertutup. Jika mineral-mineral tersembunyi itu terbuka, maka
mereka tidak bisa di miliki lewat reklamasi sebagaimana telah di jelaskan.
Bahkan hingga hari ini, Sadr63 menemukan bahwa para fakih tidak
mengizinkan mineral-mineral terbuka dan mineral-mineral tersembunyi yang
eksis dekat dari permukaan bumi menjadi milik pribadi. Mereka hanya
mengizinkan individu untuk mengambilnya dalam batas kewajaran sesuai dengan
kebutuhannya. Sehingga dengan begitu, terbuka ruang yang lebar bagi
penggunaan dan pemanfaatan mineral-mineral tersebut pada skala yang lebih luas
dari eksploitasi monopolistik oleh penguasaan individual.
d) Mineral-Mineral Tersembunyi yang Terpendam
Mineral-mineral tersembunyi yang terpendam jauh di dalam perut bumi
memerlukan dua jenis usaha : (1) usaha untuk mengeksplorasi serta menggali
demi mendapatkannya, dan (2) usaha untuk memurnikan serta menampakkan
sifat-sifat mineralnya. Contoh dari mineral-mineral seperti ini adalah emas dan
61 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.218 62 Ibid. h.219 63 Ibid. h.220
94
besi. Sadr64 menamakan jenis mineral seperti ini sebagai ‘mineral-mineral
tersembunyi yang terpendam’.
Dalam yurisprudensi Islam (fikih), sejumlah teori telah di kemukakan
berkenaan dengan mineral-mineral tersembunyi ini. Ada yang berpendapat bahwa
mineral-mineral tersebut adalah milik negara atau Imam sebagai Kepala Negara,
bukan sebagai pribadi, diantaranya adalah Al Kulaini, Al Qummi, Al Mufid, Ad
Dailami, Al Qadhi, dan lainnya. 65
Mereka berpendapat bahwa mineral adalah seperti anfal, dan merupakan
milik negara. Lalu, ada juga yang berpendapat bahwa mineral-mineral tersebut
adalah milik bersama semua orang, yakni berada dibawah naungan prinsip
kepemilikan publik. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Imam asy Syafi’i
dan banyak ulama mazhab Hanbali.
Berdasarkan apa pun yang dikatakan teks-teks dan teori-teori hukum
tentang kepemilikan tambang, Sadr 66menyimpulkan bahwa tambang menurut
opini hukum yang dominan adalah milik bersama yang dapat di manfaatkan
bersama-sama dan subjek dari prinsip kepemilikan bersama. Tidak seorang pun
boleh menguasai sumber-sumber dan akar-akar tambang yang berada di bawah
perut bumi.
e) Apakah Kepemilikan Tambang mengikuti Kepemilikan Tanah ?
Dalam Syari’ah tidak terdapat teks yang menyatakan bahwa kepemilikan
tanah juga mencakup setiap dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya.67
64 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr. 1973), h.444 65 Ibid. h.445 66 Ibid. h.448 67 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.226-228
95
Menurut Sadr 68bahwa kecuali jika ada konsensus penting (ijma’
ta’abbudi) yang menyatakan sebaliknya, secara hukum kita dapat menyatakan
bahwa tambang-tambang yang berada di tanah milik individu tidak menjadi
properti individu pemilik tanah tersebut. Namun, hak individu pemilik tanah (atas
tanahnya) harus di perhatikan, karena reklamasi dan eksploitasi tambang
bergantung pada kehendak (izin) si pemilik tanah.
f) Iqtha’ dalam Islam
Salah satu istilah teknis hukum Islam yang terkait dengan tanah dan
tambang adalah Iqtha’ (fief). Dalam pembicaraan banyak fakih kita menemukan
pernyataan bahwa pemberian tanah ini atau tambang itu yang merupakan milik
imam, dengan perbedaan di antara keduanya dalam batas-batas di mana Imam
berhak melakukannya.69
Kata Iqtha’ sangat diasosiasikan dengan sejarah Abad Pertengahan,
khususnya sejarah Eropa, dengan konsepsi-konsepsi dan institusi-institusi yang
amat jelas, yang menentukan hubungan-hubungan di antara tuan tanah dan
penggarap tanah (budaknya), serta mengatur hak-hak mereka masing-masing dan
di berbagai belahan dunia lainnya.70
Definisi Iqtha’ diberikan oleh Syekh ath Thusi dalam kitab Al Mabsuth,
yakni di mana Imam memberikan hak kepada seseorang untuk mengusahakan
suatu sumber kekayaan alam. Usaha orang itu dipandang sebagai dasar bagi
pemberian hak spesifik kepadanya atas sumber kekayaan alam tersebut.71
68 Ibid. h.226-228 69 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.449 70 Ibid. h.449 71 Ibid. h.450
96
Islam tidak memandang Iqtha’ sebagai dasar bagi penyerahan
kepemilikan sumber daya kepada individu, karena hal itu akan merusak
karakteristik iqtha’ sebagai sebuah cara eksploitasi dan distribusi kerja. 72
Iqtha’ hanya memberi individu hak untuk memanfaatkan sumber-sumber
alam, dan konsekuensinya ia wajib bekerja mengeksploitasi sumber-sumber alam
tersebut, di mana tidak seorang pun bisa mencegahnya dari melakukan hal itu.
Tiada seorang pun selainnya yang diperkenankan memanfaatkan dan
mengeksploitasi sumber-sumber alam tersebut.73
Dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik, yang
mana sumber-sumber itu tidak membutuhkan reklamasi dan kerja, maka individu
yang mencurahkan kerja di sana tidak beroleh hak khusus atas sumber-sumber
tersebut. Dalam hal ini, iqtha tidaklah sah dan tidak di izinkan, sebab bila di
izinkan maka iqtha akan kehilangan makna Islaminya, karena sumber-sumber
tersebut tidak membutuhkan kerja dan kerja pun tidak berpengaruh di sana.74
Jadi, dalam kasus sumber-sumber alam yang merupakan utilitas publik
seperti ini, pemberlakuan iqtha dan pemberian hak kerja kepada individu
merupakan perwujudan dari monopoli atau eksploitasi demi kepentingan diri
sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan konsep iqtha dalam Islam dan fungsi aslinya.
Karena itulah syariah melarang hal ini dan membatasi iqtha pada sumber-sumber
alam yang memang membutuhkan kerja.75
72 Ibid. h.451 73 Ibid. h.452 74 Ibid. h.453 75 Ibid. h.454
97
g) Iqtha’ Tanah Kharaj
Ada satu hal lagi di mana istilah iqtha digunakan dalam bahasa yuridis.
Namun, yang dimaksud bukanlah iqtha yang sebenarnya, melainkan pembayaran
atas jasa yang telah diberikan.76
Objek iqtha ini adalah tanah kharaj (tanah yang dikenal pajak) yang
merupakan milik umat, di mana dalam hal ini gubernur (kepala pemerintahan)
dapat memberikan seorang individu sesuatu dari tanah kharaj misalnya, sebagian
dari pajak terkumpul, dan memberinya wewenang untuk mengumpulkan pajak
dari tanah tersebut.77
Pemberian wewenang ini dilakukan oleh gubernur. Walau pun hal ini
kerap di lihat dalam arti historisnya dan secara tidak sah sebagai proses pemberian
hak kepemilikan atas tanah, namun sebenarnya dalam pengertian yuridisnya serta
dalam batas-batas yang dibenarkan, hal ini tidaklah demikian. Pemberian
wewenang ini hanyalah suatu cara pembayaran atau penggajian atau pemberian
kompensasi kepada para individu atas layanan publik yang telah mereka
berikan.78
Penerima iqtha berhak memiliki pajak tanah sebagai imbalan atas layanan
publik yang telah ia berikan kepada umat, namun ia tidak memiliki tanah tersebut,
tidak pula mendapat hak dasar untuk menguasai ataupun mengeksploitasi tanah
76 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.235 77 Ibid. h.236 78 Ibid. h.236
98
itu. Tanah tersebut tetap menjadi milik kaum Muslim dan tetap berstatus tanah
kharaj.79
h) Hima Dalam Islam
Konsepsi tentang hima (tanah yang diproteksi) diperoleh dari bangsa Arab
kuno. Hima berarti tanah mati yang dimonopoli oleh orang-orang “kuat”, di mana
mereka tidak mengizinkan orang lain mengambil manfaat dari tanah tersebut.
Orang-orang “kuat” tersebut menganggap segala sumber daya ataupun kekayaan
yang terkandung di tanah itu secara eksklusif menjadi milik mereka karena
mereka bisa menguasai tanah itu untuk kepentingan mereka sendiri, serta dengan
kekuatan dan kekuasaan mereka mampu mencegah orang lain mengambil manfaat
darinya.80
Dalam Islam, kenyataan bahwa seseorang mampu menguasai dan
mengendalikan sumber-sumber alam tidak dapat di jadikan dasar bagi pemilikan
hak atas sumber-sumber tersebut. Satu-satunya hima yang di izinkan Islam adalah
hima Rasulullah Saw, di mana beliau memproteksi tanah mati demi maslahat
umum seperti tanah Baqi’, yang diperuntukkan bagi unta-unta sedekah, hewan-
hewan ternak jizyah, dan kuda-kuda para mujahid.81
3) Air Alami
Sumber air ada dua jenis. Pertama adalah sumber-sumber terbuka
(mashadir maksyufah) yang telah Allah ciptakan bagi manusia di atas permukaan
bumi, seperti lautan dan sungai. Kedua adalah sumber-sumber yang terkubur dan
79 Ibid. h.237 80 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.456 81 Ibid. h.456
99
tersembunyi di dalam perut bumi, yang mana manusia harus melakukan
penggalian guna mendapatkannya.82
Sumber air jenis pertama digolongkan ke dalam milik bersama
masyarakat. Kekayaan alam seperti ini secara umum disebut sebagai milik
bersama, di mana Islam tidak mengizinkan seorang individu pun untuk
menguasainya sebagai milik pribadinya sendiri. Sebaliknya, Islam mengizinkan
semua individu untuk menikmati manfaatnya, dengan tetap menjaga keutuhan
karakteristik dari prinsipnya, yakni bahwa substansi-substansi aktual dan hak
kepemilikan atas mereka adalah milik bersama.83
Tidak seorang pun memiliki laut atau sungai alami sebagai milik
pribadinya. Semua orang boleh menikmati manfaatnya. Atas dasar ini kita
memahami bahwa sumber-sumber air alami yang terbuka adalah subjek prinsip
kepemilikan publik.84
Sementara air yang sumbernya terkandung di dalam perut bumi, tidak
seorang pun bisa mengklaimnya sebagai miliknya kecuali jika ia bekerja untuk
mengaksesnya, melakukan penggalian untuk menemukan sumber tersebut dan
membuatnya siap guna. Ketika seseorang membuka sumber ini dengan kerja dan
penggalian, maka ia berhak atas mata air yang ditemukannya.85
Ia berhak mengambil manfaat mata air tersebut dan mencegah intervensi
orang lain. Karena ia yang membuka kesempatan (peluang) untuk menggunakan
dan memanfaatkan mata air itu, maka ia berhak memanfaatkan kesempatan
82 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.239 83 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120 84 Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. (Jakarta :
Penerbit Zahra, 2008), h.239 85 Ibid. h.240
100
tersebut. Sementara mereka yang tidak ikut andil dalam membuka kesempatan itu,
tidak berhak mengintervensinya dalam menikmati manfaat mata air tersebut.86
Ia menjadi lebih berhak ketimbang orang-orang lain atas mata air tersebut
dan memiliki air yang memancar berkat usahanya, karena ini adalah jenis
penguasaan, di mana ia tidak memiliki sumber airnya yang terdapat di dalam perut
bumi. Karena itu, ia wajib membagi air dari mata air itu secara gratis kepada
orang-orang lain untuk minum maupun hewan ternak mereka setelah ia memenuhi
kebutuhannya sendiri.87
Dalam hal ini, ia tidak boleh meminta apapun sebagai imbalan. Hal ini
dikarenakan substansi tersebut tetap menjadi milik bersama. Si penemu mata air
hanya memiliki hak prioritas sebagai hasil dari usahanya dalam menemukan mata
air itu. Maka, ketika ia telah memenuhi keperluan dan kebutuhannya akan air dari
mata air tersebut, orang-orang lain berhak mengambil manfaat dari mata air itu.88
4) Kekayaan Alam Yang Lain
Kekayaan alam yang lain masuk ke kategori al mubahatul ‘ammah (hal-
hal yang boleh bagi semua orang) adalah kekayaan alam yang semua individu
dapat menggunakannya secara gratis dan menikmati manfaatnya sebaik milik
pribadi mereka, karena izin umum ini adalah izin yang bukan hanya untuk
memanfaatkannya namun juga untuk memilikinya.89
86 Ibid. h.240 87 Ibid. h.241 88 Ibid. h.241 89 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461
101
Islam telah meletakkan prinsip kepemilikan pribadi pada al mubahatul
‘ammah atas dasar kerja dan usaha guna mendapatkan mereka sesuai dengan
perbedaan jenis mereka.90
Sebagai contoh, kerja atau usaha untuk mendapatkan burung adalah
dengan menangkapnya dengan cara berburu, sedangkan usaha untuk mendapatkan
kayu bakar adalah dengan mengumpulkannya, dan kerja untuk mendapatkan
mutiara serta udang adalah dengan menyelam ke kedalaman laut. Usaha untuk
mendapatkan tenaga (energi) listrik yang tersembunyi dari air terjun termasuk
dalam proses mengubah energi ini menjadi arus listrik yang kita kenal. Dengan
jalan inilah kepemilikan atas kekayaan alam mubah diperoleh, yakni dengan
memperoleh penguasaan atasnya.91
Kepemilikan atas kekayaan alam ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan
kerja. Jadi, masuknya kekayaan alam ini ke kendali seseorang tidak cukup di
jadikan dasar bagi kepemilikan atasnya, kecuali jika ia melakukan kerja positif
untuk mendapatkannya.92
2. Distribusi pasca Produksi
Sadr93 mulai menyatakan bahwasanya Islam itu tidak meletakan semua
faktor produksi (atau pemilik mereka) pada kedudukan yang sejajar, misalnya.
Mempekerjakan Orang ‘pekerja’ adalah ‘pemilik’ yang sebenarnya dari bahan-
90 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, ( Kuala Lumpur, 1995), h.117 91 Ibid. h.117 92 Muhammad Baqir As Shadr, Iqtishaduna, (Beirut : Daar Al-Fikr, 1973), h.461 93 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
102
bahan/alat-alat yang telah diproduksi. Para pekerja selanjutnya memiliki tanggung
jawab untuk membayar kompensasi untuk faktor produksi lainnya yang
digunakan dalam prosesnya.
Sadr94 merasakan bahwa pandangan ini meletakan orang sebagai tuan dan
bukan pelayan dari produksi. Meneruskan argumentasi ini, Sadr menyatakan
bahwa seorang kapitalis tidak membolehkan memiliki produk dari para pekerja
yang dia sewa. dengan kata lain, tenaga kerja ekonomi langsung adalah tempat
yang diperlukan untuk kepemilikan produk.
Pandangannya95 mengenai kekayaan primer digolongkan kedalam
gambaran ketika dia memberikan ‘kepemilikan’ kepada agen yang bekerja
dibagian sumber alam, sebagai contoh seseorang yang menggarap lahan kosong
(tak bertuan), memiliki itu berkaitan dengan mempunyai prioritas dan hak untuk
mencegah orang lain dari penggunaannya.
Sekarang, jika orang ini memilih untuk menyewa orang lain untuk bekerja
ditanah, dia masih memelihara ‘kepemilikan’ tanah sehubungan dengan status
tenaga kerjanya yang dilibatkan dalam penggarapan tanah.96
Pada sisi lain, tuan tanah memiliki hasil tanah yang berkaitan dengan para
pekerja itu sendiri, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah dengan
alasan bahwa para pekerja tuan tanah masih ada. Kompensasi ini bisa jadi dalam
bentuk atau pinjaman yang tetap atau suatu saham dalam produk (jika pemilik
tanah menyediakan benih / pupuk atau permesinan).97
94 Ibid. h.121 95 Ibid. h.121 96 Ibid. h.122 97 Ibid. h.122
103
Dalam mengatur aktivitas ekonomi, banyak contoh di beri oleh Sadr98 :
a. Lahan kosong dapat didistribusikan dan dimanfaatkan
b. Larangan Islam yaitu menempati lahan kosong dengan kekerasan
c. Prinsip tidak ada pekerjaan, tidak ada keuntungan.
d. Larangan Riba
e. Larangan tidak produktif, seperti perjudian
f. Menimbun uang dan barang-barang
g. Larangan yang aktivitas mengalihkan perhatian dari Tuhan
h. Penuturan dan mengecek manipulasi dalam pasar
i. Larangan pemborosan
Sadr99 membedakan antara bekerja dilahan sumber alam dan dimiliki yang
lain (seperti diatas) dengan bekerja dilahan ‘hasil buruh’ yang dimiliki oleh orang
lain, sebagai contoh seorang pekerja yang membuat benang dari wol seorang
pengembala; dalam hal ini, produk (benang) yang dimiliki penggembala dan
pekerja akan dibayar kompensasi.
Dengan pandangan prioritas tenaga kerja ini, Sadr 100selanjutnya membuat
daftar hasil (laba) ke setiap faktor produksi :
a. Buruh-upah atau bagian keuntungan
b. Tanah-sewa (atau bagian dari penggarapan)
c. Modal-bagian dari laba
98 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 258 99 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative
Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.122 100 Ibid. h.122
104
d. Peralatan / modal fisik-sewaan / kompensasi
Buruh diberikan satu pilihan dari keuntungan yang jelas (upah) atau
variabel keuntungan (bagian dari keuntungan). menyewa tanah diizinkan hanya
ketingkat bahwa pemilik tanah telah menyerahkan ke tangan para buruh, sebagai
contoh buruh untuk menggarap tanah kosong.
Sadr juga memegang pandangannya membolehkan transaksi-transaksi
seperti Mudharabah, Muzara’ah (bagi hasil), Musaqat, dan al-Jualah (menggaji,
upah). konstribusi / bekerja ke suatu produk, atau untuk menggarap lahan dan
menyewakannya kepada orang lain untuk harga sewaan yang tinggi.101
Sadr juga membantah kompensasi untuk resiko yang dikemukakan oleh
banyak ahli ekonomi, termasuk kaum Muslim. Orang yang menggunakan
ungkapan tidak ada resiko, tidak ada keuntungan, menurut Sadr telah merusak
mental pemerintah dengan satu faktor produksi.
Ahli ekonomi Muslim yang mengemukakan argumentasi itu mengatakan
bahwa (uang) pemilik modal di dalam Mudharabah diberikan keuntungan, suatu
kesalahan apabila berkaitan dengan resiko yang ia tanggung.102
Sadr memandang keuntungan sebagai fakta bahwa mereka memiliki uang
yang telah digunakan, bukan faktor resiko. Ini Nampak seperti penjelasan yang
lebih logis dan bisa diterima untuk mengembalikan uang modal.103
Pandangan diatas menunjukan dengan jelas bahwasanya Sadr104 melihat
keuntungan yang sah sebagai dasar daripada pekerjaan. Bagaimana pun, pekerja
101 Ibid. h.122 102 Ibid. h.122 103 Ibid. h.122 104 Ibid. h.123
105
untuk Sadr, ada sumber hak distributif yang lain di dalam ekonomi Islam, sebagai
contoh kebutuhan. Karena tiap-tiap individu memiliki kapasitas dan kapabilitas
yang berbeda-beda, ketidaksamaan pendapatan adalah hal yang wajar. Sebagian
mendapatkan sedikit sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa.
Situasi ini memberikan mereka hak distributif dan pemerintah memainkan
peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Islam menekankan standar
hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebih-lebihan (boros), dan
pada saat yang bersamaan, Islam mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih
rendah dengan cara menyediakan sistem jaminan sosial.105
Pemerintah juga dipercaya memberikan keamanan sosial secara
keseluruhan. Dan hal ini dapat dicapai melalui persaudaraan (penyelenggaraan ini
dapat melalui pendidikan) diantara anggota masyarakat dan melalui kebijakan
pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik dapat
membantu orang miskin. Sementara itu dengan pengaturan aktivitas ekonomi
memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari eksploitasi.106
Untuk memastikan keseimbangan sosial dan keamanan yang dibutuhkan
bagi keseluruhan, berdasarkan pada prinsip bahwasanya seluruh sumber daya
alam harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah dipercaya untuk menjalankan
tugas pada pemilikan untuk memastikan hal ini dengan cara membantu mereka
yang berkesusahan.107
105 Ibid. h.123 106 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 107 Ibid. h. 258
106
Pada akhirnya, sebuah kekuasaan negara dipercaya untuk menciptakan
kedinamisan yang sesuai menurut situasi zaman yang ada. Dalam konteks ini
adalah tugas para mujtahidun itu adalah negara. Maksudnya tiap negara memiliki
ahli hukum atau suatu negara memiliki beberapa bentuk dewan penasehat.108
Pengkajian yang dilakukan Sadr dengan menggunakan metode ijtihad.
Menurut analisa Chibli Mallat,109 pembahasan ini memperlihatkan secara jelas
metodologi yang disarankan Sadr diawal pembahasan. Dalam hal ini penulis
menyajikan prinsip umum dengan mengikutsertakan pendapat ahli fiqh :
‘Allamah al-Hilli, seorang ulama-peneliti (muhaqqiq) Muslim,
menyatakan dalam kitabnya, Asy Syara’i, bab Wikalah (perwakilan), bahwa
wikalah dalam pekerjaan menebang kayu atau jenis pekerjaan lain yang sejenis,
adalah tidak sah.
Contohnya, jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agen)-nya
untuk menebang kayu di hutan demi kepentingannya, maka wikalah dalam hal ini
tidak sah. Orang itu (si penunjuk) tidak menjadi pemilik kayu yang ditebang oleh
orang yang ia tunjuk sebagai wakilnya.
Alasannya adalah, pekerjaan menebang kayu dihutan atau jenis pekerjaan
lainnya yang sejenis, pada dasarnya tidak menghasilkan pengaruh atau hak khusus
apa pun bagi seseorang kecuali bila ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu atau
ia secara langsung mencurahkan usahanya dalam pekerjaan menebang kayu, atau
menyabit rumput, atau jenis pekerjaan lainnya yang serupa.
108 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 109 Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti (Bandung :
Mizan, 2001). h.206
107
B. Relevansi Pemikiran Muhammad Baqir Ash-Shadr
1. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan
Ekonomi Islam
Muhammad Baqir As-Shadr110 mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah
sebuah ajaran (doctrine) dan bukannya ilmu murni (science), karena apa yang
terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup yang
paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada
pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan.
Dalam mewujudkan gagasan keadilan distribusi menurut Islam, Sadr111
mendasarkan pada dua faktor. Pertama, faktor primer yang terdiri dari kerja dan
kebutuhan. Kedua, faktor turunan berupa kepemilikan.
Bekerja menurut Islam adalah sebab yang mendasar untuk memungkinkan
manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan memiliki harta kekayaan. Namun
yang menjadi permasalahan menurut Sadr112 ialah cara menempatkan seseorang
yang dalam kehidupan sosial tidak dapat bekerja atau mereka yang bekerja tapi
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam konteks ini, elemen yang berlaku menurut Sadr ialah kebutuhan,
artinya berapapun kebutuhan pokok komunitas masyarakat tersebut menjadi
110 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.5-6 111 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.113 112 Ibid., h.113
108
tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun solidaritas sesama
muslim.
Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan.
Menurut Sadr,113 Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan
adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam Islam dibatasi aturan nilai
serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah.
a. Peran Kerja (al-‘amal) dalam distribusi
Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi. Menurut
Sadr, untuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih dahulu harus
mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang diperolehnya.114
Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para
pekerja. Sedangkan kepemilikan sendiri merupakan ekspresi dari
kecenderungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan / hak-hak individu
mendapat tempat yang proporsional.
Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat
mengekspresikan seluruh kekuatan, bakat serta potensinya dalam
meningkatkan perekonomian suatu masyarakatnya. Sedangkan disisi lain
pekerja dapat memenuhi kebutuhannya.
b. Peran Kebutuhan (al-Haajah) dalam distribusi
Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola
distribusi dalam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran
113 Ibid., h.120 114 Ibid., h.114
109
kebutuhan dalam distribusi, Sadr115 membagi masyarakat ke dalam 3
komunitas :
Pertama, komunitas yang mendapatkan kesempatan kerja melalui
bakat dan kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan
kebutuhan hidupnya dengan standar yang tinggi.
Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum
sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat
dalam proses produksi baik kelemahan fisik maupun kemampuan
intelektualnya. Menurut Sadr, konsekuensi dari pembagian diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat
bagian dalam distribusi. Jika komunitas pertama bergantung pada kerja, maka
komunitas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan
akan kebutuhan dasarnya.
Pemahaman ini menurut Sadr,116 berangkat dari realitas bahwa
komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian
distribusi kelompok ketiga ini melalui instrument kebutuhan yang
pengaturannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas
umum.
Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua
instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument kerja sesuai
115 Ibid., h.116 116 Ibid., h.119
110
dengan kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi
melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja.
c. Peran Kepemilikan (al-Milk) dalam distribusi
Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi.
Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi
yang mengandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi
yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial
untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah.117
Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka
kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini semisal,
Adiwarman Karim.118 Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah sistem
ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan
pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata
aturan syariah sebagai variabel independen (ikut mempengaruhi segala
pengambilan keputusan ekonomi).
Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada bukan
berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti semuanya
sesuai dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan asumsi
dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu pula teori tersebut
dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori ekonomi Islam.
117 Ibid., h.129 118 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007),h.5
111
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya,
hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah, tetapi
tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena faktor tersebut.
Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan Ekonomi islam antara
lain seperti Zakat (Khums Pajak,, Anfal, Fay), yang bertujuan untuk mengurangi
kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial.
Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut.
Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat
dalam Al-Qur’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, (“ Supaya harta itu jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”) serta adanya hadist Nabi yang
menyebutkan bahwa (“diantara sebagian harta kita ada hak untuk orang lain”).
Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu
ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini
berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali
dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.119
Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat,
termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a,
wala tushahihuhu jamii’a (Jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima
semuanya). Menurut Adiwarman Karim, 120ekonom Muslim tidak perlu terkesima
dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim perlu mempunyai akses
119 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007),h.31 120 Ibid.,h.12
112
terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami perlu juga mempelajari
teori-teori ekonomi modern agar dapat menerjemahkan kondisi ekonomi modern
dalam bahasa kitab klasik Islami.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses pengkajian
dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer. Sadr
121mulai menampilkan beragam pendapat ahli fiqh sebagai suprastruktur (ajaran
yang bersumber dari hukum). Selanjutnya, beliau melakukan deduksi terhadap
naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsip-prinsip umum dalam bidang
distribusi.
Sadr 122juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif Islam,
yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak mendapat balas
jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, seseorang berhak
mendapat hasil dari keikutsertaannya dalam proses produksi. Sebagaimana contoh
hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas buah kerjanya.” Karena itu, Islam
tidak mengakui bunga, karena pendapatan tanpa kerja bertentangan dengan
gagasan keadilan Islam.
Jadi, fokus kajian dalam distribusi pra produksi berkaitan dengan sumber
daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada pengkajian distribusi
pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori pendapatan menurut Islam.
121 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.112-113 122 Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, (Teheran : WOFIS,
1983), Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
113
2. Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa
Kini
Penulis berpendapat Krisis ekonomi di Indonesia masih belum kunjung
selesai. Pengangguran yang membengkak, kesenjangan sosial antara kaya dan
miskin, biaya pendidikan kian mahal, merebaknya kriminalitas dan maksiat, gizi
buruk, krisis energi, kelaparan yang selalu menanti di susul dengan kasus-kasus
yang menimpa daerah bencana (baik korupsi dana pembangunan) dan lain
sebagainya, merupakan indikator kongkrit yang menandakan kegagalan sistem
ekonomi konvensional kapitalis yang diusung pemerintah.
Saat ini pemerintah sepertinya semakin tidak memperhatikan rakyat. Tak
sedikit kebijakan pemerintah malah semakin membebani rakyat dan secara
langsung terus melestarikan kemiskinan. Hal ini membuktikan akibat kebijakan
ekonomi yang keliru yang kian hari makin terpuruk.
Bila sistem yang secara jelas dan realitas tidak dapat menyelesaikan
beragam problematika bangsa ini masih tetap dijaga dan dipertahankan, maka
dapat dikatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya tiada pernah secara bijak untuk
belajar memperbaiki diri dari kesalahan.
Pemerintah harus ada solusi alternatif untuk mengganti sistem yang
dipakai saat ini dengan sistem yang lebih baik serta sesuai dengan masyarakat
Indonesia. Sistem yang paling sinkron dengan karakteristik dan kepribadian
bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan,
114
sebab bangsa ini adalah bangsa Religiusitas yang patuh terhadap norma dan etika
agama yang dianutnya. Sistem yang dimaksud adalah sistem ekonomi Islam.123
Krisis yang bangsa kita hadapi saat ini secara bertubi-tubi dan melingkar-
lingkar sangat berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk merespons dampak-
dampak kapitalisme global yang berfungsi sebagai kendaraan bagi imperialisme
baru yang lebih sophisticated.124
Harus diakui bahwa pembahasan ekonomi dalam karya ini berlatar kondisi
masa lalu. Namun demikian, karena pembahasan ekonomi dalam karya ini
menyentuh dasar-dasar filsafat ekonomi dan sosial yang melibatkan relasi-relasi
yang bersifat eksistensial dan generik, maka rekomendasi yang diberikan Sadr
dengan mudah dapat diadaptasikan guna menyikapi secara cerdas realitas dan
tantangan kondisi ekonomi hegemonik masa kini.125
Pada hakikatnya, kondisi ekonomi masa kini hanya mengalami perubahan-
perubahan instrumental dari dasar-dasar ekonomi masa lalu. Kapitalisme dan
materialisme hanya berganti baju dan rupa, tetapi tidak watak dasarnya. Maka,
fatwa ekonomi Ayatullah Baqir Ash Shadr tetap relevan.126
Kenyataan yang memperihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di
Negeri kita ini selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan susul menyusul
datangnya. Namun, yang sangat luas dampaknya adalah keterpurukan bidang
123 Miftakhus Surur, “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No. 11 Th.VI (Maret
2009) : h.58 124 Ir. Sayuti Asyathri “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku
Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.23 125 Ibid. h.24 126 Ibid. h.24.
115
ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat. Memang disadari bahwa salah satu
masalah kunci dalam kehidupan umat manusia adalah masalah ekonomi.127
Prof. Dr. Mubyarto di acara memperingati Hari Kebangkitan Nasional
tanggal 20 Mei 2005 di Jakarta telah menguraikan bahwa secara ekonomi,
Indonesia kembali terjajah oleh Kapitalisme Global yang lebih sadis dan lebih
kejam ketimbang kolonialisme Belanda.
Lebih dari itu, John Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic
Hit Man, telah mengakui bahwa dirinya disewa oleh kekuatan Kapitalisme Global
untuk merusak dan membuat ekonomi negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, menjadi terjajah dan sangat bergantung pada tuan besarnya, yaitu
Kapitalisme Global.128
Konsep Baqir Ash- Shadr sangat kontekstual dengan kondisi dan
permasalahan yang berkembang di Indonesia dan negara berkembang lain yang
umumnya berpenduduk mayoritas Muslim. Di bawah pengaruh konspirasi dan
pengondisian kekuatan-kekuatan besar, isu-isu kemiskinan, kebodohan, dan
kebobrokan adalah tiga isu besar yang mendorong keterpurukan bangsa-bangsa
ini, terutama akibat penerapan sistem ekonomi yang tidak berkeadilan.129
Sebagai solusi atas fenomena dan kondisi tersebut, Muhammad Baqir Ash-
Shadr mengingatkan kita dan mengulas secara jelas Iqtishaduna : Our Economics,
yang melalui suatu pendekatan interdisipliner menjadi suatu kajian ekonomi
Islam, sehingga memberikan benang merah bagi kita bagaimana mewujudkan
127 Prof. KH. Ali Yafie “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.27
128 Ibid., h.27 129 Aries Muftie, SH. SE. MH “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-
Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, (Jakarta : Penerbit Zahra, 2008), h.19
116
maqashid berdasarkan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (ushul fiqh). Dengan
demikian, aktivitas dan sistem ekonomi yang kita gunakan akan kita kembalikan
kepada tujuannya untuk kesejahteraan seluruh manusia.130
Implikasinya dapat dilihat dari munculnya fakta disparitas (kesenjangan)
antara yang kuat dan yang lemah pada berbagai sektor kehidupan, dan munculnya
tiga isu : kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan, akibat implementasi sistem
ekonomi yang tidak menganggap penting faktor iman, jiwa, akal dan keturunan.
Eksploitasi alam, penjajahan ekonomi, peperangan bisnis, dan segala aktivitas
ekonomi lainnya menjadi suatu alat penumpukan kekayaan dan pemenuhan
kepentingan golongan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada publik atau
umat, serta pelestarian alam untuk para keturunan kita.131
Sistem ekonomi yang selama ini dikenal dan diimplementasikan di dunia
dalam perjalanan sejarahnya semakin lepas dari perspektif moral dan pranata
sosial-budaya. Perkembangannya menjadi segmentatif dan mikro, sehingga hanya
bisa menjelaskan secara parsial fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada.132
Selama ini sistem Perbankan Syariah hanya merupakan duplikasi sistem
perbankan konvensional yang menganut sistem Ribawi yang mengandung unsur
gharar, tidak adil, dan mengancam nilai-nilai Islam yang mulia. 133
Misalnya, sistem bagi hasil yang di praktikkan Bank Syariah sekarang ini,
masih mengandung unsur Ribawi. Jika seorang calon nasabah akan membuka
account di bank syariah dan bertanya berapa bagi hasil yang akan di terima, maka
130 Ibid., h.19 131 Ibid., h.20 132 Ibid., h.19-21 133 Zaim Saidi, “Prakteknya Masih Mengandung Ribawi,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3
April 2009, h. 9.
117
dengan tanpa ragu-ragu si petugas Bank Syariah menunjukan prakiraan
besarannya dengan mengacu daftar bagi hasil beberapa bulan yang lalu dalam
brosur di Bank Syariah bersangkutan.
Kenapa sistem bagi hasil di prediksi besarannya ? bukankah bagi hasil
adalah sistem bagi untung atau rugi berdasarkan akad kejujuran yang tidak bisa di
prediksi seperti bunga bank ? kalau bagi hasil di prediksi, berarti ada semacam
“janji” yang artinya tidak beda dengan sistem bunga.
Selain itu,134 selama ini perbankan syariah lebih banyak “main” pada suku
bunga di Bank Indonesia (BI) yang sangat kental dengan praktik Ribawi. Berapa
persen dana perbankan syariah yang di salurkan melalui pembiayaan sektor riil ?
contoh lain, apakah sistem murabahah yang di praktikkan juga sudah benar-benar
pure berjalan sesuai dengan muamalah Islam ? bagaimana dengan sistem
pembiayaan perbankan syariah pada sektor riil ?
Meski sekarang diakui sistem ekonomi kapitalis liberalis sedang
mengalami kebangkrutan menyusul krisis ekonomi global, namun masih
memerlukan waktu cukup lama antara 10-20 tahun bagi sistem ekonomi Islam
(syariah) untuk menggantikannya. Pasalnya,135 harus memerlukan kepercayaaan
dari Dunia Barat yang masih berpedoman pada kapitalis dan liberalis, di mana
perlu di yakinkan sesungguhnya sistem ekonomi Islam jauh lebih baik dan lebih
menjanjikan keuntungan finansial bagi mereka.
Dunia Islam harus memberi penyadaran dan pencerahan pada Dunia Barat
untuk menggunakan sistem Ekonomi Syariah yang non Ribawi, untuk
134 Ibid., h. 9. 135 Aviliani, “Perlu Waktu Lama Ekonomi Islam Menggantikan Ekonomi Kapitalis,”
Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h.9
118
menggerakkan ekonomi mereka yang masih berdasarkan pada bunga (riba).
Pasalnya selama ini sistem ekonomi Barat memiliki kepentingan dan resiko,
sedangkan semua pelaku ekonomi tidak ingin beresiko dalam menjalankan
usahanya. Mereka hanya menginginkan keuntungan tanpa bersedia menanggung
resikonya. Sedangkan dalam sistem ekonomi syariah, antara resiko dan
keuntungan akan ditanggung secara bersama (mudharabah).136
Mari kita cermati peta zakat di era Indonesia Mazhab Neo Liberal
sekarang ini. Di mana, seperti di beberkan Amien Rais137 dalam bukunya Agenda
Mendesak Bangsa Selamat-kan Indonesia, kekayaan alam Indonesia mayoritas
sudah di kuasai asing. Ironisnya, itu semua seizin rezim-rezim penguasa
Indonesia, melalui amandemen UUD 45 yang melahirkan regulasi semacam UU
penanaman modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Badan Hukum
Pendidikan, dan UU Minerba. Policy inilah yang menciptakan kemiskinan
struktural.
Dana Zakat dapat dilihat dalam tabel berikut :138
Penerimaan ZIS konter BAZNAS tahun 2002 -2007 (ribuan Rp.)
Penerimaan/thn 2001 – 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Zakat 444,035 1,311,834 2,229,070 2,536,110 4,825,502 8,307,941 Infak & Sedekah 275,973 483,372 579,920 28,589,846 13,023,956 6,029,927 Infak Operasional 70,035 552,542 293,890 180,845 627,203 254,149 Infak Pemerintah 131,005 352,325 119,836 100,000 1,550,000 - Jumlah 921,048 2,700,073 3,222,716 31,406,801 20,026,661 14,592,017
136 Ibid., h.9 137 M. Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, (Yogyakarta :
PPSK Press, 2008). h.255-263 138 Tim BAZNAS, Data kuantitatif Baznas, di akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari
http://www.baznas.or.id/laporan
119
Grafik Penerimaan ZIS konter BAZNAS139
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada kenaikan dana zakat yang terhimpun, meskipun ada penurunan dana infak shadaqah sehingga total penerimaan ZIS menurun. Penerimaan dana infak shadaqah tahun 2005 melonjak tinggi meningkat tajam merupakan penerimaan terbesar karena adanya bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir Desember 2004 telah meningkatkan kepedulian masyarakat Indonesia untuk berbagi. Terlihat dari penerimaan dana infak tahun 2005 yang melonjak cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2006, gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya juga telah mendorong masyarakat untuk berinfak.
Sesuai dengan fungsi koordinatifnya, BAZNAS juga mencatat penerimaan ZIS
dari jaringannya yang terdiri dari Unit Pelayanan Zakat (UPZ), Badan Amil Zakat
Daerah dan lembaga amil zakat. Meskipun baru sebagian yang dapat
139 Tim BAZNAS, Grafik Penerimaan ZIS konter Baznas, di akses pada juni 2010
pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
120
dikoordinasikan, namun alhamdulillah dari data ini dapat digambarkan
pertumbuhan penerimaan dana ZIS di Indonesia.
Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS tahun 2002-2007140
Penerimaan ZIS (Ribuan Rp.) NO NAMA LEMBAGA 2002 2003 2004 2005 2006 2007
I BAZNAS (konter) 921.048 2.700.073 3.322.092 31.406.810 20.026.660 14.592.016
II UPZ BAZNAS *)
- - - - 8.289.356 12.308.613
III BAZDA Prov*) 11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553 102.629.312
IV LAZ *) 55.680.209 68.405.946 128.354.888 233.986.019 230.613.161 219.412.453
TOTAL 68.391.097 85.283.523 150.089.112 295.592.403 373.173.447 361.333.307
*) sebagian data
Menurut Dawam Raharjho,141 Tingkat perkembangan itu sudah tentu
masih jauh dari memuaskan, karena zakat belum berperan besar dalam pemecahan
masalah-masalah sosial ekonomi. Persoalannya adalah pertama, bagaimana bisa
140 Tim BAZNAS, Penghimpunan ZIS BAZNAS dan Jaringan BAZNAS 2002-2007, di
akses pada juni 2010 pukul.18:52 dari http://www.baznas.or.id/laporan
141 M. Dawam Rahardjo, “Peran zakat dalam mengatasi masalah sosial ekonomi”, Bulletin UIN Syarif Hidayatullah, disampaikan pada workshop “Peran Perguruan Tinggi Islam dalam Pengelolaan Zakat”, 1 – 2 juni 2003. h.28
121
menghimpun dana dalam jumlah besar yang terkonsentrasi tetapi juga
terdesentralisasi.
Sebab selama ini zakat itu tidak dikumpulkan melainkan langsung di
distribusikan oleh muzakki kepada perorangan, walaupun sebagian juga
dikirimkan kepada organisasi-organisasi yang menyebarkan surat permohonan
zakat. Kedua adalah bagaimana dana zakat bisa di distribusikan, sehingga secara
efektif ikut memecahkan persoalan sosial ekonomi.142
Monopoli pemerintah atas pengelolaan zakat, ternyata tak berlaku untuk
semua jenis objek zakat. Menurut para fuqaha, harta zakat yang wajib di kelola
pemerintah adalah yang nampak (al-amwal azh-zhahirah). Yakni zakat binatang
ternak (zakat al-mawasyi) dan pertanian serta buah-buahan (zakat al-zuru’ wa ats-
tsimar).143
Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr144 memandang hal ini merupakan tugas
sebuah negara. Selain itu, beliau juga mendiskusikan khums, pajak, fay’, dan
anfal, yang dapat dikumpulkan dan dibelanjakan untuk mengurangi kemiskinan
dan menciptakan keseimbangan sosial.
Salah satu poin menarik yang Sadr ciptakan145 adalah fokus eksklusif
kepada kaum miskin. Target Sadr adalah terciptanya keseimbangan sosial dengan
tidak mengarah pada keseimbangan standar hidup antara si miskin dan si kaya.
Para sarjana muslim setuju bahwasanya harus ada standar kehidupan tertentu yang
dapat mempertimbangkan standar minimum. Pengaturan mengenai standar ini
142 Ibid., h.28 143 “ Haruskah LAZ Berplat Merah,” Suara ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 12. 144 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), h. 257 145 Ibid., h.257-258
122
tidak berarti berhenti untuk mengurangi jarak atau jurang standar kehidupan.
Sebab seseorang mempunyai kesamaan standar hidup.
Namun yang terpenting, menurut penulis ini harus diterapkan secara
menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab,146 Islam akan jaya jika di praktekkan
pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam perekonomian. Jadi kehadiran
Islam bukan hanya di Masjid saja, tetapi juga di bisnis, kantor, kampus dan
sebagainya. Dengan demikian, karena umat Islam Indonesia mayoritas, maka
sistem perbankan syariah, haji, zakat, wakaf dan waris perlu di buat peraturannya
melalui undang-undang agar lebih memasyarakat.
Hemat penulis, Ini sangat relevan jika di terapkan, sistem ekonomi syariah
dapat menjadi solusi bagi kemunduran perekonomian sistem kapitalis dan liberalis
yang sedang menuju pada resesi, dengan adanya krisis ekonomi global sekarang
ini.
Dengan adanya fenomena krisis saat ini dan makin terlihatnya berbagai
keunggulan ekonomi Islam diatas, mudah-mudahan pemerintah bersedia
menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan
ekonomi kedepan. Semoga Allah SWT membukakan pintu berkah dari langit dan
bumi Indonesia atas ketaatan tersebut.
C. Analisa Penulis
146 M. Syafi’i Antonio, “Sistem Syariah juga diterima Kalangan Non Muslim,” Suara
ISLAM, 20 Maret – 3 April 2009, h. 9.
123
Untuk mempermudah pemahaman pembaca budiman, penulis sajikan
ringkasan konsep distribusi Sadr147 melalui ilustrasi sebagai berikut :
Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr
Harus dijalankan dalam semua sistem Islam
(a) Ekonomi Islam---------------Studi interdispliner
Ekonomi Islam adalah sebuah pemikiran yang membahas isu-isu ekonomi yang berkenaan dengan sebagai usaha memahami sumber-sumber keadilan yang dimiliki
Pertanyaan ‘apa yang mesti’ Bukan fiqh mu’amalat
Muncul karena konflik kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial
(b) Masalah Ekonomi Solusi dalam agama Mungkin untuk memelihara
satu sistem distribusi meskipun cara / bentuk produksi yang bervariasi
hukum yang berkaitan dengan ekonomi perlu Ijtihad untuk menghadapi proses ‘penemuan’ al-Qur’an dan Sunnah masalah-masalah kontemporer sebagai contoh ajaran yang (c) Metodologi keadilan dan ucapan para bersumber dari Imam Syi’ah tidak buta hanya mengikuti hukum-hukum satu hukum
perlu analisis yang bebas dari pemikiran barat dan pandangan dunia
Asumsi Dasar Sadr
bagian dari ummah
Orang Islam percaya akan ghaib dan akhirat - rasionalitas berbeda dengan orang ekonomi
pengawasan dalam diri
viecegerency panggilannya untuk tugas, tanggung jawab, pertanggung jawaban dan keadilan, membawa kearah kerjasama
Asumsi dasar
pembatasan terhadap kebebasan individu adalah hal yang wajar
147 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.126-129
124
kepemilikan pribadi, umum dan pemerintah (Negara) muncul secara bersamaan.
Keutamaan sistem ekonomi Islam Sadr
memberikan
kepemilikan kepada individu berdasarkan pada pekerjaan dan kebutuhan
hubungan property terutama kepemilikan Negara kepemilikan pribadi
dibatasi untuk mendapatkan hak prioritas penggunaan dan penggunaan sendiri
pemerintah menggalakan
keadilan Keutamaan memastikan distribusi
dan sumber daya alam pembuat keputusan dan alokasi sumber daya pengalaman agama dan
sosial, pemerintah Islam dengan dinamisme dan Ijtihad
memastikan keadilan sosial dengan menyediakan
standar hidup yang seimbang untuk semua
jaminan sosial;
ditunjukan hanya untuk kemiskinan relatif larangan riba (bunga) dan semua bentuk eksploitasi implementasi zakat dan pajak lainnya termasuk khums, kharaj, fay, anfal -
Untuk mengurangi Kemiskinan.
125
Distribusi
kerja seseorang memiliki hak memanen tapi memiliki hasil hasil panen dari buruhnya (a) Distribusi pendapatan/kekayaan faqir kebutuhan redistribusi untuk mencapai standar hidup yang seimbang miskin tanah (dan sumber alam lainnya) tersedia bagi semua melalui pemerintah hak memanen dari prioritas penggunaan dapat dicapai melalui kerja dan kebutuhan (b) Pre-produksi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari kepemilikan pribadi buruh ekonomi adalah sumber kepemilikan dari buruh produk membatasi penyewaan dan bagi hasil (bagi ‘pemilik tanah’ sehubungan dengan batasan ukuran dari saham tanah)
memiliki hasil panen dari buruhnya
orang (buruh) adalah faktor utama dari produksi dapat menyewa pekerja lain dan
membayar upah dalam keadaan tertentu
mengganti kerugian pemilik dari factor produksi lainnya
buruh – upah atau saham laba tanah – sewa atau lahan garapan (c) Post-produksi faktor produksi modal – bagian keuntungan pengusaha – bagian keuntungan resiko dan inflasi resiko dan inflasi bukan merupakan alasan yang benar untuk mengembalikan
modal uang yang dipinjamkan
Sebelum penulis menganalisa konsep distribusi menurut Baqir Sadr,
berdasarkan analisis penulis, bahwa konsep distribusi menurut Baqir Sadr
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor pendidikan, politik dan
kondisi pada masa hidup beliau, dan faktor latar belakang dan riwayat hidup tokoh
ini.
Sadr juga seorang akademisi. Di samping itu, Sadr melengkapi
pengetahuannya dengan mendalami filsafat, teologi, sejarah, budaya,
126
kepemerintahan, politik dan ekonomi. Penguasaannya terhadap ekonomi dan
filsafat terbukti dalam karyanya yang monumental, seperti Iqtishaduna (Ekonomi
Kita) dan Falsafatuna (Filsafat Kita). Maka tidaklah mengherankan kalau
pemikiran Sadr dalam bidang ekonomi bercorak ekonomi normatif.
Selain itu, sikap politik Sadr yang konfrontatif terhadap Pemerintah juga
ikut mempengaruhi corak pemikiran dalam konsep-konsepnya.
1. Metodologi dan Ruang Lingkup Sadr
Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam
keseluruhan dan menuntut agar dipelajari sebagai satu interdisiplin yang utuh.
Bersama-sama dengan anggota masyarakat yang membentuk agen-agen dari
sistem tersebut. Ia mengemukakan bahwa pandangan dunia Islam perlu untuk
dipelajari dan dipahami. Sebelum melakukan satu analisa yang bermanfaat dari
sistem ekonomi Islam Dalam pendekatan holistik ini, Sadr mendiskusikan
pemikiran ekonominya. dia melihat orang yang mempunyai dua hal yang
berlawanan dengan bunga, misalnya personal dan sosial. Kemunculan berbagai
masalah dan Sadr melihat solusi ada didalam agama: karenanya, peran agama
yang sangat penting di dalam sistem ekonomi Islamnya. Menurut Sadr, Agama
selalu dipegang suci oleh kaum Muslim, berbeda dengan barat sekuler dan bersifat
fundamental dalam menentukan bunga yang sah dari orang demikian pula dalam
menentukan batas permintaan.148
148 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.111-112
127
Walaupun Sadr mengakui bahwa pendekatannya adalah satu hal yang
berkaitan dengan hukum, dia tidak mempertimbangkan ekonomi Islam untuk
menjadi setara dengan Fiqh Mu’amalat (hukum yang berkenaan dengan transaksi)
atau hukum yang berkenaan dengan hak milik. Dia melihat pemikiran ekonomi
Islam sebagai fondasi agar membentuk hukum yang berkenaan dengan ekonomi.
Hukum ini menurut Sadr, adalah ditentukan dan dengan referensi bagi teori-teori
dan konsep-konsep dimana pemikiran itu digambarkan. Dalam hal ini, Sadr
percaya bahwa ada satu sistem ekonomi yang seluruhnya tercipta dan
terselesaikan, walaupun mungkin tidak secara tegas disebut dalam sumber Islam
(sebagai contoh dalam Qur’an dan Sunnah dan fatwa-fatwa imam Syi’ah).
Karenanya Sadr terus maju dengan proses penemuannya. Dalam proses
penemuannya, semua hukum ekonomi dan perintah pengadilan, bersama-sama
dengan banyak konsep yang berhubungan dengan ekonomi dan masyarakat
(seperti vicegerency, keadilan, property, ibadah, dan lainnya), adalah mempelajari
bersama-sama dan kemudian digunakan untuk menemukan pemikiran ekonomi.
Dengan kata lain, sesudah hukum terkumpulkan, fondasi pemikiran dari hukum
ini ditemukan dalam sumber Islam. Ada juga suatu kebutuhan untuk ijtihad
(tuntutan intelektual independent), yang mana Sadr melihatnya sebagai kebutuhan
untuk mengisi kekosongan antara prinsip permanen dan hukum fleksibel, untuk
menentukan batas dari permintaan dan untuk mengorganisir, secara teoritis,
hukum dan konsep masuk kedalam suatu kesatuan utuh. Hal ini mendasari area
fleksibel dalam ekonomi Islam.149
149 Ibid., h.112
128
Panggilan Sadr untuk membawa ijtihad membawa ke garis terdepan peran
dari mujtahid (ahli hukum independen), yang mana sebuah opini dianggap sebagai
yang dapat diotorisasi. Bagaimanapun Sadr cepat untuk memperingatkan masalah
subjektifitas, harusnya membebaskan intelektual ini diperlebar secara jauh,
karenanya menyimpang dari sumber dan konteks aktual. Oleh karena itu,
panggilannya meminta untuk sebuah pernyataan intelektual yang berkualitas,
harus didalam batas-batas pertentangan yang diizinkan.150 Didalam ikatan ini, kita
bisa kemudian mengatakan Sadr itu memungkinkan kemungkinan dari opini-opini
yang barvariasi terhadap berbgai hal ekonomi, semua menurut hukum dan
bersumber dari Qur’an, Sunnah dan ucapan para Imam. Sebenarnya, kemampuan
ini untuk menerima opini dari berbagai mujtahidin adalah bagian dari metodologi
yang diadopsi oleh Sadr. Karena satu Mujtahid tidak benar dan tidak jujur dalam
pertimbangan, Sadr menyukai fleksibilitas ini, dari pada kepatuhan dogmatis
kepada opini satu mujtahid.151
2. Asumsi Dasar Sadr
Sadr tidak menerima pemikiran orang ekonomi agar supaya cocok
dengan sistem ekonomi Islam. Sebagai penggantinya, kita mempunyai orang
Islam, seorang individu yang melihat dirinya sebagai bagian dari ummah, yang
termotivasi oleh kepercayaan (anggapan) dan praktek religius. Tidak seperti
para ekonom konvensional, Ekonom Muslim percaya akan dunia ghaib atau
150 Pada poin ini, ada ruang untuk tidak setuju dengan Katouzian (1984) yang
menafsirkan pandangan Sadr dalam Ijtihadnya sebagai suatu hubungan dengan ukuran sewenang-wenang dari pemerintahan Shi’i, bahkan jika hal ini bertentangan dengan hadits nabi dan fatwa imam Shi’i 151 Ibid., h.113
129
spiritual, karenanya membuat dia lebih sedikit untuk dihubungkan kedunia
materi. Hasil ini dalam arti yang berbeda dari sebuah rasionalitas dan perilaku
rasional. Tidak seperti dengan para ekonom konvensional, motivasi adalah
kepuasan pribadi yang utama, para ekonom Muslim juga diarahkan oleh
‘pengawasan dari dalam’. Konsep dari vicegerency dan keadilan meminta
tugas, tanggung jawab dan pertanggung-jawaban, yang menyiratkan batasan
tertentu terhadap satu kebebasan individual. Bagi Sadr, tidak ada pernyataan
dari perasaan yang digumamkan oleh pembatasan-pembatasan ini karena suatu
kebebasan, dan karenanya perilaku rasional harus dilihat dalam konteks
kerangka sosial orang-orang Muslim, desakan dari individu untuk bertindak
seperti para ekonom rasional dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak
masuk akal. Sebagai contoh, kelebihan bunga (riba) dalam pinjaman uang
tidak dapat diterima orang Islam, tetapi dengan orang ekonom biasanya, itu
akan menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan pendapatan.152
Sadr juga tidak mempercayai pemikiran dari ‘keselarasan bunga’ ,
yang mendasari penekanan sistem kapitalis terhadap ‘kebebasan individual’.
Dia tidak menerima pandangan bahwa kesejahteraan masyarakat akan
meninggi jika para individu sibuk memenuhi keinginan individual mereka,
dan cukup melihat hal seperti ini sebagai awal pembentukan permasalahan
ekonomi sosial. Daripada tergantung pada keadaan Negara untuk
menyediakan penyesuaian antara kepentingan pribadi dan kesejahteraan
masyarakat, Sadr memberikan agama peranan yang penting. Ada peran untuk
152 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.113
130
pasar dan ada sebuah tempat untuk Negara tetapi jauh lebih penting lagi, ada
pengaruh penolakan dan panduan agama dalam sistem ekonomi Sadr.153
Implikasi yang lebih penting dari pandangan Islam terhadap kebebasan
adalah konsekuensinya untuk hak Kepemilikan. Sadr mengkritik yang
membandingkan dan merendahkan sistem ekonomi Islam, baik kapitalisme
atau sosialisme atau suatu percampuran sistem, tanpa berusaha untuk
memahami pandangan dunia Islam serta bagaimana nilainya menentukan
pandangan sendiri yang unik mengenai kepemilikan. Dia mengajarkan bahwa
Islam itu secara bersamaan menetapkan bentuk ynag berbeda dari
kepemilikan, misalnya. Pribadi, publik dan pemerintah, masing-masing
bekerja dalam batasan-batasanya sendiri, sebagai bentuk dari kepemilikan dia
menegaskan, adalah satu ekspresi dari satu perencanaan agama yang murni.
yang terletak didalam satu kerangka nilai dan makna yang khusus.154
Apa yang coba dikatakan oleh Sadr bahwasanya dalam mendiskusikan
ekonomi Islam, kita harus membebaskan diri-diri kita dari kerangka pemikiran
dan pengaruh orang-orang barat, dan yang menjadi dasar dari opini kita adalah
sesuai dengan pandangan kita. Ini tentu saja tidak akan ditentang oleh para
cendikiawan Muslim dan sejak Sadr mempertahankan dari awal bahwa dia
hanyalah mengamalkan pertanyaan ‘apa’, dia memulai untuk membangun
sistem ekonomi Islam dalam kerangka tersebut. Sebagaimana yang telah
dikerjakan Mannan dan Siddiq, untuk mendiskusikan ‘pengetahuan tentang
Ekonomi’ (sesuai dengan definisi Sadr) dan dalam pelaksanaannya, mereka
153 Ibid., h.113-114 154 Ibid., h.114
131
menerima analisis neo-klasikal. Ini juga yang Naqvi dan yang lainnya, seperti
Sadr telah kupas. Mereka merasa bahkan dalam pengetahuan tentang ekonomi,
kita harus membangun kerangka analisis kita sendiri. Sadr, tentu saja tidak
memposisikan dirinya dalam garis ini karena dia menghindari semua isu ilmu
pengetahuan. Baginya, pandangan dunia Islam dan kerangkanya, bersama-
sama dengan moral dan dimensi spiritualnya, yang membedakan sistem
ekonomi Islam dengan semua sistem lain. Bagaimanapun juga tidak
mendiskusikan pengetahuan tentang ekonomi, meninggalkan kemandegan
dalam pandangan Sadr, kemandegan yang harus ditangani oleh ahli ekonomi
Islam.155
3. Keutamaan Sistem Ekonomi Islam Sadr
Adanya Karakteristik Sistem Ekonomi Islam,156 di antaranya :
A. Hubungan kepemilikan
Sadr memandang Sistem Ekonomi Islam mempunyai perbedaan bentuk
dari kepemilikan bersama. Sadr menjelaskan bentuk kepemilikan ini
dibawah pemimpin-pemimpin berikut ini :
a. Kepemilikan pribadi
b. Kepemilikan umum
i) Kepemilikan pribadi
ii) Kepemilikan pemerintah
155 Ibid., h.114 156 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.114
132
Bagi Sadr, kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak,
prioritas penggunaan dan hak untuk menghentikan yang lain dari
penggunaan kepemilikan orang. tidak ada beberapa hal seperti
kepemilikan aktual kepada seorang individu. dalam hal ini pandangan Sadr
serupa dengan Teleghani, yang berbeda antara kepemilikan (adalah Allah
sendiri) dan milik (yang mungkin menjadi diizinkan kepada individu).157
Perbedaan antara kepemilikan masyarakat dan pemerintah yang
paling mendasar adalah didalam penggunaan beberapa property.
Sementara ‘Properti Umum’ harus digunakan untuk kemaslahatan
masyarakat (rumah sakit, sekolah, dan sebagainya), property pemerintah
tidak hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan bersama, tetapi juga
untuk masyarakat bagian tertentu, jika negaranya terpecah. Walaupun
Katouzian (1983) menemui itu sulit untuk membuat pengertian
operasional dari perbedaan ini benar-benar mencegah dari monopoli total
dari keputusan pemerintah. Selain itu, meskipun kepemilikan Negara
adalah norma dalam pembagian Sadr mengenai sumber alam, kepemilikan
pribadi dapat dicapai dengan cara bekerja atau karyawan, dan kaitannya,
akan hilang jika pekerjaannya berhenti.158
Menarik untuk dicatat bahwasanya Naqvi dan Teleghani (meskipun
pandangan mereka tidak tegas atau tetap) menekankan kepemilikan
bersama (kolektif) dan kepemilikan masyarakat berturut-turut, Sadr
meletakan hampir seluruh kepercayaan terhadap kepemilikan pemerintah
157 Ibid., h. 115 158 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.115
133
(Negara), karenanya Nampak menempatkan otoritas lebih besar ditangan
pemerintah (wali amr).159
B. Membuat keputusan, Alokasi Sumber Daya dan Kesejahteraan Umum:
Peran dari sebuah Negara
Sangat jelas fakta bahwasanya kepemilikan pemerintah
mendominasi sistem ekonomi Sadr, mendemonstrasikan peran yang sangat
penting dari sebuah Negara. Negara, direpresentasikan oleh wali- amr
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan keadilan itu
berlaku. ini yang dicapai berbagai fungsi:
a. Distribusi dari sumber alam kepada individu berdasarkan pada
kesediaan dan kapasitas mereka untuk bekerja.
b. Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah
didalam penggunaan sumber-sumber daya.
c. Memastikan keadilan sosial.
Ketiga fungsi pemerintah tersebut sangat penting karena konflik
yang dapat muncul sehubungan dengan perbedaan alami didalam kapasitas
individual (intelektual dan fisik). Sehubungan dengan perbedaan ini,
pendapatan akan berbeda dengan terciptanya kelas ekonomi. Karena itu,
pemerintah harus menyediakan keadilan satu standar hidup untuk semua
(daripada persamaan pendapatan). Dalam hal ini, pemerintah juga
dipercayakan untuk tugas didalam menyediakan jaminan sosial untuk
semua. Menurut Sadr, dapat dicapai dengan menggalakkan persaudaraan
159 Ibid., h. 115
134
(lewat pendidikan) diantara para anggota masyarakat dan melalui
kebijakan pembelanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik
secara spesifik dapat membantu orang miskin. dan dengan cara mengatur
kegiatan ekonomi untuk memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku,
bebas dari eksploitasi.160
Perlunya untuk memastikan keadilan sosial dan jaminan keamanan
untuk semua didasarkan pada prinsip bahwasanya semua sumber alam dan
hasilnya harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah, tetap
mempercayakan dengan kepemilikan, adalah batasan tugas untuk
meyakinkan ini dengan membantu siapa saja yang tidak membantu diri
mereka sendiri.161
Terakhir, pemerintah atau lebih tepat wali amr, dipercaya untuk
menciptakan kedinamisan dalam menafsirkan teks sesuai dengan zaman
sekarang ini. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun dan secara
tidak langsung Sadr memandang mujtahidun sebagai pemerintah.
Maksudnya tiap pemerintah memiliki ahli hukum atau pemerintah
mempunyai beberapa bentuk dewan penasehat yang senior.162
C. Larangan Riba dan Pengamalan zakat
Cukup aneh, Sadr tidak mendiskusikan riba seperti yang orang
harapkan. Selain daripada itu, penafsirannya mengenai Riba dibatasi hanya
160 Ibid., h.115-116 161 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116 162 Ibid., h.116
135
pada diskusi tentang bunga dan modal uang . Dalam hal ini, Taleghani dan
Naqvi menyediakan diskusi yang komprehensif mengenai isu ini.163
Mengenai pelaksanaan zakat, Sadr melihatnya sebagai tugas dari
pemerintah. Bersamaan dengan zakat, Sadr juga mendiskusikan khums, fay
dan anfal, demikian pula pajak lain yang dapat dikumpulkan dan
dibelanjakan untuk tujuan pengentasan kemiskinan serta untuk
menciptakan keadilan sosial.164
Bagaimanapun, poin yang menarik dimana Sadr sendiri
memfokuskan pada kemiskinan yang relatif. Walaupun kita dapat
menyetujui bahwa kemiskinan relatif adalah satu konsep yang penting
terutama dalam sasaran keadilan sosial Sadr, argumentasinya dimana
menentukan tingkat kemiskinan absolut – atau sebagai dia tetapkan,
‘ditetapkan’ tingkat kemiskinan, tidak akan perlu mendorong keadilan
standar hidup antara orang miskin serta kaya adalah lemah. Para
Cendikiawan Muslim setuju bahwasanya harus ada satu standar hidup
dasar tertentu yang dapat mempertimbangkan standar minimum bahwa
setiap manusia adalah dijamin. pengaturan standar ini tidak menghentikan
kita dari proses untuk mengurangi kekosongan didalam standar hidup
seperti yang diusulkan Sadr. inti dari Sadr oleh karenanya tidak dapat
diterima, akan menjadi situasi yang aneh dimana suatu Negara yang sangat
miskin tidak mampu menyediakan keperluan-keperluan yang paling
mendasar bagi orang-orang, tidak akan dipertimbangkan sebagai akibat
163 Ibid., h.116 164 Ibid., h.116
136
kemiskinan yang melanda, sebagai alasan sederhana bahwa semua orang
mempunyai standar hidup yang sama.165
4. Distribusi
a. Kepemilikan pemerintah adalah jenis dari kepemilikan yang paling
sering, walaupun memetik hasil hak adalah dapat dicapai dari
pemerintah.
b. Kepemilikan pribadi diizinkan hanya dalam jumlah situasi yang
terbatas166 :
i. Tanah tanaman dimana orang menerima Islam dengan sukarela
(Islam lewat da’wah)
ii. Jika menetapkan dalam perjanjian (hanya untuk tanah tanaman)
iii. Mineral yang tersembunyi yang memerlukan usaha, dan hanya
untuk sejumlah mineral yang tergali serta area yang tepat dari
pertimbangan
iv. Kekayaan lain, misalnya. melalui satu pekerjaan atau tenaga kerja
seperti menangkap burung, memotong kayu bakar, dan sebagainya.
c. Kepemilikan pribadi dibatasi untuk memetik hasil hak, prioritas
menggunakan dan hak untuk mencegah yang lain dari peningkatan
atau menggunakan property dalam satu kepemilikan.
d. Untuk mineral dan air, individu diizinkan untuk menggunakan apa
yang mereka butuh.
165 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.116-117 166 Ibid., h. 117-120
137
Dua permasalahan mungkin muncul mengenai pandangan Sadr
tentang kepemilikan dan hubungannya untuk hak distributif. Pertama,
permasalahan keterkaitan. Sejalan dengan Taleghani, Klasifikasi Sadr
menjadi dasar dimasa lalu, ketika Islam meluas; orang-orang akan
mengatakan ini adalah pandangan yang ketinggalan zaman. Bagaimana
pun terhadap inspeksi, masalah ini relevan mungkin sejak pertama kali
nampak. Mari kita ambil Malaysia sebagai satu contoh untuk
menggambarkan klasifikasi Sadr. Semenjak orang-orang Muslim di
Malaysia masuk Islam dengan sukarela, Malaysia akan muncul dibawah
kategori daratan dari perjanjian, Semua daratan ditanami oleh manusia
pada waktu itu akan diakui milik pribadi lain halnya hutan dan daratan
mati (barang sisa atau tak serasi) akan menjadi property pemerintah,
dengan memetik hasil hak dapat dicapai. lagi pula, penafsiran Sadr tentang
kepemilikan pribadi adalah satu yang sangat terbatas, dan karenanya tidak
sangat berbeda dari memetik hasil hak. Oleh karena itu, Klasifikasi Sadr
tidak sekuno seperti yang Nampak.167
Kedua, mungkin masalah yang lebih penting sehubungan dengan
ukuran perizinan dari hak untuk daratan. Sadr mengusulkan batasan
terhadap ukuran property. untuk hal ini, kita harus meneruskan teori
distribusi pra-produksinya. Dari struktur bagian atas (bangunan bagian
atas) atau ajaran hukum, Sadr melanjutkan lagi untuk menemukan
pemikiran atau teorinya. Cukup sederhana, teorinya mempunyai aspek
167 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
138
positif dan aspek negatif. Sisi negatif mengatakan bahwa tanpa tenaga
kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi. Sisi positif menyatakan
kesimpulannya, misalnya. Tenaga kerja adalah sumber hak dan property
yang cocok dalam kekayaan alami. Sadr lebih lanjut menyeleksi bahwa
karyawan dilibatkan mesti ada jiwa seorang karakter ekonom, seperti
melibatkan pemanfaatan dan laksanakan dengan paksaan. Bagaimanapun
dalam bagian ekonomi, tenaga kerja memberikan bermacam-macam
tingkatan hak tergantung pada sifat alami sumber alam dan keadaannya.168
a) Karyawan ekonom memberikan hak terhadap kepemilikan pribadi
dari produk-produk karyawan itu sendiri.
b) Karyawan ekonom memberikan hak kepemilikan untuk sumber
alam
c) Karyawan ekonom memberika prioritas individu dari penggunaan
dan hak untuk mencegah yang lainya dari penggunaan property
seseorang atau merampasnya (kecuali sumur, sumber mata air, dan
sebagainya).
d) Semua hak ini tidak berlaku ketika karyawan ekonomi berhenti.
Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwasanya karyawan
tidak memberi hak kepemilikan pribadi untuk tanah yang siap dipanen,
tetapi hanya untuk produk-produk dari tanah.169
168 Ibid., h.120 169 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.120
139
Juga seseorang yang bekerja ditanah tak bertuan mempunyai hak
yang lebih terhadap tanah itu (termasuk kebebasan untuk mencegah orang
lain yang menggarap tanah tersebut tanpa izinnya) dibandingkan seseorang
yang bekerja di tanah yang ditanami/tanah yang secara alami ditanami,
sebagai alasan sederhana untuk memperoleh kembali tanah kosong
mungkin akan memerlukan lebih banyak usaha dan, lebih banyak hak.
Poin ini penting ketika kita membicarakan masalah distribusi setelah
produksi (post-production distribution). Setelah dipertimbangkan
semuanya, kepemilikan sesuai tanah dan sumber alam yang lain milik
pemerintah (dengan beberapa pengecualian) dan individu harus membayar
pajak bumi kepada pemerintah (Negara). Sadr mengambil pandangan ini
berdasarkan pada konsep khilafah (vicegerency)nya, dimana kemanusiaan
secara keseluruhan dipercayakan dengan ketuhanan Allah, dan oleh karena
itu daratan (tanah) dan sumber alam lain harus siap sedia untuk semua,
melalui kepemilikan pemerintah. Dengan ini, mari kita kembali
kepertanyaan mengenai ukuran saham. Meskipun Sadr tidak secara jelas
mengatakan bahwa ukuran tanah harus dibatasi,170 dia menyebutkan 2 hal:
1. Tanah pribadi akan hanya menjadi tanah pribadi selama ada karyawan
(buruh) yang terlibat
2. Pemilik hak dibeikan kepada tingkat kesediaan dan kemampuan untuk
bekerja.
170 M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected
Comparative Analiysis, (Kuala Lumpur, 1995), h.121
140
Apa yang dimaksud dengan kapasitas bekerja? dibolehkan bagi
orang kaya (pemilik tanah) untuk menjalankan petani bagi hasil tak
terbatas sebagai penyedia benih ataupun pupuk, atau bahkan untuk
membayar hak dari pemerintah diatas lahan besar tanah itu, tetapi
menggarap tanah dengan sistem petani bagi hasil. Pandangan Sadr
mengenai tenaga kerja ekonomi tidak membolehkan akan hal ini dan
kerenanya harus dibatasi ukuran saham tanah tersebut. hal ini yang
membuat lebih jelas dalam pandangan tentang distribusi pasca produksi.171
Sementara itu, dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan,
dapat saja pemerintah memungut pajak atau zakat yang wajib di bayar dalam
sistem ekonomi konvensional dan dalam ssitem ekonomi syariah. Namun apakah
pungutan wajib tersebut akan mengurangi utility dari orang yang membayarnya
atau malah meningkatkan utility-nya.172 Atau bagaimana kita dapat menerangkan
perilaku orang memberikan donasi dalam sistem ekonomi konvensional atau infak
sedekah dalam sistem ekonomi syariah.
Dalam menganalisa konsep ini, penulis menggunakan dua definisi
rasionalitas dalam ekonomi konvensional, yaitu present aim dan self interest.173
Dalam definisi present aim yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan
dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Jadi dalam perilaku present
171 Ibid., h.121 172 Sayidina Abu Bakar r.a pernah menginfakkan seluruh hartanya, dan hanya
meninggalkan “Allah dan Rasul-Nya” kepada keluarganya. Sayidina Umar r.a menginfakkan separuh dari hartanya. Sa’ad ibn Rabi’ dari kaum Anshar juga pernah menawarkan membagi dua hartanya bahkan menawarkan salah satu dari dua istrinya kepada Abdurrahman ibn Auf, namun ditolak oleh Ibn Auf. Ibn Auf mendoakan “ Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu, “ dan bertanya “tunjukkan aku di mana pasar.”
173 Robert Frank. Microeconomics and Behavior 2nd ed. (New york : Mc Graw, 1994). h.251
141
aim dominasi perspektif subyektif sangat tinggi terhadap suatu masalah sehingga
timbul kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak
mempertimbangkan faktor eksternal : agama, keluarga, lingkungan dan
sebagainya.
Misalnya perilaku korup bagi definisi present aim174 bisa dikatakan
tindakan rasional, karena ia berasionalisasikan dengan keadaan dirinya.
Sedangkan dalam definisi self interest, motif yang mendorong ia melakukan suatu
perbuatan. Perspektif subyektif dari perilaku ini lebih didasarkan oleh
pertimbangan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Dalam kerangka definisi self interest dapat175 menerangkan perilaku
pemberian donasi, infaq, sedekah, dan tindakan menolong lainnya.176 Misalnya
Hasan (IA) yang tidak saja memikirkan pendapatannya tapi juga memikirkan
pendapatan Husein (IU). Secara matematis fungsi utility (Uf) ialah :
Uf = f (Mf. Mz)
Di mana :
Uf = utility Hasan
Mf = Pendapatan Hasan
Mz = Pendapatan Husein
174 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, (Yogyakarta : EKONISIA
Fakultas Ekonomi UII, 2007), h.247 175 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.223 176 Dalam istilah ekonomi konvensional disebut sifat altruism sebagai lawan kata sifat
selfish.
Peningkatan Kepuasan
Pend
apat
an H
asan
142
Pendapatan Husein
Gambar diatas177 menunjukan pendapatan Hasan pada sumbu X, dan
pendapatan Husein pada sumbu Y. Kurva indifference Hasan memiliki slope
negatif yang berarti ia dapat menerima pendapatannya berkurang untuk kenaikan
bagi pendapatan Husein. Perhatikan pula bentuk kurva indifference Hasan yang
melengkung yang menunjukan diminishing MRS, yaitu semakin besar pendapatan
Hasan, semakin besar jumlah yang ingin diberikannya kepada Husein agar
pendapatan Husein bertambah banyak.
Sebagaimana analisis penulis diatas, penulis berpendapat jika konsep
distribusi Baqir Sadr dapat diterapkan, maka angka kemiskinan akan semakin
berkurang. Sebaliknya, jika tidak diterapkan, maka angka kemiskinan di Indonesia
akan semakin meningkat.
Adapun strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi kendala zakat
antara lain :
1). Zakat perlu disosialisasikan bukan saja pada wilayah-wilayah keagamaan saja.
Anjuran berzakat tidak hanya di lembaga pendidikan agama, seperti pondok
pesantren, sekolah-sekolah agama Islam dan lain semacamnya, tetapi juga di
sekolah-sekolah umum.
177 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.223-224
143
2). Timbulnya kecenderungan zakat disamakan dengan pajak disebabkan
masyarakat kurang memahami esensi zakat. Demikian juga, keadaan ini
menggambarkan bahwa zakat dianggap kurang relevan dengan kondisi
ekonomi saat ini. Oleh karenanya, memahamkan zakat tidak sekedar
pendekatan agama tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
3). Koordinasi antara lembaga zakat perlu ditingkatkan. Di satu sisi hal ini akan
bisa digunakan meningkatkan kinerja di masing-masing lembaga, di sisi lain
menunjukan kondisi lembaga zakat yang baik pada masyarakat. Kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga zakat dapat diawali dari keadaan ini.
4). Keberadaan UU yang telah dibuat pemerintah memberikan peluang bagi
masyarakat untuk membuka lembaga zakat sebanyak-banyaknya. Walaupun
kenyataannya Pemerintah kurang efektif dalam mengimplementasikan UU ini,
tetapi setidaknya UU ini menjadi legitimasi bagi umat Isam dalam
mengembangkan lembaga zakat.
144
145
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian kepustakaan yang telah penulis lakukan dengan
menjelaskan Konsep Distribusi Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr,
penulis menemukan beberapa hal distribusi dapat di jadikan kesimpulan,
yaitu:
1. Shadr membedakan distribusi ke dalam dua bagian, distribusi pra produksi
dan pasca produksi. Distribusi pra produksi adalah sumber alam yang
merupakan faktor produksi alami yang terdiri kedalam empat kategori,
seperti 1.) tanah, mineral yang terkandung dalam perut bumi, (batubara,
belerang, emas, minyak dan lain sebagainya), 2.) aliran air (sungai), dan
sisanya 3.) berbagai kekayaan alam lainnya yang terdiri atas kandungan
laut (mutiara dan hewan-hewan laut), kekayaan yang ada dipermukaan
bumi (hewan dan tumbuh-tumbuhan), kekayaan yang tersebar diudara
(burung dan oksigen), kekayaan alam yang tersembunyi (air terjun yang
bisa menghasilkan tenaga listrik yang dapat dialirkan melalui kabel ke titik
manapun), juga kekayaan alam lainnya serta 4.) faktor turunan berupa
modal dan kerja, kesemuanya itu merupakan kekayaan yang diperlukan
dalam proses produksi.
Sementara itu pada distribusi pasca produksi menekankan pada
teori pendapatan dalam perspektif Islam, yaitu teori kompensasi dan bagi
hasil. Misalnya, seseorang berhak mendapatkan kompensasi atas barang
148
149
yang digunakan dan berhak mendapatkan bagi hasil dari ikutsertanya
dalam proses produksi.
Selain itu, Sadr membagi elemen yang ada dalam sistem distribusi
Islam menjadi elemen primer yakni berupa kerja dan kebutuhan dan
elemen sekunder berupa kepemilikan. Pandangan Sadr memiliki aspek
positif dan negatif. Sisi negatif, beliau mengatakan bahwa ‘tanpa tenaga
kerja, tidak ada hak kekayaan pribadi’. Sedangkan sisi positif menyatakan
‘tenaga kerja adalah sumber hak dan properti yang cocok dalam
kekayaan alami.’
Di sisi lain, Sadr melengkapi konsepnya dengan menggandeng
pendapat ahli fiqh sebagai suprastruktur (ajaran hukum), dan
menjadikannya sebagai prinsip-prinsip umum dalam bidang distribusi.
Dalam konsep distribusi, pemerintah memainkan peranan penting
dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Sadr mengemukakan bahwa Islam
menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat
berlebih-lebihan (boros). Islam juga mengangkat hal tersebut pada tingkat
yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem ‘jaminan sosial’.
Kemudian Redistribusi (distribusi ulang) juga memerankan suatu
bagian yang sangat vital dan berbagai bentuk pajak ditawarkan oleh Sadr
(zakat, khums, anfal fay). Sadr juga melihat pemerintah memainkan
peranan yang dinamis dalam mengimplementasikan kebijakan-
kebijakannya untuk menghadapi tantangan dari masyarakat modern ini.
150
Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa konsep distribusi Sadr
terbagi dua bagian, pertama, Distribusi Kekayaan yang terdapat pada
Distribusi pra Produksi (mentahnya). Kedua, Distribusi Pendapatan,
sebagaimana yang telah dijelaskan pada distribusi pasca Produksi
(kompensasi/hasilnya).
2. Relevansi Konsep Distribusi Menurut Baqir Shadr dengan Ekonomi Islam
Di Indonesia secara prakteknya dapat dilihat pada BAZ seperti BAZNAS
dan LAZ seperti Dompet Dua’fa, Rumah zakat, PKPU dan lain-lain. BAZ
dibentuk Pemerintah, sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat. Dengan
demikian, modal dan kerja keduanya bisa didapat, pegawai dapat gaji,
yang usaha berawal dari penerimaan zakat kemudian diusahakan lalu
menjadi pendapatan.
Zakat, disebutkan Sadr, adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan
dibawah Pengawasan Pemerintah. Artinya menurut Penulis, dengan di
kelola Pemerintah, zakat menjadi kewajiban yang mengandung sanksi bagi
pelanggarnya. Sebaliknya, kalau sekarang zakat baru berupa “pengurang
penghasilan kena pajak”, maka dengan amandemen UU Zakat bisa
ditingkatkan menjadi “pengurang pajak” atau tax deductable. Dengan
begitu, Eksistensi LAZ dan BAZ selama ini sudah on the right track,
tinggal melakukan edukasi dan sosialisasi kepada seluruh masyarakat
secara holistik komprehesif.
151
Sedangkan Relevansi Konsep Distribusi Menurut Baqir Shadr
dengan perekonomian masa kini, dalam hal kebijakan moneter, Sadr
menganalisa adanya penyimpangan terhadap fungsi uang yaitu terjadinya
penimbunan kekayaan melalui suku bunga. Karena perlu diketahui,
Indonesia sampai saat ini masih menggunakan suku bunga sebagai alat
kebijakan ekonominya, Sejumlah dana akan ditarik dari lapangan produksi
dan ditempatkan menjadi asset bank yang tidak produktif sehingga secara
tidak langsung akan mematikan sektor riil.
Uang ‘dipaksa’ untuk berfungsi sebagai komoditi dan alat
spekulasi. Aktivitas spekulasi di pasar uang ini mengakibatkan
ketimpangan antara transaksi di sektor riil dan transaksi di sektor moneter.
Perlu dikemukakan bahwa Islam sendiri melarang hal ini,
permintaan akan uang yang dibenarkan hanyalah untuk faktor transaksi
dan berjaga-jaga saja, permintaan uang sendiri harus didistribusikan
kepada faktor-faktor yang produktif. Sehingga penimbunan uang,
perdagangan uang dan spekulasi dilarang.
Penyimpangan terhadap distribusi, yang di rumuskan oleh Sadr,
akan mengakibatkan kekacauan di sektor riil yang bermuara pada krisis
ekonomi. Terlebih kita akan temukan bahwa bunga yang ditawarkan
cukup besar dan akan mengakibatkan banyaknya dana yang tidak
produktif. Krisis Global yang tengah terjadi di beberapa negara saat ini
salah satunya lebih banyak disebabkan oleh penyimpangan terhadap
distribusi yang merupakan ulah keserakahan manusia itu sendiri.
152
Dalam hal pendistribusian, jika pemerintah membiarkan terjadinya
penyimpangan dalam distribusi, maka akan meningkatkan jumlah orang
miskin, sehingga mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan yang
berkepanjangan. Dan yang terpenting, pemerintah harus menjamin
distribusi yang merata dan adil dengan jaminan yang riil.
B. Saran – Saran
Sebagai akhir dari skripsi ini, penulis ingin memberikan saran sebagai
berikut :
1. Hendaklah para pelaku ekonomi, pemerintah dan masyarakat luas, segera
melaksanakan konsep distribusi yang sesuai dengan syari’at.
Penyalahgunaan konsep distribusi, mengakibatkan dampak negatif pada
perekonomian global.
2. Penulis melihat, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keislaman dan
keekonomian, selayaknya para pemerhati dan pelaksana ekonomi perlu
untuk mencermati dan menelaah lebih jauh pemikiran tokoh ini.
Setidaknya menurut penulis, banyak melahirkan teori yang diawali dari
kondisi sosial-politik dimana tokoh berada. Seperti yang disinggung
Vilfredo Pareto, kesadaran di mulai dari kondisi,1 sang tokoh ini berjuang
mengembalikan masyarakat dunia ke peradabannya, yakni manusia yang
sadar lingkungan baik secara vertikal, horizontal maupun diagonal frontal.
1 Richard Bellamy, Teori Sosial Modern Perspektif Itali, (Jakarta : LP3ES),
diterjemahkan oleh Verdi R Hadiz, 1987.
153
Atau seperti kata Dawam Rahardjo,2 mengembalikan manusia ke awal
kelahirannya sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi (Homo Social
Homo Economics).
Ajaran tokoh ini telah membentuk sebuah pandangan yang baru dan
berbeda dengan masa yang sedang berlaku. Untuk kasus Indonesia, mengacu
pada krisis yang pernah menimpa di tahun 1998 dan krisis global yang tengah
terjadi dewasa ini serta kasus bank century, kiranya pemikiran dari tokoh ini
perlu mendapat tempat. Jika tidak, maka perbaikan disektor moneter (makro)
yang di mulai kita rasakan sejak era kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam jilid kedua ini, hanya bersifat temporer. Kekhawatiran akan
terjadinya krisis yang lebih dahsyat, bisa saja terjadi jika penyelewengan
terhadap distribusi terus dilakukan. Atau setidaknya, wacana yang di gulirkan
dapat di jadikan landasan dalam membentuk karakter ekonomi Indonesia
dalam menghadapi serangan pasar bebas dunia beberapa tahun mendatang.
2 M. Dawam rahardjo, Esai-Esai Ekonomi Politik, (Jakarta : LP3ES), Cet.Ke-2, 1985.
154
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Qur’an, 1971.
A. Djazuli dan Yadi Janwari, H.A. Lembaga-lembaga perekonomian umat sebuah pengenalan. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Adiningrat, Muhammad Arif dan Wadjdi, Farid. “ Kebijakan yang bertolak belakang “. Artikel diakses pada sabtu, 21 Mei 2005 dari Hizbut Tahrir Indonesia (www.hizbut-tahrir.or.id).
Afzalurrahman, Dokrin Ekonomi Islam Jakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Ali, Muhammad. Kamus bahasa indonesia modern, Jakarta : Pustaka AMANI.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005.
Amien Rais, Muhammad, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, Yogyakarta : PPSK Press, 2008.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2000.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Keunggulan Ekonomi Islam : Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : Pustaka Zahra, 2002.
Aufa, Ilham“ Hijaz 1800-1925 : Periode Penuh Intrik Politik dan Benturan Pemikiran “ dalam Dialogia, no1/vol.I/Mei 2000.
Baker, Anthon dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1990.
Baqir Ash-Shadr , Muhammad. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna. Jakarta : Penerbit Zahra, 2008.
Baqir Ash-Shadr, Muhammad. Falsafatuna : Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia. Bandung : Penerbit Mizan, 1995.
Baqir Ash-Shadr, Muhammad. Sistem Politik Islam. Jakarta : Penerbit Lentera basritama, 2001.
155
Baqir Sadr, Muhammad, Islam and School Economics, Terjemahan : Muslim Arbi Bandar, Lampung : YAPI, 1989.
Baqir Sadr, Muhammad, Manusia Masa kini dan Problema Sosial, Bandung : Pustaka Salman ITB, 1984.
Bukhari, Shahih Bukhari, cet. II. Riyadh : Daarus Salam, 1997.
Chapra, M. Umar. Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Chapra, M. Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi.Jakarta : Gema Insani Press, 2000.
Chapra. Islam dan tantangan ekonomi, Islamisasi ekonomi kontemporer, Surabaya : Risalah Gusti, 1999.
Daud, Abu. Sunan Abu Daud, Jilid.II. Beirut : Daarul Fikr, 1994.
di akses pada 15 Juni 2010 dari http//.badankebijakanfiskalkemenkeu.htm
di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/
di akses pada 15 Juni 2010 dari http://www.depkeu.go.id
Edwin Nasution, Mustafa. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2007. Ed. I. Cet. 2.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005.
Fakultas Syariah dan Hukum, Tim Penulis. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Haneef, M. Aslam, Contemporary Islamic Thought : A Selected Comparative Analysis, Kuala Lumpur, 1995.
Heru Priono, Djaka. “ Konsep Ekonomi Islam Baqir As-Shadr dan Monzer Kahf : Sebuah Studi Komparatif. “ Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
156
Mallat, Chibli, Menyegarkan Islam, Bandung : Mizan, 2001.
Mallat, Chibli, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti Bandung : Mizan, 2001.
Mallat, Chibli. Para Perintis Zaman Baru. Bandung : Mizan, 1998.
Mengatasi Kemiskinan. Buletin Dakwah AL-ISLAM Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 385 / Tahun XIV.
Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2002.
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam perspektif Islam, Yogyakarta : BPFE, 2004.
Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988.
Perbankan Syariah Tidak akan Membiayai Rokok, Miras dan Hiburan Malam, WARTA Media Informasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 03 Desember 2009.
Perwataatmadja, Karnaen, ”Kebutuhan dan Strategi Pengembangan Kurikulum untuk membangun SDI Syariah,” pada acara seminar ”Peran Perguruan Tinggi dalam membangun SDI Syariah Profesional,” dalam Indonesia Syariah Expo, 27 Oktober 2007, Jakarta Convention Centre : MES, 2007.
Poepoprodjo, Interpretasi : Beberapa Catatan Pendekatan Falsafatinya, Bandung : Remadja Karya, 1987.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
Qardhawy, Yusuf, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Press, 2001.
Renier, GJ, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.
Sholahuddin, M. Asas-asas ekonomi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta : EKONISIA Fakultas Ekonomi UII, 2007.
Suradjiman, Ekonomi 1 untuk Sekolah Menengah Umum, Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
157
Surur, Miftakhus. “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No.11 Th.VI (Maret 2009) : h.58.
Syakir Sula, Muhammad, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari Republika online.
Umar, Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.