22
1 KONSEP EMOSI (DALAM ISLAM) MUHAMAD PRIYATNA NIK. 207 006 015 NIDN. 21 160278 01 DOSEN TETAP JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PAI STAI AL-HIDAYAH BOGOR Pendahuluan Suatu hal niscaya dalam kehidupan manusia adalah fakta tentang sikap dan perilaku sehari-hari yang mencerminkan perasaan seperti rasa senang, sedih, marah, jengkel, muak, dan sebagainya. Tidak jarang dijumpai seseorang yang wajahnya berubah menjadi merah padam (dalam ungkapan al-Qur‟ân, muswaddan), pucat pasih, atau berseri-seri (musfirah), karena ada peristiwa emosional yang dialaminya saat itu. Hanya saja, ungkapan yang sering digunakan oleh masyarakat sehari-hari untuk memaknai emosi sering kali terbatas pada sikap dan perilaku marah saja. Padahal, cakupan emosi itu amatlah luas, tidak hanya terbatas pada sikap dan perilaku marah. Orang yang takjub saja, sebagaimana yang dialami istri Nabi Ibrahim ketika di usia senjanya dikabari akan memperoleh anak (Q.S. Hûd [11]: 72), sekelompok wanita terhormat berdecak kagum menyaksikan ketampanan Nabi Yusuf (Q.S. Yûsuf [12]: 30-32). Atau, orang-orang yang diidentifikasi sebagai al- bakkâûn, yakni mereka yang mencucurkan air mata sedih karena tidak bisa ikut dalam suatu perang membela Islam (Q.S. al-Tawbah [9]: 92). Sementara yang bersifat eksplosif seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ketika marah kepada kaumnya lalu melampiaskannya dengan membanting prasasti (al-alwâh) yang ada di tangannya (Q.S. al-A„râf [7]: 150). Pendek kata, emosi yang dialami manusia cakupannya sangat luas, sehingga Daniel Goleman (1997:411) menggambarkan bahwa kosakata yang kita miliki tak mampu menyebutkan secara persis keseluruhan emosi yang kita rasakan. Namun, para ahli mencoba mengklasifikasi emosi menjadi dua kelompok besar: emosi dasar (primer emotion) dan emosi campuran (mixed emotion). BAHAN AJAR KULIAH PSIKOLOGI UMUM DAN PERKEMBANGAN SABTU, 04 APRIL 2015

Konsep Emosi Dalam Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

File Kuliah Semester IV

Citation preview

  • 1

    KONSEP EMOSI (DALAM ISLAM)

    MUHAMAD PRIYATNA NIK. 207 006 015

    NIDN. 21 160278 01 DOSEN TETAP JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PAI

    STAI AL-HIDAYAH BOGOR

    Pendahuluan

    Suatu hal niscaya dalam kehidupan manusia adalah fakta tentang sikap

    dan perilaku sehari-hari yang mencerminkan perasaan seperti rasa

    senang, sedih, marah, jengkel, muak, dan sebagainya. Tidak jarang

    dijumpai seseorang yang wajahnya berubah menjadi merah padam

    (dalam ungkapan al-Qurn, muswaddan), pucat pasih, atau berseri-seri

    (musfirah), karena ada peristiwa emosional yang dialaminya saat itu.

    Hanya saja, ungkapan yang sering digunakan oleh masyarakat sehari-hari

    untuk memaknai emosi sering kali terbatas pada sikap dan perilaku

    marah saja. Padahal, cakupan emosi itu amatlah luas, tidak hanya

    terbatas pada sikap dan perilaku marah. Orang yang takjub saja,

    sebagaimana yang dialami istri Nabi Ibrahim ketika di usia senjanya

    dikabari akan memperoleh anak (Q.S. Hd [11]: 72), sekelompok wanita

    terhormat berdecak kagum menyaksikan ketampanan Nabi Yusuf (Q.S.

    Ysuf [12]: 30-32). Atau, orang-orang yang diidentifikasi sebagai al-

    bakkn, yakni mereka yang mencucurkan air mata sedih karena tidak

    bisa ikut dalam suatu perang membela Islam (Q.S. al-Tawbah [9]: 92).

    Sementara yang bersifat eksplosif seperti yang ditunjukkan oleh Nabi

    Musa ketika marah kepada kaumnya lalu melampiaskannya dengan

    membanting prasasti (al-alwh) yang ada di tangannya (Q.S. al-Arf [7]:

    150). Pendek kata, emosi yang dialami manusia cakupannya sangat luas,

    sehingga Daniel Goleman (1997:411) menggambarkan bahwa kosakata

    yang kita miliki tak mampu menyebutkan secara persis keseluruhan

    emosi yang kita rasakan. Namun, para ahli mencoba mengklasifikasi

    emosi menjadi dua kelompok besar: emosi dasar (primer emotion) dan

    emosi campuran (mixed emotion).

    BAHAN AJAR

    KULIAH PSIKOLOGI UMUM DAN PERKEMBANGAN

    SABTU, 04 APRIL 2015

  • 2

    Jenis emosi yang telah disepakati oleh para ahli sebagai emosi dasar

    adalah: emosi senang/bahagia (joy, ), marah (anger, ), sedih

    (sadness, ), takut (fear, ), benci/jijik (disgust, ), dan

    heran/kaget (surprise, ). Para ahli menyimpulkan bahwa keenam

    emosi ini yang diidentifikasi dirasakan oleh semua manusia di dunia.

    Emosi-emosi dasar tersebut adakalanya bercampur antara satu dan yang

    lain, misalnya antara marah dan benci, heran dan takut, benci dan rindu,

    dan sebagainya. Percampuran itu bisa terjadi sangat variatif sehingga

    sulit dipilah dan diberi nama, persis percampuran tiga warna dasar

    (magenta, biru, kuning) yang memungkinkan terciptanya nuansa warna

    tak berhingga.

    Keterbangkitan emosi ditandai oleh adanya perubahan faali (fisiologis)

    dan terekspresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Perubahan faali

    di saat emosi oleh al-Qurn diindikasikan antara lain dalam bentuk

    degup jantung (wajilat qulbuhum Q.S. al-Anfl [8]: 2, Q.S. al-Hajj

    [22]: 35), GSR (galvanic skin response) atau reaksi kulit (taqsyairru

    minhu juld Q.S. al-Zumar [39]: 23), reaksi pupil mata

    (tasykhashu fh al-abshr Q.S. Ibrhm [14]: 42; Q.S. al-Anbiy [21]:

    97), reaksi pernapasan (shadrah dhayyiqan Q.S. al-Anm [6]: 125,

    Q.S. al-Hijr [15]: 97, Q.S. al-Syuar [26]: 13 atau ungkapan seperti

    balaghat al-qulb al-hanjir Q.S. al-Ahzb [33]: 10). Sedangkan

    ekspresi yang dapat disaksikan antara lain wajah berseri-seri bahagia

    (wujhun yawmaidzin musfirah, dhhikah mustabsyirah Abasa

    [80]: 38-39), wajah hitam pekat atau merah padam (wajhuh

    muswadd Q.S. al-Nahl [16]: 58; Q.S. al-Zumar [39]: 60; Q.S. al-

    Zukhruf [43]: 17), pandangan tidak konsentrasi (zghat al-abshr

    Q.S. al-Ahzb [33]: 10; Shd [38]: 63; Q.S. al-Najm [53]: 17), menutup

    telinga karena ketakutan (yajalna ashbia-hum f dzni-him min al-

    shawiq hadzara al-mawt Q.S. al-Baqarah [2]: 19), menggigit ujung

    jemari (adhdh alaykum al-anmila min al-ghayzh Q.S. lu Imrn

    [3]: 119), reaksi kinestetis dengan membolak-balik telapak tangan karena

    kesal (yuqallibu kaffayh Q.S. al-Kahf [18]: 42).

    Ekspresi wajah merupakan ekspresi paling umum terjadi ketika

    seseorang mengalami peristiwa emosi. Gambaran al-Qurn tentang

    ekspresi wajah yang berseri-seri atau muram berdebu (Q.S. Abasa [80]:

    38-40) atau ekspresi bagian-bagian dari wajah boleh jadi karena wajah

    adalah cerminan jiwa manusia yang bersifat universal dan lintas kultural,

    dikenali oleh berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama. Ia

    bersifat bawaan (heredity) karena ternyata bayi yang terlahir buta tuli

    sekalipun mampu melakukannya, meskipun kemudian diperkaya oleh

    berbagai pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Menurut

    Davidoff (1987:327): We saw that people everywhere communicate

    basic emotions with the same facial expressions and find it easy to

  • 3

    identify basic emotions from facial expressions. We described how

    young babies, including those born blind and deaf, use these same

    expressions to communicate their feelings. The universality of basic

    facial expressions suggests that they are programmed into human beings

    by heredity. (Kita menyaksikan bahwa manusia di bagian dunia

    manapun mengomunikasikan emosi dasar dengan ekspresi wajah yang

    sama, dan kita pun mendapatkan bahwa suatu hal yang mudah untuk

    mengenali emosi dasar melalui ekspresi wajah. Kita menggambarkan

    bagaimana seorang bayi, termasuk mereka yang dilahirkan dalam

    keadaan buta dan tuli, menggunakan ekspresi yang sama ini untuk

    mengomunikasikan perasaan mereka. Universalitas ekspresi wajah dasar

    ini mengisyaratkan bahwa hal itu diprogramkan ke dalam diri manusia

    secara turun-temurun).

    Emosi Dasar dalam al-Qurn

    Kosakata yang berdenotasi emosi tidak dijumpai secara spesifik di dalam

    al-Qurn, tetapi bertebaran ayat yang berbicara atau berkaitan dengan

    perilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai peristiwa

    kehidupan. Ungkapan al-Qurn tentang emosi digambarkan langsung

    bersama peristiwa yang sedang terjadi. Berbagai peristiwa emosional

    dijelaskan oleh al-Qurn meskipun topik utamanya (main topic) bukan

    masalah emosi. Emosi yang muncul pada umumnya merupakan

    gambaran selintas terkait dengan main topic yang sedang dijelaskan atau

    diceritakan, sehingga mufasir pun kadang-kadang tidak tertarik untuk

    menjelaskan secara rinci hal itu.

    Berikut ini akan dijelaskan emosi-emosi dasar yang diisyaratkan oleh al-

    Qurn dalam kaitannya dengan sejarah peradaban umat manusia di masa

    lampau, sikap dan perilaku mereka yang terus berlangsung, serta

    gambaran emosi manusia dalam kehidupan di akhirat, baik yang

    menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (tak dikehendaki).

    A. Emosi Senang

    Emosi senang umumnya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang

    membuat kepuasan dalam hidup. We define happiness as overall

    satisfaction with life. Perasaan senang (cinta, gembira, puas, bahagia)

    adalah kondisi-kondisi yang senantiasa didambakan oleh setiap individu

    apa pun latar belakangnya. Hal yang mungkin berbeda adalah persepsi

    terhadap sesuatu yang dapat membuat orang senang. Sebagian

    menjadikan ukuran kesenangan itu pada harta yang melimpah, kesehatan

    yang prima, jabatan yang bergengsi, atau keluarga yang rukun dan

    sejahtera, sementara yang lain pada hal-hal di luar itu. Oleh karena itu,

    objek yang dapat membuat orang senang atau bahagia tidak bisa diukur

    sama untuk semua individu. Namun, secara umum al-Qurn menyatakan

  • 4

    bahwa manusia memi-liki predisposisi senang kepada wanita (lawan

    jenis), anak cucu, harta yang melimpah, kendaraan mewah, dan kekayaan

    lainnya (Q.S. lu Imrn [3]: 14).

    Ekspresi emosi senang dijumpai dalam beberapa ayat al-Qurn yang

    dengan jelas mengung-kapkan terjadinya perubahan-perubahan pada

    wajah menjadi berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang

    menyaksikannya. Ayat-ayat al-Qurn tersebut misalnya Q.S. al-Insn

    [76]: 11; Abasa [80]: 38-39; al-Muthaffifn [83]: 22-24; al-Insyiqq

    [84]: 7-9. Q.S. Abasa [80]: 38-39:

    . Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria. (Q.S.

    Abasa [80]: 38-39)

    Menurut al-Thabar (1405 H), kata musfirah dalam ayat tersebut berasal

    dari asfar, yaitu ungkapan dalam bahasa Arab untuk menyebut wajah

    yang cantik (bersinar). Cahaya subuh juga disebut asfar ketika mulai

    bersinar, bahkan setiap yang bersinar dikatakan musfir. Wajah yang

    musfirah adalah wajah berseri-seri yang memancarkan sinar

    kegembiraan karena mendapatkan suatu kenikmatan.

    Ungkapan emosi senang di dalam al-Qurn sangat beragam. Senang

    meraih kenikmatan dan terhindar dari kesulitan misalnya dijumpai dalam

    Q.S. Hd [11]: 10; al-Rm [30]: 36; al-Syr [42]: 48; lu Imrn [3]:

    170; Ynus [10]: 58; Ysuf [12]: 33-34. Senang terhadap lawan jenis

    (Q.S. lu Imrn [3]: 14; al-Rm [30]: 21; Ysuf [12]: 30-32), senang

    terhadap harta (al-Fajr [89]: 20; al-diyt [100]: 8; al-Kahf [18]: 34; al-

    Rad [13]: 26), senang memberi atau menerima (al-Hasyr [59]: 9; al-

    Naml [27]: 36; al-Tawbah [9]: 58-59; al-Insn [76]: 8-9; al-Nis [4]: 4).

    Sementara senang terhadap hasil usaha (prestasi) dapat dilihat misalnya

    dalam Q.S. al-Rm [30]: 2-4; al-Anm [6]: 135; lu Imrn [3]: 188;

    Ghfir [40]: 83. Ada pula bentuk kesenangan yang menyimpang dari

    fitrah kemanusiaan, yaitu jika seseorang senang terhadap kesulitan orang

    lain (lu Imrn [3]: 120; al-Tawbah [9]: 50). Jenis yang terakhir ini

    tentu harus dihindari karena bertentangan dengan ajaran agama.

    Kata fariha (gembira, senang) yang disebutkan dalam beberapa ayat di

    atas merupakan gambaran suasana hati ketika dapat merasakan kepuasan

    begitu men-dapat-kan apa yang diinginkan. Demikian pendapat al-

    Baghaw (1407 H) yang menyatakan: : . Objek

    yang menimbulkan emosi senang bersifat sangat personal. Nabi Yusuf

    sangat senang ketika doanya terkabul untuk masuk penjara sebagai usaha

    menghindari godaan para wanita yang tertarik padanya (Q.S. Ysuf [12]:

    33-34).

  • 5

    Sedangkan Q.S. al-Hasyr [59]: 9 turun dalam kasus Abu Thalhah (yang

    lain menyebut Tsbit ibn Qays, atau Ab Nashr Abd al-Rahm) yang

    begitu berempati kepada tamunya pengungsi dari kaum Muhajirin. Ia

    sendiri kesulitan dalam hidupnya tetapi masih tetap mengutamakan

    tamunya meski harus memberikan makanan yang tadinya untuk anak

    balitanya. Walaupun ayat ini turun untuk apresiasi terhadap emosi

    senang yang ditunjukkan seorang Ansar kepada Muhajirin, namun

    kondisi itu merata pada hampir semua kaum Anshar. Faktor senang

    membantu tamu-tamu itu merupakan gejala umum di masyarakat

    Madinah. Mereka memberi apa yang dibutuhkan oleh tamu-tamunya

    meskipun sebenarnya mereka juga butuh, termasuk mereka yang

    memiliki istri lebih dari satu dengan rela diberikan kepada tamu-tamu

    Muhajirin.

    Hal yang kontras terjadi adalah apa yang dijelaskan dalam Q.S. al-

    Taubah [9]: 58-59. Ayat ini turun pada kasus Ibn Dzu al-Khuway-sharah

    al-Tamimi (atau pada Abu al-Jawaz, atau Abu al-Jawthada yang

    menyebutnya, munafik), ia memprotes keadilan Rasulullah ketika

    mem-bagi sedekah dan harta rampasan perang (ghanmah, al-fay)

    karena ia tidak mendapat bagian. Orang-orang munafik ketika mendapat

    bagian mereka meluapkan kesenangan, tetapi ketika tidak, serta-merta

    mereka menggerutu dan marah. Atau, ketika mendapat banyak amat

    senang, tapi ketika sedikit mereka jengkel

    .

    Q.S. al-Rm [30]: 2-4 menggambarkan kekalahan dan kemenangan dua

    kekuatan imperium di abad VII, Romawi Timur dan Persia (yang

    mendapat simpati dari kaum musyrik Mekah). Kemenangan terhadap

    lawan (tanding) merupakan prestasi. Sebuah prestasi, apakah diukir

    sendiri atau oleh orang yang mendapat simpati dan dukungan kita,

    membawa kepuasan tersendiri. Semakin susah prestasi itu diperoleh,

    semakin tinggi pula nilai kepuasannya. Menurut McClelland pada diri

    manusia terdapat kebutuhan untuk berprestasi yang dikenal dengan

    istilah n-Ach (need for achievement).

    Senyampang dengan itu, al-Qurn melarang manusia melampiaskan

    emosi senangnya dengan berlebih-lebihan, cara-cara yang tak lazim, atau

    akibat kesombongan dan maksiat (Q.S. al-Qashash [28]: 76; Ghfir [40]:

    75-76; al-Hadd [57]: 23). Larangan mengungkapkan emosi senang yang

    terdapat pada 28:76 hendaklah dipahami sebagai emosi senang yang

    berlebihan dan yang membawa pada kebanggaan terhadap diri sendiri

    sebagai-mana yang dilakukan oleh Qarun ibn Yushar ibn Qahits ibn

    Lawi. Karena ternyata harta kekayaan dan pernik-pernik duniawi dapat

    membangkitkan emosi senang berlebihan dan dapat men-jauhkan

    manusia dari Allah. Menurut al-Baydhw bahwa ketidaksukaan Allah

  • 6

    kepada orang yang mengungkapkan kegembiraannya (seperti dapat

    dibaca pada Q.S. al-Qashash [28]: 76) adalah jika dilakukan secara

    berlebih-lebihan dan semata-mata dalam hal keduniawian yang

    menyebabkan manusia lupa pada eksistensi Tuhan sebagai sumber

    kesenangan itu. Apalagi jika ungkapan emosi senang itu terjadi karena

    kemaksiatan yang dilakukan, sebagaimana dijelaskan Q.S. Ghfir

    [40]:75.

    B. Emosi Marah

    Emosi marah adalah emosi yang paling dikenal dalam percakapan sehari-

    hari, bahkan sering dianggap perilaku marah identik dengan emosi.

    Tingkah laku yang menyertai emosi marah sangat beragam mulai dari

    tindakan diam atau menarik diri (withdrawal) hingga tindakan agresif

    yang dapat mence-derai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicunya

    juga sangat beragam, dari hal-hal yang sangat sepele sampai pada

    pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Pada umumnya emosi

    marah pada manusia dikenali dengan terjadinya perubahan pada raut

    muka (tegang, merah padam), nada suara yang berat, anggota badan

    bergetar, atau sikap siap menyerang. Atau, agresivitas itu tidak

    menggejala karena disembunyikan dengan alasan-alasan tertentu.

    Faktor penyebab keterbangkitan emosi marah ada yang bersifat eksternal

    dan ada pula yang bersifat internal. Faktor eksternal adalah stimuli yang

    datang dari luar diri kita, baik lingkungan sosial maupun lingkungan

    alam seperti cuaca, gangguan alam, atau yang lain. Sedangkan faktor

    internal datang dari dalam diri manusia sendiri atau sering juga disebut

    sebagai faktor personal. Orang yang tempramental sangat mudah

    tersinggung dan terpancing untuk melampias-kan emosi marahnya

    ketimbang dengan orang penyabar. Sikap dan tingkah laku marah

    dimiliki oleh semua makhluk, bahkan Allah sebagai al-Khliq dapat

    marah (murka). Allah marah kepada orang yang membunuh manusia

    tanpa haq, musyrik, munafik, bersumpah palsu, dan sebagainya.

    Gejala-gejala emosi marah yang muncul dalam sikap dan perilaku

    manusia yang direkam oleh al-Qurn dalam berbagai peristiwa,

    ekspresi, dan tindakan. Salah satu di antaranya, Q.S. al-Arf [7]: 150:

    Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan

    sedih hati berkatalah dia: Alangkah buruknya perbuatan yang kamu

  • 7

    kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji

    Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan

    memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke

    arahnya. Harun berkata: Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah

    menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab

    itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan

    janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang

    zalim.

    Ekspresi emosi marah dalam penuturan al-Qurn dijumpai dalam semua

    bentuk ekspresi. Pertama, ekspresi marah dengan perubahan pada raut

    muka dijumpai misalnya dalam Q.S. al-Nahl [16]: 58-59; al-Zukhruf

    [43]: 7 (ketika orang-orang jahiliah mendapatkan bayi perempuan).

    Kedua, ekspresi marah dengan kata-kata diungkapkan Q.S. Thaha [20]:

    86; al-Qalam [68]: 48; al-Anbiy [21]: 87-88 (peristiwa Nabi Musa yang

    kesal kepada saudara-nya, Harun; dan peristiwa Nabi Yunus yang kesal

    kepada kaumnya lalu pergi menjauh dan kemudian ditelan ikan

    kekesalan berganda). Ketiga, ekspresi emosi dengan tindakan dapat

    dibaca pada Q.S. lu Imrn [3]: 119; al-Arf [7]: 150 (orang-orang

    kafir musyrik menggigit jari-jemarinya karena marah yang bercampur

    benci kepada kaum Muslimin; dan peristiwa Nabi Musa melempar

    prasasti/alwh ketika menjumpai kaumnya menyembah al-ijl). Keempat,

    ekspresi marah dengan diam digambarkan misalnya oleh Q.S. Ysuf

    [12]: 84-85; 12:77 (Nabi Yaqub berpaling dari anak-anaknya yang

    bersekongkol membunuh Yusuf; dan Yusuf menahan marah atas fitnah

    saudara-saudaranya kepada dirinya).

    Betapa banyak peristiwa emosi marah yang selalu kita saksikan dalam

    kehidupan sehari-hari akibat dari tidak tercapainya sesuatu yang

    diinginkan. Orang bisa berteriak, memaki, membentak, menendang,

    menempeleng, menggebrak meja, membanting gelas, menggerutu,

    melotot, atau tindakan lainnya hanya karena harapannya tak kesampaian.

    Rekaman peristiwa di dalam al-Qurn telah mencatat aneka macam

    tingkah laku manusia ketika berbagai keinginannya gagal tercapai. Ada

    yang memutarbalik-kan fakta untuk mencelakakan orang yang menjadi

    penghalang harapan-harapannya itu (Q.S. Ysuf [12]: 25-28). Ada yang

    meng-ajak perang tanding untuk menampil-kan kehebat-an yang

    dimilikinya agar dapat disaksikan oleh khalayak (Q.S. Thaha [20]: 63-

    70). Ada pula yang berusaha mengusir orang yang menjadi perintang

    keinginan-keinginan mereka dengan deportasi ke luar negeri mereka

    (Q.S. al-Naml [27]: 54-56). Dan, aneka respons emosional yang muncul

    di saat harapan tak kesampaian: menggerutu kalau hanya mendapat

    sedikit bagian zakat (Q.S. al-Tawbah [9]: 58); kesal kalau dzikrullh

    mendominasi percakapan (Q.S. al-Zumar [39]: 45); jengkel yang

    melanda orang kafir ketika tak mampu memperdayakan dan

  • 8

    mengalahkan orang mukmin padahal jumlah personel dan teknologi

    perang mereka lebih unggul (Q.S. al-Ahzb [33]: 25).

    Keterbangkitan (arousal) emosi marah kadang-kadang bermula dari

    percakapan biasa, tawa canda yang kemudian menyerempet ke harga

    diri, hingga provokasi yang disengaja untuk membang-kitkan emosi

    marah. Harga diri (self esteem), pembelaan pada simbol identitas, dan

    perebutan teritori adalah hal yang paling sering memunculkan emosi

    marah. Firaun merasa kekuasaannya dilecehkan lalu memprovokasi

    masyarakat untuk mengirimkan pemberaninya melawan Musa dan

    pengikutnya (Q.S. al-Syuar [26]: 53-55).

    Personifikasi juga terjadi dalam menggambarkan emosi marah.

    (Personifikasi sering muncul karena gaya bahasa al-Qurn yang puitis,

    meskipun ia bukan buku sastra. Bertanya pada negeri

    [Q.S. Ysuf [12]: 82], benda-benda angkasa terma-suk planet-planet

    patuh kepada Tuhannya [Q.S. al-Insyiqq [84]: 2,5],

    langit dan bumi tidak menangisi mereka

    [Q.S. al-Dukhn [44]: 29], adalah contoh-contoh personifikasi al-Qurn

    yang harus dipahami sesuai dengan konteksnya). Q.S. al-Mulk [67]: 6-8

    dan al-Furqn [25]: 12 menggambarkan tentang kegeraman neraka ketika

    dimasuki para pendosa. Menurut Ibn Katsir, kemarahan neraka

    digambarkan hampir-hampir memisahkan bagian demi bagian akibat

    amarah yang dahsyat kepada penghuninya.

    C. Emosi Sedih

    Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya manusia

    bergem-bira, adakalanya juga bersedih. Sedih karena gagal meraih

    sukses, mendapat kesulitan, ditinggal orang yang dicintai, atau sebab

    yang lain. Begitulah kehidupan terjadi silih berganti (Q.S. lu Imrn

    [3]: 140). Tertawa atau menangis sudah merupakan bawaan (naluri,

    gharzah) karunia dari Allah. Dari sejak lahir manusia sudah pandai

    menangis dan tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan orang

    belajar dari lingkungannya kapan tempatnya tertawa dan kapan pula

    menangis. Q.S. al-Najm [53]: 43 menjelaskan:

    Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan

    menangis.

    Kesedihan memang sesuatu yang tidak diharapkan, tetapi senang atau

    tidak senang, pasti mampir juga dalam perjalanan hidup manusia.

    Rasulullah saw. sendiri pernah mengalami kesedihan bertubi-tubi, antara

    lain ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya dalam selang waktu

  • 9

    relatif singkat, sehingga tahun kejadian itu dikenal dalam sejarah sebagai

    m al-huzn (tahun kesedihan, tahun 619 H). Cobaan yang dialaminya

    cukup berat sampai tiba saatnya mendapat kelapangan (al-insyirh,

    enlightenment, pencerahan). Kesedihan berganti dengan kebahagiaan,

    beban berat terlewati, dan memang sesudah kesulitan pasti ada

    kemudahan. Sungguh! (Q.S. al-Insyirh [94]: 1-8).

    Pada umumnya, yang kita kenali dalam ekspresi emosi sedih adalah

    tangis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang yang menangis pasti

    bersedih, karena ternyata ada tangis bahagia, tangis haru, atau bahkan

    ada tangis pura-pura seperti terjadi pada kisah saudara-saudara Yusuf.

    Ekspresi lain adalah raut wajah yang menggambarkan suasana hati ketika

    sedang bersedih: dingin, pucat, pandangan lesu, tanpa senyum, tidak

    bergairah.

    Beberapa ayat al-Qurn menjelaskan model-model ekspresi emosi sedih

    yang diperankan oleh manusia. Pertama, ekspresi emosi sedih dengan

    cucuran air mata yang memancarkan perasaan yang dialami (Q.S. al-

    Tawbah [9]: 92); kedua, tangis yang dibuat-buat untuk memberi kesan

    kesedihan atau sandiwara (Q.S. Ysuf [12]: 15-16); ketiga, ekspresi

    sedih dalam bentuk perilaku menarik diri (withdrawal, tawall) disertai

    mata yang berkaca-kaca (Q.S. Ysuf [12]: 84-86).

    Pada umumnya, kesedihan muncul ketika seseorang ditimpa kesulitan,

    kemalangan, atau kondisi-kondisi yang sangat tak diharapkan lainnya.

    Penyebab kesedihan pasti akan mampir dalam setiap kehidupan manusia,

    hanya tinggal bagaimana orang itu memaknai setiap peristiwa yang

    dialaminya, lihat Q.S. Fushshilat [41]: 49; al-Marij [70]: 19-22; Ghfir

    [40]: 18; al-Zukhruf [43]: 17; Shd [38]: 27; lu Imrn [3]: 191. Orang

    mukmin sejati yang senantiasa memelihara ketakwaannya sangat pandai

    memaknai setiap peristiwa yang terjadi sehingga mereka tidak mudah

    larut dalam kesedihan atau keputusasaan (Q.S. al-Anm [6]: 48; Ynus

    [10]: 62-63; al-Ahqf [46]: 13; al-Zumar [39]: 61; al-Arf [7]: 35; al-

    Baqarah [2]: 122, 277). Kalaupun ada orang mukmin bersedih, hal itu

    karena ia tidak mampu memaksimalkan kebaikan yang seharusnya bisa

    dilakukannya (Q.S. al-Tawbah [9]: 92) seperti pada Kelompok Tujuh

    atau Kelompok al-Bakkn (orang-orang yang mencucurkan air mata

    sedih karena gagal berpartisipasi dalam suatu perang jihad yang mereka

    rindukan).

    D. Emosi Takut

    Emosi takut merupakan salah satu emosi yang sangat penting dalam

    kehidupan manusia, karena berperan untuk mempertahankan diri dari

    berbagai masalah yang dapat mengancam kehidupan itu sendiri. Emosi

    takut manusia dalam penuturan al-Qurn mempunyai cakupan yang

  • 10

    luas. Bukan hanya gambaran ketakutan di dunia ini seperti ketakutan

    pada kelaparan, kehilangan jiwa dan harta, bencana alam, melainkan juga

    menyangkut ketakutan pada kesengsaraan hidup di akhirat. Hal ini

    menjadi pembeda yang tegas antara orang beriman yang percaya pada

    kehidupan akhirat dengan yang tidak. Ketakutan pada orang beriman

    juga menjadi ajang promosi baginya untuk mencapai suatu predikat

    tertentu dalam pandangan Allah. Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah

    [2]: 155 (juga Q.S. al-Nahl [16]: 112)

    Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

    ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan

    berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

    Manfaat emosi takut menurut perspektif al-Qurn tidak hanya untuk

    menjaga manusia dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya

    di dunia ini, tetapi juga mendorong setiap mukmin untuk memelihara

    dirinya dari azab Allah di akhirat. Kehidupan akhirat meskipun time

    response-nya lama, tetapi pasti sebagaimana pastinya kematian itu

    sendiri. Sebenarnya, pada diri manusia terdapat mekanisme pertahanan

    diri sehing-ga segala sesuatu yang dapat mengancam dirinya akan

    dihindarkan atau dia yang menghindar. Menghindar dapat berupa

    kesengajaan atau tindakan refleks yang bersifat spontanitas terhadap

    ancaman yang bersifat sekonyong-konyong. Manusia akan selalu

    melakukan adaptation (adaptasi, penyesuaian diri dengan lingkungan)

    atau adjustment (penyesuaian ling-kungan menurut yang dikehendaki)

    terutama terhadap hal-hal yang berpotensi mengancam jiwa.

    Perubahan tingkah laku karena emosi takut umumnya diekspresikan

    dalam bentuk perubahan pada raut muka menjadi pucat pasih, berteriak

    histeris (scream), loncat dan berlari, merunduk, menutup telinga,

    menghindar, atau tindakan lain. Perubahan faali dapat terjadi berupa

    denyut nadi meningkat, jantung berdebar-debar, pandangan mata kabur,

    keluar keringat dingin, persen-dian terasa lemas. Ekspresi berupa tingkah

    laku antara lain seperti menutup telinga ketika mendengar petir dan kilat

    yang menyambar-nyambar (Q.S. al-Baqarah [2]: 19), mengungsi karena

    takut perang (Q.S. al-Baqarah [2]: 243). Ketakutan yang muncul pada

    hubungan intra-personal biasanya terjadi ketika mengingat peristiwa

    masa lampau yang tersimpan di dalam memori (Q.S. al-Syuar [26]:

    14; al-Qashash [28]: 18; lu Imrn [3]: 151; al-Rm [30]: 28).

    Sedangkan emosi takut yang muncul pada hubungan dengan orang lain

    (interpersonal) baik perorangan maupun kelompok (Q.S. Thaha [20]: 67-

  • 11

    68; al-Syuar [26]: 21; Shd [38]: 22; Thaha [20]: 40-46, 77; al-Nis

    [4]: 77,101; al-Anfl [8]: 26; al-Midah [5]: 21-22; Ynus [10]: 83).

    Dari ayat-ayat itu tampak jelas adanya kesan ketakutan terhadap

    manusia, dalam hal ini penguasa yang lalim, kelompok tirani yang

    perkasa (qawm jabbrn), dan serdadu-serdadu yang menjadi mesin

    perang. Akan tetapi, kemudian Allah memberi peneguhan kepada orang-

    orang beriman untuk berani melawan kebatilan siapapun pelakunya, dan

    menegakkan yang haq sesudahnya. Perbedaan-perbedaan yang ada pada

    manusia menyangkut ideologi, agama, etnis, dan perbedaan lainnya

    dapat menjadi potensi konflik antar-manusia yang menimbulkan emosi

    takut, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, al-

    Qurn mereduksi potensi konflik itu dengan mengajak semua pihak

    yang memiliki perbedaan tadi untuk saling mengenal (Q.S. al-Hujurt

    [49]: 13), dan kemudian saling menghormati. Kalaupun terjadi konflik

    antarorang perorang segera didamaikan sebelum menjadi perang besar

    antarkelompok (Q.S. al-Hujurt [49]: 9-10).

    Pencegahan dini sebagaimana dimaksud oleh al-Qurn itu diperlukan

    karena ketika massa terlibat pada suatu masalah terkadang sulit

    dikendalikan. Jiwa individu ketika berada di tengah-tengah massa lebur

    menjadi jiwa massa. Gejala seperti ini dalam psikologi dikenal dengan

    istilah deindividuation.. Dan ternyata berdasarkan berbagai eksperimen,

    deindividuation ini potensial menjadi pemicu agresi. Dalam bahasa

    Feldman (1985:316), deindividuation is also a potential cause of

    aggression, and this fact has been shown in a number of experiments.

    Emosi takut dalam kaitannya dengan hubungan metapersonal

    digambarkan al-Qurn dalam dua term, yaitu: al-khawf () dan al-

    khasyyah (), selain term taqw yang sering diterjemahkan ke dalam

    bahasa Indonesia dengan takut (yang sesungguhnya tidak pas). Sebagian

    ulama tafsir membedakan kedua term itu (al-khawf dan al-khasyyah),

    sementara yang lainnya menganggapnya sino-nim saja. Jika dicermati

    ayat-ayat yang menggunakan term al-khawf (seperti Q.S. Ibrhm [14]:

    14; Q.S. al-Sajdah [32]: 16) tampaknya lebih umum dan intensitas

    ketakutan itu lebih ringan jika dibandingkan dengan pada term al-

    khasyyah (seperti Q.S. Ysin [36]: 11; al-Mulk [67]: 12). Takut kepada

    bencana alam maupun bencana hari kiamat juga selalu menggunakan

    term al-khawf (seperti Q.S. al-Anm [6]: 15; al-Arf [7]: 59; Ynus

    [10]: 15; Hd [11]: 3, 26, 84, 103; al-Isr [17]: 57; al-Nr [24]: 37, 50).

    E. Emosi Benci

    Mekanisme pertahanan hidup manusia melahirkan berbagai tingkah laku

    dan berbagai jenis emosi. Emosi benci, seperti halnya emosi takut, dapat

    mengan-tar manusia untuk melestarikan hidupnya. Hanya saja, emosi

  • 12

    benci itu kadang-kadang tidak tepat sasaran jika terarah pada hal-hal

    yang seharusnya tidak dibenci. Bahkan, menurut al-Qurn ada hal-hal

    yang sering dibenci oleh manusia, tetapi ternyata sangat bermanfaat

    baginya. Atau sebaliknya, disenangi tetapi membawa efek negatif

    baginya (Q.S. al-Baqarah [2]: 216; al-Nis [4]: 19).

    Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu

    yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat

    baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia

    amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

    Emosi kebencian dan ketidaksenangan manusia, sebagaimana tergam-bar

    dalam ayat-ayat al-Qurn, umumnya mengarah pada kebencian terhadap

    kebe-naran yang datang dari Allah SWT. berupa wahyu itu sendiri,

    keharusan untuk taat, berjihad, berinfak, dan sebagainya. Kalau

    dibandingkan dengan jumlah ayat yang menerangkan tentang emosi

    senang di dalam al-Qurn, maka emosi benci jauh lebih kecil

    jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan al-Qurn

    sebenarnya lebih cenderung pada pendekatan reward (ganjaran, targhb)

    daripada punishment (hukuman, ancaman, tarhb).

    Keberpihakan Allah terhadap kebaikan merupakan salah satu cara

    memotivasi manusia untuk selalu dalam kebaikan dan membenci hal-hal

    yang buruk dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dalam banyak

    ayat, Allah SWT. sering kali menutup sebuah ayat dengan menyatakan

    ketidaksenangannya pada keburukan itu. Allah tidak senang pada:

    kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. al-Baqarah [2]:

    205; al-Maidah [5]: 64; al-Qashash [28]: 77), keterlaluan atau melampaui

    batas (Q.S. al-Baqarah [2]: 190; al-Midah [5]: 87; al-Arf [7]: 31),

    berfoya-foya, mubazir, isrf (Q.S. al-Anm [6]: 141; al-Arf [7]: 31),

    suka berkhianat (Q.S. al-Nis [4]: 107; al-Anfl [8]: 58; al-Hajj [22]:

    38), sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. al-Nis [4]: 36; al-

    Nahl [16]: 23; Luqmn [31]: 18; al-Hadd [57]: 23), lupa daratan karena

    kelewat gembira (al-Qashash [28]: 76), mengingkari kebenaran, kafir

    (Q.S. al-Baqarah [2]: 276; lu Imrn [3]: 32; al-Rm [30]: 45), berbuat

    aniaya, zalim (lu Imrn [3]: 57, 140; al-Syr [42]: 40), suka berkata-

    kata kasar (al-Nis [4]: 148).

    Ekspresi emosi benci yang digambarkan oleh al-Qurn adakalanya

    bersi-fat spontanitas dan adakalanya pula tidak spontanitas. Ekspresi

    yang tidak spontanitas itu sejatinya hanya tertunda karena mungkin ada

  • 13

    faktor takut atau hal lain jika diekspresikan pada saat itu juga. Emosi

    benci yang spontan dan yang tidak spontan masing-masing dapat dilihat

    dalam Q.S. al-Isr [17]: 46 dan lu Imrn [3]: 119-120.

    Kebenaran dari Allah digambarkan oleh al-Qurn dalam banyak ayat

    sering kali mendapat penolakan dengan ekspresi kebencian dan

    ketidaksenangan dari sebagian manusia. Selalu ada upaya sistematis dan

    terus-menerus untuk meng-hancurkan kebenaran dari Allah itu. Dalam

    ungkapan al-Qurn misalnya disebutkan mereka ingin memadamkan

    cahaya dari Allah, dan sebagainya (Q.S. al-Tawbah [9]: 32-33; al-Shaff

    [61]: 8-9; Ynus [10]: 82; al-Anfl [8]: 8; al-Muminn [23]: 70; al-

    Zukhruf [43]: 78; Muhammad [47]: 9, 26, 28; al-Zumar [39]: 45).

    Demikian juga ketidaksenangan pada perilaku kebaikan misalnya pada

    infak (Q.S. al-Tawbah [9]: 53-54), pada jihad (Q.S. al-Anfl [8]: 5; al-

    Baqarah [2]: 216; al-Tawbah [9]: 81-82), ketaatan beribadah (Q.S. al-

    Rad [13]: 15), keikhlasan dalam mengabdi (Q.S. Ghfir [40]: 14).

    Emosi benci terhadap perilaku seseorang kadang-kadang sulit dipisahkan

    dengan pelakunya. Ketika kita benci pada perilaku menggunjing

    (ghbah), maka kita pun tak senang pada orang yang suka ghbah itu.

    Atau sebaliknya, sering kali orang benci pada seseorang membawa pula

    ketidaksenangan pada segala yang berhubungan dengan orang itu.

    Tertawanya orang yang tak kita senangi terdengar pula tak enak di

    telinga. Ketidaksenangan orang kafir pada ajaran Allah berdampak

    kebencian kepada pembawa risalah (rasul). Hal ini yang dialami oleh

    para rasul sebagaimana banyak disinyalir oleh al-Qurn, seperti

    dijelaskan Q.S. al-Arf [7]: 88 dalam kasus Nabi Syuaib.

    F. Emosi Heran dan Kaget

    Emosi heran dan kaget berada pada garis kontinum yang sama. Pada

    peristiwa heran terdapat sangkaan di luar yang dibayangkan terjadi,

    merasa ganjil ketika mengindera sesuatu, atau di luar kebiasaan.

    Sedangkan pada peristiwa kaget emosi terjadi dengan sangat tiba-tiba,

    terperanjat atau terkejut karena heran yang tiba-tiba. Intensitas emosi

    pada peristiwa kaget lebih dalam dibandingkan dengan emosi pada

    peristiwa heran. Akibatnya, perubahan fisiologis pada emosi kaget juga

    lebih tinggi, seperti denyut jantung yang lebih cepat, pernafasan yang

    berat, dan sebagainya. Emosi heran dan kaget diperlukan dalam

    konstelasi kehidupan manusia, karena hal itu memberi peringatan dan

    pewaspadaan terhadap sesuatu yang dapat mengancam kehidupan.

    Sesuatu yang tak lazim sekonyong-konyong muncul atau dijumpai di

    sekitar kita perlu diwaspadai kalau-kalau hal itu berbahaya bagi

    kehi-dupan.

  • 14

    Di dalam al-Qurn, ekspresi heran dan kaget muncul dalam sejumlah

    ayat sebagai fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan manusia

    ketika berhadapan dengan objek di lingkungannya, baik lingkungan alam

    maupun lingkungan personal (sosial). Bahasa yang sering digunakan al-

    Qurn adalah takjub yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

    Seperti halnya kurva normal, kehidupan ini selalu disertai oleh

    keganjilan, sebagian ganjil negatif dan sebagian lagi ganjil positif. Orang

    yang buruk rupa dan memiliki multihandicapped dapat dikategorikan

    sebagai ganjil negatif, sementara yang sangat cantik atau ganteng dan

    nyaris tanpa cacat sebagai ganjil positif. Anak yang terbelakang mental

    (idiot) biasanya dianggap sebagai anak luar biasa (ke bawah), sementara

    yang jenius pun disebut anak luar biasa (ke atas).

    Emosi kaget (heran, takjub) yang dialami oleh manusia pada umumnya

    diekspresikan dengan berteriak spontan, terperanjat, mata membelalak,

    merinding, merunduk, latah, meneteskan air mata, menertawai, diam

    seribu bahasa, termangu, terpesona, dan sebagainya. Ekspresi heran dan

    kaget ini juga telah digambarkan di dalam al-Qurn dengan sangat

    spektakuler, misalnya Q.S. Ysuf [12]: 31:

    Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka,

    diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat

    duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau

    (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf):

    Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka. Maka tatkala

    wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya

    dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna

    Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah

    malaikat yang mulia.

    Di alam ini terkandung banyak hal atau peristiwa misteri, tidak atau

    belum diketahui secara pasti mengapa hal itu terjadi. Dengan curiosity

    (keingintahuan) yang ada pada manusia sedikit demi sedikit misteri itu

    tersibak melalui penga-laman-pengalaman atau penelitian-penelitian. Di

    kalangan sufi dikenal istilah tersingkapnya kasysyf (tirai selubung) yang

    menyelimuti hakikat sesuatu ketika pengalaman dan latihan (riydhah,

    exercise) mencapai maqm (tingkat) tertentu.

  • 15

    Apabila diklasifikasi berbagai peristiwa dalam kehidupan ini, maka dapat

    dikatakan ada tiga pewilayahan: Pertama, wilayah terang (putih), yaitu

    hal atau peristiwa yang telah dapat diterangkan secara jelas tentangnya,

    tanpa ragu. Kedua, wilayah gelap (hitam), yaitu yang masih misterius

    bagi manusia, belum dapat dijelaskan. Dan ketiga, wilayah bayang-

    bayang (abu-abu), sesuatu yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan

    dengan memuaskan meskipun sebagian daripadanya telah mulai tersibak.

    Contoh, bagi orang yang belum pernah melihat besi berani (magnet, besi

    yang mengandung muatan listrik) sebelum-nya akan terheran-heran

    ketika menyaksikan magnet itu dapat menggaet potongan besi lain di

    dekatnya. Baginya, magnet itu masih berada dalam wilayah hitam.

    Sementara para ahli fisika dan yang telah mendapat penerangan tentang

    teori dan cara kerja magnet itu berarti telah menjadikannya wilayah

    terang baginya.

    Ayat-ayat yang menerangkan tentang adanya peristiwa yang

    mengherankan (menakjubkan) terjadi di luar kebiasaan antara lain: emosi

    heran berkenaan dengan malaikat (Q.S. Hd [11]: 70), berkenaan dengan

    jin (Q.S. al-Jinn [72]: 1), berkenaan dengan manusia (Q.S. Shd [38]:

    22), berkenaan dengan hewan (Q.S. al-Kahf [18]: 63), berkenaan dengan

    tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Wqiah [56]: 63-65, lihat lebih lanjut 68:17-

    33), dan emosi heran berkenaan dengan sejarah masa lalu (misalnya Q.S.

    al-Kahf [18]: 9; al-Baqarah [2]: 258).

    Kemampuan dan kehebatan luar biasa yang dimiliki seseorang dapat

    mengundang keheranan (takjub, taajjub) dari orang lain. Kehebatan itu,

    sebagai-mana dapat dibaca dari ayat-ayat al-Qurn, misalnya para

    pembawa risalah Allah yang memiliki kemampuan lebih dibanding

    dengan manusia pada umumnya (komunikasi melalui wahyu dengan

    Allah, mukjizat, integritas pribadi yang prima). Kelebihan lain yang juga

    dapat membuat orang heran adalah bentuk fisik, harta kekayaan, dan

    anak keturunan, jika hal itu tidak lazim dari biasanya menurut ukuran

    normal. Q.S. Qf [50]: 2 merujuk pada ekspresi keheranan yang

    ditunjukkan orang yang tak percaya atau ragu tentang kemungkinan

    seorang manusia menjadi pembawa risalah dari Allah. Menurut al-

    Baydhw, ekspresi keheranan itu terjadi karena ketakpercayaan pada

    manusia biasa dari jenis mereka dapat menerima wahyu. Yang mereka

    harapkan adalah dari malaikat sebagaimana harapan orang-orang tua

    mereka sebelumnya. Ekspresi heran terhadap kemampuan diri sendiri

    tergambar dalam Q.S. Hd [11]: 72-73 ketika istri Nabi Ibrahim yang

    sudah menopause diberitakan akan melahirkan seorang anak. Kata ajz

    dalam bahasa Arab diartikan sebagai nenek yang telah renta. Dalam kitab

    Tafsr al-Baydhw dijelaskan usia pasang-an itu masing-masing sudah

    mencapai 90 atau 99 tahun (istri) dan 100 atau 120 tahun (iii,246).

  • 16

    Pengendalian Emosi

    Kehidupan manusia selalu mengalami ritme yang berbeda-beda, ada

    saatnya mendapatkan kenikmatan lalu merasa bahagia, tetapi di saat yang

    lain mengalami musibah lalu bersedih. Aneka ekspresi yang muncul

    dalam menang-gapi berbagai situasi yang dialami itu sesungguhnya

    memperkaya kehidupan itu sendiri. Tak terbayangkan dalam pikiran

    seandainya pada semua yang dialami manusia muncul hanya satu jenis

    ekspresi emosi, misalnya bahagia terus-menerus atau sedih sepanjang

    masa, tentu tak nikmat. Morgan et al. (1986:310), memberi komentar

    menarik tentang hal ini sebagai berikut:

    Life would be dreary without such feelings. They add color and spice to

    living; they are the sauce which adds pleasure and excitement to our

    lives. We anticipate our parties and dates with pleasure; we remember

    with a warm glow the satisfaction we got from getting a good grade; and

    we even recall with amusement the bitter disappointments of childhood.

    On the other hand, when our emotions are too intense and too easily

    aroused, they can easily get us into trouble. They can warp our

    judgment, turn friends into enemies, and make us as miserable as if we

    were sick with fever.

    (Hidup akan menjadi kering tanpa adanya berbagai perasaan atau emosi.

    Perasaan atau emosi itu menambah warna dan bumbu bagi kehidupan; ia

    merupakan saus yang menambah nikmatnya kebahagiaan dan

    kegembiraan dalam kehidupan. Kita menanti datangnya pesta dan kencan

    dengan senang hati; kita mengenang dengan bangga pada kepuasan yang

    kita rasakan saat mendapatkan nilai yang bagus; dan kita bahkan

    mengingat dengan penuh geli saat-saat mengecewakan dari masa kecil

    kita. Di sisi lain, ketika emosi kita terlalu berlebih dan terlalu mudah

    terpancing, ia dapat dengan mudah membawa kita ke dalam masalah.

    Emosi dapat membengkokkan penilaian kita, mengubah teman jadi

    lawan, dan menjadikan kita sengsara ketika kita terkena sakit demam).

    Benar, emosi memang menjadi bumbu kehidupan, tetapi ketika emosi

    memuncak tak terkendali dan atau berlangsung dalam waktu lama, maka

    kemungkinan timbul masalah yang runyam dalam kehidupan fisik

    maupun psikis. Emosi yang sangat dalam dapat menyebabkan

    terganggunya mekanisme faali, sistem kimiawi tubuh, dan memunculkan

    ketegangan-ketegangan yang merusak tatanan equilibrium (homeostatis)

    yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam diri manusia. Al-Qurn

    mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab emosi yang dapat

    merusak tatanan mekanisme fisik dan psikis itu, misalnya: ketakutan

    yang amat dahsyat (fobia), kelaparan, kehilangan harta dan anggota

    keluarga secara tiba-tiba (Q.S. al-Baqarah [2]: 155), terlampau gembira

  • 17

    (euforia) karena memperoleh harta melimpah (Q.S. al-Qashash [28]:76),

    berputus ada dari rahmat Allah (Q.S. al-Zumar [39]: 53, 12: 87), dan

    sebagainya.

    Ada beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap akibat

    buruk dari emosi berlebihan, antara lain:

    1. Tetap konsisten (istiqmah) dalam kebenaran (al-haqq). Permohonan

    yang selalu kita sampaikan kepada Allah adalah tetap berada pada shirth

    al-mustaqm (Q.S. al-Ftihah [1]: 6), tidak mengikuti langkah-langkah

    setan dan orang-orang yang telah disesatkannya, karena hal itu selalu

    membawa kepada kemungkaran.

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-

    langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,

    maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang

    keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan

    rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu

    bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,

    tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah

    Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Lihat pula Q.S. al-Baqarah

    [2]: 168, 208; al-Anm [6]: 142)

    Satu hal paling sering membuat manusia waswas, guncang, tidak dalam

    kondisi tenang, yaitu ketika orang itu tidak konsisten dalam menjalani

    kebenaran, tetapi membiarkan dirinya melanggar aturan (hukum)

    mengikuti langkah-langkah setan. Semakin berat akibat hukum yang

    ditimbulkan suatu perbuatan semakin berat pula tingkat

    ketidaktenangannya. Pantas apabila Rasulullah saw. memberi indikasi

    perbuatan dosa dengan adanya ketidaktenangan (waswas) dalam hati dan

    takut diketahui orang lain:

    Kebaikan itu adalah kesempurnaan akhlak, sedangkan dosa adalah apa

    yang membuat hatimu waswas (bergejolak) dan kamu tak senang jika

    orang lain mengetahuinya. (H.R. Muslim).

    Konsistensi dalam menjalankan kebenaran dari Allah baik dalam sikap

    maupun perbuatan akan mengeliminasi kekhawatiran dan kesedihan

  • 18

    dalam hidup, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Q.S.

    al-Ahqf [46]: 13 (lihat juga Fushshilat [41]: 30).

    Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah

    Allah, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran

    terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.

    2. Berpikir positif dan bersikap realistis dalam menerima apa pun yang

    datang dari Allah sebagai bagian dari perjalanan hidup. Allah menguji

    manusia dengan berbagai ujian (bal) untuk mengetahui siapa yang

    mampu bersabar dan siapa yang tidak, sebagaimana dipahami dari Q.S.

    al-Baqarah [2]: 155-156; Muhammad [47]: 31, bahkan kehidupan dan

    kematian pun merupakan cobaan (Q.S. al-Mulk [67]: 2). Berpikir positif

    dan bersikap realistis terhadap kenyataan hidup, baik yang

    menyenangkan maupun yang menyedihkan, ditandai oleh mekanisme

    syukur-sabar. Banyak di antara manusia yang tidak mampu mengontrol

    dirinya ketika menghadapi kenyataan hidup, baik yang menyenangkan

    maupun yang menyedihkan (Q.S. al-Marij [70]: 20-21; Ynus [10]: 12;

    al-Isr [17]: 83; Fushshilat/41:49-51). Dalam Q.S. al-Marij tersebut

    telah pula dijelaskan siapa yang mampu mengendalikan (mengontrol)

    diri, antara lain karena telah terlatih dalam menjalankan pengabdian yang

    menghasilkan sikap dan perilaku syukur dan sabar. Orang yang bersikap

    dan berperilaku syukur jika mendapatkan karunia tidak serta-merta lupa

    daratan, tetapi ia memaknai sebagai karunia dari Allah yang juga

    menjadi ujian baginya. Q.S. al-Naml [27]: 40 mengisyaratkan hal ini.

    Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: Aku akan

    membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka

    tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun

    berkata: Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku

    bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang

    bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya

    sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha

    Kaya lagi Maha Mulia.

    Sementara apabila mendapat musibah ia bersikap dan berperilaku sabar

    dan memaknainya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan

  • 19

    kembali kepada-Nya (Q.S. al-Baqarah [2]: 155-157). Sabar harus dalam

    kesempatan pertama (al-shadmah al-l, benturan pertama).

    3. Mengatasi masalah agar tidak berkembang menjadi lebih buruk. Ada

    banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketegangan

    emosional misalnya menarik napas panjang, berteriak, katarsis. Agama

    mengajarkan untuk pergi berwudhu, dzikrullh, relaksasi, dan

    sebagainya. Dua terakhir paling mudah dilakukan:

    a. Dzikrullh

    Mengingat Allah (dzikrullh) dalam kondisi emosi memuncak (arousal)

    termasuk dalam kategori pengalihan emosi (replacement) kepada objek

    lain yang memungkinkan meredam efek negatifnya. Meskipun model

    replacement ini banyak ragamnya, dzikrullh termasuk yang paling

    mudah dilakukan dan dalam banyak hal sangat efektif, terutama mereka

    yang sudah terlatih untuk itu. Berkenaan dengan hal ini, Allah

    menjelaskan di dalam Q.S. al-Rad [13]: 28 sebagai berikut:

    (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram

    dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah

    hati menjadi tenteram.

    b. Relaksasi

    Pada saat emosi memuncak sistem kimiawi tubuh ikut berubah dan dapat

    menimbulkan ketegangan-ketegangan fisik dan psikis. Untuk mereduksi

    pengaruh-pengaruh buruk itu perlu segera dikembalikan ke posisi

    equilibrium normal dengan cara relaksasi. Rasulullah saw. memberi

    solusi ketika seseorang marah (mewakili emosi negatif) agar segera

    mengubah posisi ketika itu.

    Jika seseorang di antara kamu marah dalam posisi berdiri, maka

    hendaklah ia duduk mudah-mudahan marahnya hilang. Kalau belum reda

    juga, maka sebaiknya ia berbaring).

  • 20

    Secara umum Al-Quran pun mengindentifikasikan perubahan fisiologis yang tereskpresikan dalam bentuk sikap atau tingkah laku. Seperti dalam

    table berikut ini:

    No. Perubahan Fisologis

    (faali) Ayat QS

    1 Degup Jantung Al-Anfal: 2, Al-Hajj: 35 2 Reaksi Kulit Az-Zumar: 23 3 Reaksi Pupil Mata Ibrahim: 42, Anbiya: 97 4 Reaksi Pernapasan Al-Anam: 125, Al-Hijr:

    97, Al-Syuara: 13

    5 Ekspresi wajah berseri-seri

    Abasa: 38-39 6 Wajah hitam pekat atau

    merah padam An-Nahl: 58, Al-zumar:

    60, Al-Zuhkhruf: 17

    7 Pandangan tidak

    konsentrasi (terpana) Al-Ahzab: 10, Shad: 63,

    An-Najm: 17

    8 Menutup telinga karena ketakutan

    Al-Baqarah: 19 9 Menggigit ujung jari Ali Imran: 119

    10 Reaksi kinestetis dengan

    membolak-balik telapak tangan karena menyesal

    Al-Kahfi: 42

  • 21

    Kesimpulan

    Emosi manusia di dalam al-Qurn tersebar dalam berbagai surah dan

    ayat mengikuti peristiwa-peristiwa fenomenal yang dihadapi manusia

    dalam berbagai persoalan kehidupan. Ungkapan al-Qurn tentang emosi

    itu digambarkan dalam bentuk ekspresi, perubahan fisiologis, tindakan

    dan tendensi tindak-an, sampai pada berbagai model pengendalian emosi,

    baik dalam bentuk katarsis, pengalihan (replacement), relaksasi, dan

    selainnya. Ekspresi emosi yang paling sering dikemukakan oleh al-

    Qurn adalah ekspresi wajah, persis dengan apa yang ditemukan dalam

    penelitian-penelitian psikologi bahwa wajah merupakan cerminan jiwa

    manusia. Psikologi menemukan bahwa ekspresi wajah ketika terjadi

    emosi pada manusia bersifat universal dan lintas kultural, dikenali oleh

    berbagai etnis di dunia dengan pola-pola yang sama ketika mereka

    senang, marah, benci, heran, takut, atau sedang sedih. Dari ekspresi

    itulah manusia dapat memahami emosi yang sedang dialami orang lain

    sehingga ia dapat mengambil suatu sikap atau tindakan yang sesuai dan

    diperlu-kan dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal.

    Emosi senang dalam al-Qurn, seperti halnya dalam psikologi,

    dikatego-rikan sebagai emosi positif karena didambakan oleh manusia

    terjadi pada dirinya. Al-Qurn berbicara tentang emosi senang ini lebih

    banyak dan lebih variatif dibandingkan dengan emosi-emosi lain. Al-

    Qurn menggunakan misalnya term al-hubb, al-surr, al-nam, al-

    ridh, al-tabsyr, al-farh, untuk merujuk pada emosi senang. Bahkan,

    penggambaran emosi senang itu tidak terbatas pada kegiatan atau

    peristiwa di dunia, tetapi juga gambaran emosi senang di kehidupan yang

    eternal di akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis emosi ini memang

    menjadi dambaan manusia.

    Ekspresi emosi marah dalam al-Qurn digambarkan sangat terinci, dari

    perubahan raut muka, dalam bentuk verbal, tindakan-tindakan agresif,

    hingga marah yang ditekan (represif) sebagaimana terjadi pada kasus

    Nabi Yusuf yang difitnah pernah mencuri seperti yang dilakukan

    saudaranya, Bunyamin, yang mencuri alat timbangan milik negara saat

    itu. Deskripsi yang demikian terinci itu boleh jadi merupakan bentuk

    pengenalan yang lengkap agar manusia dapat memahami ciri-cirinya,

    mereduksi ketika muncul keterbangkitan (arousal), atau berusaha untuk

    meng-hindarinya sama sekali dan berlapang dada terhadap sumber-

    sumber pemicu emosi marah melalui mekanisme pemberian maaf.

  • 22

    Dalam hal emosi benci, al-Qurn lebih banyak mengemukakan perilaku

    manusia yang sering kali membenci kebenaran, kebaikan, dan personal.

    Suatu hal yang mena-rik bahwa al-Qurn memberi warning kepada

    manusia bahwa adakalanya kita membenci sesuatu tetapi ternyata

    mem-bawa kebaikan (manfaat) bagi kehidupan, ataupun sebaliknya.

    Sedangkan emosi heran, takjub, kaget, merupakan sebuah garis kontinum

    yang dialami dalam berbagai peristiwa tertentu berdasarkan pada

    intensitas, meskipun frekuensi kemunculannya dalam ayat-ayat al-

    Qurn tidak sesering dibandingkan dengan emosi-emosi yang lain.

    Adapun emosi takut manusia lebih banyak dijelaskan berkaitan dengan

    bencana, ketakutan pada hubungan-hubungan: intrapersonal,

    interpersonal, dan meta-personal. Sedangkan emosi sedih umumnya

    dalam bentuk imbauan untuk tidak gampang bersedih. Ekspresi emosi

    sedih dalam beberapa ayat digambarkan dengan tangis atau linangan air

    mata (tafdhu min al-dam, ibyadhdhat aynh). Al-Qurn selalu

    menggandengkan emosi cemas/khawatir (anxiety, al-khawf) dengan

    emosi sedih (sadness, al-huzn) dan mengulangnya hingga tiga belas kali.

    Dalam psikologi kedua term ini dimaknai hampir sama kecuali time

    case-nya berbeda. Kecemasan terjadi menjelang suatu peristiwa yang tak

    diinginkan, dan kesedihan terjadi sesudahnya.

    Untuk mereduksi atau mengeliminasi efek-efek negatif dari ketegangan-

    ketegangan yang mungkin muncul pada keterbangkitan emosi diperlukan

    berbagai model yang dapat digunakan sebagai pengendali emosi.

    Wallhu alam.

    Sumber:

    http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-

    artikel/256-emosi-menurut-perspektif-al-quran

    http://km07010017.blogspot.com/2012/01/emosi-dalam-pesrfektif-al-

    quran.html