33
Suatu penelitian terkait kebijakan merupakan penelitian yang sifatnya praktis aplikatif, dengan kata lain penelitian disarankan untuk menghasilkan sejumlah pilihan rekomendasi kebijakan. 1 Untuk itu proses dan yang dijalankan akan berbeda dengan penelitian konvensional. 2 Sebagai pintu masuk dalam penelitian kebijakan perlu diketahui bahwa penelitian kebijakan yang termasuk bagian dari ilmu-ilmu sosial memaksa peneliti harus mampu bekerja dalam perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat, tidak pasti dan benturan berbagai kepentingan. 3 Ini berdasarkan pada fokus kajian yang langsung berhadapan dengan banyak kepentingan yang secara langsung mempengaruhi masyarakat. Namun penggunaan metode penelitian secara umum tetap berguna dalam rangka fungsi dan arti dari penelitian itu sendiri. Penggunaan metode dalam penelitian kebijakan kemudian adalah salah satu faktor penting dalam penelitian kebijakan karena beragam metode penelitian yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing 1 Putra, Nusa dan Hendarman, 2012, Metodologi Penelitian Kebijakan, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2 Ibid 3 Markauskaite, Freebody dan Irwin dalam Ibid

konsep kebijakan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kerangka konsep

Citation preview

Suatu penelitian terkait kebijakan merupakan penelitian yang sifatnya praktis aplikatif, dengan kata lain penelitian disarankan untuk menghasilkan sejumlah pilihan rekomendasi kebijakan.[footnoteRef:1] Untuk itu proses dan yang dijalankan akan berbeda dengan penelitian konvensional.[footnoteRef:2] Sebagai pintu masuk dalam penelitian kebijakan perlu diketahui bahwa penelitian kebijakan yang termasuk bagian dari ilmu-ilmu sosial memaksa peneliti harus mampu bekerja dalam perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat, tidak pasti dan benturan berbagai kepentingan.[footnoteRef:3] Ini berdasarkan pada fokus kajian yang langsung berhadapan dengan banyak kepentingan yang secara langsung mempengaruhi masyarakat. Namun penggunaan metode penelitian secara umum tetap berguna dalam rangka fungsi dan arti dari penelitian itu sendiri. [1: Putra, Nusa dan Hendarman, 2012, Metodologi Penelitian Kebijakan, Remaja Rosdakarya, Bandung.] [2: Ibid] [3: Markauskaite, Freebody dan Irwin dalam Ibid]

Penggunaan metode dalam penelitian kebijakan kemudian adalah salah satu faktor penting dalam penelitian kebijakan karena beragam metode penelitian yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam mengantarkan peneliti pada tujuan penelitiannya. Metode penelitian kualitatif, kuantitatif maupun campuran dari keduanya adalah pilihan metode yang ditawarkan kepada peneliti sebagai alat untuk membedah permasalahan berdasarkan tujuan penelitiannya.Dalam metode penelitian kualitatif, sebagian besar bertujuan untuk menjelaskan, mengeksplorasi, memahami fenomena dan mencari informasi dari latar penelitian yang sifatnya naturalistic.[footnoteRef:4] Ada juga penelitian kualitatif yang cenderung menguji hipotesis dan menciptakan teori dari hasil penelitiannya. Kemudian metode penelitian yang sifatnya kuantitatif, metode penelitian ini lebih dekat dengan penggunaan kaidah statistik atau nilai-nilai terukur yang baku.[footnoteRef:5] [4: Creswell, John W, (), Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan campuran edisi ketiga,] [5: Ibid]

Dan pilihan metode yang terakhir adalah metode campuran antara kualitatif dan kuantitatif. Metode ini bisa digunakan dalam kombinasi karena satu metode dan yang lainnya saling mendukung. Metode penelitian yang digunakan sebagai fokus tujuan penelitian yang akan mengukur suatu variabel dan lainnya kemudian akan didukung oleh data atau penjelasan secara metode kualitatif , metode ini pun dapat berlaku sebaliknya.[footnoteRef:6] [6: Ibid]

Dengan fokus penelitian yang penulis ajukan pada tulisan ini, pilihan penggunaan metode kualitatif adalah berdasarkan tujuan dan keunggulan yang dimiliki oleh metode penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang dibutuhkan sebagai pendukung keabsahan dan data terkait realitas lapangan hanya dapat diperoleh melalui perangkat-perangkat penelitian yang ada dalam metode kualitatif. Dan ini juga sebagai tujuan penelitian yang berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi secara sistematis dan rinci terhadap objek yang diteliti.[footnoteRef:7] [7: Ibid]

Debat pemahaman konsep kebijakan publik yang relevan untuk penelitianKebijakan publik termasuk ilmu yang sifatnya multidisipliner, ini dikarenakan melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi tentang kebijakan mulai berkembang semenjak era tahun 1970-an melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan juga Abraham Kaplan yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices).[footnoteRef:8] Pandangan lain Carl Friedrich kemudian mengatakan kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.[footnoteRef:9] [8: Harold Laswell dalam Howlett, Michael dan M Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Toronto.] [9: Friedrich, Carl J. dan Edward S. Mason, 1941, Public Policy The Journal of Politics, Cambridge University Press.]

Peter Woll memberikan kontribusi pemehaman kebijakan publik dengan mengartkikan kegiatan tersebut adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.[footnoteRef:10] Selain itu adalagi Senada dengan definisi kebijakan Laswell, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program- program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan.[footnoteRef:11] [10: Woll, Peter,1974, Public Policy, University Press of America. ] [11: Edwards, George C and Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, WH. Freeman.]

Menurut James Anderson kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu dan dengan begitu kebijakan publik diartikan kebijaksaan yg dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, Anderson menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:[footnoteRef:12] [12: Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Edisi 2 Holt, Rinehart and Winston, New Yorks ]

Formulasi masalah (problem formulation): Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah? Formulasi kebijakan (formulation): Bagaimana mengembangkan pilihan- pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? Penetuan kebijakan (adoption): Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan? Implementasi (implementation): Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan? Evaluasi (Evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?Seiring perkembangan ilmu kebijakan publik Thomas R Dye memberikan definisi kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan.[footnoteRef:13] Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan tindakan dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh pada dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu. [13: Dye, Thomas R. 1995, Understanding Public Policy. Prentice Hall, New Jersey]

Kemudian Tidak jauh dari pengertian itu menurut Riant Nugroho yang merumuskan definisi kebijakan publik secara sederhana yakni kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. [footnoteRef:14] Kebijakan publik dapat dikatakan sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. [14: Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan publik: ]

Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang ini, dan menolak yang itu.[footnoteRef:15] [15: Ibid]

Sedangkan menurut AG. Subarsono bahwa dalam proses kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.[footnoteRef:16] Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.[footnoteRef:17] [16: Subarsono, AG. 2008 Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.] [17: Ibid]

Berkenaan dengan definisi kebijakan ini, dalam mendefinisikan kebijakan haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.Beralasan hal tersebut, definisi dari James Anderson yang mirip dengan definisi Friedrich sebagai yang lebih tepat. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) --pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia.Berdasarkan diskusi di atas, penulis merumuskan definisi kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik --melalui kekuasaan pemerintah-- terhadap masalah-masalah masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan publik adalah keputusan pemerintah guna memecahkan masalah publik. Keputusan itu bisa berimplikasi pada tindakan maupun bukan-tindakan. Kata publik dapat berarti masyarakat dan perusahaan, bisa juga berarti negara sistem politik serta administrasi. Sementara pemerintah adalah orang atau sekelompok orang yang diberi mandat oleh seluruh anggota suatu sistem politik untuk melakukan pengaturan terhadap keseluruhan sistem bisa RT, RW, desa, kabupaten, provinsi, negara hingga supra negara (ASEAN, EU) dan dunia (WTO, PBB).Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa. Dengan demikian maka kebijakan publik memiliki konsep-konsep yang berisi tujuan, nilai-nilai, dan pelaksanaannya dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta dan menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah. Dengan kondisi ini dapat ditarik garis besarnya pula bahwa tujuan utama dari adanya kebijakan publik adalah upaya untuk mengintervensi kepentingan publik yang tidak memiliki kapasitas tertentu dan dalam hal tertentu pula dengan harapan terciptanya proses pemerintahan dan masyarakat yang ideal.Debat implementasi kebijakan publik yang relevan untuk penelitianEdwardVan MeterGrindleMazmanianJustifikasi Alasan memilihFaktor-faktor yang mempengaruhi implementasiModelTipe kebijakanTipe pemerintahan

Keberhasilan suatu implementasiTujuanDampakKesesuaian prosedurEfisiensiJangka pendek Jangka panjangKegagalan suatu implementasiTujuanDampakKesesuaian prosedurinefisiensi

Dalam medan intelektualitas administrasi publik, kebijakan publik selalu menjadi isu yang tetap segar dibahas dan dikaji. Dari mulai kelahirannya, saat administrasi publik mulai merangkak menjadi entitas ilmu sampai situasi kontemporer ketika administrasi publik menjadi ruang-ruang refleksi intelektual, kebijakan publik selalu berada dalam aras perdebatan yang menarik. Salah satu ranah dalam kebijakan publik yang menjadi materi perdebatan adalah implementasi. Di antara ragam perdebatan, menu topdown dan bottom up jadi kajian yang selalu serius dianalisa. Para ilmuan kebijakan publik saling memberi kontribusi membangun diskursus impelementasi dalam maksud sama: solve social problems.Dalam kacamata historis, perkembangan studi implementasi baru dimulai sekitar tahun 1970-an saat para ilmuan administrasi publik mulai mengalamai pergesaran fokus kajian. Semula fokus mereka banyak mengkaji ihwal keputusan (politik) bergeser ke fokus tahap pasca keputusan. Sebelum tahun 1970-an, pengkajian kebijakan publik hanya terfokus pada studi proses pembuatan kebijakan dan evaluasi, tapi alfa dalam pembahasan impelementasi. Karena saat itu prosesi formulasi kebijakan dan hasil kebijakan dianggap tidak memiliki relasi dengan kebijakan, dua entitas agenda yang dinilai secara parsial.Menyoal implementasi ini, akan menjadi agenda yang menarik bila kita menyimak karya yang ditulis oleh Michael Hill dan Peter Hupe dalam teks yang berjudul Implementing Public Policy. Dalam salah satu chapternya (Chapter III), mereka menghabiskan sekitar 15 halaman untuk merangkai, membahas dan mengkomparasikan detail perkembangan teori implementasi kebijakan publik. Puzzle implementasi kebijakan publik coba mereka susun dalam taksonomi muasal gagasan praktika kebijakan; dari konstruksi atas atau dari bawah.

Puzzle Top-DownPertama yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding father teoritikus implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and Aaron Wildavsky. Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu policies normally contain both goals and the means for achieving them. Dan keberhasilan dari pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana relasi antara organisasi yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak link dalam rantai impelementasi maka memerlukan tingkat kerjasama antar lembaga yang tinggi. Dalam ranah impelementasi, mereka mengenalkan gagasan impelementation deficit dan mematematisasi pelaksaan kebijakan.Pressman dan Wildavsky cendrung menggunakan pendekatan model rasional dalam mensetting tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Namun dengan membacanya secara kontekstual, tumbuhnya perspektif model rasional sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak kebijakan mengalami kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun pada perjalanannya Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks yang ditulisnya bersama Giandomenico, Impelementation as Evolution yang dalam pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan regulasi yang rigid dan impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan skeptisme terhadap model rasional.Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Kedua intelektual Amerika ini bersandar pada karya Pressman dan Wildavsky, namun diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses impelementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka teoritik. Dalam mengembangkan kerangka teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori organisasi, 2) studi tentang dampak kebijakan publik dan 3) berbagai studi hubungan antar-pemerintah.Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi, hemat mereka, akan sukses ketika sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi. Berkaca pada ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara incremental justru biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan perubahan marginal yang terjadi secara incremental. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik sebagai berikut: 1) policy standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3) the quality of inter-organizational relationships; 4) the characteristics of the implementation agencies; 5) the economic, social and political environment; dan 6) the disposition or response of the implementers, yang mana satu sama lain proses saling berkelindan dan menjadi rangkaian tahapan sistemis yang dilakukan secara longitudinal.Model yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan, namun pendekatan mereka terkatagori pendekatan Top-down, sebab standar dan tujuan kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional, atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan dan standar tersebut.Tokoh pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah Eugene Bardach. Bardach adalah teoritisi asal Amerika. Pada tahun 1977 ia merilis karya The Impelementation Game. Dalam karyanya tersebut menjelaskan perspektif top-down merangkul pengenalan gangguan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bardach menunjukkan bahwa dalam proses impelementasi selalu melibatkan 'game', dan ia menguraikan berbagai macam game yang dapat dimainkan. Oleh karena itu kelompok top harus bisa mengkondisikan/setup rekomendasi pra-kebijakan. Salah satunya terkait perlunya perhatian besar dalam proses 'scenario writing', untuk mencapai hasil yang diinginkan. Artinya pembuat kebijakan harus memperkirakan bagaimana scenario psoses implementasinya berikut syarat-syarat yang dibutuhkan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik yang diharapkan kesulitan-kesulitan yang mungkin hadir dalam proses implementasi akan lebih mudah diantisipasi. Kemudian fixing the game. Secara eksplesit, karya Bardach memandang implementasi adalah proses 'politik', maka untuk pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan, para politisi harus mengikuti keseluruhan jalannya implementasi dan segera memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantara para implementor.Kontributor top-down lainnya adalah untuk Sabatier dan Mazmanian. Dalam Teorinya dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni; Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems) Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation) Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)Model selanjutnya adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu. Untuk penjelasan syarat-syarat ini, penulis sengaja jelaskan cukup panjang karena menilai variabel yang mereka jelaskan lebih beragam daripada variabel yang dijelaskan tokoh-tokoh lainnya.

Syarat pertama adalah kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. Karena biasanya kendala yang muncul pada prosess implementasi kebijakan seringkali unpredictable dan berada di luar kendali para administrator, baik yang bersifat fisik maupun politis. Kedua, untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Sejatinya syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama di atas, dalam pengertian bahwa kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu tinggi. Syarat ketiga yaitu perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Sumber-sumber yang diperlukan, secara ideal harus dijamin keberadaannya/persediaannya, namun memang secara praktik tak jarang kita menemukan ketidak-serentakan persiapan antara sumber yang diperlukan. Kekurang satu komponen sumber dalam rangkaian totalitas sumber bisa menjadi kontraproduktif.Syarat keempat, kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Dalam alur berpikir logis, adalah keharusan untuk menemukan sebab dari suatu permasalahan. Namun pencarian sebab di sini tak sekedar tampilan permukaan, harus pula merujuk pada penggalian permasalahan lebih dalam. Bukan satu-dua kasus, implementasi tampak gagal dilaksanakan, namun ternyata bukan karena implementasi itu sendiri tapi lantaran konten kebijakan itu sendiri yang keliru. Syarat kelima hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.Syarat keenam hubungan saling ketergantungan harus kecil. Impelementasi kebijakan dinilai sempurna bila terdapat badan pelaksana tunggal dan tidak tergantung dengan organisasi lain, karena bila tergantung dengan instansi lain akan merumitkan alur dan pelaksanaan. Selanjutnya syarat ketujuh pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Jelas, syarat ini mewajibkan adanya pemahaman yang kompeherensif terkait konsensus terhadap tujuan yang akan dicapai dan setia terhadap consensus tersebut selama proses implementasi.Selanjutnya syarat kedelapan, tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini adalah penterjamahan teknis dari syarat sebelumnya, tujuan harus definitif begitu juga rincian tugas dan sistematikanya. Syarat kesembilan komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Secara lugas Hood (1976) menjelaskan guna mencapai implementasi yang sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi yang baik. Kemudian syarat kesepuluh atau terakhir, pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Patuh dalam arti ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya.Secara implisit syarat-syarat yang dikemukakan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn mengandaikan suatu kondisi implementasi top-down. Ada kepatuhan yang sempurna, pelaksana tunggal, dll menjadi karakter dalam gagasannya tersebut.Puzzle Bottom-UpModel Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas pandangan model Top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street level beaurocrazy) pada proses implementasi.Dalam gagasan Lypsky memproblemetisir proses politik tak hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah diputuskan, tapi juga pada saat proses berlangsungnya kebijakan. Politik tetap berlangsung pada street level beaurocrazy yang menentukan tingkat keberhasilan implementasi.Dengan semangat revolusioner, Lypsky mengutuip diktum Marx Man makes his own history, even though he does not do so under conditions of his own choosing, bahwa street level beaurocrazy sejatinya harus bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi pressure tertentu. Oleh karena itu, Lypsky menganggap perlu mempertimbangkan apa yang menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan dan permasalahan-permaslahan yang ditemui para pelaksana. Pernyataan Lypsky menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam proses implementasi bisa tampak berbeda dari perspektif level yang berbeda. Level top, mungkin karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan berbeda dengan para pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar tidak terjadi gap pemahaman, melibatkan aktor-aktor tingkat bawah dinilai perlu.Selanjutnya gagasan teori implemetansi yang diulas dalam chapter ini Benny Hejrn, sang ilmuan sosial dari Swedia. Core pemikirannya tentang impelementasi berorientasi pada bottom-up. Seperti Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada interaksi antara organisasi. Namun ia melakukan kajian tambahan mengindentifikasi jaringan aktor yang terlibat serta mengidentifikasi tujuan, strategi, dsb. Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah. Bagi Hjern implementasi akan efektif bila tanpa ada privilege tertentu bagi para aktor-aktornya.Selanjutnya yang ikut dalam perdebatan teori implementasi dua sarjana asal Inggris, Susan Barrett dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model top-down yang dianggapnya mendepolitisasi hubungan antara kebijakan-action. Pandangan mereka menitik beratkan bahwa proses politik terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan oleh karena itu sulit, menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan dan implementasi dalam muatan politisnya. Konsekuensi logis dari pandangan demikian, mereka menganjurkan model bottom-up.Namun Barrett dan Fudge berpendapat impelemtasi bukanlah ihwal yang dikompromiskan dengan para policy-maker pasca impelementasi tersebut diselenggarakan, karena bagi mereka hal demikian justu merupakan kebijakan yang gagal. Nalar Barrett dan Fudge yaitu mendahulukan performance daripada conformance (keseuaian), jadi dalam pandangan mereka para impelementor memiliki nilai lebih untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.Refleksi Top Down-Bottom Up, Bukan KonfrontatifHasil review yang dikemukakan di atas tampil kontradiktif antara pandangan top down dan bottom up. Nalar model top down dikritik karena terlalu menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Klaim ilmiah dari pengusung top down ini secara general memiliki maksud implementasi yang telah dihitung dan dianalisis dengan cermat oleh pembuat kebijakan atau top leadernya maka kebijakan dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Jelas pandangan ini selanjutnya dikritik karena dinilai menafikan peran pelaksana tingkat bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak berperan.Kemudian, yang jelas kebijakan pasti akan diimpelementasikan bukan di ruang hampa. Selalu ada kerumitan dan keunikan tersendiri di setiap ruang dan waktunya. Maka setiap ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan membawa perbedaan pula dalam cara pemecahan masalahnya. Begitulah dunia berjalan secara dialektis.

Namun perbedaan pendekatan tersebut sejatinya tak bersifat konforntatif atau vis a vis, karena bila memahaminya secara dialektis perbedaan tersebut akan tergantung dari konteks ragam isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan itu sendiri. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda akan memerlukan perbedaan pendekatan pula. Jadi tidak bisa dipandang secara deterministik dalam salah satu perspektif. Belum lagi perbedaan yang menyangkut hal-hal bersifat ekonomi-politik, kultural, dan sosial akan menemui perbedaan pendekatan yang lebih rumit lagi.Seperti dijelaskan sebelumnya implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh unit pelaksana kebijakan atau implementor dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran yang sudah ditetapkan sebelumnya yang bisa berasal dari statuta, perintah eksekutif dan putusan peradilan. Setelah suatu kebijakan atau program sudah diimplementasikan maka selanjutnya adalah melihat hasil kebijakan tersebut. Dalam proses implementasi tidak jarang ditemukan hambatan dalam pelaksanaannya, ini dipengaruhi oleh adanya lapisan yang disebut oleh Peter Hull, sebagai Layers and Levels in implementation process dan pandangan pesimistik terhadap faktor diluar kendali pemerintah.[footnoteRef:18] Lapisan dalam struktur pemerintahan begitu banyak atau multidiscipline sehingga menyebabkan adanya hambatan berkaitan dengan yang disebut oleh Pressman dan Wildavsky sebagai policy issue in an inter-institutional context.[footnoteRef:19] Selain masalah lapisan ini ada pula faktor yang menyebabkan sulitnya mengimplementasikan suatu kebijakan atau bisa juga dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi suksesnya kebijakan menurut Edward III. Faktor tersebut adalah komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi.[footnoteRef:20] Memang pada kenyataannya faktor-faktor yang disebutkan oleh Edward III dan Peter Hull memiliki sedikit kesamaan yakni adanya faktor struktur birokrasi yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Ini disebabkan oleh fyang disebut Hull sebagai Pemerintahan Modern saat ini. Menurut Hull pemerintahan modern saat ini karakternya lebih kompleks, salah satunya bercirikan lemahnya ketegasan dalam implementasi di lapisan low-level dan kebiasaan lepas tangan agen pusat dalam kebijakan yang melibatkan implementor lokal.[footnoteRef:21] [18: Hull Peter, 2002, Implementing Public Policy, Sage Publication, London,] [19: Pressman and Wildavsky dalam Hull Peter, 2002, Implementing Public Policy, Sage Publication, London,] [20: Edwards III George. 1980. Implementing Public Policy. Congressional Quarterly Press, Washington] [21: Hull Peter, 2002, Implementing Public Policy, Sage Publication, London,]

Dalam kegiatan hilir Migas terdapat beberapa lapisan yang saling berkaitan dan berinteraksi. Di bawah Kementerian ESDM, BPH Migas sebagai Badan Pengatur kegiatan hilir Migas secara tidak langsung terkait dengan Badan Usaha Niaga, Kepala Daerah, Aparat keamanan dan LSM di sektor lokal. Hal ini tentu saja membuat BPH Migas harus tetap menjalin kompromi dan komunikasi terlebih dahulu dengan para stakeholders baik saat proses perumusan maupun hingga proses implementasi kebijakan. Dengan demikian apabila dalam lapisan-lapisan struktur instansi terkait pada kegiatan usaha hilir Migas itu ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya maka implementasi kebijakan BPH Migas bisa saja terhambat bahkan bisa saja tidak berhasil.Setelah melihat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan kini beralih ketahap selanjutnya yakni mengamati apa yang terjadi setelah kebijakan diimplementasikan. Ketika hasil implementasi kebijakan dianggap berhasil ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yakni meneruskan kebijakan atau mengembangkan kebijakan agar lebih luas dampaknya. Namun ketika dampak yang dirasakan dari kebijakan yang diimplementasikan tidak sejalan dengan tujuan kebijakan maka perlu dicari penyebabnya secepat mungkin untuk segera dibenahi dan menghindari meluasnya kesalahan.[footnoteRef:22] [22: J. L Mackie dalam Stake, E. Robert, 2010, Qualitative Research: Studying How Things Work. Guilford Press, London]

Dengan demikian muncullah suatu kegiatan yang disebut dengan kegiatan evaluasi kebijakan meskipun dalam tahap kebijakan yang lain juga ada proses evaluasi. Kegiatan paling spesifik dari evaluasi berkaitan dengan bagaimana menghasilkan informasi tentang nilai dari keseluruhan proses atau salah satu tahapan kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi lebih banyak bertanya tentang berapa nilai sebuah kebijakan dan sudah efektifkah suatu kebijakan atau belum.[footnoteRef:23] [23: Nugroho, Riant, 2002, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta]

Kemudian pertanyaan mengapa dalam penelitian ini lebih fokus pada evaluasi implementasi kebijakan adalah karena penelitian ini ingin melihat capaian implementasi kebijakan BPH Migas melalui pengamatan pada hasil evaluasi implementasi yang dilakukan secara deskriptif. Hal ini kemudian sejalan dengan besarnya porsi implementasi dalam kebijakan menurut pernyataan Sofyan Effendi yang mengatakan bahwa jika kebijakan terbagi dalam beberapa skala presentase perbandingan, maka jawabanya adalah besaran presentase rencana kebijakan sebesar 20% keberhasilan, kemudian implementasi sebesar 60% sisanya, dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.Dari situ dapat dilihat bahwa implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat dilaksanakan, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul dilapangan.[footnoteRef:24] Sofyan Effendi menambahkan bahwa sebenarnya tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik berkenaan dengan pencarian variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan dalam menjawab tiga pertanyaan pokok, yang diantaranya adalah; 1) Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? 2) Faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? dan 3) Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implemtasi kebijakan publik?. [footnoteRef:25] [24: Sofyan Effendi dalam Nugroho, Riant, 2008, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta] [25: Ibid]

Untuk melakukan suatu evaluasi implementasi kebijakan perlu suatu standart atau indikator yang bisa dijadikan sebagai pedoman penilaian. Apakah implementasi kebijakan sudah dilakukan secara optimal, untuk itu perlu dilihat tentukan standar atau indikator efektifitas atau keberhasilannya agar evaluasi dapat dikatakan valid. Dengan melihat pada model teori yang dikembangkan oleh Goggin, dkk. Penilaian efektifitas suatu implementasi kebijakan dilihat melalui beberapa indikasi diantaranya; 1) Prosedur aktifitas implementasi yang dijalankan oleh implementor (Pelaksana); 2) Tujuan/hasil yang hendak dipecahkan melalui kebijakan (Problem solving oriented); 3) laporan dari Monitoring dan Evaluasi dalam pelaksanaan implementasi[footnoteRef:26] [26: Goggin, Malcolm. L., Ann OM. Bowman, James P. Lester, dan Laurence J. OToole Jr. 1990. Implementation Theory and Practice : Toward in A Third Generation. USA : Sctott.]

Berdasarkan kriteria efektifitas implementasi kebijakan menurut Goggin dkk, maka proses implementasi kebijakan BPH Migas dinilai efektif apabila; semua aksi implementasi atau penerapan kebijakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan tertulis yang ada pada UU, Peraturan Pemerintah Pusat maupun Daerah, Peraturan Kementerian ESDM serta pedoman yang ditetapkan oleh BPH Migas sendiri; berkaitan dengan hasil kebijakan, apakah hasil yang dicapai sesuai dengan harapan atau malah sebaliknya, ini berarti melihat pengaruh yang diberikan dari implementasi kebijakan BPH Migas terhadap permasalahan BBM di Kota Samarinda dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan, apakah berhasil diatasi atau gagal.; terkait monitoring implementasi kebijakan, dalam hal ini implementasi kebijakan BPH Migas secara terus menerus dipantau pelaksanaannya, dengan semakin sedikitnya laporan negatif dari data penelitian yang ditemukan pada saat implementasinya maka semakin baik pula nilai kebijakan tersebut Dengan mengacu pada fokus rumusan permasalahan pada penelitian ini, proses implementasi kebijakan BPH Migas dalam menjamin ketersediaan BBM bersubsidi di Kota Samarinda dapat dikatakan efektif apabila semua kriteria yang ditetapkan oleh Goggin dkk dapat dipenuhi dan kemudian terkait hasil implementasi kebijakan dari BPH Migas, implementasi tersebut dianggap efektif apabila BPH Migas dapat menjamin ketersediaan BBM bersubsidi secara terus-meneurs selama masih berlakunya subsidi BBM dari Pemerintah agar masyarakat Kota Samarinda tidak lagi mengalami kesulitan dalam mendapatkan BBM bersubsidi di SPBU.