97
KONSEP PENDIDIKAN MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh: IFAH NABILAH ZAHIDAH 109011000288 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT MURTADHA MUTHAHHARIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24783/1/Ifah... · D. Kajian terdahulu yang relevan………………..... 21 BAB III

  • Upload
    vancong

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

KONSEP PENDIDIKAN

MENURUT MURTADHA MUTHAHHARI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

IFAH NABILAH ZAHIDAH

109011000288

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M

iv

DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK.................................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah ............................................... 1

B. Identifikasi masalah………………………………….. 5

C. Pembatasan masalah dan rumusan masalah ................ 6

D. Tujuan penelitian ......................................................... 6

E. Manfaat penelitian ....................................................... 6

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian pendidikan ................................................ 7

B. Tujuan pendidikan ....................................................... 10

C. Dasar-dasar pendidikan ............................................... 16

D. Kajian terdahulu yang relevan………………............ 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian ....................................... 23

B. Jenis dan pendekatan penelitian.................................... 23

C. Sumber data ................................................................. 24

D. Tekhnik pengumpulan data........................................... 25

E. Tekhnik pengolahan data.............................................. 26

v

BAB IV PEMBAHASAN

A. Biografi Murtadha Muthahari ...................................... 28

1. Karya-karya Murthada Muthahari.......................... 35

B. Fitrah…………………………..................................... 38

1. Pengertian fitrah dari segi bahasa………………… 38

2. Fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan Islam…... 40

C. Kewajiban mencari ilmu……………........................... 42

1. Mencari ilmu……………………………………... 47

2. Ilmu agama dan bukan ilmu agama……………… 51

D. Kaitan antara sains dan agama….................................. 53

E. Dunia pendidikan dan tantangan zaman……………… 56

1. Belajar tentang zaman…………………………….. 56

2. Dunia pendidikan dalam menyikapi perubahan zaman 61

F. Pendidikan dan Dekadansi Moral.................................. 62

BAB V Kesimpulan Dan Saran

A. Kesimpulan .................................................................. 67

B. Saran ............................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 70

DAFTAR UJI REFERENSI

LAMPIRAN – LAMPIRAN

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran II : Daftar Uji Referensi

i

ABSTRAK

Ifah Nabilah Zahidah (109011000288), Konsep Pendidikan Islam Menurut

Murtadha Muthahhari. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena popularitas kebudayaan Barat

yang mempengaruhi generai muda. Idealnya pendidikan menurut Murtadha

Muthahhari secara teoritik, praksis, maupun filosofis mampu menjadi sebuah

instrument bagi upaya penegakan moralitas. Namun dalam kenyataannya, perilaku

yang tidak bermoral sering terjadi. Tentunya pendidikan yang Islami sebagaimana

yang diutarakan Murtadha Muthahhari harus mempunyai peran dalam membentuk

peserta didik yang berakhlak mulia. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian

ini adalah bagaimana konsep pendidikan Murtadha Muthahhari.

Penelitian ini ingin mendeskripsikan serta mendapatkan data dan fakta

mengenai pokok-pokok pemikiran pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam pengembangan

khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik penelitian

yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (library research). Dalam

penelitian ini data diolah dari pelbagai buku, surat kabar, majalah dan beberapa

tulisan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.

Hasil penulisan skripsi ini mengenai konsep pendidikan Murtadha

Muthahhari menunjukkan bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah, kewajiban

mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban, sains (ilmu pengetahuan) dan

agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain, dan

sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara

buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak

perkembangan zaman.

i

ABSTRAK

Ifah Nabilah Zahidah (109011000288), Konsep Pendidikan Islam Menurut

Murtadha Muthahhari. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena popularitas kebudayaan Barat

yang mempengaruhi generai muda. Idealnya pendidikan menurut Murtadha

Muthahhari secara teoritik, praksis, maupun filosofis mampu menjadi sebuah

instrument bagi upaya penegakan moralitas. Namun dalam kenyataannya, perilaku

yang tidak bermoral sering terjadi. Tentunya pendidikan yang Islami sebagaimana

yang diutarakan Murtadha Muthahhari harus mempunyai peran dalam membentuk

peserta didik yang berakhlak mulia. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian

ini adalah bagaimana konsep pendidikan Murtadha Muthahhari.

Penelitian ini ingin mendeskripsikan serta mendapatkan data dan fakta

mengenai pokok-pokok pemikiran pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam pengembangan

khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan teknik penelitian

yang digunakan adalah penelitian perpustakaan (library research). Dalam

penelitian ini data diolah dari pelbagai buku, surat kabar, majalah dan beberapa

tulisan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.

Hasil penulisan skripsi ini mengenai konsep pendidikan Murtadha

Muthahhari menunjukkan bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah, kewajiban

mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban, sains (ilmu pengetahuan) dan

agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain, dan

sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara

buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak

perkembangan zaman.

ii

KATA PENGANTAR

Puji sukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,

nikmat akal, serta nikmat yang tiada batas sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan

alam Nabi Muhammad SAW, para keluarganya yang disucikan, dan para sahabat

setianya serta kepada para pengikutnya hingga akhir zaman.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, pengarahan,

dukungan serta bantuan dari berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada yang terhormat:

1. Aba dan Umi tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberi motivasi

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

3. Bapak Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

4. Ibu Marhamah Saleh, LC, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

5. Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing yang mau

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan motivasi kepada

penulis selama proses bimbingan.

6. Bapak Ghufron Ihsan selaku penasehat akademik.

7. Seluruh dosen dan staff jurusan Pendidikan Agama Islam.

8. Kakak dan adik-adikku yang selalu menghibur dan seluruh keluarga yang

turut memberi motivasi dan doa.

9. Ali Alatas, S.Kom yang terus memberi semangat dan dukungan serta bantuan

lainnya kepada penulis.

10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Agama Islam angkatan 2009

terutama untuk anak kelas G, semoga sukses selalu.

iii

11. Sahabat-sahabatku Ika, Ina, Kokom, Ikoh, yang selalu mengerjakan sama-

sama di perpustakaan. Semoga kita terus berhubungan baik dan saling

silaturahmi.

12. Untuk semua orang yang ada dalam kehidupan penulis yang senantiasa

memberikan semangat dan motivasi.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan atas jasanya yang

diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis dan bidang

ilmu pengetahuan, Amiin.

Jakarta, 12 Maret 2014

Penulis

Ifah Nabilah Zahidah

NIM.109011000288

ii

KATA PENGANTAR

Puji sukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat,

nikmat akal, serta nikmat yang tiada batas sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan

alam Nabi Muhammad SAW, para keluarganya yang disucikan, dan para sahabat

setianya serta kepada para pengikutnya hingga akhir zaman.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas bimbingan, pengarahan,

dukungan serta bantuan dari berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada yang terhormat:

1. Aba dan Umi tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberi motivasi

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

3. Bapak Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

4. Ibu Marhamah Saleh, LC, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

Islam.

5. Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing yang mau

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan motivasi kepada

penulis selama proses bimbingan.

6. Bapak Ghufron Ihsan selaku penasehat akademik.

7. Seluruh dosen dan staff jurusan Pendidikan Agama Islam.

8. Kakak dan adik-adikku yang selalu menghibur dan seluruh keluarga yang

turut memberi motivasi dan doa.

9. Ali Alatas, S.Kom yang terus memberi semangat dan dukungan serta bantuan

lainnya kepada penulis.

10. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Agama Islam angkatan 2009

terutama untuk anak kelas G, semoga sukses selalu.

iii

11. Sahabat-sahabatku Ika, Ina, Kokom, Ikoh, yang selalu mengerjakan sama-

sama di perpustakaan. Semoga kita terus berhubungan baik dan saling

silaturahmi.

12. Untuk semua orang yang ada dalam kehidupan penulis yang senantiasa

memberikan semangat dan motivasi.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan atas jasanya yang

diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis dan bidang

ilmu pengetahuan, Amiin.

Jakarta, 12 Maret 2014

Penulis

Ifah Nabilah Zahidah

NIM.109011000288

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan

manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum

diketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang manusia dapat menguasai

dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya.

Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah

Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad „Abduh, seorang tokoh

pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam

kehidupan manusia dan dapat mengubah segala sesuatu.1

Al-Qur'an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup

oleh umat Islam dan tidak ada lagi keraguan didalamnya. Ia mengandung

ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan

manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-

masing dan secara fungsional dapat memecahkan problem kemanusiaan.

Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah

masalah pendidikan.

Al-Qur'an telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan

sangat penting, Jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan

menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita

jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan

yang bermutu. Ada beberapa indikasi dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan

pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah

manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara

keperluan sosial masyarakat.

Manusia menurut al-Qur‟an, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan

mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 38.

2

memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal

tersebut. Allah juga menegaskan bahwa pengetahuan manusia amatlah

terbatas. Allah berfirman:2

Artinya: “kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”. (QS. Al-

Isra‟: 85)

Iman dan ilmu adalah karakteristik kemanusiaan, maka pemisahan

keduanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan

mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu

tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ambisi,

penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Muthahhari menegaskan

bahwa Islamlah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu (sains).3

Keterkaitan antara iman dan ilmu serta pertalian keduanya yang tidak

dapat dipisahkan selalu mewarnai pemikiran dan dasar pemikiran pendidikan

Muthahhari. Lazimnya para ulama yang lain, Muthahhari menegaskan bahwa

kewajiban menuntut ilmu tidak bisa tergantikan.

Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui

dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-

orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az

Zumar:9).

Sebagaimana ayat al-Qur‟an di atas, banyak sekali hadis-hadis yang

mewajibkan menuntut ilmu. “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap

muslim”. Arti dari hadis ini adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang

2 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,2000), Cet ke-XI, h.435-436

3 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan

Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 11.

3

sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari ilmu. Mencari ilmu

adalah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim; tidak hanya dikhususkan

bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain.4

Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya

Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa

mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa

mencari ilmu adalah hak seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu

bukan hanya dianggap sebagai hak setiap orang, melainkan Islam

menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi semua orang. Mencari ilmu

adalah sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain seperti

shalat, puasa, zakat, dan haji.

Islam pada abad keemasan bagaikan harta karun kekayaan peradaban

intelektual yang tidak ternilai harganya. Ia menyebar hampir ke seluruh dunia.

Kehebatan imperium Islam dalam abad keemasan tersebut melampaui

kehebatan imperium Romawi, 7 abad sebelumnya. Di antara nilai peradaban

intelektualnya yaitu:

Pertama, semangat mencari ilmu yang luar biasa dari orang-orang

Islam. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh doktrin Islam, bahwa mencari

ilmu, mengembangkan dan kemudian mengamalkannya untuk membangun

kehidupan, adalah wajib hukumnya. Semangat pencarian ilmu tersebut

menjadi kunci penjelajahan intelektual Islam pada puncaknya abad ke-9, 10,

dan 11M.

Kedua, semangat pencarian ilmu menemukan momentumnya dalam

imperium Islam di bawah bimbingan para khalifah. Pada masa itu dana serta

fasilitas dari istana untuk mempercepat perkembangan peradaban baru yang

berbasis pengetahuan (knowledge based) merupakan kebijakan prioritas.5

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap orang baik laki-laki ataupun

perempuan. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa

4 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. Ke-1, h. 157. 5 Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-

1, h. 71-72.

4

tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke

liang kubur” (Bukhari & Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah

menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban

menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di

negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat

tertentu.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Islam telah memerintahkan

menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan

pengajarnya tetapi mengapa Islam begitu mundur dan generasi muda saat ini

selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan

karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan

begitu saja oleh generasi muda saat ini.

Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil

salah satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang

terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun

sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil

ilmu sebagai hikmah Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan

tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang

mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka

menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali KW juga menyatakan,

“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu

meskipun dari orang munafik”.6

Dilihat dari perspektif pendidikan dan pengajaran, ketentuan-ketentuan

akhlak Islam ditujukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras

dengan apa yang diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang

dari sisi sebuah kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka

pembentukan kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga

dan menghormati kejejatian individu dan masyarakat.7

6 Murtadha Muthahhari, op. cit., h.158.

7 Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra

International Institute, 2011), Cet ke-1, h.2.

5

Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Murtadha Muthahhari tentang

pendidikan, penulis akan meneliti lebih dalam lagi mengenai “Konsep

Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa mencari

ilmu wajib hukumnya. Tidak membeda-bedakan baik laki-laki atau perempuan

dan tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu. Maka penulis mencoba

mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain:

1. Kurangnya semangat dalam belajar mengajar

2. Murtadha Muthahhari menyatakan banyak pendidikan yang belum dapat

mendidik akhlak atau moral seseorang.

3. Pendidikan modern mendominasi pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan agar kajian menjadi jelas dan terarah,

sehingga tujuan kajian tercapai. Dalam kajian ini permasalahan dibatasi pada:

pemikiran Murtadha Muthahhari tentang pendidikan.

Berdasarkan pembatasan masalah, masalah kajian ini dirumuskan dalam

pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana konsep pendidikan menurut Murtadha

Muthahhari?

D. Tujuan Penelitian

Dengan melihat dan memperhatikan rumusan masalah di atas, tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut

Murtadha Muthahhari.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat dijelaskan

manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut:

6

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan,

terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya menyangkut konsep

pendidikan Muthahhari yang belum begitu dikenal akrab oleh pakar-pakar

di bidang pendidikan.

2. Menambah sumber referensi bagi jurusan ilmu pendidikan (tarbiyyah),

yang akan meneliti lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut

Murtadha Muthahhari.

3. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai

keunggulan dan originalitas konsep pendidikan Muthahhari, yang nantinya

diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam Indonesia.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan

manusia. Melalui pendidikan, setiap manusia belajar seluruh hal yang belum

diketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang manusia dapat menguasai

dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya.

Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah

Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad „Abduh, seorang tokoh

pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam

kehidupan manusia dan dapat mengubah segala sesuatu.1

Al-Qur'an merupakan firman Allah yang dijadikan pedoman hidup

oleh umat Islam dan tidak ada lagi keraguan didalamnya. Ia mengandung

ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan

manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-

masing dan secara fungsional dapat memecahkan problem kemanusiaan.

Salah satu permasalahan yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah

masalah pendidikan.

Al-Qur'an telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan

sangat penting, Jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan

menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita

jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan

yang bermutu. Ada beberapa indikasi dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan

pendidikan antara lain: menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah

manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara

keperluan sosial masyarakat.

Manusia menurut al-Qur‟an, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan

mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 38.

2

memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal

tersebut. Allah juga menegaskan bahwa pengetahuan manusia amatlah

terbatas. Allah berfirman:2

Artinya: “kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”. (QS. Al-

Isra‟: 85)

Iman dan ilmu adalah karakteristik kemanusiaan, maka pemisahan

keduanya akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan

mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu

tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ambisi,

penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan. Muthahhari menegaskan

bahwa Islamlah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu (sains).3

Keterkaitan antara iman dan ilmu serta pertalian keduanya yang tidak

dapat dipisahkan selalu mewarnai pemikiran dan dasar pemikiran pendidikan

Muthahhari. Lazimnya para ulama yang lain, Muthahhari menegaskan bahwa

kewajiban menuntut ilmu tidak bisa tergantikan.

Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui

dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-

orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az

Zumar:9).

Sebagaimana ayat al-Qur‟an di atas, banyak sekali hadis-hadis yang

mewajibkan menuntut ilmu. “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi setiap

muslim”. Arti dari hadis ini adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang

2 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,2000), Cet ke-XI, h.435-436

3 Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan

Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 11.

3

sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari ilmu. Mencari ilmu

adalah wajib hukumnya bagi setiap orang muslim; tidak hanya dikhususkan

bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain.4

Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya

Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa

mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa

mencari ilmu adalah hak seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu

bukan hanya dianggap sebagai hak setiap orang, melainkan Islam

menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi semua orang. Mencari ilmu

adalah sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain seperti

shalat, puasa, zakat, dan haji.

Islam pada abad keemasan bagaikan harta karun kekayaan peradaban

intelektual yang tidak ternilai harganya. Ia menyebar hampir ke seluruh dunia.

Kehebatan imperium Islam dalam abad keemasan tersebut melampaui

kehebatan imperium Romawi, 7 abad sebelumnya. Di antara nilai peradaban

intelektualnya yaitu:

Pertama, semangat mencari ilmu yang luar biasa dari orang-orang

Islam. Hal ini bisa terjadi karena dipicu oleh doktrin Islam, bahwa mencari

ilmu, mengembangkan dan kemudian mengamalkannya untuk membangun

kehidupan, adalah wajib hukumnya. Semangat pencarian ilmu tersebut

menjadi kunci penjelajahan intelektual Islam pada puncaknya abad ke-9, 10,

dan 11M.

Kedua, semangat pencarian ilmu menemukan momentumnya dalam

imperium Islam di bawah bimbingan para khalifah. Pada masa itu dana serta

fasilitas dari istana untuk mempercepat perkembangan peradaban baru yang

berbasis pengetahuan (knowledge based) merupakan kebijakan prioritas.5

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap orang baik laki-laki ataupun

perempuan. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa

4 Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), Cet. Ke-1, h. 157. 5 Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-

1, h. 71-72.

4

tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke

liang kubur” (Bukhari & Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah

menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban

menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di

negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat

tertentu.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Islam telah memerintahkan

menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan

pengajarnya tetapi mengapa Islam begitu mundur dan generasi muda saat ini

selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan

karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan

begitu saja oleh generasi muda saat ini.

Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil

salah satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang

terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun

sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil

ilmu sebagai hikmah Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan

tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang

mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka

menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali KW juga menyatakan,

“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu

meskipun dari orang munafik”.6

Dilihat dari perspektif pendidikan dan pengajaran, ketentuan-ketentuan

akhlak Islam ditujukan untuk mendidik manusia agar sesuai dan selaras

dengan apa yang diinginkan oleh Islam. Sasaran utama pendidikan dipandang

dari sisi sebuah kerangka pengantar terbentuknya masyarakat yang baik, maka

pembentukan kepribadian seseorang sangatlah penting. Islam sangat menjaga

dan menghormati kejejatian individu dan masyarakat.7

6 Murtadha Muthahhari, op. cit., h.158.

7 Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra

International Institute, 2011), Cet ke-1, h.2.

5

Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Murtadha Muthahhari tentang

pendidikan, penulis akan meneliti lebih dalam lagi mengenai “Konsep

Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa mencari

ilmu wajib hukumnya. Tidak membeda-bedakan baik laki-laki atau perempuan

dan tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu. Maka penulis mencoba

mengidentifikasi beberapa masalah, antara lain:

1. Kurangnya semangat dalam belajar mengajar

2. Murtadha Muthahhari menyatakan banyak pendidikan yang belum dapat

mendidik akhlak atau moral seseorang.

3. Pendidikan modern mendominasi pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan agar kajian menjadi jelas dan terarah,

sehingga tujuan kajian tercapai. Dalam kajian ini permasalahan dibatasi pada:

pemikiran Murtadha Muthahhari tentang pendidikan.

Berdasarkan pembatasan masalah, masalah kajian ini dirumuskan dalam

pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana konsep pendidikan menurut Murtadha

Muthahhari?

D. Tujuan Penelitian

Dengan melihat dan memperhatikan rumusan masalah di atas, tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut

Murtadha Muthahhari.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka dapat dijelaskan

manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut:

6

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan,

terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya menyangkut konsep

pendidikan Muthahhari yang belum begitu dikenal akrab oleh pakar-pakar

di bidang pendidikan.

2. Menambah sumber referensi bagi jurusan ilmu pendidikan (tarbiyyah),

yang akan meneliti lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut

Murtadha Muthahhari.

3. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai

keunggulan dan originalitas konsep pendidikan Muthahhari, yang nantinya

diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam Indonesia.

7

BAB II

DEFINISI PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan Islam

Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup

menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan adalah beragam.

Pendidikan dalam arti sempit yaitu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh

pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju

terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam arti luas pendidikan adalah

menyangkut seluruh pengalaman.1

Menurut Ibrahim Amini, pendidikan adalah memilih tindakan dan

perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor yang

diperlukan, dan membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan

supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada

dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan bergerak maju menuju tujuan dan

kesempurnaan yang diharapkan.2

Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah pengembangan pribadi

dalam semua aspeknya, dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud

pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,

pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh

aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.3

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani memaknai pendidikan adalah

suatu proses mengubah tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi,

masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu

aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam

masyarakat.4

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007), Cet. Ke-7, h.24-25 2 Ibrahim Amini 1, Asupan Ilahi, (Jakarta: Al-Huda, 2011), Cet. Ke-1, h.21

3 Ahmad Tafsir, op. cit., h.26

4 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA, 2012), cet ke 2, h. 28

8

Menurut Ali Ashraf, pendidikan adalah sebuah aktivitas tertentu yang

memiliki maksud tertentu yang diarahkan untuk mengembangkan individu

sepenuhnya.5

Menurut Murtadha Muthahhari sendiri pendidikan identik dengan

proses pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus

mengaktifkan potensi-potensi yang terkandung (al-malakat al-kaminah) dalam

diri manusia.6

Menurut Marimba pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan

secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak

didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran

Islam.7

Menurut Musthafa Al-Ghulayaini Pendidikan Islam ialah menanamkan

akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan

menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi

salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud

keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pendidikan

Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik

dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.

Pendidikan mempunyai peran yang sangat urgen untuk menjamin

perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga

menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa, dan menjadi cermin kepribadian

masyarakatnya.8 Begitu pula dengan ilmu yang dikembangkan dalam

pendidikan haruslah berorientasi pada nilai-nilai Islami.

Yang harus dilakukan dalam pendidikan pada dasarnya adalah

orientasi terhadap masa depan. Karena pendidikan Islam tidak hanya

5 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1

6 Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.

37 7 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif,

1989), h.19 8 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),

Cet. Ke-1, h.27.

9

berorientasi pada masa sekarang tetapi juga berorientasi pada masa depan,

yang sekaligus merupakan ciri visi dan misi pendidikan Islam. Islam

mengajarkan agar kita tidak hanya memperhatikan masa kini tetapi juga

memperhatikan serta mempersiapkan diri untuk masa depan, dengan

mengantisipasi serta menetapkan sasaran atas apa-apa yang akan menjadi hasil

atau akibat yang diharapkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan.9

Pada zaman Nabi, pendidikan merupakan sesuatu yang dinamis,

praktis, dan relevan sesuai dengan kebutuhan masyarakat riil, sehingga

pendidikan di kala itu mempunyai kekuatan dalam hal memberi inspirasi dan

mentransformasikan kehidupan manusia menyeluruh. Model pendidikan

profetik ini mempunyai substansi pengalaman kehidupan sehari-hari dan

permasalahan-permasalahan komunitas muslim pada awalnya dari masa ke

masa. Pendidikan tersebut tidak seperti pendidikan Islam yang ada sekarang,

yang stagnan dan tidak respontif.10

Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki

kemampuan mengantisipasi persoalan hari ini dan esok harus dilihat dari

dimensi informasi. Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan dicapai hanya

melalui intensitas mencari, mengolah, dan menginterpretasikan informasi.

Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi hari esok.

Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan hari esok.

Sekarang dan esok sebenarnya bersifat saling berkaitan dan merupakan

jaringan-jaringan masalah yang kompleks meski dengan tingkat kompleksitas

yang beragam.11

Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangat

penting artinya dalam proses pendidikan, karena dia yang bertanggung jawab

dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat

menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan yang

bertugas sebagai pendidik, karena memiliki ilmu pengetahuan untuk

9 Muthahhari, op.cit., h. 25.

10 Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN MALANG PRESS, 2008),

h. 106 11

Ibid., h. 92.

10

melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas yang

mulia, sehingga Islam memandang pendidik mempunyai derajat yang lebih

tinggi dari pada orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang bukan

sebagai pendidik.12

B. Tujuan Pendidikan Islam

Pendidikan adalah suatu proses, maka proses tersebut akan berakir

pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai

oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal

yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.

Pendidikan harus bergerak dinamis, berjalan tiada henti mengikuti

perkembangan bahkan memimpin perkembangan itu menuju kemajuannya.

Maka tujuan yang utama bagi pendidikan ialah melatih anak didik supaya

membiasakan diri untuk berdiri sendiri, dan harus mampu memandang dan

menjangkau jauh ke depan, kepada masa datang yang bakal ditempatinya.13

Menurut Murtadha Muthahhri, pendidikan dan pembelajaran bertujuan untuk

memaksimalkan potensi berpikir pelajar.14

Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al-insan

kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya

pendidikan Islam diarahkan pada dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi

dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan vertikal

kepada Allah.15

Pada dimensi pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan

pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama

manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan,

dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap makna

12

Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet ke 4, h.

167. 13

Zainal Abidin, Memperkembang dan MempertahankanPendidikan Islam di Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang ), h. 16. 14

Muthahhari, op. cit., h. 13 15

A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan,

1991), h. 126

11

kehidupan. Sementara pada dimensi kedua, memberikan arti bahwa

pendidikan sains dan tekhnologi, selain menjadi alat untuk memanfaatkan,

memelihara, dan melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan

dalam mencapai hubungan yang abadi dengan Sang Pencipta. Untuk itu,

pelaksanaan ibadah dalam arti seluas-luasnya merupakan sarana yang dapat

menghantarkan manusia ke arah ketundukan vertikal kepada Khaliknya.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah

terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan

haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah.

Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam

menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan

hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup

menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti firman-

Nya:16

Artinya: “Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya

mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Zariyat:56)

Tujuan merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan manusia.

Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih

dinamis, terarah, dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktivitas manusia akan

kabur dan terombang-ambing. Dengan acuan ini, manusia dan makhluk

ciptaan-Nya juga memiliki tujuan dalam kehidupannya, yaitu untuk mengabdi

kepada-Nya seperti dalam firman-Nya:

Artinya: “Katakanlah sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,

hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS.

Al-An’am ayat:162)

16

HAMKA, Lembaga Hidup, (Jakarta: Djajamurni, 1962), h. 99

12

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas

pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat,

ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu

mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau

disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam

untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang

benar.17

Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah “mengenal

dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak

mulia”,18

serta “mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan

berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya”.19

Pandangan-pandangan di atas memberikan makna, bahwa secara

substansial pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mencetak ulama. Tujuan

ini bahkan mungkin hanya feriferal, mengingat keulamaan bukan sekedar soal

kedalaman ilmu, akan tetapi juga berkaitan dengan akhlak, pengakuan

masyarakat (social recognition), dan aktivias kehidupan kekinian. Oleh karena

itu, tujuan pendidikan Islam sesungguhnya lebih berorintasi pada

transinternalisasi ilmu kepada peserta didik agar mereka menjadi insan yang

berkualitas, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial. Dalam arti lain,

tujuan pendidikan Islam yang dibangunnya bukan hanya bersifat internal bagi

peserta didik guna memiliki sejumlah ilmu pengetahuan dan mengenal

Khaliknya, akan tetapi juga secara eksternal mampu hidup dan merefleksikan

ilmu yang dimiliki bagi kemakmuran alam semesta. Untuk mencapai tujuan

ideal ini, maka pendidikan Islam hendaknya diformulasi secara sistematis dan

integral, sehingga dapat merangsang tumbuhnya dinamika fitrah peserta didik

secara optimal.20

17

Tafsir, op. cit., h.46-47. 18

HAMKA, op. cit., h. 190. 19

HAMKA, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2-3. 20

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA

Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 117.

13

Menurut Muhammad Abduh, tujuan pendidikan Islam sebagai upaya

mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya hingga batas-batas

kemungkinan manusia (peserta didik) mampu mencapai kebahagiaan hidup

dunia dan akhirat.21

Pandangan ini seirama dengan rumusan tujuan

pendidikan pada Kongres se-Dunia ke II tentang pendidikan Islam tahun 1980

di Islamabad. Pada kongres tersebut, dinyatakan bahwa:

Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan

pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik) secara menyeluruh dan

seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri

manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan hendaknya

mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual,

intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun

kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan

dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada

perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi

komunitas, maupun seluruh umat manusia.

Berpijak pada tujuan pendidikan Islam yang dikemukakannya di atas,

pendidikan Islam hendaknya senantiasa berorientasi pada upaya mengantarkan

peserta didik agar mampu menjawab tantangan zaman yang timbul dalam

kehidupan sosial sebagai konsekuensi logis dari perubahan peradabannya.

Untuk itu, alternatif yang terbaik adalah bersikap terbuka terhadap ilmu

pengetahuan umum dan menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didik

ecara seimbang.22

Tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia agar mampu

menjalankan fungsinya sebagai abid Allah dan khalifahNya, manusia yang

memiliki unsur-unsur jasmani, akal, dan jiwa. Pembinaan akalnya akan

menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jasmaninya menghailkan

keterampilan dan pembinaan jiwa menghasilkan akhlak (moral) yang

21

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu,

1999), h. 24. 22

Nizar, op. cit., h. 119-120.

14

dilakukan secara integral. Dengan demikian terciptalah makhluk dwi-dimensi

dalam satu keseimbangan ilmu, amal, dan iman.23

Tujuan dari pendidikan Islam bukanlah untuk memberi informasi

tentang Islam kepada anak-anak didik saja, tetapi lebih menekankan

bagaimana menjadi seorang muslim dan memberi mereka inspirasi sehingga

ilmu tersebut bisa ditransformasikan dalam kehidupan mereka.24

Menurut pandangan Islam manusia itu satu hakikat tetapi mempunyai

tiga dimensi wujud, yaitu; wujud jasmani (fisik), wujud hewani, dan wujud

insani.25

Dari sisi sebagai jasmani manusia mempunyai rupa dan susunan

khusus yang dengannya manusia dapat tumbuh dan berketurunan. Oleh karena

itu, pendidikan berpengaruh terhadap kondisi fisik anak, dan tentunya hal ini

harus mendapat perhatian dari para pendidik. Para pendidik harus

memperhatikan perkembangan fisik anak, dan harus berusaha mendidik

mereka menjadi individu yang sehat, kuat dan seimbang.

Dari sisi sebagai hewan, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan

yang untuk memenuhinya telah diletakkan berbagai insting dalam dirinya dan

untuk mencapainya telah diciptakan baginya anggota-anggota tubuh yang

sesuai. Manusia memiliki perasaan, kehendak, kemampuan gerak, syahwat

dan marah, yang jika ia kehilangan salah satu darinya maka kehidupan

hewaninya menjadi terganggu. Oleh karena itu, dalam mendidik anak para

pendidik harus mengembangkan insting dan sifat-sifat hewani si anak secara

seimbang.

Akan tetapi manusia tidak terbatas hanya pada dimensi-dimensi fisik,

tumbuhan dan hewan saja, melainkan manusia juga mempunyai dimensi

insani. Manusia memiliki kemampuan keilmuan yang tidak dimiliki hewan-

hewan yang lain. Manusia diciptakan bebas, mempunyai kemampuan memilih

dan mengemban kewajiban di pundaknya. Manusia mempunyai fitrah mencari

dan menyembah Tuhan. Dengan perantara ilmu, iman, amal sholeh dan

23

Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2002), h.173 24

Zainuddin, op. cit., h. 107. 25

Amini, op. cit., h.98.

15

berakhlak terpuji, diri manusia menjadi sempurna dan menjadi dekat dengan

Alllah SWT; sebaliknya keyakinan yang menyimpang, amal perbuatan buruk

dan akhlak tercela akan menjatuhkan dan menjerumuskannya.

Untuk itu, para pendidik harus mengembangkan sisi-sisi kemanusiaan

anak dan mendidiknya supaya menjadi manusia. Para pendidik harus

mendidik mereka menjadi manusia yang berakal, cerdas, beriman, mengenal

kewajiban, gigih, ulet, dan lain-lain. Oleh karena itu, target dan tujuan

pendidikan itu luas dan harus mencakup seluruh dimensi wujud manusia

terutama dimensi-dimensi insaninya.

Peran seorang pendidik tentunya tidak hanya terbatas kepada

pemberian informasi dan mengajarkan kepada pelajar agar mampu menguasai

ilmu. Karena hal ini hanya akan menjadikan otak para pelajar membeku

sehingga tidak termotivasi agar menggunakan nalar dan kreasi mereka.26

C. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan sebuah sistem yang mengandung aspek visi,

misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, proses belajar mengajar, guru, murid,

manajemen, sarana prasarana, biaya, lingkungan dan sebagainya. Berbagai

komponen pendidikan tersebut membentuk sebuah sistem yang memiliki

konstruksi atau bangunan yang khas. Agar konstruksi atau bangunan

pendidikan tersebut kukuh, maka ia harus memiliki dasar, fundament, atau

asas yang menopang dan menyangganya, sehingga bangunan konsep

pendidikan tersebut dapat berdiri kukuh dan dapat digunakan sebagai acuan

dalam praktek pendidikan. Dengan demikian, dasar-dasar pendidikan yaitu

segala sesuatu yang bersifat konsep, pemikiran dan gagasan yang mendasari,

melandasi, dan mengasasi pendidikan. Agar bangunan pendidikan tersebut

benar-benar memberikan keyakinan bagi orang yang menggunakannya, maka

ia harus memiliki dasar, fundamen atau asas yang kukuh pula.

26

Muthahhari, op. cit., h. 11.

16

Kajian tentang dasar pendidikan telah banyak dibicarakan para ahli.

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir misalnya berpendapat, bahwa dasar

pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk

merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Namun menurut Prof.

Abudin Nata lebih cenderung mengatakan, bahwa dasar pendidikan bukanlah

landasan operasional, tetapi lebih merupakan landasan konseptual. Karena

dasar pendidikan tidak secara langsung memberikan dasar bagi pelaksanaan

pendidikan, namun lebih memberikan dasar bagi penyusunan konsep

pendidikan.27

Dasar ilmu pendidikan Islam bersumber dari al-Qur`an, sunnah

Rasulullah SAW, dan ra`yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus

digunakan secara hirarkis. Al-Qur`an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran

atau penjelasan tidak ditemukan di dalam al-Qur`an, maka harus dicari di

dalam sunnah, apabila tidak ditemukan juga dalam sunnah, barulah digunakan

ra`yu. Sunnah tidak bertentangan dengan al-Qur`an, dan ra`yu tidak boleh

bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Macam-macam dasar-dasar

pendidikan Islam:

1. Al-Qur`an

Al-Qur`an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada

Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang terang, guna menjelaskan jalan

hidup yang bermaslahat bagi umat manusia baik di dunia maupun di

akhirat. Terjemahan al-Qur`an ke dalam bahasa lain dan tafsirannya

bukanlah al-Qur`an, dan karenanya bukan nash yang qath`i dan sah

dijadikan rujukan dalam menarik kesimpulan ajarannya.28

Al-Qur`an menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk. Allah swt

menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya:

27

Nata, op. cit., h. 89-90. 28

Tafsir, op. cit., h. 12.

17

Artinya:“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada

(jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada

orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi

mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra:9)

Petunjuk al-Qur`an sebagaimana dikemukakan Mahmud Syaltut

dikelompokkan menjadi tiga pokok yang disebutnya sebagai maksud-

maksud al-Qur`an, yaitu:

a. Petunjuk tentang aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh

manusia dan tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan serta

kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.

b. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan

norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia

dalam kehidupan.

c. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan

dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubugannya

dengan Tuhan dan sesamanya.

Pengelompokan tersebut dapat disederhanakan menjadi dua, yaitu

petunjuk tentang akidah dan petunjuk tentang syari`ah. Dalam menyajikan

maksud-maksud tersebut, al-Qur`an menggunakan metode-metode sebagai

berikut:

1. Mengajak manusia untuk memperhatikan dan mengkaji segala ciptaan

Allah SWT.

2. Menceritakan kisah umat terdahulu kepada orang-orang yang

mengerjakan kebaikan maupun yang mengadakan kerusakan, sehingga

dari kisah itu manusia dapat mengambil pelajaran tentang hukum

sosial yang diberlakukan Allah terhadap mereka.

3. Menghidupkan kepekaan bathin manusia yang mendorongnya untuk

bertanya dan berfikir tentang awal dan materi kejadiannya,

18

kehidupannya dan kesudahannya, sehingga insyaf akan Tuhan yang

menciptakan segala kekuatan.

4. Memberi kabar gembira dan janji serta peringatan dan ancaman.

Menurut M. Quraish Shihab hubungan al-Qur`an dan ilmu tidak

dilihat dari adakah suatu teori tercantum di dalam al-Qur`an, tetapi adakah

jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu atau sebaliknya, serta

adakah satu ayat al-Qur`an yang bertentangan dengan hasil penemuan

ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak hanya dinilai dengan apa

yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur

terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu itu.29

Dalam hal ini para ulama sering mengemukakan perintah Allah

SWT langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk berfikir,

merenung, menalar dan sebagainya, banyak sekali seruan dalam al-Qur`an

kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan

dengan peringatan, gugatan,atau perintah supaya ia berfikir, merenung dan

menalar.

2. Sunnah

Al-Qur`an disampaikan oleh Rasulallah SAW kepada manusia

dengan penuh amanat, tidak sedikitpun ditambah ataupun dikurangi.

Selanjutnya, manusialah hendaknya yang berusaha memahaminya,

menerimanya dan kemudian mengamalkannya. Sering kali manusia

menemui kesulitan dalam memahaminya, dan ini dialami oleh para

sahabat sebagai generasi pertama penerima al-Qur`an. Karenanya mereka

meminta penjelasan kepada Rasulallah SAW, yang memang diberi otoritas

untuk itu. Allah SWT menyatakan otoritas dimaksud dalam firman Allah

SWT di bawah ini:

29

M. Qurais Shihab, Membumikan al-Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyaraka,, (Bandung: Mizan, 1995), h. 42.

19

Artinya:“…dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikri (Al Quran),

agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah

diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir”. (Q. S. al-

Nahl:44)

Penjelasan itu disebut al-Sunnah yang secara bahasa al-Thariqoh

yang artinya jalan, adapun hubungannya dengan Rasulullah SAW berarti

perkataan, perbuatan, atau ketetapannya. Para ulama meyatakan bahwa

kedudukan Sunnah terhadap al-Qur`an adalah sebagai penjelas. Bahkan

Umar bin al-Khaththab mengingatkan bahwa Sunnah merupakan

penjelasan yang paling baik. Ia berkata “ Akan datang suatu kaum yang

membantahmu dengan hal-hal yang subhat di dalam al-Qur`an. Maka

hadapilah mereka dengan berpegang kepada Sunnah, karena orang-orang

yang bergelut dengan sunah lebih tahu tentang kitab Allah SWT.30

Menurut Abdurrahman al-Nahlawi mengemukakan dalam lapangan

pendidikan sunnah mempunyai dua faedah:

a. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagaimana terdapat di dalam

al-Qur`an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di

dalamnya.

b. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat dipraktikkan.

3. Ra`yu

Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik pola-pola tingkah

laku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-

lapisan dalam masyarakat, kekuasaan, wewenang dan sebagainya.31

30

http://berbagi-makalah.blogspot.com/2012/06/dasar-dasar-pendidikan-islam.html

31 Soerjono Soekanto, Pokok - Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 198), h. 67-

88.

20

Pendidikan sebagai lembaga sosial akan turut mengalami

perubahan sesuai dengan perubahan yang tejadi di masyarakat. Perubahan-

perubahan yang ada di zaman sekarang atau mungkin sepuluh tahun yang

akan datang mestinya tidak dijumpai pada masa Rasulullah SAW, tetapi

memerlukan jawaban untuk kepentingan pendidikan di masa sekarang.

Untuk itulah diperlukan ijtihad dari para pendidik muslim. Ijtihad pada

dasarnya merupakan usaha sungguh-sungguh orang muslim untuk selalu

berprilaku berdasarkan ajaran Islam. Untuk itu manakala tidak ditemukan

petunjuk yang jelas dari al-Qur`an ataupun Sunnah tentang suatu prilaku,

orang muslim akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk

menemukannya dengan prinsip-prinsip al-Qur`an atau Sunnah.

Ijtihad sudah dilakukan para ulama sejak zaman shahabat. Namun,

tampaknya literatur-literatur yang ada menunjukkan bahwa ijtihad masih

terpusat pada hukum syarak, yang menurut Ali Hasballah ialah proposisi-

proposisi yang berisi sifat-sifat syariat (seperti wajib, haram, sunnat) yang

disandarkan pada perbuatan manusia, baik lahir maupun bathin.32

Kemudian dalam hukum tentang perbuatan manusia ini tampaknya aspek

lahir lebih menonjol ketimbang aspek bathin. Dengan perkataan lain, fiqih

zhahir lebih banyak digeluti dari pada fiqih bathin. Karenanya,

pembahasan tentang ibadat, muamalat lebih dominan ketimbang kajian

tentang ikhlas, sabar, memberi maaf, merendahkan diri, dan tidak

menyakiti oang lain. Ijtihad dalam lapangan pendidikan perlu

mengimbangi ijtihad dalam lapangan fiqih (lahir dan bathinnya).

Salah satu dasar pendidikan dan pembelajaran adalah berorientasi

kepada perkembangan atau kecerdasan emosi. Kecerdasan emosional ini

berbeda dalam setiap umur dan perkembangan anak, semakin dewasa

seseorang maka kecerdasan emosinya pun makin berkembang. Secara

umum emosi anak mulai stabil ketika berumur 17 tahun ke atas. Karena itu

Islam sangat memperhatikan pendidikan sesorang mulai sejak usia 7 tahun

hingga 30 tahun. Dalam banyak hadis Rasulullah saw diingatkan bahwa

32

Noer Aly, MA, Ilmu Pendidikan Islam. (Kudus: Perpustakaan kudus), h. 48.

21

periode 7 sampai 30 tahun ini di anggap sebagai periode untuk pendidikan

dan pembelajaran. Suatu periode yang cocok untuk mengembangkan

berbagai potensi diri, baik potensi keagamaan, potensi keilmuwan, potensi

akhlak, dan sebagainya. Bahkan periode ini dianggap sebagai fase umur

dan keterbukaan. Pada fase ini segala aspek pembelajarannya berkembang

secara aktif, melalui pertambahan informasi, perkembangan potensi

berpikir, dan perkembangan perasaan dan mental secara umum. Pada fase

ini, daya ingat dan daya tangkap baik sekali. Fase ini merupakan fase

produktif seseorang dalam segala bidang, dan sangat menentukan unsur

material dan spiritual masa depannya.

Aspek yang sangat penting dalam konteks ini berkaitan dengan

sejauh mana perspektif Islam dalam mendidik manusia, karena manusia

terdiri dari fisik dan mental. Menurut ilmu jiwa, jiwa manusia terdiri dari

potensi-potensi fisik atau jasmani dan potensi-potensi psikis atau rohani.33

D. Kajian Terdahulu yang Relevan

Ayatullah Murtadha Muthahhari adalah salah seorang arsitek utama

kesadaran baru Islam di Iran. Muthahhari juga di kenal sebagai tokoh

intelektual Iran yang terkenal sangat produktif dalam menelurkan pemikiran-

pemikiran baru mengenai ajaran Islam lewat karya-karyanya. Bisa dikatakan,

beliau adalah kampiun bagi kebangkitan tradisi intelektual di dunia Muslim.

Kajian terdahulu ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana

masalah ini pernah ditulis oleh orang lain sebelum kajian ini dilakukan.

Kemudian untuk menghindari penelitian yang sama akan ditinjau sejauh mana

perbedaan antara tulisan sebelumnya dengan kajian ini.

Dibawah ini beberapa penelitian yang telah menulis tentang Murtadha

Muthahhari, yaitu:

1. Mahbubillah, dengan judul Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang

Manusia dan Tujuan Pendidikan Islam. Dalam skripsinya, Mahbubillah

menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensi. Manusia

33

Muthahhari, op. cit., h. 42.

22

dilengkapi dengan berbagai potensi seperti akal pikiran, agar dapat

menegmbangkan dirinya ke arah yang positif. Dari konsep manusia

menurut Murtadha Muthahhari, maka tujuan pendidikan Islam adalah

pertama, pendidikan Islam mengarahkan seluruh potensi tersebut secara

maksimal dan ke arah yang jelas dan benar. Kedua, pendidikan Islam

membentuk manusia secara integral dengan mengembangkan nilai-nilai

insaniyah secara seimbang untuk menjadi manusia sempurna (insan

kamil).34

2. Zuhriadi, dengan judul Konsep Pendidikan Akhlak Muratdha Muthahhari.

Dalam skripsinya, zuhriadi menjelaskan tujuan dari pendidikan akhlak

Murtadha Muthahhari adalah usaha menanamkan, membimbing

keutamaan perangai, tabiat yang dimiliki anak didik. Konsep pendidikan

akhlak Murtadha Muthahhari sangat relevan dengan pendidikan akhlak di

Indonesia. Murtadha Muthahhari meletakkan sebuah konsep pendidikan

akhlak melalui kerangka berfikir ilmiah serta pengembangan semua

potensi yang ada pada anak didik.35

Dari paparan hasil kajian tersebut diatas, penulis menawarkan sebuah

tulisan yang berbeda, di karenakan banyaknya karya ilmiah yang telah ditulis

atau diteliti oleh para pendahulu mengenai pemikiran-pemikiran Murtadha

Muthahhari. Dengan demikian jelas bahwa perbedaannya adalah Tulisan ini

lebih mengacu kepada pandangan Murtadha Muthahhari konsep pendidikan

yang difokuskan bagaimana menghadapi tantangan zaman yang terus

berkembang.

34

Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang Manusia dan Tujuan

Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003. 35

Zuhriadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2009.

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah tempat atau lokasi di mana penelitian dilakukan.

Sedangkan waktu penelitian berisi penjelasan kapan penelitian dilakukan

(semester, tahun pelajaran) dan lama penelitian dilakukan. Dalam penelitian

kualitatif, tempat penelitian biasa disebut latar atau setting penelitian. Latar berisi

penjelasan secara rinci situasi sosial meliputi: lokasi, tempat, aktivitas, atau tokoh

yang diteliti.1

Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Menurut Murtadha

Muthahhari” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, mulai dari bulan

Juli-Maret (2013-2014)

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah, termasuk penelitian dapat menggunakan

salah satu dari tiga grand metode, yaitu library research, field research, dan

bibliography research. Yang dimaksud dengan dengan library research adalah karya

ilmiah yang didasarkan pada literature atau pustaka. Field research adalah

penelitian yang didasarkan pada studi lapangan. Sedangkan bibliography research

adalah penelitian yang memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori.

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

kualitatif deskriptif, yang memfokuskan penelitian pada kajian kepustakaan

(library research) dan mencoba mengkaji seorang tokoh yakni Murtadha

Muthahhari tentang pemikiran konsep pendidikan. Untuk mempertajam analisis

metode deskritif kualitatif, peneliti menggunakan teknis content analisys, yaitu

1 Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013)

24

suatu analisis yang menekankan pada analisis ilmiah tentang isi pesan suatu

komunikasi. Content analysis memanfaatkan prosedur yang dapat menarik kesimpulan

benar dari sebuah buku atau dokumen. Proses content analysis adalah dimulai dari

isi pesan komunikasi tersebut, dipilah-pilah, kemudian dilakukan kategorisasi

(pengelompokan) antara data yang sejenis, dan selanjutnya dianalisis secara kritis

dan obyektif.2

Sedangkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan historis, yaitu pendekatan yang dilakukan

untuk mengungkapkan sejarah sang tokoh, yakni Murtadha

Muthahhari. Oleh karena itu, studi tokoh harus menggunakan kaidah-

kaidah kesejarahan yang tidak lepas dari ruang dan waktu beserta

fakta-fakta sejarahnya.

b. Pendekatan sosio cultural religius, maksudnya dalam melakukan studi

pemikiran sang tokoh peneliti tidak bisa melepaskannya dari konteks

sosio cultural religi sang tokoh, karena pada dasarnya perasaan,

pikiran dan tindakan sang tokoh merupakan refleksi dari sosio cultural

sang tokoh tersebut.

C. Sumber Data

Sumber data dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu sumber primer dan

sumber sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber-

sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.3 Sumber utama

dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Murtadha Muthahhari yang

2 Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta : Rineka

Cipta,1999), h. 8-18.

3 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89

25

memuat pemikirannya mengenai konsep pendidikan Islam. Di antara buku

yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini adalah:

a. Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta: Sadra International

Institute, 2011.

b. Man and Universe. Qum: Ansariyan Publication, 1401 H.

c. Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,

terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi. Jakarta: Lentera, 1999.

d. Manusia dan Agama. Bandung: Mizan, 1995.

e. Bimbingan untuk Generasi Muda, Jakarta: Sadra International Institute,

2011.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber

lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi interpretasi

terhadap sumber primer.4

Adapun data skunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku

pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan

pembahasan skripsi.

D. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam hal metode atau strategi yang dipakai dalam pengumpulan data,

penulis menggunakan metode dokumentasi. Data dokumentasi ini biasanya digunakan untuk

melengkapi data yang diperoleh dari wawancara, namun karena peneliti tidak

menggunakan metode wawancara maka dokumentasi ini hanya digunakan penulis

untuk mencatat tulisan-tulisan tokoh lain yang berkaitan dengan sang tokoh.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan tehnik documenter yang diperoleh dari

karya tulis orang terdekat Murtadha Muthahhari dan karya orang lain yang berkaitan

4 Ibid., h. 91

26

dengan obyek kajian, tanpa menggunakan karya tulis dari sang tokoh, dikarenakan sang

tokoh tidak meninggalkan pemikiran tentang konsep pendidikan dalam karya

tulis.

Pengambilan data dengan tehnik dokumenter dapat dilakukan dengan

beberapa tahap. Pertama, mencari dan menelusuri data tentang pemikiran

Murtadha Muthahhari tentang konsep pendidikan. Kedua, dari data-data tersebut

akan ditemukan pemikiran Murtadha Muthahhari tentang konsep pendidikan.

Ketiga, setelah ditemukan data-data tersebut kemudian dibaca dan dipelajari

secara teliti dan mendalam. Keempat, tahap pencatatan dan penulisan data, baik

secara tekstual maupun kontekstual.

E. Teknik Pengolahan Data

Sesuai dengan jenis data penelitian ini, data diolah dengan menggunakan

teknik analisis non statistic atau analisis data kualitatif, yaitu mempelajari data

yang akan diteliti secara mendasar dan mendalam. Langkah-langkah dalam

analisis tehnik non statistik ini adalah: Pertama, klasifikasi data, yaitu

menggolongkan aneka ragam data ke dalam kategori-kategori yang jumlahnya

lebih terbatas. Secara teknik kategori-kategori tersebut harus disusun berdasarkan

kriteria yang lengkap, sehingga tidak ada satu pun yang tidak mendapat tempat

serta kategori satu dengan yang lain terpisah secara jelas dan tidak saling tumpang

tindih. Kedua, mengklasifikasikan data tersebut dengan memberi tanda sesuai dengan

data yang dibutuhkan. Ketiga, memeriksa keabsahan data. Keempat, penafsiran data

dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substansif, dan Kelima, penarikan

kesimpulan.

Analisis atau pengolahan data dalam studi pemikiran sang tokoh dapat dilakukan

melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap

karakteristik pemikiran sang tokoh dengan cara menata dan melihatnya

27

berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan pola

atau tema tertentu.

2. Mencari hubungan logis antara pemikiran sang tokoh dalam suatu bidang

keilmuan sehingga dapat ditemukan alasan mengenai pemikiran tersebut.

Peneliti juga berupaya untuk menemukan arti dibalik pemikiran tersebut

berdasarkan kondisi social politik yang mengitarinya.

3. Mencapai generalisai gagasan yang spesifik, artinya berdasarkan temuan-

temuan yang spesifik tentang pemikiran sang tokoh, peneliti akan dapat

menemukan aspek-aspek pemikiran yang dapat dikomparasikan

(dibandingkan) dengan tokoh-tokoh lain yang sebelumnya sudah dipaparkan

dalam kumpulan atauteori yang telah ada. Selain itu, dapat ditemukan pula

aspek-aspek pemikiran sang tokoh yang dapat diimplikasikan dalam

kumpulan pengetahuan yang telah mapan, dalam hal ini peneliti dapat

menemukan aspek pemikiran sang tokoh yang dapat diaktualisasikan pada

pendidikan Islam di abad 21.

28

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Biografi Murtadha Muthahhari

Ayatullah Murtadha Muthahhari adalah salah seorang arsitek utama

kesadaran baru Islam di Iran. Ia dilahirkan di Fariman di propinsi Khurasan pada

tanggal 2 Februari 1920. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husein

Muthahhari, terkenal sebagai alim ulama yang dihormati.1

Awal Muthahhari bersentuhan dengan dunia pendidikan dari ayahnya. Ia

belajar pengetahuan agama di bawah asuhan ayahnya di sebuah madrasah

tradisional di Fariman yang mengajarkan membaca dan mempelajari surat-surat

pendek dari al-Qur‟an dan sastra Arab. Sejak kecil telah tampak bakat dan

kecintaannya yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, serta kecerdasan dan

perhatiannya yang besar terhadap ilmu kalam (teologi).2

Di usia yang ke 12 tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di

Hauzah Ilmiyah di Masyhad (pusat belajar dan ziarah kaum Syi‟ah yang besar di

Iran Timur). Di tempat itulah Muthahhari semakin tertarik dengan dunia filsafat,

teologi, dan irfan. Di antara guru yang sangat berkesan di Masyhad ialah sosok

pribadi dan pemikiran Mirza Mahdi Syahid Razavi,3 yang mengajarkan tentang

filsafat Ilahiyah di pusat kajian ini.4

Razavi wafat pada tahun 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur

untuk mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun

berikutnya untuk belajar di lembaga pengajaran di Qum yatitu pusat kajian agama

di Iran yang diminati oleh banyak siswa.

1 Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, terj: Tim penerjemah

Mizan, (Bandung: Mizan, 2002), cet 1, h. 23. 2 M. Dawam Raharjo, Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafitti Press, 1987), h.

127. 3 Muthahhari, op. cit., h. 24.

4 Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1988),

cet 2, h. 25.

29

Di Qum, Muthahhari memperoleh pelajaran (manfaat dari pengajaran

sejumlah ulama), seperti fiqh dan ushul yaitu pelajaran-pelajaran pokok

kurikulum tradisional yang diajarkan oleh sejumlah ulama seperti: Ayatullah

Hujjah Khuk Kamari, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Sayyid Muhammad

Riza Gulpayani, dan Haji Sayyid Shadr al-Gin Shadr. Tetapi yang lebih penting di

antara mereka ini adalah Burujerdi, pengganti Ha‟iri sebagai direktur lembaga

pengajaran di Qum. Muthahhari senantiasa mengikuti kuliah-kuliahnya sejak di

Qum sampai ia ke Teheran pada tahun 1952.5

Tahun 1940, beliau berkenalan dengan Mirza Ali asy-Syirazi al-Isfahani,

tokoh yang ahli dalam naskah literatur Syi‟ah, dari perkenalan ini menyebabkan

Muthahhari dapat menimba ilmu dari kitab Nahjul Balaghah. Ketika berada di

Qum, Muthahhari mulai melihat arah kecenderungan intelektualnya yang mulai

terbangun dengan hadirnya sejumlah guru-guru yang ia kagumi seperti Ayatullah

Ruhullah Khomeini, pada waktu itu sebagai seorang pengajar muda yang sangat

menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan

kemampuan menyampaikannya kepada orang lain. Kualitas-kualitas ini

termanivestasikan dalam kuliah-kuliahnya tentang etika yang mulai diajarkan di

Qum pada awal 1930an. Kuliah-kuliah tersebut menarik banyak orang dari luar

maupun dari dalam lembaga pengajaran keagamaan, dan berpengaruh sekali atas

mereka. Di sinilah Muthahhari mengenal Imam Khomeini. Dari Imam Khomeini

inilah ia belajar teks pasal tentang nafs, Asfar al-Arba‟ah karya Mulla Sadhra dan

Syarh manzhumah karya Mula Hadi Sabzwari. Awalnya kuliah ini diberikan

secara tertutup, hanya sedikit orang yang terpilih dari para pelajar Qum. Pada

tahun 1946, atas permintaan Muthahhari dan Muntazhari, Ayatullah Khomeini

mengajarkan kuliah formal pertamanya tentang fiqih dan ushul, mengambil bab

tentang dalil-dalil rasional dari jilid kedua kifayat al-Ushul karya Akhund

Khurasani sebagai naskah pengajarannya.6

5 Muthahhari, op. cit., h. 26.

6 Murtadha Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, (Jakarta: Sadra International

Institute, 2011), cet 5, h. 11-12.

30

Di antara guru-guru lainnya yang pengaruhnya dirasakan Muthahhari di

Qum adalah pakar besar tafsir Qur‟an dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad

Husain Thabathaba‟i (q.s.). Muthahhari ikut serta dalam pelajaran-pelajaran

Thabathaba‟i tentang kitab Al-Syifa‟ karya Abu Ali Ibn Sina dari 1950 hingga

1953, dan pertemuan-pertemuan malam Jum‟at yang berlangsung di bawah

arahannya. Subjek dari pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis.

Muthahhari sendiri untuk pertama kali memahami minat besar pada filsafat

materialis, terutama Marxisme, segera setelah naik ke jenjang studi formal ilmu-

ilmu rasional.7

Selain filsafat materialis, Muthahhari juga mempelajari secara mendalam

segala aliran sejak Aristoteles sampai Sarte. Ia juga membaca sebelas jilid kisah

peradaban, kelezatan filsafat serta buku-buku lainnya karya Will Durand. Ia

menelaah tulisan Sigmund Freud, Betrand Russel, Albert Einstein, Erich Fromm,

Alexix Carrel, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.8 Pada tahun 1954 ia mulai

mengajar di Teheran University di Fakultas Teologi. Ia menjabat sebagai Ketua

Jurusan Filsafat. Keluasan ilmunya tampak pada nama-nama kuliah yang

diasuhnya: kuliah Fiqh, kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Klam, kuliah al-Irfan, kuliah

Logika dan kuliah filsafat.

Muthahhari juga aktif di politik dan berjuang bersama Imam Khomeini.

Pada tahun 1963 bersama Imam Khomeini ia ditahan. Ketika revolusi Islam yang

dipimpin Imam Khomeini meletus pada tahun 1978-1979, Muthahhari merupakan

salah seorang arsitek revolusi itu. Ia mengepalai kelompok ulama mujahidin dan

menjadi anggota Dewan Revolusi. Ketika revolusi sudah di ambang pintu

kemenangan, Muthahhari ditunjuk Imam Khomeini untuk memimpin Dewan

Revolusi Iran, yang mengendalikan roda politik di Iran. Akan tetapi, sebelum

menerapkan konsep-konsep politiknya pada pemerintahan baru, hanya kurang

7 Ibid., h. 13.

8 Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, Terj: Haidar

Bagir (Bandung: Mizan, 1995), cet 8, h. 8.

31

dari 3 bulan menjelang kemenangan revolusi Iran yang spektakuler itu, ia

mengehembuskan nafas terakhir akibat peluru teroris Furqon, kelompok ekstrim

kiri yang mengidentikkan diri dengan Islam. Peristiwa itu mengejutkan rakyat

Iran dan menyakitkan para pejuang kemerdekaan, karena bagi mereka, Murtadha

Muthahhari bukan hanya sebagai pemikir brilian atau sebagai suara rakyat

tertindas, melainkan juga sebagai pejuang kemerdekaan yang gigih, terutama

dalam kemerdekaan berpikir.9

Muthahhari telah tiada tapi jasanya dalam menegakkan kebenaran melalui

keteguhan keyakinan dan keluasan ilmu dapat menjadi suri tauladan bagi kaum

muslim. Ia adalah figur yang telah menorehkan sejarah hidupnya dengan prinsip-

prinsip Islam yang sejati.10

Murtadha Muthahhari adalah salah satu figur ulama yang dapat

memadukan keulamaan dan keintelektualan. Seorang tokoh yang tidak hanya

menguasai dan memahami ilmu-ilmu Islam tradisional, tapi juga akrab dengan

literatur Barat klasik maupun modern. Ia fasih berbicara tentang mazhab-mazhab

pemikiran Barat mengenai: materialisme, sosialisme, kapitalisme, dan

humanisme. Muthahhari adalah salah satu figur yang berjuang dengan

kemampuan intelektual sekaligus melalui gerakan-gerakan politik untuk

mewujudkan cita-cita politik di bawah kepemimpinan Imam Khomeini.

Karakteristik yang menonjol pada diri Muthahhari adalah kedalaman

pemahamannya tentang Islam, keluasan pengetahuannya tentang filsafat dan ilmu

pengetahuan modern, dan pengetahuannya terhadap keyakinan dan ideologi yang

tangguh.11

Kejeniusan dan kecerdasannya tampak dari karya-karya yang

dilahirkannya dalam beberapa aspek keislaman, yang meliputi masalah tasawuf,

9 Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari, (Penelitian Dosen Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, UIN, 2001), h. 16. 10

Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit., h. 40. 11

Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Azzahra, 2003), cet 1,

h. xxi.

32

filsafat, teologi, logika, fiqh, etika, agama, sosial, ushul fiqh, sejarah, dan lain-

lain. Walaupun pokok tulisan-tulisannya tampak sekali berlainan namun

semuanya mempunyai satu tujuan, yaitu Islam. Karena menurutnya Islam sebagai

sebuah agama ternyata belum banyak dikenal secara benar, banyak kebenaran-

kebenaran di dalamnya yang terabaikan sehingga banyak orang yang

menghindarinya.12

Muthahhari melihat fisafat bukan sekedar alat polemik atau disiplin

intelektual. Filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas, yaitu suatu

jalan untuk memahami dan merumuskan Islam. Muthahhari memang bagian dari

tradisi Syi‟ah yang mempunyai perhatian terhadap fisafat. Untuk mengatakan

bahwa pandangan Muthahhari mengenai Islam bersifat filosofis, tidak berati

bahwa dia tidak memiliki spiritualitas, atau dia menafsirkan dogma samawi secara

filosofis, atau dia menerapkan terminologi filosofis pada semua masalah

keagamaan. Tetapi dia memandang peraihan ilmu pengetahuan dan pemahaman

sebagai tujuan dan manfaat utama agama. Karena itu dia berbeda dengan banyak

ulama yang menjadikan fiqh segala-galanya dari kurikulum, atau dengan kaum

modernis yang memandang filsafat sebagai cermin pengacauan Helenis ke dalam

dunia Islam, serta dengan mereka yang semangat revolusinya membuat tidak

sabar terhadap pemikiran filosofis.13

Pada tahun 1952 Murtadha Muthahhari meninggalkan Qum menuju

Teheran, di sana ia menikah dengan putri Ayatullah Ruhani, dan mulai mengajar

filsafat di Madrasah Marvi, salah satu lembaga pengetahuan keagamaan di

ibukota Iran. Di Teheran ia menemukan suatu bidang kegiatan keagamaan,

pendidikan, dan perpolitikan yang lebih luas dan memuaskan. Tahun 1954 ia

mengajar teologi dan ilmu keislaman di Universitas Teheran. Ia mengajar di sana

selama 22 tahun, pemgangkatannya dan promosinya ke professor tertunda oleh

12

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam, Terj: Agus Efendi,

(Bandung: Mizan, 1995), cet 2, h. 12. 13

Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit, h. 30.

33

kecemburuan sebagian koleganya dan pertimbangan-pertimbangan politis yaitu

kedekatannya dengan Imam Khomeini yang telah diketahui dengan luas.14

Karena niat untuk menyebarkan agama Islam di tengah masyarakat dan

keterlibatan yang efektif para ulama dalam urusan sosial, membuatnya diangkat

menjadi pimpinan kelompok ulama Teheran, dikenal dengan “masyarakat

keagamaan bulanan”. Suatu langkah serupa yang jauh lebih penting adalah

pendirian Husainiyah al-Irsyad, sebuah lembaga di Teheran Utara yang

dimaksudkan untuk memperoleh kesetiaan kaum muda berpendidikan sekuler

kepada Islam. Tahun 1965 Muthahhari termasuk salah satu anggota badan

pengarah, ia juga memberikan kuliah di sana, juga menyunting dan menyumbang

bagi beberapa karyanya. Lembaga tersebut memperoleh dukungan banyak orang.

Salah satunya adalah konteks politik aktivitas-aktivitas lembaga, yang

menimbukan perbedaan mengenai perlu tidaknya aktivitas lembaga masuk ke

dalam kancah konfrontasi politik. Sebuah masalah yang lebih radikal

dimunculkan oleh adanya konsep-konsep dan interpretasi yang saling

bertentangan di dalam Husainiyah Irsyad mengenai Islam dan misi sosial

kulturalnya. Diungkapkan secara lebih sederhana, di dalam lembaga ini ada

kepribadian mencolok Ali Syariati dan kontroversi-kontroversi yang

dilahirkannya.15

Sosok Muthahhari tidak dapat dipisahkan dengan Imam Khomeini, karena

kesamaan pemikiran yang mendasar yaitu menginginkan adanya revolusi di Iran,

maka komitmen itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun untuk melawan

rezim Pahlevi yang diktator. Sehingga Muthahhari sangat dipengaruhi

intelektualnya dengan orientasi keinginan untuk mengubah tatanan sebuah negara

yang berorientasi Islam.

Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki pada tanggal 4 November

1964, maka selama pengasingan ini Muthahhari-lah yang mengambil alih

14

Ibid., h. 31-32. 15

Ibid., h. 34.

34

kepemimpinan dan menggerakkan para ulama mujahidin bersama ulama lainnya.

Selama masa ini Muthahhari tetap berhubungan dengan Imam Khomeini baik

secara langsung maupun tak langsung. Selama tahun-tahun yang penuh dengan

pertentangan politik Muthahhari bekerja keras untuk menjelaskan ideolog Islam

yang otentik baik melalui khutbah di fakultas-fakultas, lembaga-lembaga Islam, di

masjid-masjid maupun melalui artikel serta komentar-komentar yang disiarkan.

Kedekatan Muthahhari dengan Imam Khomeini dikukuhkan dengan

ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Revolusi Islam, yang keberadaannya

dikukuhkan pada tanggal 12 Januari 1979. Bersama anggota lainnya dengan

Muthahhari dan Dewan Revolusi Islam memainkan peranan penting dalam

mengorganisasikan kekuatan-kekuatan revolusioner. Pengabdian Muthahhari

kepada Revolusi Islam dihentikan secara brutal dengan pembunuhan atas dirinya

pada 1 Mei 1979 oleh kelompok Furqan, yang menyatakan diri sebagai

pendukung suatu “Islam Progresif”, yang bebas dari apa yang mereka sebut

“pengaruh menyimpang ulama”.

Pada Selasa, 1 Mei 1979, Muthahhari pergi ke rumah Dr.Yadullah Sahabi

untuk berkumpul dengan para anggota lain dari Dewan Revolusi Iran. Sekitar

22:30 ia meninggalkan rumah Sahabi dan berjalan sendiri menuju sebuah gang di

mana mobil yang akan membawanya pulang di parkir di situ. Muthahhari tiba-

tiba mendengar suara yang tak ia kenal memanggil-manggilnya. Ia memandang

sekeliling untuk melihat dari mana asal suara itu, dan sebutir peluru pun

menghantam kepalanya, masuk di bawah gendang telinga kanan dan keluar di

atas alis kirinya. Ia hampir wafat seketika. Walaupun ia dilahirkan ke rumah sakit

terdekat, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali kabar duka cita kematiannya.

Jenazahnya pertama-tama dibawa ke Universitas Teheran untuk dishalatkan dan

kemudian ke Qum untuk dikuburkan, bersebelahan dengan makam Syekh

Abdulkarim (q.s.).16

Imam Khomeini tidak menyembunyikan tangisnya ketika

16

Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 27.

35

Muthahhari dimakamkan dan ia menggambarkannya sebagai “putra tercinta”,

sebagai “buah hidupku”, sebagai “sebagian dagingku”. Tetapi dalam sambutan

perkabungannya, Imam Khomeini juga menunjukkan bahwa kepergiannya tidak

menghilangkan pribadinya, tidak pula mengganggu jalannya revolusi.17

1. Karya-karya Murtadha Muthahhari

Karya-karya Muthahhari baik hasil ceramah maupun tulisan sangat

banyak, mencapai lebih dari 200 karya dalam berbagai bidang, seperti filsafat,

kalam, sosiologi, sejarah dan antropologi, dan etika. Karya-karya Muthahhari

telah dibukukan dan diterjemahkan keberbagai bahasa, termasuk Indonesia.18

Di antara buku yang telah diterbitkan adalah:

Insản Kảmil buku ini dilatarbelakangi karena kondisi masyarakat saat

ini yang sangat memperhatikan sisi sosial tanpa memperhatikan sisi spiritual.

Ia mencoba menjelaskan wajah Islam yang komprehensif. Insan Kamil adalah

manusia yang multi dimensional, dengan melaksanakan seluruh ajaran Islam

secara utuh dan harmonis.

Mas‟ale-ye Syenỏkh, berasal dari sepuluh ceramah, yang disampaikan

pada bulan Muharram tahun 1379H/1977, hal ini dijelaskan untuk

menguatkan landasan fisafat, karena pada masa itu sangat mempunyai arti dan

pengaruh yang khusus untuk melawan para pengikut Marxisme yang telah

melakukan aktivitas besar-besaran di bidang kebudayaan dan mendapat restu

dari kerajaan, sehingga ia mencoba melawan dengan memperbaiki kerangka

pemikiran umat Islam agar tidak terjebak dengan ajaran Marxis.

al-Adl al-Ilahi, merupakan buku karya Murtadha Muthahhari yang

sistematis dan sempurna tentang konsep keadilan, baik keadilan Tuhan

maupun keadilan manusia. Bahwa keadilan Tuhan adalah sebuah keniscayaan

bagi seluruh sistem alam, baik yang berwujud fisik atau yang berwujud non

17

Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra, op. cit., h. 41. 18

Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, (Jakarta: al-Huda, 2005),

cet 1, h. 280.

36

fisik. Pada bab pertama dibahas pandangan mengenai jabr dan ikhtiar yang

pada beberapa aliran kalam, yang intinya, bagaimana pandangan manusia

secara umum tentang kejadian-kejadian yang ada di alam ini, baik secara

rasional dan juga secara spiritual, hingga menimbulkan pandangan dan prinsip

yang bermacam-macam.

Goal of Life, merupakan buku yang dikumpulkan dari ceramah

Murtadha Muthahhari ketika menyampaikan materi tentang Islam, tujuan dan

keniscayaan proses dan penyempurnaan manusia. Buku ini terdiri dari lima

pokok bahasan, yaitu: mengenai tujuan penciptaan, landasan etika personal

dan etika sosial, agama, mazhab pemikiran, dan pandangan dunia Islam, dan

proses penyempurnaan manusia serta tauhid Islam.

Deh Guftỏr, merupakan buku yang berisi kumpulan dari 20 ceramah

Muthahhari yang disampaikan di hadapan masyarakat umum sekitar tahun

1378-1382 H, di dalamnya dijelaskan mengenai keadilan.

Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, buku ini

membahas mengenai tiga persoalan pokok yaitu manusia dan keimanan,

manusia menurut al-Qur‟an, manusia dan takdirnya. Kesemuanya berbicara

bagaimana mengangkat posisi kemanusiaan untuk tetap menjadikan manusia

pada posisi kemanusiaannya sehingga Murtadha Muthahhari sangat mendasar

dalam menjelaskannya mulai dari kepribadiannya sampai kepada kebebasan

dan juga ketidakbebasannya.

Man and Univers, buku ini merupakan akumulasi poin-poin penting

tentang manusia dan alam semesta, pembahasannya mengenai berbagai

problematika tentang manusia dan binatang, ilmu pengetahuan dan agama,

mazhab pemikiran dan sumber-sumber pemikiran, kearifan, keadilan serta

argumentasinya yang ilmiah, filosofis, logis serta merujuk kepada al-Qur‟an.

Fundamentals of Islamic Though God, Man and Univers, di dalamnya

Murtadha Muthahhari membahas tentang persoalan Tuhan, manusia dan alam

semesta, lebih rinci dia juga membahas berbagai dasar keyakinan manusia

37

seperti pandangan dengan dunia tauhid, filsafat, baik iluminasi maupun

paripatetik tetapi tidak terlepas bahasannya dengan kehidupan di dalam al-

Qur‟an.

Introduction to Kalam, ilmu kalam adalah ilmu yang mengkaji

mengenai dasar-dasar pokok akidah seseorang terhadap teologi. Buku ini

membahas doktrin-doktrin dasar utama kalam beserta modifikasinya.

Meskipun merujuk dari pemahamn teologi mu‟tazilah, asy‟ariyah, tetapi

teologi yang ditawarkan Muthahhari telah menampilkan wajah menengah

yang mencoba mengambil posisi di tengah.

Hak wa al-Bảthỉl, buku ini menjelaskan nilai-nilai pandangan dunia

ideologi Islam di hadapan pandangan dunia dan ideologi lain (sosialisme-

marxisme, dan barat pada umumnya). Buku ini mencoba memberikan tawaran

pemikiran alternatif tentang kebenaran dan kebathilan, plus berbagai kritik

yang jitu terhadap berbagai penyelewengan pemikiran yang sedang

berkembang.

Inna al-Din „Inda Ilảh al-Islảm, di dalam buku ini ada dua akumulasi

yang ingin dicapai. Pertama, bagaimana umat Islam mengetahui secara benar

ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ke-

Tuhanan, pola pikir dan kepercayaan yang konstruktif dan komprehensif.

Kedua, bagaimana mengenal kondisi atau tuntutan zaman, umat Islam harus

senantiasa cermat melihat orientasi perkembangan sains dan pengetahuan,

mana fenomena yang menyimpang, iman yang sebenarnya secara substansi

harus dikembangkan.19

19

Izkar Sobah, Kejahatan dan Keadilan Tuhan Dalam Perspektif Teologi Murtadha

Muthahhari, (Aqidah Filsafat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006), h. 20-24.

38

B. Fitrah

1. Pengertian Fitrah dari Segi Bahasa

Lafal fithrah, dengan berbagai derivasinya, banyak disebutkan dalam

al-Qur‟an, misalnya pada ayat-ayat di atas, yang dalam konteks ini berate al-

khalq dan al-ibda‟. Al-Khalq itu sendiri identik dengan al-ibda‟ (yang

memiliki arti meniptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja, yang

menyebutkannya dalam bentuk ini (fithrah). Allah SWT berfirman:20

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (Din) yang

lurus, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah

agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahuinya”. (QS. Ar-Rum: 30)

Artinya: Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan

langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku adalah termasuk

orang-orang yang bersaksiakan hal itu”. (QS. Al-Anbiya: 56)

Artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan

yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah termasuk dari

orang-orang yang menyekutukannya” (QS. Al-An'am: 79)

20

Murtadha Muthahhari, Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif Muhammad, (Jakarta:

CITRA, 2011), h. 6.

39

Artinya: “Apabila langit terbelah”. (QS. Al-Infithar: 1)

Artinya: “Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena

Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”. (QS. Al-Muzammil: 18)

Lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan

keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam ayat, “Fitrah

Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Ar-rum: 30)

mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan. Artinya, Allah

telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya

terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat

dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.21

Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang

berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Kitab tersebut

memberikan komentar sebagai berikut:22

"Al-Fathr" berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida‟ wa al-

ikhtira‟), dan fithrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari

penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru,

yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti

contoh sebelumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al-

Mukhtari‟ (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia

adalah at-taqlidi (membua tsesuatu dengan mengikuti contoh).

Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di saat dia membuat sesuatu

21

Ibid.,h.7. 22

Ibid., h.7-8.

40

yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya pasti mengandung

unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.

Ibnu Atsir mengatakan, “Al-Fithrah adalah keadaan yang dihasilkan

dari penciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-rikhbah, yakni fitrah

merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki keadaan tertentu.

Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat

diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri

manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung

diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.

2. Fitrah Sebagai Dimensi Asasi Pendidikan Islam

Pembahasan mengenai pendidikan Islam, khususnya dalam pemikiran

Murtadha Muthahhari, biasanya diawali dengan awal terciptanya manusia.

Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah informasi yang

akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam yang

sesungguhnya.

Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai

dimensi asasi pendidikan Islam ini lebih bernuansa filosofis. Beliau

mengutarakan hal-halyang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga

dilahirkan ke dunia lalu membahas masalah mengenai: Manusia dan

Pengetahuan. Pembahasan Manusia dan Pengetahuan ini adalah untuk

mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan apakah pengetahuan yang didapat

oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil dari pencarian manusia sendiri.

Di dalam Al-Qur‟an dan sunnah Rasul, persoalan fitrah memperoleh

perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki

perspektif tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa

manusia mempunyai fitrah. Dengan demikian, harus dikaji sejarah kosakata

fitrah dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri

41

manusia benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah

tidak.23

Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan

fitrah. Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang

menurutnya pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah,

yang disebut oleh al-Ghazâlî sebagai khulq (sebagai persamaan istilah dari

fitrah).24

Di tengah-tengah kajian tentang fitrah/khulq ini nantinya akan muncul

beberapa cabang, antara lain masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu

tema yang amat luas dan merentang panjang.

Bahkan, istilah “pendidikan” (al-tarbiyah) yang digunakan, disadari

atau tidak, juga terbentuk atas asasfitrah tersebut. Sebab yang dimaksud

dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha untuk menyempurnakan

kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Semua itu disandarkan pada

sekumpulan sarana. Atau, jika digunakan istilah modern, semua itu

membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri manusia,

yang dimensi asasinya adalah fitrah.25

Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi

dasar pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah

manusia. Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu

condong kepada kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat

pendidikan yang mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan

mencegah kejahatan.

Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan

informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah

23

Ibid., h. 1-2. 24

Jalaluddin Rahmat, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab, Tasawuf dalam

Perspektif Mazhab Etika, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), cet. Ke-1, h. 42.

25 Muthahhari, Fitrah, op. cit., h. 2.

42

dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam

pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang

cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari

kebenaran

C. Kewajiban Mencari Ilmu

Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari

mengenai “Kewajiban Mencari Ilmu”. Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini

berlandaskan atas firman Allah SWT:26

Artinya: “Katakanlah, „Adakah sama orang-orang yang mengetahui

dengan orang- orang yang tidak mengetahui?‟ Sesungguhnya orang-

orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar:

9)

“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari

buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori & Muslim). Hadits tersebut adalah salah

satu dari sekian banyak hadits-hadits yang diriwayatkan baik oleh ulama hadits

dari mazhab Sunni maupun Syi‟ah. Masing-masing dari mereka menukilnya dari

Rasulullah SAW melalui sanad-sanad mereka.

Kata faridhah dalam hadits di atas berarti „wajib‟. Kata ini berasal dari

akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang sekarang kita

nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal mereka

menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan wajib

pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak digunakan

26

Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 156.

43

adalah kata faridhah, mafrudh, dan fardhu. Sedangkan kata mustahab, dengan

makna khusus ini, di samping tidak digunakan di dalam al-Qur‟an satu kali pu,

juga tidak satu kali pun digunakan di dalam hadis. Bahkan, para fuqaha terdahulu

tidak menggunakan istilah ini. Pada zaman dahulu, untuk mengungkapkan makna

yang sekarang kita nyatakan dengan kata mustahab mereka menggunakan kata

masnun atau kata mandub.27

Arti dari hadits di atas adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang

sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu.

Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim, tidak hanya

dikhususkan bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain. Di dalam

sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya Islam, sebagian

masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa mencari ilmu adalah

hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa mencari ilmu adalah hak dari

seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu bukan hanya dianggap sebagai

hak bagi setiap orang, melainkan Islam menganggapnya sebagai tugas dan

kewajiban bagi setiap orang. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban sebagaimana

kewajiban-kewajiban yang lain.28

Muthahhari menjelaskan secara luas mengenai kewajiban mencari ilmu.

Shalat adalah satu kewajiban, puasa adalah salah satu kewajiban, zakat adalah

salah satu kewajiban, haji adalah salah satu kewajiban, jihad adalah salah satu

kewajiban, dan amar makruf nahi munkar adalah satu kewajiban. Demikian juga

halnya berdasarkan hadits di atas dengan mencari ilmu, ia merupakan salah satu

kewajiban. Pada sisi ini, secara umum, tidak ada perselisihan. Sejak masa

permulaan Islam hingga hari ini seluruh kelompok dan seluruh ulama Islam

sepakat dan menerima hal ini. Di dalam kitab-kitab hadits selalu ada satu bab

khusus dengan judul “Bab Kewajiban Mencari Ilmu” atau judul-judul lain yang

27

Ibid., h. 157. 28

Muthahhari., loc. cit., h. 157

44

sejenis. Kalau pun ada perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran

makna dan maksud hadits ini, dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.

Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu.

Sebagaimana Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang

terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia

lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak

kesempurnaan manusia ialah terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina

ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak

manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt

dan hadits di bawah ini:

Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai

akhlak yang sangat agung”. (QS. Al-Qalam: 4)

”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan

kemuliaan akhlaq”. (HR. Bukhari & Muslim).

Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk

wanita atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum‟at hanya untuk kaum

mukminin. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu,

sebagaimana hadis Nabi SAW, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur”.

(Bukhari &Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan

kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu

juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya

bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga

tidak memiliki waktu tertentu seperti ibadah haji (umrah) di Mekah.

Muthahhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara

kembar. Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan

perkara yang sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi

45

informasi ilmu yang dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik

yang tidak memiliki bahan baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat

sedikit, sehingga produksinya akan sangat sedikit pula. Karena, banyaknya

produksi tergantung banyaknya bahan baku yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang

memiliki banyak bahan baku tetapi mesin pengolahnya tidak difungsikan, maka

pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.29

Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, "Ya Hisyam,

ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu." Ungkapan ini

sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu

merupakan proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah.

Sedangkan akal merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah

yang mengolah dan memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai

wadah proses analisa dan pemilahan.30

Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah

satu hadis Rasulullah SAW, “Seandainya engkau mengetahui apa yang

terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai

harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai

hikmah, Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini

berdasarkan hadis Rasul SAW, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang

hilang, yang akan diambil di mana saja mereka menemukannya”. Dalam Nahjul

Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan, “Hikmah adalah barang orang mukmin

yang hilang, maka ambillah hikmah itu meskipun dari orang munafik”.

Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian

antara hal yang seharusnya (hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam)

dengan realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran

dalam tradisi keilmuan Islam.

29

Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:

Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h. 38. 30

Muthahhari, loc.cit., 38.

46

Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang

terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan

perantaraan alat-alat kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya

friksi-friksi di dalam kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang

“berkasta”, yang sama sekali tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam.

Masyarakat terbagi kepada dua kasta: “kasta orang miskin dan malang”, yaitu

mereka yang untuk memperoleh makanan pokok saja harus bekerja keras; dan

“kasta orang yang bermewah-mewahan dan sombong”. Mereka tidak mengetahui

apa yang harus mereka lakukan dengan harta yang ada di tanggannya. Keadaan

kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan kesempatan untuk memperhatikan

dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan bahkan muncul faktor-faktor yang

mendorong tidak dilaksanakannya perintah-perintah Islam.

Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu

pengetahuan, menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari

masyarakat Islam sendiri terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam

masyarakat saat ini adalah bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka

dan anak-anak mereka sebagai orang yang berilmu, malah tertarik kepada

bagaimana memperoleh ganjaran dan keutamaan dengan cara menghormati dan

bersikap khudu‟ kepada orang yangberilmu. Penghargaan masyarakat dengan

sendirinya telah beralih dari yang seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi

berbalik dengan mengambil bentuk yang salah arah, yaitu memberikan

penghargaan kepada orang-orang yang berilmu, meskipun hal itu bukan sesuatu

yang salah.31

Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena

ilmudan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.32

31

Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:

Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.168-169.

32 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-240.

47

Artinya: “Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula

bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui

sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya

ilmu Allah meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath-Thalaq: 12)

1. Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i (Siap Sedia)

Muthahhari menjelaskan bahwa, para fuqaha mempunyai sebuah

istilah, yaitu mereka mengatakan bahwa kewajiban mencari ilmuadalah

bersifat wajib tahayyu‟I (kewajiban menjadikan diri siap sedia). Artinya,

kewajiban ilmu bukan hanya satu kewajiban mukadimah seperti semua

mukadimah kewajiban-kewajiban, yang tidak memiliki hukum wajib yang

berdiri sendiri; melainkan dia adalah kewajiban yang berdiri sendiri. Pada saat

yang sama, ilmu juga merupakan satu kewajiban dari sisi dia memberikan

kesiapan kepada seorang manusia untuk bisa melaksanakan semua

kewajibannya.

Para fuqaha mengkhususkan wajib tahayyu‟I ini kepada mempelajari

ahkam (hukum-hukum). Sepertinya, kebanyakan dari mereka mengibaratkan

bahwa pelaksanaan kewajiban-kewajiban Islam hanya bisa dilaksanakan bila

Muslimin mengetahui kewajiban-kewajiban mereka. Ketika mereka telah

mengetahui kewajiban-kewajiban mereka, maka dengan sendirinya mereka

pun akan mampu melaksanakannya. Jadi, ilmu yang diwajibkan dalam

pandangan para fuqaha adalah ilmu yang menjadikan seorang Muslim

mengetahui kewajibannya, yaitu apakah menjadi seorang mujtahid atau

muqallid (orang yang bertaklid).

Jelas bahwa sebagaimana mengetahui kewajiban dan mempelajari

perintah-perintah agama adalah sesuatu yang wajib, maka banyak sekali

48

pekerjaan-pekerjaan yang menurut hukum agama adalah wajib, yaitu

pekerjaan-pekerjaan yang menuntut belajar, pengetahuan, dan kemahiran.

Sebagai contoh, bidang kedokteran adalah kewajiban kafa‟I (fardhu

kifayah).Pelaksanaan kewajiban ini sulit untuk dilaksanakan tanpa terlebih

dahulu mempelajari ilmu kedokteran. Jadi berdasarkan ini, mempelajari ilmu

kedokteran pun wajib hukumnya. Demikian juga banyak bidang yang lain.

Jadi harus dilihat, perkara apa saja yang menurut pandangan Islam itu harus

wajib, dan perkara itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan

belajar, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan perkara

itu wajib hukumnya.33

Kewajiban mencari ilmu, dari semua sisi mengikuti ukuran kebutuhan

masyarakat. Zaman dahulu, pertanian, pertukangan, perdagangan, dan

politik adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu; dan tidak

satu pun dari keempat bidang tersebut banyak membutuhkan ilmu dan belajar.

Masyarakat, cukup menjadi murid untuk beberapa saat di hadapan seorang

tukang kayu atau pedagang, dan bekerja di bawah pengawasan seorang

politikus atau pedagang yang mahir, atau tukang kayu. Sekarang, keadaan

dunia telah berubah, kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman

sekarang, tidak satu pun dari bidang di atas dapat sejalan dan menyesuaikan

diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai

ilmu dan belajar. Bahkan, pertanian pun, sekarang harus dilakukan

berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan. Seorang pedagang tidak dapat

menjadi pedagang yang diperhitungkan hingga dia mempelajari ilmu

ekonomi. Seorang politikus tidak bisa menjadi seorang politikus yang baik di

dunia sekarang hingga dia mempelajari ilmu politik.

33

Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", (Jakarta:

Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.172.

49

Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni

ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya,

ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.

Muthahhari mengutip perkataan Imam Ali kw bahwa "Allah

mempunyai dua hujjah: hujjah yang nyata (hujjah zhahirah) dan hujjah yang

bathin (hujjah bathinah)." Hujjah yang nyata adalah para nabi, sedangkan

hujjah yang bathin adalah akal manusia.34

Kebodohan adalah lawan dari akal. Akal dalam riwayat-riwayat Islam

ditegaskan sebagai kekuatan atau daya untuk menganalisis (analysis power).

Islam senantiasa menyeru manusia untuk memerangi kebodohan, yaitu

kebodohan yang disebabkan tidak menggunakan potensi akal. Orang yang

berakal adalah orang yang mampu memahami dan menganalisis sedangkan

orang yang bodoh adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ini.

Banyak orang yang dianggap pintar padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya

memiliki banyak informasi yang mereka dapatkan dari luar. Mereka telah

mempelajari banyak hal, tetapi otak mereka hanya ibarat sebuah gudang yang

menyimpan banyak informasi namun tidak dimanfaatkan untuk melakukan

ijtihad, mencari solusi ataupun dalam menganalisis persoalan berbagai

persoalan yang dihadapi. Orang dalam kelompok ini masih belum dapat

dikatakan sebagai orang yang pintar, karena otak mereka beku.

Muthahhari pun mengutip pendapat Ibn Sina dalam menganalisis

masalah pentingnya ilmu. Di dalam kitab Al-Isyarat, Ibnu Sina menyatakan

"Barangsiapa yang terbiasa membenarkan sesuatu tanpa dalil, sesungguhnya

dia telah melepas atribut jati diri kemanusiaannya". Ini berarti bahwa

seseorang tidak boleh menerima sesuatu pernyataan tanpa sesuatu argument

atau dalil. Sebaliknya Ibn Sina juga menyatakan, "Barangsiapa yang terbiasa

mengingkari sesuatu tanpa dalil, maka sesungguhnya ini pun sesuatu yang

34

Ibid, h. 228.

50

jelek". Dia pun mengatakan, "Manusia sesungguhnya adalah orang yang

senantiasa menerima dan menolak sesuatu berdasarkan kepada dalil. Jika

tidak ada dalil maka dia akan menjawab, "Saya tidak tahu".

Untuk memperkuat pemikirannya tersebut, Muthahhari pun mengutip

statement yang dikemukakan Backon, bahwa para ilmuwan itu dapat

dikategorikanm ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, ada yang diibaratkan

seperti semut yang senantiasa menarik biji-bijian dari luar lalu menyimpannya

ke dalam gudang sarangnya. Ilmuwan semacam ini, otaknya tak ubahnya

seperti sebuah gudang, mereka hanya merekam seluruh informasi ilmu dan

menyimpannya. Ketika dibutuhkan barulah mereka menyebutkan apa yang

telah mereka pelajari. Kedua, ibarat ulat, mereka merajut sarang dengan

air liurnya, ilmuwan semacam ini juga tidak baik karena tidak ada masukan

informasi dari luar. Ia hanya melahirkan ilmu lewat daya imajinasi dan

batinnya saja. Akibatnya, mereka dapat tercekik di sarangnya sendiri. Ketiga,

mereka inilah ilmuwan sesungguhnya. Mereka ibarat lebah, mengisap saripati

bunga-bungaan dari luar kemudian mereka sendiri yang mengolah madu.

Karena itu akan lebih ideal jika antara akal dan ilmu berpadu, ilmu yang

diperoleh dipadu dengan daya kekuatan dari dalam serta daya analisis yang

dimiliki untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat.35

Di lain pihak, Muthahhari mengatakan bahwa pekerjaan dan profesi

zaman sekarang telah menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin

dilakukan tanpa pengetahuan, belajar, dan spesialisasi. Jenis-jenis pekerjaan

yang zaman dahulu dapat dikuasai dengan hanya melakukan latihan

sebentar atau belajar singkat di hadapan seorang ahli, pada zaman sekarang

sudah sedemikian berbeda, di mana tidak dapat dikuasai kecuali dengan

belajar disekolah-sekolah menengah kejuruan, perguruan-perguruan tinggi

35

Ibid, h. 232.

51

politeknik, atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang,

kebanyakan pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli.

Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas maka kewajiban mencari

ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai tujuan mulia dan sangat

sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari

semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti

dilakukan oleh seseorang tidak akan di ketahuinya yang dengannya tidak

terpenuhi.

2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama

Muthahhari menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di

mana kita menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu

agama”, dan sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan

agama”. Ilmu-ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait

dengan masalah-masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama, atau

ilmu-ilmu yang menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan

hukum-hukum agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika.36

Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka

ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam

Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu

hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu-

ilmu agama. Atau, jika Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu itu wajib,

maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah

SAW terbatas pada ilmu-ilmu agama.

36

Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h.175.

52

Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa

yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi

pandangan,ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama

agama, yaitu al-Qur‟an al-Karim, Sunah Rasul SAW, atau wasiat-wasiat

beliau. Pada masa awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum

mengenal Islam, diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan-

matan pertama agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu

belum ada satu ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih,

ilmu ushul fiqih, dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan

lain-lainnya.

Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama

agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu

dengan berdasarkan perintah al-Qur‟an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal

secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan, dan

selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi

pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan manfaat kepada kaum

Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu

agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat

kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bag

imereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu-

ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam

mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin,

maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang

yang mencari ilmu.

Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana membagi

ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan agama.

Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang,

bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama”

adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam

53

menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh

masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.37

D. Kaitan antara Sains dan Agama (Ilmu dan Iman)

Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di

atas,yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari

ilmu bagi muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang

kaitan antara Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada sub bab khusus

untuk memperlihatkan bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam

dunia pendidikan, yang nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep

pendidikan Muthahhari secara utuh.

Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man

and Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut

beserta analisisnya yang tajam. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita

kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan

kehangatan. Sains meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan.

Sains memberi kita momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti

kemampuan, dan keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada

kita apa yang ada disana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang

mesti kita kerjakan. Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi

internal. Sains memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan

meningkatkannya secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan.

Sains adalah keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh.38

Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat di

pahami bahwa menurut beliau Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan)

adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan,

37

Ibid, h. 177 38

Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam,

Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 18.

54

jika salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan

oleh Muthahhari dengan mengutip hadits Nabi sebagai “orang berilmu yang

kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah”.39

Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan

oleh Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa

sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia.

Hal itu dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu (keimanan).

Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: (1)

Interpretasi spiritual atas jagat, (2) kemerdekaan spiritual, dan (3) prinsip-prinsip

pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat

manusia dengan berbasiskan rohani. Dari sini Eropa modern membangun sebuah

system yang realistis, namun pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang

terungkap lewat akal murni tidak mampu memberikan semangat yang terdapat

dalam keyakinan hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan

pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor adialami (wahyu). Inilah

sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia,

sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat.

Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang mencari dirinya melalui

demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi hanya untuk menindas

yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya. Eropa masa sekarang adalah

hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang-

orangMuslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber

dari wahyu yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam,

menginternalisasikan eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan

adalah masalah keyakinan yang untuknya orang-orang yang paling sedikit

tercerahkan di antara kita sekalipun bisa dengan mudah mengatur hidupnya.40

39

Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 184. 40

Murtadha Muthahhari, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam,

Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012), h. 18-19.

55

Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba

saatnya bagi manusia untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu

tidak bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama

lain. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah

menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan

tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Kalau tak ada ilmu

pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik.

Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan pemabuk yang

kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri yang digunakan untuk membantu si

pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya, sama

sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tyak beriman dewasa ini

yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak

berilmu pengetahuan.41

Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang

mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya

kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai

dan bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan-

bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh-

contoh semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama

sebagaimana di dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah

digunakan untuk memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme,

ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan.

Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya

dengan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan

yang mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya

mementingkan sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut

hanya akan melahirkan generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di

41

Ibid, h. 22-23.

56

atas, yaitu orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun

beribadah. Inilah salah satu inti dasar pembahasan yang dapat di identiifkasikan

sebagai konsep pokok pendidikan Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi

pada pencapaian kemuliaan manusia dengan pijakan keimanan dan penguasaan

sains yang handal.

E. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman

1. Belajar tentang zaman

Imam Ja‟far Ash-Shadiq mempunyai perkataan yang sungguh

merupakan perkataan yang besar, yaitu “seseorang yang mengenal dan

memahami zamannya, maka tidak akan diserang oleh berbagai macam

perkara yang membingungkan (dengan hal-hal yang di sekitarnya)”.42

Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari,

adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan

menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali

dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Muthahhari menambahkan,

bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada lagi kalimat-kalimat lainnya yang

menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan berhasil siapa saja yang tidak

menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan akalnya siapa yang tidak

berpengetahuan”. Yakni, takkan berhasil orang yang tidak memiliki

pengetahuan, sebab akal sama dengan kemampuan melakukan analisis dan

menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan.

Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai bagaimana

membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa depan

yang tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat sekarang. Menurut

beliau, ada sesuatu yang lebih penting dari pada hanya membuat

planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh di

42

Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 85.

57

dalam diri kita sendiri pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan

pembinaan (pendidikan), baik dalam segi teknis administratif maupun dalam

aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan

juga perbedaan objek yang hendak dibina/dididik. Karenanya, kita harus

menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan

mendidik generasi muda ini dengan cara-cara lama.43

Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda

saat ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk

itu, secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula

untuk melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi

muda sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi

tentang dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam

keburukan lainnya. Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi

muda dengan pandangan penuh kebencian dan pelecehan. Akan tetapi,

pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah sangat berbeda.

Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka. Bahkan mereka

adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan kepiawaian yang

memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun, terkadang generasi

lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan memandang buruk kepada

generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala aspeknya. Ada beberapa

ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua gambaran tentang dua

generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak mungkin dikatakan

bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak kerusakannya dari

pada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan menuju kepada

kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang berikutnya

senantiasa lebih sempurna dari pada yang sebelumnya.44

Ayat-ayat tersebut

adalah sebagai berikut:

43

Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima‟, (Teheran: Muassasah al-

Bi'tsah,1395 H), h. 59.

44 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 99.

58

Artinya : “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik

kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan

susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,

sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh

tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri

nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu

bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau

ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)

kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau

dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Ayat di atas melukiskan cara pemikiran generasi yang shaleh. Di

antaranya, adalah semangat bersyukur dan mengakui luasnya karunia-karunia

Allah SWT. “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-

Mu yang engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”. Di sini

ia mengakui nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah SWT atas dirinya dan

generasi pendahulunya, lalu meminta dari-Nya agar diberi kekuatan

untuk memenuhi rasa terima kasih dan penghargaannya atas semua itu. Dan

agar ia diberi petunjuk untuk dapat menggunakan nikmat-nikmat itu demi

meraih keridhaan-Nya. Sebab, arti mensyukuri suatu nikmat adalah dengan

memanfaatkannya secara proporsional, sesuai yang dikehendaki oleh Sang

Pemberi. Dan karenanya ia memohon dari Allah SWT agar memberinya

taufik untuk menggunakan nikmat-Nya demi sesuatu yang bermanfaat dan

59

diridhaioleh-Nya: “…agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai..”. Di

antaranya pula, perhatiannya kepada generasi berikutnya, semoga ia menjadi

generasi yang shaleh. Karenanya, ia memohon kepada Allah SWT,

“…Berikan kepadaku kebaikan dengan memberi kebaikan kepada anak-

cucuku…”. Selanjutnya, semangat bertobat dan menyesali kelalaian dan

kekurangannya pada masa-masa lalu, “…Sungguh aku bertobat kepada-

Mu...”.

Tentang generasi seperti ini, Allah Swt kemudian berfirman:45

Artinya : “Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baik

yang telah mereka kerjakan,dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan

mereka, bersama para penghuni surga, sebagai janji yang benar yang

dijanjikan kepada mereka” (QS. Al-Ahqaf: 16).

Adapun ayat berikutnya berbicara tentang suatu generasi yang rusak

dan menyimpang:46

Artinya: “Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, “Cis

bagikalian berdua; adakah kalian memperingatkan kepadaku bahwa aku

akandibangkitkan (setelah mati), padahal sungguh telah berlalu beberapa

umat sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan

kepada Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh

janji Allah adalah benar.” Maka berkatalah ia, “Ini tidak lain hanyalah

dongengan orang-orang dahulu belaka”. (QS. al-Ahqâf: 17).

45 Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda, op. cit., h. 102.

46 Ibid, h. 103.

60

Ayat ini, menurut Muthahhari, adalah menjelaskan generasi yang

menyimpang dan terkelabui. Generasi yang mentah, belum matang. Begitu

telinganya mendengar dua kalimat, ia tidal lagi merasa terikat dengan sesuatu.

Ia tidak merasa sebagai hamba Allah. Ia merasa kesal terhadap kedua orang

tuanya. Menghina mereka. Mengejek pandangan mereka, juga semua

kepercayaan mereka. Menertawakan mereka akibat ucapan mereka tentang

adanya Hari Kiamat, hari kebangkitan kembali tentang alam yang lain dan

kehidupan yang lain. Padahal generasi-generasi terdahulu, datang dan hidup,

kemudian mati dan tidak kembali lagi. Dan kedua orang tuanya yang religius,

dan yang tidak tahan mendnegar sesuatu yang bertentangan dengan agama,

kini mendengar putra kesayangan mereka menyakiti hati mereka dengan

omongan seperti itu, sehingga mereka berteriak, “Celaka kamu, berimanlah!

Sungguh janji Allahadalah benar.”

Itulah ayat-ayat yang menjelaskan tentang dua generasi yang berbeda

generasi yang shaleh dan yang lainnya rusak dan menyimpang. Dari

penjelasan Muthahhari di atas, dapat dikatakan bahwa penjelasan yang

disampaikan beliau di atas terkait erat dengan upaya memahami dalam

mengidentifikasi generasi saat ini, sebagai objek dari dunia pendidikan yang

akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Memahami sifat dan

karakteristik generasi saat ini sangat penting dalam merumuskan metode

pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena

metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi

pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian

objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak

komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan

sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan

terwujud.

61

2. Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman

Muthahhari dalam bukunya “Islam Menjawab Tantangan Zaman”

mengutarakan pandangannya tentang cara menyikapi perubahan zaman.

Perubahan-perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah pada

kebaikan dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai mengarah

pada penyimpangan dan kerusakan? Dari mana kita bisa mengetahui bahwa

suatu perubahan keadaan itu baik dak kita mesti bekerja sama atau perubahan

keadaan itu justru buruk sehingga kita harus menentangnya? Apa yang

menjadi sebagai ukuran?

Ukuran umum ialah bahwa kita mesti memperhatikan dengan teliti apa

yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada

semua zaman, ke mana arah tujuannya, dan apa yang dihasilkannya.

Terkadang, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering muncul manusia

penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat

untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Misalnya, ada

manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film

yang merusak .47

Dengan demikian, dari pendapat Muthahhari di atas, jika dikaitkan

dalam dunia pendidikan, dapat dikatakan bahwa sikap dunia pendidikan

dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima

seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan

zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh

kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan

perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistis dari sikap

menolak seluruh perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak

sesuai dengan idealistis orang yang memandangnya.

47

Murtadha Muthahhari, Islam Menjawab Tuntutan Zaman, (Bandung: Yayasan Muthahhari,

1993), h. 48.

62

Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu

menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan

pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-

efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan

sebagailandasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai

dengan misidari sebuah lembaga pendidikan.

F. Pendidikan dan Dekadensi Moral

Dekadensi moral sudah menjadi fenomena umum yang melanda umat

manusia sekarang ini. Terutama peradaban Barat yang menyuarakan kebebasan

telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya Barat yang

sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negeri-negeri muslim.

Akibatnya, masyarakat tertama terkontaminasi dengan budaya Barat, dan pada

akhirnya mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat.

Dan Indonesia adalah salah satu korbannya.

Melihat perkembangan terakhir umat Islam di Indonesia tergambar dengan

jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi moral terjadi

terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut

dan dengan konsep yang tidak jelas. Rusaknya moral umat tidak terlepas dari

upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai

penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang.

Pendidikan merupakan salah satu wadah untuk mengatasi masalah dekadensi

moral yang sudah sangat akut di Indonesia.

Moralitas umumnya berkaitan dengan tindakan-tindakan mental dan

perilaku yang dapat dibentuk agar menjadi kebiasaan, misalnya seseorang dapat

dididik agar menjadi seseorang yang berani dan dapat pula dididik agar menjadi

sesorang yang menjaga kesuciannya atau sebaliknya menjadi seseorang yang

selalu menuruti hawa nafsunya, dari penjelasan ini dapat dikatan bahwa bagian

63

terbesar dari pendidikan adalah memproduksi manusia sebagaimana yang

diinginkan, karena itu kita dapati banyak aliran-aliran yang mendidik pengikutnya

seperti apa yang diinginkan olehnya, seperti apa yang diinginkan oleh pihak

pemerintah.48

Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa moral merupakan fitrah manusia.

Artinya, manusia diciptakan untuk saling mengasihi, membantu dan berbuat baik.

Karena itu, jika ia berbuat buruk, misalnya menzalimi orang lain, maka ia akan

merasa tertekan perasaannya. Artinya, dengan potensi moralitas ini, seseorang

merasakan bahwa dia adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat adalah

bagian dari dirinya, dan perasaan ini ada pada setiap individu.49

Dengan judul “Pengaruh Kebudayaan Asing”, Dr. Zakiah Drajat dalam

buku kecilnya yang bernama “Membina nilai-nilai moral di Indonesia”

menerangkan macam-macam hal pengaruh dari luaran itu:50

Di antara faktor yang

mempercepat terjadinya dekadansi moral di Indonesia, adalah banyaknya

kebudayaan asing yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam masyarakat.

Terutama kebudayaan asing yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa pancasila,

misalnya:

Film-film maksiat yang dipertunjukkan di bioskop-bioskop dan kadang-

kadang dalam lingkungan tertentu, dengan reklame dan gambar-gambar maksiat

yang dipasang di mana-mana, telah menjadi pelajaran yang ditiru oleh orang-

orang yang gelisah dan orang-orang yang tidak beriman, terutama anak-anak

muda.

Tempat-tempat maksiat, yang menjalar di tengah kota, di pinggir kota-

kota besar, bahkan telah menjalar ke kota-kota kecil, merupakan tempat-tempat

untuk mempraktekkan pelajaran yang mereka dapati dari melihat gambara atau

48

Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra

International Institute, 2011), h. 55. 49

Ibid., h. 46. 50

Zainal Abidin, Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang), h. 83.

64

menonton film maksiat itu. Bahkan sekarang, kita telah melihat banyaknya “night

club” yang serba indah, lux, seerta dilengkapi dengan hostess yang cantik-cantik.

Buku-buku dan gambar-gambar maksiat, beredar di mana-mana, walaupun

secara resmi dilarang, namun peredarannya berjalan tanpa kendali, sehingga

buku-buku dan gambar-gambar yang merusak moral itu sampai ke tangan anak-

anak dan remaja-remaja kecil, dan menjadi bacaan tidak resmi bagi mereka.

Lebih jauh Dr. Zakiah menutup uraiannya: yang paling pertama akan

menjadi korbannya adalah para remaja, yang dalam diri mereka sedang

berkecamuk segala persoalan dan pertentangan perubahan dari segala segi,

disertai pula oleh kegoncangan rumah tangga dan masayarakat lingkungan.

Dalam Islam, seseorang diharapkan mampu memahami “diri”nya sendiri

dan mampu mengenali statusnya di alam ciptaan ini.51

Kritik utama dari kalangan

kaum intelektual yang ditujukan kepada budaya Barat adalah bahwa budaya

Barat merupakan suatu budaya duniawi yang menyeleweng ke arah keadaan lupa

diri. Dalam budaya ini, seseorang akan menjadi kenal dunia semata. Makin

seseorang sadar akan dunia, makin lupa ia akan dirinya. Inilah penyebab

sebenarnaya keruntuhan umat manusia di Barat. Jika seseorang kehilangan

dirinya sendiri, menurut al-Qur‟an, manfaat apa yang dapat dipetik dari

penguasaan seseorang terhadap dunia?.

Pendidikan berati pengembangan dan pembangunan. Terlepas dari cara

dan tujuannya, pendidikan juga meliputi manusia dan hewan. Demikian pula

pendidikan mental termasuk dalam pengertian pendidikan. Pelatihan tentara untuk

patuh kepada atasan, juga termasuk dalam pendidikan. Sementara itu dalam

pengertian akhlak, masalah keutamaan atau kesucian sangat diperhatikan. Karena

itulah, kata akhlak tidak dapat dipakai untuk menunjukkan tingkah laku hewan.

Misalnya sewaktu mendidik kuda maka tidak dikatakan mengajarkan akhlak

kuda.

51

Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 146

65

Akhlak, moral atau etika, khusus bagi manusia. Akhlak mengandung

makna kesucian dan kemuliaan. Pendidikan secara terminologi berkaitan dengan

usaha pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari

pengembangan dalam bentuk apapun yang diarahkan kepada tujuan dari

pengembangan itu sendiri. Sedangkan ilmu akhlak atau etika berkaitan dengan

perbuatan-perbuatan yang berdasarkan kepada etika atau moral, yang standarnya

adalah kesucian atau keutamaan. Karena itulah, perbuatan yang dilakukan secara

alami bukan perbuatan yang berlandaskan etika, bukan perbuatan yang

berlandaskan akhlak, namun tidak berati antara yang alami dan yang etis

keduanya bertentangan, melainkan saling berkaitan khususnya dalam kehidupan

manusia.52

Akhlak yang mulia memegang peranan yang sangat besar dalam

kehidupan seseorang. Orang yang memiliki akhlak mulia juga akan mampu

menghadapi rintangan-rintangan hidup dengan cara yang baik, berbeda dengan

mereka yang tidak memiliki akhlak yang mulia, berbeda dengan mereka yang

tidak memiliki akhlak yang mulia, mereka ini tak ubahnya dengan memelihara

binatang di dalam dirinya yang selalu menggigit dan menyakitinya dan itulah

beban derita yang sangat berkepanjangan.53

Muncul teori baru di kalangan ilmuwan Barat di bidang pendidikan bahwa

pendidikan pada dasarnya adalah pengembangan. Mereka melihat pendidikan

moralitas pendidikan dipandang dengan kacamata rasio bukan dari sisi agama

atau keindahan. Menurut mereka, pendidikan merupakan pengembangan potensi

rasional dan keinginan moralitas saja. Manusia tidak boleh dibiasakan dalam

bentuk apapun, baik itu perkara yang baik ataupun yang jelek. Karena pembiasaan

itu sendiri jelek dan karena manusia apabila terbiasakan sesuatu maka ia akan

tunduk pada peraturannya, dan tidak mungkin akan ditinggalkannya. Jika dia

melakukan sesuatu maka bukan berdasarkan rasio bukan pula dorongan moralitas,

52

Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, op. cit., h. 67-68. 53

Ibrahim Amini, Asupan Ilahi 2, (Jakarta: Al-Huda, 2011), h. 20

66

bukan karena baik atau buruknya, tetapi ia melakukan hanya berdasarkan adat

kebiasaan. Jika dia tinggalkan, dia akan merasa terguncang.54

Muncul pemikiran kritis, “Apakah teori Barat ini benar? Bolehkah

manusia tidak membiasakan diri meskipun terhadap tindakan-tindakan baik?”

Dengan demikian, jelas dalam keyakinan kita bahwa teori Barat ini seratus persen

tidak benar dan tidak dapat dipedomani. Akal dan ilmu menjadi acuan ketika

mengerjakan sesuatu, sehingga seseorang dapat terlepas dari kendali kebiasaan

ataupun pengaruh tabiatnya.55

Dalam pandangan al-Qur‟an, ditemui metode pendidikan yang diangkat

dalam bentuk keteladanan. Untuk meniru hal-hal positif, al-Qur‟an menunjuk

keteladanan yang dapat dipelajari, apabila seseorang mau belajar dan

meneladaninya. Teladan itu adalah pribadi Rasulullah saw, seperti firman-Nya:

Artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat, dan yang banyak dzikir kepada Allah” (QS. Al-

Ahzab : 21)

Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus,

ia harus menampilkan tindakan-tindakan yang bagus sebagai manifestasi dari

sifat-sifat kepribadiannya yang positif. Sebaliknya, perilaku dan perbuatan

individu yang buruk lahir dari sifat kepribadian yang buruk pula. Ciri-ciri

kepribadian yang buruk menunjukkan struktur kepribadian yang buruk, alias tidak

kokoh.56

54

Muthahhari. Loc. cit., h. 55 55

Ibid., h. 57. 56

Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Jakarta: AMZAH, 2011), h. 109-110

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah dipaparkan mengenai pokok-pokok konsep pendidikan

Murtadha Mutahhari yang penulis coba identifikasikan dari seluruh karya-

karya beliau, maka pada bab ini penulis kesimpulan ke dalam poin-poin yang

sistematis.

1. Menurut Muthahhari, pendidikan terkait erat dengan fitrah. Fitrah adalah

dimensi asasi dari pendidikan. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan

hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Pendidikan berfungsi

mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui cinta

kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang

berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada

nilai-nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai

pencipta dari fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan

perannya.

2. Muthahhari menunjukkan bahwa pada diri manusia ada sifat kehewanan

dan kemanusiaannya. Karakteristik khas dari kemanusiaannya ialah iman

dan ilmu. Iman tanpa ilmu mengakibatkan fanatisme dan kemunduran,

takhayul, dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk

memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, penindasan,

perbudakan, penipuan, dan kecurangan. Muthahhari menegaskan bahwa

Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu.

3. Kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai

tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Keadaan dunia

telah berubah, kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman

sekarang, tidak satu pun dari bidang kehidupan manusia dapat sejalan dan

menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang

kecuali bila disertai ilmu dan belajar.

68

4. Upaya untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik generasi saat

ini adalah sesuatu yang penting, sebagai objek dari dunia pendidikan yang

akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Jika pengidentifikasian

objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak

komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan

sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan

terwujud.

5. Sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah

tidak secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak

seluruhnya menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya,

dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu

ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh

pula terlalu tradisionalis dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman

yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealisme orang yang

memandangnya. Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap

seimbang, yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang

keberhasilan pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan

menimbulkan efek-efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap

menjadikan keimanan sebagai landasan utama dalam memilih

perkembangan mana yang sesuai dengan misidari sebuah lembaga

pendidikan.

B. Saran

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan yang perlu ditambah dan diperbaiki. Untuk itu dengan penuh

kerendahan hati, penulis ingin memberikan beberapa saran

1. Penulis mengharapkan para pembaca dapat mengembangkan lagi

pemikiran Murtadha Muthahhari.

2. Penulis mengharapkan para pembaca dapat mengembangkan kajian

konsep pendidikan menurut tokoh-tokoh lainnya.

69

3. Penulis juga berharap agar dengan adanya skripsi ini bisa memberikan

sebuah perubahan khususnya dunia pendidikan dalam memahami konsep

pendidikan menurut Murtadha Muthahhari.

70

DAFTAR PUSTAKA

Amini, Ibrahim, Asupan Ilahi 1, Jakarta: Al-Huda, 2011

……., Asupan Ilahi 2, Jakarta: Al-Huda, 2011

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Abidin, Zainal, Memperkembang dan MempertahankanPendidikan Islam di

Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang

Aly, Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Kudus: Perpustakaan kudus

Azwar, Saefudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Bagir, Haidar, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Bandung: Yayasan

Muthahhari, 1988

Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung: Mizan, 1998

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada,1996

HAMKA, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962

……., Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

Labib, Muhsin, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadra, Jakarta: al-

Huda, 2005

Muthahhari, Murtadha, “Tafsir” Holistik Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia,

dan Alam, Terj. dari Man and Universe oleh Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra,

2012)

……., Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,

(Jakarta: Lentera, 1999)

……., Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta: Sadra International

Institute, 2011

……., Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah, terj: Tim penerjemah

Mizan, Bandung: Mizan, 2002

……., Bimbingan Untuk Generasi Muda, Jakarta: Sadra International Institute,

2011

……., Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Terj: Haidar Bagir,

Bandung: Mizan, 1995

71

……., Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Azzahra, 2003

……., Keadilan Ilahi; Asas Pandangan Dunia Islam, Terj: Agus Efendi,

Bandung: Mizan, 1995

……., Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, Teheran: Muassasah al-Bi'tsah,1395

H

……., Manusia dan Agama, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007

……., Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif Muhammad, Jakarta: CITRA,

2011

……., Konsep Pendidikan Islam, Terj. dari "Tarbiyatul Islam", Jakarta: Ikra

Kurnia Gemilang, 2005

Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Jakarta: Lentera Hati, 2007

……., Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu,

1999

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif,

1989

Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Muthahhari Tentang Manusia dan Tujuan

Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003. Tidak

dipublikasikan

Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KENCANA, 2012

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA

Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008

Nawawi, Rif’at Syauqi, Kepribadian Qur’ani, Jakarta: AMZAH, 2011

Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2013

Raharjo, M. Dawam, Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafitti Press,

1987

Rahmat, Jalaluddin, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab,

Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Etika, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000

Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000

……., Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2002

……., Membumikan al-Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan

Masyaraka,, Bandung: Mizan, 1995

72

Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari, Penelitian Dosen

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN, 2001

Sobah, Izkar, Kejahatan dan Keadilan Tuhan Dalam Perspektif Teologi Murtadha

Muthahhari, Aqidah Filsafat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2006

Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta :

Rineka Cipta,1999

Soekanto, Soerjono, Pokok - Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,

1998

Saefuddin, A.M., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung:

Mizan, 1991

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012

……., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007

Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, Malang: UIN MALANG PRESS,

2008

Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Zuhriadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan

http://berbagi-makalah.blogspot.com/2012/06/dasar-dasar-pendidikan-islam.html

r/I

DAFTAR UJI RBFERENSI

Nama : IfahNabilahZahidah

Nim : 109011000288

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul skripsi : Konsep Pendidikan Menurut Murtadha Muthahhari

NO Referensi Paraf Pembimbing

I Ibrahim Amini, Antpan Ilahi I, Jakarta: Al-Huda, 201 1

2. Ibrahim Amini. Asuoan llahi 2. Jakarta: Al-Huda. 2011aJ . Ali Ashral Horison Baru Penclidikan Islam, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1996

4. Zainal Abidin, Memperkembang dan Mempertaltankan

Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang

5. Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Kudus: Perpustakaan kudus

6. Saefudin Azurar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998

7. Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Bandung:

Yayasan Muthahhari, 1 988

8 . Osman Bakar, Hierarki llmu,Bandung: Mizan, 1998

9. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raj

Grafindo Persada.1996

t0. HAMKA, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamumi, 1962

u HAMKA, Lembaga Budi,Iakarta: Pustaka Panjimas, 1983

t2 . Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mulla Sadre

Jakarta: al-Huda,2005

13. Murtadha Muthahhari, "Tafsir" Holistik Kajian

Tuhan, Manusia, dan Alam, Terj. dari Man and

Ilyas Hasan, (Jakarta: Citra, 2012)

Seputar Relasi

Universe oleh

14. Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramalt Seputar Persoalan

,/I

Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999 t1 l T

15. Murtadha Muthahhari, Dasar-Dasar Epistimologi Pendidikan

Islam, Jakarta: Sadra International Institute. 2011u">

16. Murtadha Muthahhari, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafot

Hihnah, terj : Tim penerj emah Mizan, B andung : Mizan, 2002

17 . Murtadha Muthahhari, Bimbingan Untuk Generasi Muda,

Jakarta: Sadra International Institute. 2011

18 . Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan

Agama, Terj: Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1995

19. Murtadha Muthahhari, Pengantar llmu-ilnru Islam, Jakarta:

Pustaka Azzahra,2003

20. Murtadha Muthahhari, Keadilan llahi; Asas Pandangan Dunia

Islam, Terj: Agus Efendi, Bandung: Mizan,1995

2t . Murtadha Muthahhari, Islam Menjawab Tuntutan Zaman,

Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993\

22. Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima',

Teheran: Muassasah al-Bi'tsah. I 395 H

23. Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Bandung: PT Mizan

Pustaka.2007

24. Murtadha Muthahhari, Fitrah, Terj. dari al-Fithrah oleh H. Alif

Muhammad, Jakarta: CITRA, 2011

25. Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, Terj. da

"Tarbiyatul Islam", Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005

26. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Jakarta: Lentera

Hati,2007

27. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islsm, Jakarta:

LOGOS Wacana Ilmu, 1999 l^r28. Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,

Bandung: al Ma'arif, 1989li" -"\,J

29. Mahbubillah, Pemikiran Murtadha Mtnhahhari Tentang Marutsia

'ltI

dan Tujuan Pendidikan Islam,IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2003. Tidak dipublikasikan ll.^430. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: KENCANA,

2012I

31 . Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelekhrul dan

Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islant, Jakarta: Kencana,

2008

32. Rif at Syauqi Nawawi, Kepribaclian Qur'ani, Jakarta: AMZAH,

2OIT

J J . Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: FITK UIN Syarif

Hidayatullah,2013

34. M. Dawam Raharjo, Konsepsi Manusia Memtrut Islam, Jakarta:

Grafitti Press. 1987

35. Jalaluddin Rahmat, et. al, "Kuliah-htliah Tasawttf', dalam

Husein Shahab, Tasawuf dalant Perspektif Mazhab Etika, Jakarta:

Pustaka Hidayah, 2000

36. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2000

J t - Quraish Shihab, Memb umikan Al- Qur' an, B andung : Mizan, 2002

38. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an : Fungsi dan Peran

Wahyu D al am Kehi hry an Masy araka,, B andung ; Mizan, 199 5

39. Syamsuri, Manusia Sempurna Perspektif Murtadha Muthahhari,

Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. UIN. 2001

40. Izkar Sobah, Kejahatan dqn Keadilan Tuhan Dalam

Teologi Murtadha Muthahhari, Aqidah Filsafat:

Ushuluddin dan Filsafat . 2006

Perspektf

Fakultas

4r. Soejono, dkk, Metode Penelitian ; Suatu Pemikiran dan

Penerapan, Jakarta : Rineka Cipta,l999

42. Soerjono Soekanto, Pokok - Pokok Sosiologi Httkum, Jakarta:

Rajawali Pers, 1998 [,{^t43. A.M. Saefu ddin, Des ekularis asi P emikiran Landas an Islamis asi,

I

Bandung: Mizan,l99ll l . il

t l

44. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya,2012

ll\2,_lt,' - /

45. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidiknn Dalam Perspektif Islam,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007

46. Zainuddin, Paradignta Pendidikan Terpadu, Malang: UIN

MALANG PRESS, 2OO8

47. Zuhairini, dld<. Filsafat Pendidikan Islant, Jakarta: Burni Aksara,

2004

48. Zuhiadi, Konsep Pendidikan Akhlak Murtadha Muthahhari, UIN

Sunan Kalij aga, Yogyakarta, 2009. Tidak dipublikasikan

49. http://berbagi-rnakalah.blogspot.com/20 I 2/06/dasar-dasar-

pendidikan-i slam.htrnl t\/\-Lu-/

Jakarta, 07 Mei 2014 I

fl'*-J\V-LA-/'^---[ - /

Dr. Muhammad Dahlan. M.Hum

KEMENTERIAN AGAMA

FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

FITK No. Revisi: : 02 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01/F.1/KM.01.3/......../20103 Jakarta, 19 Juni 2014

Lamp. : -

Hal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth.

Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum Pembimbing Skripsi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Assalamu’alaikum wr.wb.

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II

(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:

Nama : Ifah Nabilah Zahidah

NIM : 109011000288

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Semester : IX (Sembilan)

Judul Skripsi : Konsep Pendidikan MurtadhaMuthahhari

Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal

...................... , abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan

redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon

pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.

Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat

diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

a.n. Dekan

Kajur Pendidikan Agama Islam

Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag

NIP. 19580707 198703 1 005 Tembusan:

1. Dekan FITK

2. Mahasiswa ybs.