Upload
dangliem
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh:
Josep Iskandar NIM: 101033121751
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M.
KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai syarat akademisi untuk memenuhi
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh Josep Iskandar
NIM: 1010 3312 1751
DI bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.
NIP: 150 228 520
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M.
PEGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 16 Februari 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Ida Rosyidah, M.A. Drs. Maulana, M.A. NIP: 150 243 267 NIP: 150 293 221
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. Aktobi Gozali, M.A. NIP: 150 240 089 NIP: 150 368 753
Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. NIP: 150 228 520
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah swt.,
Dia-lah Zat Yang Wajib Ada, puncak segala eksistensi, dan atas segala karunia-
Nya yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, dan aqli. Hanya karena-
Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sosok yang
tidak aman sebelum umat-Nya merasa nyaman, dan mendedikasikan hidupnya
untuk membawa umat manusia keluar dari jurang kebiadaban menuju umat yang
dihiasi oleh peradaban, yaitu nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya,
serta para pengikutnya yang selalu mendukung terhadap ajaran yang dibawa
beliau.
Sebagai catatan kecil pembuka ini, sebenarnya belum bisa mewakili
curahan rasa hati penulis. Bahkan dengan jujur seraya tertunduk malu, penulis
berharap tulisan kecil ini dapat mewakili isi kalbu. Dengan penuh hormat, penulis
persembahkan penghargaan yang paling khusus kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filasafat beserta para pembantu dekan.
2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag.
selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.
3. Bapak Prof. Dr Zainun Kamaluddin K, M.A, selaku Dosen Pembimbing
yang telah memberi pengarahan dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN, Fakultas
Ushuluddin maupun Perpustakaan Iman Jama.
5. Kepada kedua orang tuaku, Bapak U. Sukandi dan Ibu Mimin Mintarsih.
Terima kasih atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik
berupa moril, spirituil, maupun materil, yang tanpa dukungan keduanya
mustahil penulis dapat menyelesaikan studi hingga keperguruan tinggi.
Tiada ungkapan dan hadiah yang dapat diberikan untuk menggambarkan
betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Aku hanya bisa berdo’a
kepada Allah swt., semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamanya.
Amîn. Terima kasih kepada adik-adikku tersayang (Nur dan Ani) atas
curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku.
6. Teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2001, Sahal, Faruq, Daus,
Cecep, Ivan, Dahlan, Ikay, Surachman (Dede), Anwar, Ipeh, Ika, dan
semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
7. Untuk sahabat-sahabatku Aji, Supri, Ijang, Cumank, Egy, Ali, Yudi, Risti,
Naya, Lilis, Yayi, Sherly, Ia, Sahrul ”TH”, terima kasih atas segala
perhatian, do’a, dan dukungannya selama ini. Untuk terkasih yakni dinda
”Tyan” yang selalu memberi semangat dalam penulisan skripsi ini. Terima
kasih atas segala do’a dan dukungannya.
Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, dan semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah
membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ
Rabb al-‘âlamîn.
Jakarta, Februari 2009.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ i KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. v PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………... vii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 9
C. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………… 9
D. Tujuan Penelitian...……………………………………………... 10
E. Metode Penelitian…..…………………………………………... 11
F. Sistematika Penulisan…………………………………………... 12
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH…………………………….. 13
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh……………………………. 13
B. Karya-karya Muhammad Abduh……………………………….. 20
C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam………… 22
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN
TUHAN............................................................................................. 27
A. Pengertian Sifat dan Perbuatan………………………………… 27
B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran
Kalam…………………………………………………………... 28
a. Mu’tazilah………………………………………………….. 30
b. Asy’ariyah………………………………………………….. 37
c. Maturidiyyah……………………………………………….. 45
BAB IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH………………………………………….. 51
A. Sifat-sifat Tuhan………………………………………………... 51
B. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada…...………………………… 56
1. Hayah…………………………………………………... 56
2. ‘Ilm……………………………………………………... 57
3. Iradah…………………………………………………... 58
4. Qudrat………………………………………………….. 59
5. Ikhtiar…………………………………………………... 60
6. Wahdah………………………………………………… 61
C. Perbuatan-perbuatan Tuhan……………………………………. 66
D. Analisis Ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh…... 75
BAB V PENUTUP………………………………………………………….. 79
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 79
B. Saran-saran……………………………………………………... 82
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 83
PEDOMAN TRANSLITRASI
Padanan Aksara
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
:tidak
dilambangkan
: b
: t
: ts
: j
: h
: kh
: d
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
ط
: dz
: r
: z
: s
: sy
: s
: d
: t
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
: z
: ،
: gh
: f
: q
: k
: l
: m
ن
و
�
ء
ي
: n
: w
: h
: ,
: y
Vokal Panjang Vokal Tunggal â __ : a : –ا î — : i : –ي û __ : u : –و Vokal Rangkap ai : –ي au : –و
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep adalah abstrak, entitas1 mental yang universal yang menunjuk
pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep
adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep
adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu
dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah
universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya.
Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan
bahasa apa pun.2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God”
dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina.
Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau
jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-
konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang
merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta
ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua
makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.3
1 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun
tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan.
2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep
3 Ensiklopedia Bebas, Tuhan, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha
Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia.
Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke
satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej
Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa
imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan
satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa.4
Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang
Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu
Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi
Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa
(ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama
Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan
setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah,
nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang
paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahmân)
dan "Maha Penyayang" (ar-rahîm). Penciptaan dan penguasaan alam semesta
dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama
untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-
Nya dan kuasa-Nya.5
Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd
(yang ditujukan ibadah kepada-Nya). Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama
sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya.
4 Ibid., 5 Ibid.,
Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan
ijmâ’.
Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan
merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm (tidak bermula), dan pula azali (ada
sebelum sesuatu tiada menjadi ada), karena apabila tidak demikian, maka Tuhan
menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada (‘Adam).
Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam
wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa
sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan
apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah
dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian
sifatnya paradoks.6
Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut
ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan
tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah
satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang
sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu
menetapkan sifat “wahdâh” (satu) bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam
perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam
seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini
dan penghabisan segala tujuan.7
Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting
dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya
6 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H), h. 39. 7 Ibid., h.17.
meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad (janji Tuhan) dan wa’id
(ancaman Tuhan) aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk
membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan
ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa
yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi
merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang
mereka percayai mengenai Tuhan.8
Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia
selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang
berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah
seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara-
suara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua
yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah
ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin
selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir.9
Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena
adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan
pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah”
(wahyu) yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid
itu dilandaskan dari dalil ‘aqli (rasio), di mana akibatnya nyata terlihat dari
perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit
sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul,
8 Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan
Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. 1, h. 117. 9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-4, h.
24.
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula
suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu
Kalâm” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia (tauhid) lebih
menyerupai logika (manthîq), yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku
argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional). Kemudian
istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu.10
Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah
melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât.
Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang
khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh
Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan
dan mengutak-utik dasar kepercayaan (aqîdah) yang telah berkembang baik di
masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat
persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan
menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh
para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut.11
Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul
dalam bidang hukum (furû’), bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar
masalah itu, yakni mengenai kepercayaan (aqîdah). Keadaan rakyat pada masa
kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat al-
Qur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan
diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang
10 Nurchalis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bintang, 1994), h. 366. 11 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 21.
menimpa khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya
khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi
beberapa bagian12. Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut
aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam al-
Qur’an Surah al-Hijr ayat 9.
Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan aliran-
aliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk
mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’
dan yang mana sifatnya ibadat (karena khawatir berlebihan menarik garis al-
Qur’an), maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan
kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan
golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan
(aqidah) menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan
adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya
golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal.
Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam
tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara
aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh
truth claim (mengaku pendapatnya yang paling benar) yang dibangun atas dasar
kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan. Tiap-
tiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara
ke-Esaan Tuhan.
12 Ibid.,
Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas
pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada
persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat
Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan
membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah
masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan
ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap
beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian
mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan
manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara
keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang
diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan
mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau
tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik
saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi
juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?
Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim
mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa
sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam,
misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian
aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani
Tuhan meskipun tanpa syariahnya dikerjakan, karena dengan sifat mengetahui
Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan
apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan
perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah
perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia?
Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah
seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana
pemikirannya sejalan dengan pemikiran golongan Mu’tazilah, yakni
mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya
mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan
Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam.
Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi
Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan
atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan
Wahdah.13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban
Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau
tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan
contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam
surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka.14
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini
dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh.
13 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67. 14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
Press, 1987), h. 85.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada dasarnya banyak yang menarik untuk dibahas mengenai Muhammad
Abduh dilihat dari corak pemikirannya. Dengan latar belakang masalah yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dalam kesempatan ini menurut penulis perlu
membatasi objek kajian penelitian untuk menghidari pelebaran masalah. Untuk itu
penulis membatasi pembahasan pada permasalahan Sifat-sifat dan Perbuatan-
perbuatan Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusannya adalah
bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan dan memaparkan pendapatnya
mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan? Dan apakah sifat dan
perbuatan Tuhan mempunyai hubungan dengan makhluk-Nya, khususnya
manusia?
C. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian pemikiran Muhammad Abduh bukanlah hal yang baru. Kajian
dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi
penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang
mempunyai intensitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah banyak
dilakukan. Adanya kecendrungan untuk mengungkap sisi lain dari pemikiran
Muhammad Abduh, yaitu dalam bidang teologi adalah hal yang jarang dilakukan
mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir.
Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiyah yang
mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi,
maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan
karyanya yang membahas tokoh ini Harun Nasution dengan bukunya yang
berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, yang membahas
tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, permasalahan Tuhan secara
umum, dan konsep iman.
Di samping itu, Muhammad Abduh tidak asing lagi dikalangan mahasiswa
di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh H. Ansoriyah dalam skripsinya,
Konsep Tauhid dalam Al-Quran: Telaah atas Penafsiran Muhammad Abduh
terhadap surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang membicarakan mengenai tauhid secara
umum dan implikasinya dalam kehidupan serta menafsirkan dalam surat al-Ikhlas
ayat 1-4. Sedangkan Khairuddin dalam skripsinya, Pemikiran Teologi Muhammad
Abduh: Kehendak serta Kekuasaan Mutlak Ilmiah dan Kebebasan Manusia,
dalam skripsi ini hanya menekankan pada akal manusia sebagai kebebasan yang
mutlak dalam berpikir.
Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, ternyata yang
membahas tentang Konsep tauhid pemikiran Muhammad Abduh secara khusus
belum ada, Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada.
Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini.
D. Tujuan Penelitian
Secara formal skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filasafat, fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non
formal penulis skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran
Pemikiran Muhammad Abduh dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian
berikutnya.
Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya:
7. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Muhammad Abduh dalam
bidang yang sedang dikaji.
8. Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam pemikiran Muhammad
Abduh, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji.
9. Mengungkap sesuatu dari pemikiran Muhammad Abduh yang sedang dikaji
sehingga membuka ruang kritik terhadapnya.
E. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data skripsi ini menggunakan kajian kepustakaan
(library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya
dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Muhammad
Abduh sendiri yang terdokumentasikan dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa
Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Risalah at-Tauhid merupakan salah satu
sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.
Sedangkan tulisan-tulisan tentang Muhammad Abduh baik yang
terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang
mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber
sekunder yang menjadi penunjang sumber primer.
Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Metode ini digunakan untuk menjelaskan segala persoalan teologi Muhammad
Abduh, serta untuk mengangkat pemikiran Muhammad Abduh dalam
menggambarkan tentang Tuhan.
Teknik penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi edisi tahun 2007, yang dikeluarkan oleh UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentang transliterasi, penulis juga menggunakan
pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan
menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab
yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu:
Bab pertama, pendahuluan yang mencakup, latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penulisan,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang biografi Muhammad Abduh mencakup
riwayat hidup Muhammad Abduh, karya-karya Muhammad Abduh, dan pengaruh
Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam.
Bab ketiga, yang menjelaskan gambaran umum tentang sifat dan perbuatan
Tuhan yang meliputi pengertian sifat dan perbuatan Tuhan, pandangan tentang
sifat dan perbuatan Tuhan menurut aliran kalam seperti Mu’tazilah, dan
Asy’ariyah, Maturidiyah.
Bab keempat, membahas tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut
perspektif Muhammad Abduh yang berisikan sifat-sifat Tuhan, perbuatan-
perbuatan Tuhan, serta analisis ke-Tuhanan dalam pemikiran Muhammad Abduh.
Sedangkan pada bab kelima adalah penutup yang terdiri atas kesimpulan
dan saran-saran serta diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr,
kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905. Nama panjangnya adalah
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.15 Ayahnya bernama Abduh bin
Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya
menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.16 Muhammad Abduh mengawali
pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak
yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa
religius yang kuat.
Pendidikannya
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada
umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di
rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia
mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.17
Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk
belajar di Masjid al-Ahmâdi (al-Jami’ al-Ahmâdi). Di sini, di samping
melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih.18
Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai
sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah
terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku
menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena
metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal
istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan
15 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), h.
11. 16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), cet. IX, h. 59. 17 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987,
cet. I, h, 11. 18 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 255.
tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah
tersebut”.19 Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.20
Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di
Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke
rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi.
Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku.
Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh
agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy
ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.21
Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas al-
Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik
zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang
‘âlim yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd
(keterikatan pada tradisi), yang kemudian menjadi sumber energi
pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang
sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya
untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.22
Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani
Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh
dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said
Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid
19 Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-
Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education (Marquette: University, 1974), h. 96. 20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59. 21 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13. 22 Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern (Bandung : Mizan, 2001), h. 12.
(pejuang), Mujaddîd (pembaharu/ reformer) dan ulama yang sangat ‘âlim, yang
pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani
untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan
Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu
tasawuf dan tafsir.23
Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun
sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan
pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah
studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang
diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis,
al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan
pada setiap kajiannya.24
Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani
mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan
mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani
juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel,
dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli
melihat situasi sosial politik di negerinya.25
Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam
dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan
selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar
23 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 17. 24 M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Kairo: al-
Manar, 1931), h. 20. 25 Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
114.
yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.26 Di
samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula pengetahuan-
pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain.
Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti
kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir
yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju.
Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak
membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan
berfikir kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah
menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh
menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa
saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid
kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.27
Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar
Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha
Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas
“Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat
memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal
sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam Perguruan-
perguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan metode-
metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan
26 Abduh, Risalah Tauhid, h. 17. 27 Ibid., h.18.
kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta
melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.28
Dibuang ke Syria (Beirut)
Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh
terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu
gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai
penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di
buang ke Syiria (Beirut). Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada
Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada
permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu
berada di Paris.29
Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ
Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang
bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam
sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah
dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul
Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke
seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara
berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia.
Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya
dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi
gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke
28 Ibid., h. 19. 29 Ibid., h. 19.
Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18
halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar. Karena mendapat
tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya
lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun
1885.30
Menjadi Mufti Mesir
Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah
Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi
dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh
tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan
pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan
kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis
Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena
itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh
pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia
dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.31
Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia
akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11
Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya
meniggalkan empat orang putri saja.32
Pembela Islam yang Gagah Berani
30 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 256. 31 Abduh, Risalah Tauhid, h. 20. 32 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, h. 27.
Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering
tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang
datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis,
karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan
suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam
sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah
penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum
majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di
Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang
menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang
menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.33
B. Karya-karya Muhammad Abduh
Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiran-
pemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam
menyampaikan ide dan pandangannya. Menurutnya, pemikiran yang disampaikan
lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar, ketimbang menerangkan
dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki
habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Abduh pernah mengajar
di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyrah, Dâr al-‘Ulûm, dan
masih banyak lagi. Pada umumnya materi yang diajarkan di Masjid-masjid
tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah
yang pernah ia tulis, di antaranya:34
33 Abduh, Risalah Tauhid, h. 21. 34 M Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1365 H), jilid ke-8, h. 77-778.
a. Al-Wâridâh, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan
metode dan pendekatan tasawuf. Inilah karya pertama Muhammad Abduh.
b. Risâlah fi wahdâti al-Wûjûd. Karya ini memang tidak terbit, namun karya
ini merupakan karya Muhammad Abduh yang kedua sebagaimana
diinformasikannya kepada Rasyid Ridha. Akan tetapi karya ini bukan
merupakan karya Abdul Karim al-Jilli dan semisalnya yang mendekati
mazhab hulul. Karya ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda
dengan yang lainnya.
c. Târîkh Ismail Basyâ. Karya ini diberitahukan salah satu murid Muhammad
Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya. Dikatakan bahwa
Abdullah an-Nadzim telah banyak mengutip buku ini ketika terjadi
pemberontakan orang-orang Arab dan ia telah mempublikasikan sebagian
isinya di media massa menurut sistematika aslinya atau tidak. Rasyid
Ridha tidak pernah mendengar isi buku tersebut dari Abdullah an-Nadzim,
hanya saja an-Nadzim memberitahu Ridha sejarah buku ini dengan rinci
dan an-Nadzim menulis kembali secara global isi buku ini kepada Ridha
sebagaimana an-Nadzim membacanya.
d. Falsafatul al-Ijtimâ’iyyah wa at-Târîkh. Buku ini adalah karya
Muhammad Abduh yang dikarang ketika ia mengajar Muqaddimah Ibnu
Khaldun di Madrasah Darul Ulum. Buku ini telah hilang ketika Sayyid
Jamaluddin dibuang dan Rasyid mengambil lembaran-lembarannya.
Thaibullah menganjurkan Rasyid Ridha untuk menyempurnakan buku itu
agar berguna bagi pembaca yang ingin mengetahuinya.
e. Hâsyiyah ‘Aqâidi al-Jalâli ad-Dawwânî li al-Adûdiyah. Buku ini adalah
karya terbaik Muhammad abduh dalam ilmu kalam. Sayyid Umi al-
Khasyab berencana mencetaknya, dan semoga ia mampu mencetaknya
dalam waktu dekat.
f. Syarh Nahjul Balâghah. Buku ini sangat terkenal dan telah diterbitkan di
Beirut dua kali, di Tharabulis sekali dan di Mesir sekali.
g. Syarh Maqâmat Badî’ al-Zamân al-Hamdânî. Buku ini terbit di Beirut,
buku ini berisikan tentang maqamat.
h. Syarh al-Bashâri al-Hamdânî al-Nâshiriyyah fi al-Manthiq. Ini adalah
buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.
i. Nizhâmu al-Tarbîyah wa al-Ta’lim bi Mishr. Buku ini berisikan tentang
pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir. Ini adalah
buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.
j. Risalâh at-Taûhîd. Yang berisikan tentang sistem teologi. Buku ini
diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid
Ridha.
k. Taqrîru al-Mahâkim al-Syarîyyah. Buku ini sangat khusus, tema-temanya
berguna bukan saja bagi para hakim, tetapi juga bagi semua pencinta ilmu
dan budaya, apalagi bagi para pelajar fiqih.
l. Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyyah. Berisikan
tentang semangat kaum muslimin. Buku ini adalah kumpulan makalah-
makalah dari majalah al-Manar yang diedit dan diterbitkan oleh Rasyid
Ridha.
m. Tafsir Surat al-‘Ashr. Buku ini dipublikasikan di majalah al-Manar atas
permintaan muridnya dan lainnya di kota-kota.
n. Tafsir Juz ‘Amma
o. Tafsir al-Manâr
Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang cukup
berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman. Meskipun demikian, ide-ide
pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah maupun pendidikan begitu
berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh menyebar ke dunia Islam melalui
karya-karya Abduh sendiri maupun melalui murid dan pengikutnya.
C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan
dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang
besar dalam tubuh pemikiran umat islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak
dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada
manusia. Walau guru beliau Jamaluddin Al-Afghani adalah sebagai orang pertama
yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad
Abduh sebagaimana diungkapkan DR. Mohammad Imarah, bahwa Abduh adalah
seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau
sekolah pemikiran modern, bisa dikatakan melebihi guru beliau sendiri yaitu
Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan
pembaharuan pemikiran islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang
beliau lakukan di antaranya:35
1. Reformasi Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan.
Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat
mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak
muslim yang shaleh.
2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak
hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan
dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-
lembaga sosial. Di antaranya, Jami’ah Khairîyah Islamîyah, Jamî’ah Ihyâ al-Ulûm
al-Arabîyah, dan juga Jamî’ah at-Taqorrûb bainâ al-Adyan.
3. Mendirikan Sekolah Pemikiran
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah
pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan
pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-
musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.
Bahwa pusat perhatiannya adalah pengajaran dan pendidikan dan bukan
politik ternyata juga dari tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya
adalah dua, yakni:36
35 Istiqamah Kapu, Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan, artikel diakses pada 30
Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3 36 Tahir Tanahi, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh (Cairo: Dar Al-Hilal, t.t), h.
18.
1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama
sesuai jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), zaman sebelum
timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu dengan kembali kepada
sumber-sumber utamanya.
2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik oleh instansi-instansi
pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya
dalam surat-menyurat mereka.
Usaha Abduh yang gigih untuk merekontruksi Syari’at dari bangunan
yang sudah mapan bertahun-tahun, karena dijaga oleh ulama-ulama, tapi tak ideal,
rigid dan jumud menuju tatatan teologi yang lebih berdimensi humanis dan
dinamis. Untuk menggapai tujuan tersebut, hemat Abduh, diperlukan dua syarat
yang mutlak ada. Pertama, memberi kebebasan mutlak pada akal. Dan kedua,
membuang jauh-jauh sikap taqlid dalam berfikir dan berkreasi. Karena taqlid
hanya menganggurkan seseorang dari peran sejarah yang harus ia isi. Dua dasar
itu mengindikasikan kita akan konsepsi teologi Abduh yang menyandarkan ruh
Syari’at tak hanya pada dalil naqli an sich yang berkecenderungan “sami’nâ wa
`atha’nâ” namun lebih mengkristal pada hubungan sinergis antara dalil naqli dan
akal manusia.37
Secara hirarki, ada delapan dasar (ushûl) yang pertama kali dikreasikan
Abduh untuk membentuk konsep teologinya,38 yaitu:
1. Perspektif akal dalam menuntun jalan menuju keimanan.
2. Mendahulukan akal daripada maksud dzhahir nash apabila terjadi
kontradiksi.
37 Asyraf Abdul Wahab, Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur (Kairo: Maktabah Usrah, 2006) cet. 1, h. 115.
38 Ibid., h. 116.
3. Menjunjung toleransi dan mengubur pentakfiran (klaim kebenaran
sepihak). Seperti larangan Abduh untuk mengkafirkan seseorang yang
ucapannya mengandung seratus kesalahan dan satu kebenaran di satu sisi
saja.
4. Merenungi “sunnah-sunnah” Tuhan yang terpendam di setiap makhluk-
Nya.
5. Mengeliminasi segala bentuk kekuasaan yang berlandaskan pada agama
tertentu. Otomatis, “undang-undang” ini melarang segala bentuk intervensi
dari peroangan atau golongan tertentu untuk mencampuri keimanan setiap
pemeluk agama.
6. Ajakan untuk mengakhiri fitnâh (perpecahan dan pertikaian).
7. Menumbuhkan sikap tenggang rasa pada siapapun yang berbeda pikiran
dan keyakinan.
8. Mempertemukan kemashlahatan duniawi dan ukhrawi.
Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan
kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid
dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan
internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal,
modernisme pemikirannya mulai kelihatan. Dalam amatan cendekiawan Muslim
Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Mizan : 1987),
'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif
terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani,
seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. Di
Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas
Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara
warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir al-Manar
merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya
yang ditulis oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. [Republika.co.id]39
39 Kotasantri, Muhammad Abduh, artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-
Bab III
GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN
A. Pengertian Sifat dan Perbuatan
Secara etimologi, kata sifat berasal dari bahasa Arab yakni al-shifah. Kata
tersebut merupakan derivasi dari kata kerja washafa-yashifu-wasfhan-wa shifatan
yang artinya “mensifati”. Dalam kamus al-Munjid karangan Louis ma’louf
mengartikan bahwa sifat (al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri dan melekat
pada suatu benda yang disifati (al-mawshûf),40 seperti sifat bagus, baik, tinggi,
besar dan lain sebagainya, yang melekat pada sebuah kursi, misalnya.
Dalam sebuah kamus besar bahasa Indonesia, kata sifat memiliki beberapa
pengertian sebagai berikut:41
1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah
2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb)
3. Ciri khas pada suatu benda (untuk membedakan diri dengan yang lain)
4. Dasar watak (dibawa sejak lahir)
Dengan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sifat adalah
sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati untuk
membedakan benda tersebut dari benda yang lain.
40 Louis Ma’louf, Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm (Bairut: Dar el-Mashreq Sari,
1984), h. 903. 41 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), cet. I.
Sedangkan perbuatan berasal dari kata “buat” yang artinya berbuat,
membuat, untuk, bagi. Berbuat artinya melakukan (suatu pekerjaan), sedang
mengadakan. Membuat artinya mengadakan, melakukan, mengerjakan, memakai
untuk, menyebabkan, mendatangkan, menjadikan. Perbuatan artinya sesuatu yang
dilakukan, kelakuan, tingkah laku. Jadi, perbuatan merupakan sesuatu yang
dilakukan dan dikerjakan yang dilekati oleh sifat, khususnya makhluk hidup yang
berhubungan dengan nilai, seperti perbuatan baik, buruk, adil, dan lain
sebagainya, yang dilakukan manusia misalnya.42
Memang sifat dan perbuatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena
keduanya saling terkait, misalnya seorang memiliki sifat pemaaf, maka
perbuatannya adalah memaafkan. Ada juga yang mengatakan sifat dan perbuatan
itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti
halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api adalah
membuat panas dan membakar.
B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam
Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat
diketahui melalui kekayaan aneka ragam seni, budaya, dan pemikiran para
pemikir Muslim, baik tentang hukum, politik, sosial maupun ketuhanan atau
dikenal dengan sebutan ilmu tauhid atau ilmu kalam, dan orang yang ahli dalam
ilmu ini disebut mutakallim.
Karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia, maka ilmu
ini disebut Ilmu kalam. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah firman-
Nya (al-Qur’an), maka kalam Tuhan pernah menimbulkan perdebatan sengit
42 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Kartika, 1997), h. 88.
dikalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang
muncul adalah mengenai apakah kalam Tuhan itu qadîm atau hadits. Karena
firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau
yang dimaksud kalam manusia adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog
dalam Islam selalu menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan
pendapat dan pendirian masing-masing. Kaum teolog dalam Islam memang
dinamakan mutakallimûn karena mereka ahli debat yang mahir memainkan kata-
kata.43
Ilmu tersebut juga bisa dinamakan ushuluddin, karena membahas pokok-
pokok ajaran agama, seperti masalah dan keesaaan Tuhan. Selain itu, ilmu ini juga
bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid. Kata
tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam
merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan.44
Asal ilmu tauhid sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat
spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya
kontaminasi antara qath’î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber
(tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.45 Dari kalangan tâbi’în, ahli kalam
pertama adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, Zayd ibn ‘Ali Zayn al-Âbidîn, Hasan al-
Bashrî, dan lain-lain. Sesudah masa tâbi’în adalah Ja’far ibn Muhammad al-
43 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat:Logos, 1999), cet. Ke 2, h, 17. 44 Ibid., h. 17. 45 M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
cet. 1, h. 35.
Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam
Syafi’î.46
Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain
tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan
Tuhan, tanzîh (penyucian Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan), tentang
kalam Tuhan (apakah qadîm atau hâdits), tentang kenabian sekaligus kesucian
para nabi dari dosa (ma’shûm), tentang al-mî’âd (tempat kembali), tentang sifat
Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara aliran-
aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak
sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan
ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat
Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim
dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua
penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk
meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhlûq).47
a. Pandangan Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa
meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari
aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal.
Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok
yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.
46 Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab
Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi (ed), Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 1999) cet. 1, h. 144.
47 Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan Tantangannya, dalam Imam Baehaqi (ed), Kontroversi Aswaja, h. 151.
Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka
menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan
ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal.
Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak
lawan maupun sesama mereka sendiri.48
Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha.
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah
adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan), al-Adl
(keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah
bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-
Nahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).49
Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan
oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat
bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka
kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan
yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan (yang kekal). Para pengikutnya yang
disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka
mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan
hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek
48 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1. h. 48. 49 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 80.
dari esensi zat Tuhan yang kekal (eternal). Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak,
cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.50
Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak
ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahmân, al-Rahîm, al-
Qâdir, al-‘Âlim, dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut
bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang
ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam.
Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf (135 H- 235 H)51
bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat
Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut
mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi
mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya.
Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada
diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat
yang mempunyai berbagai aspek.52
Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat,
melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut
adalah zat atau esensi-Nya.
23 ذا21/ري 1,/%0 (/%+ ب,)+ و ()'ان& ا%
50 Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat
(Bandung: Pustaka, 1996), h. 60-61. 51 Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah
Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 47.
52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful Muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 131.
“Sesungguhnya al-Bârî Ta’âlâ (Allah) mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”53 Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan zat-
Nya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya
adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan
itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat
pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan
begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu
yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat
kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah
(‘ajz) dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia,
tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun
kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayâh), maka artinya
pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku tegas-
tegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.54
Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti
Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb al-
Jubâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). mengenai
peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui
esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan
demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada
dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan
53 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48. 54 Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 1998), cet. I, h. 230.
mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat
tetapi hâl (state, keadaan).55
Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat
unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang
melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan
akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan
terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada
banyaknya jumlah yang qadîm (terdahulu), sedang dalam teologi, sifat qadîm itu
esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman
dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,
paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam
Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.56 Dengan kata lain mereka
menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada
pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun.
Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal
seperti Tuhan.57 Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan
terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat
yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal.
Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena
Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada
manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada
55 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52 56 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani
(ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130. 57 Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah
Aqidah, Politik dan Fikih (Jakarta: Lentera, 2005), cet.I, h. 226.
antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan manusia), atau dalam bahasa Arab
disebut Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti
harfiah dan nash-nash Tuhan.58
Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya
menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath (48) ayat 10: (Tangan
Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy
istwâ” (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy). Sehingga kata-
kata tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna hakiki, sebab yang
hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini semata-
mata bertujuan untuk men-tanzih-kan (mensucikan) Tuhan. Dari sinilah, maka
kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka
menyebutnya Mu’aththilah.
Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir
akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan
berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain
untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah (inquisition). Pada
masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa al-
Qur’an adalah makhluk.59
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
58 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 46. 59 Bisa dikatakan bahwa hilangnya Mu’tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional dalam
dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang tak menguntungkan, yakni penyerangan bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-porandakan Bagdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diridari kenyataan. Melihat kekalahan-kekalahan, mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri (‘uzlah) bukan hanya secara fisik tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran bagi Islam. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990), cet. I, h. 189.
baik. Namun, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan
dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan
tidaklah berbuat zalim.60 Ayat-ayat al’Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah
untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat al-AnBiya [21]:2361, dan surat
ar-Rum [30]:8.62
Abd al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut
memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari
perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan Tuhan tidak perlu ditanya. Ia
menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat
baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun
ayat kedua, menurut al-Jabbar , mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah
dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan
melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi
beserta isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.63
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang sejajar
dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam
satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik terhadap manusia.64 Faham kewajiban
Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah)
60 M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa Jakarta,
1990), h. 89. 61 Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. 62 Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduany,
melainkan dengan (tujuan) yang benar. 63 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 89. 64 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 154.
mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Tuhan
berikut ini:
1. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan
faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka
tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat adil kalau Dia memberi beban yang
terlalu berat terhadap manusia.65
2. Kewajiban mengirim rasul
Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal mengetahui hal-hal
ghaib,66 pengiriman rasul tidak begitu penting. Namun, mereka memasukan
pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa
yang diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul.
Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan
akhrat nanti.67
3. Kewajiban menepati janji dan ancaman
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan
Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan
65 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129. 66 Sebagimana telah dilihat pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu bagi aliran
Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya.
67 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 131.
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal
kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang
berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan
ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena
itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.68
b. Pandangan Asy’ariyah
Sebagai reaksi dari timbulnya berbagai firqah (Qadariyâh, Khawârij,
Mu’tazilah, dsb), maka lahirlah aliran baru yang dipelopri oleh Abû Hasan al-
Asy‘arî.69 Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H dan di sana pula beliau
meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya berpegang pada paham
Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’î. Setelah 40 tahun
menjadi pengikut Mu’tazilah, akhirnya ia merasa kecewa. Paham yang diikutinya
terlampau mengagungkan akal dan sering mengabaikan teks-teks hadis. Di lain
pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis, yang hanya percaya pada bunyi
teks dan mengindahkan spiritnya. Kitab-kitab yang pernah dihasilkannya antara
lain al-Ibanâh fi Ushul al-Diyânah, Maqâlât al-Islâmîyîn, dan al-Mujâz.
Di antara ulama besar yang menyebarkan aliran Asy’ariyah ini yaitu Abû
Bakr al-Qaffâl (w. 365 H), Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-Tamhîd-nya yang
terkenal (w. 403 H), Imam Abû Ishâq al-Isfahânî (w. 411 H), Imam Hâfizh al-
Bayhaqî (w. 458 H), Imam al-Juwaynî atau dikenal dengan sebutan Imam al-
Harâymayn, guru Imam al-Ghazâlî (w. 460 H), Imam al-Qusyayrî (w. 465 H),
68 Ibid., h. 132-133. 69 Beliau dan Maturidi adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran
Mu’tasilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-hadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy ‘ariyah, atau Asyâ’irah. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13.
Imam al-Ghazâlî (w. 505 H), Imam Fakhr al-Râzî (w. 606 H), dan Imam ‘Izz al-
Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 606 H). dalam masa-masa kemudian, para ulama yang
mendukung paham Asy’ariyah ini di antaranya seperti Syekh al-Islâm ‘Abd Allâh
al-Syarqâwî (w. 1227 H), Syekh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1272 H), Syekh Nawawî
al-Bantanî (w. 1315 H), Syekh Zayn al-‘Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî dengan
kitab ‘Aqîdat al-Nâjîn-nya, Syekh Husayn al-Tarabalâsî dengan kitab al-Hushûn
alHamîdîyah-nya yang terkenal itu.70
Dalam doktrin Asy’ariyah, bahawa Tuhan merupakan zat yang mutlak
mempunyai sifat. Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Tuhan
memiliki sifat-sifat seperti Qudrah, Irâdah, ‘Ilm, dan Sam’, dan lain sebagainya.
Dengan adanya qudrah maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada
murâd; ada ‘ilm ada ma’lûm; dan ada sam’ maka ada masmû’. Semua itu adalah
relasi sifat Tuhan dengan makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak
menjelma, sifat tidak bisa dipisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam
dikatakan, misalnya al-‘Ilm shifah qadimah azaliyah laysat hiya dzatan wa lâ
ghayrahâ (ilmu itu merupakan sifat azali yang berbeda dengan zat Tuhan, dan
bukan pula zat-Nya).71
Dalam memperkuaat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat-ayat al-
Qur’an, di antaranya:
أ45ا%2 ب,)23
Artinya: “Allah menurunkan dengan ilmu-Nya” (QS. an-Nisâ [4] : 166)
70 Muslim, Asy’ariyah, artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari
http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b54dfc
71 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 180.
1<3= م> أ5;0 و%/ 1:9 إ%&/ ب,)23 وم/
Artinya: “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”.
(QS. al-Fâthir [35] : 11)
Menurut Asy’ari, kedua ayat di atas menunjukan bahwa Tuhan
mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Tuhan itu adalah zat-
Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-‘Ilm (pengetahuan)
merupakan al-‘Alim (Yang Mengngetahui), atau sebaliknya al-‘Alim (Yang
Mengetahui) merupakan al-‘Ilm (pengetahuan), atau zat Tuhan diartikan sebagai
sifat-sifat. Oleh karena mustahil Tuhan merupakan pengetahuan, maka mustahil
pula Tuhan mengetahui zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari
Tuhan mengetahui dengan ilmu. Ilmu Tuhan tersebut bukan merupakan zat-Nya.
Demikian pula sifat-sifat lainnya. Bagi Asy’ari, seluruh sifat Tuhan itu qâ’imah bi
dzâtih (berdiri sendiri).72
Dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyâbihât seperti:
وFG'H و2E ربCD ذوا ا%B)/ل واAآ?ام
Artinya: “Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulilaan.”
(QS. al-Rahmân [55] :27)
/IJووح /IJIJ)Lب C(M%9 اINوا
Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.”
72 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan
dengan al-Asy’ari (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. I, h. 43.
(QS. Hûd [11] :37)
+OHPHق أQR Sا PH
Artinya:“Yad Allah di atas tangan mereka.” (QS. al-Fath [48] : 10)
Dalam persoalan ayat-ayat di atas, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil
jalan tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, mata dan
tangan73 yang tidak akan hancur seperti yang telah disebut dalam al-Qur’an, tetapi
dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bi lâ kayf).74 Sifat Tuhan bukan
esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda.
Proposisi “sifat itu bukan zat” (laysat hiya dzâtan) digunakan untuk
menjawab argumentasi Mu’tazilah yang mengaitkan sifat itu adalah zat. Dan
proposisi “sifat itu bukan selain zat” (wa lâ ghayrahâ) digunakan untuk
menyanggah orang-orang Nasrani yang meyakini bahwa sifat Tuhan itu dapat
dipisahkan dari zat-Nya. Sifat “kalam” (berfirman), misalnya, dapat dipisahkan
karena “kalam” tersebut telah menjelma dalam bentuk Yesus.
Kalau mengikuti lebih lanjut, paham Asy’ariyah ini sebenarnya sudah jauh
berkembang. Al-Râzî, misalnya itu sudah jauh sekali dari Asy’ari. Sebab dia
mengatakan bahwa sifat Tuhan itu hanya al-‘Ilm (ilmu). Pendapat itu justru lebih
mengarah ke paham Mu’tazilah.75
Bahkan al-Juwaynî, pengikut golongan Asy’ariyah, juga condong kepada
paham Mu’tazilah, menurutnya Allah Swt., suci dari pengkhudusan dengan arah,
dengan sifat-sifat beharu serta bebas pula dari adanya betasan dan ukuran.
73 Ibid., h. 44. 74 Maksud dari tidak bisa ditentukan bagaimana (bi lâ kayf) adalah dengan tidak
mempunyai bentuk dan batasan (lâ yukayyaf wa lâ yuhadd). Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, h. 71.
75 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13
Baginya, setiap yang menempati arah mestilah terbatas, setiap yang terbatas
mestilah terdiri dari jawhar yang dapat berkumpul dan bercerai. Sedangkan Allah
Maha Suci dari bertempat (al-Tahayyuz) dan lepas dari arah tertentu, dan juga
tidak terdiri dari tubuh (jism) tertentu. Oleh karenanya, ayat 5 surat Thâhâ di atas
harus ditakwilkan al-qahr (keperkasaan), al-ghalabah (kekuasaan), atau al-uluww
(keluhuran).76
Al-Bâgillanî, sebagaimana disebut oleh al-Syahrastânî, setuju jika hâl
digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Tuhan seperti pandangan Abû
Hâsyim dari kalangan Mu’tazilah. Tampaknya ia setuju karena umumnya kaum
Mu’tazilah mengunakan pendapat Abû Hâsyim tersebut dalam rangka untuk
menetapkan ke-Esaan dan ke-qadîm-an Tuhan.
Al-Bâqillânî mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Gerak dan warna
misalnya, keduanya terdapat zat yang bergerak dan berwarna. Sifat adalah sesuatu
yang tampak pada perbuatan, seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih,
panjang, atau pendek. Sifat juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katîb (penulis),
bisa juga berdasarkan agama, seperti mukmin atau kafir. Selain itu, bisa juga
berdasarkan kebangsaan, seperti ‘Arabi (yang berkebangsaan Arab), ‘Ajami (yang
berkebangsaan non-Arab), atau Hâsyimî (yang berasal dari keturunan Hâsyim).
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa bahwa sifat adalah sesuatu
yang menempel pada nama-nama.77 Tetapi kecenderungan tokoh-tokoh aliran
Asy’ariyah terhadap pemikiran Mu’tazilah ini dianggap oleh Said Aqiel Siradj
sebagai usaha adaptasi Sunni yang menurutnya sangat fleksibel.
76 Sjechul Hadi Purmono “Aswaja: Aqidah dan Syari’ah”, dalam Imam Baehaqi (ed)
Kontroversi Aswaja, h. 49. 77 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan
dengan al-Asy’ari, h. 50.
Sedangkan Abû Hâmid al-Ghazâlî (1058-1111 M), salah seorang pengikut
al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya dalam umat Islam, ternyata
berlainan pendapat dengan gurunya yakni al-Juwaynî dan al-Bâqillânî. Paham
teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham
Asy’ari. Al-Ghazâlî, seperti al-Asy’ari, tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadîm yang tidak identik dengan zat Tuhan itu sendiri, dan mempunyai
wujud di luar zat-Nya.78
Menurut aliran Asy’ariyah tentang perbuatan Tuhan, bahwa kewajiban
Tuhan berbuat baik danterbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah),
sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-
Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhantidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demikian, Asy’ari tidak menerima bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap
makhluk-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan
bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat
wajib.79
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa
Tuhan tidak memepunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ari menerima faham
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ari sendiri dengan tegas
mengatakan dalam bukunya al-Lamâ, bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang
78 Said Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jama’ah di awal Abad XXI” dalam Imam
Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, h. 140. 79 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129-
130.
tidak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazâlî pun mengatakan hal ini dalam
karyannya al-Iqtisad.80
Walupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran
Asy’ari menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan
tidak mengutus rasul kepada manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.
Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Dia
akan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Namun, sesuai dengan faham
Asy’ari tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi
masalah bagi eologi mereka. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam
masyarakat kacau. Tuhan dalam hal ini tidak berbuat untuk kepentingan
manusia.81
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman. Di
sini timbul persoalan bagi Asy’ari karena dalam al-Qur’an dikatakan dengan tegas
bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-
kata Arab “man alladzîna” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi
interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian
kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara
tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya,”
mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian.
Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang,
80 Ibid., h. 129. menurut faham Asy’ari, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia.
81 Ibid., h.131-132.
tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapaun sebagian
lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan interpretasi demikianlah Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan
menepati janji dan ancaman.82
c. Pandangan Maturidiyah
Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad al-Maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al-Maturidi
banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ari, sekalipun ada beberapa perbedaan
cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait persoalan ma’rifah
(mengetahui Allah), Asy’ariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’,
sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban ini juga dapat dicapai melalui
penalaran akal. Demikian pula perihal kebaikan, Asy’ariyah tidak mengakui
bahwa penilaian atas hal itu dapat dicapai melalui penalaran akal atas
substansinya. Sementara Maturidiyah menerima kemampuan akal untuk menilai
kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya. Dari sini dapat diketahui bahwa
Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar kepada akal manusia dibandingkan
dengan Asy’ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah
senantiasa menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai rujukan dan bingkai
penafsirannya.
Aliran penentang Mu’tazilah di Basrah dipimpin oleh Abu Hasan al-
Asy’ari, sedangkan di Samarkand dipimpin oleh al-Maturidi.83 Walaupun kedua
aliran tersebut sama-sama sebagai Ahlussunnah wal Jama’aah, tetapi antara
82 Ibid., h.133. 83 Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 91.
keduanya terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa perbedaan itu
bukanlah pada soal-soal yang prinsipil, serta jumlahnya tidak lebih dari 40
masalah.84 Sedangkan menurut Abû Zahrah, perbedaan itu terletak pada, bahwa
Maturidi lebih banyak memberikan peranan kebebasan kepada akal dibanding
dengan Asy’ari, sehingga hasil pemikirannya banyak juga yang berbeda.85
Al-Maturidi mempunyai banyak pengikut, salah satunya bernama al-
Bazdawi. Al-Maturidi dan al-Bazdawi walaupun sama-sama pengembang aliran
tersebut, tetapi antara keduanya memiliki beberapa perbedaan paham.
Maturidiyah yang pusat kegaiatannya di Samarkand disebut Maturidiyah
Samarkand yang dipimpin oleh al-Maturidi sendiri, pendapat-pendapatnya banyak
yang sejalan dengan paham Mu’tazilah yang rasionil, sedang Maturidiyah yang
pusat kegiatannya di Bukhara yang dipimpin al-Bazdawi disebut Maturidi
Bukhara, paham-pahamnya banyak berdekatan dengan paham Asy’ariyah.86
Dengan demikian, aliran Maturidiyah memiliki dua cabang yakni Maturidiyah
Samarkand dan Matiridiyanh Bukhara.
Maturidi mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat Tuhan harus
didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman
‘azali, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat seperti qudrat, dan sifat-sifat aktif
(perbuatan, sifat af’al). seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan
lainnya. Sifat-sifat tersebut kesemuanya tidak boleh diperbincangkan, apakah itu
hakekat zat ataukah bukan?87
84 Abul Hasan al-Nadawi, Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam (Kuwait: Darul
Kalam,1969), h. 159. 85 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr, t.t), h.
199. 86 Harun Nasution, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 8-9. 87 A Hanapi, Theologi Islam (Jakarta: Al-Husna, 1996), h. 94.
Akan tetapi paham tersebut membelok kepada Asy’ari dengan mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui sifat ‘ilm-Nya, bukan
dengan zat-Nya. Tuhan berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zat-
Nya.88 Timbul persoalan yang sama seperti di atas. Kalau sifat-sifat itu bukan
hakekat zat, tidak pula dari zat, apa jadinya sifat-sifat itu? Maturidi menjawab,
bahwa sifat Tuhan itu adalah sifat Tuhan, tidak lebih dari itu.
Dengan kata lain Maturidi tidak bisa menyelesaikan kontradiktif.
Sebenarnya ia bisa saja membelok kepada Mu’tazilah atau orang-orang filosof,
dengan mengatakan tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan
sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa melangkah kearah aliran salaf
dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan sifat
akan menyeret kita kepada bid’ah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.89
Meskipun demikian, sikap Maturidi terhadap Mu’tazilah lebih lunak.
Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak seperti tasybîh (mempersamakan
Tuhan dengan manusia) dan mereka mengingkari sifat-sifat (Mu’tazilah) dengan
alasan mensucikan Tuhan tidak perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir,
meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya sebab bisa
menjadikan Tuhan suatu gambaran pikiran yang kosong.
Dalam pembicaraan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidi, harus digunakan
cara tasybîh bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadîm dan tidak bisa diterangkan
kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa digunakan untuk lingkungan
manusia, yang berarti mempersamakan (tasybih). Akan tetapi dalam hal itu
haruslah dipakai jalan tanzîh untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat
88 M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 128. 89 A Hanapi, Theologi Islam h. 95.
Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat
‘ilm dan qudrat Tuhan itu, sebab petanyaan ini masih memaksakan adanya
persamaan.90
Berbicara sifat-sifat Tuhan lagi, Maturidi juga sejalan dengan Mu’tazilah
bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar
zat-Nya. Padahal Asy’ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan memiliki
eksistensi sendiri di luar zat-Nya. Hanya saja ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa
Tuhan dapat dilihat oleh mata manusia penghuni surga di hari kiamat. Adapun
persoalan al-Qur’an, Maturidiyah menyifatinya sebagai baru, tetapi tidak
menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menegaskan
kemakhlukan al-Qur’an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi
tidak menyatakannya qadîm. Sedangkan kalam dilihat Maturidiyah sebagai salah
satu sifat Tuhan yang melekat dengan zat-Nya. Terhadap ayat-ayat sifat yang
mutasyabbih, Maturidiyah memilih melakukan pentakwilan dengan membawanya
kepada arti yang muhkâm dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme. 91
Perbedaan lainnya juga nampak seputar perbuatan Tuhan di mana
Asy’ariyah menyatakannya tidak terkait dengan sebab karena Tuhan tidak dikenai
pertanggung jawaban. Sedangkan Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih
cenderung sejajar dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa dalam
tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan, karena mustahil Tuhan
Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng dan kesia-siaan. Tentang konsep
kasb, antara keduanya juga terdapat titik perbedaan yang signifikan. Asy’ariyah
90 Ibid., h.95 91 Pejiarah, Maturidiyah, artikel diakses pada 30 Mai dari
http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/
menetapkan kasb dalam kebersamaan antara perbuatan yang diciptakan Tuhan
dan ikhtiar hamba. Tetapi, hamba sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap kasb
tersebut karena Tuhan-lah yang menciptakannya. Implikasi logis pandangan ini
memang bersifat fatalis karena ikhtiar hamba menjadi tidak berarti karena iapun
dipengaruhi oleh Tuhan. Sedangkan Maturidiyah memberi pengakuan bahwa
hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu ia bebas
memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan
dalam perbuatan itulah kebersamaan dengan penciptaan Tuhan terjadi. 92
Mengenai perbuatan Tuhan ini, terdapat perbedaan pandangan pendapat
antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidi
Samarkand yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, berpendapat perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik
bagi manusia. Dengan demikian juga dengan pengiriman rasul dipandang
Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.93 Adapun mengenai
pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan
Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.
Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari
mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana
dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan
ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara
92 Ibid., 93 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 91.
tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.94
Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya,
Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil
meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.
Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapataliran
Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
94 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-133.
Bab IV
SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF
MUHAMMAD ABDUH
E. Sifat-sifat Tuhan
Terdapat pertentangan dalam teologi Islam dalam hal apakah Tuhan
mempunyai sifat ataukah tidak. Apakah sifat tersebut esensi Tuhan itu sendiri
ataukah mempunyai wujud tersendiri di luar zat-Nya? Sebagian aliran
mengatakan ada dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Dalam hal ini,
Muhammad Abduh telah menyinggung dan menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam
karyanya yang berjudul Risalah al-Tauhid. Mengenai masalah tersebut, Abduh
tidak tegas dalam mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, karena hal
itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuainya. 95
Dalam karyanya yang lain yaitu Hasyiah ’alâ Syarh al-Dawwânî li al-
’Aqaid’id al-’Adudiah, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan menurut pendapat
para filosof Islam, adalah esensi. Maksudnya, bahwa esensi Tuhan adalah sebagai
satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang timbul
akibat dari sifat. Akibat dari sifat mengetahui, ialah “memperoleh pengetahuan”
tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh pengetahuan” tersebut timbul
karena akibat dari esensi. Dengan kata lain, bahwa esensi dan sifat mengetahui
adalah satu, karena keduanya sama-sama “memperoleh pengetahuan.” Begitu pula
halnya dengan sifat berkuasa. Akibat dari sifat kekuasaan adalah “pelaksanaan
perbuatan”. Dan “pelaksanaan perbuatan” tersebut juga timbul karena sumber dari
95 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), cet-1, h. 71.
segala yang ada yaitu akibat dari esensi. Maka dari itu, esensi dan sifat berkuasa
adalah pula satu, karena keduanya sama-sama mengakibatkan “pelaksaana
perbuatan.” Dengan demikian, esensi ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan
tentang sesuatu adalah memperoleh pengetahuan, dan ditinjau dari segi kekuasaan
adalah terlaksananya perbuatan.96
Abduh lebih cenderung kepada pandangan para filosof. Karena dapat
disimpulkan dari kritik yang diberikan terhadap definisi al-’alim adalah sebagai
orang yang mempunyai sifat mengetahui, yang disebut pengetahuan, dan sifat
pengetahuan itu melekat pada esensinya. Dalam pendapatnya al-’alim adalah
orang yang bagi hakekatnya sesuatu telah menjadi nyata. Definisi ini sudah jelas
menolak adanya sifat yang disebut pengetahuan.
Abduh juga mengkritik pendapat yang menyebutkan bahwa sifat Tuhan
adalah lain atau berbeda dari Tuhan. Dengan argumennya, mereka menjelaskan
bahwa Tuhan untuk menjadi sempurna, berhajat pada sesuatu di luar esensi-Nya,
yaitu sifat-Nya. Itu berarti bahwa ada yang membuat Tuhan untuk menjadi
sempurna, dengan begitu terdapat hal-hal yang lebih tinggi dari Tuhan, dan hal
tersebut tidak dapat diterima oleh akal. Bahwa sifat adalah satu dan sama dengan
esensi, untuk menjadi sempurna, Tuhan tidak perlu berhajat kepada sesuatu di
luar-Nya. Dengan demikian, Muhammad Abduh di sini jelas memihak pada
golongan yang meniadakan sifat, karena itu merupakan sesuatu yang lebih masuk
akal. 97
96 Ibid., h. 72. Lihat Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid
al-Adûdiah, ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsafi wa Al-Kalamiyin (Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958), h. 280-282.
97 Ibid., h. 72.
Di sini dapat dijumpai lagi paham peniadaan sifat. Abduh berpendapat
bahwa pengikut-pengikut Asy’ari salah tangkap apa yang dimaksud imam
mereka. Dengan argumen Asy’ari yang menyatakan bahwa tidak dapat dikatakan
sifat yang disifati adalah lain dari pasangan maing-masing. Dengan perumpamaan
bahwa “tidak ada di rumah selain Zaid”, maka sifat dan bagian dari Zaid adalah
bukan dari Zaid, dengan begitu sifat dan bagian dari Zaid tidak ada di rumah,
tetapi sifat dan bagian dari Zaid itu ada di sana, karena Zaid tidak dapat berwujud
tanpa adanya sifat dan bagiannya itu. Menurut pendapat Abduh perumpamaan
“tidak ada di rumah selain Zaid”, menurutnya adalah lemah karena setiap orang
kecuali Zaid dengan sifat dan bagiannya itu tetap ada di rumah. Oleh kerena itu,
Abduh tidak setuju dengan pendapat Asy’ari bahwa sifat adalah bukan Tuhan
tetapi bukan pula lain dari Tuhan. Dan Abduh mempertanyakan pendapat Asy’ari
dan pengikutnya apabila seseorang menyembah sifat-sifat di luar Tuhan?
Bukankah itu menjadi syirik (politheisme)? 98
Dalam tulisannya, Abduh tidak pernah memberikan definisi tentang “lain”,
dan ia meragukan bahwa konsep tersebut di atas datangnya dari Asy’ari sendiri,
karena menurut al-Syahratani yang merupakan salah satu pendiri aliran Asy’ari
berpendapat sebaliknya. Dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal. Menurutnya “…
Tidak dapat disebut sifat adalah Tuhan (hiya huwa), pula bukan lain dari Tuhan
(hiya ghairuhu), pula bukan Tuhan (la huwa) dan pula bukan lain dari Tuhan (la
ghairuhu). Jelas kata Muhammad Abduh, bahwa kata yang dari padanya
dikeluarkan pengertian “lain” (ghairuhu), adalah bukan “lain” (la ghairuhu), itu
sendiri dan kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “Ia adalah Tuhan”
98 Ibid., h. 73.
(hiya huwa), adalah “bukan Tuhan” (la huwa) sendiri. Ungkapan itu membawa
kepada peniadaan yang bersifat majemuk. Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa
dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan”, dan
bukan pula “lain dari Tuhan”. Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada
artinya kecuali diberi interpretasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah
keadaan mental, dan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud…”99 Menurut
Abduh, Asy’ari dalam menerima konsep peniadaan Tuhan berbeda dengan
pengikut-pengikutnya karena para pengikut-pengikutnya tidak menerima konsep
tersebut, sedangkan bagi Mu’tazilah, hanya sebagai keadaan mental dalam hal
memandang sifat.
Dari pemaparan di atas, sudah jelas terlihat bahwa Abduh lebih cenderung
kepada pendapat konsep peniadaan sifat Tuhan, meskipun dalam Risalah ia
berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan namun tidak membahas pakah sifat itu esensi
atu lain dari esensi. Dan tidak ada pertentangan antara tulisannya tentang sifat
dalam Risalah dengan tulisannya yang lain dalam hasyiyah. Dengan begitu,
karena Abduh tidak berpegang kepada paham mutlaknya kehendak dan kekuasaan
Tuhan, maka bisa saja Abduh memasukan teori peniadaan sifat Tuhan dalam
teologinya. 100
Dalam pandangan Muhammad Abduh, berfikir tentang zat Tuhan sama
artinya dengan mencari hakikat zat yang menjadikan dari satu sudut pandang. Hal
ini terlarang bagi manusia sebab terjadi sebuah ketidak-seimbangan dua wujud
yang berbeda antara wujud khalik dan wujud akal manusia. Sedang dari sudut
pandang lain hal ini merupakan sebuah kesia-siaan sebab manusia akan gagal
99 Ibid., h. 74. 100 Ibid., h. 74.
mengenali zat Tuhan sekalipun dengan mengerahkan kemampuan akalnya.
Dengan demikian, pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum
akal wajib dalam pengenalan terhadap Tuhan bukan merupakan upaya untuk
menelusuri hakikat zat Tuhan namun terbatas dengan mengamati ciptaan dan
melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini ia
juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar dari kaidah
berfikir yang benar.101
Menurut Abduh, Yang wajib “ada” itu hanyalah Tuhan, yang menjadi
sumber bagi segala yang mungkin ada, seperti yang telah diterangkan dengan jelas
beserta bukti yang meyakinkan. Dengan demikian, Dia merupakan wujud yang
paling kuat dan yang paling tinggi. Dia diiringi dengan sifat-sifat (atribut-atribut)
wujudiah yang sesuai dengan kedudukan dan martabat-Nya yang tinggi itu.
Segala apa yang dapat dibayangkan oleh akal tentang wujud yang sempurna yang
dapat dicakup oleh makna tetap, kekal dan nyata, serta sifat yang mungkin dapat
dilekatkan kepada wujud yang sempurna itu wajiblah hal itu disifatkan kepada
diri-Nya. Dan karena Dia merupakan sumber dari kesempurnaan wujud-Nya
seperti yang telah disebutkan, maka wijiblah sifat-sifat wujudiah yang diperlukan
oleh martabat yang mulia ini, sifat-sifat yang melekat pada zat-Nya.102
Para ahli kalam membagi yang Maklum (yang dapat dicapai oleh akal)
kepada tiga bagian yaitu mustahil, mungkin dan wajib bagi zat-Nya. Adapun yang
“mustahil” bagi zat-Nya ialah sesuatu zat yang tidak mungkin ada. Apabila
sekiranya berwujud, maka tentulah menjadi tidak lazim bentuk mahiyahnya
101 Susiyanto, Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh,
artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/
102 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H). h. 40.
(kenyataan sesuatu benda). Oleh karena itu, sesuatu yang mustahil memang tidak
bisa diwujudkan dan memang tidak akan ada dengan pasti.103
Yang “mungkin” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya
kecuali dengan suatu sebab, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya,
karena ia juga bisa terwujud karena adanya sebab. Dengan demikian tidak ada
satu pun di antara kedua perkara tersebut (ada dan tiada) yang dimiliki oleh
sesuatu itu sekaligus. Sedangkan yang “wajib” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang
zatnya memang sudah semestinya ada.104
F. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada
Sifat-sifat Tuhan yang wajib ada adalah sifat yang memang sudah
semestinya ada. Sebagaimana sifat atau zat Tuhan yang wajib ada itu tidak
tersusun (tarkib) dari beberapa bagian, dan juga tidak bisa dibagi-bagi, karena
apabila dapat dibagi-bagi, maka tentulah Dia berbeda dari wujudNya semula dan
akan menjadi berbagai macam wujud atau wujud-Nya menjadi banyak. Maka
apabila demikian halnya , tentulah Dia bisa menerima tiada dan bisa dibagi-bagi,
karena keduanya adalah mustahil bagi-Nya.105
Adapun sifat-sifat Tuhan yang wajib ada menurut Muhammad Abduh,
sebagian di antaranya adalah:
1. Hayah
Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah, sifat hidup (al-
Hayah). Sifat itu diiringi oleh sifat-sifat lain seperti sifat ‘Ilm (Maha Mengetahui)
dan Iradah (Maha Berkehendak). Demikian itu, disebabkan karena hayat adalah
103 Ibid., h. 33. 104 Ibid., h. 34. 105 Ibid., h. 39.
jelas sifat kesempurnaan bagi wujud-Nya. Oleh karena itu, sifat hidup dan sifat
yang mengiringinya adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi
kebijaksanaan. Al-Hayat dalam segala martabatnya, menjadi pangkal bagi segala
macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Nyatalah, bahwa Dia mempunyai
wujud yang sempurna dan bersifat dengan Dia zat yang wajib ada. Begitu juga
segala yang mempunyai wujud yang sempurna yang mungkin menjadi sifat-Nya,
wajiblah sifat itu tetap bagi-Nya.106
Untuk itu yang wajib ada itu pastilah Dia hidup, sekalipun hidupnya
berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka sesungguhnya
sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan
sumber dari ‘ilm dan iradat. Maksudnya adalah apabila Tuhan tidak hidup, maka
tidak ada ‘ilm dan iradat, untuk itu hayah merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat
dan juga merupakan wujud kesempurnaan-Nya. Zat yang wajib ada itulah yang
memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu
dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki hidup yang akan diberikan-Nya.
Oleh karena itu Ia wajib hidup sebagaimana Dia adalah sumber dari yang hidup.
2. ‘Ilm
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib ada, adalah sifat ‘Ilm (Maha
Mengetahui). Bahwa sifat ‘ilm menjadi kesempurnaan bagi segala yang wajib
wujud itu ialah zat yang mempunyai ilmu. Oleh karena itu sifat mengetahui wajib
ada, karena dengan adanya sifat ‘ilm, Ia menjadi sempurna dengan mengetahui
segala hal pengetahun yang diketahui maupun yang belum diketahui oleh
106 Ibid., h. 41.
makhluk ciptaan-Nya. Dan segala kenyataan bahwa hanya Dia yang paling
mengetahui segala apa yang ada maupun yang tidak ada sekalipun.107
Dengan begitu yang wajib ada pastilah Dia mengetahui, sekalipun
pengetahuan-Nya berlainan dengan segala yang mungkin mengetahui. Maka
sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia
merupakan sumber dari sifat-sifat yang lain. Zat yang wajib ada itulah yang
memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu
dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang akan diberikan-
Nya. Oleh karena itu Ia wajib mengetahui sebagaimana Dia adalah sumber dari
pengetahuan.
3. Iradah
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib wujud, adalah Iradah. Dia
adalah sifat yang dapat menentukan untuk penciptaan alam ini dengan salah satu
jalan-Nya yang mungkin. Setelah tetap bahwa zat yang memberikan wujud
kepada segala yang mungkin ada, wajib adanya, dan bahwa Dia adalah
mengetahui, dan bahwa segala yang mungkin tidak dapat tidak mesti sesuai
dengan ilmu-Nya, tetap pulalah dengan pasti, bahwa Tuhan mempunyai kehendak
untuk melakukan sesuatu, sebab Dia membuat segala sesuatu keinginan-Nya
sesuai dengan ilmu-Nya..108
Kemudian perlu dijelaskan, bahwa segala yang maujud harus menurut
ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang yang
tertentu pula, jalan ini sudah ditentukan bagi yang maujud itu dan bukanlah jalan-
107 Ibid., h. 42. 108 Ibid., h. 45.
jalan yang lain. Ketentuaan yang demikian itu harus sesuai dengan ilmu, dan tidak
ada makna lain bagi Iradah kecuali ini.
Apa yang dikenal orang selama ini tentang arti iradah ialah bahwa orang
yang berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau mengurungkannya
dengan semaunya. Pengertian seperti itu adalah mustahil bagi zat yang wajib
wujud. Karena makna seperti itu merupakan keinginan-keinginan manusia biasa,
dan merupakan pencapaian yang dapat merusak, karena makna yang demikian
adalah kelanjutan dari kelemahan ilmu pengetahuan. Dalam arti, keinginan-
keinginan manusia terbatas pada kemampuannya, dengan demikian setiap
keinginannya tidak selalu tercapai. Dan juga kehendak manusia itu akan berubah-
ubah menurut perubahan hukum, dan meragukan manusia yang mempunyai
keinginan itu sendiri, untuk membuat keputusan dalam situasi, melakukan atau
tidak
4. Qudrah
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib itu adalah qudrah. Dia
merupakan suatu sifat yang dengannya zat yang wajib itu mengadakan dan
meniadakan apa yang dikehendaki-Nya. Bahwa telah jelas, zat yang wajib ada
itulah yang menciptakan alam semesta menurut iradah dan ‘ilm-Nya, maka tidak
dapat diragukan lagi, bahwa Dia berkuasa dengan pasti. Karena perbuatan zat
yang mengetahui lagi mempunyai kehendak dalam apa-apa yang diketahui dan
dikehendaki-Nya.tentu hanya bisa terjadi dengan adanya kekuasaan bagi-Nya
untuk berbuat. Dan tidak lain makna qudrah kecuali kekuasaan yang penuh dan
mutlak itu.109
109 Ibid., h. 45.
Dengan demikian yang wajib bagi-Nya harus mempunyai kekuasan
mutlak atas segala sesuatu yaitu qudrah. Dengan qudrah itu, maka Tuhan berhak
berkuasa di atas ciptaan-Nya yakni alam ini. Namun, Dia berkuasa bukan seperti
orang yang berkuasa atas apa yang dikuasainya, melainkan Dia berkuasa atas
ciptaan-Nya dengan iradah dan ‘ilm-Nya. Dan meskipun Tuhan mampu berkuasa
sekehendak diri-Nya terhadap makhluk-Nya, namun Dia akan melakukan-Nya
dengan adil dan bijaksana. Karena itu, Tuhan menginginkan makhluk-Nya agar
berjalan di muka bumi ini dengan baik dan tidak melanggar aturan-aturan yang
sudah ditetapkan-Nya.
Meskipun Tuhan sudah menetapkan aturan-aturan-Nya dalam al-Qur’an
bagi manusia untuk berbuat baik, namun masih banyak manusia yang melanggar
aturan tersebut, dikarenakan manusia diberikan akal dan nafsu untuk berpikir dan
dapat memilih mana yang baik dan tidak baik baginya.
5. Ikhtiar
Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini (‘Ilm, Iradah, dan Qudrah) bagi zat yang
wajib wujud, melazimkan pula tetapnya sifat ikhtiar bagi-Nya dengan pasti.
Karena tidak ada arti bagi ikhtiar itu kecuali mengakibatkan perbuatan dengan
kekuasaan-Nya menurut ketentuan ilmu dan hukum kehendak-Nya. Adapun yang
dimaksud dengan ilmu Tuhan adalah contohnya bahwa Dia mengetahui segala
sesuatu yang diketahui dan bahkan tidak diketahui siapapun, sedangkan contoh
hukum Tuhan yaitu akibat yang akan timbul apabila sesuatu ketentuannya
dilanggar, seperti manusia akan dimasukan ke dalam neraka apabila bersalah.
Dengan demikian, maka Tuhan berbuat dengan kemauan yang bebas, dan tidak
satu pun di antara perbuatan-Nya dengan segala aktifitas-Nya menciptakan
makhluk-makhluk-Nya, yang ada karena sesuatu sebab yang datang. Atau karena
adanya sesuatu tekanan, tanpa kehendak-Nya sendiri. Tidak satu pun di antara
kepentingan-kepentingan alam yang dapat memaksa-Nya untuk mengawasi
semuanya. Hingga sekiranya Tuhan tidak berbuat demikian.110 Apabila Dia dapat
dipaksa untuk mengawasi, maka Dia akan menjadi sasaran kritik karena cacat dan
cela, padahal Dia bersih dari hal itu. Maha suci Allah dari keadaan yang demikian
itu.
Dengan kebebasan menentukan, Tuhan pun tidak semena-mena
menentukan sesuatu dengan tidak adil, karena janji Tuhan terhadap makhluk-Nya
yang berbuat baik akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya makhluk-Nya
yang berbuat jahat akan dimasukkan ke dalam neraka. Meskipun Tuhan mampu
melakukan sebaliknya dengan kekuasaan-Nya yaitu memasukan orang yang
berbuat baik ke dalam neraka dan memasukan orang jahat ke dalam surga. Namun
sekiranya Dia tidak berbuat demikian.
6. Wahdah
Di antara sifat yang wajib juga bagi-Nya yaitu sifat Esa. Esa dalam zat,
dalam sifat, dalam wujud dan dalam perbuatan. Adapun Esa dalam zat, maka telah
diterangkan dalam keterangan yang tedahulu, bahwa zat itu tidak menerima tarkib
(tidak tersusun dari berbagai unsur), baik dari luar maupun dari dalam akal.
Tentang wahdah dalam sifat-Nya ialah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya
dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya di antara yang maujud ini. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sifat itu harus mengikuti bagi martabat
sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada sesuatu pun di antara yang maujud ini yang
110 Ibid., h. 46.
dapat menyamai yang wajib wujud dalam martabat wujudnya. Maka karena itu
juga, hal itu berlaku pada sifat-sifat yang menyertai-Nya.111 Dengan kata lain,
tidak ada yang menyamai sifat-sifat Tuhan yakni esensi Tuhan itu sendiri.
Adapun mengenai Esa dalam wujud dan perbuatan, maksudnya ialah zat-
Nya sendiri yang wajib wujud, dan Tuhan sendirilah yang mengadakan segala apa
yang mungkin ada. Memang benar demikian, karena sekiranya zat yang wajib
wujud itu terdiri dari beberapa wujud (zat) yang banyak, maka pastilah masing-
masing mempunyai wujud (substansi) yang berbeda dengan substansi yang lain.
Ketika Muhammad Abduh menafsirkan ayat pertama dari surat al-Ikhlâs
yaitu, qulhuwallâhu ahad, ia menjelaskan bahwa dengan kata ahad dimaksud
bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak banyak dalam zat-Nya. Dia tidak tersusun
(composite) dari jauhar 112(subtansi) yang beraneka ragam. Dengan demikian
menurut Abduh, Tuhan bukanlah materi dan juga bukan semacam asal yang
berbilang yang immateri, sebagaimana hal itu disangkakan oleh sebagian pemuka
agama Kristen, bahwa Tuhan merupakan tiga unsur asal yang menjadi satu, baik
hal itu masuk akal maupun tidak. Yang benar, menurut Abduh, Tuhan benar-benar
bebas dari hal yang serupa itu, dengan alasan para filosof sendiri telah sepakat
bahwa “yang mengadakan alam” (mujîd al-‘âlam), yakni Allah, adalah wajib al-
wujûd (yang mesti ada). Sesuatu yang mesti ada menurut akal sehat, haruslah Esa
dalam Esensi (wahdat al-dzât), karena setiap yang terbilang dalam esensinya
111 Ibid., h. 47. 112 Dalam pengertian umum, term jauhar berarti segala sesuatu yang mewujud (exsist)
dalam realitas. Lihat Muhammad Saeed Sheikh, a Dictionary of Muslim Philosophy (Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976), h. 40.
mesti membutuhkan pada bagian-bagian. Dengan demikian, menurut Abduh,
setiap yang membutuhkan pada bagian-bagian bukanlah wajîb al-wujûd.113
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif, seperti Tuhan tidak
hidup, tidak mempunyai pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan
sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak hidup, tidak
memiliki pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan sebagainya. Tuhan
bagi mereka tetap hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Dengan
demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Huzail (salah
seorang tokoh Mu’tazilah), bahwa sifat Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu zat
atau esensi Tuhan. 114
Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat
Tuhan dalam pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, di antaranya an-Nazhzham dan
Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran,
penglihatan, dan sifat-sifat lainnya. Tuhan dalam pandangannya senantiasa tahu,
hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadîm dengan diri-Nya sendiri, bukan
dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan
keqadîm-an.115 Menurut Abu Hudzail bahwa esensi pengetahuan Tuhan adalah
Tuhan itu sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan,
113 Muhammad Abduh, Al-Quran al-Karim Tafsir Juz’ ‘Ammâ (Al-Azhar: Muhammad
Subaih, 1986), h. 174. 114 Al-Asy’ari, al-Ibanah an-Ushul ad-Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi
Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 200. 115 Ibid., h. 200-201.
kebijaksanaan dan sifat-sifat Tuhan yang lainnya. Ia berkata, “Kalau aku nyatakan
Tuhan bersifat tahu, artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat
pengetahuan, dan pengetahun itu adalah zat-Nya itu sendiri.” Dengan begitu, aku
tegas-tegas menolak bahwa Tuhan itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau
akan terjadi.116
Sedangkan menurut aliran Asy’ari yang pendapatnya belawanan dengan
Mu’tazilah, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatan-Nya. Asy’ari juga mengatakan bahwa Tuhan itu hidup,
mengetahui, berhendak, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Tuhan
memang memiliki sifat dan bahwa sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki,
tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya
Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu unik, karenanya tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan Tuhan
sendiri, tetapi sejauh menyangkut hakikatnya tidak terpisah dari esensi-Nya,
dalam arti sifat adalah esensi.117
Sementara itu, al-Baghdadi melihat adanya konsensus dikalangan kaum
Asy’ariyah bahwa Tuhan itu hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak,
berkuasa, dan sebagainya, maka semua itu adalah kekal. Sifat-sifat tersebut
menurut al-Ghazâlî tidaklah sama dengan esensi Tuhan, melainkan lain dari
esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga
membawa kepada faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum
116 Ibid., h. 198-199. 117 C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor,
1991), h. 67.
Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak
pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat Tuhan itu tidak lain dari Tuhan, maka
adanya sifat-sifat Tuhan itu tidak membawa kepada faham banyak kekal.118
Kaum al-Maturidiyah berpendapat tentang masalah sifat-sifat Tuhan,
namun dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Maturidi dan Asy’ari, seperti
dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti hidup, memiliki
pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya. Walaupun begitu,
pengertian Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari
mengartikan bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan
pula lain dari esensi-Nya, sedangkan menurut Maturidi, sifat Tuhan sebagai
sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sifat-sifat Tuhan
itu mulzamah (ada bersama) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Tuhan tidak
harus membawa kepada penggertian anthropomorphisme, karena sifat tidak
berwujud dan tersendiri dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa
pada berbilangnya yang kekal.119
Dan tampaknya faham Maturidi tentang sifat Tuhan cenderung mendekati
faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Sementara itu, Maturidi Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan
banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat
Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan
118 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Prees, 2002), cet. I, h. 136. 119 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 135.
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga mengatakan bahwa Tuhan bersama-
sama sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.120
G. Perbutan-perbuatan Tuhan
Muhammad Abduh dalam berbicara tentang perbuatan Tuhan, bahwa
perbuatan Tuhan adalah apakah perbuatan Tuhan mengandung arah dan tujuan?
Ataukah perbuatan Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan
khusus? Permasalahan ini berhubungan langsung dengan persoalan hikmah
Tuhan, karena salah satu definisi dan pengertian hikmah adalah pelaku tertentu
mustahil melakukan suatu perbuatan sia-sia dan tidak bermanfaat serta segala
perbuatannya mengandung tujuan-tujuan rasional dan masuk akal. Dengan begitu,
menolak keberadaan suatu arah dan tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan
adalah sama dengan menolak hikmah Tuhan. Namun menurut Abduh bahwa
setiap perbuatan-perbuatan Tuhan tidak terlepas dari hikmah-Nya.121
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Abduh berkeyakinan
bahwa segala perbuatan Tuhan memiliki dan mengandung tujuan khusus.
Dengan memperhatikan dan mencermati perbuatan-perbuatan kita yang
bersifat ikhtiari dan mengandung tujuan, maka dapat kita memahami bahwa
sebelum kita melakukan perbuatan-perbuatan itu pertama-tama kita menentukan
suatu tujuan di mana dengan mencapai dan meraih tujuan tersebut kita dapat
memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi, keberadaan penggambaran dan penetapan
120 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.
177.
121Isyraq, Perspektif Umum Perbuatan Tuhan, artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/, dan lihat juga Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 56.
suatu tujuan perbuatan tersebut dalam pikiran kita niscaya sebelum melakukan
perbuatan itu, tujuan perbuatan inilah yang kemudian mendorong dan memotivasi
kita untuk segera mengimplementasikan perbuatan tersebut, dengan suatu harapan
bahwa apabila kita melaksanakan perbuatan yang demikian itu kita akan
mendapatkan suatu manfaat dan faedah. Oleh karena itu, minimal dalam
perbuatan-perbuatan kita terdapat dua sifat dan karakteristik: pertama, tujuan
perbuatan di mana bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan pelaku dan
untuk mendapatkan segala kesempurnaan atau kemashlahatan tertentu; Dan
kedua, penggambaran dan penetapan tujuan perbuatan mestilah sebelum
melakukan perbuatan di mana nantinya akan berpengaruh pada seorang pelaku
dan menggerakkannya untuk segera melaksanakan perbuatan itu demi mencapai
tujuan yang dikandungnya.122 Para filosof menamakan penjelasan di atas dengan
“penggambaran tujuan perbuatan sebelum pelaksanaannya” itu sebagai “sebab
tujuan”.
Perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap Manusia
Segala perbuatan Tuhan berawal dari ‘Ilm dan Iradah-Nya. Setiap sesuatu
yang berawal dari ‘Ilm dan Iradah berpangkal pula kepada Ikhtiar, tidak satu pun
yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu, tidak ada
satu pun di antara perbuatan-perbuatan-Nya yang wajib dilakukan oleh zat-Nya.
Maka segala perbuatan Tuhan seperti mencipta, memberi rizki, menyuruh dan
mencegah, mengazab dan memberi nikmat, itu semua merupakan suatu yang tetap
bagi Tuhan dengan kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dipikirkan oleh akal,
apabila dengan ilmu dan kehendak-Nya, Tuhan berbuat dengan perbuatan-
122 Ibid.,
perbuatan-Nya wajib dilakukan oleh zat-Nya, seperti halnya susuatu barang yang
terpaksa karena keperluannya. Atau menggambarkan bahwa Tuhan itu wajib
bersifat dengan sifat sesuatu yang menyerupai-Nya. Demikian itu jelas suatu hal
yang paradox, yang mustahil terjadi seperti diisyaratkan di atas.123
Semua telah sepakat atas keterangan yang mengatakan bahwa perbuatan-
perbuatan Tuhan tidak lepas dari hikmah-Nya. Baik pihak yang bersalah (orang
yang berlebihan menganggap bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada
manusia) maupun pihak yang benar, yang terang-terangan mengatakan bahwa
Tuhan bersih dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta
dalam perkataan-perkataan-Nya.
Hikmah tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang ditimbulkannya,
yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak kerusakan baik khusus maupun
umum, yang andai kata dibukakan kepada akal dari segi apa saja Dia berpikir dan
memberikan hokum karena Dia mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak
sia-sia dan tidak main-main. Hikmah inilah yang dikenal sekarang dengan sebutan
meletakan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang memberikan
kepada tiap-tiap yang berkehendak terhadap yang dikehendaki-Nya. Adakala
ilmu-Nya itu disertai dengan kemauan berbuat atau tidak. Dan tidak akan terjadi
karena tidak ada artinya ilmu itu tanpa kemauan, atau bisa dikatakan Tuhan itu
lalai sekiranya perbuatan-perbuatan-Nya itu dilakukan tanpa kemauan. Padahal
sudah jelas bahwa ilmu Tuhan meliputi segala sesuatu, dan mustahil akibat
perbuatan-Nya itu lepas dari kemauan-Nya. Untuk itu Tuhanlah yang
menghendaki hikmah yang lahir dari perbuatan-Nya.124
123 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 55. 124 Ibid., h. 57.
Maka ketentuan wajibnya hikmah dalam segala perbuatan Tuhan,
mengikuti pula akan wajib sempurnanya ‘ilm dan iradah-Nya. Begitu juga Tuhan
wajib membuktikan bahwa pahala dan ancaman yang telah dijanjikan akan
terlaksana nantinya, dan itu merupakan kesempurnaan ‘ilm dan iradah-Nya dan
Tuhan adalah Yang Maha Benar.
Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia
Uraian mengenai keadilan Tuhan secara implisit menggambarkan
keyakinan Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi
Tuhan. Faham adanya kewajiban bagi Tuhan adalah sejalan dengan pendapatnya
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kehendak Tuhan tidak bersifat absolut.
Teorinya tentang sunnah Allah, mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak
sebagai raja yang zalim, yang tidak tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur
segalanya sesuai dengan hukum-Nya yang tidak berubah-ubah.125
Karena hukum itu dibuat Tuhan tidak berubah-ubah, Tuhan menjadi
terikat pada-Nya. Perlu ditegaskan bahwa Tuhanlah, dan bukan manusia, yang
membuat diri-Nya untuk mengatur hukum itu. Dengan kata lain Tuhan
mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya,
sebagaimana seorang raja kostitusional berkewajiban mengatur segalanya sesuai
dengan undang-undang negaranya.
Di dalam pembicaraan mengenai keadilan Tuhan juga sudah disebut
pendapat Abduh bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia,
dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat
bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan
125 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV (Cairo: Dar al-Manar, 1365 H), h. 141.
manusia. Jika pendapatnya yang terakhir ini dikaitkan dengan pendapatnya
tentang adanya perbuatan Tuhan yang bersifat wajib sebagai terkandung dalam
teorinya tentang hukum alam, dapat diambil kesimpulan bahwa Abduh juga
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kedua
pendapat tersebut di atas memang berarti bahwa semua perbuatan Tuhan mestinya
sesuai dengan sunnah-Nya yang tidak beubah-ubah dan bahwa semua perbuatan-
Nya adalah untuk kepentingan manusia.
Kewajiban Berbuat Baik
Karena Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat
wajib, ia sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti kewajiban tidak
memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena bertentangan dengan
faham keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila Dia memberikan
beban yang tidak sanggup manusia jalani. Kewajiban mengirim rasul, karena
tanpa rasul manusia tidak akan memperoleh hidup yang baik dan terbaik di dunia
dan di akhirat kelak, karena dengan mengirim rasul yang akan menjadi teladan
bagi manusia, maka manusia akan menjadi lebih baik. Kewajiban menepati janji
dan ancaman, hal ini erat hubungannya dengan dasar keadilan Tuhan. Tuhan akan
bersikap tidak adil apabila tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada
orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat
jahat.126
126 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Pendapatnya ini dapat dibaca dalam bukunya Hasyiah ’ala Syarh Al-
Dawwani li Al-’Aqaid’id Al-’Adudiah.127. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika
kaum Mu’tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan
manusia yaitu yang ada kaitannya dengan upah dan hukuman, maka pendapat
Mu’tazilah itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di
bawah hukum yang tak boleh Ia langgar.128
Dalam pendapat Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat
kesempurnaan-Nya, kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan
kemauan dan pilihan-Nya sendiri.129 Kewajiban itu konsekuensi logis dari
sunnah-Nya.
Berlainan dengan apa yang terdapat di atas, pengarang-pengarang menulis
bahwa Abduh tidak berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.
Adam mengutip tulisan Abduh dalam Risalah yang secara implisit menyebut
Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban. Honten menulis bahwa dengan
meniadakan kewajiban bagi Tuhan, Abduh menolak pendapat para teolog liberal
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia. Demikian pula pendapat Casper dan Cragg. 130
Memang dalam Risalah, Abduh menulis: “Tidak satu pun dari perbuatan-
perbuatan Tuhan Wajib muncul dari diri-Nya”. Tetapi perlu diperhatikan bahwa
yang ditolak Abduh dalam ungkapan ini ialah wajib atau mesti munculnya
perbuatan-perbuatan dari diri Tuhan karena esensi-Nya. Dengan kata lain yang ia
127 Rasyid Rida, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Cairo: al-Manar,
1931), h. 442. 128 Ibid., h. 549. 129 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV, h. 442. 130 Adam, Charles C. Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Perss,
1933), h. 148.
tolak ialah bahwa perbuatan-perbuatan-Nya adalah sesuatu kemestian bagi esensi
Tuhan, sebagaimana sifat dasar adalah suatu kemestian bagi esensi sesuatu benda.
Tetapi beberapa halaman sesudahnya, Abduh menyebut adanya kemestian dalam
bentuk lain, yaitu kemestian terjadinya apa yang diketahui dan dikehendaki Tuhan
semenjak azali. Sebagai dijelaskannya, janji dan ancaman Tuhan, sebagai
diketahui dan dikehendaki, mesti terjadi. Jadi, jika di satu pihak ia menolak
adanya kemestian yang timbul dari esensi Tuhan, di lain pihak ia mengaku adanya
kemestian yang timbul dari pengetahuan dan kehendak azali Tuhan. Pendapatnya
yang tercantum dalam Risalah ini dengan demikian tidak bertentangan dengan
pendapatnya tentang kewajiban Tuhan yang ia jelaskan dalam Hasyiyah dan
Tafsir al-Manar.131
Menurut para aliran kalam mengenai perbuatan Tuhan, seperti Mu’tazilah
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
baik saja. Tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu untuk melakukan hal-hal
yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui
keburukan dari perbuatan tersebut. Karena di dalam al-Qur’an pun sudah jelas
dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berlaku zalim.
Dan mengenai konsep keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham
adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong
kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban
tehadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal,
yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik
dan yang terbaik menkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham
131 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 86
kewajiban Tuhan di antaranya, kewajiban tidak memberikan beban di luar
kemampuan manusia, karena Tuhan akan bersikap tidak adil apabila memberikan
beban kepada manusia yang manusia itu tidak mampu mengatasinya Kewajiban
mengirimkan rasul, karena dengan mengirim rasul sebagai teladan, manusia akan
menjadi baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti. Dan kewajiban menepati
janji dan ancaman, Tuhan akan tidak adil apabila tidak memberikan pahala bagi
orang yang baik dan tidak memberi ancaman bagi orang yang berbuat jahat.
Menurut aliran Asy’ariyah, mengenai perbuatan Tuhan dengan paham
kewajiban Tuhan berbuat baik untuk manusia, sebagaimana dikatakan Mu’tazilah,
tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Ditegaskan al-Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat baik bagi manusia. Dengan demikian Asy’ari tidak
menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Aliran Asy’ari tidak menerima faham tidak
memberikan beban di luar kemampuan manusia. Dan dengan tegas mengatakan
dalam bukunya al-Luma’, bahwa Tuhan dapat memberikan beban yang tak dapat
dipikul oleh manusia. Mengenai pengiriman rasul, Asy’ari mengatakan bahwa
Tuhan tidak wajib akan hal itu, karena bertentangan dengan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Tuhan dalam paham Asy’ari tidak berbuat untuk
kepentingan manusia. Dan Tuhan pun tidak mempunyai kewajiban untuk
menepati janji dan memberikan ancaman.
Sedangkan menurut aliran Maturidiyah mengenai perbuatan Tuhan,
terdapat perbedaan antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara. Maturidi
Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal yang baik saja.
Dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi
manusia. Demikian pula pengiriman rasul dipandang Maturidi Samarkand sebagai
kewajiban Tuhan. `
Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari
mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana
dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah
kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan
ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara
tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.132
Maturidi Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan,
sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan
pemberian hukuman.
Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya,
Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil
meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.
Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran
Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
132 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-
133.
Adapun mengenai pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan
faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham
yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan
hanya bersifat mungkin.
C. Analisis ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh
Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan yang telah dipaparkan di atas, maka
penulis dapat menganalisis masalah tersebut di antaranya:
- Muhammad Abduh dan aliran-aliran kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah
dan Maturidiyah Samarkand maupun Maturidiyah Bukhara memiliki
persamaan, yaitu sama-sama membahas tentang sifat-sifat dan perbuatan-
perbuatan Tuhan.
- Sifat Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, memiliki
persamaan dengan aliran Mu’tazilah dan para filosof, yang menyatakan
bahwa menolak adanya sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa sifat Tuhan
adalah esensi Tuhan atau zat Tuhan. Dan menurut para filosof bahwa
esensi, sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan
sumber dari akibat yang timbul dari sifat adalah satu. Dengan demikian,
esensi dan sifat-sifat Tuhan adalah satu. Berbeda dengan Asy’ari dan
Maturidi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, menurut
Asy’ari bahwa sifat Tuhan adalah bukan Tuhan dan bukan pula lain dari
Tuhan. Meskipun Maturidi menyatakan bahwa sifat Tuhan melekat pada
esensi atau zat-Nya.
- Namun terdapat perbedaan dalam pembahasan sifat Tuhan antara
Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, yaitu meskipun Muhammad Abduh
menolak adanya sifat Tuhan, tetapi Muhammad Abduh tetap menulis dan
menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam karyanya yang berjudul Risâlah at-
Tauhîd.
- Mengenai kekekalan sifat Tuhan, Muhammad Abduh pun berpendapat
sama dengan Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidaklah kekal, namun apabila
dikatakan kekal, maka selain Tuhan ada juga yang kekal. Kekalnya sifat-
sifat Tuhan membawa pada faham banyak yang kekal. Ini selanjutnya
membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal yang tidak
dapat diterima dalam teologi. Lebih lanjut lagi, Wasil bin Atha
menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadîm
(kekal) bagi Tuhan, berarti ia telah menetapkan adanya dua Tuhan atau
lebih. Sedangkan Asy’ari dan Maturidi meskipun sama mengatakan bahwa
sifat Tuhan itu tidak kekal, namun berbeda argumen dalam pendapatnya.
Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan dan
bukan pula lain dari Tuhan, karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya
sifat-sifat itu tidak membawa kepada faham banyak Tuhan. Maturidi
berpendapat bahwa bahwa sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang
terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat-Nya, juga
dengan mengatakan bahwa ketika Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah
kekal, tetapi bila sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
- Mengenai perbuatan Tuhan menurut Muhammad Abduh pun tidak jauh
berbeda dengan apa yang menjadi faham Mu’tazilah dan Maturidi
Samarkand. Yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk
berbuat baik terhadap manusia, seperti tidak memberikan beban di luar
kemampuan manusia, kewajiban mengirimkan rasul, dan kewajiban
menepati janji dan ancaman. Dalam hal ini, berbeda dengan pendapat
Abduh, bahwa kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-Nya,
kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan
pilihan-Nya sendiri. Kewajiban itu konsekuensi logis dari paham sunnah-
Nya, sedangkan menurut Mu’tazilah yang mengartikan wajib di sini
sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia, maka pendapat Mu’tazilah
itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di
bawah hukum yang tak boleh Ia langgar. Berbeda dengan Asy’ari dan
Maturidi Bukhara, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban berbuat baik kepada manusia Menurut Asy’ari, sebagaimana
dikatakan al-Ghazâlî, bahwa perbuatan Tuhan tidak wajib (ja’iz) dan tidak
satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib. Menurut Maturidi
Bukhara bahwa Tuhan memeang tidak mempunyai kewajiban terhadap
manusia, namun hanya berisfat mungkin saja.
- Mengenai perbuatan Tuhan yakni hikmah, Muhammad Abduh,
Mu’tazilah, dan Maturidi Samarkand berpendapat sama, bahwa wajib bagi
Tuhan untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia. Oleh karena
itu, setiap perbuatan Tuhan terhadap manusia memiliki tujuan untuk
kebaikan manusia dan Tuhan tidak akan sia-sia melakukan sesuatu. Tujuan
dalam setiap perbuatan Tuhan bukan bermakna untuk mencapai
kesempurnaan zat Tuhan, karena zat Tuhan telah memiliki kesempurnaan
mutlak dan bahkan Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak itu sendiri
serta sama sekali tidak memiliki kekurangan di mana dengan mencapai
tujuan perbuatan-Nya itu zat-Nya menjadi sempurna, melainkan tujuan
perbuatan Tuhan berhubungan dengan semua makhluk-Nya dan
bermaksud untuk menyempurnakannya. Dengan demikian, maksud dari
kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah bahwa perbuatan-
perbuatan-Nya mengandung manfaat dan mashlahat untuk semua
makhluk-Nya, yakni tujuan setiap perbuatan Tuhan itu niscaya
berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri. Oleh karena itu,
tujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah terkait dengan makhluk-
makhluk-Nya dan bukan berhubungan dengan zat Tuhan, karena Tuhan
memiliki kesempurnaan mutlak. Tidak satu pun tujuan dan arah yang
dapat digambarkan dan dibayangkan bagi kesempurnaan zat-Nya.
Sedangkan Asy’ari dan Maturidi Bukhara yang menolak bahwa Tuhan
tidak wajib untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia, maka dengan
begitu aliran tersebut tidak menolak faham hikmah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan
pendapatnya mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan, dari uraian
tesebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
- Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan adalah
esensi atau zat Tuhan. Dengan begitu, Abduh menolak adanya sifat-sifat
Tuhan, untuk itu dia meniadakan sifat Tuhan. Karena Tuhan merupakan
satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang
timbul akibat dari sifat. Sebagai contoh Akibat dari sifat mengetahui, ialah
“memperoleh pengetahuan” tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh
pengetahuan” tersebut timbul karena akibat dari esensi. Dengan kata lain,
bahwa esensi dan sifat mengetahui adalah satu, karena keduanya sama-
sama “memperoleh pengetahuan.”
- Muhammad Abduh juga menyebutkan sifat-sifat yang wajib ada bagi
Tuhan seperti, Hayah, ‘Ilm, Iradah, Qudrah, Ikhtiar, dan wahdah, sifat-
sifat tersebut merupakan contoh bahwa semua sifat-sifat Tuhan adalah zat
atau esensi Tuhan. Bahwa esensi sebagai satu-satunya sumber dari segala
yang ada, merupakan sumber dari akibat yang timbul. Tuhan hidup dengan
sifat Hayah-Nya, maka Tuhan memiliki kehidupan, yang timbul sebagai
akibat yang timbul dari esensi. Dengan demikian, sifat hidup dan esensi
adalah satu, begitu pula dengan sifat-sifat yang lain. Tuhan mengetahui
dengan sifat ‘Ilm-Nya, maka Tuhan memperoleh pengetahuan yang timbul
sebagai akibat yang timbul dari esensi, yang adalah sumber dari segala
yang ada. Tuhan berkehendak dengan sifat Iradah-Nya, maka Tuhan
memperoleh kehendak/ kemauan yang timbul akibat yang ditimbulkan
esensi, yang merupakan sumber dari sumber yang ada. Tuhan berkuasa
dengan Qudrah-Nya, maka Tuhan memiliki kekuasaan yang timbul akibat
yang ditimbulkan esensi, yang merupakan sumber dari segala yang ada.
Tuhan bebas menentukan dengan Ikhtiar-Nya, maka Tuhan memiliki
kebebasan menentukan untuk melakukan segalanya yang timbul akibat
yang ditimbulkan dari esensi, yang adalah sumber dari segala yang ada.
Tuhan esa dengan sifat Wahdah-Nya, maka Tuhan memperoleh ke-esa-an
yang timbul akibat yang ditimbulkan dari esensi, yang merupakan sumber
dari segala yang ada.
- Pandangan Muhamad Abduh dan Mu’tazilah dalam memandang sifat-sifat
dan perbuatan-perbuatan Tuhan tidak jauh berbeda, atau bisa dikatakan
sepaham atau sejalan. Sedangkan Asy’ari dalam memandang sifat-sifat
dan perbuatan-perbuatan Tuhan berseberangan paham dengan Muhammad
Abduh. Dan Maturidi dalam memandang sifat-sifat dan perbuatan-
perbuatan Tuhan, sebagian bependapat sama dan sebagian berpendapat
berbeda dengan pandangan Muhammad Abduh dalam hal itu. Karena
Maturidi di bagi atas dua bagian yaitu Maturidi Samarkand dan Bukhara.
- Di dalam perbuatan-perbuatan Tuhan, Muhammad Abduh berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia,
yaitu dengan tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia,
mengirimkan rasul dan menepati janji dan ancaman.
- Mengenai hikmah dalam perbuatan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa
alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak
satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat atau sia-
sia bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk
kepentingan manusia.
- Sifat dan perbuatan Tuhan ternyata sangat berhubungan dengan makhluk-
Nya, khususnya manusia. Karena dengan mengetahui sifat atau zat Tuhan
itu, manusia menjadi tahu lebih jauh tentang Sang Penciptanya, meskipun
sifat pegetahuan manusia tentang Tuhannya terbatas, dengan begitu
manusia dapat lebih mensyukuri atas apa yang telah diberikan-Nya. Dan
dengan perbuatan Tuhan yang syarat akan hikmah, dengan begitu manusia
dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, karena manusia
diciptakan dengan diberi akal dan nafsu untuk memilih, maka manusia
pula yang akan bertanggung-jawab atas perbuatannya.
- Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan, Abduh lebih cenderung kepada
pemikiran Mu’tazilah, namun bukan berarti Abduh adalah seorang
Mu’tazilah. Karena Abduh hanya melandaskan pemikirannya berdasarkan
hukum akal sebagaimana yang digunakan dalam paham Asy’ariyah.
- Pada hakikatnya Muhammad Abduh dan semua aliran tersebut tidaklah
keluar atau pun melenceng dari Islam, namun tetap dalam Islam
Walaupun di antaranya berbeda pendapat dalam memberikan pandangan
tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan berbeda-beda.
B. Saran-saran
Penulis mengakui bahwa skripsi ini belumlah sempurna dalam
mengeksplorasi dan memetakan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang yang
sedang dikaji yakni teologi secara komprehensif, mengenai sifat dan perbuatan
Tuhan. Untuk itu, masih perlu membutuhkan beberapa penelitian lagi guna lebih
menyempurnakan dalam memetakan wilayah pemikiran Muhammad Abduh,
dengan melakukan analisa kritis-komparatif.
Dan masih banyak pula persoalan-persoalan teologi dalam pemikiran
Muhammad Abduh yang belum sempat terangkat dan terungkap di dalam tulisan
ini. Misalkan, metode apa yang dipakai oleh Muhammad Abduh dalam
menjelaskan mengenai sifat dan perbuatan Tuhan? Dan apakah pemikiran teologi
Muhammad Abduh mempengaruhi pemikirannya dalam bidang lain yang ia
kuasai, seperti fikh, tasawuf dan tafsir? Serta, mengapa di Indonesia Muhammad
Abduh lebih dikenal sebagai ahli fikh dan mufassir dibanding ahli teologi, padahal
dalam pemikiran teologinya, dia pun telah menulis dan mengkaji lebih mendalam,
dan seorang Harun Nasution pun tertarik pada teologi yang Abduh kaji, dengan
tulisan dalam disertasinya? Yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian tentang
pengaruh sifat dan perbuatan Tuhan serta relevansinya terhadap kehidupan masa
sekarang? Dan masih banyak lagi. Semua ini menjadi pekerjaan rumah buat kita,
yang mau tidak mau harus kita pikirkan guna memperluas cakrawala pemikiran
kita dalam bidang ini. Semoga skripsi ini sedikit banyaknya membantu dan
mempermudah kita semua dalam menjawabnya. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.
DAFTAR PUTAKA
Abduh, Muhammad. Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah, ed.
Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsâfi wa al-Kalâmîyîn. Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958.
_____. Mutiara Mahjul Balaghâh. Bandung: Mizan, 1995. Cet. IV _____. Risalah al-Tauhid. Cairo: Dar al-Manar, 1366 H.
_____. Risalah Tauhid. Terj. Cet ke-V . Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
_____. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Juz ’Ammâ. Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986.
Abdullah Kaloti, Sami. The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education. Marquette: University, 1974.
______. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t.
Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Perss, 1933.
Asy’ari, Abû al-Hasan. al-Ibanah an-Ushul ad- Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Amin, Ahmad. Muhammad Abduh. Cairo: Muassasah al-Khanji, 1960. ______. Dzuhr al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1969. Amin, Usman. Muhammad Abduh, Essai sur ses Idees Philosophiques et
Religieuses. Cairo, Imprimerie Misr SAE, 1944. Asmuni, M Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Ciputat: Logos, 1999.
Baehaqi, Imam, ed. Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994. Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern. Bandung Mizan, 2001.
Ensiklopedia Bebas. Konsep. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep
Ensiklopedia Bebas. Tuhan. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan
Hadi W.M, Abdul. Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.
Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: al-Husna Zikra, 1996.
Ilhamuddin. Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Isyraq. Perspektif Umum Perbuatan Tuhan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/
Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1997.
Kapu, Istiqamah. Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3
Kotasantri. Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-detail.php?id2=177.
Lubis, Arbiah. Pemikiran dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Madjid, Nurchalis, ed. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bintang, 1994.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Majid, Abdul. Abduh dan Ilmu Kalam. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://bp1.blogger.com/_ypRoTdOrLiY/RhP7awcJyoI/AAAAAAAAABE/zGs4RFC1KA8/s1600-h/abduh
Majid, Abduh, Al-Muhtasib. Abduh al-Salam. Ijtihad al-Tafsir fi al-Asr al-Rahim.
Oman-Ordon: Maktabah an-Nahdha al-Salamiyyah, 1982, cet. II. Ma’louf, Louis. Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm. Bairut: Dar el-Mashreq
Sari, 1984.
Musa’ad, Ishaq dan Kenneth Cragg. The Theology of Unity. London: G. Allen and Unwin Ltd., 1966.
Mastuki HS, ed. Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990.
Muslim. Asy’ariyah. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b54dfc
Muzani, Saiful, ed. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1998.
Nadawi Abul Hasan. Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam. Kuwait: Darul Kalam,1969.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan.
Jakarta: UI Press, 1983. _____. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press,
1987. _____. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
_____. Tasawuf. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm
_____. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Pejiarah. Maturidiyah. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indoneisa. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Qadir, C. A.,. Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.
Ridha, M Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Kairo:
Dar al-Manar, 1931. jilid. I-VIII.
_____. Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Cairo: al-Manar, 1931
Sheikh, M Saeed. a Dictionary of Muslim Philosophy. Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976.
Shihab, M Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994.
Susiyanto. Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/
Syahratani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm. Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.
Syauqi Nawawi, Rifat. Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002.
Tanahi, Tahir, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh. Cairo: Dar Al-Hilal,
t.t.
W, M. Maghfur. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam. Bangil: al-Izzah, 2002.
Wahab, Abdul Asyraf. Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur, Kairo: Maktabah Usrah, 2006.
Yunan, M Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990
Zahrah, Muhammad Abû. Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fikih. Jakarta: Lentera, 2005.
_____. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t