Upload
truongdan
View
220
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
CARUT MARUT PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN
(KALIMANTAN BARAT – SARAWAK)
Oleh :
RUSNAWIR HAMID
Nrp : P062024344
1. PENDAHULUAN
Terdapat empat propinsi di Indonesia yang memiliki perbatasan darat langsung dengan
negara lain, yaitu Kalimantan Barat dengan Sarawak – Malaysia, Kalimantan Timur
(Sarawak dan Sabah – Malaysia), Nusa Tenggara Timur (Timor Timur), dan Papua
dengan PNG.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan dan kenapa kawasan
perbatasan perlu mendapat perhatian dalam pembangunannya ? Dapatkah kawasan
perbatasan dianggap sama dengan kawasan lain yang bukan terletak di perbatasan ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang sebenarnya masih banyak lagi lainnya
senantiasa mengusik kita untuk mengkaji secara lebih cermat kenapa pembangunan
kawasan perbatasan menjadi penting.
Kawasan perbatasan sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini
sama saja dengan kawasan yang terletak di inland lainnya, yang mempunyai
karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah bawahnya, kecuali
kawasan ini mempunyai ciri-ciri :
A. Merupakan daerah dengan batas-batas administrasi atau teritorial negara yang tidak
jelas, sehingga menjadi kawasan ini tak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat
dilakukan kedua masyarakat negara tanpa mengindahkan batas-batas negara.
Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua negara telah menafikan batas-batas
negara.
B. Tempat berlangsungnya kegiatan ilegal (pencurian, penyelundupan, dsb).
C. Masyarakat negara yang tingkat kesejahteraannya lebih rendah cenderung lebih
menghargai masyarakat, negara, dan pimpinannya yang mempunyai tingkat
kesejahteraan lebih tinggi.
D. Orientasi pembangungan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya
lebih baik.
E. Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang
sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat perhatian, bahkan
ada ‘image’ wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-
hampir tidak menyisakan “kue” yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan
hidup mereka (khususnya perbatasan Kalbar).
F. Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua negara maupun oleh
kekuatan-kekuatan “sempalan” lainnya yang dikenal dengan istilah Gerakan
Pengacau Keamanan (GPK).
G. Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan nasional dan daerah, yang
berarti meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara. Kalau daerah
perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan mencerminkan kesemrawutan wajah
negara secara keseluruhan.
H. Merupakan kawasan bagi berlakunya hukum-hukum internasional, berkaitan
dengan keimigrasian, kepabeanan, karantina, dst.
Apa yang kemudian dapat dirumuskan dari penjelasan-penjelasan di atas adalah,
kawasan perbatasan memang bukan merupakan daerah yang terlalu istimewa untuk
diperhatikan, walaupun mungkin kemudian kita “terhenyak” oleh hilangnya pulau
Sepadan dan Ligitan, meski dengan alasan sebenarnya kita bukan kehilangan tetapi
gagal menambah kedua pulau tersebut menjadi bagian dari NKRI.
1
Jika dengan pengalaman hilangnya pulau Ligitan dan Sepadan dari peta nasional,
perhatian terhadap pembangunan kawasan perbatasan tetap seperti biasa-biasa saja,
maka pertanyaannya kemudian adalah apakah kita masih perlu daerah perbatasan, atau
memiliki daerah yang berbatasan dengan negara lain ?.
Nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa adalah dua hal yang mungkin dapat
menjadi landasan mendasar bagi perlunya diberikan perhatian lebih kepada kawasan
perbatasan. Sebab jika kedua rasa tersebut sudah memudar, maka konsep berbangsa
dan bernegara Indonesia mungkin perlu ditinjau kembali.
Menjawab pertanyaan di atas, maka setelah setengah abad merdeka, pemerintah pusat
(RI) baru mengeluarkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali
Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam, dan tiga tahun
kemudian (tahun 1997) disusul dengan penetapan Peraturan Pemerintah No. 47 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang antara lain menetapkan
kawasan-kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) diantaranya di Kalimantan
Barat dan salah satunya adalah kawasan perbatasan Kalbar.
Ironinya kedua aturan perundangan tersebut terkesan mandul. Keppres 44 misalnya
tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan, bahkan
tidak dalam bentuk konsep. Dengan kata lain, eksistensi tim atau badan ini tidak
berpengaruh apa-apa pada pembangunan kawasan perbatasan. Keberadaan Keppres ini
justru digunakan sebagai alat legitimasi kelompok-kelompok tertentu mengeksploitasi
sumber daya alam di daerah perbatasan.
Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997, hanya sebatas PP tidak ditindak lanjuti
dengan aturan-aturan yang lebih operasional. Semua terkesan melupakan kawasan
perbatasan, semua sibuk dengan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik dalam
negeri, sampai tibanya masa reformasi. Dan ironinya setelah lima tahun masa reformasi
pun perhatian terhadap kawasan perbatasan masih belum terasa, sampai munculnya
kebijaksanaan pemerintah Malaysia yang memulangkan “pendatang haram” dari
Indonesia, yang diantaranya melalui pintu-pintu perbatasan di Kalbar dan Kaltim.
Momen ini meskpun terlambat, kemudian menjadi titik balik mulai seriusnya perhatian
pemerintah pusat kepada pengelolaan kawasan perbatasan. Namun, upaya yang
terkesan terseok-seok ini pun masih menghadapi banyak hambatan internal. Hampir
2
semua instansi merasa mempunyai kewenangan dan tanggung jawab mengelola
kawasan perbatasan, demikian pula antar tingkat pemerintahan – yang masing-masing
dengan kepentingannya. Persoalan lain menyangkut ketiadaaan konsepsi
pengembangan yang tergantung pula pada sistem data base yang juga tidak tersedia.
Pengelolaan kawasan perbatasan kemudian meskipun memasuki era baru – tetapi
persoalan mulai dari konsepsi pengembangan, mekanisme, sampai dengan tanggung
jawab pengelolaan tetap belum jelas.
Carut marut pembangunan kawasan perbatasan semakin lengkap dengan berjalannya
sendiri-sendiri elemen-elemen pembangunan, mulai dari masyarakat, departemen
sektor, dan setiap tingkatan pemerintah – baik dalam hubungan dengan masyarakat dan
pemerintah Sarawak, maupun dengan pemerintah pusat yang diwakili departemen-
departemen teknis.
Makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak,
dengan pertimbangan pemahaman penulis tentang kawasan dimaksud, dan
kemungkinan menjadikannya sebagai salah satu bahan komparasi melihat
permasalahan kawasan perbatasan lainnya yang ada di Indonesia.
2. DESKIPSI SINGKAT KAWASAN PERBATASAN KALBAR – SARAWAK
Kawasan perbatasan Kalbar – Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850
kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau hampir seluas propinsi Nusa
Tenggara Barat, atau propinsi Sulawesi Utara. Secara administratif, kawasan ini meliputi
5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa, dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000
orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per kilometer persegi.
3
Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2000.
4
Terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan
32 kampung di Sarawak, sementara yang disepakati kedua negara 10 buah desa di Kalbar
dan 7 buah kampung di Sarawak - sedang yang ditetapkan sebagai pos lintas batas hanya
satu buah, yaitu Entekong (Kalbar) – Tebedu (Sarawak).
Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Sarawak, karena
akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik. Secara fisik kawasan
perbatasan Kalbar – Sarawak ini dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Secara topografis relatif bergelombang.
b. Merupakan hulu dari banyak sungai baik di Kalbar maupun Sarawak.
c. Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka erosi.
5
Kondisi di atas jika digabung dengan curah hujan yang tinggi menjadikan kawasan ini
rawan erosi, longsor, dst – dan sekaligus sebagai kawasan konservasi atau pendukung
deposit sumber air tanah kawasan bawahannya.
Kawasan perbatasan Kalbar memiliki sejarah perkembangan / pembangunan yang
kurang menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh
kegiatan pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat
ajang konflik antara Pemerintah Indonesia – Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya
orde lama, kawasan ini menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK
(Paraku/PGRS). Selanjutnya pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT.
Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola hutannya (melalui HPH – sejak tahun 1967).
Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan
(security approach). Berdasarkan perjalanan pembangunan selama ini, potret kawasan
perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Potensi sumber daya alam : hutan (virgin forest di areal Yamaker, semula sekitar
800.000 Ha – saat ini tinggal sekitar 80.000 Ha atau hanya 10% dan terletak
sporadis), Taman Nasional Bentung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau
Sentarum (TNDS) yang potensial untuk kegiatan wisata alam dan penelitian, tambang
(batu bara) belum dimanfaatkan, dll.
b. Terbelakang dan terisolir (indikator desa tertinggal dan aksesibilitas rendah).
c. Menjadi hinterland Sarawak.
Kondisi di atas lebih sebagai implikasi dari belum adanya konsepsi pembangunan yang
jelas (yang bersifat komprehensif dan integratif). Kalaupun ada biasanya berupa rencana
pembangunan parsial dengan pendekatan sangat sektoral (misalnya kehutanan :
Yamaker). Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi kawasan hutan (legal dan ilegal)
dengan sasaran pokok pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat
lokal (atau dari pada dicuri “tetangga”). Ini didukung lagi oleh perbedaan kesejahteraan
yang menyolok antara Kalbar – Sarawak (tahun 1987 pendapatan per kapita Sarawak
3.640 US$ sedang Kalbar 250 US$), pasar dan aksesibilitas yang tinggi ke Sarawak,
sampai dengan lemahnya pengawasan / pengamanan kawasan perbatasan. Padahal
sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung – dengan hulu-hulu
sungai yang sangat penting bagi daerah bawahnya (catchment areas).
6
Ketiadaan konsep, menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak
terencana dengan baik – dengan implikasi degradasi sumber daya alam dan kualitas
lingkungan, serta tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terjadinya
proses dehumanisasi (peminggiran masyarakat), dan dekulturisasi, serta secara makro
mengarah pada disintegrasi wilayah – (terutama secara ekonomi).
Tabel berikut menunjukkan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara Kalbar dan
Sarawak.
7
3. KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN
1. Tingkat Nasional
Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa
kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan
pembangunannya secara nasional.
Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang
Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh
Menhankam.
Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk
5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar.
Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang
untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998
dengan nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga
Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten
Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke).
Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang
menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986)
melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2
(tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). Selain itu
pemberian HPH kepada Jamaker (1967), dan diperpanjang tahun 1989 (SK
Menhut No. 1355/Menhut-VI/89).
Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat
harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep
pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya,
Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat
ini belum menghasilkan apa-apa.
Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai
penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah
perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No.
8
B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal
selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan kepada PT.
Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.
Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan,
awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik,
pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya
setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%,
sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam
salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada
kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan
pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk
pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.
Memasuki era globalisasi yang semakin deras melanda seluruh belahan dunia
termasuk Indonesia dengan isu sentral demokrasi dan keadilan, pendekatan
keamanan dalam arti militer semakin berkurang perannya diganti dengan
pendekatan prosperity. Demikian halnya dalam mengantisipasi pembangunan di
kawasan perbatasan.
Pengalaman-pengalaman di atas, juga menunjukkan bahwa pendekatan
pembangunan yang sangat sentralistis dan sektoral – ternyata tidak banyak
memberi manfaat bagi perkembangan suatu wilayah, dan kiranya harus segera
ditinggalkan. Pemberdayaan pemerintah daerah (apalagi dengan terbitnya UU
tentang pemda yang baru) dan masyarakat harus dikedepankan (pendekatan
kewilayahan).
Dalam konteks lebih luas benturan kepentingan dalam pengelolaan kawasan
perbatasan kiranya masih akan terus berlanjut seandainya tidak dipertegas dalam
suatu aturan main yang jelas tentang peran masing-masing lembaga dalam
mengelola kawasan dimaksud, misalnya antara Badan Pelaksana Kapet (yang
kebetulan wilayahnya juga mencakup kawasan perbatasan) – dengan Perhutani,
Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten) dan masyarakat setempat. Hal ini
didukung dengan terbitnya Peraturan Menteri Agraria / Ketua BPN No. 5 tahun
9
1999, tanggal 24 Juni 1999 – tentang pedoman penyelesaian masalah ulayat adat
masyarakat hukum adat.
2. Tingkat Daerah
Perda No. 1 tahun 1995 tentang RTRWP Dati I Kalbar : penetapan kawasan
perbatasan sebagai kawasan tertentu / strategis yang diprioritaskan
pengembangannya – diimbangi dengan penetapan fungsi kawasan sesuai potensi
/ karakteristik fisik wilayah.
Meskipun tidak atau belum ada rencana detail pemanfaatan ruang di kawasan
perbatasan – namun di dalam RTRWP yang sudah dipaduserasikan dengan
TGHK, kawasan perbatasan sudah ditata sedemikian rupa, sehingga ada
kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan hutan
produksi, dan kawasan non hutan – yang juga sudah diperuntukkan pemda bagi
kegiatan non kehutanan.
4. Rumusan Potensi dan Masalah
Potensi
Sumber daya alam tambang, wisata (TNBK dan TNDS), dan hutan (walau sudah
menipis / berkurang), ketersediaan lahan (sisi suplai).
Letak strategis, didukung eksistensi Jalan Lintas Kalimantan (sisi akses ke
pemasaran).
Kebijaksanaan pembangunan : kawasan strategis yang diprioritaskan
pengembangannya secara nasional dan rencana pemanfaatan ruang – hasil
paduserasi RTRWP – TGHK (sisi dukungan pemerintah).
Kearifan tradisional masyarakat adat yang masih belum digali tetapi dirasakan pada
struktur bawah.
Permasalahan
Ketiadaan konsep pengembangan (komprehensif dan integratif).
Kelembagaan dalam pengelolaan (tumpang tindih) :
10
- Departemen Hankam : keamanan dan stabilitas dalam dan luar negeri
menggunakan PT. Yamaker – tetapi dengan dicabutnya konsesi HPH PT.
Yamaker dan pengembangan pendekatan prosperity – kedudukan Dephankam
hanya sebagai penunjang (?).
- Departemen Kehutanan : sebagian besar kawasan hutan (eks Jamaker)
rencana mau diserahkan kepada Perum Perhutani (?).
- BP Kapet : merupakan bagian wilayah Kapet.
- Pemda propinsi telah mengalokasi beberapa kegiatan perkebunan pada kawasan
non hutan.
- Pemda kabupaten : semangat otonomi (UU Pemda).
- Forum Sosek Malindo (kerjasama sosial ekonomi Malaysia – Indonesia), yang
diantaranya mengatur secara bersama rencana pembangunan di kawasan
dimaksud.
Disintegrasi wilayah ekonomi :
- Kecenderungan orientasi kegiatan ekonomi ke Sarawak (termasuk menanam
komoditas perkebunan untuk kebutuhan industri Sarawak).
- Kecenderungan masyarakat perbatasan Kalbar mendapatkan fasilitas pelayanan
sosial (juga ekonomi) di Sarawak, karena lebih akses.
Secara keseluruhan kawasan perbatasan Kalbar menjadi hinterland wilayah
Sarawak.
Degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan :
- Pencurian kayu dan hasil hutan lainnya.
- Indikasi intrusi penambangan batu bara di Senaning (kabupaten Sintang) oleh
mitra perusahaan Malaysia dan Korea.
- Eksploitasi kawasan lindung (TN Gunung Niut dsk).
Dapat menjadi ancaman kawasan bawahannya (air baku, banjir,longsor, dll).
Keterbatasan fasilitas :
- Letak strategis tetapi kurang didukung fasilitas sosial ekonomi.
11
- Di Sarawak terdapat sistem jaringan jalan horizontal perbatasan – sedang di
Kalbar berupa jaringan jalan vertikal (Jagoi Babang, Entekong, dan Nanga
Badau).
Peran masyarakat yang terpinggirkan selama ini (proses dehumanisasi).
5. Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan
Wilayah perbatasan Kalbar – Sarawak memiliki potensi sumber daya alam dan letak
strategis yang sangat menguntungkan. Ketiadaan konsep dan lembaga pengelolaan
(yang tumpang tindih) menjadikan upaya pembangunan di daerah ini menjadi sangat
tidak efisien. Pendekatan sektoral yang sangat eksploitatif dan sangat kurang / miskin
mempertimbangkan kepentingan daerah – menyebabkan kawasan ini mengalami proses
degradasi (penurunan) kualitas dan kuantitas sumber daya alam serta lingkungan,
maupun sumber daya manusianya.
“Potret” kawasan perbatasan saat ini adalah, kesejahteraan penduduk rendah, kegiatan
ekonomi tradisional, dampak positip terhadap pembangunan daerah yang lebih luas
(misalnya dalam memberi kontribusi) dapat dikatakan tidak ada, sedang dilain sisi
kualitas dan kuantitas sumber daya alam, lingkungan, dan sumber daya manusia
mengalami penurunan.
Solusi dari permasalahan ini, adalah perlunya disusun segera rancangbangun
pembangunan kawasan perbatasan dengan pendekatan komprehensif, integratif, dan
partisipatif yang mengedepankan asas keadilan, demokrasi, dan kelestarian
berdasarkan rencana tata ruang yang disusun dengan pendekatan kombinasi regional
dan sektoral – yang disusun dari tingkat paling rendah (desa). Akumulasi dari
perencanaan yang disusun dari bawah akan menjadi rancangbangun yang diharapkan
akan menghasilkan dan menjadi rencana kerja (framework) yang jelas, mulai dari apa
yang akan dibangun, kapan dibangun, siapa yang melaksanakan, sampai dengan
sumber dananya. Berkaitan dengan pertanyaan siapa, maka beberapa hal berikut harus
diklarifikasi, yaitu :
- Siapa memiliki akses terhadap sumber daya alam dan jenis aturan apa yang berlaku.
- Siapa yang memegang hak-hak atas SDA – dan apa artinya bagi orang lain yang
mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya.
12
- Siapa yang berperan dalam pemanfaatan SDA tersebut.
- Siapa yang menjadi pengelola SDA.
- dst.
Selanjutnya keseluruhan proses pembangunan di atas mulai dari perencanaannya –
harus dikoordinasikan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah – siapa atau
lembaga apa yang paling pas bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan
di atas – apakah Pemerintah Pusat (Departemen Hankam ? Departemen Kehutanan ?
Bappenas ? Departemen Dalam Negeri ? dst), atau Pemerintah Daerah, atau swasta ?
BUMN – misalnya Perum Perhutani ? – atau ada alternatif lain ? Atau diperlukan
pembagian kewenangan yang jelas antara seluruh pelaku pembangunan tersebut. Tetapi
yang jelas itu semua seperti benang kusut, yang bahkan untuk mencari ujungnya saja
sulit – apalagi mencoba menguraikannya, karena begitu banyak konflik kepentingan –
atau sebaliknya keengganan mengurus/bertanggung jawab. However, everything is
change but change……
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Bendavid-Val, Avron, 1983, “Regional and Local Economic Analysis for
Practitions”, Preager Publisher, New York.
2. Dunn, William N, 1981, “An Introduction: Public Policy Analysis”, Prentice Hall,
Inc, Englewood Cliffs.
3. Mahbub ul Haq, 1995, Tirai Kemiskinan : Tantangan untuk Dunia Ketiga, Yayasan
Obor Indonesia.
4. Mubyarto, 1991, “Perekonomian Rakyat Kalimantan”, Aitya Media, Yogyakarta.
5. Prof. Dr. Moeljarto T., MPA, 1993, Politik Pembangunan, Penerbit PT. Tiara
Wacana Yogya.
6. Rondinelli, Dennis, 1983, “Applied Methods of Regional Planning : the Urban
Functions in Rural Development Approach”, Clark Univer - sity, Worcester.
7. Sadli, Moh, dan Tjiptoherijanto, Prijono, 1987, “Prespektif Daerah Pembangunan
Nasional”, Lembaga Penelitian UI, Jakarta.
8. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
10. Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan
Perbatasan.
11. Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 1998 – 2000.
.
14