Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KONSOLIDASI IDENTITAS
SEBAGAI BENTUK PERLAWANAN DISKRIMINASI
DI KALANGAN WARGA TIONGHOA
DI KOTA PONTIANAK
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Disusun Oleh:
Valensius Ngardi
166322006
PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
KONSOLIDASI IDENTITAS
SEBAGAI BENTUK PERLAWANAN DISKRIMINASI DI
KALANGAN WARGA TIONGHOA DI KOTA PONTIANAK
Valensius Ngardi
ABSTRAK
Tesis ini, mendeskripsikan bagaimana sesungguhnya kehidupan orang Tionghoa
pasca reformasi di Kota Pontianak. Kebangkitan kembali ketionghoaan dengan berbagai
perubahan dalam bentuk kehidupan yang konkret berupa perhelatan sosial budaya yang
spektakular meliputi Imlek dan Cap Go Meh, menjadi guru, mendirikan sekolah dan
lembaga kursus pendidikan nonformal, serta terjun ke panggung politik merupakan
“hidden transcript” etnik Tionghoa di Kota Pontianak dalam rangka melawan
diskriminasi sosial.
Penelitian ini menggunakan model analisis deskriptif dengan metode etnografi
dan pendekatan „perlawanan‟. Tiga konsep yang mendukung tulisan ini, yaitu: pertama,
konsep Chris Barker (2000), wacana tentang identitas diri yang „cair‟ bagaimana
seseorang menyatukan diri dengan identitas lain tanpa disekat oleh sejarah biologis atau
genelogis. Kedua, konsep diskursus diskriminasi ras Mely.G.Tan (2008), menelisik
tentang diskriminasi sosial terhadap etnis Tionghoa sebagai korban dari tiga sejarah
pada era bangsa kolonial, Soekarno, dan era Orde Baru menjadi ingatan kolektif untuk
meluruskan kebenaran sejarah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Ketiga, konsep perlawanan James C. Scott (1990), melihat masyarakat yang
mendominasi terhadap sesamanya dengan cara melakukan sebuah strategi atau sebuah
seni melakukan perlawanan dengan dua cara Hidden Transcripts dan Public
Transcripts.
Dari ketiga konsep di atas dipadukan dengan hasil temuan di lapangan sebagai
berikut. (1) sejak pasca reformasi etnis Tionghoa sudah melebur diri bersama dengan
etnis lain di Kota Pontianak. (2) meskipun mereka menerobos identitasnya dengan etnis
lain akan tetapi stereotip, stigmatisasi, dan praktik diskriminasi ras masih dialami etnis
Tionghoa baik secara verbal maupun nonverbal di Kota Pontianak. (3) narasi-narasi
diskriminasi ras masa lalu, menjadi ingatan kolektif dan masih trauma untuk
diperbincangkan di ruang publik. (4) untuk melawan diskriminasi mereka melakukan
perlawanan dengan tidak menggunakan kekerasan fisik, akan tetapi melalui gerakan
halus bersifat heroik lewat konsolidasi identitas di berbagai aspek kehidupan yang
dapat membangun kemajuan bersama dengan masyarakat multietnis lainnya di Kota
Pontianak.
Kata kunci: Konsolidasi identitas, etnis Tionghoa, diskriminasi sosial, dan Perlawanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
THE CONSOLIDATION OF IDENTITY AS A FORM OF STRUGGLES AGAINST
DISCRIMINATION TOWARDS THE CHINESE IN PONTIANAK
ABSTRACT
This thesis describes the reality of Chinese in Pontianak during post-reformation.
The awakening Chinese identity with concrete changes that can be seen through
spectacular socio-cultural performances such as in Chinese New Year and Cap Go
Meh, Chinese teachers in Indonesia, Chinese who establish schools and non-formal
tuition centres, and Chinese politicians is Chinese‟s “hidden transcript” in Pontianak
to fight against social discrimination.
This research applies descriptive analysis model with ethnography method and
reverse approach. The three concepts that support this research are Chris Barker‟s
(2000), Mely G. Tan‟s race discrimination discourse (2008), and James C. Scott‟s
reverse concept (1990). Chris Barker‟s concept is about one‟s identity that is
assimilated to another identity despite either biological or genealogical background
differences. Racial discrimination discourse points out the social discrimination
towards the Chinese in Indonesia during colonialism era, Soekarno era and New era.
James C. Scott‟s reverse concept studies how a society dominated others through
Hidden Transcripts and Public Transcripts strategies.
These three concepts are combined with the research findings as follow: (1) since
the post-reformation era, the Chinese in Indonesia have assimilated to other ethnic
groups in Pontianak; (2) despite the Chinese‟s efforts to assimilation, verbal and non-
verbal stereotypes, stigmatisation, and racial discrimination towards the Chinese
persistently exist in Pontianak; (3) the past racial discrimination narratives remain
strong in public memories; (4) there is no physical violence orchestrated to fight
against the discrimination as the Chinese are using identity consolidation in aspects of
life that can benefit multi-ethnicity development in Pontianak.
Key words: Identity consolidation, Chinese, social discrimination, and reverse
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
HALAMAN MOTTO
“Setiap individu tidak pernah menginginkan
lahir sesuai dengan hasrat ras masing-masing
dan stereotip tentang identitas orang lain tidak pernah berakhir”
“Dalam keberagaman etnis di Indonesia, „perayaan identitas‟ yang berlebihan bukan
menunjukkan superioritas melainkan sebagai ruang untuk memadukan keunggulan diri
dalam bermasyarakat”
“Bangsa ini bukan milik etnis tertentu tetapi milik kita semua.
Peran semua etnis dalam membangun, bagian yang harus kita perhatikan”
“Tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna
kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar untuk
membenci. Jika bisa belajar untuk membenci, maka mereka bisa diajar
untuk mengasihi karena kasih Allah alamiah bagi hati manusia ketimbang
sebaliknya” (Nelson Mandela).
Akhirnya saya harus taat pada sebuah statuta lembaga Kongregasi Bruder MTB
yang telah mengajar saya bagaimana menerima keanekaragaman identitas „rasuli‟
dari waktu ke waktu menuju budaya „Injili‟ yang dinamis. […..] tanpa identitas
sebagai biarawan,
kita bersedia untuk bersahabat, berdialog serta menjalin kerja sama, tanpa
memandang status sosial, ekonomi, suku, ras atau agama “
(Statuta MTB psl.1x.art.95).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
KATA PENGANTAR
Sejak zaman prasejarah, pengalaman diskriminasi merupakan masalah biasa
yang dialami oleh manusia dalam hidup bersama di masyarakat. Dalam kajian
postmoderen, persoalan diskriminasi mungkin tidak menarik lagi untuk diperdebatkan,
apa lagi diskriminasi ras terlalu sensitif dan naif untuk dibahas di ruang akademik
maupun publik. Akan tetapi, ketika masalah tersebut dibahas dalam ranah kajian
budaya, maka kita dapat menemukan ruang dan akar persoalan mengapa diskriminasi
selalu muncul di tengah masyarakat? Diskursus sosial diskriminasi sangat erat dengan
relasi kuasa, konstruksi sosial, kelas sosial, resistensi, hegemoni dan politik identitas
dalam hidup bersama.
Penelitian semacam ini sangatlah menantang karena memang masih menjadi
masalah, namun juga penelitian serupa sebenarnya sudah banyak. Oleh karena itu
tantangan peneliti tesis ini tentu saja mencari celah apa yang belum banyak diteliti. Saya
sendiri tidak siap mengoreksi identitas saya sebagai orang Manggarai, Flores NTT yang
ingin mengetahui identitas orang Tionghoa di Kota Pontianak yang dikepung oleh
identitas etnis Dayak dan Melayu sebagaimana yang disajikan dalam tulisan ini.
Abainya kita karena tidak fair dalam mengkontruksi sejarah identitas kita masing-
masing. Kita terjebak untuk mengglorifikasi identitas kita masing-masing sebagai
terhebat. Inilah permasalahan terbesar dalam tulisan saya. Karena kehilangan satu
dimensi analisis yang justru dekat dengan kita. Kita tidak berani menganalisis identitas
kita sendiri. Dan kita mengabaikan kecacatan, ketidaksempurnaan itu, justru kita
menjadi tidak adil, tidak fair dan justru menjadikan kita rasis secara tak sadar.
Untuk itu, saya berterima kasih kepada lembaga KB USD, karena diberi ruang
luas untuk berdiskusi tentang persoalan identitas dengan berbagai pendekatan kajian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
budaya bagaimana membahasakannya serta memadukannya dengan konsep dan temuan
di lapangan terutama diskursus diskriminasi ras di kalangan etnis Tionghoa di Kota
Pontianak. Maka dari itu, sepantasnya saya mengucapkan terima kasih berlimpah
kepada mereka yang sangat membantu saya untuk tetap berani menyuarakan masalah
tersebut dalam bentuk tesis, yakni:Romo Banar, S.J selaku direktur Program
Pascasarjana KB yang memberi pencerahan bagaimana „seni‟ membahasakan tanda-
tanda yang terjadi di masyarakat. Pak Tri, selaku Kaprodi KB dengan setia mendengar
keluhan saya sejak pergumulan proposal maupun saat mendekat ujian tesis berbentuk
virtual di tengah pandemic covid 19. Bapak Sunardi dan Bu Katrin yang selalu memberi
peluang kepada saya untuk berpikir kritis dan tajam dalam menangkap fenomena-
fenomena yang yang terjadi di masyarakat. Bapak Praktik, yang setia dan sabar
membimbing saya sehingga tesis ini bisa selesai dengan baik meskipun dengan topik
yang menantang bagi saya. Ibu Devi yang selalu memberi motivasi agar saya tidak
putus asa dalam menyelesaikan tesis ini. Romo Bas, S.J yang selalu memberi ruang
inspirasi dalam membangun ide secara kritis cara meneropong persoalan-persoalan
etnik yang terjadi di masyarakat. Para dosen lainnya yakni Romo Budi, S.J, Romo
Bagus, S.J, dan Romo Beni, S.J dengan segera kekhasan mereka memberi warna baru
dalam menelisik persoalan-persoalan humaniora di Indonesia.
Mbak Desy, yang sejak awal saya kenal dengan setia, melayani, mengatur, dan
mengingatkan terus soal keterlambatan dalam menulis tesis. Mas Mul yang setia
mengurus RT KB, sehingga mahasiswa tetap semangat dalam perkuliahan dan dengan
ketulusannya selalu menyediakan kopi dan teh secara gratis untuk mahasiswa KB-USD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Group “Kampret” KB 2016 ; Pendeta Leo, Mas Wahyu, Ponda, Pongge, Hari,
Alam, Ceper, Hugo, Brito, Damas, Mario, dan P. Berto CMF, serta (Adit dan Pak Zul)
yang pamit duluan dari KB dan mbak-mbak yang manis Novi, Sasih, Nita, Alit, Monik,
Yeni dan Auriel. Kalian luar biasa, dari displin ilmu yang berbeda selalu berbagi
sehingga kita bisa menyatu dengan keunikan masing-masing. Group From Zero 2 Hero:
Mbak Novi, Sasih, Mas Hari, Damas, dan Pongge yang selalu mendorong dan memberi
spirit dalam diskusi bersama di Komunitas Kota Baru. Romo Hironimus Bandur, Pr, Ibu
Devi (UGM), Mas Heri, Mis Leny, dan Mbak Hesti membuka jalan sehingga tesis saya
bisa selesai. Br. Rafael, MTB selaku pemimpin umum Kongregasi Bruder MTB,
mendorong saya untuk fokus dengan tesis meskipun dibebani rangkap tugas. Br. Gabriel
Tukan MTB, yang telah memberi kesempatan saya untuk kuliah di KB. Para saudara
muda dan tua MTB di komunitas Kota Baru dan Novisiat, memberi pesona tersendiri
untuk menghibur saya saat galau menyelesaikan tulisan ini. Semua mereka yang tidak
bisa sebutkan satu persatu dalam tesis ini, saya mengucapkan terima kasih berlimpah
untuk segala dukungan kalian dan yang paling berharga adalah para responden
penelitian yang ada di Kota Pontianak yang tidak mau disebut namanya di lembaran
ini. Tanpa suara dari kalian, saya tidak mempunyai ruang untuk membahas tesis ini
sampai tuntas. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH ............................................. v
ABSTRAK .......................................................................................................... vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar belakang .......................................................................................... 1
B. Tema Penelitian ......................................................................................... 11
C. Rumusan masalah ..................................................................................... 11
D. Tujuan Peneltian………………………………………………………… 12
E. Manfaat Penelitian ................................................................................... . 12
F. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………… 13
G. Kerangka Teori ....................................................................................... . 20
1. Teori Identitas …………………………………………………… 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
2. Teori Diskriminasi Sosial ...................................................................... 23
3. Teori Perlawanan .................................................................................. 28
H. Metode penelitian ..................................................................................... 36
1. Jenis Penelitian……………………………………………………….. 36
2. Pengumpulan Data……………………………………………………. 37
3. Teknik Penelitian ……….…………………………………………… 37
4. Analisa Data…………………………………………………………. 38
5. Wilayah Penelitian…………………………………………………… 38
I. Hipotesa Awal………………………………………………………… 39
J. Sistematika Penulisan ............................................................................... 40
BAB II : GAMBARAN UMUM SEJARAH DISKRIMINASI
SOSIAL DI KOTA PONTIANAK TAHUN 1854-1967 ............... 41
Pengantar……………………………………………………………………… 41
A. Gambaran Umum Kota Pontianak ......................................................... 41
1. Letak Geografis……………………………………………………….. 41
2. Letak Demografis…………………………………………………….. 42
B. Dinamikan Kehidupan Etnis Tionghoa di Zaman Kolonial Belanda… 43
1. Pembagian Kelas Sosial ......................................................................... 44
2. Konflik Baru Memunculkan Diskriminasi ............................................. 48
C. Dibungkam oleh Resim Orde Baru ......................................................... 50
1. Sikap Anti Tionghoa………………………………………………….. 53
2. Eksodus Etnis Tionghoa ke Pontianak…………………………………. 57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
3. Konflik Sosial Berdarah………………………………………………. 58
4. Budaya Kekerasan Zaman Orde Baru…………………………………. 59
5. Menanamkan Benih Dendam…………………………………………. 62
Kesimpulan……………………………………………………………………. 64
BAB III : HETEROGENITAS NARASI DISKRIMINASI DAN
BENTUK-BENTUK PERLAWANANNYA .................................... 66
Pengantar………………………………………………………………….… 66
A. Berbagai Pengalaman Diskriminasi di Kalangan Etnis Tionghoa ...... 68
1. Diskriminasi Di Lingkungan Sekolah……………………………… 68
1.1 Bahasa Mandarin Tidak Diperhitungkan………………………….. 68
1.2 Ketidaksukaan Dalam Jabatan Struktural………………………….. 74
2. Berbagai Pengalaman Diskriminasi di Wilayah Kehidupan lainnya…… 77
2.1 Menyuarakan Kebenaran dan Keadilan Melalui Politik………….. 78
2.2 Pergolakan Hidup di Bidang Sosial………………………………. 83
2.3 Membeku Pengembangan Budaya Etnis……………………….. 87
B. Berbagai Perlawanan Etnis Tionghoa Dalam Menanggapi Diskriminasi 92
1. Pembangunan Pendidikan ..................................................................... 93
1.1 Pendidikan Formal… ....................................................................... ... 93
1.2 Pendidikan Nonformal………………………………………….. ...... 96
2. Kebangkitan Politik Identitas ................................................................ 98
3. Penguatan Bidang Sosial,Budaya.......................................................... 100
Kesimpulan……………………………………………………………………. 103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
BAB IV: IDENTITAS DISKRIMINASI, DAN PERLAWANAN ............ … 105
Pengantar……………………………………………………………………… 105
A. Retaknya Identitas .................................................................................... 106
B. Diskursus Diskriminasi Sosial .................................................................. 108
C. Bentuk-bentuk Perlawanan Etnis Tionghoa .......................................... 110
Kesimpulan…………………………………………………………………….. .. 115
BAB V : PENUTUP ........................................................................................... 116
A. Kesimpulan ............................................................................................. 116
B. Saran…………………………………………………………………… 119
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 121
Buku ................................................................................................................. 121
Website ............................................................................................................. 124
Wanwancara ..................................................................................................... 125
LAMPIRAN ........................................................................................................ 125
Lampiran 1 : Tabel Lembaga Pendidikan Formal (1)
Lampiran 2 : Tabel Pendidikan Nonformal (2)
Lampiran 3 : Tabel Yayasan Lembaga Sosial (3)
Lampiran 4 : Panduan Pertanyaan Wawancara Subjek Penelitian (4)
Lampiran 5 : Nama-Nama Subjek Penelitian, Tanggal dan Pekerjaan (5)
Lampiran 6 : Transkrip Wawancara (6)
Lampiran 7 : Refleksi (7)
Lampiran 8 : Dokumentasi Responden (8)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui sejak reformasi mulai berlaku, hubungan dan pengakuan
keberagaman identitas dari berbagai etnis yang ada di Indonesia perlahan-lahan berjalan
dengan baik. Salah satu etnis yang selalu menjadi perbincangan sejak zaman kolonial
hingga saat ini adalah etnis Tionghoa. Etnis ini mempunyai kekhasan tersendiri dan
unik dengan etnis lainnya. Banyak pengamat Tionghoa mendeskripsikan bahwa sejak
era reformasi belangsung 21 Mei 1998, etnis Tionghoa mengalami perubahan-
perubahan yang besar dalam ruang demokrasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan
tersebut bisa mengancam bagi etnis lain karena diwarnai persaingan politik yang sangat
kental di Indonesia (La Ode, 2012:5&18) dan Algdrie (dalam Lie Sau Fat, 2008:129).
Gagasan tersebut di atas, seakan-akan menjadi ingatan kolektif saat ini
bagaimana stigma dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa menjadikan etnis Tionghoa
serasa bukan bagian dari warga negara Indonesia. Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda etnis Tionghoa dijadikan „kambing hitam‟ untuk menumbuhkan kebencian
masyarakat saat itu pada etnis Tionghoa. Hal yang sama juga dilakukan oleh resim Orde
Baru yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai korban politik. Dalam hal ini muncul
istilah „pribumi‟ dan bukan „pribumi‟ yang sebenarnya simbol dari politik identitas dan
stigmatisasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Tesis ini bermaksud mendeskripsikan secara khusus bagaimana kehidupan
sesungguhnya etnis Tionghoa yang ada di Kota Pontianak pasca reformasi. Secara
umum, gerakan-gerakan etnis Tionghoa di Kota Pontianak mengalami perubahan-
perubahan besar di segala aspek kehidupan. Akan tetapi, dalam perjalanannya masih
ada kegelisahan di kalangan mereka untuk menikmati ruang reformasi tersebut. Tidak
semua etnis Tionghoa di Kota Pontianak mengalami ruang kebebasan untuk
mengekspresi identitasnya di tengah identitas etnis lain di Kota Pontianak. Dengan kata
lain di kalangan mereka masih ada yang mengalami diskriminasi sosial secara ras.
Sebelum membahas lebih lanjut pada bagian ini, saya akan memetakan beberapa
kasus tentang ketegangan hubungan antara etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu di Kota
Pontianak pasca reformasi. Fenomena-fenomena tersebut sebagai bentuk perlawanan
etnis Tionghoa terhadap etnis Dayak dan Melayu atas tindakan diskriminasi ras yang
menimpa etnis Tionghoa di Kota Pontianak.
Pada bulan Oktober 2010 Raymond (nama samaran) dari etnis Tionghoa
menantang empat siswa dari etnis Dayak dan satu etnis Melayu di sekolahnya. Kasus
ini berawal dari bahasa yang merendahkan terhadap kemampuan intelektual beberapa
temannya yang indek prestasi akademik mereka masih di bawa rata-rata dari standar
nasional di sekolah tersebut. Perkelahian di antara mereka tidak bisa dibendung lagi
hingga belangsung di Jembatan Kapuas III dengan melibatkan para preman dari
masing-masing etnis yang ada di Kota Pontianak. Raymond terancam keluar dari
sekolah tersebut karena sudah mengganggu keharmonisan relasi antar etnis di
sekolahnya. Menurut penuturan Raymond, selama ia diadili di kantor polisi, dan ruang
dewan guru, merasa didiskriminatif dalam menyelesaikan masalah tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Kasus serupa, pada bulan Maret tahun 2012 Cindy (nama samaran) dari etnis
Tionghoa melawan seorang polisi dari etnis Melayu saat menonton pertandingan basket
di salah satu hall lapangan basket di salah satu sekolah ternama di Kota Pontianak.
Cindy tidak terima karena polisi tersebut secara kasar mendorongnya saat ia berteriak
untuk membela tim sekolahnya ketika saat pertandingan final basket berlangsung.
Cindy menangis dan berteriak kuat di depan teman-temannya. Menurut ceritanya, polisi
bersangkutan telah melecehkan dan merendahkannya dengan mengucapkan kata-kata
yang berbau rasis.
Dari dua kasus di atas, merupakan representasi fenomena-fenomena tentang
perseteruan atau ketegangan dalam berelasi antar etnis Tionghoa, Dayak dan Melayu
di Kota Pontianak pasca reformasi. Persoalan-persoalan tersebut, tidak pernah berakhir
untuk diperbincangkan hingga saat ini. Di kalangan etnis Tionghoa, mereka tidak
berdiam saja atas situasi-situasi yang selalu menyudutkan etnisnya di Kota Pontianak
Mereka berusaha untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan melalui
konsolidasi identitas. Bagi mereka konsolidasi identitas sebagai salah satu cara untuk
membebaskan diri seseorang dari lingkaran praktik diskriminasi ras dan sebagai
strategi untuk pemenuhan hak-hak atas kelayakan hidup tanpa diskriminatif secara rasial
di Kota Pontianak. Gerakan konsolidasi identitas etnis Tionghoa senada dengan konsep
James, S. Scott (1990:45-69) tentang resistensi dan pola dominasi yang terbentuk
secara serentak, namun terus-menerus diperkuat, dipelihara, dan ditingkatkan terhadap
kelompok kelas bawah dalam masyarakat.
Menurut Scott (1990), berbagai peristiwa dirancang sebagai penguat diskursus
dominasi dan legitimasi terhadap superioritas kelas elit sering dilakukan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
kegiatan-kegiatan kecil sehari-hari, seperti pengawasan dan bimbingan terhadap kelas
subordinat. Berbagai ritual dan aktivitas yang menetapkan dan melegitimasi
„superioritas kelas elite‟ dilakukan terus-menerus. Tanpa adanya kelemahan yang
ditampakkan oleh kelas penguasa, kekuasaan mereka terus berlangsung tanpa tantangan.
Gerakan ini pada satu saat ada wilayah tersendiri bagi kelas subordinat melakukan
sebuah gerakan baik secara terbuka atau terang-terangan maupun tersembunyi atau
terselubung untuk melawan pada „superioritas kelas elit‟.
Sedangkan Barker (2000:53), mendeskripsikan persoalan dalam masyarakat
yang menyebabkan dominasi dan diskriminasi sosial ditinjau dari aspek kebudayaan.
Barker menguraikan bahwa ketika kebudayaan sebagai kekuasaan kelas yang
didasarkan pada pembedaan manusia berdasarkan atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan
keyakinan politik berakibat pada penyimpangan dan penghapusan pengakuan atas
penggunaan hak asasi manusia.
Konsep Scott maupun Barker tentang kelas-kelas sosial dalam masyarakat,
membantu dalam melacak tulisan ini untuk melihat fenomena tentang etnis Tionghoa di
Kota Pontianak yang tereliminasi melalui diskriminasi secara ras. Diskriminasi ini
terjadi, baik karena korban kelas superioritas elit maupun karena kepungan dominasi
etnis yang berkuasa dalam tatanan masyarakat muletnis di Kota Pontianak. Bersandar
pada gagasan dari Scott (1990) Barker (2000) dipakai untuk berusaha bagaimana
identitas Tionghoa menerobos dengan identitas lainnya di Kota Pontianak. Dengan
membangkitkan kesadaran baru mereka berjuang untuk bisa keluar dari situasi yang
membelenggu dirinya, sehingga bisa berekspresi diri sebagaimana yang dialami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu dengan melakukan konsolidasi identitas,
membuat mereka semakin kuat dan tangguh menguasai etnis lainnya di Kota Pontianak
seperti etnis Dayak dan Melayu.
Gerakan konsolidasi identitas di kalangan etnis Tionghoa di Pontianak seakan-
akan ingin unggul dan tetap berada di atas etnis lainnya. Reformasi yang
menghentakkan perubahan-perubahan dalam masyarakat, oleh etnis Tionghoa
memulainya dengan perayaan imlek yang membawa dampak besar bagi pengaruh pada
aspek kehidupan lain di kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak seperti bidang
ekonomi, sosial budaya, politik, pendidikan, dan agama.
Mereka mengalami satu fase kehidupan di ruang demokrasi baru di Kota
Pontianak. Perubahan-perubahan tersebut mendorong mereka tidak takut untuk
mengekspresikan diri seperti warga lain di Kota Pontianak. Fenomena-fenomena
tersebut mempengaruhi etnis Dayak dan Melayu mengalami kemunduran dalam
mengimbangi perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Kota Pontianak. Bagi etnis
Tionghoa dengan atau melalui kondisi perubahan-perubahan tersebut, untuk
menunjukkan politik identitas1 ketionghoaannya di tengah keberagaman etnis di Kota
Pontianak.
Melalui tulisan ini, saya mencoba dan berusaha untuk menggali dari sudut
pandang berbeda dengan fokus pada tiga terminologi yang terarah yaitu bagaimana
dinamika sosial histori diskriminasi di kalangan etnis Tionghoa, heterogenitas
1 Judy Lattas (via Beilharz 2016:154), melukiskan „Politik Identitas‟ sebutan untuk karya-karya rasa
keterlibatan, secara pasti dan sepenuhnya, terhadap golongan tertindas, misalnya dengan mengungkap
kebenaran di dalam keberadaan seseorang sebagai insan perempuan, sebagai ras kulit hitam (Week,
1985:185&210).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
pengalaman diskriminasi2, dan strategi seperti apa yang dilakukan oleh etnis Tionghoa
dalam melakukan perlawanan diskriminasi yang terjadi di Kota Pontianak. Berbagai
pengalaman diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa seperti yang dideskripsikan
dalam bab berikut tesis ini, sebagai representatif dari masyarakat Tionghoa lainnya
yang ada di Kota Pontianak.
Bagi etnis Tionghoa „angin‟ reformasi adalah sebagai pintu untuk membawa
perubahan sangat besar bagi kehidupannya di tengah etnis lainnya di Kota Pontianak.
Perubahan-perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan kebebasan dan pengakuan
identitas atau keberadaan mereka menyangkut dihapusnya Surat Bukti
Kewargaannegara Republik Indonesia (BKRI) tetapi mereka dengan penuh keleluasan
memasuki dan aktif dalam organisasi politik dan sejenisnya.
Perubahan itu juga berhubungan dengan kebebasan dalam berbagai aspek sosial
budaya seperti menggunakan bahasa Mandarin atau dialek suku di ruang publik, bahkan
bahasa Mandarin secara resmi telah menjadi bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris.
Selain itu perubahan tersebut, mencakup pula dalam ruang berekspresi bagi kalangan
Tionghoa didalam menghidupkan dan menampilkan kembali tradisi mereka melalui
permainan barongsai3, naga-naga (liong/dragon), pertunjukan atau aktraksi kemampuan
2 Effendi & Prasetyadji (2008:37), kata diskriminasi mengandung arti demikian yakni: pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan
sebagainya). Kelamin: pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia berdasarkan perbedaan
jenis kelamin. Ras: anggapan segolongan ras tertentu bahwa rasnya itulah yang paling unggul
dibandingkan dengan golongan ras lain; rasisme. Rasial:pembedaan sikap dan perlakuan terhadap
kelompok masyarakat tertentu karena perbedaan warna kulit. Sosial: pembedaan sikap dan perlakuan
terhadap sesama manusia berdasarkan kedudukan sosialnya. 3Lie Sau Fat (2008:23) melukiskan bahwa, barongsai merupakan tarian tradisional Cina dengan
menggunakan sarung yang menyerupai naga. Tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar
abad ketiga sebelum masehi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
perdukunan Cina (lauya atau tatung4) sebagai kelengkapan dari perayaan Cap Gomeh
5,
setelah Tahun Baru Imlek6 serta pendirian dan penyebaran rumah-rumah ibadah atau
tempat-tempat persembahan (taopekong/kelenteng)7 bagi para penganut kongfusianisme.
Dampak dari pagelaran budaya etnis Tionghoa di atas, membuka cakrawala baru
bagi etnis Melayu dan Dayak untuk ikut menunjukan identitas mereka melalui pesta
budaya yang digelar tiap tahunnya. Warga etnis Melayu pada saat hari ulang tahun
Kota Pontianak, melakukan pesta rakyat dengan melibatkan warga multietnis lainnya.
Mereka merasa sebagai etnis pribumi asli yang lahir di Kota Pontianak tidak mau kalah
dengan etnis Tionghoa. Demikian juga etnis Dayak setiap tahunnya menampilkan
berbagai ritual kebudayaan dengan sangat meriah. Pesta rakyat ini sering mereka
menyebutkan „gawai Dayak‟. Lagi-lagi fenomena ini sebagai salah satu bentuk ekspresi
keberagaman seni sekaligus menunjukan keunggulannya dari segmen kemajuan budaya
mutietnis di Kota Pontianak.
Perubahan yang mengandung kebebasan budaya seperti dikemukan di atas,
seakan-akan pintu masuk untuk membuka perubahan di berbagai bidang kehidupan
lainya seperti ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Berbagai aspek kehidupan ini
menjadi fenomena yang membawa perubahan dan kebebasan yang dialami dan
dinikmati oleh etnis Tionghoa, membuat mereka tidak takut untuk melakukan
4Juniardi Karel & Rivasintha Marjito (2018:23) mendeskripsikan bahwa Tatung bertujuan untuk
pengusiran roh-roh jahat dan peniadaan kesialan dalam perayaan Cap Go Meh yang digelar oleh etnis
Tionghoa di Singkawang. 5 Lie Sau Fat (2008:27) menggambarkan perayaan Cap Go Meh dilakukan setiap tanggal 15, bulan 1
penanggalan Imlek. Kata Cap go Meh ini berasal dari kata dialek HokKien/Tio Ciu yakni: Cap go artinya
lima belas dan Meh artinya malam. Perayaan ini juga sebagai tanda berakhirnya tahun baru Imlek. 6Lie Sau Fat (2008:7&8) mendeskripsikan bahwa, Imlek merupakan perayaan tahun baru etnis Tionghoa.
Setiap pergantian tahun penanggalan imlek, dirayakan sebagai Chun Ciek/festival musim semi oleh
masyarakat Tiongkok dari dulu sampai sekarang dan sudah menjadi satu tradisi yang mengakar. 7 Klenteng atau Kelenteng (bahasa Hokkian:bio) adalah sebutan untuk tempat ibadah
penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng diakses, 30 September 2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
terobosan baru dalam mengepung dua etnis lainnya yakni Melayu dan Dayak, yang
selama ini dianggap sebagai persaingan dalam pemenuhan hasrat untuk kebutuhan
hidupnya di Kota Pontianak.
Mereka melakukan sebuah gerakan tidak lagi terselubung tetapi nyata dan
terbuka di ruang publik. Gerakan mereka bukan sekedar reformasi di segala bidang
kehidupan tetapi sebuah aksi revolusioner secara halus untuk mengembalikan lagi
pemenuhan hasrat identitas mereka yang sudah lama dikontruksi oleh etnis lain di Kota
Pontianak. Cara ini sebagai bentuk perlawanan-perlawanan atas ketidakadilan sebagai
kelompok minoritas yang disudutkan oleh kelompok mayoritas secara ras atas hidup
mereka (Scott,1999:7).
Di Kota Pontianak sebelum reformasi secara ekonomi tidak semua kalangan
etnis Tionghoa berada di atas etnis lain. Masih banyak di antara mereka mengalami
nasib seperti masyarakat lainnya di Pontianak. Akan tetapi, di era reformasi dengan
cepat mereka menguasainya sehingga semakin kuat dan tangguh dari etnis lainnya.
Etnis Dayak dan Melayu semakin ketinggalan jauh dalam mengejar perubahan-
perubahan tersebut. Di bagian ini mereka melakukan konsolidasi identitas dengan dua
cara. Pertama, mereka yang berposisi kelas ekonomi keatas, menguasai di sektor
infrastruktur fisik dan sosial pada fasilitas pelayanan masyarakat umum di sepanjang
Jalan Gajah Madah dan Ahmad yani Kota Pontianak. Sikap superioritas tidak
terbendung lagi dalam relasi dengan etnis lain sebagai atasan dan bawahan dalam
ruang kerja publik. Kedua, etnis Tionghoa yang berada kelas ekonomi ke bawah,
seakan seakan tidak mau ketinggalan untuk menghimpit usaha dari etnis lain. Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kata lain hampir semua usaha masyarakat kecil etnis lain dikuasai atau didominasi oleh
oleh etnis Tionghoa.
Fenomena-fenomena demikian di atas, semakin menimbulkan ketegangan baru
dan keresahan bagi etnis lain di Kota Pontianak. Etnis Melayu dan Dayak semakin
terjepit, terhimpit, dan tak berdaya ketika ruang gerak perekonomian kreatifnya juga
hadir untuk bersaing di dalamnya. Deretan bangunan Ruko‟ (rumah toko) di Jalan
Patimura yang secara khusus menjual aneka souvenir khas masyarakat etnis Melayu dan
Dayak, etnis Tionghoa tidak mau ketinggalan untuk ikut melebur dengan cara
bersejajar dagangan kuliner khas Pontianak. Dalam penafsiran dari kaca mata pengamat
etnografi, pemandangan tersebut nampaknya sebagai bentuk simbol keberagaman
multietnis, akan tetapi juga nalar kritik sebagai persaingan yang tidak sehat dalam
meraih dalam mengais rejeki dari usaha-usaha tersebut.
Potret kehidupan lain dalam pengembangan bidang sosial, mereka semakin
banyak mendirikan yayasan sosial yang sangat membantu kehidupan masyarakat Kota
Pontianak. Yayasan-yayasan tersebut secara khusus sangat membantu untuk mengatasi
masalah yang dialami oleh warga Tionghoa di Kota Pontianak.
Fenomena yang tidak kalah menariknya di di bidang lain muncul gebrakan baru
dalam kebangkitan politik identitasnya di Kota Pontianak. Etnis Dayak dan Melayu
merasa tergoncang ketika tampil di panggung politik pesaing-pesaing rival politik dari
etnis Tionghoa yang sebelumnya didominasi oleh etnis Dayak dan Melayu. Dalam
ruang publikasi, kandidat dari Tionghoa sangat menonjol dari etnis lain dalam
memasang banner di area publik. Calon-calon legislatif yang diusung dari partai etnis
Tionghoa bernampilan khas ras Tionghoa. Warna-warni sepanduk, sosok berwajah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
putih bermata sipit serta dikelilingi huruf Cina dengan pilihan „warna‟ yang mencolok
sehingga gampang terlihat dari kejauhan.
Keberanian mereka untuk bersaing dengan etnis Melayu dan Dayak baik
menjadi pengurus partai politik, anggota DPRD dan juga menjadi kepala daerah
melahirkan kekaguman bagi banyak warga. Akan tetapi keteribatan mereka untuk
menyuarakan kekebasan berdemokrasi di pemerintahan bisa menimbulkan
permasalahan dalam politik identitas di Kota Pontianak. Hal ini menjadi ketegangan
yang memanas bila etnis lain tidak bisa bersaing dalam merebut kursi kekuasaan di
pemerintahan Kota Pontianak.
Konsolidasi identitas etnis Tionghoa, tidak hanya menyangkut dalam menikmati
perubahan-perubahan di masyarakat tetapi di arena lingkungan pendidikan
mempengaruhi perubahan kondisi kegiatan belajar mengajar baik soal imlek sebagai
liburan nasional maupun ruang seni mereka semakin diterima oleh siswa lain di sekolah.
Misalnya mengungkapkan perayaan sosial budaya dengan kegiatan pentas seni
bernuansa Imlek, pemilihan koko meimei, festival permainan naga, dan parade
barongsai antar kelas. Semuanya itu sebagai tanda dan simbol kemerdekaan mereka
untuk menungkapkan identitas diri yang sudah lama dibekukan oleh etnis lain di Kota
Pontianak. Warga Tionghoa yang berprofesi sebagai guru tidak hanya mengabdi di
sekolah swasta milik misi saja, tetapi ikut mengambil peran di sekolah-sekolah negeri di
Kota Pontianak. Misalnya sebagai guru sosiologi di SMA 1, guru bahasa Inggris di
SMA 3 dan guru Matematika di SMA 9. Derasnya perubahan di berbagai aspek tersebut
di atas membuat etnis ini bangkit untuk menunjukkan identitas di Kota Pontianak.
Mereka berjuang melalui konsolidasi identitas untuk membangun kembali identitasnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
yang sudah lama terpenjara dalam dirinya. Perubahan-perubahan dalam berbagai aspek
merupakan simbol perjuangan etnis Tionghoa yang diwujudnyatakan melalui
„konsolidasi identitas‟8.
B. Tema Penelitian
Tema besar dalam penelitian ini adalah „Konsolidasi Identitas‟ sebagai salah
satu gerakan etnis Tionghoa untuk menunjukan kembali identitasnya ketika terhimpit
oleh etnis lain di Kota Pontianak. Penelitian ini berusaha menggali bagaimana sejak
pasca reformasi etnis Tionghoa melakukan perlawanan, sehingga mengalami perubahan
dalam pemenuhan hasrat akan hak pendidikan, sosial budaya, dan politik. Akan tetapi
di kalangan mereka masih saja mengalami kegelisahan dan ketakutan untuk
mengekspresikan identitasnnya di tengah etnis lain di Kota Pontianak.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan persoalan di atas, maka penelitian ini bertolak dari beberapa
rumusan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran umum, sejarah diskriminasi di Kota Pontianak sejak tahun
1854 -1967?
2. Bagaimana diskriminasi sosial dialami etnis Tionghoa di Kota Pontianak?
3. Strategi apa saja yang dilakukan etnis Tionghoa menanggapi pengalaman-
pengalaman diskriminasi dalam kehidupan mereka?
8 Jennifer L. Pals (1999), mendeskripsikan konsolidasi identitas sebagai proses investasi diri untuk bisa
membangun secara menyeluruh, membumi dari keretakan dalam dirinya yang terjadi pada masa silam.
Sedangkan Baskara (2008:2&3), menjelaskan kata konsolidasi sebagai suatu tindakan atau upaya untuk
menyatukan, memperkuat, dan memperteguh dalam hubungan antara dua negara atau kelompok demi
tujuanya tercapai. Menurut KBBI Online 2018, konsolidasi adalah perbuatan memperteguh atau
memperkuat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
D. Tujuan Penelitian
Penulisan tesis ini bertujuan:
1. Untuk menelusuri dinamika gambaran umum sejarah diskriminasi sosial yang
terjadi di masyarakat Kota Pontianak.
2. Untuk mengeksplorasi narasi-narasi diskriminasi yang dialami oleh etnis
Tionghoa.
3. Untuk menunjukkan strategi-strategi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa
menanggapi diskriminasi hidup bersama.
E. Manfaat Penelitian
Kekhasan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lain adalah sebagai
berikut.
1. Dalam penelitian diskriminasi sosial, tidak hanya sampai pada penelusuran
sejarah diskriminasi tetapi bagaimana cara atau strategi dalam melakukan
perlawanan terhadap diskriminasi. Penelitian ini juga bukan berhenti pada
kajian pustaka, akan tetapi menggunakan data hasil wawancara (oral
history) dari responden yang direprentasikan oleh beberapa warga
Tionghoa di Kota Pontianak.
2. Memberi ruang bagi mereka untuk menceritakan pengalaman-pengalaman
traumatis diskriminatif yang selama ini dipendam. Dengan mendengarkan
suara-suara atau perspektif-perspektif yang tidak tunggal maka peneliti bisa
secara netral dalam menilai ketidakadilan terhadap warga tertentu di Kota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Pontianak dan mereka mendapat ruang „ekspresi‟sekaligus representasi suara
kaum minoritas yang terpingggirkan oleh etnis mayoritas yang ada di Kota
Pontianak.
3. Penelitian ini untuk melihat kembali seluruh luka sejarah dalam relasi etnis
Tionghoa dengan etnis lain di Kota Pontianak sejak zaman bangsa Kolonial
hingga pasca reformasi, dan penelitian bukan bertujuan untuk membalas
dendam tetapi membangun relasi baru demi keharmonisan hidup bersama di
Kota Pontianak.
4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para pengambil
atau pemangku kebijakan supaya etnis Tionghoa di Kota Pontianak
mendapatkan ruang yang sama dalam kehidupan sosial yang tidak
diskriminatif.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang wacana identitas Tionghoa di Indonesia, sudah banyak
dilakukan sebelumnya oleh kalangan akademisi dengan perspektif yang berbeda satu
sama lain. Pertama, Suhandinata dalam bukunya yang berjudul WNI Keturunan
Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia (2018), secara umum
menarasikan tentang persoalan–persoalan WNI keturunan Tionghoa yang selalu
menjadi sorotan tajam di negeri ini. Mereka sering dipersulit saat mengurus berbagai
dokumen, dilecehkan, disudutkan, dan dijadikan „kambing hitam‟ ketika masalah-
masalah berbau rasialis mencuat di negara Indonesia. Pada hal dalam kurun waktu
perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia bahwa mereka telah banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
berjuang, berpikir, dan bekerja bagaimana agar Indonesia maju seperti negara lain di
dunia.
Selain menarasikan bagaimana gambaran masyarakat umum isu tentang
perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang berulang kali terjadi di Indonesia,
Ia juga mendeskripsikan bahwa etnis Tiongha di Indonesia seperti etnis lainnya, di
antara mereka masih ada selain masih ada yang sangat kaya, kaya, menengah,
sederhana dan miskin, dan sangat miskin. Di daerah perkotaan, terlihat mereka hidup
berkecukupan, bahkan ada yang kaya-raya dan superkaya, sebagian besar adalah
pengusaha kelas atas, menengah, menengah ke bawah atau kecil.
Namun, dalam kenyataan juga memperlihatkan bahwa warga Tionghoa di
Indonesia banyak yang hidup sederhana dan bahkan miskin, seperti mereka yang
bekerja sebagai nelayan, di daerah Tangerang, Sumatera Utara, Riau dan Bangka,
sebagai tukang becak, kuli, sopir angkot, pesuruh, pembantu rumah tangga, pekerja-
pekerja kasar di Kalimantan Barat (Pontianak, Singkawang dan Sambas), Bangka.
Namun mereka semua berkontribusi dan menorehkan nama baik untuk negara yang
mereka cintai melalui berbagai cara, entah lewat bidang ekonomi, olah raga,
kebudayaan , keilmuan, maupun politik (2018:76&79).
Selain itu untuk menegaskan dan mengingatkan kembali kepada masyarakat
Indonesia, Suhandinata (2018:419) melampirkan lagi tentang UU RI No.40 Tahun
2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebanyak sembilan bab dan
sejumlah 23 pasal yang disahkan oleh pada zaman Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono dan juga Andi Mattalata sebagai Mentri Hukum dan HAM RI. Suhadinata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
(2018:271-297) menemukan beragam pengalaman diskriminasi etnis Tionghoa dan
diharapkan tindakan diskriminatif harus dihentikan. Harapan ini terbukti ketika
Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan keputusan yang mengatakan bahwa
Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
Kedua, Heryanto dalam buku yang berjudul Identitas dan Kenikmatan
(2018:197-241), mengemukakan tentang diskriminasi terhadap etnis minoritas ini, tak
sesederhana atau terbatas pada upaya membangun argumen demi keadilan atau
pengakuan bagi mereka sebagai korban. Namun, kajiannya memungkinkan bisa
mengambil langkah berikutnya dan menghargai dua persoalan lebih besar yaitu:
pertama, perlu mengenal sifat „fiktif‟ atau bayangan semu etnisitas yang telah begitu
luas diterima sebagai sesuatu yang ilmiah. Kedua, berkesempatan untuk menemukan
kembali sejarah yang kaya dan memukau tentang modernitas awal dan interaksi antar-
etnis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Hindia Belanda. Konteks penelitiannya
lebih dominan dari media-media yang membicarakan tentang pengalaman diskriminasi
warga Tionghoa di Indonesia. Yang membedakan dengan penelitian ini adalah peneliti
tidak hanya mendapat informasi dari berbagai media saja, tetapi secara khusus melalui
metode oral story untuk memberi ruang bagaimana bisa membangun rasa kepercayaan
mereka terhadap peneliti dan cakupan wilayah penelitian tidak luas hanya etnis
Tionghoa yang berada di wilayah Kota Pontianak.
Gagasan-gagasan (Heryanto, 2018) semakin nampak praktik diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa dibongkar oleh sebuah sejarah sebagai perjalanan etnis
Tionghoa dari waktu ke waktu dengan potret yang jelas bahwa semuanya itu adalah
bagian dari sejarah masa lalu. Heryanto (2018: 200 & 210) menjelaskan pula soal kaum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
etnis Tionghoa di Indonesia bukan satu-satunya kelompok minoritas di negeri yang
amat majemuk ini yang menjadi korban kebijakan negara yang diskriminatif dalam
waktu panjang, Namun, karena berbagai alasan berikut ini bahasan etnis Tionghoa
dalam Indonesia mutakhir secara historis amat khas, sehingga diskriminasi terhadap
mereka agak khusus. Pertama, selain saudara-saudara setanah air keturunan India, tak
ada kelompok minoritas lain yang menempati posisi ekonomi seistimewa etnis
Tionghoa sejak era kolonialisme hingga kini. Oleh karena itu, diskriminasi terbuka dan
resmi terhadap minoritas ini menjadi aneh karena tidak sesuai dengan anggapan umum
bahwa kekuatan ekonomi dapat dialihkan menjadi kekuatan politik dan moral dan
sebaliknya. Tentu saja ini adalah contoh istimewa pepatah „uang tak bisa membeli
segalanya‟. Sekalipun demikian, membicarakan kekuatan ekonomi, kelompok etnis
Tionghoa, atau kelompok etnis apa pun, bukan tanpa masalah, sebab gagasan paling
pokok mengenai etnisitas itu sendiri sudah amat bermasalah (Philphott, 2000:87-7).9
Tambahan lagi, angan-angan publik dan di ruang diskusi tentang kemakmuran
kelompok etnis Tionghoa kerap diwarnai oleh pernyataan yang berlebihan dan stereotip.
Kalaupun kita andaikan sejenak bahwa „Indonesia Tionghoa‟ adalah kategori yang jelas,
sejauh mana skala kelompok ini merupakan sumber ketegangan, perdebatan,
kegoncangan dan penuh spekulasi bagi etnis lain di Indonesia.10
Kedua, sebagaimana yang dibahas pada bab II, bahwa mereka yang dinyatakan
sebagai Indonesia keturunan India dan mereka yang keturunan Eropa, banyak orang 9 Philpott mengutip karya Richard Robinson sebagai contoh utama bagaimana analisis politik ekonomi
yang inovatif, dengan perhatian serius pada proses dinamika sejarah, dapat berjatuh menjadi „pandangan
statis tentang etnisitas” yang terlanjur lazim ( Philpott 2000:85). 10
Sementara kesenjangan ekonomi amat jelas dalam pengamatan sehari-hari, persisnya kesenjangan itu
dan nilai pentingnya masih terbuka diperdebatkan. Banyak warga etnis Tionghoa di Indonesia tergolong
miskin. Misalnya saja di Pontianak daerah Sungai Raya, Siantan, dan Jeruju mereka rata-rata hidup di
bawah garis kemiskinan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Indonesia dari latar belakang etnis Tionghoa menjadi tokoh penting dalam membangun
bangsa ini, namun sejak Orde Baru seakan-akan tidak mengakui mereka baik yang
berperan memperjuangkan kemerdekaan, tokoh-tokoh politik, pendidikan, dan sosial
budaya seakan-akan dicoret supaya hilang dari sejarah resmi berdiri tegaknya bangsa
Indonesia yang dibangun oleh keberagaman etnis di Indoensia.11
Ketiga, kita tahu bahwa lebih dari etnis minoritas lain (termasuk keturuan India
& Eropa), orang Indonesia-Tionghoa merupakan satu-satunya sasaran paling empuk
dari kekerasan massa yang disponsori negara pada abad ke-20, termasuk peristiwa 1998,
yag mendahulu keruntuhan secara resmi rezim Orde Baru, dan merupakan kekerasan
terhadap etnis Tionghoa terburuk dalam beberapa dekade (Purdey, 2013).12
Oleh
karena itu, ketika kategori minoritas ras (misalnya; etnis Tionghoa) diuraikan kedalam
bahasa legal-formal, masalah krusial yang patut diamati adalah sejauh mungkin
dihindari dampak minoritasi. Ini misalnya jika pada akhirnya kelak suatu landasan
hukum yang spesifik bagi pemenuhan hak minoritas diperlukan, jangan sampai
membawa kepada upaya stabilisasi (pelanggengan) makna minoritas itu sendiri
(Budiman, 2007: 64). Kepentingan untuk melindungi kelompok minoritas harus disertai
dengan upaya untuk memberi kebebasan mereka untuk berubah atau mengubah diri
secara kolektif.
11
Maka untuk menjawab persoalan ini pada bab III semakin jelas bagaimana mereka mengtionghoakan
kembali dengan membangun dipelbagai aspek kehidupan di masyarakat Kota Pontianak sebagai salah
satu bentuk komitmen mereka bahwa mereka adalah bagian dari warga Indonesia. 12
Jemma Purdey mendeskripsikan secara panjang lebar kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia 1996-
1999. Dalam pengantar bukunya, Purdey melukiskan narasi tentang kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia
sangat mengejutkan dan belum pernah ditulis dengan menggunakan etnisitas sebagai narasi atau
keturunan utamanya. Penjelasan-penjelasan yang ada tampaknya selalu mengambil jalan putar,
menghindari etnisitas sebagai faktor penyebab sebagaimana mestinya. Tuntutan utama yang mendominasi
interprestasi yang sudah ada merupakan kompetisi ekonomi dan terorisme negara yang rasial (2013:vii).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Namun di dalam politik kewargaan, bahasa polesemi sebaiknya memang
tidak harus menghalangi ikhtiar kita untuk menghormati suatu kontrak politik
bersama sebagai warga negara yang diikat oleh sistem hukum yang sama.
Parekh (2002), memberi penjelasan menarik dalam konteks ini, bagaimana suatu
politics of difference sebagai upaya menghormati kelompok minoritas dapat
terus dijalankan, tetapi pada sisi lain konsensus sebagai basis politik kewargaan
tetap dapat dilaksanakan.
Ketiga, Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan
Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik (2001), menggunakan penelitian
etnografi melihat relasi kuasa tentang keluarga Indonesia dalam politik. Di sini
Shiraishi melihat dan menyikapi temuan diskriminasi bahwa bagaimana
masyarakat Tionghoa Indonesia pada zaman Orde Baru mengalami represi oleh
politik kuasa dan otoriter dalam sebuah pemerintahan orde baru. Melihat kelas
sosial sebagai satu cara merumuskan identitas masyarakat di Indonesia. Sama-
sama menggunakan metode etnografi. Namun yang membedakan penelitian ini
adalah cara hadir pada obyek penelitian dengan menggunakan media film
tertentu agar subyek yang diteliti bisa menjawab persoalan mereka ketika
meromantismekan kembali masa kejayaan hidup mereka di Tiongkok.
Sementara dalam penelitian ini, peneliti mendengar langsung pengalaman
warga Tionghoa secara personal dengan contoh-contoh yang konkret tentang
pengalaman diskriminasi baik pengalaman masa lalunya maupun pada saat
penelitian berlangsung. Kesamaan yang lainnya adalah; sama-sama membangun
melawan lupa yakni ingatan pengalaman represi di era Orde Baru. Relasi kuasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
di sini sangat kuat dalam mendekripsikan analisa data-data yang ditemukan oleh
Shiraishi.
Dari beberapa penelitian di atas, hasil temuan sementara dapat
disimpulkan bahwa adanya perbedaan dengan penelitian ini, di mana tidak
berpusat pada narasi-narasi diskriminasi rasial yang hanya dideskripsikan secara
administrasi saja, sejarah, tekanan penguasa, tetapi ada diskriminasi sosial rasial
yang berhubungan nilai-nilai hak azasi kehidupan manusia di berbagai
kehidupan di masyarakat Kota Pontianak. Dengan kata lain penelitian ini,
peneliti secara khusus menyediakan ruang untuk mendengar kegelisahan batin
mereka yang menjadi korban dari diskriminasi sosial yang dikepung oleh dua
etnis yang mendominasi di Kota Pontianak.
Penelitian ini memberi warna tersendiri diskursus tentang etnis
Tionghoa yang mengalami diskriminasi sosial melalui wawancara dan
pengamatan di lapangan dengan melihat perubahan-perubahan dinamika dalam
relasi dengan etnis etnis Melayu dan Dayak di Kota Pontianak. Sejak reformasi
berlaku, bagi etnis Tionghoa merupakan udara yang cerah dalam berdemokrasi
sehingga tidak takut menunjukkan kembali identitas ketionghoannya di tengah
etnis lainnya di Kota Pontianak. Inilah perbedaan dan kekhasan dengan hasil
penelitian dari peneliti lainnya. Selain itu, sebagai pendatang baru dalam
meneliti etnis Tionghoa, penelitian diskriminasi sosial tentang etnis Tionghoa
merupakan bagian dari cara saya untuk mengolah dan mengubah cara pandang
sebelum mengenal orang Tionghoa di Kota Pontianak dan sesudah merasakan
hidup bersama dengan mereka di Kota Pontianak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
G. Kerangka Teori
Konsep teoritis sebagai pendukung dalam tulisan ini menggunakan beberapa
teori yaitu: (1) Konsep Barker (2002) tentang Identitas Diri, ( 2) Konsep Mely G. Tan
(2008) wacana tentang Diskursus Diskriminasi Sosial, Ras Cina di Indonesia (3) James
C. Scott (1990), tentang dominasi dan perlawanan.
1. Teori Identitas diri
Konsep Barker (2000) tentang identitas diri dalam masyarakat pascamodern,
memiliki tiga hal yang terkandung di dalamnya yakni: etnisitas, ras dan nasionalitas.
Ketiga dimensi tersebut merupakan bentuk dari identitas kultural dan hasil dari
konstruksi performatif-dikursif.13
Barker melihat bahwa identitas etnis, rasial dan
nasional dalam masyarakat tidak lain hanyalah ciptaan kultural yang bersifat sementara.
Di samping itu, tidak pernah stabil tetapi bersifat dinamis, di mana masyarakat bisa
mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Bagi Barker manusia bukanlah „benda‟
yang universal atau secara mutlak eksis. Sebaliknya identitas manusia itu tidak bersifat
arbitrer14
karena mereka distabilkan secara temporer oleh praktik-praktik sosial. Selain
itu dia melihat secara khusus tentang etnisitas, yang semakin memperjelas kepada kita
bahwa narasi yang dibangun oleh masyarakat etnis lain terhadap etnis tertentu
merupakan hasil dari produk Social Cultural.
13 Chris Barker dalam Kamus Kajian Budaya (2014:79 & 203) menjelaskan bahwa makna Performatif-
diskursif merupakan produksi pengetahuan lewat bahasa memberikan makna pada objek-objek material
dan praktik-praktik sosial yang sering disebut sebagai praktik diskursif. Sedangkan performatif suatu
praktik diskursif yang menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang ia namai dengan cara mengutip
norma atau konvensi “hukum”. Dengan Kata lain performativitas adalah produksi identitas yang bersifat
diskursif dengan cara repetisi dan resitasi “cara-cara tertentu yang diatur tentang identitas. 14 Istilah arbitrer disini adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud
bunyi) dengan konsep yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer, 1994:45).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Selain itu, Barker (2000:234) menelisik tiga ruang tentang identitas diri (etnisitas,
ras dan nasionalitas) yang merupakan hasil dari konstruksi performatif-diskursif, tidak
mengacu kepada „hal‟ yang telah ada sejak lama. Jadi, mereka lebih merupakan kategori
kultural yang relatif ketimbang sebagai 'fakta biologis dan universal. Barker
menemukan sebuah konsep yang begitu cair tentang etnisitas yang mengacu pada
pembentukan dan pemeliharaan sekat-sekat kultural dan memiliki keuntungan berupaya
penekanan kepada sejarah, kebudayaan, dan bahasa.
Memperbincangkan tentang „ras‟ bagi Barker merupakan suatu ide problematis
karena asosiasinya dengan diskursus biologis tentang „superioritas‟ dan „subordinasi‟
yang bersifat instrinsik dan terelakan. Namun, ide tentang rasionalisasi atau
pembentukan ras memiliki keuntungan berupa penekanan kepada relasi kekuasaan,
kontrol, dan dominasi dalam ikatan cultural merugikan karena muncul budaya kelas-
kelas sosial yang tidak sadar dipratekkan oleh pemangku jabatan. Hegemoni dan relasi
kuasa menjadi patron individu untuk melakukan apa saja yang ada dalam hasrat dirinya.
Hal ini juga yang dikemukakan oleh Stuart Hall (1992b) via Barker (2000:176)
bahwa, identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang
diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus menerus tentang adanya kontinuitas
biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis” „Apa yang
harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa? Individu berusaha untuk
mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana „diri‟ membentuk suatu lintasan
perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan‟ (Giddens,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
1991:75)15
. Jadi identitas diri bukanlah sifat „distingtif‟ (membedakan antara satuan
bahasa) atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki oleh individu. Identitas adalah
diri sebagaimana yang dipahami secara refleksi oleh orang dalam konteks biografisnya
(Giddens,1991:53).16
Mengutip gagasan Stuart Hall (via Chang Yau Hoon 2012:Xii-Xiii), bahwa
identitas dalam modernitas akhir tak pernah utuh tetapi semakin terfragmentasi17
.
Identitas tak pernah tunggal tetapi terbentuk secara bergelombang lintas wacana, praktik
dan posisi yang berbeda-beda. Kesemuanya ini merupakan produk sejarah, dan terus-
menerus berproses yang diwarnai perubahan dan transformasi (1996b:4). Identitas
dibangun melalui perbedaan hanya melalui relasi dengan si „Liyan‟, relasi dengan apa
yang bukan dan apa yang dimiliki (si „Diri‟), identitas bisa dikonstruksi. Jadi identitas
adalah produk dari perbedaan dan pengecualian, dari pada simbol-simbol „kesatuan‟
yang terbentuk secara alami dan identik. Identitas seharusnya tidak dikonseptualisasikan
sebagai alami dan esensialis, tetapi semestinya dikonseptualisasikan sebagai sesuatu
yang relasional, berkelanjutan dan dalam proses menjadi, dalam arti terus-menerus ada
proses „identifikasi‟ (Hall 1987:130).
15
Barker, 2000 hal. 175 16
Ibid 17
Defragmentasi adalah sebuah proses untuk menangani berkas-berkas yang mengalami fragmentasi
internal. Sebuah berkas dikatakan terfragmentasi mana kala berkas tersebut tidak menempati ruangan
yang saling berdekatan dalam penyimpanan fisik fragmentasi dapat menyebabkan subsistem media
penyimpanan melakukan operasi pencarian data yang lebih banyak, sehingga dengan kata lain berkas
terfragmentasi dapat memperlambat kerja sistem, khususnya pada saat melakukan operasi yang berkaitan
dengan media penyimpanan (https://id.wikipedia.org/wiki/Defragmentasi diakses, 27 Mei 2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2. Teori Diskriminasi Sosial
Mely G. Tan (2008:265-269), mendeskripsikan tentang diskriminasi sosial
tersebut dalam tiga komponen, yaitu: pertama, bagaimana diskriminasi bertalian
dengan perilaku yang membeda-bedakan (secara negatif maupun positif, seperti
memberikan privilese atau hak istimewa) berdasarkan ras, asal usul etnis, agama,
tetapi juga warna kulit, jender, umur, keadaan sosial ekonomis, fisik, mental, dan lain
sebagainya; pada dasarnya yang lumrah bahwa manusia (seperti juga hewan) cendrung
berkumpul dengan sesamanya. Jadi mestinya tidak menjadi masalah. Berkumpul
demikian baru menjadi masalah jika berdasarkan pengelompokan itu kelompok-
kelompok lain dilihat dan diperlakukan berbeda, bahkan dengan cara merugikan,
atapun dengan permusuhan. Biasanya diskriminasi muncul dalam hubungan antara
kelompok mayoritas dan minoritas dari segi kuantitatif, walaupun ada pengecualian
dalam hal diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan di seluruh dunia secara
kuantitatif merupakan mayoritas, tetapi dari segi statusnya dan proyek hidupnya
diperlakukan sebagai minoritas.
Kedua, konsep ras dalam ilmu-ilmu sosial hampir tidak dipakai lagi, karena
dengan mobilitas manusia yang begitu luas dan sudah berlangsung begitu lama, yang
menyebabkan terjadinya perkawinan campur antar rasa tau kelompok etnis,
“kemurnian” ras sulit dipertahankan. Akibatnya, sedikit sekali negara yang
masyarakatnya homogeny terdiri dari satu ras atapun satu kelompok etnis saja. Maka,
sekarang konsep yang dipakai adalah kelompok etnis yang berdasarkan kebudayaan
yang terutama terlihat dari bahasanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Ketiga, kelompok etnis adalah pengertian yang sudah lumrah dipakai dalam
ilmu-ilmu sosial untuk kelompok-kelompok dengan ciri-ciri kebudayaan tertentu,
khususnya bahasanya. Anggota kelompok kebudayaan ini biasanya
mengidentifikasikan dirinya (self-identification) sebagai angggota kelompok tersebut
dan oleh orang lain juga diidentifikasi demikian. Di Indonesia menurut para
antropolog kurang 300 kelompok etnis (ada yang menyatakan lebih dari itu,
tergantung dari pembagian dalam kelompok sub-etnis) dengan jumlah bahasa yang
kurang lebih sama. Di samping itu ada golongan keturunan asing, yang terbesar
keturunan Tionghoa, lalu keturunan Arab, India, Belanda, Portugis. Maka, Indonesia
seperti kebanyakan negara di dunia saat ini, adalah negara dengan masyarakat yang
beragam/majemuk atau sesuai dengan motto Bhinneka Tunggal Ika, masyarakat yang
bhineka.
Berpangkal tolak dari beberapa anggapan dasar di atas ini, sudah terungkap
dari berbagai perundang-undangan, peraturan, maupun produk pemerintah lainnya
serta berbagai kebijakan dan peristiwa kekerasan, bahwa di Indonesia terjadi
diskriminasi berdasarkan ras atau etnis dan agama maupun berdasarkan gejala-gejala
lain dalam masyarakat yang di bahas dalam tesis ini. Maka dapat disimpulkan bahwa,
keadaan yang terdapat tindakan dan perilaku diskriminatif sudah terbukti rentan
berkembang menjadi yang perlanggaran HAM mudah terjadi. Selain itu, dalam
konteks Indonesia berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
berhubungan dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung maupun tidak langsung kebebasan dasar dalam kehidupan
lainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Mely G.Tan (2008:27) dalam tulisannya tentang etnis Tionghoa di Indonesia
bagaimana membahasakannya bahwa narasi-narasi ketidaksukaan terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama terjadi. Ketika hal itu
diperlihatkan lewat berbagai cara melihat etnis Tionghoa, maka munculah budaya
diskriminasi sosial yang menimpa atas mereka. Diskriminasi sosial yang dialami oleh
etnis Tionghoa, Mely G.Tan melukiskannya di dalam berbagai aspek kehidupan yang
terjadi masyarakat dari masa Orde Baru hingga pasca reformasi.
Berbagai pengalaman kasus diskriminasi (Mely G. Tan, 2008:193)
mendeskripsikan bahwa diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dalam penggunaan
bahasa merupakan gejala yang sangat menonjol sejak pemerintahan Soeharto. Menurut
Mely G.Tan, politik bahasa di era Orde Baru justru dipakai dalam penggunaannya
untuk kepentingan pemerintahan dan elit politik. Dari sini kita bisa melihat dengan
konkret bahwa, ketika Bahasa Mandarin menjadi ancaman dalam pemerintahan Orde
Baru akan sangat mempengaruhi juga di sekolah-sekolah yang didominasi oleh siswa
Tionghoa. Maka ketidaksukaan Bahasa Mandarin di tingkat pusat mempengaruhi juga
ketidaksukaan masyarakat tingkat lokal.
Lagi-lagi Mely G.Tan menguraikan bahwa gejala rekayasa yang ditujukan
kepada suatu golongan dalam masyarakat Indonesia, yaitu golongan etnis Tionghoa
atau golongan Indoenesia-Tionghoa merupakan kebijakan yang diskriminatif. Mely
G.Tan menguraikan bahwa, peranan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, yang makna dan wujudnya ditentukan oleh pemerintah dan
elit yang berkuasa, sehingga dapat dipertanyakan apakah bahasa dalam keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
demikian merupakan kekuatan integratif atau justru sebaliknya untuk memecahkan
persatuan bangsa.
Pengalaman sangat traumatis selama pemerintahan Soeharto, yang
mengakibatkan rusaknya sendi-sendi masyarakat (fabric of society), mengharuskan
adanya pembenahan kembali secara sungguh-sungguh dari hubungan antar berbagai
kelompok masyarakat dan harapan bahwa pemulihan hubungan menuju kedamaian
bagi semua dapat tercapai (2008:194). Dampak dari kebijakan yang menekankan salah
satu etnis tertentu, menjadi sebuah kewajiban di sekolah agar siswa wajib berbahasa
Indonesia yang benar dan dilarang menggunakan bahasa ibu atau daerah.
Selain itu Mely G.Tan (2008:193-204) melihat bagaimana bahasa dan politik
rekayasa pada zaman Orde Baru yaitu gejala yang sangat menonjol adalah
penggunaan bahasa untuk kepentingan pemerintah dan elit politik dan menimbulkan
diskriminasi. Wacana tersebut merupakan pemaparan dari gejala rekayasa bahasa yang
ditujukan kepada suatu golongan dalam masyarakat Indonesia, yaitu: golongan etnis
Tionghoa atau golongan Indonesia Tionghoa. Diskriminasi bahasa ini menentukan
juga penentuan sebutan atau nama golongan tertentu untuk memaksa ke dalam sebuah
bahasa untuk bisa berelasi atau melebur secara paksa dalam kehidupan orang-orang
Tionghoa sendiri. Di sini orang-orang Tionghoa mengalami paradoks.
Dalam penelitian ini, peneliti melihat bahwa sejak pasca reformasi, mengalami
perubahan bahasa, yakni bahasa Mandarin dihidupkan kembali di lembaga pendidikan
sebagai media atau alat komunikasi untuk bisa memposisikan brandingnya dengan
bahasa asing lainya di sekolah. Bagi etnis Tionghoa bahasa Mandarin sebagai ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
berdemokrasi yang membebaskan baginya dari tekanan-tekanan penguasa masa lalu.
Sedangkan bagi etnis lain di Kota Pontianak, bahasa Mandarin bisa meruncing
kegelisahan dalam berkomunikasi satu sama lain baik di ruang publik maupun
tempat-tempat tertentu seperti di warung, pasar, kafe, mall, sekolah, kantor pabrik,
tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Untuk mendukung konsep di atas, bila dipadukan dengan gagasan Effendi dan
Prasetyadji (2008:36 & 37), yang menyatakan bahwa diskriminasi dalam konteks
kultural, dalam hubungan antara individu sebenarnya merupakan fenomena umum
terjadi dimanapun di belahan dunia ini. Namun, fenomena tersebut menjadi tidak
lazim dan menjadi permasalahan serius ketika suatu pemerintahan negara yang
berdasarkan kepada hukum (rechtstaat) dan demokrasi, melakukan politik
diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri, melalui berbagai peraturan perundang-
undangan dan kebijakan, yang merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan
prinsip-prinsip kemanusiaan.
Gagasan-gagasan tersebut di atas, jika dielaborasi dengan pandangan Chang-
Yau Hoon (2012) bahwa, cara meneropong sejarah diskriminasi sosial dalam konteks
penelitian etnis Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari wacana yang dominan
dalam mengakomodasi etnis Cina di Indonesia selama masa pemerintahan Presiden
Soeharto. Salah satunya adalah proses asimilasi, yang dipaksakan untuk menyerap
minoritas ini ke dalam badan nasional. Akan tetapi, diskriminasi resmi yang
berkelanjutan terhadap etnis Cina menempatkan mereka ke dalam posisi paradoks
yang membuat mereka sebagai target yang mudah terkena kekerasan ras dan kelas
masyarakat. Kebijakan multikulturalisme telah disahkan oleh pemegang kekuasaan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Indonesia saat ini sebagai pendekatan yang lebih disukai untuk membangun bangsa
kembali, yang sesuai dengan motto Bhinneka Tunggal Ika.
Dari konsep Mely G. Tan di atas, diskriminasi rasial yang tidak berpusat pada
narasi-narasi dengan mendeskripsikan persoalan secara administrasi saja, sejarah,
tekanan penguasa, tetapi ada diskriminasi sosial rasial yang berhubungan nilai-nilai
hak azasi kehidupan manusia di berbagai kehidupan sebagaimana yang dialami oleh
etnis Tionghoa di Kota Pontianak. Konsep ini sebagai tempat atau ruang untuk
menyediakan diri dengan mendengar kegelisahan batin mereka yang menjadi korban
dari diskriminasi sosial tersebut.
3. Teori Perlawanan
Konsep perlawanan (resistensi) sebagai cara James C. Scott (1990), melihat
masyarakat yang mendominasi terhadap sesamanya dengan cara melakukan sebuah
strategi atau sebuah seni melakukan perlawanan. James C.Scott melihat bahwa ketika
masyarakat tidak mampu melawan relasi kuasa, ideologi tunggal dan otoriter pemimpin
dalam masyarakat tertentu, maka berbagai strategi yang dilakukannya tanpa melakukan
kekerasan fisik tetapi ideologi intelektualnya mampu membendung kelompok yang
dominasi dan menekan kelompok kecil dalam masyarakat. Delapan bab dalam buku
tersebut saya mengambil sesuai kebutuhan saya di lapangan yakni bab satu sampai
empat.
Bagian pertama, ulasan James C. Scott (1990: 1-16), tentang Hidden
Transcripts menempati posisi penting dalam kajian gerakan sosial. Bukan hanya karena
berhasil mengungkap relasi kuasa antara kelas bawah dan kelas elite, namun Scott juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
sukses menyingkap pola resistensi kelas bawah yang melandasi terbentuknya gerakan
sosial. Dalam mengungkap relasi kuasa antara dominasi dan resistensi, Scott
mengungkapkan dua konsep tentang pola interaksi yang berbeda: Public
Transcripts dan Hidden Transcripts. Public Transcripts adalah pola interaksi yang
nampak dan terjadi di ruang publik antara tuan dan budak, majikan dan pelayan,
pengusaha dan buruh, penguasa dan bawahan, dan sebagainya. Dalam ruang publik,
kelas subordinat menunjukkan kepatuhannya kepada aturan-aturan yang dibentuk dan
dikuasai oleh kalangan elite. Diskursus dalam ruang publik nampak dikendalikan oleh
kelas penguasa. Namun, sebenarnya kelas elite tidak sepenuhnya mengendalikan kelas
subordinat. Sebab, terdapat pola interaksi informal yang dibangun kelas subordinat di
luar pengawasan kelas penguasa. Pola interaksi tersembunyi yang hanya terjadi di
antara kelas subordinat inilah yang dimaksud Scott sebagai Hidden Transcripts. Tidak
hanya terjadi di antara kelas subordinat, kelas penguasa juga memiliki Hidden
Transcripts tersendiri.
Berbeda dengan Public Transcripts yang lebih banyak menunjukkan tampilan
luar dari pola sikap dan perilaku yang motif-motifnya sengaja disembunyikan oleh para
aktor, Hidden Transcripts mampu menyingkap bentuk-bentuk penolakan kelas
subordinat terhadap dominasi kelas elite, atau mengungkap berbagai motif dan
kepentingan yang disembunyikan oleh kelas elite. Dalam konteks kelas
subordinat, Hidden Transcripts ini merupakan bentuk resistensi yang terus disampaikan
hanya pada orang-orang yang dipercaya dan pada tataran tertentu dapat melahirkan aksi
konfrontasi secara terbuka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Dalam Public Transcripts, kelas subordinat memiliki pertimbangan dan
alasannya tersendiri dalam menyembunyikan resistensi dan menunjukkan kepatuhan
terhadap kelas elite. Begitu pula kelas elite yang membutuhkan berbagai bentuk
pembenaran dengan klaim-klaim tertentu yang melegitimasi kekuasaanya yang dapat
diterima oleh kalangan subordinate. Dalam hal inilah selalu ada beragam kemungkinan
dan kontradiksi yang terjadi dalam intervensi Hidden Transcripts terhadap Public
Transcripts.
Scott (1990: 17-44) memetakan tentang ruang publik sering menampakkan
keteraturan yang harmonis di antara para aktor dan hampir tanpa gejolak. Tampilan luar
itu selalu mengelabuhi bahwa sebenarnya terjadi konflik terselubung terhadap pola
dominasi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, kelas subordinat tidak
melakukan pemberontakan terbuka, namun lebih memilih melakukan tindakan-tindakan
tersembunyi yang lebih aman, seperti perusakan diam-diam, pencurian dan sebagainya.
Cara paling aman dalam menghancurkan dominasi adalah penyebaran citra buruk bagi
elite tertentu. Dalam hal inilah resistensi subordinat dimulai dari pembentukan diskursus
yang bertentangan dengan diskursus dominan.
Diskursus terselubung yang dibangun oleh kelas subordinat ini disebut Scott
dengan infrapolitik kelas subordinat. Namun, dalam interaksi formal, kelas subordinat
nampak lebih memilih kepatuhan terhadap aturan-aturan yang diterapkan oleh kelas
dominan. Menurut Scott, kecenderungan patuh kelas subordinat pada dominasi kelas
elite hanya dapat dipahami berdasarkan kondisi eksternal yang mengitari kehidupannya.
Melalui berbagai pertimbangan dalam pengalamannya, kelas subordinat memilih patuh
dan menghindari berbagai risiko yang dapat menimpanya jika memilih menentang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Namun, meski memilih patuh, kelas subordinat tetap mencari cara untuk menyalurkan
kepentingan-kepentingannya, bahkan dengan memanfaatkan pola-pola aturan yang
ditetapkan kelas dominan.
Selain itu, Scott (1990:45-69) menguraikan bahwa seperti halnya resistensi, pola
dominasi tidak terbentuk secara serentak, namun terus-menerus diperkuat, dipelihara
dan ditingkatkan. Berbagai peristiwa dirancang sebagai penguat diskursus dominasi.
Legitimasi terhadap superioritas kelas elite sering dilakukan dalam kegiatan-kegiatan
kecil sehari-hari, seperti pengawasan dan bimbingan terhadap kelas subordinat.
Berbagai ritual dan aktivitas yang menetapkan dan melegitimasi superioritas kelas elite
dilakukan terus-menerus. Tanpa adanya kelemahan yang ditampakkan oleh kelas
penguasa, kekuasaan mereka terus berlangsung tanpa tantangan.
Meski demikian, pola-pola pembenaran terhadap superioritas dan dominasi yang
dibangun kelas elite juga dapat menjadi boomerang. Kelas elite harus selalu
menampakkan wibawa di hadapan subordinat sesuai dengan statusnya. Setiap sikap dan
perilakunya tidak boleh menunjukkan kelemahan. Dalam kondisi itulah kelas elite
selalu berupaya memberikan pembenaran terhadap dominasi yang dapat diterima oleh
kelas subordinat, melalui stigma-stigma pembenaran superioritas yang akhirnya
menjeratnya. Jika kelas elite melenceng dari stigma-stigma yang dibentuknya sendiri,
maka akan menerima ejekan dan karenanya kekuasaannya melemah.
Selain penguatan simbolik dalam stigma dan status, kelas elite selalu dituntut
untuk mencegah adanya resistensi dan memperbaharui pola dominasi. Pengawasan
terhadap kelas subordinat terus ditingkatkan. Acara-acara formal bersama para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
subordinat terus digalakkan untuk menetapkan pola hirarki, sementara relasi informal
antarsubordinat dicegah. Sebab perkumpulan informal di antara subordinat, yang
melandasi terbentuknya Hidden Transcripts, tidak dapat terpantau. Keefektivan sistem
dominasi itulah yang melemahkan resistensi subordinat dan seolah memaksanya untuk
patuh.
Lagi-lagi Scott (1990: 70-108) mengkritisi pandangan tentang terbentuknya
kesadaran palsu dan hegemoi. Seara umum, pandangan ini menyatakan bahwa
penerimaan dan kepatuhan kelas subordinat terhadap pola dominasi, meski
merugikannya, didasarkan pada hegemoni ideologi yang ditanamkan oleh kelas elite.
Hegemoni ideologi ini memberikan pemahaman yang salah tentang realitas sosial,
sehingga membentuk kesadaran palsu bagi kelas subordinat. Pandangan tersebut seolah
menetapkan subordinat sebagai aktor pasif yang tanpa pertimbangan.
Kelas subordinat memiliki kemampuan untuk membangun resistensi dan
melakukan konflik sosial. Kelas subordinat juga selalu berusaha memenuhi
kepentingannya. Karenanya, ideologi yang menghegemoni harus mampu meyakinkan
kelas subordinat bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya dalam pola sosial yang
ditawarkan kalangan elite. Hanya dalam kondisi itulah kelas subordinat menerima pola
dominasi. Namun, kelas subordinat tetap menyimpan harapan-harapan yang
memungkinkan mereka melakukan pemberontakan dalam kondisi tertentu. Dalam hal
ini, bukan ideologi menentukan kepatuhan dan menghambat resistensi, tetapi lebih
berdasarkan kondisi relasional dalam pola dominasi yang terus-menerus diciptakan oleh
kelas elite.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Seni melakukan perlawanan terhadap masyarakat yang menguasai satu sama
lain, menurut James C.Scott (1990:x), bahwa ia bisa mengklaim sama sekali tidak ada
orisinalitas untuk pengamatan tentang kekuasaan ini hubungan dan wacana. Mereka
adalah bagian tak terpisahkan dari kebijaksanaan rakyat jutaan yang sehari-hari
menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam situasi yang sarat kekuasaan di
Indonesia dimana gerakan yang salah tempat atau kata yang salah diucapkan dapat
memiliki konsekuensi yang mengerikan. Apa yang Scott coba lakukan di sini adalah
mengejar ide tersebut, secara lebih sistematis, bukan untuk mengatakan dengan sabar
dan tabah, untuk melihat apa yang bisa diajarkannya kepada manusia tentang
kekuasaan, hegemoni, resistensi, dan subordinasi (kekuatan dalam pertarungan politik
kekuasaan) dalam masyarakat.
Konsep Scott di atas, sepadan dengan cara pandang Saukko dilatari oleh
pandangan Marxis yang pesimiktik bahwa budaya hanya berfungsi sebagai “candu
masyarakat”, konsep resistensi mau menunjukan bahwa masyarakat memiliki
kemampuan kreatif dan kritis untuk “melawan” (resist) dominasi. Saukko (2003), akar
filosofisya pendekatanya ini adalah kegandrungan kajian budaya pada teori „hegemomi”
Antonio Gramsci (1971). Menurut Gramsci, hegemoni atau kepemimpinan budaya
(cultural leardership) yang melegitimasi tata sosial yang ada, diciptakan oleh berbagai
institusi budaya seperti media, sekolah, gereja, dan sebagainya. Namun, hegemoni
mengandung sejumlah kontradiksi. Untuk menyelesaikan ini perlunya melahirkan
intelektual organik.
Konsep James C. Scott yang didukung oleh Saukko tentang perlawanan, sangat
membantu saya dalam penelitian ini dimana masalah ini masih sangat relevan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
bagaimana etnis Tionghoa terhegemoni oleh sebuah kepemimpian sejak zaman kolonial
Orde Baru hingga pasca reformasi. Orang Tionghoa tidak melawan dengan kekerasan
tetapi melalui simbolik perubahan di berbagai aspek kehidupan dengan kata lain
membangkitkan kembali ketionghoannya dengan berbagai macam bentuk kehidupan
yang konkret. Inilah strategi atau seni dalam melakukan perlawanan terhadap etnis di
Kota Pontianak digagas oleh kaum intelektual organik etnis Tionghoa yang
tersembunya namun nampak dalam perwujudan di berbagai aspek pembangunan di
Kota Pontianak.
Konsep Scott (1990) didukung oleh Pratto, Sidanius, dan Levin (2014 :4-42)
tentang „Dominasi Sosial‟, yang membahas tentang bagaimana diuraikan dan
dikembangkan dalam upaya untuk memahami caranya hierarki sosial berbasis
kelompok dibentuk dan dipertahankan oleh kelompok dominan dalam masyarakat.
Menurut oleh Pratto, Sidanius, dan Levin konsep teori dominasi sosil, pada umumnya
tidak seperti teori prasangka, stereotip, dan diskriminasi dalam psikologi sosial yang
berbicara mengenai realitas kelompok yang berkonflik, identitas sosial sebagai
kategorisasi diri yang melahirkan stereotip-stereotif.
Asumsinya bahwa teori dominasi sosial harus memahami proses memproduksi
dan memelihara prasangka dan diskriminasi di berbagai tingkat analisis, termasuk
ideologi budaya dan kebijakan, praktik kelembagaan, hubungan individu dengan orang
lain di dalam dan di luar kelompok mereka. Karena teori dominasi sosial memandang
masyarakat manusia sebagai sistem, tentang kelas-kelas sosial yang berbeda sehingga
muncul sebuah diskriminasi tersistem dan perlawanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Oleh karena itu menurut teori dominasi sosial, hirarki sosial berbasis kelompok
terjadi karena diproduksi dari pengaruh atau efek dari proses diskriminasi di berbagai
tingkatan misalnya mulai dari lembaga, individu, dan antar kelompok yang
berkolaboratif. Diskriminasi dalam lintas tingkat atau level ini di masyarakat di mana
didalamnya dikoordinasikan untuk mendukung kelompok dominan dan kelompok
bawahan dengan melegitimasi mitos bahwa masyarakat dibentuk secara bersama-sama
karena hasil ideologi sosial. Melegitimasi mitos tersebut di atas dengan dan mengikuti
gagasan klasik tentang tentang kekuatan sosial (Mosca, 1896; Pareto, 1901),
mengandaikan teori dominasi sosial mengasumsikan bahwa berbasis kelompok
ketidaksetaraan bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan secara terbuka intimidasi,
dan diskriminasi dari pihak dominan terhadap bawahan, melainkan karena kelompok
dominasi muncul sebagai representasi kemauan bersama (Johnson, 1994, Sanday,
1981, van Dijk, 1987).
Oleh karena itu dalam teori dominasi sosial menyatakan bahwa keputusan dan
perilaku individu yang pembentukan praktik sosial baru, terbentuk karena legitimasi
mitos dan imaginasi dari individu sehiangga membentuk sebuah masyarakat. Akibatnya
melahirkan nilai, sikap, kepercayaan, stereotip, dan ideologi budaya yang muncul
bersamaan dalam masyarakat. Konsep dominasi sosial akan muncul penguat hierarki
dan memberikan pembenaran moral serta intelektual untuk penindasan bagai
masyarakat bawahan yang dapat melahirkan ketidakadilan dengan sikap dan praktik
dalam berbagai bentuk rasisme, seksisme, heteroseksisme, stereotip, Mitos ini
melegitimasikan bahwa praktik praktik demikian oleh kelompok dominan sebagai
sesuatu adil,sah, alami, atau bermoral. Akbatnya kekuatan secara hirarki kelembagaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
semakin meningkat sehingga masyarakat bawah mengalami penindasan. Maka ketika
dikuat secara kelembagaan dengan cara itulah budaya mempertahankan dominasi
menciptakan ruang-ruang berbagai penindasan dalam masyarakat.
Jika dipadukan teori dominasi sosial dalam kehidupan masyarakat multietnis di
Kota Pontianak, maka etnis atau kelompok ras mana yang mendominasi dalam
masyarakat akan terciptalah sikap atau prilaku diskriminasi, stereotip dan prasangka.
Namun kelemahan teori ini adalah bagaimana kelompok atau masyarakat bawah
melakukan sebuah pergerakan perlawanan atas didaulatnya mitos legimitasi bahwa
yang yang paling kuat dan berkuasa dalam hidup masyarakat adalah kelompok yang
dominan baik secara struktur kelembagaan maupun secara hirarki kepemimpinan. Teori
ini hanya sampai pada sebuah rekomendasi kedepan untuk melawan penindasan
terhadap masyarakat bahwa ketika itu dilakukan dari berbagai gagasan kaum intelektual
bergerak. Jadi ideologi berjuang untuk melawan masyarakat yang mendominasi masih
bersikap pasif karena penindasan terhadap masyarakat bawahan sah –sah saja dalam
hidup bersama.
H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode
etnografi melalui pendekatan „perlawanan‟. Dengan merujuk konsep James S. Scott
(1990) dan didukung oleh konsep Gramsci tentang „perlawanan‟ masyarakat terhadap
yang mendominasi maka sangat membantu bagaimana cara mengamati fenomena sosial
budaya dalam masyarakat tertentu yang mengalami terasing dan „liyan‟ satu sama lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Dalam penelitian ini, data bersumber dari warga Tionghoa yang ada di Kota
Pontianak dan perwakilan tokoh etnis Tionghoa yang ada di Kota Pontianak. Penelitian
ini membicarakan bagaimana relasi antara warga Tionghoa dengan etnis lain di Kota
Pontianak yang selalu menjadi sorotan penelitian etnografi di masyarakat Indonesia
dengan melacak relasi antaretnis serta menelisik relasi kuasa, diskriminasi ras, politik
identitas, dan resistensi.
2. Pengumpulan Data
Penelitian dalam tesis ini, sudah melakukan pengamatan sejak Oktober 2018
sampai awal Desember 2019. Untuk mendukung observasi tersebut, peneliti melakukan
wawancara secara berkala dengan beberapa warga Tionghoa yang ada di Kota
Pontianak dengan tujuan untuk memperkuat informasi tentang pengalaman diskriminasi
yang terjadi di lingkungan masyarakat di Kota Pontianak. Selain wawancara langsung,
peneliti juga melakukan crosscek ulang dari hasil wawancara sebelumnya. Tujuanya
untuk melihat apakah ada perubahan cara mereka menceritakan pengalaman
diskriminasi yang mereka alami di lingkungan masyarakat Kota Pontianak.
3. Teknik Penelitian
Penelitian ini berlangsung dengan menggunakan dua cara yakni melalui
wawancara dan hasil pengamatan. Peneliti melakukan wawancara 13 informan atau
responden dari etnis Tionghoa dengan beragam profesi dalam kehidupannya di Kota
Pontianak. Di antaranya: tokoh budaya Tionghoa, guru-guru sekolah menengah,
pengusaha, mantan anggota DPR, ibu rumah tangga, pedagang „sembako‟ dan
perwakilan beberapa generasi muda pencinta basket di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
4. Analisis Data
Hasil data-data di lapangan diperoleh melalui wawancara, pengamatan dan
data-data ilmiah dari penelitian lain. Data yang dianalisis adalah sejarah diskriminasi
etnis, narasi-narasi diskriminasi, dan bentuk-bentuk perlawanan terhadap diskriminasi
serta konsolidasi identitas di berbagai bidang kehidupan sehari hari di Kota Pontianak.
Data-data ini dianalisis untuk melihat bagaimana perilaku diskriminasi itu menjadi
narasi yang tidak pernah berakhir untuk dikisahkan serta strategi apa yang menjadi
kekuatan warga Tionghoa agar mereka tetap merasa aman dalam relasi dengan satu
sama lainya di lingkungan masyarakat Kota Pontianak.
5. Wilayah Penelitian
Penelitian ini berawal dari kegelisahan tentang cara pandang terhadap komunitas
Tionghoa di Kota Ruteng, NTT dengan dengan melihat satu aspek yaitu menguasa di
bidang ekonomi dan perdagangan. Stereotip demikian berubah tentang etnis Tionghoa
ketika berelasi di lingkungan masyarakat Kota Pontianak. Stereotip ini mengubah
untuk tidak lagi melihat mereka dari satu aspek saja tetapi secara menyeluruh dan utuh.
Hal-hal lain yang membuat untuk lebih melihat jauh lagi adalah praktik diskriminasi
yang terjadi di lingkungan masyarakat Kota Pontianak yang seringkali dirasakan
sebagai hal-hal yang biasa dialami oleh etnis Tionghoa.
Menelisik dari frame tersebut, muncul dalam pemikiran saya mengapa etnis ini
tidak pernah habis untuk diperbincangkan baik dalam ruang ilmiah akademik maupun
di ranah publik. Kenyataan di lapangan bahwa etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas
selalu menjadi korban dari relasi kuasa dan produk sejarah yang berulang-ulang di era
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
postmoderen ini. Untuk menguatkan ide ini dan sekaligus fokus memotret etnis
Tionghoa yang ada di Indonesia, maka saya memilih wilayah penelitian yakni etnis
Tionghoa yang ada di wilayah Kota Pontianak. Hal ini sesuai dengan pengamatan dan
pengalaman bersama mereka ketika berbaur dengan etnis lainnya di Kota Pontianak.
I. Hipotesa awal
Setelah menelaah latar belakang, rumusan masalah dan kerangka teori maka
dugaan sementara bahwa sejak pasca reformasi diskriminasi rasial yang dialami di
kalangan warga Tionghoa di Kota Pontianak tidak hanya sebagai korban produk sejarah
(Kolonial Belanda dan Orde Baru) tetapi perubahan-perubahan di segala aspek
menggoncang etnis lain, sehingga relasi antar etnis di Kota Pontianak tetap menjadi
ketegangan hingga sampai sekarang. Perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan
pada pasca reformasi inilah sebagai bentuk ruang demokrasi untuk menunjukkan
ketionghoannya di Kota Pontianak. Namun apakah semua kalangan Tionghoa sudah
menghirup udara demokrasi pada pasca reformasi? Bersandar dengan pemikiran
tersebut, konsep James C.Scott (1990) tentang seni perlawanan dengan model hidden
transcript sebagai salah satu cara atau seni melawan yang mendominasi dalam
kehidupan bersama di tengah masyarakat di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
J. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini, dibagi menjadi lima bab. Masing-masing bab memiliki
keterkaitan satu dengan lainya. Bab I, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan
sistimatika penulisan. Bab II, mendeskripsikan gambaran umum sejarah diskriminasi
sosial di Kota Pontianak dari tahun 1854-1967. Bab III, membicarakan tentang
heterogenitas narasi-narasi diskriminasi di kalangan warga Tionghoa yang dinarasikan
secara terbuka dan bagaimana bentuk–bentuk perlawanan untuk menyikapi diskriminasi
yang mencengkeram atas hidup mereka di Kota Pontianak.
Bab IV, menganalisis tentang identitas, diskriminasi sosial, dan perlawanan
dengan mengelaborasi hasil temuan di lapangan serta dipadukan dengan teori-teori
yang dipakai dalam tulisan ini. Bab V penutup, yang berisi kesimpulan dan saran. Pada
bagian ini akan menyimpulkan hasil kajian dan temuan-temuan dalam penelitian tesis
ini dan juga refleksi tentang hak ikhwal dalam pergumulan menulis tesis serta
rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
BAB II
GAMBARAN UMUM SEJARAH DISKRIMINASI SOSIAl
DI KOTA PONTIANAK TAHUN 1854 - 1967
Pengantar
Bagian bab II ini diawali dengan deskripsi gambaran umum Kota Pontianak
dalam tata letak geografis dan demografis untuk membedakan antara penduduk etnis
Tionghoa yang saya alami di Kota Ruteng dengan keadaan penduduk Kota Pontianak
yang beragam etnis yakni: etnis Tionghoa, Dayak, Bugis, Melayu, Jawa dan lain
sebagainya. Kemudian, akan mendeskripsikan gambaran umum dinamika sejarah
diskriminasi sosial di kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak. Untuk membahas
sejarah diskriminasi tersebut, ada dua bagian pokok yang menjadi potret dalam
memetakan persoalan-persoalan diskriminasi yang terjadi di Kota Pontianak. Pertama,
peristiwa perlakuan bangsa kolonial atau Belanda terhadap etnis Tionghoa. Kedua,
cengkeraman zaman Orde Baru (Orba) dalam membekukan pergerakan dinamika hidup
orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan di Kota Pontianak pada khususnya.
A. Gambaran Umum Kota Pontianak
1. Letak Geografis18
Kota Pontianak adalah Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat yang terletak
di antara garis 0 02‟24‟‟- 0 01‟ 37‟‟ Lintang Selatan dan 109 16‟25‟‟- 109 23‟ 04‟‟
Bujur Timur. Kota Pontianak memiliki luas wilayah 107,82 km dan terdiri dari 6
kecamatan dan 29 kelurahan. Struktur tanah Kota Pontianak merupakan lapisan
18
Suminar Kristiani (2018:35-39) dalam Badan Pusat Statistik Kota Pontianak 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
gambut dan bekas endapan lumpur Sungai Kapuas. Lapisan tanah liat baru tercapai pada
kedalaman 2,4 meter dari permukaan Laut. Wilayah Kota Pontianak berbatasan dengan
wilayah kabupaten Pontianak, yaitu: bagian utara dengan Kecamatan Siantan. Bagian
selatan dengan Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap, dan Kecamatan
Siantan. Bagian barat dengan Kecamatan Sunga Kakap, dan bagian timur dengan
Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Perbandingan luas wilayah antarkecamatan di Kota Pontianak yang terluas adalah
Kecamatan Pontianak Utara (34,52%), diikuti oleh Kecamatan Pontianak Selatan (27,24
%), Kecamatan Pontianak Barat (15, 25 %), dan Kecamatan Pontianak Timur (8,14 %).
2. Keadaan Demografi.19
Menurut data BPSP 2018 Kota Pontianak, jumlah penduduk di tahun 2018
sebanyak: 627.021 jiwa. Secara sosiologis mereka terbelah dalam beragam etnis, seperti
etnis Dayak, Tionghoa, Melayu, Bugis, Jawa, dan Madura. Menurut etnis, didominasi
oleh Etnis Tionghoa yakni 31,24 % Dayak 33,75%, Melayu 26.05 % Bugis 13, 12 %
Jawa 11,67 % Madura 6,35 % dan etik lainya 8,57. Sedangkan dari sisi keyakinan
terbagi dalam agama yang dianuti dengan presentasi yakni Islam 69,25 % Protestan 9,32
% Katolik 6,11 % Hindu 0,14 % Budha 14,94% dan Konghucu 0,23 %. 20
Dalam komunikasi sehari-hari, masyarakat setempat menggunakan bahasa
Indonesia dialek Melayu, di samping itu, antarsesama etnis biasanya juga menggunakan
bahasa ibu mereka masing-masing seperti bahasa Melayu, bahasa Tiociu, bahasa Khek,
19
Ibid, 2018:96 dalam Badan Pusat Statistik Kota Pontianak 2018. 20
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pontianak diakses, 14 Juni 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
dan beragam bahasa Dayak, dalam bervariasi dan dialeknya21
. Meskipun disebut kota
dan sekaligus ibu kota provinsi, kawasan pinggir dalam seluruh wilayah Kota Pontianak
lebih tampak sebagai sawah, kebun, perkebunan, lading, hutan, dan semak-semak yang
menghampar atas lahan gambut. Penduduk yang menempati wilayah pinggir kota lebih
banyak berasal dari kelompok etnis Tionghoa dan Madura. Sebagian kecil berasal dari
etnis Dayak, Jawa, dan Bugis. Mata pencaharian mereka sebagai petani. Etnis Melayu
dan Dayak bekerja sebagai pedagang dan pegawai serta pelayanan jasa yang bersaing
dengan kelompok etnis Tionghoa dari golongan pedagang.22
B. Dinamika Kehidupan Etnis Tionghoa di Zaman Bangsa Kolonial Belanda
Gambaran umum, tentang dikriminasi pada zaman Belanda sebagai salah satu
sejarah yang tidak dilupakan begitu saja oleh masyarakat Tionghoa di Kota Pontianak.
Narasi-narasi tersebut, membuka kebenaran dan meluruskan narasi yang selalu
diproduksi terus menerus atau berulang-ulang, baik oleh para ahli sejarah maupun para
pemangku kepentingan dalam masyarakat. Barang kali dengan cara seperti ini, generasi
selanjutnya dapat menerima sebagai fakta bukan untuk membalas dendam, tetapi
membangun pola kehidupan baru untuk bersama-sama menciptakan masyarakat yang
kondusif dalam hidup bersama di Kota Pontianak tanpa disekat oleh perbedaan ras yang
selama ini menjadi akar perilaku diskriminatif yang terjadi. Selain itu, peristiwa yang
membuat etnis Tionghoa sungguh-sungguh menderita merupakan suatu pengalaman
dinamika warga Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan Pontianak pada khususnya
dan bagaimana kisah kisah sejarah itu untuk selalu ditelurusi kebenarannya.
21
Hasil observasi di lapangan di Kota Pontianak, November 2018-Desember 2019. 22
Ibid, hasil observasi di lapangan, 2018-2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Menurut beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa, pembagian kelas sosial pada
zaman kolonial memicu diskriminasi sosial, konflik sosial serta balas dendam antaretnis
di masyarakat Indonesia. Pembagian dan penempatan kelas sosial yang dirancang oleh
pemerintah Belanda, sangat menyakitkan bagi masyarakat kelas bawah di masyarakat
Indonesia (Onghokham, 2008:13).23
Hal ini menjadi narasi sejarah yang selalu
diperbincangkan sebagai ingatan kolektif bagi para peneliti etnografi.
1. Pembagian Kelas Sosial
Perilaku diskriminasi antaretnis atau suku di Kalimantan Barat (Kalbar) tidak
terlepas dari sejarah masa lalu bersama bangsa kolonial (Veth, 2012:3-20). Hal ini
berlaku juga pada warga Tionghoa di daerah lainnya di Indonesia. Pada masa itu, etnis
Tionghoa diperlakukan sebagai „umpan‟ politik dan ekonomi oleh bangsa Belanda.
Setereotip dari etnis lain bahwa mereka dipelakukan secara istimewa. Pada hal
kenyataan mereka jadi korban dari relasi itu sendiri. Etnis lain melihatnya secara umum
oleh karena hubungan begitu dekat antara etnis Tionghoa dengan bangsa kolonial di
bidang ekonomi.
Veth (2012) menjelaskan bahwa, pada zaman kolonial sebagaimana dialami di
daerah lain di Indonesia, Kota Pontianak merupakan daerah ekpedisi strategis bagi
mereka untuk menguasai wilayah tersebut. Relasi antaretnis sebelumnya bersifat natural
namun menjadi chaos ketika para penguasa (baca: Belanda) bermain peran untuk
menguasainya. Kehadiran kolonial ini bukan hanya menguasai bidang ekonomi dan
23
Onghokham menggambarkan bahwa, asal mula masalah Cina sebagai orang „asing‟, seperti banyak hal
di Indonesia modern, berakar pada zaman kolonial. Hindia Belanda membagi masyarakat ke dalam tiga
golongan rasial: Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) dan pribumi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
sumber alam tetapi terjadi kolonialisasi ideologi bagi penduduk lokal dengan membuat
kelas-kelas yang menyakitkan ras tertentu. Relasi kuasa ini menciptakan sifat
superioritas antaretnis dan tentunya etnis Tionghoa berada pada posisi yang
menguntungkan secara ekonomi sehingga etnis lain menjadi liyan di masyarakat
Indonesia. Akan tetapi secara psikis mengganggu keharmonisan dengan etnis lain
sebagai satu perjuangan untuk membebaskan diri dari kemelut kolonial waktu itu.
Perilaku dan perbuatan-perbuatan pemerintah kolonial, tentu saja membuat
kecemburuan sosial dan ketegangan sehingga budaya curiga menjadi ruang atau wilayah
yang saling menjaga jarak satu sama lain. Akibatnya pemetaan wilayah bagi orang-
orang Tionghoa sebagai strategi untuk mereka bergerak dalam perkembangan ekonomi.
Tindakan pemerintah kolonial tersebut, membuat etnis tertentu menjadi budak dalam
mengais rejeki di tanah „Borneo‟ (identitas dari produk kolonial). Penduduk kelas
bawah rata-rata bekerja sebagai penambang emas misalnya di daerah Montrado,
Bengkayang, Kalimantan Barat (Veth, 2012:22-25).24
Heidhues (2008:71) mendeskripsikan bahwa, pada zaman kolonial Belanda,
konflik-konflik yang terjadi antara orang Tionghoa di Pontianak dengan kelompok-
kelompok lainnya tidaklah selalu tergantung pada garis etnis. Misalnya orang Melayu
dan Dayak dapat menjadi sekutu atau juga musuh bagi orang Tionghoa. Benih-benih
konflik akan menciptakan kekerasan fisik dan atmosfir kekerasan akan merebak karena
24
Pada tahun 2000, di Negeri Belanda, terbit buku yang berjudul “Een Indische Liefde P.J.Veth (1814-
1895) en de Inburgering van Nederlamd Indie” karya Paul van der Velde. Buku ini mendeskripsikan
tentang warga sebagai kelas tertentu dalam masyarakat, bertumbuh dan berkembangnya kesadaran
nasional, penghapusan perbudakan, revolusi industri dan lain sebagainya. Salah satu tulisanya berjudul
“Borneo‟s Wester Afdeeling” (Borneo Bagian Barat) berbicara bagaimana para pegawai kolonial yang
pernah bertugas di Hindia Belanda menguasai sumber alam secara besar-besaran dan penyelompokan
kelas sosial yang merugikan relasi antar satu sama lain dalam hidup bersama di Kalimatan Barat hal.Vii-
Viii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
pemerintahan kolonial semacam menciptakan konflik kelas bawah sebagai cara untuk
menguasai wilayah-wilayah yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dan „pribumi‟ (sebutan
untuk etnis Dayak dan Melayu) waktu itu.
Selain itu Heidhues (2008:61) menggambarkan bahwa, bagaimana bangsa
kolonial menciptakan kelas-kelas sosial di Kota Pontianak. Misalnya pada zaman
bangsa kolonial orang Tionghoa memberikan tempat istimewa (ekonomi) untuk
melakukan aktivitas pertukangan dan perdagangan secara bebas di Pontianak dan
akibatnya para tukang besi, tukang kayu, „penyamak‟, tukang kebun dan lain-lain juga
imbasnya posisi Kerajaan Sultan Pontianak tidak menghasilkan apa-apa, selain serbuk
emas yang ditambang oleh orang Tionghoa.
Oleh karena itu, seberapapun orang Tionghoa memiliki peranan penting bagi
Kota Pontianak, namun sebagaimana yang digambarkan oleh Heidhues mereka
bukanlah pekerja sekeras, tidaklah sehemat atau sekaya pedagang dari etnis Bugis yang
jumlah sekitar seribu orang yang tinggal di Pontianak bersama sekitar 3000 orang
Melayu dan seratus orang Arab. Lagi-lagi Heidhues dengan jujur mengatakan bahwa,
pada umumnya para buruh Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan
enak, berjudi, dan mengisap candu. Hanya sedikit buruh menabung kelebihannya untuk
kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirimkan ke keluarganya di sana.
Temuan Heidhues didukung oleh Rutter (2017:227&228) menggambarkan
bahwa, di Kalimantan Barat jika tiga ratus tahun hubungan pribumi dengan etnis
Tionghoa telah mengajarkan suatu pelajaran lebih menyeluruh dari pada pelajaran
lainnya, maka bukan legilasi, bukan pula tindakan represi, bisa memalingkan orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Tionghoa dari opium (candu) dan „judi‟sebagai „stage‟ untuk menumpuk kekayaan dari
etnis lain. Rutter menambahkan bahwa zaman kolonial secara istimewa juga
memberikan monopoli kepada petani dan yang hanya memiliki monopoli itu selama ia
mematuhi batasan-batasan pemerintah kolonial. Metode ini untuk penghapusan tempat-
tempat perjudian milik etnis Tionghoa dan tenyata ini tidak menyelesaikan masalah.
Tekanan terhadap penjudian yang dilegalkan hanya akan meningkatkan perjudian privat
di antara ras-ras peribumi dan Tionghoa.
Terpolarisasinya budaya kelas sosial zaman kolonial, semakin tidak berdaya
bagi penduduk yang sudah lama menetap di suatu daerah di Kalimantan Barat. Atas
dasar situasi inilah, maka dibuat suatu pemaksaan untuk mengenal etnis lain yang ada di
Indonesia. Salah satunya adalah proses asimilasi yang belum siap diterima oleh etnis
tertentu yaitu: program transmigrasi. Program transmigrasi ini merupakan gagasan
tunggal kolonial tanpa mempertimbangkan dari aspek lain yang dapat membangun suatu
masyarakat yang sarat dengan hidup berdamai satu sama lain. Dengan kata lain
hegemoni kolonial tersebut, sebagai pemaksaan untuk melihat Indonesia sebagai negara
yang dibentuk dari berbagai etnis25
. Maka akibatnya sistem kepemimpinan lokal dalam
masyarakat menjadi pemimpin berbasis struktural yang otoriter dan rupanya hal ini
merupakan konstruksi sosial dari bangsa Kolonial.
Sugadung (2001:17) menggambarkan bahwa, mungkin penduduk yang menjadi
korban kebijakan trasnsmigrasi ini semacam proses untuk menggapai bayang di tanah
seberang. Salah satu contohnya adalah sekelompok warga Madura yang bereksodus
25
Bdk.Septian Peterianus, 2015 dalam (tesis) berjudul „Orientalisme Timur Atas Timur-Wacana
Pembangunan Dalam Program Transmigrasi Pemerintahan Orde Baru Di Kabupaten Melawi
Kalimantan Barat‟ (tidak dipublikasikan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
besar-besaran ke Kalimantan Barat.26
Barangkali program transmigrasi ini bukan
sekedar pindah tetapi mirip budaya kolonialiasi baru.
Program transmigrasi ini mudah untuk mencapai suatu kesuksesan. Agar bisa
menjadi sukses, ada sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi, menyangkut perilaku
transmigrasi, setidaknya bisa dilacak sampai ke „politik etis‟ pada zaman kolonial
Belanda. Dalam program lama tersebut, direncanakan semacam enclave (terkurung)
daerah tersendiri, bagi penduduk dari wilayah padat di atas. Menurut perhitungan
pemerintah kolonial, pendatang baru tersebut nantinya akan membentuk masyarakat
baru di tanah yang juga baru (Lomba, 2000:13&14).
2. Konflik Baru Memunculkan Diskriminasi
Kebijakan kolonial di atas, menciptakan konflik baru dan membuka peluang
untuk berperilaku diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berkoalisasi secara
ekonomi dengan bangsa kolonial. Akibatnya sampai saat ini di Kalimantan Barat
perseteruan dari generasi ke generasi selalu menjadi masalah baru dengan menarasikan
kembali masalah yang telah terjadi di masa lalu.
Masalah-masalah tersebut tidak diselesaikan secara tuntas. Sebaliknya adalah
menghasilkan budaya dendam dan sakit hati menjadi arena tersendiri yang sekali waktu
muncul seketika untuk memerangi antaretnis. Maka sikap diskriminasi itu semuanya
ada sejarah yang selalu membelenggu mereka yang diuraikan sebagai puncak
kemarahan dari etnis tertentu.
26
Sugadung (2001) menguraikan bahwa, pertikaian antar etnis di Kalimantan Barat sebagai salah satu
penyebab program pemerintah pusat misalnya misgrasi etnis Madura ke Sambas dan Pontianak
menciptakan konflik, persaingan ekonomi dan kecemburuan sosial dengan etnis yang sudah lama di
tempat tersebut atau merasa sebagai tuan tanah di Pontianak Kalimantan Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Oleh karena itu, pada zaman kolonial, ketegangan relasi antaretnis baik
terselubung maupun terang-terangan merupakan kebijakan kolonial yang memihak pada
etnis tertentu. Ketika kolonial meninggalkan daerah jajahannya, maka munculah
perlawanan etnis yang tereleminasi untuk melawan mereka sebagai korban diskriminasi
dari hasil pembentukan bangsa superior. Sikap perseteruan sosial antaretnis tersebut,
dapat dikatakan tidak terlepas dari korelasi historis cara hidup dan relasi etnis Tionghoa
dengan Belanda. Maka pembagian kelas tertentu yang bisa menjadi korban kebijakan
kolonial menjadi dilematis bagi salah satu etnis antara pro pada masyarakat sendiri atau
mencari aman dengan mengikuti aturan dari bangsa kolonial.
Gagasan-gagasan dari historis tersebut, ditegaskan lagi oleh La Ode (2012:213),
bahwa pada zaman penjajahan Belanda, penduduk terbagi dalam tiga golongan. Ketiga
golongan itu adalah golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan pribumi.
Golongan Timur Asing di antaranya terdiri dari orang Cina, Arab, dan India. Orang
Cina sebagai salah satu golongan Timur Asing (Coppel, 2014; Suryadinata, 1994; Djie,
1995) memiliki kedudukan ekonomi, status hukum, dan hubungan antaretnis yang lebih
menguntungkan dari pada pribumi.
Uraian tersebut di atas, didukung oleh Sudarsono dalam Tanuhandaru, (2008)
bahwa, pembagian kelas di era kolonial tentunya menjadi beban sejarah, beban mitos,
dan beban nyata kehidupan sehari-hari sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang
ini. Beban sejarah adalah akibat warisan pengalaman kolonial takkala sebagai sebagai
Golongan Timur Asing, warga kolonial Tionghoa setidaknya dari kalangan Tionghoa
menengah atas dan lapisan sosial ekonomi kolonial menjadi penengah antara kolonial
Belanda yang „putih Kristen‟ dan „bumiputra Islam‟ yang mayoritas merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
penduduk „bumiputra‟ Indonesia. Muncul sebuah pertanyaan apakah karena sikap
dendam terhadap perlakuan kelas bangsa kolonial, menimbulkan perilaku dan tindakan
diskriminasi pada warga Tionghoa di Kalimantan Barat dan lebih khususnya di
masyarakat Kota Pontianak?
Akhirnya, dapat disimpulkan sementara tentang fenomena-fenomena pada
zaman Pemerintah Kolonial oleh Hannah Arendt (dalam Beilharz, 2016:35) melukiskan
demikian; „Pemerintah kolonial berkuasa lewat titah, lewat keputusan-keputusan
rahasia, dan lewat kesewenangan yang tanpa tanggungjawab personal apa pun, serta
pada saat yang sama menciptakan suatu atmosfer di mana dominasi rasial dikukuhkan
sebagai takdir yang dibenarkan secara historis”.
C. Dibungkam oleh Resim Orde Baru (Orba)
Sebelum kita membahas gelombang diskriminasi pada zaman Orde Baru,
pertama-tama kita melihat diskriminasi pada zaman Orde Lama sebagai rentetan dan
mata rantai rezim yang saling terkait satu sama lain. Jauh sebelum mendeklarasikan
kemerdekaan, Bung Karno mempunyai relasi dekat dengan warga peranakan Tionghoa
di Indonesia. Namun ada indikasi bahwa, pada saat itu hubungan Bung Karno dengan
etnis Tionghoa dicurigai oleh masyarakat tentang hegemoni kepemimpinannya dengan
negara Tiongkok yang berbasis masyarakat komunis. Adanya ketimpang prangsangka
yang krusial, akhirnya Soekarno menjadi korban dari politik dalam merebut
kekuasaan.
Dalam PP No. 10 tahun 1959 pemerintahan Sukarno memerintahkan supaya
orang-orang Tionghoa meninggalkan wilayah kecamatan menuju ke kota-tota yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
lebih besar27
. Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan
(kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1948), orang-orang „bangsa Indonesia asli‟ dan orang di atas usia 21
tahun yang telah tinggal lebih dari lima tahun di bekas wilayah jajahan Hindia Belanda
ditetapkan sebagai warga negara Indonesia. Ketentuan ini menjamin hak
kewarganegaraan Indonesia atas orang-orang Tionghoa yang sebelumnya
berkewarganegaraan Belanda.
Namun, peraturan ini menimbulkan kondisi kewarganegaraan ganda bagi
banyak orang Tionghoa di Indonesia, karena banyak yang juga masih berstatus warga
negara Republik Tiongkok (atau Republik Rakyat Tiongkok setelah tahun 1949). Pada
bulan April 1955, Indonesia dan RRT menandatangani Perjanjian Mengenai
Kewarganegaraan Ganda (Agreement on the Issue of Dual Nationality between the
Republic of Indonesia and the People's Republic of China) yang mengakui situasi
kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan Tiongkok.
Perjanjian ini kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1958. Meskipun telah terikat oleh perjanjian internasional, pandangan
resmi pemerintah Indonesia pada saat itu adalah orang-orang Tionghoa perlu
menentukan sendiri kewarganegaraannya; yang diberikan kewarganegaraan Indonesia
hanyalah mereka yang mau melepaskan kewarganegaraan Tiongkok, karena secara
resmi Indonesia tidak mengakui konsep kewarganegaraan ganda.
27
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_terhadap_orang_Tionghoa_di_Indonesia (diakses, 25 Juni
2020).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Mendukung gagasan di atas, tulisan Baskara (2008:201) menunjukkan bahwa,
bagaimana Amerika, pascapemberontakan mengubah politiknya terhadap Indonesia
ketika mendengar bagaimana Sukarno berkonsolidasi dengan negara Tiongkok dan isu-
isu menjelang munculnya PKI. Motivasi dari Amerika agar Indonesia di bawah
kepemimpinan Soekarno, supaya tidak jatuh ke tangan kelompok komunis dan agar
Indonesia mau ikut memperjuangkan blok kapitalis.28
Kecurigaan salah satu gagasan tersebut di atas, diberi ruang oleh tulisan Ardi
(2018:35) untuk menjelaskannya bahwa, sikap Bung Karno yang membuka diri pada
kaum peranakan sejak merintis perjuangan melawan Belanda tersebut, memengaruhi
kebijakannya ketika memimpin Indonesia pasca kemerdekaan. Menurutnya, Soekarno
sama sekali tidak mau mendiskriminasikan etnis Tionghoa. Ini terbukti dengan
masuknya wakil-wakil mereka dalam kabinet sejak masa Demokrasi Liberal hingga
masa Demokrasi Terpimpin. Lagi-lagi Ardi menguraikan bahwa, kalau ada
kebijakannya yang membatasi gerak peranakan Tionghoa dalam bisnis, semata-mata
untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antara pribumi dan peranakan yang
sangat tajam, yang berimplikasi pada tumbuhnya sentimen anti Tionghoa. Faktanya
sentimen seperti inilah yang sering meletup menjadi kerusuhan rasial.
Lalu bagaimana relasi etnis Tionghoa di zaman zaman Orde Baru? Pada era
Orde Baru, semua aktivitas etnis Tionghoa di berbagai bidang kehidupan dibekukan.
28
Paling tidak ada lima bidang pokok yang mendominasi kebijakan pemerintahan Eisenhower menyusul
penghentian dukunganya kepada PRRI/Permesta. Bidang-bidang itu meliputi: (1) PKI, yang tampak
makin populer, bahkan makin berkembang pesat; (2) Presiden Sukarno yang dalam rangka
mengkonsolidasi kekuasaan pribadinya, menjadi semakin dekat dnegan PKI dan Blok Soviet; (3)
Meningkatnya pengaruh Soviet melalui bantuan militer dan ekonominya;(4) Angkatan Darat, yang karena
jelas anti komunis dipandang sebagai sekutu terpenting untuk menghantam Komunisme; dan (5)
pertikaian Belanda-Indonesia yang tak kunjung selesai atas Irian Barat (Baskara 2018: 202).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Seakan-akan etnis Tionghoa, menjadi ancaman bagi pemerintahan penguasa tunggal
saat itu. Oleh karena itu selama 32 tahun mereka dicengkeram secara utuh. Perayaan
identitas diri, sosial, kebudayaan dan ritual keagamaannya dikebiri dan dipantau secara
ketat (Purdey, 2013: 17-20). Ada lima pokok persoalan yang dialami dan dihadapi oleh
Etnis Tionghoa di zaman Orde Baru yaitu: (1) Sikap Anti Tionghoa; (2) Eksodus Etnis
Tionghoa ke Daerah Pontianak; (3) Konflik Sosial dan Berdarah; (4) Budaya
Kekerasan Orde Baru; serta (5) Menanamkan Benih Dendam. Berikut ini diuraikan
berdasarkan temuan-temuan dari peneliti dan tulisan tentang etnis Tionghoa di
Indonesia
1. Sikap Anti Tionghoa
Badai yang menggoncang orang Tionghoa Indonesia sejak percobaan kudeta
bulan Oktober 1965 sudah hampir lewat (Dawis, 2010). Tetapi, seperti yang kadang-
kadang terjadi, masih ada suatu hembusan keras terakhir yang terlokasir dari angin
topan yang menimbulkan kerusakan besar itu. Jelas sekali contoh terbesar dari
kekerasan anti Tionghoa di Indonesia setelah percobaan kudeta terjadi di Kalimantan
Barat.
Menurut Coppel (1994: 272), jumlah orang Tionghoa yang terbunuh mencapai
ratusan, dan lebih dari 50.000 orang Tionghoa mengungsi dari daerah pedalaman
provinsi itu ke daerah pesisir untuk menghindarkan diri dari kekerasan yang sedang
dilakukan tanpa pandang bulu kepada semua penduduk Tionghoa oleh Suku Dayak.29
29 Bdk. Bamba (2008:9) bahwa, Suku Dayak (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penjajah diberi
kepada penghuni pedalaman pulau Borneo yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari
Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar,
Kutai, Paser, Berau dan Tidung. Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Peristiwa-peristiwa itu berlangsung pada akhir Oktober dan November 1967. Pada saat
demikian dikemukakan bahwa, kekerasan anti Tionghoa di tempat-tempat lain di
kepulauan itu sebagian besar sudah mereda.
Selain itu selama era Orde Baru berkuasa, gelombang anti Tionghoa seperti
dibahas di atas, oleh Rubber Erasures (2019:1)30
mengemukan bahwa, bagaimana
diskriminasi itu begitu langgeng di Kalimantan Barat. Dia mengemukan bahwa,
bagaimana politik kekuasaan mempengaruhi rasialisasi tumbuh, tanah, dan wilayah.
Wacana tersebut menciptakan politik terselubung dalam hubungan antara
berkepentingan dan sering berbeda tentang properti, kekerasan dan identitas.
Erasures (2019) melihat bahwa, kekerasan fisik dan ancaman yang terus-
menerus telah semakin memperkuat asosiasi produksi karet dengan wilayah rasial.
Melalui pemindahan dan perampasan, kekerasan membuat identitas etnis menjadi
pertanyaan hidup atau mati di sudut Kalimantan Barat ini. Identitas-identitas ini, pada
gilirannya, telah terjerat lebih jauh dengan politik kewarganegaraan spasial dan keras di
Indonesia dan telah mempengaruhi petani kecil yang mendapatkan akses tanah untuk
menanam karet. Sejarah sosial-alam karet berfungsi sebagai kendaraan yang efektif
yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268
suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak
adalah Budaya maritim atau bahari. semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. 30
Artikel ini membuat hubungan antara literatur yang sering berbeda tentang tentang properti, kekerasan dan
identitas, dengan menggunakan politik karet yang tumbuh di Kalimantan Barat, Indonesia, sebagai contoh. Ini
menunjukkan bagaimana produksi karet memunculkan teritorialitas yang terkait dengan dan produktifnya identitas
etnis, tergantung pada ekonomi politik dan politik budaya yang dimainkan pada saat yang berbeda. Apa artinya
menjadi orang Cina dan Dayak di Indonesia kolonial dan pasca-kolonial, serta bagaimana kategori mata pelajaran dan
warga negara dikonfigurasikan dalam dua periode masing-masing, secara berbeda memengaruhi hak kepemilikan
formal dan cara akses ke karet dan tanah di berbagai daerah di Kalimantan Barat. Namun, perubahan tambahan dalam
praktik produksi bergilir bergeser bukan satu-satunya cara untuk menghasilkan wilayah dan etnis. Penulis
berpendapat bahwa kekerasan pada akhirnya memainkan peran yang lebih signifikan dalam menghapus klaim
berbasis identitas sebelumnya dan menetapkan kontrol aktor baru atas pohon dan tanah dan klaim mereka terhadap
akses yang sah atau 'hak'. Mengubah praktik produksi karet dan konfigurasi ulang wilayah yang dirasialisasikan dan
hak kepemilikan berbasis identitas, semuanya terlibat dalam menyembunyikan kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
untuk mengeksplorasi hubungan antara kekerasan, properti, dan produksi etnis serta
sebagai sejarah lanskap di wilayah yang terkenal bermasalah ini, karena asal-usul
properti sering melibatkan kekerasan dan penutup untuk memungkinkan akumulasi
(Blomley, 2003; Marx, 1967; Thompson, 1975).
Di Kalimantan Baratlah sentimen anti terhadap etnis Tionghoa itu mencapai
puncaknya selama kurun waktu itu. Sepintas lalu sangat mengherankan, karena pada
umumnya oleh para pengamat hubungan antar ras di Indonesia telah dikemukakan
bahwa hubungan suku Dayak dan orang Tionghoa pada waktu lalu adalah baik. Kalau
pun terjadi, pertentangan kesukuan justru yang terjadi adalah kecendrungan untuk
mempersatukan kedua kelompok ini terhadap suku Melayu di daerah pesisir dan
terhadap orang Indonesia dari pulau-pulau lainnya, seperti misalnya orang Jawa.
Lalu apakah peristiwa-peristiwa bulan Oktober dan November 1967 itu
merupakan perluasan dari kekerasan anti Tionghoa di tempat-tempat lain yang baru
sampai ke Kalimantan Barat setelah selang beberapa waktu yang disebabkan oleh
isolasi relatif yang dari provinsi itu? Ada alasan kuat untuk percaya bahwa asal usul
Pogrom31
(pembunuhan besar-besaran secara terorganisasi) itu terutama bersifat lokal,
dan hal itu timbul secara langsung dari konflik antara tentara dan PGRS (Pasukan
Gerilya Rakyat Serawak) di Kalimantan Barat. Memang sebelumnya terdapat beberapa
31 Pogrom (bahasa Rusia: погром; dari "громить" - menghancurkan) adalah serangan penuh kekerasan
besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, yang
dibarengi oleh penghancuran terhadap lingkungannya (rumah, tempat usaha, pusat-pusat keagamaan,
dll.). Istilah ini secara historis digunakan untuk mengacu kepada tindakan kekerasan besar-besaran,
baik secara spontan maupun terencana, terhadap orang Yahudi, namun kini juga diberlakukan
terhadap kejadian-kejadian serupa terhadap kelompok-kelompok lain, yang umumnya adalah
kelompok minoritas (https://id.wikipedia.org/wiki/Pogrom diakses ,27 Februari 2019).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kehebohan anti Tionghoa di provinsi itu yang merupakan pantulan dari perkembangan
di tempat-tempat lain di Indonesia.32
Sejak bulan Desember 1966 terdapat laporan-laporan tentang pengusiran orang
Tionghoa dan pemindahan beberapa orang lainnya ke berbagai tempat di provinsi itu
sebagai persiapan untuk pemulangan mereka. Tetapi dalam faktanya pernyataan
keinginan yang tidak menyenangkan dari para pejabat militer di Kalimantan Barat,
membuat masyarakat Tionghoa mengalami dilematis. Hal ini membuat situasi semakin
runyam karena kenyataaanya hasilnya di tingkat pelaksanaan hanya sedikit bisa
dijalankan. Para juru bicara pemerintah pusat (khususnya Adam Malik) telah
mengesampingkan urusan mereka sendiri untuk menekankan bahwa jangkauan dari
stereotip atau tindakan-tindakan anti Tionghoa di daerah itu sangat terbatas (Choppel
1994:273).
Menurut Choppel, serangan suku Dayak terhadap orang Tionghoa baru terjadi
setelah gerilyawan PGRS mulai mencapai sukses besar dalam kampanye mereka. Pada
kira-kira tanggal 16 Juli 1967 mereka menyerang pangkalan Angkatan Darat Indonesia
di Sanggau Ledo, dekat Singkawang. Akibat-akibat lain dari serangan suku Dayak itu
tidak dapat ditutup-tutupi dengan mudah. Yang paling penting dari akibat itu adalah
membanjirnya berpuluh-puluh ribu pengungsi Tionghoa ke daerah pantai. Masalah
untuk menyediakan makanan yang cukup, perawatan kesehatan, perumahan dan
lapangan kerja bagi para korban demonstrasi Dayak itu akan memerlukan waktu
32
Coppel (1994:242) mendeskripsikan bahwa isu-isu anti Tionghoa begitu viral dalam majalah Djakarta
Times, 4 Januari 1967;Karya Bakti, 10 Januari 1967‟Angkatan Bersendjata, 24 Januari 1967; NCNA,
14 dan 18 Januari 1967.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
bertahun-tahun untuk memecahkanya, terutama karena pemberontakan PGRS dengan
menolak untuk dipadamkan.
Menurut Coppel (1994) peristiwa di Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967
untuk sebagian besar tidak dikaitkan dengan kekerasan Anti Tionghoa yang terjadi di
tempat-tempat lain di Indonesia. Pemerintah berkepentingan untuk memastikan bahwa
peristiwa itu tetap berlokalisasi di provinsi tersebut. Sekalipun terlihat akan
mempengaruhi tempat-tempat lain yang memang tidak suka dengan etnis Tionghoa di
Indonesia.
2. Eksodus Etnis Tionghoa ke Daerah Pontianak
Jika menelususi sejarah kehidupan masyarakat etnis di Kalimantan Barat relasi
antaretnis Tionghoa dengan Dayak sebelumnya menjadi harmonis. Kehidupan kedua
etnis ini sudah lama bekerjasama di bidang ekonomi dan sosial. Orang Tionghoa masuk
ke daerah pedalaman. Mereka termasuk etnis yang lihai dan cerdas dalam
mengembangan kehidupan ekonomi di Kalimantan Barat. Mereka menjual bahan-bahan
keperluan sehari-hari. Ketika orang Dayak menjual sesuatu, kerja sama itu terjalin
dengan baik. Tetapi, waktu peristiwa G-30-S dan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak atau
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara, terjadilah bentrok antara etnis Tionghoa dengan
Etnis Dayak. Banyak masyarakat menilai masalah ini ada unsur politisnya.
Menurut salah satu tokoh etnis Tionghoa di Kota Pontianak, mereka diusir
secara kasar dan tidak manusiawi oleh orang-orang Dayak. Sebagian besar warga lari
ke Singkawang dan yang lain ya lari ke Kota Pontianak. “Kata pemerintah, itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
spontanitas. Tetapi sebenarnya diatur secara rapi oleh pihak yang berkuasa. Kalau tidak,
tidak mungkin, tetapi hanya itu saja kami bentrok dengan mereka.”33
.
Narasi-narasi dari konflik di atas, dapat kita simpulkan bahwa konflik antar entis
Tionghoa dan Dayak merupakan korban provokator yang tidak bertanggungjawab dan
berita hoax yang dapat menciptakan konflik sosial. Selain itu dalam konflik tersebut,
relasi kuasa, kepentingan pemangku jabatan militer dan peran pihak asing yang ingin
mengambil kesempatan untuk menguasai orang Tionghoa yang ada di Kalimantan Barat
menjadi mata rantai yang tidak perpisahkan. Selanjutnya pada bagian berikut ini etnis
Dayak harus berhadapan dengan etnis lain (Madura) yang berawal mula konflik
individu memicu menjadi konflik komunal.
3. Konflik Sosial dan Berdarah
Pada zaman Orde Baru (Orba), sejarah kelam konflik antaretnis di Kalbar, sejak
tahun 1967 telah terjadi empat kali bentrokan fisik yang bersifat massal. Runutan
peristiwa konflik bernuansa etnis tersebut yakni: pada tahun 1967, 1979, 1983 dan
terakhir 1996. Fenomena konflik antaretnis yang terjadi, selalu menjadi pengalaman
traumatik bagi etnis tertentu (Giring, 2003:1-7).
Selain itu dalam catatan lain,34
persoalan antaretnis di Kalimantan Barat mulai
terjadi tahun 1993, yaitu etnis Madura dengan empat etnis di Kalimantan Barat.
Berdasarkan sejarah konflik yang direkam oleh Polda Kalbar (1999), bahwa sejak
33
Hasil wawancara dengan salah satu tokoh etnis Tionghoa (Pontinak, 21 Oktober 2018). 34
Ngardi (2018:69) mengambarkan bahwa, konflik antaretnis di Kalimantan Barat merupakan bentuk
nyata dari kekerasan dan tragedi kemanusiaan yang perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan
pemerintah. Konflik dan kekerasan tersebut sudah menjadi semacam benang kusut yang telah
berlangsung puluhan tahun (Jurnal Handep Vol.1 No.2 thn 2018) hal.59-80.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
tahun 1962 hingga 1999 sudah terjadi 14 kali Konflik. Pada tahun 1967, terjadi sekali
konflik antara komunitas Dayak dengan Tionghoa. Kemudian Suku Dayak dengan
Madura sebanyak 11 kali konflik, Selanjutnya, etnis Melayu dengan Madura sebanyak
dua kali, yakni 1998 dan 1999.35
Kerusuhan sosial tersebut, seakan-akan memunculkan sebuah kesadaran publik
dengan pertanyaan yang selalu mengusik satu sama lain mengapa dan bagaimana
konflik tersebut, selalu terjadi berulang-ulang? Melalui berbagai peristiwa tersebut,
diperlukan suatu pengkajian yang komprehensif untuk dapat menemukan akar-akar
masalah yang terjadi dengan etnis tertentu (Putra & Djuweng, 1999:2). Para tokoh
masyarakat menanggapi masalah-masalah tersebut, seakan-akan bersifat „laten‟ dan
„manifes‟ bagi masyarakat Kalbar.
4. Budaya Kekerasan zaman Orde Baru
Kekerasan budaya pada zaman Orde Baru, diartikulasi dalam berbagai media.
Media itu diartikulasikan dengan berbagai cara, semacam menciptakan konflik yang
dibuat untuk merebut berbagai aspek kehidupan manusia yang bersifat terselubung. Hal
ini menunjukkan bagaimana pola dan relasi dengan orang lain ketika muncul kekerasan
kata-kata dalam berkomunikasi yang diperuncing oleh pihak ketiga. Bahasa yang
digunakan sangat menyakitkan dan merendahkan kemampuan intelektual seseorang.
Contoh kasus bahwa, orang Tionghoa akan menyerang warga Dayak. Sebagai sebuah
bahasa yang dinarasikan untuk menakuti etnis tertentu atas dasar kecemburuan dalam
35
Edi Peterbang (ed). (2001). Amuk Sampit Plangkaraya. Pontianak: Institut Dayakologi. Dalam buku
ini semacam merekam berbagai ketegangan antar etnis di Kalimantan dan sumber utamanya dari Media
Harian Kompas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
bidang ekonomi. Rupanya „Budaya hoaks‟36
sudah muncul dalam ketegangan antaretnis
di Kalimantan Barat saat itu. Konflik tersebut sebagai pijakan bagi kita untuk melihat
bagaimana konflik-konflik yang terjadi, berdasarkan kontruksi sosial yang diwacana
oleh penguasa Orde Baru selama 32 tahun berkuasa.
Menurut La Ode (2012:216), konflik antaretnis di Kalimantan Barat, memang
sudah berlangsung selama 32 tahun yang lalu (1966-1998), namun dampak sosial masih
kuat sampai sekarang. Stereotif negative dan prasangka-prasangka negatif dari warga
pribumi (baca: etnis Dayak dan Melayu) terhadap kelompok etnis Tionghoa sebagai
kelompok komunis atau PKI menimbulkan konflik baru. Persepsi negatif sebagai
komunis pada era demokrasi, seperti pada era reformasi ini, ada baiknya secara
perlahan dihindari atau disingkirkan untuk diucapkan, karena ternyata tidak semua
warga etnis Tionghoa di Kota Pontianak terlibat konflik ideologis sebagai pendukung
sisa-sisa G-30-S/1965. Bahkan kecurigaan terhadap etnis Tionghoa adalah sebagai
komunis hingga sampai di lembaga pendidikan. Di mana pemerintah mencurigakan
bahwa di sekolah yang berbasis murid-murid Tionghoa, diajarkan pelajaran yang berbau
komunis,37
Dalam kajian budaya kekerasan tersebut, di masa Orde Baru seakan-akan
terjebak bagaimana produk budaya selalu lahir dari wacana atau ideologi bersama
36 Dalam cambridge dictionary, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan menipu, rencana
menipu, trik menipu, disebut dengan hoax. Dalam konteks budaya mengarah pada pengertian hoax
sebagai aktivitas menipu: ketika sebuah surat kabar dengan sengaja mencetak cerita palsu, kami
menyebutnya tipuan (http://dictionary.cambridge.org diakses, 11 Januari 2019). 37
Wawancara dengan seorang biarawan Bruder MTB (Maria Tak Bernoda) pada tanggal 12 Januari 2019
mengatakan bahwa, salah satu sekolah swasta di Jalan Ahmad Yani Kota Pontianak, sampai sekarang
belum menyelesaikan masalahnya secara tuntas tentang kepemilikan sekolah tersebut. Karena waktu itu,
menghindari kecurigaan aparat dan pemerintah tentang pelajaran yang berbau komunis. Maka salah satu
lembaga bekerjasama dengan pihak Gereja mengambil alih untuk menyelamatkan murid-murid Tionghoa
yang yang sedang melaksanakan pendidikan di sekolah tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dalam masyarakat multikultural yang dapat membentuk manusia menjadi insan yang
berbudaya, namun melahirkan ketegangan satu sama lain. Dengan demikian dalam
peristiwa tersebut, bukan untuk menghasilkan sebuah situasi yang kondusif dalam relasi
antaretnis di masyarakat Indonesia tetapi menjadi sebuah budaya permusuhan satu sama
lain (Suryana, 2015).
Galtung (dalam Herlambang 2013:35), mendeskripsikan bagaimana produk-
produk budaya seperti ideologi, bahasa, agama, dan seni, pengetahuan dapat digunakan
untuk melegitimasi praktik kekerasan baik yang dilakukan secara langsung (fisik)
maupun struktural (sistem sosial) dalam berkomunikasi. Menurut Herlambang, di
Indonesia salah satu produk budaya yang mempengaruhi stereotip dalam masyarakat
adalah kekerasan budaya pasca 1965. Di mana pada era Orde Baru menglegitimasi
antikomunis melalui sastra dan film dengan artikulasi bahasa-bahasa penuh kebencian
dan kekerasan. Demi uang atau harta, sang sutradara dan para pemain pun dibayar
mahal oleh pemerintah dan militer untuk menarasikan lewat bahasa bahwa, PKI begitu
kejam dan sadis.
Bahasa ketakutan menciptakan budaya baru bagi penikmat film laga. Secara
komunal menghasilkan produk budaya baru dalam berbahasa bahwa, “memang
demikianlah kejamnya PKI”. Dalam majalah “The Geo Times” mengeritik dan mencatat
bahwa …”bagaimana sosok budayawan yang dianggap suci dan seolah berpihak pada
humanis universal, ternyata bagian dari sistem besar jagal yang menyudutkan korban
1965…”. Ini salah satu produk budaya kekerasan lewat sebuah bahasa/sastra dalam
perfilman Indonesia (Herlambang, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Peristiwa di atas merupakan salah satu bagian dari budaya kekerasan lewat
sebuah sastra dan perfilman yang bisa direduksi oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya dan Kalimantan Barat khususnya. Ingatan kolektif pun menjadi bagian
wacana kita tentang PKI. Di mana narasi-narasi wajib dibaca dan ditonton setiap 30
September, yang sejak zaman reformasi, masyarakat Indonesia tidak begitu simpatik
dengan karya film tersebut. Muncul pertanyaan mengapa masyarakat tidak simpatik?
Tentu saja alur kisahnya merupakan hasil konstruksi dari sutradara dengan
menampilkan budaya kekerasan sehingga melahirkan budaya dendam dan ketakutan
satu sama lain. Stigma tentang PKI susah dilupakan oleh generasi muda di masyarakat
Indonesia. Selain itu film tersebut, sebagai bentuk pembunuhan jiwa bagi generasi
muda dengan merawat ingatan kolektif tentang kejamnya PKI di Indonesia.
5. Menanamkan Benih Dendam
Benih dendam ditanamkan pada kepala atau pikiran penonton secara struktural.
Kontruksi film ini menjadi benih dendam yang selalu dirawat dan dinarasi turun
termurun tentang PKI. Ibarat luka yang belum disembuh akan melukai baru lewat cara
baru kepada orang lain. Hal ini sangat membahayakan dalam pikiran manusia yang lahir
pada generasi mileneal dewasa ini.
Betapa tidak, dalam kurun waktu 47 tahun telah terjadi 11 pertikaian antar
kedua etnis ini (Tiras, No.5/Thn. III/27 Februari 1997)38
. Ini berarti setiap kurang dari 5
tahun, terjadi sebuah pertikaian. Konflik ini telah menjadi „laten‟. Satu fakta yang cukup
38
Putra & Djuweng (1999:351-361), dalam buku Sisi Gelap Kalimantan Barat dalam perseteruan Etnis
Dayak-Madura menjelaskan panjang lebar oleh media Tiras tentang pristiwa-pristiwa konflik yang terjadi
di Kalimantan Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
mengejutkan pula bahwa sebagai besar pertikaian tersebut berawal di Kabupaten
Sambas dan Pontianak. Mengapa kedua kabupaten ini selalu menjadi ajang pertikaian?
Pihak-pihak yang berkompeten hendaknya menangkap gejala ini dan mengkajikannya
lebih jauh. Seringnya pertikaian ini berulang membawa pengaruh psikologis yang
sangat mendalam khususnya bagi warga kedua etnis kini (Madura dan Dayak). Secara
tidak disadari telah terlukis sebuah „gambaran‟ tentang masing-masing etnis.
Gambaran tersebut di atas, sulit dihapuskan apalagi mereka yang pernah menjadi
korban langsung dari pertikaian yang terjadi. Ketika warga kedua etnis ini berinteraksi
dalam kehidupan sehari-hari, “gambaran” yang telah terpatri tersebut pun bermain.
Akibatnya, interaksi menjadi begitu rentan dan pertikaian begitu mudah diledakan oleh
„gambaran‟ tersebut. Dampak psikologis inilah yang sering dilupakan orang ketika
mencoba menganalisa setiap kejadian atau menyelesaikan setiap pertikaian yang terjadi.
Banyak pihak yang mencoba menjelaskan akar permasalahan yang
menimbulkan pertikaian yang tak pernah selesai ini. Ada yang menunjuk kesenjangan
ekonomi dan kecemburuan sosial sebagai faktor penyebab utama. Ada pula yang
menuding perbedaan budaya antar kedua etnis. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
ketidakmampuan pendatang menyesuaikan diri dengan budaya setempatlah yang justru
menjadi penyebabnya.
Kita menyadari bahwa, hanya mereka yang terlibat pertikaian langsunglah yang
mengetahui secara persis persoalan apa yang mereka hadapi yang mendorong mereka
untuk berbuat nekad. Merusak harta benda, membakar bahkan sampai tega membunuh
sesamanya. Hanya karena adanya suatu alasan yang sangat kuat yang dapat menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
penggerak (driving force) bagi amukan massa seperti yang telah terjadi berkali-kali
tersebut. Sayangnya, mereka yang terlibat secara langsung dalam setiap pertikaian ini
justru sering diabaikan dalam setiap penyelesaian yang diambil.
Kesimpulan
Gambaran umum sejarah diskriminasi sejak zaman kolonial sampai pada era
Orde Baru dapat disimpulkan bahwa warga Tionghoa selalu menjadi korban dari setiap
zaman tersebut. Mengapa etnis Tionghoa selalu menjadi korban? Bukankah mereka
juga bagian dari salah satu etnis yang ikut berperan memajukan Indonesia dari serangan
bangsa Kolonial?
Selain itu sikap anti terhadap etnis Tionghoa di Kota Pontianak, semakin runyam
ketika otoritas kekuasaan pemimpin negara bermain peran di dalamnya. Munculnya
sikap rasisme terhadap warga Tionghoa di Kalimantan Barat (Kalbar) adalah privatisasi
tanah milih orang Dayak oleh Tionghoa. Kapitalis muncul bersamaan dengan rasialitas,
ketika ada pembagian area milik pelembagaan identitas, ada konstruksi Dayak dan
China oleh kolonial. Semua kebijakan ini dalam rangka menguasai bidang ekonomi.
Budaya kehidupan seperti ini merupakan bentuk-bentuk awalnya kapitalis dan rasialitas.
Oleh karena itu, kisah-kisah yang diuraikan di bab II ini, semakin
memperlihatkan bahwa siapakah pelaku diskriminasi yang sebenarnya di masyarakat
Indonesia pada umumnya dan di Kota Pontianak khususnya, sehingga masyarakat
minoritas selalu menjadi korban dari perilaku diskriminasi tersebut. Produk- produk
sejarah yang ditulis oleh para akademisi selalu mereduksi tentang etnis Tionghoa
dengan pendekatan berbeda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Maka ketika kita membaca sejarah diskriminasi etnis Tionghoa tidak pernah
habis diperbincangkan dalam waktu dan ruang yang berbeda. Lalu benarkah warga
Tionghoa korban dari ilmu etnisitas, relasi kuasa, kapitalis, ilmuwan antropologi atau
malahan hasil kontruksi sosial sehingga akhirnya menjadi korban diskriminasi rasisme
di Indonesia? Oleh karena itu, sejarah diskriminasi di Indonesia yang berdampak pada
warga Tionghoa, tidak lepas dari sejarah konflik antaretnis di Indonesia pada umumnya
dan pergolakan antaretnis di Kota Pontianak pada khususnya.
Pada bab selanjutnya, kita bisa melihat bagaimana warga Tionghoa di Kota
Pontianak menarasikan kembali pengalaman diskriminasi yang menimpa mereka.
Mereka mempunyai ruang batin untuk bisa mengatakan secara jujur tentang kepahitan-
kepahitan masa lalu keluarganya. Selain itu cara pandang diskriminasi baik sebagai
korban maupun pihak ketiga memberi ulasan pemahaman baru tentang diskriminasi
sosial. Mengapa diskriminasi itu selalu menghinggap di kalangan warga Tionghoa di
Kota Pontianak sampai saat ini, dan seakan-akan tindakan itu merupakan hal biasa bagi
etnis lain di masyarakat Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
BAB III
HETEROGENITAS39
NARASI DISKRIMINASI DAN
BENTUK-BENTUK PERLAWANANNYA.
Pengantar
Bab III ini, saya mendeskripsikan dua bagian pokok. Pertama, mendeskripsikan
berbagai pengalaman diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di berbagai aspek
kehidupan. Kedua, bentuk-bentuk perlawanan etnis Tionghoa dalam menanggapi
diskriminasi ras di Kota Pontianak. Sebelum menguraikan lebih jauh terlebih dahulu
saya menjelaskan pokok-pokok persoalan yang dibahas dalam masing-masing sub bab.
Bagian pertama, tentang pengalaman diskriminasi dibagi menjadi dua bagian
yaitu; di lingkungan pendidikan sekolah menengah dan di berbagai aspek kehidupan
lainya di Kota Pontianak. Fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan pendidikan
sekolah menengah berhubungan dengan sikap dan perilaku dari etnis lain terhadap
murid dan guru Tionghoa. Pengalaman-pengalaman tersebut, merupakan narasi-narasi
yang dibangun lewat kisah diskriminasi yang dialami oleh beberapa guru dari kalangan
39
Heterogenitas dalam masyarakat adalah suatu kondisi dimana dalam satu lingkungan sosial terdapat
berbagai ragam masyarakat dengan kualitas-kualitas yang dimiliki oleh masing-masing setiap
masyarakatnya atau yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan adanya faktor agama
dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Demikian juga beragam pengalaman diskriminasi dalam
masyarakat dibentuk dan dibangun cara orang memberi perspektif kepada orang lain
(https://brainly.co.id/tugas/20815714, diakse 17 April 2020).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
etnis Tionghoa di Kota Pontianak. Mereka menjadi sebuah komunitas liyan40
dan
terasing dengan yang lainnya.
Sedangkan berbagai kisah pengalaman diskriminasi di wilayah kehidupan
sehari-hari di masyarakat Kota Pontianak, saya akan mendeskripsikan fokus pada
bidang politik, sosial dan budaya. Ketiga aspek ini, secara terselubung namun nyata.
Mereka masih tetap merasakan pengalaman diskriminasi yang terus terjadi sampai saat
ini. Adapun aspek-aspek yang mau digambarkan dalam bagian ini adalah; menyuarakan
kebenaran dan keadilan melalui politik, pergolakan hidup di bidang sosial, membeku
pengembangan budaya etnis Tionghoa , dan pergumulan dalam penghayatan
keyakinan.
Bagian kedua, tentang perlawanan, mendeskripsikan bagaimana etnis Tionghoa
melakukan perlawanan-perlawanan melalui konsolidasi identitas di beberapa aspek
kehidupan. Konsolidasi identitas ini, sebagai salah satu cara dalam menanggapi
diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Kota Pontianak. Bagian ini, secara umum
menguraikan dalam ruang-ruang kehidupan yang dapat membangun mereka untuk
menyatukan kembali identitasnya yang selama ini teretak oleh etnis lain.Mereka
melakukanya melalui berbagai kegiatan yang positif dan berproduktif. Gagasan-
gagasan yang diuraikan di atas, akan dilukiskan panjang lebar, lewat sajian tulisan
berikut ini.
40
Bdk. Pengalaman Fanon (2008) ketika merasa diri „liyan‟ oleh ras Kulit Putih. Ia didiskriminasi secara
ras sehingga merasa terasing sebagi orang kulit hitam di tengah kulit putih. Diskriminasi secara ras
tersebut, membuat Fanon melawannya secara kritis untuk mengeritik secara tajam lewat sebuat tulisan
mengenai orang-orang kulit putih yang merasa diri unggul dari ras lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
A. Berbagai Pengalaman Diskriminasi di Kalangan Etnis Tionghoa di Kota
Pontianak.
1. Diskriminasi di Lingkungan Sekolah Menengah.
Rangkaian kisah-kisah diskriminasi yang terjadi di lingkungan sekolah
Menengah adalah antaralain: bahasa Mandarin tidak diperhitungkan atau
pengalaman tentang penolakan pelajaran bahasa Mandarin, diskriminasi dalam
jabatan struktural, dan merendahkan profesi seorang guru.
1.1 Bahasa Mandarin Tidak Diperhitungkan.
Informan pertama, Ibu Tjun41
(nama samaran). Perjumpaan dengan Ibu
Tjun di sebuah ruang tamu di sekolah di mana mengajar saat ini, kesan
pertamanya dia merasa takut untuk menceritakan tentang pengalaman
diskriminasi apa yang terjadi pada dirinya. Ketika berdiskusi tentang bagaimana
tanggapan dan perasaannya ketika pasca reformasi etnis Tionghoa merayakan
dengan bebas tahun baru Imlek dan kegiatan sejenisnya di masyarakat
Pontianak? Sembari mendengar kata-kata tersebut, baru ia mulai perlahan-lahan
mengungkapkan pengalamannya dengan nada agak tidak bersahabat.
“Saya secara pribadi sangat senang karena ada ruang untuk
mengenal kembali budaya kami yang sudah lama tidak
dihidupkan kembali. Namun bukan berarti kami tidak takut
karena belum tentu upacara kami ini bisa diterima oleh orang
lain di Kota Pontianak […..,] tetapi ya untuk kalangan kami,
momen ini semacam hembusan angin segar dan bagi saya
khususnya dalam merayakan imlek di tengah keluarga sampai
41
Tjun (nama samaran) adalah seorang guru pelajaran bahasan Mandarin, berlatar belakang ijasah S1
Sastra Mandarin dari salah satu Universitas ternama di Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
saat ini menjadi kegembiraan tersendiri di dalam perayaan
tersebut” (Wawancara, 12 Oktober 2018).
Ketika ditanya apakah Ibu Tjun sudah merasa amankah hidup sebagai
orang Tionghoa di Kota Pontianak? Ibu Tjun tidak langsung menanggapinya
pertanyaan tersebut. Dia menghela napas sembari menerawang ke atas, dan saya
juga tidak terlalu ingin memaksa untuk menjawab pertanyaan yang cukup
sensitif baginya.
…..,Sebenarnya dibilang aman juga tidak ya…. soalnya saya
sendiri tiap hari kadang-kadang masih belum bebas.Tetapi
sementara ini amanlah karena apa lagi saya sudah mengajar di
tempat ini kelihatanya sudah diterima oleh teman-teman etnis
lain… tetapi ada juga tidak merasa nyaman dengan hal-hal
yang menyangkut peran saya di sekolah ini.42
Dalam wawancara ini, masih menanyakan dua pertanyaan lagi kepada
Ibu Tjun, yang mungkin terlalu sensitif baginya. Apakah sampai sekarang
masih merasakan diskriminasi-diskriminasi atau perlakuan tidak adil di
kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak? Ibu Tjun mengawali kisahnya
tentang diskriminasi tentang situasi dirinya di sekolah. Ia menceritakan bahwa
ketika reformasi mulai, bahasa Mandarin menjadi pelajaran muatan lokal
(mulok) di sekolahnya jutru banyak yang kurang antusias menyambutnya.
Ternyata dalam perjalanan waktu, tidak begitu mudah untuk masuk ke
wilayah sekolah yang mana siswa dan para pendidiknya berasal dari berbagai
multietnis seperti dari etnis Dayak, Melayu, Jawa, dan etnis lainnya. Fenomena
ini terjadi di tempat ia mengajar. Ibu Tjun mengisahkan, meskipun pelajaran
Mandarin menjadi pelajaran wajib bagi para siswanya, namun sebagai guru di
42
Hasil wawancara, 12 Oktober 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
sekolah tersebut, ia merasa belum sepenuhnya mengekspresikan dirinya sebagai
guru bahasa Mandarin.
“Di sekolah ini dalam satu kelas hanya ada beberapa
siswa yang berasal dari etnis lain. Akan tetapi selalu
menjadi tantangan tersendiri sebagai guru bahasa
Mandarin. Kesulitan yang sering dialami adalah hal-
hal yang mendasar yaitu bagaimana siswa yang bukan
etnis Tionghoa, bisa menulis ejaanya dengan benar dan
ketepatan cara membacanya sesuai dengan standar dari
materi tersebut. […..] ada juga sih rasa kecewa. Hal ini
menurunkan kebibawaan saya sebagai guru Mandarin
ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung di
kelas.Beberapa siswa yang bukan dari etnis Tionghoa
tidak begitu simpatik dengan pelajaran ini. Bahkan ada
beberapa siswa yang bukan etnis Tionghoa tidak mau
mengerjakan tugas yang diberikannya. Saya sangat
kecewa. Pernah satu kali secara spontan menyatakan
bahwa untuk apa belajar bahasa Mandarin? Kita kan
bukan orang Tionghoa. Lagi pula pelajaran ini bukan
masuk dalam pelajaran yang diujikan secara nasional
kok”.43
Menurut penuturan ibu Tjun ia merasa sakit hati saat mendengar ungkapan
siswanya yang tidak menjaga perasaan dia sebagai guru bahasa Mandarin di sekolah
tersebut.
“Saya baru mengetahui masalah ini, ternyata ungkapan beberapa siswa
di kelas, karena dipengaruhi oleh beberapa guru dari etnis lain yang ada
di sekolah saya mengajar. semacam provokasi kepada siswa bahwa
bahasa Mandarin bukan merupakan pelajaran yang bermutu bagi
mereka dan juga bukan menentukan kelulusan Ujian Nasional. Ya..
saya tidak bisa berkomentar banyak soal masalah ini” .44
Selain itu, dia mengisahkan bahwa fenomena ketidaksukaan bahasa Mandarin
mempengaruhi nilai siswa menurun prestasi di sekolahnya. Ketika menanyakan apakah
ini sudah sering kali terjadi di sekolah anda? Ia mendiamkan saja.
43
ibid 44
ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
“…….Dan memang benar! Dalam realitanya di lapangan nilai dari
pelajaran Bahasa Mandarin jarang mendapat seratus persen dalam
kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebagaimana tuntutan kurikulum
dari sekolah. Saya juga tidak tahu, mau buat apa situasi seperti ini?
[…..] Saya merasa malu, ketika dalam rapat diakhir semester bersama
guru-guru lainnya, banyak siswa yang tidak tuntas nilainya. Saya
merasa dipojok oleh guru lain bahkan ditertawakan dalam ruang rapat.
Saya tidak bisa membela diri dan tidak tahu bagaimana caranya”.45
Selain itu, dia juga mengisahkan bahwa sebenarnya bukan soal bahasa
Mandarin, mereka juga berjuang bagaimana agar perayaan budaya etnis Tionghoa
diperkenalkan di sekolahnya. Dalam kenyataanya bahwa masih ada juga penolakan dari
kalangan etnis lain secara terang-terangan dalam mengungkapkan ketidaksukaan budaya
mereka.
“Saya sempat mendengar beberapa guru di kalangan kami
yang tidak mendukung pementasan barongsai dan pentas seni
dalam rangka merayakan hari raya Imlek di sekolah ini. Sering
kali menjadi cibiran yang menyakitkan. Kehadiran kami
semacam ancaman bagi etnis lain di sekolah ini”.46
Lalu bagaiman ibu Tjun sendiri sebagai etnis Tionghoa menyikapi praktik
diskriminasi tersebut?
[…..] seperti yang saya ceritakan sebenarnya sakit hati dengan
pengalaman diskiriminasikan. Karena saya sendiri sudah berjuang
untuk bisa berbaur dengan siapa saja di sekolah ini. Namun masih ada
yang merasa aneh dalam diri saya. Kadang-kadang masa bodoh,
seakan-akan fenomena ini menjadi biasa di sini. [….] saya tetap jalani
tugas saya sebagai guru Mandarin di sekolah ini” .47
Bagaimana perasan ibu Tjun tentang tentang stereotif atau stigma dari etnis lain
khususnya dalam relasi sehari-hari di Kota Pontianak. Pertanyaan ini bagi Ibu Tjun
merupakan hal biasa. Akan tetapi jawabab dari Ibu Tjun membuka dia untuk menyadari
45
Ibid. 46
Ibid. 47
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
bahwa memang stereotif dan stigma itu tidak bisa hilang dari pikiran etnis lain terhadap
etnis Tionghoa di Kota Pontianak.
Sebenarnya stereotif tentang identitas kami… makanan sehari-hari saya
di Pontianak. Katanya kami ini pelit, penipu, sombong, eklusif, kaya
dan tidak nasionalis. [….] Pada hal.. itu hanya sebuah narasi yang
kontruksi oleh mereka tentang kami. Kenyataan tidak semua kami
seperti itu”.48
Informan kedua, Pak Wendy49 (nama samaran). Pak Wendy menceritakan
bahwa perubahan-perubahan sejak pasca reformasi membuat dia bisa menunjukkan
pribadi yang mempunyai kemampuan sebagai guru seperti enis lain di Kota Pontianak.
“Saya berterima kasih kepada pemeritah dalam hal ini Presiden
keempat RI Abdurrahman Wahid yang sering disapa Gus Dur dan
Presiden Ibu Megawati Soekarno Putri, presiden kelima RI telah
membuka ruang demokrasi bagi kami etnis Tionghoa. Tentunya banyak
perubahan, tetapi tidak semua etnis Tionghoa yang mengalami ruang
demokrasi sejak reformasi. Kami masih berjuang untuk memeluk dan
merawat ruang demokrasi itu sampai saat ini meskipun berat namun
perlahan-lahan saya menikmati apa artinya menjadi warga negara
Indonesia yang sesungguhnya” (Wawancara, 13 Oktober 2018).
Lalu apakah Pak Wendy merasa aman hidup sebagai orang Tionghoa di Kota
Pontianak?
“ Saat ini saya aman-aman saja. Cuma ya tetap was-was juga. Soalnya
di sini kadang-kadang ketegangan itu muncul secara tiba-tiba. Tetapi
saya percayalah, semuanya baik-baik saja kok sampai hari ini”. 50
Ketika ditanya soal pengalaman diskriminasi sosial secara ras, Pak Wendy
merasa bahwa hal-hal demikian sudah menjadi kebiasaan dialami sejak dia kecil.
Namun menurut Pak Wendy bahwa tidak menutup kemungkinan sampai saat ini masih
ada riak-riak ketidaksukaan terhadap etnis Tionghoa. Pak Wendy mulai mengisahkan
48
Ibid. 49
Wendy adalah seorang guru pelajaran bahasan Mandarin sekaligus berperan sebagai dosen di salah satu
perguruan di Kota Pontianak. 50
Hasil wawancara, 13 Oktober 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
pengalaman permasalahan yang sama dalam mengajar bahasa Mandarin di Kota
Pontianak. Dia mengisakan dalam mengajar Bahasa Mandarin sejak pasca reformasi di
Kota Pontianak.
“Jujur saja ya, saya guru yang mengajar bahasa Mandarin sudah
belasan tahun mengajar di sekolah. Kasus ketidaksukaan terhadap
pelajaran Mandarin semakin melukai perasaan saya. Sebagai guru
Tionghoa hal itu merendahkan identitas diri saya sebagai etnis
Tionghoa yang ingin mengembangkan bahasa Mandarin di sekolah ini.
Saya pernah mendapat laporan dari murid-murid saya bahwa salah satu
guru bidang studi tertentu menyobek kertas tugas bahasa Mandarin di
kelas. Murid ini memang salah karena, sembari mengerjakan tugas
bahasa Mandarin saat guru bahasa Inggris mengajar depan kelas.Tetapi
hemat saya tidak harus seperti itu caranya. Kalau saya menyimpulkan
ini semacam ujaran kebencian guru tersebut dan sangat melukai
perasaan saya sebagai guru Tionghoa di sekolah ini”51
Menurut Pak Wendy sampai saat ini di kalangan siswa dari etnis lain masih
melihat bahasa Mandarin itu bukan hal yang amat penting. Dan mereka merasa
pelajaran Mandarin itu sebenarnya khusus untuk mereka yang keturunan etnis
Tionghoa yang berdomisili di Kota Pontianak.
“Saya kadang-kadang mendengar secara spontan ungkapan
anak-anak dari etnis lain bahwa, bahasa Mandarin itu hanya
untuk kepentingan bisnis. Sebagai guru Bahasa Mandarin,
mendengar ungkapan-ungkapan tersebut, saya kok merasa
disepelekan. Seolah-olah pelajaran saya memang tidak sejajar
dengan pelajaran lainnya seperti bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia”.52
Berdasarkan penuturan Pak Wendy bahwa sampai saat ini masih adanya sikap
atau perilaku diskriminatif terhadap pelajaran Bahasa Mandarin. Bahkan dia enggan
untuk menyampaikan situasi ini kepada atasannya.
“Saya takut menceritakan kepada pimpinan sekolah saya.
Biarlah hanya saya yang tahu. Yang jelas stigma dan
diskriminatif terhadap kami etnis Tionghoa, memang tidak
51
Ibid. 52
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
pernah berhenti sampai saat ini. Fenomena ini sudah biasa bagi
kami di sini”.53
Ketika ditanya bagaimana Pak Wendy sendiri menyikapi praktik diskriminasi
tersebut? Dia mengisahkan bahwa sebenarnya dia ingin mundur sebagai guru namun dia
tetap menunjukkan kepada guru –guru etnis lain bahwa ia punya hak yang sama dalam
membangun generasi muda di Kota Pontianak. Menyikapi diskriminasi baginya banyak
cara. Salah satunya yaitu membangun kemampuan diri sebagai guru khususnya dalam
bidang pelajaran Mandarin.
Pak Wendy juga mengisahkan perasannya tentang stereotif dan stigma dari etnis
tentang dirinya bukan hal baru ia rasakan dalam pergaulan di tengah masyarakat Kota
Pontianak.
“Saya tidak pernah merasa tersinggung soal stereotif yang berlebihan
tentang diri saya. Sejak dari nenek mungkin begitu ya.. [….] namun
sangat disayangkan cara pandang mereka tentang kami hanya karena
ikut-ikutan saja atau melihat apa yang ada dalam diri seseorang belum
tentu benar. [….] kami keluarga sederhana dan rumah sangat
sederhana, tetapi sudahlah kalau melihat kami seperti yang ada dalam
pikiran mereka.”. 54
,
1.2 Ketidaksukaan dalam Jabatan Struktural
Informan ketiga, Ibu Erlina55
(nama samaran). Ibu Erlina merasa bahwa
perubahan sejak reformasi sangat membantu dia untuk menunjukkan eksitensialnya
baik sebagai guru di sekolah atau pun sebagai penduduk masyarakat di Kota Pontianak.
Dia tidak takut bila ada persoalan, namun bagi bu Erlina bukan persoalan itu membuat
dia mundur dari fenomena-fenomena yang terjadi di Kota Pontianak selama ini. Akan
53
Ibid. 54
Ibid. 55
Ibu Erlina bahasa Inggris di salah satu sekolah Menengah di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
tetapi ia mau mencari kebenaran dan keadilan dalam hidup bersama etnis lain di Kota
Pontianak.
“Bagi saya sejak perhelatan budaya kami mulai diperkenalkan
kembali di era reformasi merupakan sebuah kejutan dalam
membangkitkan semangat saya lagi sebagai etnis Tionghoa di
Kota Pontianak ini. Selain untuk menunjukkan bahwa budaya
kami orang Tionghoa diterima sepenuhnya oleh etnis lain, juga
kami ingin merasakan kebebasan merayakan perayaan budaya
seperti etnis lain yang ada di Kota Pontianak ini. […..]
Pokoknya saya senang sekali akan kemajuan kegiatan sosial
budaya kami yang sampai saat ini kami tetap menjaga dan
merawatanya bersama” (Wawancara, 15 Oktober 2018).
Ibu Erlina menceritakan bahwa saat ini ia merasa aman, namun ada hal yang
masih mengganjal dalam dirinya yaitu persoalan relasinya dengan etnis lainnya di
sekolah. Menurut guru yang masih muda ini sebenarnya bukan hanya persoalan
pelajaran Mandarin saja, akan tetapi dia menyatakan bahwa dalam menyangkut jabatan
tambahan untuk seorang pendidik dan tenaga kependidikan dari etnisnya masih
menjadi sebuah permasalahan di dalam pendidikan formal di Kota Pontianak. Menurut
Ibu Erlina ketidaksukaan dari beberapa guru dari etnis lain di sekolahnya, menjadi
ketegangan baik dalam hubungan dengan dengan pimpinan di lembaga sekolah tersebut
maupun dalam menjalani tugas yang dipercayakan kepadanya.
“Berat saya menceritakan masalah ini. Sangat sensitif. […..] suatu hari
saya dipanggil oleh kepala sekolah, berbincang-bincang untuk diangkat
menjadi wakil kepala sekolah bagian kesiswaan (wakasis). Tiga hari
kemudian, saya mendengar dari guru etnis lain berupa ungkapan yang
tidak masuk akal bahwa saya masih muda. Etnis orang Tionghoa tidak
cocok untuk menjadi pemimpin di sekolah ini.. Menurut mereka, saya
tidak mempunyai keahlian khusus dalam menyusun program kegiatan
kesiswaan di sekolah ini. Saya sempat sedih. Mengapa ya
dipersoalkan? […..] Saya sangat kecewa sekali”.56
56
Hasil wawancara, 15 Oktober 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Ibu Erlina menceritakan bahwa, ketika diminta untuk menjadi wakasis, ia
merasa takut dan tidak percaya diri. Ia takut dengan guru senior dan guru etnis lain di
sekolah tersebut. Namun karena desakan dari kepala sekolah, Ibu Erlina bisa
menunjukkan kemampuan seperti guru lainnya di sekolah tersebut.
“Saya merasa ditantang dengan tugas tersebut. Mau tidak mau, suka
tidak suka akhirnya saya menerima tugas untuk mengatur program
pengembangan siswa baik secara akademik maupun nonakademik.
Meskipun merasa berat dalam menjalani tugas tersebut. […..] saya
melakukan ini dan mempunya prinsip untuk membangun sekolah ini
kearah yang lebih baik. Saya tetap berusaha untuk menciptakan suasana
kondusif dalam menjalin relasi dengan etnis lain di sekolah ini
meskipun faktanya selalu ditolak baik secara verbal maupun
nonverbal”.57
Ibu Erlina juga membeberkan juga pengalamannya tentang permasalahan soal
guru Tionghoa tidak diberi ruang jabatan dalam lembaga pendidikan tentu saja bukan
masalah baru. Akan tetapi, di era pasca reformasi ketidakpercayaan terhadap
kemampuan mereka untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan, tentu saja masih
menjadi narasi bagi etnis lain.
[….] Bagi saya narasi-narasi ini sebenarnya merupakan
warisan yang sudah terpolarisasi dalam pemikiran etnis lain,
bahwa kami warga Tionghoa di Kota Pontianak khususnya,
merasa aneh bila kami yang selama ini lebih berhasrat ke
bidang ekonomi dari pada panggilan hati untuk mengabdikan
diri menjadi guru” 58
Informan keempat, Ibu Berty59
(nama samaran). Ibu Berty mengisahkan bahwa
selama kepemimpinannya sebagai kepala sekolah sebenarnya ketidaksukaan terhadap
dirinya justru bukan berada di ruang lingkungan sekolahnya. Banyak sekolah yang
dipimpin oleh etnis lain menjadi pergumulan ketika sekolah ibu Berty dalam
57
Ibid. 58
Ibid. 59
Berty (samaran) salah satu kepala sekolah prempuan dari etnis Tionghoa di salah satu Sekolah Swasta
Menengah di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
membangun penjaminan mutu di sekolahnya sangat maju. Bagi dia ketika reformasi itu
bergaung di Kota Pontianak merupakan sebuah kesempatan baginya untuk mau
menunjukkan kemampuannya dalam memimpin sebuah sekolah menengah di Kota
Pontianak.
“Saya sudah memimpin lembaga ini sudah dua periode. Sudah banyak
yang kami buat untuk kemajuan lembaga pendidikan di Kota
Pontianak. Kami selalu mengadakan ekspo perguruan Tinggi tiap
tahun. Sekolah kami selalu mewakili propinsi untuk mengikuti
perlombaan di tingkat nasional. Meskipun ada sekolah lain tidak suka,
tetapi kami mengalami ketidaksukaan itu sudah menjadi hal biasa yang
kami alami di kota ini. Kami lakukan ini untuk Kota Pontianak. Bukan
untuk sekolah kami” (Wawancara, 3 November 2019).
Selain itu Ibu Berty, mengisahkan bahwa pernah juga sekolahnya dianggap
remeh oleh etnis lain lantaran setiap tahun di bawah kepemimpinannya siswa-siswanya
yang duduk di kelas XII selalu menjadi juara ujian nasional tingkat propinsi. Kata Ibu
Berty dia sama sekali tidak keberatan bila isu-isu itu muncul karena sudah terpolarisasi
bahwa mutu sekolah di Kota Pontianak seakan-akan maju kalau dipimpin oleh etnis lain
di Kota Pontianak.
“Tujuan saya sebenarnya untuk membuka mata orang lain bahwa saya
sendiri sebagai perempuan etnis Tionghoa tidak mau kalah dengan etnis
lain yang selama ini memimpin di sekolah milik negara. Stereotif
dibangun hanya karena mereka tidak mau melihat bahwa setiap orang
tanpa dilihat dari etnis manapun, semuanya diberi kesempatan untuk
mau maju dan berbuat apa saja sejuah itu untuk membangun
masyarakat Kota Pontianak. Jadi budaya dari etos kerja yang harus
direfleksikan oleh seorang pemimpin”.60
60
Hasil wawancara, 3 November 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
2. Berbagai Pengalaman Diskriminasi Di Wilayah Kehidupan sehari-hari
Seperti yang diuraikan sebelumnya, bahwa warga Tionghoa di Kota Pontianak
sejak zaman kolonial sampai pasca reformasi diskriminasi tidak hanya dialami pada
aspek-aspek tertentu saja tetapi ada aspek lainnya yang membuat dirinya terus
berjuang untuk melawan keluar dari lingkaran tersebut (Mely G.Tan, 2008:200).
Akan tetapi, situasi yang mereka alami membutuhkan waktu dan ruang untuk lepas
bebas dari genggaman dan hasrat etnis mayoritas yang menguasai mereka di Kota
Pontianak.
Berbagai pengalaman diskriminasi berikut ini, seakan-akan tidak pernah
berakhir dari ruang kehidupan mereka. Hal ini membuat mereka dilema sebagai
etnis minoritas di Indonesia pada umumnya dan di Kota Pontianak khususnya.
Belum lagi akibat dari stereotip-stereotip yang berlebihan sangat jarang untuk
mengkomunikasikan secara baik, memungkinkan munculnya secara terus-menerus
diskriminasi sosial yang terjadi di kalangan warga Tionghoa itu sendiri.
2.1 Menyuarakan Kebenaran dan Keadilan Melalui Politik
Heterogenitas dinamika internal politik etnis Tionghoa di Indonesia khususnya
pasca tumbangnya resim Orde Baru menjadi tanda kembalinya kebebasan warga
Tionghoa dalam merasakan bagaimana perjuangan mereka serta menerobos dirinya
dalam berdemokrasi di alam Indonesia (Mahfud, 2013:204). Pencabutan berbagai
pembatasan atas partisipasi dan aktivitas politik yang telah berlaku selama 32 tahun,
seolah-olah membuka kran atau pintu penjara lahirnya partai politik bagi warga
Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan di Kota Pontianak khususnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Sejak pasca reformasi beberapa tokoh etnis Tionghoa di Kota Pontianak
berkompetisi dengan tokoh-tokoh politik dari etnis lain dalam mengambil posisi
penting dan bergengsi di bidang pemerintahan di Kota Pontianak. Baik sebagai DPD,
DPR, MPR baik pada tingkat kota maupun pada tingkat provinsi, bahkan bisa menjadi
wali kota dan wakil gubernur Kalimantan Barat.
Informan kelima, Tjai Chui Mie.61
Pengalaman dari ibu Tjai Chui Mie berikut
ini sebagai representasi dari tokoh-tokoh politik etnis Tionghoa lainnya untuk sama-
sama maju membangun propinsi Kalimantan Barat. Bagi Ibu Tjai Chui Mie, perubahan-
perubahan etnis Tionghoa dalam bidang politik di Kalimantan Barat pada umumnya
dan di Kota Pontianak dan Singkawang khususnya mau memperlihatkan bahwa semua
warga memiliki kekuatan dan pontensi yang kuat untuk membangun tanpa disekat oleh
etnis-etnis tertentu.
“Saya tidak mempunyai cita-cita berkiprah dalam bidang
politik. Saya suka pengembangan di bidang ekonomi. Kalau
etnis lain melihat kami terlalu kuat di bidang ekonomi tidak
masalah karena kami punya sejarah. Untuk mengubah stereotip
itu maka saya mencoba untuk masuk ke dunia politik.
Sebenarnya tidak aman tetapi ini peluang bagi saya untuk
melawan ketidakadilan yang saya alami selama ini
(Wawancara, 14 Februari 2016).
Alasan ibu TJai Chui Mie berafiliasi dalam bidang politik bermacam-macam.
Hal demikian sesuai dengan motivasi, visi, dan misinya serta apa yang dia perjuangkan
bagaimana diskriminasi yang selalu menimpai etnisnya selama ini sebagai kesempatan
untuk menyuarakan keadilan di masyarakat etnis lain di Kalimantan Barat.
61
Informan ini bukan hasil wawancara melainkan hasil obrolan singkat dengan wali kota Singkawang
pada tanggal 14 Februari 2016 saat menghadiri hari perayaan Imlek di kediamanya di Kota
Singkawang. Meskipun dia bukan tinggal di Kota Pontianak, namun bisa memahami suasana politik
di Kota Pontianak dan sekitarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
“Saya sudah pernah menjabat sebagai ketua DPRD dan sekarang
berjuang untuk menjadi wali Kota. Alasan saya ya…. karena sudah
lama kami merasa tidak adil dalam pelbagai aspek kehidupan. Saya
pernah merasa dipersulit dan diperas saat mengurus ijin mendirikan
usaha dan membuat dokumen untuk keluar negeri. Mereka menagih
diluar aturan yang berlaku di masyarakat umum pengalaman itu sangat
menyakitkan bagi ras saya sampai saat ini”.62
Selain itu menurut ibu TJai Chui Mie, persaingan di bidang politik di
Kalimantan Barat memang rasanya tidak aman karena muncul sebuah ketegangan baru.
Masing-masing etnis muncul visi misi yang lebih menjanjikan pembangunan
kelompoknya. Ketika disinggung soal stereotif bagi ibu TJai Chui Mie pada dasarnya
fenomena-fenomena itu wajar-wajar saja, karena tidak setiap etnis siap menerima
sebuah kemajuan dan perubahan dalam masyarakat saat ini.
[…..] sebenarnya jujur ya, etnis lain merasa terancam ketika etnis kami
muncul dan bangkit dalam bidang politik. Selama inikan semacam
dianggap remeh. Maka kalau bicara soal stereotif itu sudah biasa bagi
saya sebagai etnis Tionghoa. Maka mengapa ini selalu muncul… ya itu
tadi belum siap menerima perubahan-perubahan yang terjadi di Kalbar
ini”.63
Infoman keenam, bapak Andi64
(nama samaran). Menurut bapak Andi selama 32
tahun mereka sebagai etnis Tionghoa hanya menerima pembatasan/pelarangan
berpolitik. Perlakuan diskriminasi bagi warga Tionghoa diterima secara paksa karena
kelompok mereka dikenai „hukuman sosial‟ berupa perlakuan diskriminatif oleh
pemerintahan Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto. Karena adanya
diskriminasi itu, semua kelompok etnis Tionghoa di Indonesia tidak berdaya di bidang
politik, kecuali mereka menerima apa adanya. Namun menurut bapak Andi kelompok
etnisnya tidak putus asa.
62
Hasil wawancara, 14 Februari 2016. 63
Ibid. 64
Bapak Andi salah satu dari anggota DPRD dari etnis Tionghoa tingkat Kota Pontianak periode 2010-
2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
“Sejak bergulir reformasi, sekarang generasi etnis Tionghoa
mulai bangkit lagi untuk mempelajari ekonomi yang lebih
tangguh dan kuat. Bahkan di Kota Pontianak dari keluarga
kami sudah mulai kuliah di berbagai jurusan di Perguruan
Tinggi di Indonesia dan khusus di Kota Pontianak. [….]
Mereka sudah siap dengan ilmu pengetahuannya untuk
diterapkan pada semua aspek kehidupan dalam masyarakat di
Kota Pontianak. Bukti perjuangan generasi muda dari
kelompok kami sepertinya ternyata tidak sia-sia karena
semuanya berproduktif membangun masyarakat di Kota
Pontianak saat ini.” (wawancara, 18 November 2019).
Bapak Andi mengungkapkan juga bahwa di era reformasi mulai bergulir pada
tanggal 21 Mei 1998, warga Tionghoa yang telah siap membantu siapa saja yang
membutuhkan ilmu pengetahuan mereka. Hal ini langsung sebagai upaya dalam
memenuhi panggilan jiwa mereka untuk melepaskan diri mereka atau kelompoknya dari
pembatasan atau pelarangan di bidang politik. Mereka memasuki partai politik sebagai
pengurus partai politik, kemudian menjadi calon anggota legislatif dan calon kepala
daerah.
“Saya memang pertama agak takut untuk bergabung di partai
politik. saya diusung oleh Golkar dan sangat senang bisa masuk
di Komisi tiga di DPRD Kota Pontianak. Saya hanya berjuang
bagaimana keadilan itu merata bagi masyarakat Kota Pontianak
tanpa di bentengi kepentingan etnis tertentu.65
Ketika ditanya apa motivasi Bapak terlibat dalam bidang politik? Bagi Bapak
Andi, motivasi keterlibatannya di bidang politik, karena mempunyai alasan yang
mendasar.
“Bertahun-tahun lamanya ditekan oleh penguasa tunggal.
Barangkali ini sebagai bentuk sebuah perlawanan yang nyata
dalam bidang politik. Saatnya kami mau membongkar stigma
pada era Orde Baru. Saya juga mau mengatakan bahwa tidak
semua kami pahami soal komunis karena kami selalu jadi
Korban tuduhan zaman Orde Baru. Kami sudah lama lahir di
65
Hasil wawancara, 18 November 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
sini, di Kota Pontianak ini. Janganlah kami dikaitkan lagi
peristiwa sejarah yang melukai perasaan kami ”.66
Bapak Andi juga mengisahkan bahwa ada beberapa temannya gagal di salah
satu partai politik di Kota Pontianak.
“Karena saya melihat ia mengalami ketakutan jangan sampai
usahanya bangkrut hanya untuk kepentingan politik. Saya
melihat ada teman-teman dari etnis lain memanfaatkan usaha
teman saya, maka dia mundur dari kontelasi politik tersebut,
karena budaya umpan politik dengan memanfaatkan usaha
kami etnis Tionghoa semacam menjurus kearah memeras
secara terang-terangan dan hal ini tidak menarik bagi saya
sendiri”.67
Bapak Andi merasa bahwa pengalaman temannya juga merupakan pengalaman
yang sangat kontradiksi atau dilema bagi etnis Tionghoa di pasca reformasi. Satu pihak
mau berafiliasi di bidang politik, tetapi juga takut karena merasa didiskirminasikan oleh
etnis lain. Mereka ingin mengakui identitas lewat partai politik, tetapi masih ragu
karena mereka masih juga dibelenggu oleh pengalaman-pengalaman yang menghambat
untuk maju dalam bidang politik.
Menurut Bapak Andi kenyataannya bahwa, di Kota Pontianak masih belum
begitu kuat untuk mengimbangi dalam mengalami kesegaran angin politik tersebut.
“Barangkali kami etnis Tionghoa masih mengalami trauma
politik yang sudah terlanjur dicap hanya mampu dalam bidang
ekonomi. Stereotip-stereotip demikian, semakin kami melawan
dengan cara mengisi dan merebut kursi jabatan di DPD dan
DPR baik di kota atau kabupaten maupun di tingkat propinsi di
Kota Pontianak, yang walaupun tidak banyak suara yang
memilih kami, namun tetap nama-nama dari etnis kami
menjadi ketakutan bagi etnis lainya di Kota Pontianak”.68
66
Ibid. 67
Ibid. 68
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
2.2 Pergolakan Hidup Di Bidang Sosial
Secara umum, relasi di kalangan etnis Tionghoa dengan etnis lain di Kota
Pontianak, sampai saat ini kelihatanya dalam keadaan baik dan tenang. Akan tetapi
kondisi di kalangan Tionghoa lainnya tidak seperti demikian. Di bawah ini ada beberapa
kisah yang mengalami demikian lewat ungkapan bahasa-bahasa yang merendahkan
martabat etnis Tionghoa sebagai bagian dari warga multietnis di Kota Pontianak.
Informan ketujuh, Ibu Lita (nama samaran). Menurut penuturan Ibu Lita bahwa
berbagi kisah diskriminasi sosial di Kota Pontianak itu tidak secara terang-terangan
tetapi baginya sudah menjadi makanan sehari-hari dalam interaksi dengan etnis lain di
Kota Pontianak.
“Kalau saya lewat depan mereka, entah di pasar atau di jalan yang
remai sering menyapa dengan kata-kata„amoy‟.69
Bukan hanya itu saja
anak-anak laki-laki saya pun juga sering „hitaci‟ (Cina hitam/gelap).70
.
Menurut saya, ungkapan demikian sangat menyakitkan hati saya
sebagai etnis Tionghoa, Belum lagi di sekolah menagih uang „SPP‟
masih berbeda dengan etnis lain. Pada hal kami tidak semua kaya.
Masih banyak peristiwa yang menyakitkan bagi saya. Intinya…..
seolah-olah kami masih sebagai etnis terasing di Kota Pontianak”
(Wawancara, 20 November 2019).
Menurut ibu Lita masih banyak ungkapan yang sangat menyakitkan tentang diri
keberadaan etnisnya di Kota Pontianak. Dia menceritakan bahwa sebagai etnis yang
69
Amoy adalah kata Bahasa Tionghoa yang umumnya digunakan untuk memanggil perempuan yang
masih muda. Dikenalnya kata amoy di luar penutur Bahasa Tionghoa sebagian besar karena berita-berita
tentang maraknya perempuan muda Hakka dari Singkawang yang diperistri oleh pria-pria asal Taiwan,
sehingga muncul istilah "Amoy Singkawang" dan kota itu dijuluki "Kota Amoy". Kata amoy tidak
mengandung arti negatif namun sering kali disalahgunakan dan juga karena sebagian orang selalu
mengingat hal-hal buruk yang berkaitan dengannya tanpa mengerti arti yang sebenarnya. Di
Malaysia, amoy susu ("amoy berkulit putih") adalah panggilan bernada merendahkan dan bersifat
menyinggung (https://id.wikipedia.org/wiki/Amoy_(istilah diakses, 18 April 2020).
70 Mereka yang secara ras sudah tidak ada keaslian karena sudah mengalami proses asimilasi dengan
warga lainya melalui kawin campur dengan etnis Melayu, Jawa, Bugis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
merasa diasingkan oleh etnis lain bukan pengalaman baru. Dia tidak tahu mengapa itu
terjadi pada etnisnya di Kota Pontianak.
“Kami juga tidak tahu apakah karena kami sebagai etnis yang
mendominasi di kota ini. Sebenarnya banyak juga yang tidak
suka dengan kami, hal itu merupakan hak-hak mereka. Tetapi
unsur ketidaksukaan karena apa ya dengan keadaan kami
seperti ini, yang boleh dikatakan masih juga miskin seperti
mereka juga. Kalau kami yang adalah etnis yang mendominasi
ya… saya juga tidak tahu hal ini. Mengapa mereka tidak suka
denga kami”.71
Menurut ibu Lita, kebenciaan etnis lain tidak hanya pada mereka yang dewasa,
tetapi imbasnya ke anak-anak mereka yang tidak tahu soal perbedaan etnis dan
ketegangan relasi sehari-hari, yang satu waktu bisa muncul kembali konflik antar etnis
di Kota Pontianak. Bagi Ibu Lita, permainan bahasa yang tidak dipahami sangat
menyakitkan, karena ungkapan-ungkapan tersebut merendahkan harga dan martabat diri
etnis Tionghoa mereka yang juga sebagai etnis yang sudah lama lahir di Kota
Pontianak. Pengalaman tersebut oleh Mely G.Tan (2008:193), mengetengahkan
permainan bahasa zaman Orde Baru salah satu tindakan diskriminasi yang menyudutkan
etnis Tionghoa di Indonesia.
“ Kalau mau jujur masih banyak ungkapan lain juga kok
terutama anak-anak saya kalau bermain dengan etnis lain ini.
Entah di sekolah atau di tempat bermain sering mereka
mengungkapan kata-kata yang merendahkan kami ini.
Misalnya dalam bahasa Tiociu kata Hiok khiaw (miskin
sekali), Hiok nga (bodoh sekali), Cu thauke (bos), Ou
(Tionghoa hitam), Lasap (orang Tionghoa kotor), Kan Lui;
(pencuri uang), Hiok chiaw (sombong) dan Lai Nang yang
artinya pendatang dari Tiongkok”.72
71
Hasil wawancara, 20 November 2019. 72
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Informan kedelapan, Bapak Lien Lim (nama samaran). Bapak Lien Lim
mengisahkan bahwa diskriminasi sosial secara ras di Kota Pontianak bagi mereka
sebagai etnis Tionghoa bukanlah fenomena baru di era reformasi.
“Pada tahun 2013 kami dengan kawan-kawan diusir paksa dari salah
satu pasar terbesar di Kota Pontianak. Awalnya kami tidak mau keluar
dari pasar tersebut. Katanya sih pemerintah membongkar pasar
mempunyai tujuan merenovasi kembali untuk menjadi pasar yang
standar, layak dan kondusif bagi kami warga Kota Pontianak. Namun
kenyataanya justru mengusir kami warga Tionghoa yang sudah lama
menetap di dalam pasar tersebut. Kami warga Tionghoa sudah lama
mendirikan di dalam dan di depan pasar tersebut. Yang membuat kami
sakit hati dan tidak terima karena pemerintah mengklaim bahwa kami
mengambil ruang atau fasilitas publik masyarakat Kota Pontianak.
Sejauh sebelum pasar itu ada kami sudah lama menetap di pemukinan
tersebut. Ada surat hak milik. Kami sangat kecewa Pak dan kami
merasa tidak adil” (Wawancara, 23 November 2019).
Bapak Lien Lim mengisahkan bahwa mereka pernah melawan atas tindakan
para preman bayaran yang memaksa untuk membongkar pasar tersebut. Akan tetapi
bapak Lim Liem dan teman-teman tidak mau menciptakan kerusuhan baru di Kota
Pontianak.
“Mereka kuat pak… karena banyak preman bayaran yang
diambil dari etnis tertentu. Untuk mengamankan dari amukan
massa, kami yang merasa diskriminasi dan tidak adil,
berusaha melalui jalur hukum namun tidak berhasil sampai saat
ini. […..] Pokoknya sangat bahaya Pak.. kalau kami melawan
secara fisik, apa lagi ada orang tertentu menyewa para preman
[….] kami tidak mau lagi mengalami konflik terus-menerus..
mau jalur hukum harus siap uang banyak. Biarkan saja kami
seperti ini”.73
Bapak Lien Lim menjelaskan bahwa, pemerintah dengan menggunakan
aparatnya membongkar pasar dan mengusir mereka dengan paksa dari lokasi tersebut.
Menurut Bapak Lien Lim, suasana para pedagang di pasar tersebut di mana mayoritas
73
Hasil wawancara, 23 November 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
pedagang adalah etnis Tionghoa akhirnya menjadi tegang. Ketegangan ini juga
semakin nampak dalam persaingan menjual bahan kebutuhan rumah tangga.
Dalam proses selanjutnya tentang masalah pasar tersebut di atas, menurut
Bapak Lien Lim tidak ada titik kejelasannya bagaimana cara menyelesaikan masalah
ini.
“Kasus ini hilang begitu saja Pak. [….] dan lenyap dari
pemberitaan media cetak karena warga Tionghoa mendapat
ancaman yang misterius dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab”.74
Selain itu dia menceritakan tentang kasus yang sama di tahun sebelumnya, di
Jalan Tanjungpura Kota Pontianak. Sekelompok warga mereka diusir dari etnis lain
karena tempat tinggal mereka dituduh sebagai daerah illegal atau milik dari etnis
tertentu.
“Untung ada seorang biarawan dari ordo Fransiskan Capusin
(OFMCap), membantu teman-teman kami Pak untuk
mengungsi di salah satu tempat yang cukup kondusif untuk
mereka tinggal sementara waktu”.75
Bapak Lien Lim mengisahkan bahwa sampai sekarang tidak ada ruang untuk
membela mereka. Teman-temanya selalu berharap agar bisa bernegosiasi dengan
tokoh-tokoh yang terkait dalam menangani masalah tersebut. Sampai saat ini menurut
tuturannya bahwa permasalahan ruang kebebasan tempat tinggal bagi etnis Tionghoa di
Kota Pontianak semakin diperketat oleh pihak yang terkait di ruang wilayah penataan
Kota Pontianak.
74
Ibid. 75
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
2.3 Membeku Pengembangan Budaya Etnis Tionghoa
Kasus berikut ini adalah seorang mahasiswa etnis Tionghoa, merasa sedih ketika
pengalaman diskriminasi itu menimpa dirinya. Kejadian tersebut, terjadi pada saat ia
ingin kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak dengan mengambil
program studi pendidikan Bahasa Indonesia. Salah satu dosen dari etnis lain
menyudutkannya.
Informan kesembilan, Reny (nama samaran). Reny mengisahkan bahwa
bahasa rasisme sungguh dirasakan sebagai pengalaman yang menyakitkan baginya saat
ingin menunjukkan kemampuanya dalam bidang bahasa Indonesia. Ia ingin bergabung
dengan etnis lain di salah satu pendidikan perguruan tinggi di Kota Pontianak.
Ungkapan dari salah satu dosen membuat ia trauma dengan masalahnya.
“Saya juga kaget ketika dosen itu mengatakan secara langsung
memang kamu mata sipit apa bisa menjadi guru? Apa lagi
masuk dalam program studi bahasa Indonesia?” […..] Saya
kaget dan merasa sedih sekali Pak. Akhirnya dengan terpaksa
saya kuliah di perguruan tinggi lainnya dan memilih di
perguruan swasta di bagian akuntansi. Pertama kali saya tidak
bisa menerima situasi tersebut. [….] Saya merasa ujaran
kebencian dan diskriminatif dari dosen tersebut sangat melukai
perasaan saya waktu itu”. Bahkan saat ini saya tidak melupakan
begitu saja” (Wawancara, 18 November 2018).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Reny menjelaskan bahwa pengalaman diskriminasi tersebut, sangat
menyakitkan baginya dan juga teman-temanya di kalangan generasi muda Tionghoa di
Kota Pontianak ketika dia juga membagikannya pengalaman tersebut.
“Bagaimana saya membangun relasi untuk kearah yang lebih
baik ke masa depan, ternyata luka sejarah lama juga belum
tersembuhkan dengan stigma dan dikriminasi ras yang
sebenarya sudah berakhir di era reformasi”.76
Reny juga mengatakan bahwa mereka sebagai etnis yang selalu menjadi
kambing hitam di Kota Pontianak, ingin menutup kepahitan masa lalunya, namun
meruak lagi ketika narasi itu tidak pernah berakhir dan muncul di pasca reformasi.
“Saya kecewa sekali Pak... [….] saya tidak mau lagi mengusik
hal-hal yang traumatik bagi perkembangan psikis saya saat ini.
Saya juga tidak suka tidak suka berbicara yang terlalu sensitif
tentang etnis saya saat ini. Pengalaman yang saya alami
selama ini sangat dirasakan sebagai tindakan pembunuhan
karakter saya. Atau boleh dikatakan semacam dikebiri cita-
cita saya untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia di
negeri ini.”77
Selain itu Reny juga mengisahkan bahwa yang sangat menarik adalah salah satu
temannya yang bernama Ria (nama samaram) dari etnis Tionghoa diterima di salah
satu kampus di Kota Pontianak untuk mengambil pendidikan seni dan budaya. Kata
Reny bahwa Ria temannya mengambil program studi tersebut sangat beruntung. Karena
dengan bergabung dengan etnis lain, memudahkan temannya untuk menyatukan dan
menepis stereotip yang berlebihan atas mereka.
“Bagi kami seni dan budaya dapat menyatukan perbedaan di Kota
Pontianak. Idealnya demikian. Tetapi tetap ada permainan politik
identitas yang sangat parah bagi kami di Kota ini”.78
76
Hasil wawancara, 18 November 2018. 77
Ibid. 78
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Reny mengisahkan dalam perjalanan kuliah temannya pada akhirnya mengalami
diskriminasi. Salah satu contohnya adalah pihak kampus tidak mengijinkan temannya
untuk merayakan imlek bersama keluarganya karena bersamaan dengan ujian akhir
semester ganjil.
Rentetan pengalaman-pengalaman diskriminasi yang dialami Reny, baginya
merupakan potret ketidaksukaan sejak reformasi bergema di masyarakat Kota
Pontianak. Karena begitu kompleksitasnya pengalaman diskriminasi di kalangan mereka di
Kota Pontianak bukan hanya aspek kemanusiaan saja, akan tetapi juga simbol-simbol
perayaan tidak bisa diterima secara utuh oleh etnis lain di Kota Pontianak.
Menurut Reny, bukan hanya itu pada saat perayaan imlek, ada beberapa warga
merasa terusik dengan bunyi petasan sepanjang perayaan berlangsung. Padahal bunyi
petasan itu dilakukan oleh anak-anak muda sebagai kegembiraan dalam menyambut
perayaan Tahun Baru Imlek di Kota Pontianak seperti juga di daerah lainya di
Indonesia.
“Saya juga merasa jengkel karena tetangga kadang-kadang
membentak anak-anak kami dan mengeluarkan kata-kata yang
tidak bersahabat.” 79
Hal ini juga nampak pada reaksi dan tanggapan etnis lain yang memunculkan
kecemburuan sosial saat perayaan imlek kami berlangsung.
[……], Kata mereka bahwa keramaian pengunjung karena
parade naga menarik, tetapi di sisi lain membuat lalu lintas
terganggu luar biasa, karena pawai berlangsung cukup lama
dan membuat jalanan penuh dengan sampah. Ada baiknya
79
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
ditahun mendatang parade ini dipusatkan di lapangan atau area
yang tidak mengganggu lalu lintas”.80
Ketegangan lain juga yang terjadi Kota Pontianak adalah di tempat kuburan
warga Tionghoa. Dari sekelompok anak-anak dari etnis lain, memposisikan dirinya
sebagai pembersih kuburan milik etnis Tionghoa. Mereka melakukan spontanitas secara
berkelompok. Kelompok tersebut semacam mengais rejeki di saat ritual tiap tahun
warga Tionghoa melakukan sembahyang kubur . Mau tidak mau mereka memberi uang
sebagai upah kepada mereka yang merasa diri telah bekerja dengan keras di lingkungan
kuburan etnis Tionghoa. Yang sebenarnya tidak ada yang menyuruh mereka (baca:etnis
lain) untuk membersihkan kuburan orang-orang Tionghoa. Mereka tidak mempunyai
patokan yang tetap dalam mengupah atau membayarnya. Terkadang mengalami
ancaman bila dari pihak etnis Tionghoa tidak memberi sesuai permintaan para
pembersih kubur.
Menurut Reny ada kelompok tertentu juga mengambil persembahan untuk arwah
di kuburan berupa buah-buahan atau makanan yang sudah didoakan dalam tata cara adat
etnisTionghoa.
“Bagi kepercayaan kami warga Tionghoa persembahan
tersebut, sangat sakral sebagai ikatan emosi dengan yang sudah
meninggal. Fenomena ini bagi kami etnis Tionghoa sangat
tidak masuk akal dan tidak adil. Mengapa mereka mencuri
persembahan-persembahan untuk orang mati” .81
Informan kesepuluh, Bapak Lie Sau Fat82
. Respond atau reaksi dari Bapak Lie
Sau Fat sebagai ketua Etnis Tionghoa Kalimantan Barat bahwa, berbagai pengalaman
diskriminasi di atas, yang menimpa warga Tionghoa di Kota Pontianak menjadi sebuah
80
Ibid. 81
Ibid. 82
Hasil wawancara, dengan Ketua Etnis Tionghoa 11 November 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
ruang untuk bisa bernegosiasi mengapa perilaku diskriminasi selalu hadir di wilayah
masyarakat kelas bawah.
Wawancara dengan Bapak ini tidak berlangsung lama karena keadaannya saat
itu lagi sakit. Akan tetapi selama 15 menit dia mengisahkan panjang lebar tentang
persoalan di Kota Pontianak.
“Ketika reformasi bergaung saya senang sekali. [….] Saya
mulai sesuatu yang lain untuk menghidupkan kembali budaya
kami. Saya membuat sebuah buku tentang aneka Budaya
Tionghoa yang selama 32 tahun kami tidak rayakan. […..]
bahkan sebagian warga Tionghoa di Kota Pontianak tidak
paham semua aneka budaya yang sudah lama kami tinggalkan”
(wawancara, 11November 2019).
Menurut Bapak Lie Sau Fat, diharapkan dengan berbagai wacana dari tokoh-
tokoh multietnis di Kota Pontianak, untuk sama-sama duduk mencari jalan dan akar
permasalahan tersebut. Bahkan ada ruang khusus untuk mencari dan menemukan
pemahaman yang sama konsep etnisitas yang sejatinya tidak dipersoalkan lagi di zaman
postmoderen, meskipun masih banyak yang menolak di kalangan etnis Tionghoa
perbincangan tentang etnosentrik.
“Hal ini tidak mudah, karena di masyarakat Indonesia pada
umumnya dan di Kota Pontianak pada khususnya pengakuan
identitas antaretnis sama-sama masih merasa unggul dan kuat.
Permasalahan soal etnisitas masih menjadi ajang persoalan
yang selalu diperbincangkan baik di ruang akademisi, politik
maupun pada wilayah masyarakat multietnis yang masing-
masing ingin diterima dan diakui identitasnya secara baik dan
benar. [….] secara jujur, akhirnya kita sepakat menyatakan
bahwa bicara etnisitas hanya sebuah fiksi atau bayang-bayang
saja, karena dominan dikontruksi oleh orang lain tentang
identitas kita supaya kita lepas bebas dari namanya
diskriminasi ras”.83
83
Hasil wawancara, 11 November 2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Menurut Bapak Lie Sau Fat, apa yang dikisah tentang diskriminasi ras yang
terjadi di kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak, maka semuanya ini tidak luput
dari korban sejarah hidup yang dipelitiri oleh kepentingan yang berkuasa dalam otoritas
pemimpin di Negara Indonesia.
B. Berbagai Perlawanan Etnis Tionghoa Dalam Menanggapi Diskriminasi
Bagian sub bab ini, saya mendeskripsikan bagaimana etnis Tionghoa di Kota
Pontianak melakukan strategi atau perlawanan atas diskriminasi yang mereka alami baik
sejak bangsa kolonial sampai pada era Orde Baru maupun pada pasca reformasi. Dalam
tulisan ini konsolidasi identitas yang dlakukan adalah: pertama, pembangunan
pendidikan (formal dan nonformal). Kedua, kebangkitan politik identitas dan ketiga,
penguatan bidang sosial budaya.
Mereka melakukan sebuah gerakan perlawanan melalui „konsolidasi identitas‟
(istilah penulis) di berbagai aspek kehidupan yang bertujuan untuk menguatkan dan
menyatukan kembali identitas mereka yang teretak, serta berupaya agar membebaskan
dari praktik diskriminasi ras yang terjadi di Kota Pontianak. Tiga informan di bawah ini
sangat mendukung observasi selama penelitian dengan fokus pada tiga aspek
(pendidikan, politik, dan sosial budaya) yang bagi saya sangat penting untuk
mengaktualisasikan identitas mereka di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
1. Pembangunan Pendidikan
Bagian bidang pendidikkan, ada dua hal yang menjadi sorotan untuk
pembangunan pendidikan bagi etnis Tionghoa yakni, pendidikan formal dan nonformal.
Di era pasca reformasi, mereka begitu bebas menghirup udara ruang demokrasi dalam
pembangunan di bidang pendidikan di Kota Pontianak.
Gagasan-gagasan di bawah ini yang bersumber dari informan serta hasil
observasi dan sumber peneliti sebelumnya, semakin memperlihatkan secara tajam
bahwa etnis Tionghoa sangat peduli, serius dan tanggungjawab membangun generasi
muda melalui pendidikan. Melalui pendidikan inilah, mereka semakin meningkatkan
mutu hidup. Martabat mereka tidak mau lagi diinjak oleh etnis lain sebagaimana yang
dirasakan pada era Orde Baru.
1.1 Pendidikan Formal
Informan sebelas, Ibu Yulianti (nama samaran). Ibu Yulianti
mengisahkan bahwa sejak reformasi gerakan perlawanan mereka lebih kuat ke arah
pendidikan sebagai corong untuk membantu masyarakat di Kota Pontianak yang tidak
hanya untuk kalangan etnis Tionghoa saja tetapi juga belaku untuk etnis lainya.
“Kami memang melakukan gerakan pertama adalah melalui
pendidikan baik formal maupun nonformal. […..] pembangun
pendidikan ini juga tidak terlepas dari peran misi Katolik. Sejak
reformasi, banyak perubahan khususnya swasta, yang
didominasi oleh etnis kami, Tionghoa”. (Wawancara, 12
Oktober 2018).
Ibu Yulianti menyadari pula bahwa di Kota Pontianak begitu banyak persaingan
sekolah baik negeri maupun swasta. Ibu Yulianti menyadari bahwa sekolah negeri di
Kota Pontianak identik dengan etnis Melayu, Bugis, Jawa dan Dayak serta etnis lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Maka tidak heran etnis Tionghoa juga tidak mau kalah dalam pengembangan mutu
untuk bersaing secara sehat demi menjaga kualitas pendidikan di Kota Pontianak.
“Kami mengutamakan pendidikan, itu sebagai dasar untuk
maju. [….] Kami sangat peduli dengan pendidikan.
Pendidikan itu pemutusan dari rantai kemiskinan. Pendidikan
itu mengangkat martabat manusia yang terinjak karena miskin.
Bagi kami kualitas dan kuantitas sangat kami tekankan untuk
kemajuan pendidikan di Kota Pontianak. Selain tujuan sebagai
partisipatif juga mau menunjukkan bahwa, kami etnis Tionghoa
ikut mencerdaskan bangsa yang tidak hanya berkiprah di era
pasca reformasi tetapi sejak pra-kemerdekaan golongan kami
ikut memberi diri untuk membangun kemajuan masyarakat di
bidang pendidikan di Kota Pontianak”.84
Ketika ditanya apakah benar diskriminasi terjadi karena pelayanan pendidikan di
kota Pontianak menampilkan eklusif bagi etnis Tionghoa? Jangan jangan perubahan
demikian, memicu kecemburuan sosial karena guru dan murid terkungkung atau
membludak dalam wilayah/daerah yang berbasis etnis Tionghoa. Atau etnis Tionghoa
mau mencari pada zona nyaman dan sudah tidak mau lagi bertarung dengan etnis lain
di dunia pendidikan yang dipimpin oleh etnis lain.
“ Motivasi kami bukan untuk mencari aman saja. Atau kami
membuat benteng secara eklusif. Akan tetapi ada banyak bukti
bagaimana kami berjuang di bidang pendidikan di Kota
Pontianak. Mengenai diskriminasi dan kecemburuan sosial itu
persoalan lain. Itu wajar-wajar saja, karena di mana ada
kemajuan dalam masyarakat tentunya akan muncul tantangan-
tantangan yang bisa menyingkirkan kemajuan itu sendiri.
Perubahan itu menyakitkan bila tidak siap menerimanya.”85
Untuk mendukung jawaban dari Ibu Yulianti, saya menguraikan hasil temuan di
lapangan tentang sekolah-sekolah formal yang didominasi oleh etnis Tionghoa di Kota
Pontianak yang dapat dilihat pada tabel satu (1) bagian terlampir dalam tesis ini. Data-
data dalam tabel tersebut, menunjukkan bahwa proses pendidikan di sekolah yang
84
Hasil wawancara, 12 Oktber 2018. 85
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
berkualitas dan unggul secara akademik dan nonakademik harus melahirkan cakrawala
demokrasi dengan wacana keadilan sosial bagi seluruh Indonesia yang barang kali ini
yang dapat saya tafsirkan dari temuan observasi di lapangan dan sumber dari informan
yang sangat peduli dengan pendidikan di Kota Pontianak.
Saya melihat bahwa derasnya konsolidasi di bidang pendidikan menunjukan
bahwa etnis Tionghoa sangat besar pengaruhnya dalam membangun pendidikan di Kota
Pontianak yang bisa menggoncang sekolah swasta milik dari etnis lain di Kota
Pontianak. Sekolah-sekolah yang berbasis etnis Tionghoa seakan-akan untuk menyadari
hak dan kewajiban warga atas akses keadilan di bidang pendidikan yang sebelumnya
mereka tidak mempunyai ruang bebas untuk mengekspresikanya secara multikultural
dalam membangun kercerdasan generasi muda di Kota Pontianak.
“Kami sangat senang karena sejak reformasi berhembusan ke
lingkungan pendidikan, bagi kami etnis Tionghoa manfaatnya
sangat positif yakni, menyadarkan kami untuk pembangunan
yang berkelanjutan, moderen dan maju sejahtera. Hal ini dapat
dibuktikan beberapa sekolah yang dikelola oleh etnis Tionghoa
dan di dalamnya didominasi oleh murid dan guru Tionghoa.
Seperti misalnya siswa dan guru yang bermayoritas etnis
Tionghoa adalah TK, St.Yosep, SMP Santa Maria, SMK Santa
Maria dan SMA Santu Petrus milik Yayasan Pendidikan
Kalimantan. TK, SD, SMP, dan SMA Bina Mulia milik
Yayasan Bina Mulia dan juga TK, SD SMP, SMA, SMK
Immanuel milik yayasan Immanuel” .86
Ibu Yulianti, bercerita bahwa masih banyak sekolah yang dihuni oleh etnis
Tionghoa di Kota Pontianak terus menerus menyuarakan masalah-masalah bersama
berkaitan dengan kemajuan di bidang pendidikan yang cerdas dan bermutu bagi warga
Pontianak. Menurut Ibu Yulianti yang saat ini dia menjabat sebagai ketua yayasan dan
ketua salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi di Kota Pontianak mengatakan bahwa, di
86
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
sekolah yang yang berbasis etnis Tionghoa para tenaga pengajarnya dengan penuh
semangat menyediakan keanekaragaman pengalaman pembelajaran yang kreatif,
menarik dan signifikan
Tujuan dari ibu Yulianti agar memampukan para murid mengakses pengetahuan
lebih berkualitas, ketrampilan dan nilai-nilai yang dibutuhkan sehingga semakin peduli
dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan demi terwujudnya
peradaban kasih yang merdeka, damai dan berkeadilan sosial serta sejahtera bahagia
bagi seluruh rakyat Indonesia. Ibu Yulianti memberi contonya SMA Immanuel, SMA
Santu Petrus, SMA Bina Mulia, SMA Santo Paulus dan SMA Gembala Baik.
1.2 Pendidikan Nonformal
Berbagai strategi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa tenyata bukan hanya di
bidang pendidikan formal, justru mereka mendominasi lembaga-lembaga kursus sebagai
pendidikan nonformal di Kota Pontianak.
Ya.., kami memang sepakat bahwa peran lembaga nonformal
sangat membantu masyarakat di Kota Pontianak. Pembangunan
SDM lewat lembaga nonformal ini, sebenarnya bukan hanya
ditujukan untuk etnis Tionghoa sendiri tetapi juga terbuka
untuk semua etnis lainya yang ada di kota Pontianak”87
Menurut Ibu Yulianti, lembaga–lembaga kursus di Kota Pontianak pemilik
sekaligus penyelenggaranya adalah dari etnis Tionghoa. Sedangkan tenaga pengajar
sebagian besar dari etnis lain. Untuk mendukung dan melengkapi informasi data dari
Ibu Yulianti kita bisa melihat perkembangan lembaga nonformal ini pada tabel dua (2)
dalam lampiran tesis ini. Bagi ibu Yulianti, adanya lembaga-lembaga tersebut mau
menunjukkan bahwa pengaruh etnis Tionghoa sangat besar untuk memajukan
87
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kecerdasan generasi muda di Kota Pontianak. Dan ia sangat menyadari bahwa kondisi
kemajuan pendidikan nonformal sejak reformasi sampai sekarang didominasi oleh
pemiliknya adalah warga Tionghoa di Kota Pontianak.
Berdasarkan hasil observasi atau temuan di lapangan, menunjukkan bahwa pada
aspek bisnis pendidikan luar sekolah juga dikuasai oleh warga kelompok Tionghoa.
Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) ada yang sudah berdiri sejak awal tahun 1980-an,
seperti bimbel Baperda, KSM, dan Gajah Mada. Ketika ditanya apa manfaat utama dari
lembaga-lembaga tersebut?
“Dengan adanya tuntutan persaingan di pasar atau bursa tenaga
kerja yang profesional, setelah tamat sekolah lanjutan atas,
kami berharap peran dan fungsi bimbel sangat diperlukan oleh
para murid di Kota Pontianak dalam rangka meningkatkan
ketrampilan para murid sesuai kemampuan di bidangnya
masing-masing”.88
Sejauh yang ditemukan di lapangan bahwa fenomena seperti di atas, tidak bisa
ditiru dan dibendung lagi oleh etnis lain yang ada di Kota Pontianak. Sehubungan
dengan itu, tampaknya warga Tionghoa sangat tanggap membaca peluang bisnis
pendidikan luar sekolah.
“Untuk mendukung lembaga kursus dan banyak yang tertarik,
kami menyediakan fasilitas ruangan ber-AC, bersih, biaya
terjangkau, dan para instruktur yang professional”.89
Sikap tanggap warga kelompok Tionghoa seperti itulah yang kurang mampu
disaingi oleh warga etnis Melayu dan etnis Dayak, yang berdomisili di Kota Pontianak.
Perlawanan-perlawanan lewat pendidikan nonformal sebenarnya tidak secara langsung
terjadinya sebuah ketergantungan atau kerja sama antara etnis yang ada di Kota
88
Ibid. 89
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Pontianak terutama hal-hal yang terkaitan dalam bidang produksi dan marketing dunia
pasar dan ekonomi masyarakat lokal di Kota Pontianak.
2. Kebangkitan Politik Identitas
Seperti yang telah di bab sebelumnya bahwa wacana identitas etnis dalam politik
lokal di Pontianak sesungguhnya bukanlah fenomena baru, melainkan sudah lama dan
memiliki jejak historis pada masa lampau. Pada era Orde Baru, yaitu di era peran militer
sangat menonjol dan mendominasi aspek kehidupan masyarakat, identitas etnis
Tionghoa di Pontianak tidak terlalu terlihat di permukaan.
Dalam konteks politik dan birokrasi, etnis Melayu dan Dayak menjadi kelompok
utama di dalamnya di bawah kendali kepemimpinan dari militer atau setidaknya
representasi pemerintah pusat. Sementara itu, etnis Tionghoa yang tidak memiliki
kebebasan politik atau setidaknya banyak hambatan untuk aktif di politik, bahkan
hampir tidak ada dari mereka yang memasuki dunia politik dan pemerintahan. Mereka
kemudian berkonsentrasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, tetapi ada juga yang
menjadi petani atau „cina kebun‟ di daerah Siantan (Pontianak Utara). Lalu bagaimana
mereka melawan ketika politik itu membekukan gagasan mereka dalam meraih kursi di
tingkat pemerintahan Kota Pontianak.
Informan dua belas, Beny (nama samaran). Menurut Beny pada era reformasi
kalangan kelompok Tionghoa juga bisa menikmati sebagaimana warga negara dari
berbagai etnis lain yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Kota Pontianak pada
khususnya
“Jujur saja pak, saya meskipun tidak ingin merebut kursi
pemerintahan, saya ada di belakang teman-teman untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
mendukung dan mengusung dari etnis kami. Buktinya dari
partai yang support di Kota Pontianak bisa menjadi wakil
gubernur di Kota Pontiank. Jadi dengan adanya reformasi di
bidang politik, sangat terbuka bagi kalangan Tionghoa untuk
terjun ke panggung politik, baik menjadi anggota legislatif
maupun menduduki jabatan penting di lembaga eksekutif”
(Wawancara, 15 Oktober 2018).
Dari pernyataan di atas, sangat didukung oleh temuan La Ode (2012:136),
bahwa pada tahun 1999 tercatat 150-an calon anggota legislatif dari warga kelompok
Tionghoa di Indonesia. Pada pemilu 2004 jumlahnya meningkat, yaitu tercatat 200-an
calon anggota legislatif dan kalangan Tionghoa.
Menurut Beny ketika mereka muncul di panggung politik identitas etnis yang
menonjol dan mencolok adalah “warna” yang lekat dalam kehidupan politik masyarakat
Kalimantan Barat pada umumnya dan Kota Pontianak pada khususnya. Keberadaan
sejumlah etnis khususnya etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa, memberikan dampak
pada pesta kekuatan partai politik di Kota Pontianak. Jadi pada pasca reformasi etnis
Tionghoa melakukan konsolidasi identitas lewat politik membuat mereka semakin
berani untuk mengungkapkan identitas politiknya di tengah multietnis di Kota
Pontianak. Dalam bidang politik seakan-akan mereka ingin menunjukan politik identitas
di Kota Pontianak yang tiba-tiba menjadi menonjol dengan etnis lainnya.
Menurut penuturan Beny persaingan politik berbasis etnis di Kota Pontianak
menjadi pemandangan sehari-hari, terutama pada musim pemilihan umum, baik pemilu
nasional maupun lebih pemilihan kepala daerah. Terlebih lagi, ketika era reformasi
kalangan etnis Tionghoa mendapat kebebasan politik. Keadaan tersebut, membuat
persaingan dan dinamika politik lokal di Kalimantan Barat menjadi begitu kental dan
kaya dengan sajian politik berbau identitas. Keterlibatan warga etnis Tionghoa sebagai
calon anggota legislatif membuat pemandangan di Kota Pontianak terlihat semarak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
“Kami senang pak. Usaha kami tidak sia-sia. [….] Hal ini
terjawab dan dengan hasil yang nyata pada tahun 2008-2013
Christiandy Sanjaya yang tinggal di Kota Pontianak terpilih
menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Barat”90
Bagi Pak Beny dengan adanya konsolidasi di bidang politik ini menjadi
semangat baru dan pilihan politik di kalangan kelompok Tionghoa semakin
mengkonsolidasi satu sama lain dengan mendirikan partai politik berbasis etnis
Tionghoa yang sebelumnya sudah ada. Hal ini menunjukan tingginya semangat mereka
untuk menampilkan politik identitas. Oleh karena itu Identitas ketionghoannya hendak
ditonjolkan untuk menjadi sebuah kekuatan politik dan simbolik dalam kehidupan dan
relasi antaretnis di Kota Pontianak.
3. Penguatan Bidang Sosial dan budaya
Seperti yang telah di bahas pada bab sebelumnya, bahwa sejak reformasi
masyarakat Tionghoa begitu bebas berekspresi seni di ruang publik tanpa rasa beban
dan takut. Baik dalam merayakan perayaan imlek atau Tahun Baru China, ritual
sembahyang kubur, seni tarian barongsae, festival perarakan naga maupun pertunjukan
tatung dalam mengisi kemampuan dan kekuatan roh hadir dalam tubuhnya.
Bagian ini, akan memperlihatkan secara singkat bagaimana perlawanan-
perlawanan mereka yang dampaknya begitu kuat atmosfirnya dalam pengembangan
sosial budaya. Dampak sosial budaya dari keterlibatan kelompok Tionghoa dalam
politik di Kota Pontianak sesungguhnya sudah sangat jelas. Sebagai multiplier effect
(efek penggadaan) dari reformasi politik yang mendorong demokrasi dan kebebasan,
90
Hasil wawancara, 15 Oktober 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
kalangan kelompok Tionghoa merasa mendapatkan ruang yang terbuka lebar bagi
mereka untuk mengembangkan diri dalam konteks kehidupan sosial budaya.
Untuk menguatkan uraian-uraian di atas, melalui informan berikut ini bisa
dilihat bagaimanakah respon etnis Tionghoa dalam melakuan konsolidasi identitas
lewat gerakan-gerakan di bidang sosial budaya?
Informan tigabelas, Bapak Gunawan (nama samaran) Bapak Gunawan
mengungkapkan secara jujur bahwa jika sebelum reformasi, kiprah sosial warga
Tionghoa cendrung bersifat eksklusif, dalam arti hanya terbatas untuk kalangan sesama
kelompok Tionghoa sendiri.
“Pasca reformasi, kami sadar dan terdorong untuk lebih
terbuka dan membuka diri dengan orang lain. Berbagai
kegiatan sosial di masyarakat, seperti gotong-royong, perayaan
hari nasional, serta menjadi pengurus yayaan pendidikan umum
lintas etnis dan agama, menjadi sesuatu yang teramat wajar dan
biasa di Kota Pontianak saat ini” (Wawancara, 10 Oktober
2018).
Menurut Bapak Gunawan, etnis Tionghoa tidak lagi merasa ada beban dan
kendala tertentu. Orang-orang dari kelompok etnis Tionghoa tidak lagi merasa hanya
terkungkung dalam batas kegiatan ekonomi dan bisnis semata. Ada dunia yang jauh
lebih luas terbentang di hadapan mereka dan bebas untuk dimasuki. Perubahan seperti
ini semakin mereka kuat untuk mencari titik-titik kelemahan dari etnis lain terutama
dalam persaingan hal-hal yang bersifat virtual di bidang sosial dan kebudayaan.
Pada temuan di lapangan bahwa perubahan-perubahan itu secara nyata adalah
dengan membludaknya rumah atau tempat doa bagi etnis Tionghoa, menguatnya Bahasa
Mandarin di lingkungan pendidikan dan masyarakat dan berbagai paguyuban yayasan
yang sangat membantu mereka untuk saling membantu satu sama lain. Pada bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
bidang sosial budaya ini, sangat menyatukan kembali kebersatuan mereka sebagai etnis
dimana selama 32 tahun mereka direpresi oleh otoriter penguasa tunggal.
Berdasarkan hasil observasi bahwa kehadiran rumah-rumah doa bagi etnis
Tionghoa menjadi pemandangan yang semarak di Kota Pontianak seperti, Kelenteng-
kelenteng, Pekong-pekong, Vihara dan Patung Budha besar di Jalan Admad Yani
menuju lapangan Bandara Kota Pontianak. Di bidang bahasa mereka mendirikan secara
khusus lembaga khusus untuk bahasa Mandarin dan tempat kursus bahasa Mandarin di
Jalan Teuku Umar Kota Pontianak dan Sekolah Tinggi Bahasa Mandarin tepatnya di
Jalan Ahmad Yani- menuju Bandara Supadio Pontianak.
Selain itu Bapak Gunawan mengisahkan secara terbuka bahwa etnis Tionghoa
di Kota Pontianak, merasa memiliki kebebasan untuk mendirikan yayasan yang
bergerak dalam bidang pendidikan, keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Sedangkan di
paguyupan yayasan juga semakin banyak mendirikan di beberapa teritorial di Kota
Pontianak.
“Berbagai yayasan yang kami bangun dapat membantu warga
Tionghoa yang ada di kota Pontianak dan juga etnis lain. Jadi
sebenarnya tujuan kami untuk semua warga masyarakat kota
Pontianak. Salah satu yang menonjol adalah jika ada musibah
kebakaran, anggota paguyuban-paguyuban yayasan yang ada
cepat bergerak untuk memadamkan api yang sedang menyala
di rumah atau toko salah satu warga Tionghoa atapun yang
siapa saja yang kena musibah di Kota Pontianak” .91
Untuk menguatkan penjelasan bapak Gunawan di atas dan juga mendukung
temuan di lapangan akan ditampilkan tabel yayasan-yayasan paguyuban mereka di
Kota Pontianak pada bagian pada tabel tiga (3) dalam tesis ini. Berdasarkan tabel
tersebut, dengan kebebasan sosial budaya kalangan kelompok etnis Tiongha di Kota
91
Hasil wawancara, 10 Oktober 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Pontianak dapat merayakan perayaan Cap Go Meh, sebuah pesta budaya yang
dilaksanakan pada setiap tahunnya, tepatnya berselang Tahun Baru Imlek (lihat
pembahasan di bab sebelumnya).
Oleh karena konsolidasi identitas dalam bidang sosial budaya ini menjadi
semangat kebebasan dalam mengembangkan sosial dan budaya yang dimiliki oleh etnis
Tionghoa di Kota Pontianak.
“Jujur Pak.. lewat pengembangan sosial budaya inilah kami semakin
terbuka di ruang publik, membuat kami semakin merasa lebih betah
untuk bertahan hidup di Kota Pontianak. Dengan kata lain, tidak ada
lagi anak tiri di negeri ini. Kerinduan bathin kami terhadap warisan
budaya leluhur terobati dengan terbukanya ruang bagi kami untuk
mengekspresikann warisan nenek moyang walaupuan nenek moyang
kami berada jauh di seberang negeri asal”.92
Akhirnya dampak konsolidasi sosial budaya keterlibatan etnis Tionghoa di Kota
Pontianak meskipun sulit diukur secara kuantitatif, terasa jelas dari berbagai wujud
kegiatan sosial budaya kelompok Tionghoa yang ada di Kota Pontianak. Kenyataan itu
agaknya terefleksikan dari apa yang dikatakan mereka seperti yang akan dibahas pada
bagian sebelumnya bagaimana mereka berkonsolidasi di bidang sosial budaya dengan
tujuan hanya untuk bersama-sama membangun negeri Indonesia tercinta ini
Kesimpulan
Setelah menguraikan secara detail berbagai pengalaman diskriminasi sosial di
kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak, maka betapa dilemanya bagi mereka untuk
bisa mengalami sebuah oase yang sejuk ketika berada dengan etnis lain sehari-hari di
Kota Pontianak. Kuatnya budaya curiga dan stereotip yang ekstrim, tentu saja bisa
mengalami sebuah ketegangan tersendiri. Satu pihak ada kelompok yang menerima
92
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
secara utuh kehadiran mereka di wilayah multietnis, namun ada kelompok etnis lainnya
yang merasa superioritas sehingga menolak secara tidak manusiawi. Fenomena ini
sampai kapan pun selalu menjadi perhatian khusus dari para peneliti etnografi tentang
segala hal ikhwal etnisitas di masyarakat lokal di Indonesia.
Untuk mengatasi semua persoalan tersebut mereka melakukan perlawanan
secara halus dengan konsolidasi identitas di berbagai aspek kehidupan di Kota
Pontianak sebagaimana yang di deskripsikan tersebut di atas. Gerakan konsolidasi
identitas ini bukan sekedar reformasi dan revolusioner semata, tetapi betul betul yang
dilakukan secara konkret sehingga bisa dirasakan oleh etnis Tionghoa dalam kehidupan
mereka di Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
BAB IV
IDENTITAS, DISKRIMINASI, DAN PERLAWANAN
Pengantar
Ruang ekspresi identitas yang dibekukan dan kontruksi oleh etnis lain,
perlahan-lahan muncul berbagai perlawanan dengan cara yang tidak menimbulkan
kekerasan fisik tetapi didominasi oleh gagasan-gagasan yang membangun keberadaban
bersama demi terciptanya nilai-nilai perjuangan, keadilan dan pemenuhan hasrat akan
hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Gagasan yang sederhana
ini adalah hasil temuan, analisis dan penafsiran saya sebagai peneliti di dalam
memperbincangkan permasalahan tentang etnis Tionghoa di Kota Pontianak.
Ruang dalam masyarakat multietnis di Kota Pontianak sebenarnya, suatu
kesempatan untuk memanfaatkan bagaimana masing-masing etnis (Tionghoa, Dayak
dan Melayu) untuk bisa bertahan dalam menciptakan keharmonisan hidup bersama. Di
atas semuanya itu, secara jujur melihat bagaimana karakteristik identitas dari masing-
masing etnis menjadi landasan yang kuat untuk bersama membangun Kota Pontianak
tanpa melihat perbedaan–perbedaan yang dapat menciptakan diskursus identitas yang
merusak tatanan hidup bersama.
Bab IV ini, sebuah analisis untuk memadukan temuan-temuan hasil penelitian di
lapangan dengan literatur dan teori-teori yang saling mendukung dan melengkapi dalam
tesis ini. Keterkaitan teori yang dipakai serta temuan di lapangan menjadi gagasan yang
siginifikan dengan data-data yang peroleh baik berupa wawancara maupun hasil
obsevasi lapangan, untuk diperbincangkan serta menjawab persoalan-persoalan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
ada dalam tulisan ini. Ada tiga wilayah yang dianalisis dalam bagian sub bab ini yakni:
retaknya identitas diri, diskursus diskriminasi sosial, dan bentuk –bentuk resistensi
etnis Tionghoa.
1. Retaknya Identitas Diri.
Menganalisis fenomena-fenomena identitas diri etnis Tionghoa di Kota
Pontianak dengan konsep Barker (2000:173-202) tentang identitas diri, sangat relevan
untuk memadukan dengan persoalan di Kota Pontianak. Bagaimana mereka ingin lepas
bebas dari kontruksi sosial etnis lain di Kota Pontianak. Tiga ruang yang saya temukan
dan hal ini selalu dipersoalkan adalah; menyangkut etnisitas, rasial dan nasional.
Persoalan etnisitas, rasial dan nasional, yang menurut Barker di era
postmoderen, ketiga ruang tersebut sebenarnya tidak lain hanyalah ciptaan kultural
yang sementara. Mengapa demikian? Karena masyarakat etnis Tionghoa di Kota
Pontianak baik yang sudah lama berada atau lahir di Kota Pontianak, sangat tidak suka
atau paling benci bahkan sikap penolakan ketika etnis lain menyebutnya mereka sebagai
„orang Cina‟ dari Tiongkok atau para pendatang atau orang asing.
Karena bagi etnis Tionghoa di Kota Pontianak, kata „Cina‟ identik dengan
sejarah negara Tiongkok yang kerap kali sebagai negara komunnis. Warga Tionghoa di
Kota Pontianak mengharapkan agar identitas mereka begitu “cair”. Tidak dibekukan
oleh stigmasasi dan stereotif yang selalu mengganjal mereka untuk mengekspresikan
identitas dirinya di tengah keberagaman etnis lain di Kota Pontianak. Di era
postmoderen ini, mereka merasa tidak ada keturunan aslinya karena banyak di antara
mereka sudah kawin „campur‟ dengan etnis lain di Kota Pontianak. Mereka sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
senang dipanggil nama atau identitasnya seperti nama warga yang familier di Kota
Pontianak.
Ketika etnis lain selalu melihat identitas Tionghoa di Kota Pontianak secara ras,
warna kulit dan gesture fisiknya, seringkali mereka tidak bisa berbaur dan merasa asing
dengan warga dari etnis lainya. Mereka tidak bisa leluasa untuk mengekspresi
ketionghoan mereka, karena sudah distigma berlebihan oleh etnis lain. Mereka
berjuang untuk bebaur dengan etnis lain dan masih saja etnis lain mengganggap dan
melihat sebagai ras yang lain di Kota Pontinak. Pada hal kenyataanya dalam beberapa
abad dan di era postmoderen ini warga etnis Tionghoa tidak ada yang asli karena
mereka sudah „terhibrid‟ dengan cara kawin campur dengan etnis Dayak, Melayu
ataupun dengan etnis yang lain ada di Kota Pontianak misalnya etnis dari Jawa
menikah dengan etnis Tionghoa.
Berbagai temuan di atas, Barker melihat secara sosial bahwa, sebenarnya
persoalan etnis seseorang tidak bersifat stabil lagi, tetapi dinamis. Dengan kata lain
keturunan manusia secara ras, tidak pernah stabil tetapi bersifat dinamis. Di mana
masyarakat bisa mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Akhirnya dengan
menganalisis temuan fenomen-fenomena di lapangan dengan memadukan konsep
Barker (2000) dalam cultural studies menjadi sebuah fase untuk bisa diterima secara
utuh oleh masyarakat dalam menerima pelbagai keberagaman yang dimiliki oleh
masing-masing etnis yang ada di Kota Pontianak. Karena kenyataan bahwa, masyarakat
di Kota Pontianak yang sudah lama menetap di kota tersebut, dengan mobilitas
manusia yang begitu luas dan sudah berlangsung begitu lama, yang menyebabkan
terjadinya perkawinan campur antar berbagai rasa atau kelompok etnis, “kemurnian” ras
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
sulit dipertahankan. Mana yang asli mana yang sudah terhibrid oleh pertemuan antar ras
lain. Identitas tidak terlepas begitu saja secara tunggal, akan tetapai terkait dengan
identitas diri dan identitas sosial atau identitas terkait dengan yang pribadi dan yang
sosial, tentang diri kita bersama orang lain. Oleh karena itu, identitas seseorang bukan
suatu hal yang paten yang kita miliki melainkan suatu proses menjadi. Ini adalah suatu
pemutusan strategis atau stabilisasi temporer dalam bahasa. Kita bisa memahami
identitas sebagai diskursus „regulatoris‟ tempat kita terikat melalui proses identifikasi
atau iventasi emosional. Maka retaknya identitas di kalangan etnis Tionghoa di Kota
Pontianak sebuah pencerahan bagi saya untuk menelusuri perkembangan subjek yang
mengalami keretakan, terpinggiran yang telah dikontruksi oleh etnis lain di Kota
Pontianak.
2. Diskursus Diskriminasi Sosial.
Diskursus tentang diskriminasi sosial secara ras mempunyai sejarah yang
panjang bagi etnis Tionghao di Kota Pontianak. Persoalan antaretnis sejak
prakemerdekaan hingga di era reformasi selalu muncul gesekan yang memanas
antaretnis, sehingga sampai sekarang menjadi narasi dan ingatan kolektif yang selalu
dipelihara dalam pikiran dan perasaan seseorang.
Permainan imaginasi antaretnis sangat kuat menggiring opini untuk selalu
mengingat bahwa relasi antaretnis menjadi sebuah ruang harmoni dan oase yang
menyejukan, membutuhkan sebuah perjuangan bersama. Persoalan masa lalu belum
selesai secara tuntas maka hasrat yang melekat dalam etnis tertentu memuncul
stereotip, prasangka-prasangka dan stimagtisasi yang berlebihan membuat di etnis
Tioghoa merasa „liyan‟ keterasingan dengan etnis lain di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Merujuk konsep Mely G. Tan (2008) bagaimana diskriminasi secara ras
bertalian dengan perilaku yang membeda-bedakan secara negatif maupun positif.
Fenomena-fenomen tersebut sangat dirasakan secara nyata hadir dalam memberikan
privelege atau hak istimewa berdasarkan ras, asal usul etnis, agama, tetapi juga warna
kulit, jender, umur, keadaan sosial ekonomis, fisik, mental, dan lain sebagainya.
Pengelompokan seperti ini oleh kelompok-kelompok lain dilihat dan diperlakukan
berbeda, bahkan dengan cara merugikan, ataupun dengan permusuhan. Di kota
Pontianak jika dikaji lebih dalam, diskriminasi sosial muncul dalam hubungan antara
kelompok mayoritas dan minoritas secara ras. Persaingan antara etnis tidak terbendung
lagi untuk mempertahankan hasrat pemenuhan hak dalam bidang ekonomi, pendidikan,
sosial budaya dan politik.
Etnis Tionghoa di Kota Pontinak berada di dua sisi yang berlawanan. Pertama,
mereka adalah korban diskriminasi dari dua sejarah masa lalu (era bangsa kolonial dan
Orde Baru) dan ini berlaku bagi semua kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak.
Kedua, etnis kalangan bawah mereka mengalami diskriminasi secara ras, karena korban
dominasi kalangan etnis kelas atas yang mengepung dua etnis lain di bidang ekonomi,
politik dan sosial budaya.
Temuan dua hal tersebut, bila dianalisis diskursus tentang diskriminasi sosial
yang bersifat ras, bahwa apa yang dialami oleh warga Tionghoa tetap menjadi persoalan
baru. Dengan menggambarkan demikian, diskriminasi secara ras sejak pasca reformasi
tetap saja menjadi sebuah pertanyaan mengapa dalam kenyataan di masyarakat praktek
dan perilaku diskriminasi ras masih terjadi di kalangan etnis Tionghoa di Kota
Pontianak?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Bila disandingkan dengan temuan-temuan dalam berbagai narasi diskriminasi
sosial seperti yang dideskripsikan di bab III, sebenarnya ada beberapa hal yang
menjadi kesadaran setiap orang di tengah keberagaman etnis di Kota Pontianak, seperti
misalnya (1) keberagaman budaya multietnis di Kota Pontianak seharusnya
mendapatkan status dan karakter di ruang publik tanpa melabelkan keunggulan salah
satu etnis yang dominasi dialam kebudayaan itu sendiri; (2) minoritas secara ras hampir
tidak dapat berharap akan dipikirkan secara serius sehingga ketika terjadi pergesekan,
muncul sebuah ketegangan baru dalam relasi antaretnis di Kota Pontianak, (3)
komunitas minoritas etnis Tionghoa harus diizinkan untuk mengembangkan arah dan
tujuan pilihan mereka sendiri tanpa distandari atau yang diinginkan oleh etnis lain di
Kota Pontianak. Bila hal-hal ini dijalani pada koridor yang tepat maka stereotif,
prasangka-prasangka negatif serta stigma yang berlebihan lamban laun hilang di era
postmoderen.
3. Bentuk-Bentuk Resistensi Etnis Tionghoa
Konsep James C.Scott (1990) tentang perlawanan sangat menarik dengan
temuan-temuan permasalahan di Kota Pontianak. Ulasan-ulasan Scott tentang
perlawanan, jika dianalisis dalam penelitian ini, sebenarnya sudah dipraktekkan oleh
warga Tionghoa di Kota Pontianak.
Mereka melakukan perlawanan secara halus, melalui konsolidasi identitas diri di
berbagai aspek yang membangun kehidupan masyarakat etnis Tionghoa dan juga untuk
masyarakat sekitarnya. Apa yang diakukan oleh etnis Tionghoa di Kota Pontianak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
merujuk pada pendapat James C.Scoot (1990) dalam bukunya yang berjudul,
Domination and The Arts of Resistance (Hidden Transcript).
Bentuk bentuk resistensi di kehidupan masyarakat, yang muncul akibat adanya
praktik hegemoni yang dilakukan oleh kelompok atau kelas penguasa, yang melakukan
berbagai aktivitas dominasi serta legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini
jika dikaitkan dengan situasi masyarakat Tionghoa bahwa selama 32 tahun di era Orde
Baru etnis Tionghoa merasa sebagai kelas bawah yang ditekan dengan berbagai cara
oleh pemangku kepentingan di era tersebut. Kondisi masyarakat kelas bawah (baca:
etnis lain) ikut menekan keadaan warga Tionghoa khususnya di Kota Pontianak. Oleh
karena itu, praktik-praktik hegemoni itu di antaranya tidak dilakukan dengan tindakan
yang represif melalui eksploitasi. Tindakan eksploitasi dan praktik dominasi
menimbulkan adanya perasaan rendah dan terhina, bahkan tertindas bagi kalangan
subordinat (kelas bawah).
Pola interaksi antarsubordinat dikemudian hari, secara informal terpelihara dan
terjalin terus hingga memunculkan upaya resistensi. Narasi-narasi ketidaksukaan
terhadap etnis Tionghoa sampai hari inipun tidak pernah berakhir. Maka jika
dikemudian hari (postmodern) adanya kelanjutannya bagaimana resistensi akan muncul
dalam bentuk dan tahap-tahapan di antaranya dalam bentuk protes terbuka, melalui
demonstrasi, kerusuhan hingga pecah menjadi gerakan besar dengan langka
revolusioner (Scott, 1999;1-7).
Di kalangan etnis Tionghoa di Kota Pontianak, mereka tidak melakukan
resitensi seperti gerakan dalam konsep tersebut di atas. Mereka sudah trauma dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
kerusuhan-kerusuhan yang berbau ras di Indonesia. Mereka sudah tidak mau terulang
lagi seperti kejadian Mei 1998 di Jakarta. Mereka sebagian besar keluarga jadi korban
dengan tindakan para perusuh yang tidak manusiawi. Pola interaksi dari gagasan Scott,
dapat dilihat dalam permainan melalui konsolidasi identitas sebagai bentuk perlawanan
etnis Tionghoa di Kota Pontianak serta sebagai salah satu cara mengresinifikasi
identitasnya untuk melawan diskriminasi tersebut.
Orang Tionghoa menghidupkan kembali identitas mereka sebagai etnis yang
ingin menunjukan keberadaanya dengan etnis lain yang ada di Kota Pontianak. Gerakan
ini sebagai bentuk perlawanan atas dasar kesadaran warga Tionghoa untuk melawan
diskriminasi dengan cara halus namun bersifat heroitik. Jika merujuk pada pendapat
Scoot tersebut, pola interaksi resistensi dikelompokan dalam dua jenis, yakni public
transcript dan hidden transcript.
Public transcript hanya menunjukan tampilan luar, sengaja menutupi atau
menyembunyikan motif sebenarnya, biasa juga disebut pencitraan. Pola interaksi ini
bersifat terbuka dan langsung melalui ruang-ruang aktivitas. Namun begitu, pola
interaksi ini bisa dilakukan oleh kaum elit yang membutuhkan klaim-klaim sebagai
dasar legitimasi kekuasaan agar dapat diterima dan diikuti oleh kelas di bawahnya.
Masyarakat kelas bawah, akan berlaku seolah-olah patuh pada aturan hegemonic
penguasa, tetapi mulai bersuara ketika berada pada ruang berbeda untuk
mengartikulasikan kebutuhan atau kepentingannya yang muak dengan ketimpangan dan
ketertindasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Yang kedua, hidden transcript. Pola interaksi ini diwujudkan melalui ucapan
dalam hati, di belakang, dialihkan pada benda lain, tidak scara langsung kepada
penguasa sebagai bentuk perlawanan. Dengan kata lain, pola interaksi hidden transcript
diwujudkan melalui bentuk-bentuk diskursus berupan ucapan, tingkah laku, perbuatan
kelompok arus bawah (subordinat) yang tidak diwujudkan secara langsung terbuka
melalui ekspresi di publik sebagai akibat hegemoni pihak penguasa. Aktivitas-aktivitas
dalam pola interaksi ini di antaranya melakukan perusakan atau penyerangan yang
bersifat anonimus pada rumah atau fasilitas yang menjadi simbol kepemilikan
penguasa, namun tersembunyi tanpa menunjukan bentuk perlawanan. Cara lain adalah
dengan melakukan permainan bahasa, seperti guyonan, candatawa maupun penyebaran
citra buruk melalui berita palsu untuk menjatuhkan atau melemahkan citra penguasa,
yang pada akhir tujuanya adalah menghancurkan dominasi (Scott, 1990:14-15).
Teori Scott dalam menganalisi dan memadukan temuan di lapangan bahwa etnis
Tionghoa melakukan secara secara diam-diam atau lewat jalan belakang atau bahkan
melanggar aturan (hidden transcript). Scott menekankan hidden transcript sebagai
perjuangan kaum tertindas. Oleh karena itu dalam kasus Tionghoa-Indonesia pada
umumnya, dan juga berlaku di Kota Pontianak, hidden transcript dilakukan saat
kepemilikan tanah dan lahan dibatasi, mereka pinjam nama kawan "pribumi" untuk
dipakai mengurus Sertifikat Hak Milik. Strategi ini sering disebut Ali-Baba, yaitu
kolaborasi bawah tangan antara „Ali‟ (pribumi) dan „Baba‟ (Tionghoa Peranakan).
Gagasan Scott dalam sangat sepadan dengan temuan saya untuk digunakan dan
dirujuk untuk menguraikan dan menunjukan aktivitas yang dilakukan oleh warga etnis
Tionghoa di Kota Pontianak sebagai bagian dari upaya resistensi dalam rangka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
menyuarakan identitas mereka di Kota Pontianak yang direpresi, terpinggirkan akibat
dari dominasi etnis lain lewat konsolidasi identitas dalam bidang-bidang tertentu yang
membangun kembali ketionghoan mereka di Kota Pontianak. Mereka mempunyai
strategi yang ciamik dengan membentuk sebuah perlawanan-perlawanan yang sangat
halus dan tidak dengan kekerasan fisik. Mereka melakukan perlawanan diskriminasi
bersifat hal-hal yang dapat membangun martabat manusia untuk membangkitkan rasa
kepercayaan identitas ketionghoannya. Fenomena seperti inilah yang membuat etnis lain
tidak bisa berdaya.
Mereka membangun diri lewat bidang pendidikan, politik, dan sosial budaya.
Seperti yang sudah dideskripsikan pada bab III, Pada aspek pendidikan, sejak
reformasi dominasi siswa etnis Tionghoa membludak di sekolah swasta yang
bermayoritas etnis Tionghoa. Dan yang menarik lagi adalah di kalangan etnis
Tionghoa ada yang terlibat menjadi guru di lembaga pendidikan di Kota Pontianak baik
di lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Di bidang politik, etnis Tionghoa
banyak yang mencalonkan diri untuk merebut kursi di DPR, DPD hingga menjabat
sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Misalnya, Bapak Christiandy Sanjaya,
terpilih menjadi wakil Gubernur Kalimantan Barat pada pemilihan kepala daerah secara
langsung, 15 November 2007 yang disusung dari partai Demokrat dan dukung oleh
partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Di bidang sosial budaya, selain sudah di
bahas di bab 1 dan III tentang gebyarnya perayaan Imlek dan Cap Go Meh, mereka
semakin kuat, ketika mereka berkonsolidasi berupa pendirian yayasan-yayasan dan
paguyuban Tionghoa untuk bisa mengkonsolidasikan diri yang sudah lama teretak
akibat dari konflik yang bernuansa rasial di Kota Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Dari tiga beberapa dimensi tersebut di atas, membangkitkan semangat mereka
untuk melawan diskriminasi secara produktif. Pada aspek politik cukup siginifkan,
dikarenakan berbicara politik identitas Tionghoa sebenarnya hal ini sebagai akariah
dari sikap perilaku dari etnis lain yang ada di Kota Pontianak untuk menolak mereka
sebagai bagian dari warga budaya yang ada di Kota Pontianak.
Kesimpulan
Apa yang ditemukan di lapangan, dengan data-data yang signifikan bahwa
konsep Barker soal identitas mau diperjuangkan oleh etnis Tionghoa dalam ruang
etnistitas, ras, nasional di pasca reformasi tetap menjadi persoalan tersendiri untuk
menunjukan identitasnya di tengah keberagaman identitas lain di Kota Pontianak. Maka
atas dasar demikian, tindakan diskriminasi sosial secara ras sebagaimana diwacanakan
oleh Mely G.Tan (2008) tetap dirasakan oleh etnis Tionghoa sampai saat ini baik
bersifat verbal maupun nonverbal.
Scott membantu lewat sebuah perlawanan halus dan juga sebagai bentuk budaya
tandingan yang membangkit kesadaran yakni lewat konsolidasi identitas. Inilah yang
tersingkap dalam sebuah kenyataan, bahwa apa yang dilakukan dalam konsolidasi
identitas di berbagai aspek khususnya pada bidang pendidikan, politik, dan sosial
budaya semuanya demi membangun keberlangsungan kehidupan orang Tionghoa dan
juga warga etnis lainnya di Kota Pontianak dengan tidak menggunakan kekerasan fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah mempelajari dan menganalisis fenomena di lapangan dan berangkat dari
rumusan masalah yang disajikan di awal tesis ini, ada empat kesimpulan yang diperoleh
dari penelitian ini. Pertama, sejak pasca reformasi, melalui konsolidasi identitas warga
Tionghoa di Kota Pontianak sangat kuat untuk menunjukkan identitas ketionghoannya
di tengah multietnis lain di Kota Pontianak. Perubahan-perubahan di berbagai aspek
kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya, politik. Pendidikan, dan agama
membuktikan saatnya mereka memghirup ruang demokrasi. Akan tetapi di kalangan
warga Tionghoa menengah ke bawah masih merasakan ketidaknyamanan identitas
ketionghoanya di tengah multietnis lainya di Kota Pontianak.
Kedua, sejarah diskriminasi menjadi ingatan kolektif bagi etnis Tionghoa di
Kota Pontianak. Dalam temuan di lapangan bahwa sejarah itu sebagai sebuah dinamika
perjuangan orang Tionghoa di Kota Pontianak dan tidak bisa dilupakan begitu saja oleh
generasi berikutnya. Sejarah diskriminasi itu bukan untuk ditutupi supaya tidak terjadi
budaya balas dendam, tetapi sebagai kesempatan untuk menelususi kebenaran narasi-
narasi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Kota Pontianak. Banyak akademisi
mereduksi sejarah diskriminasi itu, sehingga kebenarannya patut diuji coba melalui ahli-
ahli yang berkompeten dalam bidang sejarah tentang etnis Tionghoa di kota Pontianak.
Ketiga, banyak orang berpendapat bahwa sejak pasca reformasi, praktik atau
tindakan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah tidak ada lagi. Anggapan demikian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
tidak bisa mewakili pengalaman seluruh warga Tionghoa di Kota Pontianak. Temuan-
temuan di lapangan bahwa diskriminasi itu masih dialami oleh sebagian etnis Tionghoa
baik secara verbal maupun nonverbal, hingga saat ini. Dengan kata lain tindakan
diskriminasi itu diartikukulasi oleh etnis lain baik secara verbal maupun nonverbal,
bersifat terselubung namun nyata. Hal ini di alami sebagian besar oleh etnis Tionghoa
kelas bawah. Misalnya mereka yang bekerja di lingkungan pendidikan dan kehidupan
lainnya di masyarakat Kota Pontianak.
Oleh karena itu temuan-temuan dalam penelitian sangat mendukung dengan
pengalaman-pengalaman mereka yang konkret dan sekaligus ruang untuk
mengungkapkan apa yang selama ini mereka takuti untuk diperbincangkan tentang
pengalaman diskriminatif di Kota Pontianak.
Keempat, bentuk-bentuk perlawanan terhadap etnis lain di Kota Pontianak,
nampak dalam pembangunan di pelbagai aspek kehidupan di masyarakat Kota
Pontianak. Dalam temuan di lapangan sesuai dengan menggunakan konsep James C.
Scott (1990), bahwa untuk melawan yang mendominasi etnis Tionghoa melakukan
sebuah strategi atau seni perlawanan dengan model „hidden transcript‟ (tersembunyi
atau terselubung untuk melawan pada „superioritas kelas elite‟). Gerakan ini secara
halus namun bersifat heroik.
Hal ini mereka buktikan melalui ada sebagian yang berani menjadi guru. Mereka
sangat berkualitas di lembaga pendidikan di Kota Pontianak. Mereka mendirikan
sekolah-sekolah yang berkualitas dan lembaga-lembaga kursus pendidikan nonformal
yang unggul dan bermutu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Hal yang mencolok dan menggoncangkan etnis lain adalah sejak pasca
reformasi ada sekelompok warga Tionghoa berani terjun ke panggung politik. Ada yang
DPR Kota atau Provinsi, Wali kota hingga sampai menjabat wakil gubernur provinsi
Kalimantan Barat. Di bidang sosial budaya mendirikan banyak yayasan untuk
keberlangsungan kehidupan warga budaya etnis Tionghoa di Kota Pontianak.
Dari keempat temuan tersebut, maka apa yang dideskripsikan di bagian hipotesa
awal bagaimana etnis Tionghoa mengalami perubahan pada pasca reformasi,
sungguh-sungguh merupakan bentuk ruang demokrasi untuk menunjukkan
ketionghoannya di Kota Pontianak. Akan tetapi perubahan itu tidak dinikmati oleh
warga Tionghoa kalangan menengah ke bawah.
Mereka masih dicengkram oleh diskriminasi sosial secara ras di Kota Pontianak.
Melalui konsolidasi identitasnyalah, mereka melakukan perlawanan dipelbagai aspek
kehidupan secara halus sebagai salah satu cara untuk melawan diskriminasi. Dengan
strategi seperti ini membuat mereka tetap eksis untuk mengungkapkan identititas diri
mereka sebagai orang Tionghoa yang tidak mau direpresi lagi oleh identitas lain di Kota
Pontianak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Saran
Akhirnya dengan bersandar dari berbagai gagasan di atas munculah benang
merah dalam tulisan ini yakni: sejak pascareformasi etnis Tionghoa sudah melebur diri
bersama dengan etnis lain di Kota Pontianak. Meskipun mereka menerobos identitanya
dengan etnis lain akan tetapi stereotif, stigmatisasi, dan praktik diskriminasi ras masih
dialami etnis Tionghoa baik secara verbal maupun nonverbal di Kota Pontianak.
Narasi-narasi diskriminasi ras masa lalu, menjadi ingatan kolektif dan masih
trauma untuk diperbincangkan di ruang publik dan untuk melawan diskriminasi mereka
melakukan perlawanan dengan tidak menggunakan kekerasan fisik, akan tetapi melalui
gerakan halus bersifat heroik lewat konsolidasi identitas diberbagai aspek kehidupan
yang dapat membangun kemajuan bersama dengan masyarakat multietnis lainya di Kota
Pontianak.
Dari pembahasan dan fakta dari fenomena temuan di atas, ada beberapa
rekomendasi yang ajukan. Rekomendasi ini memuat beberapa hal yang belum muncul
dan diharapkan dapat menguatkan untuk penelitian berikutnya. Pertama, bagi ketua
etnis Tionghoa, bahwa tindakan diskriminasi oleh etnis lain sejak pasca reformasi, perlu
ada pendekatan secara luas untuk bisa hidup berdampingan dengan etnis lain di Kota
Pontianak tawaran ini adalah pendekatan life experience atau gerakan hidup inklusif
dengan yang berbeda etnis. Selain itu, wilayah-wilayah perlawanan yang dilakukan oleh
warga Tionghoa di Kota Pontianak, sebenarnya tidak berlaku untuk semua kalangan
etnis Tionghoa yang ada di Kota Pontianak.
Kedua, bagi pemangku kepentingan di Kota Pontianak. Melalui penelitian ini
semakin memperjelaskan bahwa mengapa di kalangan tertentu etnis Tionghoa masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
terasa yang namanya diskriminasi ras di era reformasi. Narasi-narasi dalam setiap
konflk etnis di Indonesia tetap saja ada yang menjadi korban yakni mereka yang merasa
diri kecil, minoritas dan tidak mempunyai ruang untuk bersuara. Maka perlu ada
pendekatan budaya sebagai salah satu cara untuk bisa merekonsiliasi terhadap etnis
yang bertikai di Kota Pontianak.
Ketiga, penelitian ini sudah banyak dilakukan namun kekhasannya adalah soal
pengepungan dan terhimpit oleh dominasi etnis tertentu membuat mereka bangkit untuk
melawan secara halus sejak pasca reformasi berhembus ruang masyarakat Kota
Pontianak. Akhirnya saya menyadari bahwa penelitian diskursus tentang diskriminasi
etnis Tionghoa di Kota Pontianak belum final. Masih ada keterbatasan ruang dan
wilayah yang belum terwakili untuk mengungkapanya hal-hal yang paling urgen, untuk
diperbincangkan secara utuh dan menyeluruh tentang kekhasan etnis Tionghoa di Kota
Pontianak dengan etnis Tionghoa lainnya di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
DAFTAR PUSTAKA
Ardi, D. Rodolfo., 2018. Sukarno Tionghoa & Indonesia, Relasi Jejak Sejarah dan
Pembangunan Bangsa. Surabaya: ECOSYSTEM Publishing.
Bamba, John. 2008. Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di
Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi.
Barker, Chris. (tej.). 2000. Cultural Studies, Teori & Praktik. Yogyakarta: Penerbit
KREASI WACANA.
_________________.2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: PT Kanisius
Beilharz, Peter. (ed.). 2016.Teori-teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosofi
Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Hikmat. (ed.). 2007. Hak Minoritas, Dilema Multikulturalisme Di Indonesia.
Jakarta : Yayasan Interseksi.
Coppel, A. Charies., (tej.).1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Dawis, Aimee. (tej.). 2009. Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Effendi, Wahyu., & Prasetyadji., 2008. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKRI. Jakarta:
Visimedia.
Erasures, Rubber Producing Rights: Making Racialized Territories inWest Kalimantan,
Indonesia Institute of Social Studies, 2019 dan di publikasikasikan oleh Blackwell
Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main St.,
Malden, MA 02148, USA.
Fanon, Frantz. 2016. White Skin, Black,Mask Kolonialisme, Rasisme, dan Psikologi
Kulit Hitam, Harris H.Setiajid (tr.), Yogyakarta: Jalasutra.
Fat, Sau Lie. 2007. Aneka Budaya Tionghoa Kalimatan Barat.
Pontianak: Muare Public Relation.
Felicia Pratto , Jim Sidanius & Shana Levin c. 2010. Social Dominance Theory And
The Dynamics Of Intergroup Relations: Taking Stock And Looking Forward.
University of Connecticut , Storrs, CT, USA
Giring. 2004. Madura Di Mata Dayak Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Yogyakarta: Penerbit Galang Press (Anggota IKAPI).
Gouda, Frances. (tej.). 2007. Dutch Culture Overrseas, Praktik Kolonial di Hindia
Belanda, 1900-1942. Jakarta: PT SERAMBI SEMESTA.
Heidhues, Mary. Somers,. (tej.). 2008. Penambang emas, Petani, dan Pedagang di
“Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarat: Yayasan Nabil.
Herlambang, W. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: CV. Marjin Kiri.
Heryanto, Ariel. 2018. (Terj). Identitas dan Kenikmatan Politik Budaya Layar
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Hoon, Chang Yau. (tej.). 2012. Identitas Tionghoa, Pasca-Suharto, Budaya, Politik dan
Media. Jakarta: Yayasan Nabil & LP3ES.
Juniardi, Karer & E. Rivansitha, Marjito. 2018. Urgensi Pendidikan Multikultura
Dalam Masyarakat Plural (Studi Kasus di Kota Singkawang. Jurnal HANDEP
Vol.1 No.2 Juni 2018 hal.17-34.
Leo, Suryadinata. (ed.). 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Loomba, Ania. (tej.). 2016. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Pustaka
Promethea.
Mahfud, Choirul. 2013. Manifesto Politik Tionghoa Di Indonesia. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
Ngardi, Valensius. 2018. Gagasan Multikulturalisme Dalam Materi Muatan Lokal
SMP/MTs Di Kalimantan Barat. Jurnal HANDEP Vol.1 No.2 Juni 2018 hal. 59-
80
Ode, La, D. M., 1997. Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia, Fenomena di Kalimantan
Barat, Perspektif Ketahanan Nasional. Jakarta: Publising
___________________, Etnis Cina Indonesia Dalam Politik, Politik Etnis Cina
Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta: Yayasan
Pustaka Indonesia.
Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, sejarah Etnis Cina
di Indonesia Yogyakarta: Komunitas Bambu
Pals, Jennifer L. 1999. Identity Consolidation in Early Adulthood: Relations with Ego-
Resiliency, the Context of Marriage, and Personality Change. University of
California, BerkelePersonality 67:2, April.Copyright © 1999 by Blackwell
Publishers.
Parekh, Bhikhu, (Tej.). 2008. Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan
Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Petebang, Edi. 2018. Muatan Lokal. Pendidikan Multikultur Kelas VII. Pontianak:
Institut Dayakologi
Peterianus, Septian. 2015. Orientalisme Timur Atas Timur-Wacana Pembangunan
Dalam Program Transmigrasi Pemerintahan Orde Baru Di Kabupaten Melawi
Kalimantan Barat (tesis). Tidak dipublikasikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Philpott, Simon. 2000. Rethinking Indonesia. Postcolonial Theory, Authoritarianism
and Identity. London: Macmillan Press.
Purdey, Jemma. (tej.). 2013. Kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia 1996-1999. Bali:
Pustaka Larasan.
Putra, Andas N. & Stefanus, Djuweng., 1999. Sisi Gelap Kalimantan Barat,
Perseteruan Etnis Dayak-Madura. Pontianak: PT Midas Surya Grafindo
Rutter, Owen.(tej.). 2017. Sejarah Kalimantan, Catatan tentang Sejarah Sumberdaya
dan Suku-suku Asli. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi.
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies An Introduction to Classical
and New Methodological Approaches. London: SAGE Publications.
Suminar Kristiani. 2018 Badan Pusat Statistik Kota Pontianak 2018. Pernerbit
Internal BPS: Pontianak.
Shakka, Anne. 2019. Cilik-cilik Cina, Autoetnografi Politik Identitas. Yogyakarta: SDU
Press.
Scott, James. C. 1990. Domination and the Arts of Resistance Hidden Transcripts
Copyright © 1990 by Yale University.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shirashi, Saya Sasaki. 2001. Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam
Politik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Sugadung, Hendro, Suroyo., 2001. Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis
Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: Institut Studi Arus Informasi &
Yayasan Adikarya IKAPI.
Suhandinata, Justian. 2018. WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi &
Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
_______________, 1984. Dilema Minoritas Tionghoa Jakarta: PT Grafiti Pers.
Suryana, Yaya. A. H. Rusdiana,. 2015. Pendidikan Multikultural; Suatu Upaya
Penguatan Jati Diri Bangsa. Bandung: Pustaka Setia.
Tan, Mely G. (ed.). 1979. Golongan Etnis Tionghoa Di Indonesia, Suatu
Permasalahan Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: LEKNAS-LIPI & Yayasan
Obor Indonesia.
Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia, Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Veth, J. P. (tej.). 2012. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis 1854 Jilid 1.
Pontianak: Institut Dayakologi.
______________, Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis 1856 Jilid II.
Pontianak: Institut Dayakologi.
Wardaya, T. Baskara., SJ. 2008. Indonesia Melawan Amerika. Konflik Perang
Dingin,1953-1963. Yogyakarta: Percetakan Galangpres
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
INTERNET/LAMAN
http://dictionary.cambridge.org diakses, 11 Januari 2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Pogrom diakses ,27 Februari 2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Defragmentasi, diakses, 27 Mei 201
https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng diakses, 30 September 2019
https://brainly.co.id/tugas/20815714, diakse 17 April 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Amoy_istilah diakses, (18 April 2020
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pontianak (diakses, 14 Juni
2020.https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_terhadap_orang_Tionghoa_di_Indonesia
(diakses, 25 Juni 2020).
WAWANCARA
Wawacara. Tju Mie Wali Kota, Singkawang, 14 Februari 2016
Wawancara.Tjun. Pontianak, 12 Oktober 2018.
Wawancara. Wendy. Pontianak, 13 Oktober 2018
Wawacara. Erlina. Pontianak, 15 Oktober 2018
Wawancara. Reny. Pontianak, 18 November 2018
Wawancara. Lien Lim, Pontianak, 23 November 2018
Wawancara. Berty Pontianak, 3 November 2019
Wawacara Lie Saut Fat, Pontianak 11 November 2019
Wawancara. Andi. Pontianak, 18 November 2019
Wawancara. Lita. Pontianak, 20 November 2019
Observasi: Ongky Lesmana, Pontianak,20-21 Oktober 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI