75
KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN PROPORSI GANGGUAN PENGLIHATAN DALAM SURVEI RAPID ASSESSMENT OF AVOIDABLE BLINDNESS DI JAWA BARAT Oleh : Herman NPM 131221100504 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG 2015

KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT

DENGAN PROPORSI GANGGUAN PENGLIHATAN DALAM

SURVEI RAPID ASSESSMENT OF AVOIDABLE BLINDNESS

DI JAWA BARAT

Oleh :

Herman

NPM 131221100504

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG

2015

Page 2: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

ii

KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT

DENGAN PROPORSI GANGGUAN PENGLIHATAN DALAM

SURVEI RAPID ASSESSMENT OF AVOIDABLE BLINDNESS

DI JAWA BARAT

Oleh :

Herman

NPM 131221100504

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal

Seperti tertera dibawah ini

Bandung, Januari 2015

Nina Ratnaningsih, dr., SpM(K), MSc.

Pembimbing I

Shanti F. Boesoirie, dr., SpM(K), MKes.

Pembimbing II

Page 3: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik

dari Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah

ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah

dengan disebutkan nama pegarang dan dicantumkan dalam daftar

pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian

hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar

yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan

norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Bandung, Januari 2015

Yang membuat pernyataan,

Herman

NPM : 131221100504

Page 4: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

iv

ABSTRAK

Prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia khususnya di

Jawa Barat masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat

terlaksananya program pemberantasan gangguan penglihatan dan kebutaan. Salah

satunya adalah faktor geografis termasuk jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan

mata. Jarak yang jauh diduga menjadi penghalang bagi pasien untuk mencapai

fasilitas kesehatan mata, namun belum diketahui secara ilmiah hubungannya

dengan angka gangguan penglihatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

apakah terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke tempat pelayanan

kesehatan mata dengan proporsi jumlah gangguan penglihatan.

Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan metode cross

sectional. Objek penelitian ini adalah klaster penelitian berupa desa/kelurahan

tempat dilakukannya survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)

Jawa Barat tahun 2014 dan rumah sakit tempat pelayanan kesehatan mata yang

memenuhi kriteria inklusi. Proporsi gangguan penglihatan dengan tajam

penglihatan <6/12 didapatkan dari hasil RAAB, dan jarak tempuh diukur dari

klaster ke rumah sakit dengan fasilitas pelayanan kesehatan mata. Analisis

statistik untuk mencari korelasi dilakukan dengan uji korelasi Pearson.

Objek penelitian terdiri dari 60 klaster dan 44 rumah sakit. Proporsi mata

dengan gangguan penglihatan adalah 29,03%, proporsi orang dengan gangguan

penglihatan adalah 21,22%, dan rentang jarak tempuh 1,3 km hingga 100 km

(median 15,85 km). Hasil uji korelasi antara jarak tempuh dengan proporsi mata

dengan gangguan penglihatan dan orang dengan gangguan penglihatan diperoleh

korelasi positif dengan nilai r = 0,323 (p = 0,006) dan r = 0,418 (p < 0,001).

Jarak tempuh ke rumah sakit memiliki korelasi positif berkekuatan sedang

terhadap proporsi gangguan penglihatan. Faktor jarak tempuh yang jauh ke

pelayanan kesehatan mata adalah salah satu penyebab masih tingginya prevalensi

gangguan penglihatan di Jawa Barat.

Kata kunci : gangguan penglihatan, jarak tempuh, RAAB

Page 5: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

v

ABSTRACT

The prevalence of visual impairment and blindness in Indonesia, especially

West Java province is still high. There are several barriers in implementing the

strategy to eradicate visual impairment and blindness. Geographic factors like

travel distance to hospital is one of them. Longer distance is an obstacle we

presumed as barrier for patients to visit the eye care facilities, but no specific

correlation study had been done before. The purpose of this study is to determine

the correlation between travel distance to eye care facility and the proportion of

visual impairment.

This was a cross-sectional study. Objects were the survey clusters of sub-

districts where the West Java Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)

survey was carried out in 2014 and also the hospitals with eye care facilities. The

proportions of visual impairment, visual acuity <6/12 were collected as

secondary data of RAAB and the travel distances were measured from clusters to

eye care hospitals. The statistical analysis for this study was Pearson coefficient

correlation test.

Sixty clusters and 44 hospitals were included. The proportion of eye with

visual impairment was 29.03%, the proportion of person with visual impairment

was 21.22%, and the travel distances ranged from 1.3 km to 100 km (median

15.85 km). The correlation coefficients for travel distance to proportion of eye

with visual impairment and proportion of person with visual impairment were

positive correlations with r = 0.323 (p = 0.006) and r = 0.418 (p < 0.001).

We found a moderate positive correlation between travel distance to hospital

and proportion of visual impairment. The long distance travel to the eye care

facilities was one of the cause of high visual impairment rate in West Java.

Keywords : visual impairment, travel distance, RAAB

Page 6: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga tesis ini

dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh

pendidikan spesialis di bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih, rasa hormat dan penghargaan

kepada semua pihak yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis

dalam menyelesaikan pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Secara khusus

penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ganjar

Kurnia, Ir., DEA, Rektor Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Med. Tri

Hanggono Ahmad, dr., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Bandung, Dr. Dwi Prasetyo, dr.,SpA (K), Koordinator Program Pendidikan

Dokter Spesialis I yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran.

Penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada Alm. Prof. H. Sugana

Tjakrasudjatma, dr, SpM, Prof. Dr. H. Gantira Natadisastra, dr, SpM(K), dan

Almh. Prof. Dr. Farida Sirlan, dr, SpM(K) selaku guru besar Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan dukungan, bimbingan dan suri tauladan yang tidak ternilai bagi

penulis selama mengikuti pendidikan spesialis mata hingga selesainya tesis ini.

Page 7: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

vii

Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Hikmat

Wangsaatmadja, dr,SpM(K),MKes, MM, sebagai Direktur Utama Pusat Mata

Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, dan kepada seluruh jajaran direksi

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Dr. Iwan Sovani, dr,

SpM-KVR, MKes, MM selaku direktur Pelayanan Medis Pusat Mata Nasional

Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Setyo Budi Hartono, drs, MM dan Tjipto

Rahardjo, SKM yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis

untuk menggunakan sarana dan prasarana rumah sakit sebagai tempat belajar dan

bekerja. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

M. Kautsar Boesoirie, dr, SpM(K),MM selaku direktur utama RS PMN Cicendo

terdahulu yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan bagi penulis untuk

menyelesaikan masa studi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andika Prahasta, dr, SpM(K),

M.Kes selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran, Dr. Feti Karfiati Memed, dr, SpM(K), M.Kes selaku

Ketua Program Studi Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu,

bimbingan, dukurangan, motivasi dan arahan kepada penulis selama penulis

mengikuti pendidikan hingga selesainya tesis ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Nina

Ratnaningsih, dr, SpM(K), MSc selaku pembimbing I dan Shanti F. Boesoirie, dr,

SpM(K), MKes selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk

Page 8: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

viii

memberikan ilmu, bimbingan, motivasi untuk terus belajar dan meneliti sampai

selesainya tesis ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan survei

RAAB di Jawa Barat tahun 2014 terutama Bagian Oftalmologi Komunitas, Pusat

Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung yaitu Syumarti, dr, SpM(K),

MSc, Mayang Rini, dr. SpM(K), MSc, Aldiana Halim, dr, Sp.M(K) dan Nina

Ratnaningsih, dr, SpM(K), MSc beserta staf pegawai bagian Oftalmologi

Komunitas; Hans Limburg MD, dokter sejawat Program Pendidikan Spesialis

Mata, perawat dan staf pengemudi Rumah Sakit Mata Cicendo, Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Barat, pegawai dan kader desa/kelurahan, serta seluruh masyarakat

yang berpartisipasi dalam survei ini.

Penulis menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu, bimbingan

dan didikan yang telah diberikan oleh seluruh staf pengajar yang masih aktif atau

yang telah pensiun di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung

dan di rumah sakit jejaring yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu, yang

dengan ikhlas membagikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis dari sejak

awal masa pendidikan.

Kepada seluruh teman sejawat Program Pendidikan Spesialis Mata I Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran terutama rekan seangkatan penulis, terima

kasih atas kebersamaan, dukungan dan kerjasamanya selama pendidikan. Kepada

seluruh dokter, perawat, karyawan, dan para pasien Pusat Mata Nasional Rumah

Sakit Mata Cicendo Bandung, serta staf pendidikan Ilmu Kesehatan Mata

Page 9: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

ix

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, terimakasih atas bantuan, ilmu dan

kerjasama yang telah diberikan selama masa pendidikan penulis.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua yang penulis

banggakan dan hormati, ayahanda, Chandra Halim, dan ibunda Lili atas cinta,

kasih sayang, doa, perhatian, pengorbanan dan segalanya yang tidak pernah

berhenti diberikan untuk penulis. Kepada kakak, adik, serta seluruh keluarga besar

penulis, terima kasih atas perhatian, doa dan pengertian yang sangat besar dalam

mendukung penulis selama mengikuti pendidikan.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah

diberikan dan semoga tesis ini bermanfaat untuk bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Rumah Sakit Mata Cicendo.

Bandung, Januari 2015

Penulis,

Herman, dr

Page 10: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

x

DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………..... i

LEMBAR PENGESAHAN.………………………………………………….... ii

LEMBAR PERNYATAAN…………………..………………………………... iii

ABSTRAK……………………………………………………………………... iv

ABSTRACT……………………………………………………………………... v

KATA PENGANTAR………………………………………………………..... vi

DAFTAR ISI ………………………………………………………………....... x

DAFTAR TABEL ………………………………………………………….….. xiii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….….. xiv

DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….….…... xv

DAFTAR LAMPIRAN…………………………….………………….…....…. xvi

BAB I PENDAHULUAN………………………….……………….……….…. 1

1.1 Latar Belakang Penelitian……………………………………….…….….....1

1.2 Rumusan Masalah ….…………………………………………………….... 3

1.3 Tujuan Penelitian……………….………………………………………...…4

1.4 Kegunaan Penelitian………………………….……………………………..4

1.4.1 Kegunaan ilmiah………………………………………………………4

1.4.2 Kegunaan praktis……………………………………………………...4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS......……………………………….....……………………. 5

2.1 Kajian Pustaka……………………………………………………………... 5

2.1.1 Gangguan Penglihatan dan Kebutaan....…………………......………. 5

2.1.1.1 Definisi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan............................ 5

2.1.1.2 Gangguan Penglihatan Global dan VISION 2020....................... 5

2.1.1.3 Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia...................... 7

2.1.1.4 Faktor Risiko Gangguan Penglihatan dan Kebutaan................... 9

2.1.1.5 Tatalaksana Penurunan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.... 10

2.1.2 Profil Provisi Jawa Barat.......................................................................12

2.1.2.1 Profil Sosioekonomi Jawa Barat.................................................. 14

Page 11: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xi

2.1.2.2 Profil Perhubungan Jawa Barat.................................................... 15

2.1.2.3 Profil Kesehatan Jawa Barat........................................................ 16

2.1.3 Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Nasional.........17

2.1.3.1 Visi, Misi dan Tujuan...................................................................18

2.1.3.1.1 Visi...................................................................................... 18

2.1.3.1.2 Misi......................................................................................18

2.1.3.1.3 Tujuan..................................................................................18

2.1.3.2 Strategi......................................................................................... 19

2.1.3.2.1 Penguatan Manajemen Program dan Infrastruktur............. 20

2.1.3.2.2 Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya

Manusia............................................................................... 21

2.1.4 Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)............................. 22

2.2 Kerangka Pemikiran.......................................................................................25

2.3 Premis dan Hipotesis .....................................................................................27

2.3.1 Premis....................................................................................................28

2.3.2 Hipotesis................................................................................................28

BAB III OBJEK, BAHAN DAN METODE PENELITIAN..…….................... 29

3.1 Objek dan Sampel Penelitian…………………………..................................29

3.1.1 Objek Penelitian.................................................................................... 29

3.1.2 Perhitungan Sampel...............................................................................29

3.1.3 Kriteria Inklusi...................................................................................... 30

3.2 Metode Penelitian...........................................................................................31

3.2.1 Rancangan Penelitian...............................................................…......... 31

3.2.2 Identifikasi Variabel..............................................................................31

3.2.3 Definisi Operasional..............................................................................32

3.2.4 Cara Kerja Teknik Pengumpulan Data................................................. 33

3.2.4.1 Persiapan Pra Penelitian............................................................... 33

3.2.4.2 Bahan dan Alat Penelitian............................................................ 33

3.2.4.3 Prosedur Penelitian.......................................................................34

3.2.5 Rancangan Analisis............................................................................... 35

3.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 35

Page 12: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xii

3.3 Aspek Etik Penelitian..................................................................................... 35

3.4 Skema Alur Penelitian................................................................................... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………….... 37

4.1 Hasil Penelitian.……………………………………………………………. 37

4.1.1 Karakteristik Objek Penelitian ……………….................…………… 37

4.1.2 Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi

Mata dengan Gangguan Penglihatan …............................................... 41

4.1.3 Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi

Orang dengan Gangguan Penglihatan …............................................. 42

4.2 Uji Hipotesis.................................................................................................. 43

4.3 Pembahasan....................................................................................................44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 52

5.1 Simpulan........................................................................................................ 52

5.2 Saran...............................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 53

LAMPIRAN........................................................................................................ 55

Page 13: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik penduduk dengan low vision dan kebutaan................... 8

Tabel 4.1 Karakteristik klaster berdasarkan jarak tempuh....................………. . 38

Tabel 4.2 Karakteristik rumah sakit.......................…..……………………..…..39

Page 14: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penyebab kebutaan global................................................................ 7

Gambar 2.2 Peta provinsi Jawa Barat.................................................................. 12

Gambar 2.3 Piramida penduduk Jawa Barat tahun 2013..................................... 14

Gambar 2.4 Lembar pencatatan survei RAAB 6................................................. 24

Gambar 2.5 Bagan alur kerangka pemikiran........................................................27

Gambar 4.1 Grafik scatter plot korelasi jarak tempuh ke rumah sakit terhadap

proporsi mata dengan gangguan penglihatan.................................. 41

Gambar 4.2 Grafik scatter plot korelasi jarak tempuh ke rumah sakit terhadap

proporsi orang dengan gangguan penglihatan.................................42

Page 15: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xv

DAFTAR SINGKATAN

ARMD : Age-related Macular Degeneration

ARO : Akademi Refraksionis Optisien

BKMM : Balai Kesehatan Mata Masyarakat

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPS : Badan Pusat Statistik

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

dkk : dan kawan-kawan

IAPB : International Agency of the Preventable Blindness

Jabar : Jawa Barat

km : kilometer

LIO : Lensa Intraokular

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

Menkes : Menteri Kesehatan

PC : Persepsi cahaya

PCO : Posterior Capsule Opacification

PGPK : Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan

Polri : Kepolisian Negara Republik Indonesia

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RAAB : Rapid Assessment of Avoidable Blindness

RI : Republik Indonesia

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RS : Rumah sakit

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

SD : Sekolah Dasar

SDM : Sumer Daya Manusia

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

TNI : Tentara Nasional Indonesia

WHO : World Health Organization

Page 16: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Karakteristik Klaster Penelitian................................................ 55

Lampiran 2 Data Karakteristik Rumah Sakit....................................................... 56

Lampiran 3 Data Jarak Tempuh dan Proporsi Gangguan Penglihatan................ 57

Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup....................................................................... 58

Page 17: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Jumlah gangguan penglihatan dan kebutaan saat ini masih tinggi, padahal

85% penyebab gangguan penglihatan dan 80% penyebab kebutaan dapat

ditangani atau dicegah secara cost-effective. Prevalensi gangguan penglihatan di

Indonesia berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 adalah

5,7%; dengan prevalensi kebutaan 0,9%. Untuk provinsi Jawa Barat, angka

prevalensi gangguan penglihatan menyamai prevalensi nasional (5,7%), namun

prevalensi kebutaannya lebih tinggi yaitu 1,2%. Hal ini menggambarkan bahwa

dari 46.497.175 jiwa penduduk Jawa Barat saat ini, terdapat 2.650.339 orang

dengan gangguan penglihatan dan 557.966 orang yang mengalami kebutaan.

Prevalensi gangguan penglihatan ini lebih tinggi pada penduduk usia lanjut, yaitu

14,7% pada kelompok usia 55-64 tahun; 27,7% pada usia 65-74 tahun; dan 37,8%

pada usia 75 tahun ke atas. Penelitian survei kebutaan dan morbiditas mata tahun

2005 oleh Sirlan dkk terhadap penduduk Jawa Barat yang berusia di atas 40 tahun,

didapatkan prevalensi gangguan penglihatan sebesar 18,4% dengan angka

kebutaan sebesar 3,6%. Sebanyak 58% gangguan penglihatan disebabkan oleh

kelainan refraksi dan 80,6% kebutaan disebabkan oleh katarak.1,2,3,4

Saat ini prevalensi kebutaan di Indonesia dan Jawa Barat berdasarkan

Riskesdas 2007 masih jauh di atas prevalensi kebutaan dunia (0,6%). Menurut

Ilmu Kesehatan Masyarakat, prevalensi suatu penyakit idealnya di bawah 0,5%

Page 18: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

2

sehingga dianggap sebagai masalah kesehatan individu. Bila prevalensi penyakit

bernilai 0,5-1%; penyakit tersebut telah menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Sedangkan bila prevalensinya lebih dari 1,0%; masalah kesehatan tersebut telah

berkembang menjadi masalah sosial. Agar masalah gangguan penglihatan dan

kebutaan tidak terus mejadi masalah sosial, pemerintah propinsi Jawa Barat

sedang melaksanakan Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan

Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) sejak tahun 2005, namun ternyata hingga kini

belum dapat sepenuhnya menurunkan prevalensi kebutaan.3,5

Gangguan penglihatan dan kebutaan menyebabkan konsekuensi yang besar

terhadap seorang manusia dan juga konsekuensi sosioekonomi di seluruh lapisan

masyarakat. Dengan penglihatan yang terbatas, seseorang tidak mampu untuk

bekerja atau belajar secara optimal. Dampak hilangnya produktivitas orang yang

mengalami kebutaan, dan besarnya biaya rehabilitasi serta pendidikan untuk orang

buta menjadi beban ekonomi yang signifikan untuk individu, keluarga dan

masyarakat.1,6

Untuk menurunkan gangguan penglihatan dan kebutaan, diperlukan analisis

tentang berbagai faktor risiko gangguan penglihatan, yang diantaranya termasuk

faktor demografis (usia, etnis, ras dan jenis kelamin), sosioekonomi (budaya,

pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan), dan geografis (daerah rural, terpencil,

dan akses transportasi). Daerah Jawa Barat memiliki variasi kondisi geografis

yang beragam dan sangat berpengaruh terhadap akses ke pelayanan kesehatan.

Sebagai contoh, pada hasil Riskesdas 2013, sebanyak 21,8% masyarakat Jawa

Barat memerlukan waktu > 60 menit untuk mencapai rumah sakit pemerintah

Page 19: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

3

terdekat. Angka ini jauh di atas dua provinsi dengan luas wilayah dan jumlah

penduduk yang mirip yaitu Jawa Tengah (14,4%) dan Jawa Timur (12,2%).

Penelitian tentang faktor risiko demografis dan sosioekonomi terhadap prevalensi

gangguan penglihatan telah banyak dilakukan, tetapi hanya sedikit penelitan yang

menghubungkan antara faktor risiko geografis dengan angka prevalensi gangguan

penglihatan, dan belum ada penelitian yang spesifik mengenai hubungan jarak

tempuh ke pelayanan kesehatan terhadap masalah kesehatan mata. Oleh karena

itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang korelasi antara jarak

tempuh ke pelayanan kesehatan mata dengan gangguan penglihatan.1,2,7,8,9,10,11

Berdasarkan uraian di atas disusun tema sentral dari penelitian ini sebagai

berikut:

Prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia khususnya di

Jawa Barat masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat

terlaksananya program pemberantasan gangguan penglihatan dan kebutaan. Salah

satu faktor penghambat dominan terhadap pelaksanaan program tersebut di Jawa

Barat adalah faktor geografis termasuk jarak tempuh menuju fasilitas kesehatan

mata. Jarak yang jauh diduga menjadi penghalang bagi masyarakat untuk

mencapai fasilitas kesehatan mata, namun belum diketahui secara ilmiah

hubungannya dengan angka gangguan penglihatan. Berkaitan dengan hal tersebut,

maka peneliti ingin melakukan penelitian korelasi antara jarak tempuh menuju

fasilitas kesehatan mata dengan besarnya proporsi gangguan penglihatan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke tempat pelayanan

kesehatan mata dengan proporsi jumlah gangguan penglihatan?

Page 20: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

4

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi positif

antara jarak tempuh ke tempat pelayanan kesehatan mata dengan proporsi jumlah

gangguan penglihatan.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap hasil survei Rapid

Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) Jawa Barat tahun 2014 dan hasilnya

dapat menjadi data dasar untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Bila terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke pelayanan kesehatan mata

dan gangguan penglihatan, maka dapat diusulkan kepada pemerintah daerah Jawa

Barat untuk membuat program pelayanan kesehatan mata yang lebih mudah

diakses oleh seluruh lapisan masyarakat di Jawa Barat.

Page 21: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Gangguan Penglihatan dan Kebutaan

2.1.1.1 Definisi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan

Revisi ke-10 dari WHO International Statistical Classification of Diseases,

Injuries and Causes of Death mendefinisikan gangguan penglihatan menjadi

berbagai tingkatan, yaitu tajam penglihatan yang kurang dari 6/12 tetapi sama

dengan atau lebih baik dari 6/18 (gangguan penglihatan ringan), tajam penglihatan

kurang dari 6/18 tetapi sama dengan atau lebih baik dari 6/60 (gangguan

penglihatan sedang), dan tajam penglihatan kurang dari 6/60 tetapi sama dengan

atau lebih baik dari 3/60 (gangguan penglihatan berat), pada mata yang lebih baik

dengan koreksi yang tersedia, koreksi yang terbaik, atau pinhole. ‘Kebutaan’

didefinisikan sebagai tajam penglihatan kurang dari 3/60, atau hilangnya lapang

pandang hingga kurang dari 10o, pada mata yang lebih baik dengan koreksi yang

tersedia, koreksi yang terbaik, atau pinhole.1

2.1.1.2 Gangguan Penglihatan Global dan VISION 2020

Pada tahun 1990 terdapat setidaknya 38 juta orang buta di seluruh dunia dan

110 juta dengan low vision. Semakin bertambahnya penduduk dunia dengan

prediksi populasi dunia sebesar 7,9 miliar pada tahun 2020, maka jumlah

kebutaan itu setiap tahun akan bertambah 1 hingga 2 juta orang. Perkiraan ini

Page 22: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

6

terbukti pada tahun 1996 dimana terdapat 45 juta kebutaan dan 135 juta low

vision, lalu diprediksi pada tahun 2020 akan ada 76 juta orang buta di dunia atau

bertambah dua kali lipat dari tahun 1990. Atas dasar pemikiran inilah WHO dan

IAPB (International Agency of the Preventable Blindness) mencanangkan

program VISION 2020 pada tahun 1999. Target utamanya adalah mengeliminasi

seluruh kebutaan di dunia yang dapat dihindari pada tahun 2020.1,2

Perkiraan dari 45 juta kasus kebutaan tersebut tahun 1996, 60% kasus

kebutaan disebabkan oleh katarak dan kelainan refraksi; 15% disebabkan

trakhoma, defisiensi vitamin A dan onchocerciasis; 15% disebabkan glaukoma

dan retinopati diabetik; dan 10% sisanya disebabkan oleh degenerasi makula serta

peyakit lainnya. Dengan memandang proporsi dari penyakit mata yang dapat

diatasi, dan penyebab kebutaan yang dapat disembuhkan seperti katarak,

trakhoma, onchocerciasis dan beberapa kondisi mata pada anak, maka diperoleh

jumlah sekitar 75% dari seluruh kebutaan itu seharusnya dapat dihindari. Selain

itu, intervensi yang sangat cost-effective tersedia untuk mencegah atau

menyembuhkan kebutaan seperti operasi katarak (sama efektif dengan imunisasi),

distribusi vitamin A, intervensi bedah dan non bedah untuk trakhoma, atau

program pengendalian onchocerciasis yang murah. Oleh karena itu, ada berbagai

alasan untuk mempertimbangkan pencegahan kebutaan sebagai salah satu

program kesehatan masyarakat paling bermanfaat yang dapat dilaksanakan.1,2

Pada tahun 2006, WHO merilis perkiraan kebutaan global yang baru, dimana

menginklusikan banyak gangguan penglihatan yang disebabkan kelainan refraksi

yang tidak terkoreksi, yaitu tambahan sebanyak 153 juta orang. Menurut data

Page 23: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

7

terbaru ini, sekitar 314 juta orang mengalami gangguan penglihatan (tajam

penglihatan <6/18). Dari jumlah tersebut, 45 juta orang mengalami kebutaan.

Penyebab utama kebutaan adalah katarak (mencakup 39% kasus), kelainan

refraksi yang tidak terkoreksi (18%), glaukoma (10%), degenerasi makula terkait

usia (7%). Sebanyak 80% dari kebutaan dan 85% dari gangguan penglihatan dapat

dihindari dengan pencegahan, pengobatan dan tindakan operasi.1,2

Gambar 2.1. Penyebab kebutaan global Dikutip dari: Ricard

2

2.1.1.3 Gangguan Penglihatan dan Kebutaan di Indonesia

Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi low vision (tajam penglihatan <6/18

- 3/60) di Indonesia adalah sebesar 4,8% dengan kisaran antara 1,7% di provinsi

Papua hingga 10,1% di provinsi Bengkulu. Prevalensi kebutaan tingkat nasional

adalah 0,9% dengan kisaran 0,3% di provinsi Kalimantan Timur hingga 2,6% di

provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat 11 provinsi dengan angka kebutaan lebih

tinggi dibanding angka nasional.3

Page 24: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

8

Tabel 2.1 Karakteristik penduduk dengan low vision dan kebutaan Karakteristik responden Low vision*(%) Kebutaan**(%)

Kelompok umur (tahun)

6-14 1,1 0,2

15-24 1,6 0,2

25-34

35-44

45-54

55-64

65-74

75+

1,8

2,7

6,1

14,7

27,7

37,7

0,2

0,3

0,8

2,3

6,0

13,8

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

4,1

5,4

0,7

1,1

Pendidikan

Tidak sekolah

Tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

Tamat PT

19,1

6,6

4,1

2,6

2,7

3,2

5,4

1,3

0,6

0,3

0,3

0,3

Pekerjaan

Tidak kerja

Petani/nelayan/buruh

Ibu RT

Wiraswasta

Pegawai

Sekolah

Lainnya

11,5

6,4

5,3

4,0

2,7

1,3

6,1

3,7

0,9

0,8

0,5

0,3

0,1

1,3

Tipe daerah

Perkotaan

Pedesaan

4,2

5,1

0,8

1,0

Tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita

Kuintil 1

Kuintil 2

Kuintil 3

Kuintil 4

Kuintil 5

4,6

4,6

5,0

5,0

4,7

1,0

1,0

1,0

0,9

0,8

*) Kisaran visus: 3/60 ≤ X ≤ 6/18 (20/60) pada mata terbaik

**) Kisaran visus < 3/60 pada mata terbaik

Dikutip dari: Riskesdas 20073

Prevalensi low vision dan kebutaan semakin meningkat sesuai dengan

penambahan umur terutama pada usia 45 tahun ke atas. Prevalensi low vision dan

kebutaan pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Prevalensi

low vision dan kebutaan berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan, makin

Page 25: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

9

rendah tingkat pendidikan makin tinggi prevalensinya. Sementara itu prevalensi

terbesar juga berada pada kelompok penduduk yang tidak bekerja, diikuti

kelompok petani/nelayan/buruh. Prevalensi low vision dan kebutaan cenderung

lebih tinggi di daerah perdesaan dibanding perkotaan, tetapi terdistribusi hampir

merata di semua tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita.3

2.1.1.4 Faktor Risiko Gangguan Penglihatan dan Kebutaan

Terdapat 4 faktor risiko utama penyakit mata yang menjadi penyebab

gangguan penglihatan yaitu faktor usia, jenis kelamin, geografis dan

sosioekonomi. Gangguan penglihatan terdistribusi tidak merata pada setiap

kelompok umur, dimana lebih dari 82% orang yang buta berusia 50 tahun atau

lebih, meskipun jumlah mereka sebenarnya hanya mewakili 19% dari populasi

dunia. Kebanyakan penyebab kebutaan seperti katarak, glaukoma, dan degenerasi

makula disebabkan oleh proses penuaan. Seiring dengan kecenderungan populasi

orang usia lanjut di dunia yang semakin banyak, maka prevalensi penyakit

tersebut juga meningkat setiap tahunnya.1,2

Berbagai studi penelitian secara konsisten mengindikasikan bahwa

perempuan di setiap wilayah di dunia dan pada semua tingkatan usia berisiko

mengalami gangguan penglihatan lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini karena

umur harapan hidup perempuan yang lebih tinggi. Status sosioekonomi suatu

negara berhubungan erat dengan status kesehatan penduduk di negara tersebut.

Faktanya lebih dari 90% dari seluruh orang buta di dunia berasal dari negara-

negara berkembang. Faktor biaya berobat yang mahal merupakan alasan utama

Page 26: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

10

yang menjadi penghalang pasien dengan gangguan penglihatan dan kebutaan

untuk datang ke fasilitas kesehatan mata.1,2

Faktor geografis yang menyulitkan akses ke fasilitas kesehatan mata menjadi

penghalang bagi pasien dengan gangguan penglihatan untuk memperoleh

pelayanan. Faktor risiko tersebut antara lain disebabkan karena tempat tinggal di

daerah rural dengan jarak tempuh ke pelayanan kesehatan mata yang jauh, dan

kurangnya sarana transportasi ke pelayanan kesehatan mata. Faktor risiko lain

penyebab gangguan penglihatan meliputi penggunaan tembakau, paparan sinar

ultraviolet, defisiensi vitamin A, indeks massa tubuh yang tinggi, dan kelainan

metabolik.2,8,10,11,12

2.1.1.5 Tatalaksana Penurunan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan

Inisiatif global yang dikenal sebagai VISION 2020: The Right to Sight, sejak

dicanangkan tahun 1999, memiliki dua sasaran yaitu untuk mengeliminasi

kebutaan yang dapat dihindari pada tahun 2020 dan mencegah penggandaan

gangguan penglihatan yang dapat dihindari yang diproyeksikan tejadi antara tahun

1999 dan 2020. Tujuan terakhir dari VISION 2020 adalah mengintegrasikan

sistem pelayanan kesehatan mata yang komprehensif, berkelanjutan, berkualitas

tinggi, dan merata ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional yang kuat.1,2

Tiga pilar strategi utama VISION 2020 adalah pengendalian penyakit,

pengembangan sumber daya manusia, serta pengembangan infrastruktur dan

teknologi. Pengendalian penyakit katarak adalah dengan menyediakan pelayanan

operasi katarak dengan jumlah yang cukup untuk mengeliminasi backlog katarak,

Page 27: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

11

dengan biaya yang terjangkau untuk semua orang, dapat diakses dengan mudah

dan tingkat keberhasilan yang tinggi dalam hal visus outcome dan peningkatan

kualitas hidup. Kelainan refraksi dapat diatasi dengan menyediakan pelayanan

refraksi dan optik dengan hasil visus yang baik, harga yang murah, dan kualitas

yang bagus. Kebutaan pada anak dapat dieliminasi dengan program pemberian

vitamin A, pencegahan penyakit menular, menyediakan pelayanan untuk

mengobati anak dengan katarak, glaukoma, retinopati prematur, sikatriks kornea

dan sebagainya.1,13,14

Strategi pengembangan sumber daya manusia contohnya dengan melatih

petugas pelayanan kesehatan masyarakat di pelayanan kesehatan primer untuk

pencegahan, pengobatan sederhana, deteksi dini dan merujuk ke fasilitas

kesehatan mata, menambah jumlah oftalmologis minimal satu per 250.000

penduduk, menambah jumlah refraksionis dan perawat mata, serta

mengintegrasikan konsep, prinsip dan praktek oftalmologi komunitas ke dalam

program residensi dan pelatihan lainnya.1,13

Sejak diterapkannya VISION 2020, sudah ada banyak kemajuan dalam

cakupan pelayanan kesehatan mata. Namun cakupan yang universal masih jauh

untuk dicapai, karena banyak tempat yang infrastrukturnya tidak memadai dengan

tidak adanya akses, pelayanan dengan cakupan wilayah terlalu besar, dan fasilitas

yang perlu diperbaiki. Strategi ini bertujuan untuk terus meningkatkan pelayanan

dan infrastruktur kesehatan mata di tingkat distrik dengan pelayanan mata primer

yang terintegrasi ke sistem pelayanan kesehatan masyarakat dan juga memperkuat

keberadaan pusat pelayanan mata yang sudah baik.1,13

Page 28: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

12

2.1.2 Profil Provinsi Jawa Barat

Gambar 2.2. Peta provinsi Jawa Barat Dikutip dari: jabarprov.go.id

15

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50'- 7º50' Lintang

Selatan dan 104º 48'- 108º 48' Bujur Timur, dengan luas wilayah daratan

37.116,54 km2. Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur

geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan

selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Secara administratif sejak tahun

2008, kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berjumlah 27 kabupaten/kota

terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota dengan 626 kecamatan dan 5.295 desa serta

639 kelurahan.16

Page 29: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

13

Jawa Barat hingga saat ini masih merupakan daerah berpenduduk terbesar di

Indonesia dengan jumlah penduduk pada sensus penduduk tahun 2010 mencapai

43.053.732 jiwa. Penduduk Jawa Barat merupakan 18,18% dari 241.037.751

orang penduduk Indonesia. Komposisinya terdiri dari 21.907.040 laki-laki dan

21.146.692 perempuan. Pada tahun 2011, perkiraan jumlah penduduk Jawa Barat

adalah 46.497.175 jiwa.16,17

Kabupaten Bogor merupakan wilayah dengan jumlah penduduk paling

banyak yaitu 4.771.932 jiwa, diikuti kabupaten Bandung sebanyak 3.178.543

jiwa. Sedangkan wilayak dengan jumlah penduduk paling sedikit di Jawa Barat

adalah di kota Banjar yaitu 175.157 jiwa dan kota Cirebon 296.389 jiwa. Pada

tahun 2010, kepadatan penduduk Jawa Barat adalah 1.160 jiwa/km2. Dibanding

dengan provinsi lain di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi dengan

kepadatan tertinggi kedua setelah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kabupaten/kota

se-Jawa Barat dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah di kota Bandung yaitu

sebesar 14.491 jiwa/km2, disusul oleh kota Cimahi 13.371 jiwa/km

2 dan terendah

di kabupaten Ciamis 569 jiwa/km2.16,17

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, sebagian

besar penduduk Jawa Barat tinggal di daerah perkotaan yaitu 65,7%. Proporsi

penduduk urban ini merupakan urutan kelima dari seluruh provinsi di Indonesia.

Angka ini jauh lebih tinggi dari persentase penduduk perkotaan Indonesia yang

sebesar 49,8%.19

Page 30: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

14

Gambar 2.3. Piramida penduduk Jawa Barat tahun 2013 Dikutip dari: Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI

20

Struktur penduduk di Indonesia dan Jawa Barat bila dilihat dari piramida

penduduk, termasuk struktur penduduk muda. Hal ini dapat diketahui dari

banyaknya penduduk usia 0-14 tahun. Dibanding dengan lima tahun lalu, angka

kelahiran sudah menurun dan angka harapan hidup semakin meningkat. Hal ini

meningkatkan proporsi penduduk usia produktif (25-29 tahun), dan meningkatkan

jumlah penduduk usia tua yang relatif tidak produktif. Jumlah penduduk usia 50

tahun atas pada tahun 2011 adalah 6.635.638 atau sebesar 15.14% dari penduduk

Jawa Barat.20,21

2.1.2.1 Profil Sosioekonomi Jawa Barat

Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan)

di Jawa Barat pada bulan September 2013 sebesar 4.382.648 orang (9,61%).

Page 31: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

15

Dibandingkan dengan bulan Maret 2013 sebesar 4.297.038 orang (9,52%), jumlah

penduduk miskin bulan September 2013 mengalami kenaikan sebesar 85.610

orang (0,09%). Provinsi Jawa Barat menempati urutan terbesar ketiga untuk

jumlah penduduk miskin di Indonesia, namun untuk persentase penduduk miskin,

Jawa Barat (10,65%) ada di urutan ke 16 dari 33 provinsi di Indonesia. Angka ini

lebih rendah dari persentase penduduk miskin di Indonesia yang sebesar 12,49%.

Ada dua daerah di Jawa Barat yang termasuk daerah tertinggal yaitu kabupaten

Garut dan kabupaten Sukabumi.18,22

Tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat usia 15 tahun ke atas pada tahun

2011 berdasarkan pendidikan formal yang ditamatkan yaitu SD ke bawah

sebanyak 50,84%; SLTP 22,51%; SLTA ke atas 26.63%. Sebagian besar

penduduk Jawa Barat yang bekerja pada tahun 2011, memiliki lapangan pekerjaan

utama di sektor pertanian (21,06%), perdagangan (26,09%), industri (20,46%),

jasa-jasa (15,46%) dan lainnya (16,92%). Jumlah pengangguran di Jawa Barat

sebanyak 2.079. 830 orang, atau 4,83% dari seluruh penduduk Jawa Barat.18

2.1.2.2 Profil Perhubungan Jawa Barat

Perhubungan darat merupakan sarana pengangkutan utama di Jawa Barat.

Panjang jalan di Jawa Barat pada akhir tahun 2011 adalah 21.761 km. Jika dirinci

menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang 18.275.3 km atau sebesar 83,98

persen sudah beraspal, 2.552 km atau 11,73% berkerikil, sisanya sepanjang 933,7

km atau sebesar 4,29 % masih tanah dan yang tidak dirinci. Dari seluruh jalan

yang ada di Jawa Barat, hanya 7.980,2 km (36,67%) dalam kondisi baik,

Page 32: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

16

sepanjang 5.342,8 km (24,55%) dalam kondisi sedang sedangkan sisanya

sepanjang 8.438 km (38,78%) dalam kondisi rusak dan rusak berat.18

Jumlah kendaraan umum di Jawa Barat tahun 2011 terdiri dari mobil sedan

14.870 unit, mobil mini bus 68.896 unit, truk/pick up 22.161 unit, dan bus

sebanyak 16.995 unit. Terminal di seluruh Jawa Barat berjumlah 51 terminal,

yang melayani angkutan penumpang antar provinsi, angkutan penumpang dalam

provinsi, dan angkutan penumpang pedesaan dan perkotaan.18

2.1.2.3 Profil Kesehatan Jawa Barat

Jumlah puskesmas di provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 adalah 1050 buah

dengan puskesmas rawat inap sebanyak 176 dan puskesmas non rawat inap 874.

Kabupaten yang paling banyak memiliki puskesmas adalah kabupaten Bogor

dengan 101 puskesmas. Namun jumlah tersebut sangat sedikit bila dibandingkan

dengan jumlah penduduk Jawa Barat. Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk di

provinsi Jawa Barat adalah 2,31. Artinya satu puskesmas melayani sebanyak

43.307 orang penduduk. Nilai ini jauh di bawah rasio puskesmas per 100.000

penduduk Indonesia yaitu 3,94 atau satu puskesmas untuk melayani 25.730 orang.

Rasio di Jawa Barat ini adalah yang kedua terendah di Indonesia setelah provinsi

Banten.18,20

Jumlah total rumah sakit di Jawa Barat adalah 261 buah. Rumah sakit milik

pemerintah (kementrian kesehatan, pemerintah daerah provinsi, kabupaten, kota,

dan TNI/Polri) berjumlah 64 buah. Sisanya adalah rumah sakit swasta (119 buah),

rumah sakit swasta non profit (73 buah), dan rumah sakit BUMN (5 buah).

Page 33: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

17

Jumlah tempat tidur rumah sakit di Jawa Barat adalah 26.550 buah, atau dengan

rasio sebanyak 1.652 penduduk per satu tempat tidur.20

Rasio dokter umum per 100.000 penduduk di Jawa Barat adalah 32,0 pada

tahun 2013. Rasio masih di bawah rasio nasional yaitu 37,2 dokter per 100.000

penduduk. Dengan target rasio indikator Indonesia Sehat yaitu 40 dokter per

100.000 penduduk, maka saai ini 73% kabupaten dan kota di Jawa Barat belum

mencapainya. Pada tahun 2014 di Jawa Barat terdapat 164 orang dokter spesialis

mata, atau satu dokter mata per 262.523 penduduk.20,23

2.1.3 Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Nasional

Pada tahun 2005, menteri kesehatan Siti Fadilah Supari mengeluarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1473/MENKES/SK

/X/2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan

Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) untuk Mencapai Vision 2020. Dengan

menimbang bahwa tingginya angka kebutaan di Indonesia telah menjadi masalah

sosial yang perlu ditanggulangi secara terkoordinasi dengan melibatkan berbagai

sektor; dan WHO telah mencanangkan VISION 2020: The Right to Sight untuk

penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan, maka dalam rangka

penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang sejalan dengan visi

yang dicanangkan WHO, perlu ditetapkan Rencana Strategi Nasional

Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk Mencapai VISION

2020.24

Page 34: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

18

2.1.3.1 Visi, Misi dan Tujuan

2.1.3.1.1 Visi

Mata sehat 2020: Setiap penduduk Indonesia pada tahun 2020 memperoleh

kesempatan/hak untuk melihat secara optimal.24

2.1.3.1.2 Misi

1. Melakukan promosi kesehatan untuk pemberdayaan masyarakat tentang

pentingnya peran mata sehat.

2. Menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan di masyarakat

secara dini.

3. Memfasilitasi pemerataan pelayanan kesehatan indera penglihatan yang

bermutu dan terjangkau.

4. Menggalang kemitraan dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait di

dalam dan luar negeri untuk mewujudkan Mata Sehat 2020.24

2.1.3.1.3 Tujuan

Tujuan umumnya adalah meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan

guna mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas.

Tujuan khususnya yaitu:

1. Meningkatkan upaya pelayanan kesehatan indera penglihatan.

2. Tersedianya sumber dana yang memadai dari pemerintah, swasta dan

masyarakat di bidang kesehatan indera penglihatan.

Page 35: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

19

3. Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan indera penglihatan yang

bermutu dan terjangkau sampai ke tingkat kabupaten/kota.

4. Tersedianya sistem informasi dan komunikasi timbal balik terpadu

dalam upaya kesehatan indera penglihatan.

5. Meningkatnya sumber daya manusia (dokter spesialis mata, perawat

mahir mata, refraksionis optisien, tenaga elektromedik, tenaga ahli gizi)

di bidang kesehatan indera penglihatan.

6. Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan pemerintah daerah

provinsi dan kabupaten/kota untuk kesehatan indera penglihatan.

7. Meningkatnya kemampuan dan mutu lembaga penyelenggara

pendidikan tenaga kesehatan di bidang kesehatan indera penglihatan.

8. Meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya kesehatan indera

penglihatan.

9. Mantapnya manajemen PGPK mulai dari pusat, provinsi sampai ke

daerah.24

2.1.3.2 Strategi

Mengingat besarnya masalah kesehatan indera penglihatan dan menyadari

pentingnya kesehatan indera penglihatan maka perlu disusun strategi bagi

penanggulang gangguan penglihatan dan kebutaan yaitu:

1. Pendayagunaan Komite Nasional PGPK dan membentuk Komite PGPK

provinsi dan kabupaten/kota untuk menyatupadukan semua sumber daya,

Page 36: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

20

kegiatan, dana PGPK yang dilakukan oleh organisasi, kemasyarakatan/LSM,

dunia usaha, swasta dan pemerintah.

2. Meningkatkan advokasi dan komunikasi lintas sektoral/program dalam

PGPK.

3. Menggalang kemitraan PGPK.

4. Penguatan manajemen program dan infrastruktur pelayanan dalam rangka

PGPK.

5. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang telibat dalam

PGPK.

6. Mobilisasi sumber daya pemerintah, swasta, masyarakat, dan lembaga donor

dalam dan luar negeri untuk mendukung pelaksanaan kegiatan PGPK.24

Dari keenam strategi di atas, strategi ke-4 dan ke-5 berhubungan erat dengan

rencana strategi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan yang

disebabkan oleh faktor geografis.

2.1.3.2.1 Penguatan Manajemen Program dan Infrastruktur

Target :

Tertatanya organisasi dan kerjasama antar komponen dalam sistem

pelayanan kesehatan indera penglihatan di pusat, provinsi dan

kabupaten/kota. Meningkatnya kemampuan manajerial semua

komponen yang terlibat dalam PGPK di pusat, provinsi dan

kabupaten/kota.

Page 37: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

21

Kesiapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan indera

penglihatan di provinsi dan kabupaten/kota meliputi SDM, peralatan,

standar pelayanan, sistem pencatatan dan pelaporan, pendanaan

sesuai dengan tingkat pelayanan.

Setiap dokter spesialis mata di rumah sakit kabupaten/kota dan Balai

Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM), membina dan

mengembangkan kemampuan/keterampilan tentang kesehatan indera

penglihatan terhadap dokter dan perawat Puskesmas.

2.1.3.2.2 Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya Manusia

Target :

Terinventarisasinya kuantitas dan distribusi ketenagaan dokter

spesialis mata, dokter umum terlatih, perawat mahir mata,

refraksionis optisienm teknisi peralatan mata, ahli gizi, elektromedik,

dan tenaga penyuluh kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan di

provinsi dan kabupaten/kota.

Terpenuhinya kebutuhan SDM kesehatan pada sarana pelayanan :

a. Seluruh rumah sakit dan BKMM mempunyai ketenagaan

spesialis di provinsi dan kabupaten/kota.

b. Setiap dokter spesialis mata di rumah sakit provinsi,

kabupaten/kota dan BKMM didampingi oleh minimal dua

perawat mahir mata.

Page 38: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

22

c. Seluruh rumah sakit dan dinas kesehatan di provinsi dan

kabupaten/kota mempunyai ahli gizi.

d. Seluruh rumah sakit provinsi, kabupaten/kota dan BKMM

mempunyai tenaga elektromedik.

e. Semua tenaga pendukung termasuk penyuluh kesehatan

masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota telah mendapt

ketrampilan penyuluhan dan deteksi dini di bidang indera

penglihatan.

f. Setiap optikal telah mempunyai minimal satu tenaga Diploma III

refraksionis optisien di provinsi dan kabupaten/kota.

g. Selutuh Akademi Refraksionis Optisien (ARO) yang telah ada

terakreditasi “B”.

Tersedianya model pemerataan tenaga kesehatan di setiap provinsi

dan kabupaten/kota melalui jejaring kerja PGPK.

Tersedianya model pemerataan tenaga kesehatan di setiap provinsi

dan kabupaten/kota melalui jejaring kerja PGPK.

2.1.4 Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)

Survei kebutaan konvensional biasanya lama, mahal dan rumit, memerlukan

bantuan dari epidemiologis atau ahli statistik untuk pelaporannya. Karena

kesulitan tersebut, maka banyak negara yang melakukan survei kubutaan tidak

mampu mengulangi survei lagi setelah 8-10 tahun untuk mengevaluasi dampak

dari program intervensi. Untuk itulah diperlukan metodologi yang lebih murah

Page 39: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

23

dan lebih cepat. Rapid Assessment of Avoidable Blindness adalah survei gangguan

penglihatan dan kebutaan yang berbasis populasi. Survei ini memberi informasi

yang penting untuk menyusun rencana pelayanan kesehatan mata, mengawasi dan

untuk evaluasi keberhasilan. RAAB dibuat berdasarkan metodologi epidemiologis

yang terstandar.25

Hal yang membuat RAAB disebut metodologi cepat ada empat alasan. Yang

pertama karena pemeriksaan hanya pada penduduk usia 50 tahun ke atas dimana

82-85% kebutaan ada di kelompok usia ini, sehingga prevalensinya jauh lebih

tinggi dari populasi umum. Artinya, ukuran sampel yang diperlukan jauh lebih

kecil, hanya sepertiga hingga seperenam dari survey yang mencakup seluruh

kelompok umur. Survei RAAB dengan sampel 2.500 hingga 5.000 orang cukup

untuk memperkirakan secara akurat prevalensi kebutaan dan gangguan

penglihatan.25

Alasan kedua adalah pemeriksaan dalam RAAB menggunakan peralatan

yang sederhana. Penilaian visus relatif cepat dengan menggunakan tumbling E

dari kartu Snellen yang disederhanakan. Pemeriksaan mata dilaksanakan dengan

senter dan oftalmoskop direk saja, atau tekadang dengan handheld slitlamp.

Alasan ketiga yaitu RAAB memiliki aplikasi piranti lunak untuk seluruh proses

mulai dari perhitungan ukuran sampel, randomisasi, memasukkan data dan

analisis data. Alasan terakhir yaitu seluruh proses RAAB bisa dikerjakan oleh

tenaga lokal sehingga jumlah pelaksana survei banyak dan cepat selesai.25

Page 40: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

24

Gambar 2.4. Lembar pencatatan survei RAAB 6

25

A. INFORMASI UMUM Bulan - tahun: -

Area survei: Jawa Barat 0 1 Kluster: No.individu:

Nama: ……………………………………. Jenis kelamin: Laki2: O (1) Usia (tahun):

Perempuan: O (2)

Status pemeriksaan:

Diperiksa: O (1) (lanjut ke B) Menolak: O (3) (lanjut ke E)

Tidak hadir: O (2) (lanjut ke E) Tidak dapat berkomunikasi: O (4) (lanjut ke E)

Selalu ditanyakan: "Apakah anda pernah mempunyai masalah dengan mata anda?" Ya: O (1) Tidak: O (2)

B. TAJAM PENGLIHATAN C. PEMERIKSAAN LENSA Mata kanan Mata kiri

Tidak: O (1) Ya: O (2) Normal/kekeruhan minimal: O (1) O (1)

Tidak: O (1) Ya: O (2) Kekeruhan lensa signifikan: O (2) O (2)

Afakia: O (3) O (3)

Tajam Penglihatan Awal Mata kanan Mata kiri Pseudofakia tanpa PCO: O (4) O (4)

Melihat 6/12 O (1) O (1) Pseudofakia dengan PCO: O (5) O (5)

Tidak dapat melihat 6/12 Lensa tidak terlihat: O (6) O (6)

tetapi dapat melihat 6/18 O (2) O (2)

Tidak dapat melihat 6/18 D. PENYEBAB TAJAM PENGLIHATAN <6/12 tetapi dapat melihat 6/60 O (3) O (3) (tandai hanya satu sebab utama utk masing2 mata)

Tidak dapat melihat 6/60 Mata kanan Mata kiri

tetapi dapat melihat 3/60 O (4) O (4) Kelainain refraksi: O (1) O (1)

Tidak dapat melihat 3/60 Afakia, tidak terkoreksi: O (2) O (2)

tetapi dapat melihat 1/60 O (5) O (5) Katarak, tidak ditangani: O (3) O (3) O (3) (F)

Persepsi cahaya (PC+) O (6) O (6) Komplikasi bedah katarak: O (4) O (4)

Tidak ada persepsi cahaya (PC-) O (7) O (7) Kekeruhan kornea akibat trakom: O (5) O (5)

Kekeruhan kornea lainnya: O (6) O (6)

Pinhole Mata kanan Mata kiri Ptisis: O (7) O (7)

Melihat 6/12 O (1) O (1) Pterigium: O (8) O (8)

Tidak dapat melihat 6/12 Glaukoma: O (9) O (9)

tetapi dapat melihat 6/18 O (2) O (2) Retinopati diabetikum: O (10) O (10)

Tidak dapat melihat 6/18 ARMD: O (11) O (11)

tetapi dapat melihat 6/60 O (3) O (3) Kelainan segmen posterior: O (12) O (12)

Tidak dapat melihat 6/60 Kelainan bola mata/syaraf pusat: O (13) O (13)

tetapi dapat melihat 3/60 O (4) O (4) Tidak diperiksa, melihat 6/12: O (14) O (14)

Tidak dapat melihat 3/60

tetapi dapat melihat 1/60 O (5) O (5) G. KETERANGAN MENGENAI OPERASI KATARAKPersepsi cahaya (PC+) O (6) O (6) Mata kanan Mata kiri

Tidak ada persepsi cahaya (PC-) O (7) O (7) Usia saat operasi (tahun)

Tempat operasi

E. RIWAYAT PENYAKIT, JIKA TIDAK DIPERIKSA Rumah sakit pemerintah O (1) O (1)

(dari saudara atau tetangga) RS voluntir / charitable O (2) O (2)

Diyakini Mata kanan Mata kiri RS swasta O (3) O (3)

Tidak buta O (1) O (1) Bakti sosial O (4) O (4)

Buta karena katarak O (2) O (2) Tradisional O (5) O (5)

Buta karena penyebab lain O (3) O (3) Jenis operasi

Sudah operasi katarak O (4) O (4) Tanpa LIO O (1) O (1)

Implantasi LIO O (2) O (2)

F. MENGAPA OPERASI KATARAK BELUM Couching O (3) O (3)

DILAKUKAN (Tandai maks. 2 hal, jika VA<6/18, tdk Biaya operasi

membaik dengan pinhole, visus terganggu akibat Gratis O (1) O (1)

kekeruhan lensa pd satu atau kedua mata) Sebagian gratis O (2) O (2)

Membayar seluruhnya O (3) O (3)

Merasa tidak diperlukan O (1) Penyebab tajam penglihatan <6/12 setelah operasi

Takut hasil operasi jelek O (2) Kondisi komorbid mata O (1) O (1)

Tidak mampu membayar operasi O (3) Komplikasi operasi O (2) O (2)

Penanganan ditolak penyedia O (4) Kelainan refraksi O (3) O (3)

Tidak mengetahui bahwa bisa dioperasi O (5) Komplikasi jangka panjang O (4) O (4)

Tidak ada akses kepada pengobatan O (6) Tidak dinilai - dapat melihat 6/12 O (5) O (5)

Alasan budaya atau agama O (7)

O (12)

O (13)

O (14)

PEMERIKSAAN CEPAT UNTUK KEBUTAAN YANG DAPAT DICEGAH

Jika sedang tidak ada (kapan ada / nomor telp / alamat)

O (5)

O (6)

O (7)

O (8)

O (9)

O (10)

Penyebab

utama

orangO (1)

O (2)

O (4)

O (11)

Menggunakan kacamata:

Menggunakan kacamata baca:

Page 41: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

25

2.2 Kerangka Pemikiran

Pengendalian jumlah gangguan penglihatan dan kebutaan di Jawa Barat telah

dilakukan melalui program PGPK. Hal yang menjadi titik fokus program PGPK

adalah peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) serta

pengembangan infrastruktur. Kedua titik fokus program ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti demografis, geografis, pendidikan, sosial dan

ekonomi.8,14,18,24

Faktor ekonomi, budaya dan jenis kelamin berhubungan erat dengan tingkat

pendidikan. Sebagian besar penduduk Jawa Barat memiliki tingkat pendidikan

yang rendah, maka hal ini sangat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber

daya manusia. Pengembangan infrastruktur untuk menambah jumlah fasilitas

kesehatan atau mempermudah akses transportasi, banyak dipengaruhi oleh faktor

geografis seperti luas wilayah yang besar dan kondisi geografis yang sulit serta

sarana transportasi yang terbatas. Fasilitas pelayanan kesehatan mata yang dapat

menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan adalah yang memiliki tenaga

kesehatan dan peralatan untuk pemeriksaan spesialis mata dan tindakan operasi

katarak. Fasilitas tersebut biasanya terdapat di dekat pusat pemerintahan

kabupaten/kotamadya, sehingga jaraknya bisa cukup jauh dari desa yang

terpencil.1,2,8,14,18,24

Berbagai faktor yang menghambat peningkatan sumber daya manusia di atas,

berpengaruh juga pada jumlah tenaga kesehatan di Jawa Barat termasuk tenaga

pelayanan kesehatan mata mulai dari dokter spesialis mata, dokter umum terlatih,

perawat mahir mata, refraksionis, teknisi peralatan mata, ahli gizi dan tenaga

Page 42: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

26

penyuluh kesehatan. Jumlah dokter mata di Jawa Barat saat ini masih belum

mencapai rasio ideal yang ditargetkan oleh WHO dalam VISION 2020.

Infrastuktur yang masih terbatas dapat menyebabkan jarak tempuh ke pelayanan

kesehatan mata yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan perjalanan yang

melelahkan, waktu yang lebih lama di perjalanan, dan biaya transportasi yang

lebih besar sehingga menurunkan motivasi pasien untuk pergi ke pelayanan

kesehatan mata.1,10,11,12,13,24

Pertimbangan faktor sosioekonomi, kesadaran masyarakat tentang kesehatan

yang rendah dan sulitnya akses ke pelayanan kesehatan juga akan menurunkan

motivasi pasien dengan gangguan penglihatan untuk mencari pelayanan kesehatan

mata. Keadaan ini akan menghambat pencapaian program PGPK sehingga

menambah jumlah gangguan penglihatan dan kebutaan di Jawa Barat.1,8,13,14,24

Page 43: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

27

Gambar 2.5. Bagan alur kerangka pemikiran

2.3 Premis dan Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas dapat ditarik

premis sebagai berikut:

Page 44: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

28

2.3.1 Premis

Premis 1: Jarak tempuh ke pelayanan kesehatan mata dipengaruhi oleh luas

wilayah, kondisi geografis daerah tersebut, dan fasilitas

transportasi yang tersedia.1,13,14,24

Premis 2: Keterbatasan akibat faktor geografis menyebabkan sulitnya

pengembangan infrastruktur dan fasilitas transportasi sehingga

jarak tempuh menuju ke pelayanan kesehatan mata menjadi lebih

jauh.1,8,11,14

Premis 3: Jarak tempuh yang jauh memerlukan waktu tempuh yang lebih

lama dan biaya yang lebih besar, sehingga menurunkan motivasi

pasien untuk pergi ke pelayanan kesehatan mata.8,10,11

Premis 4: Keterbatasan akibat faktor pendidikan, sosioekonomi, budaya dan

demografis menyebabkan rendahnya kemampuan dan motivasi

pasien untuk mencari pelayanan kesehatan mata.1,8,9,10,11,12

Premis 5: Penurunan motivasi ini akan meningkatkan jumlah pasien dengan

gangguan penglihatan di daerah tersebut.1,8,9,11

2.3.2 Hipotesis

Terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke tempat pelayanan kesehatan

mata dengan proporsi gangguan penglihatan.(premis 1-5)

Page 45: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

29

BAB III

OBJEK, BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek dan Sampel Penelitian

3.1.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah rumah sakit pelayanan kesehatan mata dan 60

desa/kelurahan (klaster) yang termasuk dalam survei RAAB Jawa Barat tahun

2014. Desa dan kelurahan tersebut tersebar di 18 kabupaten dan 6 kotamadya di

Jawa Barat.

3.1.2 Perhitungan Sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus penentuan

besar sampel untuk penelitian analitis korelatif kategorik numerik dua kelompok

tidak berpasangan sebagai berikut:

[

( ) ( )]

Zα = deviat baku alfa

Zβ = deviat baku beta

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,4)

Perhitungan rumus di atas kesalahan tipe 1 ditetapkan sebesar 5% (tingkat

kepercayaan 95%), hipotesisnya satu arah sehingga Zα = 1,645. Kesalahan tipe 2

Page 46: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

30

ditetapkan sebesar 10% (power test 90%), maka didapat nilai Zβ = 1,282.

Berdasarkan rumus besar sampel diperoleh hasil sebagai berikut:

[

( ) ( )]

n = 50,88 ≈ 51

Dengan demikian jumlah sampel minimal yang dibutuhkan paling sedikit

adalah sebesar 51 sampel.

Penelitian ini menginduk pada survei RAAB Jawa Barat tahun 2014.

Perhitungan jumlah klaster dan pemilihan klaster pada survei RAAB ini

menggunakan aplikasi komputer Rapid Assessment of Avoidable Blindness

Version 6 yang berstandar internasional. Dari hasil perhitungan aplikasi ini,

jumlah klaster untuk survei RAAB Jawa Barat tahun 2014 adalah sebanyak 60

klaster sehingga lebih dari jumlah sampel minimal yaitu 51. Pemilihan klaster

dilakukan secara acak dari daftar seluruh desa/kelurahan di Jawa Barat dengan

metode multistage cluster sampling. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh

desa dan kelurahan yang merupakan klaster tempat dilaksanakannya survei

RAAB Jawa Barat tahun 2014.26

3.1.3 Kriteria Inklusi

Semua desa/kelurahan yang terpilih sebagai klaster survei RAAB Jawa Barat

2014 diinklusi dalam penelitian ini. Kriteria inklusi untuk rumah sakit tempat

pelayanan mata yaitu:

Page 47: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

31

1. Rumah sakit milik pemerintah (pemerintah daerah Jawa Barat, pemerintah

pusat, Balai Kesehatan Mata Masyarakat, BUMN, TNI, dan Polri) di

provinsi Jawa Barat.

2. Merupakan rujukan tingkat sekunder (rumah sakit tipe B, C dan D).

3. Memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan untuk pelayanan kesehatan mata

dan tindakan operasi katarak.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah studi observasional analitik dengan metode

cross-sectional.

3.2.2 Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel bebas: jarak tempuh dari klaster ke pelayanan kesehatan mata

terdekat.

2. Variabel tergantung: proporsi mata dengan gangguan penglihatan dan

proporsi orang dengan gangguan penglihatan.

3. Variabel perancu: karakteristik penduduk (penghasilan dan pendidikan),

ketersediaan jalan dengan kondisi baik, dan jenis moda transportasi yang

tidak homogen di setiap klaster serta menjadi faktor lain yang cukup

berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah gangguan penglihatan.

Page 48: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

32

3.2.3 Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Desa/kelurahan adalah unit pemerintahan tingkat terendah, tempat dimana

klaster survei RAAB berada.

2. Klaster adalah sekelompok orang yang tinggal berdekatan. Satu klaster

dalam RAAB berisi 50 orang penduduk berusia di atas 50 tahun.

3. Fasilitas pelayanan kesehatan mata yang dimaksud adalah seluruh rumah

sakit yang memenuhi kriteria inklusi.

4. Jarak tempuh yang dimaksud adalah jauhnya perjalanan darat diukur dari

kantor desa/kelurahan hingga ke pelayanan kesehatan mata terdekat yang

dicatat dalam satuan kilometer dengan satu angka desimal.

5. Kriteria gangguan penglihatan yang digunakan adalah tajam penglihatan

<6/12 dengan koreksi yang tersedia, akumulasi dari gangguan penglihatan

ringan, gangguan penglihatan sedang, gangguan penglihatan berat dan

kebutaan. Pengukuran dilakukan dengan tumbling-E pada jarak 6 meter.

6. Proporsi mata dengan gangguan penglihatan adalah persentase jumlah

mata yang termasuk dalam kriteria gangguan penglihatan dibagi jumlah

seluruh mata yang diperiksa dalam satu klaster.

7. Proporsi orang dengan gangguan penglihatan adalah persentase jumlah

orang yang tajam penglihatan pada mata terbaiknya termasuk dalam

kriteria gangguan penglihatan dibagi jumlah seluruh orang yang diperiksa

dalam satu klaster.

Page 49: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

33

3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.4.1 Persiapan Pra Penelitian

Penelitian ini dapat dimulai setelah survei RAAB Jawa Barat tahun 2014

selesai dilaksanakan. Persiapan penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data

mengenai seluruh nama desa/kelurahan sebanyak 60 klaster yang menjadi tempat

survei penelitian RAAB. Hasil survei RAAB yang diambil untuk penelitian ini

adalah jumlah gangguan penglihatan di tiap-tiap klaster. Data dan hasil survei

tersebut diperoleh dari bagian Oftalmologi Komunitas Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung.

3.2.4.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan, alat dan piranti lunak yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Data nama dan alamat desa/kelurahan survei RAAB Jawa Barat 2014

2. Data sekunder berupa hasil survei RAAB Jawa Barat 2014

3. Daftar alamat dan nomor telepon seluruh rumah sakit di Jawa Barat

4. Peta Jawa Barat

5. Komputer

6. Aplikasi Google Maps

7. Aplikasi RAAB version 6 for Windows

8. Aplikasi SPSS Statistics version 20

Page 50: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

34

3.2.4.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini yaitu:

1. Mencari informasi alamat seluruh rumah sakit milik pemerintah di Jawa

Barat disertai nomor telepon yang bisa dihubungi.

2. Menghubungi rumah sakit tersebut untuk memperoleh informasi

mengenai ada tidaknya pelayanan dokter spesialis mata dan fasilitas

untuk operasi katarak.

3. Semua rumah sakit yang memenuhi kriteria inklusi ditandai lokasinya di

peta Jawa Barat.

4. Mencari informasi mengenai karakteristik dan peta wilayah desa/

kelurahan yang menjadi lokasi survei RAAB.

5. Dilakukan pengukuran jarak menggunakan aplikasi Google Maps dengan

titik awal di kantor desa/kelurahan dan titik akhir di rumah sakit terdekat

oleh seorang teknisi/ahli komputer dari instalasi Teknologi Informasi

Rumah Sakit Mata Cicendo menggunakan satu buah komputer.

6. Mengambil data sekunder dari hasil survei RAAB Jawa Barat tahun 2014

berupa proporsi mata dengan gangguan penglihatan dan proporsi orang

dengan gangguan penglihatan di masing-masing klaster.

7. Proporsi gangguan penglihatan di masing-masing klaster tersebut

disandingkan dengan jarak tempuhnya ke rumah sakit terdekat.

8. Dilakukan analisis data untuk mencari korelasinya

Page 51: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

35

3.2.5 Rancangan Analisis

Data hasil penelitian ini dianalisis menggunakan program SPSS Statistics

version 20 untuk mendapatkan korelasi bivariat antara jarak tempuh terhadap

proporsi mata dengan gangguan penglihatan dan proporsi orang dengan gangguan

penglihatan di setiap klaster. Data dianalisis secara statistik menggunakan korelasi

Pearson (r) bila data berdistribusi normal dan korelasi Spearman (ρ) bila data

berdistribusi tidak normal. Normalitas data ditentukan dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov (z). Kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p < 0,05.

Kriteria kekuatan korelasi adalah sangat kuat ≥ 0,70; kuat 0,5 - 0,69; sedang 0,3 -

0,49 dan lemah 0,1 - 0,29. Untuk mempermudah visualisai data, gambaran

korelasi tersebut disajikan dalam grafik scatter plot, kemudian dibuat rumus

persamaan regresi linearnya.

3.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dan di

daerah cakupan RAAB Jawa Barat.

Survei RAAB dilaksanakan dari bulan Maret hingga Oktober 2014 dan

penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014.

3.3 Aspek Etik Penelitian

Aspek etik pada penelitian ini sesuai dengan survei RAAB di Jawa Barat

tahun 2014. Tidak ada pemeriksaan tambahan yang dilakukan terhadap subjek

penelitian survei RAAB Jawa Barat tahun 2014.

Page 52: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

36

3.4 Skema Alur Penelitian

Page 53: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness di provinsi Jawa

Barat dilaksanakan pada Maret hingga Oktober 2014, sedangkan penelitian

mengenai korelasi antara jarak tempuh ke pelayanan kesehatan mata dengan

proporsi gangguan penglihatan ini dilakukan pada Desember 2014.

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang akan disajikan meliputi karakteristik objek penelitian,

korelasi jarak tempuh terhadap proporsi mata dengan gangguan penglihatan dan

korelasi jarak tempuh terhadap proporsi orang dengan gangguan penglihatan.

4.1.1 Karakteristik Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini terdiri dari klaster (desa/kelurahan) dan rumah

sakit tempat pelayanan kesehatan mata. Jumlah objek dalam penelitian ini adalah

60 klaster dan 44 rumah sakit. Setelah dilakukan pengukuran jarak tempuh

klaster ke rumah sakit terdekat, diperoleh klaster dengan jarak tempuh terdekat

adalah kelurahan Kuningan, kabupaten Kuningan yaitu 1,3 km dari RSUD

Kuningan. Sedangkan klaster dengan jarak tempuh yang terjauh adalah desa

Gelarpawitan, Kabupaten Cianjur yaitu 100 km dari RSUD Soreang.

Normalitas data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji

Kolmogorov-Smirnov diperoleh bahwa data jarak tempuh ke rumah sakit terdekat

Page 54: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

38

(z = 0,201; p < 0,001) tidak berdistribusi normal, maka nilai yang digunakan

adalah median. Nilai median jarak tempuh dari klaster ke rumah sakit adalah

15,85 km. Karakteristik dari klaster penelitian dijabarkan seperti pada tabel 4.1

kedalam dua grup yang dibagi berdasarkan nilai median jarak tempuhnya.

Tabel 4.1 Karakteristik klaster berdasarkan jarak tempuh

Karakteristik klaster

Jarak tempuh

< median

N (%)

Jarak tempuh

> median

N (%)

Jumlah

(%) Nilai p

Tipe kepadatan klaster 1,000a

Rural (<5000 jiwa/km2) 21 (70,0) 21 (70,0) 42 (70,0)

Urban (>5000 jiwa/km2) 9 (30,0) 9 (30,0) 18 (30,0)

Pendidikan terakhir terbanyak 0,227b

SD

SLTP

SLTA

15 (50,0)

1 (3,3)

14 (46,7)

21 (70,0)

1 (3,3)

8 (26,7)

36 (60,0)

2 (6,7)

22 (36,7)

Mata pencaharian utama 0,322a

Jasa dan perdagangan 10 (33,3) 8 (26,7) 15 (25,0)

Industri dan kerajinan 7 (23,3) 5 (16,7) 15 (25,0)

Pertanian dan perikanan 13 (43,3) 17 (56,7) 30 (50,0)

Pendapatan asli desa/kelurahan 0,194a

< Rp 100.000.000 14 (46,7) 19 (63,3) 33 (55,0)

≥ Rp 100.000.000 16 (53,3) 11 (36,7) 27 (45,0)

Klasifikasi tingkat perkembangan 0,347a

Swadaya 22 (73,3) 25 (83,3) 47 (78,3)

Swakarya atau Swasembada 8 (26,7) 5 (16,7) 13 (21,7)

Puskesmas/puskesmas pembantu 1,000a

Ada 12 (40,0) 12 (40,0) 24 (40,0)

Tidak ada 18 (60,0) 18 (60,0) 36 (60,0)

Kondisi jalan secara umum 0,488a

Baik

Kurang baik

26 (86,7)

4 (13,3)

24 (80,0)

6 (20,0)

50 (83,3)

10 (16,7)

Transportasi kendaraan umum 0,739a

Tersedia/dilewati

Tidak dilewati

25 (83,3)

5 (16,7)

24 (80,0)

6 (20,0)

49 (81,7)

11 (18,3)

Proporsi gangguan penglihatan (rerata)

Gangguan penglihatan mata 23,63 34,44 29,03 <0,001*c

Gangguan penglihatan orang 15,95 26,46 21,22 <0,001*c

Keterangan: a = berdasarkan Chi Square Test,

b = Fisher’s exact test,

c = Independent sample t-test,

* = signifikan secara statistik

Dari 60 klaster dalam penelitian ini, sebagian besar klaster tersebut ada di

wilayah kabupaten yaitu 47 klaster (78,3%), dan yang terbanyak merupakan

klaster di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 5 desa dan 2 kelurahan. Ada tiga

Page 55: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

39

kotamadya di Jawa Barat yang klasternya tidak termasuk dalam penelitian ini

yaitu Kotamadya Sukabumi, Kotamadya Banjar dan Kotamadya Cimahi.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil uji statistik Chi Square Test dan Fisher’s

exact test dengan derajat kepercayaan 95% membuktikan bahwa secara statistik

tidak terdapat perbedaan bermakna (p > 0,05) antar kedua grup klaster

berdasarkan jarak tempuh yang berpatokan pada median dari hasil penelitian ini.

Sedangkan untuk hasil uji t-test proporsi gangguan penglihatan mata maupun

orang, diperoleh perbedaan nilai rerata yang signifikan secara statistik (p < 0,05)

antar kedua grup sehingga perlu dicari nilai koefisien korelasinya.

Rumah sakit milik pemerintah di provinsi Jawa Barat yang disurvei adalah 62

rumah sakit, dan yang memenuhi kriteria inklusi sebagai tempat pelayanan

kesehatan mata dalam penelitian ini adalah 44 rumah sakit (71%) dengan

karakteristik pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Karakteristik rumah sakit

Karakteristik Jumlah

(N=44) %

Tipe rumah sakit

Tipe B/II 25 56,8

Tipe C/III 16 36,4

Tipe D/IV 3 6,8

Status rumah sakit

RS umum daerah (RSUD) 32 72,3

Non RSUD 12 27,7

Jumlah dokter mata

1 orang

2 orang

≥ 3 orang

17

17

10

38,6

38,6

22,7

Jumlah klaster terdekat*

0 klaster

1 klaster

2 klaster

3 klaster

4 klaster

10

18

10

2

4

22,7

40,9

22,7

4,5

9,1

* = frekuensi rumah sakit menjadi pelayanan kesehatan mata terdekat dalam penelitian ini

Page 56: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

40

Rumah sakit di Jawa Barat terutama rumah sakit umum daerah terdapat

minimal satu buah untuk setiap kabupaten/kotamadya, kecuali Kabupaten

Pangandaran yang belum memiliki RSUD karena baru terbentuk tahun 2012,

pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Ada dua kabupaten dengan RSUD yang

belum tersedia fasilitas untuk operasi katarak yaitu RSUD Cililin di Kabupaten

Bandung Barat dan RSUD di Kabupaten Tasikmalaya. Untuk mendapatkan

pelayanan operasi katarak, pasien dirujuk ke RSUD di kota/kabupaten Bandung

dan RSUD Kota Tasikmalaya. Rumah sakit yang menjadi tempat pelayanan

kesehatan mata yang paling dekat dengan klaster penelitian tersering (empat

klaster) adalah RSUD Soreang, RSUD Kota Tasikmalaya, RSUD Kota Bekasi dan

RSUD Kabupaten Bekasi. Hanya ada 6 klaster penelitian (10%) yang rumah sakit

terdekatnya bukan merupakan RSUD.

Klaster dengan proporsi mata dengan gangguan penglihatan terendah adalah

desa Padasuka, Kabupaten Garut (10,20%) yang berjarak 10,1 km dari RSUD dr.

Slamet Kabupaten Garut, dan yang tertinggi adalah adalah desa Gembor di

Kabupaten Subang (56,25%) yang berjarak 22,1 km dari RSUD Subang. Proporsi

orang dengan gangguan penglihatan terendah ada di desa Sanja, Kabupaten Bogor

(4,35%) yang berjarak 5,8 km dari RSUD Cibinong, dan yang tertinggi ada di

desa Margacinta, Kabupaten Pangandaran (56,00%) yang berjarak 53,8 km dari

RSUD Banjar.

Uji normalitas untuk data proporsi mata dengan gangguan penglihatan (z =

0,095; p = 0,200) dan proporsi orang dengan gangguan penglihatan (z = 0,098; p

= 0,200) berdistribusi normal. Karena data kedua variabel tergantung dalam

Page 57: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

41

penelitian ini berdistribusi normal, maka untuk menguji korelasinya digunakan uji

koefisien korelasi Pearson yang merupakan pilihan untuk statistik parametrik.

4.1.2 Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi

Mata dengan Gangguan Penglihatan

Uji korelasi Pearson antara jarak tempuh ke rumah sakit terdekat terhadap

proporsi mata dengan gangguan penglihatan didapatkan koefisien korelasi r =

0,323 dengan nilai p = 0,006. Hasil ini menunjukkan adanya korelasi positif yang

secara statistik bermakna dengan kekuatan korelasi sedang. Gambaran korelasi ini

dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik scatter plot korelasi jarak tempuh ke rumah sakit terhadap

proporsi mata dengan gangguan penglihatan

(km)

(%)

Page 58: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

42

Dari grafik scatter plot pada gambar 4.1, terlihat adanya korelasi positif

antara jauhnya jarak tempuh ke rumah sakit terhadap besarnya proporsi mata

dengan gangguan penglihatan. Rumus persamaan regresi linear untuk dua variabel

ini adalah y = 0,19x + 25,42.

4.1.3 Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit terhadap Proporsi

Orang dengan Gangguan Penglihatan

Uji korelasi Pearson antara jarak tempuh ke rumah sakit terdekat terhadap

proporsi orang dengan gangguan penglihatan didapatkan koefisien korelasi yang

sedikit lebih tinggi yaitu r = 0,418 dengan nilai p < 0,001. Hasil ini menunjukkan

adanya korelasi positif yang secara statistik bermakna dengan kekuatan korelasi

sedang. Gambaran korelasi ini dapat dilihat pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Grafik scatter plot korelasi jarak tempuh ke rumah sakit terhadap

proporsi orang dengan gangguan penglihatan

(km)

(%)

Page 59: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

43

Dari grafik scatter plot pada gambar 4.2, terlihat adanya korelasi positif

antara jauhnya jarak tempuh ke rumah sakit terhadap besarnya proporsi orang

dengan gangguan penglihatan. Rumus persamaan regresi linear untuk dua variabel

ini adalah y = 0,26x + 16,24.

4.2 Uji Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat korelasi positif antara jarak

tempuh ke tempat pelayanan kesehatan mata dengan proporsi gangguan

penglihatan.

Hasil yang mendukung:

Hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi Pearson pada derajat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa secara statistik terdapat korelasi positif

bermakna antara jarak tempuh dari klaster ke rumah sakit terhadap proporsi mata

dengan gangguan penglihatan (p = 0,006) maupun terhadap proporsi orang

dengan gangguan penglihatan (p < 0,001). Kekuatan korelasi antara jarak dengan

proporsi tersebut tergolong berkekuatan sedang (r = 0,323 dan r = 0,418). Dari

gambaran grafik scatter plot dan garis regresi linearnya, terlihat bahwa semakin

jauh jarak ke rumah sakit berhubungan dengan semakin tingginya proporsi

gangguan penglihatan.

Kesimpulan :

Hipotesis penelitian diterima.

Page 60: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

44

4.3 Pembahasan

Angka gangguan penglihatan di Jawa Barat masih tinggi. Hasil survei RAAB

Jawa Barat tahun 2014 terhadap penduduk usia 50 tahun ke atas, diperoleh

prevalensi gangguan penglihatan dengan tajam penglihatan < 6/12 adalah 18,6%

dan prevalensi gangguan penglihatan untuk tajam penglihatan < 6/18 adalah

11,2%. Sebagian besar penyebab gangguan penglihatan tersebut adalah katarak

(44,8%) dan kelainan refraksi (41,8%) yang seharusnya dapat ditangani di

pelayanan kesehatan tingkat sekunder.26

Penelitian oleh Sirlan dkk terhadap

penduduk Jawa Barat usia 40 tahun ke atas untuk tajam penglihatan < 6/18 adalah

18,4%, dengan penyebab utamanya adalah kelainan refraksi (58%).4 Hasil

Riskesdas 2007, prevalensi gangguan penglihatan penduduk usia 6 tahun ke atas

di Jawa Barat dengan tajam penglihatan < 6/18 adalah 5,7% atau setara dengan

prevalensi secara nasional.3

Bila dibandingkan hasil survei RAAB di negara lain prevalensi gangguan

penglihatan di Jawa Barat (18,6%) tergolong tinggi. Hasil survei RAAB di Kenya

tahun 2007, di Meksiko tahun 2012, di Malawi tahun 2010, di Thailand tahun

2013, di Moldova tahun 2012, di Kamboja tahun 2012, di Zanzibar tahun 2007,

prevalensi gangguan penglihatannya berturut-turut adalah 9,3%; 10,6%; 11,3%;

14,5%; 17,4%; 19,0%; 20,9%.27-33

Prevalensi yang cukup tinggi tinggi di Jawa

Barat ini karena RAAB Jawa Barat pada tahun 2014 ini adalah yang pertama

menggunakan metode RAAB 6 yang memasukkan tajam penglihatan < 6/12

sebagai gangguan penglihatan.25

Page 61: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

45

Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi gangguan

penglihatan dan kebutaan di suatu daerah salah satunya adalah faktor geografis

yaitu jarak yang harus ditempuh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

mata. Untuk mencari hubungan faktor jarak tempuh tersebut, pada penelitian ini

dilakukan dengan mencari nilai korelasinya terhadap proporsi gangguan

penglihatan dengan hasil didapatkan adanya korelasi positif yang mengkonfirmasi

bahwa jarak tempuh merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

tingginya kasus gangguan penglihatan di suatu daerah, meskipun bukan korelasi

yang bersifat kuat. Jarak tempuh tersebut lebih kuat korelasinya terhadap proporsi

orang dengan gangguan penglihatan dibanding proporsi mata dengan gangguan

penglihatan.1,2,7,8

Kesimpulan ini dapat dikonfirmasi dari data penelitian ini, dimana klaster

dengan proporsi orang yang kedua matanya mengalami gangguan penglihatan

tertinggi ada di Kabupaten Pangandaran yang harus menempuh 53,8 km untuk

mencapai RSUD Kotamadya Banjar. Namun demikian, proporsi mata dengan

gangguan penglihatan tertinggi ada di desa Gembor yang berjarak 22,1 km (jarak

rerata = 18,91 km) dari RSUD Subang, sehingga perlu dilakukan penelusuran

lebih lanjut mengenai penyebab utama tingginya gangguan penglihatan di daerah

tersebut.

Belum ada penelitian sebelumnya di bidang oftalmologi yang secara spesifik

meneliti hubungan antara jarak tempuh maupun faktor geografis lain terhadap

prevalensi gangguan penglihatan maupun prevalensi penyakit mata sehingga

penulis tidak dapat membandingkan hasil dari penelitian ini dengan penelitian

Page 62: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

46

lain. Penelitian RAAB di berbagai negara didapatkan persentase alasan mengapa

belum operasi katarak karena akses ke pelayanan kesehatan yang sulit sangat

bervariasi, dari 1,4% di Kamboja hingga 22% di Meksiko, namun tidak dijelaskan

lebih lanjut mengenai keadaan geografis di masing-masing negara tersebut.27-34

Di

Jawa Barat sendiri dari hasil RAAB tahun 2014, besarnya alasan akses pelayanan

kesehatan yang sulit ini adalah 10,1%.26

Belum ada kesepakatan internasional mengenai kriteria pembagian untuk

menentukan jauh dekatnya jarak ke rumah sakit. Suatu daerah disebut terpencil

(remote) dalam penelitian Jordan dkk di Inggris bila berjarak lebih dari 5 km dari

dokter umum terdekat atau lebih dari 25 km dari rumah sakit umum.35

Sedangkan

di Amerika Serikat, rumah sakit dibagi ke dalam jenis yaitu acute care hospital

dan critial access hospital (CAH) berdasarkan lokasinya. Kriteria rumah sakit

yang termasuk CAH adalah yang berjarak lebih dari 35 mil (56 km) dari rumah

sakit lain atau berjarak lebih dari 15 mil (24 km) melewati daerah pegunungan

dan jalan sekunder dari rumah sakit lain.36

Rerata jarak tempuh dari rumah

penduduk ke rumah sakit dengan pelayanan gawat darurat di Inggris adalah 8,7

km dan di Nigeria adalah 8,3 km, sedangkan dalam penelitian ini rerata jarak

tempuh untuk ke pelayanan kesehatan mata lebih jauh yaitu 18,9 km.37,38

Penelitian lain di bidang kesehatan mengenai faktor jarak tempuh ke rumah

sakit salah satunya adalah oleh Awoyemi dkk di Nigeria, dimana jarak tempuh

dan total biaya untuk mencari pelayanan kesehatan berhubungan dengan tingkat

pemanfaatan fasilitas rumah sakit.37

Penelitian oleh Nicholl dkk mengenai

hubungan antara jarak tempuh ke rumah sakit dan mortalitas pasien di unit gawat

Page 63: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

47

darurat, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan jarak tempuh ke rumah sakit

berhubungan dengan peningkatan risiko kematian, dimana setiap peningkatan

jarak 10 km terdapat peningkatan 1% angka mortalitas.39

Penelitian oleh Currie

dkk mengenai jarak ke rumah sakit dan akses pasien anak ke pelayanan diperoleh

bahwa setiap penambahan jarak tempuh satu mil (1,6 km) berhubungan dengan

3% penurunan kemungkinan pasien datang untuk checkup.40

Berbagi hasil dari

penelitian sebelumnya sesuai dengan temuan dalam penelitian ini, yaitu jarak

tempuh ke rumah sakit yang lebih jauh sebagai faktor yang meningkatkan

masalah kesehatan.

Jarak yang harus ditempuh masyarakat Jawa Barat untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan mata sangat bervariasi, mulai dari yang berada sangat dekat

hingga mencapai 100 km. Jarak tempuh ke rumah sakit yang dekat adalah klaster

yang berada di wilayah kotamadya atau di wilayah kelurahan pusat pemerintahan

kabupaten. Dari hasil pemetaan, terlihat bahwa seluruh rumah sakit yang memiliki

fasilitas pelayanan kesehatan mata berada di dua jalur utama provinsi Jawa Barat

yaitu jalur pantai utara antara Jakarta-Cirebon dan jalur tengah antara Bogor-

Bandung-Banjar. Tiga desa terjauh dari rumah sakit dalam penelitian ini terletak

di daerah pantai selatan yaitu Sukabumi, Cianjur dan Pangandaran. Kepadatan

penduduk yang rendah di daerah tersebut, minimnya sarana transportasi dan letak

ibukota kabupaten (lokasi RSUD) yang berada di bagian utara wilayah kabupaten

menjadi kendala bagi masyarakat pesisir selatan untuk mencari pelayanan

kesehatan mata. Hal ini menunjukkan bahwa fokus pembangunan di provinsi

Jawa Barat lebih menitikberatkan pada daerah di dekat pusat pemerintahan.15,16

Page 64: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

48

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak menginklusikan rumah sakit

swasta dan klinik mata swasta yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki peran

dalam mengurangi jumlah gangguan penglihatan. Rumah sakit dan klinik tersebut

umumnya terletak di kota dimana telah terdapat RSUD di dekatnya, sehingga

tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap hasil pengukuran jarak tempuh

penelitian ini.. Selain itu, tidak semua rumah sakit dan klinik swasta tersebut

melayani pasien asuransi BPJS Kesehatan, sehingga walaupun berjarak lebih

dekat ke klaster, tidak semua penduduk klaster akan ke berobat sana. Keterbatasan

lain adalah di daerah yang rutin mengadakan bakti sosial pemberian kacamata dan

operasi katarak gratis, jarak tempuh terhadap proporsi gangguan penglihatan ke

rumah sakitnya menjadi tidak sesuai.

Kekurangan utama dari penelitian ini adalah terdapatnya variabel perancu

yang berhubungan erat dengan variabel gangguan penglihatan per orang/subjek

antara lain faktor ekonomi, pendidikan, dan transportasi, sedangkan pada

penelitian ini terbatas pada karakteristik objek penelitian (klaster) saja. Hasil

tinjauan berbagai penelitian mengenai faktor risiko gangguan penglihatan dan

kebutaan dari tahun 2000 hingga 2011 oleh Uldemolins dkk, disimpulkan bahwa

status sosioekonomi berupa pendapatan yang tinggi dan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi berhubungan terbalik dengan prevalensi kebutaan dan gangguan

penglihatan.8 Pada penelitian Fouad dkk mengenai karakteristik sosiodemografik

dan angka kebutaan di Mesir, faktor pekerjaan yang bersifat fisik seperti petani

memiliki odds ratio 2,41 dibanding pegawai kantor, dan faktor pendidikan yang

rendah memiliki odds ratio 2,31 dibanding yang berpendidikan tinggi.10

Page 65: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

49

Dalam berbagai survei RAAB di berbagai negara, faktor biaya berobat

merupakan alasan yang paling sering menjadi penyebab orang belum dilakukan

operasi katarak yaitu antara 24,4% hingga 32,9%. Tingkat pendidikan

berpengaruh terhadap pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan

matanya. Alasan belum ke rumah sakit karena tidak mengetahui bahwa katarak

dapat dioperasi adalah 11,8% hingga 42%, dan merasa tidak perlu operasi katarak

sebesar 8,9% hingga 23,5%.27-34

Hasil survei RAAB di Jawa Barat tahun 2014,

diperoleh alasan biaya 31,9% dan alasan ketidaktahuan 13,0%.26

Berdasarkan

hasil-hasil di atas, maka faktor ekonomi dan pendidikan dapat diidentifikasi

sebagai variabel perancu.

Kekurangan lain penelitian ini yaitu tidak menggambarkan keadaan yang

sebenarnya di lapangan, dan hanya berdasarkan pengukuran jarak menggunakan

aplikasi komputer. Faktor jarak yang jauh bisa saja bukan menjadi faktor

penghalang pasien untuk berobat ke rumah sakit bila tersedia sarana transportasi

yang memadai dan prasarana jalan ke rumah sakit yang baik. Sebaliknya

walaupun jarak tempuh yg diukur relatif dekat, namun bila akses ke rumah sakit

sulit, maka faktor geografis ini menjadi penghalang yang bermakna. Karena

belum ada hasil survei atau data yang lengkap di Jawa Barat mengenai kondisi

jalan desa/kelurahan (baik atau rusak), berapa persen jalan yang beraspal, jumlah

angkutan umum dan jarak tempuh ke pusat pemerintahan, maka tidak dapat

dipakai sebagai variabel pembanding antar klaster.

Variabel-variabel perancu dalam penelitian ini perlu diidentifikasi lalu

disingkirkan. Karena variabel perancu tersebut tidak ditanyakan pada saat

Page 66: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

50

pelaksanaan survei RAAB, penulis tidak dapat memiliki data spesifik mengenai

karakteristik 2842 orang yang menjadi subjek penelitian, maka tidak dapat

dilakukan restriksi terhadap sampel penelitian. Karakteristik objek/klaster dalam

penelitian ini adalah hasil dari penelusuran penulis dan wawancara terhadap

pegawai kantor pemerintahan. Pada survei RAAB klaster tempat survei telah

dipilih secara acak dan pemeriksaan terhadap 50 subjek pada tiap klasternya

dilakukan dari rumah ke rumah penduduk tanpa melihat faktor ekonomi,

pendidikan, maupun perancu lainnya.25

Untuk analisis variabel perancu, dilakukan dengan pembagian sampel

menjadi 2 grup berdasarkan jauh dekatnya jarak tempuh ke rumah sakit. Hasilnya

tidak didapatkan perbedaan jumlah yang bermakna pada seluruh variabel perancu

antar grup dengan jarak tempuh yang lebih jauh dari median dan grup dengan

jarak tempuh yang lebih dekat dari median pada perbandingan dari karakteristik

klaster. Seluruh variabel yang berpotensi menjadi perancu telah tersebar secara

homogen di setiap klaster sehingga pengaruhnya tidak terlalu signifikan,

meskipun perbandingan ini berdasarkan pada karakteristik umum klaster tersebut.

Page 67: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

51

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Terdapat korelasi positif antara jarak tempuh ke rumah sakit terhadap

proporsi gangguan penglihatan.

5.2 Saran

Penelitian ini dapat diaplikasikan untuk provinsi lain di Indonesia yang juga

menggunakan jalur perhubungan darat. Perlu penelitian lanjutan mengenai faktor

lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, dan pelayanan kesehatan

terhadap gangguan penglihatan di Jawa Barat.

Untuk menurunkan jumlah gangguan penglihatan di provinsi Jawa Barat,

pemerintah perlu meminimalkan jarak antara rumah sakit dan masyarakat. Ada

beberapa hal yang dapat dipertimbangkan yaitu:

1. Meningkatkan proporsi rumah sakit yang dapat memberikan pelayanan

kesehatan mata dengan menambah jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas

untuk operasi katarak di rumah sakit tersebut.

2. Membangun rumah sakit di daerah pesisir selatan Jawa Barat

3. Mempermudah akses masyarakat untuk menuju rumah sakit dengan

perbaikan jalan dan meyediakan transportasi umum yang murah.

Page 68: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

52

DAFTAR PUSTAKA

1. IAPB, WHO. Global initiative for the elimination of avoidable blindness:

Action plan 2006-2011.Geneva: WHO Press; 2007.

2. Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for the

Prevention of Blindness (IAPB); 2010.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset kesehatan dasar

(Riskesdas). Laporan nasional 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia; 2008. h 121-9.

4. Sirlan F, Agustian D, Rifada M. Survei kebutaan dan morbiditas mata di Jawa

Barat 2005. Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad; 2005.

5. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Kesehatan Mata Masyarakat. Bandung:

Fakultas Kedokteran Unpad; 2010.

6. Metcalfe J. The economic argument for VISION 2020. Dalam: Ricard P,

editor. 2010 report. London: The International Agency for the Prevention of

Blindness (IAPB); 2010. h. 30-3.

7. Rifati L, Rosita T, Hasanah N, Indrawati L. Bab 17. Kesehatan indera. Dalam:

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI; 2013. h.270-81.

8. Ulldemolins AR, Lansingh VC, Valencia LG, Carter MJ, Eckert KA. Social

inequalities in blindness and visual impairment: a review of social

determinants. Indian J Ophthalmol. 2012 Sep-Oct;60(5):368-75.

9. Fletcher AE, Donoghue M, Devavaram J, Thulasiraj RD, Scott S, Abdalla M,

Shanmugan AK, Murugan B. Low uptake of eye service in rural India. Arch

Ophthalmol. 1999;117:1393-9.

10. Fouad D, Mousa A, Courtright P. Sociodemographic characteristics associated

with blindness in a Nile Delta governorate of Egypt. Br J Ophthalmol

2004;88:614–8.

11. Dhaliwal U, Gupta SK. Barriers to the uptake of cataract surgery in patients

presenting to a hospital. Indian J Ophthalmol 2007;55:133-6.

12. Melese M, Alemayehu W, Friedlander E, Courtright P. Indirect costs

associated with accessing eye care services as a barrier to service use in

Ethiopia. Tropical Medicine and International Health.2004;9:426-31.

13. Courtright P. Human resources for eye health in developing countries. Dalam:

Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for the

Prevention of Blindness (IAPB); 2010. h. 14-6.

14. Mason I. Infrastructure and technology for eye health in developing countries.

Dalam: Ricard P, editor. 2010 report. London: The International Agency for

the Prevention of Blindness (IAPB); 2010. h. 17-9.

15. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Peta Jawa Barat (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/99

16. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sekilas Jabar. (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1261

17. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penduduk. (diunduh 26 Agustus 2014).

Tersedia dari: http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75

Page 69: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

53

18. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat dalam angka. Bandung:

Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik; 2012.

19. Badan Pusat Statistik. Persentase penduduk daeah perkotaan menurut provinsi

tahun 2010. (diunduh 26 Agustus 2014). Tersedia dari:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek

=12&notab=14

20. Data dan informasi kesehatan provinsi Jawa Barat. Jakarta: Pusat data dan

Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

21. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk Jawa Barat

menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011. (diunduh 26 Agustus

2014). Tersedia dari: http://jabar.bps.go.id/subyek/jumlah-penduduk-jawa-

barat-menurut-kelompok-umur-dan-jenis-kelamin-tahun-2011

22. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Berita resmi statistik: Tingkat

kemiskinan Jawa Barat September 2013. (diunduh 26 Agustus 2014). Tersedia

dari:http://jabar.bps.go.id/indikator/tingkat-kemiskinan-jawa-barat-september-

2013

23. Daftar anggota Perdami Jawa Barat bulan Juni 2014. Bandung: Perdami Jawa

Barat; 2014.

24. Kementerian Kesehatan RI. Rencana strategi nasional penanggulangan

gangguan penglihatan dan kebutaan untuk mencapai Vision 2020. Jakarta:

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1473/MENKES/SK/X/2005.

25. Limburg H, Kuper H, Polack S. RAAB instruction manual: A package for

entry and analysis of data from population based Rapid Assessments of

Avoidable Blindness. London: International Centre for Eye Health, School of

Hygiene and Tropical Medicine; 2013.

26. Limburg H, Syumarti, Halim A, Rini M, Ratnaningsih N. Summary of the

rapid assessment of avoidable blindness in Jawa Barat Province, Indonesia.

Bandung: Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo; 2014.

27. Mathenge W, Kupr H, Limburg H, Polack S, Onyango O, Nyaga G, dkk.

Rapid assessment of avoidable blindness in Nakuru district, Kenya.

Ophthalmology 2007;114:599-605.

28. Polack S, Yorston D, Lopez-Ramos A, Lepe-Orta S, Baia RM, Alves L, dkk.

Rapid assessment of avoidable blindness and diabetic retinopathy in Chipas,

Mexico. Ophthalmology 2012;119:1033–40

29. Kalua K, Lindfield R, Mtupanyama M, Mtumdzi D, Msiska V. Findings from

rapid assessment of avoidable blindness (RAAB) in Southern Malawi. PLoS

ONE 2011 6(4): e19226.

30. Isipradit S, Sirimaharaj M, Charukamnoetkanok P, Thonginnetra O,

Wongsawad W, dkk. The first rapid asessment of avoidable blindness

(RAAB) in Thailand. PLoS ONE 2009(12): e114245.

31. Rabiu MM. Rapid Assessment of Avoidable Blindness plus Diabetic

Retinopathy in Moldova 2012. Chisinau: The Fred Hollows Foundation; 2012.

h. 1-34.

Page 70: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

54

32. Langdon T, Morchen M, Nimeth E, Bonn TS. Tomic N, Keefie J. Rapid

vassessment of avoidable blindness (RAAB) in Takeo Province, Cambodia.

Canberra: The Centre of Eye Research Australia; 2012. h. 1-34

33. Polack S. Rapid assessment of avoidable blindness in Zanzibar. London:

University of London; 2007. h. 1-71.

34. Limburg H, Silva JC, Foster A. Cataract in Latin America: finding from nine

recent surveys. Pan Am J Public Health 2009;25:449-55.

35. Jordan H, Roderick P, Matrin D, Barnett. Distance, rurality and the need for

care: access to health services in South West England. International Journal of

Health Geographics 2004,3:21.

36. Department of Health & Human Services. Critical Access Hospitals (CAHs):

Distance from other providers and relocation of CAHs with a necessary

provider designation. Baltimore: Centers for Medicare & Medicaid services;

2007.

37. Awoyemi TT, Obayelu OA, Opaluwa HI. Effect of distance on utilization of

health care services in rural Kogi state, Nigeria. J hum Ecol 2011;35(1):1-9.

38. Robert A, Blunt I, Bardsley M. Focus on: distance from home to emergency

care. London: The Health Foundation; 2014. h. 1-42.

39. Nicholl J, West J, Goodacre S, Turner J. The relationship between distance to

hospital and patient mortality in emergencies: an observational study. Emerg

Med J 2007;24:665-8.

40. Currie J, Reagan P. Distance to hospital and children’s access to care: is being

closer better, and for whom. Los Angeles: UCLA; 1999. h. 1-35.

41. Maryani E, Waluya B. Geografi desa kota. Bandung: Fakultas Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia; 2008. h. 5-6.

42. Dineen BP, Bourne RRA, Ali SM, Noorul Hug DM, Johnson GJ. Prevalence

and causes of blindness and visual impairment in Bangladeshi adults: results

of the national blindness and low vision survey of Bangladesh. Br J

Ophthalmol 2003;87:820–8.

43. Tjiptoherijanto, Prijono. 1999. Urbanisasi dan pengembangan kota di

Indonesia. populasi-buletin penelitian kebijakan kependudukan PPK UGM

1999;10(2).

44. Agusta I. Desa tertinggal di Indonesia. Sodalitt: Jurnal Transdisiplin

Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 2007;8:233-52.

45. Adam FP. Tren urbanisasi di Indonesia. Ambon: Program studi Agrobisnis

Fakultas Pertanian Universitas Pattimura; 2007. h. 1-2.

Page 71: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

Tabel Data Karakteristik Klaster Penelitian Lam

piran

1

55

Page 72: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

Lampiran 2

56

55

No. Nama RS Kab/Kota Tipe RS Jumlah SpM Operasi Katarak

1 RSU Cibinong Bogor B 3 Tersedia

2 RSU Leuwiliang Bogor C 2 Tersedia

3 RS dr Sismadi Bogor D 0 Tidak Tersedia

4 RSU Ciawi Bogor B 2 Tersedia

5 RS Pertamedika Sentul Bogor B 4 Tersedia

6 RSU Karya Bhakti Kota Bogor B 3 Tersedia

7 RS Lanud Atang S Kota Bogor C 0 Tidak Tersedia

8 RS Bhayangkara Kota Bogor D 0 Tidak Tersedia

9 RS Rem 061 Salak Kota Bogor C 3 Tersedia

10 RSUD Depok Depok C 1 Tersedia

11 RS Bhayangkara Brimob Depok D 0 Tidak Tersedia

12 RSU Sekarwangi Sukabumi C 1 Tersedia

13 RSU Jampang Kulon Sukabumi D 1 Tersedia

14 RS Secapa Polri Sukabumi C 1 Tersedia

15 RSU Pelabuhan Ratu Sukabumi C 1 Tersedia

16 RSU R Syamsudin Sukabumi B 2 Tersedia

17 RSU Cimacan Cianjur D 0 Tidak Tersedia

18 RSU Cianjur Cianjur B 1 Tersedia

19 RSU Cimahi Cimahi B 2 Tersedia

20 RS Dustira Cimahi B 4 Tersedia

21 RSU Majalaya Bandung B 2 Tersedia

22 RSU Cicalengka Bandung C 0 Tidak Tersedia

23 RSU Cililin Bandung Barat D 1 Tidak Tersedia

24 RSU Soreang Bandung C 1 Tersedia

26 RSPAU Salamun Kota Bandung B 3 Tersedia

27 RS Sartika Asih Kota Bandung B 2 Tersedia

28 RS Al Ihsan Kota Bandung B 2 Tersedia

29 RSU Sariningsih Kota Bandung D 0 Tidak Tersedia

30 RSU Ujungberung Kota Bandung C 2 Tersedia

31 RS Kck Pindad Kota Bandung D 2 Tersedia

32 RS Lanud Sulaiman Kota Bandung D 0 Tidak Tersedia

34 RSU Pameungpeuk Garut D 0 Tidak Tersedia

35 RSU dr Slamet Garut B 3 Tersedia

36 RS Rem 062 Guntur Garut C 1 Tersedia

37 RSU kota Tasikmalaya Tasikmalaya B 1 Tersedia

38 RSUD Tasikmalaya Tasikmalaya D 1 Tidak Tersedia

39 RSU Ciamis Ciamis C 1 Tersedia

40 RSU Banjar Ciamis B 1 Tersedia

41 RSUD Linggajati Kuningan C 0 Tidak Tersedia

42 RSU Kuningan Kuningan B 2 Tersedia

43 RSU Waled Cirebon B 3 Tersedia

44 RSU Arjawinangun Cirebon B 2 Tersedia

45 RS Pertamina Klayan Cirebon C 1 Tersedia

46 RS Pelabuhan Kota Cirebon C 1 Tersedia

47 RSU Gunung Jati Kota Cirebon B 2 Tersedia

48 RS Rem 063 Ciremai Kota Cirebon B 2 Tersedia

49 RSU Majalengka Majalengka C 1 Tersedia

50 RSU Cideres Majalengka C 1 Tersedia

51 RSU Sumedang Sumedang B 1 Tersedia

52 RSU Indramayu Indramayu B 2 Tersedia

53 RS Bhayangkara Indramayu C 0 Tidak Tersedia

54 RSUD Pantura Indramayu D 0 Tidak Tersedia

55 RSU Subang Subang B 2 Tersedia

56 RS Lanud Suryadarma Subang D 0 Tidak Tersedia

57 RS PTPN VIII Subang D 1 Tidak Tersedia

58 RSU Bayu Asih Purwakarta C 1 Tersedia

59 BKMM Cikampek Karawang D 4 Tersedia

60 RSU Karawang Karawang B 2 Tersedia

61 RSUD Kab Bekasi Bekasi Kab C 2 Tersedia

62 RSUD Kota Bekasi Bekasi Kota B 4 Tersedia

Tabel Data Karakteristik Rumah Sakit

Page 73: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

Lampiran 3

57

Tabel Data Jarak Tempuh dan Proporsi Gangguan Penglihatan

Page 74: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

59

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Herman

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 27 November 1985

Alamat : Jl. Jelambar Utama Raya no. 22, Jakarta Barat

Nama Orang Tua : Chandra Halim

Lili

Pendidikan Formal :

1. SD Methodist, Banda Aceh (1991-1996)

2. SD Dharma Suci, Jakarta Utara (1996-1997)

3. SLTP Dharma Suci, Jakarta Utara (1997-2000)

4. SMU Negeri 2, Jakarta Barat (2000-2003)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2003-2009)

6. Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Ilmu Kesehatan Mata FK Universitas

Padjadjaran/RS Mata Cicendo, Bandung (2011-2015)

Pengalaman Kerja :

Dokter PTT Pusat, Puskesmas Ayamaru Utara, Kabupaten Maybrat, Provinsi

Papua Barat (2010)

Lampiran 4

Page 75: KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN …perpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/03/... · 2020. 2. 13. · KORELASI ANTARA JARAK TEMPUH KE RUMAH SAKIT DENGAN

59

Penelitian

Karakteristik Pasien Pseudoeksfoliasi Glaukoma di Rumah Sakit Cicendo (2012)

Korelasi antara Pterigium dan Astigmatisma (2013)

Korelasi antara Jarak Tempuh ke Rumah Sakit dengan Proporsi Gangguan

Penglihatan dalam Survei Rapid Asessment of Avoidable Blindness di Jawa

Barat (2015)

Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah yang Pernah Diikuti :

2014

Peserta Annual Scientific Meeting Bandung, Life Without Darkness.

PERDAMI Jawa Barat-Pusat Mata Nasional RS Cicendo Bandung.

Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-39, PERDAMI, D.I.

Yogyakarta

Peserta Seminar Introducing Indonesia Myopic CNV Guidelines,

Seminat Vitreoretina PERDAMI, 2014

Peserta Pelatihan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB),

Pusat Mata Nasional RS Cicendo, Bandung

2013 Peserta The 7th

Asian Neuro-Ophthalmology Society Congress, Bali,

Indonesia

Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-38, PERDAMI, Palembang

2012 Peserta Simposium West Java Regional IOA Scientific Meeting,

PERDAMI Jawa Barat, Bandung

Peserta simposium The 1

st Asia-Pacific Glaucoma Congress, Bali,

Indonesia