Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KOSAKATA BAUASA JAWADALAM SURAT KABARDIMEDAN
Susi Deliani
[Bj l BARIOi"G JA'r AISBN 979-364 7- 11-2
1lI. 1.1 1I",I~. 1Icm
ISh~ 97'1-JM1_11 ·2[)nm"d<.oa I Dio<&k Okh BARTONO JII.YII.~
HAK CIPTA
()oWwlungo ""llfICI~0iiIf¥19 mengullP atAl ~rtJ,any ilk~~ "tau Sl'IlnI1ISl
t>ut<,. '"' ~ aiI'am t>en",k stensiI,loIocxlpo,I. mil:toI*TI al3u dI!o"OallC¥a~_ "''''''' ,ro"~ dan _boI_
I(UTIPAN PAS Al '" :
SANKSI PflANGGARAN UNOANG .UNOANGHAK CIPTA 19111
~~ Mngaf<I Ibn IaIIQoa IIak~ lItau~1I1c sua... e>PtUn lItl1u rnembeti irin ""!uk~. dipodanlI
deno3n podana petlfal'a pa!lnc;llamil 7 1kljutl ) til .......aa,, 'aLJudenda palinool bilnyllk Rp_ 100000 000,- (sPf;lu$ /Utll\IP'iJ'1)
Barano~~'p" dP"ll3 r1 5eng aja m" nrarl<an, ......mam ..rI<a".mt!~ar k an alau .......rljual kepada umu m Sualu C1plaan alau
tlaranc;l h<lSllpe laoooar:lu'l hak tipta Sl'ba~imana difT\3l< 5Ud dalam
ay"t (I), ....a.... d"""!l"" p;da.>a~i1 plllinO IamiI $ tarl ""aanI.. t.tu denCio 1''''''''0 Danya. Rp. $0000 000 ,- (1lm.lI plAIn IU~
->
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Landasan Teori ................................................................................................................. 7
1.3 Perumusan Masalah .......................................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................................. 9
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 10
BAB II KONTAK BAHASA DAN MASALAH UNSUR SERAPAN ............................... 11
2.1 Perubahan Bahasa .......................................................................................................... 18
2.2 Bilingualisme ................................................................................................................. 23
2.3 Interferensi ..................................................................................................................... 38
2.4 Pungutan/Unsur Serapan ................................................................................................ 59
2.5 Sebab-sebab Terjadinya Pungutan ................................................................................. 74
2.6 Proses Pemungutan ........................................................................................................ 77
BAB III PROSEDUR PENELITIAN ................................................................................... 89
3.1 Sumber Data ................................................................................................................... 89
3.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................. 89
3.3 Teknik Analisa Data ....................................................................................................... 90
BAB VI ANALISIS DATA PENELITIAN .......................................................................... 91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 98
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk dilihat sejarahnya tidak pernah hidup
menyendiri. Setiap individu selalu berhubungan satu sama lain apakah dalam
bentuk kelompok, keluarga, suku, atau bangsa. Mereka saling berhubungan dalam
usaha membentuk kesatuan, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam
bentuk aspek kehidupan. Terlebih-lebih dalam peradaban modern dewasa ini,
hubungan antara manusia yang satu dan manusia yang lain atau antara bangsa
yang satu dengan bangsa yang lain sudah demikian dekatnya seolah-olah batas
yang memisahkan mereka tidak ada karena jaringan komunikasi sudah demikian
maju dan canggih seperti jaringan jalan did arat, laut dan udara; ditambah lagi
dengan tampilnya saran komunikasi elektronik seperti radio, televisi, dan satelit.
Dengan kondisi yang demikian, tampaknya sulit ditemukan kehidupan suatu
masyarakat (bangsa) yang masih mengisolasikan diri dan mempertahankan
tradisinya secara utuh, sama seklai terlepas dari pengaruh lingkungan di
sekitarnya.
Hubungan yang dilatarbelakangi oleh adanya kontak sosial antara
beberapa masyarakat, langsung ataupun tidak langsung, membawa akibat
terjadinya kontak budaya. Dalam situasi yang demikian akan terjadi akulturasi dan
proses pengaruh-mempengaruhi antara serap-menyerap unsur budaya yang satu
dan unsur budaya yang lain. Besar kecilnya pegnaruh itu tergantung dari
pergaulan antarbangsa itu sendiri. Semakin rapat lingkungan pergaulan mereka
semakin besar pula pengaruh budaya masuk kedalamnya.
Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986:8),
tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbangsa pasti
terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu
memiliki sifat terbuka. Ada alasan yang dapat dijadikan petunjuk terhadap
peristiwa itu. Menurut Hockett (1958) ada dua faktor yang mendorong terjaidnya
peristiwa tersebut. Faktor pertama disebut need filling motive, yaitu dorongan
2
untuk memenuhi kebutuhan yang benar-benar mendesak menerima masukan dari
bahasa lain untuk mengangkat satu makna konsep terhadap bidang tertentu karena
bahasa itu sendiri tidak memilikinya. Faktor kedua ialah prestice motive, yaitu
adanya kecenderungan perilaku hendak bergagah-gagahan, beraksi-aksi karena
unsur bahasa yang dipungut dianggap lebih berprestise, lebih berwibawa, daripada
bahasa yang menuntut unsur itu (Poendjasoedarmo, 1978:32-33).
Dipandang dari sudut dua bahasa yang saling mempengaruhi jelas akan
ada untung ruginya. Pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan;
kadang-kadang dapat memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan.
Demikian pula sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya
bahasa lain berdampak mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi
penyimpangan kaidah atau menimbulkan gejala interferensi.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional hidup berdampingan dengan
bahasa daerah yang berjumlah ratusan di Indonesia. Salah satu bahasa daerah
yang mempunyai penutur yang berjumlah besar adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa
yang mempunyai penutur yang berjumlah besar mempengaruhi bahasa Indonesia
khususnya dalam kosakata, hal ini seiring dengan pendapat Moeliono, A.M.
(1977).
“Bahasa serumpun yang jumlah penuturnya terbanyak, seperti bahasa Jawa
dan bahasa Sunda merupakan sumber utama pemekaran kosakata.”
Bahasa Jawa adalah bahasa Nusantara yang paling besar jumlah
penuturnya. Penuturnya terbesar di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai
kebeberapa tempat di luar negeris eperti Suriname dan New Caledonia. Di
Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 60 sampai 70 juta penutur bahasa Jawa,
yang semuanya tinggal di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apabila
penutur-penutur lain yang tinggal di luar kedua provinsi tersebut diikutsertakan,
maka jumlah penutur bahasa Jawa akan mencapai hampir setengah populasi dari
jumlah penduduk Indonesia.
Bahasa Jawa merupakan anggota keluarga bahasa-bahasa Austronesia atau
Melayu-Polinesia. Induk bahasa ini tersebar mulai dari Madagaskar sampai ke
kepulauan Paskah di sebelah selatan, dan mulai dari kepulauan Formosa di
3
Taiwan sampai ke Selandia Baru di sebelah utara. Tidak termasuk ke dalam
keluarga bahasa ini adalah beberapa bahasa-bahasa di Irian Jaya dan bahasa-
bahasa di Australia.
Di dalam keluarga bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa jelas
merupakan salah satu anggota kelompok bahasa bersama-sama dengan bahasa-
bahasa di daerah barat Indonesia.
Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia selama berabad-abad digunakan secara
luas di kepulauan Nusantara. Kedua bahasa ini saling mempengaruhi satu sama
lain.
Bahasa Indonesia digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
dan bahasa Indonesia ini telah disepakati pula sebagai bahasa nasional bangsa
Indonesia. Dengan demikian makna bangsa Indonesia adalah juga masyarakat
bahasa Indonesia. Meskipun dmeikian, ini bukan berarti kita mengingkari
kenyataan bahwa di seluruh Kepulauan Indonesia masih terdapat berbagai bahasa
lain.
Di dalam masyarakat bahasa Indonesia, dengan adanya berbagai bahasa
daerah, akan terdapat pula kontak bahasa, antara bahasa Indonesia dengan bahasa
daerah, dan antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain.
Bahasa daerah, untuk sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di luar ibukota,
adalah bahasa pertama, sedangkan bahasa Indonesia yang menggunakan bahasa
daerah adalah bahasa pertamanya.
Meskipun kedudukan bahasa Idnonesia bagi sebagian besar bangsa
Indonesia bukanlah sebagai bahasa pertama, tapi bahasa Indonesia digunakan
sebagai lingua franca, yaitu bahasa perantara orang yang latar budayanya
berbeda. Menurut Moeliiono (1980:16), di dalam sejarah manusia, pemilihan
lingua franca tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika atau
estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi. Dan
berdasarkan alasan-alasan tersebutlah bahasa Indonesia diputuskan untuk
digunakan sebagai bahasa nasional.
4
Dalam perkembangannya bahasa Indonesia ini kemudian ternyata tidak
hanya melakukan kontak bahasa dengan bahasa-bahasa daerha, tetapi juga dengan
bahasa asing. Kontak bahasa ini mengakibatkan perubahan bahasa. Perubahan
bahasa yang sungguh mencolok terdapat dalam bidang kosa kata, karena
memang subsistem inilah yang paling peka terhadap perubahan budaya
pemakai bahasa (Kridalaksa, 1980:35). Beberapa aspek perkembangan kosa kata
yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebab-sebab perubahan kosa kata dan
masalah penciptaan kata-kata baru.
Penelitian ini membahas masalah pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa
Indonesia dalam hal unsur serapan, khususnya sebagai akibat dari adanya kontak
bahasa. Hal ini digambarkan oleh ilustrasi bagaimana bahasa daerah yang
mempunyai jumlah penutur yang banyak dan mempunyai kebudayaan yang tinggi
mempengaruhi bahasa Indonesia.
Sumber pegaruh bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia secara umum
melalui dua jalur:
1. Secara tidak langsung melalui pemakai bahasa Indonesia yang tinggal di
Jakarta.
2. Langsung dari penutur Jawa yang memakai bahasa Indonesia.
Bahasa Jawa mempengaruhi bahasa Indonesia secara langsung dalam
berbagai cara. Sumber-sumber itu meliputi (1) orang luar Jawa yang tinggal di
Jawa yang meminjam dan menyebarkan bahasa Jawa, (2) orang Jawa yang tinggal
di luar Jawa dan memakai bahasa Indonesia yang diadopsi oleh penutur orang luar
Jawa, (3) tulisan bahasa Indonesia oleh orang Jawa, (4) pidato-pidato politik oleh
figur-figur orang Jawa, (5) kesenian Jawa yang populer di luar masyarakat Jawa
dan (6) tulisan atau terjemahan dari kesusastraan Jawa ke dalam bahasa Indonesia
oleh penutur Indonesia.
1) Pengaruh melalui orang luar Jawa yang tinggal di daerah orang Jawa
Banyak orang luar Jawa yang tinggal di area orang Jawa. Ada yang
pedagang, pejabat tetapi banyak juga yang pelajar. Selama tinggal di Jawa banyak
5
kebiasaan orang Jawa yang digunakannya. Sering orang luar Jawa mengambil
kata-kata Jawa yang spesifik dan menggunakannya ketika berbicara dan menulis.
2) Pengaruh bahasa Jawa di luar Pulau Jawa
Banyak orang Jawa yang tinggal di luar Pulau Jawa. Banyak yang bekerja
sebagai pejabat pemerintah, tentara, polisi, guru, dan buruh. Banyaknya pejabat
pemerintah juga memberi pengaruh kepada perkembangan bahasa Indonesia.
3) Pengaruh melalui penulis bahasa Jawa
Penulis bahasa Jawa juga menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan
bahasa Indonesia penulis Jawa akan dipengaruhi oleh latar belakang budayanya
dan juga bahasanya.
4) Pengaruh melalui pidato-pidato oleh tokoh politik
Banyak orang Jawa yang menduduki jabatan yang penting. Tokoh-tokoh
itu kadang-kadang membuat pidato. Pidato-pidato penting kadang-kadang
disiarkan oleh TV dan radio juga surat kabar maka semua orang akan mendengar
dan membacanya.
5) Pengaruh melalui Sastra Populer
Penulis sastra populer seperti wayang dan gamelan populer di Jakarta dan
Sumatera dan bahkan di Medan. Pertunjukan-peertunjukan ini juga merupakan
sumber dari kata pinjaman yang masuk ke dalam bahasa Jawa.
6) Pengaruh bahasa Jawa melalui kesusastraan
Sumber peminjaman yang lain adalah kesusastraan beberapa penulis Jawa
menulis cerita-cerita Indonesia berdasarkan legenda dan cerita wayang yang
terdapat di Jawa. Dalam penulisan karya sastranya penulis tidak dapar
menghindari pemakaian bahasa Jawa seperti kata kraton atau adegan yang telah
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.
Ada dua penomena yang menyebabkan pengaruh bahasa Jawa yang terus
meningkat terhadap bahasa Indonesia, (1) meningkatnya perpindahan jumlah
6
penduduk dan perubahan sosial, (2) peran dan status Jakarta sebagai ibukota
negara.
1. Meningkatnya perpindahan jumlah penduduk
Pada saat ini perpindahan penduduk di berbagai daerah di Indonesia
meningkat. Banyaknya penduduk yang pindah ke luar Jawa sama banyaknya
dengan perpindahan orang luar Jawa ke pulau Jawa, hal ini yang menjadia
perhatian dan merupakan perubahan sosial.
2. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, muncul
masalah baru bagaimana dengan kata-kata pinjaman dari bahasa daerah yang
masuk ke dalam bahasa Indonesia.
3. Status Jakarta sebagai ibukota
Jakarta sebagai ibukota negara dan kota yang besar dan penitng di
Indonesia, dan penduduk Jakarta sebahagian besar orang Jawa turut
mempengaruhi masuknya unsur pinjaman bahasa Jawa ke dalam bahasa
Indonesia.
Pengaruh bahasa Jawa terhadap bahasa Indoensia telah dikemukakan oleh
Prof. Dr. Soepomo Poedjosodarmo dalam disertasianya yang berjudul “Javanese
Influence on Indonesia” (1970) yang berkenaan dengan pengaruh bahasa Jawa
terhadap bahasa Indonesia yang meliputi hampir seluruh aspek kebahasaan, yakni
fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis, kosakata, dan gaya bahasa. Hal yang
menarik yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bahwa bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa saling mempengaruhi dengan cepat. Hal penyebabnya jelas
adalah bahasa Indoensia mempengaruhi bahasa Jawa karena bahasa Indonesia
adalah bahasa nasional maka hampir semua penutur Jawa belajar dan
mengucapkan bahasa Idneonsia. Bahasa Jawa mempengaruhi bahasa Indonesia
karena penutur bahasa Jawa berjumlah besar dan banyak. Banyaknya penutur
bahasa Jawa menduduki posisi penting dalam masyarakat.
7
Berbeda dengan penelitian ini yang mencoba menganalisa pengaruh
bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan dengan memfokuskan pada masalah
unsur serapan atau istilah-istilah pinjaman yang terdiri dari 3 kelompok:
1. Kata-kata yang diserap secara utuh (loanwords).
2. Kata-kata yang diserap dengan sedikit disesuaikan dengan kaidah bahasa
peminjam (loanblends).
3. Kata-kata yang telah diterjemahkan (loanshifts).
Dipilihnya surata kabar pada Era Reformasi sebagai data penelitian sebab
dampak dari Era Reformasi yang mengakibatkan perubahan pemerintah dan
terutama perubahan budaya yang sangat signifikan yaitu dengan mencuatnya nilai
transparansi dan demokrasi. Pengaruh Era ini pada perkembangan kosakata
bahasa Indonesia sangat besar.
Surat kabar sebagai media massa turut mencatat pertumbuhan kata baru
yang berkembang pada suatu masyarakat, adanya suatu kata baru yang sering
dipakai pada surat kabar menyebabkan masyarakat mengenalnya lebih dekat dan
lama-kelamaan masyarakat menjadi terbiasa dengan kata tersebut. Bahasa yang
digunakan oleh surat kabar, menurut pendapat penulis, mempunyai pengaruh yang
cukup kuat pada masyarakat. Meskipun dapat pula dipertanyakan apakah bukan
masyarakat yang mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh surat kabar.
1.2 Landasan Teori
Menurut Haugen (1963:59-65) ada beberapa cara penggolongan bentuk
istilah peminjaman, yakni:
1. Berdasarkan urutan abjad, baik dari bahasa yang meminjam maupun dari
abahasa yang dopinjam; yakni dengan mengelompokkannya berdasarkan
kesamaan huruf awalnya.
2. Berdasarkan pokok pembicaraan, seperti: terminologi, teknik, olah raga,
kesenian, ekonomi, biologi, dan sebagainya.
3. Berdasarkan kelas kata, misalnya: istilah-istilah yang merupakan kata
benda, kata sifat, kata kerja, dan sebagainya.
8
4. Berdasarkan tataran bahasa, yaitu yang dikelompokkan menurut dari
bahasa apa istilah itu berasal.jadi istilah yang berasal dari bahasa Inggris
dikelompokkan terpisah dari bahasa Jerman, Perancis, Belanda, dsb
5. Berdasarkan tingkatd an cara integrasi.
6. Berdasarkan kesukaan orang, yaitu frekuensi keseringan pemakaian istilah
yang tedapat pada bahasa yang meminjam.
7. Berdasarkan orang yang memperkenalkan pemakaian bentuk-bentuk
pinjaman itu dan sikap mereka terhadap penggunaan bentuk-bentuk asing.
Menurut Haugen pula, cara penggolongan bentuk-bentuk unsur serapan
yang sering dilakukan oleh para ahli bahasa adalah cara penggolongan yang
berdasarkan kelas kata, berdasarkan tataran bahasa serta yang berdasarkan tingkat
dan cara integrasi dari masing-masing bentuk unsur serapan.
Mengenai tingkat dan cara integrasi dan istilah-istilah bahasa Jawa ke
dalam bahasa Indonesia, penulis mendasarkan pada pendapat Haugen yang
membaginya menjadi dua tingkatan utama, yaitu:
1. Tingkat bunyi (Phonemic level)
2. Tingkat morfem (morphemic level)
Pada tingkat bunyi, Haugen membaginya lagi menjadi tiga bagian:
1. Bunyi-bunyi bahasa asing yang sama sekali tidak mengalami penyesuaian
dengan bunyi bahasa peminjam. Dengan kata lain peminjaman secara utuh
(Unassimilated).
2. Bunyi-bunyi bahasa yang sebagian disesuaikan dengan bunyi bahasa
peminjam (Partially assimilated).
3. Bunyi-bunyi bahasa yang telah disesuaikan sepenuhnya dengan bunyi
bahasa peminjam (Wholly assimilated).
Pada tingkat morfem (di sini Haugen menyamakan morfem dengan kata)
membaginya juga dalam tiga bagian:
1. Kata-kata yang diserap secara utuh (loan words no-substitution). Di sini
Haugen juga membedakan antara importation, yakni bentuk-bentuk asing
yang digunakan dalam suatu bahasa, seperti: istilah-istilah de facto, vis a
9
vis, status quo, dan sebagainya, dan substitution, yakni bentuk-bentuk
asing yang kemudian dihasilkan melalui persamaan, seperti istilah docter,
yang diserap kedalam bahasa Rusia menjadi dokmop (doktΛr) dokter,
kemudian dipersamakan menjadi Bpar (fra:C).
2. Kata-kata yang dipinjam dengan sedikit penyesuaian dengan kajian bahasa
peminjam (loan word some substitution).
3. Kata-kata yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa yang meminjam
(loan shifts complete substitution).
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Berapa banyakkah diterima usur serapan dalam kategori loanwords,
loanblends, dan loanshifts dalam kata bahasa Jawa yang diteliti?
2. Berapa banyakkah ditemui unsur serapan dalam kategori kelas kata
(nomina, verba, adjektiva, dan adverbia) dari data bahasa Jawa yang
diteliti?
3. Bagaimanakah struktur morfem dari kata bahasa Jawa yang diteliti apakah
dalam bentuk morfem bebas, morfem terikat dan reduplikasi?
1.4 Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dipaparkan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam
kosakata bahasa Indonesia dalam hal unsur serapan dengan kategori
loanwords, loanblends, dan loanshifts.
2. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam
kosakata bahasa Indonesia dilihat dari kategori kelas kata (nomina, verba,
numeralian, adjektiva, dan adverbia).
10
3. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam
kosakata bahasa Indonesia dalam bentuk struktur morfemnya (morfem
bebas, morfem terikat, dan reduplikasi).
1.5 Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data, identifikasi
data, dan menganalisis data diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
- Bagi dunia akademis dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam pengembangan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini merupakan
gabungan dari pengetahuan teoritis yagn diperoleh dari berbagai literatur
dan pengetahuan empiris yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan.
Bila kedua dimensi ini (pengetahuan teoritis dan empiris) dapat
digabungkan dan saling mengisi, maka studi ini dapat memperluas
khazanah ilmu pengetahuan, sehingga akan memperluas cakrawala
penalaran penutur bahasa Idnoensia.
- Untuk pengembangan dan perkembangan bahasa Indonesia, bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional akan mendapat pengaruh tidak saja dari
bahasa Jawa tapi bahasa daerah lainnya.
11
BAB II
KONTAK BAHASA DAN MASALAH UNSUR SERAPAN
Objek kajian linguistik meliputi kajian linguistik mikro dan makro. Kajian
linguistik mikro terdiri dari struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri;
sedangkan kajian linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Faktor-faktor di luar bahasa terkait dengan segala hal
yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat bahasa, sebab tidak
ada kegiatan yang dilakukan tanpa berhubungan dengan bahasa. Kajian yang
berkaitan dengan linguistk makro sangat luas dan beragam, seperti penerjemahan,
penyusunan kamus, pendidikan bahasa dan masih banyak kajian yang lainnya.
Salah satu hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bahasa yang erat
kaitannya dengan kegiatan sosial di dalam masyarakat atau hubungan bahasa
dengan masyarakat.
Beragamnya kegiatan sosial masyarakat mengharuskan mereka untuk
berkomunikasi satu sama lain, baik itu dengan anggota masyarakatnya ataupun
dengan anggota dari masyarakat lain, padahal secara umum diketahui bahwa
bahasa yang digunakan antar masyarakat yang satu dengan yang lain bisa berbeda,
sehingga peristiwa inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak bahasa.
Kontak bahasa merupakan peristiwa dimana terjadi penggunaan lebih dari satu
bahasa dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab terjadinya kontak bahasa. Makalah ini akan membahas
mengenai faktor-faktor tersebut dengan disertai contoh-contoh masyarakat yang
mengalami kontak bahasa serta akibat yang ditimbulkan dari adanya kontak
bahasa.
Kontak bahasa mengakibatkan pengaruh mempengaruhi bahasa yang
saling berdekatan atau saling menyentuh. Perubahan bahasa menyangkut soal
bahasa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis dan sebagai
akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Pergeseran
bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur, di mana sebagai akibat dari
perpindahan penutur atau para penutur itu dapat menyebabkan terjeadinya
12
pergeseran bahasa, speerti penutur yang tadinya menggunakan bahasa ibu
kemudian menjadi tidak menggunakannya lagi. (Charlotte Hoffmann, London and
New York. 1991:91).
Ketiga terjadi proses saling pengaruh itu, maka bahasa yang lebih penting
akan banyak mempengaruhi bahasa yang kurang penting. Sedang penting
tidaknya suatu bahasa itu dapat dilihat dari:
1. Jumlah penuturnya,
2. Luas penyebarannya,
3. Peranannya sebagai sarana ilmu, sastra dan ungkapan budaya lain yang
dianggap bernilai (Moeliono, 1980:15).
Kontak bahasa menurut Weinreich dalam Denes dkk (1994:6) merupakan
peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari
kontak bahasa itu terjadi pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang
lain mencakupi semua tataran.
Dalam proses penguasaan bahasa kedua itu dapat dikatakan sama sehingga
dapat lebih mudah menggunakannya. Demikian pula sebaliknya, apabila unsur
yang masuk itu berlainan, maka akan terjadi gejala interferensi (Huda dalam
Denes, dkk, 1994 : 67). Sebagai konsekuensinya, dengan adanya kontak bahasa,
proses pinjam meminjam atau pengaruh-mempengauhi terhadap bahasa lain tidak
dapat dihindari.
Mackey dalam Suwito (1985:39) menjelaskan bahwa kontak bahasa
sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik langsung
maupun tak langsung, sehingga dapat mempengaruhi penguasaan bahasa penutur
baik ekabahasawan maupun dwibahasawan. Kontak bahasa cenderung kepada
gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung sebagai gejala
tutur (parole). Namun karena langue pada hakikatnya adalah sumber dari parole,
maka kontak bahasa sudah selayaknya tampak dalam kedwibahasaan. Atau
dengan kata lain, kedwibahasaan terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.
13
Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh
penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam
keadaan saling kontak. Jadi kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara
individual. Dan kontak bahasa terjadi dalam konteks sosial, yaitu situasi dimana
seorang individu belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya. Dalam kondisi
seperti itu dapat dibedakan antara: situasi belajar bahasa, proses pemerolehan
bahasa dan orang yang belajar bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengertian
kontak bahasa yaitu segala persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat
adanya kemungkinan pergantian bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya.
Peristiwa tersebut antara lain tampak dalam wujud kedwibahasaan.
Thomason (2001: 1) berpendapat bahwa kontak bahasa adalah peristiwa
penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama.
Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar
sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara
penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa
kontak bahasa.
Sebagai contoh, ketika dua kelompok wisatawan saling meminjamkan alat
masak selama dua atau tiga jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling
berkomunikasi satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin
dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam kategori kontak bahasa.
Thomason (2001: 17-21) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kontak bahasa dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu :
a) Adanya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tak
berpenghuni kemudian mereka bertemu disana
Dalam kasus ini, kedua kelompok bukan merupakan kelompok pribumi sehingga
satu sama lain tidak menjajah atau merambah wilayah masing-masing. Antartika,
sebagai tempat dimana tidak ada populasi manusia yang menetap disana,
merupakan contoh dari adanya kontak bahasa dengan sebab ini. Para ilmuwan dari
14
berbagai belahan dunia saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan
mereka selama berada disana.
b) Perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain
Peristiwa perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun
kebanyakan tujuan dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukan dan
menguasai wilayah dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya
masyarakat Indian menerima kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun
sebaliknya. Namun, bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah
Amerika, sehingga ketika jumlah mereka yang datang sudah cukup banyak,
mereka mengadakan penaklukan terhadap warga pribumi.
Peristiwa terjadinya kontak bahasa dalam hal ini, yaitu melalui adanya
peperangan. Namun, tidak semua kontak bahasa terjadi melalui proses saling
bermusuhan. Ada juga yang terjadi melalui perdagangan, penyebaran misi agama
serta adanya perkawinan campuran antara warga pribumi dan bangsa Eropa.
Kasus lain terjadinya kontak bahasa yang disebabkan oleh perpindahan ini
adalah adanya gelombang imigran dimana para imigran pendatang baru
mengambil alih wilayah dari imigran sebelumnya, seperti yang terjadi di New
Zealand. Pada awalnya, wilayah tersebut tidak berpenghuni sampai penutur
bahasa Maori – bahasa yang masuk dalam cabang Polynesian dari keluarga
Austronesian – mendiami wilayah tersebut sebelum 1000 Masehi. Namun
kemudian, para imigran Eropa datang dan mengambil alih wilayah dari imigran
sebelumnya ini. Adanya peristiwa ini menyebabkan bahasa yang dipakai di New
Zealand secara mayoritas adalah bahasa Inggris, meskipun bahasa Maori juga
masih dipakai dan dipertahankan keberadaannya.
Hal sama mengenai peristiwa ini juga terjadi di Amerika Utara, dimana
para penutur bahasa Spanyol menggusur penduduk pribumi di wilayah California
dan barat daya, kemudian para penutur bahasa Inggris berimigrasi dan mengambil
alih tanah dan kekuasaan dari para penutur bahasa Spanyol di bagian wilayah
yang sekarang disebut sebagai United States.
15
Namun demikian, di samping perpindahan dengan penaklukan dan
penguasaan tersebut, ada pula kontak bahasa yang terjadi dengan jalan damai,
yaitu perpindahan kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang tersebar
yang bergabung dengan para imigran yang telah datang lebih dulu dan menempati
wilayah itu sebelumnya. Kebanyakan para kelompok imigran yang datang ke
Amerika menempuh jalan ini, salah satunya adalah Pennsylvania Dutch, yang
sebenarnya merupakan penutur bahasa Jerman, bukan Belanda.
c) Adanya praktek pertukaran buruh secara paksa
Kontak bahasa pada beberapa perkebunan di daerah Pasifik berawal ketika
para buruh yang dibawa kesana, beberapa karena pemaksaan, berasal dari
berbagai pulau Pasifik yang berbeda. Banyaknya orang Asia Selatan di Afrika
Selatan pada awalnya berasal dari pertukaran buruh pada industri tebu sekitar
abad XIX. Hal ini menyebabkan bahasa Tamil, salah satu bahasa India, menjadi
bahasa minoritas di negara tersebut.
Adanya pertukaran buruh atau budak ini mendorong sosiolinguis untuk
membuat perbedaan antara yang secara sukarela atau yang dipaksa untuk
berpindah. Perbedaan ini tentu saja memengaruhi sikap mereka terhadap negara
yang dituju dan seringkali juga pada hasil kontak bahasa.
Cara berbeda untuk memulai adanya kontak adalah dengan datang ke
tempat yang belum dimiliki sebelumnya, yaitu datang bersama-sama dengan
tujuan khusus ke wilayah yang netral, seperti yang dilakukan oleh misi Yesuit di
St. Ignatius, Montana. Berdasarkan nasihat penduduk setempat, misi ini didirikan
di lokasi netral yang tidak menjadi milik suku manapun namun digunakan
sejumlah suku asli Amerika sebagai tempat berkumpul dan bertaruh.
Dalam masa-masa eksplorasi, banyak kota yang bermunculan di daerah
pantai sepanjang rute perdagangan Eropa. Di kota-kota ini, penduduk pribumi
berkumpul untuk bertemu dan melakukan perdagangan dengan para pedagang
Eropa. Di pesisir Cina misalnya, orang-orang Eropa hanya diijinkan untuk
mendarat di dua lokasi, yaitu Canton dan Macau. Mereka dilarang untuk
menjelajah di selain kedua lokasi tersebut.
16
d) Adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga lama
Faktor kontak bahasa yang satu ini, menjelaskan pada kita bahwa kita
tidak mencari mengenai asal usul adanya kontak, karena hal itu pasti terjadi
dahulu kala ketika kelompok-kelompok menjadi tetangga. Kontak bahasa
merupakan salah satu hasil dari penggabungan tahunan (untuk tujuan pertahanan)
pada sejumlah suku –suku pegunungan di barat laut United States ketika mereka
berpindah ke lembah untuk berburu kerbau.
Kontak bahasa juga terjadi sebagai hasil dari perkawinan campuran
diantara suku Aborigin Australia yang mempraktekan eksogami. Lebih jauh lagi,
ini juga bisa terjadi sebagai hasil dari perdagangan yang dilakukan antar
kelompok-kelompok tetangga.
Dalam skala yang lebih kecil, kontak bahasa antar individu bisa terjadi
sebagai akibat dari beberapa hal seperti perkawinan campuran yang terjadi antara
wanita-wanita Vietnam yang menikah dengan tentara Amerika selama perang
Vietnam, pertemuan antara siswa-siswa yang belajar di luar negeri, pengadopsian
balita-balita Rumania dan Rusia oleh pasangan-pasangan Amerika, atau bisa juga
pelajar yang sedang menjalani pertukaran pelajar dan harus menetap sementara di
rumah penduduk setempat.
e) Adanya pendidikan atau biasa disebut ‘kontak belajar’
Di zaman modern ini, bahasa Inggris menjadi lingua franca dimana semua
orang di seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin belajar
Fisika, mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat
dengan penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika
maupun orang-orang asing lainnya. Bahasa Inggris juga menjadi lingua
franca dalam komunikasi internasional melalui internet. Banyak orang yang
menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan ini, tidak berkesempatan (dan kadang
bahkan tidak berkeinginan) untuk praktek berbicara dengan penutur asli bahasa
Inggris.
17
Contoh lain dari kontak belajar adalah bahasa Jerman baku di Swiss,
dimana penutur bahasa Jerman berdialek Swiss harus belajar bahasa Jerman baku
di sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada orang muslim di seluruh dunia yang
harus mempelajari bahasa Arab klasik untuk tujuan keagamaan, meskipun mereka
mungkin tak akan pernah bertemu dengan penutur bahasa Arab dialek modern.
Kontak bahasa berhubungan erat dengan terjalinnya kegiatan sosial dalam
masyarakat terbuka yang menerima kedatangan anggota dari satu atau lebih
masyarakat lain. Thomason (2001:157) mengatakan bahwa adanya lingua
franca menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Lebih jauh lagi, Thomason
menyatakan bahwa tiga hal akibat percampuran bahasa memunculkan
bahasa pidgins, creol, dan bahasa bilingual campuran. Fenomena tersebut
merupakan fenomena yang saling terpisah, hanya saja untuk pidgin dan creol, dua
hal tersebut terjadi secara alami bersama-sama.
Thomason (2001: 158), menyampaikan bahwa bahasa-bahasa yang
mengalami kontak tidak harus selalu menjadi lingua franca. Pidgin dan kreol
muncul dalam konteks dimana orang-orang dari latar belakang linguistik yang
berbeda perlu mengadakan pembicaraan secara teratur, inilah asal muasal lingua
franca; sedangkan bahasa bilingual campuran merupakan golongan bahasa
tersendiri yang bukan merupakan bahasa dari pergaulan luas.
Thomason (2001: 198) juga menyebutkan bahwa akibat lain dari adanya
kontak bahasa adalah bahasa bilingual campuran
(bilingual mixed languages). Pengistilahan ini merujuk pada fakta bahwa bahasa
tersebut diciptakan oleh dwibahasawan, hanya saja agak sedikit melenceng karena
pada dasarnya tidak ada batasan berapa jumlah bahasa yang bisa digabungkan
untuk membentuk bahasa bilingual campuran ini. Oleh sebab itu, tidak ada alasan
mengapa multibahasawan tidak dapat membentuk sebuah bahasa campuran
dengan menggambarkan pada tiga atau lebih bahasa yang mereka tuturkan,
meskipun Thomason juga mengatakan bahwa dia tidak tahu satupun bahasa
campuran yang stabil dimana semua komponennya tergambar dari lebih dari dua
bahasa.
18
Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa
kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah
peristiwa bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi,
konvergensi, dan pergeseran bahasa.
Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan, tidak mungkin terpisahkan
adanya peristiwa kontak bahasa. Thomason (2001:1) berpendapat bahwa kontak
bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan
waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara
dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya
komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan
sebagai peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa ini meliputi segala peristiwa
persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan
pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya,
atau kontak bahasa dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari
unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri. Kontak
bahasa, baik yang bersifat individual (bilingual) maupun sosial (diglosia)
menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pijin,
kreol, alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa, dan sebagainya
(Wijana dan Rohmadi, 2006:6).
2.1 Perubahan Bahasa
Perubahan bahasa dalam bahasa Inggris dikenal dengan: linguistic
change, language change, code change. Apakah eprubahan bahasa itu dapat
diamati atau diobservasi (Wordhauht, 1990:187) terjadinya perubahan itu tentunya
tidak dapat diamati, sebab perubahan itu, yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa,
berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidka mungkin
diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu yang relatif terbatas.
Yang terlihat nyata adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Hal ini pun
terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis dan mempunyai
dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Bahasa Inggris, bahasa
Arab, dan bahasa Jawa termasuk bahasa yang dapat diikuti perkembangannya
sejak awal sebab punya dokumen-dokumen tertulis, tetapi bagi banyak bahasa lain
19
yang tidak mempunyai tradisi tulis dan tidak mempunyai dokumen apapun. Bukti
adanya perubahan bahasa dalam bahasa Inggris dapat kita lihat dari Fromklin dan
Rodman (1974:191-193). Setipa dikutip dari Dr. Abdul Chaer dan Leonie
Agustina (1995:178).
Ada beberapa latar belakang yang mendasari perubahan atau khususnya
pemilihan kode atau variasi dalam masyarakat yang multilingual, tetapi alasan
yang paling mendasar adalah penutur yang berbicara menggunakan bahasa yang
lebih mempunyai pengaruh atau kekuatan akan mempengaruhi pengguna bahasa
yang lebih rendah kekuatannya. Hal ini mungkin terjadi karena fakta ekonomi
atau politik yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa.
Perubahan bahasa yang disebabkan oleh migrasi yang minoritas seperti
dalam kasus Maniben Wanita Hindu yang masih muda tinggal di Coventry.
Keluarganya pindah dari Uganda pada 1970, ketika ia berumur 5 tahun. Dia
bekerja di pabrik sepeda pada usia 16 tahun.di rumah dia berbahasa Gujerati
dengan keluarganya, walaupun di sekolah ia belajar bahasa Inggris tapi di tempat
kerjanya banyak temannya yang berbahasa Gujerati.
Maniben karena pekerjaannya yang bagus kemudian menjadi operator
komputer dan dia kemudian bekerja di kantor dan menggunakan bahasa Inggris.
Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa pola bahasa yang dipakai Maniben
berubah secara bertahap setelah sepuluh tahun. Pada tahap pertama dia masih
menggunakan banyak bahasa Gujerati tetapi akhirnya dia menggunakan bahasa
Inggris dengan baik. Apa yang dialami Maniben adalah suatu tipe bahasa
minoritas yang berhadapan dengan budaya suatu masyarakat yang dominan.
Dominasi itu terlihat pada terjadinya perubahan bahasa yang mungkin berbeda
pada setiap individu dan kelompok masyarakat, dominasi aturan pada perubahan
bahasa berbeda-beda tetapi tahapan dari waktu ke waktu bahasa dari jumlah
penutur yang besar akan mempengaruhi atau menggantikan bahasa yang lebih
kecil atau minoritas. (Holmes Janet, London and New York, 1992:56).
Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa itu
selain menunjukkan dinamika linguistik masyarakat bahasa tersebut, juga dapat
menyebabkan terciptanya masyarakat bilingual. Bahkan, pada tingkat-tingkat
tertentu, dapat membentuk masyarakat multilingual (multilingual society). Pada
20
masyarakat bilingual maupun multilingual, terdapat pola keanekabahasaan yang
mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam
repertoire bahasa masyarakat tersebut. Sumarsono dan Paina (2002:165)
menyatakan bahwa masyarakat multilingual terjadi karena terbentuk dari beberapa
etnis, sehingga masyarakat itu dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural
society). Sementara itu, Wardhaugh (1986:94) mengemukakan bahwa
multilingualisme mungkin saja terjadi yang disebabkan oleh adanya imigrasi atau
adanya perkawinan campuran, misalnya pada kasus multilingualisme di Tukano,
Amazon.
Menurut Gunarwan (2003:55), ada beberapa faktor yang menyebabkan
suatu bahasa menyusup ke dalam masyarakat bahasa yang lain sehingga
masyarakat itu menjadi bilingual, bahkan multilingual, yaitu: pertama, bahasa itu
dipaksa melalui kekuatan militer; kedua, bahasa itu dipakai oleh penguasa di
wilayah baru, paling tidak beberapa abad; ketiga, bahasa itu diperkenalkan ke
wilayah multilingual sehingga bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi
antarkelompok; dan keempat, penguasaan atas bahasa yang semula dipaksakan itu
ternyata memberikan keuntungan dan maslahat bagi orang-orang setempat yang
menggunakaannya, selain melalui cara migrasi atau transmigrasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, peserta tutur harus berhati-hati dalam
melakukan pemilihan bahasa pada suatu peristiwa tutur. Sekurang-kurangnya
harus diperhatikan dua hal, yaitu status sosial (dimensi vertikal) dan jarak sosial
(dimensi horizontal) mitra tutur. Sebagai contoh, mitra tutur yang merasa lebih
tinggi tingkat sosialnya daripada penutur, biasanya akan merasa kurang dihormati
apabila penutur menggunakan pilihan kata yang kurang sopan. Demikian pula
halnya bila seorang penutur yang baru kenal dengan mitra tutur akan cenderung
untuk menggunakan ragam yang lebih sopan. Ketidaktepatan pemilihan bahasa
juga sering terjadi apabila penutur menggunakan ragam bahasa terlalu tinggi.
Mitra tutur yang merasa tidak lebih tinggi status sosialnya daripada penutur akan
merasa canggung. Pada peristiwa seperti itu, biasanya mitra tutur memberi isyarat
dengan berbagai cara agar penutur menurunkan tingkat tuturnya supaya
kecanggungan dapat dihindari. Pemaparan yang disampaikan tersebut
21
menunjukkan rumitnya penggunaan bahasa dalam sebuah masyarakat tutur yang
cenderung multilingual.
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan
bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai
akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer dan
Agustina, 2010: 142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah
ketempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka
maka akan terjadi pergeseran bahasa. Contoh pergeseran bahasa Jakarta baru-
baru ini telah membuka lapangan kerja bagi para lulusan SMK untuk ditempatkan
pada pabrik di kawasan jabodetabek. Kemudian para pemuda yang berasal dari
SMK diseluruh Indonesia berbondong untuk menjadi pekerja di pabrik tersebut.
Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah tersebut pasti akan mengalami
kontak bahasa. Ketika mereka berbicara dengan penutur yang berasal dari daerah
yang sama maka mereka menggunakan bahasa daerah, namun ketika berbicara
bukan dengan penutur yang berasal dari daerah yang sama maka mereka
menggunakan bahasa indonesia dialek Jakarta. Dengan adanya peritiwa ini maka
pergeseran bahasa sangat mungkin terjadi.
Perubahan bahasa adalah adanya perubahan terhadap suatu kata atau
bertambahnya bahasa baru berdasarkan tujuan tertentu Jakobson (1963). Pada
awalnya perubahan bahasa hanya dianggap sebagai variasi bahasa, percampuran
dialek yang tumpang tindih, dan bahkan dianggap tidak dapat diamati. Perubahan
bahasa juga dikenal dengan evolusi bahasa pada jangka waktu tertentu dari
bahasa yang sederhana menjadi bahasa yang lebih kompleks dengan bebagai
variasii, modifikasi, dan ciri khas dari suatu masyarkat tutur. Evolusi juga
diasumsikan sebagai bentuk perubahan yang berkelanjutan dari yang rendah,
sederhana, kurang baik menjadi kondisi yang lebih kompleks atau lebih baik.
Perlu diketahui bahwa perubahan bahasa tidak selalu menguntungkan,
tetapi bisa saja merugikan terhadap suatau bahasa. Perubahan bahasa sama halnya
dengan speies yaitu terjadi klasifikasi yang digambarkan dalam bentuk
kekerabatan. Misal bahasa Indonesia, Malaysia, dan Brunai termasuk keluarga
bahaa Melayu. Selain itu bahasa juga ada yang punah (kata, frasa yang tidak
digunakan lagi) beadaptasi, variasi, dan seleksi alam.
22
Mekanisme perubahan bahasa bisa terjadi secara sengaja dan tidak
disengaja baik dari fonologi dan morfologi. Kenapa salah satu indikator
perubahan adalah bunyi karena 1) bunyi fonologi merupakan unsur terkecil suatau
bahasa yang mudah dipahami, 2) lebih mudah menemukan fakta yang relevan
diabnding tatatran yang lain, 3) kajian bunyi yang mapan karena sudah banyak
diteliti, dan 4) perubahan bunyi yang teratur sehingga menjadi indikasi dengan
bunyi lain (Hock, 1988:573 dan Gordon, 2002:59). Berikut 13 tahap perubahan
fonologi (Labov 1972).
1. Perubahan bahasa bisa terjadi pada sub kelompok tertentu yang terpisah
dengan kelompok lain maka terjadi pergeseran linguistik
2. Terjadi generalisasi bentuk linguistik pada kelompok tersebut berupa
variasai gaya pada tindak tutur dan mempengaruhi semua kelas kata
3. Terjadi Hipercorrection yaitu interaksi sosial pada kondisi yang sama pada
kelompok yang berbeda dengan generasi sebelumya
4. Nilai – nilai linguistik diadopsi oleh kelompok lain dan menyebar
5. Penyebaran suara mulai menjadi ciri batas- batas penyebaran masyarkat
6. Variabel linguistik menjadi salah satu norma yeng mencermikan penuturnya,
indentitas, dan munculnya ragam gaya bahasasa
7. Penyesuaian penggunaan fonologi karena perubahan variabel linguistik
8. Penyesuaian perubahan suara
9. Jika terjadi perubahan pada kelompok penutur status sosial tertinggi akan
menjadi pemisah dengan kelompok sosial bawah
10. Perubahan dimuali dari atas karena penggunaan bahasa yang dianggap
prestis
11. Jika penggunaan bahasa prestise pada kelompok atas tidak sesuai maka
terjadi hypercorrection yang kedua.
12. Jika perubahan penggunaan prestise tidak dipakai maka akan hilang
13. Jika model prestise diadopsi oleh masyarakat tutur maka terjadi tindak tutur
kasual sebagai upaya masyarkat bawah mendekati masyarkata atas.
23
2.2 Bilingualisme
Kedwibahasaan merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh hampir
semua Negara di dunia termasuk Indonesia. Timbulnya kedwibahasaan di
Indonesia disebabkan oleh adanya berbagai suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing serta adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan dengan negara lain yang memiliki bahasa
yang berbeda juga merupakan fakta yang menyebabkan timbulnya
kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait dengan pemertahanan bahasa,
karena pemertahanan bahasa merupakan aspek kedwibahasaan.
Menurut Halliday (1968:141) bilingualisme adalah suatu keadaan yang
timbul sebagai akibat dari kontak bahasa antara dua masyarakat bahasa.
Bilingualisme sendiri dapat dikenali pada seorang anggota masyarakat bahasa
yang menggunakan bahasa kedua betapapun sedikitnya atau tidak sempurnanya.
Spolsky menyebutkan bahwa bilingualisme ialah ketika seseorang telah
menguasai bahasa pertama dan bahasa keduanya (45:1998).
Semula konsep bilingualisme ini berarti penguasaan dua bahasa dengan
sama baiknya. Bahkan Bloomfield (1933:56) menilai bilinguaisme sebagai the
native-like control of two languages. Kemudian Mackey (1968:555) mencatat
bahwa pengertian atau konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi ability to
produce complete meaningful sentences in the either languages, atau oleh
Diebold sebagai passive models in a written language or any contact with
possible modals in a second language and the ability to use these in the
environment of the native language. Perluasan pengertian atau konsep
bilingualisme ini dikemukakan karena kesadaran bahwa sampai dimana seseorang
dianggap bilingual sangat subjektif atau tidak mungkin.
Sementara itu Samsuri (1981:55) menyatakan bahwa bilingualisme sendiri
mempunyai beberapa tingkatan, yaitu bilingualisme bawahan dan bilingualisme
sejajar. Apabila seseorang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya, maka
orang itu adalah dari kelompok bilingual sejajar, penguasaan bahasa yang satu
sama baik dengan penguasaan bahasa yang lain. Tetapi bila salah satu dari kedua
24
bahasa yang dikuasai itu dapat dikuasai dengan baik, maka katakan bahwa orang
itu dari kelompok bilingual bawahan.
Dalam hal masyarakat bahasa Indonesia, maka umumnya mereka adalah
bilingual bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Seperti telah dikemukakan tadi,
bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu adalah bahasa kedua. hal ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga yang menggunakan bahasa
daerah di lingkungan keluarga atau juga dengan masyarakat satu daerah, dan
menggunakan bahasa Indonesia di luar kota lingkungan itu.
Meskipun demikian banyak pula orang Indonesia yang hanya dapat
menggunakan satu bahasa saja, bahasa Indonesia atau bahasa daerah saja. Mereka
yang hanya menguasai bahasa Indonesia umumnya adalah orang-orang yang lahir
dan dibesarkan di kota-kota besar dan lingkungan mereka, keluarga dan
pergaulan, hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Mereka yang hanya dapat menggunakan bahasa daerah umumnya adalah orang-
orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan tidak pernah mengadakan
kontak dengan anggota masyarakat bahasa lain, termasuk masyarakat bahasa
Indonesia.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia
dikatakan sebagai kedwibahasaan. Secara harfiah bilingualisme yaitu berkenaan
dengan penggunaan dua bahasa (Chaer dan Leonie Agustina, 2004:84). Seseorang
dikatakan bilingualisme itu harus dapat menguasai kedua bahasa secara bergantian
pada saat berinteraksi dengan orang lain. Bahasa yang pertama yaitu bahasa ibu
(B1) dan yang kedua yaitu bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).
Penggunaan kedua bahasa tersebut haruslah sesuai dengan kondisi lawan tutur,
maksudnya tahu kapan harus menggunakan B1 dan kapan harus menggunakan
B2. Menurut Fishman dan Halliday bahwa bilingual B1 dan B2 memandang sama
baiknya.
Mackey dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:90) berpendapat bahwa
“bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang
dilakukan penutur bilingual secara bergantian.” Mackey melihat empat aspek
bilingualisme, yaitu: degree, function, alternation, dan interference. Mackey
mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa
25
secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur.
Penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat
yang sama. Demikian juga menurut Rene Appel (1976:176) mengatakan bahwa
apa yang disebut dengan dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga
dua variasi bahasa.
Sebelum membahas lebih jauh tentang bilingualisme alangkah baiknya
kita mengetahui dulu tentang monolingual. Monolingual yaitu kemampuan untuk
menggunakan hanya satu bahasa yang biasanya terdapat di banyak bagian dunia
Barat. Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Istilah bilingualisme mudah dipahami yaitu berkenaan dengan penggunaan dua
bahasa atau dua kode bahasa (Chaer, 2010: 84).
Bilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa antara dua kelompok bahasa
yang berbeda, ada dalam setiap negara di dunia, dalam semua kelas masyarakat,
dan dalam semua kelompok usia. Oleh karena itu, sulit sekarang ini menemukan
masyarakat yang benar-benar monolingual karena tidak ada kelompok bahasa
yang terpisah dari kelompok bahasa yang lain (Grosjean, 1982: 1). Pengertian
bilingualisme antara satu ahli dengan yang lain masih memiliki kekurangan di
sana-sini. Oleh karenanya menurut Grosjean tidak ada definisi bilingualisme yang
dapat diterima secara umum.
Salah satu pengertian bilingualisme disebutkan oleh Bloomfield (1933: 55-
56). Dia mengatakan bahwa dalam kasus-kasus pembelajaran bahasa asing yang
tidak disertai oleh hilangnya bahasa ibu, timbullah bilingualisme, penguasaan dua
bahasa seperti yang dimiliki penutur asli bahasa-bahasa tersebut. Selanjutnya
Bloomfield mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menentukan derajat
kesempurnaan yang dibutuhkan seorang penutur asing yang baik untuk menjadi
seorang dwibahasawan karena perbedaannya relatif.
Ditinjau dari perspektif sosiolinguistik, situasi masyarakat bilingual
maupun multilingual seperti itu cenderung menimbulkan berbagai permasalahan,
seperti permasalahan sosial, budaya, dan situasional.Penjelasan Bloomfield di atas
memiliki kejanggalan. Di satu sisi dia mengatakan bahwa kemampuan menguasai
dua bahasa itu absolut atau mutlak. Berarti kemampuannya sama dengan penutur
bahasa asli. Kemudian kalimat berikutnya dapat dimaknai bahwa kemampuan
26
menguasai dua bahasa itu relatif. Artinya ada perbedaan antara seseorang yang
menguasai dua bahasa dengan penutur asli salah satu bahasa tersebut.
Mackey (1962: 12) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah
praktik penggunaan bahasa dengan bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain
oleh seorang penutur, menurutnya, penguasaan kedua bahasa tersebut harus sama
tingkatnya. Pernyataannya hampir mirip dengan yang dikatakan oleh Weinreich
(1986: 1) bahwa praktik pemakaian dua bahasa berganti-ganti disebut dengan
bilingualisme, sedangkan orang-orang yang memakainya disebut dengan
bilingual.
Ada juga seorang ahli bernama Haugen (1968: 10), yang menyatakan
bahwa bilingualisme diketahui mulai pada saat seorang penutur suatu bahasa
dapat menghasilkan ujaran-ujaran bermakna yang lengkap dalam bahasa lain.
Pernyataan tersebut pun memiliki kekurangan karena setiap orang dapat
menghasilkan ujaran bermakna lengkap dalam bahasa asing, meskipun dia hanya
dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kebanyakan anak-anak remaja zaman
sekarang dapat menyanyikan kagu bahasa Inggris secara lengkap, walaupun
mereka tidak dapat bercakap-cakap dengan bahasa itu.
Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa tidak mudah
mendefinisikan konsep bilingualisme. Dari definisi tersebut dapat dikatakan
bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Bilingualisme pada intinya harus dapat
menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya dua bahasa dalam penutur yang
sama, dengan mengingat bahwa kemampuan dalam bahasa ini dapat sama atau
tidak, dan bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan peranan penting.
Macnamara (1969:80) yang mengatakan bahwa bilingualisme adalah
kemampuan dua bahasa yang meliputi kemahiran-kemahiran berbicara, menulis,
mendengar, dan membaca, atau sekurang-kurangnya satu dari kemahiran tersebut.
Kemahiran ini memiliki derajat berbeda-beda. Menurut Macnamara, kemahiran
dalam satu atau dua bahasa tidak merupakan kecakapan tunggal, tetapi merupakan
gabungan sejumlah kecakapan.
Tidak semua dwibahasawan memiliki empat kemahiran tersebut. Jadi,
seorang dwibahasawan adalah orang yang memiliki sekurang-kurangnya satu dari
keempat kemahiran tersebut, walaupun dengan derajat yang minimal. Kemahiran
27
seorag individu memiliki derajat yang berbeda-beda mulai dari berbicara sampai
mendengar, dari membaca sampai dengan menulis. Ada juga variasinya mulai dari
resmi dan tidak resmi. Salah satu contohnya adalah orang Indonesia yang
memiliki kemahiran sama dalam analisis sintaksis bahasa Inggris dan Prancis,
tidak memiliki kemahiran sama dalam menangakap ragam lisan bahasa Inggris
dan Prancis. Hal ini dapat dimengerti karena ada kemungkinan orang tersebut
lebih sering membaca dalam bahasa Prancis, tetapi jarang berbicara dalam bahasa
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa definisi
bilingualisme berbeda-beda dan masih memiliki kekurangan. Oleh karenanya,
sebelum mengadakan pengukuran bilingualisme kita harus menentukan terlebih
dahulu tipe bilingualisme dan aspek tertentu yang akan kita ukur. Kebanyakan tes
yang ada saat ini dibuat atas dasar penguasaan satu bahasa saja, bukan dua bahasa.
Dalam pengukuran bilingualisme tidak dapat sepenuhnya menggunakan
analisis kontrastif. Analisis kontrastif yaitu membandingkan dua bahasa kemudian
menemukan perbedaan antara keduanya.Analisis kesalahan yang lebih bermanfaat
yaitu dengan berusaha menyelidiki apa yang dihasilkan oleh seseorang
dwibahasawan dan berusaha menjelaskan kesalahan-kesalahan yang ada.
Dalam menganalisis perlu diperhatikan aspek psikolinguistik yang
diungkapkan oleh Mackey (1969: 7—8). Aspek ini membahas pedoman-
pedoman, contoh-contoh, dan pengukuran kemahiran, kapasitas, dan penampilan
seorang dwibahasawan. Kebanyakan pengukuran berdasarkan tes-tes bahasa
mulai dari yang konvensional sampai yang modern, berdasarkan kecakapan,
sampai tes berdasarkan reaksi waktu atas penerjemahan kata secara cepat,
rekaman oral. Mendeteksi kata, melengkapi kata, membaca nama warna, dan
sejumlah tes untuk percobaan tertentu. Hanya saja yang jadi masalah sejauh mana
tes ini dapat mengukur kapasitas dwibahasawan.
Derajat bilingualisme diukur secara langsung dengan memakai tes
membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Namun pengukuran dengan cara
ini mengalami kesulitan. Oleh karena itu, agar lebih ringkas dan ekonomis, akan
dipakai juga pengukuran tak langsung dengan skala penilaian yang di dalamnya
28
meliputi latar belakang bahasa mulai dari si dwibahasawan tersebut, keluarganya,
dan pemakaiannya
Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang
bilingual dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan Sedangkan kemampuan
untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas dalam bahasa Indonesia
disebut juga kedwibahasaan.
Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan
bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki
“bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-
harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya.
Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan
“bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme
brimplikasi pada bilingualitas.
Menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 2004:84) istilah
bilingualisme yang dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara
sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus
menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya (B1) dan yang lain menjadi
bahasa keduanya (B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut
orang bilingual. Sedangkan kemampuan penduduk Rasau Jaya untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme
dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dapat menggunakan
lebih dari dua bahasa/banyak bahasa) dimana bilingualisme dan multingualisme
merupakan model yang sama.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
dapat menimbulkan sejumlah masalah (Chaer, 2004:85). Untuk menjadi
bilingualisme hal ini mempunyai suatu proses dimana pastinya orang-orang akan
terlebih menguasi B1 karena sebagai bahasa ibunya dan kemudian dalam
pergaulan dan interaksi dengan orang lain maka orang tersebut dapat dipengaruhi
oleh masyarakatnya untuk mengetahui bahasa orang lain yang disebut bahasa
29
kedua (B2). Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk pertama sekali orang tersebut
tidak akan bisa dapat langsung menguasai B2 sebaik B1 karena harus berjenjang
dari hanya mulai mengerti sampai pada tahap penguasaan B2-nya sama seperti
B1-nya. Pertanyaan kapan seorang penutur bilingual menggunakan B1 dan B2
atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau
fungsi ragam bahasa tertentu didalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan
adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kalau disini
masalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2 (masalah ragam
bahasa kita tangguhkan dulu karena anatara bilingual dan multulingual
mempunyai model yang sama), maka kembali ke pertayaan kapan B1 harus
digunakan dan kapan B2 harus dipakai.
Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa
pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa kapan dan dengan tujuan apa”. B1
pertama-tama dan terutama dapat digunakan dengan para anggota masyarakat
tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 penutur adalah Bahasa
Simalungun, maka dia akan menggunakan bahasa Simalungun dengan semua
anggota masyarakat tutur yang mengerti bahasa Simalungun, seperti
dalam percakapan dalam keluaraga untuk topik pembicaraan biasa. Untuk formal
memakai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia dan kadang untuk tujuan
tertentu dengan alasan tertentu bisa menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan
walaupun berbeda masyarakat penuturnya yang terpenting mereka bisa saling
mengerti misalnya antara masyarakat jawa dalam menghadapi etnis melayu
menggunakan Bahasa Indonesia bisa juga orang jawa menggunakan bahasa
melayu tergantung kepada lawan bicara nya.
Kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap B1 oleh seorang bilingual
adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa
ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga sedangkan B2
adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari yakni setelah menguasai B1. Bagi
seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B1 karena menguasai B2 hal ini
dapat terjadi kalau si penutur bilingual dalam jangka waktu yang cukup lama
tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya atau hal
ini dapat terjadi apabila si penutur bilingual untuk jangka waktu yang lama tinggal
30
di masyarakat penutur yang berbeda. Misalnya orang melayu yang tinggal di
daerah jawa, dimana masyarakat tutur jawa hanya memungkinkan menggunakan
B1 dalam ruang lingkup keluraga sedangkan dalam bahasa sehari-hari dipergaulan
penutur tersebut harus menggunakan bahasa setempat sehingga dalam jangka
waktu yang lama bahasanya bisa berubah.
Seperti yang dikemukan oleh Wolf (dalam Chaer 2004 : 91), salah satu ciri
bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau
kelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu.
Artinya kedua bahasa itu bisa atau dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja
dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan penggunaan bahasa tergantung pada
kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya di daerah Saribudolok
dimana masyarakatnya adalah majemuk sehingga bahasa yang muncul adalah
multilingualisme dimana masyarakatnya yang terdiri dari penduduk asli yaitu
Simalungun dan penduduk pendatang Suku Karo dan Batak Toba. Penggunaan
komunikasi masyarakatnya dapat menggunakan lebih dari satu bahasa artinya
sama dengan pendapat Wolf dimana masyarakat pada umumnya dapat mengerti
dan menggunakan bahasa penduduk yang ada (Bahasa Simalungun, Karo dan
Batak Toba).
Pemilihan bahasa terjadi dalam masyarakat bilingual maupun multilingual
dan masyarakat diglosik. Pernyataan ini didasarkan pada realita bahwa hanya
dalam situasi masyarakat yang demikian, seorang penutur bilingual/multilingual
cenderung memilih salah satu bentuk bahasa atau variasi bahasa pada saat
menjalin komunikasi dengan mitra tutur, yang diidentifikasi di luar komunitas
bahasanya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang benar-benar monolingual atau
monoglot tidak memungkinkan anggotanya melakukan pemilihan bahasa. Untuk
lebih memperjelas konsep bilingualisme dan diglosia, berikut ini disajikan
pembahasannya secara mendetail.
Istilah bilingualisme (bilingualism) disebut juga kedwibahasaan. Secara
harfiah dapat dipahami bahwa bilingualisme ada hubungannya dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Berdasarkan kajian sosiolinguistik,
bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (Mackey, 1968:12;
31
Fishman, 1975:73). Agar dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang
harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa
pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa
itu disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasawanan (Chaer
dan Agustina, 2004: 84).
Bloomfield (1933:54) mengemukakan bahwa bilingualisme merujuk pada
gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat penguasaan yang sama seperti
penutur asli bahasa itu. Bilingualitas sebagai penguasaan yang sama baiknya atas
dua bahasa (native like control of two languages). Penguasaan dua bahasa dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
Konsep Bloomfield ini banyak dipertanyakan karena beberapa hal.
Pertama, bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang
penutur terhadap dua buah bahasa yang digunakannya. Kedua, mungkinkah ada
seorang penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya.
Kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan untuk
menggunakan B2 dalam situasi yang biasa, atau sebaliknya, seseorang yang
terlalu lama tinggal dalam masyarakat tutur B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur
B1-nya), akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan B2-nya
daripada B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai hubungan
bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado (1964, dalam
Bloomfield, 1933) berpendapat bahwa bilingualisme merupakan kemampuan
menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama
baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimanapun tingkatnya.
Penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya. Menurut
MacKey (1968:555), bilingualisme merupakan praktik penggunaan bahasa secara
bergantian, dari satu bahasa ke bahasa lain, oleh seorang penutur. Bilingualitas
merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the
alternate use of two or more languages by the same individual).
32
Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan bilingualitas
dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang
tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu: mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis.
Beberapa jenis pembagian bilingualitas berdasarkan pada tipologi
bilingual, yang meliputi; pertama, Bilingualitas Majemuk (compound
bilingualism), yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa kemampuan
berbahasa penutur dalam salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan
berbahasa pada bahasa yang lain. Bilingualitas ini didasarkan pada kaitan antara
B1 dengan B2 yang dikuasai oleh penutur bilingual. Kedua bahasa itu dikuasai
oleh penutur bilingual tetapi berdiri sendiri-sendiri. Kedua, Bilingualitas
Koordinatif/Sejajar, yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa pemakaian dua
bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Bilingualitas seimbang dikaitkan
dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua
bahasa. Ketiga, Bilingualitas Sub-ordinatif (kompleks), yaitu bilingualitas yang
menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Bilingualitas ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1, misalnya kelompok penutur bahasa yang sedikit, yang dikelilingi dan
didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga kelompok penutur
bahasa yang sedikit ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Selain bilingualisme, dikenal juga istilah multilingualisme (Mesthrie,
2000: 37), yaitu merujuk pada penguasaan atau penggunaan lebih dari dua
bahasa. Seringkali, istilah bilingualisme dan multilingualisme dibedakan
pengertiannya. Bilingualisme merujuk situasi yang menggunakan dua bahasa saja,
sedangkan multilingualisme merujuk situasi yang menggunakan lebih dari dua
bahasa. Namun, istilah bilingualisme juga digunakan secara lebih luas untuk
merujuk semua kasus yang melibatkan pemakaian dua atau lebih bahasa (Pietro,
1970: 17. Konsep bilingualisme berarti “situasi yang menggunakan dua bahasa
atau lebih”, seperti yang diusulkan Appel dan Muysken (1987:3). Dalam
penelitian ini, konsep dasar mengenai bilingualisme juga digunakan untuk
menjelaskan mengenai multilingualisme. Hal itu sejalan dengan pendapat
Romaine (1995:12) yang menyetujui definisi mengenai bilingualisme yang
33
diajukan oleh Mackey (1968:555) untuk menjelaskan pula mengenai
multilingualisme.
Mackey (1968) menyimpulkan bahwa untuk mempelajari bilingualisme
kita dipaksa untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang sama sekali relatif
karena titik di mana pembicara bahasa kedua menjadi dua bahasa adalah
sewenang-wenang atau tidak mungkin untuk ditentukan. Oleh karena itu, dia
menganggap bilingualisme sebagai alternatif penggunaan dua bahasa atau lebih.
Mengikuti dia, saya juga menggunakan istilah 'bilingualisme' untuk memasukkan
multilingualisme.
Sehubungan dengan pemikiran mengenai bilingualisme atau
multilingualisme, Sumarsono dan Paina (2002:76) mengemukakan bahwa
masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society)
adalah masyarakat yang memiliki beberapa bahasa. Masyarakat tersebut
terbentuk karena beberapa etnis ikut membentuk masyarakat sehingga dari segi
etnis bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kondisi
masyarakat tutur yang seperti itu terkait erat dengan adanya diglosia serta kode
dan alih kode.
Dalam Tarigan (2009:2) istilah bilingualism diberi padanan kata dengan
kedwibahasaan atau dwibahasa, dan istilah bilingual bersinonim dengan
dwibahasawan. Kedwibahasaan berarti perihal pemakaian dua bahasa (seperti
bahasa daerah di samping bahasa Indonesia). Sama seperti yang diungkapkan oleh
Tarigan, dalam Chaer dan Agustina (2010:84) istilah bilingualisme (Inggris:
bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya
secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu,
yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara
sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian, Mackey dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 84).
Kedwibahasaan telah menjadi suatu kenyataan yang harus diperhatikan
dan dipertimbangkan dalam membahas masalah kebahasaan yang digunakan
penduduk dalam beinteraksi pada masyarakat kita sekarang. Kedwibahasaan ini
telah menjadi sendi pergaulan dan kehidupan masyarakat. Ia telah memberikan
34
corak dan watak perilaku berbahasa bagi kalangan penduduk yang pergaulan
sehari-harinya menggunakan lebih daripada satu bahasa, bagaimanapun
asalmuasalnya (Kamaruddin, 1989:1).
Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur asli yang oleh Bloomfield (dalam
Kamaruddin, 1989:3) dirumuskan sebagai “the native like of two languages”
(penggunaan dua bahasa seperti halnya bahasa sendiri).
Bloomfield (1995:54) mengatakan bahwa dalam kasus belajar bahasa
asing yang ekstrem, penutur menjadi begitu mahir sehingga tidak dapat dibedakan
dengan penutur-penutur asli di sekitarnya. Dalam kasus-kasus yang demikian,
belajar bahasa asing yang baik sekali tidak disertai kehilangan bahasa ibu, akan
menghasilkan bilingualisme atau kedwibahasaan, yaitu penguasaan dua bahasa
seperti penutur asli.
Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya
dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan
yang kita akan sebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah kebiasaan
menggunakan menggunakan dua bahasa dalam interaksi (Nababan, 1984: 27).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme
atau kedwibahasaan adalah sebuah kemampuan dan kebiasaan seorang penutur
menggunakan dua bahasa dalam pergaulannya atau interaksinya dengan
masyarakat, sedangkan penuturnya disebut dwibahasawan.
Menurut Nababan (1984:27) kedwibahasaan atau bilingualisme adalah
kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Bilingualitas adalah kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu
memakai dua bahasa. Kemampuan seseorang berdwibahasa antara satu dengan
yang lain berbeda, ada yang aktif maupun pasif.
Istilah kedwibahasaan bersifat nisbi (Suwito, 1985:40). Dikatakan nisbi
karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan hampir tidak dapat
ditentukan secara pasti/arbriter. Pandangan orang berbeda-beda tentang pengertian
kedwibahasaan. Oleh sebab itu, pengertian kedwibahasaanpun selalu berkembang
seiring kemajuan zaman.
35
Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa yang sama baik oleh seorang penutur (Bloomfield dalam Suwito,
1985:40). Pada perkembanganya pendapat seperti ini tidak sesuai lagi dengan
kemajuan ilmu bahasa, karena untuk menentukan sejauh mana seorang penutur
dapat menggunakan bahasa dengan sama baiknya tidak ada dasar sehingga sulit
diukur dan hampir tidak dapat dilakukan. Pengertian kedwibahasaan seperti itu
dipandang sebagai salah satu jenis kedwibahasaan saja sehingga orang kemudian
mengajukan pengertian kedwibahasaan yang lain.
Menurut Diebold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:86) menyebutkan
adanya kedwibahasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu
kedwibahasaan yang dialami orang-orang, terutama anak-anak yang sedang
mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tingkat ini kedwibahasaan
masih sangat sederhana, namun pada tahap inilah terletak dasar kedwibahasaan
untuk tahap selanjutnya.
Menurut Weinriech (dalam Aslinda dan Leny, 2007:23) mengatakan
kedwibahasaan adalah the practice of alternately using two languages yaitu
kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Selanjutnya,
Mackey menyatakan kedwibahasaan adalah the alternative use two of more
languages by the same individual yang artinya menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang. Kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa, melainkan sifat
penggunaan bahasa. Hal itu bukan ciri kode, melainkan ciri pengungkapan, bukan
merupakan gejala bahasa (langue), melainkan bagian dari gejala tutur (parole).
Jika bahasa milik kelompok maka kedwibahasaan milik individu.
Penggunaan bahasa oleh seseorang mengharuskan adanya dua masyarakat
dwibahasawan.
Masyarakat dwibahasawan dianggap sebagai kumpulan terikat individu-
individu yang mempunyai alasan kuat akan adanya dwibahasawan. Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebiasaan
menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain disebut
kedwibahasaan atau bilingualisme. Bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas,
bahasa berupa bahasa Jawa dan bahasa Sunda, sampai berupa dialek atau ragam
dari sebuah bahasa.
36
Masyarakat Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa
ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain menggunakan
keduabahasaan itu, tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari atau
menggunakan bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah. Dengan demikian
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bilingual atau dwibahasawan.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus
menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa
pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa kedua (disingkat B2), dalam hal ini bahasa Indonesia. Dalam Chaer dan
Agustina (2004:84-85) orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut
orang yang bilingual atau dwibahasawan.
Menurut Weinreich (dalam Aslinda dan Leny, 2007:26), seseorang yang
terlibat dalam praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang
disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa
dwibahasawan yang satu berbeda dengan dwibahasawan yang lain, bergantung
pada setiap individu yang mempergunakannya dan dwibahasawan dapat dikatakan
mampu berperan dalam perubahan bahasa.
Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dwibahasawan yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan dapat menggunakan
kedua bahasa tersebut secara bergantian dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Dikatakan pula oleh Van Overbeke (dalam Chaer 1988: 4) bahwa
kedwibahasaan adalah sarana sunah atau wajib bagi komunikasi dua arah yang
efisien antara dua atau lebih “dunia” yang berbeda yang menggunakan dua sistem
linguistik yang berbeda. Fenomena kedwibahasaan oleh Mackey (dalam Chaer
1988: 4) merupakan sesuatu yang sepenuhnya bersifat relatif. Oleh karena itu, kita
akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasaan sebagai penggunaan
secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama.
Penelitian Sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode bahasa tentu
sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu
sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada
abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh
Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua
37
bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini
mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang
menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh
Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa seseorang
baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya
sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh Einar Haugen (1966, dalam Suhardi
dan Sembiring, 2005:58) yang mengartikannya sebagai kemampuan memberikan
tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain. Definisi ini merupakan
definisi yang lebih sempit batasannya dibandingkan dengan definisi yang
diajukan oleh Bloomfield karena adanya batasan yang diberikan, yakni hanya
orang yang mampu bertutur secara lengkap dan bermakna saja yang dapat disebut
sebagai dwibahasawan. Selanjutnya, W.F. Mackey (1972:554) menggambarkan
kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau
lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang
dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
Dari tiga pengertian di atas, konsep kedwibahasaan telah mengalami
penyederhanaan dan perlunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Istiati. S
(1985:10) yang menyatakan bahwa konsep kedwibahasaan setiap waktu semakin
diperlunak. Walaupun mengalami penyederhanaan dan perlunakan konsep, namun
tentu saja definisi tersebut tidak terlepas dari batasan-batasan kedwibahasaan.
Kontak bahasa yang terjadi antara penutur yang berbeda mendorong
seseorang menjadi dwibahasawan (bilingual). Kedwibahasaan dalam kajian
sosiolinguistik adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
kegiatan komunikasi (Loveday, 1986:8). Konsep ini mengacu pada penguasaan
dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian dalam interaksinya dengan
orang lain. Salah satunya adalah bahasa pertama atau bahasa ibu dan yang kedua
adalah bahasa lain yang dikuasainya (Chaer dan Agustina, 1995:112). Adapun
Nababan (1984:27) memaknai konsep kedwibahasaan mengacu pada dua
pengertian, yaitu dalam makna kebiasaan dan dalam makna kemampuan. Nababan
menggunakan istilah bilingualisme merujuk pada kebiasaan menggunakan dua
38
bahasa dalam interaksi dengan orang lain dan bilingualitas merujuk pada
kesanggupan atau kemampuan seseorang memakai dua bahasa.
Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen
(dalam Suwito, 1983:41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua
bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan,
seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi
cukuplah apabila dia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu
berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan
penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa. Dihubungkan
dengan fenomena kebahasaan dalam pertuturan TBKM, kedwibahasaan
merupakan kemampuan menggunakan dua bahasa secara bergantian sehingga
saling penngaruh kedua bahasa tersebut tidak dapat dihindari. TBKM
menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari
dengan keluarga, teman, maupun turis lokal. Ketika melayani turis asing, mereka
mengganti kode dengan bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi sehingga
terjadi penggunaan kedua bahasa secara bergantian, yang satu mereka aktif
menguasai, tetapi pada sisi yang lain, mereka kuasai secara pasif.
2.3 Interferensi
Interferensi adalah penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang lain dari yang
sedang digunakan seseorang dalam pembicaraan atau tulisannya (Mackey,
1968:575). Samsuri (1981:55) juga berpendapat bahwa setiap pemakaian unsur
dari satu bahasa di dalam bahasa lain ialah inferensi yang dapat menjadi
gangguan apabila hal itu menyebabkan dislokasi struktut dalam bahasa yang
dipakai. Dalam hal seorang bilingual, kemungkinan ini dapat terjadi, terutama
dari para bilingual sejajar, yaitu mereka yang tingkat penguasaannya atas bahasa
asing dan bahasa ibu sama baiknya. Dalam kertas kerjanya untuk Kongres Bahasa
Indonesia III, pada tahun 1978, Poedjosoedarmo (hal. 20) menyatakan bahwa
inferensi ini terjadi karena sistem bahasa yang kemudian dipelajari berbeda dari
sistem bahasa ibu yang telah dikuasai terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan pula oleh
Halliday (1968:147) yang menyatakan:
39
“When we learn a foreign language, we normally transfer patterns
from our native language on to the language we are learning.”
Haugen (1968:50) mengatakan bahwa interferensi antara linguistic
overlap apabila dua sistem digunakan bersamaan pada suatu pokok persoalan.
Ditambahkan juga bahwa bentuk tumpang tindih ini bervariasi, mulai dari bentuk-
bentuk yang tidak disesuaikan sama sekali dan bentuk-bentuk yang sudah
disesuaikan sebelumnya. Segala bentuk asing yang digunakan dalam suatu bahasa
disebut importation sedangkan segala bentuk-bentuk yang dihasilkan kemudian
dengan menggunakan persamaan itu disebut substitution. Baik importation
maupun substitution itu dapat terjadi secara diafonis (diaphonic) maupun
diamorfis (diamorphic).
Diafonis adalah proses penyesuaian bunyi bahasa asing ke dalam bahasa
seseorang dengan menggunakan bunyi yang paling mirip dengan yang
mempunyai oleh orang itu dalam sistem bunyi bahasanya. Misalnya pada
sekelompok orang Indonesia yang tidak bisa melafalkan bunyi /f/ dalam bahasa
Inggris misalnya, akan menggunakan bunyi /p/. Karena bunyi /p/ adalah bunyi
yang paling mirip yang ada dalam sistem bunyi bahasanya dengan bunyi /f/ dari
bahasa Inggris. Misalnya, pada kata pinjaman dari bahasa Inggris yang telah
disesuaikan fraksi maka orang itu akan mengucapkan kata itu sebagai praksi.
Bunyi labio dental tak bersuara /f/ dalam bahasa Inggris serta bunyi labio
dental bersuara /v/ seperti dalam /variasi/ diucapkan dengan menggunakan bunyi
bilabial tak bersuara /p/. Maka kata-kata kemudian, bagi sekelompok masyarakat
bahasa Indonesia akan menjadi /fraksi/ dan /pariasi/ larena dalam sistem bunyi
bahasa sekelompok orang itu tidak terdapat bunyi labio dental baik yang bersuara
maupun yang tidak bersuara. Hal ini tidak berlaku bagi sebagian masyarakat
bahasa Indonesia, karena meskipun dalam sistem bunyi bahasa Indonesia tidak
terdapat bunyi /f/ dan /v/ tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia mampu
memproduksi bunyi labio dental baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.
Meskipun demikian dalam bentuk penyesuaiannya tidak dibedakan penggunaan
bentuk labio dental yang bersuara maupun tidak, kedua kata variasi dan fraksi
akan diucapkan dengan menggunakan bunyi labio dental tak bersuara /f/ sehingga
40
menjadi /fariasi/ dan /fraksi/. Hal ini tidak berlaku dalam penulisan ejaan, karena
kedua kata itu tetap ditulis dengan menggunakan huruf /f/ dan /v/.
Seperti juga dalam sistem bunyi bahasa, hal ini akan terlihat pula dalam
bentuk linguistik terkecil yang mempunyai arti, yaitu morfem. Dalam tingkat ini,
akan terjadi diamorfis, yaitu variasi morfem atau kelompok morfem tertentu suatu
bahasa dalam bahasa lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata sangsi dan
sanksi yang ucapannya sama, berbeda fungsinya. Penulisan kedua kata itu secara
fonetis tidak berbeda, oleh karena kedua kata sangsi dan sanksi disebut homofon.
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang
terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari
pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi
meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh
interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada
kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa jawa.
Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendiriètoko laris
adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada
kata kamanahèkemana(bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (dalam Chaer
dan Agustina, 2004:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa lain yang dilakukan oleh penutur
yang bilingual. Batasan pengertian interferensi lebih lanjut oleh Weinreich (dalam
Aslinda dan Leny, 2007:66) adalah “those instance of deviation from the norm of
etheir language wich occur in the speeks bilinguals as a result of their familiary
with more than one language, i.e. as a result of language contact” atau
penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi
dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka lebih
dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.
Selain itu, Hartmann dan Stork (dalam Alwasilah, 1985:131) juga
berpendapat bahwa interferensi adalah “the errors by carrying over the speech
habits of the native language or dialect into a second language or dialect”
41
kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau
dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Interferensi merupakan salah satu
pengaruh dari kontak bahasa. Interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech,
parole) terjadi hanya pada dwibahasaawan dan peristiwanya dianggap sebagai
penyimpangan. Interferensi sebenarnya dapat dihindarkan karena dalam unsur
serapan telah ada padanan kata di dalam bahasa penyerap. Sehingga terjadi
perkembangan bahasa pada bahasa yang bersangkutan. Kecil kemungkinan
seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dapat memilih kata dalam
satu pembicaraan pada satu waktu.
Interferensi merupakan salah satu mekanisme yang cukup frekuentif dalam
perubahan bahasa. Di mana persentuhan antara bahasa-bahasa makin kompleks,
interferensi dapat dikatakan sebagai gejala perubahan terbesar, terpenting dan
paling dominan dalam bahasa (Nababan dalam Suwito, 1985:54). Menurut Suwito
(1985:55), dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peranan
yaitu: bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau resipien dan unsur
serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa mungkin pada suatu
peristiwa suatu bahasa merupakan bahasa donor, sedangkan pada peristiwa lain
bahasa tersebut merupakan resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam
kontak bahasa.
Chaer dan Agustina (2004:120) menyatakan dalam peristiwa interferensi
digunakanya unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang
dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan
bahasa yang digunakan. Kalau dilacak penyebab terjadinya interferensi ini
kembali pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu
sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Biasanya interferensi terjadi dalam
menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua
itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (B1).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan interferensi
adalah penyimpangan bahasa yang disebabkan oleh masuknya unsur bahasa satu
ke dalam bahasa lain yang seharusnya tidak perlu terjadi karena telah ada
padanannya.
42
Sejumlah pakar sosiolinguistik mengungkap, pada dasarnya interferensi
adalah pengacauan bahasa yang terjadi dalam diri orang yang berbilingual atau
lebih.Bahasa yang dipakai oleh penutur bilingual adalah bahasa pertama, yakni
bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua, yakni bahasa ajaran (B2). Sama halnya pula
dengan penutur multilingual, ia memiliki bahasa ibu (B1), bahasa ajaran pertama
(B2), bahasa ajaran kedua (B3), dan mungkin bahasa ajaran ketiga (B4), bahasa
ajaran keempat (B5), dan seterusnya. Bahasa Indonesia ada kalanya sebagai B1
dan adakalanya sebagai B2. Ketika satu keluarga yang berlatar belakang bahasa
Betawi ingin menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, maka bahasa
Betawi adalah B1 (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai B2 (bahasa ajaran).
Lain halnya ketika orang Indonesia yang menetap di Negara Inggris, ketika ia
ingin menggunakan bahasa Inggris saat bertutur, kedudukan bahasa Indonesia
sebagai B1 (bahasa ibu) dan bahasa Inggris sebagai B2 (bahasa ajaran). Seseorang
yang memiliki dua bahasa (bilingual) dan banyak bahasa (multilingual)
berkesempatan untuk memilih bahasa dalam bertutur. Pemilihan bahasa mereka
lakukan atas dasar psikologis diri mereka masing-masing. Sedangkan penutur
yang memiliki satu bahasa saja (monolingual) tidak memiliki kesempatan untuk
memilih bahasa dalam bertutur.
Contoh penyebab terjadinya multilingual pada Kalala yang disebabkan
karena faktor lingkungan.
Kalala berumur 16 tahun. Dia tinggal di Bukavu, sebuah kota di
Afrika di Timur Zaire dengan populasi 220.000 jiwa. Itu adalah
suatu Negara dengan banyak budaya dan bahasa dan lebih banyak
orang yang datang dan pergi untuk bekerja dan alasan bisnis dari
pada orang-orang yang tinggal menetap di sana. Lebih dari empat
puluh kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda dapat
ditemukan di kota ini. Kalala seperti teman-temannya yang lain
adalah pengangguran. Dia menghabiskan hari-harinya berkelana di
jalan, kadang kala singgah di tempat-tempat yang biasa orang
temui seperti di pasar, di taman, atau di tempat temannya. Selama
dalam kesehariannya ia menggunakan sedikitnya tiga jenis atau
kode bahasa yang berbeda-beda bahkan terkadang lebih.
Berdasarkan contoh di atas, pemakaian bahasa penutur yang multilingual
ataupun bilingual terjadi secara bergantian, karena mereka memiliki pilihan
bahasa. Pemilihan bahasa dapat ia sesuaikan dengan situasi peristiwa tutur.
43
Pemakaian bahasa secara bergantian itulah yang dapat memicu terjadinya
interferensi pada penutur. Masyarakat bilingual ataupun multilingual akan sulit
menghindari interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain. Pendapat
yang sama diungkapkan pula oleh Jendra:
Interferensi merupakan sebuah bentuk situasi atas penggunaan bahasa kedua atau bahasa lain dengan para penggunanya yang dianggap tidak tepat untuk mempengaruhi bahasa tuturan si pengguna.
Berdasarkan pendapat Jendra di atas, memperjelas hakikat interferensi
sesungguhnya, bahwa interferensi hanya dapat dilakukan oleh penutur bilingual
dan multilingual.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual.Bahasa memiliki sistem.Perubahan sistem yang terjadi pada suatu
bahasa dianggap menyalahi kaidahgramatikabahasa itu sendiri. Suatu unsur
bahasa lain yang berdiri sendiri pada struktursebuah bahasa dianggap sebagai
pengacauan. Interferensi dapat terjadi ketika penutur bilingual maupun
multilingual tersebut memasukkan dua bahasa sekaligus dalam suatu ujaran, baik
dari segi fonem, morfem, kata, frase, klausa, maupun kalimat. Interferensi yang
terjadi dapat dilihat pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, leksikon, dan
semantik.
Hartmann & Stork dalam Chaer, mengungkapkan bahwa interferensi juga
dimaknai sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan- kebiasaan
ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua Interferensi
bersifat merusak bahasa yang terinterferensi, baik bahasa ibu (B1), maupun
bahasa ajaran (B2). Interferensi muncul bukan karena penutur mahir dalam
menggunakan kode-kode dalam bertutur. Sebaliknya, interferensi muncul karena
kurang dikuasainya kode-kode tersebut dalam bertutur. Penguasaan bahasa yang
dimiliki penutur bilingual ataupun multilingual tidak seimbang atau tidak sama
baiknya. Penguasaan bahasa yang tidak seimbang dapat terjadi ketika bahasa ibu
(B1) lebih dikuasai dari pada bahasa ajaran (B2), ataupun sebaliknya.
44
Sesungguhnya, interferensi berlaku bolak balik, bisa dengan bahasa ajaran (B2)
tercampur pada struktur bahasa ibu (B1), bisa juga dengan bahasa ibu (B1)
tercampur pada struktur bahasa ajaran (B2). Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah kekeliruan dalam berbahasa
denganmemasukkan unsur bahasa lain dalam suatu bahasa yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual maupun multilingual secara individual.
Interferensi dapat terjadi pada semua tuturan bahasa dan dapat dibedakan
dalam beberapa jenis. Weinreich (dalam Aslinda dan Leny, 2007:66-67)
mengidentifikasikan empat jenis interferensi sebagai berikut.
1. Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain.
2. Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan.
3. Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam
bahasa pertama
4. Pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam
bahasa pertama
Menurut Suwito (1985:55) interferensi dapat terjadi dalam semua
komponen kebahasaan yaitu dalam bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat,
tatakata, dan tatamakna. Di samping itu, Weinreich (dalam Aslinda dan Leni,
2007:67) juga membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu
interferensi fonologi, interferensi gramatikal, dan interferensi leksikal yang akan
dijabarkan sebagai berikut.
1) Interferensi Fonologi
Interferensi fonologi terjadi apabila fonem-fonem yang digunakan dalam
suatu bahasa menyerap dari fonem-fonem bahasa lain. Jika penutur bahasa Jawa
mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/
dengan penasalan di depanya, maka terjadilah interferensi tatabunyi (interferensi
fonologi) bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, misalnya: /mBandung/, /nDeli/,
/ngGombong/, /nJambi/, dsb.
45
Ada empat tipe utama dari interferensi fonologis, yakni
underdifferentiation, over-differentiation, reinterpretations, dan phone substitution
(Bell dalam Maryam, 2011:19). Untuk menemukan adanya interferensi fonologis,
perlu diketahui fonem-fonem yang ada dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
yakni sebagai berikut.
Tabel 1. Fonem-Fonem Dalam Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia
Fonem Bahasa Indonesia Fonem Bahasa Jawa
Vokal : /u/, /e/, /ə/, /a/, /o/, /i/
Konsonan : /b/, /p/, /d/, /t/, /c/, /j/, /k/,
/g/, /f/, /s/, /z/, /s/, /x/, /h/, /m/, /n/, /ŋ/,
/r/, /l/, /w/, /y/
Diftong : /ai/, /au/, /oi/
Vokal : /u/, /e/, /ə/, /ε/, /a/, /o/, /o/, /i/
Konsonan : /b/, /p/, /d/, /d/, /t/, /t/, /c/,
/j/, /k/, /g/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ŋ/, /r/, /l/,
/w/, /y/
Diftong : -
2) Interferensi Morfologis
Interferensi dalam bidang gramatikal terjadi apabila dwibahasawan
mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada
sistem bahasa pertama dan menggunakanya dalam tuturan bahasa kedua dan
demikian sebaliknya (Aslinda dan Leny, 2007:74). Sesuai pendapat Weinreich
dalam Aslinda dan Leny (2007:74-75), bahwa gejala interferensi itu berupa fonik,
gramatikal (morfologi dan sintaksis), dan leksikal. Jadi interferensi yang terjadi
pada bidang morfologi dan sintaksis dimasukkan ke dalam bidang gramatikal.
Seperti yang sudah kita ketahui, interferensi dapat terjadi pada tataran
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Dalam penelitian ini,
interferensi dibatasi pada tataran morfologis. Secara etimologi, morfologi berasal
dari kata morf yang berarti “bentuk‟ dan logi yang berarti “ilmu‟. Jadi secara
harfiah kata morfologi berarti „ilmu yang mengenai bentuk-bentuk dan
pembentukan kata‟. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti morfologi
mempelajari semua masalah pembentukan kata, yakni morfem dan sejenisnya.
Morfem menurut Hockett dalam Muhajir, adalah elemen terkecil yang
secara individual mengandung arti. Dengan kata lain, jika ada bagian dari kata
46
yang tidak memiliki arti tidak dapat dikaji dalam morfologi. Jadi, morfologi
merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari kata dan pembentukan kata
yang mengandung arti.
Berdasarkan pengertian di atas, Interferensi morfologis adalah interferensi
yang dilakukan oleh penutur bilingual dan multilingual dalam proses
pembentukan kata yang mengandung arti. Chaer berpendapat “interferensi dalam
morfologi, antara lain terdapat pembentukan afiks.
Afiks-afiks suatu bahasa dilakukan untuk membentuk kata dalam bahasa
lain”. Afiks suatu bahasa berfungsi untuk membentuk suatu kata dalam bahasa.
Masing-masing bahasa memiliki kombinasi dalam pembentukan kata.
Pembentukan sebuah kata yang bukan pada kombinasinya, merupakan sebuah
pelanggaran dalam tataran morfologi yang kita sebut dengan interferensi
morfologi.
Alat pembentuk dalam proses morfologi adalah (a) afiks dalam afiksasi,
(b) pengulangan dalam proses reduplikasi, (c) penggabungan dalam proses
komposisi, (d) pemendekan atau penyingkatan delam proses akronimisasi, dan (e)
pengubahan status dalam proses konversi. Dalam pembahasan ini, morfologi
dibagi dalam bentuk kata, afiks, dan pengulangan.
a. Leksem
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008, Leksem merupakan
satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari pelbagai bentuk kata. Leksem
dalam pembahasan ini diartikan sebagai kata dasar. Kata dalam morfologi
merupakan satuan terbesar, dibentuk melalui salah satu proses morfologi (afiksasi,
reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi). Contoh kata dasar: minum,
mandi, puku, dan sebagainya.
b. Afiks
Afiks merupakan pembentuk kata dasar. Wujud fisik dari hasil proses
afiksasi adalah kata berafiks, disebut juga kata berimbuhan, kata turunan, atau
kata terbitan. Jenis-jenis afiks adalah:
1. Prefiks, yaitu pembentuk awalan. Seperti me-, ber-, di-, ter-, ke-, danse.
47
Contoh:
a. Prefiks me- : memakan, melihat, merayu, dan sebagainya.
b. Prefiks ber- : berkebun, bermain, bergadang, dan sebagainya.
c. Prefiks di- : dipuji, ditulis, digabung, dilipat, dan sebagainya.
d. Prefiks ter- : terkena, terdampar, terpukul, dan sebagainya.
e. Prefiks ke- : kemana, kemari, kedua, ketiga, dan sebagainya.
f. Prefiks se- : seorang, seekor, sekampung, dan sebagainya.
2. Sufiks, yaitu pembentuk akhiran. Seperti: -an, -kan, dan–i. Contoh:
a. Sufiks –an : akhiran, mainan, pujian, sapaan, dan sebagainya.
b. Sufiks –kan: jelaskan, kenalkan, mainkan, dan sebagainya.
c. Sufiks–i: nasihati, gulai, payungi, masuki, dan sebagainya.
3. Infiks, yaitu pembentuk sisipan. Seperti: -el-, -em-,-er-. Contoh:
a. Infiks -el-: telunjuk, telapak, geletar, pelatuk, dan sebagainya.
b. Infiks -em-: jemari, gemetar, seminar, dan sebagainya.
c. Infiks -er-: gerigi, gendering, rerumput, dan sebagainya.
4. Konfiks, yaitu pembentuk gabungan awalan dan akhiran pada kata dasar.
Seperti pe-an, per-an, per-kan, per-i, ke-an, ke-nya, se-nya, me-kan, me-i,
danber-an. Contoh:
a. Konfiks pe-an: pelanggaran, penggarisan, dan sebagainya.
b. Konfiks per-an: peraturan, perawatan, dan sebagainya.
c. Konfiks per-kan: perlihatkan, perdebatkan, dan sebagainya.
d. Konfiks per-i: perbaiki, pergauli, dan sebagainya.
e. Konfiks ke-an: kenakalan, keadaan, dan sebagainya.
f. Konfiks ke-nya: keduanya, ketiganya, dan sebagainya
g. Konfiks se-nya: seandainya, sekiranya, dan sebagainya
h. Konfiks me-kan: meramaikan, menyucikan, dan sebagainya.
i. Konfiks me-I: meludahi, melampaui, dan sebagainya.
j. Konfiks ber-an: bertaburan, berlarian, dan sebagainya.
c. Pengulangan
Pengulangan atau yang disebut juga reduplikasi, yakni proses pengulangan
bentuk kata dasar. Wujud fisik dari proses reduplikasi adalah kata ulang, atau
disebut juga bentuk ulang. Contoh: kuning- kuning, ramai-ramai, jari-jemari,
48
bermacam-macam, sayur-mayur, dan sebagainya.
Berdasarkan pandangan ahli linguistik, interferensi morfologis dapat
diartikan sebagai pelanggaran berbahasa dengan adanya unsur serpihan dari
bahasa lain dalam pembentukan kata dari bahasa itu sendiri. Pembentukan kata
yang tidak sesuai dengan kombinasinya dianggap sebagai suatu pelanggaran yang
disebut dengan interferensi morfologis. Interferensi morfologis dapat terjadi pada
bentuk terikat seperti prefiks, sufiks, dan konfiks. Contoh interferensi morfologis
adalah neonisasi, tendanisasi, ketabrak, kejebak, yang seharusnya dalam bahasa
Indonesianya adalah peneonan, penendaan, tertabrak, terjebak. Bahasa Indonesia
tidak mengenal sufiks –isasi, melainkan konfiks pe-an untuk menyatakan proses.
Bahasa Indonesia juga menggunakan prefiks ter- untuk menyatakan
ketidaksengajaan. Sedangkan kata ketabrak dan kejebak berasal dari bahasa Jawa
dan Betawi yang menyatakan ketidaksengajaan.
Contoh kalimat yang mengandung interferensi morfologis:
1. Tolong ambilin pulpen saya! (Tolong ambilkan pulpensaya!)
Maaf bu, tadi saya ketiduran. (Maaf bu, tadi sayatertidur.)
2. Sebaiknya kamu diam wae, dari pada membuatpusing.
(Sebaiknya kamu diam saja, dari pada membuat pusing.)
3. Yah apa boleh buat, better late than noit.
(Yah apa boleh buat, lebih baik telat dari pada tidak.)
Berdasarkan contoh interferensi morfologis di atas, membuktikan bahwa
bahasa Indonesia dapat terinterferensi bahasa Betawi, Jawa, Sunda, bahkan
Inggris sekalipun.
Berdasarkan ada tidaknya proses morfologi dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa, kata dibedakan menjadi kata tunggal, kata majemuk, kata
berimbuhan, dan kata ulang (murni dan berimbuhan). Ramlan dalam penelitian
Siti Maryam (2011:20) mengatakan bahwa kata tunggal adalah kata-kata yang
hanya terdiri dari satu morfem bebas apa saja tanpa kehadiran morfem terikat atau
morfem bebas lain.
Kata berimbuhan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang dibentuk
dengan afiksasi yang meliputi prefiks meN-, ber-, di-, ter-, peN-, pe-, per-, dan se,
sufiks –kan, -an, -i, dan –wan, konfiks ke-an, peN-an, per-an, ber-an, dan se-nya
49
(Ramlan, 2001:62-63). Adapun afiks dalam bahasa Jawa diantaranya adalah
prefiks (ater-ater) N-, di-, dak-, kok-, ke-, ka-, pa-, paN-, sa-, infiks (seselan) –um-
, -er/-e/ dan sufiks (panambang) –i, -ke, -na, -ana, -ane, -ake, -an, -en, -a, -e, ne,
konfiks (imbuhan bebarengan rumaket) ke-an, ke-en, pa-an, paN-an (Sasangka,
1989:28-74). Di samping itu terdapat juga afiks seperti N-/-i, N-/-a, N/-e, N-/-ana,
dak-/-e, dak-/-ake, kok-/-i, kok-/-ake, N-/-ke,di-/-ake, di-/-ana, di-/-i yang oleh
Sasangka (1989:28-74) dimasukkan ke dalam imbuhan rumaket lumrah, tetapi
dikategorikan sebagai konfiks oleh Wedhawati, dkk (2001:77).
Kata ulang adalah kata-kata yang dibentuk dengan mengulang sebagian
atau keseluruhan bentuk yang menjadi dasarnya. Kata ulang juga terdapat pada
kata ulang yang dibubuhi afiks atau kata ulang berimbuhan. Pengertian kata
majemuk adalah kata yang terdiri dari dua morfem bebas yang antara keduanya
memiliki keterpaduan yang kuat baik bentuk maupun maknanya, karena
keterpaduanya itu maka kata majemuk tidak dapat disisipi unsure lain atau
diputarbalikkan urutan unsur pembentuknya (Ramlan, 2001:81). Menurut
Sasangka (1989:74-82), kata ulang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah
tembung rangkep dan kata majemuk disebut tembung camboran.
Menurut Suwito (1985:55) interferensi morfologi terjadi apabila dalam
pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam
bahasa Indonesia misalnya, sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an, -an
dari bahasa daerah (Jawa, Sunda), misalnya dalam kata-kata ketabrak, kebesaran,
sungguhan, duaan. Untuk afiks ke-, ke-an, dan -an telah ada padananya yaitu afiks
ter-, kata terlalu, dan afiks ber- misalnya tertabrak, terlalu besar, bersungguh (-
sungguh), berdua. Jadi, bentukan-bentukan dengan afiks-afiks seperti itu
sebenarnya tidak perlu, sebab untuk mengungkapkan konsep-konsep demikian
telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Interferensi morfologi merupakan
peristiwa yang cukup besar dalam pemakaian bahasa.
3) Interferensi Sintaksis
Sintaksis adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk kata dan
penggabungan (Nurhayati dan Mulyani, 2006:121). Hasil penggabungan kata
yang dibicarakan di dalam sintaksis meliputi: frase, klausa, dan kalimat. Ilmu
50
sintaksis ini bersifat khusus yaitu bahwa tiap bahasa mempunyai sistem tersendiri,
berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan yang lainya. Jadi, intereferensi
sintaksis berfokus pada penyimpangan yang terjadi dalam frase, klausa, dan
kalimat.
Interferensi dalam bidang sintaksis antara bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia mungkin terjadi karena penggunaan partikel penegas seperti “je”, “to”,
ke dalam bahasa Indonesia atau penggunaan partikel bahasa Indonesia seperti,
“deh”, “dong”, “kan” ke dalam bahasa Jawa. Demikian juga penggunaan kata atau
kalimat bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Ini terjadi
dimungkinkan karena penutur tidak mengetahui bentuk yang ada dalam bahasa
yang dituturkan, seperti dalam tuturan berikut ini (dalam penelitian Maryam,
2011:22) “itu segaku ya?” atau “wis tak balikke kemarin kuwi”.
Interferensi struktur menurut Suwito (1985:56) termasuk peristiwa yang
kurang sering terjadi. Tetapi karena pola struktur merupakan ciri utama
kemandirian suatu bahasa, maka penyimpangan pada level ini biasanya dianggap
sesuatu yang mendasar sehingga perlu dihindarkan.
4) Interferensi Leksikal
Interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan
dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa
kedua atau sebaliknya (Aslinda dan Leny, 2007:73). Kajian dalam interferensi
leksikal adalah leksikon. Leksikon merupakan perbendaharaan kata suatu
bahasa/kosakata. Lebih jelas lagi tentang arti leksikon menurut Adi Sumarto
dalam penelitian Hasanudi (2011:22) merupakan komponen bahasa yang memuat
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa.
Transfer bahasa merupakan penguasaan bahasa pertama pembelajar bahasa
yang mempengaruhi kemampuannya dalam berbahasa kedua. Pengalaman pada
bahasa pertama memiliki peranan dalam penguasaan bahasa kedua berupa transfer
bahasa baik yang bersifat positif maupun negatif (Brown, 2000:95). Transfer yang
bersifat negatif akan mengakibatkan interferensi bahasa, yaitu kaidah bahasa
pertama ditransfer atau disamakan dengan kaidah bahasa kedua. Selanjutny
51
Brown menggambarkan proses transfer dan interferensi sebagai berikut:
Transfer
Positif Negatif
Interferensi
(B1 B2) (B2 B1)
Transfer dapat berpengaruh positif jika hal tersebut membantu untuk
mempercepat terjadinya proses penguasaan bahasa sasaran. Hal tersebut bisa
terjadi jika kedua bahasa memiliki kesamaan kaidah. Akan tetapi, transfer dapat
menjadi potensi terjadinya miskonsepsi karena mentransfer kaidah dari bahasa
pertama ke bahasa sasaran tidak selalu memiliki kaidah yang sama. Interferensi
merupakan transfer bahasa yang bersifat negatif yang mengakibatkan terjadinya
kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu maupun
generalisasi kaidah bahasa sasaran. Hal ini sering terjadi saat proses pembelajaran
bahasa kedua yang merupakan pengaruh bahasa pertama dalam pembelajaran
bahasa yang dapat menyebabkan penyimpangan terhadap bahasa kedua (asing).
Seperti yang dikemukakan oleh Weinrich (dalam Chaer dan Agustina,
1995:162) bahwa interferensi dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, dan leksikal. Soepomo (1978:24) berpendapat bahwa interferensi tidak
saja terjadi pada ke empat tataran tersebut tetapi dapat juga terjadi interferensi
variasional yaitu interferensi karena kebiasaan berunda usuk, beragam bahasa, dan
lain-lain yang biasanya ada pada bahasa itu.
Hartman dan Stonk dalam Chaer dan Agustina (1995:160) menyatakan
interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa
ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua. Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer
atau pemindahan unsur dari bahasa ibu ke bahasa sasaran. Tuturan bahasa Inggris
TBKM dipengaruhi oleh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan memasukkan
52
unsur-unsur tersebut ke dalamnya. Gejala ini dikarenakan adanya transfer
pengetahuan dari kedua bahasa yang lebih dikuasainya sehingga tidak dapat
dihindarkan timbulnya penyimpangan dari bahasa Inggris standar. Senada dengan
Jendra (1995:187) bahwa dalam interferensi terjadi penyusupan sistem suatu
bahasa ke bahasa lain, yakni bahasa Jawa dan Indonesia dalam bahasa Inggris
TBKM yang terjadi tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman
kosakata.
Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam
masyarakat. Perkembanngan ini tentu menjadi masalah tersendiri yang perlu
mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemultibahasaan adalah suatu
kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di
samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap
penguasaan Bahasa Indonesia. Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama
dalam komunikasi resmi sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus
terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk. (eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan
dari bahasa Jawa, misalnya dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi
masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap
pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab
adanya interferensi. Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah
terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan
sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.
Selain bahasa daerah, bahasa asing (baca Inggris) bagi sebagian kecil
orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan
timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan
bahasa Inggris yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang
jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang
sudah tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya bahasa dan
53
budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa
primadona. Misalnya, masyarakat lebih cenderung memilih “pull” untuk “dorong”
dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
Sikap terhadap bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan
berbahasa Indonesia di berbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan
atas; bahkan kalangan intelektual. Akan tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa
Indonesia pada golongan atas dan kelompok intelektual terletak pada sikap
meremehkan dan kurang menghargai serta tidak mempunyai rasa bangga terhadap
bahasa Indonesia.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas,
dapat disimpulkan bahwa.
1. kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan
dwibahasawan.
2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam
bahasa lain
3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat
menimbulkan dampak negatif, dan
4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan
ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai
gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa
lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian
dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan
(Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115)
menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan
dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat
keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah
dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu
sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa
penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
54
Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai
sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:
1. Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat
maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga
disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya
interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi
antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external
interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa
Indonesia.
2. Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa
penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk
menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik
seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula
bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain
atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
3. Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap
sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu
sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau
reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan
atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar
bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
4. Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam
secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem
bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan
perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi
dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi
(fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata
(leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
55
Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich
mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai
berikut.
1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam
peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa
yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa
penerima disebut bahasa peminjam.
2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu
tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu
bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B
juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan
ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B
tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan
fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A
Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi
reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa
A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A
tetapi dengan unsur bahasa B.
Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek
kebahasaan, antara lain
a. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)
b. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)
c. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)
d. interferensi pada kosakata (leksikon)
e. interferensi pada bidang tata makna (semantik)
Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat
dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni
1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah
ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama
unsur bahasa sumber.
56
2) Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference).
Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan
bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.
3) Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference).
Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai
pengganti konsep lama.
Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis,
yaitu:
1) Interferensi Bunyi (phonic interference)
Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam
bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.
2) Interferensi tata bahasa (grammatical interference)
Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem
atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.
3) Interferensi kosakata (lexical interference)
Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada
kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.
4) Interferensi tata makna (semantic interference)
Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan
makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian
makna.
Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi
interferensi atas empat macam, yaitu:
1) mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,
2) adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya
pemindahan,
3) penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa
pertama,
4) kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada
equivalensi dalam bahasa pertama.
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
57
1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi
dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur
yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung
akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah
bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber
yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul
bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur,
baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada
pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang
bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika
masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan
mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai
kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan
kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai
bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya
kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa
sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung
dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari
interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut
memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa
penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan
menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan
58
menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari
luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang
dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang
dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak
cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu
akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa
penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting,
yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata
yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan
adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata
yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering
melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru
dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan
demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya
interferensi.
6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena
pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang
dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan
dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi
yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa
sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7) Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang
sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada
dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun
59
bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang
kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat
berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah
kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
2.4 Pungutan / Unsur Serapan
Mengenai bentuk pungutan ini, Samsuri (1981:55) menyambung
pendapatnya mengenai interferensi dengan mengatakan bahwa penggunaan
bentuk-bentuk suatu bahasa asing dalam bahasa yang lain akan disebut pungutan
bila penggunaan bentuk-bentuk itu tidak menyebabkan dislokasi struktur kalimat
yang digunakan. Demikian pula, apabila suatu bentuk gangguan itu kemudian
menjadi bagian dari bahasa itu, maka bentuk gangguan itu juga disebut pungutan.
Mengenai bentuk-bentuk unsur serapan atau pungutan itu Bloomfield
(1933:444) membedakannya atas dua macam bentuk yaitu pungutan dialek
(dialect borrowing) apabila bentuk pungutan itu kembali dari satu wilayah
bahasa (speech area) yang sama, dan pungutan kultural (cultural borrowing)
bila unsur-unsur pungutan itu diambil dari wilayah bahasa yang lain.
Menurut Haugen (1968:55) pada saat pertama serapan bentuk-bentuk
asing, status linguistik bentuk-bentuk serapan itu masih belum pasti. Para
bilingual mula-mula akan ragu-ragu untuk menggunakan bentuk-bentuk pungutan
itu, karena mereka sadar bahwa itu adalah bentuk atau unsur asing.
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, mula-mula orang akan sedikit ragu
untuk menggunakan beberapa bentuk dari bahasa daerah (pungutan dialek). Maka
dalam hal-hal tersebut saja bilingual itu akan menggunakan bentuk pungutan yang
berasal dari bahasa daerahnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan penggunaan
banyak kosa kata bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, misalnya: sembrono, sarana,
pamrih, luwes, memboyong, dan masih banyak lagi contoh lain. Selama
penggunaan unsur-unsur bahasa daerah itu tidak menimbulkan gangguan pada
bahasa Indonesia, maka penggunaan unsur-unsur bahasa Jawa tidak merupakan
gangguan, bahkan dapat berfungsi memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, unsur serapan didefenisikan
sebagai berikut: unsur adalah bahan asal, zat asal, bagian yang terpenting dalarn
suatu hal, sedangkan serapan adalah pemasukan ke dalam, penyerapan masuk ke
60
dalam lubang-Iubang kecil (Poerwadarminta, 1985:130 dan 425). Menurut
Samsuri (1987 : 50) serapan adalah “pungutan”. Sedangkan Kridalaksana (1985 :
8) memahami kata serapan adalah “pinjaman” yaitu bunyi, fonem, unsur
gramatikal atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain. Kata serapan adalah
kata yang diserap dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari
bahasa asing, yang digunakan dalam bahasa Indonesia yang cara penulisannya
mengalami perubahan ataupun tidak mengalami perubahan.
Guilbert (1975: 89) mengatakan bahwa tidak ada satu kebudayaan pun
dalam suatu masyarakat yang masih benar-benar asli, terlindung dari kontak
dengan masyarakat lainnya. Kontak yang terjadi di antara masyarakat yang
berbeda tersebut dapat terjalin baik melalui hubungan politik, hubungan ekonomi,
maupun hubungan kebudayaan. Bahasa, sebagai salah satu unsur kebudayaan,
mendapat pengaruh secara langsung dari adanya kontak antarmasyarakat tersebut.
Berkat adanya pertemuan kebudayaan, bahasa mengalami perkembangan.
Bahasa terus dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
komunikasi. Salah satu cara mengembangkan suatu bahasa, khususnya dalam
tataran kata, adalah dengan memungut kata dari bahasa lain.
Kata serapan digunakan oleh Kridalaksana (1988), beliau menyebutkannya
sebagai loan words atau kata-kata pinjaman. Istilah-istilah tersebut digunakan
untuk menyebut kosakata asli. Kosakata serapan merupakan kosakata yang
diambil atau diserap dari satu bahasa donor dengan penyesuaian kaidah yang ada
dalam bahasa penyerap. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu
simpulan bahwa unsur serapan adalah unsur dari suatu bahasa (asal bahasa)
yang masuk dan menjadi bagian dalam bahasa lain (bahasa penerima) yang
kemudian oleh penuturnya dipakai sebagaimana layaknya bahasa sendiri.
Oleh Niklas-Salminen (1997: 84), peminjaman kata dibagi menjadi dua
jenis, yakni emprunts nécessaires dan emprunts superflus. Jenis pertama
menyangkut penggunaan kata yang belum ada dalam suatu bahasa, seperti
penggunaan kata-kata dalam terminologi teknis dalam bahasa Inggris yang belum
ada dalam bahasa Prancis, yaitu pick-up, tracking, dan data processing.
Sementara itu, jenis kedua merupakan jenis pinjaman yang sifatnya tidak terlalu
diperlukan, seperti kata football dan living-room. Kedua kata tersebut telah
61
memiliki padanannya dalam bahasa Prancis, yaitu balle au pied dan salle de
séjour.
Dalam kamus Poerwodarminto terbitan 1954, tidak akan ditemukan kata-
kata seperti blak-blakan, dasawarsa, gambling, menangani, wawancara,
mendongkel, asumsi, akselerasi, assembling, eksekutif, editorial, formil, fakultas,
(tetapi : fakultet), kontraktor, konflik, memorandum, proyek, rekomendasi, rutin,
dan lain- lain. Kata-kata tersebut sekarang menjadi bagian dari bahasa Indonesia
yang merupakan pungutan dari bahasa lain dan menyebabkan perubahan pada
bahasa Indonesia.
Bahasa adalah alat dan sekaligus bagian suatu kebudayaan tertentu.
Sebagai alat kebudayaan tertentu, bahasa itu hendaklah dapat dipakai untuk semua
kehidupan di dalam kebudayaan itu; dengan kata lain, hendaklah cukup
mempunyai “konsep dan tanda‟ untuk menyatakan kegiatan-kegiatan, baik
spiritual maupun material, pada kebudayaan itu.
Perubahan biasa disebut sebagai pertumbuhan, seakan-akan bahasa itu
merupakan sesuatu yang hidup. Bahasa hidup manapun tentu mengalami
perubahan yang mungkin tidak nampak kepada pemakai-pemakai bahasa itu
sendiri di dalam waktu yang pendek, tetapi secara kumulatif dan dalam waktu
yang cukup lama akan terlihat dengan jelas perubahan itu. Di dalam keinginanya
untuk menyampaikan sesuatu, pemakai bahasa menggunakan bahasanya sebagai
alat komunikasi. Untuk menghindarkan ketidak-jelasan, pemakai bahasa sering
secara berlebihan menyatakan isi hatinya. Berlebihan (= redundancy, Ing.) ini
diungkapkan dengan berbagai cara oleh pemakai bahasa: penggunaan
intonasi,pengulangan kata atau ungkapan, pengulangan “konsep‟ dengan “tanda‟
yang lain (= sinonim-sinonim), penjelasan waktu, jumlah kelamin, pemakaian
isyarat, dan lain sebagainya.
Tidak heran apabila kemudian ada seseorang bersuku Jawa pemakai
bahasa Indonesia yang berkata : “Dengan terus-terang, blak-blakan, saya katakan
bahwa pemerintah kurang banyak berusaha meringankan beban rakyat kecil‟.
Bahkan seseorang dari suku Jawa seperti itu masih juga menambahkan ungkapan
dari bahasanya “tanpa tedeng aling-aling”, yang dipakai untuk menjelaskan
sesuatu dengan berlebihan yang seharusnya sudah terwakili oleh kata terus terang,
62
sehingga kalimat di atas menjadi “berlebihan”. Pungutan kata blak-blakan yang
berarti “terus-terang”itu diambilnya secara spontan oleh seorang pemakai bahasa
Indonesia.
Pungutan yang bersifat sinonim semacam itu disebabkan oleh tidak adanya
“konsep dan tanda” di dalam bahasa itu. “Konsep dan tanda” yang menyatakan
“sepuluh tahun”, umpamanya, tidak ada dalam bahasa Indonesia (asli), seperti
“konsep dan tanda” yang menyatakan “dua puluh (helai, biji, buah, dan lain-lain)”
yang dinyatakan oleh kata kodi. Oleh karena itu, seorang pemakai bahasa
Indonesia mengemukakan “sepuluh tahun” itu, dengan kata dasawarsa, biarpun
kata itu boleh dikatakan suatu “terjemahan” dari “sepuluh tahun”. Mungkin di
dalam pikirannya ada kata asing yang menyatakan “sepuluh tahun”, katakan dari
bahasa Inggris decade atau kata Belanda decade, yang menyebabkan pemakai
bahasa Indonesia itu akhirnya memakai kata dasawarsa untuk menyatakan
pengertian itu.
Kemungkinan pula, bahwa pemakai itu mula-mula memang memakai kata
asing yang “di -indonesiakan”, yaitu diucapkan sebagai [dekadə], sesuai dengan
sistem bunyi bahasa Indonesia. Kemudian ada pemakai lain yang membaca atau
mendengar kata decade itu dan ingin “mengaslikannya” menjadi dasawarsa.
Mana yang diambil kemudian oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia,
dasawarsa-kah atau decade, hal itu masih tetap merupakan pungutan.
Di samping kategori di atas itu terdapat pungutan seperti kata menjajaki
dari bahasa Jawa yang boleh dikatakan “lebih murni”, karena tidak disebabkan
oleh gagasan asing. Termasuk kategori ini ialah pungutan kata-kata seperti
asumsi, akselerasi, asembling, eksekutif, editorial, konflik, kontraktor, proyek,
teknokrat, dan lain-lain (Samsuri, 1994: 52).
Sumber kata-kata baru bahasa Indonesia yang lain adalah proses yang
disebut pungutan (borrowing),yaitu mengambil alih kata-kata dari bahasa lain.
Kata pungutan dapat bersifat gramatikal dan bersifat leksikal.
Pungutan gramatikal mencakup unsur bunyi, morfem, dan kelompok kata.
Contoh pungutan unsur bunyi ialah pengucapan kata taxi dan executive. Dalam
bahasa Indonesia kata-kata itu dieja taksi dan eksekutif. Contoh pungutan
63
kelompok kata dapat dijumpai dalam pemakaian di mana dan pada manayang
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris in which dan on which.
Pungutan leksikal ialah pungutan yang berupa kata-kata, baik dari bahasa
daerah maupun bahasa asing, seperti ambruk, wadah, wajar (bahasa Jawa), kagok,
nyeri (bahasa Sunda), genit (dialek Jakarta), angkasa, angka, cemara (bahasa
Sanskerta).
Samsuri membagi pungutan menjadi beberapa macam, yaitu pungutan
leksikal dan pungutan struktural. Pembagian pungutan tersebut antara lain sebagai
berikut.
1. Pungutan Leksikal
Sebagian besar pungutan yang terdapat pada suatu bahasa dari bahasa lain
adalah bersifat leksikal, artinya kebanyakan pungutan yang bersifat struktural
kurang sekali. Bersama pungutan leksikal terbawa pula pungutan bunyi. Dari
bahasa asing seperti bahasa Arab, Belanda, dan Inggris dapat disebut pungutan
bunyi /f/ ke dalam BI, yang terbawa dalam kata-kata seperti fakir, fana, fakultas,
faktor dan fokus. Hendaknya dapat dibedakan antara bunyi dan huruf yang
dipakai untuk menuliskan bunyi bahasa itu. Kata-kata yang dituliskan sebagai
<varia>, <universitas>, <televise>, <visum>, di dalam BI diucapkan sebagai
[faria], [universitas], [telefisi], dan [fisəm]. Jadi secara linguistik yang terpungut
adalah bunyi /f/, sedangkan bunyi /v/ tidak terdapat di dalam BI, ataupun tidak
terpungut.
Ada bunyi-bunyi dari bahasa asing yang mula-mula terpungut, akan tetapi
kemudian karena tidak sesuai dengan sistem bunyi bahasa penerima, maka bunyi-
bunyi asing itu hilang dan digantikan oleh bunyi-bunyi yang terdekat di dalam
sistem bunyi bahasa penerima itu. Kata-kata BI paham < faham, pikir < fikir,dan
pasal < fasal merupakan contoh penyesuaian sistem bunyi ke dalam sistem bunyi
BI.
Dari pungutan leksikal itu kita dapat membedakan antara pungutan dialek,
pungutan mesra, dan pungutan kultural (Samsuri, 1994:52). Pungutan dialek
adalah pungutan dari dialek-dialek bahasa itu. Pungutan dialek dapat terjadi dari
dialek tulisan, tetapi juga dari dialek yang mempunyai prestise yang baik.
64
Contohnya pada kata berisik (= bising), damprat (= memaki-maki), mendusin (=
sadar), jambret (= renggut), dan jejaka (= bujangan) dapat dianggap sebagai
pungutan dialek yaitu dari bahasa Jakarta yang merupakan salah satu dialek BI
(bahasa Melayu Riau). Akan tetapi pungutan dari bahasa Jawa, umpamanya dalam
BI, seperti kata-kata ganteng, penggede, gawat, gelintir, leluhur, dan prihatin
merupakan pungutan mesra, yaitu dari bahasa lain yang terdapat dalam darah
kebahasaan tempat itu (= BI). Pungutan kultural ialah semua pungutan dari
bahasa yang tidak dipakai dalam daerah kebahasaan bahasa penerima. Kata-kata
seperti fakir, faal, jahiliyah, kiamat, saham (Arab), Pancasila, sapta marga, tuna
karya (Sansekerta), harmoni, dosen, juri, embargo, fiskal, klasifikasi (Eropa).
2. Pungutan Struktural
Termasuk pungutan ini ialah semua unsur-unsur bunyi, morfem, dan
kalimat. Pungutan bunyi merupakan bagian dari pungutan kata-kata yang
disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa penerima. Bunyi /z/ di dalam kata zaman,
yang mula-mula secara “murni” diucapkan sebagai /z/ kemudian kebanyakan
diucapkan oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia yang tidak keasing-asingan
sebagai /j/, sehingga kata itu biasa diucapkan sebagai jaman, yang sesuai dengan
sistem bunyi bahasa Indonesia dan merupakan penyesuaian. Kata-kata yang
ditulis sebagai abad, sabtu, sebab, biasa diucapkan sebagai “abat‟, “saptu‟, dan
“sebap‟. Hal ini sebenarnya termasuk penyesuaian struktural karena sistem bahasa
Indonesia tidak mempunyai bunyi-bunyi bersuara pada akhir suku.
Pungutan morfem yang menjadi bagian dari kata kurang sekali terdapat
pada bahasa penerima. Biasanya morfem-morfem bukan kata, jadi imbuhan-
imbuhan terbawa oleh kata yang terpungut. Dari kata-kata abad dan abadi dapat
diturunkan imbuhan Arab –i, tetapi morfem Arab ini tidak merupakan morfem
pungutan dalam bahasa Indonesia, dalam arti dipakai dalam kombinasi pangkal-
pangkal atau dasar-dasar yang lain. Jadi, di dalam hal ini tidak terjadi pungutan
imbuhan-i Arab ke dalam bahasa Indonesia. Berbeda halnya dengan kata nasional
dan nasionalisme yang dapat menurunkan imbuhan –isme, yang secara produktif
membentuk kata-kata baru, tidak hanya dari bahasa asal tetapi juga dari bahasa
penerima, seperti marhaenisme, bapakisme, sukuisme, dan lain-lain. Morfem –
65
isme amat produktif karena bergabung dengan dasar-dasar baru, termasuk di
dalamnya dasar-dasar bahasa Indonesia asli.
Pungutan kelompok kata, yaitu suatu pembentukan yang bersifat
struktural, seperti pungutan morfemis, yang akan menyebabkan adanya
terjemahan pungutan. Contoh-contoh di dalam bahasa Indonesia adalah
kelompok-kelompok seperti jaringan penguasa (authority of network), pusat-
pusat kekuasaan (centre of power), bahkan juga ungkapan-ungkapan seperti
dalam analisa terakhir (in the last analysis). Sebenarnya ada pungutan semacam
terjemahan pungutan yang menekankan pada maknanya, seperti kambing hitam,
latar belakang, dan lain-lain. Termasuk kategori ini juga ialah bentukan-bentukan
kalimat yang memakai kata- kata peghubung yang merupakan terjemahan
pungutan seperti di dalam mana (in which, Ing. atau waaren, Bel.), di sekitar
mana (around which, Ing. atau waaromstreeks, Bel.), di atas mana (on which,
Ing. atau waroop, Bel.). Kadang- kadang terjemahan pungutan semacam itu tidak
perlu bila pemakai BI benar- benar menguasai penyusunan kalimat-kalimat bahasa
Indonesia, seperti berikut.
1) Ia sedang mencari kotak, di dalam mana ia menyimpan cincin pemberian
ibunya itu.
Kata penghubung di dalam mana pada kalimat (1) mempunyai arti yang
sama dengan kata penghubung tempat. Perhatikan pula pada contoh berikut.
2) Ia tinggal di sebuah bukit di mana terdapat pemandangan indah yang
menenteramkan.
Kata penghubung di mana pada kalimat (2) mempunyai arti yang sama
pula dengan tempat. Namun akan lebih baik lagi apa bila kalimat tersebut diganti
menjadi berikut.
3) Ia tinggal di sebuah bukit. Di sekitar bukit itu terdapat pemandangan yang
menenteramkan.
Pada beberapa contoh kalimat di atas, susunan mana yang akan dipakai,
tentulah terserah pada perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas
dari pungutan-pungutan itu selalu melalui kedwibahasaan, yaitu pemakaian
bahasa yang lebih dari satu. Dalam konteks kalimat di atas, pemakai bahasa
66
Indonesia menguasai bahasa Inggris atau bahasa Belanda. Apabila pungutan-
pungutan itu itu dipakai pula oleh pemakai lain, maka pungutan-pungutan itu lalu
menjadi bagian dari bahasa penerima.
Pungutan dalam Bahasa Indonesia
Secara sosiolinguistik masyarakat Indonesia tidak hanya menggunakan
satu bahasa, melainkan paling sedikit dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa
nasional. Dengan demikian jelaslah nampak pada pemakai-pemakai bahasa di
Indonesia, bahwa mereka merupakan tempat atau lokus persentuhan antara
bahasa ibu dan bahasa nasional, dan juga pada sementara pemakai bahasa, selain
itu merupakan tempat persentuhan bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa asing.
Pungutan dari bahasa Indonesia ini dibagi menjadi pungutan dari bahasa pertama
dan pungutan dari bahasa asing.
Pungutan dari Bahasa Pertama
Bahasa Indonesia mempunyai pengaruh pengaruh pada bahasa daerah,
sebab melalui dwibahasawan-dwibahasawan banyak juga kata-kata Indonesia
yang terpakai dalam bahasa daerah yang satu maupun dari bahasa asing, setelah
dicerna dalam BI, terbawa pula ke dalam bahasa daerah yang lain. Pungutan-
pungutan dari bahasa daerah yang satu ke bahasa daerah lain yang biasanya dari
bahasa daerah yang banyak berpengaruh pada Bahasa Indonesia.
Menurut strukturnya, pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi
beberapa macam, antara lain: (1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3)
kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI. Pungutan
yang digolongkan dalam kata-kata dasar antara lain, amblas, bobol, bobrok,
heboh, melempem, melongo, mantap, nunggak, ngawur, pamrih, remeh, ruwet,
sarana, sepele, seret, semberono, tanpa, tandas, ulet, unggul, susut, upet, wadah,
wajar, windu, dan lain-lain. Selanjutnya, pungutan yang digolongkan pada kata-
kata kompleks, contohnya antaralain, kadalu warsa, kocar-kasir, kepergok,
sesepuh, dan lain-lain. Pungutan terakhir adalah pungutan yang digolongkan ke
dalam kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI yang
masih dapat dibagi menjadi dua yakni kata dasar yang tidak dipakai di dalam BI,
contohnya mengemban (emban), membangkang (bangkang), menjajaki (jajak),
dibarengi (bareng), dan berupa konstruksi dengan dasar dari pungutan ditambah
67
dengan imbuhan BI, contohnya : kewajaran (wajar), keuletan (ulet), kemantapan
(mantap), mengganyang (ganyang), diciduk (ciduk), dan menggembar-
gemborkan (gembar-gembor).
Pungutan dari Bahasa asing
Penguasaan bahasa Belanda dalam jaman penjajahan merupakan ciri
kaum elit Indonesia, yang disengaja oleh kaum penjajah untuk memisahkannya
dari rakyat. Anehnya saat ini orang Indonesia lebih suka menyelang-nyeling
dengan kata-kata asing, karena ingin menunjukkan ke-elitannya dengan
menyelipkan kosa kata asing di dalam bahasa daerahnya atau dalam BI-nya.
Hal ini makin diperjelas dengan makin banyaknya bahasa asing yang
disisipi kata- kata asing di dalam BI, akibat bertambahnya dwibahasawan
Indonesia-asing, contohnya sebagai berikut.
Approach pendekatan
Applause tepuktangan
Avonturir petualangan
kompleks ruwet
definitif pasti
evaluasi penilaian
estimate perkiraan
elemen unsur
fleksibel luwes
instalasi pemasangan
workshop lokakarya
shopping center pusat belanja
city hall balai kota
community center gedung umum
Penyerapan dalam Bahasa Indonesia
Peranan bahasa asing dalam bahasa Indonesia membuktikan adanya
kontak atau hubungan antarbahasa sehingga timbul penyerapan bahasa-bahasa
asing ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan di sini dapat diartikan sebagai
pengambilan unsur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia untuk dibakukan
dan digunakan secara resmi oleh pemakai bahasa Indonesia. Fungsi penyerapan
68
bahasa asing sendiri adalah untuk memperkaya khazanah kosakata bahasa
Indonesia agar menjadi lebih beragam. Tuntutan globalisasi juga menyebabkan
kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia luar,
khususnya dunia barat, baik dari segi gaya hidup, informasi yang terbuka, style,
sampai pada penggunaan bahasanya.
Setiap masyarakat pemakai suatu bahasa memiliki kesepakatan tentang
bahasanya, misalnya berkaitan dengan kaidah atau struktur dan kosa kata.
Kesepakatan kaidah dan kosa kata itu sampai batas waktu tertentu secara umum
masih mampu mewadahi seluruh konsep, gagasan, dan ide para pemakainya.
Namun, pada saat tertentu akan sampailah pada suatu kebutuhan akan adanya
kesepakatan baru yang memperkaya dan melengkapi kesepakatan sebelumnya,
yaitu manakala kesepakatan lama telah tidak cukup lagi mewadahi konsep,
gagasan, dan ide yang ada. Apabila telah sampai pada titik waktu seperti itu,
maka masyarakat bahasa yang bersangkutan biasanya melirik kesepakatan
masyarakat pemakai bahasa lain. Dengan demikian, maka terjadilah sebuah
proses kreativitas masyarakat bahasa yang disebut pemungutan (borrowing)
unsur bahasa terutama kosa kata dari bahasa lain (Saadie 1998: 1). Dengan
demikian pemungutan atau penyerapan menjadi salah satu penyebab terjadinya
perkembangan suatu bahasa.
Penyerapan terhadap kosakata ini dinilai lebih praktis dan efektif
digunakan di dalam bahasa Indonesia daripada mencari padanan katanya.
Minimnya kosakata dalam bahasa Indonesia juga menjadi salah satu hal yang
melatarbelakangi penyerapan dari bahasa asing. Kontak antarbangsa tidak dapat
dihindari. Tidak ada bangsa yang dapat membebaskan diri dari kontak dengan
dunia luar. Hal ini menyebabkan tidak ada satu bangsa pun yang terbebas dari
kontak dengan bahasa yang lain. Sebuah bahasa yang tidak kontak dengan
bahasa lain lambat laun akan menjadi bahasa yang mati atau menjadi bahasa
yang tidak ada penuturnya lagi. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dalam
perkembangannya selalu terbuka untuk menerima kosakata dari bahasa lain.
Sebagian besar bahasa Indonesia menyerap dari bahasa Inggris, bahasa Arab,
bahasa Jepang, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda. Tidak hanya itu, bahasa
Indonesia juga menyerap kosakata dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa,
69
Sansekerta, dan bahasa Sunda. Sumber serapan dari berbagai bahasa di atas,
penjelasannya adalah sebagai berikut.
Bahasa Inggris
Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang pertama kali
dituturkan di Inggris pada abad pertengahan awal dan saat ini merupakan bahasa
yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Bahasa Inggris dituturkan
sebagai bahasa pertama oleh mayoritas penduduk di berbagai negaratermasuk
Britania Raya, Irlandia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan
sejumlah negara-negara Karibia, serta menjadi bahasa resmi 60 negara berdaulat.
Bahasa Inggris moderen kini lebih banyak memiliki kosakata sehingga banyak
istilah di bidang komunikasi, sains, teknologi informasi, bisnis, kelautan,
hiburan, radio, dan diplomasi. Kemampuan berbahasa Inggris bahkan telah
menjadi kebutuhan dalam sejumlah bidang ilmu, pekerjaan dan profesi, misalnya
kedokteran. Akibatnya banyak penduduk di dunia yang mampu berbahasa
Inggris, setidaknya pada tingkat dasar. Perkembangan bahasa Inggris yang pesat
juga meyebabkan bahasa Inggris sebagai penyumbang kosakata dalam bahasa
Indonesia, baik dengan cara dipelajari maupun dengan cara menyerap kosakata
tersebut. Contoh kosakata yang diserap dari bahasa Inggris adalah kosmetik,
ekspresi, musik, panik, debat, fakta, dan lain-lain.
Bahasa Arab
Sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Kitab suci umat
Muslim adalah Al-quran yang ditulis dengan menggunakan tulisan Arab. Hal ini
yang menyebabkan umat muslim di Indonesia belajar membaca Al-quran dan
memahami maknanya dengan membaca terjemahannya, bahkan tidak sedikit
pula penduduk Indonesia yang dengan sengaja mempelajari bahasa Arab.
Masuknya bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dikarenakan adanya kontak
bahasa yang terjadi sejak abad 13 dari perdagangan yang dilakukan oleh
saudagar-saudagar Gujarat di Indonesia. Terjadinya kontak bahasa antara bahasa
Arab dengan bahasa Indonesia ini menyebabkan kemungkinan besar terjadinya
penyerapan kosakata ke dalam bahasa Indonesia. Contoh kosakata dari bahasa
Arab adalah kursi, madrasah, maaf, doa, jumat, setan, munafik, majelis, sedekah,
dan lain-lain.
70
Bahasa Jepang
Bahasa Jepang tidak begitu banyak memberikan sumbangan dalam
bidang bahasa terlebih dengan bahasa Indonesia melainkan dalam bidang
teknologi. Contoh sumbangan kosakata Jepang dalam bidang teknologi
(kendaraan) adalah mitsubishi, suzuki, honda, kawasaki, yamaha, sanken, dan
lain-lain.
Bahasa Belanda
Bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Hal ini jelas
menimbulkan beberapa pengaruh terhadap bahasa Indonesia, karena pasti terjadi
kontak bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa Belanda. Kosakata
tersebut adalah dongkrak, sistim, tradisionil, dan lain-lain.
Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa
Sejarah perkembangan bahasa, antara bahasa Indonesia dengan bahasa
Jawa, dalam hubungannya dengan bahasa Sansekerta, pada dasarnya tidaklah
jauh berbeda. Hal ini antara lain dikarenakan sejarah kebudayaan suka Jawa,
tidak dapat dipisahkan sama sekali dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia.
Suku Jawa merupakan salah satu suku yang dari segi historis maupun geografis
menjadi pendukung yang signifikan terhadap eksistensi bangsa Indonesia.
Perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, secara historis tidak dapat
dilepaskan dari budaya bangsa Indonesia yang telah sejak semula mendapatkan
pengaruh dari budaya dan agama Hindu dan Budha, suatu agama yang
berkembang dari sekitar India Selatan. Kedua agama ini berkembang dengan
banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta merupakan bahasa
resmi India, di samping bahasa Inggris, yang juga dipandang sebagai bahasa
klasik dari kesusasteraan kuno India (Koentjaraningrat, 1993: 41). Ketika itu
kebudayaan Hindu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan,
misalnya, teknologi Barat di jaman modern ini. Kebudayaan intelektual dari
agama Hindu mempengaruhi dunia Asia Tenggara jaman dulu (Koentjaraningrat,
1990: 21).
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah kehidupan bahasa Indonesia
yang beriringan dan sejaman dengan kehidupan bahasa daerah Jawa. Sebagian
penutur bahasa Indonesia dan penutur bahasa Jawa adalah pelaku
71
kedwibahasaan, artinya menggunakan bahasa Indonesia sekaligus juga dengan
bahasa Jawa. Dengan demikian sangat dimungkinkan kedua bahasa itu saling
menerima dan saling melengkapi. Hal yang demikian itu juga tidak mustahil
terjadi pada kata-kata yang merupakan kata yang menyerap kosakata dari bahasa
Sansekerta.
Bentuk yang Diserap
Bentuk yang diserap oleh bahasa Indonesia dari beberapa bahasa terdiri
atas beberapa bentuk, yakni kata, frase, dan kalimat. Penjelasan tentang bentuk-
bentuk tersebut adalah sebagai berikut.
a) Kata
Kata merupakan unsur yang sangat penting dalam membangun suatu
kalimat. Tanpa kata, tidak mungkin ada kalimat. Setiap kata mempunyai fungsi
dan peranan yang berbeda sesuai dengan kelas kata atau jenis katanya. Kata
adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna. kata juga bisa mengandung
makna baru yang dimunculkan akibat terjadinya proses gramatikal
(pengimbuhan, pengulangan atau pemajemukan) dan akibat konteks kalimat
(struktural) yang disebut makna gramatikal (Soedjito, 1990: 52). Makna
gramatikal adalah makna suatu kata yang ditentukan dengan konteks kalimat.
Bentuk serapan berupa kata diserap oleh bahasa Indonesia dari bahasa lain,
misalnya pensil, bola, buku, dan lain-lain.
b) Frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif
atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di
dalam kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif. Artinya frasa tidak
memiliki predikat dalam strukturnya. Itulah yang membedakan frasa dari klausa
dan kalimat. Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang
bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah
satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22). Frasa adalah satuan
gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas unsur
klausa (Ramlan, 1987:151). Frasa merupakan kelompok kata yang merupakan
bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang (Verhaar, 1999:292). Contoh:
Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca. Contoh lain adalah
72
sebagai berikut.
Saya sedang membaca artikel kepahlawanan.
Dalam kalimat di atas terdapat dua frasa yakni sedang menulis dan artikel
kepahlawanan.
c) Kalimat
Bentuk yang diserap oleh bahasa Indonesia juga bisa berupa kalimat.
Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri
sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Dalam wujud lisan, kalimat
diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri
dengan intonasi akhir, sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?)
dan tanda seru (!). Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan
maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P).
Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat
melainkan hanya sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat.
Beberapa pakar bahasa juga mendefinisikan tentang kalimat. Dalam
wujud tulisan, kalimat diucapkan dalam suara naik-turun dan keras-lembut disela
jeda, diakhiri intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah
terjadinya perpaduan, baik asimilasi bunyi maupun proses fonologis lainnya
(Alwi dkk., 2000:311). Kalimat sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri
sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial
terdiri dari klausa; klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan
proposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan satu klausa, yang
membentuk satuan bebas; jawaban minimal, seruan, salam, dan sebagainya
(Kridalaksana, 2001:92). Kalimat ialah bagian terkecil dari suatu ujaran atau teks
(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan
(Dardjowidojo, 1988: 254).
Jenis-jenis kalimat terdiri atas dua jenis, antara lain kalimat tunggal dan
kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu
pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu subjek dan satu predikat, serta satu
keterangan (jika perlu). Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua
pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk ini terdiri dari induk kalimat dan anak
73
kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat
letak konjungsi. Induk kalimat tidak memuat konjungsi di dalamnya, konjungsi
hanya terdapat pada anak kalimat. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata
penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui
dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Contoh kalimat:
Aqiila pergi ke pasar.
S P K
Kalimat di atas, merupakan contoh dari kalimat tunggal, karena
kalimatnya hanya mempunyai satu pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu
subjek dan satu predikat, serta satu keterangan. Contoh kalimat:
Aqiila pergi ke pasar sedangkan Haidar berangkat ke sekolah.
Kalimat di atas merupakan contoh dari kalimat majemuk, karena
kalimatnya mempunyai dua pola kalimat atau lebih, yang terdiri dari induk
kalimat dan anak kalimat.
Unsur Serapan dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD)
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari
pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti
Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf
integrasinya, unsur pinjaman dari bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga
golongan besar. Pertama, unsur-unsur yang sudah lama terserap ke dalam bahasa
Indonesia yang tidak perlu lagi diubah ejaannya. Misalnya sirsak, iklan, otonomi,
dongkrak, pikir, paham, aki. Kedua, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap
ke dalam bahasa Indonesia, seperti shuttle cock, real estate. Unsur-unsur ini
dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti
cara asing. Ketiga, unsur yang pengucapannya dan penulisannya disesuaikan
dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaan hanya
diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan
dengan bentuk aslinya. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan juga mencantumkan kaidah penulisan unsur serapan pada
kosakata dan kaidah penulisan unsur serapan pada ejaan dan peristilahan.
74
2.5 Sebab-sebab Terjadinya Pungutan
Hockett (1962:404-405) menunjuk kepala adanya dua kondisi penyebab
mengapa satu bahasa meminjam unsur-unsur dari bahasa lain. Kedua kondisi itu
adalah:
1. Adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan (need filling motive), dan
2. Adanya keinginannya untuk kelihatan bergaya (prestige motive).
Weinriech sependapat dengan Haugen. Ia menyatakan (1963:56) bahwa
keadaan yang paling umum yang menyudutkan seseorang untuk menciptakan
kata-kata baru adalah apabila seseorang atau suatu masyarakat bahasa hendak
menggambarkan suatu konsep baru. Apabila konsep baru itu didapat karena
adanya kontak kebudayaan dengan kebudayaan asing. Yang umum terjadi adalah
menggunakan kata yang digunakan oleh masyarakat bahasa pemilik konsep itu. Di
kemudian hari, dengan melihat kosa kata yang ada dalam bahasa Indonesia, maka
orang akan tahu pada suatu saat di masa lalu, telah terjadi kontak antara pemakai
bahasa Indoensia dengan pemakai bahasa asing.
Moeliono menjelaskan terdapat enam faktor yang memengaruhi
penyerapan yang terjadi di masyarakat. Faktor-faktor itu antara lain :
1. Prinsip kehematan
Penyerapan kata dapat dianggap salah satu contoh usaha mencari cara
yang lebih hemat. Memilih kata yang sudah siap lebih ekonomis daripada
memerikan konsep dalam bahasa sendiri; apalagi jika di dalam pemerian itu
diperlukan bentuk frasa, misalnya politik, ekonomi, dan demokrasi.
Pemungutan kata baru dianggap sebagai suatu cara yang lebih ekonomis
dibanding mencari kata atau definisi baru dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh
kata pungutan dalam bahasa Indonesia yang memenuhi kriteria kehematan adalah
penggunaan kata parlemen untuk menggantikan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Kejarangan bentuk asli
Unsur leksikal asli yang jarang digunakan tidak termasuk kosakata
produktif penutur bahasa jika ia bukan ahli bahasa. Kata dursila, misalnya,
berpadanan dengan evil atau immoral. Namun, karena kata Melayu itu frekuensi
75
pemakaiannya sangat rendah, terciptalah bentuk asusila berdasarkan analogi yang
salah, yakni moral:amoral = susila:asusila dengan menyamakan arti amoral
dengan immoral.
Suatu kata dalam bahasa tertentu yang jarang digunakan dalam pemakaian
bahasa sehari-hari mempunyai kecenderungan untuk mudah dilupakan. Jika ada
kata lain dalam bahasa asing yang lebih dikenal, yang mampu menggantikan kata
yang bersangkutan, secara otomatis kata asing tersebut akan menjadi lebih umum
digunakan. Contoh kata yang sudah jarang digunakan dalam bahasa Indonesia
masa kini adalah kata dukana, tetapi kata seks lebih dikenal.
3. Keperluan akan kata yang searti
Pertimbangan kelanggaman (stilistik) dapat mendorong penutur bahasa
mencari sinonim demi variasi estetik di dalam ujaran dan tulisannya. Pemahaman
bahasa lain memberinya peluang menyerap unsur kosakata bahasa itu, lepas dari
masalah perlu tidaknya dilakukan penyerapan itu jika di dalam bahasanya sendiri
terhadap sinonim yang memadai, misalnya asimilasi dan pembauran,
penyerapan; kontrol dan pengawasan, pengendalian, penilikan; spesial dan
khusus; fasilitas dan kemudahan.
Seorang dwibahasawan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
melakukan pembaruan kata dibandingkan dengan orang yang hanya mempunyai
pengetahuan akan satu bahasa (ekabahasawan). Ketika seorang dwibahasawan
mempunyai keperluan untuk mengungkapkan suatu kata, maka ia dapat
menerapkan pengetahuannya tentang bahasa lain, seperti menggunakan kata
asimilasi untuk menggantikan kata penyerapan, menggunakan kata fasilitas alih-
alih kemudahan.
Sehubungan dengan butir di atas, saya berpendapat bahwa seorang
dwibahasawan lebih kaya dalam perbendaharaan kata sehingga ia dapat memilih
kata apa yang ingin digunakannya. Dengan demikian, menurut saya, masalahnya
bukan keperluan akan kata yang searti, tetapi kemampuan kebahasaan
dwibahasawan. Selain itu, butir tersebut juga bertumpang tindih dengan dua faktor
lain yang akan disebutkan berikut ini.
76
4. Pembedaan arti di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat
Kadang-kadang timbul perasaan pada penutur bahasa bahwa bahasanya
tidak memiliki peranti untuk membedakan dengan cermat berbagai konsep yang
bertalian. Benar tidaknya anggapannya itu tidak disadarinya. Karena itu, ia merasa
perlu menularkan perbedaan bentuk di dalam bahasa asing ke dalam bahasanya
sendiri dengan menyerap seperangkat kata yang termasuk dalam satu paradigma,
misalnya politik dan politis, universitas dan universiter, norma dan normatif.
Perasaan seperti ini ditimbulkan akibat adanya pengaruh perbandingan
bahasa asli yang dimiliki seorang dwibahasawan dengan bahasa lain yang
dikuasainya. Beberapa dwibahasawan merasa perlu untuk membedakan kata
politik dan politis, ekonomi dan ekonomis, ataupun demokrasi dan demokratis.
5. Gengsi bahasa asing
Kefasihan berbahasa asing, khususnya bahasa yang ditautkan dengan
peradaban yang tinggi, kadang-kadang disangka penutur bahasa akan
meningkatkan kedudukan sosialnya di mata orang. Karena itu, diseraplah
evaluasi, bilateral, multiplikasi, dan kalibrasi walaupun ada bentuk penilaian,
dwipihak, pelipatan dan kelipatan, serta peneraan.
Dalam hal ini, anggapan yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa
asing yang fasih meningkatkan kedudukan sosial seseorang dapat dikatakan benar.
Akan menjadi sebuah kebanggaan tertentu bagi sebagian orang yang mempunyai
pendapat seperti yang telah disebutkan sebelumnya ketika mereka menggunakan
kata budget alih-alih kata anggaran, kata bilateral alih-alih kata dwipihak, serta
kata multiplikasi alih-alih kelipatan.
6. Kemampuan berbahasa penutur yang rendah
Penutur bahasa di antara kalangan elite sosial tidak sedikit yang kosakata
asingnya lebih luas cakupannya daripada kosakata Indonesia ragam tingginya, dan
taraf pemahaman kaidah gramatikal bahasa asing lebih tinggi daripada taraf
pemahamannya di bidang bahasa Indonesia. Pada proses pengalimatan buah
pikirannya lalu mungkin terjadi interferensi pola struktur kalimat asing yang
77
mendorongnya menciptakan serapan terjemah. Di dalam beberapa ragam,
misalnya, dapat ditemukan unsur serapan dalam mana, atas mana, untuk mana,
kepada siapa, dan dengan siapa sebagai konjungsi, yang masing-masing berpola
pada waarin/in which, waarop/wherefore, waarvoor/wherefore dan aanwiel/to
whom, dan met wie/with whom.
Menilik fakta sejarah, Indonesia banyak mendapat pengaruh kebahasaan
dari bahasa Belanda. Pada masa lalu, orang-orang yang mempunyai pengaruh di
negeri ini tidak jarang lebih menguasai bahasa Belanda dibandingkan dengan
bahasa ibunya. Hal ini tentu saja mempengaruhi pilihan kata yang mereka
gunakan, yang sebagian hanya dapat dipahami jika diterjemahkan kembali ke
bahasa asing yang bersangkutan, seperti bentuk dalam mana, atas mana, untuk
mana, kepada siapa, dan dengan siapa (waarin, waarop, waarvoor, aan wie, dan
met wie).
2.6 Proses Pemungutan
Seperti telah dikemukakan diatas, bahasa yang hidup dalam bahasa yang
senantiasa berubah, meskipun perubahan itu tidak terlihat dalam waktu yang
pendek oleh para pemakainya (Kridalaksan, 1981:18, Haim, 1978:9). Demikian
juga halnya degan bahasa Indonesia. Anggota masyarakat bahasa Indonesia yang
selalu mengadakan kotak bahasa dengan bahasa lain merasakan bahwa untuk hal-
hal tertentu bahasa Indonesia tidak mempunyai konsep dan tanda yang diperlukan
untuk berkomunikasi dengan masyarakat bahasa lain dengan memakai bahasa
Indonesia sebagai medianya.
Dalam keadaan demikian di pungutlah konsep dan tanda dari bahasa lain
dan digunakan dalam bahasa Indonesia. Pemungutan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan menurut Hockett (1962:404-405) adalah salah satu cara
yang dilakukan oleh anggota masyarakat bahasa, sadar atau tidak, untuk
memperluas konsep dan tanda. Cara ini adalah cara yang wajar dan yang mungkin
terjadi dalam perkembangan bahasa apapun.
Untuk pembentukan istilah dari suatu konsep baru ini, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa telah menyusun langkah-langkah yang harus ditempuh
dalam proses penggunaan konsep-konsep baru ini, beserta syarat-syarat yang
78
harus dipenuhi. Tujuh langkah yang diberikan oleh Pusat Bahasa itu adalah untuk
memberikan gambaran dari suatu konsep adalah:
1. Menggunakan kata dalam bahasa Indonesia yang lazim dipakai.
2. Menggunakan kata dalam bahasa Indoensia yang sudah tidka lazim
dipakai.
3. Menggunakan kata dalam bahasa serumpun yang lazim dipakai.
4. Menggunakan kata dalam bahasa serumpun yang tidak lazim dipakai.
5. Menggunakan kata dalam bahasa Inggris,
6. Menggunakan kata dari bahasa asing lain yang internasional.
7. Memilih dari keenam kata baru yang digunakan untuk konsep baru
tersebut.
Untuk keempat langkah pertama, syarat-syarat yang harus dipenuhi
adalah:
1. Ungkapan baru itu singkat.
2. Makna ungkapan baru itu tidak menyimpang.
3. Unsur baru itu tidak berkonotasi buruk, dan
4. Ungkapan itu sedap didengar.
79
PROSES PEMBENTUKAN ISTILAH
Langkah 1 Istilah Baru 1
Langkah 2 Istilah baru 3
Istilah baru 4
Langkah 3 Istilah baru 5
Langkah 4
Langkah 5
Langkah 6 Istilah baru 6
Langkah 7
Sejalan dengan pedoman pembentukan istilah itu, Kridalaksana
(1980:45) dalam artikelnya “Perkembangan dan Pengembangan Kosa Kata
Bahasa Indonesia”, juga mengatakan bahwa beberapa cara untuk menciptakan
ungkapan-ungkapan baru dalam bahasa Indonesia adalah:
Konsep A
Kata dalam bahasa Indonesia
yang lazim dipakai
Kata dalam bahasa Indonesia
yang sudah tidak lazim dipakai
Syarat
1. Ungkapan yang
paling singkat.
2. Ungkapan yang
maknanya tidak
menyimpang.
3. Ungkapan yang
tidak berkonotasi
buruk.
4. Ungkapan yang
sedang didengar.
Kata dalam bahasa serumpun
yanglazim dipakai
Kata dalam bahasa serumpun
yang sudah tidak lazim dipakai
Kata dalam bahasa serumpun
yang sudah tidak lazim dipakai
Kata dalam bahasa Inggris
Kata bahasa asing lain yang
internasional
Pilih yang terbaik di antara
istilah baru 1 - 6
Penyerapan dengan
penyesuaian ejaan
dan lafal
Penyerapan tanpa
perubahan
a. Ungkapan asing yang
lebih cocok.
b. Ungkapan asing lebih singkat.
c. Ungkapan asing
memudahkan pengalihan.
d. Ungkapan asing
memudahkan
kesepakatan.
Penerjemahan
Penyerapan
data/penerjemahan
a. Ungkapan asing
dengan arti umum
diterjemahkan dengan arti umum.
b. Ungkapan asing yang
berhubungan diterjemahkan dengan
bersistem.
Istilah Baru 2
80
1. Menerjemahkan ungkapan asing (bahasa Jawa);
2. Mengadaptasi ungkapan asing (bahasa Jawa) menurut kaidah-kaidah
bahasa Indonesia; dan
3. Mengambil alih ungkapan asing (bahasa Jawa) secara utuh.
Kemudian seperti telah dikemukakan diatas interferensi berbeda dari
pungutan karena interferensi menimbulkan dislokasi pada struktur bahasa yang
sedang digunakan, sedangkan pungutan tidak menimbulkan dislokasi. Juga
interferensi berhubungan dengan ujaran seseorang, sedangkan pungutan
berhubungan dengan sistem atau kaidah bahasa yang digunakan oleh seseorang.
Namun tampaknya, baik Haugen maupun Wienrich tidak memandang
interferensi dan pungutan sebagai dua hal yang berbeda. Hal ini nampaknya
bertolak dari pandangan bahwa bila suatu bentuk interferensi yang telah
berintegrasi dengan bahasa yang digunakan seseorang akan disebut sebagai
bentuk pinjaman atau bentuk pungutan. Dalam penggunaannya, bentuk-bentuk
pinjaman itu digunakan seolah-olah merjpakan bagian dari bahasa asing.
Berdasarkan taraf integrasinya, bentuk-bentuk pinjaman dari bahasa Jawa
dalam bahasa Indonesia itu dapat dibagi atas:
1. Bentuk-bentuk yang diambil sepenuhnya, dan
2. Bentuk-bentuk yang diambil dengan menyesuaikan pengucapan dan
penulisannya dengan kaidah bahasa Indonesia (Marzuki, 1977:4).
Hal ini sesuai dengan pendapat Soenjono Dardjowidjojo (1966:18) yaitu:
“When linguistic borrowing occurs, there is almost always a possibility of
adaptation on the part of the recipient language, be it on the phonological,
grammatical or semantic component.”
Seterusnya ia menerangkan bahwa “... on the semantic component such
phenomenon as narrowing, widening, euphemism, loan translation, etc, are
found.”
Sebagai contoh mengenai penyempitan arti (narrowing) ini dapat
dikemukakan penggunaan kata adikuasa. Dalam bahasa Jawa adikuasa berarti
81
sangan berkuasa, sedangkan kata adikuasa yang dikenal dalam bahasa Indonesia,
yang semula dipinjam dari bahasa Jawa, adalah Amerika yang dianggap paling
berkuasa di dunia. Di sini kita lihat menyempitnya arti kata adikuasa, dari kata
yang lebih luas artinya, menjadi kata yang memiliki arti khusus.
Eufemism adalah penggunaan kata-kata yang lebih halus atau indah
menerangkan sesuatu. Kata mati, misalnya, dapat diperhalus dengan meninggal,
atau berpeluang. Tetapi sehubungan dengan peminjaman bentuk-bentuk asing,
eufemism ini lebih mengarah pada penggunaan kata-kata asing untuk kelihatan
lebih bergaya. Pada masyarakat bahasa Indonesia di kota-kota besar sekarang ini,
misalnya, sering terdengar penggunaan kata swalayan untuk supermarket yang
besar atau pondok untuk warung.
Pemungutan kata, kata serapan, peminjaman kata
merupakan sebuah
fenomena linguistik yang kajiannya sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah
bahasa (Guilbert, 1975: 89). Menurut Niklas-Salminen (1997: 83), tidak seperti
proses pembentukan kata lainnya (dérivation, composition, abréviation, dan
siglaison), peminjaman kata memperlihatkan kekhasan dalam menghasilkan
kesatuan bahasa yang baru tanpa menggunakan unsur leksikal yang sebelumnya
telah ada dalam suatu bahasa tertentu.
Suatu pinjaman dapat diterima ke dalam kosakata suatu bahasa
berdasarkan beberapa bentuk sebagai berikut:
1) Xénisme
Xénisme ditunjukkan dengan penggunaan kata asing yang tetap memiliki
bentuk dan makna yang sama dengan kata dalam bahasa aslinya. Kata yang
termasuk dalam xénisme biasanya berupa nom propre, nama keluarga, dan nama
geografis. Sehubungan dengan penggunaan kata asing tersebut, dapat dirujuk pada
pernyataan Guilbert (1975: 92) bahwa pemilihan istilah asing (dapat)
menghasilkan efek eksotisme. Contoh kata pinjaman dari bahasa Prancis yang
berupa xénisme dapat ditemukan dalam bidang gastronomi, seperti hors-d’œuvre,
dan dalam bidang mode, seperti haute couture.
82
2) Perubahan fonologis
Kata pinjaman dari bahasa asing yang masuk ke dalam kosakata suatu
bahasa memiliki kemungkinan untuk mengalami perubahan fonologis,
disesuaikan dengan pelafalan bahasa peminjam. Tidak jarang juga, terdapat dua
cara pelafalan, seperti dalam bahasa Prancis, kata pull-over lebih sering dilafalkan
dengan cara Prancis, yaitu [pylɔvɛr] dibandingkan dengan [pulɔvœr] (Guilbert,
1975: 96).
3) Perubahan morfo-sintaksis
Selain perubahan fonologis, sebuah kata pinjaman juga dapat mengalami
perubahan dalam tataran morfo-sintaksis. Salah satu contoh perubahan ini
ditunjukkan dengan adanya penggantian ataupun penambahan sufiks tertentu yang
khas dalam bahasa sasaran, seperti sprint > sprinter, sprinteur dan gadget >
gadgétiser, gadgétisation, gadgetière, gadgétophile (Guilbert, 1975: 97). Selain
itu, kata pinjaman dari bahasa asing juga dapat digunakan sebagai elemen kedua
dari kata majemuk (composition) yang disandingkan dengan kata Prancis, seperti
express > auberge-express, auto-express, cafétaria- express, consultation express,
métro-express (Guilbert, 1975: 97).
Penulisan Unsur Serapan dalam Kosakata
Kaidah penulisan unsur serapan dalam kosakata terdiri atas tiga kaidah.
Kaidah tersebut berturut-turut dapat dilihat sebagai berikut.
1. Kosakata Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,
baik yang lazim maupun yang tidak lazim, yang memenuhi salah satu syarat atau
lebih yang berikut ini.
a. Kata yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan,
atau sifat yang dimaksudkan, seperti tunak (steady), telus (percolate), dan
imak (simulate).
b. Kata yang lebih singkat daripada yang lain beracuan sama, seperti gulma
jika dibandingkan dengan tumbuhan penggaggu, suaka (politik), jika
dibandingkan dengan perlindungan (politik).
83
c. Kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar
(eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes, tunakarya
jika dibandingkan dengan penganggur.
Di samping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru
atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makana asalnya.
Misalnya, berumah dua, garam, garis bapak, gaya, hari jatuh, hitung dagang,
pejabat teras, peka, suaka politik, tapak, titik sudut.
2. Kosakata Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat
dapat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang
dimaksudkan maupun yang tidak lazim yang memenuhi ketiga syarat yang
disebutkan di atas, misalnya.
Tabel 2. Kaidah Penulisan Kosakata Bahasa Serumpun Baik yang Lazim
dan Tidak Lazim
Istilah yang lazim
gambut (Banjar)
nyeri (Sunda)
timbel (Jawa)
peat (Inggris)
pain (Inggris)
lead (Inggris)
Istilah yang tidak lazim
gawai (Jawa)
luah (Bali, Bugis,
Minangkabau, Sunda)
device (Inggris)
discharge (Inggris)
3. Kosa Kata Bahasa Asing
Jika dalam bahasa Indonesia atau bahasa serumpun tidak ditemukan
istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan
Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan menyerap,
dan menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing. Kaidah penulisan kosa
kata bahasa asing dibagi menjadi lima kaidah, sebagai berikut.
a. Penerjemahan Istilah Asing
Istilah asing dapat dibentuk dengan menerjemahkan istilah asing.
84
Misalnya:
samenwerking kerja sama
balanced budget anggaran berimbang
Dalam penerjemahan istilah asing tidak selalu diperoleh, dan tidak selalu
perlu bentuk yang selalu berimbang arti satu-lawan-satu yang pertama-tama
harus diikhtiarkan ialah kesamaan dan kepadanan konsep, bukan kemiripan
bentuk luarnya atau makna (semantic field) dan ciri makna istilah bahasa asing
masing- masing perlu diperhatikan. Misalnya:
begrotingspost mata anggaran
brother-in- law ipar laki-laki
medication pengobatan
network jaringan
Istilah dalam bentuk positif sebaiknya tidak diterjemahkan dengan istilah
dalam bentuk negatif dan sebaliknya. Misalnya, bound morpheme diterjemahkan
dengan morfem terikat bukan dengan morfem tak bebas.
b. Penyerapan Istilah Asing
Demi kemudahan pengalihan antarbahasa dan keperluan masa depan,
pemasukan istilah asing yang bersifat internasional, melalui proses penyerapan
dapat dipertimbangkan jika salah satu syarat atau lebih yang berikut ini dipenuhi.
1) Istilah serapan yang dipilih lebih cocok karena konotasinya.
2) Istilah serapan yang dipilih lebih singkat dibandingkan dengan
terjemahan Indonesianya.
3) Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah tercapainya kesepakatan
jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya.
Proses penyerapan itu dapat dilakukan dengan atau tanpa pengubahan
yang berupa penyesuaian ejaan dan lafal.
85
Tabel 3. Kaidah Penulisan Peyerapan Istilah Asing
Istilah Asing Istilah Indonesia
yang Dianjurkan
Istilah Indonesia yang Tidak
Dianjurkan
1. Anus
feces
urine
2. amputation
decibel
liprounding
marathon
oxygen
chemistry
3. dysentery
energy
horizon
narcotic
anus
feses
urine
amputasi
desibel
labialisasi
marathon
oksigen
kimia
desentri
energi
horizon
narkotik
lubang pantat
tahi
kencing
(pembuangan) anggota badan
satuan ukuran kekerasan suara
pembundaran bibir
lari jarak jauh
zat asam
ilmu urai
sakit murus; berak darah;mejan
daya; gaya; kekuatan
kaki langit; ufuk; cakrawala
madat; obat bius; candu
c. Penyerapan dan Penerjemahan Sekaligus
Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan jalan menyerap dan
menerjemahkan istilah asing sekaligus. Misalnya:
bound morpheme morfem terikat
clay colloid koloid lempung
clearance volume volume ruang bebas
subdivision subbagian
d. Macam dan Sumber Bentuk Serapan
Istilah yang diambil dari bahasa asing dapat berupa bentuk dasar atau
bentuk turunan. Pada prinsipnya dipilih bentuk tunggal (singular), kecuali jika
konteksnya condong pada bentuk jamak (plural). Pemilihan bentuk tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan (1) konteks situasi dan ikatan kalimat,
(2) kemudahan belajar bahasa, dan (3) kepraktisan. Demi keseragaman, sumber
rujukan yang diutamkan adalah istilah Inggris yang pemakaiannya sudah
internasional, yakni yang lazim oleh para ahli dalam bidangnya. Penulisan
istilah itu sedapat-dapatnya dilakukan dengan mengutamakan ejaanya dalam
bahasa sumber tanpa menghabiskan segi lafal. Misalnya:
atom atom electron electron
fundamental fundamental mathematics matematika
86
system sistem
Catatan:
Istilah asing yang sudah diserap dan sudah lazim dipergunakan sebagai
istilah Indonesia masih dapat dipakai sungguhpun bertentangan dengan salah
satu kaidah pembentukan istilah. Misalnya:
dommekracht (Belanda) dongkrak
fikr (Arab) pikir
parceiro (Portugis) persero
winkel (Belanda) bengkel
e. Istilah Asing yang Bersifat Internasional
Istilah asing yang ejaannya bertahan dalam banyak bahasa dipakai juga
dalam bahasa Indonesia dengan syarat diberi garis bawah atau dicetak miring.
Misalnya:
allegro moderato dengan kecepatan sedang (dalam musik)
ceteris paribus jika hal-hal lain tetap tidak berubah
esprit de corps semangat setia kawan; rasa kesetiakawanan
kelompok‟
in vitro di dalam tabung; melalui percobaan laboratorium
status quo keadaan yang sekarang
vis-à-vis terhadap; (yang) berhadapan dengan
Penulisan Unsur Serapan pada Ejaan dalam Peristilahan
Kaidah penulisan unsur serapan pada ejaan dalam peristilahan terdiri atas
beberapa kaidah. Kaidah tersebut secara berturut-turut antara lain ejaan fonemik,
ejaan etimologi, transliterasi, ejaan nama diri, dan penyesuaian ejaan.
1) Ejaan Fonemik
Penulisan istilah pada umumnya berdasarkan pada ejaan fonemik; artinya
hanya satu bunyi yang berfungsi dalam bahasa Indonesia yang dilambangkan
dengan huruf. Misalnya:
presiden bukan president
standar bukan standard
teks bukan text
87
2) Ejaan Etimologi
Untuk menegaskan makna yang berbeda, istilah yang homonim dengan
kata lain dapat ditulis dengan mempertimbangkan etimologinya, yakni sejarahnya,
sehingga bentuknya berlainan sehingga lafalnya mungkin sama.
3) Transliterasi
Pengejaan istilah dapat juga dilakukan menurut aturan transliterasi yakni
penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, lepas dari
bunyi lafal yang sebenarnya. Hal itu misalnya menurut anjuran Internasional
Organization for Standardization (ISO) pada huruf Arab (rekomendasi ISO-R
233), Yunani (rekomendasi ISO-R 315), Siril (Rusia) (rekomendasi ISO-R 9)
yang dialihkan ke huruf Latin. Misalnya:
yaum ul-adha (hari kurban)
suksma (sukma)
psyche (jiwa, batin)
moskva (Moskwa, Moskou)
4) Ejaan Nama Diri
Ejaan nama diri, termasuk merek dagang, yang di dalam bahasa aslinya
ditulis dengan huruf Latin, tidak diubah. Misalnya, Baekelund, Cannizaro,
Aquadog, Daeron. Nama diri yang bentuk aslinya ditulis dengan huruf lain dieja
menurut rekomendasi ISO, ejaan Inggris yang lazim, atau ejaan Pinyin (Cina).
Misalnya, Keops, Sokrates, Ivanovic Mendellev, Anton Chekov, Mao Zedong,
Beijing.
5) Penyesuaian Ejaan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari
pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti
Misalnya:
bank dengan bang
sanksi dengan sangsi
88
Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya,
unsur pinjaman dari bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga golongan besar.
Proses Penyerapan Bahasa Asing
Proses penyerapan kata umum unsur serapan bahasa asing menurut
Chaer (1993:73) ada tiga cara yaitu:
a. Cara audial
Proses penyerapan secara audial merupakan suatu penyerapan unsur.
b. Cara visual
Proses penyerapan secara visual merupakan suatu penyerapan unsur
asing melalui indra penglihatan.
c. Audio visual
Proses penyerapan audio visual merupakan suatu proses penyerapan
unsur asing melalui pendengaran dan penglihatan sekaligus.
Selanjutnya menurut Soedjito (1998:73) mengemukakan kata umum unsur
serapan dibagi tiga golongan, yaitu
a. Adopsi
Adopsi adalah pungutan secara utuh tanpa perubahan dan penyesuaian.
Contoh: fase-fase, fasal – fasal.
b. Adaptasi
Adaptasi adalah penyerapan yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah
bahasa Indonesia. Dalam penyesuaian kata–kata asing tersebut diusahakan tidak
berbeda dengan ejaan asingnya. Perubahan hanya seperlunya saja sehingga
bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan ejaan asingnya. Contoh:
Congres – kongres.
c. Pungutan
Pungutan terjemahan merupakan pengutan yang dihasilkan dengan
menerjemahkan kata/istilah tanpa mengubah makna konsep gagasan (makna
konsep harus sama/sepadan). Bentuk terjemahan yang dihasilkan ada dua
macam, yaitu:
Sama, contoh: batasan – definisi.
Tidak sama, contoh makalah – working paper.
89
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data penelitian ini diambil dari sumber surat kabar harian Waspada,
Analisa, dan Mimbar Umum yang terbit di Medan. Data diambil pada masa 2
tahun Era Reformasi Mei 1998 smapai dengan Mei 2000. Dipilihnya Era
Reformasi sebab pada era tersebut perubahan pemerintah dan terutama perubahan
budaya sangat signifikan dengan mencuatnya nilai transparansi dan demokrasi
yang berdampak juga pada perkembangan kosa kata dalam bahasa Indonesia.
Adapun alasan dalam menentukan surat kabar Waspada, Analisa, dan
Mimbar Umum karena ketiga surat kabar tersebut diyakini merupakan surat kabar
yang mempunyai oplah yang besar di kota Medan dibandingkan dengan surat
kabar lainnya. Data yang diambil merupakan tulisan wartawan dari surat kabar
terebut dan data yang dicari adalah bahasa Jawa yang masuk ke dalam bahasa
Indonesia yang digunakan dalam menulis berita.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam kegiatan pengumpulan data, diadakan pencermatan dan
pemeriksaan data. Kegiatan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Membaca surat kabar-surat kabar yang dijadikan sumber data dengan
cermat.
2. Memfokuskan perhatian pada 2 kelompok yang telah ditemukan yaitu:
Tajuk
Berita
3. Menandai kata yang merupakan bahasa Jawa.
4. Membuat daftar kata-kata yang ditemukan dari setiap sampel.
5. Memeriksa kedalam Kamus Bahasa Jawa apakah benar kata-kata yang
ditandai dan dicatat di daftar kata dalah benar bahasa Jawa.
6. Jumlah sampel keseluruhan yaitu 150 kelompok dengan keterangan
sebagai berikut: 25 (haruab) x 3 (terbitan) x 2 (kelompok) = 150
kelompok.
90
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan sebagai berikut:
1. Data yang terkumpul didaftarkan pada selembar kertas (list of word).
2. Data diidentifikasiberdasarkan pengelompokan kata-kata.
3. Data dianalisa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya.
b. Menghitung jumlah kata dari setiap kelompok.
c. Membuat persentase berdasarkan jumlah yang telah ditemukan.
91
BAB VI
ANALISIS DATA PENELITIAN
Secara garis besar, analisis data dilakukan dengan
mengelompokkan masing-masing data sesuai dengan golongannya atau
berikutnya.
Berdasarkan bentuk unsur serapan loanwords, loanblends, dan
loanshifts sesuai dengan data yang telah dianalisis:
1. Loanwords = 645 kata = 98%
2. Loanblends = 13 kata = 1,9%
3. Loanshifts = -
658 kata
TABEL I
PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN
LOANWORDS, LOANBLENDS, DAN LOANSHIFTS
ABJAD 1 2 3
A 45 - -
B 51 - -
C 29 - -
D 36 1 -
E 20 - -
F - - -
G 38 2 -
H 24 - -
I 19 - -
J 17 - -
K 40 - -
L 51 1 -
M 41 3 -
92
N - - -
O 17 - -
P 58 2 -
Q - - -
R 37 - -
S 40 - -
T 47 2 -
U 18 - -
V - - -
W 17 - -
X - - -
Y - - -
Z - - -
645 13 -
Catatan :
1. Loanwords = 98%
2. Loanblends = 1,9%
3. Loanshifts = -
93
TABEL II
PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN JENIS
MORFEM
Penggolongan bentuk unsur serapan berdasarkan jenis morfem.
Morfem bebas = 158 kata = 24%
Morfem berimbuhan = 448 kata = 68%
Kata ulang (reduplikasi) = 52 kata = 7,9%
=658 kata
ABJAD 1 2 3
A 15 35 15
B 12 41 7
C 9 18 4
D 5 25 -
E 6 14 -
F - - -
G 10 35 -
H 6 12 2
I 5 7 1
J 8 22 3
K 12 35 -
L 13 40 5
M 8 30 2
N 6 10 2
O - 9 1
P 7 15 5
Q - - -
R 9 25 2
S 8 28 -
T 9 35 1
94
U - - -
V - - -
W 5 12 3
X - - -
Y - - -
Z - - -
158 448 52
Morfem bebas = 24%
Morfem berimubuhan = 68%
Kata ulang (reduplikasi) = 7,9%
95
TABEL III
PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN
KELAS KATA
Penggolongan bentuk unsur serapan berdasarkan kelas kata.
Hasil analisis bentuk pinjaman berdasarkan kelas kata:
Verba = 104 kata = 15.8%
Nomina = 217 kata = 32.9%
Adjektiva = 215 kata = 32.6%
Adverbia = 122 kata = 18.5%
= 658 kata
ABJAD VERBA NOMINA ADJEKTIVA ADVERBIA
A 2 9 25 19
B 21 6 6 11
C - 3 12 9
D 32 6 35 18
E - 2 15 5
F - - 1 -
G 4 4 2 2
H - - - -
I - 1 7 3
J - 7 - 1
K - 47 12 5
L - - - -
M 16 12 15 7
N 7 - 20 3
O - - - -
P 10 93 45 21
Q - - - -
R 6 2 5 4
S 2 10 15 14
96
T 4 15 - -
U - - - -
V - - - -
W - - - -
X - - - -
Y - - - -
Z - - - -
104 217 215 122
Verba = 14.8%
Nomina = 32.9%
Adjektiva = 32.6%
Adverbia = 18.5%
97
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini mencoba mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh
bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan setelah data dianalisis dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pemunculan kategori unsur serapan loanwords lebih sering dibanding
dengan loanblends dan loanshifts.
2. Pemunculan kategori unsur serapand ari struktur morfem yang berimbuhan
lebih kerap dibandingkan dengan morfem bebas dan reduplikasi.
3. Pemunculan unsur serapan dengan kategori kelas kata terlihat lebih kerap
pada kelas kata nomina dan adjektiva dibanding dengan verba dan
adverbia.
Secara umum setelah data diidentifikasi dan dianalisis terbukti bahwa
pengaruh kosa kata bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan teridentifikasi
dengan jelas.
Saran-saran
Setelah peneliti melihat hasil analisis dan kesimpulan maka dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi peneliti berikutnya dianjurkan untuk meneliti aspek-aspek lain dari
bahasa Indonesia surat kabar Medan yang mendapat pengaruh dari bahasa
Jawa, seperti gaya bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa.
2. Sumbangan para ahli bahasa dapat diharapkan untuk memberikan
masukan bagi penggunaan bahasa dalam surat kabar khususnya yang
berkenaan dengan unsus pinjaman.
98
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
Appel. Rene. 1976. Sociolinguistiek. Berlin: Het Spectrum.
Aslinda dan Leni S. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika
Aditama.
Bloomfield. Leonard. 1933. Language. Chicago: University of Chicago Press.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidojo. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Denes, Made, dkk. 1994. Interferensi Bahasa Indonesia Dalam Pemakaian
Bahasa Bali di Media Massa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Djabarudi, Slamet. 1980. Peranan Media Massa dalam Pembinaan Bahasa
Indonesia dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia.
Fishman, Joshua. 1972. The Relationship between Micro- and Macro-
Sociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to
Whom and When. In J. B. Pride and Janet Holmes (cds). Sociolinguistics:
Selected Readings. Hammondsworth: Penguin Books Ltd.
Fromklin Victoria, Rodman Robert. 1998. An Introduction to Language.
Harcourt Brace College Publishers: Orlando. Tokyo.
Grosjean. F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism.
Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Guilbert, Louis. 1975. La Créativité Lexicale. Paris: Larousse.
Gunarwan, Asim. 2003. Persepsi Nilai Budaya Jawa di Kalangan Orang Jawa:
Implikasi dan Penggunaan dalam Berkala PELLBA 16. Jakarta: Pusat
Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atmajaya.
Haugen, Einar, Phd. 1968. Bilingualism in the Americas: A Bibliography and
Reserach Guide. Alabama: American Dialect Society.
99
Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford: Stanford University
Press.
Hoffman, Charlotte. 1991. An Introduction to: Bilingualism. Longman: London
and New York.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman: London
and New York.
Hoed, BH. 1978. Ragam Bahasa Cerita dam Cirinya. Makalah dalam Kongres
Bahasa Indonesia.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa (Pengantar).
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta.
_____________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Kridalaksana. 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa: Kumpulan Karangan.
Ende: Nusa Indah.
__________. 1980. Perkembangan dan Pengembangan Kosakata Bahasa
Indonesia dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia.
__________. 1981. Bahasa Baku dalam Majalah Pembinaan Bahasa
Indonesia.
__________. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa
Indonesia. Bekasi: Kanisius.
__________. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta.
__________. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mackey, William F. 1968. The Description of Bilingualism dalam Readings in
the Sociology of Language. Joshua a. Fishman, the Hauge: Mouton & Co.
Mackey. 1977. The Evaluation Bilingual Education. Dalam Splosky and
Cooper. 1977. 266-81.
Maryam, Siti. 2011. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Bahasa
Indonesia pada Proposal Program Kreativitas Mahasiswa Prodi Bahasa
dan Sastra Indonesia UNY skripsi S1. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan
Seni UNY.
100
Marzuki, A. 1977. Penangkapan Kata-kata Asing dalam Bahasa Indonesia
dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Moeliono. 1977. Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri. Jakarta.
________. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Mohamad, Gunawan. 1975. Persoalan Bahasa Indonesia untuk Pers dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
. 1984. Morfologi Dialek Jakarta Afiksasi dan Reduplikasi.
Jakarta: Djambatan.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Niklas Salminen, Aïno. 1997. La Lexicologie. Paris: Armand Collin.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1978. Interferensi dna Integrasi dalam Suasana
Keanekabahasaan. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia III.
Poerwadarminta, W.J.S. 1954. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Perpustakaan Perguruan Kementrian P. P. dan K.
Ramlan. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism. New Jersey: Wiley.
Samsuri. 1981. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Soedjito. 1990. Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Sumarsono dan Paina Partana. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan
Pustaka Belajar.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Solo: Henary Offset.
Tarigan, H. G. 2009. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa.
Thomason. G, Sarah. 2001. Language Contact. Edinburg: Edinburg University
Press Ltd.
Wardhaugh. Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New Jersey:
Blackwell.
Wedhawati dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa.