103
KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN Susi Deliani [B jl BARIOi" G JA'r A ISBN 979-364 7- 11-2

KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

KOSAKATA BAUASA JAWADALAM SURAT KABARDIMEDAN

Susi Deliani

[Bj l BARIOi"G JA'r AISBN 979-364 7- 11-2

Page 2: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

1lI. 1.1 1I",I~. 1Icm

ISh~ 97'1-JM1_11 ·2[)nm"d<.oa I Dio<&k Okh BARTONO JII.YII.~

HAK CIPTA

()oWwlungo ""llfICI~0iiIf¥19 mengullP atAl ~rtJ,any ilk~~ "tau Sl'IlnI1ISl

t>ut<,. '"' ~ aiI'am t>en",k stensiI,loIocxlpo,I. mil:toI*TI al3u dI!o"OallC¥a~_ "''''''' ,ro"~ dan _boI_

I(UTIPAN PAS Al '" :

SANKSI PflANGGARAN UNOANG .UNOANGHAK CIPTA 19111

~~ Mngaf<I Ibn IaIIQoa IIak~ lItau~1I1c sua... e>PtUn lItl1u rnembeti irin ""!uk~. dipodanlI

deno3n podana petlfal'a pa!lnc;llamil 7 1kljutl ) til .......aa,, 'aLJudenda palinool bilnyllk Rp_ 100000 000,- (sPf;lu$ /Utll\IP'iJ'1)

Barano~~'p" dP"ll3 r1 5eng aja m" nrarl<an, ......mam ..rI<a".mt!~ar k an alau .......rljual kepada umu m Sualu C1plaan alau

tlaranc;l h<lSllpe laoooar:lu'l hak tipta Sl'ba~imana difT\3l< 5Ud dalam

ay"t (I), ....a.... d"""!l"" p;da.>a~i1 plllinO IamiI $ tarl ""aanI.. t.tu denCio 1''''''''0 Danya. Rp. $0000 000 ,- (1lm.lI plAIn IU~

->

Page 3: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Landasan Teori ................................................................................................................. 7

1.3 Perumusan Masalah .......................................................................................................... 9

1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................................. 9

1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 10

BAB II KONTAK BAHASA DAN MASALAH UNSUR SERAPAN ............................... 11

2.1 Perubahan Bahasa .......................................................................................................... 18

2.2 Bilingualisme ................................................................................................................. 23

2.3 Interferensi ..................................................................................................................... 38

2.4 Pungutan/Unsur Serapan ................................................................................................ 59

2.5 Sebab-sebab Terjadinya Pungutan ................................................................................. 74

2.6 Proses Pemungutan ........................................................................................................ 77

BAB III PROSEDUR PENELITIAN ................................................................................... 89

3.1 Sumber Data ................................................................................................................... 89

3.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................. 89

3.3 Teknik Analisa Data ....................................................................................................... 90

BAB VI ANALISIS DATA PENELITIAN .......................................................................... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 97

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 98

iii

Page 4: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk dilihat sejarahnya tidak pernah hidup

menyendiri. Setiap individu selalu berhubungan satu sama lain apakah dalam

bentuk kelompok, keluarga, suku, atau bangsa. Mereka saling berhubungan dalam

usaha membentuk kesatuan, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam

bentuk aspek kehidupan. Terlebih-lebih dalam peradaban modern dewasa ini,

hubungan antara manusia yang satu dan manusia yang lain atau antara bangsa

yang satu dengan bangsa yang lain sudah demikian dekatnya seolah-olah batas

yang memisahkan mereka tidak ada karena jaringan komunikasi sudah demikian

maju dan canggih seperti jaringan jalan did arat, laut dan udara; ditambah lagi

dengan tampilnya saran komunikasi elektronik seperti radio, televisi, dan satelit.

Dengan kondisi yang demikian, tampaknya sulit ditemukan kehidupan suatu

masyarakat (bangsa) yang masih mengisolasikan diri dan mempertahankan

tradisinya secara utuh, sama seklai terlepas dari pengaruh lingkungan di

sekitarnya.

Hubungan yang dilatarbelakangi oleh adanya kontak sosial antara

beberapa masyarakat, langsung ataupun tidak langsung, membawa akibat

terjadinya kontak budaya. Dalam situasi yang demikian akan terjadi akulturasi dan

proses pengaruh-mempengaruhi antara serap-menyerap unsur budaya yang satu

dan unsur budaya yang lain. Besar kecilnya pegnaruh itu tergantung dari

pergaulan antarbangsa itu sendiri. Semakin rapat lingkungan pergaulan mereka

semakin besar pula pengaruh budaya masuk kedalamnya.

Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986:8),

tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbangsa pasti

terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu

memiliki sifat terbuka. Ada alasan yang dapat dijadikan petunjuk terhadap

peristiwa itu. Menurut Hockett (1958) ada dua faktor yang mendorong terjaidnya

peristiwa tersebut. Faktor pertama disebut need filling motive, yaitu dorongan

Page 5: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

2

untuk memenuhi kebutuhan yang benar-benar mendesak menerima masukan dari

bahasa lain untuk mengangkat satu makna konsep terhadap bidang tertentu karena

bahasa itu sendiri tidak memilikinya. Faktor kedua ialah prestice motive, yaitu

adanya kecenderungan perilaku hendak bergagah-gagahan, beraksi-aksi karena

unsur bahasa yang dipungut dianggap lebih berprestise, lebih berwibawa, daripada

bahasa yang menuntut unsur itu (Poendjasoedarmo, 1978:32-33).

Dipandang dari sudut dua bahasa yang saling mempengaruhi jelas akan

ada untung ruginya. Pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan;

kadang-kadang dapat memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan.

Demikian pula sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya

bahasa lain berdampak mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi

penyimpangan kaidah atau menimbulkan gejala interferensi.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional hidup berdampingan dengan

bahasa daerah yang berjumlah ratusan di Indonesia. Salah satu bahasa daerah

yang mempunyai penutur yang berjumlah besar adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa

yang mempunyai penutur yang berjumlah besar mempengaruhi bahasa Indonesia

khususnya dalam kosakata, hal ini seiring dengan pendapat Moeliono, A.M.

(1977).

“Bahasa serumpun yang jumlah penuturnya terbanyak, seperti bahasa Jawa

dan bahasa Sunda merupakan sumber utama pemekaran kosakata.”

Bahasa Jawa adalah bahasa Nusantara yang paling besar jumlah

penuturnya. Penuturnya terbesar di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai

kebeberapa tempat di luar negeris eperti Suriname dan New Caledonia. Di

Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 60 sampai 70 juta penutur bahasa Jawa,

yang semuanya tinggal di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apabila

penutur-penutur lain yang tinggal di luar kedua provinsi tersebut diikutsertakan,

maka jumlah penutur bahasa Jawa akan mencapai hampir setengah populasi dari

jumlah penduduk Indonesia.

Bahasa Jawa merupakan anggota keluarga bahasa-bahasa Austronesia atau

Melayu-Polinesia. Induk bahasa ini tersebar mulai dari Madagaskar sampai ke

kepulauan Paskah di sebelah selatan, dan mulai dari kepulauan Formosa di

Page 6: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

3

Taiwan sampai ke Selandia Baru di sebelah utara. Tidak termasuk ke dalam

keluarga bahasa ini adalah beberapa bahasa-bahasa di Irian Jaya dan bahasa-

bahasa di Australia.

Di dalam keluarga bahasa-bahasa Austronesia, bahasa Jawa jelas

merupakan salah satu anggota kelompok bahasa bersama-sama dengan bahasa-

bahasa di daerah barat Indonesia.

Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia selama berabad-abad digunakan secara

luas di kepulauan Nusantara. Kedua bahasa ini saling mempengaruhi satu sama

lain.

Bahasa Indonesia digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,

dan bahasa Indonesia ini telah disepakati pula sebagai bahasa nasional bangsa

Indonesia. Dengan demikian makna bangsa Indonesia adalah juga masyarakat

bahasa Indonesia. Meskipun dmeikian, ini bukan berarti kita mengingkari

kenyataan bahwa di seluruh Kepulauan Indonesia masih terdapat berbagai bahasa

lain.

Di dalam masyarakat bahasa Indonesia, dengan adanya berbagai bahasa

daerah, akan terdapat pula kontak bahasa, antara bahasa Indonesia dengan bahasa

daerah, dan antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain.

Bahasa daerah, untuk sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di luar ibukota,

adalah bahasa pertama, sedangkan bahasa Indonesia yang menggunakan bahasa

daerah adalah bahasa pertamanya.

Meskipun kedudukan bahasa Idnonesia bagi sebagian besar bangsa

Indonesia bukanlah sebagai bahasa pertama, tapi bahasa Indonesia digunakan

sebagai lingua franca, yaitu bahasa perantara orang yang latar budayanya

berbeda. Menurut Moeliiono (1980:16), di dalam sejarah manusia, pemilihan

lingua franca tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika atau

estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi. Dan

berdasarkan alasan-alasan tersebutlah bahasa Indonesia diputuskan untuk

digunakan sebagai bahasa nasional.

Page 7: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

4

Dalam perkembangannya bahasa Indonesia ini kemudian ternyata tidak

hanya melakukan kontak bahasa dengan bahasa-bahasa daerha, tetapi juga dengan

bahasa asing. Kontak bahasa ini mengakibatkan perubahan bahasa. Perubahan

bahasa yang sungguh mencolok terdapat dalam bidang kosa kata, karena

memang subsistem inilah yang paling peka terhadap perubahan budaya

pemakai bahasa (Kridalaksa, 1980:35). Beberapa aspek perkembangan kosa kata

yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebab-sebab perubahan kosa kata dan

masalah penciptaan kata-kata baru.

Penelitian ini membahas masalah pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa

Indonesia dalam hal unsur serapan, khususnya sebagai akibat dari adanya kontak

bahasa. Hal ini digambarkan oleh ilustrasi bagaimana bahasa daerah yang

mempunyai jumlah penutur yang banyak dan mempunyai kebudayaan yang tinggi

mempengaruhi bahasa Indonesia.

Sumber pegaruh bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia secara umum

melalui dua jalur:

1. Secara tidak langsung melalui pemakai bahasa Indonesia yang tinggal di

Jakarta.

2. Langsung dari penutur Jawa yang memakai bahasa Indonesia.

Bahasa Jawa mempengaruhi bahasa Indonesia secara langsung dalam

berbagai cara. Sumber-sumber itu meliputi (1) orang luar Jawa yang tinggal di

Jawa yang meminjam dan menyebarkan bahasa Jawa, (2) orang Jawa yang tinggal

di luar Jawa dan memakai bahasa Indonesia yang diadopsi oleh penutur orang luar

Jawa, (3) tulisan bahasa Indonesia oleh orang Jawa, (4) pidato-pidato politik oleh

figur-figur orang Jawa, (5) kesenian Jawa yang populer di luar masyarakat Jawa

dan (6) tulisan atau terjemahan dari kesusastraan Jawa ke dalam bahasa Indonesia

oleh penutur Indonesia.

1) Pengaruh melalui orang luar Jawa yang tinggal di daerah orang Jawa

Banyak orang luar Jawa yang tinggal di area orang Jawa. Ada yang

pedagang, pejabat tetapi banyak juga yang pelajar. Selama tinggal di Jawa banyak

Page 8: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

5

kebiasaan orang Jawa yang digunakannya. Sering orang luar Jawa mengambil

kata-kata Jawa yang spesifik dan menggunakannya ketika berbicara dan menulis.

2) Pengaruh bahasa Jawa di luar Pulau Jawa

Banyak orang Jawa yang tinggal di luar Pulau Jawa. Banyak yang bekerja

sebagai pejabat pemerintah, tentara, polisi, guru, dan buruh. Banyaknya pejabat

pemerintah juga memberi pengaruh kepada perkembangan bahasa Indonesia.

3) Pengaruh melalui penulis bahasa Jawa

Penulis bahasa Jawa juga menulis dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan

bahasa Indonesia penulis Jawa akan dipengaruhi oleh latar belakang budayanya

dan juga bahasanya.

4) Pengaruh melalui pidato-pidato oleh tokoh politik

Banyak orang Jawa yang menduduki jabatan yang penting. Tokoh-tokoh

itu kadang-kadang membuat pidato. Pidato-pidato penting kadang-kadang

disiarkan oleh TV dan radio juga surat kabar maka semua orang akan mendengar

dan membacanya.

5) Pengaruh melalui Sastra Populer

Penulis sastra populer seperti wayang dan gamelan populer di Jakarta dan

Sumatera dan bahkan di Medan. Pertunjukan-peertunjukan ini juga merupakan

sumber dari kata pinjaman yang masuk ke dalam bahasa Jawa.

6) Pengaruh bahasa Jawa melalui kesusastraan

Sumber peminjaman yang lain adalah kesusastraan beberapa penulis Jawa

menulis cerita-cerita Indonesia berdasarkan legenda dan cerita wayang yang

terdapat di Jawa. Dalam penulisan karya sastranya penulis tidak dapar

menghindari pemakaian bahasa Jawa seperti kata kraton atau adegan yang telah

diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.

Ada dua penomena yang menyebabkan pengaruh bahasa Jawa yang terus

meningkat terhadap bahasa Indonesia, (1) meningkatnya perpindahan jumlah

Page 9: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

6

penduduk dan perubahan sosial, (2) peran dan status Jakarta sebagai ibukota

negara.

1. Meningkatnya perpindahan jumlah penduduk

Pada saat ini perpindahan penduduk di berbagai daerah di Indonesia

meningkat. Banyaknya penduduk yang pindah ke luar Jawa sama banyaknya

dengan perpindahan orang luar Jawa ke pulau Jawa, hal ini yang menjadia

perhatian dan merupakan perubahan sosial.

2. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional

Dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, muncul

masalah baru bagaimana dengan kata-kata pinjaman dari bahasa daerah yang

masuk ke dalam bahasa Indonesia.

3. Status Jakarta sebagai ibukota

Jakarta sebagai ibukota negara dan kota yang besar dan penitng di

Indonesia, dan penduduk Jakarta sebahagian besar orang Jawa turut

mempengaruhi masuknya unsur pinjaman bahasa Jawa ke dalam bahasa

Indonesia.

Pengaruh bahasa Jawa terhadap bahasa Indoensia telah dikemukakan oleh

Prof. Dr. Soepomo Poedjosodarmo dalam disertasianya yang berjudul “Javanese

Influence on Indonesia” (1970) yang berkenaan dengan pengaruh bahasa Jawa

terhadap bahasa Indonesia yang meliputi hampir seluruh aspek kebahasaan, yakni

fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis, kosakata, dan gaya bahasa. Hal yang

menarik yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bahwa bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa saling mempengaruhi dengan cepat. Hal penyebabnya jelas

adalah bahasa Indoensia mempengaruhi bahasa Jawa karena bahasa Indonesia

adalah bahasa nasional maka hampir semua penutur Jawa belajar dan

mengucapkan bahasa Idneonsia. Bahasa Jawa mempengaruhi bahasa Indonesia

karena penutur bahasa Jawa berjumlah besar dan banyak. Banyaknya penutur

bahasa Jawa menduduki posisi penting dalam masyarakat.

Page 10: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

7

Berbeda dengan penelitian ini yang mencoba menganalisa pengaruh

bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan dengan memfokuskan pada masalah

unsur serapan atau istilah-istilah pinjaman yang terdiri dari 3 kelompok:

1. Kata-kata yang diserap secara utuh (loanwords).

2. Kata-kata yang diserap dengan sedikit disesuaikan dengan kaidah bahasa

peminjam (loanblends).

3. Kata-kata yang telah diterjemahkan (loanshifts).

Dipilihnya surata kabar pada Era Reformasi sebagai data penelitian sebab

dampak dari Era Reformasi yang mengakibatkan perubahan pemerintah dan

terutama perubahan budaya yang sangat signifikan yaitu dengan mencuatnya nilai

transparansi dan demokrasi. Pengaruh Era ini pada perkembangan kosakata

bahasa Indonesia sangat besar.

Surat kabar sebagai media massa turut mencatat pertumbuhan kata baru

yang berkembang pada suatu masyarakat, adanya suatu kata baru yang sering

dipakai pada surat kabar menyebabkan masyarakat mengenalnya lebih dekat dan

lama-kelamaan masyarakat menjadi terbiasa dengan kata tersebut. Bahasa yang

digunakan oleh surat kabar, menurut pendapat penulis, mempunyai pengaruh yang

cukup kuat pada masyarakat. Meskipun dapat pula dipertanyakan apakah bukan

masyarakat yang mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh surat kabar.

1.2 Landasan Teori

Menurut Haugen (1963:59-65) ada beberapa cara penggolongan bentuk

istilah peminjaman, yakni:

1. Berdasarkan urutan abjad, baik dari bahasa yang meminjam maupun dari

abahasa yang dopinjam; yakni dengan mengelompokkannya berdasarkan

kesamaan huruf awalnya.

2. Berdasarkan pokok pembicaraan, seperti: terminologi, teknik, olah raga,

kesenian, ekonomi, biologi, dan sebagainya.

3. Berdasarkan kelas kata, misalnya: istilah-istilah yang merupakan kata

benda, kata sifat, kata kerja, dan sebagainya.

Page 11: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

8

4. Berdasarkan tataran bahasa, yaitu yang dikelompokkan menurut dari

bahasa apa istilah itu berasal.jadi istilah yang berasal dari bahasa Inggris

dikelompokkan terpisah dari bahasa Jerman, Perancis, Belanda, dsb

5. Berdasarkan tingkatd an cara integrasi.

6. Berdasarkan kesukaan orang, yaitu frekuensi keseringan pemakaian istilah

yang tedapat pada bahasa yang meminjam.

7. Berdasarkan orang yang memperkenalkan pemakaian bentuk-bentuk

pinjaman itu dan sikap mereka terhadap penggunaan bentuk-bentuk asing.

Menurut Haugen pula, cara penggolongan bentuk-bentuk unsur serapan

yang sering dilakukan oleh para ahli bahasa adalah cara penggolongan yang

berdasarkan kelas kata, berdasarkan tataran bahasa serta yang berdasarkan tingkat

dan cara integrasi dari masing-masing bentuk unsur serapan.

Mengenai tingkat dan cara integrasi dan istilah-istilah bahasa Jawa ke

dalam bahasa Indonesia, penulis mendasarkan pada pendapat Haugen yang

membaginya menjadi dua tingkatan utama, yaitu:

1. Tingkat bunyi (Phonemic level)

2. Tingkat morfem (morphemic level)

Pada tingkat bunyi, Haugen membaginya lagi menjadi tiga bagian:

1. Bunyi-bunyi bahasa asing yang sama sekali tidak mengalami penyesuaian

dengan bunyi bahasa peminjam. Dengan kata lain peminjaman secara utuh

(Unassimilated).

2. Bunyi-bunyi bahasa yang sebagian disesuaikan dengan bunyi bahasa

peminjam (Partially assimilated).

3. Bunyi-bunyi bahasa yang telah disesuaikan sepenuhnya dengan bunyi

bahasa peminjam (Wholly assimilated).

Pada tingkat morfem (di sini Haugen menyamakan morfem dengan kata)

membaginya juga dalam tiga bagian:

1. Kata-kata yang diserap secara utuh (loan words no-substitution). Di sini

Haugen juga membedakan antara importation, yakni bentuk-bentuk asing

yang digunakan dalam suatu bahasa, seperti: istilah-istilah de facto, vis a

Page 12: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

9

vis, status quo, dan sebagainya, dan substitution, yakni bentuk-bentuk

asing yang kemudian dihasilkan melalui persamaan, seperti istilah docter,

yang diserap kedalam bahasa Rusia menjadi dokmop (doktΛr) dokter,

kemudian dipersamakan menjadi Bpar (fra:C).

2. Kata-kata yang dipinjam dengan sedikit penyesuaian dengan kajian bahasa

peminjam (loan word some substitution).

3. Kata-kata yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa yang meminjam

(loan shifts complete substitution).

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Berapa banyakkah diterima usur serapan dalam kategori loanwords,

loanblends, dan loanshifts dalam kata bahasa Jawa yang diteliti?

2. Berapa banyakkah ditemui unsur serapan dalam kategori kelas kata

(nomina, verba, adjektiva, dan adverbia) dari data bahasa Jawa yang

diteliti?

3. Bagaimanakah struktur morfem dari kata bahasa Jawa yang diteliti apakah

dalam bentuk morfem bebas, morfem terikat dan reduplikasi?

1.4 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah

dipaparkan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam

kosakata bahasa Indonesia dalam hal unsur serapan dengan kategori

loanwords, loanblends, dan loanshifts.

2. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam

kosakata bahasa Indonesia dilihat dari kategori kelas kata (nomina, verba,

numeralian, adjektiva, dan adverbia).

Page 13: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

10

3. Untuk mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh bahasa Jawa dalam

kosakata bahasa Indonesia dalam bentuk struktur morfemnya (morfem

bebas, morfem terikat, dan reduplikasi).

1.5 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data, identifikasi

data, dan menganalisis data diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

- Bagi dunia akademis dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

dalam pengembangan bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini merupakan

gabungan dari pengetahuan teoritis yagn diperoleh dari berbagai literatur

dan pengetahuan empiris yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan.

Bila kedua dimensi ini (pengetahuan teoritis dan empiris) dapat

digabungkan dan saling mengisi, maka studi ini dapat memperluas

khazanah ilmu pengetahuan, sehingga akan memperluas cakrawala

penalaran penutur bahasa Idnoensia.

- Untuk pengembangan dan perkembangan bahasa Indonesia, bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional akan mendapat pengaruh tidak saja dari

bahasa Jawa tapi bahasa daerah lainnya.

Page 14: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

11

BAB II

KONTAK BAHASA DAN MASALAH UNSUR SERAPAN

Objek kajian linguistik meliputi kajian linguistik mikro dan makro. Kajian

linguistik mikro terdiri dari struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri;

sedangkan kajian linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan

faktor-faktor di luar bahasa. Faktor-faktor di luar bahasa terkait dengan segala hal

yang berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat bahasa, sebab tidak

ada kegiatan yang dilakukan tanpa berhubungan dengan bahasa. Kajian yang

berkaitan dengan linguistk makro sangat luas dan beragam, seperti penerjemahan,

penyusunan kamus, pendidikan bahasa dan masih banyak kajian yang lainnya.

Salah satu hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bahasa yang erat

kaitannya dengan kegiatan sosial di dalam masyarakat atau hubungan bahasa

dengan masyarakat.

Beragamnya kegiatan sosial masyarakat mengharuskan mereka untuk

berkomunikasi satu sama lain, baik itu dengan anggota masyarakatnya ataupun

dengan anggota dari masyarakat lain, padahal secara umum diketahui bahwa

bahasa yang digunakan antar masyarakat yang satu dengan yang lain bisa berbeda,

sehingga peristiwa inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak bahasa.

Kontak bahasa merupakan peristiwa dimana terjadi penggunaan lebih dari satu

bahasa dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Ada beberapa faktor yang

menjadi penyebab terjadinya kontak bahasa. Makalah ini akan membahas

mengenai faktor-faktor tersebut dengan disertai contoh-contoh masyarakat yang

mengalami kontak bahasa serta akibat yang ditimbulkan dari adanya kontak

bahasa.

Kontak bahasa mengakibatkan pengaruh mempengaruhi bahasa yang

saling berdekatan atau saling menyentuh. Perubahan bahasa menyangkut soal

bahasa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis dan sebagai

akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Pergeseran

bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur, di mana sebagai akibat dari

perpindahan penutur atau para penutur itu dapat menyebabkan terjeadinya

Page 15: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

12

pergeseran bahasa, speerti penutur yang tadinya menggunakan bahasa ibu

kemudian menjadi tidak menggunakannya lagi. (Charlotte Hoffmann, London and

New York. 1991:91).

Ketiga terjadi proses saling pengaruh itu, maka bahasa yang lebih penting

akan banyak mempengaruhi bahasa yang kurang penting. Sedang penting

tidaknya suatu bahasa itu dapat dilihat dari:

1. Jumlah penuturnya,

2. Luas penyebarannya,

3. Peranannya sebagai sarana ilmu, sastra dan ungkapan budaya lain yang

dianggap bernilai (Moeliono, 1980:15).

Kontak bahasa menurut Weinreich dalam Denes dkk (1994:6) merupakan

peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari

kontak bahasa itu terjadi pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang

lain mencakupi semua tataran.

Dalam proses penguasaan bahasa kedua itu dapat dikatakan sama sehingga

dapat lebih mudah menggunakannya. Demikian pula sebaliknya, apabila unsur

yang masuk itu berlainan, maka akan terjadi gejala interferensi (Huda dalam

Denes, dkk, 1994 : 67). Sebagai konsekuensinya, dengan adanya kontak bahasa,

proses pinjam meminjam atau pengaruh-mempengauhi terhadap bahasa lain tidak

dapat dihindari.

Mackey dalam Suwito (1985:39) menjelaskan bahwa kontak bahasa

sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik langsung

maupun tak langsung, sehingga dapat mempengaruhi penguasaan bahasa penutur

baik ekabahasawan maupun dwibahasawan. Kontak bahasa cenderung kepada

gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung sebagai gejala

tutur (parole). Namun karena langue pada hakikatnya adalah sumber dari parole,

maka kontak bahasa sudah selayaknya tampak dalam kedwibahasaan. Atau

dengan kata lain, kedwibahasaan terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.

Page 16: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

13

Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh

penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam

keadaan saling kontak. Jadi kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara

individual. Dan kontak bahasa terjadi dalam konteks sosial, yaitu situasi dimana

seorang individu belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya. Dalam kondisi

seperti itu dapat dibedakan antara: situasi belajar bahasa, proses pemerolehan

bahasa dan orang yang belajar bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pengertian

kontak bahasa yaitu segala persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat

adanya kemungkinan pergantian bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya.

Peristiwa tersebut antara lain tampak dalam wujud kedwibahasaan.

Thomason (2001: 1) berpendapat bahwa kontak bahasa adalah peristiwa

penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama.

Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar

sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara

penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa

kontak bahasa.

Sebagai contoh, ketika dua kelompok wisatawan saling meminjamkan alat

masak selama dua atau tiga jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling

berkomunikasi satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin

dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam kategori kontak bahasa.

Thomason (2001: 17-21) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya kontak bahasa dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu :

a) Adanya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tak

berpenghuni kemudian mereka bertemu disana

Dalam kasus ini, kedua kelompok bukan merupakan kelompok pribumi sehingga

satu sama lain tidak menjajah atau merambah wilayah masing-masing. Antartika,

sebagai tempat dimana tidak ada populasi manusia yang menetap disana,

merupakan contoh dari adanya kontak bahasa dengan sebab ini. Para ilmuwan dari

Page 17: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

14

berbagai belahan dunia saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan

mereka selama berada disana.

b) Perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain

Peristiwa perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun

kebanyakan tujuan dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukan dan

menguasai wilayah dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya

masyarakat Indian menerima kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun

sebaliknya. Namun, bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah

Amerika, sehingga ketika jumlah mereka yang datang sudah cukup banyak,

mereka mengadakan penaklukan terhadap warga pribumi.

Peristiwa terjadinya kontak bahasa dalam hal ini, yaitu melalui adanya

peperangan. Namun, tidak semua kontak bahasa terjadi melalui proses saling

bermusuhan. Ada juga yang terjadi melalui perdagangan, penyebaran misi agama

serta adanya perkawinan campuran antara warga pribumi dan bangsa Eropa.

Kasus lain terjadinya kontak bahasa yang disebabkan oleh perpindahan ini

adalah adanya gelombang imigran dimana para imigran pendatang baru

mengambil alih wilayah dari imigran sebelumnya, seperti yang terjadi di New

Zealand. Pada awalnya, wilayah tersebut tidak berpenghuni sampai penutur

bahasa Maori – bahasa yang masuk dalam cabang Polynesian dari keluarga

Austronesian – mendiami wilayah tersebut sebelum 1000 Masehi. Namun

kemudian, para imigran Eropa datang dan mengambil alih wilayah dari imigran

sebelumnya ini. Adanya peristiwa ini menyebabkan bahasa yang dipakai di New

Zealand secara mayoritas adalah bahasa Inggris, meskipun bahasa Maori juga

masih dipakai dan dipertahankan keberadaannya.

Hal sama mengenai peristiwa ini juga terjadi di Amerika Utara, dimana

para penutur bahasa Spanyol menggusur penduduk pribumi di wilayah California

dan barat daya, kemudian para penutur bahasa Inggris berimigrasi dan mengambil

alih tanah dan kekuasaan dari para penutur bahasa Spanyol di bagian wilayah

yang sekarang disebut sebagai United States.

Page 18: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

15

Namun demikian, di samping perpindahan dengan penaklukan dan

penguasaan tersebut, ada pula kontak bahasa yang terjadi dengan jalan damai,

yaitu perpindahan kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang tersebar

yang bergabung dengan para imigran yang telah datang lebih dulu dan menempati

wilayah itu sebelumnya. Kebanyakan para kelompok imigran yang datang ke

Amerika menempuh jalan ini, salah satunya adalah Pennsylvania Dutch, yang

sebenarnya merupakan penutur bahasa Jerman, bukan Belanda.

c) Adanya praktek pertukaran buruh secara paksa

Kontak bahasa pada beberapa perkebunan di daerah Pasifik berawal ketika

para buruh yang dibawa kesana, beberapa karena pemaksaan, berasal dari

berbagai pulau Pasifik yang berbeda. Banyaknya orang Asia Selatan di Afrika

Selatan pada awalnya berasal dari pertukaran buruh pada industri tebu sekitar

abad XIX. Hal ini menyebabkan bahasa Tamil, salah satu bahasa India, menjadi

bahasa minoritas di negara tersebut.

Adanya pertukaran buruh atau budak ini mendorong sosiolinguis untuk

membuat perbedaan antara yang secara sukarela atau yang dipaksa untuk

berpindah. Perbedaan ini tentu saja memengaruhi sikap mereka terhadap negara

yang dituju dan seringkali juga pada hasil kontak bahasa.

Cara berbeda untuk memulai adanya kontak adalah dengan datang ke

tempat yang belum dimiliki sebelumnya, yaitu datang bersama-sama dengan

tujuan khusus ke wilayah yang netral, seperti yang dilakukan oleh misi Yesuit di

St. Ignatius, Montana. Berdasarkan nasihat penduduk setempat, misi ini didirikan

di lokasi netral yang tidak menjadi milik suku manapun namun digunakan

sejumlah suku asli Amerika sebagai tempat berkumpul dan bertaruh.

Dalam masa-masa eksplorasi, banyak kota yang bermunculan di daerah

pantai sepanjang rute perdagangan Eropa. Di kota-kota ini, penduduk pribumi

berkumpul untuk bertemu dan melakukan perdagangan dengan para pedagang

Eropa. Di pesisir Cina misalnya, orang-orang Eropa hanya diijinkan untuk

mendarat di dua lokasi, yaitu Canton dan Macau. Mereka dilarang untuk

menjelajah di selain kedua lokasi tersebut.

Page 19: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

16

d) Adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga lama

Faktor kontak bahasa yang satu ini, menjelaskan pada kita bahwa kita

tidak mencari mengenai asal usul adanya kontak, karena hal itu pasti terjadi

dahulu kala ketika kelompok-kelompok menjadi tetangga. Kontak bahasa

merupakan salah satu hasil dari penggabungan tahunan (untuk tujuan pertahanan)

pada sejumlah suku –suku pegunungan di barat laut United States ketika mereka

berpindah ke lembah untuk berburu kerbau.

Kontak bahasa juga terjadi sebagai hasil dari perkawinan campuran

diantara suku Aborigin Australia yang mempraktekan eksogami. Lebih jauh lagi,

ini juga bisa terjadi sebagai hasil dari perdagangan yang dilakukan antar

kelompok-kelompok tetangga.

Dalam skala yang lebih kecil, kontak bahasa antar individu bisa terjadi

sebagai akibat dari beberapa hal seperti perkawinan campuran yang terjadi antara

wanita-wanita Vietnam yang menikah dengan tentara Amerika selama perang

Vietnam, pertemuan antara siswa-siswa yang belajar di luar negeri, pengadopsian

balita-balita Rumania dan Rusia oleh pasangan-pasangan Amerika, atau bisa juga

pelajar yang sedang menjalani pertukaran pelajar dan harus menetap sementara di

rumah penduduk setempat.

e) Adanya pendidikan atau biasa disebut ‘kontak belajar’

Di zaman modern ini, bahasa Inggris menjadi lingua franca dimana semua

orang di seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin belajar

Fisika, mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat

dengan penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika

maupun orang-orang asing lainnya. Bahasa Inggris juga menjadi lingua

franca dalam komunikasi internasional melalui internet. Banyak orang yang

menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan ini, tidak berkesempatan (dan kadang

bahkan tidak berkeinginan) untuk praktek berbicara dengan penutur asli bahasa

Inggris.

Page 20: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

17

Contoh lain dari kontak belajar adalah bahasa Jerman baku di Swiss,

dimana penutur bahasa Jerman berdialek Swiss harus belajar bahasa Jerman baku

di sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada orang muslim di seluruh dunia yang

harus mempelajari bahasa Arab klasik untuk tujuan keagamaan, meskipun mereka

mungkin tak akan pernah bertemu dengan penutur bahasa Arab dialek modern.

Kontak bahasa berhubungan erat dengan terjalinnya kegiatan sosial dalam

masyarakat terbuka yang menerima kedatangan anggota dari satu atau lebih

masyarakat lain. Thomason (2001:157) mengatakan bahwa adanya lingua

franca menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Lebih jauh lagi, Thomason

menyatakan bahwa tiga hal akibat percampuran bahasa memunculkan

bahasa pidgins, creol, dan bahasa bilingual campuran. Fenomena tersebut

merupakan fenomena yang saling terpisah, hanya saja untuk pidgin dan creol, dua

hal tersebut terjadi secara alami bersama-sama.

Thomason (2001: 158), menyampaikan bahwa bahasa-bahasa yang

mengalami kontak tidak harus selalu menjadi lingua franca. Pidgin dan kreol

muncul dalam konteks dimana orang-orang dari latar belakang linguistik yang

berbeda perlu mengadakan pembicaraan secara teratur, inilah asal muasal lingua

franca; sedangkan bahasa bilingual campuran merupakan golongan bahasa

tersendiri yang bukan merupakan bahasa dari pergaulan luas.

Thomason (2001: 198) juga menyebutkan bahwa akibat lain dari adanya

kontak bahasa adalah bahasa bilingual campuran

(bilingual mixed languages). Pengistilahan ini merujuk pada fakta bahwa bahasa

tersebut diciptakan oleh dwibahasawan, hanya saja agak sedikit melenceng karena

pada dasarnya tidak ada batasan berapa jumlah bahasa yang bisa digabungkan

untuk membentuk bahasa bilingual campuran ini. Oleh sebab itu, tidak ada alasan

mengapa multibahasawan tidak dapat membentuk sebuah bahasa campuran

dengan menggambarkan pada tiga atau lebih bahasa yang mereka tuturkan,

meskipun Thomason juga mengatakan bahwa dia tidak tahu satupun bahasa

campuran yang stabil dimana semua komponennya tergambar dari lebih dari dua

bahasa.

Page 21: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

18

Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa

kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah

peristiwa bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi,

konvergensi, dan pergeseran bahasa.

Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan, tidak mungkin terpisahkan

adanya peristiwa kontak bahasa. Thomason (2001:1) berpendapat bahwa kontak

bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan

waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara

dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya

komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan

sebagai peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa ini meliputi segala peristiwa

persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan

pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya,

atau kontak bahasa dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari

unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri. Kontak

bahasa, baik yang bersifat individual (bilingual) maupun sosial (diglosia)

menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi, integrasi, pijin,

kreol, alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa, dan sebagainya

(Wijana dan Rohmadi, 2006:6).

2.1 Perubahan Bahasa

Perubahan bahasa dalam bahasa Inggris dikenal dengan: linguistic

change, language change, code change. Apakah eprubahan bahasa itu dapat

diamati atau diobservasi (Wordhauht, 1990:187) terjadinya perubahan itu tentunya

tidak dapat diamati, sebab perubahan itu, yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa,

berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidka mungkin

diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu yang relatif terbatas.

Yang terlihat nyata adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Hal ini pun

terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis dan mempunyai

dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. Bahasa Inggris, bahasa

Arab, dan bahasa Jawa termasuk bahasa yang dapat diikuti perkembangannya

sejak awal sebab punya dokumen-dokumen tertulis, tetapi bagi banyak bahasa lain

Page 22: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

19

yang tidak mempunyai tradisi tulis dan tidak mempunyai dokumen apapun. Bukti

adanya perubahan bahasa dalam bahasa Inggris dapat kita lihat dari Fromklin dan

Rodman (1974:191-193). Setipa dikutip dari Dr. Abdul Chaer dan Leonie

Agustina (1995:178).

Ada beberapa latar belakang yang mendasari perubahan atau khususnya

pemilihan kode atau variasi dalam masyarakat yang multilingual, tetapi alasan

yang paling mendasar adalah penutur yang berbicara menggunakan bahasa yang

lebih mempunyai pengaruh atau kekuatan akan mempengaruhi pengguna bahasa

yang lebih rendah kekuatannya. Hal ini mungkin terjadi karena fakta ekonomi

atau politik yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa.

Perubahan bahasa yang disebabkan oleh migrasi yang minoritas seperti

dalam kasus Maniben Wanita Hindu yang masih muda tinggal di Coventry.

Keluarganya pindah dari Uganda pada 1970, ketika ia berumur 5 tahun. Dia

bekerja di pabrik sepeda pada usia 16 tahun.di rumah dia berbahasa Gujerati

dengan keluarganya, walaupun di sekolah ia belajar bahasa Inggris tapi di tempat

kerjanya banyak temannya yang berbahasa Gujerati.

Maniben karena pekerjaannya yang bagus kemudian menjadi operator

komputer dan dia kemudian bekerja di kantor dan menggunakan bahasa Inggris.

Dari kasus di atas dapat dilihat bahwa pola bahasa yang dipakai Maniben

berubah secara bertahap setelah sepuluh tahun. Pada tahap pertama dia masih

menggunakan banyak bahasa Gujerati tetapi akhirnya dia menggunakan bahasa

Inggris dengan baik. Apa yang dialami Maniben adalah suatu tipe bahasa

minoritas yang berhadapan dengan budaya suatu masyarakat yang dominan.

Dominasi itu terlihat pada terjadinya perubahan bahasa yang mungkin berbeda

pada setiap individu dan kelompok masyarakat, dominasi aturan pada perubahan

bahasa berbeda-beda tetapi tahapan dari waktu ke waktu bahasa dari jumlah

penutur yang besar akan mempengaruhi atau menggantikan bahasa yang lebih

kecil atau minoritas. (Holmes Janet, London and New York, 1992:56).

Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa itu

selain menunjukkan dinamika linguistik masyarakat bahasa tersebut, juga dapat

menyebabkan terciptanya masyarakat bilingual. Bahkan, pada tingkat-tingkat

tertentu, dapat membentuk masyarakat multilingual (multilingual society). Pada

Page 23: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

20

masyarakat bilingual maupun multilingual, terdapat pola keanekabahasaan yang

mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam

repertoire bahasa masyarakat tersebut. Sumarsono dan Paina (2002:165)

menyatakan bahwa masyarakat multilingual terjadi karena terbentuk dari beberapa

etnis, sehingga masyarakat itu dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural

society). Sementara itu, Wardhaugh (1986:94) mengemukakan bahwa

multilingualisme mungkin saja terjadi yang disebabkan oleh adanya imigrasi atau

adanya perkawinan campuran, misalnya pada kasus multilingualisme di Tukano,

Amazon.

Menurut Gunarwan (2003:55), ada beberapa faktor yang menyebabkan

suatu bahasa menyusup ke dalam masyarakat bahasa yang lain sehingga

masyarakat itu menjadi bilingual, bahkan multilingual, yaitu: pertama, bahasa itu

dipaksa melalui kekuatan militer; kedua, bahasa itu dipakai oleh penguasa di

wilayah baru, paling tidak beberapa abad; ketiga, bahasa itu diperkenalkan ke

wilayah multilingual sehingga bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi

antarkelompok; dan keempat, penguasaan atas bahasa yang semula dipaksakan itu

ternyata memberikan keuntungan dan maslahat bagi orang-orang setempat yang

menggunakaannya, selain melalui cara migrasi atau transmigrasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, peserta tutur harus berhati-hati dalam

melakukan pemilihan bahasa pada suatu peristiwa tutur. Sekurang-kurangnya

harus diperhatikan dua hal, yaitu status sosial (dimensi vertikal) dan jarak sosial

(dimensi horizontal) mitra tutur. Sebagai contoh, mitra tutur yang merasa lebih

tinggi tingkat sosialnya daripada penutur, biasanya akan merasa kurang dihormati

apabila penutur menggunakan pilihan kata yang kurang sopan. Demikian pula

halnya bila seorang penutur yang baru kenal dengan mitra tutur akan cenderung

untuk menggunakan ragam yang lebih sopan. Ketidaktepatan pemilihan bahasa

juga sering terjadi apabila penutur menggunakan ragam bahasa terlalu tinggi.

Mitra tutur yang merasa tidak lebih tinggi status sosialnya daripada penutur akan

merasa canggung. Pada peristiwa seperti itu, biasanya mitra tutur memberi isyarat

dengan berbagai cara agar penutur menurunkan tingkat tuturnya supaya

kecanggungan dapat dihindari. Pemaparan yang disampaikan tersebut

Page 24: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

21

menunjukkan rumitnya penggunaan bahasa dalam sebuah masyarakat tutur yang

cenderung multilingual.

Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan

bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai

akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer dan

Agustina, 2010: 142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah

ketempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka

maka akan terjadi pergeseran bahasa. Contoh pergeseran bahasa Jakarta baru-

baru ini telah membuka lapangan kerja bagi para lulusan SMK untuk ditempatkan

pada pabrik di kawasan jabodetabek. Kemudian para pemuda yang berasal dari

SMK diseluruh Indonesia berbondong untuk menjadi pekerja di pabrik tersebut.

Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah tersebut pasti akan mengalami

kontak bahasa. Ketika mereka berbicara dengan penutur yang berasal dari daerah

yang sama maka mereka menggunakan bahasa daerah, namun ketika berbicara

bukan dengan penutur yang berasal dari daerah yang sama maka mereka

menggunakan bahasa indonesia dialek Jakarta. Dengan adanya peritiwa ini maka

pergeseran bahasa sangat mungkin terjadi.

Perubahan bahasa adalah adanya perubahan terhadap suatu kata atau

bertambahnya bahasa baru berdasarkan tujuan tertentu Jakobson (1963). Pada

awalnya perubahan bahasa hanya dianggap sebagai variasi bahasa, percampuran

dialek yang tumpang tindih, dan bahkan dianggap tidak dapat diamati. Perubahan

bahasa juga dikenal dengan evolusi bahasa pada jangka waktu tertentu dari

bahasa yang sederhana menjadi bahasa yang lebih kompleks dengan bebagai

variasii, modifikasi, dan ciri khas dari suatu masyarkat tutur. Evolusi juga

diasumsikan sebagai bentuk perubahan yang berkelanjutan dari yang rendah,

sederhana, kurang baik menjadi kondisi yang lebih kompleks atau lebih baik.

Perlu diketahui bahwa perubahan bahasa tidak selalu menguntungkan,

tetapi bisa saja merugikan terhadap suatau bahasa. Perubahan bahasa sama halnya

dengan speies yaitu terjadi klasifikasi yang digambarkan dalam bentuk

kekerabatan. Misal bahasa Indonesia, Malaysia, dan Brunai termasuk keluarga

bahaa Melayu. Selain itu bahasa juga ada yang punah (kata, frasa yang tidak

digunakan lagi) beadaptasi, variasi, dan seleksi alam.

Page 25: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

22

Mekanisme perubahan bahasa bisa terjadi secara sengaja dan tidak

disengaja baik dari fonologi dan morfologi. Kenapa salah satu indikator

perubahan adalah bunyi karena 1) bunyi fonologi merupakan unsur terkecil suatau

bahasa yang mudah dipahami, 2) lebih mudah menemukan fakta yang relevan

diabnding tatatran yang lain, 3) kajian bunyi yang mapan karena sudah banyak

diteliti, dan 4) perubahan bunyi yang teratur sehingga menjadi indikasi dengan

bunyi lain (Hock, 1988:573 dan Gordon, 2002:59). Berikut 13 tahap perubahan

fonologi (Labov 1972).

1. Perubahan bahasa bisa terjadi pada sub kelompok tertentu yang terpisah

dengan kelompok lain maka terjadi pergeseran linguistik

2. Terjadi generalisasi bentuk linguistik pada kelompok tersebut berupa

variasai gaya pada tindak tutur dan mempengaruhi semua kelas kata

3. Terjadi Hipercorrection yaitu interaksi sosial pada kondisi yang sama pada

kelompok yang berbeda dengan generasi sebelumya

4. Nilai – nilai linguistik diadopsi oleh kelompok lain dan menyebar

5. Penyebaran suara mulai menjadi ciri batas- batas penyebaran masyarkat

6. Variabel linguistik menjadi salah satu norma yeng mencermikan penuturnya,

indentitas, dan munculnya ragam gaya bahasasa

7. Penyesuaian penggunaan fonologi karena perubahan variabel linguistik

8. Penyesuaian perubahan suara

9. Jika terjadi perubahan pada kelompok penutur status sosial tertinggi akan

menjadi pemisah dengan kelompok sosial bawah

10. Perubahan dimuali dari atas karena penggunaan bahasa yang dianggap

prestis

11. Jika penggunaan bahasa prestise pada kelompok atas tidak sesuai maka

terjadi hypercorrection yang kedua.

12. Jika perubahan penggunaan prestise tidak dipakai maka akan hilang

13. Jika model prestise diadopsi oleh masyarakat tutur maka terjadi tindak tutur

kasual sebagai upaya masyarkat bawah mendekati masyarkata atas.

Page 26: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

23

2.2 Bilingualisme

Kedwibahasaan merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh hampir

semua Negara di dunia termasuk Indonesia. Timbulnya kedwibahasaan di

Indonesia disebabkan oleh adanya berbagai suku bangsa dengan bahasanya

masing-masing serta adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai

bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan dengan negara lain yang memiliki bahasa

yang berbeda juga merupakan fakta yang menyebabkan timbulnya

kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait dengan pemertahanan bahasa,

karena pemertahanan bahasa merupakan aspek kedwibahasaan.

Menurut Halliday (1968:141) bilingualisme adalah suatu keadaan yang

timbul sebagai akibat dari kontak bahasa antara dua masyarakat bahasa.

Bilingualisme sendiri dapat dikenali pada seorang anggota masyarakat bahasa

yang menggunakan bahasa kedua betapapun sedikitnya atau tidak sempurnanya.

Spolsky menyebutkan bahwa bilingualisme ialah ketika seseorang telah

menguasai bahasa pertama dan bahasa keduanya (45:1998).

Semula konsep bilingualisme ini berarti penguasaan dua bahasa dengan

sama baiknya. Bahkan Bloomfield (1933:56) menilai bilinguaisme sebagai the

native-like control of two languages. Kemudian Mackey (1968:555) mencatat

bahwa pengertian atau konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi ability to

produce complete meaningful sentences in the either languages, atau oleh

Diebold sebagai passive models in a written language or any contact with

possible modals in a second language and the ability to use these in the

environment of the native language. Perluasan pengertian atau konsep

bilingualisme ini dikemukakan karena kesadaran bahwa sampai dimana seseorang

dianggap bilingual sangat subjektif atau tidak mungkin.

Sementara itu Samsuri (1981:55) menyatakan bahwa bilingualisme sendiri

mempunyai beberapa tingkatan, yaitu bilingualisme bawahan dan bilingualisme

sejajar. Apabila seseorang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya, maka

orang itu adalah dari kelompok bilingual sejajar, penguasaan bahasa yang satu

sama baik dengan penguasaan bahasa yang lain. Tetapi bila salah satu dari kedua

Page 27: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

24

bahasa yang dikuasai itu dapat dikuasai dengan baik, maka katakan bahwa orang

itu dari kelompok bilingual bawahan.

Dalam hal masyarakat bahasa Indonesia, maka umumnya mereka adalah

bilingual bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Seperti telah dikemukakan tadi,

bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu adalah bahasa kedua. hal ini dapat

dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga yang menggunakan bahasa

daerah di lingkungan keluarga atau juga dengan masyarakat satu daerah, dan

menggunakan bahasa Indonesia di luar kota lingkungan itu.

Meskipun demikian banyak pula orang Indonesia yang hanya dapat

menggunakan satu bahasa saja, bahasa Indonesia atau bahasa daerah saja. Mereka

yang hanya menguasai bahasa Indonesia umumnya adalah orang-orang yang lahir

dan dibesarkan di kota-kota besar dan lingkungan mereka, keluarga dan

pergaulan, hanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Mereka yang hanya dapat menggunakan bahasa daerah umumnya adalah orang-

orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan tidak pernah mengadakan

kontak dengan anggota masyarakat bahasa lain, termasuk masyarakat bahasa

Indonesia.

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia

dikatakan sebagai kedwibahasaan. Secara harfiah bilingualisme yaitu berkenaan

dengan penggunaan dua bahasa (Chaer dan Leonie Agustina, 2004:84). Seseorang

dikatakan bilingualisme itu harus dapat menguasai kedua bahasa secara bergantian

pada saat berinteraksi dengan orang lain. Bahasa yang pertama yaitu bahasa ibu

(B1) dan yang kedua yaitu bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).

Penggunaan kedua bahasa tersebut haruslah sesuai dengan kondisi lawan tutur,

maksudnya tahu kapan harus menggunakan B1 dan kapan harus menggunakan

B2. Menurut Fishman dan Halliday bahwa bilingual B1 dan B2 memandang sama

baiknya.

Mackey dalam Chaer dan Leonie Agustina (2004:90) berpendapat bahwa

“bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang

dilakukan penutur bilingual secara bergantian.” Mackey melihat empat aspek

bilingualisme, yaitu: degree, function, alternation, dan interference. Mackey

mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa

Page 28: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

25

secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur.

Penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat

yang sama. Demikian juga menurut Rene Appel (1976:176) mengatakan bahwa

apa yang disebut dengan dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga

dua variasi bahasa.

Sebelum membahas lebih jauh tentang bilingualisme alangkah baiknya

kita mengetahui dulu tentang monolingual. Monolingual yaitu kemampuan untuk

menggunakan hanya satu bahasa yang biasanya terdapat di banyak bagian dunia

Barat. Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.

Istilah bilingualisme mudah dipahami yaitu berkenaan dengan penggunaan dua

bahasa atau dua kode bahasa (Chaer, 2010: 84).

Bilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa antara dua kelompok bahasa

yang berbeda, ada dalam setiap negara di dunia, dalam semua kelas masyarakat,

dan dalam semua kelompok usia. Oleh karena itu, sulit sekarang ini menemukan

masyarakat yang benar-benar monolingual karena tidak ada kelompok bahasa

yang terpisah dari kelompok bahasa yang lain (Grosjean, 1982: 1). Pengertian

bilingualisme antara satu ahli dengan yang lain masih memiliki kekurangan di

sana-sini. Oleh karenanya menurut Grosjean tidak ada definisi bilingualisme yang

dapat diterima secara umum.

Salah satu pengertian bilingualisme disebutkan oleh Bloomfield (1933: 55-

56). Dia mengatakan bahwa dalam kasus-kasus pembelajaran bahasa asing yang

tidak disertai oleh hilangnya bahasa ibu, timbullah bilingualisme, penguasaan dua

bahasa seperti yang dimiliki penutur asli bahasa-bahasa tersebut. Selanjutnya

Bloomfield mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menentukan derajat

kesempurnaan yang dibutuhkan seorang penutur asing yang baik untuk menjadi

seorang dwibahasawan karena perbedaannya relatif.

Ditinjau dari perspektif sosiolinguistik, situasi masyarakat bilingual

maupun multilingual seperti itu cenderung menimbulkan berbagai permasalahan,

seperti permasalahan sosial, budaya, dan situasional.Penjelasan Bloomfield di atas

memiliki kejanggalan. Di satu sisi dia mengatakan bahwa kemampuan menguasai

dua bahasa itu absolut atau mutlak. Berarti kemampuannya sama dengan penutur

bahasa asli. Kemudian kalimat berikutnya dapat dimaknai bahwa kemampuan

Page 29: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

26

menguasai dua bahasa itu relatif. Artinya ada perbedaan antara seseorang yang

menguasai dua bahasa dengan penutur asli salah satu bahasa tersebut.

Mackey (1962: 12) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah

praktik penggunaan bahasa dengan bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain

oleh seorang penutur, menurutnya, penguasaan kedua bahasa tersebut harus sama

tingkatnya. Pernyataannya hampir mirip dengan yang dikatakan oleh Weinreich

(1986: 1) bahwa praktik pemakaian dua bahasa berganti-ganti disebut dengan

bilingualisme, sedangkan orang-orang yang memakainya disebut dengan

bilingual.

Ada juga seorang ahli bernama Haugen (1968: 10), yang menyatakan

bahwa bilingualisme diketahui mulai pada saat seorang penutur suatu bahasa

dapat menghasilkan ujaran-ujaran bermakna yang lengkap dalam bahasa lain.

Pernyataan tersebut pun memiliki kekurangan karena setiap orang dapat

menghasilkan ujaran bermakna lengkap dalam bahasa asing, meskipun dia hanya

dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kebanyakan anak-anak remaja zaman

sekarang dapat menyanyikan kagu bahasa Inggris secara lengkap, walaupun

mereka tidak dapat bercakap-cakap dengan bahasa itu.

Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa tidak mudah

mendefinisikan konsep bilingualisme. Dari definisi tersebut dapat dikatakan

bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Bilingualisme pada intinya harus dapat

menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya dua bahasa dalam penutur yang

sama, dengan mengingat bahwa kemampuan dalam bahasa ini dapat sama atau

tidak, dan bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan peranan penting.

Macnamara (1969:80) yang mengatakan bahwa bilingualisme adalah

kemampuan dua bahasa yang meliputi kemahiran-kemahiran berbicara, menulis,

mendengar, dan membaca, atau sekurang-kurangnya satu dari kemahiran tersebut.

Kemahiran ini memiliki derajat berbeda-beda. Menurut Macnamara, kemahiran

dalam satu atau dua bahasa tidak merupakan kecakapan tunggal, tetapi merupakan

gabungan sejumlah kecakapan.

Tidak semua dwibahasawan memiliki empat kemahiran tersebut. Jadi,

seorang dwibahasawan adalah orang yang memiliki sekurang-kurangnya satu dari

keempat kemahiran tersebut, walaupun dengan derajat yang minimal. Kemahiran

Page 30: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

27

seorag individu memiliki derajat yang berbeda-beda mulai dari berbicara sampai

mendengar, dari membaca sampai dengan menulis. Ada juga variasinya mulai dari

resmi dan tidak resmi. Salah satu contohnya adalah orang Indonesia yang

memiliki kemahiran sama dalam analisis sintaksis bahasa Inggris dan Prancis,

tidak memiliki kemahiran sama dalam menangakap ragam lisan bahasa Inggris

dan Prancis. Hal ini dapat dimengerti karena ada kemungkinan orang tersebut

lebih sering membaca dalam bahasa Prancis, tetapi jarang berbicara dalam bahasa

tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa definisi

bilingualisme berbeda-beda dan masih memiliki kekurangan. Oleh karenanya,

sebelum mengadakan pengukuran bilingualisme kita harus menentukan terlebih

dahulu tipe bilingualisme dan aspek tertentu yang akan kita ukur. Kebanyakan tes

yang ada saat ini dibuat atas dasar penguasaan satu bahasa saja, bukan dua bahasa.

Dalam pengukuran bilingualisme tidak dapat sepenuhnya menggunakan

analisis kontrastif. Analisis kontrastif yaitu membandingkan dua bahasa kemudian

menemukan perbedaan antara keduanya.Analisis kesalahan yang lebih bermanfaat

yaitu dengan berusaha menyelidiki apa yang dihasilkan oleh seseorang

dwibahasawan dan berusaha menjelaskan kesalahan-kesalahan yang ada.

Dalam menganalisis perlu diperhatikan aspek psikolinguistik yang

diungkapkan oleh Mackey (1969: 7—8). Aspek ini membahas pedoman-

pedoman, contoh-contoh, dan pengukuran kemahiran, kapasitas, dan penampilan

seorang dwibahasawan. Kebanyakan pengukuran berdasarkan tes-tes bahasa

mulai dari yang konvensional sampai yang modern, berdasarkan kecakapan,

sampai tes berdasarkan reaksi waktu atas penerjemahan kata secara cepat,

rekaman oral. Mendeteksi kata, melengkapi kata, membaca nama warna, dan

sejumlah tes untuk percobaan tertentu. Hanya saja yang jadi masalah sejauh mana

tes ini dapat mengukur kapasitas dwibahasawan.

Derajat bilingualisme diukur secara langsung dengan memakai tes

membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Namun pengukuran dengan cara

ini mengalami kesulitan. Oleh karena itu, agar lebih ringkas dan ekonomis, akan

dipakai juga pengukuran tak langsung dengan skala penilaian yang di dalamnya

Page 31: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

28

meliputi latar belakang bahasa mulai dari si dwibahasawan tersebut, keluarganya,

dan pemakaiannya

Orang yang bisa menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang

bilingual dalam bahasa Indonesia disebut dwibahasawan Sedangkan kemampuan

untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas dalam bahasa Indonesia

disebut juga kedwibahasaan.

Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualisme dan

bilingualitas, maka akan dapat dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki

“bilingulitas” akan mempraktikkan “bilingualisme” dalam kehidupan sehari-

harinya, sebab hal ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya.

Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat mempraktikkan

“bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”. Singkatnya, bilingualisme

brimplikasi pada bilingualitas.

Menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 2004:84) istilah

bilingualisme yang dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara

sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua

bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara

bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus

menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya (B1) dan yang lain menjadi

bahasa keduanya (B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut

orang bilingual. Sedangkan kemampuan penduduk Rasau Jaya untuk

menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain istilah bilingualisme

dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dapat menggunakan

lebih dari dua bahasa/banyak bahasa) dimana bilingualisme dan multingualisme

merupakan model yang sama.

Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa

oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian

dapat menimbulkan sejumlah masalah (Chaer, 2004:85). Untuk menjadi

bilingualisme hal ini mempunyai suatu proses dimana pastinya orang-orang akan

terlebih menguasi B1 karena sebagai bahasa ibunya dan kemudian dalam

pergaulan dan interaksi dengan orang lain maka orang tersebut dapat dipengaruhi

oleh masyarakatnya untuk mengetahui bahasa orang lain yang disebut bahasa

Page 32: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

29

kedua (B2). Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk pertama sekali orang tersebut

tidak akan bisa dapat langsung menguasai B2 sebaik B1 karena harus berjenjang

dari hanya mulai mengerti sampai pada tahap penguasaan B2-nya sama seperti

B1-nya. Pertanyaan kapan seorang penutur bilingual menggunakan B1 dan B2

atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau

fungsi ragam bahasa tertentu didalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan

adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kalau disini

masalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2 (masalah ragam

bahasa kita tangguhkan dulu karena anatara bilingual dan multulingual

mempunyai model yang sama), maka kembali ke pertayaan kapan B1 harus

digunakan dan kapan B2 harus dipakai.

Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa

pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa kapan dan dengan tujuan apa”. B1

pertama-tama dan terutama dapat digunakan dengan para anggota masyarakat

tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 penutur adalah Bahasa

Simalungun, maka dia akan menggunakan bahasa Simalungun dengan semua

anggota masyarakat tutur yang mengerti bahasa Simalungun, seperti

dalam percakapan dalam keluaraga untuk topik pembicaraan biasa. Untuk formal

memakai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia dan kadang untuk tujuan

tertentu dengan alasan tertentu bisa menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan

walaupun berbeda masyarakat penuturnya yang terpenting mereka bisa saling

mengerti misalnya antara masyarakat jawa dalam menghadapi etnis melayu

menggunakan Bahasa Indonesia bisa juga orang jawa menggunakan bahasa

melayu tergantung kepada lawan bicara nya.

Kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap B1 oleh seorang bilingual

adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa

ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga sedangkan B2

adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari yakni setelah menguasai B1. Bagi

seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B1 karena menguasai B2 hal ini

dapat terjadi kalau si penutur bilingual dalam jangka waktu yang cukup lama

tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya atau hal

ini dapat terjadi apabila si penutur bilingual untuk jangka waktu yang lama tinggal

Page 33: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

30

di masyarakat penutur yang berbeda. Misalnya orang melayu yang tinggal di

daerah jawa, dimana masyarakat tutur jawa hanya memungkinkan menggunakan

B1 dalam ruang lingkup keluraga sedangkan dalam bahasa sehari-hari dipergaulan

penutur tersebut harus menggunakan bahasa setempat sehingga dalam jangka

waktu yang lama bahasanya bisa berubah.

Seperti yang dikemukan oleh Wolf (dalam Chaer 2004 : 91), salah satu ciri

bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau

kelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu.

Artinya kedua bahasa itu bisa atau dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja

dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan penggunaan bahasa tergantung pada

kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya di daerah Saribudolok

dimana masyarakatnya adalah majemuk sehingga bahasa yang muncul adalah

multilingualisme dimana masyarakatnya yang terdiri dari penduduk asli yaitu

Simalungun dan penduduk pendatang Suku Karo dan Batak Toba. Penggunaan

komunikasi masyarakatnya dapat menggunakan lebih dari satu bahasa artinya

sama dengan pendapat Wolf dimana masyarakat pada umumnya dapat mengerti

dan menggunakan bahasa penduduk yang ada (Bahasa Simalungun, Karo dan

Batak Toba).

Pemilihan bahasa terjadi dalam masyarakat bilingual maupun multilingual

dan masyarakat diglosik. Pernyataan ini didasarkan pada realita bahwa hanya

dalam situasi masyarakat yang demikian, seorang penutur bilingual/multilingual

cenderung memilih salah satu bentuk bahasa atau variasi bahasa pada saat

menjalin komunikasi dengan mitra tutur, yang diidentifikasi di luar komunitas

bahasanya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang benar-benar monolingual atau

monoglot tidak memungkinkan anggotanya melakukan pemilihan bahasa. Untuk

lebih memperjelas konsep bilingualisme dan diglosia, berikut ini disajikan

pembahasannya secara mendetail.

Istilah bilingualisme (bilingualism) disebut juga kedwibahasaan. Secara

harfiah dapat dipahami bahwa bilingualisme ada hubungannya dengan

penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Berdasarkan kajian sosiolinguistik,

bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh

seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (Mackey, 1968:12;

Page 34: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

31

Fishman, 1975:73). Agar dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang

harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa

pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi

bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa

itu disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk

menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasawanan (Chaer

dan Agustina, 2004: 84).

Bloomfield (1933:54) mengemukakan bahwa bilingualisme merujuk pada

gejala penguasaan bahasa kedua dengan derajat penguasaan yang sama seperti

penutur asli bahasa itu. Bilingualitas sebagai penguasaan yang sama baiknya atas

dua bahasa (native like control of two languages). Penguasaan dua bahasa dengan

kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

Konsep Bloomfield ini banyak dipertanyakan karena beberapa hal.

Pertama, bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang

penutur terhadap dua buah bahasa yang digunakannya. Kedua, mungkinkah ada

seorang penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya.

Kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan untuk

menggunakan B2 dalam situasi yang biasa, atau sebaliknya, seseorang yang

terlalu lama tinggal dalam masyarakat tutur B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur

B1-nya), akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan B2-nya

daripada B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai hubungan

bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado (1964, dalam

Bloomfield, 1933) berpendapat bahwa bilingualisme merupakan kemampuan

menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama

baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa

bagaimanapun tingkatnya.

Penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya. Menurut

MacKey (1968:555), bilingualisme merupakan praktik penggunaan bahasa secara

bergantian, dari satu bahasa ke bahasa lain, oleh seorang penutur. Bilingualitas

merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the

alternate use of two or more languages by the same individual).

Page 35: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

32

Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan bilingualitas

dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang

tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu: mendengarkan, berbicara,

membaca, dan menulis.

Beberapa jenis pembagian bilingualitas berdasarkan pada tipologi

bilingual, yang meliputi; pertama, Bilingualitas Majemuk (compound

bilingualism), yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa kemampuan

berbahasa penutur dalam salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan

berbahasa pada bahasa yang lain. Bilingualitas ini didasarkan pada kaitan antara

B1 dengan B2 yang dikuasai oleh penutur bilingual. Kedua bahasa itu dikuasai

oleh penutur bilingual tetapi berdiri sendiri-sendiri. Kedua, Bilingualitas

Koordinatif/Sejajar, yaitu bilingualitas yang menunjukkan bahwa pemakaian dua

bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Bilingualitas seimbang dikaitkan

dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua

bahasa. Ketiga, Bilingualitas Sub-ordinatif (kompleks), yaitu bilingualitas yang

menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan

B2 atau sebaliknya. Bilingualitas ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi

B1, misalnya kelompok penutur bahasa yang sedikit, yang dikelilingi dan

didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga kelompok penutur

bahasa yang sedikit ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.

Selain bilingualisme, dikenal juga istilah multilingualisme (Mesthrie,

2000: 37), yaitu merujuk pada penguasaan atau penggunaan lebih dari dua

bahasa. Seringkali, istilah bilingualisme dan multilingualisme dibedakan

pengertiannya. Bilingualisme merujuk situasi yang menggunakan dua bahasa saja,

sedangkan multilingualisme merujuk situasi yang menggunakan lebih dari dua

bahasa. Namun, istilah bilingualisme juga digunakan secara lebih luas untuk

merujuk semua kasus yang melibatkan pemakaian dua atau lebih bahasa (Pietro,

1970: 17. Konsep bilingualisme berarti “situasi yang menggunakan dua bahasa

atau lebih”, seperti yang diusulkan Appel dan Muysken (1987:3). Dalam

penelitian ini, konsep dasar mengenai bilingualisme juga digunakan untuk

menjelaskan mengenai multilingualisme. Hal itu sejalan dengan pendapat

Romaine (1995:12) yang menyetujui definisi mengenai bilingualisme yang

Page 36: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

33

diajukan oleh Mackey (1968:555) untuk menjelaskan pula mengenai

multilingualisme.

Mackey (1968) menyimpulkan bahwa untuk mempelajari bilingualisme

kita dipaksa untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang sama sekali relatif

karena titik di mana pembicara bahasa kedua menjadi dua bahasa adalah

sewenang-wenang atau tidak mungkin untuk ditentukan. Oleh karena itu, dia

menganggap bilingualisme sebagai alternatif penggunaan dua bahasa atau lebih.

Mengikuti dia, saya juga menggunakan istilah 'bilingualisme' untuk memasukkan

multilingualisme.

Sehubungan dengan pemikiran mengenai bilingualisme atau

multilingualisme, Sumarsono dan Paina (2002:76) mengemukakan bahwa

masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society)

adalah masyarakat yang memiliki beberapa bahasa. Masyarakat tersebut

terbentuk karena beberapa etnis ikut membentuk masyarakat sehingga dari segi

etnis bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kondisi

masyarakat tutur yang seperti itu terkait erat dengan adanya diglosia serta kode

dan alih kode.

Dalam Tarigan (2009:2) istilah bilingualism diberi padanan kata dengan

kedwibahasaan atau dwibahasa, dan istilah bilingual bersinonim dengan

dwibahasawan. Kedwibahasaan berarti perihal pemakaian dua bahasa (seperti

bahasa daerah di samping bahasa Indonesia). Sama seperti yang diungkapkan oleh

Tarigan, dalam Chaer dan Agustina (2010:84) istilah bilingualisme (Inggris:

bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya

secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu,

yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara

sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua

bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara

bergantian, Mackey dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 84).

Kedwibahasaan telah menjadi suatu kenyataan yang harus diperhatikan

dan dipertimbangkan dalam membahas masalah kebahasaan yang digunakan

penduduk dalam beinteraksi pada masyarakat kita sekarang. Kedwibahasaan ini

telah menjadi sendi pergaulan dan kehidupan masyarakat. Ia telah memberikan

Page 37: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

34

corak dan watak perilaku berbahasa bagi kalangan penduduk yang pergaulan

sehari-harinya menggunakan lebih daripada satu bahasa, bagaimanapun

asalmuasalnya (Kamaruddin, 1989:1).

Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua

bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur asli yang oleh Bloomfield (dalam

Kamaruddin, 1989:3) dirumuskan sebagai “the native like of two languages”

(penggunaan dua bahasa seperti halnya bahasa sendiri).

Bloomfield (1995:54) mengatakan bahwa dalam kasus belajar bahasa

asing yang ekstrem, penutur menjadi begitu mahir sehingga tidak dapat dibedakan

dengan penutur-penutur asli di sekitarnya. Dalam kasus-kasus yang demikian,

belajar bahasa asing yang baik sekali tidak disertai kehilangan bahasa ibu, akan

menghasilkan bilingualisme atau kedwibahasaan, yaitu penguasaan dua bahasa

seperti penutur asli.

Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya

dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan

yang kita akan sebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah kebiasaan

menggunakan menggunakan dua bahasa dalam interaksi (Nababan, 1984: 27).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme

atau kedwibahasaan adalah sebuah kemampuan dan kebiasaan seorang penutur

menggunakan dua bahasa dalam pergaulannya atau interaksinya dengan

masyarakat, sedangkan penuturnya disebut dwibahasawan.

Menurut Nababan (1984:27) kedwibahasaan atau bilingualisme adalah

kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.

Bilingualitas adalah kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu

memakai dua bahasa. Kemampuan seseorang berdwibahasa antara satu dengan

yang lain berbeda, ada yang aktif maupun pasif.

Istilah kedwibahasaan bersifat nisbi (Suwito, 1985:40). Dikatakan nisbi

karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan hampir tidak dapat

ditentukan secara pasti/arbriter. Pandangan orang berbeda-beda tentang pengertian

kedwibahasaan. Oleh sebab itu, pengertian kedwibahasaanpun selalu berkembang

seiring kemajuan zaman.

Page 38: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

35

Kedwibahasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua

bahasa yang sama baik oleh seorang penutur (Bloomfield dalam Suwito,

1985:40). Pada perkembanganya pendapat seperti ini tidak sesuai lagi dengan

kemajuan ilmu bahasa, karena untuk menentukan sejauh mana seorang penutur

dapat menggunakan bahasa dengan sama baiknya tidak ada dasar sehingga sulit

diukur dan hampir tidak dapat dilakukan. Pengertian kedwibahasaan seperti itu

dipandang sebagai salah satu jenis kedwibahasaan saja sehingga orang kemudian

mengajukan pengertian kedwibahasaan yang lain.

Menurut Diebold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:86) menyebutkan

adanya kedwibahasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu

kedwibahasaan yang dialami orang-orang, terutama anak-anak yang sedang

mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tingkat ini kedwibahasaan

masih sangat sederhana, namun pada tahap inilah terletak dasar kedwibahasaan

untuk tahap selanjutnya.

Menurut Weinriech (dalam Aslinda dan Leny, 2007:23) mengatakan

kedwibahasaan adalah the practice of alternately using two languages yaitu

kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Selanjutnya,

Mackey menyatakan kedwibahasaan adalah the alternative use two of more

languages by the same individual yang artinya menggunakan dua bahasa atau

lebih oleh seseorang. Kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa, melainkan sifat

penggunaan bahasa. Hal itu bukan ciri kode, melainkan ciri pengungkapan, bukan

merupakan gejala bahasa (langue), melainkan bagian dari gejala tutur (parole).

Jika bahasa milik kelompok maka kedwibahasaan milik individu.

Penggunaan bahasa oleh seseorang mengharuskan adanya dua masyarakat

dwibahasawan.

Masyarakat dwibahasawan dianggap sebagai kumpulan terikat individu-

individu yang mempunyai alasan kuat akan adanya dwibahasawan. Berdasarkan

beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebiasaan

menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain disebut

kedwibahasaan atau bilingualisme. Bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas,

bahasa berupa bahasa Jawa dan bahasa Sunda, sampai berupa dialek atau ragam

dari sebuah bahasa.

Page 39: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

36

Masyarakat Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa

ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain menggunakan

keduabahasaan itu, tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari atau

menggunakan bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah. Dengan demikian

masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bilingual atau dwibahasawan.

Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus

menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa

pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi

bahasa kedua (disingkat B2), dalam hal ini bahasa Indonesia. Dalam Chaer dan

Agustina (2004:84-85) orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut

orang yang bilingual atau dwibahasawan.

Menurut Weinreich (dalam Aslinda dan Leny, 2007:26), seseorang yang

terlibat dalam praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang

disebut dengan bilingual atau dwibahasawan. Tingkat penguasaan bahasa

dwibahasawan yang satu berbeda dengan dwibahasawan yang lain, bergantung

pada setiap individu yang mempergunakannya dan dwibahasawan dapat dikatakan

mampu berperan dalam perubahan bahasa.

Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

dwibahasawan yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan dapat menggunakan

kedua bahasa tersebut secara bergantian dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Dikatakan pula oleh Van Overbeke (dalam Chaer 1988: 4) bahwa

kedwibahasaan adalah sarana sunah atau wajib bagi komunikasi dua arah yang

efisien antara dua atau lebih “dunia” yang berbeda yang menggunakan dua sistem

linguistik yang berbeda. Fenomena kedwibahasaan oleh Mackey (dalam Chaer

1988: 4) merupakan sesuatu yang sepenuhnya bersifat relatif. Oleh karena itu, kita

akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasaan sebagai penggunaan

secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama.

Penelitian Sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode bahasa tentu

sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu

sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada

abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh

Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua

Page 40: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

37

bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini

mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang

menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh

Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa seseorang

baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya

sama baiknya dengan bahasa pertama.

Definisi selanjutnya diberikan oleh Einar Haugen (1966, dalam Suhardi

dan Sembiring, 2005:58) yang mengartikannya sebagai kemampuan memberikan

tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain. Definisi ini merupakan

definisi yang lebih sempit batasannya dibandingkan dengan definisi yang

diajukan oleh Bloomfield karena adanya batasan yang diberikan, yakni hanya

orang yang mampu bertutur secara lengkap dan bermakna saja yang dapat disebut

sebagai dwibahasawan. Selanjutnya, W.F. Mackey (1972:554) menggambarkan

kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau

lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang

dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.

Dari tiga pengertian di atas, konsep kedwibahasaan telah mengalami

penyederhanaan dan perlunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Istiati. S

(1985:10) yang menyatakan bahwa konsep kedwibahasaan setiap waktu semakin

diperlunak. Walaupun mengalami penyederhanaan dan perlunakan konsep, namun

tentu saja definisi tersebut tidak terlepas dari batasan-batasan kedwibahasaan.

Kontak bahasa yang terjadi antara penutur yang berbeda mendorong

seseorang menjadi dwibahasawan (bilingual). Kedwibahasaan dalam kajian

sosiolinguistik adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam

kegiatan komunikasi (Loveday, 1986:8). Konsep ini mengacu pada penguasaan

dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian dalam interaksinya dengan

orang lain. Salah satunya adalah bahasa pertama atau bahasa ibu dan yang kedua

adalah bahasa lain yang dikuasainya (Chaer dan Agustina, 1995:112). Adapun

Nababan (1984:27) memaknai konsep kedwibahasaan mengacu pada dua

pengertian, yaitu dalam makna kebiasaan dan dalam makna kemampuan. Nababan

menggunakan istilah bilingualisme merujuk pada kebiasaan menggunakan dua

Page 41: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

38

bahasa dalam interaksi dengan orang lain dan bilingualitas merujuk pada

kesanggupan atau kemampuan seseorang memakai dua bahasa.

Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen

(dalam Suwito, 1983:41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua

bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan,

seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi

cukuplah apabila dia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu

berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan

penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa. Dihubungkan

dengan fenomena kebahasaan dalam pertuturan TBKM, kedwibahasaan

merupakan kemampuan menggunakan dua bahasa secara bergantian sehingga

saling penngaruh kedua bahasa tersebut tidak dapat dihindari. TBKM

menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari

dengan keluarga, teman, maupun turis lokal. Ketika melayani turis asing, mereka

mengganti kode dengan bahasa Inggris sebagai wahana komunikasi sehingga

terjadi penggunaan kedua bahasa secara bergantian, yang satu mereka aktif

menguasai, tetapi pada sisi yang lain, mereka kuasai secara pasif.

2.3 Interferensi

Interferensi adalah penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang lain dari yang

sedang digunakan seseorang dalam pembicaraan atau tulisannya (Mackey,

1968:575). Samsuri (1981:55) juga berpendapat bahwa setiap pemakaian unsur

dari satu bahasa di dalam bahasa lain ialah inferensi yang dapat menjadi

gangguan apabila hal itu menyebabkan dislokasi struktut dalam bahasa yang

dipakai. Dalam hal seorang bilingual, kemungkinan ini dapat terjadi, terutama

dari para bilingual sejajar, yaitu mereka yang tingkat penguasaannya atas bahasa

asing dan bahasa ibu sama baiknya. Dalam kertas kerjanya untuk Kongres Bahasa

Indonesia III, pada tahun 1978, Poedjosoedarmo (hal. 20) menyatakan bahwa

inferensi ini terjadi karena sistem bahasa yang kemudian dipelajari berbeda dari

sistem bahasa ibu yang telah dikuasai terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan pula oleh

Halliday (1968:147) yang menyatakan:

Page 42: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

39

“When we learn a foreign language, we normally transfer patterns

from our native language on to the language we are learning.”

Haugen (1968:50) mengatakan bahwa interferensi antara linguistic

overlap apabila dua sistem digunakan bersamaan pada suatu pokok persoalan.

Ditambahkan juga bahwa bentuk tumpang tindih ini bervariasi, mulai dari bentuk-

bentuk yang tidak disesuaikan sama sekali dan bentuk-bentuk yang sudah

disesuaikan sebelumnya. Segala bentuk asing yang digunakan dalam suatu bahasa

disebut importation sedangkan segala bentuk-bentuk yang dihasilkan kemudian

dengan menggunakan persamaan itu disebut substitution. Baik importation

maupun substitution itu dapat terjadi secara diafonis (diaphonic) maupun

diamorfis (diamorphic).

Diafonis adalah proses penyesuaian bunyi bahasa asing ke dalam bahasa

seseorang dengan menggunakan bunyi yang paling mirip dengan yang

mempunyai oleh orang itu dalam sistem bunyi bahasanya. Misalnya pada

sekelompok orang Indonesia yang tidak bisa melafalkan bunyi /f/ dalam bahasa

Inggris misalnya, akan menggunakan bunyi /p/. Karena bunyi /p/ adalah bunyi

yang paling mirip yang ada dalam sistem bunyi bahasanya dengan bunyi /f/ dari

bahasa Inggris. Misalnya, pada kata pinjaman dari bahasa Inggris yang telah

disesuaikan fraksi maka orang itu akan mengucapkan kata itu sebagai praksi.

Bunyi labio dental tak bersuara /f/ dalam bahasa Inggris serta bunyi labio

dental bersuara /v/ seperti dalam /variasi/ diucapkan dengan menggunakan bunyi

bilabial tak bersuara /p/. Maka kata-kata kemudian, bagi sekelompok masyarakat

bahasa Indonesia akan menjadi /fraksi/ dan /pariasi/ larena dalam sistem bunyi

bahasa sekelompok orang itu tidak terdapat bunyi labio dental baik yang bersuara

maupun yang tidak bersuara. Hal ini tidak berlaku bagi sebagian masyarakat

bahasa Indonesia, karena meskipun dalam sistem bunyi bahasa Indonesia tidak

terdapat bunyi /f/ dan /v/ tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia mampu

memproduksi bunyi labio dental baik yang bersuara maupun yang tidak bersuara.

Meskipun demikian dalam bentuk penyesuaiannya tidak dibedakan penggunaan

bentuk labio dental yang bersuara maupun tidak, kedua kata variasi dan fraksi

akan diucapkan dengan menggunakan bunyi labio dental tak bersuara /f/ sehingga

Page 43: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

40

menjadi /fariasi/ dan /fraksi/. Hal ini tidak berlaku dalam penulisan ejaan, karena

kedua kata itu tetap ditulis dengan menggunakan huruf /f/ dan /v/.

Seperti juga dalam sistem bunyi bahasa, hal ini akan terlihat pula dalam

bentuk linguistik terkecil yang mempunyai arti, yaitu morfem. Dalam tingkat ini,

akan terjadi diamorfis, yaitu variasi morfem atau kelompok morfem tertentu suatu

bahasa dalam bahasa lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata sangsi dan

sanksi yang ucapannya sama, berbeda fungsinya. Penulisan kedua kata itu secara

fonetis tidak berbeda, oleh karena kedua kata sangsi dan sanksi disebut homofon.

Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang

terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari

pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi

meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh

interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada

kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa jawa.

Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendiriètoko laris

adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada

kata kamanahèkemana(bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (dalam Chaer

dan Agustina, 2004:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa

sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa lain yang dilakukan oleh penutur

yang bilingual. Batasan pengertian interferensi lebih lanjut oleh Weinreich (dalam

Aslinda dan Leny, 2007:66) adalah “those instance of deviation from the norm of

etheir language wich occur in the speeks bilinguals as a result of their familiary

with more than one language, i.e. as a result of language contact” atau

penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi

dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka lebih

dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.

Selain itu, Hartmann dan Stork (dalam Alwasilah, 1985:131) juga

berpendapat bahwa interferensi adalah “the errors by carrying over the speech

habits of the native language or dialect into a second language or dialect”

Page 44: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

41

kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau

dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Interferensi merupakan salah satu

pengaruh dari kontak bahasa. Interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech,

parole) terjadi hanya pada dwibahasaawan dan peristiwanya dianggap sebagai

penyimpangan. Interferensi sebenarnya dapat dihindarkan karena dalam unsur

serapan telah ada padanan kata di dalam bahasa penyerap. Sehingga terjadi

perkembangan bahasa pada bahasa yang bersangkutan. Kecil kemungkinan

seorang penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dapat memilih kata dalam

satu pembicaraan pada satu waktu.

Interferensi merupakan salah satu mekanisme yang cukup frekuentif dalam

perubahan bahasa. Di mana persentuhan antara bahasa-bahasa makin kompleks,

interferensi dapat dikatakan sebagai gejala perubahan terbesar, terpenting dan

paling dominan dalam bahasa (Nababan dalam Suwito, 1985:54). Menurut Suwito

(1985:55), dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peranan

yaitu: bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau resipien dan unsur

serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa mungkin pada suatu

peristiwa suatu bahasa merupakan bahasa donor, sedangkan pada peristiwa lain

bahasa tersebut merupakan resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam

kontak bahasa.

Chaer dan Agustina (2004:120) menyatakan dalam peristiwa interferensi

digunakanya unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang

dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan

bahasa yang digunakan. Kalau dilacak penyebab terjadinya interferensi ini

kembali pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu

sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Biasanya interferensi terjadi dalam

menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua

itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (B1).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan interferensi

adalah penyimpangan bahasa yang disebabkan oleh masuknya unsur bahasa satu

ke dalam bahasa lain yang seharusnya tidak perlu terjadi karena telah ada

padanannya.

Page 45: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

42

Sejumlah pakar sosiolinguistik mengungkap, pada dasarnya interferensi

adalah pengacauan bahasa yang terjadi dalam diri orang yang berbilingual atau

lebih.Bahasa yang dipakai oleh penutur bilingual adalah bahasa pertama, yakni

bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua, yakni bahasa ajaran (B2). Sama halnya pula

dengan penutur multilingual, ia memiliki bahasa ibu (B1), bahasa ajaran pertama

(B2), bahasa ajaran kedua (B3), dan mungkin bahasa ajaran ketiga (B4), bahasa

ajaran keempat (B5), dan seterusnya. Bahasa Indonesia ada kalanya sebagai B1

dan adakalanya sebagai B2. Ketika satu keluarga yang berlatar belakang bahasa

Betawi ingin menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, maka bahasa

Betawi adalah B1 (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai B2 (bahasa ajaran).

Lain halnya ketika orang Indonesia yang menetap di Negara Inggris, ketika ia

ingin menggunakan bahasa Inggris saat bertutur, kedudukan bahasa Indonesia

sebagai B1 (bahasa ibu) dan bahasa Inggris sebagai B2 (bahasa ajaran). Seseorang

yang memiliki dua bahasa (bilingual) dan banyak bahasa (multilingual)

berkesempatan untuk memilih bahasa dalam bertutur. Pemilihan bahasa mereka

lakukan atas dasar psikologis diri mereka masing-masing. Sedangkan penutur

yang memiliki satu bahasa saja (monolingual) tidak memiliki kesempatan untuk

memilih bahasa dalam bertutur.

Contoh penyebab terjadinya multilingual pada Kalala yang disebabkan

karena faktor lingkungan.

Kalala berumur 16 tahun. Dia tinggal di Bukavu, sebuah kota di

Afrika di Timur Zaire dengan populasi 220.000 jiwa. Itu adalah

suatu Negara dengan banyak budaya dan bahasa dan lebih banyak

orang yang datang dan pergi untuk bekerja dan alasan bisnis dari

pada orang-orang yang tinggal menetap di sana. Lebih dari empat

puluh kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda dapat

ditemukan di kota ini. Kalala seperti teman-temannya yang lain

adalah pengangguran. Dia menghabiskan hari-harinya berkelana di

jalan, kadang kala singgah di tempat-tempat yang biasa orang

temui seperti di pasar, di taman, atau di tempat temannya. Selama

dalam kesehariannya ia menggunakan sedikitnya tiga jenis atau

kode bahasa yang berbeda-beda bahkan terkadang lebih.

Berdasarkan contoh di atas, pemakaian bahasa penutur yang multilingual

ataupun bilingual terjadi secara bergantian, karena mereka memiliki pilihan

bahasa. Pemilihan bahasa dapat ia sesuaikan dengan situasi peristiwa tutur.

Page 46: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

43

Pemakaian bahasa secara bergantian itulah yang dapat memicu terjadinya

interferensi pada penutur. Masyarakat bilingual ataupun multilingual akan sulit

menghindari interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain. Pendapat

yang sama diungkapkan pula oleh Jendra:

Interferensi merupakan sebuah bentuk situasi atas penggunaan bahasa kedua atau bahasa lain dengan para penggunanya yang dianggap tidak tepat untuk mempengaruhi bahasa tuturan si pengguna.

Berdasarkan pendapat Jendra di atas, memperjelas hakikat interferensi

sesungguhnya, bahwa interferensi hanya dapat dilakukan oleh penutur bilingual

dan multilingual.

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut

adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan

bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang

bilingual.Bahasa memiliki sistem.Perubahan sistem yang terjadi pada suatu

bahasa dianggap menyalahi kaidahgramatikabahasa itu sendiri. Suatu unsur

bahasa lain yang berdiri sendiri pada struktursebuah bahasa dianggap sebagai

pengacauan. Interferensi dapat terjadi ketika penutur bilingual maupun

multilingual tersebut memasukkan dua bahasa sekaligus dalam suatu ujaran, baik

dari segi fonem, morfem, kata, frase, klausa, maupun kalimat. Interferensi yang

terjadi dapat dilihat pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, leksikon, dan

semantik.

Hartmann & Stork dalam Chaer, mengungkapkan bahwa interferensi juga

dimaknai sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan- kebiasaan

ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua Interferensi

bersifat merusak bahasa yang terinterferensi, baik bahasa ibu (B1), maupun

bahasa ajaran (B2). Interferensi muncul bukan karena penutur mahir dalam

menggunakan kode-kode dalam bertutur. Sebaliknya, interferensi muncul karena

kurang dikuasainya kode-kode tersebut dalam bertutur. Penguasaan bahasa yang

dimiliki penutur bilingual ataupun multilingual tidak seimbang atau tidak sama

baiknya. Penguasaan bahasa yang tidak seimbang dapat terjadi ketika bahasa ibu

(B1) lebih dikuasai dari pada bahasa ajaran (B2), ataupun sebaliknya.

Page 47: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

44

Sesungguhnya, interferensi berlaku bolak balik, bisa dengan bahasa ajaran (B2)

tercampur pada struktur bahasa ibu (B1), bisa juga dengan bahasa ibu (B1)

tercampur pada struktur bahasa ajaran (B2). Berdasarkan beberapa pendapat di

atas, dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah kekeliruan dalam berbahasa

denganmemasukkan unsur bahasa lain dalam suatu bahasa yang dilakukan oleh

penutur yang bilingual maupun multilingual secara individual.

Interferensi dapat terjadi pada semua tuturan bahasa dan dapat dibedakan

dalam beberapa jenis. Weinreich (dalam Aslinda dan Leny, 2007:66-67)

mengidentifikasikan empat jenis interferensi sebagai berikut.

1. Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain.

2. Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan.

3. Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam

bahasa pertama

4. Pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam

bahasa pertama

Menurut Suwito (1985:55) interferensi dapat terjadi dalam semua

komponen kebahasaan yaitu dalam bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat,

tatakata, dan tatamakna. Di samping itu, Weinreich (dalam Aslinda dan Leni,

2007:67) juga membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu

interferensi fonologi, interferensi gramatikal, dan interferensi leksikal yang akan

dijabarkan sebagai berikut.

1) Interferensi Fonologi

Interferensi fonologi terjadi apabila fonem-fonem yang digunakan dalam

suatu bahasa menyerap dari fonem-fonem bahasa lain. Jika penutur bahasa Jawa

mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/

dengan penasalan di depanya, maka terjadilah interferensi tatabunyi (interferensi

fonologi) bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, misalnya: /mBandung/, /nDeli/,

/ngGombong/, /nJambi/, dsb.

Page 48: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

45

Ada empat tipe utama dari interferensi fonologis, yakni

underdifferentiation, over-differentiation, reinterpretations, dan phone substitution

(Bell dalam Maryam, 2011:19). Untuk menemukan adanya interferensi fonologis,

perlu diketahui fonem-fonem yang ada dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia

yakni sebagai berikut.

Tabel 1. Fonem-Fonem Dalam Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia

Fonem Bahasa Indonesia Fonem Bahasa Jawa

Vokal : /u/, /e/, /ə/, /a/, /o/, /i/

Konsonan : /b/, /p/, /d/, /t/, /c/, /j/, /k/,

/g/, /f/, /s/, /z/, /s/, /x/, /h/, /m/, /n/, /ŋ/,

/r/, /l/, /w/, /y/

Diftong : /ai/, /au/, /oi/

Vokal : /u/, /e/, /ə/, /ε/, /a/, /o/, /o/, /i/

Konsonan : /b/, /p/, /d/, /d/, /t/, /t/, /c/,

/j/, /k/, /g/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ŋ/, /r/, /l/,

/w/, /y/

Diftong : -

2) Interferensi Morfologis

Interferensi dalam bidang gramatikal terjadi apabila dwibahasawan

mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada

sistem bahasa pertama dan menggunakanya dalam tuturan bahasa kedua dan

demikian sebaliknya (Aslinda dan Leny, 2007:74). Sesuai pendapat Weinreich

dalam Aslinda dan Leny (2007:74-75), bahwa gejala interferensi itu berupa fonik,

gramatikal (morfologi dan sintaksis), dan leksikal. Jadi interferensi yang terjadi

pada bidang morfologi dan sintaksis dimasukkan ke dalam bidang gramatikal.

Seperti yang sudah kita ketahui, interferensi dapat terjadi pada tataran

fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Dalam penelitian ini,

interferensi dibatasi pada tataran morfologis. Secara etimologi, morfologi berasal

dari kata morf yang berarti “bentuk‟ dan logi yang berarti “ilmu‟. Jadi secara

harfiah kata morfologi berarti „ilmu yang mengenai bentuk-bentuk dan

pembentukan kata‟. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti morfologi

mempelajari semua masalah pembentukan kata, yakni morfem dan sejenisnya.

Morfem menurut Hockett dalam Muhajir, adalah elemen terkecil yang

secara individual mengandung arti. Dengan kata lain, jika ada bagian dari kata

Page 49: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

46

yang tidak memiliki arti tidak dapat dikaji dalam morfologi. Jadi, morfologi

merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari kata dan pembentukan kata

yang mengandung arti.

Berdasarkan pengertian di atas, Interferensi morfologis adalah interferensi

yang dilakukan oleh penutur bilingual dan multilingual dalam proses

pembentukan kata yang mengandung arti. Chaer berpendapat “interferensi dalam

morfologi, antara lain terdapat pembentukan afiks.

Afiks-afiks suatu bahasa dilakukan untuk membentuk kata dalam bahasa

lain”. Afiks suatu bahasa berfungsi untuk membentuk suatu kata dalam bahasa.

Masing-masing bahasa memiliki kombinasi dalam pembentukan kata.

Pembentukan sebuah kata yang bukan pada kombinasinya, merupakan sebuah

pelanggaran dalam tataran morfologi yang kita sebut dengan interferensi

morfologi.

Alat pembentuk dalam proses morfologi adalah (a) afiks dalam afiksasi,

(b) pengulangan dalam proses reduplikasi, (c) penggabungan dalam proses

komposisi, (d) pemendekan atau penyingkatan delam proses akronimisasi, dan (e)

pengubahan status dalam proses konversi. Dalam pembahasan ini, morfologi

dibagi dalam bentuk kata, afiks, dan pengulangan.

a. Leksem

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008, Leksem merupakan

satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari pelbagai bentuk kata. Leksem

dalam pembahasan ini diartikan sebagai kata dasar. Kata dalam morfologi

merupakan satuan terbesar, dibentuk melalui salah satu proses morfologi (afiksasi,

reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi). Contoh kata dasar: minum,

mandi, puku, dan sebagainya.

b. Afiks

Afiks merupakan pembentuk kata dasar. Wujud fisik dari hasil proses

afiksasi adalah kata berafiks, disebut juga kata berimbuhan, kata turunan, atau

kata terbitan. Jenis-jenis afiks adalah:

1. Prefiks, yaitu pembentuk awalan. Seperti me-, ber-, di-, ter-, ke-, danse.

Page 50: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

47

Contoh:

a. Prefiks me- : memakan, melihat, merayu, dan sebagainya.

b. Prefiks ber- : berkebun, bermain, bergadang, dan sebagainya.

c. Prefiks di- : dipuji, ditulis, digabung, dilipat, dan sebagainya.

d. Prefiks ter- : terkena, terdampar, terpukul, dan sebagainya.

e. Prefiks ke- : kemana, kemari, kedua, ketiga, dan sebagainya.

f. Prefiks se- : seorang, seekor, sekampung, dan sebagainya.

2. Sufiks, yaitu pembentuk akhiran. Seperti: -an, -kan, dan–i. Contoh:

a. Sufiks –an : akhiran, mainan, pujian, sapaan, dan sebagainya.

b. Sufiks –kan: jelaskan, kenalkan, mainkan, dan sebagainya.

c. Sufiks–i: nasihati, gulai, payungi, masuki, dan sebagainya.

3. Infiks, yaitu pembentuk sisipan. Seperti: -el-, -em-,-er-. Contoh:

a. Infiks -el-: telunjuk, telapak, geletar, pelatuk, dan sebagainya.

b. Infiks -em-: jemari, gemetar, seminar, dan sebagainya.

c. Infiks -er-: gerigi, gendering, rerumput, dan sebagainya.

4. Konfiks, yaitu pembentuk gabungan awalan dan akhiran pada kata dasar.

Seperti pe-an, per-an, per-kan, per-i, ke-an, ke-nya, se-nya, me-kan, me-i,

danber-an. Contoh:

a. Konfiks pe-an: pelanggaran, penggarisan, dan sebagainya.

b. Konfiks per-an: peraturan, perawatan, dan sebagainya.

c. Konfiks per-kan: perlihatkan, perdebatkan, dan sebagainya.

d. Konfiks per-i: perbaiki, pergauli, dan sebagainya.

e. Konfiks ke-an: kenakalan, keadaan, dan sebagainya.

f. Konfiks ke-nya: keduanya, ketiganya, dan sebagainya

g. Konfiks se-nya: seandainya, sekiranya, dan sebagainya

h. Konfiks me-kan: meramaikan, menyucikan, dan sebagainya.

i. Konfiks me-I: meludahi, melampaui, dan sebagainya.

j. Konfiks ber-an: bertaburan, berlarian, dan sebagainya.

c. Pengulangan

Pengulangan atau yang disebut juga reduplikasi, yakni proses pengulangan

bentuk kata dasar. Wujud fisik dari proses reduplikasi adalah kata ulang, atau

disebut juga bentuk ulang. Contoh: kuning- kuning, ramai-ramai, jari-jemari,

Page 51: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

48

bermacam-macam, sayur-mayur, dan sebagainya.

Berdasarkan pandangan ahli linguistik, interferensi morfologis dapat

diartikan sebagai pelanggaran berbahasa dengan adanya unsur serpihan dari

bahasa lain dalam pembentukan kata dari bahasa itu sendiri. Pembentukan kata

yang tidak sesuai dengan kombinasinya dianggap sebagai suatu pelanggaran yang

disebut dengan interferensi morfologis. Interferensi morfologis dapat terjadi pada

bentuk terikat seperti prefiks, sufiks, dan konfiks. Contoh interferensi morfologis

adalah neonisasi, tendanisasi, ketabrak, kejebak, yang seharusnya dalam bahasa

Indonesianya adalah peneonan, penendaan, tertabrak, terjebak. Bahasa Indonesia

tidak mengenal sufiks –isasi, melainkan konfiks pe-an untuk menyatakan proses.

Bahasa Indonesia juga menggunakan prefiks ter- untuk menyatakan

ketidaksengajaan. Sedangkan kata ketabrak dan kejebak berasal dari bahasa Jawa

dan Betawi yang menyatakan ketidaksengajaan.

Contoh kalimat yang mengandung interferensi morfologis:

1. Tolong ambilin pulpen saya! (Tolong ambilkan pulpensaya!)

Maaf bu, tadi saya ketiduran. (Maaf bu, tadi sayatertidur.)

2. Sebaiknya kamu diam wae, dari pada membuatpusing.

(Sebaiknya kamu diam saja, dari pada membuat pusing.)

3. Yah apa boleh buat, better late than noit.

(Yah apa boleh buat, lebih baik telat dari pada tidak.)

Berdasarkan contoh interferensi morfologis di atas, membuktikan bahwa

bahasa Indonesia dapat terinterferensi bahasa Betawi, Jawa, Sunda, bahkan

Inggris sekalipun.

Berdasarkan ada tidaknya proses morfologi dalam bahasa Indonesia dan

bahasa Jawa, kata dibedakan menjadi kata tunggal, kata majemuk, kata

berimbuhan, dan kata ulang (murni dan berimbuhan). Ramlan dalam penelitian

Siti Maryam (2011:20) mengatakan bahwa kata tunggal adalah kata-kata yang

hanya terdiri dari satu morfem bebas apa saja tanpa kehadiran morfem terikat atau

morfem bebas lain.

Kata berimbuhan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang dibentuk

dengan afiksasi yang meliputi prefiks meN-, ber-, di-, ter-, peN-, pe-, per-, dan se,

sufiks –kan, -an, -i, dan –wan, konfiks ke-an, peN-an, per-an, ber-an, dan se-nya

Page 52: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

49

(Ramlan, 2001:62-63). Adapun afiks dalam bahasa Jawa diantaranya adalah

prefiks (ater-ater) N-, di-, dak-, kok-, ke-, ka-, pa-, paN-, sa-, infiks (seselan) –um-

, -er/-e/ dan sufiks (panambang) –i, -ke, -na, -ana, -ane, -ake, -an, -en, -a, -e, ne,

konfiks (imbuhan bebarengan rumaket) ke-an, ke-en, pa-an, paN-an (Sasangka,

1989:28-74). Di samping itu terdapat juga afiks seperti N-/-i, N-/-a, N/-e, N-/-ana,

dak-/-e, dak-/-ake, kok-/-i, kok-/-ake, N-/-ke,di-/-ake, di-/-ana, di-/-i yang oleh

Sasangka (1989:28-74) dimasukkan ke dalam imbuhan rumaket lumrah, tetapi

dikategorikan sebagai konfiks oleh Wedhawati, dkk (2001:77).

Kata ulang adalah kata-kata yang dibentuk dengan mengulang sebagian

atau keseluruhan bentuk yang menjadi dasarnya. Kata ulang juga terdapat pada

kata ulang yang dibubuhi afiks atau kata ulang berimbuhan. Pengertian kata

majemuk adalah kata yang terdiri dari dua morfem bebas yang antara keduanya

memiliki keterpaduan yang kuat baik bentuk maupun maknanya, karena

keterpaduanya itu maka kata majemuk tidak dapat disisipi unsure lain atau

diputarbalikkan urutan unsur pembentuknya (Ramlan, 2001:81). Menurut

Sasangka (1989:74-82), kata ulang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah

tembung rangkep dan kata majemuk disebut tembung camboran.

Menurut Suwito (1985:55) interferensi morfologi terjadi apabila dalam

pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam

bahasa Indonesia misalnya, sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an, -an

dari bahasa daerah (Jawa, Sunda), misalnya dalam kata-kata ketabrak, kebesaran,

sungguhan, duaan. Untuk afiks ke-, ke-an, dan -an telah ada padananya yaitu afiks

ter-, kata terlalu, dan afiks ber- misalnya tertabrak, terlalu besar, bersungguh (-

sungguh), berdua. Jadi, bentukan-bentukan dengan afiks-afiks seperti itu

sebenarnya tidak perlu, sebab untuk mengungkapkan konsep-konsep demikian

telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Interferensi morfologi merupakan

peristiwa yang cukup besar dalam pemakaian bahasa.

3) Interferensi Sintaksis

Sintaksis adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk kata dan

penggabungan (Nurhayati dan Mulyani, 2006:121). Hasil penggabungan kata

yang dibicarakan di dalam sintaksis meliputi: frase, klausa, dan kalimat. Ilmu

Page 53: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

50

sintaksis ini bersifat khusus yaitu bahwa tiap bahasa mempunyai sistem tersendiri,

berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan yang lainya. Jadi, intereferensi

sintaksis berfokus pada penyimpangan yang terjadi dalam frase, klausa, dan

kalimat.

Interferensi dalam bidang sintaksis antara bahasa Jawa dan bahasa

Indonesia mungkin terjadi karena penggunaan partikel penegas seperti “je”, “to”,

ke dalam bahasa Indonesia atau penggunaan partikel bahasa Indonesia seperti,

“deh”, “dong”, “kan” ke dalam bahasa Jawa. Demikian juga penggunaan kata atau

kalimat bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Ini terjadi

dimungkinkan karena penutur tidak mengetahui bentuk yang ada dalam bahasa

yang dituturkan, seperti dalam tuturan berikut ini (dalam penelitian Maryam,

2011:22) “itu segaku ya?” atau “wis tak balikke kemarin kuwi”.

Interferensi struktur menurut Suwito (1985:56) termasuk peristiwa yang

kurang sering terjadi. Tetapi karena pola struktur merupakan ciri utama

kemandirian suatu bahasa, maka penyimpangan pada level ini biasanya dianggap

sesuatu yang mendasar sehingga perlu dihindarkan.

4) Interferensi Leksikal

Interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan

dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa pertama ke dalam bahasa

kedua atau sebaliknya (Aslinda dan Leny, 2007:73). Kajian dalam interferensi

leksikal adalah leksikon. Leksikon merupakan perbendaharaan kata suatu

bahasa/kosakata. Lebih jelas lagi tentang arti leksikon menurut Adi Sumarto

dalam penelitian Hasanudi (2011:22) merupakan komponen bahasa yang memuat

semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa.

Transfer bahasa merupakan penguasaan bahasa pertama pembelajar bahasa

yang mempengaruhi kemampuannya dalam berbahasa kedua. Pengalaman pada

bahasa pertama memiliki peranan dalam penguasaan bahasa kedua berupa transfer

bahasa baik yang bersifat positif maupun negatif (Brown, 2000:95). Transfer yang

bersifat negatif akan mengakibatkan interferensi bahasa, yaitu kaidah bahasa

pertama ditransfer atau disamakan dengan kaidah bahasa kedua. Selanjutny

Page 54: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

51

Brown menggambarkan proses transfer dan interferensi sebagai berikut:

Transfer

Positif Negatif

Interferensi

(B1 B2) (B2 B1)

Transfer dapat berpengaruh positif jika hal tersebut membantu untuk

mempercepat terjadinya proses penguasaan bahasa sasaran. Hal tersebut bisa

terjadi jika kedua bahasa memiliki kesamaan kaidah. Akan tetapi, transfer dapat

menjadi potensi terjadinya miskonsepsi karena mentransfer kaidah dari bahasa

pertama ke bahasa sasaran tidak selalu memiliki kaidah yang sama. Interferensi

merupakan transfer bahasa yang bersifat negatif yang mengakibatkan terjadinya

kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu maupun

generalisasi kaidah bahasa sasaran. Hal ini sering terjadi saat proses pembelajaran

bahasa kedua yang merupakan pengaruh bahasa pertama dalam pembelajaran

bahasa yang dapat menyebabkan penyimpangan terhadap bahasa kedua (asing).

Seperti yang dikemukakan oleh Weinrich (dalam Chaer dan Agustina,

1995:162) bahwa interferensi dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi,

sintaksis, dan leksikal. Soepomo (1978:24) berpendapat bahwa interferensi tidak

saja terjadi pada ke empat tataran tersebut tetapi dapat juga terjadi interferensi

variasional yaitu interferensi karena kebiasaan berunda usuk, beragam bahasa, dan

lain-lain yang biasanya ada pada bahasa itu.

Hartman dan Stonk dalam Chaer dan Agustina (1995:160) menyatakan

interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa

ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua. Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer

atau pemindahan unsur dari bahasa ibu ke bahasa sasaran. Tuturan bahasa Inggris

TBKM dipengaruhi oleh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan memasukkan

Page 55: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

52

unsur-unsur tersebut ke dalamnya. Gejala ini dikarenakan adanya transfer

pengetahuan dari kedua bahasa yang lebih dikuasainya sehingga tidak dapat

dihindarkan timbulnya penyimpangan dari bahasa Inggris standar. Senada dengan

Jendra (1995:187) bahwa dalam interferensi terjadi penyusupan sistem suatu

bahasa ke bahasa lain, yakni bahasa Jawa dan Indonesia dalam bahasa Inggris

TBKM yang terjadi tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman

kosakata.

Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai

bahasa Nasional berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam

masyarakat. Perkembanngan ini tentu menjadi masalah tersendiri yang perlu

mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemultibahasaan adalah suatu

kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di

samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap

penguasaan Bahasa Indonesia. Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama

dalam komunikasi resmi sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus

terkalahkan oleh bahasa daerah.

Alwi, dkk. (eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan

dari bahasa Jawa, misalnya dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi

masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap

pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab

adanya interferensi. Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah

terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan

sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.

Selain bahasa daerah, bahasa asing (baca Inggris) bagi sebagian kecil

orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan

timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan

bahasa Inggris yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang

jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang

sudah tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya bahasa dan

Page 56: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

53

budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa

primadona. Misalnya, masyarakat lebih cenderung memilih “pull” untuk “dorong”

dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.

Sikap terhadap bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan

berbahasa Indonesia di berbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan

atas; bahkan kalangan intelektual. Akan tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa

Indonesia pada golongan atas dan kelompok intelektual terletak pada sikap

meremehkan dan kurang menghargai serta tidak mempunyai rasa bangga terhadap

bahasa Indonesia.

Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas,

dapat disimpulkan bahwa.

1. kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan

dwibahasawan.

2. interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam

bahasa lain

3. unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat

menimbulkan dampak negatif, dan

4. interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan

ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai

gejala parole (speech).

Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa

lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian

dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan

(Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115)

menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan

dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat

keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah

dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu

sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa

penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.

Page 57: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

54

Interferensi menurut Jendra (1991:106-114) dapat dilihat dari berbagai

sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:

1. Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan

Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat

maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga

disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya

interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi

antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external

interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa

Indonesia.

2. Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan

Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa

penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk

menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik

seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula

bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain

atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.

3. Interferensi ditinjau dari segi pelaku

Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap

sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu

sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau

reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan

atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar

bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.

4. Interferensi ditinjau dari segi bidang.

Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam

secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem

bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan

perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi

dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi

(fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata

(leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).

Page 58: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

55

Dennes dkk. (1994:17) yang mengacu pada pendapat Weinrich

mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai

berikut.

1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam

peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa

yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa

penerima disebut bahasa peminjam.

2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu

tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu

bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.

3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B

juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan

ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.

4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B

tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan

fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A

Menurut Chair interferensi terdiri atas dua macam, yaitu (1) interferensi

reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B dengan diresapi unsur-unsur bahasa

A, dan (2) interferensi produktif, yakni wujudnya berupa penggunaan bahasa A

tetapi dengan unsur bahasa B.

Jendra (1991:108) membedakan interferensi menjadi lima aspek

kebahasaan, antara lain

a. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi)

b. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi)

c. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)

d. interferensi pada kosakata (leksikon)

e. interferensi pada bidang tata makna (semantik)

Menurut Jendra (1991:113) interferensi pada bidang semantik masih dapat

dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni

1) Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah

ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama

unsur bahasa sumber.

Page 59: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

56

2) Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference).

Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan

bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.

3) Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference).

Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai

pengganti konsep lama.

Yusuf (1994:71) membagi peristiwa interferensi menjadi empat jenis,

yaitu:

1) Interferensi Bunyi (phonic interference)

Interferensi ini terjadi karena pemakaian bunyi satu bahasa ke dalam

bahasa yang lain dalam tuturan dwibahasawan.

2) Interferensi tata bahasa (grammatical interference)

Interferensi ini terjadi apabila dwibahasawan mengidentifikasi morfem

atau tata bahasa pertama kemudian menggunakannya dalam bahasa keduanya.

3) Interferensi kosakata (lexical interference)

Interferensi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya terjadi pada

kata dasar, tingkat kelompok kata maupun frasa.

4) Interferensi tata makna (semantic interference)

Interferensi ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (a) interferensi perluasan

makna, (b) interferensi penambahan makna, dan (c) interferensi penggantian

makna.

Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi

interferensi atas empat macam, yaitu:

1) mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,

2) adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya

pemindahan,

3) penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa

pertama,

4) kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada

equivalensi dalam bahasa pertama.

Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor

yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:

Page 60: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

57

1) Kedwibahasaan peserta tutur

Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi

dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun

bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur

yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.

2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima

Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung

akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah

bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber

yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul

bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur,

baik secara lisan maupun tertulis.

3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima

Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada

pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang

bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika

masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan

mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai

kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan

kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai

bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk

mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya

kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa

sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.

Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung

dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari

interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut

memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa

penerima.

4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan

Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan

menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan

Page 61: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

58

menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari

luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang

dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau

peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.

Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang

dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak

cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu

akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa

penerima.

5) Kebutuhan akan sinonim

Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting,

yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata

yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan

adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata

yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.

Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering

melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru

dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan

demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya

interferensi.

6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena

pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang

dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan

dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi

yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa

sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan

7) Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang

sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan

kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada

dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun

Page 62: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

59

bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang

kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat

berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah

kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.

2.4 Pungutan / Unsur Serapan

Mengenai bentuk pungutan ini, Samsuri (1981:55) menyambung

pendapatnya mengenai interferensi dengan mengatakan bahwa penggunaan

bentuk-bentuk suatu bahasa asing dalam bahasa yang lain akan disebut pungutan

bila penggunaan bentuk-bentuk itu tidak menyebabkan dislokasi struktur kalimat

yang digunakan. Demikian pula, apabila suatu bentuk gangguan itu kemudian

menjadi bagian dari bahasa itu, maka bentuk gangguan itu juga disebut pungutan.

Mengenai bentuk-bentuk unsur serapan atau pungutan itu Bloomfield

(1933:444) membedakannya atas dua macam bentuk yaitu pungutan dialek

(dialect borrowing) apabila bentuk pungutan itu kembali dari satu wilayah

bahasa (speech area) yang sama, dan pungutan kultural (cultural borrowing)

bila unsur-unsur pungutan itu diambil dari wilayah bahasa yang lain.

Menurut Haugen (1968:55) pada saat pertama serapan bentuk-bentuk

asing, status linguistik bentuk-bentuk serapan itu masih belum pasti. Para

bilingual mula-mula akan ragu-ragu untuk menggunakan bentuk-bentuk pungutan

itu, karena mereka sadar bahwa itu adalah bentuk atau unsur asing.

Dalam bahasa Indonesia, misalnya, mula-mula orang akan sedikit ragu

untuk menggunakan beberapa bentuk dari bahasa daerah (pungutan dialek). Maka

dalam hal-hal tersebut saja bilingual itu akan menggunakan bentuk pungutan yang

berasal dari bahasa daerahnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan penggunaan

banyak kosa kata bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, misalnya: sembrono, sarana,

pamrih, luwes, memboyong, dan masih banyak lagi contoh lain. Selama

penggunaan unsur-unsur bahasa daerah itu tidak menimbulkan gangguan pada

bahasa Indonesia, maka penggunaan unsur-unsur bahasa Jawa tidak merupakan

gangguan, bahkan dapat berfungsi memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, unsur serapan didefenisikan

sebagai berikut: unsur adalah bahan asal, zat asal, bagian yang terpenting dalarn

suatu hal, sedangkan serapan adalah pemasukan ke dalam, penyerapan masuk ke

Page 63: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

60

dalam lubang-Iubang kecil (Poerwadarminta, 1985:130 dan 425). Menurut

Samsuri (1987 : 50) serapan adalah “pungutan”. Sedangkan Kridalaksana (1985 :

8) memahami kata serapan adalah “pinjaman” yaitu bunyi, fonem, unsur

gramatikal atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain. Kata serapan adalah

kata yang diserap dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari

bahasa asing, yang digunakan dalam bahasa Indonesia yang cara penulisannya

mengalami perubahan ataupun tidak mengalami perubahan.

Guilbert (1975: 89) mengatakan bahwa tidak ada satu kebudayaan pun

dalam suatu masyarakat yang masih benar-benar asli, terlindung dari kontak

dengan masyarakat lainnya. Kontak yang terjadi di antara masyarakat yang

berbeda tersebut dapat terjalin baik melalui hubungan politik, hubungan ekonomi,

maupun hubungan kebudayaan. Bahasa, sebagai salah satu unsur kebudayaan,

mendapat pengaruh secara langsung dari adanya kontak antarmasyarakat tersebut.

Berkat adanya pertemuan kebudayaan, bahasa mengalami perkembangan.

Bahasa terus dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan

komunikasi. Salah satu cara mengembangkan suatu bahasa, khususnya dalam

tataran kata, adalah dengan memungut kata dari bahasa lain.

Kata serapan digunakan oleh Kridalaksana (1988), beliau menyebutkannya

sebagai loan words atau kata-kata pinjaman. Istilah-istilah tersebut digunakan

untuk menyebut kosakata asli. Kosakata serapan merupakan kosakata yang

diambil atau diserap dari satu bahasa donor dengan penyesuaian kaidah yang ada

dalam bahasa penyerap. Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik suatu

simpulan bahwa unsur serapan adalah unsur dari suatu bahasa (asal bahasa)

yang masuk dan menjadi bagian dalam bahasa lain (bahasa penerima) yang

kemudian oleh penuturnya dipakai sebagaimana layaknya bahasa sendiri.

Oleh Niklas-Salminen (1997: 84), peminjaman kata dibagi menjadi dua

jenis, yakni emprunts nécessaires dan emprunts superflus. Jenis pertama

menyangkut penggunaan kata yang belum ada dalam suatu bahasa, seperti

penggunaan kata-kata dalam terminologi teknis dalam bahasa Inggris yang belum

ada dalam bahasa Prancis, yaitu pick-up, tracking, dan data processing.

Sementara itu, jenis kedua merupakan jenis pinjaman yang sifatnya tidak terlalu

diperlukan, seperti kata football dan living-room. Kedua kata tersebut telah

Page 64: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

61

memiliki padanannya dalam bahasa Prancis, yaitu balle au pied dan salle de

séjour.

Dalam kamus Poerwodarminto terbitan 1954, tidak akan ditemukan kata-

kata seperti blak-blakan, dasawarsa, gambling, menangani, wawancara,

mendongkel, asumsi, akselerasi, assembling, eksekutif, editorial, formil, fakultas,

(tetapi : fakultet), kontraktor, konflik, memorandum, proyek, rekomendasi, rutin,

dan lain- lain. Kata-kata tersebut sekarang menjadi bagian dari bahasa Indonesia

yang merupakan pungutan dari bahasa lain dan menyebabkan perubahan pada

bahasa Indonesia.

Bahasa adalah alat dan sekaligus bagian suatu kebudayaan tertentu.

Sebagai alat kebudayaan tertentu, bahasa itu hendaklah dapat dipakai untuk semua

kehidupan di dalam kebudayaan itu; dengan kata lain, hendaklah cukup

mempunyai “konsep dan tanda‟ untuk menyatakan kegiatan-kegiatan, baik

spiritual maupun material, pada kebudayaan itu.

Perubahan biasa disebut sebagai pertumbuhan, seakan-akan bahasa itu

merupakan sesuatu yang hidup. Bahasa hidup manapun tentu mengalami

perubahan yang mungkin tidak nampak kepada pemakai-pemakai bahasa itu

sendiri di dalam waktu yang pendek, tetapi secara kumulatif dan dalam waktu

yang cukup lama akan terlihat dengan jelas perubahan itu. Di dalam keinginanya

untuk menyampaikan sesuatu, pemakai bahasa menggunakan bahasanya sebagai

alat komunikasi. Untuk menghindarkan ketidak-jelasan, pemakai bahasa sering

secara berlebihan menyatakan isi hatinya. Berlebihan (= redundancy, Ing.) ini

diungkapkan dengan berbagai cara oleh pemakai bahasa: penggunaan

intonasi,pengulangan kata atau ungkapan, pengulangan “konsep‟ dengan “tanda‟

yang lain (= sinonim-sinonim), penjelasan waktu, jumlah kelamin, pemakaian

isyarat, dan lain sebagainya.

Tidak heran apabila kemudian ada seseorang bersuku Jawa pemakai

bahasa Indonesia yang berkata : “Dengan terus-terang, blak-blakan, saya katakan

bahwa pemerintah kurang banyak berusaha meringankan beban rakyat kecil‟.

Bahkan seseorang dari suku Jawa seperti itu masih juga menambahkan ungkapan

dari bahasanya “tanpa tedeng aling-aling”, yang dipakai untuk menjelaskan

sesuatu dengan berlebihan yang seharusnya sudah terwakili oleh kata terus terang,

Page 65: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

62

sehingga kalimat di atas menjadi “berlebihan”. Pungutan kata blak-blakan yang

berarti “terus-terang”itu diambilnya secara spontan oleh seorang pemakai bahasa

Indonesia.

Pungutan yang bersifat sinonim semacam itu disebabkan oleh tidak adanya

“konsep dan tanda” di dalam bahasa itu. “Konsep dan tanda” yang menyatakan

“sepuluh tahun”, umpamanya, tidak ada dalam bahasa Indonesia (asli), seperti

“konsep dan tanda” yang menyatakan “dua puluh (helai, biji, buah, dan lain-lain)”

yang dinyatakan oleh kata kodi. Oleh karena itu, seorang pemakai bahasa

Indonesia mengemukakan “sepuluh tahun” itu, dengan kata dasawarsa, biarpun

kata itu boleh dikatakan suatu “terjemahan” dari “sepuluh tahun”. Mungkin di

dalam pikirannya ada kata asing yang menyatakan “sepuluh tahun”, katakan dari

bahasa Inggris decade atau kata Belanda decade, yang menyebabkan pemakai

bahasa Indonesia itu akhirnya memakai kata dasawarsa untuk menyatakan

pengertian itu.

Kemungkinan pula, bahwa pemakai itu mula-mula memang memakai kata

asing yang “di -indonesiakan”, yaitu diucapkan sebagai [dekadə], sesuai dengan

sistem bunyi bahasa Indonesia. Kemudian ada pemakai lain yang membaca atau

mendengar kata decade itu dan ingin “mengaslikannya” menjadi dasawarsa.

Mana yang diambil kemudian oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia,

dasawarsa-kah atau decade, hal itu masih tetap merupakan pungutan.

Di samping kategori di atas itu terdapat pungutan seperti kata menjajaki

dari bahasa Jawa yang boleh dikatakan “lebih murni”, karena tidak disebabkan

oleh gagasan asing. Termasuk kategori ini ialah pungutan kata-kata seperti

asumsi, akselerasi, asembling, eksekutif, editorial, konflik, kontraktor, proyek,

teknokrat, dan lain-lain (Samsuri, 1994: 52).

Sumber kata-kata baru bahasa Indonesia yang lain adalah proses yang

disebut pungutan (borrowing),yaitu mengambil alih kata-kata dari bahasa lain.

Kata pungutan dapat bersifat gramatikal dan bersifat leksikal.

Pungutan gramatikal mencakup unsur bunyi, morfem, dan kelompok kata.

Contoh pungutan unsur bunyi ialah pengucapan kata taxi dan executive. Dalam

bahasa Indonesia kata-kata itu dieja taksi dan eksekutif. Contoh pungutan

Page 66: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

63

kelompok kata dapat dijumpai dalam pemakaian di mana dan pada manayang

merupakan terjemahan dari bahasa Inggris in which dan on which.

Pungutan leksikal ialah pungutan yang berupa kata-kata, baik dari bahasa

daerah maupun bahasa asing, seperti ambruk, wadah, wajar (bahasa Jawa), kagok,

nyeri (bahasa Sunda), genit (dialek Jakarta), angkasa, angka, cemara (bahasa

Sanskerta).

Samsuri membagi pungutan menjadi beberapa macam, yaitu pungutan

leksikal dan pungutan struktural. Pembagian pungutan tersebut antara lain sebagai

berikut.

1. Pungutan Leksikal

Sebagian besar pungutan yang terdapat pada suatu bahasa dari bahasa lain

adalah bersifat leksikal, artinya kebanyakan pungutan yang bersifat struktural

kurang sekali. Bersama pungutan leksikal terbawa pula pungutan bunyi. Dari

bahasa asing seperti bahasa Arab, Belanda, dan Inggris dapat disebut pungutan

bunyi /f/ ke dalam BI, yang terbawa dalam kata-kata seperti fakir, fana, fakultas,

faktor dan fokus. Hendaknya dapat dibedakan antara bunyi dan huruf yang

dipakai untuk menuliskan bunyi bahasa itu. Kata-kata yang dituliskan sebagai

<varia>, <universitas>, <televise>, <visum>, di dalam BI diucapkan sebagai

[faria], [universitas], [telefisi], dan [fisəm]. Jadi secara linguistik yang terpungut

adalah bunyi /f/, sedangkan bunyi /v/ tidak terdapat di dalam BI, ataupun tidak

terpungut.

Ada bunyi-bunyi dari bahasa asing yang mula-mula terpungut, akan tetapi

kemudian karena tidak sesuai dengan sistem bunyi bahasa penerima, maka bunyi-

bunyi asing itu hilang dan digantikan oleh bunyi-bunyi yang terdekat di dalam

sistem bunyi bahasa penerima itu. Kata-kata BI paham < faham, pikir < fikir,dan

pasal < fasal merupakan contoh penyesuaian sistem bunyi ke dalam sistem bunyi

BI.

Dari pungutan leksikal itu kita dapat membedakan antara pungutan dialek,

pungutan mesra, dan pungutan kultural (Samsuri, 1994:52). Pungutan dialek

adalah pungutan dari dialek-dialek bahasa itu. Pungutan dialek dapat terjadi dari

dialek tulisan, tetapi juga dari dialek yang mempunyai prestise yang baik.

Page 67: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

64

Contohnya pada kata berisik (= bising), damprat (= memaki-maki), mendusin (=

sadar), jambret (= renggut), dan jejaka (= bujangan) dapat dianggap sebagai

pungutan dialek yaitu dari bahasa Jakarta yang merupakan salah satu dialek BI

(bahasa Melayu Riau). Akan tetapi pungutan dari bahasa Jawa, umpamanya dalam

BI, seperti kata-kata ganteng, penggede, gawat, gelintir, leluhur, dan prihatin

merupakan pungutan mesra, yaitu dari bahasa lain yang terdapat dalam darah

kebahasaan tempat itu (= BI). Pungutan kultural ialah semua pungutan dari

bahasa yang tidak dipakai dalam daerah kebahasaan bahasa penerima. Kata-kata

seperti fakir, faal, jahiliyah, kiamat, saham (Arab), Pancasila, sapta marga, tuna

karya (Sansekerta), harmoni, dosen, juri, embargo, fiskal, klasifikasi (Eropa).

2. Pungutan Struktural

Termasuk pungutan ini ialah semua unsur-unsur bunyi, morfem, dan

kalimat. Pungutan bunyi merupakan bagian dari pungutan kata-kata yang

disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa penerima. Bunyi /z/ di dalam kata zaman,

yang mula-mula secara “murni” diucapkan sebagai /z/ kemudian kebanyakan

diucapkan oleh pemakai-pemakai bahasa Indonesia yang tidak keasing-asingan

sebagai /j/, sehingga kata itu biasa diucapkan sebagai jaman, yang sesuai dengan

sistem bunyi bahasa Indonesia dan merupakan penyesuaian. Kata-kata yang

ditulis sebagai abad, sabtu, sebab, biasa diucapkan sebagai “abat‟, “saptu‟, dan

“sebap‟. Hal ini sebenarnya termasuk penyesuaian struktural karena sistem bahasa

Indonesia tidak mempunyai bunyi-bunyi bersuara pada akhir suku.

Pungutan morfem yang menjadi bagian dari kata kurang sekali terdapat

pada bahasa penerima. Biasanya morfem-morfem bukan kata, jadi imbuhan-

imbuhan terbawa oleh kata yang terpungut. Dari kata-kata abad dan abadi dapat

diturunkan imbuhan Arab –i, tetapi morfem Arab ini tidak merupakan morfem

pungutan dalam bahasa Indonesia, dalam arti dipakai dalam kombinasi pangkal-

pangkal atau dasar-dasar yang lain. Jadi, di dalam hal ini tidak terjadi pungutan

imbuhan-i Arab ke dalam bahasa Indonesia. Berbeda halnya dengan kata nasional

dan nasionalisme yang dapat menurunkan imbuhan –isme, yang secara produktif

membentuk kata-kata baru, tidak hanya dari bahasa asal tetapi juga dari bahasa

penerima, seperti marhaenisme, bapakisme, sukuisme, dan lain-lain. Morfem –

Page 68: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

65

isme amat produktif karena bergabung dengan dasar-dasar baru, termasuk di

dalamnya dasar-dasar bahasa Indonesia asli.

Pungutan kelompok kata, yaitu suatu pembentukan yang bersifat

struktural, seperti pungutan morfemis, yang akan menyebabkan adanya

terjemahan pungutan. Contoh-contoh di dalam bahasa Indonesia adalah

kelompok-kelompok seperti jaringan penguasa (authority of network), pusat-

pusat kekuasaan (centre of power), bahkan juga ungkapan-ungkapan seperti

dalam analisa terakhir (in the last analysis). Sebenarnya ada pungutan semacam

terjemahan pungutan yang menekankan pada maknanya, seperti kambing hitam,

latar belakang, dan lain-lain. Termasuk kategori ini juga ialah bentukan-bentukan

kalimat yang memakai kata- kata peghubung yang merupakan terjemahan

pungutan seperti di dalam mana (in which, Ing. atau waaren, Bel.), di sekitar

mana (around which, Ing. atau waaromstreeks, Bel.), di atas mana (on which,

Ing. atau waroop, Bel.). Kadang- kadang terjemahan pungutan semacam itu tidak

perlu bila pemakai BI benar- benar menguasai penyusunan kalimat-kalimat bahasa

Indonesia, seperti berikut.

1) Ia sedang mencari kotak, di dalam mana ia menyimpan cincin pemberian

ibunya itu.

Kata penghubung di dalam mana pada kalimat (1) mempunyai arti yang

sama dengan kata penghubung tempat. Perhatikan pula pada contoh berikut.

2) Ia tinggal di sebuah bukit di mana terdapat pemandangan indah yang

menenteramkan.

Kata penghubung di mana pada kalimat (2) mempunyai arti yang sama

pula dengan tempat. Namun akan lebih baik lagi apa bila kalimat tersebut diganti

menjadi berikut.

3) Ia tinggal di sebuah bukit. Di sekitar bukit itu terdapat pemandangan yang

menenteramkan.

Pada beberapa contoh kalimat di atas, susunan mana yang akan dipakai,

tentulah terserah pada perkembangan bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas

dari pungutan-pungutan itu selalu melalui kedwibahasaan, yaitu pemakaian

bahasa yang lebih dari satu. Dalam konteks kalimat di atas, pemakai bahasa

Page 69: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

66

Indonesia menguasai bahasa Inggris atau bahasa Belanda. Apabila pungutan-

pungutan itu itu dipakai pula oleh pemakai lain, maka pungutan-pungutan itu lalu

menjadi bagian dari bahasa penerima.

Pungutan dalam Bahasa Indonesia

Secara sosiolinguistik masyarakat Indonesia tidak hanya menggunakan

satu bahasa, melainkan paling sedikit dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa

nasional. Dengan demikian jelaslah nampak pada pemakai-pemakai bahasa di

Indonesia, bahwa mereka merupakan tempat atau lokus persentuhan antara

bahasa ibu dan bahasa nasional, dan juga pada sementara pemakai bahasa, selain

itu merupakan tempat persentuhan bahasa ibu, bahasa nasional, dan bahasa asing.

Pungutan dari bahasa Indonesia ini dibagi menjadi pungutan dari bahasa pertama

dan pungutan dari bahasa asing.

Pungutan dari Bahasa Pertama

Bahasa Indonesia mempunyai pengaruh pengaruh pada bahasa daerah,

sebab melalui dwibahasawan-dwibahasawan banyak juga kata-kata Indonesia

yang terpakai dalam bahasa daerah yang satu maupun dari bahasa asing, setelah

dicerna dalam BI, terbawa pula ke dalam bahasa daerah yang lain. Pungutan-

pungutan dari bahasa daerah yang satu ke bahasa daerah lain yang biasanya dari

bahasa daerah yang banyak berpengaruh pada Bahasa Indonesia.

Menurut strukturnya, pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi

beberapa macam, antara lain: (1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3)

kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI. Pungutan

yang digolongkan dalam kata-kata dasar antara lain, amblas, bobol, bobrok,

heboh, melempem, melongo, mantap, nunggak, ngawur, pamrih, remeh, ruwet,

sarana, sepele, seret, semberono, tanpa, tandas, ulet, unggul, susut, upet, wadah,

wajar, windu, dan lain-lain. Selanjutnya, pungutan yang digolongkan pada kata-

kata kompleks, contohnya antaralain, kadalu warsa, kocar-kasir, kepergok,

sesepuh, dan lain-lain. Pungutan terakhir adalah pungutan yang digolongkan ke

dalam kata-kata yang berkontruksi kata dasar daerah dengan imbuhan BI yang

masih dapat dibagi menjadi dua yakni kata dasar yang tidak dipakai di dalam BI,

contohnya mengemban (emban), membangkang (bangkang), menjajaki (jajak),

dibarengi (bareng), dan berupa konstruksi dengan dasar dari pungutan ditambah

Page 70: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

67

dengan imbuhan BI, contohnya : kewajaran (wajar), keuletan (ulet), kemantapan

(mantap), mengganyang (ganyang), diciduk (ciduk), dan menggembar-

gemborkan (gembar-gembor).

Pungutan dari Bahasa asing

Penguasaan bahasa Belanda dalam jaman penjajahan merupakan ciri

kaum elit Indonesia, yang disengaja oleh kaum penjajah untuk memisahkannya

dari rakyat. Anehnya saat ini orang Indonesia lebih suka menyelang-nyeling

dengan kata-kata asing, karena ingin menunjukkan ke-elitannya dengan

menyelipkan kosa kata asing di dalam bahasa daerahnya atau dalam BI-nya.

Hal ini makin diperjelas dengan makin banyaknya bahasa asing yang

disisipi kata- kata asing di dalam BI, akibat bertambahnya dwibahasawan

Indonesia-asing, contohnya sebagai berikut.

Approach pendekatan

Applause tepuktangan

Avonturir petualangan

kompleks ruwet

definitif pasti

evaluasi penilaian

estimate perkiraan

elemen unsur

fleksibel luwes

instalasi pemasangan

workshop lokakarya

shopping center pusat belanja

city hall balai kota

community center gedung umum

Penyerapan dalam Bahasa Indonesia

Peranan bahasa asing dalam bahasa Indonesia membuktikan adanya

kontak atau hubungan antarbahasa sehingga timbul penyerapan bahasa-bahasa

asing ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan di sini dapat diartikan sebagai

pengambilan unsur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia untuk dibakukan

dan digunakan secara resmi oleh pemakai bahasa Indonesia. Fungsi penyerapan

Page 71: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

68

bahasa asing sendiri adalah untuk memperkaya khazanah kosakata bahasa

Indonesia agar menjadi lebih beragam. Tuntutan globalisasi juga menyebabkan

kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dunia luar,

khususnya dunia barat, baik dari segi gaya hidup, informasi yang terbuka, style,

sampai pada penggunaan bahasanya.

Setiap masyarakat pemakai suatu bahasa memiliki kesepakatan tentang

bahasanya, misalnya berkaitan dengan kaidah atau struktur dan kosa kata.

Kesepakatan kaidah dan kosa kata itu sampai batas waktu tertentu secara umum

masih mampu mewadahi seluruh konsep, gagasan, dan ide para pemakainya.

Namun, pada saat tertentu akan sampailah pada suatu kebutuhan akan adanya

kesepakatan baru yang memperkaya dan melengkapi kesepakatan sebelumnya,

yaitu manakala kesepakatan lama telah tidak cukup lagi mewadahi konsep,

gagasan, dan ide yang ada. Apabila telah sampai pada titik waktu seperti itu,

maka masyarakat bahasa yang bersangkutan biasanya melirik kesepakatan

masyarakat pemakai bahasa lain. Dengan demikian, maka terjadilah sebuah

proses kreativitas masyarakat bahasa yang disebut pemungutan (borrowing)

unsur bahasa terutama kosa kata dari bahasa lain (Saadie 1998: 1). Dengan

demikian pemungutan atau penyerapan menjadi salah satu penyebab terjadinya

perkembangan suatu bahasa.

Penyerapan terhadap kosakata ini dinilai lebih praktis dan efektif

digunakan di dalam bahasa Indonesia daripada mencari padanan katanya.

Minimnya kosakata dalam bahasa Indonesia juga menjadi salah satu hal yang

melatarbelakangi penyerapan dari bahasa asing. Kontak antarbangsa tidak dapat

dihindari. Tidak ada bangsa yang dapat membebaskan diri dari kontak dengan

dunia luar. Hal ini menyebabkan tidak ada satu bangsa pun yang terbebas dari

kontak dengan bahasa yang lain. Sebuah bahasa yang tidak kontak dengan

bahasa lain lambat laun akan menjadi bahasa yang mati atau menjadi bahasa

yang tidak ada penuturnya lagi. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dalam

perkembangannya selalu terbuka untuk menerima kosakata dari bahasa lain.

Sebagian besar bahasa Indonesia menyerap dari bahasa Inggris, bahasa Arab,

bahasa Jepang, bahasa Jerman, dan bahasa Belanda. Tidak hanya itu, bahasa

Indonesia juga menyerap kosakata dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa,

Page 72: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

69

Sansekerta, dan bahasa Sunda. Sumber serapan dari berbagai bahasa di atas,

penjelasannya adalah sebagai berikut.

Bahasa Inggris

Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang pertama kali

dituturkan di Inggris pada abad pertengahan awal dan saat ini merupakan bahasa

yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Bahasa Inggris dituturkan

sebagai bahasa pertama oleh mayoritas penduduk di berbagai negaratermasuk

Britania Raya, Irlandia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan

sejumlah negara-negara Karibia, serta menjadi bahasa resmi 60 negara berdaulat.

Bahasa Inggris moderen kini lebih banyak memiliki kosakata sehingga banyak

istilah di bidang komunikasi, sains, teknologi informasi, bisnis, kelautan,

hiburan, radio, dan diplomasi. Kemampuan berbahasa Inggris bahkan telah

menjadi kebutuhan dalam sejumlah bidang ilmu, pekerjaan dan profesi, misalnya

kedokteran. Akibatnya banyak penduduk di dunia yang mampu berbahasa

Inggris, setidaknya pada tingkat dasar. Perkembangan bahasa Inggris yang pesat

juga meyebabkan bahasa Inggris sebagai penyumbang kosakata dalam bahasa

Indonesia, baik dengan cara dipelajari maupun dengan cara menyerap kosakata

tersebut. Contoh kosakata yang diserap dari bahasa Inggris adalah kosmetik,

ekspresi, musik, panik, debat, fakta, dan lain-lain.

Bahasa Arab

Sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Kitab suci umat

Muslim adalah Al-quran yang ditulis dengan menggunakan tulisan Arab. Hal ini

yang menyebabkan umat muslim di Indonesia belajar membaca Al-quran dan

memahami maknanya dengan membaca terjemahannya, bahkan tidak sedikit

pula penduduk Indonesia yang dengan sengaja mempelajari bahasa Arab.

Masuknya bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dikarenakan adanya kontak

bahasa yang terjadi sejak abad 13 dari perdagangan yang dilakukan oleh

saudagar-saudagar Gujarat di Indonesia. Terjadinya kontak bahasa antara bahasa

Arab dengan bahasa Indonesia ini menyebabkan kemungkinan besar terjadinya

penyerapan kosakata ke dalam bahasa Indonesia. Contoh kosakata dari bahasa

Arab adalah kursi, madrasah, maaf, doa, jumat, setan, munafik, majelis, sedekah,

dan lain-lain.

Page 73: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

70

Bahasa Jepang

Bahasa Jepang tidak begitu banyak memberikan sumbangan dalam

bidang bahasa terlebih dengan bahasa Indonesia melainkan dalam bidang

teknologi. Contoh sumbangan kosakata Jepang dalam bidang teknologi

(kendaraan) adalah mitsubishi, suzuki, honda, kawasaki, yamaha, sanken, dan

lain-lain.

Bahasa Belanda

Bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Hal ini jelas

menimbulkan beberapa pengaruh terhadap bahasa Indonesia, karena pasti terjadi

kontak bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa Belanda. Kosakata

tersebut adalah dongkrak, sistim, tradisionil, dan lain-lain.

Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa

Sejarah perkembangan bahasa, antara bahasa Indonesia dengan bahasa

Jawa, dalam hubungannya dengan bahasa Sansekerta, pada dasarnya tidaklah

jauh berbeda. Hal ini antara lain dikarenakan sejarah kebudayaan suka Jawa,

tidak dapat dipisahkan sama sekali dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia.

Suku Jawa merupakan salah satu suku yang dari segi historis maupun geografis

menjadi pendukung yang signifikan terhadap eksistensi bangsa Indonesia.

Perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, secara historis tidak dapat

dilepaskan dari budaya bangsa Indonesia yang telah sejak semula mendapatkan

pengaruh dari budaya dan agama Hindu dan Budha, suatu agama yang

berkembang dari sekitar India Selatan. Kedua agama ini berkembang dengan

banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta merupakan bahasa

resmi India, di samping bahasa Inggris, yang juga dipandang sebagai bahasa

klasik dari kesusasteraan kuno India (Koentjaraningrat, 1993: 41). Ketika itu

kebudayaan Hindu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan,

misalnya, teknologi Barat di jaman modern ini. Kebudayaan intelektual dari

agama Hindu mempengaruhi dunia Asia Tenggara jaman dulu (Koentjaraningrat,

1990: 21).

Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah kehidupan bahasa Indonesia

yang beriringan dan sejaman dengan kehidupan bahasa daerah Jawa. Sebagian

penutur bahasa Indonesia dan penutur bahasa Jawa adalah pelaku

Page 74: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

71

kedwibahasaan, artinya menggunakan bahasa Indonesia sekaligus juga dengan

bahasa Jawa. Dengan demikian sangat dimungkinkan kedua bahasa itu saling

menerima dan saling melengkapi. Hal yang demikian itu juga tidak mustahil

terjadi pada kata-kata yang merupakan kata yang menyerap kosakata dari bahasa

Sansekerta.

Bentuk yang Diserap

Bentuk yang diserap oleh bahasa Indonesia dari beberapa bahasa terdiri

atas beberapa bentuk, yakni kata, frase, dan kalimat. Penjelasan tentang bentuk-

bentuk tersebut adalah sebagai berikut.

a) Kata

Kata merupakan unsur yang sangat penting dalam membangun suatu

kalimat. Tanpa kata, tidak mungkin ada kalimat. Setiap kata mempunyai fungsi

dan peranan yang berbeda sesuai dengan kelas kata atau jenis katanya. Kata

adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna. kata juga bisa mengandung

makna baru yang dimunculkan akibat terjadinya proses gramatikal

(pengimbuhan, pengulangan atau pemajemukan) dan akibat konteks kalimat

(struktural) yang disebut makna gramatikal (Soedjito, 1990: 52). Makna

gramatikal adalah makna suatu kata yang ditentukan dengan konteks kalimat.

Bentuk serapan berupa kata diserap oleh bahasa Indonesia dari bahasa lain,

misalnya pensil, bola, buku, dan lain-lain.

b) Frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif

atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di

dalam kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif. Artinya frasa tidak

memiliki predikat dalam strukturnya. Itulah yang membedakan frasa dari klausa

dan kalimat. Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang

bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah

satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1994:22). Frasa adalah satuan

gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas unsur

klausa (Ramlan, 1987:151). Frasa merupakan kelompok kata yang merupakan

bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang (Verhaar, 1999:292). Contoh:

Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca. Contoh lain adalah

Page 75: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

72

sebagai berikut.

Saya sedang membaca artikel kepahlawanan.

Dalam kalimat di atas terdapat dua frasa yakni sedang menulis dan artikel

kepahlawanan.

c) Kalimat

Bentuk yang diserap oleh bahasa Indonesia juga bisa berupa kalimat.

Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri

sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Dalam wujud lisan, kalimat

diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri

dengan intonasi akhir, sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat

dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?)

dan tanda seru (!). Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan

maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P).

Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat

melainkan hanya sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat.

Beberapa pakar bahasa juga mendefinisikan tentang kalimat. Dalam

wujud tulisan, kalimat diucapkan dalam suara naik-turun dan keras-lembut disela

jeda, diakhiri intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah

terjadinya perpaduan, baik asimilasi bunyi maupun proses fonologis lainnya

(Alwi dkk., 2000:311). Kalimat sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri

sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial

terdiri dari klausa; klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan

proposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan satu klausa, yang

membentuk satuan bebas; jawaban minimal, seruan, salam, dan sebagainya

(Kridalaksana, 2001:92). Kalimat ialah bagian terkecil dari suatu ujaran atau teks

(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan

(Dardjowidojo, 1988: 254).

Jenis-jenis kalimat terdiri atas dua jenis, antara lain kalimat tunggal dan

kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu

pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu subjek dan satu predikat, serta satu

keterangan (jika perlu). Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua

pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk ini terdiri dari induk kalimat dan anak

Page 76: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

73

kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat

letak konjungsi. Induk kalimat tidak memuat konjungsi di dalamnya, konjungsi

hanya terdapat pada anak kalimat. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata

penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui

dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Contoh kalimat:

Aqiila pergi ke pasar.

S P K

Kalimat di atas, merupakan contoh dari kalimat tunggal, karena

kalimatnya hanya mempunyai satu pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu

subjek dan satu predikat, serta satu keterangan. Contoh kalimat:

Aqiila pergi ke pasar sedangkan Haidar berangkat ke sekolah.

Kalimat di atas merupakan contoh dari kalimat majemuk, karena

kalimatnya mempunyai dua pola kalimat atau lebih, yang terdiri dari induk

kalimat dan anak kalimat.

Unsur Serapan dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan (EYD)

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari

pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti

Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf

integrasinya, unsur pinjaman dari bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga

golongan besar. Pertama, unsur-unsur yang sudah lama terserap ke dalam bahasa

Indonesia yang tidak perlu lagi diubah ejaannya. Misalnya sirsak, iklan, otonomi,

dongkrak, pikir, paham, aki. Kedua, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap

ke dalam bahasa Indonesia, seperti shuttle cock, real estate. Unsur-unsur ini

dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti

cara asing. Ketiga, unsur yang pengucapannya dan penulisannya disesuaikan

dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaan hanya

diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan

dengan bentuk aslinya. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang

Disempurnakan juga mencantumkan kaidah penulisan unsur serapan pada

kosakata dan kaidah penulisan unsur serapan pada ejaan dan peristilahan.

Page 77: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

74

2.5 Sebab-sebab Terjadinya Pungutan

Hockett (1962:404-405) menunjuk kepala adanya dua kondisi penyebab

mengapa satu bahasa meminjam unsur-unsur dari bahasa lain. Kedua kondisi itu

adalah:

1. Adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan (need filling motive), dan

2. Adanya keinginannya untuk kelihatan bergaya (prestige motive).

Weinriech sependapat dengan Haugen. Ia menyatakan (1963:56) bahwa

keadaan yang paling umum yang menyudutkan seseorang untuk menciptakan

kata-kata baru adalah apabila seseorang atau suatu masyarakat bahasa hendak

menggambarkan suatu konsep baru. Apabila konsep baru itu didapat karena

adanya kontak kebudayaan dengan kebudayaan asing. Yang umum terjadi adalah

menggunakan kata yang digunakan oleh masyarakat bahasa pemilik konsep itu. Di

kemudian hari, dengan melihat kosa kata yang ada dalam bahasa Indonesia, maka

orang akan tahu pada suatu saat di masa lalu, telah terjadi kontak antara pemakai

bahasa Indoensia dengan pemakai bahasa asing.

Moeliono menjelaskan terdapat enam faktor yang memengaruhi

penyerapan yang terjadi di masyarakat. Faktor-faktor itu antara lain :

1. Prinsip kehematan

Penyerapan kata dapat dianggap salah satu contoh usaha mencari cara

yang lebih hemat. Memilih kata yang sudah siap lebih ekonomis daripada

memerikan konsep dalam bahasa sendiri; apalagi jika di dalam pemerian itu

diperlukan bentuk frasa, misalnya politik, ekonomi, dan demokrasi.

Pemungutan kata baru dianggap sebagai suatu cara yang lebih ekonomis

dibanding mencari kata atau definisi baru dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh

kata pungutan dalam bahasa Indonesia yang memenuhi kriteria kehematan adalah

penggunaan kata parlemen untuk menggantikan Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Kejarangan bentuk asli

Unsur leksikal asli yang jarang digunakan tidak termasuk kosakata

produktif penutur bahasa jika ia bukan ahli bahasa. Kata dursila, misalnya,

berpadanan dengan evil atau immoral. Namun, karena kata Melayu itu frekuensi

Page 78: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

75

pemakaiannya sangat rendah, terciptalah bentuk asusila berdasarkan analogi yang

salah, yakni moral:amoral = susila:asusila dengan menyamakan arti amoral

dengan immoral.

Suatu kata dalam bahasa tertentu yang jarang digunakan dalam pemakaian

bahasa sehari-hari mempunyai kecenderungan untuk mudah dilupakan. Jika ada

kata lain dalam bahasa asing yang lebih dikenal, yang mampu menggantikan kata

yang bersangkutan, secara otomatis kata asing tersebut akan menjadi lebih umum

digunakan. Contoh kata yang sudah jarang digunakan dalam bahasa Indonesia

masa kini adalah kata dukana, tetapi kata seks lebih dikenal.

3. Keperluan akan kata yang searti

Pertimbangan kelanggaman (stilistik) dapat mendorong penutur bahasa

mencari sinonim demi variasi estetik di dalam ujaran dan tulisannya. Pemahaman

bahasa lain memberinya peluang menyerap unsur kosakata bahasa itu, lepas dari

masalah perlu tidaknya dilakukan penyerapan itu jika di dalam bahasanya sendiri

terhadap sinonim yang memadai, misalnya asimilasi dan pembauran,

penyerapan; kontrol dan pengawasan, pengendalian, penilikan; spesial dan

khusus; fasilitas dan kemudahan.

Seorang dwibahasawan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk

melakukan pembaruan kata dibandingkan dengan orang yang hanya mempunyai

pengetahuan akan satu bahasa (ekabahasawan). Ketika seorang dwibahasawan

mempunyai keperluan untuk mengungkapkan suatu kata, maka ia dapat

menerapkan pengetahuannya tentang bahasa lain, seperti menggunakan kata

asimilasi untuk menggantikan kata penyerapan, menggunakan kata fasilitas alih-

alih kemudahan.

Sehubungan dengan butir di atas, saya berpendapat bahwa seorang

dwibahasawan lebih kaya dalam perbendaharaan kata sehingga ia dapat memilih

kata apa yang ingin digunakannya. Dengan demikian, menurut saya, masalahnya

bukan keperluan akan kata yang searti, tetapi kemampuan kebahasaan

dwibahasawan. Selain itu, butir tersebut juga bertumpang tindih dengan dua faktor

lain yang akan disebutkan berikut ini.

Page 79: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

76

4. Pembedaan arti di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat

Kadang-kadang timbul perasaan pada penutur bahasa bahwa bahasanya

tidak memiliki peranti untuk membedakan dengan cermat berbagai konsep yang

bertalian. Benar tidaknya anggapannya itu tidak disadarinya. Karena itu, ia merasa

perlu menularkan perbedaan bentuk di dalam bahasa asing ke dalam bahasanya

sendiri dengan menyerap seperangkat kata yang termasuk dalam satu paradigma,

misalnya politik dan politis, universitas dan universiter, norma dan normatif.

Perasaan seperti ini ditimbulkan akibat adanya pengaruh perbandingan

bahasa asli yang dimiliki seorang dwibahasawan dengan bahasa lain yang

dikuasainya. Beberapa dwibahasawan merasa perlu untuk membedakan kata

politik dan politis, ekonomi dan ekonomis, ataupun demokrasi dan demokratis.

5. Gengsi bahasa asing

Kefasihan berbahasa asing, khususnya bahasa yang ditautkan dengan

peradaban yang tinggi, kadang-kadang disangka penutur bahasa akan

meningkatkan kedudukan sosialnya di mata orang. Karena itu, diseraplah

evaluasi, bilateral, multiplikasi, dan kalibrasi walaupun ada bentuk penilaian,

dwipihak, pelipatan dan kelipatan, serta peneraan.

Dalam hal ini, anggapan yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa

asing yang fasih meningkatkan kedudukan sosial seseorang dapat dikatakan benar.

Akan menjadi sebuah kebanggaan tertentu bagi sebagian orang yang mempunyai

pendapat seperti yang telah disebutkan sebelumnya ketika mereka menggunakan

kata budget alih-alih kata anggaran, kata bilateral alih-alih kata dwipihak, serta

kata multiplikasi alih-alih kelipatan.

6. Kemampuan berbahasa penutur yang rendah

Penutur bahasa di antara kalangan elite sosial tidak sedikit yang kosakata

asingnya lebih luas cakupannya daripada kosakata Indonesia ragam tingginya, dan

taraf pemahaman kaidah gramatikal bahasa asing lebih tinggi daripada taraf

pemahamannya di bidang bahasa Indonesia. Pada proses pengalimatan buah

pikirannya lalu mungkin terjadi interferensi pola struktur kalimat asing yang

Page 80: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

77

mendorongnya menciptakan serapan terjemah. Di dalam beberapa ragam,

misalnya, dapat ditemukan unsur serapan dalam mana, atas mana, untuk mana,

kepada siapa, dan dengan siapa sebagai konjungsi, yang masing-masing berpola

pada waarin/in which, waarop/wherefore, waarvoor/wherefore dan aanwiel/to

whom, dan met wie/with whom.

Menilik fakta sejarah, Indonesia banyak mendapat pengaruh kebahasaan

dari bahasa Belanda. Pada masa lalu, orang-orang yang mempunyai pengaruh di

negeri ini tidak jarang lebih menguasai bahasa Belanda dibandingkan dengan

bahasa ibunya. Hal ini tentu saja mempengaruhi pilihan kata yang mereka

gunakan, yang sebagian hanya dapat dipahami jika diterjemahkan kembali ke

bahasa asing yang bersangkutan, seperti bentuk dalam mana, atas mana, untuk

mana, kepada siapa, dan dengan siapa (waarin, waarop, waarvoor, aan wie, dan

met wie).

2.6 Proses Pemungutan

Seperti telah dikemukakan diatas, bahasa yang hidup dalam bahasa yang

senantiasa berubah, meskipun perubahan itu tidak terlihat dalam waktu yang

pendek oleh para pemakainya (Kridalaksan, 1981:18, Haim, 1978:9). Demikian

juga halnya degan bahasa Indonesia. Anggota masyarakat bahasa Indonesia yang

selalu mengadakan kotak bahasa dengan bahasa lain merasakan bahwa untuk hal-

hal tertentu bahasa Indonesia tidak mempunyai konsep dan tanda yang diperlukan

untuk berkomunikasi dengan masyarakat bahasa lain dengan memakai bahasa

Indonesia sebagai medianya.

Dalam keadaan demikian di pungutlah konsep dan tanda dari bahasa lain

dan digunakan dalam bahasa Indonesia. Pemungutan yang dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan menurut Hockett (1962:404-405) adalah salah satu cara

yang dilakukan oleh anggota masyarakat bahasa, sadar atau tidak, untuk

memperluas konsep dan tanda. Cara ini adalah cara yang wajar dan yang mungkin

terjadi dalam perkembangan bahasa apapun.

Untuk pembentukan istilah dari suatu konsep baru ini, Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa telah menyusun langkah-langkah yang harus ditempuh

dalam proses penggunaan konsep-konsep baru ini, beserta syarat-syarat yang

Page 81: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

78

harus dipenuhi. Tujuh langkah yang diberikan oleh Pusat Bahasa itu adalah untuk

memberikan gambaran dari suatu konsep adalah:

1. Menggunakan kata dalam bahasa Indonesia yang lazim dipakai.

2. Menggunakan kata dalam bahasa Indoensia yang sudah tidka lazim

dipakai.

3. Menggunakan kata dalam bahasa serumpun yang lazim dipakai.

4. Menggunakan kata dalam bahasa serumpun yang tidak lazim dipakai.

5. Menggunakan kata dalam bahasa Inggris,

6. Menggunakan kata dari bahasa asing lain yang internasional.

7. Memilih dari keenam kata baru yang digunakan untuk konsep baru

tersebut.

Untuk keempat langkah pertama, syarat-syarat yang harus dipenuhi

adalah:

1. Ungkapan baru itu singkat.

2. Makna ungkapan baru itu tidak menyimpang.

3. Unsur baru itu tidak berkonotasi buruk, dan

4. Ungkapan itu sedap didengar.

Page 82: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

79

PROSES PEMBENTUKAN ISTILAH

Langkah 1 Istilah Baru 1

Langkah 2 Istilah baru 3

Istilah baru 4

Langkah 3 Istilah baru 5

Langkah 4

Langkah 5

Langkah 6 Istilah baru 6

Langkah 7

Sejalan dengan pedoman pembentukan istilah itu, Kridalaksana

(1980:45) dalam artikelnya “Perkembangan dan Pengembangan Kosa Kata

Bahasa Indonesia”, juga mengatakan bahwa beberapa cara untuk menciptakan

ungkapan-ungkapan baru dalam bahasa Indonesia adalah:

Konsep A

Kata dalam bahasa Indonesia

yang lazim dipakai

Kata dalam bahasa Indonesia

yang sudah tidak lazim dipakai

Syarat

1. Ungkapan yang

paling singkat.

2. Ungkapan yang

maknanya tidak

menyimpang.

3. Ungkapan yang

tidak berkonotasi

buruk.

4. Ungkapan yang

sedang didengar.

Kata dalam bahasa serumpun

yanglazim dipakai

Kata dalam bahasa serumpun

yang sudah tidak lazim dipakai

Kata dalam bahasa serumpun

yang sudah tidak lazim dipakai

Kata dalam bahasa Inggris

Kata bahasa asing lain yang

internasional

Pilih yang terbaik di antara

istilah baru 1 - 6

Penyerapan dengan

penyesuaian ejaan

dan lafal

Penyerapan tanpa

perubahan

a. Ungkapan asing yang

lebih cocok.

b. Ungkapan asing lebih singkat.

c. Ungkapan asing

memudahkan pengalihan.

d. Ungkapan asing

memudahkan

kesepakatan.

Penerjemahan

Penyerapan

data/penerjemahan

a. Ungkapan asing

dengan arti umum

diterjemahkan dengan arti umum.

b. Ungkapan asing yang

berhubungan diterjemahkan dengan

bersistem.

Istilah Baru 2

Page 83: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

80

1. Menerjemahkan ungkapan asing (bahasa Jawa);

2. Mengadaptasi ungkapan asing (bahasa Jawa) menurut kaidah-kaidah

bahasa Indonesia; dan

3. Mengambil alih ungkapan asing (bahasa Jawa) secara utuh.

Kemudian seperti telah dikemukakan diatas interferensi berbeda dari

pungutan karena interferensi menimbulkan dislokasi pada struktur bahasa yang

sedang digunakan, sedangkan pungutan tidak menimbulkan dislokasi. Juga

interferensi berhubungan dengan ujaran seseorang, sedangkan pungutan

berhubungan dengan sistem atau kaidah bahasa yang digunakan oleh seseorang.

Namun tampaknya, baik Haugen maupun Wienrich tidak memandang

interferensi dan pungutan sebagai dua hal yang berbeda. Hal ini nampaknya

bertolak dari pandangan bahwa bila suatu bentuk interferensi yang telah

berintegrasi dengan bahasa yang digunakan seseorang akan disebut sebagai

bentuk pinjaman atau bentuk pungutan. Dalam penggunaannya, bentuk-bentuk

pinjaman itu digunakan seolah-olah merjpakan bagian dari bahasa asing.

Berdasarkan taraf integrasinya, bentuk-bentuk pinjaman dari bahasa Jawa

dalam bahasa Indonesia itu dapat dibagi atas:

1. Bentuk-bentuk yang diambil sepenuhnya, dan

2. Bentuk-bentuk yang diambil dengan menyesuaikan pengucapan dan

penulisannya dengan kaidah bahasa Indonesia (Marzuki, 1977:4).

Hal ini sesuai dengan pendapat Soenjono Dardjowidjojo (1966:18) yaitu:

“When linguistic borrowing occurs, there is almost always a possibility of

adaptation on the part of the recipient language, be it on the phonological,

grammatical or semantic component.”

Seterusnya ia menerangkan bahwa “... on the semantic component such

phenomenon as narrowing, widening, euphemism, loan translation, etc, are

found.”

Sebagai contoh mengenai penyempitan arti (narrowing) ini dapat

dikemukakan penggunaan kata adikuasa. Dalam bahasa Jawa adikuasa berarti

Page 84: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

81

sangan berkuasa, sedangkan kata adikuasa yang dikenal dalam bahasa Indonesia,

yang semula dipinjam dari bahasa Jawa, adalah Amerika yang dianggap paling

berkuasa di dunia. Di sini kita lihat menyempitnya arti kata adikuasa, dari kata

yang lebih luas artinya, menjadi kata yang memiliki arti khusus.

Eufemism adalah penggunaan kata-kata yang lebih halus atau indah

menerangkan sesuatu. Kata mati, misalnya, dapat diperhalus dengan meninggal,

atau berpeluang. Tetapi sehubungan dengan peminjaman bentuk-bentuk asing,

eufemism ini lebih mengarah pada penggunaan kata-kata asing untuk kelihatan

lebih bergaya. Pada masyarakat bahasa Indonesia di kota-kota besar sekarang ini,

misalnya, sering terdengar penggunaan kata swalayan untuk supermarket yang

besar atau pondok untuk warung.

Pemungutan kata, kata serapan, peminjaman kata

merupakan sebuah

fenomena linguistik yang kajiannya sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah

bahasa (Guilbert, 1975: 89). Menurut Niklas-Salminen (1997: 83), tidak seperti

proses pembentukan kata lainnya (dérivation, composition, abréviation, dan

siglaison), peminjaman kata memperlihatkan kekhasan dalam menghasilkan

kesatuan bahasa yang baru tanpa menggunakan unsur leksikal yang sebelumnya

telah ada dalam suatu bahasa tertentu.

Suatu pinjaman dapat diterima ke dalam kosakata suatu bahasa

berdasarkan beberapa bentuk sebagai berikut:

1) Xénisme

Xénisme ditunjukkan dengan penggunaan kata asing yang tetap memiliki

bentuk dan makna yang sama dengan kata dalam bahasa aslinya. Kata yang

termasuk dalam xénisme biasanya berupa nom propre, nama keluarga, dan nama

geografis. Sehubungan dengan penggunaan kata asing tersebut, dapat dirujuk pada

pernyataan Guilbert (1975: 92) bahwa pemilihan istilah asing (dapat)

menghasilkan efek eksotisme. Contoh kata pinjaman dari bahasa Prancis yang

berupa xénisme dapat ditemukan dalam bidang gastronomi, seperti hors-d’œuvre,

dan dalam bidang mode, seperti haute couture.

Page 85: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

82

2) Perubahan fonologis

Kata pinjaman dari bahasa asing yang masuk ke dalam kosakata suatu

bahasa memiliki kemungkinan untuk mengalami perubahan fonologis,

disesuaikan dengan pelafalan bahasa peminjam. Tidak jarang juga, terdapat dua

cara pelafalan, seperti dalam bahasa Prancis, kata pull-over lebih sering dilafalkan

dengan cara Prancis, yaitu [pylɔvɛr] dibandingkan dengan [pulɔvœr] (Guilbert,

1975: 96).

3) Perubahan morfo-sintaksis

Selain perubahan fonologis, sebuah kata pinjaman juga dapat mengalami

perubahan dalam tataran morfo-sintaksis. Salah satu contoh perubahan ini

ditunjukkan dengan adanya penggantian ataupun penambahan sufiks tertentu yang

khas dalam bahasa sasaran, seperti sprint > sprinter, sprinteur dan gadget >

gadgétiser, gadgétisation, gadgetière, gadgétophile (Guilbert, 1975: 97). Selain

itu, kata pinjaman dari bahasa asing juga dapat digunakan sebagai elemen kedua

dari kata majemuk (composition) yang disandingkan dengan kata Prancis, seperti

express > auberge-express, auto-express, cafétaria- express, consultation express,

métro-express (Guilbert, 1975: 97).

Penulisan Unsur Serapan dalam Kosakata

Kaidah penulisan unsur serapan dalam kosakata terdiri atas tiga kaidah.

Kaidah tersebut berturut-turut dapat dilihat sebagai berikut.

1. Kosakata Bahasa Indonesia

Kata bahasa Indonesia dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,

baik yang lazim maupun yang tidak lazim, yang memenuhi salah satu syarat atau

lebih yang berikut ini.

a. Kata yang dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan,

atau sifat yang dimaksudkan, seperti tunak (steady), telus (percolate), dan

imak (simulate).

b. Kata yang lebih singkat daripada yang lain beracuan sama, seperti gulma

jika dibandingkan dengan tumbuhan penggaggu, suaka (politik), jika

dibandingkan dengan perlindungan (politik).

Page 86: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

83

c. Kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar

(eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes, tunakarya

jika dibandingkan dengan penganggur.

Di samping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru

atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makana asalnya.

Misalnya, berumah dua, garam, garis bapak, gaya, hari jatuh, hitung dagang,

pejabat teras, peka, suaka politik, tapak, titik sudut.

2. Kosakata Bahasa Serumpun

Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat

dapat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang

dimaksudkan maupun yang tidak lazim yang memenuhi ketiga syarat yang

disebutkan di atas, misalnya.

Tabel 2. Kaidah Penulisan Kosakata Bahasa Serumpun Baik yang Lazim

dan Tidak Lazim

Istilah yang lazim

gambut (Banjar)

nyeri (Sunda)

timbel (Jawa)

peat (Inggris)

pain (Inggris)

lead (Inggris)

Istilah yang tidak lazim

gawai (Jawa)

luah (Bali, Bugis,

Minangkabau, Sunda)

device (Inggris)

discharge (Inggris)

3. Kosa Kata Bahasa Asing

Jika dalam bahasa Indonesia atau bahasa serumpun tidak ditemukan

istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan

Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan menyerap,

dan menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing. Kaidah penulisan kosa

kata bahasa asing dibagi menjadi lima kaidah, sebagai berikut.

a. Penerjemahan Istilah Asing

Istilah asing dapat dibentuk dengan menerjemahkan istilah asing.

Page 87: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

84

Misalnya:

samenwerking kerja sama

balanced budget anggaran berimbang

Dalam penerjemahan istilah asing tidak selalu diperoleh, dan tidak selalu

perlu bentuk yang selalu berimbang arti satu-lawan-satu yang pertama-tama

harus diikhtiarkan ialah kesamaan dan kepadanan konsep, bukan kemiripan

bentuk luarnya atau makna (semantic field) dan ciri makna istilah bahasa asing

masing- masing perlu diperhatikan. Misalnya:

begrotingspost mata anggaran

brother-in- law ipar laki-laki

medication pengobatan

network jaringan

Istilah dalam bentuk positif sebaiknya tidak diterjemahkan dengan istilah

dalam bentuk negatif dan sebaliknya. Misalnya, bound morpheme diterjemahkan

dengan morfem terikat bukan dengan morfem tak bebas.

b. Penyerapan Istilah Asing

Demi kemudahan pengalihan antarbahasa dan keperluan masa depan,

pemasukan istilah asing yang bersifat internasional, melalui proses penyerapan

dapat dipertimbangkan jika salah satu syarat atau lebih yang berikut ini dipenuhi.

1) Istilah serapan yang dipilih lebih cocok karena konotasinya.

2) Istilah serapan yang dipilih lebih singkat dibandingkan dengan

terjemahan Indonesianya.

3) Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah tercapainya kesepakatan

jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya.

Proses penyerapan itu dapat dilakukan dengan atau tanpa pengubahan

yang berupa penyesuaian ejaan dan lafal.

Page 88: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

85

Tabel 3. Kaidah Penulisan Peyerapan Istilah Asing

Istilah Asing Istilah Indonesia

yang Dianjurkan

Istilah Indonesia yang Tidak

Dianjurkan

1. Anus

feces

urine

2. amputation

decibel

liprounding

marathon

oxygen

chemistry

3. dysentery

energy

horizon

narcotic

anus

feses

urine

amputasi

desibel

labialisasi

marathon

oksigen

kimia

desentri

energi

horizon

narkotik

lubang pantat

tahi

kencing

(pembuangan) anggota badan

satuan ukuran kekerasan suara

pembundaran bibir

lari jarak jauh

zat asam

ilmu urai

sakit murus; berak darah;mejan

daya; gaya; kekuatan

kaki langit; ufuk; cakrawala

madat; obat bius; candu

c. Penyerapan dan Penerjemahan Sekaligus

Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan jalan menyerap dan

menerjemahkan istilah asing sekaligus. Misalnya:

bound morpheme morfem terikat

clay colloid koloid lempung

clearance volume volume ruang bebas

subdivision subbagian

d. Macam dan Sumber Bentuk Serapan

Istilah yang diambil dari bahasa asing dapat berupa bentuk dasar atau

bentuk turunan. Pada prinsipnya dipilih bentuk tunggal (singular), kecuali jika

konteksnya condong pada bentuk jamak (plural). Pemilihan bentuk tersebut

dilakukan dengan mempertimbangkan (1) konteks situasi dan ikatan kalimat,

(2) kemudahan belajar bahasa, dan (3) kepraktisan. Demi keseragaman, sumber

rujukan yang diutamkan adalah istilah Inggris yang pemakaiannya sudah

internasional, yakni yang lazim oleh para ahli dalam bidangnya. Penulisan

istilah itu sedapat-dapatnya dilakukan dengan mengutamakan ejaanya dalam

bahasa sumber tanpa menghabiskan segi lafal. Misalnya:

atom atom electron electron

fundamental fundamental mathematics matematika

Page 89: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

86

system sistem

Catatan:

Istilah asing yang sudah diserap dan sudah lazim dipergunakan sebagai

istilah Indonesia masih dapat dipakai sungguhpun bertentangan dengan salah

satu kaidah pembentukan istilah. Misalnya:

dommekracht (Belanda) dongkrak

fikr (Arab) pikir

parceiro (Portugis) persero

winkel (Belanda) bengkel

e. Istilah Asing yang Bersifat Internasional

Istilah asing yang ejaannya bertahan dalam banyak bahasa dipakai juga

dalam bahasa Indonesia dengan syarat diberi garis bawah atau dicetak miring.

Misalnya:

allegro moderato dengan kecepatan sedang (dalam musik)

ceteris paribus jika hal-hal lain tetap tidak berubah

esprit de corps semangat setia kawan; rasa kesetiakawanan

kelompok‟

in vitro di dalam tabung; melalui percobaan laboratorium

status quo keadaan yang sekarang

vis-à-vis terhadap; (yang) berhadapan dengan

Penulisan Unsur Serapan pada Ejaan dalam Peristilahan

Kaidah penulisan unsur serapan pada ejaan dalam peristilahan terdiri atas

beberapa kaidah. Kaidah tersebut secara berturut-turut antara lain ejaan fonemik,

ejaan etimologi, transliterasi, ejaan nama diri, dan penyesuaian ejaan.

1) Ejaan Fonemik

Penulisan istilah pada umumnya berdasarkan pada ejaan fonemik; artinya

hanya satu bunyi yang berfungsi dalam bahasa Indonesia yang dilambangkan

dengan huruf. Misalnya:

presiden bukan president

standar bukan standard

teks bukan text

Page 90: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

87

2) Ejaan Etimologi

Untuk menegaskan makna yang berbeda, istilah yang homonim dengan

kata lain dapat ditulis dengan mempertimbangkan etimologinya, yakni sejarahnya,

sehingga bentuknya berlainan sehingga lafalnya mungkin sama.

3) Transliterasi

Pengejaan istilah dapat juga dilakukan menurut aturan transliterasi yakni

penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, lepas dari

bunyi lafal yang sebenarnya. Hal itu misalnya menurut anjuran Internasional

Organization for Standardization (ISO) pada huruf Arab (rekomendasi ISO-R

233), Yunani (rekomendasi ISO-R 315), Siril (Rusia) (rekomendasi ISO-R 9)

yang dialihkan ke huruf Latin. Misalnya:

yaum ul-adha (hari kurban)

suksma (sukma)

psyche (jiwa, batin)

moskva (Moskwa, Moskou)

4) Ejaan Nama Diri

Ejaan nama diri, termasuk merek dagang, yang di dalam bahasa aslinya

ditulis dengan huruf Latin, tidak diubah. Misalnya, Baekelund, Cannizaro,

Aquadog, Daeron. Nama diri yang bentuk aslinya ditulis dengan huruf lain dieja

menurut rekomendasi ISO, ejaan Inggris yang lazim, atau ejaan Pinyin (Cina).

Misalnya, Keops, Sokrates, Ivanovic Mendellev, Anton Chekov, Mao Zedong,

Beijing.

5) Penyesuaian Ejaan

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari

pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing seperti

Misalnya:

bank dengan bang

sanksi dengan sangsi

Page 91: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

88

Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya,

unsur pinjaman dari bahasa Indonesia dapat dibagi atas tiga golongan besar.

Proses Penyerapan Bahasa Asing

Proses penyerapan kata umum unsur serapan bahasa asing menurut

Chaer (1993:73) ada tiga cara yaitu:

a. Cara audial

Proses penyerapan secara audial merupakan suatu penyerapan unsur.

b. Cara visual

Proses penyerapan secara visual merupakan suatu penyerapan unsur

asing melalui indra penglihatan.

c. Audio visual

Proses penyerapan audio visual merupakan suatu proses penyerapan

unsur asing melalui pendengaran dan penglihatan sekaligus.

Selanjutnya menurut Soedjito (1998:73) mengemukakan kata umum unsur

serapan dibagi tiga golongan, yaitu

a. Adopsi

Adopsi adalah pungutan secara utuh tanpa perubahan dan penyesuaian.

Contoh: fase-fase, fasal – fasal.

b. Adaptasi

Adaptasi adalah penyerapan yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah

bahasa Indonesia. Dalam penyesuaian kata–kata asing tersebut diusahakan tidak

berbeda dengan ejaan asingnya. Perubahan hanya seperlunya saja sehingga

bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan ejaan asingnya. Contoh:

Congres – kongres.

c. Pungutan

Pungutan terjemahan merupakan pengutan yang dihasilkan dengan

menerjemahkan kata/istilah tanpa mengubah makna konsep gagasan (makna

konsep harus sama/sepadan). Bentuk terjemahan yang dihasilkan ada dua

macam, yaitu:

Sama, contoh: batasan – definisi.

Tidak sama, contoh makalah – working paper.

Page 92: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

89

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Data penelitian ini diambil dari sumber surat kabar harian Waspada,

Analisa, dan Mimbar Umum yang terbit di Medan. Data diambil pada masa 2

tahun Era Reformasi Mei 1998 smapai dengan Mei 2000. Dipilihnya Era

Reformasi sebab pada era tersebut perubahan pemerintah dan terutama perubahan

budaya sangat signifikan dengan mencuatnya nilai transparansi dan demokrasi

yang berdampak juga pada perkembangan kosa kata dalam bahasa Indonesia.

Adapun alasan dalam menentukan surat kabar Waspada, Analisa, dan

Mimbar Umum karena ketiga surat kabar tersebut diyakini merupakan surat kabar

yang mempunyai oplah yang besar di kota Medan dibandingkan dengan surat

kabar lainnya. Data yang diambil merupakan tulisan wartawan dari surat kabar

terebut dan data yang dicari adalah bahasa Jawa yang masuk ke dalam bahasa

Indonesia yang digunakan dalam menulis berita.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam kegiatan pengumpulan data, diadakan pencermatan dan

pemeriksaan data. Kegiatan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Membaca surat kabar-surat kabar yang dijadikan sumber data dengan

cermat.

2. Memfokuskan perhatian pada 2 kelompok yang telah ditemukan yaitu:

Tajuk

Berita

3. Menandai kata yang merupakan bahasa Jawa.

4. Membuat daftar kata-kata yang ditemukan dari setiap sampel.

5. Memeriksa kedalam Kamus Bahasa Jawa apakah benar kata-kata yang

ditandai dan dicatat di daftar kata dalah benar bahasa Jawa.

6. Jumlah sampel keseluruhan yaitu 150 kelompok dengan keterangan

sebagai berikut: 25 (haruab) x 3 (terbitan) x 2 (kelompok) = 150

kelompok.

Page 93: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

90

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan sebagai berikut:

1. Data yang terkumpul didaftarkan pada selembar kertas (list of word).

2. Data diidentifikasiberdasarkan pengelompokan kata-kata.

3. Data dianalisa dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Data dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya.

b. Menghitung jumlah kata dari setiap kelompok.

c. Membuat persentase berdasarkan jumlah yang telah ditemukan.

Page 94: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

91

BAB VI

ANALISIS DATA PENELITIAN

Secara garis besar, analisis data dilakukan dengan

mengelompokkan masing-masing data sesuai dengan golongannya atau

berikutnya.

Berdasarkan bentuk unsur serapan loanwords, loanblends, dan

loanshifts sesuai dengan data yang telah dianalisis:

1. Loanwords = 645 kata = 98%

2. Loanblends = 13 kata = 1,9%

3. Loanshifts = -

658 kata

TABEL I

PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN

LOANWORDS, LOANBLENDS, DAN LOANSHIFTS

ABJAD 1 2 3

A 45 - -

B 51 - -

C 29 - -

D 36 1 -

E 20 - -

F - - -

G 38 2 -

H 24 - -

I 19 - -

J 17 - -

K 40 - -

L 51 1 -

M 41 3 -

Page 95: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

92

N - - -

O 17 - -

P 58 2 -

Q - - -

R 37 - -

S 40 - -

T 47 2 -

U 18 - -

V - - -

W 17 - -

X - - -

Y - - -

Z - - -

645 13 -

Catatan :

1. Loanwords = 98%

2. Loanblends = 1,9%

3. Loanshifts = -

Page 96: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

93

TABEL II

PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN JENIS

MORFEM

Penggolongan bentuk unsur serapan berdasarkan jenis morfem.

Morfem bebas = 158 kata = 24%

Morfem berimbuhan = 448 kata = 68%

Kata ulang (reduplikasi) = 52 kata = 7,9%

=658 kata

ABJAD 1 2 3

A 15 35 15

B 12 41 7

C 9 18 4

D 5 25 -

E 6 14 -

F - - -

G 10 35 -

H 6 12 2

I 5 7 1

J 8 22 3

K 12 35 -

L 13 40 5

M 8 30 2

N 6 10 2

O - 9 1

P 7 15 5

Q - - -

R 9 25 2

S 8 28 -

T 9 35 1

Page 97: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

94

U - - -

V - - -

W 5 12 3

X - - -

Y - - -

Z - - -

158 448 52

Morfem bebas = 24%

Morfem berimubuhan = 68%

Kata ulang (reduplikasi) = 7,9%

Page 98: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

95

TABEL III

PENGGOLONGAN BENTUK UNSUR SERAPAN BERDASARKAN

KELAS KATA

Penggolongan bentuk unsur serapan berdasarkan kelas kata.

Hasil analisis bentuk pinjaman berdasarkan kelas kata:

Verba = 104 kata = 15.8%

Nomina = 217 kata = 32.9%

Adjektiva = 215 kata = 32.6%

Adverbia = 122 kata = 18.5%

= 658 kata

ABJAD VERBA NOMINA ADJEKTIVA ADVERBIA

A 2 9 25 19

B 21 6 6 11

C - 3 12 9

D 32 6 35 18

E - 2 15 5

F - - 1 -

G 4 4 2 2

H - - - -

I - 1 7 3

J - 7 - 1

K - 47 12 5

L - - - -

M 16 12 15 7

N 7 - 20 3

O - - - -

P 10 93 45 21

Q - - - -

R 6 2 5 4

S 2 10 15 14

Page 99: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

96

T 4 15 - -

U - - - -

V - - - -

W - - - -

X - - - -

Y - - - -

Z - - - -

104 217 215 122

Verba = 14.8%

Nomina = 32.9%

Adjektiva = 32.6%

Adverbia = 18.5%

Page 100: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

97

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini mencoba mengidentifikasi dan membuktikan pengaruh

bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan setelah data dianalisis dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemunculan kategori unsur serapan loanwords lebih sering dibanding

dengan loanblends dan loanshifts.

2. Pemunculan kategori unsur serapand ari struktur morfem yang berimbuhan

lebih kerap dibandingkan dengan morfem bebas dan reduplikasi.

3. Pemunculan unsur serapan dengan kategori kelas kata terlihat lebih kerap

pada kelas kata nomina dan adjektiva dibanding dengan verba dan

adverbia.

Secara umum setelah data diidentifikasi dan dianalisis terbukti bahwa

pengaruh kosa kata bahasa Jawa dalam surat kabar di Medan teridentifikasi

dengan jelas.

Saran-saran

Setelah peneliti melihat hasil analisis dan kesimpulan maka dapat

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi peneliti berikutnya dianjurkan untuk meneliti aspek-aspek lain dari

bahasa Indonesia surat kabar Medan yang mendapat pengaruh dari bahasa

Jawa, seperti gaya bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa.

2. Sumbangan para ahli bahasa dapat diharapkan untuk memberikan

masukan bagi penggunaan bahasa dalam surat kabar khususnya yang

berkenaan dengan unsus pinjaman.

Page 101: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

98

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung.

Appel. Rene. 1976. Sociolinguistiek. Berlin: Het Spectrum.

Aslinda dan Leni S. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Refika

Aditama.

Bloomfield. Leonard. 1933. Language. Chicago: University of Chicago Press.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.

Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidojo. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Denes, Made, dkk. 1994. Interferensi Bahasa Indonesia Dalam Pemakaian

Bahasa Bali di Media Massa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Djabarudi, Slamet. 1980. Peranan Media Massa dalam Pembinaan Bahasa

Indonesia dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia.

Fishman, Joshua. 1972. The Relationship between Micro- and Macro-

Sociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to

Whom and When. In J. B. Pride and Janet Holmes (cds). Sociolinguistics:

Selected Readings. Hammondsworth: Penguin Books Ltd.

Fromklin Victoria, Rodman Robert. 1998. An Introduction to Language.

Harcourt Brace College Publishers: Orlando. Tokyo.

Grosjean. F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism.

Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Guilbert, Louis. 1975. La Créativité Lexicale. Paris: Larousse.

Gunarwan, Asim. 2003. Persepsi Nilai Budaya Jawa di Kalangan Orang Jawa:

Implikasi dan Penggunaan dalam Berkala PELLBA 16. Jakarta: Pusat

Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atmajaya.

Haugen, Einar, Phd. 1968. Bilingualism in the Americas: A Bibliography and

Reserach Guide. Alabama: American Dialect Society.

Page 102: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

99

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford: Stanford University

Press.

Hoffman, Charlotte. 1991. An Introduction to: Bilingualism. Longman: London

and New York.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman: London

and New York.

Hoed, BH. 1978. Ragam Bahasa Cerita dam Cirinya. Makalah dalam Kongres

Bahasa Indonesia.

Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.

Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa (Pengantar).

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta.

_____________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kridalaksana. 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa: Kumpulan Karangan.

Ende: Nusa Indah.

__________. 1980. Perkembangan dan Pengembangan Kosakata Bahasa

Indonesia dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia.

__________. 1981. Bahasa Baku dalam Majalah Pembinaan Bahasa

Indonesia.

__________. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa

Indonesia. Bekasi: Kanisius.

__________. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta.

__________. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mackey, William F. 1968. The Description of Bilingualism dalam Readings in

the Sociology of Language. Joshua a. Fishman, the Hauge: Mouton & Co.

Mackey. 1977. The Evaluation Bilingual Education. Dalam Splosky and

Cooper. 1977. 266-81.

Maryam, Siti. 2011. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Bahasa

Indonesia pada Proposal Program Kreativitas Mahasiswa Prodi Bahasa

dan Sastra Indonesia UNY skripsi S1. Yogyakarta. Fakultas Bahasa dan

Seni UNY.

Page 103: KOSAKATA BAUASA JAWA DALAM SURAT KABAR DIMEDAN

100

Marzuki, A. 1977. Penangkapan Kata-kata Asing dalam Bahasa Indonesia

dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.

Moeliono. 1977. Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri. Jakarta.

________. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Mohamad, Gunawan. 1975. Persoalan Bahasa Indonesia untuk Pers dalam

Pengajaran Bahasa dan Sastra.

Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

. 1984. Morfologi Dialek Jakarta Afiksasi dan Reduplikasi.

Jakarta: Djambatan.

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia

Niklas Salminen, Aïno. 1997. La Lexicologie. Paris: Armand Collin.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1978. Interferensi dna Integrasi dalam Suasana

Keanekabahasaan. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia III.

Poerwadarminta, W.J.S. 1954. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Perpustakaan Perguruan Kementrian P. P. dan K.

Ramlan. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.

Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism. New Jersey: Wiley.

Samsuri. 1981. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Soedjito. 1990. Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Sumarsono dan Paina Partana. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan

Pustaka Belajar.

Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Solo: Henary Offset.

Tarigan, H. G. 2009. Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung: Angkasa.

Thomason. G, Sarah. 2001. Language Contact. Edinburg: Edinburg University

Press Ltd.

Wardhaugh. Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New Jersey:

Blackwell.

Wedhawati dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa.