8
Kriteria Hubungan Istimewa Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal adanya hubungan istimewa di antara Wajib Pajak. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya disebabkan karena (1) kepemilikan atau penyertaan modal, dan/atau (2) adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, (3) Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa diantara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan Hubungan istimewa dianggap ada apabila : a . Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau b . Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau c . terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat. Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

Kriteria Hubungan Istimewa

  • Upload
    vq19

  • View
    408

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kriteria Hubungan Istimewa

Kriteria Hubungan Istimewa

 

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal adanya hubungan istimewa di antara Wajib

Pajak. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan

antara yang satu dengan yang lainnya disebabkan karena (1) kepemilikan atau penyertaan modal,

dan/atau (2) adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, (3) Selain karena hal-

hal tersebut, hubungan istimewa diantara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya

hubungan darah atau karena perkawinan.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan Hubungan istimewa

dianggap ada apabila :

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua

puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan

paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan

antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah

penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke

samping satu derajat.

 

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan

modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.

Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan

penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT

C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C

sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat

hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara

PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di

atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

 

Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau

penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

 

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan

yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang

sama tersebut.

Page 2: Kriteria Hubungan Istimewa

Pengertian Hubungan Istimewa

Menurut pandangan pajak, apabila terjadi suatu transaksi antara pihak-pihak yang

memiliki Hubungan Istimewa, maka besar kemungkinan nilai atau harga transaksi

yang diterapkan dalam transaksi tersebut tidak sesuai dengan kondisi pasar yang

seharusnya alias menerapkan harga tidak wajar.  Kondisi ini jika didiamkan

dikhawatirkan akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara dari bidang

perpajakan.  Sebab dengan menerapkan harga transaksi yang tidak wajar, Wajib

Pajak (WP) dapat merekayasa penghasilan kena pajaknya sehingga jumlah pajak

yang dibayarnya ke negara juga semakin kecil.

Dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, pengertian atau definisi

Hubungan Istimewa diuraikan dalam Pasal 2 UU PPN 1994 dan Pasal 18 ayat (4) UU

PPh 2008.  Sedangkan penjelasan Dirjen Pajak mengenai pengertian Hubungan

Istimewa diuraikan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 tanggal

26 April 1995.

SE Dirjen Pajak tersebut sebenarnya berisi penjelasan mengenai pengertian

Hubungan Istimewa yang ada dalam Pasal 2 UU PPN 1994 yaitu UU PPN Nomor 11

Tahun 1994 yang merupakan amandemen pertama dari UU PPN Nomor 8 Tahun

1983.  Berhubung ketentuan dalam Pasal 2 UU PPN 1994 itu tidak pernah mengalami

perubahan hingga pemberlakuan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, maka ketentuan

dalam SE-18/PJ.53/1995 itu pun masih menjadi acuan para praktisi pajak hingga saat

ini.

Merefer pada ketentuan dan peraturan pajak tersebut, Hubungan Istimewa dalam

konteks pajak dapat terjadi karena terpenuhinya salah satu atau lebih dari tiga

faktor yaitu: faktor kepemilikan atau penyertaan modal, faktor penguasaan

manajemen atau teknologi, dan faktor hubungan keluarga sedarah atau

semenda. Dalam istilah sehari-hari, Hubungan Istimewa ini seringkali disebut juga

dengan afiliasi atau affiliated company.

1. Faktor Kepemilikan atau Penyertaan Modal

Jika kita memiliki penyertaan modal pada perusahaan lain dengan nilai penyertaan

sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari seluruh jumlah modal disetor

perusahaan tersebut, maka dalam hal ini antara kita dan perusahaan lain itu

dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena faktor penyertaan modal secara

langsung.

Misalnya dalam akte maupun neraca PT DEF tercantum jumlah modal disetor Rp

1.000.000.000,- kemudian berdasarkan struktur kepemilikan saham atau modal

diketahui bahwa PT ABC memiliki penyertaan modal atau saham senilai Rp

250.000.000,- (atau lebih).  Dalam hal ini, antara PT ABC dan PT DEF dianggap

memiliki Hubungan Istimewa.

Page 3: Kriteria Hubungan Istimewa

Contoh lain misalnya PT ABC memiliki penyertaan modal atau saham pada PT DEF

sebesar 50% (atau lebih) dari seluruh jumlah modal disetor sementara PT DEF juga

memiliki penyertaan modal atau saham di PT GHI dengan nilai penyertaan 50% (atau

lebih), maka dalam hal ini:

antara PT ABC dengan PT DEF dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena

adanya penyertaan modal secara langsung;

antara PT DEF dengan PT GHI dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena

adanya penyertaan modal secara langsung; dan

antara PT ABC dengan PT GHI dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena

adanya penyertaan modal secara tidak langsung melalui PT DEF (meskipun

misalnya antara PT ABC dan PT GHI tidak saling kenal).

Hubungan Istimewa yang terjadi karena faktor kepemilikan atau penyertaan

modal/saham ini diuraikan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UU PPN 1994 dan Pasal 18

ayat (4) huruf a UU PPh 2008.

2. Faktor Penguasaan Manajemen atau Teknologi

Apabila faktor kepemilikan atau penyertaan modal/saham tidak terjadi, tidak berarti

kita bisa lepas dari konteks Hubungan Istimewa. Sebab seperti dinyatakan pada

Pasal 2 ayat (2) huruf b UU PPN 1994 dan Pasal 18 ayat (4) huruf b UU PPh 2008,

Hubungan Istimewa tetap dapat dianggap ada apabila dua pihak (perusahaan)

berada dalam penguasaan dari satu pihak (orang) yang sama.

Misalnya Bambang Gunawan selain menjadi direktur utama di PT XXX juga menjadi

direktur utama di PT YYY.  Dalam hal ini, antara PT XXX dan PT YYY dianggap

mempunyai Hubungan Istimewa karena faktor penguasaan manajemen, meskipun

misalnya antara PT XXX dan PT YYY tidak saling kenal dan tidak ada penyertaan

modal/saham.

Dalam SE-18/PJ.53/1995 bahkan ada contoh Hubungan Istimewa yang terjadi karena

faktor penguasaan teknologi. Misalnya jika PT XXX produsen minuman dan

menggunakan formula yang diciptakan dan dimiliki oleh PT YYY, maka dalam hal ini

antara PT XXX dan PT YYY dianggap memiliki Hubungan Istimewa meskipun di antara

keduanya tidak ada faktor kepemilikan modal/saham maupun penguasaan

manajemen seperti dicontohkan di atas.

3. Faktor Hubungan Keluarga

Jika kita memiliki usaha atau perusahaan sementara anak kita atau orang tua kita

juga memiliki usaha atau perusahaan mereka sendiri, maka menurut pajak antara

usaha/perusahaan kita dengan usaha/perusahaan milik anak dan orang tua kandung

kita itu dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Begitu juga jika seandainya kakak

atau adik kandung kita punya usaha/perusahaan sendiri, maka antara

usaha/perusahaan kita dengan milik kakak/adik kandung kita dianggap memiliki

Page 4: Kriteria Hubungan Istimewa

Hubungan Istimewa. Ini disebut dengan Hubungan Istimewa karena adanya faktor

hubungan keluarga sedarah.

Bagi kita yang sudah bersuami/beristri dan bila mertua, anak tiri, maupun kakak/adik

ipar memiliki usaha/perusahaan sendiri, maka antara usaha/perusahaan kita dengan

usaha/perusahaan mereka itu pun dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Ini yang

disebut dengan Hubungan Istimewa karena faktor hubungan keluarga semenda

(hubungan keluarga yang terjadi karena adanya perkawinan).

Bagi Anda yang punya istri/suami dan antara Anda dengan istri/suami Anda ada

perjanjian tertulis pisah harta dan penghasilan, juga harus hati-hati mengenai

Hubungan Istimewa ini.  Sebab seperti dijelaskan di butir 2.3. SE-18/PJ.53/1995,

antara suami-istri ini pun dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Jadi bila suami-istri

itu punya usaha/perusahaan sendiri-sendiri, maka nilai atau harga dari setiap

transaksi yang dilakukan antar mereka dapat dicurigai mengandung unsur transfer

pricing.

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Istilah kewajaran dan kelaziman usaha yang merupakan padanan istilah arm’s length principle (ALP), berkaitan

erat dengan pemahaman kita atas transfer pricing (penentuan harga transfer), related party (hubungan

istimewa), dan penghindaran pajak (tax avoidance). Semua istilah ini bisa kita temukan dalam Pasal 18 ayat (3)

Undang-undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu Pasal anti penghindaran pajak (anti tax

avoidance rule).

Ketentuan  tersebut menegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali

besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya

sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan

menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price

method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau

metode lainnya.

Sesuai dengan penjelasannya, maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya

penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa,

terdapat kemungkinan Wajib Pajak mengatur harga transaksi agar memperkecil penghasilan kena pajak. Untuk

itu, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai

dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh ini, Direktur Jenderal Pajak telah

menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan

Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Page 5: Kriteria Hubungan Istimewa

Pengertian

PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle/ALP)

sebagai prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang

mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara

pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam

transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau

berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai

Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding

Dari pengertiam tersebut kita bisa memahami bahwa penerapan ALP dilakukan terhadap transaksi antara pihak-

pihak yang memiliki hubungan istimewa (related party). Dengan kata lain, apabila transaksi dilakukan dengan

pihak yang tidak memiliki hubunggan istimewa, ALP tidak perlu dilakukan sebagaimana transaksi independen.

Nah, pengertian dan definisi hubungan istimewa sendiri diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak

Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN 1984. Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang

PPh, hubungan istimewa dianggap ada jika :

1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada

Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua

Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut

terakhir; atau

2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah

penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke

samping satu derajat.

Adapun jenis transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang dapat mengakibatkan

pelaporan penghasilan dan pengurangan yang tidak sesuai dengan prinsip ALP antara lain :

1. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud;

2. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud

maupun harta tidak berwujud;

3. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;

4. alokasi biaya; dan

5. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau

pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan

dimaksud.

Kewajiban Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Wajib Pajak yang melakukan transaksi-transaksi di atas dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib

untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;

2. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;

Page 6: Kriteria Hubungan Istimewa

3. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan

metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak

dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan

4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Namun demikian, atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui Rp 10 .000.000,00

(sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban melakukan langkah-langkah tersebut di atas, namun

Wajib Pajak tetap diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Yang dimaksud dengan Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat

Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai

Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak

yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua

jenis transaksi dimaksud.

Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang

mempunyai Hubungan Istimewa. Wajib Pajak harus menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat

atas transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Terdapat beberapa metode

harga transfer yang diatur dalam PER-43/PJ/2010 ini, yaitu :

1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP), yaitu

metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi

yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi

yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau

keadaan yang sebanding

2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer

yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara

pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah

dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk

tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk

yang dilakukan dalam kondisi wajar

3. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan

dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi

dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh

perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa

pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis

laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan

atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut

dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan

pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak

yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan

Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya,

Page 7: Kriteria Hubungan Istimewa

terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak

yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas

transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba

bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak

mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.

Demikian gambaran singkat tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang harus diterapkan

dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tulisan berikutnya saya akan

coba mendetailkan setiap langkap penerapan prinsip ini sesuai dengan PER-43/PJ/2010.