Click here to load reader
Upload
arif-rahman
View
317
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Catatan sejarah panjang perjuangan Ahmad Dahlan dalam membangun dan memajukan umat Islam dari keterbelakangan, sangat terasa gigihnya memperjuangkan citacita besarnya. Dan menurutnya perjuangan itu akan berhasil manakala ditopang oleh dua komponen utama yang melandasinya, yakni pendidikan dan dakwah.
Citation preview
KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN
Oleh. Arif Rahman
A. Tujuan Pendidikan
Catatan sejarah panjang perjuangan Ahmad Dahlan dalam membangun dan
memajukan umat Islam dari keterbelakangan, sangat terasa gigihnya memperjuangkan cita-
cita besarnya. Dan menurutnya perjuangan itu akan berhasil manakala ditopang oleh dua
komponen utama yang melandasinya, yakni pendidikan dan dakwah. Dari sinilah Ahmad
Dahlan begitu semangat untuk melakukan terobosan pembaharuan lewat dua elemen
tersebut. Sebab lembaga pendidikan masih dianggap sebagai media yang paling strategis
dalam menyampaikan cita-cita perubahan. (Heri Sucipto: 112).
Pendidikan yang merupakan amal usaha Muhammadiyah yang diadakan pertama
kali bahkan sebelum Muhammadiyah lahir dan berkembang oleh Ahmad Dahlan sendiri.
Kini setelah lebih dari satu abad, pendidikan itu pulalah yang merupakan amal usaha
Muhammadiyah yang paling besar, banyak dan berpengaruh, si samping usaha dakwah
melalui jalur non formal seperti pengajian rutin, jumlahnya akan jauh lebih besar dari
usaha/amal usaha Muhammadiyah melalui sekolahan tersebut. (Abdul Munir Mulkan,
1990: 94)
Zamroni mengatakan, tujuan pendidikan tiada lain untuk mengembangkan
jasmani, mensucikan rohani dan menumbuhkan akal sehingga manusia mampu
melaksanakan ibadah kepada-Nya dan melaksanakan fungsi kekhalifaan, sehingga mampu
melaksanakan rekayasa, untuk memperoleh Ridho dan karunia-Nya. (Zamroni, 2003: 6)
Sejalan pendapat di atas, lebih dulu pernah diungkapkan dalam tulisannya “Tali
Pengikat Hidup” K.H. Ahmad Dahlan mengatakan:
“Sehabis-habisnya pendidikan akal ialah dengan Ilmu Manthiq (Pembicaraan yang cocok dengan kenyataan), semua ilmu pembicaraan harus dengan belajar, sebab tidak ada manusia yang mengetahui berbagai nama dan bahasa, tanpa ada yang mengajarnya. Demikian juga yang mengajar itu dapat mengerti dari guru-gurunya, dan demikian seterusnya. Maka dari itu, hal di atas menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya mengetahui asal pengetahuan, kecuali orang yang
1
mendapat petunjuk dari Tuhan yang Mengetahui dan Bijaksana” (Sukrianta AR, 1985: 6)
Pandangan KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam bertitik tolak dari upaya
pengembangan akal melalui proses pendidikan yang pada akhirnya akan bermuara pada
tumbuhnya kreatifitas dan memberikan implikasi bagi warga Muhammadiyah untuk
memiliki semangat tajdid (pembaharuan) dalam pendidikan Islam
Melalui gagasan pendidikan yang dirintis K.H. Ahmad Dahlan, ia mencoba
menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara ideologi dan praktis. Aspek
idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk
membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik umum
maupun agama, dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk bekerja membangun
masyarakat. Sedangkan aspek secara praktis adalah mengacu kepada metode belajar,
organisasi sekolah, mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern.
Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah. (Syaifullah,
2010, 625-626)
Hery Sucipto menambahkan, tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut
Ahmad Dahlan adalh mencakup (a) baik budi, alim dalam agama, (b) luas pandangan, alim
dalam ilmu-ilmu dunian (umum), (c) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
(Hery Sucipto, 2010: 123)
Jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah
untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepankan tajdid atau tanzih dalam setiap
pemikiran dan gerakannya, bukan ulama atau pemikir yang say Yes pada kemapanan yang
sudah ada (established). K.H. Ahmad Dahlan memadukan dua sistem tersebut untuk
menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat
dalam menjalankan perintah agama.
B. Kurikulum Pendidikan
Usaha modernisasi dan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yang
dilakukan Muhammadiyah pada awal kelahiran organisasi ini, tampak dari pengembangan
kurikulum melalui dua jalan yaitu: Mendirikan tempat-tempat pendidikan di mana ilmu
2
agama dan ilmu umum diajarkan bersama-sama. Dan memberikan tambahan pelajaran
agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler. (Hery Sucipto, 2010: 119)
Muatan kurikulum dalam sekolah Muhammadiyah lebih memberikan muatan yang
besar keada ilmu-ilmu umum, sedangkan dalam aspek keahamaan minimal alumni sekolah
Muhammadiyah dapat melaksanakan ibadah shalat lima waktu, dan shalat-shalat sunatnya,
membaca kitab suci Al-Quran dan menulis huruf Arab, mengetahui prinsip-prinsi akidah
dan dapat membedakan bid’ah, khurafat, syirik dan muslim yang muttabi’ (pengikut)
dalam pelaksanaan ibadah. Jalur pendidikan yang dikembangkan warga Muhammadiyah
meliputi jalur sekolah atau madrasah dan jalur luar sekolah. Jalur sekolah yang terdiri dari
madrasah Muallimin Muhammadiyah dan sekolah umum dengan menambah pelajaran
agama Islam berkisar antara 10-15% dalam kurikulumnya. Sedangkan jalur luar sekolah
diselenggarakan kursus-kursus yang khusus memberikan pelajaran agama Islam, seperti
kursus Mubalighin, Wustho Mualimin, Zu’ama, Za’imat dan majlis-majlis taklim.
Pendidikan agama Islam yang diberikan pada sekolah-sekolah di Muhammadiyah
terangkum dalam mata pelajaran Islam dan Kemuhammadiyah-an yang merupakan
sistematisasi dan metodologis interaksi formal usaha pengarahan perkembangan manusia
sebagai ‘abid (hamba) dan khalifah yang terikat dalam sistematika gerakan Islam dan
dakwah. (Hery Sucipto, 2010: 122)
Dari sekian banyak sekolah Muhammadiyah yang telah berdiri waktu itu, nampak
sekolah Muhammadiyah lebih menekankan pengembangan ilmu umum dengan peranan
sekolah sebagaimana yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal
ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan dengan pembaharuan sistem pendidikan yang
dikembangkan Ahmad Dahlan.
C. Sistem Pembaharuan
Ide tajdid Muhammadiyah dalam bidang pendidikan kelihatannya lahir karena rasa
tidak puas Kyai Ahmad Dahlan terhadap sistem pendidikan yang ada. Dua sistem
pendidikan yang berkembang saat itu adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang
diselenggarakan dalam pondok-pondok dengan kurikulum seadanya. Pada umumnya
seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Yang lainnya adalah
3
pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran
agama tidak diberikan.
Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem
pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan yang pertama
menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat
dalam menjalankan perintah agama. Sementara tie yang kedua menghasilkan para pelajar
yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama,
bahkan berpandangan negatif terhadap agama. (Sutarmo, 2005: 41-40)
Kyai Ahmad Dahlan memandang kedua jenis pendidikan ini dengan kacamata
tersendiri. Ia tidak cenderung antipati terhadap salah satu dari keduanya. Namun ia justru
melihat segi-segi positif dan negatif dari keduanya. Langkah ini selanjutnya direalisasikan
dengan memadukan segi-segi positif dari kedua sistem itu sehingga terbentuk model
pendidikan yang diinginkan.
Sistem pendidikan baru diperkenalkan oleh K.H.A. Dahlan dengan
menggabungkan dua aspek, yaitu aspek yang berkenaan secara ideologis dan praktis.
Aspek Ideologisnya mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu untuk
membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprehensif, baik umum
maupun agama, dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk bekerja membangun
masyarakat. Sedangkan aspek secara praktis adalah mengacu kepada metode belajar,
organisasi sekolah, mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern.
(Sutarmo, 2005: 40)
Ketika sebagian ulama dan umat Islam bersikap antipati terhadap sistem
pendidikan kolonial Belanda (dengan model sekolah dan kelas) umpamanya, kiai berusaha
melakukan terobosan untuk mengadopsi dan menyempurnakan sistem itu dengan nilai-nilai
plus pendidikan agama Islam. Sementara pada masa itu, yang berlangsung di kalangan
umat Islam adalah sistem pendidikan Islam tradisional seperti pondok-pondok pesantren,
yang biasanya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama secara klasik. (Asep Purnama
Bahtiar: 77)
Disini gagasan maju kyai bisa dilihat. Beliau tidak menentang sistem pendidikan
tradisional Islam; dan juga tidak antipati terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda.
4
Dalam kasus ini kiai memadukan keistimewaan masing-masing sistem pendidikan sekuler
dan menambahnya dengan mata pelajaran agama Islam (dirasah Islamiyah), dan begitu
pula sebaliknya. Di antara sekolah rintisannya, dulu dikenal nama “HIS met de Quran”,
dan “Qismul Arqa” yang kemudian berubah menjadi Madrasah Mu’allimmin dan
Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah. (Asep Purnama Bahtiar: 78)
Pada kenyataannya, ide kreatif dan gagasan kiai dalam bidang pendidikan dan
sosial-kemasyarakatan itu menjadi salah satu kunci keberhasilan bagi pengembangan
Muhammadiyah seterusnya. Kuntowijoyo menggarisbawahi keberhasilan KH. Ahmad
Dahlan dalam mengembangkan Muhammadiyah itu berkaitan dengan dua hal. Pertama,
secara kultural gerakan kiai di bidang pendidikan berada pada posisi garis depan. Kedua,
gerakan sosial-ekonominya secara kultural juga berada pada posisi gari depan.
Dengan sistem pendidikan baru yang diperkenalkannya melalui penggabungan
pendidikan tradisional dan pendidikan sekuler dengan modifikasi metodologi dari sistem
pendidikan modern, menurut Mitsuo Nakamura (1993), Muhammadiyah memperoleh hasil
pendidikannya itu dengan berlipat ganda. Pertama, Muhammadiyah telah menguatkan
kesadaran nasional melalui ajaran Islam. Kedua, melaui sekolah-sekolah Muhammadiyah
ide pembaruan Islam dapat tersebar luas. Ketiga, Muhammadiyah telah turut andil dalam
meningkatkan Ilmu Pengetahuan modern secara praktis.
Maka pertanyaan apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan
Muhammadiyah sudah terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhammadiyah yang
ada sampai saat sekarang lebih condong kepada sistem liberal di satu sisi dan disisi lain
sistem konservatif. Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam
sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih
memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan
Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, modernkan peralatan sekolah serta berbagai
usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif
adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti (sorogan dan weton) menempatkan murid
berada dalam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak
diperkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan
sebuah kemapanan yang harus dipertahankan. (Adi Asmara, 2010: 629-630)
5
D. Orientasi Pemikiran Pembaharuan
Pendidikan Muhammadiyah terlahir dari gagasan pemikiran pendidikan yang
diusung oleh Ahmad Dahlan ketika itu. Heri Sucipto menilai orientasi pendidikan yang
dibangun Ahmad Dahlan adalah sistem pendidikan modern dengan menggunakan sistem
klasikal. Dengan menggambungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan
tradisional secara integral. Pada waktu itu, apa yang dilakukannya merupakan sesuatu
yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam.
Kyai Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok pembaharu yang menonjolkan gerakan
amaliah. Selain itu Kyai dari kauman ini dikenal sebagai penggerak perjuangan Islam yang
tangguh, bervisi jauh kedepan, dan menampilkan karya kepeloporan. (Haedar Natsir, :
117)
Haedar Natsir mengatakan bahwa Ahmad Dahlan adalah manusia-amal, karena
dalam hidupnya beliau lebih mengutamakan beramal daripada berteori. Ia dikenal sebagai
praktisi langsung dalam pendidikan. Ia berbuat lebih banyak ketimbang berteori. Terbukti
semasa hidupnya sulit melacak hasil karya tulisan-tulisan beliau, namun yang ditunjukkan
Ahmad Dahlan adalah berbuat dan mengamalkan langsung buah pikirannya yang sampai
saat ini bisa kita lihat dan rasakan.
Selain dibidang keagamaan, Ide pembaharuannya juga dituangkan dalam
mempelopori pendirian sekolah Islam modern. Sebenarnya sejak tahun 1911 Kyai Dahlan
telah mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
(Adaby Darban, 2000: 13). Madrasah tersebut sebagai perintisan lanjutan dari “sekolah”
yang dikembangkan kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum kepada para muridnya dari
Sekolah Raja (Kweek School) dan Sekolah Pamong Praja (OSVIA) di rumahnya.
Inilah merupakan “Sekolah Muhammadiyah” pertama, yakni sebuah sekolah
agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam
waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah ruangan berukuran 2,5 x 6 m dalam rumah
6
kyai Dahlan. Sekolah tersebut menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan
agama dan pengetahuan umum dengan cara baru ala pendidikan Barat. (Haedar Natsir,
2010: 121)
Dengan demkian Muhammadiyah berhasil mendekatkan dua golongan rakyat,
yakni kaum intelek Indonesia yang memperoleh didikan model Barat dengan selebihnya
yang melulu mendapatkan pelajaran agama, dua golongan yang sudah mulai terpisah dan
tercerai. (Amin Rais dkk, 1985 : 15)
Muhammadiyah telah melakukan pembaharuan pendidikan agama dengan jalan
modernisasi dalam sistem pendidikan, menukar sistem pondok dan pesantren dengan
sistem pendidikan modern yang sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.
Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang khas agama namun yang bersifat umum,
dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Bagi Slamet Abdullah, inilah yang membedakan antara Muhammadiyah dengan
lembaga soaial keagamaan lainnya adalah perhatiannya yang serius terhadap masalah
lembaga pendidikan. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaharu dalam pendidikan yang
terinspirasi oleh pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir. Menurutnya, salah satu
kemunduran umat Islam Indonesia disebabkan karena tidak tepatnya mekanisme dan sistem
pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan Islam sehingga tidak mampu
menghasilkan para mujtahid handal yang mampu mengamban tugas sebagai khalifah Allah
di muka bumi. Sistem pendidikan yang hanya mengutamakan hafalan, miskin kritik dan
miskin skill menjadikan umat Islam jumud dan terbelakang. (Slamet Abdullah, Muslich
KS: 2010, 90-91)
E. Kritik terhadap Realita Pendidikan Muhammadiyah
Dalam tubuh Muhammadiyah terdapat kejenuhan, yang disebabkan karena apa
yang selama ini dikerjakan terasa menjadi hal-hal yang rutin. Dikatakan pula bahwa
seakan-akan Muhammadiyah tidak lagi mampu menghadirkan jawaban yang tepat
menghadapi tantangan-tantangan masyarakat. Dikatakan pula bahwa gejala kejenuhan
disebabkan karena sejak berdirinya Muhammadiyah hanya melakukan pembaharuan
dibidang institusi, bukan dalam bidang pemikiran. Ada pula yang mengatakan, bahwa
7
Muhammadiyah timbul pengikisan watak kerakyatan karena munculnya profesionalisme
dengan tawar-menawar antara ulama dan para aktivitasnya yang berasal dari aneka ragam
profesi kemasyarakatan. Meskipun kritik-kritik itu tidak seratus persen benar, tetapi baik
juga diperhatikan. Karena terlalu “mongkog” atau mantap bila mendengarkan pujian orang
ada juga bahayanya (Amin Rais dkk, 1985: 17)
Muhammadiyah memang berhasil meningkatkan partisipasi umat Islam Indonesia
terhadap pendidikan modern dan generasi sesudahnya menjadi cukup puas dan bangga
terhadap apa yang sudah dicapai pendirinya. Ketika masyarakat telah sampai pada satu
tahap perlu arahan yang tampak paralel dengan tradisi keagamaan yang ditumbuhkan
Muhammadiyah menyebabkan gerakan ini kehilangan daya tarik publik dan ruh
pembaharuannya pun melemah kalau bukan hilang.
Mungkin penting untuk mengajukan pertanyaan; apakah sekolah (modern) sebagai
model pembaharuan atau pembaharuan itu sendiri? Orang lebih banyak menangkap
modelnya, tetapi kurang berhasil memahami etos pembaharuan ketika Kyai Dahlan
mendirikan sekolah modern. Demikian pula berbagai amal usahanya yang lain termasuk
didalamnya menggunakan sistem dan manajemen organisasi dalam pengamalan ajaran
Islam. Jita kita ingin menangkap usaha kratif tersebut, adalah penting untuk mencermati
kesimpulan Abdul Munir Mulkan yang meyebutkan sebagai pragmatisasi pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam dan atau relativasi inklusif (Abdul Munir Mulkan, 2000: 90)
Potensi gerakan ini untuk memenuhi fungsi sebagai obor pencerah umat cukup
besar dengan sejumlah lembaga yang relatif stabil dan teroganisasi dengan baik, terlebih
khususnya dibidang pendidikan. Demikian pula sumber daya manusia unggulan yang
berada di dalam sistem organisasi tersebut dengan fasilitas yang cukup memadai.
Sayangnya, berbagai peluang itu belum banyak diambil ketika gerakan ini terperangkap
dalam rutinitas dan kebekuan birukrasi amal usahanya. Dibanding dengan dahulu, Ahmad
Dahlan dapat memanfaatkan peluang yang ada dari berbagai pihak, baik dalam
keikutsertaannya bergabung di organisasi Budi Oetomo serta ketika pemerintah Belanda
sedikit lunak terhadap legalita organisasi keIslaman ketika itu. Ia memanfaatkannya dengan
mendirikan Muhammadiyah yang diawali melalui ide pembaharuan pendidikannya.
8
Dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya
lembaga pendidikan Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang saat ini
ternyatalebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawaa nama besar sekolah
untuk menggapai yang nmanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke
lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan
dihasilkan kelak. (Adi Asmara, 2010: 628)
Belum lagi kita menjumpai bahwa beberapa perguruan Muhammadiyah masih
sering menggunakan metode sorogan dan weton tetapi dengan gaya baru. Tdak lagi duduk
bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan
alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi
empuknya dan hanya menerangkan pelajaran dari kursinya tersebut. Siswa yang ada hanya
menjadi subjek didik terus dianggap sebagai orang yang memilii kebodohan absolut.
Meminjam istlah yang diperkenalkan Paulo Freire, sistem yang banyak di gunakan oleh
lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of Education” (Konsep
Pendidikan Bank), yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan
posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpan (Bank Concept) yang tidak tahu
untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.
Kelemahan utama yang sekarang ini belum mampu diatasi adalah bagaimana
warna lembaga pendidikan Muhammadiyah muncul ada alumninya dan menghasilkan
output yang khas yang lain dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya, yakni
terbangunnya pengetahuan yang terintegrasi dalam alam pikiran, kepribadian, dan tindakan
subjek didik sehingga melahirkan manusia yang utuh. Merupakan suatu kerugian apabila
basis pengetahuan yang terpadu dan melekat dengan ideologi pendidikan Muhammadiyah
tidak tertanam pada setia alumni yang diluluskan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah
akan kehilangan fungsi sebagai persemaian kader apabila warna dan benih ideologis
Muhammadiyah tidak tertanam pada setiap lulusan, sekaligus melahirkan manusia utuh
yang berperadaban utama.
Sampai akhirnya kini dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, gerakan ini
kurang berhasil menjadikan lembaga pendidikan sebagai alat paling strategis
pengembangan iptek. Ide segar penelitian inovatif tidak banyak didengar dari lembaga ini.
9
Kegiatan pendidikan lebih sebagai respon kebutuhan pasar setelah itu ditumbuhkan oleh
modernisasi pendidikan yang dicanangkannya. Dalam hal ini menjadi penting untuk
nantinya mengkaji kembali rekomendasi Kyai Dahlan mengenai pendidikan filsafat dan
sikap terbuka sekaligus kritis terhadap setiap penemuan Iptek. Setelah melalui perjalanan
panjang satu abad, adalah strategis bagi Muhammadiyah untuk konsisten membangun
semangat pembaharuannya sebagai tradisi kritis yang menjadi dasar bagi perannya di
dalam sejarah.
F. Saran
Dalam mengevaluasi gerak pembaharuan Muhammadiyah, berbagai tradisi
keagamaan dan amal usaha terkhusus dibidang pendidikan, Muhammadiyah perlu dibedah
untuk menemukan kembali etos pembaharuan seperti dipelopori pendirinya. Melalui cara
itu mungkin bisa dikembangkan “model-model baru” pembaharuan bukan sekedar
menerima atau melanjutkan “model” yang dulu dikembangkan Kyai Dahlan seperti model
sekolah modern dan berbagai bentuk gerakan sosial yang kini mungkin sudah “usang”
(model dan bentuknya). Dalam hal ini penting untuk mengkritisi ide dasar dan etos
pembaharuan Kya Dahlan itu sendiri ketika masyarakat telah jauh berubah dari kehidupan
sosial pada masa pendiri Muhammadiyah itu hidup.
Dalam hubungan itu penting dalam menggagas pemikiran Kyai Dahlan, Abdul
Munir Mulkan (2000) menyarankan, bagi Muhamamdiyah untuk tetap konsisten pada jati-
dirinya sehingga terus menerus bisa menjadi obor pencerah umat dan bangga pada
zamannya. Di dalam situasi umat dan bangsa dilanda multikrisis, penting bagi gerakan ini
untuk memberi gagasan-gagasan segar yang fungsional bagi penyelesaian banyak masalah
negeri ini. Untuk itu, sebagai institusi gerakan ini harus bisa bebas dari perangkap
kepentingan politik sesaat, walaupun juga penting untuk memberikan peluang sekaligus
“bimbingan” bagi para aktifisnya yang memang mempunyai talenta politik.
10
Daftar Pustaka
Rais, Amin, dkk, 1985, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M)
Bahtiar, Asep Purnama, 2004, Membaca Ulang Dinamika Muhammadiyah, Wacana di Seputar Pergerakan, Kepemimpinan, dan perkaderan, (Yogyakarta: LPPI)
Nashir, Haedar, 2010, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah)
Darban, Ahmad Adaby, 2000, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Tarawang)
Abdullah, Slamet, dkk, 2010, Seabad Muhammadiyah Dalam Pergumulan Budaya Nusantara, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama)
Sutarmo, 2005, Muhammadiyah Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah)
Al-Munawar, Said Agil Huin, dkk, 2000, Muhammadiyah dalam Kritik, (Surakarta: Muhammadiyah University Press)
Zamroni, 2003, Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah, (Makalah Tanwir Muhammadiyah Makasar 26-29 Juni 2003)
Sukrianta AR, 1985, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, (Yogyakarta: PT Dua Dimensi)
Asmara, Adi dkk, 2010, Refleksi Satu Abad Muhammadiyah, (Yogyakarta: PWM B-Press)
Sucipto, Hery, 2010, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta Selatan: Best Media Utama)
11