29
BAB I PENDAHULUAN Sinusitis atau yang sekarang disebut rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemuakn dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Rhinosinusitis sendiri didefinisikan sebagai kelainan yang dikarakteristikkan dengan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus yang disebut sinus dentogen. Sinusitis kronis adalah salah satu penyakit kronis yang mempunyai prevalensi tinggi untuk setiap kelompok usia. Sinusitis kronis adalah proses inflamasi yang melibatkan sinus paranasal dan bertahan hingga 12 minggu atau lebih. Salah satu sinus yang terlibat adalah sinus ethmoid. Ethmoiditis kronis dapat berasal dari ethmoiditis akut yang tidak ditangani atau tidak merespon terhadap terapi.

Kronisitas Pada Ethmoiditis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aa

Citation preview

Page 1: Kronisitas Pada Ethmoiditis

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis atau yang sekarang disebut rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering

ditemuakn dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab

gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.

Rhinosinusitis sendiri didefinisikan sebagai kelainan yang dikarakteristikkan dengan

inflamasi pada hidung dan sinus paranasal. Penyebab utamanya adalah selesma (common

cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila

mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus

paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,

sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut

juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah

menyebar ke sinus yang disebut sinus dentogen.

Sinusitis kronis adalah salah satu penyakit kronis yang mempunyai prevalensi tinggi

untuk setiap kelompok usia. Sinusitis kronis adalah proses inflamasi yang melibatkan sinus

paranasal dan bertahan hingga 12 minggu atau lebih. Salah satu sinus yang terlibat adalah

sinus ethmoid. Ethmoiditis kronis dapat berasal dari ethmoiditis akut yang tidak ditangani

atau tidak merespon terhadap terapi.

Sinusitis kronis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita

dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

Page 2: Kronisitas Pada Ethmoiditis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Hidung dari luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

Pangkal hidung (bridge)

Batang hidung (dorsum nasi)

Puncak hidung (tip)

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang hidung terdiri dari :

Tulang hidung (os nasal)

Prosesus frontalis os maksila

Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan terdiri dari :

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago ala mayor)

Tepi anterior kartilago septum

Page 3: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares

anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisis oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi memiliki 4 dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang (lamina perpendikularis os

etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina) dan tulang rawan

(kartilago septum/ lamina kuadrangularis dan kolumela).

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka (inferior, media, superior, suprema). Konka

inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,

sedangkan sisanya merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.

Meatus terdiri dari 3 bagian tergantung letaknya yaitu inferior, medius dan superior. Pada

meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis, pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, maksila dan etmoid anterior, sedangkan pada meatus superior terdapat

muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

Page 4: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Batas rongga hidung :

Inferior (dasar rongga hidung) : os maksila dan os palatum

Superior (atap hidung) : lamina kribiformis (memisahkan rongga tengkorak

dan rongga hidung), lamina kribiformis merupakan

lempeng tulang yang berasal dari os etmoid dan

tempat masuknya serabut saraf olfaktorius.

Posterior (atap rongga hidung) : os sfenoid

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan

lamina papirasea.

Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah : Prosesus unsinatus, infudibulum

etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid dan resessus frontal

KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari

sinus-sinus yang letaknya anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.

Perdarahan Hidung

Rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang

merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung

mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina

mayor an a. sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.

fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.

etmoid anterior, a. labialis superior dan a.palatina mayor (pleksus Kiesselbach / Little’s area).

Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering

menjadi sumber epistaksis (terutama pada anak-anak).

Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dengan arterinya dan berjalan

berdampingan. Vena di vestibulum dan struktur luar bermuara ke v. oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan hidung

Page 5: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (n.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensosir dari n. maksila

melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion ini juga memberikan persarafan vasomotor /

otonom untuk mukosa hidung. Ganglion sfenopalatina menerima serabut saraf sensoris dari

n. maksila (V-2), serabut simpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf

simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di

atas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasa dari n. olfaktorius yang turun melalui lamina kribosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

pada mukosa olfaktorius di daerah 1/3 atas hidung.

Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa

pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh

epitel torak berlapis semu yang memiliki silia dan bersel goblet. Mukosa penghidu terdapat

pada atap rongga hidung, konka superior dan 1/3 atas septum. Mukosa ini dilapisi epitel torak

berlapis semu tidak bersilia dan berwarna coklat kekuningan. Epitel mukosa penghidu terdiri

dari 3 macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu.

Pada keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah

karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.

Sistem Transpor Mukosilier

Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap

mikroorganisme atau partikel bahaya yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem ini

dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Bagian bawah dari palut lendir ini

mengandung cairan serosa sedangkan permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik

dan banyak pengandung protein plasma, seperti IgG, IgM, albumin, dan faktor komplemen.

Cairan serosa di bawahnya mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik

dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikoprotein berguna untuk pertahanan lokal yang bersifat

antimikrobial. IgA berfungsi mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat

antigen pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan memicu

reaksi inflamasi jika terpajan antigen bakteri.

Page 6: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Pada sinus maksila, sistem transpor menggerakkan sekret sepanjang dinding serta atap

rongga sinus sehingga membentuk gambaran halo/ bintang yang mengarah ke ostium.

Setinggi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah

tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa ringan tidak akan

menghentikan/ mengubah transport tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada

mukosa yang mengalami defek.

Gerakan sistem transpor pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral menuju resesus

frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan

sinusetmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan

spiral jika ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya.

Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama merupakan

gabungan sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Sekret biasanya bergabung di dekat

infundibulum etmoid selanjutnya menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang

dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium

tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada

nasofaring yang selanjutnya jatuh ke bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan.

Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang

bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior

orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dari septum akan

bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior tuba eustachius. Sekret pada septum

akan berjalan vertikal ke arah bawah kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior

tuba eustachius.

Fisiologi hidung

Hidung memiliki berbagai fungsi di antaranya :

Fungsi respirasi (mengatur kondisi udara, humidifikasi, penyaring udara, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan imunologik lokal)

Fungsi penghidu

Fungsi fonetik ( berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara, dan mencegah

hantaran suara sendiri melalui hantaran tulang)

Fungsi statik dan mekanik (untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma

dan pelindung panas)

Refleks nasal (berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan)

Page 7: Kronisitas Pada Ethmoiditis

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal pada manusia, yaitu sinus maksila (terbesar), sinus

frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus

memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung.

Page 8: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidunga dan

perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.

Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang

dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang dari 8 tahun. Pneumatisasi sinus

sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung.

Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus terbesar. Saat lahir memiliki volume 6-8ml, kemudian

berkembang cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15ml saat dewasa. Sinus

maksila berbentuk piramid. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial

sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Batas-batas sinus maksila :

Anterior : permukaan fasial os maksila (fosa kanina)

Posterior : permukaan infra-temporal maksila

Medial : dinding lateral rongga hidung

Superior : dasar orbita

Page 9: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Inferior : prosesus alveolaris dan palatum

Sinus frontal

Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan ke-4 fetus, berasak

dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infudibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal

mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia

20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dairpada yang

lain dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya

gambaran septum atau lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi

sinus. Sinus frontal berdrenasi melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal yang

berhubungan dengan infudibulum etmoid.

Sinus etmoid

Pada orang dewasa sinus etmoid berbentuk piramid dengan dasarnya di bagian

posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,

yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media

dan dinding medial orbita. Berdasar letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid

anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di

meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil dan banyak, letaknya di depan

lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina

basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit dan

terletak di posterior dari lamina basalis.

Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut dengan resesus

frontal (menghubungkan dengan sinus frontal). Di daerah etmoid anterior terdapat suatu

penyempitan, yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap

sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral

sinus adalah lamina papirasea dan membatasi sinus etmoid dan rongga orbita. Di bagian

belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terletak di belakang os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus

sfenoid dibagi 2 oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang,

Page 10: Kronisitas Pada Ethmoiditis

pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan

dengan rongga sius dan tampak sebagai indentasi pada dinding sfenoid.

Batas-batas sinus sfenoid :

Superior : fosa serebri media dan kelenjar hipofise

Inferior : atap nasofaring

Lateral : sinus kavernosus dan a. karotis interna

Posterior : fosa serebri posterior di daerah pons

Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal memiliki berbagai fungsi diantaranya :

sebagai pengatur kondisi udara

penahan suhu

keseimbangan kepala

resonansi suara

peredam perubahan tekanan udara

produksi mukus.

RHINOSINUSITIS

Definisi

Istilah sinusitis mengarah kepada suatu proses inflamasi yang terletak pada mukosa di

sinus paranasal. Karena proses inflamasi tersebut hampir selalu mencakup proses inflamasi

pada hidung maka dewasa ini, istilah sinusitis ataupun rhinitis digantikan dengan istilah

Page 11: Kronisitas Pada Ethmoiditis

rhinosinusitis yang menandakan suatu proses inflamasi yang terjadi di hidung dan sinus

paranasal.2

Epidemiologi

Dari data yang didapat oleh National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS),

sekitar 14% orang dewasa dilaporkan memiliki episode rhinosinusitis setiap tahunnya, dan ini

merupakan diagnosis tersering dengan peresepan antibiotik nomor 5. Wanita cenderung lebih

sering terkena infeksi rhinosinusitis dibanding pria karena memiliki kecenderungan kontak

lebih dekat dengan anak-anak.3

Klasifikasi

Berbagai klasifikasi atau definisi telah ditemukan oleh Rhinosinusitis Task Force of the

American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery tetapi konsensus menetapkan

pengklasifikasian rhinosinusitis berdasar durasi dari timbulnya manifestasi yang dibagi

menjadi:

Rhinosinusitis Akut

Rhinosinusitis yang berdurasi 7 hari - ≤4 minggu

Rhinosinusitis Subakut

Rhinosinusitis yang berdurasi 4 – 12 minggu

Rhinosinusitis akut rekuren

Timbulnya akut rhinosinusitis ≥4 kali dalam 1 tahun

Rhinosinusitis kronik

Rhinosinusitis yang berdurasi ≥ 12 minggu

Rhinosinusitis akut eksaserbasi kronik2

KRONISITAS PADA ETHMOIDITIS

Kronisitas pada ethmoiditis ditandai terjadinya inflamasi pada sel labirin ethmoidal

yang berlangsung selama 12 minggu atau lebih.

Page 12: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Biasanya timbul setelah penyakit akut, sering inflamasi akut maupun kronik pada sinus

maksila, frontal dan sphenoid yang menyebabkan lesi sekunder sel labirin ethmoidal, karena

sinus ethmoid terletak di pusat daripada sinus-sinus ini.

Pada kebanyakan kasus, terdapat beberapa jenis yaitu : bentuk kataral, serosa, kataral-

supuratif dan hiperplasia, yang dikarakterisasi penebalan signifikan dari membran mukosa,

pembentukan vegetasi polip.

Polip yang berbentuk multipel lebih sering daripada polip soliter. Setiap polip

mempunyai batang tipis, dan bentuk yang tergantung dari kontur sekeliling hidung. Polip

multipel dapat menyebabkan penekanan pada hidung dan bahkan deformitas pada bagian

luar.

Patofisiologi

Terhambatnya sekresi di dalam sinus dapat dipicu (1) obstruksi mekanik pada

kompleks ostiomeatal karena faktor anatomik atau (2) oedem mukosa yang disebabkan

berbagai etiologi (contohnya virus atau rinitis alergi)

Stagnasi mukus di sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai jenis

patogen. Tahap awal sering disebabkan infeksi viral yang bertahan sampai 10 hari dan akan

sembuh pada 99% kasus. Tetapi, sejumlah kecil pasien mungkin mendapat infeksi bakteri

sekunder yang umumnya disebabkan bakteri aerob (misalnya Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis). Mulanya, proses yang terjadi hanya

melibatkan satu jenis bakteri aerob. Dengan adanya persistensi infeksi, flora yang bercampur,

organisme anaerob, dan mungkin, jamur berperan terhadap patogenesis, dengan dominasi

bakteri anaerob yang tadinya adalah flora normal mulut. Ethmoiditis kronis dapat berasal dari

ethmoiditis akut yang tidak ditangani atau tidak merespon terhadap terapi.

Infeksi sinus berulang dan persisten dapat terjadi pada orang-orang dengan keadaan

imunodefisiensi kongenital maupun didapat atau fibrosis kistik.

Para ahli berpendapat proses kronis dapat didominasi penyakit inflamasi multifaktorial :

Infeksi persisten (termasuk biofilm dan osteitis)

Alergi dan gangguan imunologik lain

Faktor intrinsik saluran napas atas

Superantigen

Kolonisasi fungi yang memicu dan mendukung inflamasi eosinofilik

Abnormalitas metabolik seperti sensitifitas terhadap aspirin

Page 13: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Semua faktor ini dapat berperan dalam gangguan sistem transpor mukosiliari intrinsik.

Ini disebabkan karena adanya perubahan patensi sinus ostia, fungsi silia, atau kualitas sekresi

yang menyebabkan stagnasi, penurunan pH, dan penurunan tekanan oksigen di dalam sinus.

Perubahan ini membuat lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan bakteri, yang

menyebabkan meningkatkan inflamasi mukosa.

Etiologi

Saat ini, penelitian etiologi difokuskan pada obstruksi ostiomeatal, alergi, polip,

keadaan imunodefisiensi yang jelas maupun tersembunyi, dan penyakit gigi. Mikroorganisme

lebih sering dikenali sebagai penyusup sekunder.

Keterlibatan bakteri

Berikut bakteri yang didapat di dalam sampel yang diperoleh melalui endoskopi sinus

pada pasien dengan sinusitis kronik

Staphylococcus aureus (jenis MSSA [methicilin-susceptible S aureus] dan MRSA

[methicilin-resistant S aureus])

Staphylococci koagulosa-negatif

Haemophilus Influenza

Streptococcus pneumoniae

Streptococcus intermedius

Pseudomonas aeruginosa

Nocardia species

Bakteri anaerob (Peptostreptococcus, Prevotella, Porphyromonas, Bacteroides,

Fusobacterium)

Keterlibatan jamur

Berikut jenis jamur yang ditemukan pada pasien dengan sinusitis kronik

Spesies aspergillus

Cryptococcus neoformans

Page 14: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Spesies candida

Sporothrix schenckii

Spesies alternaria

Faktor resiko

Abnormalitas anatomi kompleks ostiomeatal (misalnya deviasi septum, konka bullosa,

deviasi prosesus unsinatus, sel Haller)

Rinitis alergi

Sensitifitas aspirin

Asma

Polip nasal

Rinitis nonalergi (misalnya rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, penyalahgunaan

kokain)

Defek pada klirens mukosiliaris

Intubasi nasotrakeal

Intubasi nasogastrik

Hormonal (misalnya pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral)

Obstruksi oleh tumor

Kelainan imunologi (misalnya defisiensi IgA, defisiensi subkelas IgG, AIDS)

Fibrosis kistik

Diskinesia siliari primer, Kartagener syndrome

Granulomatosis wegener

Infeksi saluran napas atas viral berulang

Merokok

Polusi lingkungan

GERD

Periodontitis/penyakit gigi signifikan

Manifestasi klinis

Obstruksi nasal, blokade, kongesti, rasa penuh

Adanya discharge/sekret

Post nasal drip

Page 15: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Rasa penuh yang tidak nyaman di wajat, nyeri dan sakit kepala (lebih hebat pada polip

nasal)

Batuk kronik tidak berdahak (terutama pada anak-anak)

Hiposmia atau anosmia (terutama pada polip nasal)

Nyeri tenggorok

Malaise

Anoreksi

Mudah lelah

Eksaserbasi asma

Nyeri pada gigi (bagian atas)

Gangguan penglihatan

Telinga terasa penuh

Mulut terasa pahit

Demam, yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya subfebris

Pada anak-anak, halitosis lebih sering terjadi. Obstruksi nasal menyebabkan pasien

berusaha bernapas dengan mulut dan nyeri tenggorok mungkin terjadi. Pada beberapa

individu, orangtua mendapati adanya pembengkakkan mata di pagi hari tanpa rasa nyeri.

Anak-anak yang lebih besar dapat mengeluhkan hilangnya kemampuan pengecap yang

berhubungan dengan obstruksi nasal dan anosmia. Gejala nokturnal dapat termasuk

mengorok dan batuk karena adanya post nasal drip.

Manifestasi sinusitis fungal

Sinusitis kronik fungal biasanya terjadi pada pasien imunokompeten. Sinusitis alergi

fungal biasanya bermanifestasi sebagai polip nasal dan sinusitis alergi.

Gejala ethmoiditis kronis tergantung pada proses aktif yang sedang berlangsung. Pada

masa remisi pasien sering mengeluhkan sakit kepala, biasanya di bagian dasar hidung, hidung

dan kadang menyebar ke daerah wajah lainnya. Pada bentuk kataral-serosa terdapat sekret

jernih yang cukup banyak. Bentuk purulen sering diikuti dengan sedikit sekret, yang akan

mengering dan membentuk krusta. Seringkali sekret tersebut berbau. Keterlibatan sel labirin

ethmoidal posterior menyebabkan akumulasi pada nasofaring, terutama di pagi hari, yang

dikeluarkan dengan susah payah. Kemampuan untuk membau juga terganggu. Pada rinoskopi

terlihat perubahan kataral terutama di bagian tengah hidung, terdapat lokalisasi polip. Polip

Page 16: Kronisitas Pada Ethmoiditis

dapat berwarna abu-abu atau merah muda pucat. Bila terjadi deformasi luar pada hidung atau

rongga mata, maka dapat dicurigai terjadi empiema ethmoditis.

Riwayat pasien harus difokuskan pada faktor kunci, dimulai dengan ada atau tidaknya kriteria

diagnostik mayor dan minor :

Gejala mayor : drainase purulen anterior nasal, drainase purulen posterior nasal, obstruksi

nasal atau blokade; kongesti wajah atau rasa penuh, nyeri pada wajah atau rasa tertekan,

dan hiposmia atau anosmia

Gejala minor : sakit kepala, nyeri telinga atau rasa penuh, halitosis, sakit gigi, batuk,

demam, fatique

Durasi gejala

Faktor yang memperberat dan memperingan

Obat yang sedang dikonsumsi

Operasi nasal atau sinus paranasal sebelumnya

Durasi terapi sebelumnya

Pemeriksaan penunjang sebelumnya

Masalah kesehatan lain (termasuk asma, alergi dan kelainan imunokompromis)

Merokok aktif maupun pasif

Paparan terhadap alergen

Palpasi sinus dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya nyeri serta pembengkakan

Pemeriksaan kavitas oral dan orofaring digunakan untuk mengevaluasi integritas palatum dan

kondisi gigi geligi dan mencari bukti post nasal drip. Eritema orofaringeal dan sekresi

purulen dapat terlihat, begitu juga dengan karies gigi.

Rinoskopi anterior, menggunakan spekulum hidung, digunakan utnuk mengevaluasi

kondisi mukosa nasal dan untuk melihat drainase purulen atau bukti adanya massa polip atau

massa lainnya. Faktor lain yang berkontribusi adalah penilaian deviasi septum nasal dan

hipertrofi konka. Pemeriksaan nasal sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah penggunaan

dekongestan topikal.

Pada pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan :

Eritema mukosa nasal, edema

Sekresi purulen

Obstruksi nasal karena adanya deviasi septum nasal atau hipertrofi konka

Page 17: Kronisitas Pada Ethmoiditis

Pemeriksaan telinga : bila ada cairan pada telinga tengah dapat mengindikasikan adanya

massa nasofaring

Pemeriksaan okular untuk menilai ada atau tidaknya manifestasi oftalmik :

Kongetsi konjungtiva

Lakrimasi

Proptosis, palsi otot ekstraokular, dan gangguan visus

Penatalaksanaan

Tujuan terapi yang dilakukan adalah :

Mengurangi oedema mukosa

Meningkatkan drainase sinus

Menghapus infeksi yang ada

Farmakologi

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan

anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan

seperti analgetik, mukolitik, steroid topikal/ oral, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau

pemanasan (diatermi).

Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk

sinusitis kronik yang memerlukan operasi tindakan ini telah menggantikan hampir semua

jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan

lebih ringan dan tidak radikal.

Indikasinya berupa :

Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat

Sinusitis kronik disertai kista/ kelainan yang ireversibel

Polip ekstensif

Adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur

Komplikasi1

Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering adalah

sinusitis etmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui

Page 18: Kronisitas Pada Ethmoiditis

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,

selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus.

Kelainan intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus

kavernosus.

Osteomielitis dan abses subperiostal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Sinusitis

maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.

Kelainan paru

Dapat timbul bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai

dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan

kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

BAB III

PENUTUP

Kronisitas pada ethmoiditis ditandai terjadinya inflamasi pada sel labirin ethmoidal yang

berlangsung selama 12 minggu atau lebih. Biasanya timbul setelah penyakit akut, sering

Page 19: Kronisitas Pada Ethmoiditis

inflamasi akut maupun kronik pada sinus maksila, frontal dan sphenoid yang menyebabkan

lesi sekunder sel labirin ethmoidal, karena sinus ethmoid terletak di pusat daripada sinus-

sinus ini. Terhambatnya sekresi di dalam sinus dapat dipicu (1) obstruksi mekanik pada

kompleks ostiomeatal karena faktor anatomik atau (2) oedem mukosa yang disebabkan

berbagai etiologi (contohnya virus atau rinitis alergi) Stagnasi mukus di sinus membentuk

media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai jenis patogen. Ethmoiditis kronis dapat berasal

dari ethmoiditis akut yang tidak ditangani atau tidak merespon terhadap terapi. Tujuan terapi

yang dilakukan adalah mengurangi oedema mukosa, meningkatkan drainase sinus,

menghapus infeksi yang ada. Komplikasi dari ethmoiditis kronis dapat menyebabkan

kelainan orbita, kelainan intrakranial maupun kelainan paru. Maka dari itu diperlukan

tindakan operatif FESS terutama pada kasus-kasus di mana penatalaksanaan konservatif

gagal untuk meringankan gejala kronisitas pada ethmoiditis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2014

2. Rhinosinusitis. In: Michael G, George GB, Martin JB, et al. Scott-brown’s Othorinolaringology, Head and Neck Surgery volume 2 7th edition. Hodder Arnold: 1997.

Page 20: Kronisitas Pada Ethmoiditis

3. Paranasal sinus diseases and infections. In: Harold L, Patrick JB. ABC of Ear, Nose and Throat 5th edition. Blackwell Publishing: 2007.

4. Infections of the nose and paranasal sinuses. In: Vinidh P, John Hill. An Atlas of Investigation and Management ENT Infections. Oxford: 2010.

5. Diseases of the Nose, Paranasal Sinuses and Face. In: Rudolf P, Gerhard G, Heinrich I. Basic Otorhino-laringology, A Step-by-Step Learning Guide. Thieme: 2006.

6. Manes RP, Batra PS. Etiology, diagnosis and management of chronic rhinosinusitis. Expert Rev Anti Infect Ther. Jan 2013;11(1):25-35.

7. Ferguson BJ. Definitions of fungal rhinosinusitis. Otolaryngol Clin North Am. Apr 2000;33(2):227-35.

8. Brook I. Acute and chronic bacterial sinusitis. Infect Dis Clin North Am. Jun 2007;21(2):427-48, vii.