Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI COPING PADA REMAJA YANG TINGGAL PADA
KELUARGA DENGAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
OLEH
GUMARTIANUS JEAN PIERE
802014118
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertandatangan dibawah ini:
Nama : Gumartianus Jean Piere
Nim : 80 2014 118
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi mengembagkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas
karya ilmiah saya yang berjudul:
STRATEGI COPING PADA REMAJA YANG TINGGAL PADA
KELUARGA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dengan hak bebas royalty non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 02 Mei 2018
Yang menyatakan:
Gumartianus Jean Piere
Mengetahui,
Pembimbing
Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan ini:
Nama : Gumartianus Jean Piere
Nim : 80 2014 118
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
STRATEGI COPING PADA REMAJA YANG TINGGAL PADA
KELUARGA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Yang dibimbing oleh:
Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber
aslinya.
Salatiga, 02 Mei 2018
Yang memberi pernyataan
Gumartianus Jean Piere
LEMBAR PENGESAHAN
STRATEGI COPING PADA REMAJA YANG TINGGAL PADA
KELUARGA DENGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh
Gumartianus Jean Piere
802014118
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui Pada Tanggal : 08 Mei 2018
Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
Pembimbing
Enjang Wahyuningrum, M.Si.,Psi.
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi.
Disahkan oleh,
Dekan
Berta Esti Ari P, S.Psi., MA.
STRATEGI COPING PADA REMAJA YANG TINGGAL PADA
KELUARGA DENGAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
Gumartianus Jean Piere
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
Abstrak
Keluarga sebagai unit terkecil dalam lingkup sosial adalah tempat tumbuh
kembang yang sangat penting bagi remaja. Mereka di sini mulai mengungkapkan
emosi terkait hubungan dengan orangtua, lingkungan sekitar dan nilai-nilai yang
ditanamkan orangtua. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari gambaran
strategi coping pada remaja dalam keluarga yang terdapat kekerasan. Metode yang
digunakan adalah kualitatif dengan teknik pendekatan fenomenologi untuk
mencari pemahaman mendalam terkait permasalahan dalam keluarga. Observasi
dan wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti.
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah dua orang dengan kriteria: remaja, usia
18 tahun, tinggal dalam keluarga dengan kekerasan. Uji keabsahan data dengan
cara triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam keluarga kedua
partisipan terdapat kekerasan yang membuat keduanya merasa stres dan
melakukan coping dalam mengatasi atau mengurangi stres yang mereka alami.
Ditandai dengan adanya tindakan konkrit, pengontrolan emosi, penerimaan,
kembali pada agama dan mencari dukungan sosial untuk alasan emosional.
Perbedaan dari kedua partisipan ditemukan pada aktivitas dan usaha mencari
dukungan sosial untuk pengontrolan emosi kedua partisipan.
Kata kunci : Strategi Coping, problem focused coping, emotional focused
coping.
ii
Abstract
Family as the smalest unit in society takes an important role for adolescents when
growing up. As adolescents, they begin to pour their emotional feelings related to
their relations with parents, circumstences, and social norms their parents try to
indoctrine within them. This study aims to learn the description of coping
strategies in adolescents who lives in families with domestic violence. A
qualitative research method is used right away with phenomenology approach as
a way to acquire in-depth results. Data collection techniques used by the writer is
interview and observation. There are two participants in this study with criteria:
adolescents, 18 years old, living in families with domestic violence. The validity
test of the data by means of triangulation. The results showed that in both
participants families had a hardness that made them got stressed and were
equally coping themselves to overcome and reduce the stress they experienced.
Characterized by concrete actions, emotional control, acceptance, turning back to
religion and seeking social support for emotional reasons. Differences of both
participants were found in their activities and attempts to find social support for
emotional control of both participants.
Keyword : Coping strategy, problem focused coping, emotional focused
coping.
1
PENDAHULUAN
Dalam setiap kehidupan yang dijalani manusia akan selalu muncul yang
disebut dengan masalah, tak terkecuali dalam hubungan keluarga. Keluarga
merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat dan menjadi hal
yang penting terutama bagi seorang anak karena keluarga merupakan tempat
pertama mereka untuk berinteraksi. Remaja merupakan masa yang dinilai sangat
membutuhkan peran keluarga, karena selain sebagai sarana untuk berinteraksi,
mereka juga dapat mengungkapkan emosi, melihat hubungan kedua orangtua
dengan anak, masyarakat dan lingkungan sekitar, penanaman nilai-nilai yang
diberikan orangtua, serta mendapatkan dukungan secara emosional (Soessanto,
2011).
Menurut Santrock (dalam Fitria, 2014) masa remaja adalah masa transisi
dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Sedangkan menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah
masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu
yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting
menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah,
pertama, hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan
kedua adalah hal yang bersifat internal, yaitu karakteristik di dalam diri remaja
yang membuat remaja relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa
perkembangan lainnya (storm and stress period). Untuk batasan usia, menurut
Santrock (2007) masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir
sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Hurlock (dalam Fitria, 2014) membagi dua masa
remaja yaitu remaja awal dan akhir. Usia sekitar 17 tahun rata-rata individu mulai
2
memasuki sekolah menengah atas disebut dengan masa remaja awal. Awal masa
remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun. Individu
berusia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun dikatakan sebagai remaja akhir yaitu
usia matang secara hukum. Dapat diketahui bahwa masa remaja menurut Hurlock
dialami individu ketika berusia 13 hingga 18 tahun. Pada masa ini menurut
Hurlock (1990) tugas perkembangan pada remaja dipusatkan pada upaya
meningkatkan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan berusaha untuk
mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa.
Selain adanya perubahan besar dalam tahap perkembangan remaja baik
perubahan fisik maupun perubahan psikis, peningkatan sikap dan pola dalam
perilaku menyebabkan masa remaja relatif rentan dibandingkan dengan masa
perkembangan lainnya. Hal ini yang menyebabkan masa remaja menjadi penting
untuk diperhatikan.
Keluarga sendiri terdiri dari beberapa orang, maka terjadi interaksi antar
pribadi, dan itu berpengaruh terhadap keadaan harmonis dan tidak harmonisnya
pada salah seorang anggota keluarga, yang selanjutnya berpengaruh pula terhadap
pribadi-pribadi lain dalam keluarga (Gunarsa, 2002). Jika suatu hubungan
keluarga tidak berjalan harmonis, tidak jarang masalah yang muncul akan berakhir
pada pertengkaran hingga kekerasan.
Kekerasan dapat diartikan sebagai suatu bentuk penganiayaan secara fisik
maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan
terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007). Dalam
Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap
3
seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan
rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu
yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang
dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak
berkembang.
Menurut Chawazi (2001) tindak kekerasan sama juga pengertiannya dengan
penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, dan
kekerasan psikis yang tidak berakibat pada fisik korban, namun berakibat pada
timbulnya trauma berkepanjangan pada diri korban”.
Di Indonesia, angka kekerasan setiap tahun semakin meningkat. Komisi
Nasional Perlindungan Anak (2012) menemukan bahwa kasus kekerasan terhadap
anak paling banyak dilakukan oleh orang tua kandung (44,3%), diikuti oleh teman
(25,9%), tetangga (10,9%), orang tua tiri (9,8%), guru (6,7%) dan saudara (2%).
Sedangkan dari data Rifka Annisa (2012) tercatat dari 1994-2011, Rifka Annisa
telah menangani 4952 kasus kekerasan, posisi pertama kasus KDRT sebanyak
3274 kasus, dan posisi kedua kasus dating violance tercatat 836 kasus (Rifka
Annisa, 2012).
4
Kekerasan seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat,
terutama pada anak yang mengalami maupun yang melihat kekerasan tersebut.
Menurut penelitian mengenai hubungan kekerasan yang dialami selama masa
kanak-kanak dengan kesehatan mental didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kekerasan yang dialami semasa anak-anak dengan depresi,
kecemasan dan harga diri (Nguyen, 2009). Sedangkan peristiwa kekerasan yang
disaksikan oleh anak menurut hasil penelitian dapat menimbulkan efek psikis bagi
anak tersebut seperti trauma (Mardiyati, 2015). Remaja yang menyaksikan
kekerasan dalam keluarganya dapat membentuk luka batin yang tersimpan dan
berpotensi menghambat seseorang dalam melakukan hal-hal positif. Untuk
membangun hal-hal yang positif, remaja sangat membutuhkan dukungan dari
lingkungan terdekatnya terutama keluarga. Ketika remaja berada dalam situasi
saat melihat maupun mendapat tindakan kekerasan, mau tidak mau mereka
dituntut untuk mampu beradaptasi (Mardiyati, 2015). Mereka berusaha
menyesuaikan diri dalam situasi yang mereka hadapi dengan kehidupan sehari-
hari melalui perilaku mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu
kemampuan untuk mengatasi permasalahan, atau strategi coping.
Reaksi setiap orang berbeda dalam menghadapi stres, maka strategi coping
yang dilakukan akan berbeda pada tiap individu. Hal ini tergantung dari
bagaimana individu memandang permasalahan atau peristiwa yang sedang mereka
hadapi dan dukungan yang mereka dapatkan. Menurut Lazarus dan Folkman
(Rahman, 2013), coping merupakan usaha-usaha yang meliputi tindakan dan
usaha-usaha intrafisik untuk mengatur tuntutan-tuntutan lingkungan maupun
internal serta konflik-konflik yang dinilai dapat membebani atau melampaui
5
potensi yang dimiliki oleh individu. Sedangkan Keliat 1998 (dalam Adami, 2006)
mendefinisikan coping sebagai cara yang dilakukan oleh individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, dan merespon
situasi yang mengancam. Upaya individu tersebut dapat berupa perubahan pola
pikir (kognitif), perubahan perilaku (afeksi), atau perubahan lingkungan yang
bertujuan untuk mengatasi stres yang dihadapi. Remaja yang melihat tindakan
kekerasan perlu bersusah payah untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa
tersebut dan menenangkan perasaannya. Sedangkan remaja yang mendapat
tindakan kekerasan memerlukan dukungan dan bantuan dalam banyak keputusan
praktis, bahkan pilihan yang paling sederhana sekalipun. Dalam kebingungan
sesudah peristiwa-peristiwa sedih itu semua terasa ruwet dan bertumpuk-tumpuk
(Tanner, 1988).
Jenis strategi coping yang dapat digunakan yaitu problem-focused coping
(PFC) dan emotional-focused coping (EFC). Menurut Lazarus dan Folkman
(dalam Nevid, 2003), problem-focused coping yaitu usaha mengatasi stres dengan
cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya
yang menyebabkan terjadinya tekanan. Sedangkan emotional-focused coping
adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu
kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Apabila individu tidak mampu
mengubah kondisi yang penuh stres, maka individu akan cenderung untuk
mengatur emosinya (Taylor, 2006). Dalam problem-focused coping terdapat 3
strategi. Pertama adalah confrontive coping, dalam strategi ini individu mencari
cara untuk merubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif,
6
tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan resiko. Kedua adalah
seeking social support, inividu berusaha untuk mendapatkam bantuan dan
informasi dari orang lain. Ketiga adalah planful problem coping, individu
berusaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara
menyusun dan membuat suatu rencana dengan cara yang hati-hati, bertahap dan
analitis.
Dalam emotional-focused coping terdapat 5 strategi, pertama adalah self
control, individu berusaha untuk mengatur perasaan dan emosi ketika menghadapi
situasi yang menekan. kedua adalah distancing, yaitu usaha individu menghindar
agar tidak terlihat dalam permasalahan dan membuat dirinya seakan tidak terjadi
apa-apa. Strategi yang ketiga adalah positive reappraisal yaitu individu berusaha
menerima dan mencari makna dari permasalaha yang sedang dihadapi. Keempat
adalah accepting responsibility, yaitu usaha untuk menghindari tanggung jawab
diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi. Kelima adalah escape/avoidance,
yaitu individu berusaha untuk mengatasi situasi yang menekan dengan beralih
pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan.
Dengan melihat fenomena di atas, maka penelitian ini penting dilakukan.
Dukungan sosial dan pandangan positif merupakan faktor penting yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan coping. Oleh karena peneliti tertarik
untuk mempelajari gambaran strategi coping yang dilakukan remaja terutama
mengingat remaja akan memasuki tahap perkembangan yang selanjutnya yaitu
tahap perkembangan dewasa awal, sehingga mereka tetap survive untuk
menjalankan tugas-tugas perkembangan mereka.
7
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian mengenai strategi coping pada remaja yang tinggal pada keluarga
dengan kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan penelitian kualitatif yaitu
pendekatan sistematis dan subyektif yang digunakan untuk menjelaskan
pengalaman hidup dan memberikan makna atasnya, Danim (2002). Berkaitan
dengan sifat masalah yang ingin diteliti maka metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan
fenomenologis yaitu penelitian dengan mencari sesuatu yang mendalam untuk
mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial dan
pendidikan yang diteliti, serta menggunakan lebih dari satu subjek.
Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian fenomenologi untuk mencari
gambaran secara mendalam mengenai strategi coping yang dilakukan remaja
berdasarkan pengalaman selama tinggal pada keluarga dengan kekerasan dalam
rumah tangga.
Subjek Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik
purpose sampling (sampel bertujuan), dimana sampel diambil dengan maksud
atau tujuan tertentu. Seseorang diambil sebagai sampel karena peneliti
menganggap bahwa orang tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi
penelitiannya.
Dalam penelitian ini diambil 2 remaja sebagai partisipan dengan kriteria
sebagai berikut: remaja akhir, usia 18 tahun, tinggal pada keluarga dengan
kekerasan dalam rumah tangga.
8
Partisipan pertama bernama Bunga (bukan nama sebenarnya), lahir di kota
Semarang dan saat ini berusia 18 tahun. Bunga merupakan anak ketiga dari
sepasang suami istri yang berbeda. Kakak Bunga merupakan anak dari suami
pertama ibunya sedangkan Bunga merupakan anak dari ayahnya yang sekarang.
Bunga dengan kakaknya selisih 12 tahun sehingga Bunga merasa tidak terlalu
dekat dengan kakaknya ini. Bunga sekarang baru menduduki bangku perkuliahan
di Universitas Kristen Satya Wacana. Bunga merasa senang memiliki keluarga
yang saat ini dia miliki. Namun Bunga juga merasa sedih bila mengingat masa
kecilnya dengan kekerasan yang terjadi dalam keluarganya dahulu. Bunga
memiliki sifat yang pendiam. Namun di lingkungan dengan teman-temannya,
Bunga menjadi anak yang periang.
Partisipan kedua bernama Nona (bukan nama sebenarnya), ia lahir di kota
Merauke dan saat ini ia berusia 18 tahun. Nona merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Nona adalah anak dari seorang anggota Brimob yang dimana dalam
keluarganya mendidik Nona serta adik-adiknya dengan cara militer. Nona saat ini
baru menduduki bangku perkuliahan di Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam
keluarganya, Nona dan adik-adiknya dididik dengan cara yang sama. Namun
Nona merasa bahwa dirinya selalu mendapat tindakan kekerasan dari ayahnya
dibandingkan adik-adiknya. Sementara ibunya terkadang melindungi namun juga
mendidik dengan cara yang sama seperti ayahnya.
Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data akan dilakukan dalam berbagai setting yaitu data
dikumpulkan dalam kondisi yang alamiah, berbagai sumber yaitu dari sumber
9
primer dan sekunder, serta berbagai cara atau teknik pengumpulan data dengan
melakukan wawancara dan observasi (Sugiyono, 2013). Data yang diperoleh
dalam penelitian ini dikumpulkan dengan wawancara dan observasi yang
bertujuan untuk mendapatkan detail informasi tentang pendapat, sikap dan
pengalaman pribadi.
Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara untuk memperoleh dan
mengumpulkan data. Pedoman wawancara ini mengacu pada aspek-aspek Strategi
Coping oleh Folkman dan Lazarus yang dikembangkan oleh Taylor (dalam
Khoiroh, 2013) yang meliputi: a) Aspek Emotion-Focused Coping yaitu usaha
untuk mengontrol perasaan dan emosi terhadap situasi yang menekan. b) Aspek
Problem-Focused Coping yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau
mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan
terjadinya tekanan.
Metode Analisa Data
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif tidak memiliki
rumusan untuk mengolah dan menganalisa data. Menurut Miles dan Huberman
(dalam Herdiansyah, 2012), metode yang dilakukan dalam mengolah data
meliputi pengumpulan data yang cukup dan sesuai topik yang diteliti, kemudian
peneliti menggabungkan segala bentuk menjadi satu tulisan, selanjutnya peneliti
membuat matriks kategorisasi sesuai kategori, kemudian dipecah dalam bentuk
yang lebih sederhana (subtema) serta memberikan kode (koding) sesuai verbatim
wawancara, dan yang terakhir adalah kesimpulan yang berisi menjawab
pertanyaan penelitian berdasarkan fokus penelitian.
10
Uji Keabsahan Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan trianggulasi sumber. Menurut
Moleong (2006) menjelaskan bahwa trianggulasi dengan sumber berarti
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
Trianggulasi partisipan pertama bernama Dara (bukan nama sebenarnya)
yang berusia 18 tahun, Dara berasal dari Salatiga. Dara adalah salah satu teman
dekat Bunga dari SMA hingga sekarang.
Trianggulasi partisipan kedua bernama Tri (bukan nama sebenarnya) yang
berusia 18 tahun, Tri berasal dari Denpasar. Tri adalah teman dekat Nona dan Tri
satu fakultas dengan Nona.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
a. Aspek emotional focused coping
1) Pengendalian emosi atau mengatur perasaan
Dalam wawancara yang dilakukan partisipan 1 mengatakan bahwa
ketika menghadapi masalah, ia terlebih dahulu menenangkan diri dan
merenung. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pernyataan dibawah
ini:
“Oh kalau aku punya masalah, biasanya aku merenungi diri aku
dulu. Maksudnya apakah masalah itu dari aku atau dari luar, gitu. Jadi
aku diam dulu, aku doa dulu. Pokoknya, habis sholat itu aku bisa
intropeksi diri dulu. Kalau misalnya aku yang salah, ya udah itu salahku,
aku hadapin terus aku berani buat minta maaf. Itu kalau misal orang
yang bermasalah sama aku.”
“Iya jadi aku merenung dulu, baru aku mutusin buat lakuin apa.
Ya aku takut tapi aku kebanyakan diam aja sih, gak berani ngapa-
ngapain.”
11
Sedangkan partisipan 2 ketika menghadapi suatu masalah,
terkadang ia tidak dapat mengendalikan emosinya dengan pernyataan:
“Sebenarnya aku orang yang nggak bisa gimana ya kak? Aku itu
orang yang kayak karena tertekan atau gimana, kayak emosiku itu
meledak-meledak gitu loh kak.”
“Aku nggak tau karena mereka membiayai aku, sekolahku jadi
semua mereka yang biayai tapi disisi lain aku tu nggak mampu. Jadi itu
kak, aku emosinya meledak-meledak sih.”
Partisipan juga pernah melakukan hal negatif dengan menyayat
tangannya dengan pernyataan:
“Dulu itu aku suka sayat-sayat tangan, itu mulai dari SMP
kayaknya. Kelas 2. Ya kayaknya benar-benar stres terus ditambah aku
nganggap nenek aku sakit itu karna papaku.”
“Tapi sakitnya itu terasa setelah aku nangis, aku lupain masalahku
jadi waktu aku sayat-sayat tanganku itu waktu aku benar-benar stres
terus waktu aku udah nangis dan benar-benar lupa, baru terasa
sakitnya.”
Ia juga kadang suka makan dan tidur dalam mengontrol situasi
yang menekan dengan pernyataan:
“Paling aku kalau stres, kalau nggak makan pasti aku tidur. Gitu
sih.”
2) Upaya Kognitif atau membuat harapan positif
Dalam menghadapi suatu situasi yang menekan, partisipan 1
bertingkah laku seakan-akan tidak terjadi apapun dengan cara membaca.
Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pernyataan dibawah ini:
“Ya aku balik kayak, pokoknya aku pengen balik kayak zaman
waktu SD dulu yang bisa saat aku baca, aku gak kepikiran apa-apa jadi
aku baca terus. Ya itu sih usahaku, paling baca-baca aja terus.”
12
Sedangkan partisipan 2 bertingkah laku dengan cara jalan dan pergi
ke rumah teman atau kerja dengan pernyataan”
“Terus kadang ke rumah teman. Bersyukur aja sih benar-benar
punya sahabat yang bisa buat lupa semua masalahku. Jadi ya sama
sahabat-sahabatku, ambalan atau nggak cari kerja sehingga bisa buat
aku lupa sama masalahku di rumah.”
3) Menilai masalah yang sedang terjadi
Ketika sedang dihadapkan dengan masalah, kedua subjek memiliki
pandangan dari setiap apa yang terjadi. Partisipan 1 menilai bahwa semua
permasalahan yang terjadi dalam keluarganya merupakan cobaan
baginya. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pernyataan dibawah ini:
“Aku percaya kalau semua itu ada tujuannya. Maksudnya Allah
kasi masalah ke kita itu pasti ada tujuannya. Walaupun kita ngalamin
masalah itu ya susah, tapi Allah pasti punya tujuan kenapa aku dikasi
kayak gitu.”
ketika menghadapi masalah yang membuat subjek terpuruk, subjek
sempat merasa kecewa dengan Allah hingga kemudian ia merasa
menyesal dengan pernyataan:
“Terus aku sempat nyesal aku pernah marah sama Allah, itu
goblok banget. terus aku mikir itu semua, ya aku malah makasih aku
pernah dikasi masalah kayak gitu sampai akhirnya aku bisa kayak
sekarang gitu. Jadi buat pelajaran juga.”
Sedangkan pandangan partisipan 2 terhadap masalah yang dia
hadapi merupakan ujian dan terdapat hikmah dalam setiap masalah
tersebut dengan pernyataan:
“Oh.. Ya aku mandangnya sebagai hikmah sih karena setelah
kejadian itu papa sakit, sediki-sedikit dia mulai ada perubahan akhirnya
puji Tuhan sekarang udah nggak kayak dulu lagi. Tapi kadang masih
marah-marah sih cuma ya ada hikmahnya juga sih dari masalah
kemarin. Ya nganggap itu sebagai cobaan juga, cobaan yang selama 16
tahun itu jadi cobaan yang sangat berat.”
13
4) Menerima tanggung jawab
Melakukan suatu pekerjaan disaat mengalami masalah memang
terkadang sulit bagi seseorang. Partisipan 1 menyatakan bahwa ketika
sedang menghadapi masalah, ia tidak bisa mengerjakan tugas dengan
baik. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pernyataan dibawah ini:
“Karena aku orangnya pemikir banget, pasti itu kebawa sama
pekerjaanku sih kak. Misalnya waktu aku UN SMP, jadi ayah kakakku ini
pernah masuk penjara karena dia nabrak orang sampai meninggal.”
“Itu aku dengar ini sih waktu UN, ngefek sih ke hasil UN, aku jadi
gak konsetrasi, mikirin itu terus kak.”
bahkan dalam mengerjakan tugas saat sedang menghadapi masalah,
partisipan 1 lebih nyaman ditemani oleh temannya dengan pernyataan:
“Jadi kalau lagi sendiri aku gak bisa ngerjain, misal kayak ada
tugas atau pekerjaan gitu aku gak bisa ngerjain sendirian. Tapi kalau
misal ada temanku, aku bakal bisa soalnya kan aku jadi gak ingat sama
masalahku.”
Sedangkan partisipan 2 menyatakan bahwa setiap masalah yang
terjadi tidak mempengaruhi subjek dalam melakukan atau menyelesaikan
tugas dengan pernyataan:
“Kayaknya selama aku ada tugas terus ada masalah, nggak sih
kak. Kayaknya setiap aku ada tugas, aku nggak punya masalah saat itu.
Ya paling aku punya masalah karena sering keluar tapi kalau tugas,
nggak sih. Jadi kalau misal aku ada tugas atau ujian di sekolah terus ada
masalah, kayaknya nggak ada pengaruh sih kak.”
5) Penghindaran masalah
Dalam menghadapi masalah, partisipan 1 melakukan penghindaran
masalah dengan cara belajar atau main dengan teman-teman. Hal ini
seperti yang diungkapkan dalam pernyataan dibawah ini:
14
“Kalau SD ya gitu tadi, ak larinya ke belajar, pokoknya aku
belajar terus soalnya kalau aku belajar kayak membaca, aku fokusnya
sama bacaanku dan nggak dengar sama apa yang mereka omongin.”
Partisipan juga kadang bermain ke rumah bibinya agar lupa dengan
masalahnya dengan pernyataan
“Misal kalau pulang sekolah gitu makan tempat bude, tempat
siapa gitu, pokoknya keluarga. Dan itu malah membantu aku soalnya
kalau di rumah, aku kayak inget gitu kak. Kalau tempat lain kan ketemu
sama teman, orang lain jadinya kan lupa gitu.”
Sedangkan partisipan 2 menyatakan bahwa dalam menghindar dari
masalah yang dihadapi, ia hanya diam dan bersembunyi di kamar. Hal ini
sesuai dengan pernyataan di bawah ini:
“Aku paling kalau aku yang mendapatkan, aku nangis sih. Aku
nggak bisa ngapa-ngapain sih kak soalnya aku takut aja gitu karna dia
orangtua aku, ya nggak mungkin aku ngelawan gitu.”
“Terus kalau aku melihat adik-adikku dikerasin, aku paling sering
ini sih, paling sering sembunyi gitu. Aku sembunyi karna takut
sebenarnya, paling kalau dikerasin gitu aku sembunyi digudang atau
nggak dikamar gitu karna aku takut sebenarnya.”
b. Aspek Problem Focused Coping
1) Mengurangi stressor secara konkrit
Dalam situasi yang tidak nyaman dan menekan, partisipan 1
terkadang berbicara pada diri sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan
dalam pernyataan dibawah ini:
“Yah aku dulu itu pernah dikasi tau sama temanku, kalau kamu
lagi punya masalah kamu ngaca, kamu ngomong sama kaca. Jadi kita itu
ngomong gimana ya, apa ya yang harus kita lakuin itu sama kaca gitu.
Aku sering sih lakuin hal gitu terus nanti pasti kepikiran, oh aku harus
gini-gini nih.”
Partisipan juga kadang berdoa dengan pernyataan:
“Aku pokoknya hal pertama yang aku lakuin itu berdoa dulu sama
Allah.”
15
Sedangkan partisipan 2 mengatakan bahwa ketika berada dalam
keadaan yang tidak nyaman dan menekan, partisipan melakukan usaha
seperti bekerja dengan pernyataan:
“atau nggak cari kerja sehingga bisa buat aku lupa dengan semua
masalahku di rumah”.
dan hal itu ia lakukan sebagai upaya dalam mengatasi situasi yang
menekan dengan harapan dapat mengurangi pikirannya terhadap masalah
tersebut.
(2) Mencari dukungan informasi
Dalam mencari dukungan, partisipan 1 bercerita pada orang yang ia
percayai seperti sahabatnya dengan pernyataan:
“Kalau nyelesain masalah kayak gitu sih biasanya aku cerita sama
orang yang aku percayakan. Alhamdulillah aku masih punya banyak
sahabat yang bertahan sampai saat ini dan biasanya cerita sama mereka
karena aku gak bisa menyelesaikan masalah seorang diri sih kak
orangnya.”
Sedangkan partisipan 2 menyatakan bahwa ketika mencari
dukungan, ia selalu pergi ke rumah nenek dan meminta bantuan kepada
nenek dengan pernyataan:
“Ya kalau cari bantuan sebenarnya di nenekku sih. Karena kalau
papaku itu nggak berani sama nenekku, jadi benar-benar bantuanku itu
ada di nenekku,”
karena menurutnya sosok nenek menjadi tempat berbagi ketika
subjek mendapat atau menghadapi masalah. Namun semua berubah saat
nenek sakit. Sesuai dengan pernyataan:
“Tapi karna semenjak nenek sakit selama 5 tahun stroke, ya udah
aku nggak bisa ngapa-ngapain. Jadinya ya udah seperti biasa aku kalau
dikerasin, ya ngindar gitu, nangis atau nggak sembunyi. Itu aja sih.”
16
(3) Perencanaan pemecahan masalah
Dalam perencanaan pemecahan masalah, partisipan 1 cerita pada
ibunya.
“Misalkan ee yang aku lakuin ini dulu nih, terkadang aku tu curhat
sama ibu. Terus akhir-akhir ini aku tu ngomong sama ibu gitu kalau lagi
ada masalah”
“ Jadi aku tu ngomong dulu sama ibu, siapa tau ibu punya cara
menyelesaikan masalahku.”
Sedangkan partisipan 2 mengatakan bahwa ia memiliki
perencanaan masalah
“Bingung mau mereka itu apa, mereka maunya kayak gini kayak
gitu tapi aku merasa ini baik namun mereka melarang akhirnya timbul
masalah hingga kekerasan.”
namun apa yang direncanakan berbeda dengan pendapat
orangtuanya.
Dukungan sosial merupakan suatu interaksi antara dua orang atau lebih
dimana individu yang satu membutuhkan masukan-masukan yang bermanfaat dari
individu yang lain ketika menghadapi berbagai macam masalah (Bonner dalam
Gunawan, 2010).
Dari penjelasan diatas ditarik kesimpulan bahwa secara keseluruhan dalam
keluarga kedua partisipan sama-sama terdapat kekerasan. Perbedaannya terletak
pada mengalami atau hanya melihat kekerasan tersebut. Partisipan pertama lebih
pada menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya pada anggota keluarga lain
sedangkan partisipan mendapat kekerasan dari orang tuanya sejak ia masih kecil.
Meski partisipan pertama tidak menerima kekerasan secara langsung, namun
tindakan kekerasan yang dilihatnya menimbulkan dampak lain seperti rasa tidak
percaya pada laki-laki. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang berkaitan
17
dengan peristiwa kekerasan yang disaksikan oleh anak menunjukkan hasil bahwa
kekerasan yang disaksikan oleh anak dapat menimbulkan efek psikis bagi anak
tersebut seperti trauma dan cemas (Mardiyati, 2015). Kedua partisipan
menggunakan tipe strategi coping terhadap situasi yang menekan dengan cara
yang cenderung hampir sama. Perbedaannya pada pengontrolan emosional dan
active-coping.
Pada emotion-focussed coping, partisipan pertama lebih pada tindakan
seperti merenung diri sendiri. Sedangkan partisipan kedua melakukan tindakan
seperti menyayat tangan. Hal itu ia lakukan sebagai upaya dalam menghilangkan
stres yang ia alami.
Pada problem-focused coping, partisipan pertama melakukan usaha seperti
berdoa. Sedangkan partisipan kedua lebih pada bekerja serta makan dan tidur
yang sering ia lakukan.
Namun dari semua coping yang dilakukan kedua partisipan, usaha terakhir
yang dilakukan adalah menerima masalah yang terjadi dengan berfikir positif.
Dalam hal ini kedua partisipan menganggap bahwa semua masalah yang terjadi
merupakan cobaan dan memiliki hikmah yang positif bagi kehidupan mereka di
masa depan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Spika, Shaver, dan
Kirkpatrick (dalam pitaloka, 2005) bahwa dalam proses coping ini memberikan
tiga peran religi bagi partisipan yaitu (a) menawarkan makna kehidupan, (b)
memberikan sense of control terbedar dalam menghadapi situasi, dan (c)
membangun self esteem.
18
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan tentang strategi coping pada remaja
yang tinggal pada keluarga dengan kekerasan dalam rumah tangga ditarik
kesimpulan bahwa terdapat bentuk-bentuk kekerasan yang diterima maupun
dilihat oleh kedua partisipan yang tinggal pada keluarga dengan kekerasan dalam
rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut yang dilihat partisipan 1 yaitu
kekerasan fisik dimana partisipan melihat kakaknya ditonjok oleh ayahnya dan
pertengkaran ayah dan ibunya, kekerasan psikis dimana partisipan merasa tidak
percaya dengan sosok laki-laki karena menganggap semua laki-laki seperti
ayahnya dan penelantaran rumah tangga, ayah partisipan 1 kerap kali pergi dan
tidak menafkahi keluarganya. Sedangkan partisipan 2 mendapat dan menerima
kekerasan fisik seperti ditampar, digigit bahkan dilukai dengan alat tajam.
Kemudian partisipan juga melihat adik dan ibunya diperlakukan hal yang sama
oleh ayahnya. Partisipan juga sering dimarah bahkan dicaci oleh ayahnya.
Kedua partisipan menggunakan kedua jenis coping untuk mengurangi stres
yang dirasakan dengan cara yang hampir sama. Perbedaannya pada pengontrolan
emosi dan active-coping. Namun usaha terakhir yang dilakukan adalah menerima
masalah yang terjadi dengan berfikir positif dengan menganggap bahwa semua
masalah yang terjadi merupakan cobaan dan memiliki hikmah yang positif bagi
kehidupan partisipan.
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian dan berdasarkan penafsiran dan kesimpulan
yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu: diharapkan para
19
partisipan dapat membagi dan memfokuskan diri dalam melakukan tindakan yang
mungkin dapat membahayakan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Para keluarga dan orang tua diharapkan dapat memberikan dukungan dan
bantuan serta menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga sehingga tidak
menimbulkan pertengkaran hingga berujung pada kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga.
Kemudian untuk peneliti selanjutnya dapat memberikan inspirasi ke depan
untuk menemukan fenomena-fenomena baru yang berkaitan dengan strategi
coping pada remaja sehingga semakin memperkaya pengetahuan mengenai
strategi coping khususnya kaum remaja, penerimaan diri pada remaja yang tinggal
pada keluarga dengan kekerasan dalam rumah tangga.
20
DAFTAR PUSTAKA
Asfriyati. (2003). Pengaruh Keluarga Terhadap Kenakalan Anak. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Budi, A. (2009). Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Anak. (Pusat Data
dan Informasi Komnas Perlindungan Anak. Diakses tanggal 29 Januari
2018, dari Http://jklpk-indonesia.org.
Dehismiati, B. (2015). Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Merokok pada
Remaja Laki-laku di Desa Candirenggo Ayah. Skripsi. Diakses pada 20
Maret 2018, dari file:///C:/Users/ROSYID/Downloads/123-397-1-PB.pdf
Ciciek, F. (2005). Jangan Ada lagi kekerasan dalam rumahtangga. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Fiqi, N. (2014). Hubungan Kekerasan Emosional Dan Fisik Orangtua Dengan
Konsep Diri Pada Remaja Di SMP N 35 Padang.
Fitria, A. I. (2014) Konsep diri remaja putri dalam menghadapi menarche.
Diakses pada tanggal 18 Januari 2018 dari
http://digilib.uinsby.ac.id/1883/5/Bab%202.pdf.
Hindriyani, H (2012) Kekerasan Terhadap Pekerja Anak Jalanan Di Kota Metro.
Kertamuda, F. & Herdiansyah H (2009). Pengaruh Strategi Coping Terhadap
Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru.
Khaninah, N. A & Widjanarko, M (2016). Perilaku Agresif Yang Dialami Korban
Kekerasan Dalam Pacaran.
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Mahyuni, L. (2001). Pengaruh Kekerasan dalam Rumahtangga yang Dilakukan
Suami pada Istri terhadap Kondisi Rumahtangga di Wilayah Kelurahan
Kelapa Tiga Kota Bandar Lampung. Skripsi. Universitas Lampung.
Mardiyati, I. (2015). Dampak Trauma Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terhadap Perkembangan Psikis Anak.
Mutadin, Z. Strategi Coping. Diakses pada 18 Januari tahun 2018, dari
http://www.e-psikologi.com/remaja/220702.htm,
Pratiwi, J. & Undarwati, A. (2014). Suicide Ideation Pada Remaja Di Kota
Semarang.
Rahmawati, B. A. (2014). Strategi Coping dalam menghadapi permasalahan
akademik pada remaja yang orang tuanya mengalami perceraian.
Susilowati, P. (2008). Dampak Kekerasan dalam Rumahtangga Bagi Wanita.
www.epsikologi.com. Diakses tanggal 29 Januari 2018.
Sarlito, S. (2001). Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada.