76
1 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kanker serviks merupakan neoplasma ganas pada wanita tersering kedua di dunia setelah kanker payudara. WHO pada tahun 2005 melaporkan terdapat sekitar 7,6 juta orang meninggal akibat kanker serviks, yaitu sekitar 13% kematian di dunia, sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian kanker serviks tahun 2008 dilaporkan 188.242 kasus baru (Ferlay et al., 2004; GLOBOCAN, 2008). Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita kanker serviks biasanya disesuaikan dengan stadium penyakitnya. Penderita kanker invasif awal diberi terapi operasi seperti cryotherapy, histerektomi total, histerektomi radikal, sedangkan pada penderita kanker yang sudah menyebar diberikan radioterapi dan kemoterapi. Obat kemoterapi yang sering diberikan contohnya adalah ifosnamide (Gracia, 2010). Pemberian obat-obat kemoterapi tersebut akan menimbulkan banyak efek samping yang tidak diinginkan. Selain itu pengobatan–pengobatan tersebut mahal, belum ada obat yang hanya membunuh sel kanker saja, dan tidak semua kasus dapat memberikan respons terapi yang sama. Maka

KTI chavia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KTI chavia

1

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kanker serviks merupakan neoplasma ganas pada wanita tersering kedua

di dunia setelah kanker payudara. WHO pada tahun 2005 melaporkan terdapat

sekitar 7,6 juta orang meninggal akibat kanker serviks, yaitu sekitar 13%

kematian di dunia, sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian kanker serviks

tahun 2008 dilaporkan 188.242 kasus baru (Ferlay et al., 2004; GLOBOCAN,

2008).

Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita kanker serviks biasanya

disesuaikan dengan stadium penyakitnya. Penderita kanker invasif awal diberi

terapi operasi seperti cryotherapy, histerektomi total, histerektomi radikal,

sedangkan pada penderita kanker yang sudah menyebar diberikan radioterapi dan

kemoterapi. Obat kemoterapi yang sering diberikan contohnya adalah ifosnamide

(Gracia, 2010). Pemberian obat-obat kemoterapi tersebut akan menimbulkan

banyak efek samping yang tidak diinginkan. Selain itu pengobatan–pengobatan

tersebut mahal, belum ada obat yang hanya membunuh sel kanker saja, dan tidak

semua kasus dapat memberikan respons terapi yang sama. Maka dari itu

dibutuhkan obat baru yang lebih sedikit efek sampingnya dan relatif lebih aman,

harga yang relatif terjangkau, dapat membunuh sel kanker langsung pada target,

serta dapat memberikan respon terapi yang baik pada setiap kasus.

Tanaman sirih sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia

sebagai tanaman obat tradisional yang berkhasiat untuk mengobati mimisan, diare,

sakit gigi, alergi, bronkitis, dan keputihan (Tanaman Berkhasiat-Obat tradisional,

2008; Nuri Andarwulan, 1996). Penelitian ini ingin mempelajari potensi daun

sirih untuk pengobatan kanker karena daun sirih juga diduga memiliki aktivitas

antioksidan dan antikanker.

Page 2: KTI chavia

2

Menurut penelitian hasil uji fitokimia daun sirih senyawa penting seperti

alkaloid, flavanoid, steroid, dan fenol beserta turunannya, yaitu

Hidroxychavicol (HC) dan Euginol (EU) (Arya, 2008; Pin et al.,2010). HC

berperan dalam aktivitas antioksidan ekstrak daun sirih (Pin et al.,2010).

Aktivitas antioksidan juga diduga akibat adanya kandungan beta karoten yang

terdapat pada daun sirih (Nuri Andarwulan, 1996).

Daun sirih diduga memiliki aktivitas sitotoksik karena mengandung

senyawa flavonoid yang dikenal memiliki aktivitas antikanker. Pada penelitian

Arya Srisadono pada tahun 2008 didapatkan bahwa ekstrak etanol daun sirih

dapat membunuh larva Artemia salina Leach sehingga membuktikan adanya

aktivitas antikanker menurut metode Brine Shrimp Lethality Test. Namun

penelitian tersebut masih berupa dasar indikasi komponen sitotoksik, sehingga

perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kultur sel kanker

(Arya, 2008).

Maka dari itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktifitas

antioksidan dari ekstrak etanol daun sirih. Untuk pemeriksaan antikanker

dilakukan pengujian aktivitas sitotoksik dan induksi apoptosis.

1.2 Identifikasi Masalah

Apakah ektrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas

antioksidan pemerangkap DPPH secara in vitro

Apakah ekstrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas

sitotoksik secara in vitro pada kultur sel HeLa

Apakah ekstrak etanol daun sirih (P. betle L.) memiliki aktivitas

induksi apoptosis secara in vitro pada kultur sel HeLa

1.3 Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui potensi antioksidan dan

antikanker daun sirih.

Page 3: KTI chavia

3

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. mengetahui aktivitas antioksidan secara in vitro dari ektrak etanol

daun sirih (P. betle L) dengan parameter pemerangkapan radikal

bebas 1,1-diphenyl 1-2-pycrylhydrazyl (DPPH) dibandingkan dengan

epigalokatekin galat (EGCG)

2. mengetahui aktivitas sitotoksik secara in vitro dari ekstrak etanol

daun sirih (P.betle L.) pada kultur sel HeLa dengan parameter

kemampuan membunuh sel karsinoma (IC50)

3. mengetahui aktivitas induksi apoptosis secara in vitro dari ekstrak

etanol daun sirih (P. betle L.) pada kultur sel HeLa dibandingkan

dengan doksorubisin.

1.4 Manfaat Karya Tulis Ilmiah

Manfaat dari penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan memperluas

wawasan tentang khasiat antioksidan pemerangkap DPPH dan antikanker ekstrak

etanol daun sirih.

1.5 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

1.5.1 Kerangka Pemikiran

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek

berbahaya radikal bebas oksigen reaktif, yang dapat berasal dari metabolisme

tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Antioksidan secara nyata dapat

memperlambat atau menghambat oksidasi dari zat yang mudah teroksidasi

meskipun dengan konsentrasi yang rendah. Tumbuh-tumbuhan memproduksi

metabolit sekunder seperti fenolik (asam fenolik, flavonoid, kuinin dan

koumarins), nitrogen (alkaloid dan amina) vitamin dan terpenoid yang merupakan

sumber antioksidan (Singh, 2004). Daun sirih memiliki senyawa alkaloid,

flavonoid, steroid, dan fenol beserta turunannya, yaitu Hidroxychavicol (HC)

Page 4: KTI chavia

4

dan Euginol (EU) (Arya, 2008; Pin et al., 2010). Dengan adanya senyawa aktif

HC dan EU diharapkan daun sirih memiliki aktivitas antioksidan dalam

pemerangkapan radikal bebas DPPH.

Kanker atau lebih dikenal sebagai neoplasma ganas, adalah istilah untuk

sekelompok besar penyakit yang pertumbuhan sel-selnya tidak dapat diatur lagi

oleh tubuh. Sel-sel membelah dan tumbuh tak terkendali, membentuk tumor

ganas, dan menyerang bagian tubuh dekatnya. Kanker juga dapat menyebar ke

bagian yang lebih jauh dari tubuh melalui sistem getah bening atau aliran darah.

Kanker serviks merupakan kanker tersering di Indonesia (Imam Rasjidi,

2009). Penyebab terjadinya kanker serviks adalah infeksi dari HPV 16 dan 18.

HPV menginfeksi sel basal yang belum matang dari epitel skuamosa pada epitelial

yang mengalami kerusakan, atau metaplasia sel squamosa yang belum matang

pada squamocolumnar junction (Elleson, 2010). Akibat dari infeksi HPV tersebut

terjadi perekrutan dan aktivasi sel-sel imun (makrofag, neutrofil dan sel

dendritik), sel-sel tersebut melepaskan akumulasi spesies oksigen reaktif (ROS)

dan spesies nitrogen reaktif. Spesies oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif

(NOS) adalah radikal bebas yang sangat reaktif dan mengandung elektron tidak

berpasangan. NOS dapat memodifikasi berbagai protein, membuat otoantigen dan

juga dapat meningkatkan fosforilasi dan menonaktifkan protein penekan tumor

retinoblastoma 1 (pRb) dan menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol.

Peningkatan NOS dapat meningkatkan aktivasi transkripsi angiogenesis dan

proto-onkogen, dan potensi metastasis tumor juga mutasi sehingga protein

penekan tumor p53 tidak bisa menginduksi apoptosis dari sel (Schetter, 2009).

Diharapkan eksktrak etanol daun sirih memiliki aktivitas antioksidan

pemerangkap DPPH. Dengan aktivitas antioksidan dapat menghambat proliferasi

sel dan menginduksi apoptosis dari sel HeLa yang merupakan kultur sel dari

kanker serviks. Sehingga untuk meneliti aktivitas antikanker secara in vitro dari

kanker serviks digunakan sel HeLa.

Page 5: KTI chavia

5

1.5.2 Hipotesis

o Ekstrak etanol daun sirih (P. betle L) memiliki aktivitas

antioksidan pemerangkap DPPH.

o Ekstrak etanol daun sirih ( P. betle L) memiliki aktivitas sitotoksik

terhadap kultur sel HeLa

o Ekstrak etanol daun sirih (P. betle L ) memiliki aktivitas

menginduksi apoptosis pada kultur sel HeLa.

1.6 Metodologi

Metodologi penelitian adalah eksperimental laboratorium. Untuk

mengetahui aktivitas antioksidan digunakan parameter pemerangkapan radikal

bebas DPPH (1,1-diphenyl-1-2-picrylhydrazyl) dibandingkan dengan

Epigalokatekin Galat (EGCG) sebagai standar. Untuk menguji antikanker,

meliputi aktivitas sitotoksik dengan menggunakan MTS Assay melalui

perhitungan Inhibitory Concentration (IC50) dan induksi apoptosis pada sel HeLa.

1.7 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Ilmu Kedokteran

Universitas Kristen Maranatha Bandung, Stem Cell dan Cancer Institute

Jakarta, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Penelitian

berlangsung dari Desember 2010- November 2011.

Page 6: KTI chavia

6

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Kanker Serviks

2.1.1Insidensi dan Epidemiologi Kanker Serviks

Kanker serviks adalah kanker tersering ke 2 di dunia dari semua keganasan

pada perempuan. Pada tahun 2002 diperkirakan ada 493.000 kasus baru di dunia

dan 274.000 orang meninggal akibat kanker serviks. Insidensi tertinggi ada pada

negara-negara berkembang dengan angka kejadian 83% dari total kasus kanker

serviks di seluruh dunia. Kasus baru di negara maju hanya 6,3 % dari total kasus

kanker serviks (Schorge et al, 2008). WHO pada tahun 2005 melaporkan terdapat

sekitar 7,6 juta orang meninggal akibat karsinoma serviks,yaitu sekitar 13%

kematian di dunia, sedangkan di Asia Tenggara angka kejadian karsinoma serviks

tahun 2008 dilaporkan 188.242 kasus baru (Ferlay et al., 2004; GLOBOCAN,

2008).

Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapura sebesar 25,0

pada ras Cina dan17,8 pada ras Melayu; sedangkan di Thailand sebesar 23,7 per

100.000 penduduk. Insidensi dan angka kematian kanker serviks menurun selama

beberapa dekade terakhir di Amerika Serikat. Hal ini karena skrining Pap Smear

menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada

kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada

tahun 2006.

Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks

setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium

patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah

penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%.

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks

sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium

lanjut, yaitu stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu

Page 7: KTI chavia

7

stadium dengan gangguan fungsi ginjal sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga

kasus (Imam Rasjidi, 2009).

2.1.2 Etiologi Kanker Serviks

Harald zur hausen menemukan bahwa HPV (Human Papiloma Virus)

adalah penyebab karsinoma serviks. HPV merupakan suatu virus DNA yang

memiliki dua subgroup, yaitu subgrup high oncogenic dan low oncogenic. HPV

yang high oncogenic dipercaya merupakan faktor terpenting pada onkogenesis di

serviks. Ada 15 high oncogenic HPV yang terindentifikasi dan dari sudut pandang

patologi serviks terdapat dua jenis HPV yang terpenting, yaitu HPV 16 dan HPV

18. HPV 16 sebanyak 60% dari kasus yang ada, HPV 18 ada 10% dari kasus ,

dan 5 % lainnya HPV tipe lainnya (Crum, 2005). Selain HPV, virus HIV (Human

Immunodeficiensy Virus) ternyata memegang peranan penting pada angka

kejadian kanker serviks (Gracia, 2010)

HPV merupakan kelompok virus dengan DNA rantai ganda tertutup

berbentuk sirkular. Genom virus mengkode 6 protein (E1, E2, E3, E4, E5 ,E6)

dengan fungsi sebagai protein pengatur dan 2 protein lain (L1, L2) untuk

membuat kapsid virus.

Sampai saat ini ada 77 genotip berbeda dari HPV yang teridentifikasi dan

diklon , diantaranya tipe 6,11, 16, 18, 26, 31, 33, 35, 39, 42, 43, 44, 45, 51, 52, 53,

54, 55, 56, 58, 59, 66, dan 68 yang diketahui menginfeksi jaringan anogenital.

Subgrup low oncogenic, HPV 6b dan 11, berhubungan dengan gradasi

rendah SIL (Squamous Intraepithelial Lesion) tetapi tidak pernah ditemukan pada

kanker invasif. Subgrup high oncogenic, kebanyakan HPV 16 dan 18, ditemukan

50-80 % pada SIL dan lebih dari 90% ditemukan pada kanker invasif. Walaupun

tipe 31, 33, 35, 39, 42, 43, 44, 45, 51, 52, 56, 68, 69, 68, 73 dan 82 lebih jarang

ditemukan juga diduga bersifat karsinogenik (Gracia, 2010).

Patogenesis kanker serviks berhubungan dengan HIV belum dimengerti

seluruhnya. Studi penelitan menunjukan wanita dengan HIV seropositive

memiliki prevalensi infeksi HPV lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan

Page 8: KTI chavia

8

HIV seronegatif. Gangguan fungsi limfosit pada wanita dengan HIV

mengakibatkan infeksi HPV menjadi persisten sehingga meningkatkan angka

kejadian kanker serviks (Gracia, 2010).

2.1.3 Faktor Risiko Kanker Serviks

Faktor risiko untuk kanker serviks berhubungan dengan kondisi inang,

karakteristik virus HPV yang mengenainya, respons imun yang tidak efisien, dan

kehadiran ko-karsinogen. Faktor ko-karsinogen itu termasuk berganti-ganti

pasangan seksual, waktu berhubungan seksual pertama kali di usia muda (kurang

dari 16 tahun), multiparitas, infeksi persisten high oncogenic HPV (HPV 16 atau

HPV18), imunosupresi, beberapa subtype HLA, pengunaan kontrasepsi oral dan

nikotin, dan sosioekonomi yang rendah (Crum, 2005; Bidus et al., 2007).

Paritas dan pemakaian kontrasepsi oral kombinasi sangat berpengaruh

terhadap kanker serviks. Multiparitas akan menigkatkan angka kejadian kanker

serviks. Risiko terkena kanker serviks pada wanita yang telah melahirkan tujuh

kali meningkat 4 kali, sedangkan pada wanita yang telah melahirkan satu atau dua

anak akan meningkat 2 kali dibandingkan yang belum pernah melahirkan

(nulipara). Sedangkan penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dalam jangka

waktu lama akan menjadi ko-faktor. Pada studi in vitro hormon progesteron

dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan kanker serviks, proliferasi sel, dan

mutasi sel. Sedangkan estrogen berperan sebagai agen anti apoptosis sehingga sel-

sel yang sudah terinfeksi HPV dapat berproliferasi (Scorge et al., 2008). Terdapat

penelitian bahwa penggunaan kontrasepsi oral dapat meningkatkan insidensi

abnormalitas glandula serviks (Bidus et al, 2007).

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi

sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Pasangan dari pria

dengan kanker penis atau pasangan dari pria yang istrinya meninggal terkena

kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks.

Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab

kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada

Page 9: KTI chavia

9

serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa

langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau

melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari

tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok.

Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama

infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan (Bidus et al, 2007; Imam

Rasjidi, 2009)

2.1.4 Klasifikasi Kanker Serviks

Berat ringannya suatu karsinoma serviks dilihat dari stadiumnya. Stadium

yang sering digunakan para klinis adalah menurut FIGO (Federation of

Gynecology and Obstetrics).

Berdasarkan FIGO dibagi menjadi,

Stadium I

Pada stage ini karsinoma terbatas pada serviks, perluasan ke daerah korpus

uterine harus diabaikan. Diagnosis baik Stage IA1 dan IA2 harus berdasarkan

pemeriksaan mikroskopis yang mencakup seluruh lesi.

Stadium IA

Karsinoma invasif teridentifikasi hanya secara mikroskopis. Invasi hanya

terbatas pada stroma dengan kedalaman maksimum 5 mm dan tidak lebih

lebar dari 7 mm.

o Stadium IA1

Invasi dari stroma tidak lebih dalam dari 3 mm dan diameternya tidak

lebih lebar dari 7 mm.

o Stadium IA2

Invasi dari stroma lebih dalam dari 3 mm tetapi tidak lebih dalam dari

5 mm dan diameternya tidak lebih dari 7 mm

Stadium IB

Page 10: KTI chavia

10

Lesi klinis terbatas pada serviks atau lesi preklinis yang lebih besar dari

Stadium IA. Semua gross lesi dengan invasi superfisial termasuk stadium

IB.

o Stadium IB1: Lesi klinis yang ukurannya tidak lebih besar daripada

4 cm.

o Stadium IB2: Lesi klinis yang ukurannya lebih besar dari 4 cm.

Stadium II

Pada Stadium II karsinoma meluas melampaui serviks, tetapi tidak meluas

sampai ke dinding pelvis. Karsinoma mencapai vagina, tetapi belum mencapai

sepertiga vagina bagian bawah.

Stadium IIA

Tidak ada keterlibatan parametrium. Keterlibatan hanya sebatas duapertiga

vagina bagian atas.

Stage IIB

Adanya keterlibatan parametrium tetapi tidak mengenai dinding samping

pelvis.

Stadium III

Pada stadium III karsinoma meluas sampai dinding samping pelvis. Pada

pemeriksaan rektum, didapatkan tidak ada rongga kosong antara dinding pelvis

dan tumor. Tumor mencakup sepertiga bawah vagina. Semua kasus dengan

hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi masuk kedalam stage III.

Stadium IIIA

Tidak ada perluasan ke dinding pelvis tetapi tumor mencakup vagina

sepertiga bawah.

Stadium IIIB

Perluasan ke dinding pelvis atau hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi.

Stadium IV

Pada Stadium IV karsinoma telah meluas melampaui pelvis atau secara

klinis telah mencakup mukosa vesika urinaria dan atau rektum.

Stadium IVA

penyebaran tumor mencapai organ pelvis yang berdekatan.

Page 11: KTI chavia

11

Stadium IVB

penyebaran mencapai organ yang jauh (FIGO, 2009).

2.1.5 Patogenesis Kanker Serviks

Patogenesis dari karsinoma serviks telah terdeskripsi dari epidemiologi

klinikopatologi dan studi genetika molekuler. Berdasarkan data epidemiologi,

karsinoma serviks berhubungan erat dengan penyakit menular seksual yaitu HPV.

Infeksi genital akibat HPV sangat umum terjadi, sebagian besar

asimptomatis, tidak mengakibatkan perubahan jaringan dan tidak terdeteksi pada

pemeriksaan Pap smear. Puncak prevalensi HPV di usia 20 tahun dan

berhubungan dengan awal aktivitas seksual, dan prevalensi menurun dengan

adanya imunitas dan hubungan yang monogami. Sebagian besar infeksi HPV ada

dan dieliminasi oleh respons imun dalam beberapa bulan. Bila diambil rata-

ratanya, 50% infeksi HPV bersih dalam waktu 8 bulan, 90% infeksi bersih dalam

waktu 2 tahun. Durasi infeksi tergantung dari subgrup HPV, high oncogenic HPV

menginfeksi lebih lama dibanding low oncogenic HPV. Infeksi persisten dari

HPV akan meningkatkan risiko perkembangan dari prekanker servikal dan

karsinoma.

HPV menginfeksi sel basal yang belum matang dari epitel skuamosa pada

epitelial yang mengalami kerusakan, atau metaplasia sel skuamosa yang belum

matang pada squamocolumnar junction. HPV tidak dapat menginfeksi sel

skuamosa matang yang melapisi ektoserviks, vagina, atau vulva (Ellenson, 2010).

Karsinoma sel skuamosa tumbuh pada squamocolumnar junction yang di

awali dari infeksi HPV dan diikuti lesi awal displasia. Perubahan dari displasia

menjadi kanker invasif membutuhkan beberapa tahun. Perubahan molekuler pada

karsinogenesis serviks sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti.

Karsinogenesis merupakan interaksi antara lingkungan, imunitas inang, dan

variasi genom sel somatik.

HPV berperan penting dalam perkembangan kanker serviks. Onkoprotein

HPV dapat meningkatkan proliferasi dari sel–sel kanker. Serotipe HPV yang

Page 12: KTI chavia

12

onkogenik dapat berintegrasi dengan genom manusia. Hasil dari infeksi tersebut

onkogenik HPV akan mereplikasi protein E1 dan E2 sehingga virus dapat

replikasi di dalam sel serviks. Pada awal infeksi HPV, protein ini diproduksi

dalam jumlah banyak. Gen dari virus akan menghasilkan oncoprotein E6 dan E7

dan menyebabkan transformasi dari sel serviks yang normal menjadi sel tumor.

Protein E7 akan berikatan dengan protein penekan tumor retinoblastoma (Rb),

sedangkan protein E6 akan berikatan dengan protein penekan tumor P53. Ikatan

tersebut mengakibatkan degradasi dari protein penekan tumor. Efek dari degradasi

P53 ini berhubungan dengan proliferasi dan imortalisasi sel serviks (Schorge et

al., 2008).

2.1.6 Penatalaksanaan Kanker Serviks

Penatalaksanaan kanker serviks harus ditangani sesuai dengan stadiumnya.

Rekomendasi penatalaksanaan untuk stadium awal

Stadium IA1

Penatalaksaanan utama untuk stadium awal kanker serviks adalah

pembedahan atau terapi radiasi. Penatalaksanaan yang dianjurkan

termasuk histerektomi ekstrafasial, trakelektomi yaitu tindakan operasi

dengan membuang bagian serviks dan bagian uterus yang masuk ke vagina

setra kelenjar limfe pelvis atau histerektomi yang dimodifikasi dengan

diseksi nodus pelvikus.

Stadium IA2

Pasien dengan stadium tumor IA2 diterapi dengan histerektomi radikal

atau trakelektomi radikal dengan diseksi nodus limfatikus. Pilihan

alternatif yaitu brakiterapi dengan atau tanpa terapi radiasi pelvis (dengan

dosis 75-80 Gy).

Stadium IB dan IIA

Pasien dengan stadium IB dan IIA dapat diterapi dengan pembedahan

(trakelektomi radikal, limfadenektomi, histerektomi radikal dengan diseksi

nodus limfaktikus pelvis bilateral), pelvis radioterapi atau kemoradiasi.

Page 13: KTI chavia

13

Jika nodus limfatikus telah positif terkena metastase, histerektomi tidak

dianjurkan, tetapi pasien dapat melakukan kemoradiasi. Pasien dengan

stadium IB atau IIA dapat diberikan juga radioterapi pelvis dan brakiterapi

dengan atau tanpa pemberiankemoterapi berbasis cisplatin.

Rekomendasi penatalaksanaan untuk stadium lanjut

Stadium IIB, IIIA, IIIB dan IVA

Penatalaksaan yang dianjurkan untuk pasien dengan stadium lanjut adalah

dengan memberikan kemoradiasi dan brakiterapi secara bersamaan.

Rekomendasi penatalaksanaan untuk metastate

Stadium IVB

Pasien dengan metastase diterapi dengan kemoterapi berbasis cisplatin.

Radioterapi juga dianjurkan untuk mengontrol penyakit di pelvis dan

gejala lainnya (Broadman, 2010).

2.2 Daun Sirih (Piperbetle Linn)

Tumbuhan daun sirih merupakan tumbuhan merambat yang tumbuh

bersandar pada batang pohon lain sebagai induk. Panjang tanaman sirih ini dapat

mencapai 15 meter. Daunnya pipih menyerupai jantung berujung runcing,

permukaan daun berwarna hijau dan licin tumbuh berselang seling bertangkai

agak panjang, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau kecoklatan dan

permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut, berbentuk bulat, beruas dan

merupakan tempat keluarnya akar (Baitul herbal, 2010).

2.2.1 Taksonomi Sirih

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Page 14: KTI chavia

14

Genus : Piper

Spesies : Piper betle Linn

2.2.3 Kandungan dan khasiat Daun Sirih

Menurut hasil penelitian uji fitokimia, daun sirih didapatkan memiliki

senyawa penting seperti alkaloid, flavonoid, steroid, beta karoten, dan fenol

beserta turunannya. Senyawa penting ini memiliki peran dalam aktivitas

antioksidan ekstrak daun sirih, terutama beta karoten dan turunan fenol, yaitu

Hidoxychavichol (HC) dan Euginol (EU) (Arya Srisadono, 2008; Pin et al.,2010).

2.3 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia berupa atom molekul yang

memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya. Atom terdiri atas

nukleus, proton, dan elektron. Jumlah proton dalam nukleus menentukan jumlah

dari elektron yang mengelilingi suatu atom. Elektron ini berperan dalam dalam

reaksi kimia dan merupakan bahan yang menggabungkan atom-atom untuk

membentuk suatu molekul. Elektron akan mengelilingi atau mengorbit suatu atom

dalam satu atau lebih lapisan. Suatu bahan dengan lapisan luar penuh elektron

tidak akan terjadi reaksi kimia. Karena atom-atom berusaha untuk mencapai

keadaan stabilitas maksimum, sebuah atom akan mencoba melengkapi lapisan

luar dengan 2 cara, dengan menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi

maupun mengosongkan lapisan luarnya, membagi elektron–elektronnya dengan

cara bergabung bersama atom yang lain dalam rangka melengkapi lapisan luarnya.

Radikal bebas sangat reaktif sehingga memiliki spesifitas kimia yang

rendah dan dapat bereaksi dengan molekul –molekul lain seperti protein lemak,

karbohidrat, dan DNA. Radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli

dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya untuk

mendapatkan stabilitas kimia. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang

terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi

Page 15: KTI chavia

15

radikal bebas juga sehingga akan terjadi reaksi berantai dan mengakibat kerusakan

sel.

Radikal bebas dapat terbentuk secara in vivo dan in vitro melalui

kehilangan satu elektron dari molekul normal, penambahan elektron pada molekul

normal dan pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua. Reaksi

yang terakhir jarang terjadi pada sistem biologi karena memerlukan tenaga yang

tinggi dari sinar ultraviolet, panas dan radiasi ion.

Radikal babas yang penting dalam tubuh adalah radikal bebas derivat

oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ ROS),

termasuk di dalamnya triplet (3O2), tunggal (O2), anion superoksida (O2-), radikal

hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitirit (ONOO-), asam hipoklorid

(HOCl) , radikal alkoksil (LO-) dan radikal peroksil (LO2-).

Radikal bebas di tubuh manusia berasal dari endogen dan eksogen.

Sumber endogen didapat dari otoksidasi, oksidasi enzimatik, respiratory burst.

Otoksidasi merupakan produk dari proses metabolism aerobik. Molekul yang

mengalami otoksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, myoglobin, sitokrom

C yang tereduksi, dan thiol. Otoksidasi dari molekul diatas menghasiklan reduksi

dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok reaktif oksigen. Oksidasi

enzimatik dalah beberapa jenis sistem enzim yang mampu menghasilkan radikal

bebas dalam jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase,

prostaglandin synthetase, lipoxygenase, aldehydeoxidase, dan aminoacid oxidase.

Repiratory brust merupakan proses dimana sel fagositik menggunakkan oksigen

dalam jumlah yang besat selama fagositosis.

Oxidative stress adalah keadaan yang mana tingkat oksigen reaktif

intermediate (ROI) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen.

Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas, yang akan bereaksi dengan

asam lemak, protein, asam nukleat selular, sehingga terjadi kerusakan lokal dan

disfungsi organ tertentu. Lemak merupakan biomolekul yang rentan terhadap

serangan radikal bebas. Membran sel kaya akan sumber Poly Unsaturated Fatty

Acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh bahan pengoksidasi, proses ini dinamakan

peroksidasi lemak. Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal bebas

Page 16: KTI chavia

16

daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali

bila sangat ekstensif. Kerusakan pada DNA kemungkinannya kecil, biasanya

kerusakan terjadi bila ada lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi,

dan terjadi sebelum replikasi sehingga terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat

menyerangDNA jika terbentuk di sekitar DNA (Arief Sjamsul, 2008).

2.4 Karsinogenesis

Bila sel normal terpajan pada agen-agen perusak DNA seperti kimia,

radiasi, dan virus, terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu sel dapat

memperbaiki dirinya dan kembali lagi menjadi sel normal, atau sel mengalami

kegagalan dalam memperbaiki DNA yang rusak tersebut. Kegagalan dalam

memperbaiki DNA yang rusak dapat disebabkan oleh adanya mutasi pada gen

yang mempengaruhi perbaikan DNA dan gen yang mempengaruhi pertumbuhan

dan apoptosis dari sel. Kerusakan DNA yang permanen ini mengakibatkan

terjadinya mutasi dari genom sel tubuh.

Mutasi dari genom sel tubuh akan mengakibatkan aktivasi dari onkogen

pencetus pertumbuhan, inaktivasi dari gen penekan tumor, serta adanya

penggantian gen yang mengatur terjadinya apoptosis. Aktivasi dari onkogen

pencetus pertumbuhan dan inaktivasi gen penekan tumor akan mengakibatkan

proliferasi sel yang tidak dapat dikendalikan, sedangkan perubahan gen yang

mengatur apoptosis akan menurunkan angka apoptosis dari sel. Kedua mekanisme

ini akan berakibat pada ekspansi klonal.

Ekspansi klonal didukung oleh angiogenesis, kemampuan untuk tidak

dikenali oleh sistem imun tubuh serta mutasi tambahan akan meningkatkan

progresivitas tumor. Keadaan tersebut mengakibatkan tumor berubah menjadi

suatu keganasan yang invasif dan dapat bermetastate (Stricker and Kumar , 2010)

Page 17: KTI chavia

17

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek

berbahaya radikal bebas oksigen reaktif, yang dapat berasal dari metabolisme

tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Antioksidan secara nyata dapat

memperlambat atau menghambat oksidasi dari zat yang mudah teroksidasi

meskipun dengan konsentrasi yang rendah. Penggunaan senyawa antioksidan

sebagai anti radikal bebas saat ini meluas seiring dengan semakin besarnya

pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit

degeneratif seperti penyakit jantung, arteriosklerosis, kanker, serta gejala penuaan.

Fungsi utama antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses

oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam

makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,

meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah

hilangnya kualitas rasa dan nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor

yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan

pengolahan makanan. Manusia menghasilkan antioksidan dalam tubuhnya untuk

menjaga kesehatan setiap hari dalam jumlah yang terbatas sehingga tidak cukup

untuk mengikat radikal bebas yang dihasilkan sehingga membutuhkan asupan

antioksidan dari luar. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi

kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang

dihasilkan.

Tumbuh-tumbuhan memproduksi metabolit sekunder seperti senyawa

fenolik (asam fenolik, flavonoid, kuinin dan koumarins), nitrogen (alkaloid dan

amina) vitamin dan terpenoid yang merupakan sumber antioksidan (Singh, 2004)

Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim

meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase

(GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan

enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten

dan asam askorbat (vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan .

Sebagai antioksidan, betakaroten adalah sumber utama vitamin A yang

Page 18: KTI chavia

18

sebagian besar terdapat pada tumbuhan. Betakaroten melindungi buah-buahan dan

sayuran berwarna kuning atau hijau gelap dari bahaya radiasi matahari dan

berperan serupa dalam tubuh manusia. Betakaroten terkandung dalam wortel,

brokoli, kentang dan tomat. Senyawa lain yang memiliki sebagai antioksidan

adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh,

buah-buahan, sayuran, anggur, bir dan kecap.

Kekurangan salah satu komponen antioksidan akan menyebabkan

terjadinya penurunan status antioksidan secara menyeluruh dan berakibat

perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas melemah, sehingga terjadilah

berbagai macam penyakit (Ilham Kunchayo, 2007).

2.6 Antikanker

2.6.1 Sitotoksik

Uji sitotoksik adalah suatu evaluasi praklinik dari perkembangan obat baru

yang digunakan untuk membuktikan aktivitas antineoplastik yang dilakukan

secara in vitro maupun in vivo. Uji sitotoksisitas in vitro dapat dilakukan sebagai

penapisan awal untuk mengetahui kandungan senyawa yang bersifat sitotoksik.

Kegunaan dari uji sitotoksisitas antara lain untuk mengetahui senyawa yang aktif

dan mekanisme kerja efek toksik dari suatu senyawa tertentu serta mengetahui

kisaran dosis dan senyawa apa saja yang memiliki efek sitotoksik. Untuk menguji

efek sitotoksik secara in vitro digunakan kultur sel, sedangkan untuk menguji

sitotoksitas secara in vivo digunakan metode tumor hewan.

Respons sel terhadap senyawa sitotoksik sangat dipengaruhi oleh

kerapatan sel. Penilaian respons tersebut dilihat dari banyaknya jumlah sel yang

mengalami kematian baik sel normal maupun sel kanker. Parameter yang

digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel yang mengalami kematian ialah

gangguan sintesis, kerusakan dari membran, degradasi makromolekul, perubahan

morfologi sel, dan modifikasi kapasitas metabolisme. Perubahan yang dapat

dilihat dari mikroskop elektron merupakan perubahan morfologi dari sel,

Page 19: KTI chavia

19

sedangkan kerusakan membran dapat dilihat dari perhitungan sel, dengan

menghitung banyaknya protein yang berlabel 13C yang dilepaskan sel yang lisis

atau kemampuan menyerap bahan pewarna seperti biru trypan (Freshney, 2000).

Parameter lain yang digunakan untuk menilai viabilitas sel adalah MTS (3-

(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-5-(3-carboxymethoxyphenyl)-2-(4-sulfophenyl)-2H-

tetrazolium) assay. Pada MTS assay sel hidup akan mereduksi MTS menjadi

formazan yang berwarna ungu dengan enzim dehydrogenase. Enzim

dehidrogenase didapatkan pada sel hidup, sedangkan pada sel mati tidak punya

enzim ini sehingga MTS tidak dapat diubah menjadi formazan (Kuang et al,

2004).

2.6.2 Induksi Apoptosis

Apoptosis merupakan proses fisiologis yang aktif mengakibatkan

penghancuran diri sel-sel yang tidak diinginkan yang tidak didapatkan pada sel

kanker. Apoptosis ditandai dengan perubahan morfologi yang berbeda, termasuk

penyusutan sel, kondensasi kromatin, fragmentasi DNA, dan pembentukan badan-

badan apoptosis (Shetter, 2009).

Berbeda dengan sel tubuh normal, se-sel kanker mengakibatkan aktivasi

dari onkogen pencetus pertumbuhan dan inaktivasi dari gen penekan pertumbuhan

tumor.

Ada dua jalur untuk mengaktifkan apoptosis, yaitu jalur ekstrinsik dan

jalur intrinsik. Suatu sel akan memasuki apoptosis jalur ekstrinsik bila ada sinyal

yang melalui reseptor kematian CD95/Fas. Ketika CD95/Fas berikatan dengan

ligannya, maka terjadilah trimerisasi dari reseptor dan sitoplasma area kematian

yang berinteraksi dengan protein adaptor FADD. Protein FADD ini akan merekrut

procaspase 8 untuk membentuk induksi sinyal kematian yang kompleks.

Kemudian procapsase 8 ini akan diaktifkan menjadi Caspase 8 untuk

mengaktivasi caspase downstream, seperti caspase 3 yang merupakan caspase

pengeksekusi dan substrat lain yang menyebabkan kematian sel. Selain itu caspase

8 juga ternyata dapat mengaktifkan BH-3 yang dapat mengaktivasi jalur intrinsik.

Page 20: KTI chavia

20

Sedangkan jalur intrinsik akan aktif jika distimulasi oleh stres dan jejas.

Aktivasi jalur ini akan mengakibatkan peningkatan permeabelitas membran

mitokondria terluar sehingga sitokrom c yang menginisiasi apoptosis dihasilkan.

Keluarga protein BCL-2 akan meregulasi integritas membran luar mitokondria

dengan cara proapoptosis dan antiapoptosis. Protein BAX dan BAK dibutuhkan

untuk peristiwa proapoptosis karena secara langsung mempromosikan

permeabilitas dari mitokondria, sedangkan protein penghambatnya adalah BCL2

dan BCL-XL. Sejumlahh protein BAD, BID, dan PUMA akan meregulasi

keseimbangan antara pro dan antiapoptosis.

BAX dan BAK akan diaktifkan dan membentuk lubang di membran

mitokondria. Sitokrom c masuk ke sitosol dan berikatan dengan APAF1 dan

mengaktifkan caspase 9. Seperti caspase 8, caspase 9 pun dapat mengaktifkan

caspase pengeksekusi (caspase 3) yang dapat mengaktifkan substrat kematian dan

terjadilah apoptosis (Sticker and Kumar, 2010).

2.7 Flow cytometry

Flow cytometry adalah alat yang dapat memberi informasi gambaran sel

atau partikel yang jatuh di depan sumber cahaya dan kemudian mendeteksi sinyal

yang datang dari sel tersebut sebagai hasilnya. Alat flow cytometry ini seperti

mikroskop tetapi memiliki tabung kapiler sehingga sel dapat lewat dan

diidentifikasi satu persatu oleh fotodetektor.

Kegunaan dari alat ini adalah untuk menghitung partikel atau sel, dengan

cara membiarkan objek tersebut mengalir melalui tabung kapiler satu persatu.

Dalam flow cytometry ini , ada yang disebut dengan istilah “event”, “event”

adalah indikasi tentang apapun yang diinterpretasikan oleh alat flow cytometry

tersebut sebagai satu partikel tunggal.

Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis partikel tunggal dengan

terlebih dahulu membuat suspensi dari sel atau partikel yang akan diidentifikasi.

Dalam sejarah, partikel yang dianalisis oleh flow cytometry adalah sel darah,

karena merupakan sel tunggal dan tidak membutuhkan manipulasi. Selain itu

Page 21: KTI chavia

21

kultur sel dan cell lines juga dapat digunakan, walaupun merupakan sel yang

saling menempel satu sama lain dan membutuhkan perlakuan untuk memindahkan

sel–sel tersebut dari permukaan dimana sel itu tumbuh. Selain untuk

mengidentifikasi sel, flow cytometry pun dapat mengidentifikasi partikel yang

bukan merupakan sel sama sekali, contohnya (virus, nukleus, kromosom, dan

fragmen DNA). Bila sel yang akan diidentifikasi bukan merupakan partikel

tunggal dapat diberikan aktivitas mekanik atau pencernaan dengan enzim,

sehingga sel tersebut dapat diidentifikasi oleh flow cytometry.

Penggunaan alat flow cytometry ini sangat menguntungkan karena dapat

menghitung sel dengan kecepatan 500 hingga lebih dari 5000 sel per detik. Selain

itu juga karakteristik individual dari setiap sel yang dihitung dapat diketahui

jumlahnya, hubungan antar satu sel dengan sel yang lain dan simpulan. Namun

kekurangan dari alat ini jika yang diidentifikasi adalah bukan partikel tunggal,

maka dibutuhkan pemisahan, dan apabila yang dipisahkan adalah jaringan maka

karakteristik dari sel individual dapat berubah dan semua informasi tentang

arsitektur jaringan dan distribusi sel akan hilang.

Sel yang akan diidentifikasi tidak boleh terlalu kecil dan tidak boleh

terlalu besar, diameternya harus diantara approx 1 m dan approx. 30 m. sebab

flow cytometry tidak akan sensitif untuk mendeteksi sinyal dari partikel yang

terlalu kecil, dan akan rusak bila dilewati partikel yang terlalu besar. Partikel yang

akan dianalisis oleh flow cytometry harus berupa suspensi dalam buffer dengan

kosentrasi antara 5x 105 sampai 5 x106 /mL.Dengan kisaran konsentrasi suspensi

tersebut diharapkan partikel akan mengaliri melalui cytometre satu per satu.

Partikel akan memantulkan cahaya dan pantulan cahaya ini dapat

dideteksi. Beberapa pancaran cahaya bukan berasal dari pantulan tetapi partikel

yang ada dapat berfluoresensi. Partikel yang tidak dapat berfluoresensi dapat

diwarnai dengan perwarna fluoresen selama persiapan sehingga bahan yang tidak

berflouresen dapat terdeteksi oleh cytometre. Pewarna Fluoresen adalah pewarna

yang dapat mengabsorpsi cahaya dengan beberapa warna spesifik dan

memancarkan cahaya dengan warna yang berbeda. Pewarna fluoresen mungkin

berkonjugasi dengan antibodi, dalam kasus ini yang terdeteksi adalah jumlah

Page 22: KTI chavia

22

protein atau antigen yang diikat oleh antibodi. Beberapa molekul fluorochrome

conjugate dapat digunakan untuk mengidentifikasi apoptosis. Pewarna dapat

berfluoresensi ketika terikat dengan komponen selular. Pewarnaan dengan DNA

dengan menggunakan fluorochrome sensitif sehingga dapat digunakan untuk

melihat pembelahan pada sel normal dan sel keganasan serta mempelajari proposi

sel pada setiap tahap siklus. Pewarna yang digunakan harus sesuai dengan

cytometre, sehingga dibutuhkan panjang gelombang spesifik dari filter didepan

alat fotodetektor, dan pengetahuan tentang absorpsi dan karakteristik pancaran

yang dihasilkan (Hawley,2004).

Salah satu aplikasi dari penggunaan flow cytometry yaitu menilai siklus sel

dari content DNA. Analisis dari flow cytomety berdasarkan kemampuan DNA sel

unuk menyerap zat warna, dimana jumlah zat warna yang terikat pada DNA sel

memiliki proposi yang setara dengan jumlah DNA pada sel tersebut. Ada berbagai

zat warna yang dapat digunakan, salah satunya adalah dengan Propidium Iodida

(PI). Kerja dari PI adalah berinterkalasi diantara pasang basa untai DNA dan RNA

rantai ganda.

Hasil dari flow cytometry akan menggambarkan distribusi populasi sel

berdasarkan content DNA. Hasil dari flow cytometry ini dibagi menjadi empat

daerah sesuai dengan siklus sel, yaitu daerah sub G0/G1, daerah G0/G1, daerah

sintesisn (S) dan daerah G2/mitosis (M). Daerah G0 diasumsikan sama dengan G1

karena pada baik pada daerah G0 maupun daerah G1 memiliki content DNA yang

sama yaitu 2n (diploid). Daerah G2 dan daerah M juga diasumsikan sama, karena

content DNA pada kedua daerah tersebut samam yaitu 4n (tetraploid). Dareah sub

G0/G1 berisikan populais sel dengan content DNA kurang dari 2n. Daerah S

berisikan populasi sel dengan content DNA antara 2n dan 4n.

Penilain induksi apoptosis dapat dinilai dari banyaknya populasi sel pada

daerah sub G0/G1. Proses induksi apoptosis akan diakhiri dengan fragmentasi

DNA dan pengerutan sel, sehingga sel yang mati akibat proses induksi apoptosis,

content DNA akan kurang dari 2n dan dapat terlihat pada derah sub G0/G1.

Berbeda dengan sel yang mati akibat sitotoksik, dimana proses akhirnya adalah

sel lisis dan DNA nya keluar dari sel, makan sel yang lisis dan DNA sel akan

Page 23: KTI chavia

23

terlihat sebagai debris sel. Debris sel ini akan membentuk suatu daerah baru di

sebelah kiri dari daerah sub G0/G1(Rabinovicth, 2010).

2.8 Sel HeLa

Sel HeLa adalalah kultur sel dari kanker serviks epidermoid manusia,

yang pertama kali ada. Pada 9 Februari 1951, Lawrence Wharton Jr., seorang

dokter bedah, memindahkan jaringan dari pasien Henrietta Lacks, seorang wanita

Afrika Amerika berusia 31 tahun yang berasal dari Baltimore, di Women’s Clinic

of the Johns Hopkins Hospital. Sel dari kanker serviks ini diperiksa tingkat

keganasannya. Pasien itu meninggal 8 bulan kemudian akibat penyakit tersebut.

Bagian sel yang dibiopsi dikirim ke George Gey, kepala laboratorium

kultur sel di John Hopkins Hospital. Sel itu dibudidayakan dan disebar melalui

metode kultur sel untuk digunakan pada penelitian.

Sel HeLa dikembangkan di dalam suatu wadah atau botol, merupakan

kumpulan sel yang saling menyokong satu sama lain sehingga menempel pada

bagian bawah tempat tumbuhnya. Sel HeLa juga dapat tumbuh dalam suspensi.

Saat terbaik untuk memindahkan sel HeLa adalah ketika sel itu dalam keadaan

70–80 % tersebar merata pada tempat hidupnya (konfluens). Sel HeLa maksimal

digunakan setelah 20 passage. Untuk media pertumbuhannya digunakan DMEM

dan RPMI 1640. Waktu sel HeLa membelah diri adalah 23 -24 jam (Capes, 2010).

Bab III

Page 24: KTI chavia

24

Bahan dan Metode Penelitian

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat yang Digunakan :

1. maserator

2. rotary vacuum evaporator

3. flacon

4. oven

5. wheel micro plate 96

6. timbangan analitik

7. mikropipet

8. spektrofotometer

9. beaker glass

10. botol kaca steril

11. thermometer

12. tabung eppendorf

13. tabung vial 15 dan 50 ml

14. corong

15. labu ukur

16. architect ci 8200

17. autoklaf

18. inkubator CO2

19. laminar air flow

20. yellow dan Blue Tips

21. hemositometer

22. inverted microscope

23. kamera digital

24. alat sentrifugasi

Page 25: KTI chavia

25

25. mikroskop cahaya

26. tissue culture flask

27. pipet Pasteur

28. flowcytometre

29. ELISA reader

3.1.2 Bahan:

1. daun sirih (Piper betle Linn)

2. etanol teknis 96%

3. akuades

4. 1,1-diphenyl 1-2-pycrylhydrazil (DPPH) (Sigma)

5. methanol HPLC grade (Merck)

6. medium sel: RPMI 1640, fetal bovine serum 70%, fungizone, penstrep

( penisilin streptomisin), tripsin 0.25%

7. larutan antiseptik : etanol 70%, spiritus

8. larutan trypan blue

9. EGCG

10. doksorubisin

3.2 Pemilihan Tanaman

Daun sirih yang digunakan untuk penelitian diperoleh dari kebun daerah

Bogor.

3.3 Persiapan Alat

Sebelum melakukan penelitian ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan

misalnya sterilisasi alat.

3.3.1 Sterilisasi Alat

Page 26: KTI chavia

26

Alat–alat gelas yang digunakan dalam keadaan telah dicuci bersih dan

dikeringkan dalam oven. Alat–alat yang sudah kering tadi dibungkus dengan

kertas saring kemudian diautoklaf 20 menit pada suhu 121 oC dengan tekanan 15

lb.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Desain Penelitian

Eksperimental laboratorium

3.4.2 Variabel Penelititan

Variabel terkendali

Daun sirih diambil dari lokasi yang sama

Variabel Perlakuan

o Ektrak etanol daun sirih dengan berbagai dosis

o Doksorubisin degan berbagai dosis sebagai kontrol positif (+)

o Medium dengan kultur sel HeLa sebagai kontrol negatif

o EGCG dengan berbagai dosis sebagai kontrol positif (+)

Variabel respons

o Untuk uji aktifitas antioksidan dalam parameter pemerangkapan DPPH

dilihat nilai absorbansi sampel

o Untuk uji sitotoksik dihitung jumlah sel yang hidup dihitung setelah

perlakuan selama 24 jam

o Untuk uji induksi apoptosis dilihat grafik hasil flowcytometer

Page 27: KTI chavia

27

3.4.3 Cara kerja

Uji aktivitas pemerangkapan DPPH

200 µL DPPH 0,0077 mmol dalam methanol ditambahkan dengan 50

µL sampel (pada microplate).

Campuran tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit

Nilai absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm dengan

menggunakan microplate reader.

Untuk kontrol negatif digunakan DPPH sebanyak 250 µL, sedangkan

untuk blanko digunakan methanol absolut sebanya 250 µL.

Aktivitas antioksidan metode DPPH (%):

1- absorbansi sampel /absorbansi kontrol negatif x 100

Uji sitotoksiksitas

Preparasi sel HeLa (24 jam sebelum perlakuan)

1. Sel HeLa dikeluarkan dari tanki nitrogen cair (-196˚C), kemudian

dimasukkan ke dalam beaker glass yang telah diisi air suhu 370C,

dipindahkan ke tissue culture flask steril yang berisi medium DMEM, 20%

FBS dan penstrep.

2. Kultur sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam. Sel

ditumbuhkan hingga confluent, medium lama dibuang.

3. Kultur dicuci dengan menambahkan 0,5 mL PBS, ditambah media

DMEM (DMEM, 10% FBS dan penstrep) 1 mL

4. Masing-masing well ditambah 1µL DMSO, doxorubicine, dan ekstrak

5. Sel diinkubasikan dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam

6. Setiap well ditambah MTS sebanyak 20 µL, diinkubasi pada 370C selama

4 jam

7. Dibaca pada panjang gelombang 515 nm

8. Kematian sel dihitung berdasarkan absorbansi sel dengan membuat kurva

standar.

Page 28: KTI chavia

28

Uji induksi apoptosis

1. Sel dicuci dengan cara membuang media, ditambah PBS sebanyak 5

mL, kemudian PBS dibuang dan selanjutnya ditambah tripsin 3 mL.

Sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 5 menit, well

digoyang-goyang agar sel terlepas kemudian sel ditambah 9 mL

DMEM dan FBS, sel displit pada plate 12 well.

2. Sel yang sudah diberi perlakuan (doksorubisin, DMSO, dan ekstrak)

pada plate diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 24 jam.

3. Supernatan diambil kemudian disentrifugasi, well ditambah PBS 150

µL kemudian PBS dimasukkan ke tabung FACS. Supernatan yang

telah disetrifugasi di buang. Setiap well ditambah 150 µL tripsin,

kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5% (370C) selama 5 menit

agar sel terlepas.

4. Well ditambah 500 µL media, kemudian dipindahkan pada FACS dan

disentrifugasi selama 5 menit dan supernatan dibuang.

5. Pellet pada tabung FACS dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 500

µL, tabung digoyang-goyang, kemdian tabung dimasukkan ke

refrigerator 40C selama 15 menit, selanjutnya etanol 70% dibuang

6. Sel ditambah PBS 450 µL dan 50 µL PI, tabung FACS disimpan pada

ruang gelap selama 10 menit kemudian dibaca siklus sel menggunakan

flow cytometer.

3.5Analisis Data

Analisis data untuk uji statistik aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH

digunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan Post Hoc test

metode Tukey. Untuk analisis data uji sitotoksik melalui perhitungan IC50

digunakan persamaan regresi linier. Untuk analisis data induksi apoptosis

dilakukan pengamatan grafik rerata persentase jumlah sel pada daerah sub

G0/G1.

Page 29: KTI chavia

29

3.5.1 Hipotesis statistik

H0: tidak terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang

bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan

H1: terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang

bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan

3.5.2 Kriteria uji

Diterima atau tidaknya H0 atau H1 ditentukan berdasarkan kriteria uji

sebagai berikut

Jika F hitung > F tabel atau p < maka H0 ditolak, terima hal lainnya.

Jika F hitung < F tabel atau p > H0 gagal ditolak.

Page 30: KTI chavia

30

Bab IV

Hasil dan Pembahasan

4.1. Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada Ekstrak Etanol

Daun Sirih

Aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH pada berbagai konsentrasi ekstrak

etanol daun sirih dibandingkan dengan EGCG sebagai pembanding (Lampiran 1).

Konsentrasi ekstrak yang dibandingkan adalah 100μg/mL, 50 μg/mL, 25μg/mL,

12,5μg/mL, 6,25μg/mL, 3,125μg/mL, 1,563 μg/mL, 0,781 μg/mL, 0,391 μg/mL,

0,195 μg/mL. Dilakukan uji statistik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan

Post Hoc test.

4.1.1 Perbandingan Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada

Ekstrak Etanol Daun Sirih dan EGCG

Dari hasil Uji ANAVA didapatkan F hitung > F tabel, dengan p < 0.05;

berarti antar kelompok perlakuan ada perbedaan aktivitas antioksidan

pemerangkap DPPH yang sangat bermakna (p = 0.000). Untuk mengetahui

kelompok perlakuan mana yang memiliki aktivitas antioksidan pemerangkap

DPPH yang bermakna, dilakukan uji Post Hoc test dengan metode Tukey.

Tabel 4.1.1 Hasil uji beda rerata dengan metode Tukey aktivitas antioksidan

pemerangkap DPPH terhadap ektstrak etanol daun sirih (EEDS) dan EGCG

EGCG

1

91,645

EGCG

2

91,343

EGCG

3

91,395

EGCG

4

90,150

EGCG

5

90,824

EGCG

6

89,632

EGCG

7

91,286

EGCG

8

59,461

EGCG

9

45,932

EGCG

10

40,64

3

EEDS 1

89,091 tb * * * * * tb ** ** **

Page 31: KTI chavia

31

EEDS 2

87,818 tb tb tb tb tb tb tb ** ** **

EEDS 3

86,091 tb tb tb tb tb tb * ** ** **

EEDS 4

81,727 tb tb tb * tb tb tb ** ** **

EEDS 5

59,818 ** ** ** ** ** ** ** Tb ** **

EEDS 6

48,091 ** ** ** ** ** ** ** ** Tb *

EEDS 7

30,546 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

EEDS 8

22,364 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

EEDS 9

19,455 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

EEDS

10

16,091 ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

Keterangan:

EEDS 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL

EEDS 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL

EEDS 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL

EEDS 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5 μg/mL

EEDS 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL

EEDS 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,175 μg/mL

EEDS 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL

EEDS 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL

EEDS 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391 μg/mL

EEDS10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL

EGCG 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL

EGCG 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL

EGCG 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL

Page 32: KTI chavia

32

EGCG 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5μg/mL

EGCG 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL

EGCG 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,75 μg/mL

EGCG 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL

EGCG 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL

EGCG 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391μg/mL

EGCG 10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL

Tb : tidak bermakna

* : bermakna

** : sangat bermakna

Pada uji Tukey pada masing-masing kelompok perlakuan didapatkan

bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol daun sirih

konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL

didapatkan nilai p>0,05 atau tidak ada perbedaan yang bermakna antar kelompok

perlakuan dengan nilai p=0,999; p=0,925; dan p=0,368. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol

daun sirih konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL

memiliki aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH yang setara dengan

pembanding EGCG konsentrasi yang sama.

Tabel 4.1.3

Hasil uji beda rata-rata dengan metode Tukey aktivitas antioksidan

pemerangkap DPPH terhadap ektstrak etanol daun sirih (EEDS) berbagai

konsentrasi

EEDS

1 EEDS 2 EEDS 3 EEDS 4 EEDS 5 EEDS 6 EEDS 7 EEDS 8 EEDS 9 EEDS 10

EEDS 1 tb tb * ** ** ** ** ** **

EEDS 2 tb tb ** ** ** ** ** **

EEDS 3 tb ** ** ** ** ** **

EEDS 4 ** ** ** ** ** **

EEDS 5 ** ** ** ** **

Page 33: KTI chavia

33

EGCG 6 ** ** ** **

EEDS 7 * * ** **

EEDS 8 tb tb

EEDS 9 tb

EEDS 10

Keterangan:

EEDS 1 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL

EEDS 2 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL

EEDS 3 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25 μg/mL

EEDS 4 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 12,5 μg/mL

EEDS 5 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 6,25 μg/mL

EEDS 6 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 3,175 μg/mL

EEDS 7 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 1,563 μg/mL

EEDS 8 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,781 μg/mL

EEDS 9 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,391 μg/mL

EEDS10 : ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 0,195 μg/mL

Tb : tidak bermakna

* : bermakna

** : sangat bermakna

Pada uji Tukey ekstrak etanol daun sirih antar konsentrasi didapatkan

bahwa ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL jika dibandingkan dengan

ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih

konsentrasi 25 μg/mL tidak didapatkan perbedaan bermakna dimana p=1,000 dan

p=0,982. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak

etanol daun sirih konsentrasi 100 μg/mL jika dibandingkan dengan ekstrak etanol

daun sirih konsentrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 25

μg/mL setara, dan aktivitas tertinggi didapatkan pada ekstrak etanol daun sirih

konsentrasi 100 μg/mL.

Page 34: KTI chavia

34

Grafik 4.1 Perbandingan rerata aktivitas antioksidan pemerangkap DPPh

ekstrak etanol daun sirih dengan EGCG

4.2. Hasil Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap Kultur Sel

HeLa

Untuk menilai IC50 ekstrak etanol daun sirih harus dibuat kurva standar

berupa regresi linier (Lampiran 2) sebagai tolak ukur jumlah sel yang hidup dari

absorbansi sampel yang telah diukur menggunakan ELISA reader. Sel Hela yang

tidak diberi perlakuan apapun dan sel HeLa yang diberi ekstrak etanol daun sirih

berbagai konsentrasi diukur absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader

dan dihitung jumlah sel yang hidup dengan menggunakkan persamaan regresi

linier dari kurva strandar. Sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun persentase

sel hidupnya dianggap 100 %, sedangkan untuk menghitung persentase sel HeLa

yang diberi ekstrak etanol daun sirih digunakkan perbandingan. Dari hasil

persentasi sel HeLa yang hidup dibuat persamaan regresi linier yang

membandingkan persentase sel hidup dan konsetrasi ekstrak etanol daun sirih.

Hasil pengujian sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih ditentukan dengan

menghitung nilai IC50 yaitu kemampuan untuk membunuh 50% populasi sel

HeLa. Pengujian sitotoksik ekstrak etanol daun sirih dilakukan dengan tiga kali

Page 35: KTI chavia

35

pengulangan. Hasil nilai IC50 pada sel HeLa dihitung menggunakan persamaan

regresi linier (gambar 4.2.1, gambar 4.2.2, gambar 4.2.3).

0 200 400 600 800 1000 12000

20

40

60

80

100

120

f(x) = − 0.0757899014528091 x + 98.6945037082191R² = 0.773531585979657

Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun sirih I

Konsentrasi

% s

el h

idu

p

Gambar 4.2.1 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun

Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (I)

Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (I) dapat dihitung dengan:

y = bx +a

Keterangan

y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)

x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)

a = intersep / perpotongan dengan sumbu y

b = slope / gradient / kemiringan

Perhitungan

y = -0.0758x + 98.695

50 = -0.0758x +98.695

x = 98.695−50

0.0758

x = 642.414 µg/mL

Page 36: KTI chavia

36

0 200 400 600 800 1000 12000

20

40

60

80

100

120

f(x) = − 0.0693368066862043 x + 108.156952132856R² = 0.948272413193076

Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Sirih II

Konsentrasi

% s

el h

idu

p

Gambar 4.2.2 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun

Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (II)

Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (II) dapat dihitung dengan:

y = bx +a

Keterangan

y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)

x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)

a = intersep / perpotongan dengan sumbu y

b = slope / gradient / kemiringan

Perhitungan

y = -0.0693x + 108.16

50 = -0.0693x +108.16

x = 108.16−50

0.0693

x = 839.249 µg/mL

Page 37: KTI chavia

37

0 200 400 600 800 1000 12000

20

40

60

80

100

120

f(x) = − 0.0474512826158757 x + 95.8411317846525R² = 0.732333418698179

Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Sirih III

Konsentrasi

% s

el h

idu

p

Gambar 4.2.3 Kurva Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun

Sirih Dengan Persentase sel HeLa yang Hidup (III)

Nilai IC50 Ekstrak Etanol Daun Sirih (III) dapat dihitung dengan:

y = bx +a

Keterangan

y = variabel yang dipengaruhi (% sel hidup)

x = variabel yang mempengaruhi (konsentrasi)

a = intersep / perpotongan dengan sumbu y

b = slope / gradient / kemiringan

Perhitungan

y = -0.0475x + 95.841

50 = -0.0475x +95.841

x = 95.841−50

0.0475

x = 965.073 µg/mL

Dari hasil perhitungan, ternyata diperoleh harga IC50 ekstrak etanol daun

sirih terhadap sel HeLa pada pengulangan I adalah 642,4 µg/mL pada

pengulangan II adalah 839,3 µg/mL, sedangkan pada pengulangan III adalah

965,1 µg/mL. Maka rerata IC50 ekstrak etanol daun sirih adalah 815,6 µg/mL

dengan simpangan deviasi sebesar 162,6 µg/mL. Hal ini menunjukkan ekstrak

Page 38: KTI chavia

38

etanol daun sirih dengan konsentrasi 815.6 162,6 µg/mL mampu menyebabkan

kematian dari 50 % populasi sel HeLa.

4.3. Hasil Uji Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap Kultur Sel

HeLa

Induksi apoptosis dari ekstrak etanol daun sirih dapat dilihat pada gambar

4.3.

Normal Doxorubisin Ekstrak Etanol0

5

10

15

20

25

30

35

40

Grafik Induksi Apoptosis

% p

opu

lasi

sel

yan

g m

enga

lam

i ap

opto

sis

Gambar 4.3 Grafik Rata-rata Induksi Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih

dan Doxorubisin terhadap Kultur Sel HeLa

Berdasarkan grafik rerata induksi apoptosis ekstrak etanol daun sirih dan

doxorubisin didapatkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/mL ekstrak etanol daun

sirih induksi apoptosis terhadap sel HeLa didapatkan setara dengan kultur sel

HeLa yang tidak mendapat perlakuan apapun. Nilai induksi apoptosis tertinggi

terdapat pada sel HeLa yang diberi doxorubisin.

Page 39: KTI chavia

39

4.4 Pembahasan

Pada uji aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH digunakan pembanding

EGCG. Penggunaan EGCG sebagai pembanding karena EGCG merupakan

senyawa polifenol flavanoid yang berasal dari teh hijau dan telah diketahui

memiliki antioksidan yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan

bahwa ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 100 μg/mL, ekstrak etanol daun sirih

konsetrasi 50 μg/mL dan ekstrak etanol daun sirih konsetrasi 25 μg/mL memiliki

aktivitas antioksidan yang setara dengan EGCG. Sehingga ekstrak etanol daun

sirih dengan konsentrasi 100 μg/mL, 50 μg/mL, dan 25 μg/mL memiliki aktivitas

antioksidan tinggi. Dengan aktivitas antioksidan paling tinggi didapatkan dari

ekstrak etanol daun sirih konsentrasi 100 µg/mL.

Aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun sirih setara dengan EGCG sesuai

dengan penelitian sebelumnya menurut KY Pin dan Nuri Andarwulan.

Kemungkinan aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun sirih karena ekstrak etanol

daun sirih mempunya kandungan fitokimia yang terdiri atas senyawa alkaloid,

flavonoid, steroid, karoten dan fenol beserta turunannya, yaitu

Hidroxychavicol (HC) dan Euginol (EU) (Nuri Andarwulan, 1996; Pin et al.,

2010).

Dalam menguji sitotoksik ekstrak etanol daun sirih terlebih dahulu dibuat

kurva standar untuk jumlah sel. Setelah diketahui kurva standarnya baru dapat

ditentukan persen sel hidup setelah diberi perlakuan, yaitu pemberian ekstrak

etanol daun sirih dengan konsentrasi 1000 µg/mL, 500 µg/mL, 250 µg/mL, dan

125 µg/mL serta kontrol berupa sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun.

Untuk kontrol diasumsikan bahwa sel yang hidup 100%.

Pada pemeriksaan uji sitotoksik ekstrak etanol daun sirih dilakukan tiga

kali pengulangan. Nilai IC50 yang didapatkan untuk pengulangan pertama adalah

642,4 µg/mL. Nilai IC50 yang didapatkan untuk pengulangan kedua adalah 839,3

µg/mL. Sedangkan nilai IC50 untuk pengulangan ketiga adalah 965,1µg/mL. Dari

ketiga data diatas didapatkan rata- rata IC50 adalah 815.6 162,6 µg/mL. Suatu

ekstrak dinyatakan memiliki aktivitas antikanker bila memiliki nilai IC50 kurang

Page 40: KTI chavia

40

dari 50 g/mL (Mans et al, 2000). Maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol

daun sirih memiliki efek aktivitas membunuh sel kanker sangat rendah sehingga

dapat dikatakan tidak memiliki aktivitas antikanker.

Pada sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun dan diinkubasi selama

24 jam, persentase populasi sel di daerah sub G0/G1 adalah 3,31%. Pada sel HeLa

yang diberi doxorubisin dan diinkubasi selama 24 jam didapatkan persentase

populasi sel di daerah sub G0/G1 adalah 34,885%. Dan pada sel HeLa yang diberi

ektrak etanol daun sirih dan diinkubasi selama 24 jam didapatkan persentase

populasi sel pada daerah G0/G1 adalah 4,23%. Dapat disimpulkan bahwa

doksorubisin memiliki aktivitas induksi apoptosis yang tinggi, dan ektrak etanol

daun sirih tidak memiliki aktivitas induksi apoptosis karena nilai induksi

apoptosisnya hampir setara dengan sel HeLa yang tidak diberi perlakuan apapun.

Apoptosis adalah kematian sel yang telah terprogram. Dengan

menggunakan flow cytometry berbasis siklus sel dapat dilihat jumlah populasi sel

HeLa yang mengalami apoptosis. Akhir dari proses apoptosis suatu sel adalah

fragmentasi DNA. Fragmen DNA dapat dinilai dengan flowcytometry bila

diwarnai oleh zat fluoresence, dalam penelitian ini digunakan zat warna PI yaitu

zat pewarna yang dapat berinterkalasi diantata pasang basa untai DNA. Jumlah PI

berbanding lurus dengan jumlah pasang basa, sehingga semakin banyak pasang

basa dari DNA sel maka semakin kuat sinyal dari sel yang diterima oleh flow

cytometri, sinyal sel ini menggambarkan content DNA sel tersebut. Sehingga hasil

flow cytometri dibagi menjadi empat daerah berdasarkan content DNA masing-

masing sel, yaitu daerah sub G0/G1 dengan content DNA kurang dari 2n, daerah

G0/G1 dengan content DNA 2n, daerah sintesis (S) dengan content DNA lebih

dari 2n tetapi kurang dari 4n dan daerah G2 dengan content DNA 4n.

Populasi sel yang mengalami apoptosis berada di daerah sub G0/G1 yaitu

sel-sel yang content DNAnya kurang dari 2n. Suatu ekstrak dikatakan memiliki

aktivitas induksi apoptosis dapat dilihat dari jumlah populasi sel yang terdapat

pada daerah sub G0/G1, semakin banyak populasi sel di daerah sub G0/G1 maka

semakin tinggi aktivitas induksi apoptosis suatu ekstrak.

Page 41: KTI chavia

41

Flavanoid merupakan senyawa polifenol yang terbentuk dari struktur

fenilbenzopiron (C6-C3-C6) dan dapat dikategorikan menurut kadar saturasi

dan pembukaan cincin piron menjadi flavonol, flavon, katekin, dan flavanon.

Senyawa flavonoid biasa digunakan sebagai kemopreventif, sitostatika,

antioksidan dengan menghambat oksidasi LDL, anti inflamasi, anti alergi, dan

antioksidan pemerangkap peroksil, hidroksil, dan radikal bebas superoksida

(SOD). Flavanoid menunjukkan aktivitas induksi apoptosis dari beberapa

kultur sel kanker.

Ada 4 kemungkinan mekanisme antikanker dari antioksidan yang

senyawa aktifnya adalah flavanoid. Pertama dengan membersihkan radikal bebas

(ROS) dengan aktivitas antioksidan. Kedua dengan mengurangi aktivitas dari

tyrosine kinase reseptor (PDGF-R, EGF-R) yang berperan dalam proliferasi

ganas sel tumor. Mekanisme antikanker yang ketiga ialah menginduksi apoptosis

dari sel kanker dengan meleaps sitokrom c dengan mengaktifkan caspase 9 dan

caspase 3 dan menurunkan regualsi Bcl-2 dan Bcl-X serta mempromosikan

ekspersi Bax dan Bak. Keempat memodulasi protein yang berperan dalam

transduksi sinyal seperti Activator Protein 1(AP-1), Mitogen Activated

Protein Kinase (MAPK). Dan selain keempat mekanisme tersebut senyawa

flavanoid memiliki kemampuan untuk mencegah resistensi sel dari induksi

apoptosis (Demuele, 2002; Srisadono, 2008; Ren, 2003).

Ekstrak etanol daun sirih memiliki aktivitas penghambat proliferasi yang

rendah dan tidak memiliki kemampuan menginduksi apoptosis kemungkinan

disebabkan oleh rendahnya kandungan flavanoid. Walaupun ekstrak etanol daun

sirih mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, tetapi menurut penelitian

KY Pin et al dan Nuri Andarwulan kandungan aktif antioksidan ekstrak etanol

daun sirih yang tertinggi bukan flavanoid melainkan karoten dan senyawa

turunan fenol.

Doksorubisin memiliki aktivitas induksi apoptosis yang tinggi, hal ini

disebabkan doksorubisin merupakan salah satu dari obat sitostatika yang sudah

banyak digunakan oleh para klinisi sebagai obat antikanker. Adapun kerja dari

doksorubisin ialah merusak DNA dari sel kanker saat sel tersebut dalam kondisi

Page 42: KTI chavia

42

aktif berproliferasi. Doksorubisin akan berinterkalasi diantara pasang basa untai

DNA, sehingga proses transkripsi terganggu dan merusak untai DNA (Nafrialdi,

1995).

4.5 Uji Hipotesis

H0: tidak terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang

bermakna antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan

H1: terdapat perbedaan aktivitas antioksidan pemerangkap DDPH yang bermakna

antar kelompok perlakuan aktivitas antioksidan

Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan p dengan nilai , yaitu:

p < maka H0 ditolak , terima hal lainnya.

p > maka H0 gagal ditolak , terima hal lainnya

Hal- hal yang mendukung :

Berdasarkan uji one way ANOVA (tabel 4.1.1) didapatkan minimal satu

kelompok perlakuan yang aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH berbeda

sangat bermakna dengan nilai p=0.000.

Hal-hal yang tidak mendukung : tidak ada

4.6 Simpulan

Hipotesis diterima dan teruji oleh data

Page 43: KTI chavia

43

Bab V

Simpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

1. Ekstrak etanol daun sirih mempunyai aktivitas antioksidan pemerangkap

DPPH yang hampir setara dengan EGCG

2. Ekstrak etanol daun sirih yang mempunyai aktivitas pemerangkap DPPH

paling tinggi adalah konsentrasi 100 µg/mL, yaitu 89.091 % .

3. Ekstrak etanol daun sirih tidak memiliki efek aktivitas membunuh 50 %

sel HeLa.

4. Ekstrak etanol daun sirih tidak menginduksi apoptosis pada kultur sel

HeLa.

5.2 Saran

Perlunya penelitian lebih lanjut uji sitotoksitas dan induksi apoptosis sel

HeLa dengan mengunakan fraksi-fraksi dari ekstrak etanol daun sirih.

Page 44: KTI chavia

44

Daftar Pustaka

Arya Srisadono.2008. Skrining awal ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn) sebagai antikanker dengan metolde Brine Shrimp Lethality Test (BLT). Fakultas Kedokteran Diponegoro. Semarang.http://www.linkpdf.com/ebook-viewer.php?url=http://eprints.undip.ac.id/24178/1/Arya.pdf diunduh pada 19 Desember 2010

Baitul Herbal.2010.Tanaman Herbal Indonesiahttp://baitulherbal.com/tanaman-herbal/tanaman-herbal-indonesia-sirih/diunduh pada 4 April 2011

Bidus MA, Elkas JC.2007.Cervical and Vaginal Cancer In JS Berek: Berek&Novak’s Gynecology 14th ed.Lippincot Williams & Wilkins

Capes DA,Theodosopoulos G, Atkin I.2010.Check yout cultures!A list of cross contaminated or misidentified cell lines. Int J Cnacer. 127(1):1-8

Demeule M, Michaud-Levesque J, Annabi B, Gingras D, Boivin D, Jodoin J et al. 2002. Green tea catechins as novel antitumor and antiangiogenic compounds. Curr. Med. Chem-anticancer Agents 2:441-63http://borhaneannabi.net/files/2002/2002%20Article%20Revue%20The%20Vert.pdfdiunduh pada 5 Januari 2010

Ellenson LH, Pirog EC. 2010. Cervical Carcinoma In V Kumar, MBBS, MD.FRCPath, A Abbas K, MMBS, N Fausto, MD, J Aster C , MD, PhD Ed: Robbins Cotran Pathologic Basis of Disease 8th ed.China:Saunders Elsevier.

Ferlay J,Bray F,Pisani P et al. GLOBOCAN 2002:Cancer Incidence, Mortality and Pervalence Worldwide. IARC CancerBase No. 5. Version2.0, IARCPress,Lyon,2004. http://www-dep.iarc.fr/diunduh pada 19 Desember 2010

Freshney RI.2000.Cell line.In:Cultures of Animal Cells a Manual of Basic Technique.4th .Canada:Wiley Liss, Inc.p177-182, 309-312, 329, 325.

Garcia A, Agustin MD. 2010. Emedicine:Cervical Cancer:Treatment & Medication.Southern California.http://emedicine.medscape.com/article/253513-treatmentdiunduh pada 19 Desember 2010

Page 45: KTI chavia

45

GLOBOCAN 2008.Most frequent canceres:women.WHO SOUTH-EAST ASIA REGION (SEARO). (IARC) Section of Cancer Information.http://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.asp?uno=995diunduh pada 19 Desember 2010

Hawley TS, Hawley RG.2004.Flow Cyometry Protocols Second editionIn Metrhod in Molecular Biology vol 264.Totowa, New Jersey:Humana Press

Imam Rasjidi.2009.Epidemiologi Kanker Serviks.Indonesian Jurnal of Cancer vol 3 No.3 hal 103-8

Ilham Kunchayo.2007.Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi,L) terhadapa 1,1 Diphenyl-2 Picryhidrazil (DPPH). Yoyakarta:Seminar Nasiolnal Teknologi 2007

Nuri Andarwulan.1996.Karaterisasi Antioksidan Alami dari Daun sirih(Piper bettle L): Pemisahan Komponen dalam Oleoresin Daun Sirih dengan Kromatografi Lapis Tipis.BuL Tek dan Industri Pangan Vol.VII.No.I.hal 75-8http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/71967578.pdfdiunduh pada 19 Desember 2010

Pin KY, Chuah AL, Rashih AA, Mazura MP, Fadzureena J, Vimalai S , Rasadah MA. 2010. Antioxidant and anti inflammatory activities of extracts of betel leaves (Piper betle)form solvents with different polarities. Journal of Tropical Forest Science 22(4): 448-55.http://info.frim.gov.my/cfdocs/infocenter/Korporat/2003Publications/Links/JTFS22(4)/15.%20KY%20Pin.pdfdiunduh pada 19 Desember 2010

Schetter AJ,Heegaard NHH, Harris CC.2009.Inflammation and cancer: interweaving microRNA, free radical, cytokine and p53 pathways.Oxford Jurnal vol 31,p:37-49

Sjamsul Arief.2008.Radikal bebas.Surabaya:Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU DR Soetomo

Schorge JO. 2008.Section 4 Gynecologic Oncology Chapter 30 Cervical Cancer In Williams Gynecology.Mc Graw Hill-Companies.p1285-322

Stricker TP, Kumar v 20V0. Neoplasia In V Kumar, MBBS, MD.FRCPath, A Abbas K, MMBS, N Fausto, MD, J Aster C , MD, PhD Ed: Robbins Cotran Pathologic Basis of Disease 8th ed.China:Saunders Elsevier

Page 46: KTI chavia

46

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Pemerangkap DPPH pada

Ekstrak Etanol Daun Sirih

Tabel Absorbansi aktivitas antioksidan pemerangkap DPPH pada ekstrak etanol

daun sirih dan EGCG

Agen Antioksidan Konsentrasi Absorbansi 15 menit Rata-rataUlangan

1Ulangan

2Ulangan

3P betle extract 1 100 0.04 0.041 0.039 0.04P betle extract 2 50 0.047 0.043 0.044 0.044P betle extract 3 25 0.048 0.05 0.055 0.051P betle extract 4 12.5 0.064 0.067 0.07 0.067P betle extract 5 6.25 0.139 0.14 0.163 0.147P betle extract 6 3.125 0.223 0.186 0.162 0.190P betle extract 7 1.563 0.264 0.244 0.256 0.254P betle extract 8 0.781 0.282 0.286 0.286 0.284P betle extract 9 0.391 0.291 0.301 0.294 0.295P betle extract 10 0.195 0.307 0.306 0.31 0.307EGCG 1 100 0.050 0.056 0.054 0.053EGCG 2 50 0.051 0.054 0.061 0.055EGCG 3 25 0.057 0.055 0.053 0.055EGCG 4 12.5 0.059 0.063 0.067 0.063EGCG 5 6.25 0.057 0.058 0.061 0.059EGCG 6 3.125 0.062 0.070 0.067 0.066EGCG 7 1.563 0.136 0.118 0.106 0.120EGCG 8 0.781 0.257 0.258 0.266 0.260EGCG 9 0.391 0.347 0.345 0.350 0.347EGCG 10 0.195 0.382 0.385 0.377 0.381

Tabel AktivitasAntioksidan Pemerangkap DPPH (%) pada Ekstrak Etanol Daun

Sirih dan EGCG

Agen AntioksidanKonsentrasi % DPPH Rata-rata

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

P betle extract 1 100 89.091 88.818 89.364 89.091P betle extract 2 50 87.182 88.273 88.000 87.818P betle extract 3 25 86.909 86.364 85.000 86.091P betle extract 4 12.5 82.545 81.727 80.909 81.727P betle extract 5 6.25 62.091 61.818 55.545 59.818P betle extract 6 3.125 39.182 49.273 55.818 48.091P betle extract 7 1.563 28.000 33.455 30.182 30.546P betle extract 8 0.781 23.091 22.000 22.000 22.364

Page 47: KTI chavia

47

P betle extract 9 0.391 20.636 17.909 19.818 19.455P betle extract 10 0.195 16.273 16.546 15.455 16.091EGCG 1 100 92.172 91.239 91.550 91.654EGCG 2 50 92.017 91.550 90.461 91.343EGCG 3 25 91.083 91.395 91.706 91.395EGCG 4 12.5 90.772 90.150 89.528 90.150EGCG 5 6.25 91.083 90.928 90.461 90.824EGCG 6 3.125 90.306 89.062 89.528 89.632EGCG 7 1.563 78.797 81.597 83.463 81.286EGCG 8 0.781 59.979 59.824 58.580 59.461EGCG 9 0.391 45.982 46.293 45.516 45.931EGCG 10 0.195 40.539 40.073 41.317 40.643

Lampiran 2. Data Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Daun Sirih terhadap

Kultur Sel HeLa

Tabel Absorbansi Standar Kultur Sel HeLa

Jumlah sel Absorbansi Rata-rata Absorbansi-Blanko

Blanko 0.19 0.196

0.201

5x104 1.422 1.399 1.203

1.378

2,5x104 1.135 1.147 0.951

1.159

0,5x104 0.471 0.466 0.27

0.461

0,25x104 0.378 0.3605 0.1645

0.343

0,05x104 0.29 0.2465 0.0505

0.203

Page 48: KTI chavia

48

0 1 2 3 4 5 60

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

f(x) = 0.235588351042896 x + 0.136723337268792R² = 0.930229372578202

Kurva Standar Jumlah Sel berdasarkan Absorbansi pada sel HeLa

Jumlah sel x 104

Ab

sorb

ansi

51

5 n

m

Tabel Absorbansi Ekstrak Daun Sirih pada Sel Hela

Jumlah sel AbsorbansiSampel-Blanko

Jumlah sel x100 % sel hidup

Blank0.190.1650.178

Kontrol1.311 1.121 4.177 1001.223 1.058 3.910 1001.223 1.045 3.855 100

EDS 1000 µg/mL

0.647 0.457 1.359 32.5400.63 0.465 1.393 35.6340.833 0.655 2.199 57.062

EDS 500 µg/mL

0.659 0.469 1.410 33.7600.994 0.829 2.938 75.1430.817 0.639 2.132 55.301

EDS 250 µg/mL

1.259 1.069 3.957 94.7171.234 1.069 3.957 101.1931.022 0.844 3.002 77.870

EDS 125 µg/mL

1.216 1.026 3.774 90.3481.268 1.103 4.101 104.8841.228 1.05 3.876 100.550

Page 49: KTI chavia

49

Lampiran 3. Data Uji Apoptosis Ekstrak Etanol Daun Sirih

Normal (I)

Normal (II)

Page 50: KTI chavia

50

Ekstrak Etanol Daun Sirih 100 µg/mL (I)

Ekstrak Etanol Daun Sirih 100 µg/mL (II)

Page 51: KTI chavia

51

Doxorubisin (I)

Doxorubisin (II)

Page 52: KTI chavia

52

Tabel Hasil uji induksi apoptosis sel HeLa dibandingkan dengan doxorubisin

Induksi apoptosis (%) normal doksorubisinekstrak etanol

Pengulangan I 3,31 35,18 4,34Pengulangan II 3,15 34,59 4,12Rerata 3,23 34,88 4,23