Upload
dia-nopriyana
View
64
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan
hidup penduduk suatu bangsa. Semakin meningkat umur harapan hidup (UHH)
suatu bangsa di tandai dengan meningkatnya warga lanjut usia. Angka UHH di
Indonesia pada tahun 1995 – 2000 sebesar 64,71 tahun meningkat menjadi 67,68
tahun pada tahun 2000 – 2005. Proporsi penduduk lansia (di atas 60 tahun)
meningkat dari 16 juta jiwa (7,6%) pada tahun 2000 menjadi 18,4 juta jiwa
(8,4%) pada tahun 2005. Sedangkan dari data USA – Bureau of the Cencus,
Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan umur harapan hidup lansia
terbesar diseluruh dunia antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. (Darmojo
R, 1999)
Fakta statistik di Amerika Serikat 14,3 % dari populasi Amerika Serikat
mengalami arthritis. Prevalensi arthritis di Amerika Serikat menunjukan bahwa
prevalensi tertinggi dari rheumatoid arthritis adalah pada suku Amerika Indian
dibanding dengan yang Non Indian. Lebih dari 36 juta penduduk Amerika
menderita 1 dari 100 jenis arthritis. Di Indonesia sendiri diperkirakan kasus
1
2
rheumatoid arthritis berkisar 0,1 % sampai dengan 0,3 % dari jumlah penduduk
Indonesia. (Gordon, 2002)
Laporan hasil riset kesehatan dasar (RIKESDAS) Lampung 2010,
menunjukan bahwa prevalensi peradangan sendi menurut kota/ kabupaten
berkisar antara 12,1 %.
Hal yang terburuk pada penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh
negatifnya terhadap kualitas kehidupan. Bahkan kasus rheumatoid arthritis yang
tidak begitu parah pun dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk
produktif dan fungsional seutuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan
tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya.
Rheumatoid arthritis adalah gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan
adanya arthritis erosif pada sendi synovial yang simetris dan kronis yang
menyebabkan gangguan fungsi yang berat serta kecacatan. Rheumatoid arthritis
mempunyai sasaran primer sinovium. Sinovitis proliferatif mula-mula
dimanifestasikan oleh pembengkakan serta kekakuan pergelangan tangan dan
sendi jari. karena penyakit berlanjut, maka sinovitis bisa menyebabkan
peningkatan tekanan sendi, distensi serta putusnya kapsul dan ligamentum.
(Davey P, 2005; Sabiston, 1994)
Rheumatoid arthritis kira-kira 2,5 kali lebih sering menyerang perempuan dari
pada laki-laki. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada
3
perempuan. Insiden puncak adalah antara usia 40 hingga 60 tahun. (Price
S,Wilson, 2005)
Walaupun faktor penyebab maupun pathogenesis rheumatoid arthritis yang
sebenarnya hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti
produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini.
(Nasution AR & Sumariyono, 2010)
Ada beberapa gambaran klinis lazim yang ditemukan misalnya, lelah,
anoreksia, kaku sendi di pagi hari selama lebih dari satu jam, poliarthritis simetris
terutama pada sendi perifer, adanya masa di subkutan pada sepertiga pasien
dewasa biasanya pada bursa olekranon. (Price S,Wilson, 2005)
Berdasarkan dari yang dipaparkan diatas maka peneliti merasa perlu untuk
melakukan penelitian yang lebih lanjut dan menjadikannya sebagai judul
penelitian, karena rheumatoid arthritis merupakan salah satu penyakit yang
diperantarai oleh imunitas dan umumnya dijumpai pada usia lanjut.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
4
1. Berapa Prevalensi Penderita Rheumatoid Arthritis Di Bagian Penyakit
Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Periode bulan Januari 2010 -
bulan Desember 2010
2. Bagaimana Distribusi Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis Di
Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
- Mengetahui Prevalensi Dan Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis
Di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari peneliti ini adalah :
1. Mengetahui Prevalensi Penderita Rheumatoid Arthritis Di Bagian
Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010
2. Mengetahui Distribusi Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Umur Di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel
Moeloek Periode bulan Januari 2010 – bulan Desember 2010.
3. Mengetahui Distribusi Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Jenis Kelamin Di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H.
Abdoel Moeloek Periode bulan Januari 2010 – bulan Desember 2010
5
4. Mengetahui Distribusi Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Keluhan Utama Di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit
H. Abdoel Moeloek Periode bulan Januari 2010 – bulan Desember
2010
5. Mengetahui Distribusi Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan Sendi Yang Terserang Di Bagian Penyakit Dalam Rumah
Sakit H. Abdoel Moeloek Periode bulan Januari 2010 – bulan
Desember 2010
1.4 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi peneliti
Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang prevalensi dan
karakteristik penderita rheumatoid arthritis
2. Bagi institusi pendidikan (Universitas)
Digunakan sebagai sumber informasi, khasanah wacana kepustakaan serta
dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi profesi
Dapat memberikan sumbangan ilmu sebagai tambahan serta referensi
dalam dunia Kedokteran mengenai karakterisik penderita rheumatoid
arthritis.
Sebagai pembanding dengan penelitian yang serupa di tempat lain.
6
1.4.1. Manfaat praktis
Dengan mengetahui angka kejadian dan karakteristik penderita
rheumatoid arthritis maka dapat dilakukan pencegahan dan pengelolaan
penyakit rheumatoid arthritis dengan lebih tepat dan aman sehingga
diwaktu mendatang dapat menurunkan angka kejadian rheumatoid arthritis.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Struktur Anatomi
a. Vertebrae
Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung
coccygis dan merupakan unsur utama kerangka aksial (ossa cranii, os
hyoid, columna vertebralis, costa dan sternum). Columna vertebralis
melindungi medulla spinalis, menyangga berat tubuh dan merupakan
sumbu bagi tubuh yang untuk sebagian kaku dan untuk sebagian
lentur, serta berfungsi sebagai poros untuk kepala berputar. Dengan
demikian columna vertebralis memegang peran penting dalam sikap
tubuh, pengandaraan berat tubuh, dan lokomasi. (Moore KL & Agur
AMR, 2002)
Columna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yang teratur dalam
lima daerah, tetapi hanya 24 dari jumlah tersebut, 7 cervikalis, 12
vertebra thoracica, dan 5 vertebra lumbalis dapat digerakan pada orang
dewasa. Corpus vertebrae berangsur menjadi lebih besar keujung
caudal columna vertebralis, dan kemudian berturut-turut menjadi
7
8
makin kecil keujung os coccygeus. Perbedaan struktural ini
berhubungan dengan keadaan bawah daerah lumbal dan sacral
menanggung beban yang lebih besar dari pada cervical dan thoracal.
Ke 24 vertebra cervikalis, vertebra thoracica dan vertebra lumbalis
bersendi pada articulatio intervertebralis yang membuat columna
vertebralis menjadi cukup lentur. Corpus vertebra membentuk sekitar
¾ dari seluruh panjang columna vertebralis, dan discus intervertebralis
sekitar ¼ panjang columna vertebralis. (Moore KL & Agur AMR,
2002)
b. Os Coxae
Os coxae menghubungkan os sacrum dengan femur dan
merupakan penghubung tulang antara batang tubuh dan extremitas
inferior. Tulang panggul (os coxae) terdiri dari: ileum, ischium dan
pubis. Tulang-tulang ini bertemu satu dengan yang lainnya di
acetabulum.(Wibowo DS & Paryana W, 2010; Snell RS, 2006)
Pada permukaan luar os coxae terdapat sebuah lekukan yang dalam
disebut acetabulum, yang bersendi dengan caput femoris yang
bentuknya hampir bulat untuk membentuk articulatio coxae. Pinggir
inferior acetabulum mempunyai lekukan yang disebut incisura
acetabuli. Facies articularis acetabuli berbentuk seperti tapal kuda dan
diliputi oleh cartilago hyalin. Dasar acetabulum bukan bagian sendi dan
disebut fossa acetabuli. (Wibowo DS & Paryana W, 2010)
9
Acetabulum merupakan bagian dari os coxae yang merupakan
tempat persendian dengan os femur. Bagian acetabulum yang
berhubungan dengan caput femoris disebut facies lunata yang
melingkar sepanjang sisi acetabulum, sedangkan bagian sebelah dalam
yang sebenarnya tidak langsung bersendi dengan os femur disebut fossa
acetabuli. Facies lunata tidak ditemukan pada seluruh sisi dari
acetabulum, tetapi mempunyai celah dibagian bawah yang dinamakan
incisura acetabula. .(Wibowo DS & Paryana W, 2010; Snell RS, 2006).
c. Femur
Femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh,
meneruskan berat tubuh dari os coxae ke tibia sewaktu kita berdiri.
Caput femoris menganjur kearah kraniomedial dan agak keventral
sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proximal femur terdiri
dari sebuah caput femoris, collum femoris, dan dua trochanter
( trochanter mayor dan minor ).
Corpus femoris permukaan anteriornya licin dan bulat, sedangkan
permukaan posteriornya mempunyai rigi disebut linea aspera. Pada
linea ini melekat otot-otot dan septa intermuskularis. (Moore KL &
Agur AMR, 2002; Wibowo DS & Paryana W, 2010; Snell RS, 2006)
10
d. Tibia
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan
berfungsi menyangga berat badan. Tibia bersendi diatas dengan
condilus femoris dan caput fibula, dibawah dengan tallus dan ujung
distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung
bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat
condyli lateralis dan medialis yang bersendi dengan condyli lateralis
dan medialis femoris, dipisahkan oleh menisci lateral dan medial. Pada
aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis
circularis yang kecil, dan bersendi dengan caput fibula. (Moore KL &
Agur AMR, 2002)
Corpus tibia berbentuk segitiga pada potongan melintang dan
mempunyai tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan
medial serta facies medial. Pada pertemuan marge anterior dan ujung
atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat
ligamentum patella. (Moore KL & Agur AMR, 2002)
e. Fibula
Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang langsung. Tulang
ini tidak ikut berartikulasi pada articulatio genu tetapi di bawah tulang
ini membentuk malleolus lateralis dari articulatio talocruralis. Tulang
11
ini tidak berperan dalam menyalurkan berat badan. (Moore KL & Agur
AMR, 2002)
Ujung atas atau caput fibula di tutupi oleh processus styloideus.
Bagian ini mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan
condylus lateralis tibia. Corpus fibula mempunyai empat margines dan
empat facies. Ujung bawah fibula membentuk malleolus lateralis yang
berbentuk segitiga terletak pada subkutan. (Moore KL & Agur AMR,
2002)
f. Ossa metacarpi dan phalanges
Ada lima buah os metacarpi, masing-masing tulang mempunyai basis,
corpus, dan caput. Os metacarpal I pollex, adalah yang terpendek dan
sangat mudah bergerak. Tulang tersebut tidak terletak pada bidang yang
sama dengan tulang metacarpi yang lainnya tetapi terletak lebih anterior.
Tulang ini juga berorientasi medial Sembilan puluh derajat sehingga,
permukaan extensor menghadap ke lateral bukan ke dorsal. (Snell RS,
2006)
Basis ossa metacarpi bersendi dengan barisan ossa carpi, caputnya
yang membentuk buku tangan bersendi dengan falang proximal. Corpus
dari masing-masing os metacarpal sedikit cekung kedepan dan
mempunyai penampung berbentuk segitiga. (Snell RS, 2006)
12
g. Humerus
Humerus bersendi dengan scapula pada articulatio humeri serta
dengan radius dan ulna pada articulatio cubiti. Ujung atas humerus
mempunyai sebuah caput yang membentuk sekitar 1/3 kepala sendi yang
bersendi dengan capitas glenoidalis scapula. Tepat dibawah caput humeri
terdapat collum anatomicum. Dibawah collum terdapat tuberculum majus
dan minus yang dipisahkan satu sama lain oleh sulcus bicipitallis. Pada
pertemuan ujung atas humerus dan corpus humeri terdapat penyempitan
disebut collum chirurgicum. Sekitar pertengahan permukaan lateral
corpus humeri terdapat peninggian kasar disebut tuberositas deltoidea.
(Snell RS, 2006)
Ujung bawah humerus mempunyai epicondilus medialis dan
epicondilus lateralis untuk tempat lekat musculi dan ligament, capitulum
humeri yang berbentuk katrol untuk bersendi dengan incisura trochlearis
ulna. Diatas capitulum terdapat fossa radialis yang menerima caput radii
pada saat siku di fleksikan. Dianterior, diatas trochlea terdapat fossa
coronoidea, yang selama pergerakan yang sama menerima processus
coronorideus ulna. Di posterior, diatas trochlea terdapat fossa olecranii
yang bertemu dengan olecranon pada waktu sendi siku extensi. (Snell RS,
2006)
13
h. Ulna
Antara kedua tulang lengan bawah ulna adalah yang lebih panjang
dan lebih medial. Pada ujung proksimal ulna terdapat olecranon di
sebelah belakang dan processus coronoideus di sebelah depan. Pada
permukaan anterior olecranon terdapat incisura trochlearis yang
menampung throclea humeri. Pada sisi lateral processus coronoideus
terdapat tuberositas ulna. Disebelah proksimal corpus ulna berbentuk
gemuk, tetapi pada ujung distal menjadi sempit. Pada ujung distal
terdapat sebuah kepala yang membulat dan sebuah processus styloideus
yang kecil dan berbentuk kerucut. (Moore KL & Agur AMR, 2002)
i. Radius
Radius adalah tulang yang lebih pendek dan terletak lebih lateral
antara kedua tulang lengan bawah. Ujung proksimal radius terdiri dari
sebuah kepala yang menyerupai cakram, sebuah leher yang pendek, dan
sebuah tuberositas. Ke arah proksimal caput radii berwujud cekung untuk
bersendi pada capitulum humeri. Collum radii adalah bagian yang
menyempit distal dari caput radii. Tuberositas radii yang terletak tepat
distal dari collum radii, membatasi ujung proksimal radius terhadap
corpus radii. Ujung distal radius memiliki sebuah incisura ulnaris di
sebelah medial, sebuah processus styloideus di sebelah lateral, dan
sebuah tuberculum dorsal. (Moore KL & Agur AMR, 2002)
14
2.1.2. Struktur Dan Biokimia Tulang Rawan Sendi
Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus avaskular dan
tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi permukaan tulang dari sendi
diartodial. Pada sendi diartodial, dua ujung tulang tidak bersambung secara
langsung, namun menyatu dalam kapsul sendi fibrosa yang mengelilingi
dan menopang sendi. Tulang rawan sendi berperan sebagai bantalan yang
menerima (meredam) beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi
normal dan meneruskannya ketulang di bawah sendi.. (Soewono S. Isbagio
H & Kalm H, 2010)
15
Rawan sendi terdiri dari zona superficial (disebut pula zona
tangensial), zona tengah (zona intermediate), zona dalam (zona radial) dan
zona kalsifikasi. Keunikan dari rawan sendi terletak pada komposisi dan
struktur matrik ekstraselular yang terutama mengandung agregat
proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan yang erat
dengan serabut kolagen dan sejumlah besar air. Pelumasan oleh cairan
sendi memungkinkan berkurangnya gesekan antara permukaan tulang
rawan sendi artikular pada pergerakan. . (Soewono S. Isbagio H & Kalm H,
2010)
Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis yang
berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekstraselular yang
disebut kondrosit. Kondrosit yang mengalami pertumbuhan akan segera
membentuk matriks ekstraselular baru guna menggantikan matriks
ekstraselular yang mengalami degradasi akibat apoptosis. lebih dari 70%
komponen tulang rawan sendi artikuler adalah air, sedangkan 90% dari
bagian tulang rawan sendi kering mengandung 2 komponen, yaitu kolagen
tipe II dan proteoglikan berukuran besar (agrekan). (Price S,Wilson, 2005;
Soewono S. Isbagio H & Kalm H, 2010)
Matriks ekstraselular terutama mengandung kolagen dan proteoglikan.
kolagen tipe II, IX dan XI dari tulang rawan sendi membentuk anyaman
fiblier. Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis glikoprotein
16
lainnya yang dieksresikan oleh kondrosit. Kolagen tipe II didegradasikan
oleh enzim proteolitik yang disekresikan oleh kondrosit dan sinoviosit.
(Soewono S. Isbagio H & Kalm H, 2010; Isbagio H, 2010)
Proteoglikan proteoglikan dalam kartilago membentuk agregat-agregat
besar yang bersama air akan membentuk kompleks poliamnionik. Agregat
ini dengan kolagen membentuk suatu subunit yang dihubungkan satu sama
lain oleh asam hialuronat menjadi unit matriks ekstraselular yang bersifat
elastik sehingga kartilago tahan terhadap tekanan. Selain itu juga
proteoglikan merupakan suatu kompleks makromolekul yang memiliki
protein inti, dan tempat melekat rantai glikosaminoglikan.
Glikosaminoglikan dari tulang dari tulang sendi artikular terutama
kondroitin sulfat dan keratin sulfat. Proteoglikan ini peka terhadap enzim
degradasi. Degradasi makromolekul ini dikontrol oleh enzim proteolitik
yang disintesis oleh kondrosit. Enzim proteolitik berperan pada proses
metaloprotase I (MMPI atau kolagenase) dan metaloprotease 3 (MMP3
atau stromelisin). Kecepatan degradasi ditentukan pula oleh kadar enzim
sintesis dan aktivitas dalam jaringan. (Soewono S. Isbagio H & Kalm H,
2010; Isbagio H, 2010)
Sitokin adalah protein larut disekresikan oleh sel yang berbeda dalam
menanggapi sinyal tertentu. Sitokin bertindak tidak seperti enzim lain
dengan mengatur aktivitas sel lainnya. Mereka memiliki waktu paruh
17
pendek dan karena itu cenderung untuk bertindak atas sel-sel di daerah
yang berdekatan dengan di mana mereka diproduksi. IL-1 (interleukin-1),
TNF-α (alfa nekrosis faktor tumor) dan IL-17 (interleukin-17)
berpartisipasi dalam program katabolik dari kondrosit. TGF-β (mengubah
faktor pertumbuhan beta) dan IGF (insulin-seperti faktor pertumbuhan)
berpartisipasi dalam anabolik. Program, IL-6 dan IL-8 (interleukin 6 dan 8)
adalah modulator anabolik dan katabolik. Kegiatan, IL-1 adalah prototipe
dari molekul yang menginduksi respon katabolik. Ini merangsang ekspresi
metaloproteinase, menghambat proliferasi kondrosit diinduksi oleh serum
atau TGF-β, dan juga menghambat sintesis kolagen dan proteoglikan II. Ini
berarti bahwa kondrosit dapat memiliki reseptor permukaan dua kali lebih
banyak IL-1 dari kondrosit normal. TNF-α memilik efek yang serupa
dengan yang dari IL-1. Bahkan, IL-1 menginduksi ekspresi TNF-α reseptor
di kondrosit dan synovial. Aktivitas IL-17 adalah sama dengan IL-1 tetapi
untuk tingkat yang lebih rendah. Ini juga memainkan peran utama dalam
produksi oksida nitrat. Oksida nitrat adalah radikal bebas yang disintesis
sebagai hasil dari oksidasi amino asam L-arginine melalui enzim nitrat
oksida sintase. Itu mempromosikan vasodilatasi dan permeabilitas pada
persendian dengan meningkatkan sekresi TNF-α dan IL-β oleh leukosit,
dan memicu apoptosis. (Soewono S. Isbagio H & Kalm H, 2010)
18
2.1.3. Rheumatoid Arthritis
2.1.3.1. Definisi
Rheumatoid arthritis adalah gangguan kronik yang menyerang
berbagai sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari
sekelompok penyakit jaringan ikat difus yang diperantarai oleh
imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada pasien biasanya
terjadi destruksi sendi progresif, walaupun episode peradangan
sendi dapat mengalami masa remisi. (Price S,Wilson, 2005)
2.1.3.2. Etiologi
Penyebab rheumatoid arthritis masih belum diketahui.
Kemungkinan rheumatoid arthritis merupakan manifestasi respon
terhadap suatu agen infeksiosa pada penjamu yang secara genetik
rentan telah diperkirakan. Karena distribusi rheumatoid arthritis
yang mendunia, organisme infeksiosa tersangka dihipotesiskan
terdapat dimana-mana. Sejumlah agen penyebab telah
diperkirakan, yaitu Mycoplasma, virus Epstein-Barr, histomegalo
virus, parvovirus dan virus rubella. Tetapi bukti meyakinkan
apakah agen tersebut atau agen infeksiosa lain menyebabkan
rheumatoid arthritis belum ada. Proses bagaimana suatu agen
infeksiosa menimbulkan peradangan kronik arthritis juga masih
dipertentangkan. Salah satu kemungkinan adalah terdapatnya
19
infeksi menetap di struktur sendi atau retensi produk mikroba di
dalam jaringan sinovium yang mencetuskan respon peradangan
kronik. Kemungkinan lain, mikroorganisme atau respon terhadap
mikroorganisme mencetuskan suatu respon imun terhadap
komponen sendi dengan mengubah integritasnya serta
menyebabkan peptida antigenik terpapar. Dalam hal ini, telah
dibuktikan adanya reaktivitas terhadap kolagen tipe II dan protein
tidak tahan panas. Kemungkinan lainnya adalah mikroorganisme
penginfeksi menyebabkan pejamu peka terhadap determinan
reaksi silang yang diekspresikan oleh struktur sendi akibat adanya
mimikri molekuler. Akhirnya, produk mikroorganisme penyebab
infeksi mungkin dapat mencetuskan penyakit. Penelitian oleh
sejumlah mikroorganisme termasuk stafilococus, streptococcus,
dan Mycoplasma arthritidis. Super antigen adalah protein yang
memiliki kapasitas berikatan dengan molekul HLA-DR dan
segmen Vβ tertentu dari reseptor sel T heterodimer dan
merangsang sel T spesifik yang mengekspresikan produk gena Vβ.
Peran super antigen dalam etiologi rheumatoid arthritis masih
spekulatif. (Harrison,2000)
Mekanisme penyebab lain yang potensial pada rheumatoid
arthritis adalah terganggunya toleransi diri normal yang
20
menimbulkan reaktivitas terhadap antigen diri di dalam sendi,
misalnya kolagen tipe II, atau hilangnya mekanisme control
imunoregulatorik yang menyebabkan pengaktifan sel T poliklonal.
( Harrison, 2000)
2.1.3.3. Epidemiologi
Prevalensi rheumatoid arthritis adalah sekitar 1% orang dewasa
menderita rheumatoid arthritis di seluruh dunia dari berbagai suku
bangsa. Dilaporkan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun timbul
kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk. Rheumatoid
arthritis kira-kira 2,5 kali lebih sering menyerang perempuan dari
pada laki-laki. Insiden meningkat terutama dengan bertambahnya
usia, dan perbedaan jenis kelamin hilang pada kelompok usia yang
lebih tua. Insiden kebanyakan terjadi di awal usia 40-an, walaupun
dapat juga timbul pada manula. Pada usia 30 tahun , perbandingan
perempuan dengan laki-laki adalah 10:1, namun pada usia 65 tahun
perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 (Price S,
Wilson L, 2005; Davey P, 2005)
21
2.1.3.4. Patogenesis
Patogenesis rheumatoid arthritis dimulai dengan terdapatnya
antigen yang berada pada membran synovial. Pada membrane
synovial, antigen akan diproses oleh antigen presenting cell (APC)
yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel
dendritik atau makrofag yang mengekspresi determinan HLA-DR
pada membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC
selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga
terjadi aktifasi sel tersebut. Untuk aktifasi CD4+ sel harus
mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada
permukaan membrane APC. Proses ini dibantu interlekin-1 ( IL-1 )
yang disekresi oleh makrofag. Selanjutnya antigen, determinan
HLA-DR yang terdapat pada APC dan CD4+ akan membentuk
komplek antigen trimolekular. Komplek antigen tersebut
mengekspresi reseptor interleukin-2 ( IL-2 ) pada permukaan CD4+.
Interleukin 2 ( IL-2 ) akan mengikatkan diri pada reseptor dan
terjadi mitosis dan proliferasi sel. (Nasution AR & Sumariyono,
2010)
CD4+ yang teraktifasi akan mensekresi berbagai limfokin lain
seperti A-interferon, tumor necrosis factor β ( TNF-β ), IL-3, IL-4,
granulocyte/macrophage colony stimulating factor ( GM-CSF )
22
serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag
dan terjadinya proliferasi serta aktifasi sel B untuk memproduksi
antibody. Antibody akan membentuk komplek imun yang akan
berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi. Pengendapan komplek
imun pada membrane synovial akan mengaktifasi system
komplemen dan membebaskan komplemen C5a.
Pengenalan antigen rheumatoid arthritis terjadi setelah subset sel
T meninggalkan thymus. Aktifasi sel T dicetuskan oleh antigen
yang tidak diketahui, APC dalam ruang sendi yang mengakibatkan
terjadinya sinovitis pada rheumatoid arthritis. Peristiwa ini
umumnya berhenti bila antigen penyebab dapat hilang dalam
lingkungan tersebut. Tetapi pada rheumatoid arthritis, antigen atau
komponennya akan menetap pada stuktur persendian sehingga
proses destruksi sendi akan berlangsung terus menerus. Selain itu
destruksi pada rheumatoid arthritis disebabkan karena terbentuknya
faktor rheumathoid. Faktor rheumathoid adalah suatu antibody
terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90% paisen
rheumatoid arthritis. Faktor rheumatoid juga dapat berikatan dengan
komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses
peradangan akan berlanjut terus. (Nasution AR & Sumariyono,
2010)
23
2.1.3.5. Sendi yang terserang
1. Vertebra servikalis.
Vertebra servikalis merupakan segmen yang sering terlibat
pada rheumatoid arthritis. Proses inflamasi ini melibatkan
persendian diartodial yang tidak tampak atau teraba saat
pemeriksaan. Gejala dini rheumatoid arthritis vertebra servikal
umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen
leher disertai dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara
menyeluruh. Tenosinovitis ligament transversum C1 yang
mempertahankan kedudukan proses odontoid yang menyebabkan
pengenduran dan rupture ligament sehingga menimbulkan
penekanan pada medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi
akibat peradangan dan kerusakan pada permukaan sendi
apofiseal dan pengenduran ligamen juga dapat menyebabkan
terjadinya subluksasio yang sering dijumpai pada C4-C5 atau C5-
C6. (Nasution AR & Sumariyono, 2010)
2. Gelang bahu
Peradangan pada gelang bahu ini akan mengurangi lingkup
gerak sendi gelang bahu. Karena dalam aktivitas sehari-hari
gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas. Tanpa
24
latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu
yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome. (Nasution
AR & Sumariyono, 2010)
3. Siku
Karena terletak superfisialis, sinovitis articulasio kubiti dapat
dengan mudah teraba oleh pemeriksaan. Sinovitis dapat
menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga
menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi
sebagai parestesia jari 4 dan jari 5 akan kelamahan otot fleksor
jari 5. (Nasution AR & Sumariyono, 2010)
4. Tangan
Pada rheumatoid arthritis dijumpai nyeri atau disfungsi
persendian akibat penekanan nervus medianus yang terperangkap
dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga
menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Nervus ulnaris
yang berjalan dalam canal guyon dapat pula mengalami
penekanan. rheumatoid arthritis dapat menyebabkan terjadinya
tenosinovitis akibat pembentukan nodul rheumatoid sepanjang
sarung tendon yang dapat menghambat gerakan tendon dalam
sarung tendon. tenosinovitis menyebabkan terjadinya erosi
25
tendon dan mengakibatkan terjadinya rupture tendon. (Nasution
AR & Sumariyono, 2010)
5. Panggul
Rheumatoid arthritis pada panggul sulit dideteksi karena
terletak dalam pelvis. Pada keadaan ini keterlibatan sendi
panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak
yang tidak jelas. Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi
telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang
lebih cepat di bandingkan gangguan pada sendi lainnya.
(Nasution AR & Sumariyono, 2010)
6. Lutut
Penebalan synovial dan efusi lutut umumnya mudah
dideteksi pada pemeriksaan. Herniasi kapsul sendi kearah
posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista baker.
(Nasution AR & Sumariyono, 2010)
26
2.1.3.6. Gejala klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada
seseorang rheumatoid arthritis. Gambaran klinis ini tidak harus
timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini
memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi. (Price S,Wilson,
2005)
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat
badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian
hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-
sendi interfalang distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.
27
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari
satu jam.
4. Artritis erosif: merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di
tepi tulang
5. Deformitas: kerusakan struktur penunjang sendi meningkat
dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari,
subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas beutunniere dan
leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering
dijumpai. Pada kaki terdapat protusi (tonjolan) kaput metatarsal
yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi
yang besar dapat juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melalukan
pergerakan terutama dalam gerak ekstensi.
6. Nodul-nodul rheumatoid: adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien rheumatoid arthritis.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku) atau sepanjang permukaan ekstensor dari
28
lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul
pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya
merupakan suatu petunjuk suatu penyaki yang lebih aktif dan
lebih berat.
7. Manifestasi ekstra artikular Rheumatoid Arthritis juga dapat
meyerang organ-organ lain di luar sendi, Seperti :
Kulit :
- Nodul subkutan
- Vaskulitis, menyebabkan bercak kecoklatan
- Lesi-lesi ekimotik
Jantung :
- Perikarditis
- Tamponade perikardium (jarang)
- Lesi peradangan pada miokardium dan katup
jantung
Paru – paru
- Pleuritis dengan atau tanpa efusi
- Lesi peradangan paru – paru
Mata :
- Skleritis
29
Sistem saraf :
- Neuropati perifer
- Sindrom kompresi perifer, termasuk carpal
tunner , neuropati saraf ulnaris
Sistemik :
- Anemia
- Osteoporosis generalisata
- Sindrom felty
- Sindrom sjorgren ( keratokonjungtivitisika)
- Amiloidosis ( jarang)
2.1.3.7. Diagnosis
Kriteria diagnosis rheumatoid arthritis menurut American
Rheumatoid 1987 menggunakan klinis : (Harrison, 2000)
a) Petunjuk untuk klasifikasi:
Diperlukan empat dari tujuh kriteria mengklasifikasikan
pasien sebagai rheumatoid arthritis.
Pasien dengan dua atau lebih diagnosis klinis tidak
disingkirkan
b) Kriteria
1. Kekakuan pagi hari: kekakuan di dan sekitar sendi yang
menetap 1 jam sebelum perbaikan maksimal
30
2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi: paling sedikit tiga
daerah sendi, diamati oleh dokter secara stimulan,
memperlihatkan pembengkakan jaringan lunak atau efusi
sendi, tidak hanya pertumbuhan berlebihan tulang. Empat
belas daerah sendi yang mungkin terkena adalah sendi
antarfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan
tangan, sikut, lutut, pergelangan kaki, dan metatarsofalang
kiri dan kanan
3. Arthritis pada sendi-sendi tangan: arthritis pada
pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau sendi
antarfalang proksimal
4. Arthritis simetrik: keterlibatan stimulan daerah sendi yang
sama pada kedua sisi tubuh
5. Nodus rheumatoid: nodus subkutis diatas tonjolan tulang,
permukaan ekstensor, atau daerah jugstaartikularis yang
diamati oleh dokter
6. Faktor rheumatoid serum; pembuktian jumlah abnormal
faktor rheumatoid serum oleh metode apapun di mana
metode tersebut memberi hasil positif pada kurang dari 5%
subjek kontrol normal
7. Perubahan radiografik: perubahan khas rheumatoid arthritis
pada radiografi pergelangan dan tangan posteroanterior
31
yang harus mencakup erosi atau deklasifikasi tulang yang
jelas dan terletak di sendi yang terkena atau sekitarnya.
Radiologis :
Pada awal perjalanan penyakit pemeriksaan sinar-X
pada sendi yang terkena biasanya tidak berguna untuk
memastikan diagnosis. Pemeriksaan ini hanya
memperlihatkan apa yang tampak pada pemeriksaan
jasmani, yaitu adanya pembengkakan jaringan lunak dan
efusi sendi. Seiring dengan perkembangan penyakit,
kelainan menjadi semakin mencolok, tetapi tidak ada
temuan radiografik diagnosis untuk rheumatoid arthritis.
Namun, diagnosis ditunjang oleh abnormalitas yang khas,
yaitu kecenderungan kelainan simetrik. Osteopenia juksta
artikulatis mungkin mulai tampak dalam beberapa minggu
setelah awitan penyakit. Hilangnya tulang rawan sendi dan
erosi tulang akibat penyakit, terutama bila dipertimbangkan
terapi dengan obat yang memodifikasi penyakit atau
intervensi bedah. Cara lain untuk mencitrakan tulang dan
sendi, misalnya pembidaian tulang bisofosfonat 99mTc dan
peradangan dini tetapi jarang diperlukan untuk evaluasi
rutin pasien rheumatoid arthritis. (Harrison, 2000)
32
Pemeriksaan laboratorium.
- Ditemukan faktor rheumatoid yaitu autoantobodi yang
reaktif terhadap bagian Fc IgG, ditemukan pada lebih dari
dua pertiga pasien dewasa.
- Mendeteksi faktor rheumatoid IgM
- Pada rheumatoid arthritis aktif sering ditemukan anemia
normokromik normositik
- Laju endap darah biasanya pada pasien rheumatoid arthritis
aktif meningkat
- Leukosit darah dalam batas normal, walaupun meningkat
atau turun hanya ringan .
- Pada pasien rheumatoid arthritis aktif berbagai reaktan fase
akut lain termasuk seruloplasmin dan protein C-reaktif juga
meningkat dan bisasanya peningkatan ini berkaitan dengan
aktif penyakit serta kemungkinan kerusakan sendi.
- Analisis terhadap cairan sinovium memastikan adanya
arthritis meradang, walaupun tidak ada temuan yang
spesifik. Cairan biasanya keruh, penurunan viskositas,
33
peningkatan jumlah kandungan protein, dan konsentrasi
glukosa menurun ringan atau normal.
- Komplement C3 dan C4 sangat menurun di dalam cairan
sinovium relatif terhadap konsentrasi protein total akibat
pengaktifan jalur klasik komplemen oleh kompleks imun
yang terbentuk secara lokal.
2.1.3.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rheumatoid arthritis didasarkan pada
pengertian patofisiologi penyakit ini. Selain itu, perhatian juga
ditujukan terhadap manifestasi psikofisiologis dan kekacauan-
kekacauan psikososial yang menyertainya yang disebabkan oleh
perjalanan penyakit yang fluktuatif dan kronik. Untuk membuat
diagnosis yang akurat dapat memakan waktu sampai bertahun-
tahun, tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih dini. (Soewono
S. Isbagio H & Kalm H, 2010; Elizabeth J. Cotwin, 2009; Felson
DT)
Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut:
Untuk menghilangkan nyeri peradangan
Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal
dari pasien
34
Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada
sendi.
Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan-tujuan di atas.
a. Langkah pertama
Memberikan edukasi yang cukup kepada pasien dan siapa saja
yang berhubungan dengan pasien terutama keluarga.
b. Langkah kedua
Istirahat sangat penting karena penderita rheumatoid arthritis
biasanya disertai lelah yang sangat hebat. Walaupun rasa lelah
tersebut dapat timbul setiapa hari tetapi ada masa ketika pasien
merasa lebih baik. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat
meningkat ketika istirahat, karena itu metode-metode untuk
mengurangi nyeri terutama malam hari harus diajarkan,
misalnya dengan pemberian obat anti radang kerja lama dan
analgetik. Pasien juga harus membagi waktu seharinya menjadi
beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
istirahat.
c. Latihan-latihan
35
Latihan bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi
yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Sebelum latihan obat-
obat penghilang nyeri mungkin diperlukan, kompres panas
pada sendi yang bengkak juga dapat mengurangi sendi-sendi
yang bengkak dan sakit. Latihan dan terapi baiknya diatur oleh
pekerja kesehatan yang sudah mendapat latihan khusus.
Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang
sendi.
d. Alat-alat pembantu dan adaktif
Alat pembantu dan adaktif mungkin diperlukan untuk
melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari
1. Farmakologi
Pengobatan simtomatik
Obat antiinflamasi dimaksudkan untuk mengatasi nyeri
sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai walaupun
belum terjadi proliferasi synovial yang bermakna. OAINS
terutama bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin.
OAINS bekerja dengan cara memungkinkan stabilisasi
membran lisosoma, menghambat pembebasan dan aktifitas
36
mediator inflamasi, menghambat migrasi sel ketempat
peradangan, menghambat proliferasi selular, menetralisasi
radikal oksigen dan menekan rasa nyeri.
Modifikasi penyakit yang mendasari
Obat imunomodulator lini kedua (obat antireumatik
yang memodifikasi panyakit/Disease Modifying
Antirheumatic Drugs (DMARD)). Meliputi metotreksat,
sulfasalazim, azatiotrim, garam emas injeksi, siklosporin
A dan obat anti malaria. DMARD telah terbukti pada uji
klinis dapat memperlambat perkembangan penyakit erosi
(yang menimbulkan deformitas), namun hanya memiliki
dampak yang kecil terhadap morbiditas dan kecacatan
jangka panjang.
Cara pemberian ada dua macam, yaitu :
- Cara pertama.
37
pemberian DMARD tunggal yang dimulai saat
yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa destruksi sendi pada rheumatoid
arthritis terjadi pada masa dini penyakit.
- Cara kedua
Adalah dengan menggunakan dua atau lebih
DMARD secara simultan atau secara siklik seperti
penggunaan obat-obatan imunosupresif pada
pengobatan penyakit keganasan. Sebenarnya tidak
terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan
kita harus menggunakan DMARD. Hal ini
disebabkan hingga kini belum ada cara yang tepat
mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang
rawan pada pasien rheumatoid arthritis. Dengan
demikian keputusan menggunakan DMARD
sepenuhnya tergantung dokter yang menangani.
Metotreksat sering dipilih sebagai obat pertama yang
memiliki indicator prognosis yang buruk pada onset
penyakit karena metotreksat merupakan DMARD
yang manfaatnya paling dapat diramalkan.
Terapi adjuvant dengan kortikosteroid
38
Terapi adjuvan dengan kortikosteroid. Untuk penyakit
sistemik yang berat inflamasi intermiten yang sangat
mengganggu dan/atau vaskulitis steroid dapat diberikan
secara bertahap, misalnya 80-120 mg i.m. depot atau 500-
1000 mg i.v metilprednisolon. Steroid dengan cepat pada
pasien dengan penyakit awal yang baru saja memulai
terapi DMARD, yang biasanya membutuhkan waktu
beberapa bulan untuk terlihat efeknya. Prednisolon oral
dengan dosis rendah (7,5 mg/hari) mungkin juga berguna
untuk mengendalikan gejala, sedangkan DMARD lainnya
bekerja dan mungkin memberi efek lemah dalam
menekan proses erosi.
Agen biologis
Sekarang telah tersedia bukti uji klinis yang
berkelanjutan mengenai efikasi agen-agen yang bekerja
pada tumor nekrosis faktor α (TNF-α), suatu sitokin yang
bersifat proinflamasi. Antibodi monoclonal chimeric
(infliximab) sangat efektif dengan onset efek yang cepat,
namun harganya mahal. Akhir-akhir ini antagonis
reseptor II-1 rekombinan juga telah digunakan sebagai
suatu agen yang efektif (walaupun pengalaman
39
penggunaan agen ini masih terbatas). Saat ini, biaya yang
mahal untuk pasien yang telah menjalani terapi DMARD
standar namun gagal pada sebagian besar sentramedis.
(Davey P,2005; Price S, Wilson 2005; Nasution AR &
Sumariyono, 2010)
2.1.3.9. Prognosis
Perjalanan penyakit dan hasil pengobatan rheumatoid arthritis
pada setiap pasien tidak dapat diprediksi. Faktor-faktor yang
menjadikan prognosisnya buruk adalah
poliartritis generalisata (jumlah sendi yang terkena >20)
LED dan CRP yang tinggi walaupun sudah menjalani terapi
Manifestasi ekstraartikular, misalnya nodul/vaskulitis
Faktor rheumatoid positif
Ditemukan erosi pada radiografi polos dalam kurun waktu 2
tahun sejak onset
Status HLA-DR4
Spektrum beratnya rheumatoid arthritis berkisar mulai dari bentuk
ringan atau subklinis sampai bentuk agresif dan destruktif, yang
berkaitan dengan angka kematian yang tinggi (mortalitas standar 2-
2,5 kali dari kontrol usia dan jenis kelamin). Sebanyak 30% pasien
akan keluar dari angkatan kerja dalam 5 tahun penyakit ini, dan
tidak sampai separuh dari pasien-pasien tersebut menjalani kerja
40
full-time dalam 10 tahun sejak onset penyakit. Faktor yang turut
menyebabkan tingginya kematian meliputi meningkatnya penyakit
infeksi kardiovaskular (yang mendasari mayoritas kematian
penyakit tersebut) dan penyakit neoplastik, yang meningkat 5-8 kali
dibandingkan populasi umum (terutama limfoma non-Hodkin, dan
keganasan darah lainnya termasuk leukeumia dan mieloma).
kerusakan jangka panjang lainnya diakibatkan:
Efek samping obat, terutama akibat steroid jangka panjang,
mielopati servikal
Keterlibatan jantung
Amiloidosis (mengakibatkan gagal ginjal dan sindrom nefrotik)
Penyakit paru rheumatoid
Secara keseluruhan arthritis rheumatoid mengurangi lamanya
hidup sebanyak 5-10 tahun. (Davey P, 2005)
2.2. Kerangka Teori
Umur Jenis kelamin
Genetik
Destruksi oleh produksi protease kolagenase, enzim-enzim hidrolitik
41
2.3.
Kerangka konsep
Kartilago pecah
Pelepasan radikal oksigen dan metabolit asam arakhidonat oleh leukosit dan cairan
synovial
autoimun, terhadap antigen yang diproduksi secara lokal
Lokasi sendi yang terserang
Keluhan Temuan fisik, Radiografi
Prevalensi Umur
42
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Keluhan utama Jenis kelamin
Sendi yang terserang
Rheumatoid Arthritis
43
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif retrospektif yaitu
suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau
deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dengan melihat kebelakang
(backword looking) (Notoadmodjo, 2002). Sumber data penelitian menggunakan
data sekunder yaitu dengan melihat variabel-variabel penelitian yang tercatat
dalam rekam medik yang menderita penyakit Rheumatoid Arthritis selama
periode bulan Januari 2010 – bulan Desember 2010 di Bagian rekam medik
Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.2.1.Tempat Penelitian
Penelitian Dilakukan Di Bagian Rekam Medik Rumah Sakit H. Abdoel
Moeloek Periode Bulan Januari 2010 – bulan Desember 2010
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan selama bulan November – Desember 2011
3.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua data pasien yang tercatat di Rekam Medik
Di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010 dan diambil menjadi data penelitian sebagai
populasi penelitian.
43
44
3.4 Sampel Penelitian
Simple random sampling adalah suatu tipe sampling probabilitas, dimana
peneliti dalam memilih sampel dengan memberikan kesempatan yang sama
kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel. Dengan
tehnik semacam ini terpilihnya individu menjadi anggota sampel benar-benar atas
dasar faktor kesempatan (chance), bukan karena adanya pertimbangan subjektif
dari peneliti.(Notoadmodjo, 2005)
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien Rheumatoid Arthritis di
Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung.
Perhitungan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Dr. Soekidjo
Notoatmodjo yaitu:
n = N n= jumlah sampel d= 0,05
1 + N (d²) N= jumlah populasi
n= 1060 = 290 pasien
1 + 1060 (0,052)
Dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan tingkat ketepatan
instrumen adalah sebesar 5 %, maka jumlah sampel yang diperoleh dengan
memakai rumus tersebut adalah sebanyak 399 pasien.
Distribusi sampel yang digunakan, sebagai berikut:
45
Bulan Jumlah
Jan Fe
b
Mar Aprl Me
i
Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
Sampe
l
24 24 24 24 24 25 24 24 24 24 25 24 290
3.4.1. Kriteria inklusi dan eksklusi
3.4.1.1. Kriteria inklusi
Semua data pasien yang dicatat pada Rekam Medik yang di
diagnosa Rheumatoid Arthritis dengan kelengkapan data dan
variabel penelitian pada status Rekam Medik pada periode bulan
Januari 2010 – bulan Desember 2010.
3.4.1.2. Kriteria eksklusi
Semua data pasien Rheumatoid Arthritis yang data dan
variabel penelitian tidak lengkap pada status rekam medik.
3.5 Definisi operasional
46
no variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala
ukur
1 Prevalensi Prevalensi
rheumatoid
arthritis adalah
jumlah penderita
rheumatoid
arthritis lama dan
baru pada periode
bulan Januari
2010 – bulan
Desember 2010
dibagian penyakit
dalam Rumah
Sakit H. Abdoel
Moeloek dibagi
semua jumlah
pasien penyakit
rheumatik
dibagian penyakit
dalam
Rekam
medik
Telaah
dokumen
Jml kasus baru + kasus lama
prevalensi =______________ x 100%
Populasi
Nominal
2 umur Umur dihitung
berdasarkan ulang
tahun terakhir
penderita yang
tercatat pada
rekam medik
Rekam
medik
Telaah
dokumen
1. < 40 tahun
2. > 40 tahun
Nominal
3 Jenis
kelamin
Ciri khas tertentu
yang dimiliki oleh
pasien sesuai
Rekam
medik
Telaah
dokumen
Jenis kelamn penderita dikategorikan
menjadi 2, yaitu:
1. Laki-laki
Nominal
47
dengan yang
tercatat pada
status rekam
medik.
2. Perempuan
4 Keluhan
utama
Sesuatu yang
dirasakan oleh
pasien yang
menyebabkan
mereka datang
untuk berobat
Rekam
medik
Telaah
dokumen
Keluhan dikategorikan menjadi :
1. Terdapat salah satu atau lebih
keluhan seperti :
a. nyeri sendi
b. bengkak sendi
c. kaku sendi
2. Tidak terdapat keluhan
Nominal
5 Sendi
yang
terkena
Lokasi anatomi
sendi yang
mengalami
arthritis
rheumatoid sesuai
tercatat di rekam
medik
Rekam
medik
Telaah
dokumen
Sendi yang terkena dikategorikan
menjadi :
1. Tangan
2. Lutut
3. Siku
Nominal
3.6. Metode Pengumpulan Data.
48
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu status
rekam medik penderita Rheumatoid Arthritis yang datang berobat ke Bagian
Penyakit Dalam Rumah Sakit H. Abdoel Moeloek
3.7. Cara pengolahan data dan analisis data
Data-data yang didapat dari rekam medik akan dikelompokkan dan dianalisis
secara deskriptif yang akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
relatif. Proses pengolahan data terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
a. Editing, untuk melakukan pengecekan data yang diharapkan lengkap,
jelas, relevan, dan konsisten.
b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang
dikumpulkan selama penelitian ke dalam symbol yang cocok untuk
keperluan analisis
c. Data entry, memasukan data ke dalam komputer.
d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang
telah dimasukkan ke komputer.
3.8. Kerangka Operasional
Semua pasien yang berobat ke bagian penyakit dalam RSHAM periode bulan Januari 2010 - bulan Desember 2010
Penyajian data hasil penelitianPengumpulan dan pengolahan data
Pengambilan data melalui rekam medik berupa usia, jenis kelamin, keluhan, sendi yang terkena rheumatoid arthritis
Tidak memenuhi kriteria inklusiMemenuhi kriteria inklusi
Dicari rekam medik di bagian rekam medik Rumah Sakit Bumi Waras
Dilihat data yang diperlukan melalui rekam medik yang memenuhi kriteria
Diagnosis rheumatoid arthritis
49