111
1 Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho PT TIGA SERANGKAI SOLO Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho Editor : Ambhita Dhyaningrum Desain sampul : Ilustrator : Penata letak isi : Cetakan pertama : 2004 Penerbit Tiga Serangkai Jl. Dr. Supomo 23 Solo Anggota IKAPI Telp. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607 http://www.tigaserangkai.com [email protected] Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Nugroho, Yanusa Kuda Kayu Bersayap/ Yanusa Nugroho – Cet.I – Solo Tiga Serangkai, 2004 viii, ….; …cm ISBN 979-668-483-7 1. Fiksi I. Judul ©Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang All right reserved

Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

1

Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho

PT TIGA SERANGKAI

SOLO

Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho

Editor : Ambhita Dhyaningrum

Desain sampul :

Ilustrator :

Penata letak isi :

Cetakan pertama : 2004

Penerbit Tiga Serangkai

Jl. Dr. Supomo 23 Solo

Anggota IKAPI

Telp. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607

http://www.tigaserangkai.com

[email protected]

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Nugroho, Yanusa

Kuda Kayu Bersayap/ Yanusa Nugroho – Cet.I – Solo

Tiga Serangkai, 2004

viii, ….; …cm

ISBN 979-668-483-7

1. Fiksi I. Judul

©Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang

All right reserved

Page 2: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

2

Dicetak oleh PT Tiga Serangkai

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Kata Pengantar Penerbit

Ngrokok. Ngopi. Ngarang. (Merokok. Minum. Mengarang). Begitu biasanya Yanusa

berseloroh tentang hidupnya. Kedengaran begitu santai dan menyenangkan. Nyatanya, Yanusa

adalah manusia yang selalu diburu tenggat. Lalu, biasanya jika sudah harus berbagi konsentrasi

antara satu agenda dengan agenda lainnya, ia suka berkhayal memiliki empat tangan seperti

Batara Guru sehingga dapat menyelesaikan kerjanya dengan cepat. Kumpulan cerpennya yang

berjudul Kuda Kayu Bersayap ini pun terbit dengan ”mencuri-curi” waktunya yang amat padat.

Toh, di sela kesibukannya itu ia masih saja dapat meluangkan waktu menunggui tukang

membuat kolam untuk kedua anaknya atau, masih sempat jadi pengurus lingkungan

masyarakat tempatnya tinggal. Tengoklah, misalnya, ”Anjing” atau ”Lho” yang sarat dengan

muatan isu keseharian dalam masyarakat lingkungan tinggal. Cerpen-cerpen itu merupakan

hasil persinggungannya dengan lingkungan sosial. Kepekaannya terhadap apa yang terjadi di

sekitarnya menelurkan cerpen-cerpen bernas yang lahir bukan dari daya imajinasi belaka tetapi

merupakan hasil berinteraksi yang sesungguhnya

Yanusa Nugroho adalah nama yang sudah lama akrab di telinga kita. Maraknya nama-

nama baru di jajaran penulis Indonesia tak membuat namanya surut. Bahkan, proses kreatifnya

kian berkembang. Belakangan, dalam jarak waktu tak terlalu lama, ia menghasilkan dua buah

novel, Di Batas Angin dan Manyura. Dua-duanya sama-sama bicara tentang dunia

pewayangan, dunia yang sangat ia gilai. Yang pasti, ia memang tak pernah bisa melepaskan

perhatiannya dari dunia satu itu. Persahabatannya dengan tokoh-tokoh dalang di Indonesia

membuat ia semakin akrab dengan wayang. Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ia juga

menyisipkan dua buah cerpen yang bicara tentang wayang; ”Wayang” dan ”Kalau Itu.”

Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ada cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media, tetapi

beberapa yang lain belum sempat dipublikasikan. Jadi, Anda adalah termasuk orang yang

beruntung, dapat membaca cerpen Yanusa sebelum dikonsumsi banyak orang melalui media

massa. Karena Yanusa bukan seorang pengarsip yang baik, beberapa waktu pemuatan

Page 3: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

3

cerpennya tidak tercantum dalam Sejarah Penerbitan. Mudah-mudahan tidak mengurangi

kenyamanan Anda.

Selamat menikmati.

Tiga Serangkai

Pada mulanya adalah …

Menulis, sebagaimana halnya makan dan minum, adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk

mengungkapkan sesuatu. Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas

bagi saya adalah menulis cerita.

Saya tidak tahu secara pasti mengapa saya merasa lebih pas. Mungkin saja, dengan

menulis cerita, begitu banyak hal bisa saya ungkap dengan sudut pandang paling personal. Ini

penting. Dengan menggunakan sudut pandang paling personal tersebut, saya bisa menjelajahi

relung nurani saya sendiri. Saya bisa menyalahkan diri sendiri, atau memujinya tanpa basa-

basi.

Tanpa saya sadari sepenuhnya, cerpen-cerpen yang saya ciptakan, ternyata berubah

menjadi semacam bentuk protes atas apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Apa pun yang

terasa ”mengganggu” nurani saya, langsung bereaksi dan memberikan impuls lahirnya sebuah

cerita. Untung saja, saya jadi ”pejabat” di masyarakat; jadi sekretaris RT, sekretaris RW,

sekretaris masjid, selalu jadi panitia kegiatan lingkungan, sehingga saya jadi lebih banyak

bersinggungan dengan realitas sekeliling saya.

Mulai dari masalah pribadi, hingga masalah nasional. Mulai dari urusan suami main

gebuk istri, tetangga yang selalu membuang sampah di bak sampah tetangganya, sampai

panitia Pemilu. Mulai dari mengatur dan mengajak warga untuk siskamling, sampai ikut pusing

memutuskan siapa yang berhak mendapatkan daging qurban; setiap tahun. Semuanya mengalir

ke dalam kehidupan saya sehari-hari.

Namun, meskipun realitas tersebut begitu kental saya hadapi, yang muncul ke

permukaan cerpen saya ternyata bukanlah sketsa. Saya tidak tahu mengapa. Apakah memang

itu yang saya rasakan ketika bersentuhan dengan lingkungan di luar diri saya sendiri? Apakah

memang perasaan saya menyerap hal yang berbeda dari apa yang ”sebenarnya” terjadi?

Entahlah.

Page 4: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

4

Banyak cerpen saya ditanggapi secara ‘berlebihan’ oleh pembacanya. Bahkan ada yang

mengatakan bahwa cerpen saya sulit dipahami. Saya, biasanya hanya tersenyum. Mungkin,

gaya bertutur saya yang belum ”fasih” benar, sehingga komunikasinya tidak lancar. Tetapi,

kadangkala saya berpikir lain, jangan-jangan pola pikirnya yang berbeda.

Saya memang menyukai ”warna ungu” untuk melukiskan nasib tokoh saya. Umumnya,

jika disimak lebih jauh, semua tokoh saya berwarna demikian. Kelam, remang-remang, batas-

batas sosok nasib yang tak jelas, adalah sesuatu yang entah mengapa, selalu muncul di setiap

tulisan saya. Kesenyapan, kepedihan, kegelisahan, kemarahan, kekalahan, kebuntuan, adalah

hal-hal yang tiba-tiba akrab, merangkul, merangsang dan mencumbui saya; tanpa saya ajak.

Dengan sendirinya mereka berdatangan. Dengan sendirinya mereka merasa terundang,

manakala saya mengetik cerita.

Saya juga biasa menjadi narasumber untuk workshop penulisan cerpen, baik untuk

siswa SMU, guru-gurunya, maupun umum. Ternyata, dari hasil karya mereka, yang paling

mendapat perhatian oleh peserta lain, adalah cerpen-cerpen yang menurut saya ”berwarna

ungu”. Saya berpikir, jangan-jangan, bukan hanya saya yang merasa tergetar oleh ”warna”

yang satu ini. Jangan-jangan, disadari atau tidak, diakui atau disangkal, ”warna” yang satu ini

memang memudahkan seseorang untuk memahami atau bahkan dipahami oleh orang lain. Jadi,

”warna” ini semacam medium untuk saling memahami.

Jika memang demikian, lantas mengapa masih banyak yang menganggap cerpen saya

sulit? Ini ”teka-teki” yang belum bisa saya jawab. Tapi, bukankah kata orang bijak, ”pengarang

telah mati” begitu karyanya dibaca orang lain?

***

Kuda Kayu Bersayap terinspirasi oleh tuturan seorang tetangga yang saudaranya menjadi

anggota TNI dan ditugaskan di Aceh. Kisah sebenarnya, kata tetangga saya itu, saudaranya

tidak mati, tapi jiwanya ”korslet”. Entah mengapa, saya tenggelam dalam kebuntuan yang

dialami saudara tetangga saya itu—yang bahkan tidak saya ketahui namanya itu.

Kisah-kisah yang mengangkat seekor anjing, sebetulnya—kalau saya tak salah,

berangkat dari tuturan ibu saya (almarhumah). Suatu kali, ibu saya—tinggal di Warung Buncit

dan saya di Cileduk, melihat seekor anjing kurus kelaparan. Sepiring nasi kemarin dan lauk

apapun yang tersisa, disediakan untuk si anjing tersebut sampai akhirnya dia akrab dengan ibu.

Entah mengapa, suatu kali anjing itu digropyok (dikejar dan dikreroyok) orang kampung dan

ketakutan. Dia ngumpet ditumpukan papan-papan bekas bangunan. Ketika ibu bermaksud

menolongnya, malah digigit.

Page 5: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

5

Setelah itu, ibu tak pernah lagi melihat anjing tersebut. Dan ibu sempat bilang pada

saya, ”Apa dosa seekor anjing minta makan, sampai dikeroyok orang sekampung?”. Ucapan

itulah yang menggenang dan akhirnya menggelombang melahirkan beberapa kisah seputar

anjing; meskipun saya sendiri tidak suka memelihara anjing, kucing atau apapun yang berbulu.

Ikan koki, menurut saya lebih enak dipandang.

Hal-hal semacam itulah yang menghamili nurani saya. Maka lahirlah sebuah cerpen.

Di kumpulan ini, saya kira, kisah yang saya tuturkan cukup beragam. Kumpulan ini,

terdiri dari tulisan dengan rentang waktu yang berjauhan. Ada yang saya tulis 7–8 tahun lalu

dan belum pernah dipublikasikan (tentu saja saya ketik ulang—karena filenya sudah lenyap

entah kemana) dan ada yang benar-benar baru. Ada pula yang pernah dipublikasikan di

beberapa media massa. Meskipun demikian, ternyata semuanya masih memiliki ”warna” yang

sama.

Entahlah, semuanya begitu saja terjadi. Semuanya, sebagaimana saya sering

ungkapkan, seperti sebotol kecap yang tumpah, isinya berleleran keluar begitu saja. Mengalir

ke mana ada ceruk, menggenang di mana ada yang datar.

Yanusa Nugroho

Pinang, 982.

Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit

Pada mulanya adalah...

Daftar Isi

Anjing

Bom

Kambing

Nam-ma, Namamu…

Penyair dan Ular

Randu

Baterai

Wayang

Page 6: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

6

Di Taman Kota Singapura

Saya, Anjing

Kuda Kayu Bersayap

Si Rambut Panjang Itu

Umairah

Kapan Pulang?

Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya

Lho

Dusta Itu

Maaf Kalau

Sejarah Penerbitan

Tentang Penulis

ANJING (gambar 1)

Entah mengapa, selalu saja ada orang yang menganggapku gila. Mungkinkah aku

memang seperti yang mereka lihat? Aku lama-lama pusing juga menghadapi anggapan-

anggapan seperti itu, meskipun tadinya aku tidak mengindahkannya.

Aku dan anjing-anjingku mereka anggap sekelompok makhluk gila. Sepertinya—

menurut mereka—Tuhan telah salah menciptakan kami. Padahal, apa yang salah dengan

seorang lelaki kurus berambut panjang yang memelihara lima ekor anjing ini? Aku adalah

lelaki biasa. Berdiri dengan dua kaki. Bertangan tidak lebih dari dua. Mataku sepasang.

Kupingku ada di kiri dan kanan. Berhidung yang juga berlubang. Bermulut tidak membujur di

bentangan wajah. Apa bedanya aku dengan mereka?

Lalu anjing-anjingku ini. Apa yang membuat mereka berpikir bahwa makhluk-makhluk

lucu ini berbeda dengan anjing-anjing yang lain?

”Anjingnya suka sekali permen” begitu celetuk entah siapa, ketika tanpa sengaja aku

mendengarnya. Anjingku, terutama si Rino itu, suka sekali permen atau semua yang manis-

manis. Apa salahnya dengan itu?

Page 7: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

7

Semua anjingku, terutama si Rino, anjing hitam nyaris sebesar kambing itu, adalah

kawan karibku. Jika mereka menyalak atau menguik-nguik ketika berkejaran, memang

begitulah sifat anjing. Kalau mereka melolong-lolong di malam hari, ya, memang itulah yang

bisa mereka lakukan, apa mau disuruh main gitar?

Rino kupelihara sejak dia masih kecil, saat berjalannya pun masih terhuyung-huyung

karena keberatan perut. Bulunya hitam legam dan kelihatan lucu. Dia kutemukan di tempat

pembuangan sampah umum. Hanya karena kulihat dia lucu, aku tergerak untuk

memeliharanya. Ketika dia besar ternyata galaknya minta ampun, beberapa kali tanganku

digigitnya. Aku pernah bertanya kepada seorang kawan mengapa ada anjing yang dipelihara

sejak kecil, kok, masih juga menggigit majikannya. Kata temanku, begitu melihat sendiri sosok

si Rino, anjing ini adalah jenis ras Kintamani. Ras Kintamani, katanya, adalah ras anjing hutan

dan tidak bisa dipelihara karena sifatnya masih buas.

Setiap kali dia menggigitku, kupukul dia dan kukatakan bahwa aku tidak suka digigit.

Lama-lama dia mengerti juga. Kini, dia adalah yang paling manja di antara yang lainnya. Dia

juga, dengan badannya yang nyaris sebesar kambing itu, pernah menyelamatkan hidupku.

Suatu malam, sepulangku entah dari mana, aku tak ingat lagi, aku dicegat beberapa

pemuda. Mungkin mereka mau merampokku, mungkin sekadar iseng karena mabuk. Mungkin

dari jauh, mereka melihat aku seperti perempuan malam dengan rambutku yang tergerai.

Namun, begitu dekat dan melihat aku ternyata adalah laki-laki sebagaimana mereka juga,

mereka jengkel. Tanpa sebab yang berarti, salah seorang mendorongku dari belakang, lalu

yang ada di depanku menghantamkan tinjunya. Hidungku berdarah. Entah bagaimana, Rino

tiba-tiba muncul, menggeram, dan merobek punggung serta tangan begundal-begundal itu.

Mereka terluka parah dan kocar-kacir. Dan, Rino masih saja berusaha memburu salah seorang

dari mereka. Jika saja aku tidak berteriak bahwa aku suka dia membunuh orang itu, pasti

putuslah leher pemuda itu.

Itulah Rino, salah satu anjingku. Si Pepe juga begitu. Anjing buntek lucu itu juga

manja, tapi takut bermanja-manja padaku jika ada Rino di dekat kami. Dia ini suka sekali

manggis. Ya, buah manggis. Ia juga menyukai duku, rambutan, bahkan durian. Begitu

sayangnya aku pada mereka, sampai-sampai aku meluangkan waktu khusus untuk membelikan

semua kegemaran mereka. Terkadang berkeranjang-keranjang buah aku beli dan itu rupanya

menimbulkan pertanyaan bagi tetanggaku.

”Siapa yang mau datang, Pak? Kok banyak bener beli buahnya?” ledek seorang tetanggaku.

Atau pertanyaan, ”Mau bikin kontes buah, ya?” adalah sebuah celetukan yang sangat biasa

Page 8: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

8

kudengar. Aku sudah hafal itu semua dan, anehnya, mereka selalu mengulang-ulang ucapan

yang sama, seolah mereka sudah lupa pada apa yang baru saja mereka ucapkan.

Tetapi, sudahlah, aku tak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali anjing-anjingku ini.

Mereka juga bukan jenis anjing yang sok cari muka di depan majikannya. Mereka akan jinak-

jinak dan tenang-tenang saja manakala ada orang memasuki pekarangan rumahku, tidak seperti

anjing lain yang segera menyalak garang ketika ada orang asing memasuki wilayahnya.

Terutama Rino, meskipun tampangnya sangar dan ukuran tubuhnya yang sebesar kambing

bandot itu membuat takut siapa pun yang memandangnya, dia hanya melongokkan kepalanya

ke arah pintu manakala ada seseorang yang masuk. Ada atau tidak ada aku, mereka akan duduk

manis di beranda rumahku. Yang kecil-kecil bercanda, yang besar-besar bermalas-malasan.

Tapi, ini dia anehnya, pada suatu kali ada orang yang mengatakan bahwa anjingku

menyerang seseorang. Seseorang tersebut tidak terima, melapor pada Pak RT dan mengatakan

kepadanya bahwa anjingku sebaiknya dikarantina, takut kalau-kalau mengandung virus rabies.

Pak RT segera mencariku dan dengan ucapan yang kurasakan seperti sudah

dipersiapkan jauh hari sebelumnya, ia langsung memberondongku dengan kata-kata yang

nyaris seluruhnya adalah umpatan. Aku terbengong-bengong. Bagaimana mungkin seseorang

yang dituakan di kampung ini, yang oleh banyak orang bahkan dikenal sebagai orang alim,

memiliki kosa kata yang demikian kotornya?

Aku, dengan ketenangan yang seperti biasa kujalani, mengatakan bersedia menanggung

biaya pengobatan si korban.

”...kalau memang benar, Pak,” tambahku.

”Jadi sodara menganggap saya ini bohong? Sialan! Sodara ini orang macam apa, sih?”

”Pak, Bapak melihat sendiri orang yang, katanya, digigit sama si Rino itu?”

tanyaku masih dengan ketenangan sehari-hari.

Pak RT diam saja, matanya tetap melotot. Tak lama dia pergi dari rumahku, tanpa ba-

bi-bu. Aku sendiri hanya tersenyum memandangi kejadian aneh yang baru saja terjadi ini. Dan,

sampai minggu berikutnya, aku tidak kedatangan tamu yang mengklaim digigit Rino. Aku

sendiri tidak ambil pusing. Terserah saja orang mau mengenal atau membenciku, nggak soal.

Itulah semua cerita tentang aku dan anjing-anjingku, yang entah mengapa cukup dijadikan

sebagai alasan untuk menempelkan cap bahwa aku gila.

Terima kasih!

Suatu kali, aku pergi ke masjid, di kampungku karena mencari seseorang. Ketika kucari

di rumahnya, istrinya bilang dia ada di masjid, katanya sedang rapat menjelang peringatan

Maulid. Aku pun segera melangkahkan kaki ke masjid, tanpa prasangka apa-apa.

Page 9: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

9

Menjelang masuk halaman masjid kulihat cukup banyak laki-laki sedang duduk

melingkar dan tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Kucari-cari Kang Rus dan dia

kelihatan di antara mereka. Begitu melihatku, Kang Rus segera beranjak dan menyongsongku.

Sekilas kulihat ada wajah-wajah yang kurang senang dengan kehadiranku di masjid itu.

”Ada apa, Mas?” tanya Kang Rus sopan. Dia memang orang yang cukup baik

kepadaku, hanya saja pertemanan kami memang sangat terbatas. Maklum, dia pedagang di

pasar sehingga tak banyak waktu untuk nongkrong.

Aku kemudian mengutarakan maksudku tentang ada orang yang pesan sesuatu pada

Kang Rus. Hanya itu dan semuanya baik-baik saja, lancar tak kurang suatu apa. Akan tetapi,

sebelum aku membalikkan badan dan pulang, Kang Rus sempat berbisik.

”Lain kali, kalau nyari saya di rumah saja.”

”Lo, tadi saya ke rumah, tapi kata mbakyu sampean ada di sini. Kenapa, to?”

Kang Rus hanya diam dan tersenyum. Ada rahasia yang agaknya tidak tepat untuk

diutarakan. Aku tanggap. Pasti ada orang yang kurang senang aku pergi ke masjid.

Aku hanya menunduk dan merasakan tusukan yang luar biasa. Bukankah bangunan ini

digunakan untuk mengagungkan sesembahan manusia? Bukankah ini adalah bukti adanya

manusia yang menjunjung keesaan Tuhan? Lalu siapakah aku ini jika bahkan menapakkan

kakiku di halaman masjid pun tak dikehendaki? Benarkah Tuhan tak menghendaki manusia

sepertiku? Apa salahku?

Kang Rus seolah paham perasaanku, dia seperti membaca perubahan wajahku. Dia

menepuk pundakku dan mengajakku pulang. Ada panggilan dari seseorang yang mengatakan

bahwa rapat belum selesai, tapi Kang Rus diam saja dan tetap menemaniku pulang. Sebersit

kesejukan menyiram jiwaku. Semoga Tuhan menyediakan surga baginya.

”Sampean harus maklum, mereka kan tidak suka sama anjing…”

”Ooo…, hanya karena itu terus saya disingkiri?”

Kang Rus hanya tersenyum. ”Sampean jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka.

Biarkan saja, nanti kan, lupa sendiri.”

Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengesampingkan begitu saja masalah ini? Hanya

karena aku memelihara anjing, lantas mereka mengucilkan aku. Mungkinkah kedatangan Pak

RT dulu itu juga disebabkan ketidaksukaan orang-orang terhadapku dan anjing-anjingku?

***

Ucapan Kang Rus membuatku kian panas. Bukan apa-apa, tetapi aku ingin meyakinkan

orang-orang itu bahwa anjing adalah hewan ciptaan Tuhan sebagaimana manusia dan yang

lainnya.

Page 10: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

10

Pada perayaan Maulid yang diselenggarakan di kampung ini, aku sengaja datang dan

duduk di dekat pohon yang tumbuh di depan masjid. Tentu saja aku bersama rombonganku,

kawan-kawanku, semuanya berjumlah sekitar 10 ekor: besar–kecil.

Kubiarkan saja orang-orang yang memandangku dengan sinis. Aku abaikan usulan pak Hansip

yang memintaku mengikat anjing-anjing itu agar tidak masuk pelataran masjid.

”Pak, saya jamin anjing saya tidak akan keluyuran ke mana-mana. Jika saya duduk di

sini, mereka juga akan duduk manis di dekat saya. Pokoknya jangan diganggu, pasti mereka

tidak akan usil,” jawabku tenang.

Rupanya, jawabanku itu membuatnya tak senang. Dia melaporkan semuanya pada

pengurus masjid. Dan, ketika seorang pengurus masjid melambaikan tangannya ke arahku agar

aku mendekat, aku pun sudah tahu apa yang akan terjadi.

Celakanya, tentu bagi orang yang memanggilku, ketika aku berdiri dan berjalan ke

arahnya, semua pasukanku ikut. Tentu saja dia jadi panik karena dia ada di halaman masjid.

”Anjingnya jangan dibawa masuk, nanti menyebar najis!” teriaknya jengkel.

”Kalau begitu saya di sini saja, supaya mereka tidak ikut.”

”Makanya diikat…,” sela hansip yang tadi dengan nada jengkel. Kutatap dia dengan

tatapan menantang, dia gentar, lalu pura-pura mengeluarkan rokok dan memandang ke arah

lain.

Akhirnya si pengurus, diikuti pandangan panitia dan tamu-tamu lainnya, mendekatiku

dengan langkah ragu. Tentu saja dia takut diendus anjing-anjingku dan kesuciannya akan

dipertanyakan Tuhan. Haha!

Kusuruh anjing-anjingku, di bawah pimpinan Rino, agar diam di dekat pohon dan

jangan mengitariku. Rino paham dan sebagai komandan dia bisa dibanggakan. Anjing-anjing

itu–baik yang besar maupun yang masih kecil-kecil, duduk manis atau bergulingan di dekat

pohon. Aku tersenyum bangga. Anak-anak kecil yang menyaksikan semuanya ikut tertawa

riang.

”Sirkus!” teriak salah seorang di antara anak-anak itu.

”Ada apa, Pak?” tanyaku ramah dan mengulurkan tangan menyalaminya, tetapi segera

kutarik tanganku karena kulihat dia sengaja menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik

kantong bajunya.

”Begini, sampean kan, tahu…, ini masjid. Masak ke sini bawa anjing?”

”Lo, apa saya tidak boleh ke masjid, Pak?”

”Boleh. Tapi, anjingnya ditinggal di rumah saja.”

Page 11: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

11

”Saya mengerti. Tapi, saya kan, hanya ingin mendengarkan ceramah dari luar halaman

masjid. Saya tidak bermaksud masuk ke halaman. Saya tahu, bahwa dikhawatirkan anjing saya

kencing sembarangan..”

”Pokoknya jangan!”

”Lo, mereka bahkan jauh dari pagar masjid, Pak. Zaman nabi saja anjing biasa diikat di

halaman masjid oleh pemiliknya yang salat Jumat, karena setelah itu mereka akan pergi

berburu.”

”Sudah, jangan jadi da’i. Salat saja nggak pernah malah sok mengutip riwayat,”

ucapnya jengkel. Mukanya merah padam.

Aku terdiam. Kulihat si hansip mengepulkan rokoknya. Gerahamnya berkerot-kerot,

rupanya dia juga panas mendengar jawabanku.

”Kamu jangan sok jadi jagoan, ya..” ucap si hansip tiba-tiba dan dengan gerakan

mendadak dia menyerangku. Tanpa kukomando, Rino melaju dan menggongong keras, diikuti

Mona, Pepe dan yang lainnya. Anak-anak lari dan berteriak-teriak. Sempat kulihat wajah si

hansip pias, pucat. Panitia lainnya segera menghambur dan bermaksud mengeroyokku.

Kuhardik Rino dan seketika itu juga pasukanku berhenti. Moncong mereka terbuka

seakan memamerkan deretan tajam gigi-gigi mereka. Tanpa mengucap apa pun, dan hanya

menebarkan pandangan tak senang, kutinggalkan orang-orang suci itu menjalankan ritualnya.

Dalam hati aku hanya menangis. Aku menyaksikan seorang anak kecil dengan sarung tambalan

terduduk di sudut masjid menatapku dengan pandangan menerawang: itu adalah diriku yang

kanak-kanak. Aku menyukai masjid yang selalu membuat hatiku sejuk dan tenteram.

***

Sesampai di rumah aku hanya bisa terduduk lesu, memandangi kawan-kawan baikku itu

dengan perasaan tak menentu. Si Pepe berkejaran dengan anak-anak si Mona, anjing

persilangan labrador, entah milik siapa dulunya. Sebagaimana Rino, Pepe, dan yang lainnya,

Mona juga anjing yang kutemukan terlantar di pinggir jalan dalam keadaan kurus, kudisan, dan

mau mati. Padahal sebenarnya dia cantik, bagus, dan kelihatan mahal karena memang ternyata

ada darah labrador mengalir di tubuhnya.

Anjing-anjing lain seakan tak peduli dengan keresahanku, kecuali Rino. Anjing satu ini

seperti mampu membaca pikiran dan gelagat perasaanku. Hmm.. aneh juga, seekor anjing yang

katanya ras liar, kok, malah punya semacam tepo sliro padaku. Rino seakan memahami bahwa

saat ini aku membutuhkan simpati dan perhatian, sebagaimana telah kulakukan kepadanya

waktu dia pertama kali kutemukan. Kuusap-usap kepalanya yang hitam dan dia setengah

memejamkan matanya.

Page 12: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

12

”Apa salahnya menjadi seekor anjing, Rino, sehingga orang begitu membenci

kaummu?” gumamku sambil menatap anjing besar yang diam saja itu.

Aku kemudian menyiapkan makanan buat mereka. Hari mengalir ke gelap malam.

Lampu-lampu sudah menyala. Di sana-sini sayup kudengar siaran televisi. Ada penjual

makanan lewat. Namun, aneh, ada gelisah yang menggelimang di perasaanku. Apalagi saat

kuperhatikan Rino seakan membatu di tempatnya semula, tak beranjak dari dekat kursi

beranda. Dia bahkan tak tertarik pada makanan, sehingga jatahnya dihabiskan si Pepe gendut.

***

Malamnya aku tak bisa tidur. Setelah kuhabiskan sebuah novel tebal, mataku seakan

kian memiliki tenaga untuk berjaga. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara gaduh. Tak

lama gonggong keras si Rino menyentakkanku dari kesendirian. Segera aku mengambil

pentungan, menyambar senter, dan menerjang keluar.

Di halaman kulihat sesuatu yang sebetulnya seakan sudah terbayang di benakku sejak

sore tadi. Dua orang tampak menjerat Mona dan sudah berhasil memasukkannya ke dalam

mobil, sementara di halaman kulihat seorang laki-laki berusaha keras melawan amukan Rino.

Melihat aku keluar dengan pentungan dan tak mungkin menyelamatkan kawannya di bawah

ancaman taring Rino, mobil dan penumpangnya yang membawa Mona, melesat.

Pergumulan masih terjadi. Orang itu terguling, melolong, dan putus asa melawan

amukan Rino. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Seperti memahami kehendakku,

Rino dengan sendirinya tegak mengancam dan menakut-nakuti laki-laki yang kehabisan napas

itu.

Kupandangi saja laki-laki malang itu. Senter kunyalakan tepat di matanya dan dia

berusaha menghindar. Kutendang dia hingga terampun-ampun dan menangis. Kupentung

kepalanya karena geram. Dia pun melolong.

Kuseret dia dan kuikat di tiang beranda rumah. Kucecar dia dengan pertanyaan. Dan,

demi mendengar jawabannya, aku gemetar.

”Rupanya kamu yang selama ini memburu dan menjual daging anjing? Sekarang

gimana kalau kamu jadi makanan anjingku, yang itu? Rino…, gigit!”

Dia melolong dan menangis meminta hidup. Rino seperti paham bahwa aku hanya

menggertak, giginya yang tajam hanya didekatkannya saja di leher laki-laki itu. Geramnya

menghancurkan keberanian laki-laki itu dan membuatnya langsung pingsan.

”Rino, biarkan saja….”

Page 13: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

13

Malam masih saja sunyi. Aku heran, dengan kegaduhan ini, tak seorang pun tetanggaku

muncul. Hansip yang biasanya ronda pun tak kelihatan. Aku curiga, jangan-jangan…, ah,

mudah-mudahan hanya kebetulan saja.

Anehnya, selang beberapa lama kemudian tampak sebuah mobil kijang berhenti

dengan buru-buru di jalan depan rumahku. Kulihat ada Pak RT dan petugas kepolisian. Aku

lega, akhirnya ada orang yang mendengar kegaduhan ini.

”Ini, Pak…, orangnya sudah saya tangkap,” kataku sambil mendekati orang-orang itu.

Di luar dugaanku, salah seorang malah meringkusku. Aku meronta dan berteriak-teriak

bahwa yang penjahat adalah orang yang kuikat itu. Rino menggonggong ganas dan menyerang

orang yang meringkusku. Taringnya merobek lengan laki-laki itu. Para petugas berpakaian

sipil itu panik dan secara serempak mencabut senjata mereka.

Halimun turun di malam musim panas. Menciptakan tirai tipis dan gerak lamban pada

setiap detak jantung kehidupan. Kusaksikan butiran peluru meluncur indah, membentuk

komposisi cantik, menembusi tubuh Rino dengan mencipratkan kelopak-kelopak mawar dari

luka tubuh malangnya. Dalam gerak lamban itu kusaksikan betapa indahnya tubuh Rino,

melengkung ke atas, keempat kakinya menggapai keadilan, leher dan moncongnya seakan

mengoyak sunyi. Beberapa kali, di setiap cipratan kelopak mawar merah yang lahir dari

tubuhnya, Rino terdongak, terlonjak, sebelum akhirnya dari moncongnya mendengking

lolongan panjang mempertanyakan kemanusiaan.

Tubuhnya ambruk ke tanah, disambut genangan darahnya sendiri. Tenang tanpa

gerakan sedikit pun. Ada debu tipis yang masih melayang di sekitarnya.

”Pak, kenapa dia ditembak? Apa salahnya?” teriakku setengah menangis karena geram.

Hanya sebuah tempelengan tangan yang menjawab pertanyaanku. Kulihat, ternyata dia

adalah si hansip—bedes itu.

Aku berusaha menjelaskan kepada para petugas itu bahwa rumahku kemasukan maling.

Mereka mencuri si Mona dan orang yang satu itu tak bisa lari karena Rino terlebih dahulu

mencegahnya. Namun, salah seorang malah mengatakan bahwa aku main hakim sendiri

dengan menyiksa manusia dengan gigitan anjing. Ketika kujawab bahwa sebetulnya aku mau

melaporkan peristiwa itu dan berusaha mencari-cari peronda tetapi sia-sia, mereka malah

beramai-ramai menjotosiku.

”Kamu sama saja dengan anjing-anjingmu, nggak bisa diajak bicara,” entah siapa yang

berucap itu.

Tuhanku, siapakah mereka yang mengelilingiku saat ini? Mengapa nyala kebencian

begitu mudahnya menyulut mereka? Dan, lihatlah, duhai junjunganku, hanya karena anjing,

Page 14: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

14

semua menanggalkan nuraninya? Benarkah kebencian mereka sebegitu besarnya pada seekor

anjing? Apa yang salah dari makhluk ciptaanmu ini? Aku sungguh tak mengerti.

Mataku masih saja menatap tubuh Rino lunglai tak bernyawa. Darah masih saja

mengalir lemah dari tubuh lukanya. Orang-orang itu entah ke mana, bersama maling keparat

yang akan menyembelih Mona dan memakan dagingnya. Oh, Mona anjing cantikku, semoga

kau menerima semuanya dengan tabah. Jangan khawatir, aku akan menjaga anak-anakmu.

Mereka yang gendut dan lucu-lucu itu akan tumbuh kuat, cantik, dan tegar.

Setelah kukuburkan tubuh Rino di sepertiga malam berhalimun itu, aku mandi dan

merebahkan diriku di ranjang. Aku mencoba melupakan gempuran ngilu dan perih di setiap

jengkal tubuhku.

Beberapa saat kemudian, kulihat pintu rumahku sedikit terbuka dan kulihat Rino berdiri

tegak dengan gagahnya. Dia menjulurkan lidahnya dan seakan mengatakan sesuatu padaku.

Lidahku kelu dan tubuhku bagai lengket di ranjang. Kupandangi saja Rino yang hanya tegak di

ambang pintu.

Lama kelamaan kusaksikan tubuhnya bercahaya, memutih, dan menyilaukan mata.

Aku terbangun oleh cahaya pagi yang menyeruak dari celah jendela yang tak begitu

rapat kututup.

Tiba-tiba kudengar daun pintu berbunyi, seperti ketukan, namun setelah kuperhatikan

sebetulnya sebuah sundulan. Sundulan yang kukenal betul. Itu sundulan Rino, yang selalu

membangunkanku di pagi hari. Hanya dia yang tidur di teras depan, yang lain di belakang

rumah. Rino membangunkanku. Rino?

Mana mungkin, Rino sudah mati. Sudah ada di surga para anjing. Kuseret tubuhku

yang serasa remuk ini ke pintu yang terkunci.

Mataku tak percaya melihat apa yang ada di depanku.

Bulunya hitam pekat, kurus, menggeram-geram ganas mengancamku. Hanya saja

anjing itu masih bayi. Aku tersenyum, tak terasa air mataku mengalir. Itulah kebiasaan Rino

ketika pertama kali kubawa pulang ke rumah ini.

”Selamat pagi, Rino….”

Pinang, 982

BOM (gambar 2)

Page 15: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

15

Aku butuh bom!

Ya, bom-bom itu membuatku hidup dan aku menjadi yang terbaik, teratas di antara nama-nama

itu. Karenanya, yang kuincar adalah bom! Sekali lagi bom!

Bagi sepasang telingaku, gelegar ledakannya sungguh membuatku marem.

Sebagaimana aku mengalami kenikmatan luar biasa apabila mendengar dengung gong di antara

aneka bunyi gamelan. Luar biasa.

Aku selalu memburu di mana ada bom bermunculan. Dengan kendaraanku, aku harus

memacunya, berhenti tepat di atasnya, dan …, ”Bum!” bom itu meledak. Luar biasa!

Nikmatnya tak terkira.

Aku selalu katakan pada orang-orangku bahwa bom itu adalah ’nyawa’ kita. Setiap

bom berhasil kita ledakkan, berarti kita telah menyambung nyawa kita. Mereka mula-mula

tidak paham sama sekali.

Ah, anak sekarang, tidak memahami etika sebuah permainan. Bahkan bercinta pun

mereka maunya menuju puncak dan selesai. Padahal, puncak sebetulnya sangat mudah dicapai.

Tetapi menciptakan puncak, itu adalah sebuah seni. Anak sekarang terlalu banyak makanan

instan, tak heran kalau pikiran mereka tidak kreatif. Sebagaimana kau saksikan di mana-mana,

bahkan goyang pinggul pun mereka harus nyontek! Gila!

Ya, aku katakan pada mereka: menunggu, memburu dan meledakkan sebuah bom

dengan perhitungan yang matang adalah sebuah seni. Menciptakan bunyi gelegar yang

menggetarkan jiwa adalah hal yang tak bisa begitu saja dilakukan; salah-salah diri kitalah yang

terkena ledakannya. Konyol!

”Menikmati sebuah seni, harus menempuh suatu tantangan…,” kataku kepada mereka,

ketika pada suatu kali mereka memberanikan diri menanyakan hakikat seni. Sebagaimana kau

duga, wajah mereka kosong, penuh kedunguan kental yang menyelimuti kepala mereka. Otak

mereka menciut, maklumlah, kebanyakan fast food!

”Di dalam seni menikmati ledakan bom, membuat aliran adrenalin menderas adalah hal

yang paling pokok. Ledakkan bom, sedetik setelah kalian mampu menghindarinya. Kalian

tidak menggunakan kanon yang ditembakkan dari jarak jauh. Kalian juga bukan seorang

snipper, yang menjatuhkan lawan dari jarak jauh. Tetapi, kalian adalah peledak bom, dan

menikmati setiap ledakan tanpa menimbulkan goresan di kulit kalian adalah sebuah seni yang

tinggi.”

Mereka tegang mendengarkan ocehanku. Ah, anak-anak kerbau! Bagaimana mungkin

mereka bisa menjadi penguasa dunia, jika makan cabe rawit pun perut mereka sudah melilit.

Page 16: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

16

Seorang teman dekatku, yang sudah senior juga di dunia seni peledakan bom,

menelepon. Dia bilang bahwa aku sudah sinting mencari bibit yang sanggup menggantikan

kedudukanku.

”Sudahlah. Zaman seni meledakkan bom, seperti yang kita lakukan selama dua puluh

tahun ini, sudah pudar. Zaman keemasannya sudah suram dan dilupakan orang. Kita jadi

peternak lele saja. Gampang. Tinggal bikin jamban, lalu kita berak di sana, itu sekaligus

menjadi makanan si lele. Tiga bulan kemudian lele-lele itu gemuk dan laku keras di pasar.

Nggak perlu perawatan khusus, gampang, nggak ada penyakit aneh-aneh, harga jualnya

bagus. Apa lagi? Mau ternak lele? Gua ada tanah….”

Telepon ditutup dengan gelak tawanya yang menyakitkan.

Aku masih mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa meledakkan bom adalah suatu seni.

Bukan asal meledakkan. Meledakkan dari jarak dekat, dalam situasi keramaian yang wajar,

dengan kemungkinan besar bom direbut orang lain dan dijinakkan terlebih dahulu, di situlah

adrenalin kita dipacu, digenjot keras-keras. Dan manakala kita berhasil mendengarkan ”bum!”,

aaah… sorga ada di genggaman, rasanya.

***

Akhirnya, tugas-tugas itu aku kerjakan sendiri. Percuma saja mengendalikan mereka

yang berpikiran cetek dan tidak menghargai indahnya seni peledakan. Maka, aku pun kembali

menjalani kehidupanku. Aku kembali ke masa-masa dua puluh tahun lalu. Aku harus

mengintai, memperhitungkan jarak, posisi, dan kecepatanku. Aku harus menghitung, apakah

ketika aku lepaskan, tidak ada bom yang mungkin saja diarahkan padaku. Seperti kukatakan

tadi, aku penghancur bom dan mungkin saja mati oleh bom; bom lawan tentu saja.

Di dalam keramaian yang monoton, yang tak punya variasi ini, sebuah ledakan adalah

sebercak warna yang menghidupkan suasana. Akan tetapi, di sinilah seninya. Aku bisa mati

tetapi sekaligus menyambung nyawa dengan bom-bom itu. Aku hidup dalam suatu kompetisi

yang tak mungkin kau pahami. Aku melawan diriku sendiri. Aku harus menciptakan diriku

sendiri sebagai tonggak, tolok ukur keberhasilanku. Karena, seperti kukatakan tadi, belum ada

yang bisa mengalahkanku. Aku tidak sombong. Aku hanya bicara apa adanya.

Dalam setiap operasiku, aku menghadapi sepuluh tantangan. Tantangan itu berupa

lapisan-lapisan yang kian merumit. Ya, sebagaimana kau memasuki wilayah musuh,

menghancurkan orang di tengah kerumunan orang di pasar adalah pekerjaan paling mudah;

anak kecil ingusan pun sanggup. Akan tetapi, justru ketika yang kau tuju adalah seseorang

yang selalu berdua dengan orang lain, tetapi kau hanya boleh menghancurkan yang kau tuju itu

saja, nah, itu yang memerlukan perhitungan cermat. Dan, itulah yang paling kusuka.

Page 17: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

17

Kau bisa saja merampungkan pekerjaan hanya dengan sekali gebrak, tetapi bagiku, itu

pekerjaan para amatir. Aku bukan amatir, aku tak suka pekerjaan penyabit rumput; sekali tebas

dapat rumput segenggam. Aku memperlakukan lawanku sebagai individu dan harus

kuhancurkan sebagai individu, lantaran aku adalah seorang individu.

***

Ya, malam ini, aku harus mempersiapkan semua kebutuhanku. Maksudku, segelas kopi

panas dan sebungkus rokok. Aku sudah memberi cukup istirahat pada sel-sel otak dan mataku.

Aku siap menghadapi pertempuran—mudah-mudahan yang terakhir bagiku. Ya, malam ini aku

harus ngebom.

Lapisan pertama kumasuki. Ada empat yang harus kuhancurkan, dan dari keempatnya

aku harus waspada akan bom-bom yang pasti akan mereka gunakan sebagai penghancur diriku.

Keempat individu itu kadang bersamaan, kadang berpencar, kadang saling mendahului.

Aku menunggu. Lihat saja, yang satu mulai melontarkan bom dan dengan mudah

kusambut dengan bomku. Glar! Haha.. satu nyawa untukku. Setiap ledakan, aku mendapat satu

nyawa untuk memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidupku. Haha.. tak ada kenikmatan

seperti saat mendengarkan suara ”Glarrrr!”

Sebagaimana hidup pada umumnya, ada saat aku dicecar lawan, tapi ada saatnya juga

aku mendapatkan keajaiban. Maksudku, aku bisa kebal terhadap ledakan bom lawan, manakala

aku mendapat lingkungan cahaya yang melingkupi diriku. Aku menyebutnya ”Kekuatan

Atlantis”—entah mengapa kunamakan demikian, mungkin agar kelihatan ”nyeni” saja, yang

melindungiku dari daya hancur bom lawan. Tetapi, setelah kupikir-pikir, istilah itu kukenal

ketika pada suatu kali anakku yang kecil yang baru 3 tahun itu nyeletuk, ”Alantis, alantis...,”

ketika menyaksikan selingkup cahaya yang mengepungku. Aku paham, dia mungkin

menyamakannya dengan cahaya yang melingkupi benua Atlantis—tentu dari VCD yang dia

tonton. Aneh memang, manusia yang menghancurkan kehidupan pun mendapat bantuan entah

dari mana. Haha.. baru sekarang kurasakan hidup ini begitu nikmatnya. Hahaha….

Begitulah, dari empat individu itu akhirnya tinggal satu. Dia gelisah, sudah pasti. Dan

pada saat seperti ini, aku sepenuhnya berkuasa. Aku bisa menjadi seperti seekor kucing yang

mempermainkan tikus dengan ujung kukunya. Aku paham mengapa seekor kucing tak segera

membunuh korbannya, justru ketika si korban tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Memang ada

kenikmatan luar biasa manakala kusaksikan lawanku mulai menangis, memohon-mohon

ampun agar diberi kesempatan hidup. Ah, rasanya aku jadi begitu berkuasa. Aku jadi begitu

besar dan kekuasaanku melingkupi seluruh kehidupan ini. Hahaha.. kekuasaan memang

memberi kenikmatan.

Page 18: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

18

Sudahlah, lebih baik ini kusebut saja sebagai permainan, agar kau tidak tegang dan

tidak membayangkan genangan darah dan sebagainya, sebagaimana biasa kau saksikan di

televisi kita akhir-akhir ini. Di dalam permainan ini, seperti tadi kukatakan—ada nasib baik,

ada nasib buruk. Nasib baik karena kau pasti bisa meraihnya dengan perhitungan cermat. Atau,

kau bisa selamat dari kehancuran lawan dengan ketepatan perhitungan. Nah, nasib buruk

adalah sebaliknya. Perhitunganmu cermat, instingmu akurat, perkiraan jarak dan sasaranmu

memiliki presisi tinggi, tapi, toh gagal. Itu biasa, kawan. Itu biasa, percayalah.

Sebagaimana kehidupan, kau juga bisa mendapatkan ”nyawa” cadangan di dalam setiap

lapisan permainan bom ini. Maksudku, sebagaimana kehidupan, kau tentu pernah dengar

adanya rezeki yang ditebarkan Tuhan dengan adil di seluruh muka bumi ini. Nah, dalam

permainan bom ini, kau pun bisa menuai ”nyawa” untuk cadangan kekuatanmu. Akan tetapi,

sebagaimana rezeki di dunia nyata, ”nyawa” cadangan ini pun bisa direbut pihak lain. Dan

kalau sudah begitu, kita tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali memaki dan mengutuki. Mau apa

lagi, cari lagi, kawan! Tak usah dendam, tak usah marah-marah, karena energimu lebih baik

kau gunakan untuk berusaha lagi daripada meledak-ledak di dalam kemarahan. Sebaiknya,

tenang-tenang sajalah seperti aku. Dalam peledakan dan pengintaian, aku bisa menikmati

sesruput kopi panas, hehehehe….

***

Ketika lawan tinggal satu, aku merasakan menjadi orang penting. Maksudku, kalau aku

harus menambah kualitas hidupku, maka dia akan kubiarkan hidup sepanjang aku mau.

Mengapa? Karena dengan membiarkannya hidup dia akan melontarkan bom-bom, tentu tak

banyak di sisa kehidupannya yang tak seberapa itu, tapi setiap bom yang akan kuhancurkan

dengan bomku, tentu saja, kualitas hidupku akan meningkat sedikit demi sedikit. Memang

membosankan, tetapi, yah, sebagaimana kehidupan ini, kadang ada saat-saat membosankan,

bukan? Jangankan mereka, anak-anak muda itu maksudku, aku sendiri kadang tak tahan lama

menghadapi kebosananku. Maksudku, jika sudah demikian maka segera saja dia—individu

itu—kuhabisi, ”Glaarrrrr!” dan bersiap memasuki permainan lapisan kedua.

Pada lapisan kedua, ketiga, rasanya tak beda dari lapisan pertama, hanya saja ada satu

individu yang gila. Dia termasuk yang terpandai di antara golongannya. Maksudku, dia

memiliki fisik lebih besar, tetapi gerakannya bisa tak terduga. Kadang melamban seperti

sehelai daun di permukaan danau, nyaris tak bergerak, tetapi kadang dia melesat-lesat bagai

orang kesurupan. Dan hobinya itu yang mengerikan: dia selalu suka menghambur-hamburkan

mesiu seenak udelnya. Sekali berondong bisa 10 hingga 20 bom!

Page 19: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

19

Bayangkan, menghadapi individu seperti ini, kau harus ekstra hati-hati, namun haha…,

adrenalin akan meningkat deras. Luar biasa! Bikin hidup, lebih hidup, kayak slogan iklan,

hahahaha….

Yang sulit, memang, dalam menaklukkan si individu cerdas ini, adalah memperkirakan

kapan renteten bomnya yang banyak itu sampai pada titik jangkau penghancuranku. Yang lebih

menegangkan lagi, apabila pada saat yang bersamaan, bantuan datang—dan itu harus

kujemput, baik bantuan ”kekuatan Atlantis” itu maupun ”pasokan” kekuatan hidupku. Jika

posisiku menguntungkan, aku bisa meraih keduanya, sekaligus menerima bom-bom musuh

yang luar biasa banyak itu tanpa mengalami cedera apa-apa; bahkan kualitas hidupku

meningkat. Haha…, aku tahu kau pasti bingung dengan permainan kehidupanku yang unik ini.

Dan jangan lupa, si jenius itu mengeluarkan 20 bom, sementara individu yang lain mungkin 2

sampai 3 bom, padahal mereka bisa berjumlah 6. Bisa kau bayangkan betapa mengasyikkannya

hidup penuh tantangan seperti ini, haha….

Namun, sering kali sial juga ikut melangkah dan bergandengan tangan dengan

keberuntungan. Ketika aku memperhitungkan mampu membiarkan si jenius itu hidup berlama-

lama dan menghancurkan individu lain yang ”kurang berguna”, sambil menunggu keajaiban

datangnya ”kekuatan Atlantis” itu, tiba-tiba bomku meledak dan menghancurkan si jenius. Aku

menyesalinya karena sesungguhnya, dialah lawan tertangguhku. Adalah lebih baik menghadapi

seorang lawan yang jago, daripada sejuta musuh yang kerbau. Ini prinsip,catat itu!

Lapisan permainanku yang cukup berat adalah ketika harus menghadapi si jenius –lain

lagi, baik ketika sendirian maupun ketika berdua dengan jenius pasangannya. Ini bisa celaka

berkali-kali, karena berondongan bomnya menjadi berkali lipat jumlahnya sementara aku

hanya memiliki 10 bom. Tentu, aku bisa menambah, tetapi, kan perlu waktu. Kalau waktunya

keburu, sih, aman-aman saja, tetapi.. seperti dalam hidup kita, siapa yang mampu

mengendalikan waktu? Hehe....

***

Malam ini aku harus mencetak angka di atas enam ribu. Jika kurang dari itu, maka

namaku tak akan tercatat di ”Hall of Fame” dunia bom. Aku pernah membukukan namaku

berkali-kali, dan rekor-rekor yang kubukukan selama ini memang mengagumkan.

Kalau saja kau sempat melihat ”Hall of Fame” , akan kau lihat tiga deretan teratas dari

10 tempat yang disediakan, adalah namaku. Ketiga namaku itu rata-rata mengumpulkan 7 ribu

poin. Urutan kesepuluh, adalah nama orang lain, yang hanya lima ribu dua ratus. Jadi, kalau

hanya sekadar mencatatkan nama, angka enam ribu sudah cukup. Akan tetapi, untuk apa aku

mempersiapkan segalanya dengan baik saat ini jika hanya menduduki peringkat ke-10? Paling

Page 20: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

20

tidak, aku harus membukukan namaku pada urutan ke-4. Untuk menundukkan angka

tertinggi—meskipun itu atas namaku sendiri—rasanya sulit. Angka itu kucetak 20 tahun yang

lalu!

***

Maka, malam ini aku harus mengumpulkan angka-angka dengan menghancurkan bom-

bom, dengan bomku. Bom melawan bom, seru! Gelegar demi gelegar menggetarkan gendang

telingaku. Dentuman demi dentuman membuatku bergairah, bagaikan detak jantung yang

terpacu nafsu.

Aku harus berpacu melawan penjinak-penjinak bom yang, jika tidak menjinakkan

bomku, tentu saja menjinakkan bom lawanku. Dua-duanya merugikanku, lantaran aku tak bisa

meningkatkan poin yang seharusnya kuperoleh.

Dengan kopi panas yang mengepulkan aroma kenikmatan, aku mencoba

berkonsentrasi. Aku mencoba memperhitungkan dengan lebih teliti dan mengambil posisi yang

menguntungkan: maksudku sedikit bergerak, hasilnya banyak.

Aku mengawasi si jenius berbadan besar yang sudah mulai melakukan trik-trik

mematikan. Seolah kubiarkan dia melakukan semacam provokasi, mondar-mandir dengan

kecepatan berubah-ubah. Aku sudah tahu, sambil menghantami bom-bom individu yang

lainnya, ketika dia tiba-tiba melambat biasanya langsung menyemburkan bom-bom mautnya.

Oke, jenius, kalau memang itu maumu.

Aku melihat tanda-tanda turunnya ”kekuatan Atlantis”. Aku tak bergerak dan

membiarkan bom-bom lain berseliweran. Kulihat, si jenius sudah meluncurkan bom-bomnya

yang merantai, mirip miltraliur serangan udara. Sambil masih mencoba bertahan di posisiku,

aku berharap ”kekuatan Atantis” segera melingkupiku. Ya, haha.. hanya sedetik menjelang

bom itu menggapaiku, kekuatan itu menyelubungiku. Haha.. aku bisa menenggak poin

sebanyak mungkin tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan amunisi. Ini rezeki nomplok. Ini nasib

baik. Ini hoki, hihihi….

Dentuman menggelegar berurutan menyemarakkan seranganku hari ini. Dengan

mengisap kenikmatan keretekku, aku menyaksikan poin-poinku bertambah mendekati angka

4000. sebentar lagi, pada lapisan ke-8, 9 dan 10 aku yakin bisa membukukan namaku di ”Hall

of Fame”. Siapa tahu bahkan bisa menduduki peringkat 1.

Memang, strategiku sudah kuyakini sangat bagus, tetapi, itu tadi. Sialan betul, sebuah

bom yang kuduga meluncur, ternyata beku dan ketika aku menunggu momen, aku kecolongan.

Sebuah bom menghajarku.

Page 21: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

21

Aku harus mengulangi serangan. Memang ini biasa terjadi. Kegagalan di manapun bisa

terjadi. Maka, pada serangan kali ini aku tidak boleh terkecoh, lawan-lawanku sudah membaca

langkahku, aku harus membuat strategi baru lagi.

Aku harus…

”Ayaah… ada tamu…,” teriak anakku dari halaman.

Aku lemas seketika. Kupandangi saja lawan-lawanku yang bersorak girang karena aku

tak akan mampu lagi melakukan serangan.

”Siapa?”

”Babe Mizar,” jawab anakku.

Lebih lemas lagi, karena aku tahu, si Mizar itu pasti mau pinjam uang.

Aku masih mematung, mengisap sisa rokokku, sampai kemudian istriku muncul dan

menyemprotku.

”Gini hari main game…, matiin komputernya, habis-habisin listrik aja!”

982

KAMBING (gambar 3)

Kemarin laki-laki itu datang lagi. Turun dari sebuah sedan hitam dengan lambang

bulatan yang dibelah empat, belang-belang biru-putih. Kipli memperhatikan dengan mata

ngantuknya. Debu mengepul ketika mobil melaju, sesaat sebelum berhenti, kira-kira 20 meter

dari tempat Kipli duduk.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap melambaikan tangannya ke arah Kipli. Kipli

sendiri kenal dengan laki-laki itu. Segera dia menuju tamu-tamu dari Jakarta itu.

”Ini Pak Bob, yang punya tanah ini. Pak, ini Kipli, yang akan mengurus di sini.”

Laki-laki yang dipanggil Pak Bob hanya menoleh dan tersenyum pada Kipli. Kipli

sendiri hanya mengangguk, merasakan arus dingin dari wajah orang kota itu.

Pak Bob menyapu pandang hamparan tanahnya yang hanya ditumbuhi semak, perdu,

sedikit pohon bambu di batas sebelah barat, beberapa batang pisang yang menggerombol di

sana-sini, dan selebihnya rerumputan liar. Rumah besar yang ada di tanah itu tampak hancur

dan memang segera dibongkar oleh pemilik barunya.

“Kamu, asli orang sini?” tanya Pak Bob. Dia mengeluarkan pipa gadingnya dan dengan

tenang mencolokkan sebatang rokok kretek, lalu menyalakannya.

Kipli menjawab dengan hati-hati, matanya tak mau lepas dari pipa gading itu.

Page 22: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

22

”Kerjaan kamu apa?”

Kipli hanya tersenyum-senyum masam.

”Nganggur?”

Kali ini Kipli nyengir kuda.

”Urusin tanah saya, rapikan, jaga, kalau mau ditanami, ya ditanami, nanti bulanan kamu

dari saya, Mau?”

Kipli tersenyum-senyum dan langsung setuju.

”Berapa kamu minta?”

Kipli hanya tersenyum, bingung tak tahu harus menjawab apa.

”Lima ratus?” ucap Pak Bob sambil mengepulkan asap rokoknya.

Mendengar angka lima ratus ribu, Kipli seakan tersiram air panas. Berbagai bayangan

indah berkelebat di benaknya. ”Baik, deh. Makasih, Pak.”

”Hmm…, mau ditanami apa?”

Kipli terdiam, dia tak punya rencana sepotong pun lantaran pikirannya masih terikat

pada bayangan lima ratus ribu rupiah yang akan diterimanya setiap bulan. Tetapi begitu

dilihatnya Pak Bob sepertinya menunggu jawaban darinya, Kipli memutar otak menyiapkan

jawaban. Setelah berdehem-dehem tak gatal, dia pun mengatakan sebaiknya tanahnya ditanami

kacang tanah.

”Kenapa? Kenapa bukan singkong?”

”Hem... Kk… kalau bapak maunya singkong, saya tanemin singkong,” jawab Kipli

berusaha menyenangkan bosnya.

”Bukan begitu, saya nanya.. kenapa kacang, kenapa bukan singkong? Bukannya minta

ditanemin singkong?” jawab Pak Bob menahan geli campur jengkel.

Kipli senyum-senyum bingung. Pengawal Pak Bob terkikik geli.

Tapi, tak lama kemudian, ”Jadi, ditanemin singkong?” tanya Kipli lagi.

Gelak tawa menjadi-jadi.

”Ah, Lu.. siapa nama Lu tadi?”

”Kipli, Pak.”

”Pli, Kipli…, sekolah nggak , sih, Lu?”

”Cuman sampe kelas 5 SD, Pak.”

”Hmm…ya, sudah, kalau Lu bisa tanemin singkong, tanemin singkong. Kapan Lu

mulai kerjain?”

”Besok juga bisa, Pak.”

***

Page 23: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

23

Maka, mulai hari itu Kipli mulai menggarap lahan yang hampir 5 hektar itu. Akan

tetapi, baru setengah hari mencangkul, tubuhnya sudah dirajam pegal-pegal dan tangannya

lecet. Maklumlah, dia bukan anak petani dan tidak biasa nyawah. Makin siang, kerjanya kian

lamban dan belum lagi jam 2 siang, Kipli sudah benar-benar tak kuat. Dia pulang dan nyaris

pingsan di balai-balai rumahnya.

Istrinya yang mengetahui suaminya menggeletak nyaris mati itu hanya bisa ngomel,

tentu saja sambil menggosokkan bawang dan segala macam hal untuk membuat suaminya

siuman.

Tetangga berdatangan karena melihat Kipli terbaring di balai-balai depan rumah.

Istrinya menjelaskan semuanya termasuk hubungannya dengan Pak Bob dan seterusnya. Para

tetangga hanya manggut-manggut saja dan sebagian lagi hanya berucap dalam hati bahwa

itulah buah yang diterima orang yang mau meneguk rejeki sendirian. Seharusnya Kipli ingat

tetangga, kan bisa dibantu, dan seterusnya.

Beberapa saat kemudian, Kipli terbangun dan mendapati dirinya dalam kerumunan

kerabat, istri, dan tetangganya.

”Makanya, kalau ada apa-apa tuh, ngomong, jangan dikerjain sendiri. Nggak biasa

macul, macul…jadinya kepacul, dah. Hahahhaa…,” goda Malik, yang masih terbilang kerabat

Kipli dari pihak emaknya.

”Iya, Bang…maksud saya, saya tidak mau merepotkan saudara.”

”Nah, tapi kalau begini, siapa yang repot?” sela istrinya disambut senyum yang lainnya.

”Iya, iya.. kalau gitu sekalian saja saya nyambat. Tanah itu, mau ditanemin singkong.

Siapa saja yang mau membantu saya, dengan senang hati akan saya terima,” kata Kipli lemah,

tubuhnya kelihatan pucat.

”Gitu, dong. Apa gunanya saudara dan tetangga? Sudah, besok pagi saya yang

ngerjain.”

”Iya, saya juga mau….”

Begitulah, akhirnya sekitar 20 orang bersedia mengerjakan lahan Pak Bob. Kipli

tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Tak lama dia mau makan

dan lelap tertidur dirajam lelah.

***

Pada hari ketiga, barulah Kipli mampu menjenguk lahan garapannya. Memang luar

biasa, nyaris separoh lahan telah rapi. Tanah-tanah merah mengalur-alur, rerumputan

tertumpuk di tepian lahan. Cangkul-cangkul berayun-ayun bergantian.

Page 24: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

24

Sebagian ada yang sedang duduk, beristirahat sejenak dengan tubuh basah kuyup oleh

keringat. Kopi dan teh serta air putih berceret-ceret diletakkan di atas meja kecil. Begitu pula

pisang goreng, ubi, lontong dan tentu saja rokok. Kipli memanggul cangkulnya tetapi dicegah

beberapa kerabatnya dengan alasan belum sehat benar.

”Sudah, Lu tiduran saja di rumah, biar kami yang mengerjakan semuanya.”

Kipli hanya tersenyum. Mau apa lagi, dia sendiri masih merasakan deraan pegal dan

perih yang luar biasa. Dia pandangi saja kerabat dan kawan-kawannya bekerja. Tanpa disadari,

pikirannya menghitung berapa harga yang pantas untuk seorang pencangkul per harinya.

Kalau dia beri seorang 20 ribu, maka sehari kerja yang membutuhkan 20 orang, biaya

yang akan dikeluarkannya sebesar 400 ribu. Mendadak keringat dingin Kipli mengucur.

Padahal ini sudah tiga hari!

Kegugupan Kipli tertangkap oleh pandangan Bang Naim, kerabat yang diseganinya,

bukan saja karena lebih tua tetapi juga terkenal bekas preman Cibinong. Bang Naim segera

menghampiri Kipli yang tampak kian gugup.

”Ada apa, Pli?” tanyanya sambil mengambil segelas air putih, kemudian meneguknya

dalam tegukan besar.

”Nggak apa-apa. Ini, nih, masih sakit…,” kilahnya.

Bang Naim paham. Sambil duduk di dekat Kipli dia berbisik bahwa masalah bayaran

jangan terlalu dipikirkan.

”Ntar aja kalau sudah beres, Lu kan tinggal minta sama bos Lu.”

”Gitu, ya, Bang?”

”Nah, kalau sekarang semua pada minta Lu, apa Lu gableg duit?” ujarnya sambil

tertawa lebar. Kipli tersenyum-senyum.

”Kira-kira habis berapa, ya, Bang?”

”Hmm… yaah, bangsa dua minggu lagi.”

”Seharinya, pantesnya berapa, ya, Bang?”

Bang Naim diam. Dia sesungguhnya juga tidak tahu persis karena selama ini dia tak

banyak berhubungan dengan buruh harian.

”Yah, bangsa tiga puluh ribulah….”

”Tiga puluh?” Kipli tersentak.

”Sama saudara sendiri, yaaah… dua puluh lima.. lah. Itu pantesnya, Pli….”

Kipli mulai menghitung-hitung lagi. Dua puluh lima ribu dikali dua puluh orang

dikalikan dua puluh hari sama dengan keringat dingin yang kian deras mengucur.

***

Page 25: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

25

Di rumah Pak Bob, Kipli duduk mematung. Sudah sejak menjelang magrib tadi dia

duduk di pos satpam karena Pak Bob belum pulang. Kopi sudah dua gelas dihabiskannya dan

basa-basi dengan satpam sudah memakan begitu banyak pokok pembicaraan. Lalu, dengan

alasan kontrol, si satpam meninggalkannya seorang diri menghadapi televisi 14 inci.

Menjelang jam sepuluh, baru mobil Pak Bob memasuki halaman. Kipli segera berdiri

dan setengah berlari menyusul mobil yang berhenti di pintu rumah. Satpam yang membukakan

pintu rupanya melaporkan bahwa ada seseorang yang sudah lama menunggu. Pak Bob menoleh

dan melihat Kipli yang berjalan seperti tak punya keyakinan itu.

”Sini, masuk!” teriaknya sambil terus masuk ke rumah.

Pak Haz, ajudan Pak Bob yang dulu menghubungi Kipli menyuruh Kipli duduk di

beranda samping.

”Pli, kenapa kamu ndak nelpon saya?” bisiknya.

”Maap, Pak. Saya lupa….”

”Kan, ndak enak. Bapak, kan, pulang malam, terus kamu ke sini pasti minta duit Ya,

kan?”

Kipli tersenyum. ”Habis, mau bagaimana lagi? Kan memang sudah waktunya….”

Setengah jam kemudian Pak Bob muncul, sudah mengenakan sarung dan kais putih.

Dia mengeluarkan pipanya dan merokok dengan nikmat. Setelah basa-basi ini itu, Pak Bob

langsung menanyakan kebutuhan biaya pembersihan tanah.

Kipli dengan kikuk menuturkan semuanya.

”Hmm.. bener, nih, dua puluh orang yang kerja? Hmm.. jadi, 25 ribu kali 20 orang kali

20 hari kerja? Lu tahu berapa jumlahnya?”

”Yaa.. segitu, deh,” jawab Kipli seolah merasakan firasat buruk.

”Lha, iya, Pli.. jumlahnya berapa, tahu, nggak ?”

”Maap, Pak….”

”Gini. Sehari kerja aja, ongkosnya doang sudah lima ratus ribu rupiah. Sepuluh hari

kerja, sudah lima juta rupiah. Nah, kalau dua puluh hari, berarti kan, sepuluh juta, Pli. Banyak,

loo…,” goda Pak Bob sambil menghisap rokoknya.

Kipli merasakan kepalanya mencair karena detak jantungnya yang kian cepat.

”Pli, kalau gue mau pake buldoser, gue nyewa, dua hari kelar. Ongkosnya paling lima

juta.”

Kipli terdiam. Malapetaka membayang di depannya.

Tiba-tiba Pak Bob tertawa geli. ”Jangan kuatir Pli, saya bayar. Tapi nggak malam ini.

Gile, Lu mau bawa duit 10 juta malam-malam, dirampok orang baru tahu rasa, Lu….”

Page 26: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

26

***

Sejak hari itu, hidup Kipli menjadi lebih cerah. Sanak saudara dan handai taulan

mengormatinya, karena kini Kipli menjadi orang yang punya sumber uang lumayan setiap

bulannya. Singkong-singkong sudah bisa dipanen dan para tengkulak sudah mulai menaksir-

naksir harga.

Kipli menjadi bos kecil karena sudah mulai punya tenaga kerja tetap untuk mengurusi

tanah Pak Bob. Pak Bob sendiri merasa puas dengan pekerjaan Kipli. Sesungguhnyalah dia tak

menginginkan uang hasil penjualan singkong itu sepenuhnya, tetapi begitu dilihat hasilnya

lumayan, dia merasa bisnis dengan Kipli layak ditingkatkan.

Maka, begitu panen singkong usai, Pak Bob meminta Kipli mengembangkan

peternakan.

”Kambing?”

”Ya, kambing. Lu kembangin peternakan kambing, tanemin rumput sebagian lahan,

singkong sih jalankan saja terus, kan juga bisa untuk makanan kambing. Idul Kurban, harganya

naik, Pli….”

Kipli yang masih ragu itu akhirnya hanya mengiyakan saja, ketika Pak Bob kemudian

memasoknya dengan 200 ekor kambing. Dan sejak hari kedatangan kambing-kambing itu,

Kipli menjadi penggembala kambing di lahan Pak Bob.

”Bang, saya bukannya nggak senang Abang jadi kepercayaan orang,” ucap Mumun,

istri Kipli, suatu sore sepulang Kipli mengurusi kambing-kambingnya. Kini, Mumun sudah

bisa mengenakan giwang emas impiannya.

”Tapi, apa iya, Abang mau jadi suruhan orang terus-terusan?”

Kipli terdiam. Dia mencoba menata pikirannya sendiri yang entah mengapa

berkembang hanya lantaran ucapan istrinya.

”Maksud saya, apa Abang nggak kepingin punya tanah sendiri, punya ternak

sendiri….”

”Dari mana duitnya? Ini saja aku sudah untung. Kamu juga sudah bisa goreng daging,

goreng bawal, nggak melulu daun singkong. Terus, ini….” kata Kipli sambil menunjuk giwang

di telinga istrinya, ”dari mana, kalau nggak dari kerja gue selama ini?”

Istrinya terdiam beberapa saat. Lalu, ”Ya, sudah. Saya hanya ingin jaga harga diri

Abang. Kan, nggak enak sama saudara-saudara. Biar sepetak, mereka punya tanah sendiri.

Mereka jadi majikan di kampung mereka sendiri.”

Page 27: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

27

Mumun kemudian meninggalkan Kipli seorang diri di beranda rumahnya. Sepi sekali

senja itu. Hujan sudah lama tak turun. Kipli hanyut oleh ucapan istrinya, yang entah mengapa

dirasa ada benarnya juga.

***

”Jadi, bener, Lu mau?” tanya Pak Haz, asisten Pak Bob pada Kipli ketika mereka

bertukar pikiran.

”Yaah…. itu kata istri saya, Pak. Menurut Pak Haz, bagaimana?”

”Kalau Lu mau... beli saja kambing-kambingnya, kan jadi punya Lu semuanya.”

”Itu dia, saya nggak ada duit.”

”Pinjem, dong….”

”Sama siapa?”

”Kenapa Lu nggak ngomong sama gue?” ucap Pak Haz enteng, tanpa memandang

tatapan Kipli yang terheran-heran. Kemudian dia tersenyum dan seperti menginjak Kipli dia

berkata, Kan, bisa diatur….”

”Tt.. tapi, gimana caranya saya mulangin ke Bapak?”

Haz, tangan kanan Pak Bob, kemudian menguraikan angka-angka dengan gambaran

yang menggiurkan sehingga akhirnya bisa meyakinkan Kipli bahwa caranya akan berhasil.

”Kalau Lu beli sekarang, nanti ketika Idul Adha, harganya bisa dua kali lipat. Itu

untung, Lu…Nah, dari situ, Lu bisa bayar utang.”

Masuk akal, pikir Kipli. Maka seusai menghitung seluruh biaya, Kipli pun memutuskan

untuk menghadap Pak Bob. Tak sesulit yang dibayangkan Kipli, ternyata Pak Bob hanya

tertawa dan mengijinkan kambing-kambingnya dibeli Kipli. Memang ada pertanyaan dari

mana asal uang Kipli, tapi Pak Bob tak berusaha mengetahuinya secara mendetail. Kipli

mengaku dapat pinjaman dari sanak saudaranya di kampung.

Jual-beli lancar. Kipli menyetorkan uangnya langsung pada Pak Bob yang diterima

dengan kegembiraan dan keheranan. Namun, sebersit kebanggaan pun memancar dari wajah

Pak Bob. Sambil menepuk pundak Kipli, Pak Bob sempat berbisik bahwa begitulah seharusnya

orang menjalani hidupnya. Keuletan dan ketabahan akan membuahkan hasil yang bagus.

Kipli hanya mengangguk tak paham.

Hanya sebulan Kipli menikmati menjadi pemilik kambing sebanyak dua ratus ekor,

karena bulan berikutnya, seorang pembeli datang kepadanya. Dia adalah tengkulak pasar

Cibinong.

Tengkulak yang mengaku telah mengenal nama Kipli dari orang-orang kampung itu

memberikan penawaran harga yang menurut Kipli cukup baik. Per-ekor bisa untung 50 ribu.

Page 28: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

28

Kalau dikali 200 maka untungnya jadi 10 juta. Wuaah, bukan lumayan lagi…, hati Kipli

bersorak girang.

Kipli akhirnya memutuskan dan sepakat menjual dengan harga yang diajukan si

tengkulak. ”Tapi, gini, Bang Kipli, masalahnya Idul Adha, kan, masih 3 bulan lagi. Nah,

gimana kalau saya titip dulu di sini, ya. Paling sebulan, soalnya saya musti ke Jawa dulu, mau

ambil sapi.”

”Boleh aja. Tapi, ya, ada biayanya…. buat rokok anak-anak yang nyariin rumput.”

Si tengkulak tanpa ucapan apa pun segera mengeluarkan uang lima ratus ribu kepada

Kipli. ”Cukup, dong buat sebulan uang rokok anak-anak,” ujarnya kemudian sambil tertawa

lebar, seakan memamerkan gigi emasnya.

***

”Pli, ini seminggu lagi Lebaran Haji. Saya perlu uang saya, katanya sudah dibeli…,”

nada bicara Pak Haz meninggi, karena sudah lebih dari sebulan Kipli menjanjikan akan

menyerahkan uang hasil penjualan kambingnya.

Tengkulak yang tempo hari datang ke rumahnya seperti raib ditelan bumi. Kipli merasa

sulit, karena selain telah menyerahkan uang perawatan, sebetulnya si tengkulak sudah

membayar panjar dua puluh lima persen dari nilai jual beli tersebut. Karenanya, Kipli tak

punya kekuatan untuk menjualnya pada tengkulak lain yang pernah sekali dua kali datang

menawar kambingnya.

Pada saat yang bersamaan Pak Haz menagih uangnya. Kipli hanya bisa berjanji bahwa

begitu kambingnya dibayar, maka uang itu berikut bunganya akan diserahkan ke Pak Haz.

Tapi, mendengar ancaman Pak Haz yang akan melaporkan Kipli pada polisi manakala

pada tanggal yang dijanjikan meleset, Kipli panik. Tubuhnya panas dingin. Uang panjar yang

tempo hari dibayarkan si tengkulak telah habis dibelanjakan istrinya. Kalung, giwang, kain

Pekalongan, entah apalagi, kini sudah memenuhi lemari istrinya.

***

Makan enggan, tidur tak nyenyak. Malam terasa begitu cepat menjadi pagi dan Kipli

tak tahu apa yang harus dilakukannya sepanjang siang, kecuali memberi makan kambing–

kambing yang sudah bukan lagi miliknya–paling tidak begitulah yang dirasakannya.

Di tengah ladang penggembalaannya, Kipli memandangi kambing-kambing itu dengan

tatapan tak menentu. Dalam pikirannya, kambing-kambing itu sungguh makhluk yang

berbahagia. Mereka diciptakan untuk dimakan manusia dan mereka menerima apa adanya.

”Sebentar lagi, ya, sebentar lagi… kalian akan dipotong, dipersembahkan kepada

Tuhan sebagai bukti ketakwaan manusia… Bahagia sekali, kalian bisa punya nilai hidup

Page 29: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

29

setinggi itu. Sementara aku, hidup cuma jadi talang… duit cuma ngalir numpang lewat di

tangan gue….”

Kambing-kambing itu merumput dengan tenangnya, kadang ada juga yang mengunyah-

ngunyah daun singkong atau daun nangka yang sengaja dionggokkan di dekat gubuk kecil

yang dibangun Kipli.

”Untuk siapakah sebetulnya ini semua?” pikir Kipli sambil mengamati hewan-hewan itu

merumput.

Tanah ini, kambing-kambing ini, lalu dirinya yang lahir, besar, dan mungkin mati di

lingkungan kampung ini juga, seakan serpihan yang tak ada hubungannya satu dengan lainnya.

Dia yang semula begitu bersemangat, lalu berkeinginan mengembangkannya dan akhirnya

harus dijerat utang sedemikian besarnya, terjadi begitu saja. Tak ada lagi bayangan

kebahagiaan dalam menjalani hidup. Yang dirasakannya, kian hari kegetirannya kian

menyengat.

Seperti malam kemarin, malam ini Kipli tak ingin pulang. Di rumah, hanya gerutu dan

omelan Mumun yang akan didengarnya. Di padang penggembalaan ini, paling tidak dia hanya

akan mendengar embikan kambing-kambing, dengung nyamuk, atau nyanyian serangga

malam. Dirasakannya, hari-harinya seakan menuju tempat penyembelihan .…

Pinang, 982

NAM-MA, NAMAMU...

(gambar 4)

Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul

tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku.

Dan kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu

kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.

Di antara pantulan suara itulah aku menunggu. Menanti hingga semuanya kembali senyap. Tak

ada apa-apa di antara penantianku itu. Kesunyian ini terus terang saja membawaku ke suatu

perasaan kosong. Aku tak bisa lagi bergerak, bahkan berniat pun aku sudah tak bisa lagi. Entah

apa yang akan terjadi setelah kesunyian ini tiba-tiba terisi suara aneh; jawabanmu, misalnya.

Page 30: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

30

Ini sudah kulakukan berkali-kali. Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke

arah timur. Kutarik napas dalam-dalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa

wajah, rambut, dan sekujur jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini,

yang sudah sangat lama kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam

akar, merambat hingga ke kuncup-kuncup daun.

Setelah saat-saat kenikmatan itu kulalui, lalu aku menarik napas sekali lagi. Dan, kuteriakkan

namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul tenggelam di bentangan jarak,

menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku. Dan kurasakan pula gelombang

suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu kembali lagi kepadaku, sampai

akhirnya lenyap terisap sepi.

Setiap pagi, setiap hari, ini kulakukan. Aku benci melakukannya. Tapi, aku tak punya cara lain

untuk mengungkapkan betapa sebenarnya aku membencimu.

Kau beri aku harapan. Kau beri aku impian. Kau bangkitkan aku dari tidur abadiku yang

membatu hanya untuk melihat, menyentuh, dan menikmati semua keluhan perasaaanmu

kepadaku, lalu dengan begitu saja kau campakkan semuanya. Sepertinya kau menganggapku

persis seperti sesemprot ingus yang mengganggu hidungmu, atau dahak yang menggumpal di

kerongkonganmu.

Aku bahkan tak bisa lagi membunuhmu! Kebencianku membatu karenanya. Kau bahkan tak

ada lagi di dunia ini, dan kau tahu–sebagaimana aku pun tahu–bahwa itulah yang membuat

sesuatu menjadi kekal. Karena kekal hanya bisa terwujud bila menjauh dari kehidupan. Dia

harus berada di kutub yang berseberangan dengan kehidupan. Dan–inilah yang kusesali–

kekekalan yang ada dalam jiwaku adalah tentang kebencianku terhadap dirimu.

Sampai saat ini pun aku belum tahu siapa dirimu. Namamu? Cukupkah seseorang bisa

mengenalmu hanya dengan mengetahui namamu? Mungkin saja nama yang kau berikan

kepadaku hanyalah salah satu dari sekian jumlah nama yang dengan mudah bisa diciptakan.

Meskipun kau pernah mengatakan bahwa sejujurnya itu adalah namamu, tetapi aku lebih

mempercayai burung-burung, angin, dan awan yang selalu berkata jujur, bahwa itu hanya salah

satu dari sekian nama yang kau miliki. Meskipun perasaaanku mengatakan demikian, tetapi

Page 31: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

31

aku tak sampai hati–waktu itu–untuk mengatakan bahwa kau tak lebih daripada si pendusta

abadi (yang lidahnya bercabang dan hidup di salah satu sudut di lembah ini).

”Siapa namamu?” tanyaku kepadamu.

”Nama” jawabmu, dan itu membuatku bertanya sekali lagi tentang namamu dan kau pun

berulang kali lagi mengatakan, ”Nama”. Lalu kusimpulkan bahwa kau sebenarnya pendusta.

”Namamu aneh,” ucapku sekenanya.

”Bukan Aneh, tetapi Nama,” kau ulangi lagi jawaban itu, seakan aku adalah orang bodoh dan

agak tuli.

”Nama, kok, Nama.”

”Bukan Nama, tapi Nam-ma.”

Lalu angin mengisi sunyi. Kulemparkan pandangan ke kaki bukit, di mana hutan

menggerumbul bagai kelompok perdu yang berbisik-bisik, pura-pura tak memperhatikan kita.

Lalu kau tersenyum memandangi kebingunganku. Aku benci senyuman itu. Kau–lewat tusukan

senyummu itu–mengungkapkan isi pikiranmu bahwa sebenarnya aku adalah si tolol yang

kebingungan menghadapi kenyataan yang berada di luar jangkauannya.

Di saat itu pula aku berpendapat bahwa kau menikmati ketololanku–dan sebenarnya kau tahu

lewat pandangan matamu, bahwa aku benci sekali kau perlakukan seperti itu, tetapi kau tetap

saja memandangiku seperti itu.

Aku memang hidup di lembah ini, sejak aku bisa mengingatnya. Karena memang itulah yang

membuatku percaya tentang diriku. Aku memang tak pernah keluar dari kungkungan bebukitan

ini, seperti katamu. Aku tak suka kata ”kungkungan”, namun kau memaksanya mengatakan

demikian. Aku ingin menolaknya, tapi lidahmu memang manis sehingga aku tak bisa lagi

mengatakan apa-apa.

Kini kusesali mengapa aku tak mengatakan kebenaran itu!

”Apa maumu?”

”Aku tadi menebang bambu. Ketika kuangkat bambu itu, tanpa kusadari aku memegang

miangnya. Persetan dengan bulu-bulu halus itu, namun itulah kesalahanku. Tak

Page 32: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

32

kupertimbangkan bahwa ukurannya yang kecil itu justru sanggup membuatku menderita,” lalu

kau ulurkan tanganmu dan sebenarnya tak ada luka di sana.

Telapak tanganmu halus. Kulitmu bersih dan karenanya aku tak percaya sedikit pun bahwa kau

bisa menebang bambu lapuk sekalipun. Tak bisa kukendalikan rasa geliku dan gelak tawaku

pun pecah di kesenyapan yang sejak tadi lebih banyak mengendalikan kita.

Kau tersenyum saja, sambil tetap mengasongkan telapak tanganmu ke wajahku. Ketika kau

mengatakan, ”Bukan di telapak tangan, tapi di telunjuk…,” jemarimu menyentuh pipiku.

Kudengar sorak semak-semak di kejauhan sana, mereka adalah keparat-keparat bisu yang

selalu menunggu kesempatan bergembira menyaksikan rona merah di pipi. Akan kubakar

mereka!

Aku benci sekali, mengapa aku bisa segugup ini. Ingin kusobek kulit pipiku dan melupakan

bahwa pernah tersentuh dan menyemburatkan rona merah darah. Aku benci sekali mengapa

mimpi yang seharusnya mengelana dalam setiap pejaman mata ini menjadi kenyataan yang

bisa kurasakan.

”Aku ingin kau mengeluarkan miang itu dari telunjukku...,” ucapmu setengah berbisik.

Sebel! Mengapa harus aku? Dan, mengapa pula... ah, itu kan cuma miang!

”Mengapa kau tak mau melakukannya? Apakah karena ini pekerjaan sepele? Tahukah kau

bahwa dengan melakukan pekerjaan yang mungkin sepele ini, kau sudah menolong sepotong

jiwa yang sengsara,” ucapmu seperti merayu.

”Ini, kan, cuma, miang!”

”Kau pernah kena?”

”Tidak. Dan mudah-mudahan tidak akan pernah.”

”Itulah masalahnya.. kau sendiri belum pernah merasakannya, jadi kau pikir ini hanya masalah

kecil.”

”Kalau begitu, lakukan saja sendiri.”

Page 33: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

33

”Itulah masalahnya. Kalau aku bisa melakukannya sendiri, buat apa aku menemuimu.

Tolonglah…, apa ruginya kau melakukan pekerjaan yang bahkan tak punya arti apa-apa

bagimu, tetapi sebuah penderitaan bagiku. Tolonglah….”

”Ini, kan, cuma miang!” bentakku.

”Ini bukan cuma miang. Di sini ada rasa sakit, gatal-gatal yang menyakitkan. Tahu, kan,

maksudku?”

”Nggak!” jawabku jengkel karena pada kalimat itu kau agak-agak menggodaku. Aku benci

diperlakukan seperti itu. Apa yang ada di kepalamu saat itu?

Dan ketika kutampar mukamu, kau malah tertawa. Kucakar wajahmu, kau tergelak gembira.

Kutendang tubuhmu, kau memelukku. Aku lari, kau membayangi. Aku ke kali, kau ada di

dasarnya. Aku ke tebing, tanganmu menyambutku. Akan ke mana aku, kau mengajakku. Aku

benci!

Pada akhirnya, memang kucabut juga miang di telunjukmu. Kecil sekali, tapi memang ada.

Kutusukkan ujung penitiku ke telunjukmu. Kau cium leherku. Ada darah merah menitik di

ujung telunjukmu, dan kau dekapkan aku ke dalam segala mimpi yang pernah ada dalam

diriku.

”Kelak bila anak ini lahir dan dia seorang laki-laki… panggil dia dengan Masa.”

”Masa?”

”Masa.”

”Bukan…, Mas-sa.”

”Bukan.”

”Masa.”

”Ya. Masa.”

Ketika bunga-bunga jambu putih menebarkan kelembutannya kepada bumi, bumi

menyambutnya dari belaian angin yang sempat mengayun-ayunkannya di udara dan

membiarkan tebaran itu bermain di bola mataku, dan aku menerimanya dengan selembar kain

kesunyian yang putih.. tahulah aku bahwa Masa telah menjelma dalam diriku.

Page 34: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

34

Sejak saat itu, aku hanya menempatkan diriku dalam penantian Masa dan kau pun raib entah ke

mana. Bahkan, kepada burung-burung pun tak kau titipkan berita. Kepada angin pun kau

bersembunyi. Bayang-bayangmu pernah sekali waktu mampir kepadaku, dan dia hanya

membisu ketika kutanya tentang dirimu.

Kalau sudah begini, tak ada lagi sesuatu yang bisa kujadikan tempat bertanya perihal dirimu

dan kau pun diam-diam mengubahku. Kerasnya hukum adat yang menimpaku, membuatku

menjadi lava. Orang tuaku telah terkapar, terbanting rasa malu. Ibuku meratap bermalam-

malam, mempertanyakan dosa apa yang telah dilakukan leluhurnya sehingga dia harus didera

aib seperti itu, sebelum akhirnya dia menemukan kebuntuan dan memutuskan untuk menyatu

ke dalam tanah.

Kami adalah manusia tanah, yang berasal dari tanah dan akan menyatu sebagai tanah kembali.

Masa kukhawatirkan akan tumbuh besar oleh cemooh dan dera hina sekelilingnya. Sindiran

akan membutakan sebelah mata hatinya sehingga dia hanya punya pandangan yang tak

seimbang tentang hidup ini. Lalu, apa yang akan kuharapkan jika dari rahimku tumbuh

makhluk ber-”mata” satu?

Aku ingin menemuimu. Aku ingin bicara! Tapi kau di mana? Hanya dengan bicara–setelah tiga

tahun lebih aku membisukan mulutku, sejak kedua orang tuaku bertanya tentang dirimu. Hanya

kau satu-satunya yang layak mendengar apa yang kubicarakan. Kata-kataku hanya akan bisa

padu dengan kata-katamu. Begitu banyak kalimat dan kata-kata yang akan kuhamburkan

kepadamu. Kata-kataku adalah seribu kuda liar yang akan menggemuruh di hamparan jiwamu.

Kata-kata ini akan berlompatan dan meluncur, dan kalau mungkin akan menabrak,

menghancurkan setiap dinding karang hatimu.

Ketika kata-kataku yang sudah menjejal dan menjadi gumpalan gunung yang segera

menggelegar di bumi jiwamu, kudengar kabar bahwa kau mati.

Bukan. Bukan mati, tapi kau mencoba membunuhku dengan menggantung lehermu sendiri.

Sebenarnya, sudah lama kusiapkan hatiku untuk kecewa. Tapi ketika akhirnya kudengar juga

kabar dirimu, aku tak bisa lagi bertahan. Di suatu malam, ketika serangga berkidung sendu,

kuisakkan tangisku pada bekas bayangmu.

Aku bayangkan kedua tanganku berlumur darah dengan pisau yang menancap di dadamu!

Page 35: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

35

***

Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke arah timur. Kutarik napas dalam-

dalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa wajah, rambut, dan sekujur

jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini, yang sudah sangat lama

kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam akar, merambat hingga

ke kuncup-kuncup daun.

Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul

tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku.

Dan, kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu

kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.

Ini adalah caraku untuk melupakanmu. Akan kulakukan sampai suatu saat aku tak ingat lagi,

untuk apa kulakukan ini.

Bukit Nusa Indah 982

PENYAIR DAN ULAR (gambar 5)

Ada seorang lelaki kurus berkacamata dan selalu suka menyendiri, meskipun

sebenarnya orang sangat suka berada di dekatnya karena dia memang menyenangkan untuk

didekati. Masalahnya, dia tak tega untuk mengatakan bahwa dirinya sebenarnya sangat ingin

sendirian dan selalu mencoba melarutkan dirinya pada kesunyian yang murni. Dia selalu saja

gagal; gagal membuat orang paham bahwa dirinya lebih suka sendirian.

Dengan menyendiri dia merasa mendapatkan ruang, dia merasa menggenggam waktu

dan berdialog dengan dirinya, dengan bayang-bayangnya, dengan napasnya, bahkan dengan

mimpi-mimpinya. Semua itu diimpikannya akan memberikan kenikmatan. Sebenarnya hal

semacam itu pernah dialaminya, dulu ketika dirinya masih remaja, sebelum mengenal seorang

perempuan yang kini menjadi istrinya.

Dia selalu menyendiri di tepi kali. Tiduran di dahan pohon waru yang menjulur ke

permukaan sungai. Kadang sambil memotek bunga waru yang berwarna kuning cerah dia

Page 36: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

36

lontarkan mimpinya dan seakan meletakkan mimpinya pada kelopak bunga waru, dia

hanyutkan bunga itu ke sungai. Di saat-saat seperti itulah dia mengungkapkan puisinya.

Dia torehkan keindahan hening yang diselaminya pada dahan-dahan waru, tanpa

menggoresnya sama sekali. Kecuplak ikan wader yang kadang-kadang muncul ke permukaan

kali, suara garengpung yang mencoret-coret langit sepi, benar-benar membuatnya terlena, larut

masyuk ke dalam suasana. Pada saat seperti itu, puisinya subur perawan dua puluhan yang siap

menumbuhkan benih-benih kemanusiaan dan mekar menghiasi dunia fana ini.

Dia, laki-laki itu, yang kini mendapat gelar penyair itu, kini duduk di antara orang-

orang yang akan memberikan ceramah. Udara ruang berpendingin tak mampu meredam

kegerahannya. Berkali-kali dia menghapus keringat di sekitar hidung dan matanya, dan

karenanya dia berulang kali pula melepas kacamatanya sebentar.

Dia seperti tak peduli pada wajah-wajah muda penontonnya atau wajah-wajah mereka

yang begitu terkagum-kagum kepadanya. Dia tak mempedulikan bahwa di antara hadirin

mungkin saja ada petugas tanpa seragam yang sengaja bertugas mengawasi setiap kegiatan

masyarakat–tak peduli arisan sekalipun, kalau perlu. Dia tak peduli. Dia hanya gemetar dan

makin gelisah.

Ketika moderator menyebutkan namanya dengan sedikit bumbu humor dan hadirin

tertawa kecil, dia makin kuyup oleh keringat yang membanjir. Begitu gugupnya dia sampai-

sampai kacamatanya terlepas dari tangannya. Kebetulan meja yang dia gunakan tersebut adalah

meja berlaci yang bagian atasnya kebetulan berlubang. Kacamata itu jatuh dan masuk ke dalam

lubang itu. Karena dia tahu itu meja berlaci, segera dia menunduk mengintip ke laci.

Memang gelap, karena cahaya sedemikian rupa memang diarahkan ke wajahnya dan

bukan ke laci meja tersebut. Kedua, karena matanya memang rabun, dengan sendirinya tanpa

kacamata dia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Ketika dia meraba-raba rongga laci meja, tiba-

tiba tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang dingin dan hidup. Secepat itu pula dia

tersentak dan mengetahui bahwa ujung jarinya menyentuh seekor ular!

Namun, belum sempat dia menarik ujung tangannya, tiba-tiba telinganya mendengar

suara. Tak jelas dari mana datangnya atau siapa yang memilikinya, dan rasanya, hanya

dirinyalah yang mendengar suara tersebut.

”Bila kau tarik tanganmu, kupatuk kau!”

Si penyair itu segera mahfum siapa pemilik suara itu. Kemudian dia bertanya-tanya

dalam hati mengapa si ular mengancamnya. Ular itu kemudian menjawab bahwa sebenarnya

dia ingin berbincang-bincang dengannya, hanya saja dia tak sebahagia manusia yang bisa

Page 37: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

37

kapan saja menjumpainya. Dirinya hanyalah seekor ular yang bahkan kehadirannya di suatu

tempat pun sudah menggegerkan manusia.

Si penyair itu tertegun. Moderator mengamatinya, mungkin karena tampak beberapa

saat si penyair masih saja merogoh-rogoh laci meja berusaha mendapatkan kacamatanya.

”Ketemu, Pak?” tanya si moderator.

”Oh, ya, ya…, baik, nanti kita bicara lagi…,” ucap si penyair menjawab si ular dan

membuat bingung si moderator.

Kemudian tampak si penyair mengenakan kacamatanya lagi dan dia tampak lebih

tenang.

”Di bawah ancaman seekor ular, aku bahkan tak bisa bernapas…,” ucapnya mengawali

ceramah. Penonton yang mula-mula bingung, tak berapa lama kemudian mengaitkan ucapan

tersebut dengan situasi sosial politik yang sedang hangat. Mereka kemudian bertepuk dan

bersuit meriah seakan ada sesuatu yang tersalurkan, yang selama ini seolah mengganjal di dada

mereka. Mata mereka berkeliaran seolah mencari-cari seraut wajah yang merasa "tersinggung"

dengan sindiran si penyair tadi.

Maka dimulailah ceramah si penyair tadi tentang hubungan mistis antara dirinya dan

alam yang mengelilinginya. Antara dirinya dan rintik hujan, angin dan bunga serta bisikan, dan

... kerinduannya yang aneh pada kematian.

”Diriku telaga / yang mengalir arus/ hidup di dalamnya/ menyanyikan hujan yang

lirih/ bagaikan lenggokan terakhir asap/di puntung rokok/ terendam/ namun, adakah kau/

perhatikan setiap helai cemara/ yang melayang turun/ adalah siasatku untuk memahamimu?”

Ia mencoba mengutip salah satu sajaknya dan mengutarakannya dengan suaranya yang

parau gemetar–ada nada keraguan di sana. Namun, anehnya, hadirin bagai tersihir. Diam.

Terpaku. Terhenti dari kehidupan. Seolah, setiap kepala bekerja keras, terkonsentrasi mencari

bentuk-bentuk yang muncul dalam setiap kata yang diucapkan sang penyair, dan agaknya

mereka sia-sia saja memahaminya.

”Kulepas tiang-tiang / stasiun bergeser / makin cepat / membawa diriku dan/

menyisakannya di/ bangku-bangku,” ujarnya lagi mengucapkan betapa dirinya tercabik dan

terkoyak. Perpisahan baginya adalah sesuatu yang indah sekaligus menyakitkan. Dan itu adalah

penderitaan "purba" manusia–demikian dia mengistilahkannya–yang disandang manusia sejak

Adam terbuang dari surga.

Sekali lagi hadirin terdiam. Sementara itu, ular belang yang sejak tadi masih saja berada

di dalam laci juga terkesima mendengarkan uraian demi uraian sang penyair. Baru sekarang dia

merasakan begitu dahsyatnya getar dan nada suara si penyair, yang bagi si ular, si penyair

Page 38: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

38

seakan sedang mengalami pengelupasan kulit dirinya–dan kepedihan itu langsung menyundut

sanubari si ular. Baru pertama kali si ular menitikkan air matanya.

Si ular menggeliat, menggelepar oleh kepedihan dahsyat yang memanggangnya hidup-

hidup–tetapi anehnya memberikan kenikmatan syahwat luar biasa. Dia belum pernah

mengalami hal semacam ini sebelumnya, bahkan tidak pernah memimpikan hal semacam ini

sebelumnya. Ini memang sesuatu yang baru dan luar biasa baginya. Kekuatan itu membuat

kulitnya melepuh, terkelupas, lepas, dan... dia rasakan embusan pendingin udara menyentuh

kulitnya. Sunyi.

Ada cahaya terang tertuju kepadanya. Dia hanya merasakan tubuhnya lemas, nyaris tak

bertenaga. Cahaya itu menyilaukannya dan dia memejamkan matanya. Tiba-tiba dia

mendengar suara-suara manusia yang membicarakan sesuatu yang–agaknya–sangat

mengagumkan. Dia menoleh dan dilihatnya dirinya ada di dalam sebuah ruangan berpendingin

dengan ratusan pasang mata menatapnya.

Belum lagi dia menyadari dirinya ada di mana, tiba-tiba salah seorang melontarkan

kain, lalu ada mahasiswi yang menyelimutinya, dan… barulah dia sadari bahwa dirinya

berubah menjadi seorang wanita molek yang tergeletak di antara pecahan meja di lantai..

telanjang.

***

Si penyair masih dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung. Bukan karena

ledakan itu, yang tiba-tiba meletup dan memecahkan meja tempatnya membacakan makalah,

tetapi karena tiba-tiba di hadapannya muncul seorang dara telanjang. Dia sudah menduga-duga

bahwa dara itu berasal dari ular yang tadi mengancamnya. Yang membuat jantungnya begitu

mendadak menggebrak adalah peristiwa metamorfosis itu sendiri yang terjadi atas diri si ular.

Dan pagi ini, ketika dirinya menunggu dokter memeriksanya, gadis ular itu datang

menjenguknya. Dia mengenakan baju sutra berwarna biru. Wajahnya cerah dan senyumnya

merekah. Si penyair merasa bahwa dirinya mendapatkan kesegaran yang selama ini terasa

hilang dari kehidupannya.

”Bagaimana mungkin kau bisa menjelma menjadi manusia?” ujar si penyair dengan

nada gemetar seperti biasanya.

”Aku sendiri tak tahu. Dan, kurasa itu tidak penting. Yang jelas aku sekarang bisa

selalu dekat denganmu kapan pun aku mau,” ujarnya sambil duduk di dekat si penyair. Harum

dan kesegaran tubuh si wanita ular itu memang, tak bisa tidak, membuat si penyair hanyut dan

tersangkut di puncak kelelakiannya. Dia menyadari, tetapi sudah terlambat. Semuanya sudah

Page 39: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

39

terlaksana dan selesai, namun sekaligus sebagai sebuah babak baru kehidupannya yang masih

misterius di masa depan.

”Aku tak mungkin menikahimu.” ujar si penyair dengan nada bicaranya yang khas. Si

dara hanya tersenyum.

”Aku juga tak ingin menikah denganmu,” jawab si dara ringan.

”Mengapa?”

”Karena kau tidak akan pernah bisa kumiliki. Kau hanya bisa kukagumi.”

”Lalu, apa artinya... yang 'baru saja' kita jalani ini?”

”Kenangan.”

Si penyair diam. Dirinya seakan dirajutkan ke dalam sebuah bentangan besar kain

kehidupan entah milik siapa. Di dalam bentangan ini, dirinya adalah helai benang yang tak ada

artinya, yang sekaligus memiliki arti apabila tercerabut dari kebersamaan dan keutuhan

bentangan. Ketiadaannya akan melahirkan arti baru. Ketidakhadirannya justru menghadirkan

sosoknya yang lebih utuh, konkret dan nyata di dalam setiap benak manusia yang memujanya.

Dirinya terpusat pada sebuah putaran lembut dan sangat halus, yang perlahan-lahan

menciptakan proses kehadiran sosoknya di dalam angan-angan manusia yang memujanya.

Proses itu berlanjut perlahan sampai pukul 12 tepat. Setelah itu, antara dirinya dan 'dirinya'

yang lain terpisah perlahan. Ada yang tertinggal dan ada yang meninggalkan. Keduanya adalah

dirinya. Masing-masing sedang menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Sebuah tali

mengikatkan keduanya, menghubungkannya apabila diperlukan nanti.

***

Karangan bunga bertumpuk di halaman rumah si penyair. Orang-orang yang

menyatakan duka cita berdatangan dari berbagai penjuru. Anak dan istri si penyair menyambut

mereka dengan mata merah karena sedih. Mendung duka menggantung di sana dan semua

maklum, semua merasa ditinggal secara mendadak. Wartawan media masa cetak dan

elektronika, bahkan dari luar negeri juga berdatangan meliput acara duka cita tersebut.

***

Di sebuah kampung di dekat kampus ada panggung terbuka untuk malam perayaan 17

Agustus. Malam itu, entah bagaimana ceritanya–tak seorang pun mau mengusutnya–ada mata

acara pembacaan puisi karya almarhum si penyair.

Page 40: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

40

Ternyata acara pembacaan puisi tersebut merupakan satu-satunya acara setelah

sambutan oleh Pak Lurah. Ada ratusan orang yang mencoba membacakan sajak-sajak si

penyair. Semuanya memang bagus, tapi tak ada yang membuat penonton terpesona. Bahkan

banyak penonton yang menilai bahwa sajak tersebut memang tak bisa dibacakan orang lain.

Hanya si penyairlah yang bisa membacakannya. Penonton agak kecewa ketika banyak sajak

yang seharusnya diucapkan sambil berbisik, diungkapkan secara lantang berteriak merobek

keheningan.

Nyaris saja malam itu merupakan titik balik malam peringatan, sampai secara tiba-tiba

ada seorang bocah lelaki berusia 8 tahun. Tubuhnya bagus. Matanya bening. Penampilannya

memukau. Tampak kecerdasan memancar dari senyum dan tatapan matanya.

Begitu dia menaiki panggung, semua perhatian memang tersedot kepadanya–apalagi

ketika dia tersenyum.

”Aku adalah dirimu/mimpimu/keindahanmu/kerinduanmu/pada nyanyian

ilalang/gemerisik daun bambu/iring-iringan semut hitam/merayap di dahan sawo/yang tak

pernah kau bayangkan/ betapa semua itu sebenarnya berakhir dengan tiba-tiba/ dan/ itu bisa

saja sekarang atau/ esok atau bahkan kemarin/ Ah, sayangku/ kau tak bisa menahannya dari

kehancuran/dengan matamu tetap bersitahan/dari kedipan.”

Orang-orang terpaku. Anak kecil itu tersenyum, menuruni panggung, menghilang di

balik kerumunan. Orang-orang masih terpaku. Masing-masing seperti terbawa ke suatu tempat

yang tak bisa disebutkan oleh lidah manusia. Sesuatu yang sangat berbeda. Mereka hanya

meraba-raba, menduga-duga bahwa itulah jiwa si penyair yang mengejawantah ke dalam diri si

bocah.

Orang-orang mulai mencair, seakan baru selesai menatap ketakjuban luar biasa. Mereka

bertepuk tangan, bersuit-suit riang penuh kekaguman. Mereka tak merasakan sama sekali–

sekaligus menikmati keadaan mereka–bahwa perlahan-lahan mereka dimasukkan ke dalam

sebuah tempat yang dikenal sebagai kenangan.

Sementara itu, di bawah panggung yang gelap pekat, ada seekor ular belang menelasar

mencari lubang ke dalam tanah.

Bapindo Plaza, lt. 25

RANDU (gambar 6)

Page 41: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

41

”Tak ada seorang anak pun di dunia ini mau memanjat pohon randu.”

”Mengapa?”

”Kenapa kau bertanya? Lihat saja sendiri, batangnya berduri, lalu sesampai di puncak, apa

yang akan kau petik? Mau makan kapuk?” dan gelak tawa itu pun berderai-derai membuat

anak laki-laki kurus itu tersudut di pojok kedunguannya. Sesampai di rumah pun, bapak dan

saudara-saudaranya yang lebih besar mempertajam olok-olok itu. Maka luka di jiwanya yang

muda itu pun menganga. Hidupnya kemudian adalah berbilang tahun dalam pelarian,

membawa rasa malu yang entah berapa besarnya.

Kini, matanya menyapu bersih, tak ada sepasang mata pun yang berani menentangnya.

Orang-orang itu seakan tersapu wajah-wajah mereka yang pernah mengejeknya. Dia berteriak-

teriak menantang. Pedang teracung-acung ke angkasa, kuda hitamnya meringkik, sepasang

kaki depannya menggerapai, siap menendang siapa pun yang berani mendekat. Laki-laki

bertubuh kekar itu memilin kumisnya lalu terbahak-bahak, diselingi dahak, dan melompat ke

punggung kudanya. Ladam-ladam kuda itu menggemuruh meninggalkan kepulan debu

kemarau yang menggulung orang-orang Kampung Watu Gong.

Laki-laki di punggung kuda. Entah apa yang merajai dirinya, tengah pongah

menengadah langit, seakan menantang Tuhan. Entah apa yang ditanyakannya. Tak jelas pula

apa yang digugatnya. Kelebat pedangnya adalah setiap pertanyaan yang tak kunjung mendapat

jawaban. Kelemahan orang lain adalah kemarahannya. Tangis tak berdaya para perempuan

adalah arak yang memabukkan jiwanya, yang membuatnya berlupa dan melayang entah ke

dunia mana. Tak ada dusun yang belum pernah dibakarnya. Tak ada pesta yang belum pernah

diporak-porandakannya. Tak ada lembah yang belum pernah dijamahnya. Tak ada padepokan

yang belum diterjangnya. Para jawara, benggol rampok, hingga para kesatria istana, tak ada

yang bisa bernafas lagi manakala bertemu dengannya. Semua lawannya hanya mempunyai

satu pilihan: berlaga luka, menghindar modar. Tak ada gemencrang pedangnya yang

disarungkan kembali tanpa menenggak nyawa korbannya.

Tapi, siang itu, ketika matahari tepat di atas ubun-ubun setiap manusia, di tengah

lembah tandus kering bergoreskan tanah rekah, laki-laki di punggung kuda itu terhenti.

Pedukuhan terakhir yang dijumpainya sudah jauh tertinggal sejak matahari terbenam kemarin

sore. Di atas kudanya dia berpacu melawan angin kemarau, bahkan di tengah malam buta.

Hanya keajaibanlah yang membuat kuda dan penunggangnya itu seakan tak membutuhkan

napas sama sekali. Seolah kelelahan hanyalah milik mereka yang rapuh, keropos, dan

menyerah terhadap waktu yang berlalu tanpa belas kasihan. Namun, di siang itu, seakan

Page 42: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

42

keduanya sampai pada batas tepi kekuatan diri. Haus mencekik tenggorokan kuda dan

penunggangnya.

Lelaki itu turun dari punggung kudanya. Matanya menyapu batas cakrawala.

Fatamorgana mencoba menipunya, tetapi sia-sia. Mata lelaki itu terlatih, seluruh panca

inderanya saat itu menjadi mata. Hidungnya mencium segarnya air nira, entah dari mana.

Angin pun tak bisa lagi berdusta kepadanya. Tak sanggup menyimpan rahasia yang tengah

diembannya. Ya, air nira, legen, yang manis segar itu tentunya ada di sekitar tempat itu.

Jakunnya turun naik membayangkan kesegaran itu. Bibirnya mulai mengelupas oleh

uap panas. Silaunya cahaya matahari membuat kelopak matanya setengah terpejam dan dari

celah bulu-bulu matanya ia tiba-tiba melihat sebentuk bayangan manusia muncul dari arah

barat. Bergelombang oleh udara panas, bayangan itu makin mendekatinya. Dan jelas tampak

olehnya, seorang lelaki tua memikul beberapa bumbung bambu berisi nira segar penghilang

dahaga.

Lelaki berkumis melintang itu membasahi bibir dengan lidahnya sendiri, sementara

tangan kanannya meraba pedang di pinggang. Sepasang matanya menancap pada sosok tua

yang terbungkuk-bungkuk memikul bumbung bambu. Di matanya, langkah lelaki tua itu

seakan semakin lamban, bagai kura-kura. Tak sabar akan apa yang disaksikannya, dia

melompat ke punggung kudanya yang segera nyongklang karena terkejut. Dipacunya kuda

hitam berkilat itu, mengepulkan debu putih ke angkasa biru. Teriakannya membelah lembah

dan kilatan pedangnya mewartakan maut.

Sekali rengkuh, satu bumbung akan berpindah ke tangannya dan segera membasahi

kerongkongannya. Kelebat pedangnya secepat kilat menyambar dan menyambar lagi. Namun,

lelaki tua itu seakan bayangan halimun yang bahkan tak tersentuh hembusan napas kudanya.

Lelaki kura-kura itu bahkan seolah tak menyadari kehadiran lelaki berkuda yang beringas

menebas-nebas. Dia berjalan tertatih-tatih sambil sesekali mengelap peluh di dada telanjangnya

yang keriput itu. Sementara lelaki berkuda itu kian kalap dan mengejar mangsanya. Bagai

elang dia menyambar, tetapi tak sejari pun dia bisa menyentuh mangsanya. Bahkan ketika tiba-

tiba lelaki tua itu berhenti, si lanang berkuda itu terkejut setengah mati. Kudanya nyongklang

dan penunggangya terjengkang. Lelaki kumis melintang itu memaki dengan sisa tenaganya.

Dan, belum lagi dia menyadari sepenuhnya, lengan kakek tua itu terjulur kepadanya. Dia

terduduk dan kakek tua itu menuangkan air nira segar ke batok kelapa cengkir, lalu

memberikannya kepada si kumis baplang. Si kumis baplang, menganga tak percaya akan

dirinya yang seakan tanpa daya itu. Dia hanya mematung, memandang si kakek.

Page 43: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

43

”Oh, maaf…, Kisanak puasa?” ujar lelaki tua itu dengan wajah menyesal, lalu buru-

buru memasukkan lagi air nira itu ke dalam bumbung. ”Ini sebenarnya tidak saya jual, tetapi

akan saya kumpulkan untuk dibuat gula. Ah, gula aren memang yang paling manis menurut

saya. Hehehe….”

Lelaki berkumis itu menelan udara gersang. Ada rasa perih yang menggores

kerongkongan keringnya.”Saya haus, kakek tua!” bentaknya tiba-tiba.

Si kakek memandangnya sesaat, lalu menuangkan air nira itu ke batok kelapa cengkir.

Diangsurkannya kepada lelaki berkumis itu sambil menggumam, ” Kisanak ini musafir, ya?”

Lelaki berkumis itu geram, tapi tak peduli. Nyawanya siap melayang menyambut

kenikmatan luar biasa yang meluncur perlahan di kerongkongan keringnya itu. Ingin dia

menghentikan, bahkan denyut jantungnya sendiri, hanya demi kenikmatan yang tiada taranya

itu. Kesegaran seakan menjalar ke segenap urat darahnya, meriap gelombang sukmanya,

menerima daya hidup yang menyegarkan jiwa itu. Batok pertama tandas seketika dan dia

meminta lagi. Lalu batok kedua, kesepuluh dan… akhirnya sebumbung pun ditenggaknya

habis.

”Kek, mengapa kau tak ikut minum?”

”Saya puasa, Kisanak.”

”Ah, sudah tua kok puasa, hehehe…,” si kumis baplang berusaha meledek. ”Malaikat bahkan

sudah enggan mencatat perbuatanmu. Sebentar lagi kau masuk kubur,” ucap lelaki muda itu

tegak sambil sesekali menenggak bumbungnya.

”Minumlah dulu sepuasmu, baru bicara...,” jawab si kakek. Dan bumbung ketiga pun

tandaslah. Tersisa satu bumbung lagi.

”Tubuhku memerlukan air sebanyak mungkin. Jangan marah jika air niramu habis olehku,

hgheeeikh.. Ah, lagi pula kau tak akan berani marah padaku. Hahaaaa…,” ucapnya sambil

melemparkan bumbung ketiga.

”Tangan yang biasa merengkuh akan sulit dikendalikan.”

”Dari mana kau tahu semua itu?”

”Puasa.”

”Puasa? Hahahahahaaa... Puasa… hahahaaa… puuaas… sha. Hahahahaaa….”

Kakek itu diam saja dan memunguti bumbung yang berserakan lalu

menggantungkannya kembali di pikulannya. Sementara si kumis terus-menerus menenggak

bumbung keempat, lalu bumbung kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kembali lagi ke

bumbung pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba si kumis sadar bahwa jumlah bumbung itu

Page 44: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

44

hanya ada empat dan dia telah menenggak habis semuanya. Namun, mengapa air nira itu tak

habis-habisnya ditenggak?

Tubuhnya limbung dan, tanpa disadarinya, dia kencing sambil berdiri, sementara

bibirnya masih saja menenggak bumbung. Dia terhuyung ke sana kemari. Menenggak lagi dan

lagi, sampai akhirnya dia merasakan mual yang luar biasa. Rasa mual itu menggulung-gulung

dan menggelegak naik, melonjak melalui mulutnya.

Tubuh kokoh itu terbungkuk-bungkuk mengikuti gelegak mual yang mengganas bagai

kuda liar. Beberapa kali kepalanya terasa diganduli gajah dan lelaki kokoh itu roboh,

menggelosor ke tanah kering. Dari mulutnya tumpah-ruah berbumbung-bumbung air nira.

Selesai dihajar mual, lelaki itu terduduk. Dia merasa lelah, tetapi tangannya meraih bumbung

itu lagi. Dia berteriak menolak, tetapi sia-sia. Tangan itu seakan bergerak bukan oleh kemauan

lelaki itu. Kedua tangannya bukan lagi miliknya, yang kini bergerak sesuka hatinya,

menuangkan berbumbung-bumbung nira ke dalam mulut lelaki itu. Dia berusaha lari, tetapi

kakinya enggan bergerak. Mulutnya enggan menutup dan seakan terganjal batu, menganga

bagai gua menerima gerojokan air nira.

”Tanganmu tergerak oleh hatimu. Seperti kuda, kalau kau latih dia, maka patuhlah dia

kepadamu. Jika kau bebaskan semaunya, liarlah dia.” Kakek tua itu masih saja duduk di tanah.

”Jangan… haaep… haep… prrffss… jangan banyak bicaraa, haepss... pss... puuah! Bantu aku

menghentikan tanganku.! Huk… huk… hooeek…,” lelaki itu berussaha mengendalikan

tangannya yang seakan ingin menenggelamkannya dengan air nira. Jatuh bangun dia

menghindar, tetapi kedua tangannya tetap saja menguasainya. Teriakan dan lolongannya tak

bisa menghentikan kedua tangan liar dan aneh, yang kini menguasainya itu.

”Ingat dongeng Prabu Rahwana? Dia pernah minta kesaktian kepada para dewa agar

diberi kekuatan dahsyat tak terkalahkan. Dia juga meminta ilmu tak bisa mati,tak bisa

dikalahkan oleh dewa dan manusia, hehehehe…, dituruti. Permintaannya dikabulkan, malah

diberi kesempatan menikmati hasil tapanya itu berpuluh bahkan beratus tahun. Tapi apa

yang diperolehnya ketika Sri Rama melepaskan panah Gua Wijaya? Haha.. persis kayak

Sampean, Kisanak. Gua Wijaya memang tidak membunuhnya, tetapi menyakitinya, dan rasa

sakitnya memang berkepanjangan sehingga akhirnya Rahwana minta mati. Makanya, kalau

didongengi orang itu didengarkan, bukan cuma mbantah. Heheheh.. sekarang, enak, nggak air

yang kamu minum itu? Heh? Hahahahahahaha….”

Gelak tawa kakek itu seakan lecutan cambuk raksasa yang kian membuat kuda-kuda

liar yanga ada di dalam diri laki-laki berkumis itu meronta-ronta, menyeretnya entah sampai ke

Page 45: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

45

mana. Oleh lelah dan lilitan nira yang memabukkan itu, akhirnya si kumis rebah tak sadarkan

diri.

***

Matahari sedikit lagi terbenam. Lelaki berkuda itu masih saja terduduk setelah beberapa

saat lalu pingsan. Setiap persendian tubuhnya terasa hancur, hatinya kosong, pikirannya

lenyap, dan dia seakan tak memiliki keinginan apa-apa lagi.

Dia naiki kudanya dan kuda itu pun berjalan tanpa kendalinya. Tubuhnya yang kosong

terayun-ayun dan angin sore pun menyapunya lembut. Kalong-kalong mengepakkan sayapnya

teratur dalam gerombolan panjang, membentuk totol-totol hitam di hamparan langit

lembayung. Sayup dari pucuk-pucuk daun kelapa di kejauhan, angin membisikkan suara azan

dan kuping lelaki yang terlatih itu pun menangkapnya.

Antara sadar dan tidak, dia masih mengingat beberapa ucapan kakek tua itu, yang entah

bagaimana seakan memiliki kekuatan untuk melekat dalam ingatannya. Ucapan itu

membuatnya kosong. Lembah sanubarinya yang tandus gersang tiba-tiba mulai berkabut,

basah, dan kehijauan pun bersemi.

Diamatinya kedua tangannya yang kini bergerak biasa. Entah apa yang tadi terjadi pada

dirinya, dia tak sepenuhnya memahami. Selama ini, dia selalu membiarkan kuda-kuda liar di

dalam dirinya, meronta sesuka hati. Kini, dia ingin sekali mencoba mengaitkan tali kekang dan

mencoba menambatkan pada tiang pendiriannya agar tak lepas begitu saja. Entah mengapa,

mungkin ucapan itulah yang membuatnya begitu.

Ke manakah si lelaki tua itu pergi? Ke barat atau ke timurkah dia harus mencarinya?

Matanya hanya menangkap sosok randu dengan durinya di sana-sini. Dulu, ketika masih

kanak, pernah dia ingin memanjat batang randu, entah apa yang dicarinya sesampainya di atas.

Namun kini, ketika pikiran itu muncul lagi, dia merasa rindu. Rindu pada suatu kenikmatan,

meskipun kedua tangannya akan penuh luka oleh duri. Dia ingin sekali memanjat batang randu

alas itu. Ada keinginan menderas yang membuatnya menangis. Keinginan untuk

membersihkan dirinya dan karena kotoran itu melekat di aliran darahnya, maka dia ingin

mengeluarkan darah dari tubuhnya dan membiarkan darah itu mengucur keluar bersama dosa-

dosa yang menghitami hidupnya.

Lelaki berkumis itu duduk di punggung kudanya, membiarkan dirinya terayun-ayun

langkah kuda yang entah membawanya ke mana.

Bukit Nusa Indah-98

Page 46: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

46

BATERAI (gambar 7)

Dia selalu saja lupa mengganti baterai pada jam dindingnya. Setiap kali dia ingin tahu

waktu dan secara otomatis kepalanya menengok ke jam dinding yang melekat di tembok di atas

lemari kecil itu, dia seakan baru teringat bahwa seharusnya dia sudah mengganti baterainya

kemarin.

”Kenapa sih, nggak diganti? Sudah tahu kalau jamnya selalu mati, dan sudah tahu

kalau baterainya mati, masih saja didiamkan…,” omel istrinya setiap kali memergoki jam itu

masih mati.

Laki-laki itu diam saja. Dia hanya memandang jam bulat yang melekat di tembok itu.

Ada keinginan, setiap kali melihat jam mati itu, untuk mengganti baterai. Namun, entah

mengapa, selalu saja ada sesuatu yang membatalkannya.

Misalnya, pada hari Minggu kemarin. Dia pulang sebentar dari kerja bakti di

kampungnya. Dia janji akan menelpon seorang kawan pada jam sembilan pagi. Ketika dia

ingin melihat jam berapa saat itu, dia melihat jarum panjang menunjuk angka dua belas, dan

jarum pendek ke angka empat. Mati. Saat itu juga dia bermaksud ke warung dan membeli

baterai, tetapi pada saat yang bersamaan telepon berdering. Ternyata itu adalah kawannya.

”Aku tunggu teleponmu, kok, nggak bunyi-bunyi, kenapa, sih? Lupa, ya?” yang di

seberang sana membuka pembicaraan dengan cercaan.

Laki-laki itu mendesah, lalu menjawab dengan tenang, ”Sori, baru bangun,” ucapnya

berbohong. Lalu dia terlibat pembicaraan dengan si penelpon. Setelah pembicaraan kira-kira

tiga pulauh menit, laki-laki itu segera kembali ke para tetangganya yang tengah kerja bakti.

Lupa membeli baterai. Begitulah, sepulang kerja bakti tubuhnya lelah, ia mandi, makan, dan

tidur siang sepanjang hari.

Sore hari, ketika dilihatnya rumah sepi, dia celingukan sendirian, dan mendapatkan

pesan di pintu lemari es, ”Pa, aku ke rumah Ayah. Malam baru pulang.”

Dia mulai berpikir, ”Jam berapa, ya, sekarang?” pada saat itu juga dia melongok ke jam

dinding itu dan didapatinya jam itu masih saja menunjukkan jam empat.

Di lain kesempatan, pernah dia berniat mengganti baterai jam dinding itu. Baterai sudah

disiapkan. Namun, ketika itu di halaman ada seekor ayam tetangga yang menggulingkan pot

bunganya. Segera dia usir ayam itu dan dengan pandangan sedih dibenahinya pot yang

terguling itu. Setelah itu dia duduk sekadar melepas lelah dan merokok. Ketika dia menengok

Page 47: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

47

ke arah jam mati itu, barulah dia ingat bahwa seharusnya dia mengganti baterainya, tapi saat itu

dia sedang ingin menikmati sebatang rokoknya.

Begitulah, setiap kali dia melongok, jam itu masih saja mati. Diam tak menunjukkan

gerakan apa-apa. Anehnya, dia juga berpikiran yang sama—selalu saja dia lupa mengganti

baterainya.

Dia lalu berpikir, mengapa setiap kali dia ingin mengganti sesuatu—baterai jam itu,

misalnya, ada saja yang membuatnya gagal. Bayangkan, sejak niat pertama dipancangkan,

hingga saat ini—ketika dia menghisap rokoknya ini, kira-kira sudah sebulan. Baterai jam itu

belum juga diganti.

***

Besoknya, ketika istrinya akan berangkat kerja, dengan buru-buru menggaet tas dan

berkesempatan menengok jam dinding itu, sekali lagi semprotan itu meledak. ”Kapan, sih, jam

ini dapat baterai baru?”

Laki-laki itu terdiam, selain karena dia sendiri baru saja bangun dari tidurnya, juga

merasa bersalah karena belum juga mengganti baterai. Dengan mata masih diganduli kantuk,

laki-laki itu melangkah mendekati jam dinding yang merana kehabisan baterai itu.

Diambilnya jam itu. Diamatinya sesaat, lalu dibalikkan dan diambil baterainya. Baterai

itu masih saja keras, tidak seperti yang dibayangkannya; bayangan dia, baterai itu agak loyak

bila dipegang lantaran kelamaan melekat di suatu tempat dalam keadaan mati.

Dia tercenung di antara tirai kantuk dan kesadarannya. Apa yang salah dengan baterai

ini? pikirnya dalam hati. Dia bermaksud mencoba baterai itu pada lampu senter, barangkali

saja baterai ini masih berfungsi, jadi tak usah beli.

Sambil membetulkan gulungan sarung di perutnya, dia mulai mencari-cari senter yang

dimaksudkannya. Mula-mula dicarinya di atas lemari es. Tak ada. Lalu dia terdiam sesaat dan

melangkah ke lemari obat. Di atas lemari obat itu biasanya ada gunting, alkohol desinfectan 70

%, dan lampu senter. Sambil menguap lebar dia menuju lemari obat dan menemukan semua

yang biasa di situ, kecuali senter. Di mana senter itu? Selalu saja begini, jika tak dibutuhkan,

ada, tapi begitu dicari, ngumpet! gerutunya dalam hati.

Dia seperti kehilangan tujuan, berdiri sambil memegangi baterai, dan tak tahu harus

berbuat apa dengan itu. Dia mencoba memasang kembali baterai itu ke jamnya dan mencoba

mendengarkan, barangkali ada detak kehidupan. Ternyata tidak.

Ada dua kemungkinan: baterai ini mampus, atau ada komponen jam yang rusak. Dia

garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Satu-satunya cara mengetahui keadaan jam ini adalah

Page 48: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

48

dengan mengetes baterai ini, dan satu-satunya cara mengetahui daya baterai ini adalah dengan

lampu senter. Pertanyaannya adalah, di manakah senter keparat itu?

Dia lalu menelepon istrinya. Operator menjawab bahwa istrinya belum sampai kantor.

Dia otomatis melihat ke arah jam. Hanya dinding kosong dengan debu melingkar. Dia tertawa

sendiri, jam itu ada di dekatnya.

Dia kemudian mencoba mencari sekali lagi. Di setiap laci, di setiap lemari, di setiap

kotak, di mana pun yang diperkirakannya senter itu tersimpan, dilakukannya. Namun, kali ini

dia sia-sia.

Tak lama, pergilah dia ke tetangganya dan mencoba meminjam senter. Tetangganya

heran, untuk apakah pagi-pagi dia berurusan dengan senter? Sebetulnya dia ingin marah karena

apakah senter itu akan ditimpukkan ke tikus atau mau diberinya kecap asin, itu adalah

urusannya. Namun, karena dia sadar bahwa dia tidak mengambil miliknya, tetapi meminjam

dari tetangganya itu, maka dipadamkannyalah kemarahannya.

Si tetangga kemudian menyerahkan senter itu, ”Tapi, kayaknya baterainya mati, Pak,

belum sempat diganti,” katanya tenang.

”Oh, nggak apa-apa, saya ada baterai,” jawabnya buru-buru kembali ke rumahnya.

Di rumah, dia mencoba memasukkan baterai itu ke senter pinjamannya. Namun, baru

saja dia memasukkan baterai itu, dia sadar senter itu membutuhkan dua buah baterai besar,

sementara dia hanya punya satu, kecil pula. Seekor cicak berdecak di atas kulkas.

”Apa, Lu, berisik!”

Cicak merayap cepat dan menghindar, sebelum kena tulah.

Dia akhirnya merenung. Diambilnya rokok dan dinyalakannya nikmat. Telepon

berdering.

Begitu diangkat, ternyata suara istrinya.

”Ada apa?”

”Oh, nggak , tadi aku nyari senter kita. Kok nggak ...”

”Kan, dipinjam tetangga sebelah,” potong istrinya.

”Yang warnanya merah itu, ya?” tanyanya sambil melirik ke senter yang tergeletak di

meja itu.

”Iya, sayangku....”

”Sudah lama pinjamnya?”

”Ya..., rasanya sih cukup lama, ya?”

”Hmm.. tapi, kenapa tadi dia tenang-tenang saja, seolah senter itu punya dia….”

”Oh, jadi sudah diambil?”

Page 49: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

49

”Sudah. Baru saja. Tapi, kenapa sikapnya begitu?”

”Ya, nggak tahu. Dulu, yang pinjam, sih, pembantunya, seingatku, lho.. mungkin dia

juga nggak tahu kalau itu senter pinjaman. Sudahlah…, daaa.”

Laki-laki itu masih saja beberapa saat menggenggam gagang telepon. Pikirannya masih

saja belum bisa menerima sikap tetangganya, yang dengan enaknya menyerahkan senter itu

kepadanya.

Jadi, ini senter keparat yang kucari-cari itu, gerutunya dalam hati. Dia merasa

terganggu dengan sikap tetangganya. Sudah pinjam, lama, nggak terima kasih, eh, malah

tanya-tanya untuk apa. Sialan! gerutunya lagi.

Masih dalam kecamuk ketidaksenangan atas sikap tetangganya, dia membongkar senter

itu. Dicarinya kabel dan dicopotnya lampu kecil senter, lalu dia mencoba menghubungkan satu

dengan lainnya sedemikian rupa sehingga seharusnya lampu itu menyala. Ternyata tidak.

Diperhatikannya, ternyata kawat wolfram lampu itu putus. Kampret!

Akhirnya, dengan bersungut-sungut laki-laki itu pergi ke warung kecil di ujung gang.

Ketika berjalan, dia melewati rumah tetangga yang meminjam senternya dan dilihatnya si

tetangga pura-pura sibuk mengatur sesuatu di mobilnya. Mobil bagus, kalau perlu dipoles di

salon mobil, tapi senter aja pinjam, mulangin nggak terimakasih, kutu kupret! Makinya dalam

hati.

”Bu, ada baterai?”

”ABC?”

”Ya, apa sajalah….”

”Ada juga predi’….”

”Apa sajalah.”

”Sebentar,” lalu ibu pemilik warung sibuk mencari baterai yang dimaksudkan laki-laki

itu. Setelah agak lama, dia muncul kembali. ”Ini?” katanya menyodorkan baterai besar.

”Bukan yang gede, yang kecil, Bu…,” jawab laki-laki itu agak jengkel.

”Oohh, yang kecil… sebentar…,” lalu ibu itu menghilang lagi ke balik bilik mencari-

cari baterai yang dimaksudkan pembelinya.

”Wah, Om…, habis. Nggak ada tuh yang kecil, yang gede aja, ya?”

”Nggak Bu, perlunya yang kecil buat jam.”

”Wah, belum beli, bapaknya. Sebentar lagi baru belanja ke pasar, Om.”

Laki-laki itu sudah tak peduli, dia ngeloyor pergi.

Page 50: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

50

Sesampai di rumah, dia hanya duduk mencangkung di balai-balai. Terus terang saja,

sisa kantuk masih menggandul di lipatan pelupuk matanya. Dia harus melakukan sesuatu,

tetapi apa, dia sendiri tak tahu.

Karenanya laki-laki itu kemudian memasang kembali baterai yang tadi dilepasnya ke

dalam jam dinding bulat itu. Diambilnya lap dan mulai dibersihkannya permukaan jam.

Kebetulan jam itu terbuat dari kayu yang dipernis mengkilat, sehingga mirip plastik.

Lalu, setelah puas membersihkan, dia tempelkan jam itu ke dinding. Beberapa saat

dipandanginya jam itu.

Dia mencoba mengingat-ingat, beli di mana jam antik ini? Tetapi sia-sia. Rasanya dia

dan istrinya tak pernah secara khusus membeli sesuatu, apalagi jam dinding. Ya, sejak

pernikahan mereka lima tahun lalu, mereka tak pernah melakukan apa-apa untuk diri mereka

sendiri.

Lima tahun, tanpa terasa, mereka telah menjalani rumah tangga. Lima tahun, tanpa

terasa, mereka hanya menjalani kehidupan sebagai sebuah rutinitas. Jam sekian mandi, jam

sekian makan, jam sekian berangkat, jam sekian anu, jam sekian itu, dan ini yang membuat

laki-laki itu merasakan bahwa dirinya kian kurus: anak!

Hingga memasuki tahun kelima perkawinan mereka, istrinya belum menunjukkan

tanda-tanda kehamilan. Dia sudah memeriksakan diri ke dokter dan sudah mendapat jawaban

bahwa dirinya, laki-laki itu, mandul.

Semula dia tak bisa menerima kenyataan itu, tetapi, ketika istrinya memberikan

dukungan, laki-laki itu akhirnya bisa tersenyum dan bercanda kembali. Akan tetapi, itu hanya

pada tahun kedua perkawinan mereka. Ketika istrinya dipindah ke divisi yang lebih menuntut

jam kerja, peristiwa demi peristiwa aneh pun mulailah terjadi dalam rumah tangga mereka.

Perlahan-lahan keduanya jadi jarang ketemu. Kalau pun ketemu, itu menjelang tidur.

Jika laki-laki itu berusaha merayu istrinya saat ingin bermesraan, dia hanya mendapatkannya

setelah berusaha keras menjaga agar istrinya tak ketiduran. Lampu-lampu pun padam satu demi

satu, demikian pula kehangatan mereka di ranjang.

Rutinitaslah yang membunuh mereka. Ditambah keadaan fisik laki-laki itu, yang tak

mungkin memberikan keturunan, maka lengkaplah kebekuan yang terjadi di dalam rumah

tangga laki-laki itu. Dia tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya merasa sakit karena

terjepit keadaan yang nyata-nyata bukan atas kehendaknya.

Seperti detak jarum jam yang berputar dari detik ke detik, kehidupan mereka mengalir

dari itu ke itu juga, tanpa titik perhentian sama sekali. Titik berikutnya adalah titik gerak untuk

Page 51: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

51

melompat ke titik berikutnya dan seterusnya. Tak ada titik henti. Begitulah rutinitas kerja

keduanya.

Mengalir, berputar dari siang ke malam, dari malam ke pagi, ke siang, dan ke malam

lagi.

Mata laki-laki itu mencoba tak berkedip karena begitu jam itu ditempelkan di dinding

kembali setelah dibersihkan, ada gerakan detak tertangkap matanya. Telinganya seakan

menangkap suara detak kehidupan jam dindingnya. Namun, setelah sekian lama ditunggu,

ternyata hanya keheningan yang mengalir. Laki-laki itu kembali kecewa.

Tangannya hanya mengelus jam dinding itu, entah sebagai semacam ritual atau

memang sudah seharusnya begitu, dia sendiri tak tahu. Yang jelas dia menyentuh dan jam itu

berdetak!

Dia nyaris berteriak girang, tak percaya pada apa yang disaksikannya pada hari itu.

Matanya berbinar-binar, beberapa kali dia ber ”ha-ha” di depan jam dindingnya. Baterai sialan

itu ternyata masih hidup. Masih mampu memberikan detak kehidupan pada jamnya!

Buru-buru dia telepon istrinya, tetapi dijawab oleh kantornya bahwa istrinya sedang

meeting. Dia kecewa, tetapi dia bisa maklum. Sekarang sudah tidak ada masalah lagi, jamnya

sudah berdetak normal.

Tak lama dia ke kamar mandi dan mengguyur badannya dengan air dingin segar. Dia

keramas, menggosok giginya, dan mengguyur tubuhnya berkali-kali seakan tengah melakukan

ritual penyucian diri. Sambil bersiul-siul kecil dia mengenakan handuknya dan ketika melewati

jam itu dia masih saja melihat jarum detik jam itu masih bergerak-gerak sebagaimana

seharusnya dia bergerak.

”Jam berapa sekarang?” bisiknya seakan meledek situasi yang kini berbalik

mendukungnya. Dia tersenyum dan jam itu memberikan jawaban sebagaimana seharusnya.

”Ooo… baru jam sebelas, to. Ha ha…,” laki-laki itu menari-nari kecil mirip seorang

bocah mendapatkan hadiah dari ibunya. Detik jarum jam itu masih terus berputar patah-patah

sebagaimana lazimnya detik jam dinding.

Sambil mengenakan pakaian, tangan laki-laki itu sesekali menyentuh tombol-tombol

radio tape-nya. Musik mengalun. Dia menyanyi, tak jelas liriknya. Hatinya begitu gembira dan

dia tak peduli apakah akan ada orang yang akan memaklumi kegembiraannya atau tidak. Paling

tidak, setiap kali dia menengok dan menanyakan waktu, jam itu telah punya jawaban. Dia

bukan lagi seorang laki-laki yang teledor, hanya untuk perkara mengganti baterai jam dinding.

Page 52: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

52

Jam setengah sembilan malam, istrinya pulang. Laki-laki itu berseri-seri menyambut

kedatangan istrinya. Sang istri meskipun terheran-heran, akhirnya tersenyum senang juga

mendapatkan suaminya begitu bergairah malam itu.

”Ada apa, sih?” tanya istrinya sambil mengamati, seakan suaminya adalah makhluk

luar angkasa.

”Aku tadi nelepon kamu di kantor, tapi…,”

”Oh, memang tadi aku dikasih tahu sama Rosi. Aku meeting dan lupa telepon ke

rumah. Ada apa?”

Istrinya berkata sambil membongkar belanjaan. Rupanya dia sempat mampir

supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan harian dan… satu pak baterai kecil.

Mata laki-laki itu tertumbuk pada pak baterai itu dan sambil tersenyum dia katakan

bahwa itu tak perlu.

Istrinya terheran-heran dan dengan pandangan yang sama matanya mengikuti telunjuk

suaminya ke arah jam dinding itu.

”Ooo…,” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Lalu istrinya meneruskan membereskan

belanjaan, kemudian pergi ke kamar mengambil baju ganti, mandi, dan…

Laki-laki itu diam. Kegembiraannya berhasil menghidupkan jam itu tak berarti apa-apa

bagi istrinya.

Tadi, nelepon mau bilang bahwa jamnya hidup?” teriak istrinya dari kamar mandi.

Laki-laki itu diam saja, tak ada gairah untuk menjawabnya.

Ketika usai mandi, sambil menggaet koran sore, si istri duduk di dekat suaminya. Laki-

laki itu masih saja kecewa. Beberapa menit kemudian, karena keheningan yang tiba-tiba

menyerang, si istri bertanya mengapa suaminya tiba-tiba berubah seperti itu.

Karena tak ada jawaban, istrinya mengalihkan pembicaraan, ”Nonton tv, yuk, kayaknya

ada film bagus, nih jam…,” secara refleks istrinya menengok ke arah jam dan jam tersebut

masih menunjukkan pukul setengah sembilan.

”Jamnya mati,” gumam istrinya, lalu beranjak ke ruang televisi.

Laki-laki itu seperti tersengat tawon, matanya langsung menancap ke arah jarum jam

yang diam tak bergerak sama sekali.

Segera diraihnya jam itu, lalu dicopot baterainya dan diguncang-guncangnya. Dari

ruang tv istrinya berteriak untuk mengganti saja dengan baterai yang baru.

Karena kecewa, laki-laki itu akhirnya hanya menggantungkan kembali jam tanpa

baterai itu ke dinding, sambil menggumam, ”Besok saja..”

Page 53: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

53

Pinang, 982

WAYANG (gambar 8)

Sebagaimana orang-orang di Dukuh Karang Ombo, Sukat juga tak percaya dengan apa

yang dilihat oleh mata kepalanya. Sebuah wayang kulit indah tokoh Sri Kresna, berukuran

hampir satu setengah meter–mulai dari ujung pegangan sampai pucuk mahkota.

Wayang kulit itu ditancapkan pada sebidang tempat dari jati berukiran Jepara,

sedemikian rupa sehingga kedua sisi wayang bisa dilihat dan bahkan bisa disentuh. Perhiasan

Sri Kresna, sebagai Raja Dwarawati, benar-benar gemerlap oleh intan-intan yang dilekatkan di

hamparan kulit itu.

”Lihat, pradha-nya…,” bisik Suto.

”Apa kau pikir ini juga dari sepuhan emas?” jawab Sukat agak menyangsikan

ucapannya sendiri.

Suto hanya menahan napas. Gemerlap warna kuningnya memang agak lain di mata

mereka berdua. Meskipun otak mereka juga berusaha menyangkal, bagaimana mungkin emas

bisa disepuhkan di atas kulit, namun mata mereka seakan mempercayai bahwa gemerlap

kuning itu adalah emas.

”Rasanya bukan tapi, kok, warnanya lain, ya?”

Orang-orang dukuh yang memang hanya bisa terkagum-kagum dengan apa saja yang

mereka saksikan, juga mulai berpikir seperti apa yang baru saja diucapkan Sukat dan Suto.

Sebuah telunjuk menjulur perlahan dari salah seorang penduduk yang mencoba ingin

menyentuhnya.

”Jangan senggal-senggol!” sebuah suara berat seorang lelaki menghentikan telunjuk itu.

”Nanti jarimu bujel!”

Aliran darah si pemilik telunjuk beku seketika.

”Ini dibuat secara khusus, di-pasani, ditirakati, jadi tidak sembarangan. Makanya juga

jangan sembarangan senggal-senggol.” Ucapan itu berasal dari si pemilik wayang. Lelaki

tinggi besar dan tambun berkumis lebat mirip Saddam Husein itu segera menjadi pusat

perhatian orang-orang dukuh. Dia berdiri bagai seorang raja, sementara orang-orang yang

puluhan jumlahnya itu duduk berkeliling di sekitarnya.

Page 54: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

54

”Wah, ini bagus sekali, lho, Den.” ucap Suto sambil menunjuk wayang tersebut dengan

ibu jarinya. Si pemilik wayang senang. Wajahnya berseri-seri.

”Sri Kresna ini kan seorang batara, seorang dewa yang ngejawantah ke bumi. Makanya

wayang kulitnya harus dibuat khusus. Kalau mau memperlakukan pun harus khusus pula,” kata

lelaki itu seakan mengulangi apa yang pernah dikatakannya.

”Bisa ngrejekeni ya, Den?” celetuk Sukat.

”Hus! Wandamu…, apa-apa kok langsung dikaitkan dengan kekayaan.”

Orang-orang tertawa riang. Sukat hanya senyam-senyum senang. Makian itu dirasakannya

sebagai ungkapan kedekatan Den Bagus kepadanya.

”Nuwun sewu, apakah itu semua inten-berlian, Den?”

Den Bagus memandangi wayangnya sejenak, kemudian menjawab,”Menurutmu

bagaimana Kat?”

”Waaah .. ya, ndak tahu, Den. Ngapunten, hehehe...,” jawab Sukat malu-malu. Namun,

otaknya masih bergulat keras antara mengatakan emas dan bukan emas.

”Ya, bukan. Mana ada kulit kok disepuh emas. Mana bisa.” Jawaban itu membuat

orang-orang lain tersenyum. Entah lega, entah apalagi. Tak ada yang tahu.

Tetapi, Sukat masih saja bergulat dengan pikirannya sendiri. Jidatnya berkerut-kerut.

Sorot matanya tak percaya pada ucapan Den Bagus.

”Kalau yang kerlap-kerlip ini... ya, memang inten betul,” ucap Den Bagus tenang

sambil menatap bangga pada wayang koleksinya.

Beberapa kepala saling menengok dan bibir-bibir pun pating klesik.

Mata mereka mencoba menghitung jumlah intan dan berlian yang melekat di seluruh

wayang itu. Mahkota Sri Kresna memang paling banyak, paling gemerlap. Kelat bahu, praba,

dan bahkan binggel yang dikenakannya juga gemerlap. Jumlahnya, kanan-kiri mungkin

melebihi seratus butiran besar-kecil. Pating kerlap, pating kerlip, menggoreskan kerjapan aneh

di mata yang memandangnya.

”Elok tenan…,” gumam Sukat seakan pada dirinya sendiri.

”Tahu, harganya berapa?” tanya Den Bagus dengan tenangnya.

Orang-orang hanya tersenyum masam. Ada juga yang kelihatan tambah bego, meskipun

tersenyum.

”Ini harganya setengah milyar.”

Mereka yang mendengar tak tahu persis berapa setengah milyar itu. Mereka rata-rata hanya

merasakan bahwa angka yang disebutkan itu menimbulkan kesan gemebyar! Ada percikan

indah, ketika kata ”Yar!” itu diucapkan. Entah bagaimana wujudnya di benak masing-masing,

Page 55: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

55

namun mereka merasakan gambaran yang sama. Sesuatu yang aneh sekaligus indah. Asing

yang juga indah. Mahal itu indah.

”Ini milik eyang kakung saya. Dia dulu adipati di wilayah Selatan.. Tadinya, katanya,

wayang ini sudah dikirim ke Belanda, dipersembahkan kepada gusti ratu.. tapi ini, katanya,

lho…, wayang ini kembali ke rumah Eyang,” ujar Den Bagus sambil memandangi penuh

kekaguman pada wayang kulitnya.

”Kembali … terbang sendiri?” Sukat menyela.

”Ya… ndak tahu, Kat. Yang jelas, wayang ini tidak pernah sampai ke Belanda.

Sampai-sampai, konon, eyang kakung dituduh pemerintah bahwa dia telah membuat kecewa

sri ratu, dan karenanya harus dihukum.”

”Lo, kok, gitu?”

”Ya.. embuh, Kat…,” jawab si empunya wayang sambil tertawa kecil.

”Wah, Sukat, kalau tanya kok mendetail…, kayak pulisi saja, hehehe…,” sela yang lain

sambil tertawa geli.

Namun, Sukat tidak menanggapi semuanya. Dia masih saja merasakan bahwa yang

diucapkan Den Bagus Darsono memang benar-benar terjadi. Sukat benar-benar kagum.

Kekaguman Sukat bukan pada nilai rupiah wayang tersebut, melainkan pada ketelitian dan

kesungguhan si pembuatnya. Wayang kulit tersebut dipandanginya seakan matanya tengah

merekam segala keindahan yang entah harus dari mana menilainya itu.

Berhari-hari setelah malam yang memesonakan itu berlalu, Sukat masih

membayangkan betapa indahnya wayang kulit yang dilihatnya di rumah besar milik Bagus

Darsono. Sri Kresna, yang telah menjadi raja, masih menampilkan sedikit karakter pesolek

Raden Narayana—nama Kresna ketika belum menjadi raja. Ada kesan senyum cerdik—sedikit

mengejek lawan, namun guratan wajahnya menunjukkan kecendekiaan yang tak tertandingi.

Dibalut pakaian kebesarannya yang tampak megah oleh intan berlian yang gemerlapan, Sukat

membayangkan Sri Kresna adalah raja yang menjadi junjungannya.

Berhari-hari Sukat memikirkan dan tampaknya keinginannya untuk sekadar memegang

dan memainkannya—walau sebentar saja, kian menjadi-jadi. Maka, pada suatu malam, Sukat

memberanikan diri ke rumah Den Darsono, untuk meminta izin memainkan wayang tersebut.

”Untuk apa?” tanya si empunya wayang dengan sedikit bangga.

”Ya, hanya kepingin memainkannya sebentar. Boleh, to, Den?

”Syaratnya.. kamu harus bersih. Tidak sedang hadas.”

”Saya sudah mandi,” bisik Sukat agak malu.

Page 56: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

56

Den Bagus memandang Sukat dengan senyum tertahan. Sekali lagi ditanyainya, sukat

seakan meyakinkan bahwa barang yang akan disentuh Sukat adalah benda keramat.

”Godaannya banyak, lho, Kat. Tidak mudah berdekatan dengan wayangku ini. Karenanya,

Eyang hanya memberikannya pada ayahku, di antara ketujuh anaknya. Lalu Ayah, ya, hanya

memberikannya padaku, bukan pada kakak atau adik-adikku yang lain. Artinya, wayang ini

’memilih’ bukan dimiliki sekehendak hati,” sekali lagi Den Bagus menjelaskan betapa

wingitnya wayang tersebut.

”Ah, panjenengan itu.. kalau tidak boleh, ya, sudah…,” canda Sukat.

Dengan sedikit keraguan yang tampak pada sudut matanya, Den Bagus kemudian

mengajak Sukat masuk ke ruang penyimpanan wayang.

”Jika kamu sawanen, saya tidak tanggung jawab, lo, Kat.”

Jantung Sukat berdebar-debar. Ada rasa gembira, ada sedikit takut, ada keraguan, tetapi

juga kebahagiaan. Matanya mengikuti setiap gerakan tangan Den Bagus, mulai dari membuka

lemari khusus, kemudian selubung mori putih dan terakhir kotak kaca penutup wayang

tersebut. Mata Sukat bagai tersedot kekuatan gaib. Gemerlap wayang tersebut menyilaukannya.

Cahayanya memantulkan daya yang tak mampu dikuasainya.

Tangannya gemetar menjulur perlahan. Telapak tangannya berkeringat ketika

menyentuh pegangan wayang yang terbuat dari tulang kerbau itu.

Tiba-tiba, wayang itu seolah-olah melompat ke dalam genggaman Sukat, dan bagai

terkena sihir, tangan Sukat yang satunya meraih garan wayang dan menggerakkan tangan Sri

Kresna. Mulutnya kemudian menyuarakan sesuatu yang dia sendiri tak begitu paham

maksudnya.

”Apapun penghalangnya, wahai para makhluk bernafas, yang satu ini akan terjadi…

akan terjadi tanpa persetujuan kalian, karena siapakah diri kalian sehingga layak memberikan

persetujuan... kepala kalian yang terlalu kecil dalam memikirkan semesta ini tak akan pernah

mampu memahami bahkan bayang-bayang kalian sendiri...” Sukat terus meracau, tubuhnya

limbung dan kedua tangannya seakan terikat pada wayang tersebut. Sukat seolah sebuah

wayang yang tengah dimainkan sang dalang.

Den Bagus ketakutan. Dia memanggil semua orang untuk menahan Sukat. Orang

berdatangan dan berusaha meringkus Sukat yang masih meracau dan gerakannya kian tak

menentu. Kekuatan Sukat berlipat-lipat. Tak seorang pun mampu mencegat.

Sukat terseret kekuatan aneh. Tubuhnya terbetot ke jalananan. Orang Karang Ombo

ketakutan. Sukat menghancurkan apa saja yang menghalanginya. Orang hanya mampu

Page 57: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

57

menyaksikan seolah wayang itulah yang mengamuk dan Sukat hanyalah kelebat bayangan

yang hanya mampu mengikuti ke mana si tubuh bergerak.

***

Sudah lebih dari setahun peristiwa itu berlalu, tak ada berita tentang Sukat dan wayang

berlian itu. Den Bagus kelihatan kurus. Polisi tak mampu mengendus di mana Sukat dan

barang curiannya berada. Tak ada yang sanggup, mungkin juga tak peduli lagi pada Sukat

karena semua perhatian tertuju pada banyaknya peristiwa yang lebih aneh lagi. Orang Karang

Ombo hanya bisa berdoa. Setiap hari selalu saja ada berita aneh dan mengerikan yang sulit

dicerna akal manusia.

Di suatu tempat, seorang anak kecil yang tengah menggembalakan kambing,

menemukan sebuah wayang kulit berukuran besar. Wayang itu kusam karena terlantar.

Pegangan tubuh dan pegangan tangan wayang sudah copot entah ke mana.

Anak kecil itu hanya tertarik karena, baginya, wayang itu adalah sebuah mainan baru.

Diamatinya wayang kulit itu, ada yang aneh. Sepasang mata kecil bening itu seolah

membandingkan antara wayang kardus yang dibelikan maknya di pasar dan wayang kulit

temuannya itu. Ada yang aneh, terutama di bagian wajah. Namun, anak kecil itu tak tahu apa

yang tengah diamatinya itu.

PINANG 982

DI TAMAN KOTA SINGAPURA (gambar 9)

Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2

keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian. Agak tergesa aku berjalan di stasiun MRT

Tanjong Pagar. Milly, art director-ku pesan minta dibelikan buku dan katanya ada di Page One

Marina Square.

Masih dalam rasa penat karena nyaris semalam suntuk aku ada di studio untuk editing,

aku berjalan dengan hampir beberapa kali menabrak orang. Bahkan ketika aku mencolokkan

tiket ke pintu sensor, tiketku "ditolak". Dua tiga kali kualami hal itu, sampai akhirnya kusadari

bahwa aku salah memasukkan. Beberapa orang melihatku dengan pandangan macam-macam.

Ada yang sinis, ada yang geli, ada yang dingin, dan mungkin berpikir aku orang yang sangat

kampungan. Di negeri singa ini tak mungkin orang "tersesat" apalagi salah memasukkan tiket,

Page 58: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

58

wong semua tanda sudah jelas sekali terpampang. Di negeri ini semua sudah demikian

"bersistem" sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan, sangat kecil.

Aku hanya tersenyum malu dalam hati. Sempat kudengar celetuk kecil yang

"mengutuki" kebodohanku. Dan, aku segera mengenalinya karena diucapkan oleh mereka yang

berasal dari Jakarta. Kucari wajah itu, tapi tak kutemukan. Biarlah.

Sambil menunggu kereta yang membawaku ke City Hall, aku sempat melihat seorang

kakek Cina, umurnya mungkin 60 tahun. Dia menatap lurus pada poster besar iklan bank yang

terpampang di stasiun. Tampak bibirnya sedikit bergetar-getar, mungkin nggerundel, mungkin

juga karena sakit atau…, entahlah. Kalaupun aku bisa mendengar suaranya, mustahil aku

memahami bahasanya.

Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada

yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup.

Kereta menderu. Aku mengantuk.

Aku terjaga tiba-tiba karena kurasakan seseorang menggoyang-goyang lenganku.

Kulihat, si kakek itu ada di sampingku.

Dia berkata,” ABCD EFGHIJ.”

”What? Mmm…, sorry?”

Dia, rasa-rasanya, mengulangi lagi ucapannya yang tentunya menggunakan bahasa

Mandarin. Sekali lagi aku hanya senyum-senyum bego karena sama sekali tak paham.

Akan tetapi, agaknya si engkong ini berusaha sekali agar aku memahami apa yang dia

ucapkan. Tangannya mulai melayang-layang, membentuk garis-garis yang dibiarkan

membekas di udara, agar aku bisa menafsirkannya. Ada lingkaran, mungkin. Ada garis meliuk-

liuk, ada gerakan sentrifugal yang diakhiri dengan titik tengah. Lalu jemarinya bergesekan satu

sama lain: uang! Itu saja yang kupahami, masalah uang! Edan! Mengapa uang adalah bahasa

dunia?

"You want money?" ucapku dengan bahasa Inggris sekenanya, seraya merogoh uang

kecil di saku. Dia segera menolak. Menolak?

Berarti dia tidak butuh uang, tetapi jelas dia bicara soal uang.

"Percakapan" singkat itu berakhir karena aku harus turun di stasiun City Hall. Aku

bergegas menyelinap di antara mereka yang juga tergesa-gesa. Di stasiun transit ini, banyak

sekali manusia. Aku mencari pintu yang mengarah ke Marina Square.

Muncul ke "permukaan tanah", kutemukan cahaya matahari siang yang berusaha keras

menembus mendung Desember. Bangunan-bangunan menjulang menyapaku dingin. Taksi

Page 59: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

59

berseliweran di antara kendaraan pribadi dan bus kota. Aspal yang steril, hitam, dan berkilat.

Antara stasiun dan Marina Square terdapat sebuah taman berumput hijau. Ada tugu memorial

yang "tumbuh" di antara kehijauan rumput dan pepohonan paru-paru kota.

Aku melintasi memorial park dengan langkah tergesa. Kurasakan aku mengalir saja

bagai angin, tak memedulikan seliweran kendaraan, manusia lalu-lalang, dan semua kejadian

yang terjadi saat itu. Pikiranku masih saja tertuju pada si engkong yang sama sekali tak

kupahami kata-katanya, tetapi menyisipkan pengertian tertentu pada diriku.

Kepalanya yang nyaris botak, berkilat-kilat di sela ubannya yang jarang. Wajahnya

yang keriput, terlalu banyak untuk usianya–barangkali, serta postur bungkuknya yang kurus

kering itu, begitu melekat. Aneh. Karena sosok yang demikian itu bisa kujumpai di mana pun

di Jakarta. Sosok yang tidak asing lagi, yang tak perlu dipikirkan. Dulu di Surabaya aku juga

punya tetangga yang kurang lebih sama sosoknya dengan si engkong ini. Malah, dia yang

rumahnya persis di belakang rumah kami, selalu sarapan di rumah kami–karena dia sudah tak

punya siapa-siapa lagi. Bahkan, seingatku, ketika dia meninggal, romo yang mengurusi

semuanya, termasuk urusan pemakamannya. Dan seingatku, romo juga pernah bercerita bahwa

di jaman perang kemerdekaan dulu, dia juga ikut angkat senjata bersama pemuda-pemuda

lainnya (dan karenanya dia "dikucilkan" oleh familinya sehingga akhirnya memutuskan diri

tinggal di kampung Manyar). Artinya, tetanggaku itu jauh lebih mendarah-daging

hubungannya denganku ketimbang si engkong yang baru kutemui di MRT ini. Tetapi mengapa

dia begitu membekas?

Kakiku berada di memorial park. Agak nyaman juga berada di keteduhan yang tak

seberapa ini. Burung-burung–yang kuduga burung gagak, atau sejenisnya, aku tak pasti–

beterbangan di sana. Hinggap di dahan-dahan, ber-ceret ramai di antara kicau burung yang

lainnya, mengisi siang di taman itu. Bersih. Sedap di mata. Hijau. Segar. Itulah yang

kurasakan. Sebenarnya, Taman Monas bisa saja seperti ini, bahkan sebenarnya Monas lebih

hijau dan rimbun. Akan teapi, aku tak pernah tersentuh perasaan seperti ini, di sana.

Karenanya, betapa terkejutnya aku ketika mataku tertumbuk pada sosok yang tengah

jongkok di salah satu sudut taman, di bawah salah satu pohon rimbun. Itu si engkong!

Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia ada di belakangku? Atau malah dia ikut kereta

bawah tanah itu, entah ke stasiun mana? Mengapa dia tiba-tiba ada di tengah taman? Secara

logika, kalaupun dia searah denganku, pasti dia masih di tangga menuju ”permukaan tanah” di

stasiun itu, wong jalannya sudah terseok-seok. Dia tiba-tiba sudah ada di taman ini, yang

artinya beberapa kali lebih cepat dari langkah kakiku. Bagaimana mungkin? Masak dia

terbang?

Page 60: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

60

Aku penasaran dan kudekati dia, sekadar memastikan apakah dia itu si ”Dia” atau orang

lain yang mungkin saja mirip.

"Gile lu!!!" dia teriak senang. Dia segera bangkit menyambutku dengan muncratan

kata-katanya yang tak kupahami benar. Dia rupa-rupanya bercerita tentang seekor burung yang

tergeletak di depannya itu.

Aku tahu bahwa dia bercerita tentang burung yang masih tergeletak itu dari caranya

menunjuk-nunjuk dan garis-garis tangannya yang kurus itu di udara. Dari ekspresinya aku jadi

mengerti bahwa dia sedang duduk di taman itu, taman yang dia sukai, tiba-tiba ada burung

terbang oleng, menabrak pohon, dan jatuh tepat di hadapannya. Menurutnya juga, burung itu

terbang dari tempat yang sangat jauh, kelelahan, dan terluka di bagian dadanya. Katanya kena

tembak, tapi tak kulihat luka menganga. Lantas si engkong mengumpulkan daun-daun yang

ada di sekitar tempat itu. Dia mengobati burung itu dengan kunyahan daun lalu cairan

kunyahannya dia masukkan ke dalam mulut si burung. Ajaib! Burung yang sudah sekarat itu

mulai bergerak-gerak dan keinginannya untuk hidup menyala kembali.

Si Engkong senang, karena di usianya yang sudah lanjut itu dia masih bisa memberi

"kehidupan" bagi makhluk lain. Itulah yang bisa kutangkap dari semua bunyi dan gerakan

tangan serta ekspresinya. Aku tertegun dan itu membuatku bisu beberapa saat.

Mataku terpaku pada burung yang mulai berjalan dan masih terjengkang-jengkang,

tetapi makin lama makin kuat itu. Mataku masih terpaku padanya sampai bisa kusaksikan

sendiri dia terbang ke salah satu dahan di balik rimbunnya dedaunan.

Desahan napasku terhembus keluar. Lega sekali.

Si Engkong terkekeh.

Aku mulai senang dengan si gaek ini.

"Name...name.. Lanang," kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku sendiri. Dia

mengangguk-angguk lagi, tanda paham.

"You? Your name?" tanyaku sambil menunjuk-nunjuk dirinya.

Dia memandang sesaat dengan mata rabunnya. Lalu, seraya mengibas-ngibaskan

lengannya, dia terkekeh-kekeh geli. Kuulangi lagi pertanyaanku dan sekali lagi dia mengulangi

gerakan dan kekeh tawanya.

Mungkin dia tak mau menyebutkan namanya. Untuk apa, mungkin.

Aku menjawab reaksinya, juga dengan tawa lebar. Kami jadi terkakak-kekeh di siang

bolong. Sempat kusaksikan orang-orang memandang ke arahku dengan pandangan curiga.

"Aku arep tuku buku dhisik, yo, Mbah…," candaku pamitan sambil tertawa dan

menunjuk ke Marina Square. Dia terkekeh makin geli dan membuatku semakin geli lantaran

Page 61: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

61

melihat mulutnya yang ompong itu. Entah dia mengerti atau tidak, yang penting aku berkata

sebenarnya kepadanya.

"Bye! Kapan-kapan ketemu maneh…," kataku sambil melambaikan tangan. Dia juga

melambaikan tangan, yang lalu diusap-usapkannya ke gundul kepalanya. Aku sendiri merasa

geli dengan adegan ini. Bagaimana mungkin dua orang yang saling tak memahami bahasa

masing-masing bisa berkomunikasi seperti ini? Gila!

*****

Di Page-One, sebuah toko buku khusus untuk art, aku mulai mencari-cari judul yang

dipesan Milly. Toko yang berada di sebuah "kota dunia" dengan desain rak buku miring-miring

dan menimbulkan kesan bahwa ruang itu jadi tidak "rata", membuatku betah membaca-baca

atau sekadar melihat-lihat. Sementara bau dupa cukup menyengat hidung, bersumber dari salah

satu sudut toko. Aneh memang.

Beberapa pemuda, yang kuduga mahasiswa, jongkok mengerumuni sebuah buku

desain. Beberapa orang lagi mondar-mandir mengamati buku. Ada juga yang sibuk memilih-

milih kartu pos yang memang mengagumkan. Sementara, bau dupa membuatku sedikit pusing.

Aku mencoba bertahan karena buku yang kucari belum kutemukan.

Ketika otakku terisi penuh oleh kekaguman akan keserba-adaan toko ini, mataku

tertumbuk pada salah satu celah di antara dua rak buku. Si Engkong itu kulihat sedang

terbenam di sebuah halaman buku! Aku tak percaya. Ini manusia aneh. Barangkali malaikat.

Entahlah.

Kudekati dia. Bersamaan dengan itu seseorang membawa setumpuk buku berjalan ke

arahku dan karena terkejut, aku tanpa sengaja menabraknya. Sambil minta maaf berkali-kali,

aku membantu dia menyusun buku-bukunya. Lalu segera kucari si Engkong dan dia sudah tak

ada di tempatnya semula. Raib entah ke mana.

Clingak-clinguk aku mencari kakek yang sakti itu, tapi tetap saja tak kutemukan. Aku

segera ke pintu, keluar dan mencoba mencari seorang kakek bongkok di antara puluhan,

mungkin ratusan, orang yang ada di Marina Square. Jelas sia-sia.

Karena penasaran, aku mencoba mencari dia. Setengah berlari aku menerobos orang-

orang. Ke lantai atas lagi, melihat ke bawah kalau-kalau dia ada di antara mereka. Tak ada.

Sekilas mataku melihat dia masuk ke "Habitat", kukejar dia ke sana. Yang kujumpai hanyalah

kelengangan. Dan karena malu pada penjaga tokonya, aku pura-pura melihat-lihat aneka

benda-benda artistik yang memang cantik-cantik itu. Sengaja aku menuju arah keramik,

dengan ratusan desain pecah-belahnya yang apik-apik itu. Tak ada. Kembali ke depan ke lokasi

Page 62: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

62

frame dan cermin. Kupandangi desain-desainnya satu demi satu, sebenarnya hanya pura-pura,

tapi tetap saja tak kujumpai.

Pencarian yang sia-sia sebenarnya. Namun, bagaimana mungkin aku hanya berhenti

sampai di sini? Apakah aku harus menyerah, sebagaimana yang selama ini kulakukan?

Pekerjaan yang kulakukan, kurasakan tak pernah selesai, selalu terbengkalai, mandheg di

tengah, kacel; mentah tidak, matang pun belum. Ini sebenarnya yang lebih memberiku

dorongan untuk mencari si engkong yang bikin penasaran itu. Lain tidak.

Aku harus membunuh kebiasaan lamaku, menyerah sebelum dapat kuselesaikan satu

masalah hingga tuntas. Sudah lama aku menyadari kelemahanku itu tapi entah mengapa aku

masih saja dililit keengganan untuk mengubahnya. Siang, matahari akan menyelesaikan

tugasnya hingga menenggelamkan diri di kaki langit barat. Bulan akan bersinar dan

menuntaskan tugasnya sampai pagi, untuk akhirnya pudar diterangi matahari. Lebah-lebah

terus bekerja mencari madu, semut akan terus membangun sarangnya, rayap akan terus

menggerogoti kayu, tapi aku? Apa yang sudah kulakukan, yang membuat orang lain mengakui

bahwa aku sudah menyelesaikan sebuah pekerjaan atau tugas yang pantas? Rasanya, seumur

hidupku aku belum pernah merasakan benar-benar menyelesaikan sebuah pekerjaan!

Rasanya yang selama ini kulakukan hanyalah "membuka" jalan dan menyerahkan

penyelesaiannya pada orang lain, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang sama sekali

berbeda dari yang kubayangkan pada awalnya. Apakah ini bisa dikatakan sebuah penyelesaian?

Anehnya, banyak orang menganggap aku adalah orang yang istimewa. Mungkin ini hanyalah

lamisan atau "pemerah bibir" saja, atau malah sebuah sinisme terselubung. Entahlah. Orang

istimewa macam apakah aku ini jika untuk sebuah pekerjaan sekecil ini saja aku tak sanggup

menyelesaikannya?

Di mana sih kamu, Mbah?

"Lagi apa ?" tiba-tiba nada suara yang khas itu berbisik di telingaku. Karena terkejut

aku segera menoleh ke arah suara itu, dan kudapatkan wajah berkeriput dengan mulut ompong,

mlengèh di hadapanku.

"Wah, si Mbah ki, tak golèki nganti munyer... Ke mana aja, sih?"

Dia makin terpingkal-pingkal. Dia tak bermaksud buruk, hanya sekadar bercanda. Itu

kupahami dari gerak tubuh dan ekspresinya yang tulus.

Kami kemudian turun dan menuju sebuah kedai kopi. Kami makan dan minum. Kami

hanya diam. Hanya sesekali saling pandang dan melempar senyum.

Tak ada sepatah pun kata terucap dari mulut kami, tapi aku merasakan kehangatan

mengalir di antara kami. Lelaki tua itu yang tak begitu kukenal seolah-olah adalah bagian dari

Page 63: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

63

hidupku yang hilang entah ke mana. Aku jadi bisa menemukan kembali apa yang selama ini

lenyap. Kehangatan dan duduk dalam kesunyian yang tak dibuat-buat, yang selama ini seakan-

akan "ditabukan" oleh orang sekelilingku.

Selama ini aku tak punya waktu untuk diam dan hanya duduk mengalirkan diriku

sendiri ke dalam alur pikiranku. Selama ini, setiap kali aku duduk bersama orang lain, aku

harus memberikan kata-kata, entah dusta, entah sebenarnya, yang jelas aku harus bicara dan

bicara.

Seolah "bicara" adalah kata kunci untuk segala-galanya. Seolah "bicara" adalah sebuah

nilai seseorang dalam hidupnya di dunia, dan "diam" adalah ketiadaan nilai tersebut. Ini

sungguh-sungguh menyesakkan napasku. Aku ingin sekali duduk berdua dan diam. Diam dan

hanya diam, membiarkan aliran pikiranku melonjak-lonjak, jejingkrakan liar, bebas, lepas..

meraup awan-awan tanpa beban, menyatu dengan udara tanpa batas ruang dan waktu.

Meluncur, menembusi berbagai relung kemungkinan, nakal, mungkin, tetapi murni bagai

kanak-kanak mengeksplorasi dunia yang serba baru baginya, tak kenal perhitungan "akal

sehat", tak acuh pada "untung-rugi", mengalir dan mengalir dari satu hal ke hal yang lain

dengan kekaguman yang murni, tulus, dan kegembiraan yang sungguh-sungguh.

Itu yang kurindukan dan kudapatkan dari si Engkong yang namanya dirahasiakannya

dariku ini.

***

Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2

keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian.

Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada

yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup.

Kereta menderu. Aku merasakan getaran yang sudah kukenali benar. Aku memasuki duniaku

kembali dan mempersiapkan segalanya seperti yang sudah-sudah dan selama ini kukerjakan.

Di kaca MRT membayang wajah si Engkong, mlengeh terkekeh.

Baru aku ingat, aku lupa pesanan Milly.

Bapindo Plaza, lt. 25.

Saya, Anjing… (gambar 10)

”Saya adalah seekor anjing,” katanya membuka pembicaraan kami. Aku hanya

tercekam. Diam dan ketakutan mendengar penuturannya yang spontan ini.

Page 64: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

64

Dia adalah laki-laki yang tinggal di ujung gang. Tak pernah ada yang mau bicara

kepadanya, sebelumnya. Kata tetangga sebelah, laki-laki itu agak gila semenjak istrinya

meninggal. Menurut orang-orang yang sudah tinggal jauh lebih lama daripada kami, lebih

seram lagi. Katanya, dia pernah makan orang. Benar-benar daging orang.

Ceritanya, dia dulu pernah belajar ”ilmu” kepada seorang ajengan di Banten. Entah

karena ”tidak kuat” atau bagaimana, otaknya agak ”keseleo”, jadilah dia orang yang gila itu.

Itu kata mereka yang tinggal lebih dulu daripada aku dan menjadi tetangganya cukup lama.

Memang, kalau dilihat dari rumahnya, kita akan segera menganggap bahwa rumah itu

tanpa penghuni. Halaman rumahnya yang kecil itu ditumbuhi alang-alang sepinggang. Tembok

dekat pintu depan retak, nyaris jebol. Pintunya sudah sangat reot, mungkin seekor tikus pun

sanggup merobohkannya. Warna kapur di temboknya sudah tak bisa dikenali lagi karena

kebanyakan ditumbuhi lumut. Belum lagi genting-genting yang sudah pada melorot tak

beraturan itu. Papan-papan bergelantungan, hitam dan sangat lapuk, menambah kesan bahwa

rumah itu memang tanpa penghuni. Para pencatat listrik dari PLN sudah lama tak muncul,

karena memang listrik di rumah itu sudah lama dicabut.

”Pada malam-malam tertentu, dia melolong kaya’ anjing, Pak” begitu kata Pak Muklis,

orang yang rumahnya kebetulan berdekatan dengan rumah ”hantu” itu.

”Ah, kali’ memang lagi ada anjing kawin...,” kataku dengan nada bercanda.

”Yaaah, Bapak kagak percaya. Biasanya, nih.. malem Kliwon.. dia melolong kaya’

anjing. Kuping saya, kan, belum budek, Pak.. Jelas banget... dari rumah dia...”

Aku diam saja mendengar komentar Pak Muklis, namun terus terang, aku sendiri masih

ragu.

***

Suatu kali sepulang kantor, aku mendapat serbuan laporan dari anak dan istri, serta

pembantuku. Mereka ribut, panik, dan ketakutan. Aku sendiri jadi tak tenang.

”Ada apa, sih?” tanyaku mencoba menenangkan situasi.

”Tadi ada orang gila, Pa..” kata si kecil, yang baru kelas tiga SD.

”Iya, Pa.. orangnya .. tua..” tambah kakaknya.

”Apa salahnya orang gila yang tua. Yang penting kalian diganggu, nggak?” tanyaku

sambil sok tak peduli, meskipun aku sudah langsung tahu bahwa yang mereka maksud adalah

orang gila di ujung gang itu.

”Nggak, sih... cuma, kan, takut aja, Mas...,” istriku yang menjawab.

”Gimana, ceritanya?” tanyaku sambil melepaskan sepatu.

Page 65: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

65

”Iya... tadi itu, waktu Adi bangun bobok, Adi lihat dia berdiri di tengah jalan situ...

matanya melototin rumah kita,” si kecil dengan pipinya yang tambun nyerocos seolah-olah dia

diserang macan. Aku menanggapinya sambil ngakak.

”Udah? Cuma melototin, kan? Nggak ngelempar apa-apa, kan?”

”Nggak, sih... cuma kan... nggak enak juga. Ngapain, coba, dia melototin rumah kita?”

sambung kakaknya. Ini si dara yang sudah SMP kelas dua, biasanya paling tak acuh pada

orang, kini tak mau kalah dari adiknya.

”Yaaa, barangkali dia kagum sama rumah kita... kok, bagus, ada bunga-bunganya... ada

sarang tawonnya... ada... anak kecil yang pipinya gemuk...,” candaku yang membuat si kecil

tertawa senang. ”Sudahlah. Nggak apa-apa, kok... kebetulan aja dia melototin rumah kita,

mungkin aja dia lagi mikir soal lain lagi.”

***

Malamnya, aku terbangun karena mendengar ada orang merintih-rintih. Kami,

maksudku, aku dan istriku, terbangun sekitar pukul 2 malam. Sengaja aku tidak

membangunkan anak-anak, kasihan kalau mereka harus diserang rasa takut lagi, besok adalah

hari sekolah.

Dengan mengendap-endap aku mencoba mencari tahu suara siapa yang

merintih-rintih begitu dekat itu. Ternyata, di dekat jendela samping, kulihat seorang laki-laki

menggeletak. Suasana memang remang-remang, karena si Nah agaknya lupa menyalakan

lampu samping. Segera kunyalakan dan kulihat seorang laki-laki yang sekilas terkejut, namun

kembali mengerang-ngerang. Kali ini malah minta ampun berkali-kali.

Karena gaduh, bukan hanya seisi rumah yang bangun, tapi tetangga dan Pak Hansip

pun masuk ke halaman rumah kami. Dia--laki-laki yang meraung-raung itu-- sebenarnya

bermaksud mencuri. Itu pengakuannya di pos hansip. Namun, katanya lagi, entah kenapa, tiba-

tiba dia diserang anjing kami. Dia merasa digigit sampai parah, namun kami yang melihat

sendiri kondisi tubuhnya, tak menyaksikan luka sekecil jarum pun di tubuhnya.

***

”Anjing?” tanya istriku, sama kagetnya dengan reaksiku di pos hansip.

”Iya.. masak dia bohong... itu kan spontan....”

”Tapi, kita kan tidak memelihara anjing....”

***

Beberapa hari kemudian, kebetulan aku cuti. Aku masih penasaran soal anjing yang

menyerang pencuri beberapa malam yang lalu itu. Dan, otakku langsung menghubungkannya

dengan laki-laki tua yang gila di ujung gang. Entah mengapa, aku merasa yakin sekali bahwa

Page 66: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

66

dialah yang menyelamatkan rumah kami dari pencuri itu, dan karenanya, kau merasa wajib

mengucapkan terima kasih kepadanya.

Tak sulit menemukan rumahnya. Agak tegang juga sewaktu kakiku melangkah

memasuki halaman berilalang itu.

”Ada apa, Pak?” suara tetangga yang setengah berbisik, curiga menyaksikan aku

memasuki rumah ”hantu” itu.

”Nggak... ada perlu sedikit sama yang punya rumah,” jawabku kalem.

Pintu yang kusangka akan roboh bila diseruduk tikus itu, ternyata jauh lebih kokoh

daripada dugaanku. Entah mengapa, ini melegakan perasaanku. Engsel pintu berkarat,

mengeluarkan teriakan menusuk kuping.

”Silakan masuk....,” sebuah suara parau dari dalam menyambutku penuh nada

keramahan. Ah.. dia seperti aku juga, artinya tak perlu ada yang ditakutkan.

”Maaf, saya kira tak ada orang...,” ucapku membuka pembicaraan.

Dia diam saja. Lantai rumahnya lembab, bahkan di sana-sini ada kubangan-kubangan

air bocoran dari atap, dibiarkan menggenang begitu saja.

Setelah melangkah memasuki rumah, barulah kutemui seorang laki-laki duduk di

sebuah kursi jebol sambil melipat kaki, mirip orang kedinginan.

”Maaf... Anda tak bisa duduk. Hanya ada satu kursi di rumah ini... dan... saya tak kuat

lama-lama berdiri...,” katanya mencoba ramah.

Aku hanya tersenyum.

”Saya kemari mau berterima kasih pada Bapak. Malam itu Bapak menggagalkan

pencurian di rumah saya.”

Dia terdiam sejenak, lalu tertawa tergelak-gelak. Begitu serunya dia tertawa, sampai-

sampai kerongkongannya kering dan dia terbatuk-batuk.

”Tak salah... tak salah dugaan saya... Bapak bisa langsung menebak siapa yang ada di

sana malam itu... hahaha....”

Aku masih tercengang dibekap kebingungan, ketika tiba-tiba dia mencengkeram kedua

lenganku. Kekuatannya sungguh luar biasa. Aku bahkan tak bisa menggerakkan ujung jariku.

Seluruh syarafku, rasanya terkena tenaga gaib sehingga tak mampu melakukan gerakan apa-

apa. Hanya jantungku yang kurasakan makin memberontak.

”Tolong aku... tolonglah aku...hanya kau yang bisa menolongku...,” ucapnya seraya

menangis.

”T... tt... tapi... le...lepaskan dulu....”

Page 67: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

67

Dia seperti tersadar dan segera meloloskanku dari cengkeramannya yang kuat. Lalu, dia

duduk di sudut rumah yang basah, menutupi kepalanya dan menangis tersedu-sedu. ”Saya,

adalah... anjing...,” ucapnya di sela-sela tangisnya.

Itulah awal pertemuanku dengan laki-laki itu.

***

Atas permintaannya pula aku tak bercerita kepada siapa-siapa. Namun, permintaannya

yang satu lagi membuatku ketakutan. Dia meminta pertolongan kepadaku agar aku mau

membunuhnya!

Bagaimana mungkin aku membunuh manusia? Ini permintaan gila, dan membuatku

gila. Dia menangis menceritakan bahwa hanya akulah yang bisa melakukan hal itu. Dia sudah

bosan hidup terkutuk menjadi seekor anjing.

”Kau tidak ’membunuh’... kau justru melepaskanku dari jeruji kutukan ini... Seratus

tahun, aku berkelana mencari orang yang bisa melakukannya.. tapi baru sekarang, baru kaulah

yang kutemukan...,” ujarnya pada beberapa malam kemudian, kepadaku. Dia menjadi begitu

bergairah, seolah memiliki semangat hidup yang menyala-nayala ketika menemuiku.

”Lakukanlah... lakukanlah demi rasa kemanusiaanmu... siapa yang mau menjadi seekor

anjing? Tidakkah kau merasa kasihan pada seseorang yang beratus tahun terjeruji di dalam

kutukan? Aku ingin menikmati kematianku sebagai manusia, bukan sebagai binatang... aku

ingin hidupku bersih dan tidak menjadi makhluk hina yang selalu harus patuh kepada ’tuannya’

ini. Makhluk yang harus bisa ’menjilat’... ’cari muka’. Oh... aku tak mau lagi hidup seperti

itu... dan harapanku... harapanku hanyalah kau. Hanya kau yang bisa melakukannya..” pintanya

dengan air mata berlinangan. Wajahnya mengingatkanku pada wajah kakek almarhum. Begitu

polos, bersih dan tulus.

Dengan masih menyimpan rasa takut, aku mencoba bertanya, mengapa dia begitu yakin

bahwa aku adalah orang yang ’tepat’. Dia menceritakan sebuah kisah panjang. Bahwa pada

suatu masa, di tanah Jawa, ada seorang bernama Lampit. Dia dikenal pendiam. Tak banyak

bicara dan sangat setia kepada majikannya. Dia bekerja pada seorang raja yang sangat

bijaksana.

Pada suatu hari, sang Raja mendapat serangan dari musuhnya, namun karena

kesaktiannya, musuh tak bisa mengalahkannya. Musuh mempunyai muslihat dengan

mempergunakan Lampit–yang tak begitu diperhatikan tuannya–untuk mencari rahasia

kelemahan lawannya.

Lampit tergiur oleh hadiah dan berkhianat. Raja itu terbunuh dan sebelum

mengembuskan nafasnya yang terakhir, dia mengutuk Lampit menjadi seekor anjing.

Page 68: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

68

”Lampit adalah nenek moyangku... dan kutukan itu baru berakhir setelah aku bisa

menjumpai seseorang yang sangat membenci penjilat... dan... beruntunglah aku

menemukanmu.”

Aku semakin tertegun mendengar penuturannya. Mulutku terkunci dan pikiranku

blingsatan kemana-mana.

”Jangan mengada-ada, Pak...,” kataku mencoba mengelak.

”Kalau memang aku mengada-ada, lalu mengapa kau langsung ke rumahku pagi hari

itu?” dia menikamku dengan pertanyaan yang tajam. Kembali aku terdiam.

”Aku tidak mengada-ada.. sulit dipercaya, memang, tapi aku tidak mengada-ada....”

”Tapi bagaimana saya bisa membunuh seseorang?” ulangku seperti bicara pada diri

sendiri.

”Ingat kau tidak membunuh ’manusia’... kau hanyalah melenyapkan sebagian dari sifat

buruk yang merupakan kutukan turun-temurun, dan hanyalah kebetulan bahwa sifat buruk itu

’berwujud’, bisa dilihat dan diraba.. hidup seperti halnya pohon, bunga, dan setiap makhluk

hidup di dunia ini.. Kau bisa melakukannya, kalau kau mau menolongku, cukup dengan sebilah

golok biasa... ini...,” katanya seraya melolos sebilah golok, yang entah sejak tadi

disembunyikan di mana.

Sebelum otakku mampu memerintahkan sesuatu, golok itu sudah beralih ke

genggamanku. Dan detik berikutnya...

***

Tetangga datang menghambur ke rumah itu. Katanya dia mendengar seseorang

berteriak kuat sekali dan kesakitan. Ada yang kebetulan menyaksikan kehadiranku, rupanya,

dan segera menyangka akulah yang mendapat celaka. Mereka bersyukur bahwa aku berhasil

membunuh orang gila itu.

”Bapak, sih... pakai berani-beranian dateng.... Kan, sudah saya bilangin kalau dia gila.

Untung Bapak bisa ngalahin dia, nah kalau kagak... pegimana?” ucap Pak Muklis sambil

memapahku keluar rumah.

***

Entah bagaimana orang-orang bersaksi kepada polisi, yang jelas polisi hanya

memastikan bahwa aku benar-benar selamat. Tak ada tuduhan pembunuhan atau sejenisnya.

Aku hanya diam.

Semakin hari, pikiranku semakin kalut memikirkan semua yang terjadi begitu dahsyat

itu. Istriku cemas, anak-anakku sedih, karena aku jatuh sakit.

Page 69: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

69

Aku masih ingat kalimat terakhirnya,” Sebenarnya, kau kupilih, selain karena kau

memang memiliki kekuatan ’bukan penjilat’... sebenarnya... di dalam tubuhmu ada arus yang

sama, yang ’mengalir’ turun temurun dan terhenti pada dirimu... kaulah orang ’terakhir’

itu....”

Aku meraung di bawah tekanan hawa panas dan sakit kepala yang berat ini.

Sayup-sayup kudengar istriku bicara pada pembantu agar mengusir anjing yang

melolong-lolong di depan pintu. Sayup-sayup juga kudengar si Nah menjawab, bahwa tak

seekor anjing pun dilihatnya di sana!

Kuda Kayu Bersayap

(gambar 11)

Komidi putar itu masih saja berputar. Kuda-kuda kayu yang naik turun dengan anak-

anak riang di punggungnya itu, sungguh-sungguh menciptakan warna-warni kegembiraan

kanak-kanak. Kusaksikan anakku berada di antara mereka dengan sebaris giginya yang putih

bersih, menebarkan kegembiraan hatinya. Seolah dia ingin membagi suka dan melupakan duka.

Mereka seakan berada di punggung kuda dongeng yang akan membawa mereka terbang ke

awan-awan kebebasan tanpa batas.

Lampunya yang gemerlapan, silih berganti menerangi wajahku. Merah, kuning, hijau,

biru, bergantian mengoleskan nuansanya ke wajahku. Sesekali aku membalas lambaian tangan

anakku, yang tak henti-hentinya tertawa riang. Gelak tawanya timbul tenggelam di antara

alunan musik yang mengiringi komidi putar itu. Sekali dia melintas, kemudian menjauh,

menghilang ke sisi sebelah sana, lalu muncul lagi, melintasiku, dan menghilang lagi. Begitu

berulang-ulang.

Kepalaku terasa pening. Sesekali kupijit keningku.

”Masih pusing, ya?” bisik Nina, istriku. Ada nada khawatir di suaranya.

”Sedikit,” jawabku singkat.

Nina diam, tapi aku tahu dia pasti merasakan sesuatu yang–entah mengapa–masih saja

muncul dalam pikiranku. Tangannya yang masih selembut dulu, tiba-tiba meremas jemari

Page 70: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

70

tanganku. ”Dingin sekali. Masuk angin, ya? Kenapa tadi pergi, kalau tahu badanmu nggak

enak?”

”Nggak apa-apa, kok….”

”Kalau tahu begini, kan , bisa aku yang ngajak Rani. Mas, kan , bisa istirahat di

rumah.”

”Sudahlah, nggak apa-apa, kok.”“

Nina cuma menghela napas. Kupandangi wajahnya. Dan, matanya yang bulat jernih itu

menatapku khawatir. Ingin aku menciumnya saat itu juga untuk menghapus kekhawatirannya.

Namun, kurasa sebuah ciuman tak akan menghapus rasa was-was yang telah menahun di

pelupuk matanya.

Sambil memandangi bidadariku yang timbul tenggelam di antara keriangannya di

punggung kuda kayu itu, kupeluk Nina. Kudekap erat dia. Entah mengapa, aku diserang rasa

khawatir yang aneh.

Kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan ketika malam itu kami harus menyisir

kawasan hutan di timur kota. Di sana yang kami temui hanyalah kegelapan penuh teka-teki.

Hitam menganga yang bisa menciptakan apa saja. Kepekatan yang bisa saja mengubah

kesunyian menjadi pesta ledakan mesiu. Di sini pula, dua hari yang lalu, Trisno tewas. Anak

Kediri itu, baru sebulan ditugaskan di sini dan harus ikut patroli rutin. Dia dihajar peluru tanpa

pernah sempat mengucapkan sepotong kata pun.

Meskipun dalam kondisi yang harus selalu siaga dan nyaris tak punya kesempatan

ngobrol, aku dan Trisno sempat akrab. Dia ternyata tak tahan melihat darah. Aku ngakak dan

mengatakan bahwa dia telah salah memilih karier sebagai tentara.

”Ya, mbuh, Mas.. saya tidak pernah bercita-cita, apalagi memilih karier di sini,” jawabnya

kalem, sekalem penampilannya.

Di kesempatan lain, ketika kami patroli, dia juga bercerita bahwa pacarnya sudah

dipinang dan bulan berikutnya, katanya, dia akan menikah. Tapi, karena mendadak ditugaskan,

semuanya batal. Tahun lalu, di baraknya, pada tengah malam buta dia dibangunkan dan

Page 71: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

71

berkemas dalam tempo lima menit, langsung duduk di truk yang telah siaga. Tanpa diberi tahu

harus ke mana, Trisno memanggul senjata dan ransel berisi perbekalan seadanya. Yang dia

rasakan, tiba-tiba dia dipindahkan ke sebuah pesawat yang segera terbang. Hanya kebisuan dan

tanda tanya besar yang mengiringi keberangkatan mereka—seperti yang biasa kualami juga.

Setelah pindah entah berapa kali kendaraan, tahu-tahu dia diturunkan di suatu tempat

yang asing baginya. Begitu fajar merekah, tuturnya, dia berada di kolong sebuah jembatan

besar dan megah. Baru belakangan dia tahu bahwa saat itu dia berada di kolong Semanggi-

Jakarta.

Jakarta, sebuah kota yang selama ini hanya ada di layar kaca televisi (jika dia sempat

menonton), saat itu tengah menelannya bulat-bulat. Karena kelelahan, dia tertidur di kolong

beralaskan koran dan tripleks seadanya. Dia terbangun karena komandan memberinya aba-aba.

Dengan ”nyawa” yang belum sepenuhnya berkumpul, Trisno sudah harus siaga menghadapi

lautan massa mahasiswa yang berteriak-teriak riuh. Sebuah batu yang menghantam wajahnya,

membuatnya ”sadar” apa yang tengah dihadapinya saat itu.

Cerita selanjutnya adalah cerita kami semua. Siapa yang tak mengerti kelanjutan cerita

itu. Saat itulah dia sempat menyaksikan seraut wajah yang dia ingat betul. Wajah seorang

kawan sebangku di SD dulu dan belum lama menghilang dari kotanya, kabarnya menjadi kuli

bangunan. Ada juga cerita si kawan menjadi sopir, entahlah, tapi yang jelas Trisno tahu persis

bahwa dia tak pernah menjadi mahasiswa. Akan tetapi, di sore itu, wajah itu berjaket biru dan

berteriak paling lantang di antara para mahasiswa, dan dengan kegagahannya segera

melemparkan bom molotov ke arah barisan Trisno.

Mata mereka sempat beradu pandang dan kedua-duanya tertegun untuk beberapa saat.

Lalu semuanya pecah, tumpah ruah, dan si kawan menghilang entah ke mana. Korban

berjatuhan dan Trisno hanya termangu menyaksikan apa yang baru saja terjadi begitu cepat di

depan matanya. Ketika malam tiba, barulah dia merasakan perutnya melilit kosong karena 24

jam belum terisi apa-apa.

Begitulah kisah Trisno yang malang itu. Malam nahas yang merenggut nyawanya itu,

sebetulnya sudah kami duga. Kami sudah mencium di beberapa titik tertentu di batas desa ini,

Page 72: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

72

bisa muncul serangan mendadak. Namun, sekali lagi, itu adalah malam nahas dan Trisno

tewas, bahkan sebelum sempat mengenyam madu pernikahannya.

Pada hari berikutnya, aku dalam rombongan penyisiran. Kami sempat bentrok dan

nyaris terbantai karena posisi kami terjepit. Rombongan orang bersenjata itu segera

memberondong rekan-rekanku, sambil berteriak histeris. Salah seorang yang meringkusku

sempat melukaiku dengan senjata tajam dan mengejek bahwa mereka tak akan terkalahkan

hanya oleh serdadu semacam aku. Namun, sebelum semuanya terjadi, pasukan bantuan datang

dan membuat mereka kalang kabut.

Kepada komandan di markas kulaporkan bahwa aku sempat mengenali wajah-wajah

orang-orang itu dan kami putuskan untuk mengadakan serangan mendadak siang itu juga.

Sangat mudah menemukan di mana mereka tinggal, dan aku menjumpai seraut wajah yang

menorehkan ujung senjatanya ke wajahku. Namun, tak satu pun senjata kami temukan di

rumah mereka. Dengan keluguan dan ketakutan mereka, mereka menyebut diri mereka petani

yang tak tahu apa-apa.

Kepalaku mendadak pening dipenuhi oleh rasa marah dan frustrasi. Kucengkeram dia

dan kuhempaskan di tanah. Kutunjukkan luka wajahku yang belum lagi kering oleh ujung

senjatanya. Dia terkesiap sesaat namun dengan segera mengubah wajahnya menjadi petani lugu

yang pasrah pada nasib.

Entah renteten peristiwa apa lagi yang kulalui bersama kawan-kawan, aku tak tahu.

Bagiku sudah tak ada lagi bedanya mana petani mana pemberontak. Sama saja. Mereka akan

membantai manakala kita tak membantainya. Membunuh dan dibunuh hanyalah sebuah kartu

remi yang bisa kita mainkan setiap malam. Aku sudah tak begitu percaya lagi pada apa yang

disebut kebenaran, karena dalam setiap hirupan napasku yang ada hanyalah kebohongan demi

kebohongan. Entah pada malam yang keberapa aku sudah tak tahu lagi, kumuntahkan timah-

timah panas pada gerombolan manusia itu secara membabi buta. Pertempuran itu merupakan

insiden yang tak terelakkan, setelah markas polisi di kecamatan digranat dan beberapa orang

yang berjaga tercacah sia-sia.

Aku juga akhirnya menerima nasib bahwa semua pengabdianku adalah sebuah kesia-

siaan ketika dipecat tanpa rasa hormat. Kujalani hidupku sebagaimana orang yang pernah

Page 73: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

73

menjalani rawat inap cukup lama di sebuah rumah sakit aneh. Kujalani semuanya dengan

perasaan kosong dan nyaris tanpa gairah hidup, sampai beberapa hari yang lalu aku

menyaksikan berita televisi.

Berita itu menyoroti kebrutalan peristiwa ketika aku terlibat di dalamnya dan yang

menjadi korban adalah rakyat kecil. Salah satu saksi mata yang dengan berhujan tangis berkata

di layar adalah orang yang kuhempaskan ke tanah; orang yang menyerangku dengan

senjatanya. Rupanya dia sudah menjadi aktor sinetron yang layak mendapat Oscar!

Sejak itu, aku diserang demam dan mual-mual. Nina sempat membawaku ke dokter,

tetapi dokter hanya menyarankan agar aku banyak-banyak istirahat. Dalam hati aku katakan

kepada dokter itu bahwa penyakit yang kuderita ini bukanlah bidangnya. Dia terlalu bodoh

untuk bisa mengetahui gejala penyakitku. Aku masih bersyukur bahwa aku memiliki Nina dan

malaikat kecilku yang saat ini masih asyik tertawa riang di punggung kuda komidi putar itu.

Dalam perjalanan pulang, Rani, malaikat kecilku itu tertidur. Dalam pelukanku dia

nyaman, entah bermimpi apa dia kali ini. Nina dengan kekhawatirannya yang belum reda,

memeluk pinggangku. Kami berjalan perlahan menuju jalan besar dan mencari kendaraan

pulang. Orang masih lalu-lalang dan keramaian masih akan terus berlangsung sampai dua atau

tiga jam lagi. Di keriuhan itu, kami berjalan membisu. Aku enggan berbicara dan rupanya Nina

tahu dan takut mengajakku bicara.

Aku tengah mempersiapkan sebuah jawaban, bila nanti aku mendapat pertanyaan dari

malaikat kecilku yang saat ini belum sekolah ini. Jawaban apa yang harus kusiapkan, apabila

dia suatu kali nanti bertanya tentang ”kebenaran” peristiwa yang membawaku ke jalan ini? Dia

yang sudah mulai ceriwis bertanya tentang mengapa kumbang hinggap di kembang, mengapa

bintang berkelap-kelip, mengapa Ayah berkumis, mengapa ada orang mati, mengapa ini dan

mengapa-mengapa yang lainnya, pasti akan bertanya mengapa Ayah membunuh orang. Aku

tak tahu pasti jawaban apa yang harus kuberikan. Aku juga tak tahu apakah dia memiliki

bayangan tentang apa itu pahlawan dan apa itu pengkhianat.

Pentingkah bagi dia, itu semua?

Kami berjalan dan berjalan sampai menemukan bajaj yang akan membawa kami

pulang. Ketika istriku masuk dan siap menerima si kecil dari tanganku, tiba-tiba sesuatu terjadi.

Page 74: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

74

Entah dari mana, empat lelaki bertubuh tegap langsung menyeretku, setelah sesaat sebelumnya

menanyai namaku.

Ketika kujawab memang akulah orang yang ditanyakan itu, sebuah pukulan menekuk

tubuhku. Lalu tendangan dan entah apalagi menghajarku sampai aku tak bisa merasakan apa-

apa lagi, selain suasana tenang menghanyutkan.

Kurasakan diriku mengambang di udara dingin malam itu. Kusaksikan kuda-kuda kayu

putih yang berada di komidi putar itu kini bergerak hidup, bahkan bersayap seperti Pegasus.

Anak dan istriku duduk riang di punggungnya dan kuda itu melayang dengan kepakan

sayapnya yang anggun, menembus mega-mega. Mereka tertawa, tetapi telingaku lamat-lamat

menangkap isak tangis Nina dan entah suara apalagi.

Tiba-tiba aku menyadari diriku juga sedang berada di punggung kuda kayu yang lain,

yang juga tengah membentangkan sayapnya menuju awan kebebasan, entah di mana

tempatnya.

Bukit Nusa Indah, 2000

Si Rambut Panjang Itu (gambar 12)

Kafe masih agak sunyi. Memang masih jam delapan pagi. Kupesan croissant dan

secangkir kopi. Dolar masih 15 ribu, mau apa lagi? Beberapa orang datang dan beberapa lagi

pergi. Ada yang menjinjing tas, ada yang melenggang dengan segulung koran pagi. Jakarta

masih seperti beberapa bulan yang lalu. CNN masih saja membahas krisis yang tak habis-

habisnya melabrak ASIA. Jepang tegang, suhu mereka menghangat. Kemarin kusaksikan

UMNO pun mulai mencoba merentangkan tangan, seakan merasakan pegal-pegal di

persendiannya. Kembali ke koran pagi, masih saja banyak mulut berkomentar tentang ini dan

itu, seakan adu gelembung busa yang tak habis-habisnya. Luar biasa memang, di mana-mana

orang demam bicara. Semua menjadi mahasiswa ilmu ekonomi, sosial dan politik. Setiap sudut

Jakarta, rasanya berubah menjadi ruang-ruang kuliah dan perdebatan sengit. Namun anehnya,

aku merasa sunyi sendiri. Entah mengapa aku tak pernah tertarik untuk yang satu ini.

Page 75: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

75

Sambil memandangi novel Romo Mangun, yang kebetulan beberapa minggu lalu

dipinjam seorang kawan, aku merasakan kesunyian yang menyakitkan. Dan, terus terang, aku

pun tak bisa berbuat apa-apa. Berpikir pun rasanya aku sudah tak mampu lagi. Keadaan adalah

ciptaan semua orang, semua menyalahkan keadaan, dan semua orang tak mau dipersalahkan.

Aku yakin, banyak sekali kambing hitam yang akan dijadikan korban. Akan banyak lagi dan

dengan mudahnya menempelkan tuduhan. Kuhirup kopi hangatku dan mulai kupotong

croissant.

Kunyalakan rokok. Kubiarkan asapnya mengepul, melenggok lesu di pagi berkabut.

Kemarin hujan deras. Jalanan basah masih tersisa. Bahkan, di dedaunan, masih menempel sisa

hujan. Kucium kesegarannya dari balik jendela kaca.

Kafe ini sebenarnya cukup nyaman. Letaknya di sudut jalan yang tak terlalu ramai.

Seratus meter dari tempatku duduk ada lapangan dan pohon akasia dengan bunganya yang

kuning menabur apabila berbunga. Ada halte bis dan orang-orang yang menunggu bis datang,

di sana. Di sebelah kiri, ada lapangan parkir yang masih kosong saat ini. Aspal hitamnya

kelihatan bersih, dengan danau-danau kecil sisa hujan yang mengubang di sana-sini. Ada kursi

taman satu–dua, di bawah pohon.

Di dalam sini, suasananya cukup enak. Sebagian besar merupakan ruangan terbuka,

sehingga tak perlu pendingin udara.

Percakapan kecil terdengar di sana-sini, dengan pembicaraan hanya sekitar dua hal:

ekonomi dan piala dunia. Lelaki muda–seusiaku, kukira–dengan rambut pendeknya dengan

semangat seolah menjadi Davos Suker dari Tim Kroasia. Temannya yang agaknya pemuja

Brazil, tetap yakin bahwa Ronaldo dan kawan-kawannya akan menjadi juara. Nama-nama

bintang lapangan hijau itu meluncur bagai mitraliur pertempuran di Palestina, dari mulut

kelompok yang asyik di sudut kiri ruangan ini.

Kudengar mesin kasir berdenting dan suara gericik uang kembalian. Aku menoleh,

kulihat seorang wanita berumur tiga puluh tahun–kukira–cantik semampai, berbaju merah

redup, dengan rambut dikepang rapi dan dililitkan di kepalanya membentuk hiasan indah.

Kurasa itulah daya tariknya. Bukan cuma wajah dan tubuhnya yang menawan, tetapi rambut

yang diperlakukannya sedemikian rupa itu, yang membuatnya istimewa. Dan ternyata bukan

cuma aku yang tersedot daya magnet tata rambutnya, para pelayan kafe ini pun berbisik dan

berdecak kagum. Sempat kulihat seorang petugas cleaning service yang kebetulan

membersihkan kaca jendela, seakan terhipnotis; tangannya yang memegang lap basah,

berulang kali menggosok tembok.

Page 76: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

76

Kuperkirakan pastilah rambut itu mencapai lutut dan lebat, hitam, lurus bagai serat

sutra. Jika saja dia menjadi bintang iklan sampo, pastilah samponya laris manis tanjung

kimpul; dagangan habis duitnya kumpul. Akan tetapi, memang, perempuan yang satu ini

menyimpan kekuatan luar biasa. Ketika dia melangkah dari kasir, ada sebersit senyum dikulum

yang ditujukan pada semuanya. Semua bisa menikmati sekaligus tak akan pernah bisa

memiliki. Bahkan bangku-bangku kosong di sana-sini itu, aku yakin sekali, mereka bertaruh

siapa di antara mereka yang akan memangku si molek ini. Pasti ada salah satu di antara mereka

yang berbunga-bunga, tetapi yang jelas banyak yang kecewa. Beberapa lelaki berdasi yang tadi

asyik sendiri dengan handphone-nya, bereaksi tak kalah konyolnya dengan petugas cleaning

service itu.

Gerakan langkahnya anggun teratur. Lalu duduk di kursi tak jauh dariku. Dia tiba-tiba

menoleh ke arahku dan itu membuatku merasa konyol dan bodoh sekali. Aku tertangkap basah

tengah mengaguminya diam-diam. Dia tersenyum dan aku mengalihkan pandangan ke

penumpang di halte yang tengah berebutan bis datang.

”Pagi…,” sapanya dan itu segera memuntir leherku kembali memandangnya. Cangkir

kopiku tersenggol tangan goblok yang tiba-tiba lepas kontrol ini. Nyaris tumpah dan nyaris

membuatku basah kuyup oleh keringat dingin.

”P...p... pagi,” jawabku membeo.

Belum lagi aku sadar bahwa nyawaku masih melekat di badan, dia berdiri dan pindah

ke mejaku. Aku dengan ketololanku hanya diam.

”Nggak enak, duduk sendirian. Saya suka ngobrol, sih…. Eh, maaf, boleh, kan?”

ucapnya ramah semringah, ceria menyala-nyala mencairkan kebekuanku sejak tadi.

”Oh,he-em… mm… boleh… boleh, silakan...”

”Nah… begini, kan enak. Saya Luna, panggil saja, Lulu…,” katanya sambil

menjulurkan tangannya yang ramping indah bersih.

”Oh, mm... saya Roy, Roy Avisena.” Terasa konyol sekali ucapanku. Entahlah, aku

belum pernah mengutuki diri sendiri seperti ini.

”Wah, Mas Roy, Anda stockbroker? “

”Apa saya punya tampang begitu?”

”Lantas apa, dong?”

”Pengacara.”

”Pengacara? Cool.”

“Pengangguran banyak acara,” ucapku sambil meledakkan tawa. Dia diam sesaat lalu

berusaha mengimbangi tawaku dengan senyum yang penuh pemahaman. Aku terlambat

Page 77: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

77

menyadari bahwa aku tertawa terlalu keras dan over acting. Aku merasa diriku jadi anak SMA

lagi. Goblok, tolol, dan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa mengucapkan joke tolol

semacam itu? Aku langsung terdiam dan merasa malu. Tidak seharusnya aku memperolok

diriku seperti itu. Siapakah dia? Orang yang baru kukenal lima menit di sini, di sebuah kafe.

Pengangguran model apakah yang masih bisa minum-minum di kafe.

“Kenapa?” dia seakan membaca pikiranku. ”Saya juga, kok. Itu kalau Anda tadi jujur,

lho. Kecuali Anda hanya mencoba memecahkan kekakuan saja, lain soalnya. Sekarang siapa

sih yang tidak takut terancam?” katanya dengan sungguh-sungguh.

”Mbak Lulu kerja di salah satu kantor di gedung ini?”

”Maksud Mas Roy, pernah bekerja di salah satu kantor di gedung ini?” ia tersenyum

dan menatapku.

”Oh, maaf.” Terus terang aku bagai tersengat listrik.

”Ya.. tapi, kantor saya tutup. Habis, kami bergerak di bidang hardware, semuanya

impor. Tahu sendirilah cerita berikutnya. Pimpinan nggak mau ambil resiko, kami di-phk dan

kantor tutup. Selesai.”

”Tapi, kan banyak pesangon….”

”Untuk orang lama, ya. Untuk yang baru tiga bulan kerja?” handphone-nya berdenyit,

entah mengapa dia bergerak refleks, tanpa sengaja menyentuh koran yang–entah mengapa–

kugunakan menutupi beberapa novel yang baru dikembalikan seorang kawan.

”Burung-burung Manyar?!” tanpa kuduga dia seperti tak percaya bahwa aku membawa

novel itu. Sesaat dia lupa bahwa di seberang sana seseorang sedang menghubunginya melalui

pesawat mungil itu. Dia sadar dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi, dan karena si lawan

bicara agaknya tak mengerti soal novel tersebut (tentu saja!) Lulu hanya melakukan

pembicaraan singkat. Kebanyakan dia menjawab dengan ”Hmm…hmm...” dan ”All right”.

Pesawat mungilnya segera ditutup dan dia memandangku dengan pandangan tak percaya.

”Mas suka novel juga?”

”Terutama yang ini.” Jawabanku pun masih diliputi pertanyaan, bagaimana mungkin

dia bisa begitu terkagum-kagum dengan sebuah novel.

”Ah…, kadang aku ingin bisa menjadi Atik. Punya dua cinta dalam satu masa. Cinta

yang dibawa sejak masa kanak-kanak, dan cinta seorang suami yang sangat penuh

pengertian....,” dia seperti bicara pada buku hariannya.

”Saya suka karena... novel ini punya point of view paling berani soal Indonesia, jauh

sebelum orang berteriak tentang reformasi,” ucapku sok tahu politik.

Page 78: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

78

Kuperhatikan si Lulu terhanyut oleh khayalannya sendiri dan itu membuatnya semakin

ayu di mataku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kami lalu lama terdiam. Menghirup kopi masing-

masing, memakan sarapan kami masing-masing, dan larut dalam pikiran masing-masing. Dia

menerima handphone. Ngobrol sedikit dan kemudian permisi mau pergi. Aku berdiri dan

berjalan di sampingnya sampai ke pinggir jalan. Dia melambai, taksi menepi. Pintu ditutup, dia

pergi tanpa sempat mengucapkan kapan ketemu lagi.

***

Esoknya, aku sengaja duduk di kafe itu lagi. Dengan konyol aku berharap bisa ketemu

Lulu lagi. Kusaksikan masih saja kafe ini seperti kemarin dan mungkin berbulan-bulan yang

lalu. Kubaca koran pagi, masih saja berisi berita yang sama. Kerusuhan masih di mana-mana.

Urusan orang hilang, penggantian bupati, UMR, PHK, dan banyak lagi akronim yang dengan

cepatnya dihafal semua orang. Dalam kesendirianku, aku merasakan betapa pedihnya

kerinduan Saijah kepada Adinda, sehingga dia pun sanggup membayangkan seretan kain

panjang yang dikenakan kekasihnya. Ah, konyol, memang, tetapi itulah yang kumiliki saat itu.

Satu-satunya hal yang membangkitkan kembali perasaanku yang berbulan-bulan ini datar-datar

saja. Selama ini aku adalah Dany dalam novelnya Steinback; bangun siang dengan kepala berat

diganduli alkohol.

”Percaya, nggak, bahwa sekarang inilah pementasan teater absurdnya Ionesco,” tiba-

tiba suara yang kuharapkan itu muncul. Aku kaget bukan karena kehadirannya yang tiba-tiba

muncul dari harapan konyolku, tetapi lebih karena dia menyebut-nyebut teater absurd.

Rasanya, semasa kuliah pun aku jarang menemukan seorang cantik jelita yang bicara soal

teater absurd. Jangankan Ionesco, nama Suyatna Anirun pun tak banyak orang Jakarta yang

tahu, karena begitu sedikitnya orang yang ambil peduli dengan dunia teater, apalagi buku

kesusastraan. Akan tetapi ini, di sini, dan orang cantik ini yang ... entah siapa dia sebenarnya,

tiba-tiba mengucapkan Ionesco dengan sangat entengnya dan langsung menjadikan

kekosonganku sebagai pentas. Begitu saja dan begitu tiba-tiba. Dan tanpa kuminta pun dia

menguak pintu air pengalamannya. Kemudian mengalirlah berbagai cerita. Gemericik

keinginan-keinginannya yang bening hingga gemuruh jeram mimpinya yang menggebu. Dia

pernah kuliah bahasa, kemudian mengambil filsafat, lalu kawin, kemudian jadi ibu rumah

tangga, lantas merasakan pahitnya dimadu, terus cerai, cari kerja, di-PHK dan…

”Bagaimana bisa lari ke urusan alat-alat berat?” potongku.

”Siapa yang bisa meramal jalan hidup seseorang?” kilahnya dengan tangkas.

”Yah. Ngomong-ngomong.. sekarang kegiatannya apa?”

Page 79: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

79

Dia diam sesaat. Kuperhatikan seraut wajahnya yang cantik itu dalam-dalam.

Rambutnya yang tebal dililitkan menghias kepalanya, membiarkan leher jenjangnya telanjang,

halus, kuning dengan anak-anak rambut melingkar indah sedikit di batas rambut yang terjalin.

”Sedikit soal itu, kadang soal ini... begitulah. Kita sekarang bisa hidup dengan ini dan

itu” katanya mencoba menutupi sesuatu dengan senyumnya yang indah. Sebaris giginya yang

putih terawat itu menghentikan niatku untuk bertanya dengan pertanyaan yang mungkin kurang

enak buat dia. Handphone-nya bunyi lagi. Dia membukanya sambil menggumam, ”Beginilah

kalau kebanyakan pacar..., ya?” dan aku pun mengiringi candanya itu sambil tersenyum saja.

Dia bicara sebentar-sebentar. Aku mengagumi rambutnya. Kubayangkan jika rambut itu

diurai... oh, indah sekali. Mungkin dia adalah si prenjak Larasati. Kehadirannya pun sudah

mewartakan kebaikan. Sementara itu, siapakah aku ini? Suaminya ataukah Teto? Mungkin

bukan kedua-duanya.

”Berapa lama memanjangkan rambut?” tanyaku setelah dia selesai dengan handphone-

nya.

”Cukup lama, tapi... tidak terlalu lama...,” ucapnya renyah dan menyebarkan gelak ceria

ketawanya. Aku percaya, rambutnya memang subur sekali.

”Kamu suka?” tanyaku.

”Kamu?” baliknya tangkas.

Aku diam sesaat, kami berpandangan, ”Kagum.” kataku singkat.

Mesin kasir mengisi kekosongan yang mengambang tenang. Di TV ada berita tentang

unjuk rasa di Tangerang. Dia mirip Andy MacDowel, makin dipandang, makin cantik.

”Kalau tiba-tiba rambut ini kupotong, gimana?” entah mengapa dia berkata begitu.

”Kenapa?”

”Kenapa tidak?”

”Kenapa dipotong, kalau pilihannya cuma... ’kenapa tidak’?”

Dia tertawa lagi, lalu menghirup kopinya. Kemudian dia permisi menemui ”pacarnya”,

katanya, yang kuiringi dengan tertawa saja. Kami berjalan sama-sama lagi, melintasi taman

lagi dan sesampainya di tepi jalan, dia mencari taksi lagi. Kuantar dia, dan sebelum taksi itu

menderu pergi, kukatakan jangan memotong rambutnya. Dia tak berkata, hanya tersenyum.

Aku sendiri lagi, mengepit koran dan buku-buku.

***

Aku harus ketemu seseorang di Soekarno-Hatta. Dia akan ke Singapura dan karena

memang mendadak, terpaksa aku hanya bisa menemuinya sesaat di bandara. Aneh, zaman

kayak begini masih ada orang sesibuk dia, entah apa bisnisnya. Kutunggu dia. Karena memang

Page 80: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

80

aku terlalu awal datang, atau dia berangkat dengan pesawat berikutnya, aku tak tahu, aku jadi

harus membetahkan diri untuk menunggu. Koran masih saja di tanganku dengan setia, sambil

sesekali menyapu pandang.

Ketika mataku menyapu hall bandara yang berisi begitu banyak manusia, aku merasa

melihat Lulu di antara mereka. Tingginya, keanggunannya, ah, rupanya dia sudah

menguasaiku. Ini gila memang. Bagaimana mungkin hanya dalam dua kali pertemuan dia

sudah menaklukkan aku dengan gaya bicaranya yang ramah itu. Kuperhatikan lagi, ternyata

bukan, mungkin hanya mirip saja. Sangat mirip. Bedanya hanya satu: rambutnya pendek,

sangat pendek, hingga mirip laki-laki. Tapi, terus terang, memang lebih seksi. Kualihkan

mataku ke tempat lain, tapi anehnya, selalu kembali ke perempuan itu.

Kawan yang kutunggu akhirnya muncul juga. Dengan gayanya yang serba cepat

dan gelisah, seperti burung gereja yang selalu was-was itu, dia menjelaskan semua yang perlu

kuketahui. Beberapa map dia serahkan dan master plan serta cetak biru rancangan

bangunannya juga dia sodorkan padaku. Terus terang aku tak sepenuhnya siap bahwa ternyata

dokumen ini diserahkan kepadaku.

”Apa ini semua?”

”Mmm.. dari sini, you ketemu Pak Rudy. Don’t be late, soalnya ini semua bahan

presentasi besok.” Ucapannya terburu-buru, sambil menumpukkan berkas-berkasnya padaku.

Akan tetapi, yang membuatku benar-benar terkesiap adalah wanita berambut pendek itu

ternyata pergi bersamanya. Dia berdiri di belakang temanku. Tanpa menghiraukan

pembicaraannya, mataku memandang wanita berkacamata hitam itu dalam-dalam. Seakan aku

ingin melihat bola matanya, benarkah dia bukan Lulu. Kemiripannya membuatku penasaran.

Temanku menyadari bahwa perhatianku tertuju pada perempuan cantik yang ada di

belakangnya, dia langsung memperkenalkanku kepadanya, ”Oh... ini Lina, kolega bisnisku,”

ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Ternyata namanya pun mirip. Lina menjulurkan tangannya dan tersenyum. Mereka

melangkah masuk untuk check-in. Temanku membawa kopornya dan kopor Lina dan

melangkah duluan.

“Oh, ini ada yang terjatuh…,” kata Lina menyerahkan amplop. Kuduga karena

terbengong-bengong, aku menjatuhkan sesuatu dari dalam bundel dokumen. Dia tersenyum

dan saat melangkah pundaknya nyaris menyentuh hidungku.

Di taksi, aku merasakan kekosongan lagi. Jakarta dilapisi malam dan dihiasi kemerlip

lelampuan. Ternyata, amplop tadi bukan terjatuh, tetapi memang baru diberikan oleh Lina atau

Luna. Itu kuketahui karena setelah kubaca, surat itu memang ditujukan kepadaku.

Page 81: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

81

Dia memang Luna alias Lulu. Dia sebenarnya sudah tahu bahwa aku menunggu

kawanku, itu dan…

”Luna atau Lina atau Linda.. tak ada bedanya, kan? Ini, aku bikinkan puisi-puisian buat

Mas Roy. Hanya buat Mas Roy.

sentuhlah saklar

lampu padam setelah berpijar,

rambutku 10 ribu dolar..

salam,

Kali ini, kurasakan jakarta benar-benar menghimpitku. Kota ini terlalu banyak

melahirkan pertanyaan, yang nyaris menutupi jawaban.

***

Umairah (gambar 13)

”Duhai dara dengan pipi merah merona, tak bisa kubayangkan engkau terjaga di tengah

malam buta, hanya untuk membukakan pintu rumah kita. Karenanya, wahai dara dengan pipi

merah merona, maafkan suamimu jika malam tadi terlelap di beranda rumah kita..”

Itulah sepotong cerita yang selalu dituturkan Nenek kepada Umairah tentang betapa

sayang dan lembutnya Kanjeng Nabi Muhammad kepada istrinya. Tutur sapa lembut, semanis

madu, sesejuk embun pagi, selalu mengucur dari bibir beliau guna menggembirakan dan

membesarkan hati istrinya. Mungkin karena itu pulalah Umairah tak bisa melupakan sepenggal

cerita itu dari ingatannya.

Setiap kali dia merasa kesepian, maka cerita sebelum tidur, ketika dia masih kanak-

kanak itu selalu melapisi ingatannya, dan Umairah pun menangis. Tetapi, kapankah dia tak

merasa kesepian? Begitu sepi hidupnya sehingga dia hanya bisa membayangkan semua

kelembutan yang tak pernah dialaminya semenjak Nenek meninggal dunia. Dia tak ingat lagi,

apakah dia pernah berusia 9, 10, atau 11 tahun? Dia tak peduli lagi, apakah pernah mengalami

masa datang bulan yang pertama kali, karena baginya, bulan selalu datang dan pergi,

sebagaimana para lelaki yang mengajaknya tidur selama ini.

”Ma?”

Page 82: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

82

Sapaan lembut dari bibir dara mungil—yang belum lagi empat tahun—itu membuat

Umairah terjaga dari lamunannya. Dia usap pipinya yang basah, basah oleh kenangan

kelembutan, yang hanya ada di alam angannya. Lalu ia pun tersenyum, seakan ingin

mengantarkan si kecil kembali lelap di alam mimpinya yang masih indah dan bening itu.

Kembalilah tidur, buah hatiku. Jangan kau terjaga, hari masih gulita. Sekali kau terjaga, dunia

akan merobekmu, mencabikmu, menggilasmu dengan gigi zamannya yang tak kenal

kelembutan itu.

Biarkan bundamu terjaga. Aku ingin kau tetap pulas lelap, berselimutkan senyum indah

impianmu. Biarkan bundamu membersihkan ilalang yang mungkin akan menghalangi jalan

langkahmu. Biarkan bunda menebas onak-duri yang mungkin bisa melukai telapak kakimu.

Duhai, dara mungil dengan pipi merah merona, pujaan hatiku, engkaulah satu-satunya permata

hidupku, yang sanggup memberiku jalan yang jelas. Entah apa jadinya, jika kau tak ada dalam

hidupku. Tak tahu lagi harus ke mana, bahkan mengakhiri hidup pun, rasanya sia-sia saja.

Anak kecil itu kembali terlelap, sebagaimana yang diharapkan Umairah. Lalu, sunyi

kembali mengisi malam. Kembali Umairah menatap selembar kertas yang telah sebagian

ditulisinya dengan tinta hitam. Serangkaian kata telah tergores di sana, tetapi tak satu pun yang

rasanya bisa mengungkapkan perasaannya. Diremasnya kertas itu, dan dia mulai menulis di

lembaran berikutnya. Sudah sebulan ini dia merasakan serangan demam dahsyat, seakan

hempasan badai gelombang, yang membuatnya menggigil terguncang. Dia tak tahu persis apa

yang terjadi, karena setiap dokter hanya tersenyum, ketika harus menjawab pertanyaannya. Dia

hanya merasakan, bahwa saat itu akan segera tiba, tidak malam ini, mungkin di malam yang

lain.

Menjelang pukul tiga dini hari, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Terasa kasar

dan mengejutkan, bahkan sedikit menyeramkan. Ada arus kemarahan di sana yang mengalir ke

dalam bilik Umairah.

Dibukanya pintu dan didapatinya 10 laki-laki berang. Mereka berteriak-teriak

mengerikan dan mengancam akan merajamnya, jika tidak mau mempersilakan mereka masuk.

Gemetar Umairah mendekap si kecil. Bibirnya bersenandung lirih agar si mungil tak terjaga.

”Kau sembunyikan di mana, dia?” dengus kemarahan lelaki yang membawa pentungan.

Matanya merah, namun tak pernah lepas dari sepasang dada Umairah.

Rasa muak menggumpal siap menyembur dari perut Umairah. Untuk kesekian kalinya

dia menjumpai binatang memasuki rumahnya. Seekor anjing yang tak bisa menggonggong,

seekor babi hutan yang tak bisa menguik, itulah para lelaki yang selama beribu-ribu malam

sepanjang kehidupannya memaksakan diri menerobos kehidupannya.

Page 83: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

83

”Tak ada siapa-siapa di rumah ini, selain saya dan Umi, “ kata Umairah sambil

mendekap erat Umi kecilnya yang masih lelap.

”Bibirmu memang selalu merah bergincu, Mai, tetapi itu tidak bisa menyembunyikan

yang sebenarnya,” desislelaki dengan sorot mata liarnya.

”Mungkin di malam lain. Tetapi, malam ini tidak,” jawab Umairah tegas. Sementara

lelaki yang lian membolak-balikkan apa saja yang mungkin bisa digunakan sebagai tempat

bersembunyi.

Lelaki yang ada di dekat Umairah, yang nyalang matanya, yang babi hutan napasnya,

makin mendekatkan wajahnya ke pipi Umairah sambil berkata, ”.. Tunjukkan saja, di mana dia,

lalu semuanya kita selesaikan bersama... hh… bagaimana?”

Umairah muntah, namun tersenyum manis dia berkata. Bibirnya yang indah sudah hafal

benar tabiat setiap lelaki, seolah siap menelan si babi hutan dengan desahan lembutnya. Tak

jelas benar apa yang diucapkannya, namun yang jelas si lelaki segera mengomando anak

buahnya pergi. Dia pura-pura marah, dan sebelum pintu tertutup rapat, dia mengerling ke

Umairah.

”Ma?” suara malaikat kecilnya lirih memanggilnya.

Umairah memeluknya, lalu bibirnya bersenandung. Sesaat si malaikat mungil

memandang mata ibunya dengan mata telaganya yang jernih, dengan bulan purnama

mengambang di permukaanya. Umairah tak kuasa menatap tatapan Umi. Kesejukan pandangan

si kecil membuatnya kembali menangis.

”Ma, Umi jadi naik keleta api?”

Umairah menatap sesaat, lalu tersenyum dan memeluk anaknya. Ah, indah nian mimpi

setiap bocah.

***

Entahlah, mungkin memang nasib yang harus dijalaninya, tetapi malam itu, pada jam

yang kurang lebih sama, kembali pintu rumah Umairah diketuk seseorang. Umairah,

perempuan itu, sudah hafal benar setiap nada ketukan. Ada irama yang sama, ada pola suara

yang senada, seolah detak jantung yang tak mungkin sanggup membohongi, bahkan diri

sendiri.

Memang benar, si babi hutan masuk dengan serangan parfum yang entah dari jin siapa

dia membelinya. Umairah tegak tenang, memandang kekosongan yang mulai mendekatinya.

Ketika nyaris tangan kasar itu hendak menyentuhnya, Umairah hanya berkata ”mungkin di

malam yang lain, tetapi tidak malam ini.”

Page 84: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

84

Si babi hutan mendengus marah. Dia memaksa dan Umairah hanya mengulangi

ucapannya.

”Hei, perempuan jalang, sudah seharusnya kau berterima kasih kepadaku. Karena aku,

kau tidak diarak keliling kampung, atau dirajam orang sekampung. Ingat kau, ketika baru

pindah kemari, semua orang mencibirimu, karena kaulah kotoran yang tiba-tiba melekat di

kampung ini. Sekarang… kau coba-coba berani menolakku?”

Umairah hanya mematung. Ditatapnya mata buas itu dengan tenang. ”Aku tidak

menolakmu, aku hanya bilang tidak malam ini, mungkin di malam yang lain... terserah saja apa

penafsiranmu.”

”Dasar..”

”Katakan saja apa yang ada di pikiranmu, nggak usah malu-malu. Bukankah selama ini

hanya kata-kata itu yang kau miliki?” dan ucapan Umairah itu membuahkan tamparan.

Si lelaki merasa disepelekan kelelakiannya. Dia meraung, mencabik dan mengamuk.

Kegaduhan malam itu membuat si Umi menjerit-jerit dan membangunkan para tetangga.

Segera rumah itu dipadati manusia.

”Lelaki itu ada di sini!” teriak si babi hutan, sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang tak

jelas. Para lelaki lain berang, mereka menyerbu masuk dan kembali seperti malam sebelumnya,

mereka membolak-balikkan apa saja yang bisa mereka jungkirbalikkan.

Umairah mendekap Umi dan lari. Dia tak pedulikan apa pun yang ada di rumahnya,

kecuali Uminya tercinta. Sempat dia menyaksikan manusia-manusia itu menghancurkan

rumahnya, namun tetap tak peduli dia. Umairah berlari, memanggili seseorang yang mau

menyebut seorang wanita dengan kelembutan surgawi. Tetesan air matanya menderas dan

hatinya menjerit, melolong, meraung, memohon setetes kesejukan dari kalimat lembut dan

menyegarkan jiwa itu.

Di dinginnya malam, dengan bulan yang sudah tampak bagai seiris semangka kuning,

Umairah mendekap anaknya. Berjalan dia tak tentu tujuan. Kakinya bahkan telanjang tanpa

alas apa pun. Beberapa mobil berhenti dan menawarinya tumpangan, namun tak satu pun di

terimanya. Dia sudah hafal betul rima dan iramanya, nada dan ketukan suaranya; seperti suara

setiap lelaki yang merajam tubuhnya, sejak… ah, dia sudah tak ingat lagi sejak kapan hal itu

terjadi.

Jalan terlalu panjang untuk dilaluinya dan Umairah belum menyelesaikan semuanya.

Sepasang kaki lelahnya, akhirnya membawanya ke sebuah gardu di sudut jalan. Hanya

kesunyian dan kegelapan yang ada di sekitarnya. Tetapi, kapankah dia tak menjumpai

kegelapan di dalam kehidupannya? Umairah tersenyum, dia bisa sejenak melepaskan lelahnya

Page 85: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

85

dan bisa meletakkan si kecil untuk, paling tidak, sampai matahari terbit di timur sana. Ada bau

pesing dari sudut gardu. Tembok retak di sana dan di keremangan ada seonggok kain, entah

apa. Mungkin bekas baju, mungkin juga bekas celana, siapa peduli?

Napas Umairah tersengal-sengal. Entah mengapa, dadanya terasa sesak dan berat

sekali. Diletakkannya si kecil di pangkuannya dan disandarkannya tubuhnya ke dinding retak

itu. Kepalanya berkunang-kunang. Dalam keremangan dunianya, di batas antara terjaga dan

tidur, Umairah mendengar suara-suara. Sesekali dia terjaga dan ternyata itu hanya ilalang

berkerisik diusik angin. Namun, begitu dia nyaris terlelap, suara itu adalah sebuah bisikan doa.

Sebuah doa baginya. Bagi hidupnya. Bagi anaknya. Sebuah doa agar sekabut halimun

kesejukan melingkupi jiwa yang tengah meradang itu. Perlahan-lahan Umairah bisa mengikuti

bisikan doa itu. Dan, entah mengapa, tiba-tiba dia merasa mendapat kekuatan untuk masuk ke

dalam bait demi bait panjatan puji syukur itu.

Kalau saja diriku belum pantas bersimpuh memohon kepada-Mu, duhai sang Maha

Bijaksana, kumohon pandanglah seraut wajah suci yang terlelap ini. aku ingin, ketika esok dia

membuka sepasang kelopak mata keindahannya, dunia tersenyum ramah dan mengajaknya

bermain di bumi-Mu nan indah. Duhai Sang Maha Mendengar, dengarlah ratapku, karena

kepada siapa lagi aku meratap jika bukan kepada-Mu.

Ketika garis fajar sebentar lagi memberkas di ufuk timur, Umairah sempat menyaksikan

ada seorang pria muda, rambutnya legam ikal berkilau-kilau, jongkok dan membelai wajahnya.

Lelaki itu mengucapkan sebaris kalimat lembut, semanis madu, sesejuk embun pagi, yang

selama ini begitu didambakan Umairah.

***

Orang-orang yang baru saja pulang dari salat subuh, dan seperti di bulan-bulan puasa lainnya,

mereka berjalan-jalan pagi, terheran-heran mendengar tangisan anak kecil dari sebuah gardu di

tengah lahan kosong yang ditumbuhi ilalang. Dulu, lahan itu adalah sebuah bangunan, entah

apa, yang karena entah apa pula, dihancurkan. Seorang ibu menggendong si Umi. Beberapa

lelaki kemudian melaporkan ke pos polisi terdekat. Mayat Umairah, yang tak dikenal oleh

orang-orang itu, mereka temukan dengan seulas senyum bahagia di bibirnya.

Pinang, 982.

Kapan Pulang? (gambar 14)

Page 86: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

86

Entah mengapa, saya selalu menanyakan hal itu kepada istri saya, justru pada saat dia

belum berangkat ke Hongkong. Dia memang wanita supersibuk, yang selalu mendapat

kepercayaan kantornya untuk menangani pameran-pameran besar di luar negeri. Anehnya,

kalau dia saya katain wanita karir, dia selalu marah.

"Saya nggak gitu, kan? Saya bekerja sebaik-baiknya, tapi saya bukan wanita karir."

"La, terus ini, apa?" protes saya.

"Ya, kerja biasa saja. Kalau wanita karir, itu nggak begini…."

"Gimana?"

"Udah-udah.. kalau memang saya nggak boleh kerja, dari dulu, dong bilang!"

Biasanya kalau dia sudah mengunci pembicaraan dengan kalimat seperti itu, saya juga

hanya bisa diam saja.

Sementara saya diam, dia mengemasi barang-barangnya ke dalam kopor. Beauty case

juga siap dan selalu dibawanya. Sambil mengemasi barang-barangnya, wajahnya muram,

bibirnya maju lima senti. Dia kesal karena pertanyaan saya. Kalau sudah begitu, hati saya

luluh. Saya tidak tega dan lebih jauh lagi, saya tidak mau dianggap sebagai suami yang mau

menang sendiri.

Terus terang, di balik ini semua, saya memang tidak bisa ditinggal pergi oleh seseorang,

apalagi itu istri saya sendiri. Waktu Mona–anak saya yang sudah kelas 2 SMP mengadakan

perkemahan pramuka, saya juga kelimpungan. Saya selalu menanyakan kepadanya, "Kapan,

pulangnya?"

Mona selalu menjawab,"Berangkat aja belum, Papa sudah tanya kapan pulangnya…."

Entahlah, saya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Saya tidak mau menjadi orang yang

melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan. Aneh memang, tapi itulah saya.

Bicara soal keberangkatan istri saya, kali ini saya memang benar-benar gelisah. Terus

terang, saya merasa sangsi dengan keberangkatannya kali ini. Dulu, waktu dia harus seminar di

London, saya juga mengkhawatirkan yang bukan-bukan. Pikiran macam-macam, blingsatan

tak karuan. Yang saya pikir hanyalah yang aneh-aneh saja, tapi kenyataannya, kekhawatiran

saya memang tidak sepenuhnya salah.

Dia yang berangkat berdua dengan kawannya (tentu saja laki-laki) membuat saya was-

was. Di mana-mana, laki-perempuan itu sama saja. Kalau ada kesempatan pastilah tidak disia-

siakan.

Ketika dia kembali dari London, terus terang saya "cuci" habis dia. Sementara, dia tetap

menyangkal bahwa ada hubungan dengan lelaki itu.

Page 87: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

87

"Bagaimana mungkin?" katanya setengah menangis.

"Kalau bicara soal kemungkinan, jawabannya adalah mungkin. Persoalannya sekarang,

kamu mau jujur, nggak?" kata saya keras.

"Baik. Sekarang saya mau jujur. Terserah, Mas mau percaya atau tidak." Ucapannya itu

membuat saya agak tercekat. Bagaimana seandainya dia mengakui telah tidur dengan lelaki

itu? Sanggupkah saya menerima kenyataan dengan mendengar kalimat dari bibirnya yang

langsung masuk ke gendang telinga saya sendiri?

Sanggupkah saya, seandainya dia mengucapkan sejujurnya, menelan kenyataan paling

menusuk bagi setiap hati lelaki, bahwa istrinya tidur dengan lelaki lain? Untuk itu saya terdiam

beberapa lama.

"Terus terang, saya memang menyukai dia... tapi, hanya sebatas sebagai kawan. Dia

baik, dan dia mau mendengarkan ucapan saya, terutama mengenai tugas-tugas kantor yang

merepotkan itu. "

"Jadi, aku ini kamu anggap apa?" sergah saya dengan luapan emosi nyaris tak

tertahankan.

"Bukan begitu. Ini semata-mata kerjaan kantor! Apa Mas tahu cara kerja kantor saya?

Apa Mas tahu persis, siapa-siapa yang kami hadapi di kantor? Dan kalau pun saya ceritakan,

paling-paling Mas bilang, sebaiknya dibicarakan dengan teman sekantor, supaya masalahnya

lebih cepat selesai. Ya, kan?"

Saya terdiam. Benar, semua ucapannya.

"Sekali lagi, saya cuma ngobrol dengan dia. Tidak lebih. Lagi pula.. Mas pikir saya ini

perempuan apa? Kalau saya mau tidur dengan sembarang lelaki, berarti saya meletakkan diri

saya pada posisi paling menjijikkan yang justru selama ini saya tentang! Kalau cuma mau

begitu, untuk apa saya kawin? Mending saya jadi pelacur saja; bagi saya dia lebih punya

'moral' ketimbang istri nyeleweng...," kata-katanya menghambur bersama derasnya air

matanya.

Saya terdiam lagi. Semua yang diucapkannya waktu itu, memang sepenuhnya benar.

Tapi, sekali lagi, keberangkatannya kali ini membuat saya gelisah lagi. Memang, waktu

itu saya menduga dia ada ”main” dan kenyataannya tidak. Saya yang semula meragukan,

kemudian yakin dia tidak ada apa-apa, kini berbalik meragukannya lagi.

"Kenapa, sih, rasanya cuma kamu melulu yang dikirim keluar negeri?"

"Ya, mana saya tahu? Tapi, cobalah dilihat dari segi positifnya. Apa Mas nggak

bangga, istrinya dipercaya orang?"

Page 88: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

88

"Untuk apa kebanggaan, kalau sebenarnya menyiksa diri sendiri?"

"Jadi, Mas merasa tersiksa?"

"Nggak gitu.."

"Nggak gitu, gimana? Nyatanya Mas selalu cemburu.."

"Cemburu? Hah! Itu pikiran sempit!"

"Cemburu itu nggak salah, kok. Saya nggak apa-apa kalau Mas yang cemburu, asal

jangan kelewatan…."

"Tapi.. suami mana yang akan tenang membiarkan istrinya pergi keluar negeri dengan

lelaki lain.. sekamar lagi!"

"Aaaah.. Mas gitu, sih. Kan, saya sudah bilang, ini karena anggaran kita mepet sekali

dan karenanya untuk hotel nggak ada budget lagi…."

"Masuk akal, nggak?"

"Kalau ukurannya begitu, ya nggak masuk akal. Tapi, kalau saya nggak bilang jauh-

jauh hari, saya yang salah. Saya kan sudah bilang."

"Aku, kan sudah lama menyatakan keberatan."

"Ya, tapi gimana lagi. Budget-nya nggak ada!"

"Ya, jangan berangkat kalau dananya nggak ada!"

"Nggak bisa, dong!"

"Bisa! Kecuali, kalau kamu merasa tidak keberatan."

"Maksud Mas apa?"

"Maksudku sudah jelas. Kalau boleh aku katakan dengan jelas, kamu jangan berangkat!

Titik!"

Dia terdiam. Dia menahan tangis. Kesal. Marah. Entah apalagi yang ada di hatinya.

"Mas jangan membuat saya terjepit seperti ini, dong…," katanya setengah terisak.

"Yang saya perlukan justru pengertian. Saya ingin, justru di rumah, saya mendapat dorongan

dan semangat. Di rumah, saya berharap mendengar suara yang bernada positif dengan

keberangkatan saya kali ini. Kepada siapa saya bisa berterus terang, kalau bukan kepada suami

sendiri? Kepada siapa saya bisa mendapat dukungan, kalau bukan dari suami sendiri?"

"Ya, tapi bukan untuk tidur sekamar dengan lelaki lain!"

"Jadi, saya harus batal, nih?"

"Pikirkan saja sendiri."

"Tuh, kan. Mas selalu menyudutkan saya dengan kalimat seperti itu. Kalau boleh jujur,

Mas sebenarnya tidak berani mengatakan pendapat. Mas takut dikritik sebagai suami yang

lemah dan tidak bisa mengatasi persoalan. Mas sebenarnya hanya mencari kedudukan dan

Page 89: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

89

posisi suami yang baik. Tak mau dianggap ketinggalan zaman dengan mengizinkan istrinya

pergi, tapi sekaligus tak mau dianggap pencemburu meskipun nyatanya Mas benar-benar

cemburu. Mas seolah memberikan banyak pilihan pada saya, padahal sebenarnya Mas hanya

memberi satu pilihan."

"Yaaah, apapun.. yang penting kamu harus bisa mempertimbangkan baik-buruknya."

"Kalau Mas sudah bisa bilang begitu, kenapa Mas masih ragu? Itu kan artinya, Mas

masih belum percaya pada saya."

Saya terdiam lagi. Entah mengapa, saya kehabisan kata-kata untuk menjawab

ucapannya.

"Lagi pula, dia kan nggak mungkin akan macam-macam dengan saya. Saya tahu persis

siapa dia…," katanya menjelaskan calon teman sekamarnya itu.

"Di mana pun, kucing itu nggak ada yang nolak daging!" ucap saya menyindir.

"Ya, jangan berpikir ke sana, dong! Kalau dipikir terus, sesuatu yang tak mungkin

terjadi, bisa benar-benar terjadi.

"Nah, nah..sekarang kamu yang agaknya mencari-cari alasan," sergah saya.

"Cari-cari alasan bagaimana?"

"Nanti kalau 'terjadi' betul, kamu cari alasan karena aku terlalu memikirkan yang satu

itu Itu, kan lebih nggak masuk akal lagi."

"Sudahlah. Percaya sajalah."

"Sulit!"

"Sekarang dibalik saja. Kalau Mas pergi keluar negeri, aku nggak pernah tanya macam-

macam. Padahal aku sendiri kalau ditanya, pasti meragukan semua alasan Mas. Kalau mau

memikirkan yang tidak-tidak, aku sudah membayangkan Mas berpesta pora dengan ...

pokoknya, kalau mau memikirkan yang begitu, aku sudah lama mati oleh pikiranku sendiri."

Dia mencecarku dengan kalimat-kalimat yang membuatku terbungkam. Tetapi

kemarahanku membuatku terus berontak.

"Jangan menuduh yang bukan-bukan!"

"Mas juga jangan berpikiran yang macam-macam."

"Bagaimana tidak? Kamu bilang akan tidur sekamar dengan laki-laki lain..."

"Kalau Mas tidur sekamar dengan perempuan, apa Mas juga bilang sama saya?"

"Sialan kamu!" dan tanpa saya sadari sepenuhnya tangan saya melayang menampar

pipinya. Dia mengaduh dan menangis tersedu-sedu.

Penyesalan saya saat itu meleleh. Saya raih dia dan saya peluk penuh penyesalan.

Terbayang bagaimana wajahnya yang pucat menahan rasa sakit, ketika dia dalam proses

Page 90: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

90

melahirkan bayi kami yang pertama. Terbayang kembali betapa dia melindungi saya dari

tagihan seseorang ketika kami masih terbenam hutang, dulu ketika kami baru menikah.

Tergambar juga betapa dia yang mendorong saya hingga mendapatkan posisi seperti sekarang

ini di kantor. Semuanya begitu mendadak, bersamaan, muncul melumerkan perasaan saya.

Akhirnya, dengan segala perasaan tertekan dan tak enak, saya mengantarkannya ke

Bandara Sukarno-Hatta. Dia terbang dengan Cathay Pacific. Perjalanan pulang dari Bandara,

terasa lebih panjang. Perasaan memang mengalahkan jarak dan waktu.

Malam minggu saya hanya sendirian. Mona pergi ke rumah kakeknya di Bogor.

Arthur.. entah kemana si bocah a-be-ge itu. Yang jelas, saya sendirian. Ini yang saya benci.

Tiba-tiba telepon berdering.

"Halo?" suara perempuan yang lembut sekali dari seberang sana.

Saya tercekat. Ini pasti suara Maggie. Mengapa dia menelepon saya?

"Hai, Maggie?"

"Kesepian, ya?"

"Aaah.. biasa saja. Ada apa, Mer.. eh, Meg?"

"Idiih.. sudah kangen, ya sama istrinya, sampai kepleset segala…."

Begitulah, saya dan Maggie–teman lama saya–tenggelam dalam percakapan ke sana

kemari. Dia cerita tentang suaminya yang sering kali pulang malam dan akhirnya ketahuan

punya "simpanan" lain. Dia menumpahkan semua isi hatinya pada saya, yang saya tanggapi

dengan tenang. Tapi, bagaimana dengan Mery–istri saya, saat ini? Apakah dia juga sedang

menceritakan saya pada lelaki itu? Di mana dia bercerita? Sambil tiduran? Aaah.. saya rasakan

darah menggelegak sampai ubun-ubun, tetapi saya kendalikan karena saya sadar bahwa saat itu

sedang berbicara dengan Maggie.

"Nggak bisa tidur, kan?" katanya tiba-tiba memotong arah pembicaraan.

"Ya, gitu, deh…," jawab saya lesu.

"Nonton midnight, yuk?" ajaknya enteng saja.

Saya terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa mengajak seseorang yang jelas-jelas bukan

suaminya dengan seenteng itu? Dan, entah bagaimana, saya langsung mengambil kunci mobil

dan menderu ke rumahnya.

*****

Jakarta sesungguhnya kota yang sangat dingin dan sunyi. Kesemrawutan itu semu

semata. Lalu lintas yang berderet-deret disumpal kemacetan itu, hanya nisbi. Nyatanya, banyak

sekali manusia yang begitu kesepian di sini. Begitu banyak manusia yang kedinginan. Sebuah

Page 91: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

91

kota yang muram dan mati. Karenanya, tak mengherankan jika manusia-manusianya banyak

yang menciptakan kehidupan malam. Sebuah pelarian kenyataan yang menyedihkan,

sebenarnya.

Kami berjalan perlahan. Sambil menyetir, saya rasakan sapuan angin malam yang

dingin. Sementara di pundak kiri saya, Maggie bersandar mesra.

Sambil menikmati perjalanan, kami sesekali masih mengomentari film yang baru saja kami

tonton. Entah bagaimana ceritanya, kami sudah masuk sebuah motel.. dan semuanya terjadi

begitu saja, tanpa basa-basi.

***

Setengah lima pagi, saya tiba di rumah. Secara refleks, saya menyalakan answering

machine.

"Hai.. ke mana nih, malam Minggu. Kok, nggak ada di rumah? Pasti Mas jalan-jalan dengan

Maggie, ya? Pasti lagi guwel-guwelan, ya... (dia tertawa kecil, mesra). Bercanda, jangan

tersinggung dulu.... Telepon dong, nih, catat ya…," kata-katanya lembut tanpa perasaan

cemburu.

Dengan perasaan galau, saya telepon dia. Dari sana terdengar jawaban lesu. "Halo? "

Saya diam saja. Pikiran saya masih kacau balau, tak siap dengan kata-kata. Dia

mengulang perkataan yang sama dari seberang sana. Dan saya masih diam saja.

Nyaris pada saat dia akan meletakkan gagang telepon, saya bertanya, "Ma, kapan

pulangnya?"

Seketika ada kecerahan dari nada suaranya. Semangatnya bangkit kembali dan dia

nyerocos macam-macam. Begitu ceria dia, begitu bahagia dia, sampai-sampai saya tak bisa

berkata-kata. Saya ingin mengucapkan bahwa saya rindu, bahwa saya mencintainya, bahwa

hanya dia yang ada di hati saya, bahwa saya begitu kesepian tanpanya, tapi tak ada yang bisa

terungkap lewat kalimat. Seakan cair begitu mencapai bibir.

Ketika gagang telepon sudah pada tempatnya kembali, saya terlentang di tempat tidur.

Mata saya terpejam, tapi bukan tidur. Telinga saya masih sempat menangkap sebuah alunan

musik dari sebuah radio pagi hari, Love is a Many Splendor Thing lewat tiupan saksofon

lembut mendayu.

Saya tak ingat lagi apakah saya bisa mendengar sampai selesai atau sudah digulung

lelap di tempat tidur.

Jl. Pinang 982

Page 92: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

92

Laki-Laki Yang Menusuk Bola Matanya (gambar 15)

Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin

aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak

percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak

tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan

tanduk melintang bagai sepasang parang.

Anehnya lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala.

Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu.

”Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu

pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini

”Dan, kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau

tidak.”

”Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?”

”Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama

Ki Ageng Ranggawarsita…, zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-

kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu.

”Wong dokter kok, nggak optimis.”

”Biar dokter, wong aku juga manusia kayak kamu,” timpalnya sambil mengembuskan rokok

kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter

paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doolittle–yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu.

Karena itu pulalah kadang-kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain

bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang

disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku,

belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia lain di sekelilingku. Itu inti

persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang

mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku–atau

apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah

dikarang-karang sendiri–entah apa maksudnya.

Page 93: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

93

Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena

struktur kantorku yang memang demikian–kamar kecil yang seharusnya ada di belakang,

malah ada di depan-- aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian

perlente. Namun, nah… ini lagi. Kepalanya ternyata babi!

Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan

denganku–ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka

dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya

yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka

dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil.

Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku

ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku–dan belakangan baru

kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku.

Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku

diperkenalkan kepadanya.

Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku

memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah

mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti

babi.

”Ya, kan, Mas.. dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja.

”Memang babi, kok.” Jawabku serius.

”Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi,” komentar yang satu lagi

dengan nada melecehkan. ”Orang kok, sirik terus sama penampilan orang lain,” tambahnya

enteng saja.

”Siapa yang…,” aku tak melanjutkan ucapanku. Percuma saja, mereka tak melihat apa yang

kusaksikan.

Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi

benar-benar mempercayai apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain.

”Kita ke dokter mata, yuk,” ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang

terjadi beberapa hari ini pada diriku.

”Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?”

”Ya, nggak, tapi paling tidak, kita kan jadi tahu, kenapa sih, mata kamu nggak klop dengan

orang lain?” ucap istriku jengkel.

Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja

untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu

Page 94: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

94

karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku

ingin jadi penjual tape uli saja yang nggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku

yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan nggak beres. Di sinilah

aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat

oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian.

”Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara dik Tony membuyarkan lamunanku.

Aku menjawabnya dengan tersenyum saja.

”Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi

iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku.

”Oh, nggak. Nggak sulit, kok, cuma aku-nya yang lagi nggak mood,” kilahku sambil

menyalakan rokok.

Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk

semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk

semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang

mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa

maksud jawabannya itu.

Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. ”Pokoknya kerjakan

sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk

klien kita. Titik!”

”Titik dua atau titik-koma?” tangkisku sekenanya.

”Dasar copywriter!”

Aku cuma mengepulkan asap rokokku menanggapi kemarahannya yang tidak jelas itu.

Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas

di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang

laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia

datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang

muda kota yang sibuk dan sukses.

Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia

melihat potret-potret dan patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada

suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda, ”Hhhai… sudah lama, ya?”

Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis

indah, dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya

seakan dia mencium bau bangkai.

Page 95: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

95

Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri

berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut

yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. ”Zems. Selamat tinggal

bau naga!”

***

Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja

kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang

visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap!

Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada

di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat

dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana

mungkin ini semua bisa kualami.

Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku

bertabrakan dengan Miske—sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena

yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja ”memasang”

dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya. Tapi, ah…

seekor naga?

Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahui. Yang kurasakan

bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak

asing, tetapi tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan.

Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih

berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajah yang penuh dukacita dia

mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku.

Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis.

”Kenapa?”

”Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?”

Aku mengangguk.

”Aku baru pinjam VCD dari Enggar. Nonton yuk.”

”Film apa?”

”Dragon Heart.”

Aku terdiam. Apa maksudnya?

”Yang ini, naganya bisa ngomong. Suaranya Sean Connery, keren, lho….”

Page 96: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

96

Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma

terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku

bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film.

”Aku mau nonton,” kataku lembut, ”tapi, kamu harus percaya padaku..”

”Apa?”

”Aku memang melihat manusia berkepala naga.”

Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku.

”Aku percaya, kok. Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja,

lalu kita pindah ke Salatiga. Kata orang di sana tenang sekali….”

”Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga..”

”Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia

memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu.

Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua.

Pinang, 982

Lho

(gambar 16)

Dulu, waktu aku kecil, sering orang yang lebih tua dariku menasihati bahwa kedua

telingaku ini harus mau mendengar ucapan orang lain. Tentu, maksudnya adalah mau

menerima nasihat dari orang lain, karena siapa tahu mereka punya pengalaman hidup berharga.

Nasihat itu selalu terngiang dan bahkan sudah merasuk ke dalam jiwaku, sehingga

ketika kuliah pun, aku lebih suka jadi pendengar daripada pembicara. Dalam kehidupan sehari-

hari, aku menjadi manusia yang jarang sekali menggunakan mulut, karena aku entah

bagaimana seperti tersihir oleh kata-kata "diam adalah emas." Ada untung, ada pula ruginya.

Untungnya, aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku

selalu didengar orang. Ruginya, aku kurang populer di mata rekan-rekan entah ketika masa

kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja. Bahkan, ketika aku sudah berumah tangga

dan tinggal di kompleks, kalau ada rapat RT pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang

kurang mengenalku.

Terus mau apa coba? Aku memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang

dibutuhkan adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi suka mencari

Page 97: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

97

kesibukan sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada kesibukan lain selain mengerjakan

tugas kantor. Tapi bila hari libur, maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau

tidur!

Nah, pada suatu kali ketika cuti, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang akan

kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan pagar tembok yang tak

seberapa itu. Setelah kubayangkan warna yang akan kuoleskan di dinding, aku pun ke toko

material mencari cat dan peralatan lainnya. Belum lagi aku mengunci pintu pagar, tiba-tiba Pak

Sodik, orang yang biasa mengerjakan renovasi rumah lewat di depan rumah.

Setelah basa-basi dan seperti biasa kujawab cuma dengan senyum, dia bertanya aku

akan ke mana, dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara

panjang lebar soal harga cat sampai warna. Dia, tanpa kuminta, langsung mengeluarkan

ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya dengan kesabaran imitasi. Entah

ke mana saja arah bicaranya, yang kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat

tembok rumahku.

Aku tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya bayar

Pak Sodik."

Dia tertawa saja, tapi bersikeras agar pekerjaan tersebut diserahkan kepadanya.

"Pokoknya, Mas Nug terima beres. Daripada tangannya belepotan cat, kan, enggak

lucu?" tambahnya sembari menodongkan tawarannya padaku.

"Baik. Ongkos tukang catnya, berapa per hari?" tanyaku sekadar ingin cari celah.

"Ah, kayak enggak kenal saja, pakai nanya segala..." jawabnya sambil tertawa entah

apa maksudnya. Begitulah percakapanku dengan Pak Sodik. Akhirnya dialah yang

mengerjakan pengecatan dinding rumahku. Anehnya, ongkosnya selalu dia rahasiakan, seakan

aku sudah biasa menyuruhnya mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kira-

kira berapa biayanya.

Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan membiarkan dia

bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah bagaimana aku meraih sebuah

buku, oleh-oleh dari seorang kawan. Panchatantra, sebuah kumpulan cerita klasik India, yang

semasa kecil kukenal lewat dongeng tutur ayahku.

Meskipun sudah kuhafal benar cerita-cerita itu, tapi saat itu aku menikmatinya juga.

”Kisah si Petani Bodoh”, ”Pertapa dan Jin”, dan entah apalagi, kubaca semuanya, sampai

akhirnya tiba-tiba Pak Sodik muncul di pintu kamarku.

"Ada apa, Pak?"

Page 98: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

98

"Sudah selesai...," jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat arlojiku, baru

jam tiga. Sudah selesai. Ya, memang hanya sedikit yang harus dikerjakannya.

Berapa, Pak?"

"Terserah sajalah... soalnya, ya, gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa...," jawabnya dengan

nada yang menusukku.

"Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak seberapa, dan juga soal

biayanya... ya, kan?" kataku tak mau kalah. Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima

sanggahanku. Dia terus menggumam tak jelas, tapi kutahu maksudnya.

"Kalau sekalian yang dalam, sih, saya bisa mengira-ira berapa besarnya. Tapi, ini, kan,

cuma sedikit. Jadi... saya enggak enak mau minta bayarannya." Aku makin kesal.

"Pak, begini saja. Enggak usah merasa enggak enak. Bilang saja berapa, saya bayar," kataku

seraya mencabut dompet.

"Wah, jangan begitu Mas. Masak saya mau narik ongkos lebih mahal dari harga

catnya," ucapnya sambil tersenyum kecewa.

"Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..." kataku sambil

mencabut selembar 50 ribuan. Dia tak bicara lagi dan langsung pulang. Terus terang aku kesal,

mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15 meter persegi, aku harus mengeluarkan

upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau bilang apa?

Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang mengadakan akikah

untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku merasa hanya sebagai pendengar,

mendengarkan orang bicara soal politik, soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak,

narkoba, dan entah apa lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu,

sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria berhamburan di sekitarku

dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali, sampai sebuah kalimat menyedot perhatianku:

soal Pak Sodik.

Pak Wisnu, seorang tamu juga, yang bicara soal Pak Sodik, segera kutanyai lebih

banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Pak Sodik membetulkan kitchen set-nya. Sambil

bekerja Pak Sodik ngoceh bahwa dia kecewa karena pernah disuruh orang kompleks mengecat

rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat

rumah, tapi cuma dibayar kecil. Begitu tutur Pak Wisnu.

Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang menyuruh Pak Sodik dan berapa jumlah uang

yang diterimanya, tapi kuurungkan. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika

kudengar bahwa Pak Sodik berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat. Katanya,

Page 99: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

99

"Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja. Kayaknya enggak mau

kotor."

Entah apa yang kemudian diceritakan Pak Wisnu, rasanya aku sudah tak tahu lagi.

Terus terang aku marah pada manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa

memutarbalikkan ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat itu,

aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan apa pun.

Suatu kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa luas

memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus. Tanpa pikir panjang, aku

pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si

"setan" itu muncul lagi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar

soal rumput.

Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana kuduga, dia akhirnya

meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku bukan sok bos yang hanya bisa

menyuruh-nyuruh orang. Aku memang bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia

rupanya. Entah bagaimana, akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega.

Akhirnya, begitu magrib tiba, selesailah taman baruku. Puas juga rasanya mengisi hari

Minggu dengan kegiatan itu.

Di stasiun kereta api yang akan membawaku ke kota, aku bertemu orang-orang

kompleks yang juga berangkat bekerja dengan menaiki kereta pagi. Setelah omong sana-sini,

akhirnya ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah seorang itu,

entah siapa, Pak Sodik menggerutu bahwa di kompleks ternyata masih saja ada yang bermental

petani. Orang itu, kata Pak Sodik, rumahnya bagus, barang-barangnya mewah, tapi tak mau

memberikan sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia. Padahal, tambahnya, rumput yang

digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya 10–20 ribu rupiah sekadar buat

makan hari itu.

Ketika aku duduk dan menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti

tentang apa yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh dari

kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada lingkungan yang tak jauh

berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku. Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku

harus banyak bicara, entah benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara,

mungkin orang akan segan kepadaku. Mungkin.

Page 100: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

100

Dusta Itu (gambar 17)

Perang saudara itu masih saja berkobar, melibas ratusan bahkan ribuan nyawa. Bangkai

gajah, bangkai kuda, kereta perang dan patahan senjata, tersembul di sana-sini bercampur

jenazah kedua pasukan, di tengah rawa darah, padang Kurusetra. Pesta para burung bangkai!

Ulat-ulat menari girang, mendapatkan makanan melimpah ruah. Kepulan asap dupa dan

kemenyan membubung melingkupi langit, seakan mengantarkan para arwah yang dipaksa

meninggalkan jasadnya.

Pandawa dan Kurawa seakan bermain catur. Satu demi satu para senapati di masing-

masing pihak mati di tangan lawan. Panglima Seta, dan kedua adiknya Utara dan Wratsangka,

gugur membela Pandawa; sementara Bisma sebagai Panglima Kurawa mendengungkan

terompet kemenangan. Pada hari berikutnya, Srikandi maju membela Pandawa, menggantikan

Seta dan berhasil menewaskan Panglima Bisma.

Begitu Bisma gugur, kedua belah pihak merasa terpukul. Bisma adalah kakek mereka.

Bisma adalah guru mereka. Bisma adalah junjungan mereka. Namun perang adalah perang,

yang ada hanyalah kalah atau menang. Percuma saja isak tangis tertumpah, jika pada akhirnya

melahirkan amarah. Perang adalah hidup atau mati. Itulah yang dibisikkan Kresna kepada

Arjuna.

Arjuna gelisah. Tak mungkin dia harus membunuh orang-orang yang masih berkaitan

darah dengannya. Mustahil dia berhadapan dengan guru dan junjungannya. Bisma dan Dorna

adalah dua orang yang memberinya bekal hidup dalam menempuh jalan sebagai seorang

kesatria.

Maka majulah Abimanyu, anak kesayangan Arjuna. Muda usianya, belum lagi 20 tahun

ketika itu. Di atas kereta perangnya, Abimanyu membelah pasukan Kurawa. Kelebatan

tangannya mematahkan serangan, sekaligus merenggut nyawa siapa pun yang menghadang,

membuat Abimanyu dan kereta perangnya seakan putaran pedang yang menumpas habis apa

saja. Kendali kereta berada di tangan Sumitro, saudara seayah Abimanyu. Di tangannya, kereta

perang bagai rajawali yang melayang rendah dan menyambar ganas. Pasukan Kurawa seperti

ilalang yang bertumbangan ditebas bilah pisau raksasa; mati merana untuk sesuatu yang belum

tentu mereka pahami benar.

Page 101: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

101

Hari itu, ketika terompet mengalun di bukit-bukit Kurusetra, bendera-bendera Pandawa

berkibaran menantang langit. Megah, ditiup angin utara yang membawa kemenangan.

Abimanyu dipanggul sebagai pahlawan.

Dorna, resi tua renta, guru Pandawa dan Kurawa, hari itu menggenggam gendewanya.

Serangan Abimanyu harus dipatahkan. Gelar perang pun diubah. Strategi harus diambil untuk

menghabiskan tenaga Abimanyu yang luar biasa. Ketika genderang perang dipukul bertalu-

talu, mengiringi langkah tegap para prajurit ke medan laga, Dorna sigap di atas kereta

perangnya.

Ringkik kuda-kuda yang menarik kereta perang Abimanyu, sayup-sayup terbawa angin.

Debu mengepul, melatari sorak-sorai manusia yang haus darah. Sesaat Dorna menahan napas.

Ada sebersit perasaan aneh dalam menghadapi Abimanyu. Belum lagi 20 tahun usianya, dan

harus berhadapan dengan guru perang yang sudah sangat kenyang makan asam-garam

kehidupan. Jika menang melawan Abimanyu, dunia tak akan heran, namun jika kalah... akan di

kemanakan wajah tua yang diagungkan orang ini?

Apalagi ketika bocah itu lahir, Dornalah yang pertama kali mendapat izin

menggendongnya, karena Arjuna—ayah Abimanyu—begitu hormat kepadanya. Kini, beberapa

saat lagi, dia harus membunuh cucu yang disayanginya. Anak kecil yang pernah ngompol

membasahi jubahnya, dan itu membuat Dorna terbahak-bahak hingga meneteskan air mata

bahagia, kehidupannya akan musnah di tangan Dorna.

Mata Dorna berkaca-kaca membayangkan kilasan masa lalu anak muda yang sebentar

lagi mati di tangannya. Tiba-tiba, seekor kuda putih melintas di hadapannya. Semula dia

berpikir, kuda itu hanyalah kuda perang milik orang lain yang memang menjadi kendaraan

perang. Namun, ketika kuda itu berhenti dan menatapnya lurus-lurus, tahulah Dorna bahwa itu

adalah aura Dewi Wilutomo, bidadari yang dikutuk menjadi kuda, istrinya, yang kini telah

tiada.

"Kau akan membunuh anak muda itu?" tanya kuda itu dalam suara yang hanya

dipahami Dorna.

Angin membelai lembut alis Dorna yang memutih di sana-sini.

"Ini perang, istriku."

"Kau akan membunuh anak muda itu?" ulang Wilutomo tenang.

"Apa boleh buat..." jawab Dorna sambil mendesah.

"Berarti kau sekaligus akan membunuh ayahnya..."

Dorna terdiam. Keteguhannya mulai goyah.

"Berarti kau juga akan membunuh anaknya..."

Page 102: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

102

"Apa maksudmu?"

"Istri Abimanyu tengah mengandung. Bayi itu akan lahir tanpa mengenal ayahnya, jika

panahmu mengisap nyawa Abimanyu..."

Lama Dorna terdiam. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Matanya setengah

terpejam, kumis dan janggutnya dibelai angin, lembut bergoyang-goyang.

Tak lama kemudian, "Ini perang, Wilutomo. Ini perang..." lalu memacu kudanya, yang

segera menarik kereta, maju mengadang lawan.

Perang pecah. Langit dipenuhi anak panah. Menghunjam ke bumi dan menciptakan

tumpukan jenazah. Dorna membabi buta menghamburkan anak-anak panahnya. Namun, sulit

sekali mendekati kereta perang Abimanyu. Diperintahkannya Jayadrata memancing Abimanyu

agar mendekati wilayah Dorna.

Sumitro tewas, namun kekang tak pernah lepas dari tangannya. Abimanyu segera

menaiki Pramugari, kuda setianya yang sehati dengan tuannya. Pramugari bagai harimau lapar,

melompat dan menendang lawan. Dengan gesit dia melompat, lalu berdiri me-nyongklang,

mendepak lawan di depan. Kemudian menyentakkan kaki belakang menghantam manusia yang

di belakangnya. "Manakah Dorna, guru tua yang tak tahu diri itu?" tantang Abimanyu di sela-

sela riuh rendahnya pertempuran.

Dorna melepaskan panahnya, tepat mengenai jantung Pramugari. Kuda itu meringkik

dan tersungkur mencium bumi.

Abimanyu melompat turun dan dengan pedangnya, dia mulai membabat lawan.

Tubuhnya seakan kebal, tak satu pucuk pun senjata mampu melukai kulitnya yang halus.

Dorna tanggap, tali pengikat tempat anak panah itulah kelemahan Abimanyu. Oh, begitu

mudah membunuhmu Abimanyu, tetapi mengapa kepiluan kian menggigitku, manakala

kurentang gandewa ini kepadamu?

Sekejap, anak panah itu lepas, menebas tali pengikat...maka Abimanyu pun lumpuh

bagai karung goni yang kosong. Segera tubuhnya terajam anak panah.

Abimanyu, Abimanyu… bagai landak tubuhmu, merangkak hina-lata tanpa rintihan.

Telah kau kenyamkah kenikmatan hidup sebagai lelaki? Telah kau cicipikah kemuliaan

hidupmu? Mengapa kau berakhir dengan tubuh nyaris hancur dirajam panah?

Dorna berbalik, menatap punggung bukit yang tergoresi warna merah senjakala. Tak

dihiraukannya sorak-sorai itu. Jiwanya begitu sunyi. Kosong, melayang dia di atas kereta

perang, mengutuki sebuah perbuatan yang hanya karena terbakar nafsu, melumatkan

segalanya. "Kau akan membunuh ayahnya..." ucapan Wilutomo mengiang di telinganya.

Page 103: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

103

"Untuk apakah semua ini, suamiku?" bisikan pertanyaan Wilutomo kembali mengiang

di telinga Dorna. "Aku minta jawaban yang jujur darimu, karena kau adalah guru kedua belah

pihak yang bermusuhan..."

Dorna terdiam.

"Bukankah ini semua karena keangkuhan orang-orang sepertimu, yang

mengatasnamakan harga diri, lalu dengan mudah mencabut pedang?"

"Kau tahu apa soal perang? Akulah guru perang. Akulah yang paling tahu, bahwa

peperangan memang diperlukan."

"Siapakah yang memerlukan peperangan?"

"Bumi ini!"

"Aku tidak mengerti."

"Bumi membutuhkan siraman darah untuk menyuburkan dirinya dan itu untuk

menumbuhkan kehidupan baru..."

"Maafkan aku, bila kepalaku hanya berisi kebodohan. Sebagai orang bijak, maukah kau

menjelaskannya dengan bahasa yang bisa kupahami?"

Dorna terdiam lagi. Dan terdiam untuk waktu yang lama.

Tak ada jawaban, karena berarti akan ada dusta baru lagi.

Kematian Abimanyu membuat Arjuna tak terbendung. Meskipun putra mahkota kaum

Kurawa, Raden Lesmana, juga mati di tangan Abimanyu, itu tak cukup bagi Arjuna. Di lain

pihak Prabu Duryudana, raja kaum Kurawa, menjadi naik pitam. Hukum peperangan pun

dilanggar. Kematian kian menderas membasahi bumi yang seolah tersenyum menerima tubuh-

tubuh bergelimpangan.

Gatotkaca mati di tangan Adipati Karna. Lalu entah siapa lagi dan siapa lagi. Karna

mati di tangan Arjuna. Dorna kian tua menatap semuanya. Dia mencoba menata jiwanya.

Maka medan perang pun terobrak-abrik oleh amukan resi tua yang dahsyat itu.

Pedangnya, panahnya, semuanya meminta nyawa. Sementara tubuh renta yang seolah hanya

tulang terbalut kulit itu, seakan tak terjamah senjata. Panah seakan kuntum mawar yang

dilontarkan penari cantik, bagi Dorna. Arjuna enggan melawan gurunya. Bima hanya

menggeram, dan agaknya masih larut dalam kepedihan atas kepergian anaknya.

Tak ada lain, hanya Yudistira yang harus menghadapinya.

"Hanya Yudistira yang mampu menaklukkan Resi Dorna..." ucap Kresna ketika

mengatur siasat perang. Karena tak ada pertanyaan, Kresna pun melanjutkan, "... karena hanya

Yudistira yang akan didengar pendapatnya oleh Dorna...

Page 104: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

104

Tenda kian mencekam, karena tak seorang pun mengerti maksud Kresna. Lelaki

berkulit hitam dan selalu tersenyum memandang masa depan itu, kemudian menjelaskan

strateginya kepada Pandawa. "Dorna akan lebih paham apa yang diucapkan Wilutomo… ya,

dia akan benar-benar paham arti ucapan itu...," tambah Kresna sambil menatap suatu tempat

nun jauh entah di mana.

Pedang berkelebat, darah membesut membasahi bumi. Teriakan dan lolongan

bersahutan dan di langit ratusan burung bangkai melayang-layang berkaok-kaok siap berpesta

pora. Resi Dorna menumbangkan kehidupan, dia mengamuk seakan mencari kematiannya

sendiri. Anehnya, saat itu, kematian justru terbirit-birit dikejar kelebatan pedang Dorna.

Angin berkhianat, mengapa pula membawa nama itu "Aswatama mati...!" Nama itu,

nama anaknya, yang juga berperang di sisi lain medan pertempuran. Di selatan, angin

membawa nama itu sampai di telinganya. Kemudian dari barat, angin pun membawa berita itu

kepadanya. Dorna seperti lumpuh. Namun, tangannya masih haus darah.

"Yudistiraaa... di mana kau?" teriaknya lantang.

Kereta perangnya terhenti, tepat di depan kereta perang Yudistira. Di hadapan

Yudistira, Dorna seakan menyaksikan alam yang begitu permai, sejuk dan mendamaikan

hatinya. Perlahan Dorna turun dari kereta, demikian pula Yudistira yang maju tanpa

menggunakan senjata. Dorna pun membuang pedangnya ke tanah, mereka saling mendekat.

Dorna memeluk raja yang terkenal jujur dan bijaksana itu.

"Benarkah Aswatama mati?" bisiknya dengan suara parau.

Yudistira memeluknya erat, terdiam beberapa saat.

"Katakan padaku, wahai Yudistira. Katakan, wahai kejujuran, katakan bahwa benar

Aswatama, anakku telah mati."

"Benar. Aswatama telah mati," jawab Yudistira pendek. Langit gelap oleh duka cita.

Dorna gemetar melepas pelukannya. Matanya basah menatap Yudistira. Yudistira

menunduk. Bibirnya gemetar.

"Mengapa guruku menangisi kematian? Bukankah guru mengajarkan kepada kami

bahwa setiap nyawa yang mati di medan laga adalah sekuntum kemuliaan bagi alam..." ucap

Yudistira seolah tertelan keriuhan sorak-sorai pembantaian manusia.

Air mata Dorna menderas. Tubuhnya seakan melayang tak menapak bumi. Dia undur

beberapa langkah menjauhi Yudistira. "Kaulah kejujuran itu, Yudistira. Hanya kaulah yang

kupercaya. Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan,

yang kusesali. Apa lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan

dusta? Oh, Yudistira, Yudistira.. tak ada lagi yang bisa kupercaya. Dunia pun bahkan tak punya

Page 105: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

105

pegangan lagi dalam berputar, karena kejujuran telah mendustainya."

Senja merah tutun menyelimuti jenazah mahaguru Dorna. Tak satu pun bibir mampu berucap.

Hanya dupa mengiringkan kepergiannya menuju alam kebebasan yang sejati.

Senja itu, sesuatu telah terjadi dan tak akan pernah bisa diperbaiki.***

Kepada Ki Manteb Soedharsono, selamat mementaskan Dorna Gugur

Chantia Building, lt.2

Maaf Kalau... (gambar 18)

Kalau saja, ya, kalau saja kami mau memikirkannya, tentu tak akan begini jadinya. Jika

saja kami mau memikirkan bahwa matahari tidak hanya satu, bulan bukan cuma yang kita

saksikan, dan lembah tempat kita hidup ini bukan hanya ini... tentu kejadian seperti ini tak akan

pernah terjadi.

Aku melihat bahwa kami semua hanyalah sekelompok manusia berkacamata kuda.

Kuda yang hanya patuh pada cambuk dan tali kekang. Kuda yang hanya tunduk pada perintah

kusir, serta gembira ketika menerima seember dedak dan seikat rumput setiap kali berhenti di

sebuah tempat. Entah apa yang sebenarnya kami pikirkan tentang hidup ini, sehingga apa yang

kami saksikan di depan mata itu sajalah yang dapat disebut kehidupan?

Hidup kami hanya dibatasi oleh terbit dan tenggelamnya matahari. Hanya dengan satu

komando, kami bergerak dan juga hanya dengan satu komando kami berhenti. Hidup hanya

dari upah ke upah. Hidup hanya dari kelelahan yang satu menuju pada kelelahan yang

berikutnya. Nyaris tanpa variasi. Nyaris tanpa keriangan. Kalaupun ada yang kami sebut

keriangan, mungkin sesekali tercipta gelak tawa di meja judi di akhir bulan.

Kalau saja, ya, kalau saja kami mau menggunakan akal dan nurani kami sedikit saja

untuk memahami mengapa bayi yang dilahirkan Sripah begitu adanya, tentu bayi itu masih

hidup sampai saat ini. Ah, terlalu cepat mungkin aku menceritakan keadaan kami. Maaf.

Tetapi, itulah yang terjadi pada kami. Aku tidak mengerti dengan alasan apa aku

menuliskan suratku ini kepadamu. Karena, begitu mereka mengetahui bahwa ini semua karena

aku, artinya aku menghadapi sebilah golok yang akan mengerat leherku. Tetapi, itulah yang

ingin kulakukan. Aku tak ingin ini semua berakhir seperti ini. Tidak. Aku ingin pada suatu kali,

entah kapan, kau bisa mengatakan hal sebenarnya tentang kami.

Page 106: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

106

Terus terang, aku menyesali perbuatan terkutuk itu, yang kami lakukan bersama-sama

atas bayi itu. Tak bisa kubayangkan seumur hidupku, aku telah ikut membunuh bayi suci,

mungil menawan hati itu, hanya karena di punggungnya tumbuh sepasang sayap putih.

Sebentar, aku terlalu jauh lagi melompat-lompat.

Setahun yang lalu, desa kami mendapat tambahan warga baru. Warga baru itu adalah

sesosok bayi yang dilahirkan oleh seorang wanita yang kami kenal dengan nama Sripah. Entah

mengapa dia bernama demikian, aku tak tahu pasti. Yang aku tahu, dia adalah seorang janda

muda. Dia menjanda setelah ditinggal pergi suaminya, entah ke mana dan entah mengapa.

Tahu-tahu aku dengar kabar bahwa dia sudah menjadi janda.

Beberapa bulan setelah suaminya pergi, aku mendengar kabar bahwa dia hamil. Yang

menyampaikannya padaku entah siapa. Pokoknya aku mendengar kabar dia hamil. Jelas, kabar

itu menjadi gunjingan orang sekampung, namun Sripah agaknya tak ambil pusing.

Tiap hari kami amati perutnya kian membesar. Bahkan, ada yang mengatakan

kemungkinan bayinya kembar. Lalu, ada yang membantah bahwa mustahil kembar karena

suami Sripah—kata yang membantah itu—bukan dari keluarga yang memiliki "bakat" kembar.

Mungkin Sripah sendiri memiliki "bakat" kembar, begitu kata yang lain, tetapi yang juga

dibantah dengan alasan yang sama.

Aku sendiri sebetulnya tak ambil peduli. Mau berasal dari keluarga kembar atau tidak,

atau apakah betul bayinya kembar atau tidak, benar-benar aku tak peduli.

"Lo, sampean, kan, orang sekolahan. Sampean, kan, orang pinter… masa sampean

tidak peduli pada lingkungan sampean?" begitu protes seseorang pada saya.

"Sripah itu siapa? Saya kenal pun tidak. Sampean kenal dia?" jawab saya agak jengkel.

"Tidak."

"Terus, seandainya bayinya kembar... mau apa, coba?" desak saya.

"Artinya, dia hamil bukan dengan suaminya...," jawabnya ringan.

"Terus kenapa?"

"Lo, kok, terus kenapa... Ya..., harus diusut mengapa dia bisa hamil, padahal dia sudah

tidak bersuami lagi...."

"Apa betul begitu? Jangan-jangan sebetulnya dia sedang hamil muda ketika suaminya

minggat...."

"Pokoknya harus diselidiki, jangan seperti inilah keadaannya...."

Aku diam. Sulit melawan manusia berotak bata merah ini.

Untuk apa pula kehidupan pribadi manusia diselidiki seperti itu. Terus, seandainya dia

sudah tahu semuanya, mau apa?

Page 107: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

107

Nah, pada hari kelahiran si bayi, kami semua bertandang ke rumah Sripah. Ternyata,

bayi Sripah tidak kembar. Begitu menyaksikan sendiri bahwa yang ada di dalam kandungan

Sripah tidak kembar, aku sengaja memerhatikan wajah-wajah yang dulu pernah bertaruh dan

saling bantah. Seperti kau duga: tak ada apa-apa, seolah kejadian tempo hari itu lenyap

diembus angin.

Bayi merah itu lahir lewat bantuan Mak Ginah, si dukun bayi.

"Mirip angsa…," bisik salah seorang di antara kami.

"Mungkinkah dia anak jin?" gumam yang lain.

Namun, itu semua tidak pernah membuat kami berpikir ke arah lain. Seakan-akan

"keanehan" ini, yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kami ini, adalah kesalahan alam dan

bukan sesuatu yang lain. Yang aku kian tidak mengerti, mengapa kami begitu cepat

menyimpulkan tanpa pernah benar-benar merenungkannya dengan sepenuh hati. Lantas dengan

kesimpulan itu, kami sepakat harus melenyapkan makhluk tanpa dosa itu dari kehidupan kami.

Itu yang tak bisa kumengerti.

Pernahkah kami berpikir siapakah Sripah yang selama ini kami kenal? Kami cuma

mengenalnya sebagai perempuan nakal yang hidupnya selalu berselimutkan kelam malam,

entah bersama siapa. Seorang perempuan sintal, dengan gelak tawanya yang memecahkan

berahi lelaki. Seorang perempuan dua puluh tahunan yang jika mandi di kali tak pernah

menggunakan kain penutup dan membiarkan angin membelai seluruh permukaan tubuhnya.

Kami semua, para lelaki dusun ini, rasanya, pernah menyaksikan keindahan tubuhnya dari

balik semak-semak. Bukankah dia juga tumbuh dalam diri kami, sejak kami kanak-kanak dulu?

Sripah si pelacur telah melahirkan bayi bersayap. Yang menurut kami mirip angsa, atau

makhluk bukan manusia. Yang menurut kami, karena berbeda dari kami, maka wajib

dilenyapkan. Yang menurut kami, karena tak sama dengan kami, wajib disingkirkan

keberadaannya dari muka bumi ini. Dan anehnya, pendapat itu, muncul bersamaan dengan

kutipan kalimat suci bahwa Tuhan tak pernah membedakan makhluknya kecuali pada

kesungguhan makhluk tersebut mengabdi kepada-Nya. Aku tak mengerti mengapa kami hanya

bersembunyi di balik kalimat suci, tanpa sepenuhnya menyadari kesuciannya.

Setiap kali kupikirkan perbuatan kami, wajah mungil suci bagai malaikat itu

membayang di pelupuk mataku. Matanya yang masih terpejam, rambutnya yang ikal hitam,

serta senyum kecil yang kadang melintas di bibirnya yang mungil itu, selalu membuatku

menangis. Siapakah kau bayi mungil bersayap? Apakah kau dilahirkan sebagai sebuah

peringatan kepada kami, yang dengan sengaja membunuh anugerah ilahi? Apakah kau lahir

Page 108: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

108

sebagai anugerah itu sendiri? Atau sebaliknya, kau lahir sebagai cambuk hukuman atas

kebodohan yang terpelihara rapi di kehidupan kami?

Oh, makhluk mungil nan suci, kubayangkan sayap putihmu mengepak perlahan

mengitari kampung. Lalu dengan celoteh mungilmu, kau sapa pintu-pintu rumah kami dengan

kesejukan senyummu. Kubayangkan bola matamu sebening telaga, berbinar meluluhkan

keangkuhan hati manusia. Sayap putihmu akan membelai-belai kelelahan kami, sehingga kami

dapat benar-benar terlelap dan enggan terjaga kembali.

Maaf, aku ngelantur lagi dan melompat-lompat lagi.

Ya, sungguh sebuah pukulan dahsyat bagi jiwaku. Itulah mungkin yang membuat

pikiranku selalu meloncat-loncat. Maafkan jika suratku ini tak beraturan, karena peristiwa itu

benar-benar menggangguku.

Lahirnya bayi Sripah, yang kemudian kami ambil dan beberapa saat kemudian kami

bunuh, sungguh sesuatu yang berada di luar nalarku. Aku menyesali diri karena tak mampu

mencegah. Aku mengutuki diri karena mengikuti pikiran manusia berotak dengkul ini.

Tetapi, wajahnya jernih, mirip boneka mainan anakku. Sepasang sayap putih yang

masih tertangkup di punggungnya itu benar-benar indah. Layaknya, bayi itu adalah jelmaan

malaikat. Ah, mungkin kau menganggapku gila. Aku tak keberatan jika kau tuduh gila, karena

memang apa yang kulihat adalah sesuatu yang di luar kemampuan kerja nalar manusia. (Ah,

maaf, jika aku berani membawa-bawa nalar dalam percakapan ini).

Tahukah kau ketika sepasang tanganku ini mulai mencabut hak hidup bayi merah yang

bahkan tak menangis itu? Ah, tidak, sebaiknya tidak usah kuceritakan, karena aku yakin kau

bisa membayangkan betapa sebuah kekejaman begitu saja lahir tanpa sebab yang jelas. Namun,

yang lebih membuatku mual adalah, begitu bayi itu tak bernapas lagi, mereka—orang-orang

itu, bersorak girang, layaknya pendukung kesebelasan yang menang pertandingan. Mereka

bahkan ada yang bertangisan bahagia. Bahagia!

Aku, sejak itu, tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, rasanya, aku tak mampu berpikir apa-

apa. Sering kali, aku tiba-tiba mendapati diriku tengah meraung-raung tak keruan di tengah

ladang kering. Atau, tiba-tiba kusadari bahwa mulutku penuh jerami, karena telah memakannya

sesaat sebelum kesadaranku kembali tadi.

Aku dikejar-kejar pertanyaan: mengapakah perbedaan ini harus berakhir dengan

kematian? Apa salahnya seorang manusia memiliki sepasang sayap? Bukankah, apa pun yang

ada di dunia ini tercipta atas kehendak Sang Maha Pencipta? Ya, apa salahnya? Bukankah di

sekitar kita ini begitu banyak manusia yang memiliki tanduk, tak ubahnya sapi atau kerbau?

Juga, bukankah sangat banyak, kian banyak malah orang-orang yang di sekitar kita—mungkin

Page 109: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

109

juga keluarga atau sanak famili kita sendiri, yang bertaring layaknya harimau, ular atau babi

rusa?

Aku tiba-tiba seperti hidup di dunia yang asing sekali. Tahukah kau, kawan, rumahku

hanyalah sebuah rumah kecil biasa. Dengan pintu dari kayu meranti. Tak ada halaman yang

berarti, hanya sedikit lebih lebar dari sebuah kursi. Pagarnya pun hanyalah beluntas dengan

hiasan sulur-sulur tali putri. Kadang aku meremas daun-daun beluntas itu lalu menghirup

kesegaran aromanya. Tetapi, sejak peristiwa itu, aku jadi tak mengenali lagi di mana kau

berada. Maksudku, aku memang masih tahu bahwa itu rumahku, lengkap dengan bagian-

bagiannya, namun ada yang terasa aneh, asing dan... terus terang agak menakutkan.

Apalagi kalau aku harus bercermin... ah, aku seperti menyaksikan sesuatu yang

mengerikan. Ya, sejak saat itu, aku seperti tidak melihat di mana seraut wajah yang sejak kecil

kukenal itu. Ah, kalau saja, ya, kalau saja saat itu kau segera membalas suratku, apalagi mau

datang kemari, tentunya semuanya tak berlarut-larut seperti ini.

Sejarah Penerbitan

1. Anjing belum pernah dipublikasikan

2. Bom belum pernah dipublikasikan

3. Kambing belum pernah dipublikasikan

4. Nam-ma, Namamu… belum pernah dipublikasikan

5. Penyair dan Ular belum pernah dipublikasikan

6. Randu belum pernah dipublikasikan

7. Baterai belum pernah dipublikasikan

8. Wayang belum pernah dipublikasikan

9. Di Taman Kota Singapura Matra

10. Saya, Anjing Matra

11. Kuda Kayu Bersayap www. Cybersastra. net

12. Si Rambut Panjang Itu Lisa

13. Umairah Kompas, 6 Februari 2000

14. Kapan Pulang? Suara Pembaruan, 10 Mei 2003

15. Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya Kompas, 6 Januari 2003

16. Lho Nova, 3 Mei 2003

Page 110: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

110

17. Dusta Itu Suara Merdeka, 19 Januari 2003

18. Maaf Kalau Media Indonesia, 29 Juni 2003

Tentang Penulis

(Foto Penulis)

Yanusa Nugroho lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. SD di YMCA Surabaya, hanya sampai

kelas 4, lalu pindah ke Palembang hingga selesai, 1973, di SD Methodist II. Tahun 1975

melanjutkan ke SMPN I Sidoarjo-Jawa Timur, hingga selesai tahun 1977. Kemudian

melanjutkan SMA di SMA N 43, Jakarta, hingga selesai tahun 1980. Pernah duduk di IPB tapi

drop out, lalu melompat ke Fakultas Sastra UI dan selesai tahun 1989.

Sejak 1988 sampai 1991 duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI. Pertengahan

1991 mencoba menjadi copywriter di Adwork Advertising. Namun, 18 bulan kemudian

mencoba ke Indo-Ad, dan ternyata bertahan sampai 1998 dengan jabatan terakhir Senior

Copywriter.

Sampai saat ini masih tetap menulis cerpen, membuat company profile (baik buku maupun

film) dsb, yang masih berkaitan dengan dunia iklan. Kini, tinggal di Bukit Nusa Indah, Ciputat

bersama istri dan 2 anaknya (Ratri, 11 tahun dan Rahmadi, 5 tahun).

Ketertarikannya yang kuat di bidang seni pewayangan, khususnya wayang kulit,

membawanya berkenalan akrab dengan Ki Manteb Soedharsono dan berhasil membuat VCD

wayang kulit berdurasi 90 menit. VCD pertamanya Dewa Ruci sudah terjual ke Jepang dan

Amerika. Bahkan, menjadi bahan studi di Departemen Teater & Film, Universitas Glasgow,

Inggris. Konsep pertunjukan wayang kulit televisinya, KALASINEMA, sempat tampil di

stasiun televisi swasta.

Yanusa pernah menjadi salah satu pemenang untuk lomba ”Kolom Ayah” dan ”Surat” di

majalah Ayah Bunda, sedangkan ”Loly” dan ”Dinar” menjadi salah satu pemenang dalam

lomba cerita anak-anak di majalah yang sama. Pernah membuat 7 dari 13 skenario film

animasi untuk cerita anak-anak, Dongeng untuk Aku dan Kau bersama Red Rocket, Bandung.

Pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland, untuk cerpennya ”Kunang-

Kunang Kuning” (1987). Sebagian besar cerpen-cerpennya yang sudah dibukukan adalah

”Bulan Bugil Bulat”, ”Cerita di Daun Tal Menggenggam Petir”, dan yang keempat ”Segulung

Page 111: Kuda Kayu Bersayap - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/Kuda...Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah

111

Cerita Tua”. Novelnya yang diangkat dari dunia pewayangan Di Batas Angin, baru-baru ini

diluncurkan, menyusul kemudian Manyura, novel kedua, juga dari dunia pewayangan.

Salah satu cerpennya ”Segulung Cerita Tua” setelah dimuat di Kompas Minggu (tahun

1998) dinyatakan ”tidak pernah dimuat” oleh Kompas, karena diprotes pembaca. Uniknya,

kumpulan cerpennya yang ke-4, diterbitkan oleh Penerbit KOMPAS, menggunakan judul

kumpulan Segulung Cerita Tua, dan sempat menjadi nominasi Khatulistiwa Award th. 2002.