42
Kompas, 17 September 2014 Jangan Mempermainkan Pendidikan Oleh: Daoed JOESOEF Menjelang pembentukan kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla tercetus aneka ide spekulatif tentang berbagai bidang kehidupan. Sejauh menyinggung pendidikan, ada kehendak memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan pertimbangan tertentu. Mengenai kehendak itu, izinkan saya mengingatkan: wahai, jangan main-main dengan pendidikan. Melalui pendidikan, yang kita pertaruhkan adalah masa depan Indonesia melalui ketepatan fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak- anak kita. Jangan jadikan mereka kelinci percobaan aneka ide politis bertopeng pedagogis. Risikonya terlalu besar, bahkan fatal, bagi eksistensi negara-bangsa kita. Usaha membangun satu sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan how should we live atau what kind of educated people do we want our citizens to be? Kedua pertanyaan itu pada gilirannya merupakan respons kreatif terhadap tantangan masa depan seperti apa yang seharusnya kita bangun guna mampu sintas di tengah gejolak dunia mendatang yang serba kompleks. Manusia terdidik Pada hemat saya, kita diniscayakan membangun sistem pendidikan nasional yang dapat menghasilkan (1) satu tipe manusia terdidik ideal (atau fungsional) di tengah-tengah tantangan dan ancaman ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) abad XX1, (2) sejenis berpikir melebihi (transendental) berpikir sekadar terpuji di zaman iptek abad XX dan sebelumnya. Maka, tipe ideal dari manusia terdidik untuk abad XX1 dan selanjutnya adalah manusia yang mampu mengubah (mengolah/mengembangkan) informasi jadi pengetahuan, pengetahuan jadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan jadi kearifan, baik kearifan praktis maupun teoretis.

Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

macam artikel dari kompas

Citation preview

Page 1: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 17 September 2014

Jangan Mempermainkan PendidikanOleh: Daoed JOESOEF

Menjelang pembentukan kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla tercetus aneka ide spekulatif tentang berbagai bidang kehidupan. Sejauh menyinggung pendidikan, ada kehendak memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan pertimbangan tertentu.

Mengenai kehendak itu, izinkan saya mengingatkan: wahai, jangan main-main dengan pendidikan. Melalui pendidikan, yang kita pertaruhkan adalah masa depan Indonesia melalui ketepatan fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak- anak kita. Jangan jadikan mereka kelinci percobaan aneka ide politis bertopeng pedagogis. Risikonya terlalu besar, bahkan fatal, bagi eksistensi negara-bangsa kita.

Usaha membangun satu sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan how should we live atau what kind of educated people do we want our citizens to be? Kedua pertanyaan itu pada gilirannya merupakan respons kreatif terhadap tantangan masa depan seperti apa yang seharusnya kita bangun guna mampu sintas di tengah gejolak dunia mendatang yang serba kompleks.

Manusia terdidik

Pada hemat saya, kita diniscayakan membangun sistem pendidikan nasional yang dapat menghasilkan (1) satu tipe manusia terdidik ideal (atau fungsional) di tengah-tengah tantangan dan ancaman ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) abad XX1, (2) sejenis berpikir melebihi (transendental) berpikir sekadar terpuji di zaman iptek abad XX dan sebelumnya.

Maka, tipe ideal dari manusia terdidik untuk abad XX1 dan selanjutnya adalah manusia yang mampu mengubah (mengolah/mengembangkan) informasi jadi pengetahuan, pengetahuan jadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan jadi kearifan, baik kearifan praktis maupun teoretis.

Yang dimaksud dengan ”berpikir lebih” adalah bukan sekadar (a) punya opini atau pengertian tentang apa saja; (b) memiliki ide mengenai sesuatu atau keadaan tertentu; (c) rasiosinasi, yaitu pengembangan serangkaian premis yang menjurus ke arah satu kesimpulan absah; atau (d) berpikir par excellence (konseptual, analitis, dan sistematis) sebagaimana menurut pemikir rasionalis.

Berpikir seperti yang disebutkan dalam poin (a)-(d) tak berarti tidak efektif untuk menghasilkan buah pikiran yang serba praktis/berguna atau membantu memecahkan aneka masalah kondisional, termasuk menyempurnakan kemampuan bertindak dalam memecahkan teka-teki dan rahasia alam. Adapun ”berpikir lebih” daripada sekadar yang disebut dari (a) sampai dengan (d) tadi lebih merupakan sikap hidup berupa suatu respons dari pihak yang berpikir terhadap panggilan yang datang dari the nature of things—dari hidup, kehidupan, dan keber-Ada-an (Being) itu sendiri. Artinya, ”berpikir” itu ditentukan sekaligus oleh apa-apa yang harus dipikirkan dan oleh sang pemikir itu sendiri.

Perbuatan berpikir itu melibatkan tidak hanya penerimaan manusia terhadap yang Ada, tetapi juga penerimaan yang Ada terhadap manusia. Jadi, kemampuan berpikir tidak seluruhnya bergantung pada

Page 2: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

kemauan dan kehendak kita meski banyak ditentukan kesiapan kita menangkap panggilan berpikir saat panggilan itu terdengar mengajak kita memberi respons yang relevan.

Dengan kata lain, ”berpikir lebih” seperti ini dalam dirinya berupa suatu kesadaran tentang siapa kita sebagai makhluk manusia dan ketergolongan kita pada makhluk itu. Berpikir seperti ini juga merupakan suatu pemusatan keseluruhan diri kita pada apa-apa yang ada di depan kita dan menempatkannya dalam keseluruhan nalar dan hati agar bisa menemukan di dalam semua itu hakikat serta kebenarannya.

Bila demikian ”berpikir lebih” itu, pertama harus bersifat reseptif: kita membuka diri mendengarkan tantangan yang ada, mendengarkan apa adanya. Kemudian, secara aktif memberikan respons yang bersifat menyeluruh: kita bersedia melihat kaitan-kaitan yang ada.

Walaupun kita berada di titik yang lain, kita sadar merupakan bagian dari suatu keseluruhan. Bumi adalah an indivisible whole, sama dengan setiap diri kita yang merupakan juga suatu keseluruhan yang tidak terbagi-bagi. Alam di mana kita tergolong tidak terbuat dari bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan. Ia terbentuk oleh keseluruhan dalam keseluruhan. Inilah filosofi dasar berpikir sistematik, inti berpikir yang mencerahkan, yang diamanatkan Pancasila.

Jadi, ”berpikir lebih” itu tidak hanya berpikir secara ilmiah, yaitu dari (a)-(d) tadi, tetapi lebih luas dan transenden, berpikir reseptif, aktif, dan holistik. ”Berpikir lebih” ini, bila dibiasakan, dapat sangat membantu kita kalau kita memang berkemampuan baik, mengembangkan Pancasila menjadi satu applied political and social moralities demi kesehatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di zaman iptek abad XXI dan selanjutnya.

Bagian integral

Sejauh mengenai sistem pendidikan nasional yang ideal bagi hidup dan kehidupan sekarang dan mendatang, yaitu sistem yang dapat menghasilkan ”manusia terdidik” ideal dan kebiasaan ”berpikir lebih” yang juga ideal, adalah pendidikan yang tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan (sistem nilai). Berarti ia suatu proses belajar-mengajar yang membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mengenal, memahami, menguasai, menghayati, dan mengamalkan nilai yang disepakati bersama sebagai terpuji, dikehendaki, dan berguna bagi kehidupan dan perkembangan diri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Nilai adalah genus dan salah satu spesies vital yang dicakupnya dalam proses pendidikan adalah semangat ilmiah. Dengan kata lain, pendidikan yang kita bina dan laksanakan lebih berupa suatu pencarian ketimbang sebagai suatu keadaan keberadaan (state of being). Maka, itu ada ide pendidikan sepanjang hayat, life long education, in order to be more, tidak puas dengan sekadar to have more, di tengah-tengah kehidupan universal yang terus menerus menyempurnakan diri.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati. Mengaitkannya dengan pendidikan tidak berarti membonsaikannya. Dengan membuat pendidikan bagian integral dari kebudayaan, bukan bermaksud membebani kebudayaan demi membesarkan pendidikan. Justru pendidikan inilah, selaku usaha resmi, kegiatan informal (familly education) dan aksi nonformal (community education) yang mengolah dan mentransmisikan nilai-nilai yang memanusiawikan manusia.

Nilai ini ada yang berwujud benda—candi, rumah adat, serta bangunan keagamaan dan bersejarah; ada yang tidak berbentuk: ide vital, norma, adat-istiadat, ketuhanan, kawruh, pengetahuan, ilmu pengetahuan, skills, yang diperlukan orang untuk bisa imajinatif, jadi Homo poeta, makhluk pencipta makna dan nilai.

Pewayangan yang dikenal di Jawa sejak tahun saka 700 (778 M), yang ditanggap keluarga (perhelatan pribadi), digelar komunitas (hajatan desa) adalah pola pendidikan informal pada era tidak adanya pendidikan formal, diakui Dr Stutterheim, sarat dengan makna dan pesan serta tetap aktual bagi pengembangan (karakter) manusia di setiap generasi dari zaman ke zaman.

Page 3: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Apakah kita bisa bicara tentang scientific culture? Istilah ini berlebihan dan menyesatkan jika implikasinya, moral dan politik, antara lain, scientific progress, tidak kita renungi sungguh-sungguh. Mengenai inovasi teknologis, misalnya, siapa yang dilayaninya dan untuk apa?

Lembaga pendidikan, terutama di jenjang universiter, merupakan tempat merenungi makna kebudayaan pada era teknologi modern. Bukan kebetulan kalau pada era modern, ketika pendidikan formal telah berkembang, sang ilmuwan Einstein bahkan masih mengingatkan betapa penting siswa memahami dan menghayati nilai. Dia harus mendapatkan suatu makna distingtif tentang apa-apa yang indah dan baik menurut moral. Bila tidak, dia dengan pengetahuannya yang serba spesialistis lebih mirip a well-trained dog ketimbang a harmoniously developed person. Bisa begitu karena nilai yang dihayati sangat menentukan karakter.

Jadi, kebijakan mengaitkan pendidikan dan kebudayaan telah membuat kedua jenis kegiatan itu tidak mengambang, tidak bergerak dalam vakum. Kebijakan itu malah mengukuhkan keduanya dalam konteks keuniversalan sebab yang universal itu bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas kultural dan kemudian berperilaku term itu.

Merupakan satu keniscayaan bahwa urusan pendidikan dan kebudayaan ditetapkan di bawah satu atap menjadi tanggung jawab seorang menteri. Demikian pula dengan proses pendidikan itu sendiri sebab ia merupakan satu keseluruhan pedagogis yang berkesinambungan walau berjenjang, sejak pendidikan awal, yaitu prasekolah (TK/taman bermain), sampai dengan jenjang tertinggi (S-3). Dengan kata lain, Dikdasmen dan perguruan tinggi tidak dipisah, tidak dikelola oleh dua kementerian yang berbeda.

Ide tentang kebudayaan mengandung ide supremasi manusia terhadap warga negara. Manusia adalah manusia sebelum menjadi warga negara, tetapi dia mentransendenkan pula kualitas kewargaannya. Jadi, ada komplementaritas antara pendidikan dan sistem nilai yang dihayati.

Komplementaritas konstruktif ini menunjukkan bahwa penduduk tidak identik dengan warga negara. Penduduk hanya ”terlibat”, tetapi tidak merasa terikat, tidak mewajibkan diri. Maka, percuma berbicara ”bonus kependudukan” selama penduduk tidak berupa warga negara. Kewarganegaraan adalah suatu mindset ditempa oleh nilai-nilai (kebudayaan) selama dalam proses pendidikan, terutama di jalur formal dan informal. Jadi, jangan main-main dengan pendidikan!

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

Page 4: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 17 September 2014

Potret Guru IndonesiaOleh: Ifa H Misbach

PENELITI R Murray Thomas pernah berkontribusi melakukan penelitian pendidikan dari perspektif sosio-antropologis, yaitu The Prestige of Teachers in Indonesia”(1962). Kesimpulannya: guru Indonesia pada saat itu merupakan role model, panutan, istimewa yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Penelitian Thomas diuji kembali oleh Misbach (2013) untuk melihat apakah guru masih jadi panutan bagi siswa sepanjang dekade tahun 2000-2013? Sejak Ujian Nasional (UN) menjadi penentu kelulusan, 2004-2013, terjadi peningkatan jumlah oknum guru melakukan contek massal: lebih dari 1.300 kasus.

Di balik fakta demoralisasi perilaku ini, para guru sangat rentan mendapat tekanan politis menghasilkan kelulusan siswa 100 persen dari kepala sekolah, kepala dinas, bahkan kepala daerah. Belum juga pulih dari persoalan UN yang menjadi langganan dilema moral guru setiap tahun, pemerintah memaksakan berlakunya Kurikulum 2013.

Komisi X DPR menemukan fakta bahwa dokumen isi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tidak berbasis riset sulit dipahami di lapangan. Hal ini membuat semua guru yang dimintai pendapatnya menyatakan bingung melaksanakan Kurikulum 2013.

Namun, para guru menyatakan takut menyuarakan pendapatnya. Ini mencerminkan mental guru masih terjajah oleh ketakutan untuk melawan penindasan. Mampukah Indonesia pada tahun 2045 menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas, kritis, dan pemberani jika guru yang mereka jadikan panutan bersikap penakut, apatis, dan memilih diam agar selamat?

Kontradiksi revolusi mental

Isi Kurikulum 2013 menekankan pada kepatuhan yang  tidak memberi ruang kemerdekaan berpikir kritis kepada guru. Ini kontradiktif dengan tujuan mem- bentuk siswa kreatif. Pemaksaan buku Kurikulum 2013 yang isinya sama untuk semua wilayah di Indonesia jelas berlawanan dengan prinsip menghilangkan keseragaman dalam pendidikan karakter yang ingin diperbarui pemerintahan mendatang.

Argumen bahwa Kurikulum 2013 meringankan beban guru karena pusat yang membuatkan silabus merupakan langkah mundur dalam revolusi mental pendidikan. Asumsi ini menunjukkan betapa kaum elite di pusat tidak percaya bahwa guru mampu berpikir mandiri. Guru diposisikan sebagai pihak inferior.

Jika ditemukan fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang tidak dapat menyusun silabus, yang perlu dilakukan justru meningkatkan kualitas pelatihan recharging academic dari pemerintah. Jadi, bukan kurikulumnya yang serta-merta harus diganti, melainkan fokus pemerintah adalah memperbanyak program pemberdayaan guru agar memunculkan banyak kemandirian membuat silabus dan kurikulum.

Kita perlu mengevaluasi bagaimana keberhasilan metode pelatihan dan pendidikan guru yang telah terjadi. Belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan untuk melihat kualitas pelatihan dari pemerintah terhadap kualitas cara pengajaran guru di kelas. Pelatihan pendidikan karakter pada Kurikulum 2013 dilakukan hanya menekankan pada metode lecturing, hasilnya akan kembali mengecewakan. Karena karakter adalah doing, bukan knowing, sehingga metode pelatihan Kurikulum 2013 seharusnya adalah magang praktik langsung turun ke lapangan.

Ujian revolusi mental

Page 5: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Revolusi mental pemerintahan mendatang akan diuji sejauh mana komitmennya memperlakukan guru sebagai subyek merdeka. Revolusi mental bukan dimulai dengan tekanan agar guru patuh. Revolusi mental adalah revolusi perubahan mindset.

Terobosan revolusi mental harus dimulai dari membongkar mindset elitis pemegang kebijakan pendidikan agar memberikan trust bahwa guru mampu berdikari. Hilangkan kebijakan-kebijakan yang terus memasung guru menjadi tidak merdeka. Berikan kebebasan guru untuk memilih kurikulum mana yang cocok diterapkan di lapangan sesuai dengan konteks kekayaan lokal yang ada. Kemerdekaan guru juga harus dilepaskan dari aturan otonomi daerah di mana budaya feodal membuat nasib guru sebagai PNS ditentukan mutlak oleh kepala daerah dengan dasar suka dan tidak suka dalam melakukan mutasi.

Kembalikanlah martabat guru secara penuh. Karena di tangan karakter para guru yang berdikari akan membuat transformasi nilai-nilai karakter positif kepada siswa untuk mencontoh guru.  Inilah bonus penting posisi guru untuk membangun karakter generasi penerus bangsa.

Ifa H Misbach Psikolog; Ketua Bidang Penelitian, Psikologi Terapan Psikologi UPI, Bandung

Page 6: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 19 September 2014

Layu Sebelum BerkembangOleh: Febri Hendri AA

AWAL  September 2014, tiba-tiba Wakil Mendikbud beserta jajarannya mendatangi kantor Indonesia Corruption Watch di Jakarta Selatan.

Tujuan kedatangan, untuk berdiskusi dengan aktivis pendidikan terkait dengan implementasi Kurikulum 2013. Kurikulum baru ini sedang bermasalah karena buku tak kunjung sampai ke sekolah dan guru juga belum menguasai materi dan metode pengajaran baru. Diskusi berlangsung singkat dan menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Isu kritis

Berikut sebagian dari pertanyaan, klarifikasi, kritik, dan catatan atas Kurikulum 2013 yang belum mengemuka dalam diskusi. Pertama, Kurikulum 2013 menuai kontroversi sejak 2012. Muncul pertanyaan, mengapa harus mengganti kurikulum lama (Kurikulum 2006)? Pertanyaan ini muncul karena pemerintah tak punya rencana sedikit pun mengganti kurikulum. Sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah mengagendakan aksi terkait kurikulum berupa penataan dan penyempurnaan kurikulum yang ada. Perpres ini tak sedikit pun menyinggung aksi mengubah kurikulum.

Perubahan tiba-tiba ini memicu spekulasi adanya intervensi politik atas kurikulum ini. Spekulasi diperkuat oleh tak adanya dokumen riset, kajian, atau evaluasi mendalam dan komprehensif atas implementasi kurikulum yang sedang diberlakukan saat itu. Sampai kini, Kemdikbud belum mampu menunjukkan satu pun dokumen kajian dan evaluasi atas kelemahan dan kekuatan serta relevansi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kepada publik. Kalaupun ada evaluasi, hanya sebatas poin-poin yang dipresentasikan oleh pejabat Kemdikbud dalam berbagai sosialisasi Kurikulum 2013.

Perubahan kurikulum diduga juga sarat kepentingan pihak yang ingin dapat keuntungan dari penjualan buku. Perubahan kurikulum akan berdampak terhadap perubahan buku pegangan murid. Murid tak lagi dapat menggunakan buku yang digunakan murid tahun ajaran sebelumnya. Oleh karena itu, pengadaan buku menjadi lahan bagi berbagai pihak seperti birokrasi, politisi, broker, penerbit, sampai kepala sekolah untuk mendapat keuntungan.

Bagi birokrasi, perubahan kurikulum merupakan proyek baru dan tentu anggaran yang sangat besar. Kurikulum baru, misalnya, mensyaratkan pelatihan bagi guru yang jumlahnya dua juta lebih di seluruh Indonesia. Selain dana pelatihan guru, anggaran pembiayaan birokrasi untuk mendukung dan memfasilitasi pelatihan bagi guru juga cukup besar. Belum lagi biaya untuk menyusun konsep dan materi Kurikulum 2013 yang melibatkan berbagai ahli dan guru. Untuk 2014, anggaran yang tersedot untuk Kurikulum 2013 mencapai triliunan rupiah.

Kedua, Kemdikbud terkesan memaksakan Kurikulum 2013 melalui serangkaian uji publik dan sosialisasi di seluruh Indonesia. Ini menuai kritik dan penolakan luas dari kalangan masyarakat serta perguruan tinggi yang menilai substansi dan metode Kurikulum 2013 patut dipertanyakan. Kritik

Page 7: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

terutama ditujukan pada pendekatan integratif yang digunakan dalam kurikulum yang memadukan materi tentang spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.

Dalam pengetahuan memang dimungkinkan penyisipan materi tentang sikap dan karakter. Misalnya sikap jujur dikaitkan dengan pelajaran berhitung. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi soal berhitung dalam bentuk narasi yang di dalamnya murid mendapat pengetahuan tentang kejujuran. Namun, konsep dan kemampuan berhitung terkait kemampuan bernalar siswa tentu sulit diharapkan membentuk sikap dan perilaku anak. Kalaupun ada perubahan sikap dan perilaku anak, itu mungkin karena adanya penyisipan materi sikap sosial dan spiritual.

Masalah akan muncul ketika anak belajar tentang konsep pengetahuan lebih tinggi seperti pelajaran persamaan linier di tingkat SMA/SMK. Bagaimana mungkin mengetahui konsep dan persamaan linier matematika akan mengubah perilaku dan spiritual anak? Oleh karena itu, kurang tepat Kurikulum 2013 dinamakan sebagai kurikulum dengan pendekatan integratif. Lebih tepat jika dinamakan ”kurikulum sisip-sisipan”. Semua materi pelajaran disisipkan sehingga tiada lagi kejelasan dan fokus tentang apa yang sedang dipelajari siswa bersama guru di dalam atau di luar ruangan kelas.

Ketiga, perubahan tiba-tiba juga diikuti oleh ketidaksiapan pemerintah menyediakan infrastruktur implementasi kurikulum. Sampai kini masih banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas belum mendapat pelatihan Kurikulum 2013. Padahal, salah satu indikator keberhasilan kurikulum ini semua guru telah dilatih Kurikulum 2013 dan mampu mengimplementasikannya. Dari pemantauan ICW atas implementasi Kurikulum 2013 pada awal tahun pelajaran 2014/2015 di berbagai sekolah ditemukan bahwa guru cukup percaya diri menjalankan Kurikulum 2013. Namun, itu bukan karena pengaruh pelatihan kurikulum atau kurikulum ini sederhana, melainkan karena guru terbiasa mengelola kelas dan tidak terlalu memikirkan materi kurikulum terbaru.

Salah satu yang dikhawatirkan guru adalah metode penilaian siswa. Sebelumnya, nilai siswa diberikan dalam bentuk angka untuk setiap mata pelajaran. Saat ini siswa tak lagi dinilai dalam bentuk angka, tetapi penilaian narasi dengan empat kriteria: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Guru harus memberikan nilai narasi untuk empat kriteria untuk setiap siswa.

Jadi, jika guru—terutama guru SMP/MTs dan SMA/SMK/MA—mengelola enam kelas dan setiap kelas memiliki 35 murid, ia harus memberikan nilai narasi bagi 210 siswa. Hal ini menjadi masalah bagi guru karena menghafal ratusan nama siswa saja sulit, apalagi memberikan penilaian narasi murid satu per satu. Hampir dipastikan waktu interaksi guru habis untuk mengamati murid satu per satu sehingga fokus terhadap materi pelajaran kian berkurang. Apalagi guru juga disibukkan kegiatan lain seperti mengejar pemenuhan syarat sertifikasi.

Keempat, indikator keberhasilan lain Kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid dan guru di sekolah pada awal tahun pelajaran 2014/2015. Faktanya, murid dan guru sampai kini belum kunjung memegang buku Kurikulum 2013. Satu bulan tahun ajaran baru, buku masih dalam proses percetakan oleh penerbit. Berbagai pihak terkait pengadaan dan distribusi buku saling lempar tanggung jawab. Proses tender dipermasalahkan karena meloloskan penerbit berkapasitas cetak rendah sebagai pemenang tender. Perusahaan kecil bisa lolos tender karena panitia lelang kurang melakukan visitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya didasarkan penawaran terendah tanpa memperhatikan kapasitas produksi. Akibatnya, perusahaan tak mampu memproduksi buku yang menjadi kewajibannya dan mengalihkannya pada percetakan berkapasitas lebih besar.

Selain kapasitas produksi, kontrak payung pengadaan buku antara pemerintah dan penerbit juga bermasalah. Ketika penerbit gagal memenuhi kewajiban, pemerintah sulit menjatuhkan sanksi karena ini tak diatur dalam kontrak payung.

Di sisi lain, beberapa pihak menuding sekolah dan dinas pendidikan terlambat mengajukan permintaan buku serta pembayarannya. Kemdikbud menilai sekolah dan pemda kurang berinisiatif memesan buku kepada penerbit. Pesanan baru datang menjelang tahun ajaran baru sehingga penerbit tak punya waktu cukup menyelesaikan pencetakan dan pendistribusian buku. Akibat ketia-daan buku, murid dan orangtua murid berinisiatif mencari buku Kurikulum 2013 dengan berbagai cara. Mereka mengunduh buku melalui situs resmi Kemdikbud, menggandakan cetakan dokumen yang terdapat melalui cakram padat yang dikirim Kemdikbud ke sekolah, atau membeli melalui toko buku.

Page 8: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Orangtua harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan bahan itu. Sayangnya, biaya yang telah dikeluarkan ini tidak dapat dibayar oleh pihak sekolah.

Ketiadaan buku juga memicu pihak tertentu mengambil keuntungan. Buku Kurikulum 2013 seharusnya tidak untuk diperdagangkan, tetapi dijual bebas di berbagai tempat, terutama toko buku, secara terang-terangan. Harganya jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah pada penerbit. Label tak boleh diperdagangkan ditutupi. Sayangnya, belum ada upaya penegakan hukum atas penjualan buku ilegal ini. Buku Kurikulum 2013 juga sekali pakai sehingga tak efisien dan boros anggaran. Murid pada tahun ajaran berikutnya tak dapat menggunakan buku ini lagi. Berapa anggaran untuk pengadaan buku setiap tahun?

Kelima, Kurikulum 2013 diprediksi akan layu sebelum berkembang. Hal ini karena pemerintahan SBY-Boediono segera berakhir Oktober 2014, diikuti pergantian Mendikbud. Perubahan politik pemerintahan akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemdikbud terhadap Kurikulum 2013. Konsentrasi pejabat Kemdikbud akan terpecah antara tetap mendukung atau tidak atas implementasi kurikulum ini karena adanya kemungkinan rotasi dan mutasi pejabat.

Keberlangsungan implementasi kurikulum tematik integratif akhirnya akan ditentukan oleh pemerintah baru. Apakah pemerintah baru akan tetap melanjutkan kurikulum ini atau tidak, ditentukan relevansi dan kesesuaian antara kurikulum ini dan visi dan misi yang disampaikan saat kampanye pilpres. Presiden dan wakil presiden terpilih belum menyinggung sedikit pun soal Kurikulum 2013. Dalam kampanyenya, mereka selalu menyampaikan revolusi mental bagi bangsa Indonesia. Apakah kurikulum 2014 akan sejalan dengan revolusi mental yang digaungkan? Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab oleh pemerintah baru.

Rekomendasi

Kurikulum 2013 telah menuai kontroversi, penolakan luas, serta mengakibatkan kerugian bagi pemerintah dan publik, terutama orangtua dan murid. Negara dirugikan karena sejumlah penerbit tak dapat memenuhi target pencetakan dan distribusi buku. Kerugian kian meningkat jika pemerintah baru tak melanjutkan program ini. Anggaran Rp 6 triliun lebih telah dihabiskan guna membiayai penyusunan materi, pelatihan guru, pengadaan buku, pembayaran pengarang buku, serta pembiayaan birokrasi untuk menyusun dan mengimplementasikan kurikulum.

Orangtua dan murid juga dirugikan karena semrawutnya manajemen pemerintah dalam implementasi kurikulum ini. Orangtua telah mengalami kerugian materiil berupa pengeluaran sejumlah dana untuk menggandakan dan membeli buku Kurikulum 2013. Murid juga telah dirugikan secara imaterial karena belajar tanpa buku sehingga proses belajar tak optimal. Guna mencegah kerugian lebih lanjut, pemerintah baru mendatang wajib mengkaji dua kurikulum ini. Tujuannya untuk melihat kekuatan, kelemahan, relevansi, efektivitas, dan efisiensi setiap kurikulum. Kajian ini harus didasarkan pada fakta lapangan dan masukan dari ahli pendidikan, terutama ahli kurikulum. Kajian dan hasil evaluasi selanjutnya disampaikan kepada publik guna mendapatkan masukan lebih lanjut.

Setelah mengkaji dan mendengar masukan publik, terdapat tiga opsi bagi pemerintah baru. Pertama, Kurikulum 2013 dihentikan pada saat ini dan kembali menggunakan KTSP. Opsi ini cukup memungkinkan mengingat guru sudah terbiasa menjalankan kurikulum ini. Buku Kurikulum 2006 juga masih tersedia di sekolah dan dijual di sebagian toko buku. Kurikulum baru disusun berdasarkan riset atas kajian terhadap dua kurikulum tersebut dan langsung dimulai ketika kajian atas dua kurikulum selesai dilaksanakan.

Opsi kedua, Kurikulum 2013 tetap berjalan sampai maksimal dua tahun setelah berhasilnya disusun kurikulum baru berdasarkan sintesis atas dua kurikulum itu atau tidak sama sekali. Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum selesai dilaksanakan. Opsi ketiga, merevisi sebagian Kurikulum 2013, menyiapkan guru lebih matang, dan mencetak kembali buku berdasarkan hasil revisi. Opsi ini memang menimbulkan kerugian lebih kecil, tetapi permasalahan substansi kurikulum tidak akan berubah. Padahal, salah satu inti penolakan dan kritik adalah pada substansi dan metode pengajaran dalam Kurikulum 2013.

Page 9: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Akhirnya, semua ini bergantung pada pemerintah mendatang. Apakah melihat Kurikulum 2013 memang relevan terhadap kebutuhan bangsa Indonesia ke depan. Atau, apakah mereka tunduk pada keinginan elite politik dan birokrasi yang memiliki kepentingan besar atas dana pengadaan buku dan pelatihan guru.

Kesemrawutan kurikulum ini telah memberikan pelajaran berharga bagi pemimpin negeri ini untuk tidak sembarang mengubah kurikulum. Apalagi kalau mengubah didorong oleh motif kepentingan politik dan mencari keuntungan dari pengadaan buku. Pendidikan bukanlah sektor yang tepat untuk dua hal ini.

Febri Hendri AA Badan Pekerja ICW

Page 10: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 20 September 2014

Sandera Kurikulum 2013Oleh: Doni Koesoema A

PEMERINTAHAN  Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah pasti akan tersandera dengan Kurikulum 2013.

Pernyataan Hasto Kristiyanto, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, yang tidak berencana mengganti Kurikulum 2013 (Kompas, 10/9) merupakan indikator yang menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tak akan mampu melawan arus salah kaprah dalam implementasi Kurikulum 2013.

Ada skenario untuk mengarahkan isu persoalan Kurikulum 2013 menjadi sekadar persoalan teknis, ekonomis, dan politis sehingga betapapun karut-marutnya implementasi Kurikulum 2013, apa yang sudah dimulai harus tetap dilaksanakan.

Argumentasinya, implementasi bisa disempurnakan dengan berjalannya waktu, biaya yang sudah dikeluarkan untuk mencetak buku dan melatih guru sudah begitu besar, dan anggaran pendidikan 2014-2015 sudah didesain untuk melanjutkan Kurikulum 2013 yang sarat masalah. Bahkan, sudah mulai ada diseminasi ide bahwa Kurikulum 2013 sesuai dengan konsep revolusi mental Jokowi-JK.

Agamanisasi kurikulum

Argumentasi di atas melupakan persoalan fundamental yang sudah sejak awal dikritik oleh akademisi dan praktisi pendidikan, yaitu kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan kompetensi karakter. Kekacauan konseptual seperti ini tidak akan mungkin dibereskan dengan berjalannya waktu karena sistem pemikiran yang mendasarinya sudah salah sejak awal. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum.

Apabila Kurikulum 2013 terlahir untuk menjawab lemahnya pembentukan karakter siswa Indonesia dan gagalnya proses pendidikan yang sekadar mengajarkan pengetahuan kognitif tingkat rendah, atau memerangi metode pengajaran untuk tes yang selama ini jadi biang keladi rendahnya kualitas siswa kita, kekacauan dalam memahami dan mendesain Kompetensi Inti bisa menjadi penyebab kegagalan seluruh reformasi pendidikan.

Satu kekeliruan fundamental dalam Kurikulum 2013 adalah usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual), Kompetensi Inti 2 (sikap sosial), Kompetensi Inti 3 (pengetahuan), dan Kompetensi Inti 4 (keterampilan). Kompetensi Inti 3 dan 4 sesungguhnya sudah ada dalam kurikulum sebelumnya. Praktis tidak banyak perubahan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menilai kompetensi spiritual dan sosial dalam setiap mata pelajaran?

Penilaian kompetensi spiritual dalam Kurikulum 2013 sering kali ditandai indikator yang sangat ritualistik dan reduktif, seperti siswa berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran, atau indikator

Page 11: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

aneh, seperti siswa dapat bersyukur atas anugerah bahasa Indonesia. Bagaimana menilai rasa syukur seperti ini?

Rubrik penilaian untuk kompetensi sosial berupa sikap-sikap yang dinilai juga tak lepas dari sekadar amatan luar yang bisa jadi tidak mencerminkan laku sikap sesungguhnya dari siswa. Adanya tujuh komponen sikap yang dinilai dalam setiap proses tatap muka membuat proses pembelajaran menjadi berat dengan muatan proses penilaian ketimbang proses pengajaran.

Gambaran sederhananya seperti ini. Untuk dapat memberikan penilaian sikap terhadap seorang siswa dalam satu tatap muka, seorang guru harus menilai sikap siswa melalui lembar penilaian observasi, penilaian diri dan penilaian rekan sebaya.

Untuk lembar penilaian observasi, komponen sikap yang harus dinilai oleh guru adalah tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Guru harus mengamati tujuh sikap agar dapat mengisi setiap kolom penilaian. Apabila dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, berarti ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa. Mungkinkah guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka?

Persoalannya bukanlah apakah guru mampu atau tidak menilai sikap siswa. Akan tetapi, kecenderungan memasukkan penilaian spiritual dan sikap dalam setiap tatap muka melalui indikator-indikator yang tidak dapat dikuantifikasi inilah yang membuat proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya, yaitu akuisisi ilmu pengetahuan.

Ada dua kemungkinan sikap guru terkait proses penilaian sikap. Guru lebih mengutamakan proses pembelajaran untuk penguasaan materi pelajaran dan mengesampingkan proses penilaian spiritual dan sikap, atau jika ingin mengutamakan keduanya, akhirnya pendalaman materi pembelajaran yang terabaikan.

Banyak guru memilih mengutamakan pembelajaran ketimbang sibuk mengamati perilaku spiritual dan sosial siswa. Akibatnya, penilaian sikap spiritual dan sosial yang dianggap sebagai kekuatan Kurikulum 2013 hanya menjadi formalitas tanpa isi.

Sekadar jargon

Kegagalan reformasi pendidikan inilah yang kita saksikan hari-hari ini. Kekacauan dalam implementasi Kurikulum 2013 bukanlah semata-mata persoalan teknis, seperti masalah percetakan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan guru, melainkan karena pijakan teoretis-konseptual Kurikulum 2013 tidak kokoh dan secara praksis pun bermasalah. 

Akibatnya, pendidikan hanya menjadi bahan kampanye politisi, entah mengatasnamakan revolusi mental atau apa pun. Namun, ketika tiba waktunya untuk mengoreksi kekeliruan fundamental ini, mereka tak berani mengambil sikap. Alih-alih mencoba memahami mengapa implementasi Kurikulum 2013 gagal, politisi lebih suka memilih zona aman dengan argumentasi pinggiran yang jauh dari persoalan utama Kurikulum 2013.

Revolusi mental yang menjadi kata-kata mujarab kampanye Jokowi seharusnya melawan proses pembentukan mental dan karakter yang salah kaprah seperti yang terjadi dalam Kurikulum 2013. Melakukan secara terus- menerus sebuah intervensi pendidikan yang secara konseptual keliru tidak akan membawa proses pembelajaran menjadi lebih baik. Bahkan, kita malah akan mengalami kerugian ganda, yaitu hilangnya biaya, tenaga, dan waktu sia-sia.

Pemerintahan Jokowi-JK akan tersandera dengan Kurikulum 2013 apabila tidak berani mengambil keputusan tegas untuk menghentikan praksis salah Kurikulum 2013. Pernyataan Tim Transisi Jokowi-JK sesungguhnya mengukuhkan kenyataan ini. Tampaknya, revolusi mental dalam bidang pendidikan hanya akan sekadar menjadi jargon dan bualan kampanye.

Doni Koesoema APemerhati Pendidikan

Page 12: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 26 September 2014

Pelaksanaan Kurikulum 2013Oleh: Rosalia Wiwiek Wahyuning Ratri

SEHUBUNGAN dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, satu masalah yang sangat serius dihadapi di sekolah adalah mewujudkan pola belajar-mengajar yang membuat siswa aktif bertanya dan guru dilarang berceramah terlebih dahulu.

Ini terutama pada awal tatap muka di kelas: siswa harus bertanya dulu, lalu ditanggapi siswa lain atau guru. Keluhan paling umum, termasuk dalam beberapa kali pendidikan dan pelatihan berhubungan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang saya ikuti, adalah ruang kelas jadi sunyi. Bermenit-menit waktu berlalu dan terbuang sia-sia, tak ada siswa bertanya. Meski berkali-kali guru minta siswa mengajukan masalah apa pun yang berhubungan dengan pelajaran atau materi tertentu, tetap saja mereka diam. Sunyi!

Kadang-kadang satu-dua siswa terpaksa bertanya, tetapi tetap tidak berlanjut pada semua siswa aktif bertanya jawab. Guru tak mungkin membiarkan kelas sunyi dalam sehari itu. Akhirnya ada guru yang memilih kembali ke model konvensional: banyak ceramah, menyebarkan lembar kerja siswa, atau kegiatan lain. Yang penting di kelas tetap ada aktivitas.

Kita tentu berharap agar kegiatan belajar-mengajar aktif dan eksploratif tetap diwujudkan. Namun, harus diakui, di sinilah tantangan mewujudkan belajar siswa aktif, termasuk aktif bertanya dan mencari sendiri. Langkah apa untuk mewujudkan itu? Kita perlu paham sumber masalah yang membuat kelas sunyi.

Lima hal

Paling sedikit lima hal membuat siswa tidak aktif bertanya: malu atau minder, takut, tidak mengerti, patuh, dan mental meremehkan.

Pertama, malu atau minder cukup banyak diidap anak-anak kita. Bagi mereka, menampilkan diri di depan umum sama dengan mempermalukan diri sendiri. Supaya tidak dipermalukan (diri sendiri), sebaiknya tidak usah menonjol. Siswa pemalu umumnya berlatar sosial lemah: miskin, bodoh, jelek, ndeso. Kemiskinan, kebodohan, kejelekan, dan ke-ndeso-an adalah realitas sehari-hari di negeri kita. Kita cenderung memandang remeh bahkan menjauhi mereka. Jika sudah demikian, siswa pemalu akan memilih sunyi di kelas: datang, duduk, diam, lalu pulang.

Biasanya siswa penakut tidak mau bertanya dan menanggapi meski sudah punya bahan bertanya atau menjawab. Mereka baru berbicara setelah bahan yang sama sudah ditanyakan atau sudah dijawab orang lain.

Kedua, siswa menjadi penakut karena tidak mau mengambil risiko jika pertanyaannya atau jawabannya salah. Siswa seperti ini sudah punya pengalaman buruk (baik dialaminya sendiri maupun dialami orang lain) bahwa kalau pertanyaan dan jawabannya salah atau jelek, ia harus terima risiko diolok-olok, dimarahi, dikata-katakan jelek, bahkan mendapat hukuman dari guru atau orang lebih tua dalam keluarga.

Page 13: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Realitas di sekolah dan dalam masyarakat: orang sering menghukum anak yang salah dalam berbicara, bertanya, atau menjawab. Bentuknya bisa berupa olokan, kemarahan, bahkan pemukulan. Anak-anak memilihdiam. Lagi pula, masyarakat kita yang paternalistik tidak membiasakan anak-anak mengeluarkan pendapat, mengkritik orangtua, bahkan tidak memiliki hak mengambil keputusan penting. Yang dijunjung: diam dan patuh.

Ketiga, siswa tidak mengerti. Sampai saat ini kita bukan tipe pembaca buku atau media; juga bukan tipe pencipta dan pembaru. Inilah yang membuat siswa tak mau bergerak mencari sendiri (termasuk uji coba) di luar kegiatan belajar-mengajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman mereka. Maka, ketika masuk kelas, mereka dalam keadaan tidak tahu. Bahkan, siswa tidak tahu apakah dia belum atau sudah tahu suatu hal. Ini bisa dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan ”apakah sudah mengerti” yang direspons dengan diam belaka. Ditanya ”mana yang belum mengerti”, ya, diam juga. Jadi, siswa bingung sendiri mana yang sudah ia ketahui dan mana yang belum ia ketahui. Mereka memilih sunyi di kelas.

Keengganan siswa memburu wawasan dipengaruhi oleh nilai yang akan diberikan guru. Siswa tahu bahwa tinggi-rendah nilai yang ia peroleh bergantung pada bisa-tidak dia menjawab soal yang diberikan. Karena itu, betapa pun luas wawasannya, kalau tak ada dalam soal ujian, tetaplah ia sulit dapat nilai tinggi.

Keempat, siswa patuh. Sudah lama pelaksana pendidikan kita mengajarkan kepatuhan dan penghormatan antarindividu kepada anak-anak: harus patuh dan hormat kepada yang lebih tua, lebih tinggi sekolahnya, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Karena di kelas masih ada guru yang dipandang lebih tua usianya dan lebih tinggi tingkat pendidikannya, siswa akan kesulitan mengajukan pendapat yang sekiranya berbeda dari gurunya.

Jika Kurikulum 2013 menghendaki siswa bertanya dan menjawab, siswa khawatir kalau-kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat gurunya. Mereka risi sendiri dan memilih patuh saja pada pendapat guru.

Kelima, mentalitas meremehkan. Ada siswa yang meremehkan materi pelajaran di kelas lantaran mereka tahu bahwa di luar sana banyak orang bisa hidup tanpa harus menguasai materi pelajaran itu.

Sejumlah tindakan diperlukan untuk mendukung penerapan Kurikulum 2013.

Perubahan tatanan sosial

Untuk menciptakan siswa aktif bertanya, kita perlu mempersempit kesenjangan sosial. Jika masih gagal merapatkan kesenjangan sosial, kita perlu membangun mentalitas positif kaum bawah untuk tetap harus optimistis dan percaya diri. Hukuman bagi siswa di sekolah ataupun dalam masyarakat harus dihentikan guna menumbuhkan percaya diri dan keberanian anak. Anak-anak harus diikutkan bahkan bisa jadi penentu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di rumah, masyarakat, dan sekolah. Iklim ini membuat anak-anak kita pemberani dan terampil berpendapat.

Kesempitan wawasan bisa diatasi dengan sistem penilaian yang bukan lagi pada kemampuan siswa menjawab soal, melainkan pada keluasan wawasan siswa menyampaikan pendapat dan analisisnya. Juga harus dihentikan ajaran ”patuhi guru dan orangtua”, diganti dengan ”patuhi kebenaran”. Berani karena benar harus benar-benar diwujudkan meski akhirnya membongkar kesalahan atau kelemahan guru/orangtua sendiri. Selama beberapa hal ini belum bisa kita singkirkan pada masyarakat dan di sekolah, Kurikulum 2013 tak pernah bisa sukses.

Rosalia Wiwiek Wahyuning RatriGuru SMP Negeri 1 Patuk, Gunung Kidul, DI Yogyakarta

Page 14: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 30 September 2014

Tujuan UniversitasOleh: Daoed JOESOEF

Pikiran memindahkan pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset dan Teknologi adalah demi terwujudnya integrasi yang lebih baik antara fungsi keilmuan pembelajaran universiter dengan riset dan teknologi industrial.

Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa lembaga ilmiah yang menangani riset yang diharapkan itu atau membuhul kontrak kerja dengan komunitas bisnis, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atau lembaga penelitian lain. Bukankah di lembaga-lembaga tersebut ada ”guru besar riset” yang membuat riset tidak dalam rangka perkuliahan (pendidikan), tetapi demi pembangunan dunia bisnis dan industri.

Kalau bersamaan dengan hal itu, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dosen dituntut menjadi ujung tombak di bidang riset, tentu bisa saja tanpa harus memindahkannya ke jajaran Kemristek. Hal ini wajar mengingat universitas/institut merupakan kumpulan dari the relatively best brains of the country.

Riset sudah membudaya

Adapun riset, sejatinya, sudah ada sejak awal pembentukan perguruan tinggi, sudah membudaya dan bukan hal yang baru lagi. Bagi dosen, melaksanakan riset merupakan satu panggilan karena pekerjaannya lebih merupakan vokasi ketimbang profesi. Nyaris semua ilmuwan yang mendapat anugerah Nobel adalah guru besar yang memanfaatkan fasilitas di lembaganya atau menggunakan dana pribadi.

Madame Curie yang mempelajari radioaktivitas alami, misalnya, menyewa bekas gudang batubara sebagai laboratorium riset. Dia memakai sisa-sisa batubara sebagai bahan bakar dan ketika bahan ini habis, dia pakai perabotan rumahnya sendiri karena ketiadaan uang. Dia menerima penghargaan Nobel dua kali, dalam fisika (1903) dan kimia (1911), dan menjadi perempuan pertama yang dikukuhkan menjadi guru besar di Sorbonne. Mengenai dia, Einstein berkata, ”she is the only person where glory had not corrupted”.

Sumbangan universitas/institut dapat berupa periset yang ia cetak melalui proses pendidikannya. Periset lalu berkarya di lembaga-lembaga penelitian, di pusat-pusat penelitian di perguruan tinggi, maupun badan-badan R&D perusahaan. Mereka inilah yang melaksanakan riset fundamental maupun riset terapan yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu, meningkatkan daya produktif dan daya saing industrial, dan kemudian dipatenkan.

Di samping ini para dosen—secara individual atau berkelompok—tetap harus turut berpartisipasi dalam riset seperti itu di lingkungan universitas/institut. Dapat dibayangkan empat jenis kegiatan riset yang relevan, yaitu (i) riset fundamental bebas, (ii) riset fundamental terarah (yang berusaha mendalami satu sektor khusus di bidang pengetahuan), (iii) riset terapan yang bertujuan mendapat solusi dari masalah praktis, dan (iv) studi terapan yang dipusatkan pada eksploitasi efektif ilmu pengetahuan demi perbaikan produksi barang dan jasa.

Page 15: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kegiatan riset ini dipaparkan dalam makalah dan/atau jurnal yang beredar di komunitas ilmiah regional dan internasional. Dari isi paparan itulah komunitas ini lalu menetapkan ranking keilmuan dari universitas/institut berdasarkan kriteria yang disepakati. Ranking ini pada gilirannya menentukan gengsi akademis dari universitas/institut yang bersangkutan.

Riset seperti itu pasti memerlukan dana dan ia bukan tidak ada di Kemdikbud. Namun, penyalurannya semakin tidak memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan dan kekisruhan inilah yang menyebabkan beberapa rektor mengusulkan agar PT dipindah saja ke Kemristek. Mengenai siapa yang menjadi pengelola dana riset ini pasti perlu pembahasan tersendiri.

Namun, dalam kesempatan ini ada baiknya dikemukakan kehadiran sebuah lembaga sejak 30 Januari 2012, berbentuk Badan Pelayanan Umum, bernama Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP), berada di jajaran Kementerian Keuangan. Dana yang dikelola lembaga ini meliputi antara lain beasiswa dan pendanaan riset. Sampai sekarang tidak ada keluhan mengenai kinerjanya, dana yang dikelola diaudit dengan baik, tidak melakukan riset atas nama sendiri, semata-mata melayani kebutuhan dana dari Kemdikbud, Kementerian Agama, dan individu untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Apabila masalah pendanaan riset sudah terjawab, ada masalah lain yang membayangi kegiatan riset oleh universitas/institut, yaitu akibat sampingan yang bisa merusak holisme pemikiran universiter. Akibat sampingan ini justru timbul apabila riset dilakukan sebagaimana seharusnya— correct, terarah, dan dengan penuh tanggung jawab. Maka kemungkinan ini perlu direnungi bersamaan dengan pengambilan keputusan riset agar jauh-jauh hari sudah disiapkan cara menanggulangi konsekuensi yang tidak dikehendaki itu.

Pembagian radikal

Bayangkan! Tiga dari keempat jenis riset tersebut mengakibatkan lahirnya suatu pembagian radikal dalam pengetahuan, suatu kompartementalisasi ketat, suatu superspesialisasi bidang riset/pengetahuan. Berarti, spesialisasi menjadi semakin sempit dan tajam, para peneliti semakin dikondisikan oleh logika intern dari sektor-sektor yang digarap. Setiap orang sibuk menggali salurannya sendiri, setiap orang mengunci diri dalam biro dan laboratoriumnya, hingga pertemuan antarpribadi akademisi menjadi semakin jarang. Maka kontak antara anggota-anggota dari universitas dan institut yang sama menjadi semakin lemah dan terjadilah isolasi human dari individu.

Universitas/institut cenderung menjadi pemusatan guru besar dan dosen-dosen muda yang superspesialis, yang tidak lagi menguasai jenis-jenis pengetahuan yang memungkinkan transmisi high knowledge, mengabaikan kompleksitas dari realitas dan kesukaran manusia untuk memahaminya. Mereka puas dengan menghasilkan teknokrat yang juga puas dan bangga dengan pengetahuan spesialistisnya, tidak mau tahu dengan pengetahuan teknokratis lain. Mereka anggap wajar kalau masing-masing bertanggung jawab atas solusi dari masalah khas masing-masing. Padahal, masalah gawat biasanya timbul pada konjungsi antara solusi-solusi sepihak yang diambil secara terpisah. Lalu masalah ini tanggung jawab siapa?

Universitas/institut ditantang untuk melawan kecenderungan yang merusak holisme pemikiran universiter. Sementara fakultas dari universitas dan departemen dari institut membanjiri masyarakat dengan spesialis bidang tertentu yang memang dibutuhkan, universitas/institut perlu mengimbanginya dengan menghasilkan lulusan terlatih menurut pendekatan keterkaitan monodisiplin pokok.

Untuk keperluan ini universitas/institut membuka suatu program pembelajaran S-2 dan S-3. Dengan menangani sendiri pelaksanaan program ini, universitas/institut berarti tidak hanya berfungsi administratif, koordinator dari fakultas/departemen yang dicakupnya, tetapi melaksanakan pula fungsi edukatif, sesuai dengan khitah awal jadinya.

Kuliah program ini membahas subjeknya melalui visi poliokuler. Kuliah pembangunan atau kesehatan nasional, misalnya, terang akan lebih mencerahkan apabila semua aspek dibahas sama penting. Yang menjadi concern perkuliahan universitas/institut bukanlah suatu sintetis, tetapi suatu pikiran yang tidak pecah di perbatasan antardisiplin. Yang menjadi perhatian adalah gejala multidimensional dan bukan disiplin yang mengiris-iris dimensi di gejala. Sebab, apa-apa yang human adalah sekaligus psikis,

Page 16: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

sosiologis, ekonomis, historis, demografis, antropologis. Maka penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, diabstraksi dengan asumsi ”ceteris paribus”, tetapi dikerahkan menjadi satu visi poliokuler.

Ini bukan perkuliahan yang mengada-ada. Kompleksitas adalah suatu gejala yang didesakkan oleh realitas kepada kita dan yang tidak dapat ditolak begitu saja. Yang perlu ditentang adalah simplifikasi arogan yang memuja formalisasi yang mereduksi kesatuan global jadi unsur-unsur konstitutifnya. Perkuliahan ini bukan hendak mengetengahkan ”sistem kompleksitas”, tetapi menyadarkan adanya ”uncontourable problem of complexity”.

Mungkin mahasiswa yang tertarik pada program ini tidaklah banyak. Tidak apa, sebab not the many is good, but the goodness is many.

Ketahuilah bahwa kemajuan kita selaku bangsa tidak akan bisa lebih cepat daripada kemajuan pendidikan nasional. Ia memang butuh pembenahan agar bisa maju, tetapi bukan dengan jalan mengubah strukturnya. Para pengasuhnya perlu diganti besar-besaran. Kalau di suatu rumah diketahui ada maling, sebagai perbaikan bukan rumah itu yang harus dibakar, tetapi malingnya yang harus ditangkap.

(Daoed JOESOEF,  Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne)

Page 17: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Kompas, 30 Oktober 2014

Indonesia PintarOleh: Mohammad Abduhzen

DARI Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) Joko Widodo-Jusuf Kalla, lima di antaranya—dalam skala berbeda—terkait dengan pendidikan.

Pada agenda nomor lima disebutkan bahwa pemerintahan JKW–JK akan menjalankan program ”Indonesia Pintar” yang kegiatan utamanya meningkatkan kualitas pendidikan dan menjalankan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Rumusan ini tampaknya sebagai ikhtisar semua program pendidikan pemerintah baru. Memang masalah pendidikan, di mana saja, berkisar pada ”akses” dan ”kualitas”.

Wajib belajar 12 tahun adalah persoalan akses, yaitu upaya memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan lebih tinggi. Langkah ini penting karena, selain berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi sekolah, juga berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) yang merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Angka rata-rata lama sekolah kita masih rendah daripada Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun. Laporan UNDP 2013 (Ritonga, Kompas 24/3) menyebutkan, rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun, artinya setara dengan sekolah dasar.

Pemerintah belum secara tegas menjalankan wajib belajar 12 tahun, apalagi bebas pungutan. Wajib belajar 9 tahun saja—yang dimulai 1994 dan ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003—hingga sekarang belum terkontrol secara baik sehingga aneka pungutan dengan beragam alasan tetap terjadi.

Saat ini, pemerintah menggunakan istilah ”pendidikan universal” untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Alasannya, belum ada payung hukum dan mempertimbangkan, anggota UNESCO tidak mengenal wajib belajar pendidikan menengah. UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) hanya menyebutkan wajib belajar ”minimal” pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Atas dasar ini, barangkali di bagian lain visi-misi JKW–JK ditegaskan akan memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari segala pungutan.

Terlepas dari implikasinya pada sistem penganggaran dan tradisi UNESCO, adanya kata ”minimal” dalam ayat di atas memungkinkan pemerintah menjalankan program wajib belajar 12 tahun tanpa disamarkan dengan ”pendidikan universal.” Pemerintah bahkan tak harus menunggu—juga tidak memerlukan—UU tersendiri. Kelak, ketentuan ini cukup diakomodasi dalam pasal terkait saat revisi UU Sisdiknas yang memang mendesak.

Terkait perluasan akses pendidikan tinggi, pemerintahan JKW-JK akan meningkatkan pemberian subsidi kepada perguruan tinggi negeri sehingga akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin besar. Dengan demikian, diharapkan angka partisipasi kasar dan murni pendidikan

Page 18: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

tinggi yang rendah—menurut Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi tahun 2013 adalah 23,06 persen dan 18,08 persen—segera meningkat.

Ke depan, peningkatan akses pendidikan hendaknya senantiasa mempertimbangkan dan bersama upaya peningkatan mutu. Pengalaman pada masa lalu mengajarkan bahwa memprioritaskan akses dengan mengesampingkan kualitas menjebak kita dalam situasi buruk berkepanjangan sehingga kini Indonesia tampak belum juga pintar.

Kualitas pendidikan

Arah dan upaya peningkatan mutu mendatang tampaknya bertumpu pada pendidikan karakter seperti tergambar dalam agenda nomor delapan: ”Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum akan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan; menyeimbangkan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Penataan kurikulum adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan baru. Keniscayaan itu bukan hanya karena Kurikulum 2013 penuh anomali, melainkan lebih daripada itu karena pemerintahan JKW-JK memiliki paradigma baru, yaitu revolusi mental yang tidak kompatibel dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013, meskipun sering diklaim untuk pendidikan karakter, senyatanya hanyalah konglomerasi hal-hal bagus yang tak membentuk suatu koherensi yang lugas sehingga sering kali membingungkan.

Maka, pada awal masa transisi ini, pemerintah sebaiknya menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menyedot dana triliunan itu. Sembari mempersiapkan cetak biru (blue print) yang holistis, pemerintah perlu membuat kebijakan (short cut) yang menyederhanakan program-program pembelajaran. Alokasi dana untuk Kurikulum 2013, jika dimungkinkan oleh sistem, dialihkan buat pelatihan motivasi dan kinerja guru dalam rangka revolusi mental.

Pengutamaan pendidikan karakter dan kebudayaan dalam program Indonesia Pintar secara implisit menggambarkan bahwa ”pintar” tidak sekadar bersifat kognitif. Term ”pintar” dapat merupakan obyektivikasi kata ”cerdas” sebagaimana cita-cita bangsa. Jika didefinisikan dengan tepat, pendidikan karakter akan relevan dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyatakan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa.

Dalam platform JKW-JK ditegaskan, 10 prioritas utama pendidikan karakter yang intinya, pertama, kurikulum akan mengedepankan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang proporsional. Untuk pendidikan dasar, pembobotan menekankan 70 persen substansinya pada budi pekerti dan karakter, sedangkan untuk pendidikan tinggi, 60 persen politeknik dan 40 persen sains. Kurikulum juga akan diarahkan membangun pemahaman hakiki tentang kebinekaan yang tunggal ika dengan menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional. Untuk itu, pemerintah telah berkomitmen tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya ujian nasional.

Kedua, meningkatkan kualitas guru dengan merekrut tenaga berkualitas dan mendistribusikannya secara merata. Kualitas guru tentunya disesuaikan dengan kebutuhan revolusi mental dan model pembelajarannya. Selain memerlukan desain baru pelatihan, agenda ini juga menuntut perubahan peran, eksistensi, dan substansi LPTK. Distribusi guru akan didukung oleh perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan. Guru daerah terpencil akan diberikan jaminan hidup memadai melalui tunjangan fungsional, asuransi, fasilitas memadai, dan promosi karier.

Ketiga, memprioritaskan pembiayaan pendidikan untuk penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan yang diberikan secara reguler dan terintegrasi dengan pengembangan pendidikan tinggi.

Cetak biru baru pendidikan

Pendidikan karakter adalah sebuah labirin yang mudah membawa pada kesesatan logis sehingga memerlukan kecermatan. Pertama, pendidikan karakter bukanlah suatu atau beberapa mata pelajaran

Page 19: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

atau program yang diajarkan tersendiri, tetapi meliputi ”semua” proses pendidikan. Terbentuknya watak/karakter (personal) dan kebudayaan/peradaban (komunal) merupakan efek kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan berbagai faktor bawaan dan lingkungan.

Kedua, pembobotan dengan persentase penekanan substansi pembelajaran tidak salah sejauh tidak bersifat dikotomis. Proses pembelajaran memang harus disesuaikan dengan tingkat kepekaan psikologis murid yang biasanya terkait dengan usia.

Pembobotan akan berbahaya jika didasarkan pada dikotomi atas kelompok mata pelajaran pembentuk karakter, seperti Agama, Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dengan kelompok mata pelajaran sains dan Matematika yang dianggap tidak atau kurang berhubungan dengan karakter. Dikotomi seperti ini akan cenderung mengabaikan pengembangan nalar saintifik yang induktif dan nalar matematik yang deduktif, terutama pada kelas yang lebih rendah. Padahal, nalar yang sehat merupakan basis karakter yang baik dan kuat yang mesti dibentuk sejak belia.

Ketiga, mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah berpotensi menggiring proses pendidikan ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan yang menekankan masa silam sebagai orientasi korektif atas masa kini dan antisipatif atas masa depan. Proses pendidikan akan dipenuhi pelatihan watak dan pencekokan moral di satu sisi dan indoktrinasi serta penjejalan pikiran—bukan mengajar berpikir—dengan nilai-nilai dan informasi yang akan diuji pada sisi yang lain. Alhasil, bangsa ini bukannya semakin pintar, malah akan menjadi irasional dan tidak kreatif.

Keempat, lembaga pendidikan, di mana saja, merupakan sebuah subsistem sosiopolitik sehingga yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan karakter baik dan kuat tumbuh melalui pendidikan dalam sebuah sistem korup dan feodal, tanpa melakukan reformasi menyeluruh, adalah kesia-siaan. Guru bukanlah Si Pahit Lidah (tokoh dalam legenda Sumatera Selatan) yang dapat mengubah apa saja melalui kata-kata. Maka, Indonesia Pintar membutuhkan cetak biru baru pendidikan yang mengubah dengan menderivasi ide revolusi mental dan Trisakti dalam satu kerangka strategi operasional yang utuh, padu, dan rasional.

(Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI)

Kompas, 30 Oktober 2014

Page 20: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Memaknai Pembangunan ManusiaOleh: Tommy F Awuy

PRESIDEN Joko Widodo mendirikan kementerian baru dengan nama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Segera saja muncul pertanyaan, ”pembangunan manusia”?

Sebuah frase macam apakah ini? ”Pembangunan” dan ”manusia”, mungkinkah kedua istilah yang jelas memiliki pemahaman dengan latar yang berbeda disatukan menjadi sebuah frase yang mampu memberikan isian yang bertujuan praktis untuk kemajuan nyata sebuah bangsa dan negara?

Sesungguhnya konsep ”pembangunan manusia” itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah muncul dan termasuk problem hakiki dalam pembangunan bangsa dan negara secara umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu saja. Benih pembangunan ekonomi (economic development) khususnya sudah muncul terlebih dulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai panglima bagi Orde Lama dengan semboyan character building (pembangunan karakter).

Konsep ”pembangunan ekonomi” mengandung pengertian kuat dari perspektif positivistik yang serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu dengan perhitungan-perhitungan matematis sebagaimana terwakili dalam pengukuran nan sakti, gross national product (GNP) atau produk nasional bruto. Ukuran pembangunan sebuah bangsa diukur dari sana, apakah sebuah negara layak disebut negara maju (developed country) atau negara berkembang (developing country). Teori ”tinggal landas” yang sangat terkenal dan menjadi begitu paradigmatis dari WW Rostow kala itu tak lepas dari pengukuran tersebut.

Pergeseran makna

Pada tahun 1990, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) membuat langkah maju dalam konsep pembangunan bangsa dan negara dengan memublikasikan human development report (HDR). Dari sini muncul kritik dan revisi terhadap konsep ”development” yang dihegemonik oleh pengukuran positivistik, khususnya ketika konsep pembangunan tersebut diterapkan pada keberadaan diri manusia menjadi ”human development”. HDR pun pada hematnya bukanlah barang baru diukur dari publikasi pertama UNDP itu. Pada tahun 1968, seorang ekonom dan negarawan asal Pakistan, Mahbub Ul Haq,  mengeluarkan konsep ”human development” yang lalu mendapatkan partner yang sangat tepat, yakni Amartya Sen, dalam mengembangkan konsep ”human development” tersebut.

Baik Mahbub Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekadar menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai hubungan pembangunan ekonomi yang tak terlepas dari pembangunan manusia secara lebih luas, terutama dari filsafat dan lebih khususnya lagi ethics di antara bidang filsafat lainnya seperti ontology (being) dan epistemology (knowledge).

Program utama dari Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen adalah menyampingkan pendekatan positivistik dengan alasan bahwa manusia bukanlah obyek dalam pembangunan ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai subyek, manusia tidak semata-mata bisa dilihat sebagai makhluk yang total rasionalistik lalu mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. Sebuah pendekatan yang mendapat dukungan kuat dari UNDP.

Page 21: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Amartya Sen misalnya menginterpretasikan lagi etika Aristoteles, Adam Smith, filsafat politik John Locke, Thomas Hobbes, JJ Rousseau, John Rawls, dan lain-lain. Dua konsep tentang etika eudaimonia (kebahagiaan) dari Aristoteles dan konsep ”kebebasan” (freedom) dari para filsuf pendiri negara demokrasi itu diramu menjadi sebuah pemikiran etika ekonomi yang bercorak khas dan baru. Tepatnya Sen dianggap sangat cemerlang memasukkan konsep etika filosofis ke dalam ekonomi yang mengantarkannya menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi.

Mahbub Ul Haq mengartikan pembangunan manusia itu pada ”pilihan manusia” (people choices). Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan sebagaimana manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu memilih di antaranya untuk eksis. Musuh pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu sehingga manusia tak mampu menemukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.

”Kebebasan” (Sen) dan ”pilihan manusia” (Haq) merupakan dua konsep yang membuka berbagai dimensi kualitas kemanusiaan bagi makna pembangunan manusia yang lalu tercakup dalam tiga kategori besar: kesehatan (health), pendidikan (education), dan standar kehidupan (living standards). Dari sinilah makna indeks pembangunan manusia (human development index) itu muncul dan digunakan hingga saat ini. Intinya pada ”kebebasan memilih” sebagai landasan etika.

Kementerian pembangunan manusia?

Dalam perkiraan yang sangat optimistik, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dikemukakan Presiden Jokowi sangatlah terkait dengan latar belakang di atas. Dengan hadirnya kementerian baru ini, harapan untuk mewujudkan semboyan ”revolusi mental” terbuka luas sekaligus sebagai sebuah tantangan yang luar biasa berat.

Becermin pada masa Orde Baru, pembangunan manusia melahirkan jargon yang enak disebut tetapi berbeban makna alangkah berat, yakni ”manusia seutuhnya”. Seperti apa dan siapakah manusia seutuhnya itu sebagai panutan? Manusia menjadi sempurna apabila dalam kehidupan keseharian bermasyarakat dan bernegara sepenuhnya mengikuti doktrin Pancasila (versi penguasa). Siapakah panutannya? Tak mudah menunjuk langsung, tetapi secara semiotik (interpretasi tanda) kita bisa membacanya pada slogan ”bapak pembangunan”, siapa lagi kalau bukan Soeharto?

Sebuah kementerian baru dan menteri yang dari segi usia, pengalaman, dan pengetahuan (?) tergolong ”belia”, Puan Maharani. Layaklah apabila muncul reaksi spontan dari berbagai kalangan atas kementerian baru ini terkait dengan kemampuan Puan Maharani untuk menghidupi lembaga tersebut. Program macam apa yang bisa dibuat dan diaplikasikan? Tantangan paling signifikan tertuju pada konsepsi tentang manusia itu sendiri sekaligus kekhawatiran apabila Puan Maharani tak memiliki model khas dan terbuka, reformis, maka berjaga-jagalah untuk terjerumus pada slogan manusia seutuhnya ala Orde Baru—Soehartoistik itu.

Tantangan lain adalah pada nama kementerian itu sendiri yang terkesan sekadar menerjemahkan ”human development” menjadi ”pembangunan manusia”. Apa yang mau dibangun dari manusia? Sedangkah dia tertidur pulas lalu sudah saatnya harus dibangunkan?

”Pembangunan manusia” sebagaimana HDR jelas tertuju pada dimensi kualitas atau mutu eksistensial bukan melihat manusia sebagai seonggok tubuh yang menyimpan potensi yang bisa diekspos menjadi seperti mesin yang bekerja secara mekanistik lalu berujung pada eksploitasi demi keuntungan ”pihak-pihak tertentu”. Jika mungkin kementerian ini bisa dibaca sebagai ”kementerian peningkatan kualitas manusia dan kebudayaan” atau ”kementerian peningkatan mutu kemanusiaan dan kebudayaan”. Lebih manusiawi maknanya. Siapa tahu?

(Tommy F Awuy, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI)

Kompas, 01 November 2014

Page 22: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Mengevaluasi Kurikulum 2013Oleh: Tati D Wardi

SUKA atau tidak, Kurikulum 2013 sudah diterapkan pemerintah per Juli 2014. Meskipun menuai banyak kontroversi, produk kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu hampir pasti akan terus berlanjut.

Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmennya. Artinya, Kurikulum 2013 akan menjadi panduan pendidikan Indonesia (setidaknya) untuk lima tahun ke depan. Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita bisa mengevaluasi penerapan Kurikulum 2013. Sebagai sebuah kebijakan publik, sudah semestinya Kurikulum 2013 dievaluasi secara berkala. Apa yang perlu dievaluasi?

Aspek ”kebaruan” yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013 antara lain memosisikan standar kompetensi lulusan siswa sebagai acuan dalam kegiatan, isi, dan penilaian proses pembelajaran. Materi-materi pelajaran yang dulu terpisah kini disampaikan secara tematik-integratif dan dinilai secara deskriptif. Ini tak pelak mensyaratkan atmosfer pembelajaran yang interaktif, eksploratif, dan yang menumbuhkan siswa inkuisitif.

Menciptakan kondisi seperti ini tidak bisa seketika dan instan. Ada beberapa elemen yang berjalin kelindan yang turut menentukan sukses tidaknya penerapan Kurikulum 2013: guru, siswa, buku, dan wali murid. Keempat elemen itulah yang perlu kita evaluasi satu per satu.

Guru merupakan pemegang mandat langsung pelaksanaan Kurikulum 2013. Tanpa guru dengan kesiapan memadai, Kurikulum 2013 hanya berhenti sebagai konsep belaka dengan seperangkat buku pegangan mengajar dan buku siswa, tetapi tanpa pihak yang mengoperasikannya. Menyadari hal itu, Kemdikbud melakukan beberapa tahapan pelatihan terhadap guru. Dimulai dengan pengumpulan narasumber, yakni para ahli (pendidik, sejarawan, jurnalis, ilmuwan, peneliti, dan aktivis perempuan) yang terlibat dalam perancangan ide dasar Kurikulum 2013. Para narasumber ini lalu memberikan pencerahan kepada akademisi yang terpilih untuk menjadi instruktur nasional. Selanjutnya instruktur nasional melakukan pelatihan guru sasaran seluruh Indonesia.

Persoalannya, masa pelatihan guru ini, yang bervariasi dua minggu hingga dua hari, terhitung singkat. Dalam rentang waktu pelatihan tersebut, instruktur nasional melatih guru perihal bagaimana Kurikulum 2013 diterapkan di kelas. Namun, bisakah dari pelatihan yang singkat itu terjadi perubahan paradigma mengajar guru seperti yang diharapkan?

Evaluasi tentang siswa

Salah satu cara mengetahuinya adalah dengan melakukan evaluasi tentang siswa. Ini terkait langsung dengan bagaimana guru mempraktikkan Kurikulum 2013 di dalam kelas. Perubahan kurikulum berangkat dari pemikiran bahwa kurikulum yang ada tidak lagi relevan dengan kebutuhan untuk mendidik manusia Indonesia masa depan.

Dalam rantai perubahan Kurikulum 2013, siswa otomatis berada di akhir. Ketika sampai pada siswa, wajah asli penerapan Kurikulum 2013 terkuak. Sudah menjadi rahasia umum, siswa Indonesia umumnya cenderung pasif. Ajakan guru berinteraksi aktif yang disyaratkan dalam Kurikulum 2013 bisa saja tidak disambut antusias oleh siswa.

Page 23: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Di sini akan tampak kualitas guru yang menginterpretasikan dan mempraktikkan Kurikulum 2013 di dalam kelas. Bisa saja karena merasa frustrasi, guru kemudian menyalahkan siswa dan akhirnya mereka kembali menerapkan pembelajaran lama. Karena itu, perlu ditanyakan kepada siswa tentang pengalaman mereka mengikuti pembelajaran dengan Kurikulum 2013. Apakah, misalnya, siswa merasa sudah difasilitasi untuk mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta di dalam kelas?

Begitulah mata rantai penyebaran dan pelatihan Kurikulum 2013: dimulai dari narasumber, kemudian instruktur nasional, sampai ke guru yang kemudian menyampaikannya kepada siswa.

Setidaknya ada dua kemungkinan yang akan muncul dari proses ini. Pertama, pembelajaran Kurikulum 2013 bisa saja memunculkan penafsiran yang tidak monolitik. Kedua, terdistorsinya pemahaman konsep mendasar Kurikulum 2013.

Kemungkinan pertama ini terhitung netral. Interpretasi yang tidak tunggal bisa mengindikasikan bahwa guru kreatif dan memiliki kemandirian berpikir. Kemungkinan kedua, terjadi kekeliruan pemahaman terhadap pembelajaran Kurikulum 2013 yang efeknya adalah pemiskinan makna dan penyederhanaan praktik Kurikulum 2013 itu sendiri. Satu hal yang perlu dicatat, Kurikulum 2013 memang menyediakan panduan rinci kepada guru. Ini mungkin membantu guru pemula. Namun, bagi guru yang sudah berpengalaman, keserbalengkapan panduan semacam ini justru malah mengungkung kreativitas dan independensi mereka dalam mengajar.

Aspek lain yang perlu mendapatkan evaluasi adalah buku. Jika guru merupakan pemegang mandat, peran buku adalah rujukan utama apa itu isi mandat dan bagaimana diterapkan. Bagi guru dan siswa, buku memediasi kegiatan pembelajaran di dalam kelas—apa yang mau dipelajari jika tak ada buku? Komitmen Kemdikbud adalah memenuhi pengadaan buku siswa dan pegangan guru dari pencetakan hingga pengirimannya. Yang perlu ditanyakan adalah kualitas buku dan penggunaannya oleh guru dan siswa. Kita sudah dengar tentang banyaknya salah ketik (typo) dan kontroversi isi yang tidak sensitif—contoh topik ”pacaran sehat” dengan gambar siswa berkerudung. Kemdikbud sudah seharusnya mempunyai tim evaluasi untuk perbaikan kualitas buku pegangan dan siswa.

Selanjutnya orangtua. Sebagai wali murid, orangtua adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan siswa. Penting sekali terjalin kerja sama yang baik antara guru dan orangtua. Itu dimulai dengan menyamakan pemahaman tentang apa yang baru dengan Kurikulum 2013, dan bagaimana konsekuensinya dengan pendidikan dan penilaian siswa.

Banyak orangtua yang mungkin masih belum memahami kaitan antara penyatuan mata pelajaran yang dulu terpisah (tematik-integratif) dan tujuan yang hendak dicapai, yakni menumbuhkan kemandirian berpikir dan karakter siswa. Kebingungan orangtua termasuk memahami penilaian tentang kompetensi siswa. Bahwa penilaian siswa bukan hanya pada pengetahuan, melainkan juga perilaku dan keterampilan mereka. Dan juga bahwa penilaian tersebut bukan dalam bentuk angka, melainkan dalam bentuk deskripsi capaian kompetensi siswa—contoh siswa pandai membandingkan dengan memperkirakan panjang suatu benda dengan istilah sehari-hari.

Evaluasi sudah seyogianya jadi bagian integral dari sebuah kebijakan. Tak terkecuali kebijakan Kurikulum 2013. Dengan mengevaluasi penerapannya pada pihak-pihak yang terlibat seperti guru, siswa, buku, dan wali murid, kita setidaknya bisa mencegah kemungkinan kurikulum baru ini terjebak pada sindrom praktik lama dalam label baru. Dengan begitu, Kurikulum 2013 diharapkan bisa mewujudkan kebaruan yang dijanjikannya.

Tati D WardiDosen FTIK UIN Jakarta

Kompas, 01 November 2014

Pembangunan Manusia

Page 24: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Oleh: Irwanto

MENYAMBUT diumumkannya Kabinet Kerja awal pekan ini, hiruk pikuk media lebih terkonsentrasi pada menteri-menteri di bidang politik, hukum, dan hak asasi manusia serta ekonomi/industri.

Hal ini wajar karena diasumsikan bahwa driver pembangunan adalah stabilitas politik dan kinerja semua pemain kunci di sektor ekonomi dan industri.

Sektor-sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pemuda, dan olahraga, adalah variabel ”ikutan”—akan ikut membaik jika ekonomi dan industri perform sehingga terjadi semacam dampak limpahan (spill-over effect) ke sektor lain.  Banyak orang lupa, asumsi spill-over effect dari sektor ekonomi/industri hanya mitos yang telah dipatahkan sejarah modern negara-negara miskin yang menjadi kapitalis baru (India) dan negara-negara komunis yang mulai unjuk gigi (Rusia dan Eropa Timur, Tiongkok). Mereka telah menunjukkan bahwa investasi yang serius di sektor pembangunan manusia, khususnya kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial yang dikelola sungguh-sungguh (militan) justru mampu menjadi driver ekonomi dan politik.

Mereka sadar betul investasi di bidang ekonomi dan industri penting. Namun, mereka juga sangat menyadari, pembangunan ekonomi hanya akan dapat dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih lanjut, jika sumber daya manusia-nya siap! Menjaga stabilitas politik juga penting, tetapi stabilitas politik hanya terwujud ketika kesenjangan karena ketidakmerataan pembangunan (inequality) diatasi sejak sedini mungkin. Kesenjangan pembangunan hanya dapat diatasi jika kesenjangan kualitas SDM dapat diperkecil.

Pembangunan ekonomi yang tidak diikat (dibangun linkage) kuat dengan pembangunan kualitas SDM akan menjadi otomaton yang bersifat self-serving. Ini karena apa pun nilai tambah yang diperoleh dari proses ekonomi akan cenderung dimasukkan ke dalam pipa ekonomi lagi, baik sebagai energi tambahan untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar maupun untuk mengatasi overheating pada mekanismenya. Alhasil, manusia (SDM) di sejumlah wilayah yang belum dianggap pantas untuk pembangunan ekonomi berdaya saing ataupun SDM yang menghidupi sektor-sektor pelayanan nonekonomi harus tetap terseok-seok sambil menunggu kucuran spill-over effect. Akibatnya, mereka harus merangkul prinsip-prinsip ekonomi untuk bertahan hidup, seperti yang terjadi di sektor kesehatan dan pendidikan di Indonesia. Kenyataan pahit yang harus kita kunyah sampai hari ini.

Sektor kesehatan dan pendidikan adalah sektor pelayanan publik yang didasarkan atas hak-hak dasar manusia. Karena investasi yang kecil selama puluhan tahun sejak kemerdekaan, kedua sektor ini menggeliat dan melihat peluang menjadi pemain bisnis di sektor industri. Banyak yang berhasil dengan menetapkan ongkos yang tinggi bagi yang dapat membayar. Pada saat yang sama jutaan anak dan orang yang butuh layanan kesehatan dan pendidikan harus menyerah putus sekolah atau ke layanan alternatif karena kedua sektor ini telah kehilangan jati dirinya. Bahkan ketika dana di sektor pendidikan sudah ditingkatkan sesuai dengan undang-undang (20 persen), sektor ini seolah telah kehilangan akal dan daya inovatifnya untuk mengatur alokasi keuangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan mengatasi kesenjangan yang serius antarwilayah di Nusantara.

Belum terlambat

Saat ini Koefisien Gini di Indonesia sudah melampaui 0,41 dan kemungkinan akan terus meningkat (BPS, 2013). Kesenjangan ini dirasakan bukan hanya di wilayah pendapatan, melainkan juga di beragam sektor lain (akses untuk memperoleh pekerjaan, tingkat pendidikan, akses untuk makanan bergizi dan kesehatan dasar, dan lain-lain). Selain itu, kesenjangan terjadi antara perkotaan dan perdesaan serta antara Indonesia barat dan timur. Kita dapat berasumsi dan mencari bukti-bukti empiris bahwa kesenjangan tersebut terjadi karena bias geopolitik-ekonomi pembangunan. Namun, pada kenyataannya kesenjangan tersebut terjadi karena rendahnya investasi di sektor pembangunan manusia secara menyeluruh yang diperparah oleh bias tersebut.

Menghadapi beragam pilihan pembangunan jangka panjang, opsi yang dimiliki Kabinet Kerja tidak banyak. Pertama, membiarkan investasi pembangunan manusia seperti biasanya (tidak ada koreksi APBN yang signifikan untuk mendorong pembangunan manusia yang lebih agresif), dikerjakan seperti

Page 25: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

biasanya, dan hasilnya tidak mengubah kesenjangan yang ada. Bisa jadi memperparah dan akhirnya negara ini terpecah belah.

Kedua, tak melakukan koreksi signifikan terhadap APBN, tetapi mulai membangun mekanisme komunikasi dan kerja sama antara sektor ekonomi-industri dan sektor pembangunan manusia sehingga setiap hasil yang diperoleh sektor ekonomi dipastikan ada investasi di sektor pembangunan SDM. Demikian juga sektor SDM dengan dana yang ada merombak cara berpikir dan bekerja sehingga SDM unggulan sudah dirancang sejak dini untuk mendukung sektor ekonomi/industri.

Jika sektor ekonomi/industri dapat memberdayakan pendidikan keterampilan, politeknik, program jembatan dari sekolah ke dunia kerja (school to work program), pendidikan atau pelatihan nonformal, dan pembukaan kesempatan bekerja, sektor pembangunan SDM dapat melakukan investasi dan relokasi anggaran untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah. Sektor pendidikan memastikan bahwa alokasi anggaran mampu menjawab kesenjangan kualitas pendidikan—termasuk kualitas guru, ketersediaan laboratorium, alat belajar mengajar di sejumlah wilayah yang masih tertinggal dalam indeks pembangunan manusia.

Sektor kesehatan memastikan layanan dasar berkualitas yang terjangkau, baik secara preventif (ASI, pemenuhan gizi dan vitamin, maupun imunisasi), deteksi dan pengobatan dini, maupun pengobatan lanjut yang didukung sistem jaminan kesehatan (dan kerja) yang terpantau. Sektor kesejahteraan sosial perlu memperkuat SDM profesionalnya untuk program pemberdayaan dan melakukan demarjinalisasi populasi pemanfaat bantuan negara. Sektor ini harus lebih inovatif dalam membangun mekanisme pelayanan sehingga populasi yang paling miskin dan paling tidak terjangkau dapat dilayani dengan baik dan akhirnya mampu berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja.

Komitmen dan kepemimpinan

Walau perubahan itu perlu, seperti dimandatkan Presiden, untuk benar-benar berubah tidak mudah. Banyak risiko yang harus diambil jika benar-benar berubah. Bagaimana kalau asumsi untuk berubah salah? Bagaimana kalau sebagian masyarakat menolak? Apa risiko politik yang harus kami tanggung dari perubahan? Oleh karena itu, Kabinet Kerja tidak sekadar membutuhkan motivasi untuk bekerja, tetapi juga komitmen dan keberanian untuk mengambil langkah yang tepat walau berisiko tinggi. Jika Kabinet Kerja juga percaya bahwa pembangunan manusia adalah ”inti” dari pembangunan nasional, mereka harus percaya diri, bekerja sama di dalam dan lintas sektor. Lebih lanjut, mereka harus berani mengapitalisasi keterbatasan yang ada menjadi tantangan performa kinerja mereka. Dalam era global yang makin sulit, kita sulit untuk membangun Tim Para Juara. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan, lebih penting membangun tim yang dapat bekerja sama untuk menjadi juara dibandingkan dengan Tim Para Juara yang belum tentu mampu bekerja sama menjadi juara.

Irwanto Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya dan Ko-direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP UI

Kompas, 03 November 2014

Menuju Arah Baru Pendidikan IndonesiaOleh: Restu Gunawan

Page 26: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

KABINET Kerja telah dilantik. Hal yang baru dalam dunia pendidikan adalah pemisahan pendidikan tinggi (digabung dengan riset dan teknologi) dari kebudayaan, pendidikan dasar, dan menengah. Yang pertama bergabung menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang kedua tetap: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan pemecahan ini, diharapkan kinerja kementerian bisa lebih fokus dan implementatif. Dalam kaitannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada dua hal penting yang patut dicermati dari konsep dasar pembangunan pendidikan yang disampaikan oleh Anies Baswedan setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, pemerataan pendidikan dan pendidikan yang berkeadilan bagi semua anak bangsa. Kedua, konsep tenunan kebangsaan Indonesia.

Masalah ketimpangan pendidikan dari dulu sampai sekarang merupakan masalah yang tidak kunjung selesai, baik itu antara bagian timur dan barat Indonesia, Jawa dan luar Jawa, maupun antara pedesaan dan perkotaan. Seolah jurang di antara dua wilayah ini kian lebar dan tidak semakin mendekat. Untuk itulah, arah baru  pendidikan harus dikembalikan pada cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh warga bangsa Indonesia.

Pada masa kolonial hanya dua daerah di luar Jawa yang pendidikannya lebih menonjol daripada daerah lain, yaitu di Padang dan Minahasa. Dua wilayah ini pada masa kolonial telah menghasilkan pemikir-pemikir muda yang terus menyebarkan ide-idenya untuk kemajuan bangsa (Hindia) Indonesia.

Sebut saja Ahmad Abdul Rivai, seorang lulusan dokter dari Belgia yang memilih menjadi jurnalis. Ia menjadi pendiri dan pemimpin redaksi dwimingguan Bintang Hindia (1906). AA Rivai adalah pemimpin redaktur pribumi pertama di Indonesia.

Berkat tulisan di majalahnya yang dia sebut sebagai ”soerat  tjerita”, gagasan untuk memajukan pengetahuan rakyat agar mencapai ”bangsawan pikiran” terus digelorakan. Bangsawan pikiran lahir dari hasil perjuangan, pencapaian intelektual dari kaum muda yang mau belajar, yang berbeda dengan bangsawan usul (turunan).

Menurut AA Rivai, untuk melawan bangsa Barat yang sudah maju, kaum muda di Hindia Belanda harus melawan dengan kepandaian yang diperoleh melalui pendidikan. Bintang Hindia seolah membuka mata bagi kaum muda Indonesia untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. Karena pemikiran dan ide-ide Rivai-lah, seorang Wahidin Sudirohusodo pun menyarankan pengikutnya untuk bertanya kepada Rivai mengenai ide-ide kemajuan bangsa. Dari pergumulan pemikiran inilah terus bergerak sehingga bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.

Jika AA Rivai menyebarkan gagasan kemajuan melalui media jurnalisme yang ujungnya adalah pembebasan diri dari kolonialisme, kini pada era Kabinet Kerja, mampukan gerakan ”Indonesia Mengajar” yang dulunya gerakan sosial, budaya, dan pendidikan—yang kini setelah sang penggagasnya diberi amanah untuk memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—dapat memberikan akses seluas-luasnya kepada peserta didik? Inilah yang kita perjuangkan bersama.

Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang konon dianggap berhasil di Solo dan Jakarta, kini akan dibawa ke pentas nasional: mampukan memberi jawab terhadap pendidikan yang berkeadilan dan merata? Tentu program KIP perlu disempurnakan, baik kriteria penerima, maupun data penerimanya, sehingga program ini bisa tepat sasaran.

Tenunan kebangsaan

Mengacu pada pemikiran di atas, pertanyaan selanjutnya, di manakah  kebudayaan akan diletakkan dalam konteks kemajuan pendidikan Indonesia baru. Jika pada masa Presiden Soekarno kita mengenal konsep kepribadian bangsa, masa Presiden Soeharto konsep jati diri bangsa, dan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada konsep karakter bangsa, pada era Presiden Joko Widodo ada konsep revolusi mental.

Page 27: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Jika dicermati, konsep-konsep tersebut sebenarnya di dalam implementasinya selalu berlandaskan pada kebudayaan Indonesia. Begitu menjanjikan bagi pengembangan kebudayaan. Akan tetapi, dalam praktiknya—dari dulu sampai kini—nilai-nilai kebudayaan masih sangat sedikit diterapkan dalam proses pembelajaran karena nilai numerik (angka) lebih banyak mendominasi dalam proses pembelajaran.

Untuk itu, dibutuhkan guru-guru yang dapat menggabungkan antara kemampuan keilmuan dan pengetahuan budaya agar dapat memberi motivasi kepada siswa. Akibat dari semua itu, dari ketiga konsep kebudayaan (kepribadian bangsa, jati diri bangsa, dan karakter bangsa) sebelum era Joko Widodo, pada kenyataannya bangsa Indonesia belum mampu melakukan akselerasi menuju bangsa yang maju dan beradab. Kita masih terpuruk pada jargon-jargon yang belum menyentuh kehidupan masyarakat secara mendasar.

Terbukti korupsi masih terus tumbuh, begitu juga kematangan berpolitik dari para elite yang cenderung mengalami involusi. Sementara di bidang ekonomi, gap antara kelompok kaya dan miskin yang semakin menganga. Akhirnya, dalam bidang kebudayaan yang terjadi adalah penyeragaman kebudayaan, dominasi budaya besar terhadap budaya kecil, karena otonomi kebudayaan kurang dapat tempat.

Lalu, apakah revolusi mental bisa mengubah perilaku berbangsa dan bernegara? Tentu ini masih membutuhkan pembuktian bersama.

Namun, paling tidak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru yang menawarkan sebuah konsep tenunan kebangsaan yang berusaha mengimplementasikan konsep revolusi mental patut pula kita kritisi. Jika Indonesia  diibaratkan sebagai sebuah lembaran kain tenun, keberagaman bahasa, suku bangsa, adat istiadat, dan sejarah adalah mozaik yang harus ditenun menjadikan satu keindonesiaan yang utuh, tetapi tetap berwarna-warni sesuai dengan karakternya masing-masing. Jadi, bukan sebuah penyeragaman yang membuat dominasi kebudayaan tertentu terhadap kebudayaan yang lain. Inilah wujud dari ”persatuan” dan bukan ”persatean” yang mudah tercerai-berai, seperti yang pernah dikatakan Mohammad Hatta pada 1930-an.

Jika mengacu pada konsep tenunan kebangsaan tersebut, di sinilah sinkronisasi antara kebudayaan dan pendidikan Indonesia. Kebudayaan yang diartikan sebagai hasil pergulatan pemikiran itulah yang menjadi kerangka dasar dalam pengembangan pendidikan Indonesia.

Restu Gunawan Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia

Kompas, 08 November 2014

Pendidikan Berbasis KebudayaanOleh: HARYADI BASKORO

Page 28: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

SAAT diumumkan, disebut tugas Anies Baswedan adalah sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Ini menunjukkan komitmen pemerintahan Jokowi untuk menjadikan kebudayaan sebagai basis pendidikan.

Hal itu sejalan dengan pemikiran Bung Hatta, sebagaimana dikutip Yudi Latif (Kompas, 21/8), bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan; pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Secara antropologis, Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan, sistem perilaku, dan budaya materi yang menjadi milik diri melalui proses belajar. Artinya, manusia menjadi makhluk yang berbudaya melalui proses belajar. Tidak ada yang instan sehingga ketika proses belajar kebudayaan (enkulturasi) itu diformulasikan, lahirlah sistem-sistem pendidikan berjenjang yang kompleks.

Anak dan remaja

Kebudayaan, entah yang bernilai positif atau negatif, menjadi milik diri melalui proses belajar. Perilaku (budaya) korupsi tidak muncul begitu saja. Kebiasaan menyontek sejak duduk di bangku sekolah dasar, misalnya, adalah proses belajar awal dari perilaku korup tersebut. Apalagi kebudayaan yang mulia dan luhur, yang kini menjadi sesuatu yang langka, tidak bisa dimiliki tanpa belajar keras dalam waktu lama.

Dalam proses pembudayaan, yang dipelajari oleh manusia pada awal proses sosialisasinya dalam kehidupan bermasyarakat akan begitu tertanam dalam jiwa sehingga sulit diubah. Sebagai contoh adalah budaya makan nasi, kita susah mengubahnya karena itulah yang pertama kita pelajari.

Oleh karena itu, tepat jika pembudayaan harus dimulai pada masa kanak-kanak dan remaja, yaitu masa-masa sekolah di bangku pendidikan dasar dan menengah. Revolusi mental pada dasarnya sulit ketika mentalitas buruk sudah terbentuk sejak kanak-kanak, seperti pada kasus mental korup yang berakar pada mental menyontek sejak anak-anak. Itulah sebabnya mental korup bangsa ini tidak mudah dihapuskan sekalipun dengan ancaman dan hukuman yang mengerikan. Mentalitas sebuah bangsa akan kuat apabila ditanamkan sejak masa kanak-kanak.

Orang Jawa punya ungkapan yang mengatakan bahwa menyembuhkan penyakit batuk (watuk) itu mudah, dua-tiga hari sembuh. Namun, menyembuhkan penyakit karakter (watak) tidak bisa dalam setahun atau dua tahun. Oleh karena itulah, revolusi dalam konteks perubahan rezim yang bobrok sering terpaksa menjadi sebuah upaya perubahan radikal dengan kekerasan. Alasannya sederhana, mengubah mental para pemimpin sangat tidak mudah sehingga pembaruan lebih cepat terjadi apabila dilakukan penggulingan kekuasaan secara paksa.

Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa emas sekaligus periode rentan yang sangat kritis. Salah didikan, fatal akibatnya. Itulah sebabnya gerakan terorisme mengader anak-anak belia karena mudah diindoktrinasi. Radikalisme dan sikap ekstrem, intoleransi, dan perilaku kekerasan mudah diajarkan pada diri anak-anak.

Anies Baswedan dituntut untuk bisa mengemas pendidikan moral, budi pekerti, Pancasila, pendidikan damai (peace education), pendidikan pluralisme-multikulturalisme untuk para pelajar kita. Revolusi pada dasarnya adalah pembaruan yang radikal meski tidak selalu terjadi dalam waktu cepat. Jika pembudayaan Indonesia intensif dilakukan sejak kanak-kanak, niscaya gerakan revolusi mental bangsa akan berbuah lebat pada masa 20 tahun atau 30 tahun yang akan datang.

Budaya kreatif

Kebudayaan itu bersifat kreatif. Kebudayaan adalah hasil karya, rasa, dan cipta manusia yang dinamis. Para pemimpin masa silam harus memiliki kualifikasi narendra sudibyo, yaitu sebagai para penggagas, pencipta, dan pengembang peradaban. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk kreator budaya karena menghadapi alam tempat berpijak yang selalu menantangnya untuk bertahan hidup.

Page 29: Kumpulan Artikel Kompas (Pak Nathan)

Dengan demikian, kebudayaan (mental dan perilaku) kreatif itulah yang harus ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Hal itu karena, pada dasarnya, sifat kreatif yang asli juga muncul pada periode perkembangan psikologis anak-anak, seperti yang terjadi pada anak-anak yang kesukaannya adalah bertanya (periode bertanya). Pendidikan tradisional yang hanya bersifat mencekoki anak dengan seabrek pengetahuan terbukti justru menumpulkan mental bertanya dan jiwa kritis anak-anak kita.

Pendidikan berbasis budaya untuk pelajar sekolah dasar dan menengah haruslah pendidikan transformatif yang mencerdaskan. Menurut Darmaningtyas, sebagaimana dikutip Ma’arif (2005), pendidikan transformatif adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk mengembangkan proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif.

Dalam hal ini, potensi-potensi individual tidak dimatikan dengan bentuk pendidikan yang bersifat penyeragaman dan pemberian sanksi-sanksi. Anak didik dibiarkan berkembang secara wajar dan manusiawi. Pendidikan harus bebas dari penindasan, ketimpangan, dominasi, dan eksploitasi. Pendidikan harus menekankan kesetaraan, saling memahami, memiliki kepekaan, dan kebebasan. Tujuan akhirnya adalah supaya anak didik mempunyai pengetahuan yang kritis (critical knowledge).

Tantangannya, kecerdasan (sifat kritis dan kreatif) anak-anak kita harus dipadukan dengan mentalitas idealis. Itu karena, meski metode-metode pembelajaran masa kini bersifat mencerdaskan, tetapi cenderung pragmatis. Metode quantum teaching yang terkenal itu, misalnya, substansinya pragmatis. Kita membutuhkan kebangkitan generasi yang idealis. Namun, idealisme itu sendiri harus diajarkan secara atraktif dan menyenangkan bagi anak-anak kita tanpa merenggut kebahagiaan mereka.

Haryadi BaskoroPeneliti Kebudayaan; Pemimpin 3H Advocates & Consultants Yogyakarta