75
LAJU PENJALARAN RHIZOMA LAMUN YANG DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES DI PULAU BARRANG LOMPO SKRIPSI OLEH: ZUSAN RAPI SAMBARA L111 10 269 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

LAJU PENJALARAN RHIZOMA LAMUN YANG DITRANSPLANTASI

  • Upload
    vomien

  • View
    237

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

LAJU PENJALARAN RHIZOMA LAMUN YANG

DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES

DI PULAU BARRANG LOMPO

SKRIPSI

OLEH:

ZUSAN RAPI SAMBARA L111 10 269

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

ii

LAJU PENJALARAN RHIZOMA LAMUN YANG

DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES

DI PULAU BARRANG LOMPO

Oleh:

ZUSAN RAPI SAMBARA

L111 10 269

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

iii

ABSTRAK

Zusan Rapi Sambara L111 10 269. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Yang

Ditransplantasi Secara Multispesies Di Pulau Barranglompo. Di Bawah Bimbingan Ibu

Rohani AR Sebagai Pembimbing Utama Dan Bapak Mahatma Lanuru Selaku

Pembimbing Anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju penjalaran rhizoma lamun yang

ditransplantasi secara multi spesies. Kegunaan penelitian ini adalah dapat menjadi

informasi dasar bagi pihak terkait dan juga masyarakat mengenai laju pertumbuhan

rhizoma lamun, dalam upaya restorasi lamun. Penelitian ini menggunakan beberapa

jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Halophila ovalis, dan Halodule uninervis yang dikombinasikan secara multispesies.

Parameter lingkungan yang diukur yaitu suhu, salinitas, pasang surut, kecepatan arus,

nitrat, fosfat dan gelombang.

Dari hasil penelitian didapatkan nilai laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 2 yaitu

0,072 cm/hari, nilai laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 4 0,035 cm/hari dan nilai

laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 5 yaitu 0,003 cm/hari. Untuk lamun jenis

Halophila ovalis memiliki nilai laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 2 yaitu 10,792

cm/hari, pada kombinasi 4 yaitu 7,275 cm/hari dan kombinasi 5 yaitu 0,500 cm/hari.

Jenis Halodule uninervis pada kombinasi 4 yaitu 2,949 cm/hari, kombinasi 2 yaitu

0,791 cm/hari dan kombinasi 5 tidak mengalami penjalaran.

Hasil pengukuran pasang surut yaitu 1,64m untuk nilai muka air tertinggi dan 0,62m

untuk nilai terendah muka air dengan kisaran pasang surut sekitar 1,02m, salinitas 30-

35 ppt, suhu 29-300C, arus 0,012-0,39 m/detik, persen besar butir sedimen paling

tinggi yaitu 41,62% dengan ukuran 0,25mm, nitrat sedimen 0,66-1,10 mg/kg, nitrat air

0,033-0,046 mg/L, fosfat sedimen 10,15-11,30 mg/kg, fosfat air 0,250-0,691 mg/L, dan

TSS 18,932-21,070 mg/L.

Kata kunci: Transplantasi, rhizoma, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Barranglompo.

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Laju Penjalaran Rhizoma Lamun yang ditransplantasi

secara Multispesies di Pulau Barranglompo

Nama Mahasiswa : Zusan Rapi Sambara

Nomor Pokok : L111 10 269

Jurusan : Ilmu Kelautan

Skripsi Telah diperiksa

dan disetujui oleh :

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si Dr. Mahatma Lanuru ST., M. Sc NIP. 196909131993032004 NIP. 197010291995031001

Mengetahui :

Dekan Ketua Jurusan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Ilmu Kelautan,

Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc Dr. Mahatma Lanuru ST., M. Sc

NIP. 196703081990031001 NIP. 197010291995031001

Tanggal Lulus : 5 Juni 2014

v

RIWAYAT HIDUP

Zusan Rapi Sambara dilahirkan di Rantepao, 26 Juli 1992.

Putri keempat dari pasangan Bato Rapi, B.Sc dan Yosvina

Sambara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di

Sekolah Dasar (SD) Katholik Rantepao tahun 2004, Sekolah

Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Rantepao tahun 2007,

Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 1 Rantepao tahun

2010. Pada tahun 2010 penulis mengikuti tes masuk

Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN dan akhirnya mengantarkan penulis

mengecap pendidikan di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.

Di bidang keorganisasian penulis pernah menjadi pengurus Senat Mahasiswa

Ilmu Kelautan, pengurus Persekutuan Mahasiswa Kristen Ilmu Kelautan (PERMAKRIS-

IK), dan anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia

(HIMITEKINDO).

Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir, yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Reguler dan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di kecamatan Malunda Kabupaten Majene

Provinsi Sulawesi Barat. Penulis menyelesaikan penelitian dengan judul skripsi “Laju

Penjalaran Rhizoma Lamun yang ditransplantasi secara Multispesies di Pulau

Barranglompo”

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

penyertaan dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi

dengan judul “Laju Penjalaran Rhizoma Lamun yang ditransplantasi secara

Multispesies di Pulau Barranglompo”.

Skripsi ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu yang cukup

lama sehingga mampu menghasilkan karya yang bisa

dipertanggungjawabkan hasilnya oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan pada skripsi ini.

Maka dari itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi kemajuan

ilmu pengetahuan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang positif bagi kita semua.

Makassar, Juni 2014

Penulis

Zusan Rapi Sambara

vii

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan yang berbahagia ini, sebagai wujud terimakasih dan

penghormatan, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1. Orangtua tersayang dan selalu penulis banggakan Ayahanda Bato Rapi, B.Sc,

Ibunda Yosvina Sambara, dan Nenek terkasih Lai Ambo. Terimakasih atas

segala kasih sayang yang senantiasa tercurah, doa yang tidak pernah putus, serta

harapan yang selalu ada bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi

dengan baik.

2. Saudara dan saudariku tercinta Selvianty Rapi Sambara, S.Kep, Devianti Seno

Sambara, S.Hut, Emma Trianti Rapi Sambara, S.T, Zusi Rapi Sambara, Kevin

Rapi Sambara dan Delon Rapi sambara. Terimakasih atas kasih sayang

persaudaraan, semangat dan dukungan dalam segala hal. Kiranya kelak, kita

semua dapat bersama-sama membahagiakan orangtua kita dengan segala

kesuksesan yang diberikan oleh Tuhan Yesus.

3. Ibu Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe M.Si. sebagai pembimbing utama dan Bapak Dr.

Mahatma Lanuru, ST., M.Sc selaku pembimbing anggota yang dengan penuh

kesabaran dan keikhlasan membimbing penulis menyelesaikan penyusunan tugas

akhir.

4. Bapak Dr. Supriadi, ST., M.Si, Dr. Ir. Muh. Hatta, M.Si dan Ibu Dr. Inayah Yasir,

M.Sc yang telah memberikan kritik dan saran bagi penulis untuk menyelesaikan

skripsi sehingga menjadi lebih baik.

viii

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan dan Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Sc selaku

Ketua Jurusan Ilmu Kelautan atas segala arahan, dari penulis mengawali

pendidikan di kampus hingga menulis tugas akhir.

6. Bapak Dr. Supriadi, ST., M.Si dan Bapak Benny Audy Jaya Gosari, S.Kel, M.Si

selaku penasehat akademik, terima kasih atas semua motivasi dan waktu yang

diberikan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh Staf Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan yang

telah memberikan masukan, terutama ilmu dan bantuan selama penulis

menempuh studi hingga akhir.

8. Rekan seperjuanganku dalam penelitian ini, Nenni Asriani, Musdalifa

Mandasari, Ayu Annisa Wirawan, dan Setiawan Mangando yang dari awal

penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini terus menemani, membantu, dan tanpa

henti memotivasi penulis untuk tetap semangat. Prof Susan Williams, Jessica

Abbott, Dale Trockel, Bryan, Steven, S.Kel, Nur Tri Handayani, S.Kel,

Nurhikma, S.Kel serta Jeszy Patiri, S.Kel terima kasih untuk segala bantuan dan

pengalaman yang diberikan kepada penulis selama ini.

9. Teman-teman Angkatan 2010 “Kosong Sepuluh Berjuta Variasi”

(K.O.N.S.E.R.V.A.S.I); Ekhy, Nisa, Hesty, Dian, Ifa, Nenny, Fyra, Tuti, Chia,

Zulvy, Ria, Dilla, Ikram, Hans, Saldi, Asri, Mardi, Andri, Talib, Tendri, Wendri,

Putra, Januar, Frans, Eka, Musliadi, Akram, Asan, Mudin, Mito, Aulia, Roni,

Iswan, Candra, Wahid, dan Ipul. Terimakasih atas segala kebersamaan, canda

tawa, dukungan, dan semangat sejak awal perkuliahan hingga akhir. Kiranya rasa

persaudaraan dan keakraban kita senantiasa terjalin selamanya.

ix

10. Kakak senior dan adik junior di Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan, MSDC, dan

PERMAKRIS; Kak Rivaldy Sambo Palin S.Kel, Kak Ahmad Faisal Ruslan

S.Kel, Kak Nikanor S.Kel, Kak Hermansyah S.Kel, Kak Alfian S.Kel, Kak

Chalid, Kak Madi, Kak Mayang, Kak Nurzahraeni S.Kel, Kak Rizal, Kak

Iccang, Kak Uga, Kak Wanda dan seluruh pengurus terimakasih untuk segala

pengalaman hidup dan semangat kebersamaan selama dalam berorganisasi.

11. Sahabat-sahabatku sejak SMP; Fidelia, Ice , Ekky, Siska, dan Lia. Terimakasih

atas semangat dan persahabatan yang telah kita jalin selama bertahun-tahun.

Semoga kita tetap bisa menjalin persahabatan ini dan tetap saling mendukung.

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan ......................................................................... 3 C. Ruang Lingkup .................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4

A. Deskripsi Lamun .................................................................................. 4 B. Pertumbuhan Rhizoma Lamun ............................................................ 7 C. Klasifikasi Lamun ................................................................................ 8

1. Thalassia hemprichii ................................................................... 9 2. Enhalus acoroides ..................................................................... 10 3. Cymodocea rotundata ................................................................ 11 4. Halophila ovalis .......................................................................... 12 5. Halodule uninervis ..................................................................... 13

D. Fungsi Lamun ..................................................................................... 14 1. Produser Primer .......................................................................... 14 2. Habitat biota................................................................................ 14 3. Penangkap Sedimen ................................................................... 14 4. Pendaur Zat Hara ....................................................................... 14

E. Transplantasi Lamun ........................................................................... 15 1. Teknik Transplantasi lamun Tanpa Jangkar ................................ 15 2. Teknik Transplantasi Dengan Memakai Jangkar ......................... 16

F. Parameter Lingkungan ......................................................................... 16 1. Suhu ........................................................................................... 16 2. Kedalaman ................................................................................. 17 3. Arus ............................................................................................ 17 4. Substrat ...................................................................................... 17 5. Salinitas ..................................................................................... 18 6. Gelombang ................................................................................. 18 7. Nitrat ........................................................................................... 19 8. Fosfat.......................................................................................... 19 9. Total Suspended Solid (TSS) ...................................................... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 20

A. Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 20 B. Alat dan Bahan .................................................................................... 21 C. Prosedur Kerja .................................................................................... 22

1. Tahap Persiapan ........................................................................ 22 2. Penentuan Stasiun...................................................................... 22

ii

3. Metode Transplantasi Lamun ...................................................... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35

A. Penjalaran Rhizoma Lamun ................................................................ 35 1. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun ................................................ 35 2. Rata-rata Laju Penjalaran Rhizoma Pada Tiap Kombinasi ......... 37 3. Laju Penjalaran RhizomaHalophila ovalis ................................... 40 4. Laju Penjalaran RhizomaHalodule uninervis .............................. 41

B. Parameter Lingkungan ........................................................................ 42 1. Pasang Surut ............................................................................. 42 2. Salinitas, Suhu, Gelombang dan Arus ....................................... 43 3. Substrat ..................................................................................... 44 4. Nutrien (N dan P)....................................................................... 45 5. Total Suspension Solid (TSS) .................................................... 46

V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 47 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 48 LAMPIRAN ..................................................................................................... 51

iii

DAFTAR TABEL

NO Hal

1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ....................................... 21

2. Jenis Lamun Yang di Transplantasi ............................................................ 25

3. KombinasiTransplan ................................................................................... 26

4. Salinitas, suhu dan gelombang ................................................................... 41

5. Kandungan Nitrat dan Fosfat ...................................................................... 43

6. Tingkat Kesuburan Berdasarkan Kandungan Fosfat ................................... 47

iv

DAFTAR GAMBAR

NO Hal 1. Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida, 2009) ............................... 5

2. Letak Meristem Apikal (Duarte, 2005) ......................................................... 8

3. Thalassia hemprichii (Fortes, 1989) ............................................................ 9

4. Enhalus acoroides(Fortes,1989) ................................................................. 10

5.Cymodocea rotundata .................................................................................. 11

6. Halophila ovalis ........................................................................................... 12

7. Halodule uninervis ...................................................................................... 13

8. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................ 20

9. Transek Kuadran dan Patok ....................................................................... 23

10. Sketsa Area Transplantasi Lamun ............................................................ 24

11. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun .............................................................. 35

12. Rata-rata Laju Penjalaran Rhizoma Pada Tiap Kombinasi ........................ 37

13. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 2 spesies ....................... 38

14. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 4 spesies ....................... 39

15. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 5 spesies ....................... 40

16. Laju Penjalaran Rhizoma Halophila ovalis ............................................... 40

17. Laju Penjalaran Rhizoma Halodule uninervis ............................................ 42

18. Pola pasang surut Pulau Barrang Lompo tanggal 20-21 Oktober 2013 ..... 43

v

DAFTAR LAMPIRAN

NO Hal

1. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun ............................................................... 51

2. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 2 .................................. 51

3. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 4 .................................. 52

4. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 5 .................................. 53

5. Laju Penjalarn Rhizoma Halophila ovalispada kombinasi 2 dan

kombinasi 4 ................................................................................................ 54

6. Laju Penjalarn Rhizoma Halodule uninervis pada kombinasi 2 dan

kombinasi 4 ................................................................................................ 55

7. Analisis One Way Annova Laju Penjalaran Rhizoma.................................. 56

8. Analisis One Way Annova untuk Laju Penjalaran Rhizoma Halodule

uninervis...... ............................................................................................... 57

9. Analisis One Way Annova untuk Laju Penjalaran Rhizoma Halophila

ovalis .......................................................................................................... 58

10. Dokumentasi Pengumpulan Transplan Di Daerah Donor .......................... 59

11. Dokumentasi Pengukuran Transplan ........................................................ 59

12. Penanaman Transplan ............................................................................. 59

13. Pengukuran Laju Penjalaran rhizoma ....................................................... 60

14. Penjalaran Rhizoma .................................................................................. 60

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lamun (seagrass) adalah salah satu kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang

berada di lingkungan laut. Seperti halnya rumput di darat, lamun mempunyai tunas,

berdaun tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk

berkembangbiak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan lainnya (alga dan rumput

laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji serta mempunyai akar dan

system internal untuk mengangkut gas dan zat hara. Lamun memiliki rhizoma,

daun, dan akar sejati dan hidup terbenam di dalam laut yang beradaptasi di perairan

yang salinitasnya cukup tinggi (Romimoharto dan Juwanda, 2001).

Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir, sering juga dijumpai di

terumbu karang. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang lebat hingga

menjadi padang lamun yang cukup luas. Padang lamun ini merupakan ekosistem

yang sangat tinggi produktifitas organiknya. Di padang lamun ini hidup bermacam-

macam biota laut seperti crustacea, molusca, cacing dan juga ikan (Nontji, 2002).

Lamun membutuhkan dasar yang lunak untuk mudah ditembus oleh akar-akar

dan rimpangnya guna menyokong tumbuhan di tempatnya. Lamun memperoleh

nutrisi baik dari permukaan melalui helaian daun-daunnya maupun dari sedimen

melalui akar dan rimpangnya (McRoy dan Barsdate dalam Kiswara, 1994), tetapi

sumber utama nutrisi lebih banyak berasal dari sedimen.

Lamun sebagai tumbuhan berbunga sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup

terbenam dalam laut. Lamun mempunyai rhizoma, merupakan batang yang

terbenam dalam laut, merayap secara mendatar dan beruas-ruas. Pada ruas-ruas

tersebut tumbuh cabang-cabang berupa batang yang panjangnya bervariasi mulai

2

dari beberapa milimeter sampai dengan satu meter atau lebih. Dari batang pendek

dan tegak ke atas ini muncul daun, bunga dan buah. Pada ruas-ruas tersebut juga

tumbuh akar. Rhizoma dan akar lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di

dasar laut sehingga lamun tahan terhadap hempasan ombak dan arus. Melalui

sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui

transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika

lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia sedimen.

Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari

detokfikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini

merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat

yang memiliki sedimen liat dan lumpur (Larkum et al., 1989).

Hilangnya lamun secara luas telah terjadi di berbagai tempat di belahan dunia

sebagai akibat dari dampak langsung kegiatan manusia, seperti pengerukan dan

jangkar, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi

pesisir, serta pengaruh negatif dari perubahan iklim (erosi oleh naiknya permukaan

laut. Hilangnya padang lamun ini diduga akan terus meningkat akibat tekanan

pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Kiswara, 2009).

Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain; mencabut dan

memasang pada tanah lain atau situasi lain. Restorasi adalah membuat kembali

atau meletakkan kembali ke bentuk sebelumnya atau keadaan yang asli,

memperbaiki, memperbarui, membuat kembali (Bethel 1969 dalam Azkab 1999).

Transplantasi lamun adalah suatu metode penanaman lamun yang telah

dikembangkan untuk melakukan suatu usaha restorasi padang lamun yang telah

mengalami kerusakan (Hutomo dan Soemodihardjo, 1992).

3

Rhizoma lamun seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara

ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

laju penjalaran rhizoma lamun yang ditransplantasi.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui laju penjalaran rhizoma lamun yang

ditransplantasi secara multi spesies. Kegunaan penelitian ini adalah dapat menjadi

informasi dasar bagi pihak terkait dan juga masyarakat mengenai laju penjalaran

rhizoma lamun, dalam upaya restorasi lamun.

C. Ruang Lingkup

Penelitian ini menggunakan beberapa jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides,

Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Halodule

uninervis yang dikombinasikan secara multispesies. Parameter lingkungan yang

diukur yaitu suhu, salinitas, pasang surut, kecepatan arus, TSS, nitrat, fosfat, dan

gelombang.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh

terbenam di lingkungan laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizoma), berakar,

dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas) (Hutomo, 2009).

Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya terdapat

bunga jantan atau bunga betina saja.

Berbeda dengan rumput laut (seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun dan

pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air dan gas

(Kawaroe, 2009). Lamun memiliki bentuk tanaman yang sama seperti halnya rumput

di daratan, yang mempunyai bagian-bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar,

tunas tegak, seludang/pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Lamun

memiliki perbedaan yang sangat nyata dalam struktur akarnya, yang sering dipakai

dalam pembeda jenis (Kiswara 2004).

Rhizoma pada tanaman monokotil seperti halnya H. ovalis merupakan modifikasi

dari batang yang juga terdapat berkas jaringan pengangkut untuk menyalurkan

kebutuhan hara dan nutrisi. Berkas jaringan pengangkut tanaman monokotil tersebar

sepanjang batang. Segera setelah jaringan primer mengalami pendewasaan, berkas

jaringan pengangkut tidak dapat berperan dalam pertambahan ukuran batang (Öpik

dan Rolfe, 2005). Struktur rhizoma pada lamun memiliki variasi yang sangat tinggi

tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma bersama-sama dengan

akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat (Kuriandewa dan Indarto, 2008).

Halophila ovalis memiliki rhizoma yang cenderung terekspose di atas permukaan

substrat, berbeda dengan jenis lamun pada umumnya. Kuriandewa dan Indarto

5

(2008) juga menambahkan bahwa rhizoma dapat meluas secara ekstensif dan

memiliki peran yang utama dalam melakukan perkembangbiakan secara vegetatif.

Perkembangbiakan yang dilakukan secara vegetatif ini merupakan hal yang lebih

penting daripada perkembangbiakan dengan biji (generatif) karena lebih

menguntungkan untuk penyebaran lamun. Secara teori, lamun yang memiliki

rimpang lebih panjang akan lebih mampu bertahan dibandingkan lamun yang

memiliki rimpang lebih pendek jika ditransplantasi.

Larkum et al (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami

penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora

yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi

sedimen di sekitarnya melalui transport oksigen dan kandungan kimia lain. Morfologi

lamun secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida, 2009)

6

Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir

semua genera mempunyai rhizoma yang berkembang baik dan bentuk daun yang

memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (strap

shaped), kecuali pada genus Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur. Oleh

karena itu, lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuh-tumbuhan

yang homogen. Meskipun demikian, pengamatan lebih lanjut memperlihatkan bahwa

bentuk pertumbuhannya, sistem percabangan dan struktur anatomiknya

memperlihatkan keanekaragaman yang jelas. Berdasarkan karakter-karakter sistem

vegetatif tersebut lamun dapat dikelompokkan dalam 6 kategori (Den Hartog, 1967).

1. Percabangan monopodial, yaitu jika batang pokok selalu tampak jelas. Karena

memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih panjang daripada cabang-cabangnya.

a. Daun panjang, berbentuk pita atau ikat pinggang, punya saluran udara.

1. Parvozosterid, daunnya panjang dan sempit: Halodule dan Zostera

subgenus Zosterella.

2. Magnozosterid, daun panjang atau berbentuk pita tetapi tidak lebar: Zostera

subgenus Zostera, Cymodocea dan Thalassia.

3. Syringodid, daun bulat seperti lidi (subulate): Syringodium.

4. Enhalid, daun panjang dan kaku seperti kulit (leathery linier) atau berbentuk

ikat pinggang yang kasar (coarse strap shape): Enhalus, Posidonia dan

Phyllospadix.

b. Daun berbentuk elips, bulat telur, berbentuk tombak (lanceolate) atau panjang,

rapuh dan tanpa saluran udara.

1. Halophilid: Halophila.

7

B. Percabangan simpodial, yaitu batang pokok sukar ditentukan karena dalam

perkembangan selanjutnya mungkin akan menghentikan pertumbuhannya.

Cabang-cabangnya akan lebih panjang dan besar dari batang pokok.

1. Amphibolid: Amphibolis, Thalas-sodendron dan Heterozostera

B. Pertumbuhan Lamun

Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagian-bagian

tertentu seperti daun dan rhizoma dalam kurun waktu tertentu. Namun pertumbuhan

rhizoma lebih sulit diukur terutama pada jenis-jenis tertentu yang umumnya berada

di bawah substrat dibanding pertumbuhan daun yang berada di atas substrat,

sehingga penelitian pertumbuhan lamun relatif lebih banyak mengacu pada

pertumbuhan daun. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

internal seperti fisiologi, metabolisme dan faktor eksternal seperti zat-zat hara,

tingkat kesuburan substrat, dan faktor lingkungan lainnya (Azkab, 1988).

Rhizoma pada tanaman monokotil seperti halnya H. ovalis merupakan modifikasi

dari batang yang juga terdapat berkas jaringan pengangkut untuk menyalurkan

kebutuhan hara dan nutrisi. Berkas jaringan pengangkut tanaman monokotil tersebar

sepanjang batang. Segera setelah jaringan primer mengalami pendewasaan, berkas

jaringan pengangkut tidak dapat berperan dalam pertambahan ukuran batang (Opik

dan Rofle, 2005). Struktur rhizoma pada lamun memiliki variasi tergantung dari

susunan saluran di dalam stele. rhizoma berkembang secara ekstensif dan memiliki

peran utama dalam melakukan perkembangbiakan secara vegetative.

Perkembangbiakan secara vegetative ini merupakan hal yang lebih penting daripada

perkembangbiakan dengan biji (generative) karena lebih menguntungkan untuk

penyebaran lamun.

8

Meristem apikal disebut juga dengan meristem ujung. Meristem apikal terdapat

pada ujung akar dan ujung batang. Saat mengalami pemanjangan, meristem apikal

akan menghasilkan tunas apikal. Tunas apikal berkembang menjadi pelbagai

jaringan baru yang membentuk cabang, daun, dan bunga. Sehingga,

pertumbuhan apikal disebut juga pertumbuhan primer. Sedangkan jaringan yang

dihasilkan disebut jaringan primer (Rochmah et al., 2009)

Gambar 2. Letak meristem apikal (Duarte, 2005)

C. Klasifikasi Lamun

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas

4 famili (Zosteraceae, Posidoniaceae, Cymodoceaceae, dan Hydrocharitaceae), 2

ordo (Hydrocharithales dan Potamogetonales) dan 12 marga. Di perairan Indonesia

terdapat 13 jenis lamun, yang terdiri atas 2 famili dan 7 marga (Kiswara 2009).

Terdapat 13 jenis lamun yang terdapat di Indonesia dan telah dilaporkan, yaitu:

Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H.

pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, Thalassia hemprichii,

9

Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, dan Halophila sulawesii

(Kuriandewa, 2009).

1. Thalassia hemprichii

Daun melengkung dengan bintik-bintik kecil berwarna hitam, ujung daun bulat

dan bergerigi, memiliki rhizoma tebal (Gambar 2). Rimpang berdiameter 2-4 mm

tanpa rambut-rambut kaku. Panjang daun berkisar 100-300 mm dan lebar daun 4-10

mm (Soedharma et al., 2007).

Klasifikasi Thalassia hemprichii menurut Den Hartog (1970) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Anthophyta

Class : Angiospermae

Order : Helobiae

Family : Hydrocharitaceae

Genus : Thallassia

Species : Thalassia hemprichii

Gambar 3. Thalassia hemprichii (Fortes, 1989)

10

2. Enhalus acoroides

Memiliki daun yang pipih, berbentuk pita panjang dengan jumpah 2-5 helaian

daun. Panjang helaian daun berkisar antara 30-150 cm dan lebar 13-17 mm. ujung

daun umumnya ditemukan tidak utuh lagi karena hempasan gelombang (Gambar 3).

Merupakan tumbuhan berumah dua. Bunga jantan bertangkai pendek lurus

sedangkan bunga betina bertangkai panjang melekuk-lekuk seperti spiral. Buah

berukuran besar. Permukaan luar berambut tebal. Rimpang berdiameter lebih dari

10 mm dengan rambut-rambut kaku berwarna hitam. Akarnya mencapai 13 cm

(Soedharma et al., 2007).

Klasifikasi Enhalus acoroides menurut Den Hartog (1970) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Anthophyta

Class : Angiospermae

Order : Helobiae

Family : Hydrocharitaceae

Genus : Enhalus

Species : Enhalus acoroides

Gambar 4. Enhalus acoroides ( Fortes, 1989)

11

3. Cymodocea rotundata

Ujung daun halus dan licin (tidk bergerigi). Daun berbentuk seperti pita yang

melengkung dengan bagian pangkal menyempit dan agak melebar di bagian ujung

(Gambar 4). Rhizoma kecil dan lebih rapuh berwarna putih. Panjang daun berkisar

5-16 cm dan lebar daun 2-4 mm. tulang daun berjumlah 9-15 (Soedharma et

al.,2007).

Klasifikasi Cymodocea rotundata menurut Den Hartog (1970) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Anthophyta

Class : Angiospermae

Order : Helobiae

Family : Potamogetonaceae

Genus : Cymodocea

Species : Cymodocea rotundata

Gambar 5. Cymodocea rotundata (Waycott et al, 2004)

12

4. Halophila ovalis

Bentuk daun oval dengan tepi daun halus tidak bergerigi, daun muncul dari

rizhoma berjumlah sepasang. Ukuran daun 0,5-15 cm, lebar 0,3-2,5 cm, dengan

tangkai 0 ,4-8 cm. daun memiliki cross-vein yang jelas dan intermarginal-vein

(Gambar 5).

Klasifikasi Halophila ovalis menurut Den Hartog (1970) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Anthophyta

Class : Angiospermae

Order : Helobiae

Family : Hydrocharitaceae

Genus : Halophila

Species : Halophila ovalis

Gambar 6. Halophila ovalis (Waycott et al, 2004)

13

5. Halodule uninervis

Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50-500 mm. Daun berbentuk

pita yang menyempit pada bagian bawah. Tulang daun tidak lebih dari 3. Ujung daun

berbentuk seperti trisula (Gambar 6). Rhizoma berwarna putih dengan sedikit serat

kecil hitam pada node (Soedharma et al.,2007).

Klasifikasi Halodule uninervis menurut Den Hartog (1970) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Anthophyta

Class : Angiospermae

Order : Helobiae

Family : Potamogetonaceae

Genus : Halodule

Species : Halodule uninervis

Gambar 7. Halodule uninervis (Waycott et al, 2004)

14

D. Fungsi lamun

Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut

dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai

peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut

dangkal, sebagai berikut:

1. Produsen primer

Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan

ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang.

2. Habitat biota

Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan

dan alga. Disamping itu, padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan dan

sumber makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang.

3. Penangkap sedimen

Daun lamun yang lebat akan memperlambat gerak air yang disebabkan oleh arus

dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu, rimpang

dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat

menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun disini

berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.

4. Pendaur zat hara

Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan

elemen-elemen yang langka di lingkungan laut, khususnya zat-zat hara yang

dibutuhkan oleh algae epifit.

15

E. Transplantasi Lamun

Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain; mencabut dan

memasang pada tanah lain atau situasi lain. Restorasi adalah membuat kembali

atau meletakkan kembali ke bentuk sebelumnya atau keadaan aslinya,

memperbaiki, memperbarui dan membuat kembali (Bethel 1961 dalam Azkab

1999b).

Transplantasi lamun adalah suatu metode penanaman lamun yang telah

dikembangkan untuk melakukan usaha restorasi di daerah padan lamun yang telah

mengalami kerusakan (Hutomo dan Soemodihardjo, 1992).

Proyek transplantasi lamun yang bertujuan untuk restorasi habitat telah

dilakukan pada tahun 1947 oleh Addy dengan menggunakan biji dan bibit vegetatif

lamun Zostera marina dekat Woods Hole. Teknik transplantasi lamun dengan

menggunakan biji lamun tidak berhasil, tetapi penanaman dengan menggunakan

bibit vegetatif menunjukkan keberhasilan.

Secara garis besar teknik transplantasi lamun dibagi menjadi dua, yaitu dengan

mempergunakan dan yang tidak mempergunakan jangkar (Phillips 1994 dalam

Kiswara 2009).

1. Teknik Transplantasi Lamun Tanpa Jangkar

Teknik ini termasuk menanam tanaman lengkap dengan substratnya dan

tanaman yang telah dibersihkan dari substratnya. Teknik-teknik ini memerlukan dana

yang besar dan tenaga yang banyak sehingga kurang ekonomis untuk diterapkan di

daerah yang luas. Terdapat 3 cara melakukan transplantasi lamun tanpa jangkar

yaitu Turfs (memindahkan unit lamun sekitar 0,1m2 yang digali dan dipindahkan

menggunakan sekop), Plugs (memindahkan unit lamun berukuran bulat dengan

16

kedalaman 10-15cm), dan biji (disebarkan di atas permukaan substrat di daerah

berarus rendah).

2. Teknik Transplantasi dengan Memakai Jangkar

Teknik ini bertujuan untuk menghindari tanaman hanyut terbawa arus. Media

jangkar dapat berupa kawat, besi ataupun bambu. Seperti yang dikembangkan oleh

F. T. Short di Universitas New Hampshire (Short et al. 2002) yaitu TERFs

(Transplanting Eelgrass Remotely with Frame systems), adalah unit penanaman

lamun berupa tunas yang diikatkan pada frame besi yang ditanamkan pada substrat.

Cara lain dengan mengikat tunas tunggal dengan karet pada sepotong kawat atau

besi. Dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang dan setelah itu ditanam dan

ditutupi sedimen (Phillips 1974 dalam Kiswara 2004).

F. Parameter Lingkungan

1. Suhu

Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap

kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur

hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis

bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun

meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu

5-35°C. Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa, dimana

pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu. Produktivitas lamun yang

tinggi terjadi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya

suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada

17

kisaran suhu 10-35 °C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu

(Badria, 2007).

2. Kedalaman

Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun

tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30

m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila

ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron

ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman

perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan

Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang

dangkal dengan suhu tinggi.

3. Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh

tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan

periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik ini antara lain

arus yang disebabkan oleh pasang surut. Kecepatan arus perairan berpengaruh

pada produktifitas padang lamun. Arus 0,66 m/s akan menghanyutkan semua

transplantasi metode Plugs dalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in

Azkab 1999b). Pada daerah yang arusnya lemah, sedimen pada padang lamun

terdiri dari lumpur halus dan detritus.

4. Substrat

Substrat merupakan medium dimana tumbuhan secara normal memperoleh

nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan

18

tanaman yan tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Air dan

udara berada dalam pori-pori substrat. Distribusi dan ukuran rongga pori-pori

tergantung pada struktur dan tekstur substrat (Badria 2007). Tipe substrat juga

mempengaruhi masa pertumbuhan tanaman (standing crop) lamun (Zieman 1986 in

Badria 2007).

Selain itu rasio biomassa di atas dan di bawah substrat sangat bervariasi antar

jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi

1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar.

5. Salinitas

Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas

menunjukkan jumlah garam zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut. Sebaran salinitas di

laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah

hujan dan aliran sungai (Nontji 1987). Tumbuhan lamun mempunyai toleransi yang

berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40 PSU.

Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua

dapat menolerir fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986 in Badria 2007). Lamun

jenis Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 0/00 , namun dengan waktu

toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan

dari salinitas 24-35 0/00.

6. Gelombang

Gelombang sangat berpengaruh bagi komunitas lamun yang tumbuh di daerah

perairan yang dangkal. Saat musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan

daun lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles,

2003) sehingga banyak lamun yang akan mengalami kerusakan.

19

7. Nitrat

Nitrat (NO3) merupakan salah satu zat hara yang berperan dalam pertumbuhan

lamun. Nitrat berasal dari dekomposis bahan organik dalam sedimen dan proses

fiksasi Nitrogen. Nitrat dapat diserap oleh lamun mealui akar dan daun. Rhizoma

dan akar lamun yang mati akan menambah kandungan nitrat dalam sedimen. Nitrat

dalam tanah diserap secara cepat untuk membentuk biomassa. Kandungan nitrat di

perairan laut rata-rata sebesar 25 ppm. Senyawa tersebut dapat melewati bagian

permukaan air (Effendi, 2003).

8. Fosfat

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan

sebagai unsur yang esensial sehingga menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan

akuatik termasuk lamun. Fosfat di padang lamun berasal dari kolom air yang

kadarnya relatif rendah dan dari dekomposisi bahan organik dalam sedimen. Lamun

memanfaatkan fosfat di kolom air melalui daun dan di sedimen melalui akar dan

rhizoma. Fosfat digunakan dalam proses fotosintesis dan respirasi lamun. Senyawa

ini menunjukkan subur tidaknya suatu perairan (Effendi, 2003).

9. Total Suspended Solid (TSS)

Kandungan TSS mempunyai hubungan erat dengan kecerahan perairan. Hal ini

terjadi karena keberadaan padatan tersuspensi akan menghalangi penetrasi cahaya

yang masuk ke perairan sehingga hubungan TSS dan kecerahan menunjukkan

hubungan yang berbanding terbalik (Blom, 1994).

Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena

akan meningkatkan kekeruhan air sehingga dapat mengurangi penetrasi matahari ke

20

dalam badan air. Kurangnya cahaya matahari akan berdampak buruk bagi proses

fotosintesis lamun.

21

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Desember 2013. Lokasi

penelitian di Pulau Barranglompo, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar

(Gambar 8). Analisis Total Suspended Solid (TSS) dilakukan di laboratorium

Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

Sedangkan analisis substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas

Pertanian, Universitas Hasanuddin.

Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian

22

B. Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No Alat Dan Bahan Kegunaan

1 GPS (Global Position System)

Menentukan titik koordinat stasiun

2 Transek 40 cm x 40 cm

Tempat transplantasi Lamun

3 Patok

Penahan transek dan penahan transplan

4 Label

Memberi nomor pada transek

5 Mistar

Mengukur panjang rhizoma lamun

6 Layang-layang arus Mengukur kecepatan arus

7 Kompas bidil

Menentukan besar dan arah arus

8 Stopwatch Melihat waktu

9 Handrefractometer Mengukur salinitas

10 Thermometer Mengukur suhu

11 Tiang pasang surut

Mengukur gelombang dan pasang surut

12 Peralatan Scuba

Melakukan transplantasi di dasar laut

13 Alat tulis Mencatat data

14 Plastik Sampel Menyimpan sedimen

15 Air tawar

Membilas permukaan handrefraktometer

16 Tissue

Mengeringkan permukaan handrefraktometer

17 Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis.

Objek Penelitian

23

C. Prosedur Kerja

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi konsultasi kepada pembimbing untuk jalannya

penelitian. Melakukan survei lokasi penelitian. Studi literatur untuk mencari referensi

yang berkaitan dengan penelitian.

2. Penentuan Stasiun

Penentuan stasiun penelitian dilakukan berdasarkan kondisi di lapangan yang

tidak terganggu oleh aktifitas manusia agar penelitian yang akan berlangsung tidak

terkendala. Di sekitar stasiun juga ditumbuhi oleh berbagai jenis lamun yang

menandakan bahwa lokasi tersebut cocok dijadikan sebagai tempat transplantasi.

Beberapa kriteria pemilihan lokasi transplantasi (Calumpong dan Foncesa 2001)

yakni:

(a) Memiliki kedalaman yang serupa dengan daerah donor,

(b) Memiliki sejarah pertumbuhan lamun,

‘(c) Tidak ada gangguan dari aktivitas manusia dan gangguan lain,

(d) Tidak ada gangguan reguler badai dan transpor sedimen,

(e) Tidak mengalami rekolonisasi alami yang cepat dan meluas dari lamun lainnya.

(f) Transplantasi lamun telah berhasil di tempat serupa,

(g) Terdapat tempat yang cukup untuk mendukung kegiatan transplantasi,

(h) Memiliki kualitas habitat yang serupa dengan daerah donor.

24

3. Metode Transplantasi Lamun

a. Pemasangan Transek

Pemasangan transek sebanyak 96 buah dilakukan pada area 20m x 20m

(Gambar 10). Transek yang diamati pada penelitian ini berjumlah 66 buah.

Kombinasi 2 spesies 30 buah transek, kombinasi 4 spesies 30 buah transek, dan

kombinasi 5 spesies 6 buah transek. Ukuran transek 40cm x 40cm. Tiap transek

dipasang dengan menancapkan patok pada kedua sisinya agar tidak bergeser

(Gambar 9). Jarak pemasangan antar transek yaitu 1 meter. Tiap transek memiliki

20 kisi sebagai tempat transplantasi lamun.

Gambar 9. Transek Kuadran dan Patok

Transek Kuadran

Patok penahan Lamun

Patok Penahan Transek

25

Gambar 10. Sketsa Area Transplantasi Lamun

b. Pengumpulan Transplan (Collecting)

Setelah pemasangan transek selesai, pada hari berikutnya dilakukan

pengumpulan transplan lamun yang terdiri dari 5 jenis lamun dari daerah donor.

Untuk transplan jenis Enhalus acoroides dilakukan pengukuran rhizoma

sepanjang15 cm dan panjang daun lamun 30 cm. Ukuran transplan lamun jenis

Halophila ovalis yaitu 20 cm. Untuk transplan lamun jenis Thalassia hemprichii,

Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata sepanjang10 cm (Gambar 11).

26

Tabel 2. Jenis Lamun yang di Transplantasi

Gambar Jenis Lamun Panjang Rhizo ma

Cymodocea rotundata

10 cm

Enhalus acoroides 15 cm

Thalassia hemprichii 10 cm

Halodule uninervis 10 cm

27

Halophila ovalis

20 cm

c. Penanaman Transplan

Setelah transplan dikumpulkan dan diukur berdasarkan panjang masing-masing

spesies, dilanjutkan dengan penanaman transplan. Substrat digali dengan

menggunakan sekop kecil kemudian transplan di masukkan ke dalam substrat.

Untuk menjaga agar transplan tidak hilang, maka digunakan patok besi untuk setiap

transplan. Kombinasi lamun dapat dilihat pada tabel 2;

Tabel 3. Campuran transplan 2 spesies, 4 spesies dan 5 spesies

2 spesies 4 spesies 5 spesies

Enhalus acoroides dan Halophila ovalis.

Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides

Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides

Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides

Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides

Halophila ovalis dan Halodule uninervis

Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides

Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata

Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides

Halodule unninervis dan Thalassia hemprichii

Halophila ovalis, Halodule uninervis,Cymodocea rotundata, dan Thalassia hemprichii

28

d. Metode Pengamatan

Pengamatan dilakukan sekali setiap minggu sekaligus juga membersihkan tiap

transek dari lumut dan sampah yang ada dalam transek agar pertumbuhan

transplant tidak terganggu. Setelah itu dilakukan pengukuran rhizoma lamun secara

hati-hati dengan menggunakan mistar agar rhizoma tidak patah. Pengukuran

rhizoma dimulai ketika rhizoma keluar dari transek kuadran.

4. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia

a. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan langsung di lapangan dengan menggunakan

thermometer dengan cara thermometer dicelupkan kedalam perairan kemudian

mencatat hasil yang tertera pada skala thermometer.

b. Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan handrefraktometer. Sampel air laut

diambil kemudian ditetes pada lensa handrefraktometer yang telah dibersihkan

dengan menggunakan air tawar dan dikeringkan dengan tissue. Setelah itu

handrefaktometer diarahkan ke sumber cahaya dan mencatat hasil yang tertera

pada skala handrefaktometer.

c. Arah dan Kecepatan Arus

Kecepatan arus diukur dengan menggunakan layang-layang arus dengan

panjang tali 5 meter. Sebelum melepas layang-layang arus, terlebih dahulu mencatat

waktu pengukuran. Layang-layang arus dilepas diperairan hingga tali meregang dan

mencatat waktu disaat tali telah meregang. Kecepatan arus dihitung menggunakan

formula:

29

Dimana; v = kecepatan arus (m/s) s = jarak (m) t = waktu (s)

d. Kedalaman

Kedalaman diukur menggunakan tiang yang memiliki skala kemudian,

ditenggelamkan tegak lurus sampai menyentuh dasar perairan, kemudian mencatat

nilai yang ditunjukkan pada tiang skala.

e. Gelombang

Gelombang diukur dengan menggunakan tiang skala. Tiang skala dipasang

pada lokasi transplantasi, kemudian mengamati dan mencatat tinggi air puncak dan

lembah secara bersamaan sebanyak 51 kali. Pengamatan dilakukan secara

berulang-ulang untuk mendapatkan hasil maksimal. Data yang didapatkan diolah

dengan menggunakan rumus:

Tinggi ombak :

H = (Puncak ombak – lembah ombak)

Tinggi ombak signifikan (H1/3) :

H 1/3 = 1/3 rata-rata dari gelombang terbesar

Keterangan :

Hi = Tinggi ombak (m)

H1/3 = Tinggi ombak signifikan

f. Tekstur Substrat

Tekstur substrat diamati dengan mengambil substrat dan memasukkan

kedalam kantong sampel dan selanjutnya dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah

Fakultas Pertanian dengan prosedur sebagai berikut :

V = 𝑠

𝑡

30

1. Substat ditimbang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas

piala 800 ml, ditambah 50 ml H2O2 10% kemudian dibiarkan semalam.

2. Keesokan harinya ditambah 25 ml H2O2 30% dipanaskan sampai tidak

berbusa, selanjutnya ditambahkan 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl.

3. Didihkan di atas pemanas listrik selama lebih kurang 10 menit. Angkat dan

setelah agak dingin diencerkan dengan air bebas ion menjadi 700 ml. Dicuci

dengan air bebas ion menggunakan penyaring Berkefield atau dienap-

tuangkan sampai bebas asam, kemudian ditambah 10 ml larutan peptisator

Na4P2O7 4%.

a. Pemisahan pasir

Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan ayakan 50 mikron

sambil dicuci dengan air bebas ion. Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml

untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke

dalam pinggan aluminium yang telah diketahui bobotnya dengan air bebas

ion menggunakan botol semprot. Keringkan (hingga bebas air) dalam oven

pada suhu 105oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat pasir = A

g).

a. Pemisahan debu dan liat

Filtrat dalam silinder diencerkan menjadi 500 ml, diaduk selama 1 menit dan

segera dipipet sebanyak 20 ml ke dalam pinggan aluminium. Filtrat

dikeringkan pada suhu 105oC (biasanya 1 malam), didinginkan dalam

eksikator dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B g). Untuk

pemisahan liat diaduk lagi selama 1 menit lalu dibiarkan selama 3 jam 30

menit pada suhu kamar. Suspensi liat dipipet sebanyak 20 ml pada

kedalaman 5,2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan

31

aluminium. Suspensi liat dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC,

didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat liat + peptisator = C g).

Tekstur sedimen selanjutnya ditentukan dengan formula sebagai berikut:

g. Nitrat

Pengukuran nitrat air dilakukan di laboratorium dengan tahap sebagai berikut :

a. Botol sampel yang steril diisi dengan air laut lalu menambahkan H2SO4

sebanyak lima tetes lalu didinginkan ke dalam cool box.

b. Mengambil sebanyak 2 ml ke dalam tabung rekasi lalu menambahkan

dengan larutan brucine sebanyak 5 tetes.

c. Ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat di ruang asam (warna kekuningan).

d. Mengambil sebanyak 1 takaran botol spektrofotometer lalu mencatat

absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm.

Pengukuran NO3 air dilakukan menggunakan rumus :

Dimana :

6,69 = pembuatan standar NO3

Abs = pemantulan spektral NO3

Pengukuran nitrat sedimen dengan cara destilasi dilakukan di laboratorium

dengan tahap sebagai berikut :

1. Timbang 0,500 g contoh tanah ukuran <0,5 mm, masukan ke dalam tabung

digest. Tambahkan 1 g campuran selen dan 3 ml asam sulfat pekat,

Fraksi pasir = A g Fraksi debu = 25 (B - C) g Fraksi liat = 25 (C - 0,0095) g Jumlah fraksi = A + 25 (B - 0,0095) g Pasir (%) = A / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100 Debu (%) = {25(B - C)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100 Liat (%) = {25 (C - 0,0095)} / {A + 25 (B - 0,0095)} x 100

NO3 = 6,69 x Abs sampel = … mg/liter

32

didestruksi hingga suhu 350oC (3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap

putih dan didapat ekstrak jernih (sekitar 4 jam).

2. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air

bebas ion hingga tepat 50 ml. Kocok sampai homogen, biarkan semalam

agar partikel mengendap.

3. Seluruh ekstrak contoh dipindahkan secara kualitatif ke dalam labu didih

(gunakan air bebas ion dan labu semprot).

4. Ditambahkan sedikit serbuk batu didih dan aquades hingga setengah volume

labu. Disiapkan penampung untuk NH3 yang dibebaskan yaitu erlenmeyer

yang berisi 10 ml asam borat 1% yang ditambah 3 tetes indikator Conway

(berwarna merah) dan dihubungkan dengan alat destilasi.

5. Dengan gelas ukur, ditambahkan NaOH 40% sebanyak 10 ml ke dalam labu

didih yang berisi contoh dan secepatnya ditutup.

6. Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50–75 ml (berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan H2SO4 0,050 N hingga warna merah muda. Catat

volume titar contoh (Vc) dan blanko (Vb).

Kandungan nitrat sedimen ditentukan menggunakan formula sbb:

Keterangan :

Vc, b = ml titar contoh dan blanko N = normalitas larutan baku H2SO4 14 = bobot setara nitrogen 100 = konversi ke % Fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)

Kadar nitrogen (%) = (Vc - Vb) x N x bst N x 100 mg contoh-1 x fk = (Vc - Vb) x N x 14 x 100 500-1 x fk = (Vc - Vb) x N x 2,8 x fk

33

h. Fosfat

Pengukuran fosfat air dilakukan di laboratorium dengan tahap sebagai berikut :

a. Mengisi air laut pada botol sampel yang steril kemudian ditambahkan

H2SO4 sebanyak 5 tetes lalu didinginkan ke dalam cool box.

b. Mengambil sebanyak 2 ml ke dalam tabung rekasi lalu menambahkan

dengan larutan asam borat sebanyak 2 ml.

c. Menambahkan 3 ml larutan pengoksid (warna kebiruan).

d. Mengambil sebanyak 1 takar botol spektrofotometer lalu mencatat

absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm.

Pengukuran PO4 menggunakan rumus :

Dimana :

19,2 = pembuatan standar PO4

Abs = pemantulan spektral PO4

Pengukuran fosfat sedimen dilakukan di laboratorium dengan tahap sebagai

berikut :

1. Sedimen ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam botol

kocok, ditambah 20 ml pengekstrak Olsen, kemudian dikocok selama 30

menit.

2. Saring dan bila larutan keruh dikembalikan lagi ke atas saringan semula.

3. Ekstrak dipipet 2 ml ke dalam tabung reaksi dan selanjutnya bersama deret

standar ditambahkan 10 ml pereaksi pewarna fosfat, kocok hingga homogen

dan biarkan 30 menit.

PO4 = 19,2 x Abs sampel = … mg/liter

34

4. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang

693 nm.

Kadar P2O5 pada sedimen ditentukan dengan formula sbb:

Keterangan: ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. Fp = faktor pengenceran (bila ada) 142/190 = faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5 fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)

i. TSS (total suspension solid)

Kertas saring miliopore 0,45 μm ditimbang terlebih dahulu sebagai berat filter

(A mg), kemudian air contoh yang diambil disaring dengan menggunakan filter

miliopore 0,45 μm melalui vacuum pump. Air hasil saringan kemudian diukur dengan

menggunakan gelas ukur kemudian dicatat. Kertas saring miliopore 0,45 μm

kemudian dikeringkan pada suhu 105 ⁰C dan ditimbang sebagai berat filter+residu

(B mg). Setelah didapatkan berat filter dan filter+residu, kemudian dihitung dengan

menggunakan rumus :

Keterangan:

TSS = Total suspension solid (mg/l) A = Berat kertas miliopore 0,45 μm setelah disaring B = Berat kertas kosong miliopore 0,45 μm

= ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 1.000 g/g contoh x fp x 142/90 x fk = ppm kurva x 20/1.000 x 1.000/1 x 142/90 x fk = ppm kurva x 20 x 142/90 x fk

35

7. Pengolahan Data

Rumus untuk pengolahan data laju penjalaran rhizoma

Keterangan:

Lt = Panjang akhir (cm)

Lo = Panjang awal (cm)

Δt = Waktu (hari)

8. Analisis data

Data laju penjalaran rhizoma dibandingkan antar perlakuan (2, 4, dan 5 spesies)

menggunakan analisis one-way ANOVA. Proses Perhitungan dilakukan dengan

bantuan perangkat lunak SPSS 16.

X = Lt-Lo Δt

36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penjalaran Rhizoma Lamun

1. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun

Laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 2 spesies, 4 spesies dan 5 spesies

setiap minggu dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Rata-rata Laju Penjalaran Rhizoma Lamun

Rata-rata laju penjalaran rhizoma menunjukkan bahwa pada minggu 1 dan

minggu 2 belum terlihat adanya penjalaran rhizoma pada kombinasi 2 spesies, 4

spesies dan 5 spesies. Pada minggu 3 penjalaran rhizoma mulai terihat, namun

hanya pada kombinasi 2 spesies dan 4 spesies.

Kombinasi 2 spesies mengalami peningkatan laju penjalaran rhizoma dari

minggu 3 sampai dengan minggu 13. Nilai terendah laju penjalaran rhizoma

kombinasi 2 spesies yaitu 0,005 cm/hari, sedangkan nilai tertinggi penjalaran

rhizoma pada kombinasi 2 spesies yaitu 0,0072 cm/hari.

0,000

0,010

0,020

0,030

0,040

0,050

0,060

0,070

0,080

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Rat

a-ra

ta L

aju

Pe

nja

lara

n

rhiz

om

a(cm

/har

i)

MInggu

kombinasi 2

kombinasi 4

kombinasi 5

37

Kombinasi 4 spesies mengalami peningkatan penjalaran rhizoma pada minggu

3 sampai minggu 8. Penjalaran rhizoma pada minggu 3 sebesar 0,003 cm/hari dan

minggu 8 sebesar 0,0037 cm/hari. Namun penjalaran rhizoma mengalami

penurunan pada minggu 9 sebesar 0,001 cm, sehingga nilai penjalaran rhizoma

pada minggu 9 sebesar 0,0036 cm/hari. Di minggu 10 penjalaran kembali meningkat

sebesar 0,0039 cm/hari. Nilai akhir penjalaran rhizoma pada kombinasi 4 spesies di

minggu 13 yaitu 0,050 cm/hari Kombinasi 5 spesies mengalami peningkatan pada

minggu 5 dengan nilai 0,0005 cm/hari, namun hingga minggu 13 penjalarannya tidak

bertambah.

Menurut Michael (1994), persaingan di antara tumbuhan secara tidak langsung

terbawa oleh modifikasi lingkungan. Di dalam substrat, sistem-sistem akan bersaing

untuk mendapatkan bahan makanan, dan karena mereka tak bergerak, ruang

menjadi faktor yang penting

Jenis lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Halophila ovalis, dan Halodule uninervis memiliki bentuk percabangan monopodial,

yaitu batang pokok tampak jelas karena memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih

panjang daripada cabang-cabangnya. Jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii

dan Cymodocea rotundata tidak terlihat adanya penjalaran. Enhalus acoroides,

Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata membutuhkan waktu yang lama

untuk berkembangbiak secara vegetatif. Menurut Vermaat (1995), nilai penjalaran

rhizoma Enhalus acoroides, yaitu 5,3 cm/tahun. Nilai penjalaran rhizoma Thalassia

hemprichii yaitu 20,6 cm/tahun dan nilai penjalaran rhizoma Cymodocea rotundata

yaitu 33,9 cm/tahun.

38

Jenis Halophila ovalis dan Halodule uninervis terlihat adanya penjalaran

rhizoma keluar dari transek kuadran. Kedua spesies ini merupakan lamun pionir

yang mampu untuk menghuni pertama kali daerah padang lamun.

2. Rata-rata Laju Penjalaran Rhizoma Pada Tiap Kombinasi

Dalam pengukuran penjalaran rhizoma lamun, terdapat kombinasi lamun yang

penjalaran rhizomanya cepat dibanding dengan kombinasi lamun yang lain.

Kombinasi 2 spesies memiliki nilai penjalaran rhizoma yang tinggi dibandingkan

kombinasi lainnya dengan nilai 0,072 cm/hari, nilai laju penjalaran rhizoma pada

kombinasi 4 spesies lamun adalah 0,035 cm/hari dan nilai laju penjalaran rhizoma

pada kombinasi 5 spesies lamun yaitu 0,003 cm/hari (Gambar 13).

Gambar 13. Laju penjalaran rhizoma beberapa kombinasi spesies

Data rata-rata laju penjalaran rhizoma lamun yang dianalisis menggunakan one-

way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara ketiga

kombinasi.

Faktor yang mempengaruhi laju penjalaran rhizoma adalah faktor dari

karakteristik masing-masing spesies. Spesies yang memiliki laju penjalaran yang

0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

0,12

0,14

kombinasi 2 kombinasi 4 kombinasi 5

Rat

a-ra

ta L

aju

Pe

nja

lara

n

Rh

izo

ma

Lam

un

(cm

/har

i)

Kombinasi

39

tinggi dalam penelitian ini yaitu jenis lamun Halophila ovalis dan Halodule uninervis.

Spesies tersebut memiliki ukuran yang kecil yang mampu untuk bertumbuh dengan

cepat dibanding spesies yang lain. Menurut Marba N & Duarte CM (1998), spesies

yang memiliki rhizoma yang berukuran kecil dan internode yang panjang

menyebabkan cepatnya laju penjalaran rhizoma secara horizontal dibanding dengan

spesies yang berukuran besar yang memiliki rhizoma yang berukuran besar/tebal

dan internode yang pendek.

Gambar 14. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 2 spesies. Keterangan: hd

(Halodule uninervis), th (Thalassia hemprichii), en (Enhalus acoroides), cy (Cymodocea

rotundata), hp (Halophila ovalis).

Gambar 14 menunjukkan bahwa kombinasi 2 yang memiliki nilai penjalaran

rhizoma yang tinggi adalah kombinasi Halophila ovalis dan Enhalus acoroides. Jenis

lamun dalam kombinasi ini yang penjalarannya cepat yaitu Halophila ovalis, dengan

nilai 0,288cm/hari. Nilai kombinasi Halophila ovalis dan Halodule uninervis yaitu

0,050cm/hari. Nilai laju penjalaran rhizoma kombinasi Halodule uninervis dan

Cymodocea rotundata yaitu 0,012cm/hari. Nilai penjalaran kombinasi Halodule

uninervis dan Thalassia hemprichii yaitu 0,011cm/hari. Sedangkan kombinasi

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

0,300

0,350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Rat

a-ra

ta L

aju

Pe

nja

lara

n

Rh

izo

ma(

cm/h

ari)

Minggu

hd&th

en&th

hd&cy

hp&hd

hp&en

40

Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii tidak menunjukkan adanya penjalaran

rhizoma.

Gambar 15. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 4 spesies. Keterangan: hd

(Halodule uninervis), th (Thalassia hemprichii), en (Enhalus acoroides), cy (Cymodocea

rotundata), hp (Halophila ovalis).

Gambar 15 menunjukkan laju penjalaran rhizoma kombinasi 4 spesies

lamun. Nilai tertinggi penjalaran kombinasi 4 spesies lamun yaitu, kombinasi

Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii, dan Enhalus acoroides,

dengan nilai 0,161cm/hari. Nilai penjalaran rhizoma kombinasi Halophila ovalis,

Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, dan Enhalus acoroides yaitu

0,068cm/hari. Nilai penjalaran rhizoma Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,

Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Sedangkan kombinasi Halodule

uninervis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides tidak

menunjukkan adanya penjalaran rhizoma lamun.

Dari nilai yang ditunjukkan oleh gambar 15, dapat dilihat bahwa kombinasi

lamun yang penjalaran rhizomanya cepat yaitu kombinasi yang tedapat lamun jenis

pionir yaitu Halophila ovalis dan Halodule uninervis.

0,000

0,020

0,040

0,060

0,080

0,100

0,120

0,140

0,160

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Laju

Pe

nja

lara

n r

hiz

om

a la

mu

n(c

m/h

ari)

Minggu

Hp,Hd,Cy,En

Hd,Cy,Th,En

hp,cy,th,en

hp,hd,th,en

hp,hd,cy,th

41

Gambar 16. Laju penjalaran rhizoma lamun pada Kombinasi 5 spesies

Gambar 16 menunjukkan laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 5 spesies

lamun yaitu, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Thalassia

hemprichii dan Enhalus acoroides nilai laju penjalaran pada kombinasi 5 spesies

sangat kecil dibanding laju penjalaran rhizoma kombinasi 2 dan 4 spesies.

3. Laju Penjalaran Rhizoma Halophila ovalis

Gambar 17. Laju Penjalaran Rhizoma Halophila ovalis

Grafik di atas menunjukkan bahwa laju penjalaran lamun jenis Halophila ovalis

pada kombinasi 2 spesies memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan kombinasi 4

0,0000

0,0001

0,0002

0,0003

0,0004

0,0005

0,0006

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

laju

pe

nja

lara

n R

hiz

om

a la

mu

n(c

m/h

ari)

Minggu

0,0002,0004,0006,0008,000

10,00012,00014,00016,00018,00020,000

2 SPESIES 4 SPESIES 5 SPESIES

Laju

Penja

lara

n

Rhiz

om

a

Halo

phila

ovalis

(cm

/hari

)

Kombinasi

42

dan 5 spesies. Nilai laju penjalaran lamun jenis Halophila ovalis pada kombinasi 2

yaitu 10,792cm/minggu, pada kombinasi 4 yaitu 7,275cm/minggu dan kombinasi 5

spesies yaitu 0,500cm/minggu.

Menurut Vermaat et al (1994), nilai laju penjalaran Halophila ovalis yaitu 141

cm/tahun atau 2,712cm/minggu. Lamun yang memiliki rhizoma yang besar akan

mengalami penjalaran rhizoma yang lambat, dibanding dengan lamun yang memiliki

rhizoma yang kecil. Lamun yang berukuran kecil mudah untuk tumbuh dan menutupi

area yang baru dengan meluasnya penjalaran rhizoma.

Menurut Den Hartog (1970), Halophila ovalis memiliki pertumbuhan vertikal yang

lambat, dibanding pertumbuhan rhizoma secara horisontal. Lamun jenis Halophila

ovalis tumbuh di daerah substrat berpasir. Umumnya tipe tunggal, tetapi juga

ditemukan di lamun campuran bersama jenis Thalassia hemprichii. Halophila ovalis

dapat tumbuh di lokasi penelitian karena secara morfologi anatomi akar jenis ini

halus seperti rambut tetapi sangat kuat untuk beradaptasi dengan menancapkan

tubuh ke dalam substrat (Larkum et al 1989). H. ovalis merupakan spesies pionir

terutama pada substrat yang terganggu; tumbuh sampai kedalaman 25m,

cenderung mengolonisasi daerah yang telah ditumbuhi oleh spesies Halodule sp.

(Nienhuis et al. 1989).

4. Laju Penjalaran Rhizoma Halodule uninervis

Grafik di bawah menunjukkan nilai penjalaran rhizoma pada kombinasi 2, 4 dan 5

spesies. Nilai tertinggi ditunjukkan pada kombinasi 4 dengan nilai 14,743cm/minggu.

Sedangkan nilai penjalaran pada kombinasi 2 spesies yaitu 1,246cm/minggu dan

kombinasi 5 spesies tidak mengalami penjalaran. Nilai laju penjalaran rhizoma

lamun Halodule uninervis lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian dari Vermaat

43

(1994). Menurut Vermaat (1994), nilai laju penjalaran lamun jenis Halodule uninervis

yaitu 28,4cm/tahun atau 0,546cm/minggu.

Gambar 18. Laju Penjalaran Rhizoma Halodule uninervis

Menurut Hutomo et al. (1988) H. uninervis seringkali tumbuh sebagai vegetasi

spesies tunggal atau spesies pionir yang hidup pada substrat pasir halus sampai

kasar di zona intertidal dan subtidal dan memiliki sebaran vertikal yang luas mulai

dari zona intertidal sampai lebih dari 20m, terutama pada sedimen yang baru

terganggu seperti pada timbunan dari aktivitas invertebrata yang membuat liang.

B. Parameter Lingkungan

1. Pasang Surut

Tipe pasang surut di daerah transplant yaitu tipe semi diurnal. Tipe semi diurnal

merupakan pola pergerakan air laut dua kali pasang dan dua kali surut dalam

seharinya dengan periode yang berbeda. Nilai muka air tertinggi saat pengukuran

yaitu 1,64m sedangkan surut terendah mencapai 0,62m dengan kisaran pasang

surut sekitar 1,02m

0,000

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

2 SPESIES 4 SPESIES 5 SPESIES

Laju

Penja

lara

n R

hiz

om

a H

alo

dule

unin

erv

is (

cm

/hari)

Kombinasi

44

Gambar 19. Pola pasang surut Pulau Barrang Lompo tanggal 20-21 Oktober 2013

2. Salinitas, Suhu, Gelombang dan Arus

Beberapa parameter yang diamati di lapangan yang mendukung pertumbuhan

lamun yakni salinitas, suhu dan gelombang (Tabel 4).

Berdasarkan hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian didapatkan kisaran suhu

290C – 320C. Menurut Phillips dan Menez (1988), lamun dapat mentolerir suhu

perairan antara 26-360C, akan tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar

28-30 0C. Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-

proses fisiologis yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi.

Proses-proses fisiologis tersebut tersebut akan menurun tajam apabila suhu

perairan berada diluar kisaran tersebut (Berwich 1983 dalam Faiqoh 2006).

Tabel 4. Salinitas, suhu dan gelombang

Waktu Salinitas

(‰) Suhu (0C)

Tinggi Gelombang

(cm)

Kecepatan Arus

(m/detik)

20-Okt-14 30 31 24,43 0,030

26-Okt-14 34 32 5,88 0,012

02-Nop-14 30 31 6,12 0,023

09-Nop-14 33 32 35,94 0,017

16-Nop-14 35 32 5,06 0,018

45

23-Nop-14 35 32 6,00 0,014

30-Nop-14 35 31 9,72 0,039

07-Des-14 35 32 3,37 0,007

14-Des-14 31 30 6,88 0,033

21-Des-14 30 29 8,94 0,019

Kisaran salinitas yang diperoleh di lokasi penelitian sebesar 30‰-35‰. Menurut

Dahuri dkk (2001) lamun memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mentolerir

salinitas tergantung jenisnya akan tetapi umumnya dapat mentolerir salinitas kisaran

suhu 10-40 ‰.

Tinggi gelombang di lokasi transplantasi berkisar 3,37cm-35,94cm. Menurut

Short dan Coles (2003), pada saat musim gelombang/ombak yang besar,

kebanyakan daun lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya.

Kisaran arus yang didapatkan pada daerah donor yaitu 0,035m/detik-

0,073m/detik sedangkan rata-rata kisaran arus yang didapatkan pada lokasi

transplantasi selama penelitian adalah 0,007m/detik-0,039m/detik. Hal ini juga

didukung oleh pendapat Phillips & Menez (1988) yang menyatakan bahwa lamun

umumnya dapat tumbuh pada perairan tenang dengan kecepatan arus sampai 3,5

knots (0,7m/detik).

3. Substrat

Substrat memegang peranan besar dalam keberlangsungan hidup lamun.

Persen besar butir sedimen paling tinggi didapatkan pada lokasi transplantasi

sebesar 41,62% dengan ukuran 0,25 mm. Penyebaran horizontal padang lamun

sangat dipengaruhi oleh karakteristik substrat dan kondisi gerakan air (Nybakken

1992). Semakin tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan kehidupan

lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat perairan lamun akan tumbuh

46

subur, yaitu berdaun panjang dan rimbun (padat), serta pengikatan dan

penangkapan sedimen semakin tinggi (Zieman 1975).

4. Nutrien ( N dan P)

Tumbuhan lamun memerlukan sejumlah unsur hara dalam takaran yang cukup,

seimbang untuk terus tumbuh dan berkembang menyelesaikan daur hidupnya.

Beberapa unsur hara yang diamati pada sedimen dasar perairan adalah nitrat dan

fosfat yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Kandungan Fosfat dan nitrat sedimen dan air

Kandungan Nitrat sedimen di daerah transplantasi berkisar 0,66 mg/kg-1,10

mg/kg sedangkan kandungan nitrat air berkisar 0,033 - 0,049 mg/L. Menurut Yatim

(2005), konsentrasi nitrat dalam tanah dibagi menjadi 3 bagian yaitu < 3 ppm

(rendah), 3-10 ppm (sedang), dan > 10 (tinggi). Dari hasil pengukuran, kandungan

nitrat di daerah transplantasi masuk kedalam golongan rendah. Menurut Supriadi

dkk, (2006), kandungan nitrat yang tinggi cenderung menyebabkan laju

pertumbuhan yang tinggi pula.

Fosfat sangat diperlukan bagi tumbuhan lamun, dan sangat berpengaruh pada

produktivitas biomassa (Smith, 1950 dalam Yatim, 2005). Sulaeman (2005),

mengemukakan tingkat kesuburan berdasarkan kandungan fosfat di perairan

sebagai berikut :

Sedimen Air

Nitrat Fosfat Nitrat Fosfat

mg/kg mg/L

0,88 11,30 0,046 0,691

1,10 10,15 0,039 0,468

0,66 10,82 0,033 0,250

47

Tabel 6. Tingkat Kesuburan Berdasarkan Kandungan Fosfat

No Kandungan Fosfat Tingkat Kesuburan

1 <5 ppm Kesuburan sangat rendah

2 5 – 10 ppm Kesuburan rendah

3 11 – 15 ppm Kesuburan sedang

4 16 – 20 ppm Kesuburan baik sekali

5 >21 ppm Kesuburan sangat baik

Nilai kandungan fosfat sedimen berkisar 10,15 mg/Kg - 11,30 mg/kg sedangkan

kandungan fosfat air di daerah transplantasi berkisar 0,250 mg/L- 0,691 mg/L. Dari

hasil tersebut maka tingkat kesuburan di daerah transplantasi dapat digolongkan

dalam kesuburan yang sangat rendah (<5 ppm).

5. Total Suspension Solid (TSS)

Nilai Total Suspension Solid (TSS) yang di dapatkan pada pengamatan yaitu

21,070 mg/L, 20,440 mg/L dan 18,932 mg/L. Nilai TSS masih dalam standar baku

mutu terhadap toleransi sebaran suspense.

Keberadaan partikel tersuspensi didalam kolom air menyebabkan perairan

menjadi keruh yang dapat menghalangi cahaya masuk ke perairan sehingga proses

fotosintesis lamun dapat terganggu. Sebaran suspensi yang ada di lokasi penelitian

melewati standar baku mutu. Keberadaan padatan tersuspensi dapat berdampak

positif jika tidak melebihi standar yang telah ditentukan oleh Kementrian Lingkungan

Hidup tentang toleransi sebaran suspensi baku mutu kualitas air yaitu 20 mg/l

(Herfinalis, 2005).

48

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa;

Kombinasi 2 spesies yang ditransplantasi memiliki nilai laju penjalaran

rhizoma yaitu 0,072 cm/hari, laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 4 spesies

lamun yaitu 0,035 cm/hari dan nilai laju penjalaran rhizoma pada kombinasi 5

spesies lamun yaitu 0,003 cm/hari.

B. Saran

Untuk melakukan restorasi lamun dengan transplantasi, maka kombinasi

yang baik digunakan adalah transplantasi dengan kombinasi 2 spesies.

49

DAFTAR PUSTAKA

Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan Produksi Lamun, Enhalus Acoroides di Rataan Terumbu di Pari Pulau Seribu. Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya, Oseanografi, Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.

Azkab, M.H. 1999a. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta,

Lombok. Dalam: P3O-LIPI, Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok. Balitbang Biologi Laut, Pustlibang Biologi Laut-LIPI, Jakarta.

Azkab, M.H. 1999b. Petunjuk penanaman lamun. In: Ruyitno, Rositasari R & Fahmi

(eds.). Oseana : Majalah ilmiah semi populer, XXIV(3):11-25. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta.

Badria S. 2007. Laju pertumbuhan daun lamun (Enhalus acoroides) pada dua

substrat yang berbeda di Teluk Banten [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm.

Blom G., E.H.S. Van Duin, dan L. Lijklema. 1994. Sediment Resuspencion and Light

Condition in some shallow Dutch lakes. Water Science and Technology. Brouns JJWM & Heijs FML. 1986. Tropical seagrass ecosystem in Papua New

Guinea a general account of the environment, Marine Flora and Fauna. Proc. K. Ned. AKAD. Wetnsch C88 : 145-182.

Calumpong HP & Fonseca MS. 2001. Seagrass transplantation and other seagrass

restoration methods. Chapter 22, pp. 427. In: Short FT, Coles RG (eds). Global seagrass research methods. Elsevier Science B. V. Amsterdam.

Den Hartog, C. 1967. The Structural Aspect In The Ecology Of Seagrass

Communities, Helgolander Wiss, Meerensuters. 15; 648-459 Den Hartog C. 1970. The seagrasses of the world [M]. Amsterdam, Netherland:

North Holland Publishing House. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan

FIKP, IPB. Bogor.

Fortes, M.D. 1989. Seagrass: A Resource Unknown in The ASEAN Region. ICLARM. Manila. Phiilipphines.

Hutomo H. 1997. Padang lamun Indonesia : salah satu ekosistem laut dangkal yang belum banyak dikenal. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. 35 pp.

50

Hutomo M & Soemodihardjo S. 1992. Prosiding lokakarya nasional penyusunan program penelitian biologi kelautan dan proses dinamika pesisir. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Universitas Diponegoro.

Hutomo, M., W. Kiswara & M.H. Azkab 1988. The status of seagrass ecosystems in

Indonesia : resources, problems, research and management. Paper presented at SEAGRAM I, Manila 17-22 January 1988 : 24 pp.

Kawaroe M. 2009. Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Makalah

disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan

Kiswara. 1994. Pertumbuhan dan Produksi Lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan.

in W. Kiswara, M. K. Moosa dan M. Hutomo. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta

Kiswara W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 – 2001.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Kiswara W. 2009. Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Makalah

disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun “Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta.

Kuriandewa, T.E. dan Indarto H.S. 2008. Pedoman Identifikasi dan Monitpring

Lamun. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Larkum. A.W.D., A.J. Mc Comb And S.A. Shepherd, 1989. Biology of seagrasses : a

treatise on the biology of seagrasses with special reference to Australian region. Elssier, Amsterdam: 6-73.

McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch : Proceding of workshop for

monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangel Center, Sanur Bali. 9th May 2009. Seagrass-Watch HQ, Caims. 56pp.

Nienhuis, P.H.. J. Coosen and W. Kiswara 1989. Community structure and biomass

distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192-214.

Nontji, A. 1987. Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. vii + 372 hlm. Nontji, A. 2002, Laut Nusantara, Djambatan, Jakarta

51

Naughton. 1998. Ekologi Umum, edisi kedua. UGM Press : Yogyakarta. Press : Jakarta.

Nybakken JW. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari

Marine biologi: an ecological approach]. Eidman HM, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. Xiii + 459 hlm.

Öpik, H and Rolfe, A.S. 2005. The physiologi of flowering plants, 4th Editon.

Cambridge: Cambridge University Press.

Rochmah, S. N., Sri Widayati, M. Miah. 2009. Biologi : SMA dan MA Kelas XI. Pusat

Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 346.

Short, F. T. and Coles (Ed.). 2003. Global Seagrass Research Methods. Elsevier

Science. Netherlands.

Soedharma D, D.G. Bengen, N.P. Zamani. 2007. Jenis-Jenis Lamun. Sistem Informasi Ekologi Laut Tropis, Institut Pertanian Bogor.

Sulaeman. 2005. Analisi Kimia Tanah , Tanaman Air Dan Pupuk.Balai Penelitian Tanah dan Pengembangan Pertanian,Departemen Pertanian. Bogor.

Yatim, Ishar. 2005. Struktur komunitas Lamun dan preferensinya terhadap unsur hara sedimen di Pulau Kodingareng lompo, kota Makassar. Skripsi Jurusan Ilmu Kelautan Unhas. Makassar.

Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine, 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of the Indo- West Pacific. James Cook University, Townsville Queensland Australia.

Zieman JC. 1975. Tropical Seagrass Beds and Mangrove Ecosystem: Their Interaction in the Coastal Zones of the Carribean. UNESCO Rep. Mar. Sci., 23: 6-16.

52

Lampiran 1. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun

minggu kombinasi 2 kombinasi 4 kombinasi 5

1 0,000 0,000 0,0000

2 0,000 0,000 0,0000

3 0,005 0,001 0,0000

4 0,010 0,010 0,0000

5 0,022 0,014 0,0000

6 0,037 0,016 0,0024

7 0,049 0,021 0,0024

8 0,056 0,027 0,0024

9 0,063 0,031 0,0024

10 0,066 0,033 0,0024

11 0,071 0,042 0,0024

12 0,071 0,045 0,0024

13 0,072 0,050 0,0024

Lampiran 2. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 2

MINGGU Kombinasi 2

hd&th en&th hd&cy hp&hd hp&en

1 0,000 0,00 0,000 0,000 0,000

2 0,000 0,00 0,000 0,000 0,000

3 0,000 0,00 0,000 0,014 0,013

4 0,000 0,00 0,001 0,020 0,030

5 0,002 0,00 0,003 0,033 0,073

6 0,002 0,00 0,006 0,034 0,142

7 0,003 0,00 0,006 0,040 0,194

8 0,007 0,00 0,007 0,043 0,224

9 0,007 0,00 0,007 0,047 0,254

10 0,008 0,00 0,008 0,050 0,265

11 0,009 0,00 0,010 0,050 0,284

12 0,010 0,00 0,012 0,050 0,286

13 0,011 0,00 0,012 0,050 0,288

53

Lampiran 3. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 4

Minggu

Kombinasi 4

Hp,Hd,Cy,En Hd,Cy,Th,En hp,cy,th,en hp,hd,th,en hp,hd,cy,th

1 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

2 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

3 0,000 0,000 0,000 0,001 0,003

4 0,039 0,000 0,000 0,008 0,003

5 0,053 0,000 0,000 0,016 0,003

6 0,053 0,000 0,000 0,022 0,003

7 0,053 0,000 0,000 0,049 0,003

8 0,065 0,000 0,000 0,068 0,003

9 0,070 0,000 0,000 0,081 0,003

10 0,076 0,000 0,000 0,084 0,003

11 0,109 0,000 0,004 0,093 0,003

12 0,118 0,000 0,005 0,099 0,003

13 0,135 0,000 0,005 0,105 0,003

54

Lampiran 4. Laju Penjalaran Rhizoma Lamun Pada Kombinasi 5

Minggu

hp,hd,cy,th,en

21 25 32 41 77 82

1 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

2 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

3 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

4 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

5 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

6 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

7 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

8 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

9 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

10 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

11 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

12 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

13 0,0000 0,0143 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

55

Lampiran 5. Laju Penjalarn Rhizoma Halophila ovalis pada kombinasi 2 dan

kombinasi 4

Plot Kombinasi 2

18 5,110

58 0,400

20 6,110

29 3,050

94 39,300

Plot

Kombinasi

4

12 1,420

23 5,080

27 1,400

30 4,400

53 2,060

33 11,400

45 9,800

65 0,440

92 1,320

93 40,680

78 2,020

56

Lampiran 6. Laju Penjalarn Rhizoma Halodule uninervis pada kombinasi 2 dan

kombinasi 4

Plot

Kombinasi

2

10 0,520

29 1,250

49 2,310

54 0,400

87 1,310

51 1,010

69 1,920

Plot

Kombinasi

4

12 5,000

30 5,200

31 5,300

33 0,900

45 3,300

65 0,240

93 0,700

57

Lampiran 7. Analisis One Way Annova untuk Laju Penjalaran Rhizoma

Descriptives

laju

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence Interval

for Mean

Minimum

Maximu

m

Lower

Bound

Upper

Bound

2 5 .07220 .122111 .054610 -.07942 .22382 .000 .288

4 5 .03520 .044952 .020103 -.02062 .09102 .000 .098

5 5 .00300 .006708 .003000 -.00533 .01133 .000 .015

Total 15 .03680 .075545 .019506 -.00504 .07864 .000 .288

Test of Homogeneity of Variances

laju

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

4.338 2 12 .038

ANOVA

laju

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between

Groups .012 2 .006 1.059 .377

Within Groups .068 12 .006

Total .080 14

58

Lampiran 8. Analisis One Way Annova untuk Laju Penjalaran Rhizoma Halodule uninervis

Descriptives

laju

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minimu

m

Maxim

um

Lower

Bound

Upper

Bound

2 7 ,7914 ,63486 ,23995 ,2043 1,3786 ,20 1,92

4 7 2,9486 2,29198 ,86629 ,8288 5,0683 ,24 5,30

Tota

l 14 1,8700 1,96555 ,52531 ,7351 3,0049 ,20 5,30

Test of Homogeneity of Variances

laju

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

23,014 1 12 ,000

ANOVA

laju

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 16,286 1 16,286 5,759 ,034

Within Groups 33,937 12 2,828

Total 50,224 13

59

Lampiran 9. Analisis One Way Annova untuk Laju Penjalaran Rhizoma Halophila ovalis

Descriptives

laju

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minimu

m

Maximu

m

Lower

Bound

Upper

Bound

2 5

10,792

0 16,08538

7,1936

0 -9,1806 30,7646 ,40 39,30

4 11 7,2745 11,65400

3,5138

1 -,5547 15,1038 ,44 40,68

5 1 ,5000 . . . . ,50 ,50

Tota

l 17 7,9106 12,48498

3,0280

5 1,4914 14,3298 ,40 40,68

Test of Homogeneity of Variances

laju

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

,705a 1 14 ,415

a. Groups with only one case are ignored in

computing the test of homogeneity of variance for

laju.

ANOVA

laju

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 100,880 2 50,440 ,295 ,749

Within Groups 2393,114 14 170,937

Total 2493,994 16

60

Lampiran 10. Dokumentasi Pengumpulan Transplan Di Daerah Donor

Lampiran 11. Dokumentasi Pengukuran Transplan

Lampiran 12. Penanaman Transplan

61

Lampiran 13. Pengukuran Laju Penjalaran rhizoma

Lampiran 14. Penjalaran Rhizoma