20
1 LAJU PERTUMBUHAN DAUN Cymodocea serrulata BERDASARKAN AREA PASANG DAN SURUT DI PERAIRAN DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN Teguh Imanda, Winny Retna Melani, Susiana [email protected]. Program Studi manajemen sumberdaya perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK IMANDA, TEGUH. Laju Pertumbuhan Daun Cymodocea Serrulata berdasarkan Area Pasang dan Surut di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan Tanjungpinang. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Winny Retna Melani dan Susiana. Penelitian ini mengenai laju pertumbuhan daun lamun Cymodocea serullataberdasarkan area pasang dan surut di perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan lamun, kualitas perairan, laju pertumbuhan daun Cymodocea serrulata, dan biomassa lamun. Penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 15 titik dalam 3 kawasan, kering setengah terendam dan selalu terendam. Hasil penelitian kerapatan lamun di dalam 3 kawasan di katagorikan jarang 42,4-59,2 ind/m 2 . Parameter fisika dan kimia masih terkatagori baik berdasarkan nilai baku mutu yang di tentukan, bagi kehidupan lamun. Tetapi untuk nilai nitrat dan fosfat melebihi ambang baku mutu yang ditentukan. Dari

LAJU PERTUMBUHAN DAUN Cymodocea serrulata …repository.umrah.ac.id/341/1/ARTIKEL TEGUH ok.pdfGambar 1. Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dugunakan dalam penelitian

Embed Size (px)

Citation preview

1

LAJU PERTUMBUHAN DAUN Cymodocea serrulata BERDASARKAN AREA

PASANG DAN SURUT DI PERAIRAN DESA PENGUDANG

KABUPATEN BINTAN

Teguh Imanda, Winny Retna Melani, Susiana

[email protected].

Program Studi manajemen sumberdaya perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Maritim Raja Ali Haji

ABSTRAK

IMANDA, TEGUH. Laju Pertumbuhan Daun Cymodocea Serrulata berdasarkan Area

Pasang dan Surut di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan Tanjungpinang. Jurusan

Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Winny Retna Melani dan Susiana.

Penelitian ini mengenai laju pertumbuhan daun lamun Cymodocea

serullataberdasarkan area pasang dan surut di perairan Desa Pengudang Kabupaten

Bintan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan lamun, kualitas perairan,

laju pertumbuhan daun Cymodocea serrulata, dan biomassa lamun. Penelitian ini

dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 15 titik dalam 3 kawasan, kering

setengah terendam dan selalu terendam. Hasil penelitian kerapatan lamun di dalam 3

kawasan di katagorikan jarang 42,4-59,2 ind/m2. Parameter fisika dan kimia masih

terkatagori baik berdasarkan nilai baku mutu yang di tentukan, bagi kehidupan lamun.

Tetapi untuk nilai nitrat dan fosfat melebihi ambang baku mutu yang ditentukan. Dari

2

hasil pengukuran pertumbuhan daun Cymodocea serrulata tertinggi terjadi pada lokasi

terendam, dan terendah terjadi pada lokasi kering. Berdasarkan uji statistik, bahwa

perbedaan lokasi berdasarkan karakteristik pasang dan surut air secara signifikan

memengaruhi pertumbuhan daun lamun Cymodocea serrulata. Rata-rata pertumbuhan

daun lamun pada masing-masing perlakuan adalah kering 0,004 cm/hari, setengah

terendam 0,006 cm/hari dan terendam 0,008 cm/hari.Nilai biomassa alami untuk kawasan

kering, setengah terendam, dan terendam, tertinggi pada kawasan selalu terendam

berbanding lurus dengan biomassa pertumbuhan yang tinggi berada pada kawasan

terendam juga.

Kata Kunci: kerapatan, kualitas air, laju pertumbuhan, biomassa, pengudang

PENDAHULUAN

Desa Pengudang merupakan Desa yang terletak di Kecamatan Teluk Sebong yang

mempunyai keanekaragaman jenis lamun yang berfungsi sebagai tempat mencari makan

habitat dan pemijahan bagi hewan laut yang hidup di padang lamun. Jika ekosistem lamun

dalam keadaan baik maka kehidupan laut tersebut akan optimal. Dalam hasil survei

lapangan di perairan Desa Pengudang terdapat jenis lamun yang dominan yaitu

Enhalusacoroides, Thalassiahemprichii, Cymodocea serrulata (C. serrulata), Halodule

univervis, serta Halophila ovalis.

Pasang dan surut sangat erat kaitannya dengan laju pertumbuhan lamun karena air yang

bersirkulasi diperlukan suatu ekosistem untuk mengantarkan zat-zat hara serta

mengangkut hasil metabolisme lamun keluar dari daerah padang lamun. Menurut

Takaendengan dan Azkab (2010), bahwa pengaruh dari pasang surut air laut yang berbeda

3

tiap zona memungkinkan berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing

zona di daerah itu. Kedalaman air menentukan tingkat kecerahan air disebabkan oleh

daunnya yang besar mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan serta pengaruh arus

pada pola pasang surut yang akan memengaruhi larutmya nutrien dalam air yang

bermanfaat bagi pertumbuhan lamun.

Laju pertumbuhan lamun di daerah pasang surut sangat berpengaruh terutama di daerah

surut terendah atau kering. Menurut Christon et al. (2012), faktor yang paling berpengaruh

terhadap pertumbuhan lamun adalah kedalaman air yang menentukan tingkat kecerahan

air disebabkan oleh ukuran daunnya yang besar mem-pengaruhi fotosintesis dan

pertumbuhannya serta pengaruh arus pada pola pasang surut yang akan memengaruhi

larutnya nutrien dalam air yang bermanfaat bagi pertumbuhan lamun.

Pertumbuhan daun lamun yang berbeda-beda antara lokasi terjadi karena kecepatan

atau laju pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi dan

metabolisme. Faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat dan

parameter lainnya, (Supriadi et al. 2006).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2017 – Januari 2018. Lokasi

penelitian di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan, Provinsi

Kepulauan Riau. Peta lokasi penelitian di perairan Desa Pengudang dapat dilihat pada

gambar berikut.

4

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang dugunakan dalam penelitian ini adalah multitester, sechii dist,

saringan bertingkat, spektrofotometer, refractometer, penggaris, timbangan, Gps, transek

kuadran 50 x 50 cm, dan kamera.

Petak contoh (Transect plot) yang digunakan penelitian ini adalah petak contoh

berbentuk persegi dengan ukuran 50 x 50 cm. Sketsa petak contoh (plot) yang

digunakan untuk pengamatan lamun dapat dilihat pada gambar berikut.

Penentuan Titik Sampling

Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode purposive sampling menggunakan

software visual sampling plan. Wilayah penelitian dibagi dalam 3 kawasan dan 15 titik

sampling sepanjang perairan Desa Pengudang. Kemudian dilakukan juga cross check

dengan menggunakan GPS, yang dilakukan di lapangan agar bias atau error yang

diperoleh menjadi lebih kecil.

5

Peletakan Plot

Gambar 2. Petak contoh (plot) untuk pengamatan Lamun

Sumber:(Kep Men LH No 200, tahun 2004

Pengamatan Kerapatan Lamun

Pengamatan kerapatan lamun akan dilakukan dengan meletakkan plot pada titik

sampling yang telah ditentukan. Kemudian dihitung jumlah lamun C. serrulata Lalu

dimasukkan kedalam rumus perhitungan kerapatan lamun (Zieman et al., 1980 in Hendra,

2011).

Ki =

Keterangan:

Ki = Kerapatan jenis

ni = Jumlah total tegakan

A = Luas area total pengambilan sampel (m2)

Sampling Air

Pengukuran parameter kualitas air di lakukan pada saat pasang di setiap titik

pengamatan lamun. Pengukuran parameter kualitas air sebagai data penunjang untuk

melihat kondisi perairan lokasi penelitian. Adapun parameter fisika yang diukur suhu,

salinitas, kecerahan dan kedalaman, fraksi substrat. Parameter kimia yang diukur yaitu:

6

pH, DO, nitrat, fosfat. Pengukuran kualitas air dilakukan pada akhir pengamatan

penelitian.

Pertumbuhan daun Lamun

Pengamatan produktivitas daun dilakukan menggunakan metode penandaan. Metode

penandaan yang digunakan yaitu dengan cara menggunting atau memangkas daun lamun,

(Zieman et al. 1980 dalam Hendra 2011). Luas daerah tiap ulangan diukur menggunakan

transek kuadran m2. Sebelum melakukan penandaan terlebih dahulu menghitung

kerapatan lamun, kemudian tegakan dipilih secara acak dalam setiap transek. Penandaan

lamun dilakukan dengan cara mengikat tali nilon di rumpun yang diamati, supaya tidak

mengganggu pertumbuhan. Lamun yang sudah ditandai diikat dengan mistar disamping

lamun yang akan ditandai. Penandaan dilakukan dengan jarak 1 cm dari node. Sampel

lamun C. serrulata yang telah ditandai kemudian diamati lagi sesuai dengan waktu yang

di tentukan. Pengambilan sampling daun lamun secara acak tidak berurutan ada yang daun

besar dan kecil.

Sebelum melakukan penandaan daun lamun terlebih dahulu menghitung kerapatan

lamun pada setiap transek. Pada hari pertama dilakukan pemilihan daun lamun yang

sesuai dengan referensi yang telah di tentukan, kemudian ditandai menggunakan tali

kemudian diikat menggunakan mistar agar lebih mudah mengetahui tegakan yang sedang

diamati. Daun dihitung pertumbuhannya setiap 15 hari sekali atau 5 kali pengulangan

selama 2 bulan. Pertumbuhan daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Zieman

et al., 1980 dalam Hendra, 2011):

P = -

Keterangan :

P = Pertumbuhan panjang (cm) (hari ke 15, 30, 45, 60)

P1 = Panjang akhir daun (cm) (hari ke 15, 30, 45, 60)

P0 = Panjang awal daun (cm)

Pengukuran Daun Lamun

Untuk mengukur laju pertumbuhan daun lamun menggunakan rumus, (Erftemeijer et

al. 1993 dalam Supriadi 2006) yaitu:

7

P = Lt-Lo

∆t

Keterangan:

P = Laju pertumbuhan panjang Daun (mm)

Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm)

Lo = Panjang daun dalam pengukuran awal (mm)

∆t = Selang waktu pengukuran (hari)

Biomassa Daun C. serrulata

Untuk biomassa daun dilakukan 2 kali pengamatan, pertama biomassa daun alami

sebagai informasi atau perbandingaan biomassa daun pertumbuhan setelah dilakukan

pengamatan selama 60 hari di perairan Desa Pengudang. Untuk analisis biomassa daun

lamun dilakukan dengan cara pengeringan dan penimbangan daun C. serrulata. Sampel

daun lamun dimasukkan ke dalam oven (65oC) selama 48 jam hingga sampel lamun

benar-benar kering. Sampel lamun yang telah kering diletakkan diatas kertas aluminium

foil dan ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,001. Produksi

biomassa daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus, (Zieman et al. 1980 dalam

Hendra 2011).

P=WxD

Keterangan:

P = produksi biomassa daun lamun (gbk/m2)

W = berat kering lamun setelah pengeringan 65oC (g)

D = kerapatan lamun (tegakan/ m2)

Analisis

Setelah dilakukan analisa hasil penelitian dengan persamaannya Rancangan Acak

Lengkap (RAL) selanjutnya dilakukan analisis beda nyata (ANOVA) untuk melihat

adanya perbedaan pertumbuhan lamun pada masing-masing perlakuan. Jika dalam uji

8

beda nyata terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan lamun pada msing-

mesing perlakuan maka dilakukan uji lanjut data (Uji DUNCAN).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan Lamun

Kerapatan lamun digambarkan dengan satuan tegakan dalam ukuran meter persegi.

Kerapatan lamun berbeda untuk setiap kawasannya, diantaranya dapat dilihat pada grafik

gambar berikut.

Gambar 4. Rata-rata Kerapatan Jenis Lamun C. serullata di Desa Pengudang

Kerapatan jenis lamun jenis C. serullata pada kawasan yang kering memiliki

kerapatan rata-rata yakni 42,4 tegakan ind/m2. Kerapatan C. serullata pada kawasan

setengah terendam memiliki nilai rata-rata kerapatan 46,6 tegakan/m2 sedangkan

kerapatan C. serullata pada kawasan yang terendam memiliki rata-rata 59,2 tegakan

ind/m2. Dari ketiga kondisi tersebut, maka diketahui kerapatan tertingginya terdapat pada

kawasan terendam. Pada kawasan dengan kondisi air kering dan setengah terendam,

lamun C. serullata akan secara langsung berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan

masyarakat yakni yang melakukan penangkapan kerang dan berkarang. Lamun pada

kondisi kering dan setengah terendam pemanasan yang berlebih secara terbuka

menyebabkan lamun rentan terhadap stress sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan,

(Amin et al. 2013).

42,4 46,6

59,2

0

10

20

30

40

50

60

70

Kering Setengah Terendam Terendam

Ker

ap

ata

n (

ind

/m2)

Lokasi

9

Mengacu pada penentuan status kondisi padang lamun dilakukan dengan

membandingkan data kerapatan jenis ind/m2 lamun. Menurut Gosari dan Haris (2012),

bahwa kerapatan antara 25 – 75 tergolong jarang. Melihat dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa kerapatan lamun rata-rata dari keseluruhan lokasi yakni sebesar 49,4

tegakan/m2. Mengacu pada kondisi tersebut diketahui bahwa lamun di perairan Desa

Pengudang tergolong kerapatan yang jarang. Kondisi lamun yang jarang disebabkan

karena adanya aktivitas sekitar lamun yang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap

lamun.

Kualitas Air

Rata-rata hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Desa Pengudang yang

dilakukan pada saat pengukuran pertumbuhan lamun disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter Fisika

Parameter

Lokasi Perlakuaan

Kering ½

Terendam Terendam

Baku Mutu

Suhu (oC) 29,18±0,60 28,52±0.48 28,36±40 28-30

Kedalaman (m) 0,2 0,5 1,2 <3m

Kecerahan (%)

Substrat

100%

Pasir

berlumpur

100%

berpasir

100%

berpasir

-

Sumber baku mutu: KEPMEN LH NO 51 tahun 2004

Tabel 2. Hasil pengukuran parameter kimia

Parameter

Lokasi Perlakuaan

Kering ½

Terendam Terendam

Baku Mutu

Salinitas (°/oo) 30,6±0,89 29,6±0,89 30,6±1 30-33

Derajat Keasaman 7,9±0,3 7,6±0,04 7,5±0,23 7-8,5

Oksigen Terlarut

(mg/L) 6,5±0,2 6,4±0,21 6,5±0,32

>5

Sumber baku mutu: KEPMEN LH NO 51 tahun 2004

10

Suhu perairan yang didapatkan saat pengambilan data di lapangan selama 8 minggu,

dalam 3 kawasan kering, setengah terendam dan terendam pada 15 titik pengamatan rata-

rata berkisaran antara 28,36-29,18oC. Jika dilihat secara rinci pada wilayah yang kering,

kondisi suhunya lebih tinggi karena langsung terpapar dengan sinar matahari, sedangkan

pada kawasan terendam suhunya lenih rendah karena selalu terendam. Nilai tersebut

menunjukkan kondisi perairan Desa Pengudang sesuai untuk tempat pertumbuhan lamun.

Kisaran suhu tersebut dapat membantu laju pertumbuhan dan perkembangan lamun dan

organisme lainnya. Hal ini didukung dengan pendapat Rugebregt (2015), bahwa suhu

optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 28-30oC. Kemampuan fotosentesis

akan menurun apabila suhu perairan berada di luar kisaran tersebut. Pengaruh suhu

terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang

memengaruhi fotosentesis. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun sendiri berkisar 24-

27 oC.

Nilai kecerahan pada 3 titik lokasi penelitian didapatkan adalah 100%, dimana

kecerahan dengan nilai 100% mempunyai arti bahwa perairan tersebut jernih dan penetrasi

cahaya mencapai dasar perairan sehingga ekosistem lamun mendapatkan pasokan

penetrasi cahaya yang cukup untuk berfotosintesis secara maksimal.

Mengacu pada pernyataan Kordi (2011), bahwa kecerahan yang baik akan sangat

mendukung kehidupan lamun, terutama pada saat proses fotosintesis yang menghasilkan

bahan makanan. Melihat dari hasil tersebut, maka kondisi kecerahan perairan Desa

Pengudang sudah sangat baik, akan tetapi kondisi kerapatan lamun kurang baik. Hal ini

cukup mendukung bahwa kerusakan lamun lebih besar disebabkan adanya aktivitas

manusia.

11

Pengukuran kedalaman di titik lokasi pengamatan dibagi menjadi 3 kawasan yaitu,

kawasan kering, setengah terendam dan di kawasan lamun yang selalu terendam

pengukuran di lakukan di waktu air pasang, dengan ukuran kawasan kering ≥ 20 cm (0,2

m) disetengah terendam ≥ 50 cm (0,5 m) dan yang selalu terendam ±1.20 m. Kondisi

ketiga kawasan tersebut sesuai dengan area yang ditumbuhi oleh lamun umumnya

merupakan perairan dangkal pada ekosistem pesisir. Lamun membutuhkan asupan cahaya

matahari untuk aktivitas fotosintesis. Umumnya lamun pada perairan dangkal hidup antara

kedalaman 0,38-0,71 m, (Christon et al. 2012).

Substrat di daerah lokasi penelitian memiliki 3 karakteristik substrat pasir berlumpur

untuk kawasan kering dan berpasir untuk kawasan setengah terendam dan selalu

terendam, analisis substrat dapat di lihat di lampiran 7. Sedangkan vegetasi lamun yang

membentuk vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan

subtidal yang dangkal. Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang terbuka serta

perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, berkerikil dan patahan dengan karang

mati, (Feryatunet al. 2012). Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang terlindung

dan bersubstrat pasir, stabil serta dekat dengan sedimen yang bergerak secara horizontal,

(Hutomo dan Azkab 1987). Menurut Kurnia et al. (2015), tumbuhan lamun merupakan

tumbuhan yang produktif di laut.

Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut

dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan °/oo (permil). Rata-rata salinitas

perairan yang Desa Pengudang selama 8 minggu penelitian di dalam 15 titik pengamatan

laju pertumbuhan lamun berkisar 29,6-31,6°/oo. Menurut Rugebregt (2015), lamun

memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar

memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10-40 o/oo. Nilai salinitas yang optimum untuk

12

lamun adalah 35 o

/oo. Namun umumnya sebagian besar lamun hidup pada perairan dengan

kisaran salinitas 10-30 o/oo. Dengan demikian kondisi salinitas Desa Pengudang masih

sesuai dengan kisaran yang ditentukan.

Pada lokasi penelitian selama 8 minggu di dapat nilai pH dalam 15 titik pengamatan

rata-rata berkisar 7,5-7,9 dimana kisaran pH masih dalam kisaran untuk pertumbuhan

biota laut termasuk lamun menurut ketentuan KEPMEN LH NO 51 tahun 2004. Dalam

Kep Men LH No. 51 Tahun 2004, menjelaskan bahwa kisaran nilai pH yang mendukung

untuk kehidupan lamun yakni antara 7-8,5. Menurut Kordi (2011), jika keadaan air

terlampau asam ataupun basa, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lamun berupa

kerusakan daun yang akan mengering dan dalam masa yang ekstrim akan menyebabkan

kematian lamun.

DO yang di dapat selama 8 minggu penelitian di 15 titik pengamatan lamun berkisar

antara 6,3-7,9 mg/L masih dalam kisaran untuk pertumbuhan biota laut termasuk lamun.

Menurut kriteria KEPMEN LH NO 51 tahun 2004 tentang pedoman penetapan baku mutu

air laut untuk biota laut yakni sebesar > 5 mg/L. jika dilihat bahwa nilai kandungan

aoksigen terlarut lebih tinggi terdapat pada kawasan terendam, karena pada kawasan ini

masih terpengaruh terjadinya pergerakan air yang menyebabkan proses difusi oksigen dari

udara lebih cepat.

Hasil uji nitrat, fosfat air pasang dan Surut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata nitrat, fosfat air pasang dan surut

Ulangan

Pasang Surut

Nitrat

(NO3-N)

Fosfat

(PO4-P)

Nitrat

(NO3-N)

Fosfat(PO4-

P)

Kawasan Kering (mg/l) 0,37±

0,02 0,08± 0,07

13

Kawasan Setengah Terendam

(mg/l)

0,36±

0,01

0,09± 0,11 0,37± 0.01 0,05± 0,03

Kawasan Terendam (mg/l) 0,34±

0,01

0,02± 0,03 0,33± 0.01 0,04± 0,04

Data hasil pengukuran nitrat air pasang dan surut kawasan kering, Desa Pengudang,

diperoleh nilai kisaran untuk kawasan kering 0,34-0,39 mg/l dengan rata-rata 0,36 mg/l.

Sedangkan nilai nitrat air pasang dan surut kawasan setengah terendam di peroleh nilai

berkisar 0,02-0,4 mg/l dengan rata-rata 0.36-0,37 mg/l. Dikawasan selalu terendam nilai

nitrat air pasang dan surut berkisara 0,32-0,36 mg/l dengan rata-rata 0.34-0.33 mg/l.

Jika dilihat dan dibandingkan dengan baku mutu ketentuan Kep Men LH No. 51

(2004) yang mengharuskan nilai nitrat sebesar 0,008 mg/l. dengan demikian, kandungan

nitrat cenderung mengalami peningkatan melebihi ambang batas baku mutu diantara 3

kawasan.

Kawasan kering dan setengah terendam nilai nitrat tinggi diduga akibat dari adanya

proses dekomposisi dalam substrat oleh bakteri yang dihasilkan dari buangan serasah

lamun maupun hewan-hewan yang mati dan sampah buangan bahan organik dari

masyarakat dan kawan ini juga selalu ada aktivitas manusia, untuk berkarang, mencari

kuda laut, bento kepiting, bagan cacak.

Sedangkan dikawasan selalu terendam nilai nitratnya tinggi melebihi ketentuan baku

mutu, untuk nitrat 0,008 mg/l dan fosfat 0,015 mg/l diduga merupakan nilai nitrat alami di

lapangan karena di dukung dengan kualitas air yang masih di bawah ambang baku mutu,

dan kawasan ini juga jauh dari aktifitas manusia.

Untuk kandungan fosfat air pasang dan surut kawasan kering, setengah terendam dan

terendamdiketahui kisaran 0,03-0,11 mg/l dengan rata-rata kandungan fosfat yakni 0,04

mg/L. diketahui bahwa kandungan fosfat melebihi baku mutu yang ditentukan dalam Kep

Men LH No. 51 Tahun 2004 yakni sebesar 0,015 mg/l.

14

Namun sejauh ini, dari data-data penelitian yang dikumpulkan terkait dengan jenis-

jenis lamun yang tersebar disepanjang perairan laut Pengudang, masih cukup

beranekaragam. Hardiansyah (2016), mendapatkan 5 spesies dari hasi penelitiannya yakni

Cymodocea serullata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Enhalus acoroides serta

Thalassia hemprichii. Dengan demikian menggambarkan bahwa kandungan nutrien yang

tinggi dapat diserap oleh jenis-jenis lamun yang tersebar di perairan tersebut.

Laju Pertumbuhan Daun

Pertumbuhan daun lamun selama pengamatan yakni hari ke 15, 30, 45, dan 60 pada 3

lokasi pada 15 tegakan lamun C. serullata diperoleh laju pertumbuhan pada masing-

masing ulangan seperti pada grafik Gambar 5.

Gambar 5. Grafik laju pertumbuhan daun C. serullata setiap ulangan sampling di Desa

Pengudang.

Rata-rata pertumbuhan daun lamun C. serullata pada perlakuan lokasi kering yakni

sebesar 1,2 cm, pada perlakuan sampling di lokasi setenghah terendam rata-rata

pertumbuhan daun lamun C. serullata 1,37 cm, sedangkan pada pertumbuhan daun lamun

C. serullata yakni sebesar 1,49 cm. terlihat dari data tersebut bahwa pertumbuhan rata-rata

daun lamun tertinggi pada perlakuan lokasi terendam.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 15 30 45 60

Pan

jam

g d

aun

(cm

)

Hari ke-

Kering

setengah

terendam

terendam

15

Faktor yang mengakibatkan tingginya nilai pertumbuhan daun yang terjadi pada lokasi

terendam yakni, karena nilai kandungan nutrien berupa nitrat dan fosfat yang tinggi

melebihi ketentuan nilai baku mutu, nitrat 0,015 mg/l dan fosfat 0,008 mg/l pada lokasi

terendam berhubungan lurus dengan laju pertumbuhan daun yang tinggi pula pada lokasi

terendam. Selain itu juga di kawasan selalu terendam lingkungan perairannya lebih setabil

sepanjang hari. Karena selain akar, daun lamun juga mampu menyerap nutrien untuk

mendukukng perkembangan laju pertumbuhan, jika dibandingkan dengan lokasi kering,

dan setengah terendam pertumbuhannya lebih rendah.

Pada kawasan kering dan setengah terendam pemanasan berlebihan secara terbuka

akan menyebabkan padang lamun sangat rentan terhadap stres yang berakibat pada

kematian terjadinya peningkatan suhu air laut. Menurut Amin et al. (2013), kedalaman

perairan sangat berpengaruh mengingat lamun melakukan aktivitas fotosintesis. Faktor

yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun adalah kedalaman air yang

menentukan tingkat kecerahan air disebabkan oleh ukuran daunnya yang besar

mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhannya serta pengaruh arus pada pola pasang

surut yang akan mempengaruhi larutnya nutrien dalam air yang bermanfaat bagi

pertumbuhan lamun, (Christon et al. 2012).

Data perbandingan rata-rata pertumbuhan daun C. serullata dapat dilihat jelas pada

grafik Gambar 6.

16

Gambar 6. Grafik rata-rata pertumbuhan lamun pada masing-masing perlakuan

Gambar 15 menjelaskan bahwa pada lokasi dengan kondisi terendam memang lebih

baik pertumbuhan daun C. serrulata dibandingkian dengan lokasi lainnya. Untuk melihat

nilai perbedaan untuk masing-masing lokasi sampling terhadap pertumbuhan daun C.

serrulata di uji dengan analisis beda nyata (ANOVA) seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji statistik dengan analisis beda nyata (ANOVA)

Parameter Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Pertumbuhan Lamun .141 2 .070 .632 .554

Dari hasil uji analisis beda nyata (ANOVA) seperti tertera pada tabel diatas,

menunjukkan bahwa nilai F. hitung diketahui sebesar 0,63 yakni lebih besar dari nilai F.

tabel yakni 0,55, nilai signifikan pada tahapan kepercayaan (95%=0,05). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan daun lamun C. serullata untuk

masing-masing lokasi (kering, setengah terendam, dan terendam) tidak berbeda nyata atau

berbeda secara signifikan.

Untuk menguji nilai, analisis beda nyata (ANOVA), maka selanjutnya diuji dengan uji

lanjut Duncan yang tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji Lanjut Duncan Data Penelitian.

Lokasi N Subset for alpha = 0.05

1

0.004

0.006

0.008

0.000

0.002

0.004

0.006

0.008

0.010

0.012

0.014

0.016

0.018

kering 1/2terendam terendamPer

tum

bu

ha

n (

cm/h

ari

) Lokasi

17

Duncana

Kering 4 .2225

Setengah Terendam 4 .3675

Terendam 4 .4875

Sig.

.311

Hasil uji statistik dengan uji Duncan mencirikan bahwa hanya ada 1 kelas pada selang

kepercayaan 95% (0,05) dengan nilai signifikan 0,31. Dengan demikian semakin

menguatkan bahwa laju pertumbuhan daun lamun C. serrulata untuk masing-masing

lokasi (kering, setengah terendam, dan terendam) tidak berbeda nyata atau berbeda secara

signifikan (cenderung sama).

Biomassa Daun

Hasil analisis nilai biomassa melalui tahapan pengeringan dan estimasi kerapatan

lamun maka hasilnya disajikan secara lengkap pada Gambar 7.

Gambar 7 . Grafik nilai biomassa daun lamun alami

Nilai biomassa awal sebelum mengalami perlakuan pemotongan daun diketahui pada

lokasi dengan kondisi kering biomassanya sebesar 28,66 gbk/m2, sedangkan pada lokasi

dengan kondisi setengah terendam yakni sebesar 31,22 gbk/m2, dan pada lokasi tergenang

biomassanya paling tinggi yakni 36,72 gram/m2. Jika dibandingkan dengan hasil biomassa

akhir setelah masa perlakuan pengukuran pertumbuhan disajikan pada grafik Gambar 8.

28,66 31,22

36,72

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

Kering Setengah

Terendam

TerendamBio

ma

ssa

(g

bk

/m2

)

Lokasi

18

Gambar 17. Grafik nilai biomassa pertumbuhan daun lamun selama 60 hari

Nilai biomassa akhir setelah mengalami pemotongan dan pertumbuhan daun diketahui

pada lokasi dengan kondisi kering biomassanya sebesar 15,68 gbk/m2, sedangkan pada

lokasi dengan kondisi setengah terendam yakni sebesar 12,06 gbk/m2, dan pada lokasi

tergenang biomassanya paling tinggi yakni 18,30 gram/m2. Dari perhitungan biomassa

baik awal maupun akhir, diketahui bahwa nilai tertinggi terjadi pada kondisi lamun

dengan perlakukan lokasi terendam dibandingkan dengan kering dan setengah terendam.

Jika diasumsikan oleh peneliti, bahwa pada lokasi dengan kondisi terendam kandungan

nutriennya akan tersebar dengan adanya pergerakan arus sehingga pertumbuhannya lebih

cepat. Daun lamun yang selalu tergenang juga akan memudahkan lamun melakukan

penyerapat nutrien yang bisa dilakukannya melalui epifitik pada daun lamunnya yang

memiliki kemampuan untuk menyerap nutrient, (Kordi 2011).

Aternatif Pengelolaan

Melihat kondisi alaminya dilapangan kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi memang

baik untuk pertumbuhannya, akan tetapi jika kondisinya terus meningkat dan mengarah

kepada pengkayaan nutrisi maka akan membahayakan dan mengacu terjadinya ledakan

pertumbuhan suatu spesies yang dominan.

15,68

12,06

18,30

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Kering Setengah

Terendam

Terendam

Bio

ma

ssa

(g

ram

/m2

/h

ari

ke

60

) Lokasi

19

Selain itu Desa Pengudang merupakan daerah konsevasi lamun, yang selalu di

manfaatkan oleh masyrakat nelayan untuk tempak mencari ikan, kuda laut, berkarang dan

bagan tancap. Penurunan jumlah lamun memberikan dampak yang sangat dirasakan

terutama oleh masyrakat pesisir yaitu nelayan, yang berdampak penurunan dari hasil

tangkapan ikan. Pembangunan di pesisir yang tidak berwawasan lingkungan berdampak

pada penurunan kualitas ekosistem padang lamun yang akhirnya dikhawatirkan dapat

menurunkan pendapatan nelayan sebagai bentuk fungsi lanjut dari kerusakan lamun.

Tranpalantasi lamun merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi

kerusakan ekosistem lamun, (Askab 1999). Tranplantasi lamun ini belum berkembang

luas di Indonesia. Tranplantasi lamun bertujuan memperbaiki padang lamun yang

mengalami kerusakan.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini yakni;

1. Kerapatan lamun diantara tiga kawasan kering, setengah terendam dan selalu

terendam di perairan Desa Pengudang, di kategorikan jarang 42,4-59,2 tegakan

ind/m2.

2. Kondisi perairan di Desa Pengudang masih terkategori baik berdasarkan nilai baku

mutu yang ditentukan, bagi kehidupan lamun. Tetapi untuk nilai nitrat dan fosfat

melebihi ambang baku mutu yang ditentukan.

3. Berdasarkan hasil penelitian pertumbuhan daun Cymodocea Serrulata tertinggi

terjadi pada lokasi terendam, dan terendah terjadi pada lokasi kering. Bahwa

perbedaan lokasi berdasarkan karakteristik pasang dan surut secara signifikan

memengaruhi pertumbuhan daun lamun Cymodocea serrulata.

4. Nilai biomassa alami untuk kawasan kering, setengah terendam, dan terendam,

tertinggi pada kawasan selalu terendam berbanding lurus dengan biomassa

pertumbuhan yang tinggi berada pada kawasan terendam juga.

20

Saran

Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya melihat laju pertumbuhan daun lamun

Cymodocea serruluta dianjurkan dalam setiap pengambilan sampel daun lamun

Cymodocea serrulata harus sama berdasarkan panjang dan lebar daun, pada setiap

kawasan area pasang dan surut, supaya data yang didapatkan tidak bias.

Daftar Pustaka

Amin, D., Zulkifli, Elizal. 2013. The Association of Gastropods and Seagrass in Coastal

Waters of Beruk Island of North Rupat of Riau Province. Online Mahasiswa 2 (1): 1-

13.

Azkab, M.H. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana 24 (1):1-16.

Christon, Djunaedi, O.S., Puba, N.P.2012. Struktur Komunitas Lamun di Pulau Talise,

Sulawesi Utara. Perikanan dan Kelautan 3 (3),287-294.

Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun

(Seagrass)Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbedadi Perairan Pulau Pramuka,

Kepulauan Seribu. Of Management of Aquatic Resources 1 (1):1-7.

Gosari, B.A.J., Haris, A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan

Spermonde. Torani. 22. 3156-162.

Hutomo, M., Azkab, M.H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana.

12. 112-23.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, NO.51. Tahun 2004. Tentang Biota Laut.

Kordi, K.G.2011.Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi potensi pengelolaan.Rineka Cipta

Jakarta.

Kurnia, M., Pharmawati, M., Yusup, D.S. 2015. Jenis-Jenis Lamun di Pantai Lembongan,

Nusa Lembongan dan Analisisnya dengan Pcr Ruas Rbcl. Simbiosis 3 (1):330-333.

Rugebregt, M.J. 2015. Ekosistem Lamun di Kawasan Pesisir Kecamatan Kei Besar

Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku, Indonesia. Widyariset 1 (1):

79-86.

Supriadi, Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. 2012. Komunitas Lamun di Pulau

Barranglompo Makassar Kondisi dan Karakteristik Habitat. Maspari 4 (2):148-158.

Takaendengan, K., Azkab., M.H. 2010. Struktur Komunitas Lamun Di Pulau Talise,

Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1):85-95