Upload
ngoquynh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAJU PERTUMBUHAN DAUN Cymodocea serrulata BERDASARKAN AREA
PASANG DAN SURUT DI PERAIRAN DESA PENGUDANG
KABUPATEN BINTAN
Teguh Imanda, Winny Retna Melani, Susiana
Program Studi manajemen sumberdaya perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
IMANDA, TEGUH. Laju Pertumbuhan Daun Cymodocea Serrulata berdasarkan Area
Pasang dan Surut di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan Tanjungpinang. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Winny Retna Melani dan Susiana.
Penelitian ini mengenai laju pertumbuhan daun lamun Cymodocea
serullataberdasarkan area pasang dan surut di perairan Desa Pengudang Kabupaten
Bintan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan lamun, kualitas perairan,
laju pertumbuhan daun Cymodocea serrulata, dan biomassa lamun. Penelitian ini
dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 15 titik dalam 3 kawasan, kering
setengah terendam dan selalu terendam. Hasil penelitian kerapatan lamun di dalam 3
kawasan di katagorikan jarang 42,4-59,2 ind/m2. Parameter fisika dan kimia masih
terkatagori baik berdasarkan nilai baku mutu yang di tentukan, bagi kehidupan lamun.
Tetapi untuk nilai nitrat dan fosfat melebihi ambang baku mutu yang ditentukan. Dari
2
hasil pengukuran pertumbuhan daun Cymodocea serrulata tertinggi terjadi pada lokasi
terendam, dan terendah terjadi pada lokasi kering. Berdasarkan uji statistik, bahwa
perbedaan lokasi berdasarkan karakteristik pasang dan surut air secara signifikan
memengaruhi pertumbuhan daun lamun Cymodocea serrulata. Rata-rata pertumbuhan
daun lamun pada masing-masing perlakuan adalah kering 0,004 cm/hari, setengah
terendam 0,006 cm/hari dan terendam 0,008 cm/hari.Nilai biomassa alami untuk kawasan
kering, setengah terendam, dan terendam, tertinggi pada kawasan selalu terendam
berbanding lurus dengan biomassa pertumbuhan yang tinggi berada pada kawasan
terendam juga.
Kata Kunci: kerapatan, kualitas air, laju pertumbuhan, biomassa, pengudang
PENDAHULUAN
Desa Pengudang merupakan Desa yang terletak di Kecamatan Teluk Sebong yang
mempunyai keanekaragaman jenis lamun yang berfungsi sebagai tempat mencari makan
habitat dan pemijahan bagi hewan laut yang hidup di padang lamun. Jika ekosistem lamun
dalam keadaan baik maka kehidupan laut tersebut akan optimal. Dalam hasil survei
lapangan di perairan Desa Pengudang terdapat jenis lamun yang dominan yaitu
Enhalusacoroides, Thalassiahemprichii, Cymodocea serrulata (C. serrulata), Halodule
univervis, serta Halophila ovalis.
Pasang dan surut sangat erat kaitannya dengan laju pertumbuhan lamun karena air yang
bersirkulasi diperlukan suatu ekosistem untuk mengantarkan zat-zat hara serta
mengangkut hasil metabolisme lamun keluar dari daerah padang lamun. Menurut
Takaendengan dan Azkab (2010), bahwa pengaruh dari pasang surut air laut yang berbeda
3
tiap zona memungkinkan berkembangnya komunitas yang khas untuk masing masing
zona di daerah itu. Kedalaman air menentukan tingkat kecerahan air disebabkan oleh
daunnya yang besar mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan serta pengaruh arus
pada pola pasang surut yang akan memengaruhi larutmya nutrien dalam air yang
bermanfaat bagi pertumbuhan lamun.
Laju pertumbuhan lamun di daerah pasang surut sangat berpengaruh terutama di daerah
surut terendah atau kering. Menurut Christon et al. (2012), faktor yang paling berpengaruh
terhadap pertumbuhan lamun adalah kedalaman air yang menentukan tingkat kecerahan
air disebabkan oleh ukuran daunnya yang besar mem-pengaruhi fotosintesis dan
pertumbuhannya serta pengaruh arus pada pola pasang surut yang akan memengaruhi
larutnya nutrien dalam air yang bermanfaat bagi pertumbuhan lamun.
Pertumbuhan daun lamun yang berbeda-beda antara lokasi terjadi karena kecepatan
atau laju pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi dan
metabolisme. Faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat dan
parameter lainnya, (Supriadi et al. 2006).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2017 – Januari 2018. Lokasi
penelitian di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau. Peta lokasi penelitian di perairan Desa Pengudang dapat dilihat pada
gambar berikut.
4
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dugunakan dalam penelitian ini adalah multitester, sechii dist,
saringan bertingkat, spektrofotometer, refractometer, penggaris, timbangan, Gps, transek
kuadran 50 x 50 cm, dan kamera.
Petak contoh (Transect plot) yang digunakan penelitian ini adalah petak contoh
berbentuk persegi dengan ukuran 50 x 50 cm. Sketsa petak contoh (plot) yang
digunakan untuk pengamatan lamun dapat dilihat pada gambar berikut.
Penentuan Titik Sampling
Penentuan titik sampling dilakukan dengan metode purposive sampling menggunakan
software visual sampling plan. Wilayah penelitian dibagi dalam 3 kawasan dan 15 titik
sampling sepanjang perairan Desa Pengudang. Kemudian dilakukan juga cross check
dengan menggunakan GPS, yang dilakukan di lapangan agar bias atau error yang
diperoleh menjadi lebih kecil.
5
Peletakan Plot
Gambar 2. Petak contoh (plot) untuk pengamatan Lamun
Sumber:(Kep Men LH No 200, tahun 2004
Pengamatan Kerapatan Lamun
Pengamatan kerapatan lamun akan dilakukan dengan meletakkan plot pada titik
sampling yang telah ditentukan. Kemudian dihitung jumlah lamun C. serrulata Lalu
dimasukkan kedalam rumus perhitungan kerapatan lamun (Zieman et al., 1980 in Hendra,
2011).
Ki =
Keterangan:
Ki = Kerapatan jenis
ni = Jumlah total tegakan
A = Luas area total pengambilan sampel (m2)
Sampling Air
Pengukuran parameter kualitas air di lakukan pada saat pasang di setiap titik
pengamatan lamun. Pengukuran parameter kualitas air sebagai data penunjang untuk
melihat kondisi perairan lokasi penelitian. Adapun parameter fisika yang diukur suhu,
salinitas, kecerahan dan kedalaman, fraksi substrat. Parameter kimia yang diukur yaitu:
6
pH, DO, nitrat, fosfat. Pengukuran kualitas air dilakukan pada akhir pengamatan
penelitian.
Pertumbuhan daun Lamun
Pengamatan produktivitas daun dilakukan menggunakan metode penandaan. Metode
penandaan yang digunakan yaitu dengan cara menggunting atau memangkas daun lamun,
(Zieman et al. 1980 dalam Hendra 2011). Luas daerah tiap ulangan diukur menggunakan
transek kuadran m2. Sebelum melakukan penandaan terlebih dahulu menghitung
kerapatan lamun, kemudian tegakan dipilih secara acak dalam setiap transek. Penandaan
lamun dilakukan dengan cara mengikat tali nilon di rumpun yang diamati, supaya tidak
mengganggu pertumbuhan. Lamun yang sudah ditandai diikat dengan mistar disamping
lamun yang akan ditandai. Penandaan dilakukan dengan jarak 1 cm dari node. Sampel
lamun C. serrulata yang telah ditandai kemudian diamati lagi sesuai dengan waktu yang
di tentukan. Pengambilan sampling daun lamun secara acak tidak berurutan ada yang daun
besar dan kecil.
Sebelum melakukan penandaan daun lamun terlebih dahulu menghitung kerapatan
lamun pada setiap transek. Pada hari pertama dilakukan pemilihan daun lamun yang
sesuai dengan referensi yang telah di tentukan, kemudian ditandai menggunakan tali
kemudian diikat menggunakan mistar agar lebih mudah mengetahui tegakan yang sedang
diamati. Daun dihitung pertumbuhannya setiap 15 hari sekali atau 5 kali pengulangan
selama 2 bulan. Pertumbuhan daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus (Zieman
et al., 1980 dalam Hendra, 2011):
P = -
Keterangan :
P = Pertumbuhan panjang (cm) (hari ke 15, 30, 45, 60)
P1 = Panjang akhir daun (cm) (hari ke 15, 30, 45, 60)
P0 = Panjang awal daun (cm)
Pengukuran Daun Lamun
Untuk mengukur laju pertumbuhan daun lamun menggunakan rumus, (Erftemeijer et
al. 1993 dalam Supriadi 2006) yaitu:
7
P = Lt-Lo
∆t
Keterangan:
P = Laju pertumbuhan panjang Daun (mm)
Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm)
Lo = Panjang daun dalam pengukuran awal (mm)
∆t = Selang waktu pengukuran (hari)
Biomassa Daun C. serrulata
Untuk biomassa daun dilakukan 2 kali pengamatan, pertama biomassa daun alami
sebagai informasi atau perbandingaan biomassa daun pertumbuhan setelah dilakukan
pengamatan selama 60 hari di perairan Desa Pengudang. Untuk analisis biomassa daun
lamun dilakukan dengan cara pengeringan dan penimbangan daun C. serrulata. Sampel
daun lamun dimasukkan ke dalam oven (65oC) selama 48 jam hingga sampel lamun
benar-benar kering. Sampel lamun yang telah kering diletakkan diatas kertas aluminium
foil dan ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,001. Produksi
biomassa daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus, (Zieman et al. 1980 dalam
Hendra 2011).
P=WxD
Keterangan:
P = produksi biomassa daun lamun (gbk/m2)
W = berat kering lamun setelah pengeringan 65oC (g)
D = kerapatan lamun (tegakan/ m2)
Analisis
Setelah dilakukan analisa hasil penelitian dengan persamaannya Rancangan Acak
Lengkap (RAL) selanjutnya dilakukan analisis beda nyata (ANOVA) untuk melihat
adanya perbedaan pertumbuhan lamun pada masing-masing perlakuan. Jika dalam uji
8
beda nyata terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan lamun pada msing-
mesing perlakuan maka dilakukan uji lanjut data (Uji DUNCAN).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan Lamun
Kerapatan lamun digambarkan dengan satuan tegakan dalam ukuran meter persegi.
Kerapatan lamun berbeda untuk setiap kawasannya, diantaranya dapat dilihat pada grafik
gambar berikut.
Gambar 4. Rata-rata Kerapatan Jenis Lamun C. serullata di Desa Pengudang
Kerapatan jenis lamun jenis C. serullata pada kawasan yang kering memiliki
kerapatan rata-rata yakni 42,4 tegakan ind/m2. Kerapatan C. serullata pada kawasan
setengah terendam memiliki nilai rata-rata kerapatan 46,6 tegakan/m2 sedangkan
kerapatan C. serullata pada kawasan yang terendam memiliki rata-rata 59,2 tegakan
ind/m2. Dari ketiga kondisi tersebut, maka diketahui kerapatan tertingginya terdapat pada
kawasan terendam. Pada kawasan dengan kondisi air kering dan setengah terendam,
lamun C. serullata akan secara langsung berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan
masyarakat yakni yang melakukan penangkapan kerang dan berkarang. Lamun pada
kondisi kering dan setengah terendam pemanasan yang berlebih secara terbuka
menyebabkan lamun rentan terhadap stress sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan,
(Amin et al. 2013).
42,4 46,6
59,2
0
10
20
30
40
50
60
70
Kering Setengah Terendam Terendam
Ker
ap
ata
n (
ind
/m2)
Lokasi
9
Mengacu pada penentuan status kondisi padang lamun dilakukan dengan
membandingkan data kerapatan jenis ind/m2 lamun. Menurut Gosari dan Haris (2012),
bahwa kerapatan antara 25 – 75 tergolong jarang. Melihat dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa kerapatan lamun rata-rata dari keseluruhan lokasi yakni sebesar 49,4
tegakan/m2. Mengacu pada kondisi tersebut diketahui bahwa lamun di perairan Desa
Pengudang tergolong kerapatan yang jarang. Kondisi lamun yang jarang disebabkan
karena adanya aktivitas sekitar lamun yang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap
lamun.
Kualitas Air
Rata-rata hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Desa Pengudang yang
dilakukan pada saat pengukuran pertumbuhan lamun disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter Fisika
Parameter
Lokasi Perlakuaan
Kering ½
Terendam Terendam
Baku Mutu
Suhu (oC) 29,18±0,60 28,52±0.48 28,36±40 28-30
Kedalaman (m) 0,2 0,5 1,2 <3m
Kecerahan (%)
Substrat
100%
Pasir
berlumpur
100%
berpasir
100%
berpasir
-
Sumber baku mutu: KEPMEN LH NO 51 tahun 2004
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter kimia
Parameter
Lokasi Perlakuaan
Kering ½
Terendam Terendam
Baku Mutu
Salinitas (°/oo) 30,6±0,89 29,6±0,89 30,6±1 30-33
Derajat Keasaman 7,9±0,3 7,6±0,04 7,5±0,23 7-8,5
Oksigen Terlarut
(mg/L) 6,5±0,2 6,4±0,21 6,5±0,32
>5
Sumber baku mutu: KEPMEN LH NO 51 tahun 2004
10
Suhu perairan yang didapatkan saat pengambilan data di lapangan selama 8 minggu,
dalam 3 kawasan kering, setengah terendam dan terendam pada 15 titik pengamatan rata-
rata berkisaran antara 28,36-29,18oC. Jika dilihat secara rinci pada wilayah yang kering,
kondisi suhunya lebih tinggi karena langsung terpapar dengan sinar matahari, sedangkan
pada kawasan terendam suhunya lenih rendah karena selalu terendam. Nilai tersebut
menunjukkan kondisi perairan Desa Pengudang sesuai untuk tempat pertumbuhan lamun.
Kisaran suhu tersebut dapat membantu laju pertumbuhan dan perkembangan lamun dan
organisme lainnya. Hal ini didukung dengan pendapat Rugebregt (2015), bahwa suhu
optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 28-30oC. Kemampuan fotosentesis
akan menurun apabila suhu perairan berada di luar kisaran tersebut. Pengaruh suhu
terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi fotosentesis. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun sendiri berkisar 24-
27 oC.
Nilai kecerahan pada 3 titik lokasi penelitian didapatkan adalah 100%, dimana
kecerahan dengan nilai 100% mempunyai arti bahwa perairan tersebut jernih dan penetrasi
cahaya mencapai dasar perairan sehingga ekosistem lamun mendapatkan pasokan
penetrasi cahaya yang cukup untuk berfotosintesis secara maksimal.
Mengacu pada pernyataan Kordi (2011), bahwa kecerahan yang baik akan sangat
mendukung kehidupan lamun, terutama pada saat proses fotosintesis yang menghasilkan
bahan makanan. Melihat dari hasil tersebut, maka kondisi kecerahan perairan Desa
Pengudang sudah sangat baik, akan tetapi kondisi kerapatan lamun kurang baik. Hal ini
cukup mendukung bahwa kerusakan lamun lebih besar disebabkan adanya aktivitas
manusia.
11
Pengukuran kedalaman di titik lokasi pengamatan dibagi menjadi 3 kawasan yaitu,
kawasan kering, setengah terendam dan di kawasan lamun yang selalu terendam
pengukuran di lakukan di waktu air pasang, dengan ukuran kawasan kering ≥ 20 cm (0,2
m) disetengah terendam ≥ 50 cm (0,5 m) dan yang selalu terendam ±1.20 m. Kondisi
ketiga kawasan tersebut sesuai dengan area yang ditumbuhi oleh lamun umumnya
merupakan perairan dangkal pada ekosistem pesisir. Lamun membutuhkan asupan cahaya
matahari untuk aktivitas fotosintesis. Umumnya lamun pada perairan dangkal hidup antara
kedalaman 0,38-0,71 m, (Christon et al. 2012).
Substrat di daerah lokasi penelitian memiliki 3 karakteristik substrat pasir berlumpur
untuk kawasan kering dan berpasir untuk kawasan setengah terendam dan selalu
terendam, analisis substrat dapat di lihat di lampiran 7. Sedangkan vegetasi lamun yang
membentuk vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan
subtidal yang dangkal. Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang terbuka serta
perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, berkerikil dan patahan dengan karang
mati, (Feryatunet al. 2012). Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang terlindung
dan bersubstrat pasir, stabil serta dekat dengan sedimen yang bergerak secara horizontal,
(Hutomo dan Azkab 1987). Menurut Kurnia et al. (2015), tumbuhan lamun merupakan
tumbuhan yang produktif di laut.
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut
dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan °/oo (permil). Rata-rata salinitas
perairan yang Desa Pengudang selama 8 minggu penelitian di dalam 15 titik pengamatan
laju pertumbuhan lamun berkisar 29,6-31,6°/oo. Menurut Rugebregt (2015), lamun
memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar
memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10-40 o/oo. Nilai salinitas yang optimum untuk
12
lamun adalah 35 o
/oo. Namun umumnya sebagian besar lamun hidup pada perairan dengan
kisaran salinitas 10-30 o/oo. Dengan demikian kondisi salinitas Desa Pengudang masih
sesuai dengan kisaran yang ditentukan.
Pada lokasi penelitian selama 8 minggu di dapat nilai pH dalam 15 titik pengamatan
rata-rata berkisar 7,5-7,9 dimana kisaran pH masih dalam kisaran untuk pertumbuhan
biota laut termasuk lamun menurut ketentuan KEPMEN LH NO 51 tahun 2004. Dalam
Kep Men LH No. 51 Tahun 2004, menjelaskan bahwa kisaran nilai pH yang mendukung
untuk kehidupan lamun yakni antara 7-8,5. Menurut Kordi (2011), jika keadaan air
terlampau asam ataupun basa, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan lamun berupa
kerusakan daun yang akan mengering dan dalam masa yang ekstrim akan menyebabkan
kematian lamun.
DO yang di dapat selama 8 minggu penelitian di 15 titik pengamatan lamun berkisar
antara 6,3-7,9 mg/L masih dalam kisaran untuk pertumbuhan biota laut termasuk lamun.
Menurut kriteria KEPMEN LH NO 51 tahun 2004 tentang pedoman penetapan baku mutu
air laut untuk biota laut yakni sebesar > 5 mg/L. jika dilihat bahwa nilai kandungan
aoksigen terlarut lebih tinggi terdapat pada kawasan terendam, karena pada kawasan ini
masih terpengaruh terjadinya pergerakan air yang menyebabkan proses difusi oksigen dari
udara lebih cepat.
Hasil uji nitrat, fosfat air pasang dan Surut dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata nitrat, fosfat air pasang dan surut
Ulangan
Pasang Surut
Nitrat
(NO3-N)
Fosfat
(PO4-P)
Nitrat
(NO3-N)
Fosfat(PO4-
P)
Kawasan Kering (mg/l) 0,37±
0,02 0,08± 0,07
13
Kawasan Setengah Terendam
(mg/l)
0,36±
0,01
0,09± 0,11 0,37± 0.01 0,05± 0,03
Kawasan Terendam (mg/l) 0,34±
0,01
0,02± 0,03 0,33± 0.01 0,04± 0,04
Data hasil pengukuran nitrat air pasang dan surut kawasan kering, Desa Pengudang,
diperoleh nilai kisaran untuk kawasan kering 0,34-0,39 mg/l dengan rata-rata 0,36 mg/l.
Sedangkan nilai nitrat air pasang dan surut kawasan setengah terendam di peroleh nilai
berkisar 0,02-0,4 mg/l dengan rata-rata 0.36-0,37 mg/l. Dikawasan selalu terendam nilai
nitrat air pasang dan surut berkisara 0,32-0,36 mg/l dengan rata-rata 0.34-0.33 mg/l.
Jika dilihat dan dibandingkan dengan baku mutu ketentuan Kep Men LH No. 51
(2004) yang mengharuskan nilai nitrat sebesar 0,008 mg/l. dengan demikian, kandungan
nitrat cenderung mengalami peningkatan melebihi ambang batas baku mutu diantara 3
kawasan.
Kawasan kering dan setengah terendam nilai nitrat tinggi diduga akibat dari adanya
proses dekomposisi dalam substrat oleh bakteri yang dihasilkan dari buangan serasah
lamun maupun hewan-hewan yang mati dan sampah buangan bahan organik dari
masyarakat dan kawan ini juga selalu ada aktivitas manusia, untuk berkarang, mencari
kuda laut, bento kepiting, bagan cacak.
Sedangkan dikawasan selalu terendam nilai nitratnya tinggi melebihi ketentuan baku
mutu, untuk nitrat 0,008 mg/l dan fosfat 0,015 mg/l diduga merupakan nilai nitrat alami di
lapangan karena di dukung dengan kualitas air yang masih di bawah ambang baku mutu,
dan kawasan ini juga jauh dari aktifitas manusia.
Untuk kandungan fosfat air pasang dan surut kawasan kering, setengah terendam dan
terendamdiketahui kisaran 0,03-0,11 mg/l dengan rata-rata kandungan fosfat yakni 0,04
mg/L. diketahui bahwa kandungan fosfat melebihi baku mutu yang ditentukan dalam Kep
Men LH No. 51 Tahun 2004 yakni sebesar 0,015 mg/l.
14
Namun sejauh ini, dari data-data penelitian yang dikumpulkan terkait dengan jenis-
jenis lamun yang tersebar disepanjang perairan laut Pengudang, masih cukup
beranekaragam. Hardiansyah (2016), mendapatkan 5 spesies dari hasi penelitiannya yakni
Cymodocea serullata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Enhalus acoroides serta
Thalassia hemprichii. Dengan demikian menggambarkan bahwa kandungan nutrien yang
tinggi dapat diserap oleh jenis-jenis lamun yang tersebar di perairan tersebut.
Laju Pertumbuhan Daun
Pertumbuhan daun lamun selama pengamatan yakni hari ke 15, 30, 45, dan 60 pada 3
lokasi pada 15 tegakan lamun C. serullata diperoleh laju pertumbuhan pada masing-
masing ulangan seperti pada grafik Gambar 5.
Gambar 5. Grafik laju pertumbuhan daun C. serullata setiap ulangan sampling di Desa
Pengudang.
Rata-rata pertumbuhan daun lamun C. serullata pada perlakuan lokasi kering yakni
sebesar 1,2 cm, pada perlakuan sampling di lokasi setenghah terendam rata-rata
pertumbuhan daun lamun C. serullata 1,37 cm, sedangkan pada pertumbuhan daun lamun
C. serullata yakni sebesar 1,49 cm. terlihat dari data tersebut bahwa pertumbuhan rata-rata
daun lamun tertinggi pada perlakuan lokasi terendam.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 15 30 45 60
Pan
jam
g d
aun
(cm
)
Hari ke-
Kering
setengah
terendam
terendam
15
Faktor yang mengakibatkan tingginya nilai pertumbuhan daun yang terjadi pada lokasi
terendam yakni, karena nilai kandungan nutrien berupa nitrat dan fosfat yang tinggi
melebihi ketentuan nilai baku mutu, nitrat 0,015 mg/l dan fosfat 0,008 mg/l pada lokasi
terendam berhubungan lurus dengan laju pertumbuhan daun yang tinggi pula pada lokasi
terendam. Selain itu juga di kawasan selalu terendam lingkungan perairannya lebih setabil
sepanjang hari. Karena selain akar, daun lamun juga mampu menyerap nutrien untuk
mendukukng perkembangan laju pertumbuhan, jika dibandingkan dengan lokasi kering,
dan setengah terendam pertumbuhannya lebih rendah.
Pada kawasan kering dan setengah terendam pemanasan berlebihan secara terbuka
akan menyebabkan padang lamun sangat rentan terhadap stres yang berakibat pada
kematian terjadinya peningkatan suhu air laut. Menurut Amin et al. (2013), kedalaman
perairan sangat berpengaruh mengingat lamun melakukan aktivitas fotosintesis. Faktor
yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun adalah kedalaman air yang
menentukan tingkat kecerahan air disebabkan oleh ukuran daunnya yang besar
mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhannya serta pengaruh arus pada pola pasang
surut yang akan mempengaruhi larutnya nutrien dalam air yang bermanfaat bagi
pertumbuhan lamun, (Christon et al. 2012).
Data perbandingan rata-rata pertumbuhan daun C. serullata dapat dilihat jelas pada
grafik Gambar 6.
16
Gambar 6. Grafik rata-rata pertumbuhan lamun pada masing-masing perlakuan
Gambar 15 menjelaskan bahwa pada lokasi dengan kondisi terendam memang lebih
baik pertumbuhan daun C. serrulata dibandingkian dengan lokasi lainnya. Untuk melihat
nilai perbedaan untuk masing-masing lokasi sampling terhadap pertumbuhan daun C.
serrulata di uji dengan analisis beda nyata (ANOVA) seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji statistik dengan analisis beda nyata (ANOVA)
Parameter Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Pertumbuhan Lamun .141 2 .070 .632 .554
Dari hasil uji analisis beda nyata (ANOVA) seperti tertera pada tabel diatas,
menunjukkan bahwa nilai F. hitung diketahui sebesar 0,63 yakni lebih besar dari nilai F.
tabel yakni 0,55, nilai signifikan pada tahapan kepercayaan (95%=0,05). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan daun lamun C. serullata untuk
masing-masing lokasi (kering, setengah terendam, dan terendam) tidak berbeda nyata atau
berbeda secara signifikan.
Untuk menguji nilai, analisis beda nyata (ANOVA), maka selanjutnya diuji dengan uji
lanjut Duncan yang tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Uji Lanjut Duncan Data Penelitian.
Lokasi N Subset for alpha = 0.05
1
0.004
0.006
0.008
0.000
0.002
0.004
0.006
0.008
0.010
0.012
0.014
0.016
0.018
kering 1/2terendam terendamPer
tum
bu
ha
n (
cm/h
ari
) Lokasi
17
Duncana
Kering 4 .2225
Setengah Terendam 4 .3675
Terendam 4 .4875
Sig.
.311
Hasil uji statistik dengan uji Duncan mencirikan bahwa hanya ada 1 kelas pada selang
kepercayaan 95% (0,05) dengan nilai signifikan 0,31. Dengan demikian semakin
menguatkan bahwa laju pertumbuhan daun lamun C. serrulata untuk masing-masing
lokasi (kering, setengah terendam, dan terendam) tidak berbeda nyata atau berbeda secara
signifikan (cenderung sama).
Biomassa Daun
Hasil analisis nilai biomassa melalui tahapan pengeringan dan estimasi kerapatan
lamun maka hasilnya disajikan secara lengkap pada Gambar 7.
Gambar 7 . Grafik nilai biomassa daun lamun alami
Nilai biomassa awal sebelum mengalami perlakuan pemotongan daun diketahui pada
lokasi dengan kondisi kering biomassanya sebesar 28,66 gbk/m2, sedangkan pada lokasi
dengan kondisi setengah terendam yakni sebesar 31,22 gbk/m2, dan pada lokasi tergenang
biomassanya paling tinggi yakni 36,72 gram/m2. Jika dibandingkan dengan hasil biomassa
akhir setelah masa perlakuan pengukuran pertumbuhan disajikan pada grafik Gambar 8.
28,66 31,22
36,72
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Kering Setengah
Terendam
TerendamBio
ma
ssa
(g
bk
/m2
)
Lokasi
18
Gambar 17. Grafik nilai biomassa pertumbuhan daun lamun selama 60 hari
Nilai biomassa akhir setelah mengalami pemotongan dan pertumbuhan daun diketahui
pada lokasi dengan kondisi kering biomassanya sebesar 15,68 gbk/m2, sedangkan pada
lokasi dengan kondisi setengah terendam yakni sebesar 12,06 gbk/m2, dan pada lokasi
tergenang biomassanya paling tinggi yakni 18,30 gram/m2. Dari perhitungan biomassa
baik awal maupun akhir, diketahui bahwa nilai tertinggi terjadi pada kondisi lamun
dengan perlakukan lokasi terendam dibandingkan dengan kering dan setengah terendam.
Jika diasumsikan oleh peneliti, bahwa pada lokasi dengan kondisi terendam kandungan
nutriennya akan tersebar dengan adanya pergerakan arus sehingga pertumbuhannya lebih
cepat. Daun lamun yang selalu tergenang juga akan memudahkan lamun melakukan
penyerapat nutrien yang bisa dilakukannya melalui epifitik pada daun lamunnya yang
memiliki kemampuan untuk menyerap nutrient, (Kordi 2011).
Aternatif Pengelolaan
Melihat kondisi alaminya dilapangan kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi memang
baik untuk pertumbuhannya, akan tetapi jika kondisinya terus meningkat dan mengarah
kepada pengkayaan nutrisi maka akan membahayakan dan mengacu terjadinya ledakan
pertumbuhan suatu spesies yang dominan.
15,68
12,06
18,30
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Kering Setengah
Terendam
Terendam
Bio
ma
ssa
(g
ram
/m2
/h
ari
ke
60
) Lokasi
19
Selain itu Desa Pengudang merupakan daerah konsevasi lamun, yang selalu di
manfaatkan oleh masyrakat nelayan untuk tempak mencari ikan, kuda laut, berkarang dan
bagan tancap. Penurunan jumlah lamun memberikan dampak yang sangat dirasakan
terutama oleh masyrakat pesisir yaitu nelayan, yang berdampak penurunan dari hasil
tangkapan ikan. Pembangunan di pesisir yang tidak berwawasan lingkungan berdampak
pada penurunan kualitas ekosistem padang lamun yang akhirnya dikhawatirkan dapat
menurunkan pendapatan nelayan sebagai bentuk fungsi lanjut dari kerusakan lamun.
Tranpalantasi lamun merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kerusakan ekosistem lamun, (Askab 1999). Tranplantasi lamun ini belum berkembang
luas di Indonesia. Tranplantasi lamun bertujuan memperbaiki padang lamun yang
mengalami kerusakan.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini yakni;
1. Kerapatan lamun diantara tiga kawasan kering, setengah terendam dan selalu
terendam di perairan Desa Pengudang, di kategorikan jarang 42,4-59,2 tegakan
ind/m2.
2. Kondisi perairan di Desa Pengudang masih terkategori baik berdasarkan nilai baku
mutu yang ditentukan, bagi kehidupan lamun. Tetapi untuk nilai nitrat dan fosfat
melebihi ambang baku mutu yang ditentukan.
3. Berdasarkan hasil penelitian pertumbuhan daun Cymodocea Serrulata tertinggi
terjadi pada lokasi terendam, dan terendah terjadi pada lokasi kering. Bahwa
perbedaan lokasi berdasarkan karakteristik pasang dan surut secara signifikan
memengaruhi pertumbuhan daun lamun Cymodocea serrulata.
4. Nilai biomassa alami untuk kawasan kering, setengah terendam, dan terendam,
tertinggi pada kawasan selalu terendam berbanding lurus dengan biomassa
pertumbuhan yang tinggi berada pada kawasan terendam juga.
20
Saran
Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya melihat laju pertumbuhan daun lamun
Cymodocea serruluta dianjurkan dalam setiap pengambilan sampel daun lamun
Cymodocea serrulata harus sama berdasarkan panjang dan lebar daun, pada setiap
kawasan area pasang dan surut, supaya data yang didapatkan tidak bias.
Daftar Pustaka
Amin, D., Zulkifli, Elizal. 2013. The Association of Gastropods and Seagrass in Coastal
Waters of Beruk Island of North Rupat of Riau Province. Online Mahasiswa 2 (1): 1-
13.
Azkab, M.H. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana 24 (1):1-16.
Christon, Djunaedi, O.S., Puba, N.P.2012. Struktur Komunitas Lamun di Pulau Talise,
Sulawesi Utara. Perikanan dan Kelautan 3 (3),287-294.
Feryatun, F., Hendrarto, B., Widyorini, N. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun
(Seagrass)Berdasarkan Zona Kegiatan Yang Berbedadi Perairan Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu. Of Management of Aquatic Resources 1 (1):1-7.
Gosari, B.A.J., Haris, A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di Kepulauan
Spermonde. Torani. 22. 3156-162.
Hutomo, M., Azkab, M.H. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana.
12. 112-23.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, NO.51. Tahun 2004. Tentang Biota Laut.
Kordi, K.G.2011.Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi potensi pengelolaan.Rineka Cipta
Jakarta.
Kurnia, M., Pharmawati, M., Yusup, D.S. 2015. Jenis-Jenis Lamun di Pantai Lembongan,
Nusa Lembongan dan Analisisnya dengan Pcr Ruas Rbcl. Simbiosis 3 (1):330-333.
Rugebregt, M.J. 2015. Ekosistem Lamun di Kawasan Pesisir Kecamatan Kei Besar
Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku, Indonesia. Widyariset 1 (1):
79-86.
Supriadi, Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. 2012. Komunitas Lamun di Pulau
Barranglompo Makassar Kondisi dan Karakteristik Habitat. Maspari 4 (2):148-158.
Takaendengan, K., Azkab., M.H. 2010. Struktur Komunitas Lamun Di Pulau Talise,
Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1):85-95