Upload
rahmat-fahreza
View
111
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jjjjjjjjj
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Lansia
a. Definisi Lansia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia
menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59
tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua
(old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90
tahun (Nugroho, 2008). Usia lanjut menurut Keliat (1999)
dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13
Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam
dkk, 2008).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik
pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja
ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri
sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya
(Ineko, 2012).
b. Proses Menua
Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan,
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta
perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Aru dkk, 2009).
Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai dengan
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi
pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu
fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat
diobservasi setiap sel dan berkembang sampai pada keseluruhan
sistem (Stanley dan Gauntlet, 2007).
Terkait dengan perubahan fisik, terjadi perubahan pada
sistem persarafan lansia, yaitu berat otak menurun atau mengalami
penyusutan (atropi) sebesar 10 – 20% seiring dengan penuaan, dan
hal ini berkurang setiap hari. Hal ini dikarenakan terjadinya
penurunan jumlah sel otak serta terganggunya mekanisme
perbaikan sel otak (Nugroho, 2000). Otak mengalami penyusutan,
namun jumlah neuron yang hilang relatif kecil. Pengurangan
volume dan massa otak pada penuaan yang normal tidak
diakibatkan terutama oleh hilangnya jumlah neuron, melainkan
karena adanya perubahan di dalam neuron: berkurangnya cabang-
cabang neuron (spina dendrit), pengurangan kerapatan sinapsis, dan
merosotnya lapisan myelin yang melapisi akson pada neuron
(Nelson, 2008).
2. Daya Ingat
a. Definisi Daya Ingat
Menurut Rostikawati (2009) daya ingat adalah kemampuan
mengingat kembali pengalaman yang telah lampau. Secara
fisiologis, ingatan adalah hasil perubahan kemampuan penjalaran
sinaptik dari satu neuron ke neuron berikutnya, sebagai akibat dari
akivitas neural sebelumnya. Perubahan ini kemudian menghasilkan
jaras-jaras baru atau jaras-jaras yang terfasilitasi untuk membentuk
penjalaran sinyal-sinyal melalui lintasan neural otak. Jaras yang
baru atau yang terfasilitasi disebut jejak-jejak ingatan (memory
traces).
Jaras-jaras ini penting karena begitu jaras-jaras ini
menetap/ada, maka akan diaktifkan oleh benak pikiran untuk
menimbulkan kembali ingatan yang ada (Guyton, 1997). Menurut
Sternberg (2008) ingatan adalah cara-cara yang dengannya
seseorang mempertahankan dan menarik pengalaman pengalaman
dari masa lalu untuk digunakan saat ini.
Ingatan atau memori merujuk pada suatu proses
penyimpanan atau pemeliharaan informasi sepanjang waktu
(Matlin, 1998). Memori sensori mencatat informasi atau stimuli
yang masuk melalui salah satu atau kombinasi panca indera, yaitu
secara visual melalui mata, pendengaran melalui telinga, bau
melalui hidung, rasa melalui lidah, dan rabaan melalui kulit
(Matlin, 1998). Bila informasi atau stimuli tersebut tidak
diperhatikan akan langsung terlupakan, namun bila diperhatikan
maka informasi tersebut ditransfer ke sistem ingatan jangka
pendek.
b. Klasifikasi Ingatan
1) Ingatan jangka pendek
Memori jangka pendek adalah jenis ingatan yang
digunakan ketika seseorang berusaha mempertahankan
informasi dan memikirkannya dalam waktu yang singkat
(Engle et al., 1999). Ingatan jangka pendek meyimpan
informasi atau stimuli sekitar 30 detik, dan hanya sekitar
tujuh bongkahan informasi (chunks) dapat disimpan dan
dipelihara di sistem memori jangka pendek suatu saat.
Informasi yang sudah berada dalam sistem memori
jangka pendek, informasi tersebut bisa ditransfer kembali
dengan proses pengulangan ke sistem jangka panjang, atau
dapat juga informasi tersebut hilang atau terlupakan karena
tergantikan dengan tambahan informasi baru (displacement)
(Solso, 1995).
2) Ingatan jangka panjang
Melatih kemampuan memori jangka pendek
sekaligus akan meningkatkan kesempatan mentrasfernya ke
memori jangka panjang yang memiliki kapasitas yang
hampir tidak terbatas (Foster, 2009).
Ingatan jangka panjang (long-term memory) terdiri
dari potongan-potongan informasi yang disimpan di dalam
otak manusia selama lebih dari beberapa menit dan yang
dapat ditarik kembali ketika dibutuhkan. Dengan kata lain,
ingatan jangka panjang adalah jumlah total dari apa yang
kita ketahui misalnya ikhtiar dari data, mulai dari nama
pribadi, alamat, dan nomor telepon serta nama-nama teman
dan saudara hingga informasi yang lebih rumit seperti suara
dan gambar dari kejadian yag terjadi bertahun-tahun yang
lalu. Ingatan jangka panjang juga meliputi informasi rutin
yang digunakan setiap hari, seperti cara membuat kopi,
mengoperasikan komputer, dan menjalankan segala urutan
perilaku rumit yang merupakan bagian dari pekerjaan di
kantor atau di rumah (Nelson, 2008).
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Memori Jangka Pendek
Ada berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi
daya ingat diantaranya:
1) Usia
Banyak yang menyebutkan usia sangat berpengaruh
terhadap kemampuan seseorang untuk mengingat. Seseorang
yang lebih tua cenderung memiliki kemampuan mengingat
yang kurang dibandingkan orang yang lebih muda. Semakin
bertambahnya usia maka sel-sel otak akan semakin kelelahan
dalam menjalankan fungsinya yang menyebabkan tidak bisa
bekerja secara optimal seperti saat masih muda (Suprenant et
al., 2006). Semakin bertambahnya umur maka semakin tinggi
pula resiko kejadian demensia.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin dianggap mempengaruhi memori
seseorang meskipun belum ada kepastian antara laki-laki dan
perempuan. Bridge et al., (2006) dalam penelitiannya bahwa
perempuan memiliki kemampuan mengkorelasikan suatu
informasi lebih baik dari pada laki-laki, namun ketepatan dalam
memanggil kembali jawaban itu masih kurang baik
dibandingkan laki-laki.
3) Asupan gizi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bunga
(2009), bahwa lansia yang mengonsumsi vitamin A, vitamin E,
vitamin C, Fe, dan Zn yang cukup dapat mengurangi resiko
demensia pada lansia.
4) Konsumsi nikotin dan merokok
Menurut Wylio (2011) dalam (Ineko, 2012) bahwa
mereka yang merokok lebih dari dua bungkus perhari pada usia
setengah baya memiliki resiko 100% lebih tinggi terkena
demensia dibandingkan yang tidak merokok. Merupakan faktor
risiko dari penyakit stroke dan mendorong penyakit untuk
merusak saraf, sehingga secara tidak langsung merokok
merupakan faktor resiko untuk terkena demensia.
5) Aktivitas fisik dan olahraga
Seseorang yang banyak beraktivitas fisik termasuk
berolahraga cenderung memiliki memori jangka pendek yang
lebih tinggi daripada yang jarang beraktivitas (Carvalheiro &
Rodrigues, 2009). Misalnya kegiatan yang harus melibatkan
fungsi kognitif seperti bermain tenis, bersepeda, berjalan kaki
atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan kegiatan
yang menggunakan fungsi kognitif atau melatih kecerdasan
seperti membaca buku atau koran, menulis dan mengisi teka-
teki silang, permain kartu, dan partisi dalam kelompok.
6) Tekanan darah
Adanya kekurangan dalam pasokan darah ke otak yang
menyebabkan perubahan struktural otak dan fungsi simpatisnya
(Thyrum et al., 1995). Menurut Prof.Dr.Jusuf Misbach (dalam
majalah farmacia, 2009), bahwa peningkatan tekanan darah
akan menyebabkan myelinisasi pada dinding vaskuler.
Myelinisasi ini dapat menyebabkan hipertensi dan jika kejadian
ini berulang maka akan menyebabkan hipoperfusi dan iskemia
di area otak. Demyelinisasi berlanjut menyebabkan diskoneksi
subkortikal-kortikal yang menyebabkan penurunan kognitif dan
demensia. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tekanan
darah maka semakin sedikit resiko terkena demensia atau
penurunan kognitif.
7) Faktor sosial dan ekonomi
Tingkat ekonomi dapat dilihat dari pendapatan orang
tua, pekerjaan ayah dan kondisi sekolah. Hal itu dikaitkan
dengan kemampuan sebuah keluarga dalam memenuhi gizi
maupun pendidikan yang dianggap lebih baik pada orang
berstatus sosial dan ekonomi tinggi (Mandakini et al., 2009).
Semua itu serupa dengan penelitian Stevens et al., (1999) yang
menyatakan bahwa orang yang lebih banyak bersosialisasi
dengan orang-orang disekitarnya cenderung memiliki memori
yang lebih tinggi dibandingkan yang jarang bersosialisasi.
8) Gangguan neurologis
Gangguan memori dapat diakibatkan oleh adanya
gangguan neurologis seperti tumor otak, stroke, maupun karena
trauma. Hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya kinerja
struktur otak dan salah satunya adalah fungsi kognitif dalam
mengingat (Foster, 2009). Fungsi memori juga dapat terganggu
pada pasien dengan penyakit mental organik (Buckner, 2004).
9) Faktor psikologi
Menurut Miller (2004) dan Corneliu (1993), dalam
Endah, 2009), lansia sering mengalami kebingungan yang akan
mempengaruhi kemampuan untuk berkonsentrasi, sehingga
dapat mengakibatkan kekuatiran atau kecemasan. Kemudian
perasaan stress, depresi atau adanya sesuatu yang hilang dan
perasaan berduka juga dapat meningkatkan risiko terkena
penyakit demensia.
d. Proses Terbentuknya Ingatan
Menurut Baddeley (2004) dan Foster (2009) memori yang
dipengaruhi berbagai faktor tersebut bisa terbentuk melalui
berbagai tahapan. yaitu encoding, storeage, dan retrieval atau
recall.
Encoding melibatkan panca indra untuk mempersepsikan
stimulus yang masuk agar bisa dikodekan dan diingat. Tahap
encoding berarti mengartikan informasi yang masuk ke dalam
representasi mental yang dapat disimpan dalam memori. Seorang
bisa memasukan pengalamannya baik secara tidak sengaja maupun
sengaja. Pengalaman sehari-hari akan masuk dan dipersepsi dalam
ingatan sebagai pengalaman yang tidak disengaja. Sementara
dalam bidang pengetahuan, umumnya seseorang menyimpannya
melalui pengalaman yang sengaja dipelajari. Terdapat level yang
berbeda-beda yang terjadi dan beberapa lebih dalam dari yang lain
(Baddeley, 2004).
Menurut Kintsch (Solso, 1995) pembuatan kode informasi
yang sama dengan beberapa cara yang berbeda. masing-masing
stimulus dapat diberi kode secara auditif (akustik), visual, maupun
secara semantis. Namun pemberian kode terhadap informasi di
memori jangka pendek sebagian besar secara auditif atau akustik
dan dilengkapi secara visual. Oleh sebab itu dikenal beberapa jenis
ingatan antara lain ingatan auditif dan ingatan visual.
Kapasitas untuk mengingat stimulus yang masuk secara
visual, seperti gambar-gambar dan semacamnya, dengan kejelasan
yang luar biasa, dikenal sebagai photographic memory atau eidetic
imagery (Bhinnety, 2009). Baik dalam ingatan auditif maupun
visual, rangsangan-rangsangan yang masuk diproses secara
asimetris diotak. Baddeley (1976) menunjukan bahwa telinga kiri,
yang diproses oleh belahan otak kanan, bersifat dominan terhadap
stimulus akor music, pitch nada-nada dan melodi, sedangkan
telinga kanan, yang diproses oleh belahan otak kiri lebih peka
dalam menangkap rangsangan-rangsangan seperti kata-kata, angka,
dan konsonan. Tetapi bila akan berpikir mengenai arti masing-
masing kata dengan penyandian semantik (Baddeley, 2004).
Terdapat cara lain pula dalam membuat kode yaitu
elaborasi. Elaborasi akan menghubungkan suatu informasi dengan
informasi lain. Selain itu juga bisa mereferensikan sendiri yang
berarti membuat materi personal yang relevan dan membutuhkan
keputusan bagaimana informasi tersebut bisa relevan untuk diri
sendiri. Terakhir adalah dengan imajinasi visual yang dapat
digunakan untuk menambah kekayaan dalam materi yang akan
diingat (Friedman et al., 2007).
Tahap kedua adalah penyimpanan atau storage. Storage
merupakan proses dimana seseorang dapat menyimpan informasi
yang didapatkan dan membuatnya menjadi bentuk yang lebih
permanen (memori jangka panjang) dalam ingatan. Menyimpan
pengalaman yang telah dipersepsikan sehingga pada suatu waktu
dapat ditimbulkan kembali. Pengalaman yang telah dipersepsikan
meninggalkan jejak-jejak atau disebut sebagai memory traces yang
disimpan dalam ingatan. Akan tetapi memory traces tidak
sepenuhnya bisa bertahan dalam ingatan karena proses ini
memungkinkan agar bisa memilih informasi mana saja yang akan
dijadikan memori jangka panjang dan jangka pendek (Foster,
2009).
Tahap ketiga yaitu menimbulkan kembali retrieval atau
recall pengalaman yang sudah disimpan dalam memori sehingga
dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Proses
menimbulkan kembali bisa dilakukan dengan mengingat kembali
(recall) atau mengenal kembali (recognize). Schonfield dan
Robertson dalam Walgito (2004) mengatakan bahwa dengan
mengenal kembali menunjukan hasil yang lebih baik daripada
mengingat kembali, karena mengingat kembali menuntut seseorang
untuk bekerja dua kali yaitu membangkitkan kembali item-item
informasi yang mungkin sesuai, atau mengenalinya sebagai item
yang sebelumnya sudah disimpan. Sementara dalam mengenal
kembali, informasi yang akan dipanggil akan langsung dikenali
melalui penulusuran isyarat terhadap pilihan item yang disajikan.
Sehingga menurut Tulving dan Thompson, item informasi tersebut
merupakan suatu isyarat penulusuran (retrieval cues) yang
memudahkan seseorang dalam mengenali kembali suatu stimulus.
Mengenal kembali adalah mengingat yang dibantu dengan
isyarat. Akan tetapi tidak selamanya mengenal kembali
menghasilkan perfomansi memori yang selalu tepat dari pada
mengingat kembali. Oleh karena itu perfomansi memori perlu
ditingkatkan dengan berbagai cara.
3. Terapi Warna
a. Definisi Terapi Warna
Warna sejak lama diketahui bisa memberikan pengaruh
terhadap psikologi dan emosi manusia. Warna juga menjadi bentuk
komunikasi non verbal yang bisa mengungkapkan pesan secara
instan dan lebih bermakna. Misalnya warna merah berarti bahaya
atau putih yang dikaitkan dengan kesucian. Bahkan ada ilmu yang
menggunakan warna untuk terapi warna atau yang disebut
colourology (menggunakan warna untuk meyembuhkan). Metode
ini sudah dipraktekkan oleh banyak kebudayaan kuno seperti Mesir
dan Cina (Balqis, 2011)
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar warna dapat
mempengaruhi tubuh kita. Dapat dibayangkan jika tinggal di suatu
ruangan yang berwarna hitam kelam atau coklat tua, pasti tubuh
dan pikiran tidak mau untuk berlama-lama tinggal di tempat
tersebut. Contoh sederhana tersebut menjadi salah satu dasar dari
terapi warna ini. Jika kombinasi warna tertentu dapat menyebabkan
pikiran stress dan depresi maka ada kombinasi warna lain yang
menyebabkan pikiran tenang dan rilek (Turana, 2001).
Warna dalam Bahasa Indonesia, warna merupakan
fenomena yang terjadi karena adanya tiga unsur yaitu cahaya,
objek, dan observer. Didalam ruang yang gelap dimana tidak ada
cahaya, seseorang tidak bisa mengenali warna. Demikian juga jika
seseorang menutup mata, maka orang tersebut tidak dapat melihat
warna suatu objek, sekalipun ada cahaya. Begitu juga bila tidak ada
suatu objek yang di lihat maka seseorang tidak bisa mengenali
warna.
Warna mempunyai gelombang elektromagnetik yang
berasal dari sumber cahaya. Warna sebagai bagian dari spektrum
cahaya yang merujuk pada cahaya terdefraksi dalam berbagai
warna. Masing-masing gelombang memancarkan warna yang
berbeda. Spektrum cahaya yang tampak oleh mata adalah berkisar
400nm-700nm. Jika frekuensinya lebih rendah maka termasuk
infra merah yang tidak tertangkap oleh mata dan frekuensi lebih
tinggi dihasilkan ultraviolet yang juga tidak terlihat oleh mata
(Azizah, 2009).
Warna-warna dengan panjang gelombang pendek dan
frekuensi tinggi adalah warna merah, kuning, hijau, sian, biru, serta
ungu. Pada warna ungu, biru, sian, hijau, kuning dan merah
panjang gelombangnya berturut-turut adalah antara 380-435 nm,
435-500 nm, 500-520 nm, 520-570 nm, 570-590 nm, serta 625-740
nm. Frekuensi dari warna-warna tersebut berturut-turut adalah 690-
790 THz, 600-690 THz, 577-600 THz, 526-577 THz, 508-526
THz, serta 405-500 THz.
b. Sifat dan Efek Warna
Mata seseorang bisa menangkap tujuh juta warna yang
berbeda. Tetapi ada beberapa warna utama yang bisa memiliki
dampak pada kesehatan dan mood. Setiap warna memancarkan
panjang gelombang energi yang berbeda dan memiliki efek yang
berbeda (Balqis, 2011).
1) Merah
Merah adalah warna yang paling sering menarik
perhatian. Warna merah memiliki karateristik merangsang
saraf, kelenjar adrenal (endokrin) dan saraf sensorik. Merah
juga meningkatkan sirkulasi darah dan kereaktivan darah itu
sendiri. Warna merah yang merangsang retina, menyebabkan
sensasi warna yang baik untuk kegiatan fisik dan untuk
menunjukkan kepercayaan serta dapat merangsang saraf
simpatik sistem yang meningkatkan kesiapan seseorang (Elvin,
2007). Merah juga membangkitkan emosi dan menciptakan
perasaan kegembiraan atau intensitas. Tetapi pada saat yang
sama, warna merah juga dapat dianggap sebagai tuntutan dan
sikap agresif.
2) Kuning
Kuning adalah warna cerah yang dapat menarik banyak
perhatian. Warna kuning menstimulasi berbagai fungsi tubuh,
seperti aliran empedu dan cara kerja hati. Selain itu warna
kuning memiliki sifat pencahar dengan cara mempromosikan
sekresi asam lambung dan membantu pembuangan usus.
Kuning juga berhubungan dengan intelektual dan proses
mental. Warna cerah ini juga merangsang otak serta membuat
seseorang lebih waspada dan tegas.
3) Orange
Orange adalah kombinasi warna merah dan kuning.
Merupakan warna hangat dan ramah yang membuat orang
merasa nyaman. Orange berhubungan dengan cakra sakral dan
diyakini bermanfaat untuk ginjal, saluran kemih dan organ
repoduksi. Warna orange juga meningkatkan metabolisme,
memperkuat paru-paru, limpa dan pankreas.
4) Biru
Biru adalah warna yang bisa meningkatkan nafsu
makan untuk itu disarankan menempatkan makanan di piring
biru. Biru juga dapat memperlambat denyut nadi dan suhu
tubuh lebih rendah. Ini adalah warna yang menenangkan dan
diyakini mengatasi insomnia, kecemasan, masalah
tenggorokan, tekanan darah tinggi, migrain dan iritasi kulit.
Warna biru juga meningkatkan ekspresi verbal, komunikasi,
ekspresi artistik dan kekuatan. Biru yang kuat (biru tua) akan
merangsang pemikiran yang jernih dan biru muda akan
menenangkan pikiran dan membantu konsentrasi.
5) Violet
Warna violet membawa perasaan damai dan saling
memahami. Warna violet juga membantu tidur seseorang.
Kelompok warna-warna lain radian warna violet ini dipercaya
bisa menghambat perkembangan tumor. Nafsu makan tidak
terkendali bisa dikendalikan oleh warna violet. Warna violet
juga dikaitkan dengan spiritualitas, intuisi, kebijaksanaan,
penguasaan, kekuatan mental dan fokus.
6) Hijau
Hijau dikaitkan dengan alam. Karena hubungannya
dengan alam, hijau dianggap sebagai warna menenangkan dan
santai. Warna hijau juga dapat membantu orang yang sering
merasa tegang. Hijau akan menyeimbangkan emosi,
menciptakan keterbukaan antara seseorang dan orang lain.
Warna hijau juga terkait dengan cakra jantung (Wills, 2007)
sehingga dipercaya membantu masalah emosional, seperti
cinta, kepercayaan, dan kasih sayang.
7) Putih
Pemilihan warna putih biasanya digunakan untuk
meredakan rasa nyeri. Putih juga memberikan aura kebebasan
dan keterbukaan. Rumah sakit dan pekerja rumah sakit
menggunakan warna putih untuk menciptakan kesan steril.
Apabila, terlalu banyak warna putih dapat memberikan rasa
sakit kepala dan kelelahan mata karena cahaya yang
dipantulkan.
4. Hubungan Warna Merah, Penglihatan dan Ingatan
Cahaya merupakan salah satu bentuk energi dan cahaya ini
dapat dipecah menjadi beberapa warna dan inti dari terapi warna ini
adalah mengaplikasikan satu atau lebih warna untuk menjaga
keseimbangan energi dalam tubuh. Energi tubuh yang terfokus pada
tujuh titik mayor yang disebut dengan „cakra‟ yang berkorelasi dengan
sistem organ dan warna tertentu (Turana, 2001). Seseorang dikelilingi
oleh medan elektromagnetik (aura), yang diisi dengan energi-energi
yang terus berubah warna, warna tersebut ditentukan oleh emosi,
mental, spiritual dan fisik seseorang (Wills, 2007).
Pengindraan warna dimulai pada sel kerucut dalam retina. Ada
tiga kelompok utama sel kerucut yang bereaksi sangat kuat terhadap
warna tertentu dari cahaya. Sel-sel ini dikelompokkan sebagai sel-sel
kerucut biru, hijau dan merah. Warna merah, biru dan hijau, yang
membuat sel kerucut itu bereaksi, adalah tiga warna primer yang ada di
alam. Dengan rangsangan sel kerucut yang sensitif terhadap ketiga
warna ini, pada derajat yang berbeda, muncullah jutaan warna yang
berbeda.
Mata sebagai indra penglihatan yang menerima rangsangan
berkas-berkas cahaya pada retina dengan perantaraan serabut optikus,
dimana serabut-serabutnya memiliki tangkai otak dan membentuk
saluran optik dan bertemu di tangkai hipofise (Syaifudin, 1992).
Reseptor penglihatan di mata berkaitan langsung ke area
limbik melalui nervus optikus yang berada didekat otak bagian depan.
Menurut Alfa dan Magda, area limbik tersebut memiliki kaitan khusus
pada wilayah otak yang langsung mempengaruhi lebih dari proses
utama pada tubuh seseorang seperti mengatur detak jantung, tekanan
darah, ketegangan otot dan temperatur kulit. Satu hal yang penting,
area limbik merupakan pusat dari hippocampus dimana memori
disimpan dalam otak yang memiliki kaitan di otak bagian depan
(frontal lobes).
B. Kerangka Teori
Kumpulan teori yang mendasari topik penelitian disusun dalam
kerangka teori. Hubungan variabel dalam kerangka teori harus jelas
tergambar dengan berbagai variabel yang mempengaruhinya (Saryono,
2011).
Gambar 2.1 Kerangka Teori (Sumber : Modifikasi dari Ineko (2012))
Retrieval/recall
Warna merah
Visual
Ingatan
Auditif
Semantis
Proses memori
Encoding Storeage
Lansia Perubahan fisik
Usia
Jenis kelamin
Makanan
Konsumsi nikotin dan
rokok
Aktivitas fisik dan
olahraga
Tekanan darah
Faktor sosial ekonomi
Gangguan neurologis
Gangguan psikologis
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan dasar pemikiran pada penelitian
dirumuskan pada fakta-fakta, obeservasi dan tinjauan teori. Sehingga
menggambarkan alur pemikiran penelitian (Saryono, 2011).
Variabel bebas Variabel terikat
Keterangan:
Diteliti
Tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atau
pertanyaan penelitian yang harus di uji validitasnya secara empiris
(Sastroasmoro, 2002). Dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis
yaitu Ha, ada pengaruh terapi warna merah terhadap daya ingat pada lansia
di unit rehabilitasi sosial Dewanata Cilacap.
Variabel pengganggu:
Makanan
Konsumsi nikotin
dan rokok
Tekanan darah
Faktor sosial
ekonomi
Gangguan neurologis
Gangguan psikologis
Terapi warna merah Daya Ingat
Variabel pengganggu:
Lingkungan