5

Langkah weekly 4th edition

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Macapat, Lantunan Irama yang Mulai Terlupa

Citation preview

February II 2014

Macapat, Lantunan irama

yang mulai terlupa

Jogja Kota Budaya

Tentang LangkahPembuatan “Langkah” bukan untuk mencari keuntungan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman saja. Harapan saya sederhana, semoga pembaca ter-hibur dan terbantu dalam menentukan destinasi wisata. Saya sendiri bukan fotografer atau penulis profesional. Sehingga hasil jepretan dan tulisan saya jauh dari sempurna. Semuanya murni berawal dari keisengan untuk mengisi waktu luang. Jika memang karya saya dirasa layak baca, “Langkah” bebas untuk dishare dan dibaca siapapun. Untuk perbaikan ke depan, silakan kontak saya di surel [email protected]. depan, silakan kontak saya di surel [email protected].

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”Raden Ajeng Kartini

Terdengar seseorang tengah melantunkan salah satu tembang Jawa. Saat itu pukul 16.10, ternyata kelas sudah dimulai. Padahal langkah saya dari kantor pos besar Yogyakarta sampai tempat itu sudah cukup cepat. Hanya memang saya sempat berhenti sejenak di sebuah angkringan di depan Pagelaran Karaton Ngayogyakarta. Sekedar mengganjal perut yang belum terisi sejak pagi. Apalagi cuaca sore itu sedang cerah-cerahnya, menambah keringat dengan mudah menyelinap keluar dari tubuh. Selepas “ngangkring” se-jenak, saya bergegas menuju lokasi tujuan saya. Dan begitulah yang saya dapat, kelas sudah dimulai. Hanya lantunan tembang Jawa yang bisa saya dengar dari luar kelas.Saya lantas hanya bisa menunggu di luar, terduduk di atas sebuah dipan kayu panjang, di luar ruangan kecil bergaya kolonial.

Lokasinya begitu tersembunyi oleh sebuah warung kelontong, di sudut jalan menuju gerbang utama Karaton Ngayogyakarta Hadinin-grat. Wisatawan yang mengunjungi Karaton mungkin tidak sempat melirik ke tempat ini. Di sanalah selama sepuluh menit saya menunggu di luar, sembari mendengarkan lantunan tembang yang terdengar magis. Musim liburan seperti ini, jalanan di kampung Ro-towijayan (tempat saya berada) begitu penuh wisatawan berlalu-lalang. Umumnya mereka mengunjungi Museum Karaton, Sitihinggil, maupun Museum Kareta Karaton. “Badhe menopo Mas?” seorang lelaki yang cukup berumur menyapa saya yang termangu saja di luar. “Ada perlu apa Mas?” tanya

beliau. Pandangan saya spontan teralihkan. Saya pikir ini kesempatan saya untuk meminta izin mengikuti kelas di dalam. “Oh, badhe tumut mlebet Pak. Ningali kursus, pareng nopo mboten?” (Mau ikut masuk Pak, lihat kursus. Boleh Pak?) Bapak itu hanya tersenyum saja, dan berujar, “Ya boleh-boleh saja tho. Mbok ya bilang Mas tadi, kalau mau ikut. Monggo-monggo masuk.” Wah syukurlah saya boleh masuk. Sebenarnya saya bisa-bisa saja mengetuk pintu sedari tadi, hanya saja dari luar terdengar kalau kursus macapat ini ber-jalan begitu khusyuk. Tak enak saya untuk menyelanya.

February II 2014

1

“Kinumpaka… sekar ndhandhang

gendhis…

Tur pambagya.. Sugeng warsa”

Macapat:

Melagukan Sejarahyang

Terlupakan

February II 204

2

Inilah Pamulangan Sekar Macapat (tempat bela-jar lagu-lagu jawa) KHP Kridha Mardhawa. Di tempat inilah telah lahir para pahlawan kebudayaan yang terus berupaya melestarikan salah satu wari-san budaya bangsa: macapat. “Memang Mas, se-makin ke sini memang semakin sedikit anak muda yang mau belajar beginian. Tapi saya lihat masih ada harapan kok ke depannya, agar macapat ini selalu ada,” ujar Mas Taufik sembari menyeruput teh manis yang dibeli di warung sebelah. Sesekali saya memandangi jalanan yang semakin sepi. Perihal biaya kursus, para peserta hanya dipungut 10.000 rupiah perbulan. Murah bukan? Dengan biaya hanya sebesar itu kita bisa belajar sebuah ketrampi-lan yang dewasa ini mulai langka. Siapa tahu kita bisa menjadi penembang handal?

Kawasan Rotowijayan mulai sepi. Pedagang-pedagang souvenir mulai membereskan lapaknya. Saya melirik jam tangan saya: pukul 17.50. Walau-pun obrolan kami masih seru, namun saya harus segera berpamitan dengan Mas Taufik. Hampir set-engah jam saya menahan beliau untuk pulang. Tepat saat saya melangkahkan kaki ke arah Sitihinggil, azan Maghrib pun berkumandang. Saya pun berbelok ke kiri menuju Masjid Gedhe Kauman. Di sela-sela langkah saya menuju gerbang Masjid Gedhe, saya bersyukur bahwa masih ada orang-orang yang dengan ikhlas berupaya melestarikan budaya luhur kita. Dan kita harus terlibat dalam usaha itu, saya pikir

Jadilah saya masuk ke dalam kelas. Kelas kecil beru-kuran 4 x 5 meter dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung khas peninggalan kolonial, dan diisi dengan lima deret kursi kayu yang ditata berjejer. Saya cukup kaget ketika melihat bahwa murid kursus macapat ini hanya 5 orang. Dan semuanya bisa dibilang sudah berumur. Dengan ramah saya dipersilahkan duduk di salahsalah satu kursi kayu. Karena saya adalah orang baru, saya cukup tahu diri untuk tidak bertanya macam-macam dulu. Saya hanya mendengarkan satu-persatu para murid (yang sudah tua) melantunkan “sekar tengah” secara bergantian. Saya pun kemudian tahu bahwa lelaki berumur yang tadi menyapa saya di luar adalah guru di sini. Beliaulah KMT Projosuwasono, yang lebih akrab disapa Romo Projo. Saya sendiri heran tiap kali Romo Projo menembangkan sebuah sekar. Gurat usia bisa saja terlihat jelas di wajahnya, namun suaranya masih lantang, dan begitu magis! Satu jam berjalan begitu cepat, sempat sekali saya ditawari untuk mencoba menembang, namun saya menolak. Jelas saja saya tolak, saya tidak ingin suara saya menghancurkanmenghancurkan suasana damai yang telah terbangun di tempat itu. Dan dengan bijaksana pula Romo Projo menerima penolakan saya. Jadi intinya selama kursus saat itu, saya menjadi murid yang pasif. Mendengarkan saja lantunan sekar Dhandhanggula yang dilagukan.

Pukul 17.30 kelas pun disudahi, dengan sebelumnya Romo Projo memberikan wejangan-wejangan untuk lebih memperdalam ilmu tentang titinada. Selepas kelas saya hanya sempat bercakap selama dua menit dengan Romo Projo. Karena rumah beliau cukup jauh dan ditempuh dengan bersepeda, saya pun tidak kuasa mengiyakan beliau ketika Romo berpamitan kepada saya.saya. Tinggal lah saya dan salah satu murid kelas Macapat, Mas Taufik. Mas Taufik adalah satau murid senior yang telah tiga tahun mengikuti kelas macapat. Pantas saja cara beliau menembang sudah sangat baik. Bahkan selalu mendapat pujian dari Romo Projo. Dari Mas Taufik kemudian saya tahu lebih banyak ten-tang tempat ini.

Papan nama kursus macapat.

Suasana kelas macapat.

February II 2014