35
BAB 1 PENDAHULUAN Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat ini adalah cabang ilmu kedokteran yangmempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi. 1 Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi. Tidak terkecuali pada operasi fraktur, perlu dilakukan tindakan anestesi agar pelaksanaan operasi lebih mudah. 4 Dewasa ini fraktur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan, dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan. Di samping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor lain, diantaranya adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga. Saat ini, penyakit muskuloskeletal

lapkas 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

vv

Citation preview

Page 1: lapkas 1

BAB 1

PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri

dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi

berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi

dan reanimasi saat ini adalah cabang ilmu kedokteran yangmempelajari tatalaksana untuk

mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari

tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami

kematian akibat obat anestesi.1 Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan

untuk memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan

operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias

anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi. Tidak terkecuali pada

operasi fraktur, perlu dilakukan tindakan anestesi agar pelaksanaan operasi lebih mudah. 4

Dewasa ini fraktur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di

Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai

jasa angkutan, dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan. Di samping itu

fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor lain, diantaranya adalah jatuh dari ketinggian,

kecelakaan kerja, dan cedera olah raga. Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah

yang banyak dijumpai di pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Sebagian besar fraktur

disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan,

pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisimiring, pemuntiran, atau

penarikan.4 Efek trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.

Fraktur radius dan ulna dapat diakibatkan oleh trauma langsung yang mengenai lengan bawah

saat kecelakaan. Batang femur juga dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung pada bagian

depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu lintas.

Page 2: lapkas 1

2.1 Evaluasi Pra Anestesia

2.1.1 Identitas

Nama : Tn.DA

Umur : 41 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku : jawa

Agama : islam

Bangsa : Indonesia

Status : Menikah

Pekerjaan : pegawai swasta

2.1.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri pada bahu kanan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.

Perjalanan Penyakit :

Pasien datang ke RSIJ cempaka putih tanggal 19.11.2015 pukul 15.15 wib dengan keluhan nyeri

pada bahu kanan akibat kecelaaan lalu lintas tersenggol mobil dan pasien terlempar ke trotoar.

Tangan kanan tidak dapat digerakkan dan terasa kaku. . Pasien menyangkal adanya pusing,

muntah, dan pandangan kabur, serta mengatakan tidak pernah mengalami penurunan kesadaran

atau pingsan. Makan dan minum baik.

Riwayat penyakit dahulu :

• Riwayat operasi sebelumnya (-)

• Pembekuan darah tidak normal (-)

• Sesak napas (-)

• Hipertensi (-)

• DM (-)

• Hepatitis tahun 1990

• Asma (-)

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat penyakit pembekuan darah tidak normal, asma, hipertensi, DM dalam keluarga

disangkal.

Page 3: lapkas 1

Riwayat alergi :

Alergi obat, debu, makanan disangkal

Riwayat pengobatan :

Minum obat antiplatelet (-), tidak ada minum obat rutin.

Riwayat psikososial :

• Kebiasaan merokok disangkal, Minum alcohol (-), kebiasaan minum kopi, teh, soda

disangkal, Olahraga rutin (-)

• Gangguan komunikasi (-)

Pemeriksaan HIV :

Tidak pernah

Lain- lain :

Pasien tidak memakai gigi palsu, tidak memakai alat bantu dengar

2.1.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present:

Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 85 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu aksilla : 36,5 º C

Berat badan : 95 kg

Tinggi badan : 171 cm

BMI : 32. 87 kg/m2

Skala nyeri :

Page 4: lapkas 1

Pemeriksaan Fisik Umum:

Sistem saraf pusat : Kesadaran: Compos Mentis, GCS E4V5M6.

RP +/+ 3/3 mm, isokor

Respirasi : RR 20x/menit

Suara nafas Vesikuler +/+ Rhonki -/-, Wheezing -/-

Mallampati II, jarak tiromental 4 jari, buka mulut 4 jari

Kardiovaskular : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 85x/menit

S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Gastrointestinal : Distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Urogenital : BAK normal

Hematologi : anemis (-)

Muskuloskeletal : Fleksi/defleksi leher dalam batas normal, jarak interspinosum vertebra

tidak dapat dievaluasi, gigi ompong (-), gigi goyang (-), gigi palsu (-)

Status Lokalis:

Regio klavikula dextra

Look : hematom (+), hiperemis (+), vulnus laseratum (-), vulnus eksoriotum (-), kompartemen

(-) angulasi (-)

Feel : krepitasi (+) nyeri tekan (+)

Move : humeri dextra tidak dapat digerakkan.

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap (19112015)

Page 5: lapkas 1

Hasil Pemeriksaam Kimia Darah (20112015)

Foto polos ekstremitas: Fraktur tertutup os klavikula dekstra e.c trauma tumpul

Page 6: lapkas 1

Foto polos thorax: Cor dan pulmo dalam batas normal

EKG: Normal Sinus Rhytm, HR : 92 x/menit, Axis normal, ST-T change (-). Kesan normal EKG

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis pra-bedah

fraktur tertutup os klavikula dextra e.c trauma tumpul

Tindakan

ORIF

Diagnosis status gizi

Obesitas I

Tanggal pembedahan

20 november 2015

Kesimpulan

status fisik ASA 2 dengan penyulit obesitas.

2.2. Persiapan Pra Anestesia

2.2.1 Persiapan Rutin Sebelum Operasi

1. Persiapan psikis: memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai tindakan

anestesia dan pembedahan yang akan dilakukan.

2. Persiapan fisik: puasa 8 jam sebelum operasi, minum air putih non partikel diperbolehkan

sampai 3 jam sebelum operasi, dan melepaskan segala macam perhiasan dan aksesoris

3. Membuat surat persetujuan tindakan medis.

2.2.2 Persiapan di Ruang Persiapan Instalasi Bedah Sentral

1. Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan tindakan medis.

2. Pemasangan IV line tambahan di kaki kanan

3. Evaluasi ulang status present pasien :

- Tekanan darah: 120/80 mmHg

- Nadi: 85 x/menit

- Respirasi: 20 x/menit

Page 7: lapkas 1

4. Pemberian premedikasi IV

- Ketorolac 30 mg

2.2.3 Persiapan di Kamar Operasi

1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent

2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan

3. Persiapan alat-alat, obat resusitasi, PRC

5. Menyiapkan penderita di meja operasi, memasang alat pantau tekanan darah, EKG, tiang

infus, pulse oxymetri

6. Evaluasi ulang status present pasien :

- Tekanan darah: 120/80 mmHg

- Nadi: 85 x/menit

- Respirasi: 20 x/menit

2.3 Pengelolaan Anestesia

1. Jenis anestesia: General Anestesi – Oro Tracheal Tube

2. Teknik anestesi:

- Pasien posisi supinasi, pasang monitor

- Preoksigenasi dengan O2 100 % 8 lpm selama 3-5 menit

- Induksi dengan propofol 150 mg, koinduksi dengan fentanyl 100 mcg, fasilitas intubasi

dengan atracurium 30 mg dan lidocain intratrakeal 80 mg

- Laringoskopi, intubasi dengan PET no 7,5 Cuff (+) kinking, level di bibir 19.

- Maintenance dengan O2 2 lpm, gas N2O 2 lpm, dan gas isoflurane 1,2 %.

3. Respirasi: kendali

4. Posisi operasi: supinasi

5. Infus: kristaloid (ringer asetat) pada dorsum manus dekstra

6. Observasi

Page 8: lapkas 1

• Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi :

• Dilakukan suction pada daerah saluran pernapsan pasien, agar tidak menyumbat jalan

napas. Lalu tarik ETT keluar.

• Berikan O2 menggunakan face mask dengan dilakukan triple manuver.

• Sampai pasien napas spontan yang adekuat.

• Kemudian setelah napas nya adekuat, pasien dipindahkan ke ruang observasi (Recovery

Room).

7. Kronologis Anestesia

Pukul 17.45: pasien datang di ruang persiapan

Pukul 18.00: premedikasi

Pukul 18.20: pasien masuk ke ruang operasi

Pukul 19.00: induksi

Page 9: lapkas 1

Pukul 19.05: intubasi

Pukul 19.15: operasi mulai

Pukul 20.35: operasi selesai

Pukul 20.40: ekstubasi

Pukul 20.50: pasien keluar kamar operasi

8. Komplikasi selama anesthesia: tidak ada

9. Lama Operasi: 1 jam 30 menit

10. Lama Anestesia: 1 jam 45 menit

11. Keadaan akhir pembedahan :

- Tekanan darah: 115/60 mmHg

- Nadi: 80 x/menit

- RR: 16 x/menit

12. Rekapitulasi cairan (puasa 6 jam, berat badan 95 Kg)

13. Jumlah medikasi

- Fentanyl 100 mcg

- Presofol 150 mg

- Tramus 30 mg

- Dexamethasone 10 mg

- Presofol 50 mg

- Ondansentron 4 mg

- Ketorolac 30 mg

- Clopedin 75 mg

2.4 Pengelolaan Pasca Bedah (pemantauan di RR)

• Monitoring tanda vital/15 menit sampai stabil pindah HCU/ruang perawatan

• Beri O2 3L/menit nasal kanul

• Bila aldrette skor > 8 boleh pindah ruangan

Page 10: lapkas 1

Di ruang pemulihan, pasien diobservasi :

- Hemodinamik stabil

- Mual dan muntah tidak ada

- Nyeri tidak ada

Indicator yang digunakan diruang pulih

SKOR ALDRETE

Page 11: lapkas 1

Skor Aldrete (Keluar dari ruang pulih (Pkl 21.30)

TANDA NILAI

Aktivitas 1

Respirasi 2

Sirkulasi 2

Kesadaran 2

Warna Kulit 2

JUMLAH 9

1. Instruksi di ruangan

a. Analgesia post-operasi : Fentanyl 75 mg IV, ketorolac 30 mg IV

b. Bila mual muntah : Ondancentron 3 x 4 mg IV

c. Antibiotika : Ceftriaxon 1 x 1 gram IV

d. Infus: RL balance

e. Minum : bila sadar dan terbebas dari pengaruh pembiusan

Kontrol kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi: setiap saat selama masih dalam pengaruh pembiusan

Page 12: lapkas 1

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Pada Pasien ObesitasDalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi bahasan

khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya memiliki kendala yang

patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien obesitas kedalam ruang operasi, dokter

anestesi sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi sebelum, selama dan

sesudah tindakan anestesi. Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi, prevensi

tromboemboli, prevensi komplikasi pasca operasi seperti atelektasis, penggunaan obat anestesi

seperti analgesik yang dapat diberikan atau obat-obat yang harus dihindari pemberiannya,

manajemen pasien dengan obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke ICU dan penanganan

mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit dan nutrisi.Masalah utama

pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem kardiovaskular, respirasi, dan

gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil dengan atau tanpa obesitas dan anak-anak

yang sedari kecil sudah mengalami obesitas.

3.2 Sistem Kardiovaskular Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien

obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi sampai gagal jantung. Scottish

Health Survey baru-baru ini menemukan prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37

persen terjadi pada mereka dengan BMI > 30, 21 persen pada BMI 25 – 30 dan 10 persen pada

BMI < 25. Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih jauh

pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah seharusnya mereka

dirujuk ke ahli jantung untuk monitor kesulitan yang mungkin berpengaruh pada tindakan

anestesi yang akan dilakukan.

Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular :

Hipertensi.

Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 persen pasien obesitas dan hipertensi

berat pada 5 – 10 persen pasien. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3 – 4

mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada

ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output.

Page 13: lapkas 1

Meskipun mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih belum

diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan hemodinamik yang

berperan disini. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga memberikan

kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan retensi sodium.

Sebagai tambahan, resistansi insulin bertanggung jawab terhadap aktivitas norepinefrin

dan angiotensin II.

Iskemia jantung.

Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung, terutama pada

mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral. Faktor lain seperti hipertensi,

diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density Lipoprotein)

menambah beratnya resiko penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen pasien obesitas

dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung koroner, namun angina itu

sendiri merupakan gejala langsung dari obesitas.

Volume darah.

Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila dibandingkan dengan

pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah karena dominasi darah tersebut

terdistibusi ke organ-organ penuh lemak. Aliran darah dari limpa juga bertambah sekitar

20 persen sedangkan aliran darah dari otak dan ren normal atau tidak bertambah.

Aritmia jantung.

Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada pasien obesitas,

diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan

diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam

sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard dan penumpukan lemak dalam

sistem konduksi.

Fungsi jantung.

Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercayai merupakan kelanjutan

dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi. Dalam suatu studi pada otopsi,

ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang tidak disertai penumpukan

lemak pada miokardium, tampaknya keadaan ini mempengaruhi ventrikel kanan jantung

yang pada akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan aritmia. Ada hubungan

Page 14: lapkas 1

sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan berat badan seseorang. Yang

dikatakan penambahan berat jantung merupakan konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi

eksentrik dari ventrikel kiri yang mempengaruhi ventrikel kanan pula.

Kardiomiopati.

Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan cardiac output

akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml per kg. Dilatasi ventrikel dan bertambahnya

volume sekuncup menyebabkan peningkatan cardiac output. Dilatasi ventrikel terjadi

akibat bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi.

Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan menurunkan compliance dan

fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan pengisian

ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel

memiliki batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding ventrikel kiri maka terjadi

kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik yang juga berpengaruh pada ritme

jantung.

3.2.1 Gejala klinis Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat gangguan kardiovaskular,

hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi gerakan atau aktivitas fisik sehingga tertutupi semua

gejala yang dapat timbul. Seperti misalnya, gejala angina atau dispneu mungkin hanya terjadi

sesekali ketika mereka bergerak lebih aktif dari biasanya. Banyak dari penderita obesitas sengaja

tidur dengan posisi duduk sehingga menyangkal adanya orthopneu atau dispnoe paroksismal

nokturnal. Tapi penderita obesitas dapat kita minta untuk berjalan di dalam ruangan maka akan

terlihat berkurangnya pergerakan atau ketika diminta untuk tidur dengan posisi supinasi maka

akan timbul orthopneu bahkan bisa berujung pada henti jantung. Penderita obesitas harus

diperiksa lebih mendetail akan adanya gangguan jantung, hipertensi, atau gagal jantung. Tanda

gagal jantung juga dapat dilihat dari kenaikan tekanan vena jugular, penambahan bunyi jantung,

gangguan pada paru, hepatomegali atau ditemukan udem perifer.

3.2.2 Pemeriksaan lanjutan Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan pemeriksaan

preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau Echocardiograph. Adanya deviasi axis, atau

aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut. Foto thoraks dapat memberikan gambaran

kardiomegali yang jelas namun kadang tampak normal. Echocardiograph mungkin sulit

Page 15: lapkas 1

dilakukan namun memberikan informasi yang berguna bagi kita. Konsul kepada ahli jantung

dilakukan sebagai tindak awal dan optimalisasi keadaan pasien preoperatif.

3.2.3 Implikasi anestesiPada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel mungkin tertutupi

atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis. Namun adanya penambahan berat

badan secara cepat yang ditemukan pada premedikasi dapat mengindikasikan adanya kegagalan

jantung walaupun orang tersebut memang sudah memiliki bobot yang berat. Durante operasi,

kegagalan ventrikel untuk memenuhi kebutuhan(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi

karena berbagai macam alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan

atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi keadaan hipoksia atau hiperkapnia. Maka seorang

dokter anestesi harus bersikap preventif terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik

dan vasodilator untuk mengembalikan keadaan menjadi normal kembali.Ketika induksi anestesi

atau intubasi dilakukan pada penderita obesitas, performa jantung akan mulai menurun. Dalam

suatu penelitian, ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen, performa

jantung menurun 17 -33 persen setelah induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini menetap

pasca operasi dengan index jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini

tidak terjadi pada orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi atau

intubasi sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi. Pengamatan terhadap tekanan

arteri, gas darah dan tekanan vena sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap keadaan

jantung selama obat anestesi bekerja.

3.2.4 PremedikasiOpioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada orang obesitas. Rute

pemberian obat secara intramuskular dan subkutan dihindari mengingat absorbsinya yang belum

jelas. Semua penderita obesitas diberikan profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun mereka

tidak mengeluhkan adanya refluks atau perasaan dada terbakar (heartburn). Kombinasi H2-

bloker (ranitidin 150mg peroral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg peroral) diberikan 12 jam

dan 2 jam sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis akibat aspirasi. Beberapa

dokter anestesi bahkan mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M sitrat segera sebelum dilakukan

induksi sebagai tambahan. Obat jantung dan steroid tetap diberikan sampai menjelang operasi,

walaupun ada yang merekomendasikan penghentian angiotensin converting enzyme inhibitors

sehari sebelum dilakukan operasi karena efek hipotensi yang mungkin timbul. Pasien obesitas

Page 16: lapkas 1

dengan diabetes diberikan regimen dextrosa-insulin dalam prosedur singkat mengingat

kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi. Karena pasien obesitas seringkali sulit

mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan resiko terjadinya trombosis vena dalam,

maka dapat diberikan heparin dosis rendah secara subkutan dan tetap dilanjutkan sampai pasien

tersebut dapat mobilisasi total. Cara lain : penggunaan legging atau stoking kompresi.Pada grup

ini juga sering terjadi infeksi luka pascaoperasi. Maka dapat diberikan antibiotik profilaksis

namun pemberiannya juga harus di diskusikan dengan ahli bedah yang menangani.

3.2.5 Posisi dan pemindahanKebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat badan mencapai

120 – 140 kg. Berat badan melebihi kapasitas tersebut, membutuhkan meja operasi dengan

rancangan khusus atau menggunakan dua meja operasi ukuran biasa yang disusun bersebelahan.

Pasien dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja operasi tersebut. Kompresi vena cava

inferior harus dihindari dengan cara memposisikan pasien secara lateral ke kiri dari meja operasi

atau meletakan sanggahan dibawah pasien. Terkadang pasien juga dapat diposisikan secara

lateral decubitus untuk mengurangi jumlah tekanan pada dada. Pasien dipindahkan dari ruangan

ke ruang operasi memakai tempat tidur yang mereka gunakan. Kadang dibutuhkan banyak

tenaga dalam proses pemindahan tersebut.

3.2.6 Analgesia regionalPenggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak perlunya

dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada operasi thorakal dan abdominal,

biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi anestesi umum. Hal ini lebih bermanfaat

dibandingkan hanya digunakan anestesi umum, termasuk mengurangi penggunaan opioid dan

obat anestesi inhalasi, komplikasi pulmonal pascaoperasi, peningkatan efek obat analgesik

pascaoperasi, dan manfaat lainnya. Secara teknik, anestesi regional pada pasien obesitas

menantang karena sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak. Blok saraf perifer

lebih mudah dan aman dilakukan dengan bantuan stimulator saraf dan jarum insulasi. Anestesi

spinal dan epidural lebih mudah dilakukan pada posisi berdiri dan menggunakan jarum yang

panjang. Dengan bantuan ultrasound dapat diidentifikasi ruang epidural dan menuntun jarum

Tuohy dalam posisi yang benar. Ada beberapa dokter anestesi yang lebih menyukai kateter

Page 17: lapkas 1

epidural telah terpasang sehari sebelum operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan

memudahkan pemberian profilaksis heparin pada pagi hari waktu operasi. Anestesi lokal yang

dibutuhkan pada saat melakukan anestesi spinal atau epidural diturunkan hingga 80 persen

mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan meningkatnya volume darah yang disebabkan

tekanan intraabdomen menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat

menyebabkan blokade yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi lokal tersebut. Blokade

diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan respirasi dan blokade otonom pada sistem

kardiovaskular. Dalam keadaan ini, dibutuhkan penggantian anestesi menjadi anestesi umum

dengan peralatan yang cukup dan bantuan orang lain untuk penanganan adekuat.

3.2.7 Analgesia sistemikPenggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas terutama dengan rute

intramuskular. Jika diberlakukan rute intravena, maka dapat diberlakukan Patient-Controlled

Analgesia System (PCAs). Dengan cara ini, efektivitas analgesia bisa tercapai walaupun pernah

terdapat laporan depresi pernapasan. Harus diamati juga saturasi O2 dan pulse

oximetry.Analgesia pasca epidural anastesi dengan opioid atau anestesi lokal memberikan

analgesi yang efektif dan aman pada pasien obesitas. Intravena epidural lebih disukai karena

rendahnya efek mengantuk, mual, depresi napas, bahkan mempercepat motilitas usus dan cepat

kembalinya fungsi pernapasan ke titik normal sehingga mengurangi waktu rawat di rumah sakit.

Namun, penggunaan opioid intravena tidak dianjurkan karena adanya efek lambat dari analgesia

tersebut terhadap fungsi pernapasan, dengan kata lain depresi pernapasan baru muncul setelah

beberapa waktu.Oral analgesik seperti Non-Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAID) atau

paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.

3.3 Sistem PernafasanPatofisiologi pernapasan pada penderita obesitas

Volume paru-paru

Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC), volume

ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total dari paru-

paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan peningkatan

berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas,

Page 18: lapkas 1

ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri.

Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50 persen pada penderita

obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20 persen.

Söderberg dan kolega dalam suatu studi menemukan adanya shunt intrapulmonal dari 10

– 25 persen penderita obesitas yang dilakukan anestesi dan 2 – 5 persen pada orang

normal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan oksigen dengan volume tidal

yang besar ( 15 – 20 ml / kg ) walaupun hanya ditemukan kenaikan saturasi oksigen yang

minimal. Namun berbeda halnya dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi (Positive

End- Expiratory Pressure atau PEEP) yang meningkat pada FRC dan tekanan oksigen

arterial. Defek pada pertukaran gas dan penambahan shunt preoperatif terlihat ketika

dilakukan induksi anestesi dan intubasi. Penambahan PEEP meningkatkan osigenasi

namun menurunkan cardiac output dan distribusi oksigen. Karena kurangnya FRC, pada

penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi

desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi. Hal ini karena kecilnya reservoir

oksigen dan meningkatnya pemakaian oksigen. Biasanya FRC berkurang sebagai

konsekuensi reduksi dari ERV dengan tidal volume dalam batas yang normal.

Bagaimanapun juga, pada beberapa penderita obesitas, tidal volume yang tinggi

menandai terperangkapnya gas di dalam paru-paru dan menyertai penyakit saluran napas

obstruktif. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya

tidak terpengaruh namun enam sampai tujuh persen mengalami perbaikan seiring

penurunan berat badan.

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai hasil dari aktivitas

metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan bertambahnya simpanan pada

jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA) berhubungan

dengan luasnya permukaan tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit akan

meningkatkan oksigen hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa penderita

obesitas dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia yang terjadi.

Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam dan menandai adanya

effisiensi yang buruk dari otot pernapasan dibandingkan pada orang normal.

Pertukaran gas

Page 19: lapkas 1

Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit defek pada pertukaran

gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya perbedaan oksigen alveolar dengan

arterial, dan fraksi shunt. Induksi anestesi akan memperburuk keadaan ini, maka

diperlukan fraksi oksigen jumlah besar untuk memenuhi tahanan oksigen arterial.

Compliance dan resistensi thorak

Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas yang pada

kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari pernapasan normal. Walaupun

terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat

tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun pada beberapa penelitian dikemukakan

bahwa hal ini disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-paru. Tertahannya gerak

dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC, terhimpitnya saluran napas dan

kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan resistensi thorak terlihat dengan

adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya kapasitas

paru.

Efisiensi pernapasan

Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya

kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot

dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Penderita

obesitas dengan normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen peningkatan

usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi ini menjadi empat kali

lebih berat pada waktu istirahat.

3.3.1 Kelainan yang terjadiGangguan pernapasan yang paling sering terjadi pada penderita obesitas adalah Obstructive

Sleep Apnea (OSA). Predisposisi terjadinya OSA antara lain : laki-laki, usia 30 - 40 tahun,

obesitas dan konsumsi alkohol (saat senja) atau penggunaan sedatif (saat malam). OSA memiliki

karakteristik :

1. Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur dan yang

membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea

selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran bernapas dan

Page 20: lapkas 1

adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea tergambarkan sebagai reduksi dari 50

persen aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan empat persen saturasi

oksigen pada arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima kali

per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Yang perlu diperhatikan adalah sekuele dari

keadaan ini berupa : hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal dan aritmia.

2. Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur. Patensi dari faring

tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang mencegah penutupan saluran napas atas.

Tonus otot ini akan menghilang ketika tidur, yang menyebabkan pemendekan dari

saluran napas, sehingga terjadi turbulensi aliran udara sehingga terdengarlah snoring.

Mengorok atau snoring biasanya terdengar lebih keras jika obstruksi makin hebat.

Ngorok ini juga diikuti periode sunyi (silence) disaat tidak ada aliran udara yang masuk

dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking yang membangunkan pasien dari

tidurnya, bernapas beberapa kali, dan tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu

tidur).

3. Efek samping : pada pagi hari, penderita OSA akan sering mengantuk, kehilangan

konsentrasi, masalah dalam memori atau ingatan dan bisa terjadi kecelakaan saat

menyetir atau bekerja. Terkadang penderita mengeluhkan pusing di pagi hari akibat

retensi karbondioksida(CO2) malam harinya dan vasodilatasi serebral.

4. Perubahan fisiologi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik.

Hipoksemia berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan resiko

penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi

pulmonal berujung pada kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure). Bila pada

seseorang diketahui BMI > 30 kg/m2 , ada riwayat hipertensi, apnea selama siklus tidur,

lingkar leher > 16.5 cm, polisitemia, hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi ventrikel kanan

atau abnormalitas EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif dengan pemeriksaan

polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.

3.3.2 Implikasi anestesi

3.3.2.1PremedikasiPemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa kemampuan

pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas. Pemeriksaan penunjang yaitu

Page 21: lapkas 1

pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang

dicurigai OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko

spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian

ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi.

3.3.2.2Durante anestesiInduksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko kesulitan atau gagal

intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas dan menurunnya compliance

pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga meningkatkan

resiko regurgitasi atau aspirasi isi gaster.Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam

kesadaran penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak dipengaruhi

pengalaman dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis menyarankan intubasi

dengan kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya > 175 persen berat badan ideal.

Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi jalan napas bagian atas yang

sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow dan sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi

dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop

setelah pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic dapat dipilih

ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan melakukan intubasi blind melalui

hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek samping lainnya. Teknik teraman dan cepat

untuk induksi anestesi menggunakan succinylcholine dengan diikuti pemberian oksigen yang

adekuat sebelumnya. Pasien obesitas tidak dibolehkan untuk bernapas spontan selama anestesi

berlangsung, mencegah terjadinya hipoventilasi, hipoksia dan hiperkapnia. Posisi litotomi atau

Tredelenburg dihindari mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol

dengan fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen arterial yang adekuat,

yang nantinya pemeriksaan serial gas darah diperiksa untuk mengontrol hal ini.

3.3.2.3 Post anestesiKomplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan fungsi paru preoperatif

tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas

sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid dan anestesi meningkat. Pemberian ventilasi

pascaoperasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut, selain dapat diberikan pada

Page 22: lapkas 1

mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui sebelumnya, retensi

karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu lama atau mengalami

pyrexia pasca operasi. Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien sadar penuh dan

dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen tambahan segera

diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa.

3.4 GastrointestinalKombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya pH

dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor resiko hiatus hernia dan

gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien obesitas pada resiko terjadinya aspirasi

asam lambung diikuti pneumonitis aspirasi. Zacchi melakukan studi yang menunjukkan bahwa

pada penderita obesitas tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan lintasan gastro-esofageal

ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal (baik pada posisi duduk atau

berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume dalam gasternya 75 persen lebih besar

dari orang normal, melalui studi tersebut juga diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih

cepat pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena

adanya resiko aspirasi asam, maka ada keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antasid

dan prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada krikoid dan ekstubasi

trakea ketika pasien sadar penuh. Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian

sehubungan dengan sistem gastrointestinal, diantaranya :

Diabetes mellitus.

Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa gula darahnya,

baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon

katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi

untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga

konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark

miokard pada periode iskemia miokard.

Penyakit tromboembolik.

Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan karena

imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen dengan

peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung dan

berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen

Page 23: lapkas 1

juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada penderita obesitas

harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.

BAB IV

KESIMPULAN

Obesitas menjadi kendala tersendiri bagi praktisi medis baik penanganan secara umum maupun

ketika dihadapkan dengan pertimbangan anestesi yang akan dilakukan. Hal ini karena pada

Page 24: lapkas 1

pasien obesitas, tiga masalah utamanya adalah masalah kardiovaskular, respirasi dan

gastrointestinal yang tiap penangannya juga berbeda-beda. Maka bagi seorang dokter, perlu

pemahaman menyeluruh tentang apa yang harus dilakukan untuk keadaan seperti ini. Dalam

kaitan dengan anestesi, yang terpenting adalah setiap pasien yang akan menjalani operasi atau

dilakukan anestesi, perlu dimonitor berat badan, kelainan-kelainan yang menyertai kondisi

pasien atau kemungkinan kendala yang akan dihadapi saat operasi atau pasca operasi. Pada

premedikasi di ruangan atau di OK, pasien dipersiapkan secara baik dan dilakukan pengamatan

akan kelainan metabolik yang mungkin ada. Jika harus diberikan terapi oral atau lainnya, maka

dapat dilakukan konsultasi dengan bagian lain. Proses pemindahan pasien juga harus

diperhatikan. Durante operasi, pemilihan jenis anestesi harus diperhatikan, apakah nantinya

dilakukan intubasi sadar atau tidak, obat-obatan yang boleh dan tidak boleh diberikan, posisi

pasien selama operasi tersebut dan pengamatan akan metabolik pasien. Pasca operasi tidak boleh

dilupakan, mengingat kemungkinan banyaknya kejadian penurunan keadaan pasien dibanding

sebelum operasi. Premedikasi atau durante operasi atau durante anestesi tidak bisa meramalkan

keadaan pasien setelahnya. Bahkan bisa terjadi efek samping lambat baik dari tindakan yang

dilakukan maupun obat-obatan yang diberikan.Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter dan

perawat anestesi, dokter penyakit dalam maupun dokter bedah sehingga keberhasilan

kesemuanya dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive Sleep Apnea. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog00003-0005.pdf.

Page 25: lapkas 1

Henthorn, T K, MD. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients. Available from : http://cucrash.com/Handouts04/MorbObeseHenthorn.pdf.

Obesity and Consequences. Available from : www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/obesity/consequences.html

Body Mass Index. Available from: www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/healthyweight/assesing/bmi/adult_BMI/about_adult_BMI.html.